• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Sistem Peradilan dalam Penyelesaian Perkara IUU (Ilegal, Unreported, Unregulated) Fishing

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas Sistem Peradilan dalam Penyelesaian Perkara IUU (Ilegal, Unreported, Unregulated) Fishing"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS SISTEM PERADILAN DALAM

PENYELESAIAN PERKARA IUU (ILEGAL, UNREPORTED,

UNREGULATED) FISHING

MUTIARA

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efektivitas Sistem Peradilan dalam Penyelesaian Perkara IUU (Ilegal, Unreported, Unregulated) Fishing adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014

(4)

ABSTRAK

MUTIARA. Efektivitas Sistem Peradilan dalam Penyelesaian Perkara IUU (Ilegal, Unreported, Unregulated) Fishing. Dibimbing oleh AKHMAD SOLIHIN dan DARMAWAN

Skripsi ini membahas mengenai proses, permasalahan, dan solusi yang ditelaah pada suatu sistem yang terkait dengan penanganan tindak pidana perikanan IUU (Ilegal, Unreported, Unregulated) dan menilai apakah proses tersebut sudah dapat dikatakan efektif atau belum. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan metode kualitatif yang disajikan dalam bentuk deskriptif. Sistem peradilan pidana perikanan adalah sistem peradilan yang mengatur bagaimana penegakan hukum perikanan dan dapat dijadikan sebagai sebuah sistem dan proses. Sistem yang adalah hubungan fungsional dan institusional pada satuan penyidik, pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan mahkamah agung. Sedangkan sebagai sebuah proses yaitu bahwa peradilan perikanan menempuh proses penyidikan, penuntutan, persidangan pertama, persidangan banding, dan kasasi yang sesuai dengan ketentuan hukum pidana perikanan dan hukum acara pidana. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sistem peradilan belum dapat dikatakan efektif pada tahap penyidikan, penuntutan, pengadilan pertama, pengadilan banding, hingga tahap kasasi. Penerapan konsep efektivitas pada sistem peradilan ditinjau dari faktor hukum, sarana prasarana, penegak hukum dan masyarakat. Ketidakefektivan sistem peradilan perikanan terkendala dengan pembatasan waktu penahanan tersangka, ketidaktersediaan sarana prasarana seperti penerjemah dan lokasi antar instansi pengadilan, dan ketidakikutsertaan masyarakat untuk berkontribusi dalam penanganan perkara tindak pidana perikanan.

(5)

ABSTRACT

MUTIARA. The effectiveness judicial system to lawsuit solution of IUU (Illegal, Unreported, Unregulated) Fishing. Supervised by AKHMAD SOLIHIN and DARMAWAN

This thesis discusses about process, problems, and solutions are reviewed on a system that is associated with the handling of a criminal offense IUU (Illegal, Unreported, Unregulated) fishing and evaluate whether the process has been effective or not. This study uses normative and qualitative methods presented in descriptive form. The fisheries criminal justice system is the judicial system that regulates how the fishery law enforcement and can be used as a system and process. This system is about functional and institutional relationships on unit investigator, district courts, high courts and the supreme court. Meanwhile, as a process, the fisheries judicial system is taking the investigation, prosecution, the first trial, the court of appeal, and the appeal in accordance with the provisions of fisheries criminal law and criminal procedural law. These results indicate that the justice system can not be said to be effective at this stage of the investigation, prosecution, courts first, the court of appeal, until the appeal stage. Application of the concept of the effectiveness of the judicial system in terms of legal factors, infrastructure, law enforcement and the community. Ineffectiveness of fisheries judicial system is plagued with detention time limitation, unavailability of infrastructure such as translators and court location among institutions, and the exclusion of the public to contribute to the handling of criminal cases fishery.

(6)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

EFEKTIVITAS SISTEM PERADILAN DALAM

PENYELESAIAN PERKARA IUU (ILEGAL, UNREPORTED,

UNREGULATED) FISHING

MUTIARA

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(7)

Judul Skripsi : Efektivitas Sistem Peradilan dalam Penyelesaian Perkara IUU (Ilegal, Unreported, Unregulated) Fishing

Nama : Mutiara NIM : C44100072

Disetujui oleh

Akhmad Solihin, S.Pi, MH Pembimbing I

Dr Ir Darmawan, MAMA Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Budy Wiryawan, M.Sc Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih karunia dan berkat yang diberikan pada penulis sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah kebijakan perikanan tangkap, dengan judul Efektivitas Sistem Peradilan dalam Penyelesaian Perkara IUU (Illegal, Unreported, Unregulated) Fishing.

Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak yang telah banyak membantu dan memberikan masukan kepada:

1) Bapak Akhmad Solihin, S.Pi, MH dan Bapak Dr Ir Darmawan, MAMA selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan saran yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini;

2) Pandapotan Napitupulu, SH dan Roulina Simamora sebagai orang tua yang telah memberikan kasih sayang dan doa yang tak pernah putus kepada penulis;

3) Pak Darjono Abadi, SH, MH sebagai hakim ad hoc Pengadilan Perikanan Tanjung Pinang;

4) Ibu Rahel Yosvelita, SH dan seluruh pihak terkait di Pengadilan Perikanan Tanjung Pinang yang telah mempermudah penulis dalam kegiatan penelitian; 5) Lettu Tona Ompusunggu dan Rina Permata Sari, SE sebagai kakak yang telah

memberikan doa dan dukungan kepada penulis;

6) Pak Akhmadon, S.Pi, MM sebagai Kepala Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Batam yang telah memberikan kemudahan dan saran kepada penulis selama kegiatan penelitian;

7) Pak Eko Nugroho, SH sebagai koordinator pidana khusus Mahkamah Agung 8) Wanda, Dewi Octaria, Octa, Iqbal, Andika, Doper, Dopang, Yuda, Sobar,

Toro dan teman-teman seperjuangan di PSP 47 lainnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat

Bogor, Juni 2014

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN ix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

METODE ... 2

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 2

Metode Penelitian ... 3

Jenis dan Sumber Data ... 3

Proses Pengumpulan dan Analisis Informasi Data ... 3

Prosedur Analisis Data ... 4

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 4

Keadaan Umum Perairan Kepulauan Riau ... 4

Kegiatan IUU Fishing di Perairan Kepulauan Riau ... 4

Dasar Hukum Indonesia terkait dengan Sistem Peradilan Perikanan ... 6

Sistem Peradilan Pidana Perikanan ... 8

Tolak Ukur Efektivitas Sistem Peradilan Perikanan ... 13

SIMPULAN DAN SARAN ... 19

DAFTAR PUSTAKA ... 20

LAMPIRAN ... 21

(10)

DAFTAR TABEL

1 Jumlah perkara kegiatan tindak pelanggaran perikanan 5 2 Jangka waktu penahanan dan perpanjangan menurut KUHAP 6 3 Jangka waktu penahanan dan perpanjangan menurut UU Perikanan 7 4 Perbandingan waktu pada tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan,

banding, kasasi hingga putusan menurut KUHAP dan UU Perikanan 7

5 Tolak ukur efektivitas tahap penyidikan 14

6 Tolak ukur efektivitas tahap penuntutan 15

7 Tolak ukur efektivitas tahap persidangan pertama 16

8 Tolak ukur efektivitas tahap banding 17

9 Tolak ukur efektivitas tahap kasasi 18

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi penelitian 2

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kelembagaan dalam sistem peradilan perikanan 21

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penurunan produktivitas perikanan di sebagian besar wilayah perairan menjadi permasalahan perikanan saat ini. Salah satu penyebab penurunan produktivitas perikanan karena pengelolaan perikanan yang tidak bertanggung jawab seperti penggunaan bom, dinamit, racun, arus listrik, jaring mata kecil, dan penangkapan ikan di wilayah konservasi. Apabila pengelolaan perikanan yang tidak bertanggung jawab tersebut terus menerus dilakukan, maka dapat berdampak pada keberlangsungan hidup habitat perikanan di laut dan kehidupan manusia dalam jangka waktu panjang yang disebabkan karena eksploitasi yang berlebihan. Praktek perikanan yang tidak bertanggung jawab tersebut merupakan bagian dari praktek IUU (Ilegal, Unreported, Unregulated) Fishing.

Praktek IUU Fishing menjadi faktor utama dari masalah pengelolaan perikanan yang sedang dihadapi dunia. Praktek IUU Fishing sangat menghambat pembangunan perikanan baik secara nasional maupun internasional. Badan organisasi PBB mencatat bahwa praktek IUU Fishing telah mewabah lebih dari 100 negara (Fauzi 2005). Praktek IUU Fishing di perairan ZEEI (Zona Eksklusif Ekonomi Indonesia) banyak dilakukan oleh nelayan-nelayan asing terutama oleh nelayan Thailand, Filipina. Fakta ini memberi pandangan bahwa seakan-akan hukum laut yang berlaku di Indonesia tidak berpengaruh dan tidak berdampak banyak dalam pelaksanaanya baik di nasional maupun internasional.

Tindak pidana perikanan pada hakikatnya dapat diatasi dengan ketentuan peraturan yang kuat, namun masalah dasar yang menjadi kendala adalah penerapan dan penegakan hukum yang seharusnya mendapat perhatian yang serius. Akar dari berjalannya suatu hukum terletak pada kebijakan yang dibentuk. Apabila kebijakan tersebut tidak diatur, maka hukum yang dibentuk pun akan sulit untuk di realisasikan. Output dari kebijakan perikanan terletak pada sistem peradilan perikanan. Sistem peradilan perikanan menjadi wujud nyata penegakan implementasi hukum khususnya dalam menangani IUU Fishing di Indonesia (Nikijuluw 2008)

Pengadilan Negeri Tanjung Pinang merupakan salah satu dari tujuh pengadilan di Indonesia yang mempunyai pengadilan khusus perikanan. Penyebab terbentuknya pengadilan khusus perikanan di Tanjung Pinang karena pada WPP 711 sering terjadi praktek perikanan IUU dan perkara pidana praktek perikanan IUU. Oleh karena itu, penelitian mengenai sistem peradilan perikanan perlu dilakukan di Pengadilan Negeri Tanjung Pinang.

Perumusan Masalah

Secara umum fokus utama penelitian ini adalah mengenai sistem peradilan di bidang perikanan. Beberapa pertanyaan yang dapat diidentifikasi terkait fokus penelitian adalah sebagai berikut:

1. Apa yang menjadi dasar hukum sistem peradilan perikanan? 2. Bagaimana proses pada sistem peradilan perikanan?

(12)

2

Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Menguraikan dasar hukum sistem peradilan perikanan. 2. Mendeskripsikan proses sistem peradilan perikanan. 3. Menilai efektivitas pada sistem peradilan perikanan.

Manfaat Penelitian

Manfaat setelah dilakukannya penelitian tentang kelembagaan sistem peradilan perikanan dalam menangani tindak pidana perikanan adalah :

1. Dapat memberi penjelasan mengenai konsep efektivitas dan implementasinya dalam sistem peradilan perikanan.

2. Dapat memberi masukan berupa solusi agar sistem peradilan perikanan dapat berjalan dengan efektif.

3. Dapat menambah kepustakaan bagi pihak yang berminat dengan bahasan sistem peradilan perikanan dalam suatu kelembagaan.

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Tanjung Pinang, wilayah satuan kerja PSDKP Batam, Kepulauan Riau yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2013. Kemudian dilanjutkan dengan pengambilan data di Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta yang dilaksanakan pada bulan Januari 2014.

(13)

3 Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan pada saat penelitian yaitu pendekatan kualitatif dengan desain penelitian studi kasus.

Jenis dan Sumber Data

Pada penelitian ini ada dua jenis data yang diambil, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer mencangkup pengimplementasian sistem peradilan perikanan dari tingkat penyidikan hingga pada putusan pidana di pengadilan. Penentuan subjek atau informan dalam penelitian ini diambil secara purposive atau mempergunakan teknik purposive sampling dengan tujuan melakukan wawancara kepada pihak-pihak yang dianggap paling mengetahui dan menguasai implementasi sistem peradilan perikanan di bidang profesinya Data primer didapatkan dari instansi Pengadilan Perikanan Tanjung Pinang sebanyak 2 informan yaitu hakim ad hoc perikanan dan panitera muda pidana khusus, PSDKP (Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan) Batam sebanyak 1 informan yaitu kepala PSDKP Batam, serta praktisi hukum sebanyak 3 informan yaitu hakim penuntut umum, hakim tinggi Pekanbaru, dan koordinator pidana khusus Mahkamah Agung.

Data sekunder terdiri dari kasus IUU Fishing yang diadili di Pengadilan Perikanan Tanjung Pinang, rekapitulasi data penanganan ABK tindak pidana perikanan, peraturan undang-undang yang terkait dengan IUU Fishing, surat putusan, tuntutan, pelimpahan, dakwaan, dan berita acara perkara pidana perikanan. Data sekunder didapat dari data kasus yang dibuat oleh panitera pengadilan perikanan Tanjung Pinang, data satuan kerja PSDKP Batam, dan lampiran KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah dengan UU Nomor 45 Tahun 2009.

Proses Pengumpulan dan Analisis Informasi Data

Data primer mengenai sistem peradilan perikanan dari tingkat penyidikan, penuntutan, pemeriksaan perkara di persidangan pertama, pemeriksaan perkara di persidangan banding, dan pemeriksaan perkara di persidangan kasasi sehingga menghasilkan putusan perkara di pengadilan perikanan, diperoleh melalui observasi dan wawancara terstruktur. Data primer mengenai implementasi sistem peradilan yang dinilai dari faktor internal maupun eksternal dan data diolah dengan deskriptif.

(14)

4

Prosedur Analisis Data

Data primer dan data sekunder dianalisis secara kualitatif, yaitu melakukan pendekatan fenomenologis yang berorientasi pada suatu proses dimana pengamatan bersifat alamiah dan tidak dikendalikan (Idrus 2009). Analisa kualitatif pada penelitian ini dilakukan untuk menganalisis dan mengevaluasi data yang diperoleh secara dalam dan menyeluruh untuk memperoleh kejelasan terhadap permasalahan dalam penelitian. Analisis yang sifatnya deskriptif dilakukan dengan menjabarkan ukuran efektivitas suatu sistem kelembagaan pada peradilan perikanan. Indikator efektivitas dilihat dari hubungan antara faktor hukum, penegak hukum, sarana prasarana, dan masyarakat. Penilaian faktor tersebut dimulai secara bertahap dari tingkat penyidikan hingga putusan perkara pidana perikanan.

Metode yuridis normatif yaitu metode yang dilakukan dengan menelusuri pendasaran hukum yang menjadi dasar hukum dalam suatu permasalahan yang dibahas (Jevons 2013). Berdasarkan tema pada penelitian ini, yang menjadi bahan penelusuran dasar hukum yakni hukum acara pidana di bidang perikanan dan hukum pidana di bidang perikanan yang terdapat pada UU No. 31 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009 dan norma-norma serta aturan yang berlaku dalam hubungannya dengan integrated criminal justice system dalam sistem peradilan pidana perikanan, yakni KUHAP.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Perairan Kepulauan Riau

Secara geografis Provinsi Kepulauan Riau terletak antara koordinat 103o11’ – 108o 12’ BT dan 0o45’ LS – 3o 15’ LU. Luas dari Provinsi Kepulauan Riau sebesar 251.801 km2 dengan wilayah lautan sebesar 96% dan wilayah daratan sebesar 4%. Wilayah Pengelolaan Perairan (WPP) Kepulauan Riau termasuk dalam WPP 711 bersama dengan Laut Natuna, Perairan Selat Karimata dan Laut China. Wilayah ini memiliki peluang yang besar sebagai daerah penangkapan berbagai jenis ikan. Jenis kelompok ikan seperti ikan demersal, udang, pelagis kecil. Provinsi Kepulauan Riau memiliki batas wilayah di sebelah utara dengan Negara Kamboja dan Negara Vietnam, di sebelah timur dengan Negara Brunnei Darusallam dan Provinsi Kalimantan Barat, di sebelah selatan dengan Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Jambi, dan di sebelah barat dengan negara Singapura, Malaysia, dan Provinsi Riau.

Kegiatan IUU Fishing di Perairan Kepulauan Riau

(15)

5 Tabel 1 Jumlah perkara kegiatan tindak pelanggaran perikanan

Periode Jumlah perkara

2010 1

2011 21

2012 8

Januari 2013 - Juli 2013 21

Total perkara 51

Sumber : Pengadilan Tanjung Pinang Kepulauan Riau, 2013

Karakteristik perkara IUU Fishing di perairan Kepulauan Riau yang telah diadili di pengadilan perikanan Tanjung Pinang pada periode Januari-Juli 2013 (lampiran 1) adalah sebagai berikut:

(1) Perkara IUU Fishing di perairan Kepulauan Riau dilakukan oleh tersangka yang berasal dari warga negara Vietnam (71%), warga negara Indonesia (19%), warga negara Malaysia (5%) dan warga negara Myanmar (5%).

(2) Jenis pelanggaran yang dikenakan terdakwa, tercantum pada:

a. Pasal 26 ayat (1) UU No.31 Tahun 2004. Isi pasal tersebut berbunyi: Setiap orang yang melakukan usaha perikanan di bidang pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia wajib memiliki SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan)

b. Pasal 27 ayat (2) UU No.31 Tahun 2004. Isi pasal tersebut berbunyi: Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia wajib memiliki SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan)

c. Pasal 9 huruf b UU No.31 Tahun 2004. Isi pasal tersebut berbunyi:

Alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan atau standar yang diterapkan untuk tipe alat tertentu

(3) Pelanggaran pasal yang dilakukan terdakwa baik dari warga negara Vietnam, Malaysia, Myanmar, maupun warga negara Indonesia berupa pelanggaran standar operasional prosedur penangkapan ikan maupun pelanggaran tidak memiliki SIPI dan SIUP.

(4) Jenis pelanggaran berupa standar operasional prosedur penangkapan ikan maupun pelanggaran tidak memiliki SIPI dan SIUP. Barang bukti berupa kapal dan barang-barang didalam kapal dirampas untuk negara. Barang bukti berupa alat tangkap dan hasil tangkapan dirampas untuk dimusnahkan.

(16)

6

Dasar hukum Indonesia terkait dengan Sistem Peradilan Perikanan

Berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 2004, dijelaskan pada bab XII Pasal 71 dan bab XIV Pasal 72 hingga Pasal 83 mengenai sistem peradilan dalam menangani tindak pidana di bidang perikanan. Begitu juga pada KUHAP dijelaskan mengenai sistem peradilan pada bab XIV hingga Bab XX. Namun pada proses sistem peradilan perikanan hingga pada putusan yang mengikuti KUHAP secara murni, hanya pada proses kasasi. Perbedaan antara KUHAP dengan hukum pada sistem peradilan perikanan adalah pada jangka waktu dari setiap tahapnya.

Bab XIV menjelaskan mengenai proses penyidikan pada perkara pidana secara umum. Bab XV menjelaskan mengenai proses penuntutan. Pada bab XVI mengenai pemeriksaan di sidang pengadilan dari panggilan terhadap terdakwa hingga pada pelbagai ketentuan. Bab XVII mengenai upaya hukum biasa. Bab XIX mengenai pelaksanaan putusan pengadilan. Bab XX mengenai pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan.

Pasal 71 menjelaskan mengenai pengadilan perikanan yang merupakan instansi kelembagaan yang berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana di bidang perikanan. Pengadilan perikanan hingga saat ini dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. Pasal 72 dan Pasal 73 menjelaskan mengenai penyidikan yang merupakan tahap awal dari sistem peradilan untuk membawa kasus pelanggaran perikanan di lapangan dan memberikan hasil penyidikan ke penuntut umum. PPNSP (Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan), perwira TNI AL, dan pejabat polisi diberikan waktu penahanan terhadap tersangka selama 20 hari untuk kepentingan penyidikan dan diberi perpanjangan selama 10 hari jika kepentingan pemeriksaan belum selesai, namun setelah 30 hari tersangka harus dibebaskan dari tahanan walaupun pemeriksaan belum juga selesai.

Pasal 74, Pasal 75, dan Pasal 76 menjelaskan mengenai penuntutan. Penuntutan dilakukan oleh penuntut umum yang ditetapkan oleh jaksa agung. Penuntut umum diberikan waktu 5 hari dalam meneliti hasil penyidikan dari penyidik setelah penyidik memberikan hasil penyidikannya. Setelah itu penuntut umum memberikan laporan hasil penelitiannya dalam kurun waktu yang sama dan diberikan waktu tambahan 5 hari untuk melengkapi berkas dan kemudian penuntut umum melimpahkan perkara kepada pengadilan perikanan. Pasal 77 hingga Pasal 83 menjelaskan mengenai pemeriksaan di sidang pengadilan. Dijelaskan pada sistem persidangan khusus perikanan dapat dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa dan dalam jangka waktu 30 hari hakim harus menjatuhkan putusan terhitung sejak penerimaan pelimpahan perkara dari penuntut umum.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dirumuskan jangka waktu penahanan serta perpanjangan waktu menurut KUHAP dan UU Perikanan pada Tabel 2 sampai Tabel 4.

Tabel 2 Jangka waktu penahanan dan perpanjangan menurut KUHAP

Kepentingan Penahanan Perpanjangan Jumlah

Oleh Lama Oleh Lama

Penyidik 20 hari Penuntut Umum 40 hari 60 hari

Penuntut Umum 20 hari Ketua PN 30 hari 50 hari

(17)

7

Hakim PT 30 hari Ketua PT 60 hari 90 hari

Hakim MA 50 hari Ketua MA 60 hari 110 hari

Jumlah 400 hari

Sumber : KUHAP No.8 Tahun 1981

Kepentingan penahanan beserta perpanjangan menurut KUHAP di tingkat penyidikan diberikan waktu maksimal selama 60 hari. Setelah tingkat penyidikan, berkas kasus penyidik diperiksa dan dirangkum oleh penuntut umum dengan lama kerja maksimal 50 hari. Kemudian dilanjutkan dengan proses persidangan di pengadilan negeri, pengadilan tinggi yang masing-masing waktu penyelesaian kasus maksimal 90 hari. Apabila kasus dilanjutkan hingga tahap kasasi, maka lembaga Mahkamah Agung mendapatkan wewenang untuk menetapkan putusan akhir yang berkekuatan tetap, maksimal 110 hari.

Tabel 3 Jangka waktu penahanan dan perpanjangan menurut UU Perikanan

Kepentingan Penahanan Perpanjangan Jumlah

Oleh Lama Oleh Lama

Penyidik 20 hari Penuntut Umum 10 hari 30 hari

Penuntut Umum 10 hari Ketua PN 10 hari 20 hari

Hakim PN 20 hari Ketua PN 10 hari 30 hari

Hakim PT 20 hari Ketua PT 10 hari 30 hari

Hakim MA 20 hari Ketua MA 10 hari 30 hari

Jumlah 140 hari

Sumber : UU No.31 Tahun 2004

Kepentingan penahanan beserta perpanjangan menurut UU Perikanan yang tercantum pada UU No.31 Tahun 2004 di tingkat penyidikan diberikan waktu maksimal selama 30 hari. Setelah tingkat penyidikan, berkas kasus penyidik diperiksa dan dirangkum oleh penuntut umum dengan lama kerja maksimal 20 hari. Kemudian dilanjutkan dengan proses persidangan di pengadilan negeri, pengadilan tinggi yang masing-masing waktu penyelesaian kasus maksimal 30 hari. Apabila kasus dilanjutkan hingga tahap kasasi, maka lembaga Mahkamah Agung mendapatkan wewenang untuk menetapkan putusan akhir yang berkekuatan tetap, maksimal 30 hari.

Tabel 4 Perbandingan waktu pada tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, banding, kasasi hingga putusan menurut KUHAP dan UU Perikanan

Tahap KUHAP UU no 31 tahun 2004

Penyidikan 60 hari 30 hari

Penuntutan 50 hari 20 hari

Pemeriksaan di Pengadilan Negeri 90 hari 30 hari

Tingkat Banding 90 hari 30 hari

Tingkat Kasasi 110 hari 30 hari

Jumlah 400 hari 140 hari

Sumber : KUHAP No.8 Tahun 1981 dan UU No.31 Tahun 2004

(18)

8

Sistem Peradilan Pidana Perikanan

Sistem peradilan pidana (criminal justice system) memiliki dua peranan penting, yakni sebagai sebuah sistem dan sebagai sebuah proses (Jevons 2013). Sebagai sebuah sistem dimaksudkan bahwa ada hubungan fungsional dan institusional antar masing-masing bagian dalam rangka penegakkan hukum. Sub sistem yang terkait ialah penyidik, jaksa/penuntut umum, badan peradilan di lingkungan peradilan umum, penasihat hukum, dan lembaga pemasyarakatan. Sedangkan sebagai sebuah proses, dimaksudkan bahwa peradilan menempuh proses sesuai dengan ketentuan hukum pidana dan hukum acara pidana yang berlaku. Dengan demikian, sistem peradilan pidana (criminal justice system) meliputi proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dipersidangan hingga pada pelaksanaan putusan hakim. Berjalannya persidangan mulai dari fakta kejadian terjadinya pelanggaran hingga pada putusan pengadilan merupakan satu kesatuan proses.

Input dari sistem peradilan di bidang perikanan adalah suatu laporan/pengaduan berupa dokumen tentang terjadinya tindak pidana perikanan, sedangkan prosesnya berupa suatu tindakan yang diambil oleh kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan untuk mengadili tindak pidana perikanan kepada terdakwa, sehingga menghasilkan output berupa hasil putusan kepada terdakwa yang diperoleh berdasarkan kebijakan terhadap tindak pidana perikanan. Berikut penjelasan dari setiap proses pada sistem peradilan di bidang perikanan dan permasalahan serta solusi yang direkomendasikan.

Penyidikan

Penyidikan di bidang perikanan merupakan kegiatan tahap awal pada sistem peradilan perikanan. Tujuan tahap penyidikan di bidang perikanan untuk melakukan koordinasi dalam penanganan tindak pidana perikanan sehingga ditemukannya bukti-bukti terjadinya perkara pidana perikanan di WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan) agar perkaranya dapat diselesaikan berdasarkan ketentuan hukum perikanan yang berlaku. Penyidikan dilakukan oleh tiga penyidik perikanan, yaitu Polri, TNI AL, dan PPNSP (Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan). Perbedaan antara ketiganya terletak pada wilayah penyidikannya. Untuk penyidik Polri beroperasi di laut teritorial, sedangkan untuk TNI AL dan PPNSP beroperasi mulai dari laut teritorial hingga ZEEI (Zona Eksklusif Ekonomi Indonesia). Wewenang penyidik berdasarkan ketentuan pada UU Perikanan antara lain menghentikan, memeriksa sarana prasarana dalam kapal maupun keabsahan/kelengkapan dokumen dan menangkap orang yang disangka melakukan tindak pidana perikanan, atau jika menerima laporan tindak pidana perikanan dari masyarakat (saksi), penyidik berwewenang untuk memanggil serta memeriksa tersangka maupun saksi dan kemudian melakukan penyitaan barang bukti milik tersangka, serta dapat melakukan penghentian penyidikan jika batas waktu penyidikan belum selesai dalam waktu 30 hari.

(19)

9 ZEEI untuk mengawasi kapal-kapal yang melakukan usaha penangkapan, jika menemukan kapal berbendera asing atau berbendera Indonesia yang melakukan operasi penangkapan, maka penyidik langsung menghentikan kapal kemudian memeriksa sarana prasarana perikanan di dalam kapal, serta memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan. Jika ditemukan pelanggaran aturan perizinan, alat tangkap, maupun metode pengoperasian saat penangkapan, maka penyidik membawa kapal beserta isinya (nakhoda, ABK, dan barang bukti lainnya yang ada di dalam kapal) ke penepian/dermaga sekitar wilayah satuan kerja pengawasan di Batam. Tersangka ditahan sementara di tempat penahanan sementara yang terletak di kawasan satuan kerja PSDKP Batam dan barang bukti di sita di pelabuhan satuan kerja PSDKP Barelang Batam. Setelah dokumen perkara perikanan dianggap lengkap oleh para penyidik, maka dokumen tersebut dikumpulkan dilimpahkan ke pengadilan perikanan di Tanjung Pinang.

Permasalahan pada proses penyidikan yang dirasakan satuan kerja PSDKP Batam adalah masa penahanan dan saat pemeriksaan.Masa penahanan selama 30 hari dirasa kurang, karena banyak dokumen tindak pelanggaran perikanan yang harus dilengkapi sebelum dibawa dan diadili ke pengadilan. Resiko jika melewati 30 hari maka tersangka berhak bebas dari tahanan tanpa hukuman apapun. Namun sepanjang tahun 2010 - 2013 belum ada kasus yang terpaksa dilepas karena permasalahan tersebut. Saat pemeriksaan, pihak penyidik merasa kesulitan dalam menerjemahkan bahasa asing dan mencari penerjemah bahasa, karena sebagian besar nelayan yang melakukan tindak pelanggaran perikanan adalah nelayan asing. Hal ini yang membuat proses pemeriksaan (wawancara) dengan tersangka sering kali ditunda, sehingga perkara tindak pidana perikanan menumpuk setiap harinya untuk diselesaikan selama 30 hari.

Selain itu yang menjadi keluhan dari penyidik adalah jenis dakwaan subsider yang digunakan untuk menindak pidana perikanan. Dakwaan subsider adalah dakwaan yang sistematik lapisan disusun secara berurut dimulai dari tindak pidana yang diancam dengan pidana tertinggi sampai dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana terendah. Menurut penyidik, dakwaan ini yang menjadikan hukum perikanan menjadi lemah dalam penindakan pidana perikanan, karena semua tindak pidana yang putuskan kepada terdakwa adalah pidana terendah, dengan denda yang sedikit dan kurungan badan yang lama. Hal ini yang menjadikan nelayan asing tidak jera dalam melakukan pelanggaran perikanan.

(20)

10

Penuntutan

Penuntutan adalah tahap yang akan terlaksana jika dokumen-dokumen perkara pidana perikanan sudah dilengkapi oleh pihak penyidik dan telah dilimpahkan ke ranah pengadilan negeri (Gatot 2011). Tujuan tahap penuntutan di bidang perikanan, agar berkas perkara penyidikan dapat diperiksa dan dapat ditentukannya dakwaan yang tepat bagi tersangka perkara pidana perikanan, sehingga kasusnya dapat diselesaikan melalui persidangan di pengadilan. Pada tahap ini, yang mendapat wewenang dalam memeriksa kelengkapan berkas perkara, membuat surat dakwaan, bersidang di pengadilan, hingga pengajuan ke tingkat banding atau kasasi adalah jaksa penuntut umum.

Proses penuntutan pada pengadilan perikanan Tanjung Pinang dimulai dari penelitian berkas perkara. Hal-hal yang tercangkup dalam penelitian berkas perkara adalah identitas lengkap pelaku pelanggaran perikanan (nakhoda maupun nelayan/ABK), waktu dan tempat saat di tangkap penyidik, spesifikasi kapal dan alat bukti, serta rincian pelanggaran perikanan yang telah dilakukan. Alat-alat bukti yang harus dipenuhi oleh penuntut umum adalah kehadiran saksi-saksi, ahli, dan terdakwa dalam persidangan tingkat pertama. Setiap kelengkapan berkas yang diterima oleh jaksa penuntut umum di Kejaksaan Negeri Batam selalu dianggap selesai, sehingga tidak pernah terjadi pengembalian berkas perkara ke pihak penyidik di satuan kerja PSDKP Batam. Setelah penelitian berkas perkara, jaksa penuntut umum membuat surat dakwaan yang akan dilimpahkan pada persidangan tingkat pertama.

Permasalahan pada proses penuntutan yang dirasakan oleh penuntut umum adalah proses pengajuan rencana tuntutan yang memakan waktu yang lama. Rencana tuntutan berisi pasal pelanggaran, akibat yang ditunjukan kepada terdakwa dan cangkupan hal-hal yang memberatkan atau meringankan terdakwa. Rencana tuntutan diserahkan terlebih dahulu kepada kejaksaan negeri untuk ditelaah kembali, dan kemudian setelah itu kejaksaan negeri mengajukan rencana tuntutan tersebut ke kejaksaan tinggi hingga kepada jaksa agung tindak pidana khusus. Pasal 80 UU No. 31 Tahun 2004 menjelaskan penanganan tindak pidana perikanan harus diputus 30 hari sejak penerimaan berkas perkara dari penyidik ke penuntut umum. Proses tersebut memungkinkan untuk memakan waktu lama hingga melewati 30 hari karena hal ini juga berdampak pada proses penyimpanan dan eksekusi barang bukti seperti kapal yang dikhawatirkan mengalami kerusakan sebelum proses lelang dilakukan. Sepanjang tahun 2010 - 2013 belum ada kasus yang terpaksa dilepas karena permasalahan tersebut, walaupun disamping itu juga barang bukti berupa kapal pernah sudah rusak sebelum proses lelang dilakukan, sehingga sebagai resikonya pemerintah mengeluarkan biaya untuk perbaikan kapal.

(21)

11 saja, tetapi juga melibatkan korporasi yang terlibat dengan tindak pidana perikanan.

Pengadilan tingkat pertama

Proses pada tahap pengadilan tingkat pertama dilakukan di pengadilan negeri khusus perikanan Tanjung Pinang. UU No 48 Tahun 2009 Pasal 27 ayat (1) menjelaskan bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Tujuan dilaksanakannya persidangan khusus perikanan di tingkat pertama, agar perkara perikanan dapat diperiksa, diadili, dan diputus sesuai dengan ketentuan undang-undang perikanan yang berlaku (Gatot 2011). Pengadilan Perikanan Tanjung Pinang dibentuk tahun 2010, setelah terbentuknya pengadilan khusus perikanan di Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual pada tahun 2006. Alasan kuat terbentuknya pengadilan khusus perikanan di Tanjung Pinang karena wilayahnya yang berbatasan laut dengan negara-negara asing seperti Malaysia, Thailand, Vietnam. Selain itu, seringnya terjadi pelanggaran perikanan oleh negara-negara tersebut yang harus dengan cepat dan tepat untuk ditanggulangi.

Berita acara pada proses persidangan khusus perikanan di pengadilan Tanjung Pinang sudah terpola, sehingga penentuan putusan dapat secara cepat dilaksanakan. Tahap awal dimulai dari hakim ad hoc mengajukan pertanyaan kepada saksi, setelah itu hakim ketua majelis memberi kesempatan kepada jaksa penuntut umum untuk mengajukan pertanyaan kembali kepada saksi apabila hal-hal yang ditanyakan oleh hakim ad hoc kurang. Jika saksi ahli datang ke persidangan perikanan, maka dilanjutkan dengan ajukan pertanyaan hakim ketua majelis dan jaksa penuntut umum kepada saksi ahli. Selanjutnya, hakim ketua majelis, hakim ad hoc, dan jaksa penuntut umum melalui penerjemah, mengajukan pertanyaan kepada terdakwa. Jika dianggap sudah cukup, hakim ketua majelis meminta penuntut umum menyusun surat putusan yang akan diajukan secara langsung ke Mahkamah Agung tanpa adanya persidangan ulang. Jika belum dianggap cukup atau adanya pengajuan banding dari terdakwa maupun penuntut umum, maka persidangan ditunda selama 2 minggu, dan selama itu juga penuntut umum membuat surat tuntutan untuk persidangan di tingkat banding.

Permasalahan pada proses pemeriksaan di sidang pengadilan pertama adalah pada pelaksanaan persidangannya yang sering tertunda karena tidak adanya penerjemah bahasa asing dan selain itu jika persidangan tetap dilaksanakan tanpa penerjemah bahasa asing maka informasi yang didapat dari terdakwa asing tidak akurat dan lengkap sehingga menghasilkan putusan yang kembali dipertimbangkan ke tahap proses peradilan berikutnya (tahap banding). Alangkah lebih baik jika pemerintah menyediakan secara tetap kehadiran penerjemah bahasa asing di pengadilan khusus perikanan, karena menimbang bahwa tersangka pelaku tindak pidana perikanan sebagian besar adalah warga negara asing.

Pengadilan tingkat banding

(22)

12

belum menghasilkan hukum berkekuatan tetap (inkrah) pada persidangan tingkat pertama, hal ini karena adanya pengajuan banding terhadap putusan yang tidak sesuai oleh pihak penuntut umum maupun terdakwa (Gatot 2011). Tahap banding dimulai dari proses pemeriksaan perkara kemudian jaksa agung menetapkan apakah putusan pengadilan pertama sesuai dengan fakta dan penerapan hukum perikanan yang berlaku. Jika putusan pada pengadilan tingkat pertama dinilai sudah tepat dan benar, maka putusan tersebut tidak diubah, dan hakim ketua majelis meminta penuntut umum menyusun surat putusan yang akan diajukan secara langsung ke Mahkamah Agung tanpa adanya persidangan ulang namun apabila putusan pada pengadilan tingkat pertama tidak tepat dalam penerapan hukum dan tidak sesuai fakta maka putusan tersebut diperbaiki atau dibatalkan, sehingga pengadilan tingkat banding kembali mengadili perkara melalui proses persidangan. Pada proses persidangan, jika belum dianggap cukup atau adanya pengajuan banding kembali dari terdakwa, maka penuntut umum membuat surat permohonan ajuan banding ke tingkat kasasi.

Permasalahan pada proses pemeriksaan di sidang pengadilan banding adalah proses dan waktu pengajuan rencana tuntutan. Waktu 30 hari dirasa sangat singkat, karena proses banding berbeda pada proses penyidikan dan proses penuntutan yang ranahnya telah diklasifikasikan secara terpisah dari bidang kasus yang lain. Pada tingkat banding, kasus perikanan sudah masuk ke kasus yang tergabung dengan kasus pidana lainnya. Hal ini karena dalam UU Perikanan tidak mengatur secara khusus mengenai proses pada tingkat banding,sehingga sebagai konsekuensinya, hakim harus bergerak cepat untuk memeriksa berkas hingga penetapan putusan. Selain itu, masalah jarak antara Pengadilan Negeri Tanjung Pinang dengan Pengadilan Tinggi Pekanbaru yang jauh. Hal tersebut yang menjadi kendala dalam penanganan proses, karena membutuhkan waktu mingguan dalam pengiriman berkas perkara saja, hal ini memakan batas waktu penyelesaian perkara perikanan yang sudah ditentukan oleh UU Perikanan dan KUHAP. Alangkah lebih baik jika UU Perikanan dapat direvisi kembali dalam penentuan jangka waktu putusan pada tingkat banding atau dalam proses banding dapat dikhususkan untuk bidang perikanan.

Pengadilan tingkat kasasi

Proses tahap kasasi dilaksanakan di Mahkamah Agung Jakarta Pusat. Tujuan dilaksanakannya penyelesaian perkara pidana perikanan pada tahap kasasi, ditentukan berdasarkan UU No.14 tahun 2009 Pasal 30 ayat (1) yang menjelaskan bahwa tugas dari pengadilan kasasi di Mahkamah Agung hanya menilai putusan pengadilan tinggi berdasarkan pada unsur batas wewenang, penerapan hukum yang berlaku, dan pemenuhan syarat-syarat yang diwajibkan oleh undang-undang. Jika sesuai maka putusan akhir akan dikabulkan dan adanya perubahan hukum, jika tidak maka putusan akan di tolak. Kasus pidana perikanan di tahun 2010 - 2014 dari Pengadilan Negeri Tanjung Pinang atau Pengadilan Tinggi Pekanbaru yang dilanjutkan hingga tahap kasasi, tidak ada (0 %).

(23)

13 berkas perkara, dan menentukan 3 hal yaitu: peraturan hukum yang diterapkan atau tidak, cara mengadili dilaksanakan berdasarkan ketentuan undang-undang atau tidak, dan pengadilan telah melampaui batas wewenangnya atau tidak. Proses tersebut dapat diproses jika memori kasasi yang dibuat oleh penuntut umum/terdakwa telah diterima dalam waktu 14 hari setelah pengajuan permohonan kasasi, dimana memori kasasi berisi mengenai alasan alasan permohonan kasasinya (Gatot 2011). Sampai tahun 2014, proses peninjauan kembali pada pidana khusus perikanan tidak pernah terjadi, karena segala putusan akhir selalu berakhir pada tingkat kasasi/tingkat persidangan pengadilan pertama.

Permasalahan pada proses pemeriksaan di sidang pengadilan kasasi adalah jangka waktu yang diberikan pada tingkat kasasi. Hal tersebut dirasa kurang bagi Mahkamah Agung, karena pemutusan perkara perikanan digabungdengan pemutusan perkara pidana khusus di bidang lainnya seperti kasus korupsi, teroris, kehutanan, penerbanganyang dimana dalam proses penyelesaian perkara pidana khusus tergantung dengan nomor/tanggalnya berkas perkara masuk ke panitera Mahkamah Agung,sehingga dalam aplikasinya, jangka waktu pada tahap kasasi melebihi 30 hari.Hal ini yang menjadikan putusan perkara pada tahap banding menjadi berkekuatan tetap. Alangkah lebih baik jika UU Perikanan dapat direvisi kembali dalam penentuan jangka waktu putusan pada tingkat kasasi.

Tolak Ukur Efektivitas Sistem Peradilan Perikanan

Sistem peradilan mempunyai struktur dan subsistem yang seharusnya bekerja secara koheren, koordinatif, dan integratif agar dapat mencapai efisiensi dan efektif (Soekanto 1985). Efisiensi pada sistem peradilan merupakan kemampuan sistem peradilan pidana untuk menangkap, menahan, mengadili, dan menempatkan penjahat kedalam lembaga kemasyarakatan (Atmasasmita 1995). Sedangkan efektifitas terjadi jika adanya keserasian dalam hubungan empat faktor (Soekanto 2005) yaitu:

1. Faktor hukumnya sendiri, yang mencangkup isi dari perundang-undangan.Segi efektivitasnya dilihat dari peraturan apakah sudah sistematis atau sinkron mengenai kehidupan bidang tertentu dan secara kuantitatif maupun kuantitatif sudah cukup dalam mengatur bidang kehidupan tertentu.

2. Faktor penegak hukum, yaitu meliputi pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum. Segi efektivitasnya dilihat dari sejauh apakah petugas terikat oleh peraturan yang ada dan derajat sinkronisasi penugasan yang diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas yang tegas pada wewenangnya.

3. Faktor sarana atau fasilitas, yang mendukung penegakan hukum mencangkup tenaga manusia yang berkualitas (segi pendidikan dan keterampilan) dan tempat pelaksanaan penerapan hukum yang disediakan. Segi efektivitasnya dilihat fasilitas apa yang kurang dilengkapi, belum ada sehingga diperlukan untuk pengadaannya, atau yang sudah ada namun belum difungsikan secara maksimal.

(24)

14

Efektivikasi hukum berkaitan erat dengan faktor usaha dalam menanamkan hukum dalam masyarakat baik itu dalam penggunaan tenaga kerja, alat-alat, organisasi, dan metode agar masyarakat mengetahui, menghargai, mengakui, dan menaati hukum (Soemardjan 1965). Selain itu, efektivikasi hukum berkaitan dengan reaksi masyarakat, apakah hukum yang telah dibuat ditolak atau mungkin dipatuhi. Sehingga dapat ditarik kesimpulan, hukum akan semakin efektif apabila peranan yang dijalankan oleh para subjek hukum semakin mendekati apa yang telah ditentukan dalam hukum. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dirumuskan mengenai tolak ukur efektivitasan sistem peradilan perikanan yang dimulai dari tahap penyidikan, penuntutan, persidangan pertama, persidangan banding, hingga pada tahap kasasi adalah sebagai berikut.

Penyidikan

Jika dilihat pada tolak ukur efektivitas (Tabel 5), sistem peradilan perikanan pada tahap penyidikan di PSDKP Batam belum sepenuhnya dikatakan efektif. Hal ini karena dari faktor sarana prasarana seperti penerjemah bahasa asing yang terkadang tidak ada pada saat proses wawancara dengan tersangka, sehingga proses pemeriksaan ditunda sampai adanya penerjemah bahasa asing. Dari faktor masyarakat juga belum mendukung kegiatan pengawasan, namun kendala pada faktor masyarakat sedang ditangani oleh satuan kerja Batam dengan merencanakan penyuluhan untuk masyarakat sekitar untuk mendukung kegiatan pengawasan di bidang perikanan.

Tabel 5 Tolak ukur efektivitas tahap penyidikan

Faktor Tolak Ukur Efektivitasan Hasil

Hukum Berdasarkan UU No. 31 Tahun 2004

Penahanan tersangka harus dilaksanakan maksimal 20 hari semenjak ditemukannya tindak pidana perikanan hingga pada pemeriksaan dan jika perlu dilakukannya perpanjangan maka penahanan dapat diperpanjang maksimalselama jangka waktu 10 hari. Hal ini tercantum pada Pasal 73 ayat (6) dan ayat (7).

Sudah terpenuhi

Penegak Hukum

- Penyidik perikanan dan penyidik TNI AL yang beroperasi/berpatroli di ZEEI dan memiliki pengalaman administratif dilapangan.

- Penyidik Polri yang beroperasi di laut teritorial dan berpengalaman di bidang penyidikan.

- Ketiga penyidik wajib melakukan koordinasi untuk menjaga keamanan laut.

- Penerjemah bahasa asing terutama bahasa dari negara Singapura, Thailand, Malaysia, Pilipina. Hal ini untuk mempelancar dalam proses wawancara dan penyidikan dengan tersangka.

- Dermaga khusus untuk berlabuhnya kapal sitaan.

- Armada/kapal patroli yang layak untuk melakukan operasi pengawasan/patroli.

Belum terpenuhi

(25)

15

- Radar komunikasi, meriam, radar navigasi, senjata yang layak dan berfungsi. Alat ini digunakan untuk mendukung kegiatan operasi pengawasan/patroli.

- Tempat penahanan tersangka yang aman dan terawasi oleh penegak hukum.

- Tempat penyitaan barang bukti yang aman dan terawasi oleh penegak hukum.

- Kantor pengawas dan pos SATPOLAIR di sekitar tempat penahanan tersangka dan tempat penyimpanan barang bukti.

Sudah terpenuhi

Sudah terpenuhi

Sudah terpenuhi

Sudah terpenuhi

Masyarakat Memiliki kesadaran hukum yang tinggi dan mampu memberikan kontribusi dalam pengelolaan perikanan yang baik dan berkelanjutan.

Belum terpenuhi

Penuntutan

Jika dilihat pada tolak ukur efektivitas (Tabel 6), sistem peradilan perikanan pada tahap penuntutan di Kepulauan Riau belum sepenuhnya dikatakan efektif. Hal ini dikarenakan, dari segi faktor hukum dalam penentuan dakwaan, dimana dalam setiap dakwaan digunakannya ketentuan dakwaan subsider yang menimbulkan adanya multitafsir antara hukuman kurungan badan dan hukuman denda. Ketentuan subsider muncul karena narapidana nelayan asing yang tidak mampu membayar denda yang telah ditentukan UU Perikanan dan ketentuan subsider pun bertolak belakang dengan ketentuan konvensi internasional United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, yang tidak memperbolehkan penahanan dalam bentuk kurungan badan. Dakwaan subsider ini yang menjadi penyebab efek tidak jera pada tersangka perkara pidana perikanan, karena hukuman yang didakwaan terlalu ringan dan dapat dengan mudah dipenuhi oleh tersangka. Selain itu juga dari segi masyarakat yang belum dapat terlibat dalam memberi masukan mengenai kualifikasi penuntut umum dalam rangka pengangkatan penuntut umum, karena penilaian kualifikasi penuntut umum masih sepenuhnya dari intern kejaksaan agung.

Tabel 6 Tolak ukur efektivitas tahap penuntutan

Faktor Tolak Ukur Efektivitasan Hasil

Hukum Berdasarkan pada UU No 31 Tahun 2004

- Jangka waktu pemeriksaan pada tahap penuntutan diberikan waktu maksimal selama 10 hari yang pada prosesnya dimulai dari diterimanya kelengkapan berkas penyidikan kepada jaksa penuntut umum. Jika diperlukan dapat dilakukan perpanjangan pemeriksaan berkas oleh penuntut umum dalam jangka waktumaksimal selama 10 hari. Hal ini tercantum pada pasal 76.

- Ketentuan pidana penjara dan denda pada pelanggar hukum perikanan. Pasal 85 bagi pelanggar yang terkait dengan ketentuan alat penangkapan. Pasal 93 sampai pasal 100B, bagi pelanggar yang terkait dengan surat perizinan (SIPI, SIUP, dan SIKPI)

Sudah terpenuhi

(26)

16

Penegak Hukum

Jaksa penuntut umum yang berpengalaman minimal 2 tahun sehingga dapat dianggap sudah memiliki kemampuan teknis dalam menangani sejumlah perkara pidana, telah mengikuti pendidikan dan pelatihan teknis di bidang perikanan yang diselenggarakan oleh kejaksaan agung, dan memiliki integritas moral yang tinggi (dinilai secara intern oleh kejaksaan agung).

Sudah terpenuhi

Sarana dan Prasarana

Adanya:

- Kantor khusus penuntut umum. Tempat ini digunakan untuk kelancaran penuntut umum dalam penyelesaian berkas rencana tuntutan, surat dakwaan, dan meneliti berkas penyidikan.

- Penitipan barang bukti tersangka. Tempat ini digunakan selama diprosesnya berkas perkara diselesaikan.

Sudah terpenuhi

Sudah terpenuhi

Masyarakat Masyarakat sekitar dapat memberi masukan mengenai syarat penuntut umum dalam rangka pengangkatan penuntut umum melalui media elektronik.

Belum terpenuhi

Persidangan Pertama

Jika dilihat pada tolak ukur efektivitas (Tabel 7), sistem peradilan perikanan pada tahap pemeriksaan di Pengadilan Negeri Tanjung Pinang belum sepenuhnya dikatakan efektif. Hal ini dikarenakan, dari faktor sarana prasarana belum terpenuhi, yaitu ketersediaan penerjemah bahasa yang keberadaannya tidak menentu pada saat pelaksanaan persidangan di tingkat pertama, sehingga proses persidangan sering ditunda sampai penerjemah bahasa asing hadir di persidangan. Tabel 7 Tolak ukur efektivitas tahap persidangan pertama

Faktor Tolak Ukur Efektivitasan Hasil

Hukum Berdasarkan pada UU No 31 Tahun 2004

Pembatasan jangka waktu yang dimulai dari penerimaan surat dakwaan oleh jaksa penuntut umum hingga pada putusan di persidangan pertama diberikan waktu maksimal selama 20 hari, dan jika diperlukan diberikan perpanjangan maksimal selama 10 hari. Hal ini tercantum pada Pasal 80.

Sudah terpenuhi

Penegak Hukum

Adanya hakim karier dan hakim ad-hoc.

-Hakim karier yang kedudukannya sebagai ketua majelis pada saat persidangan dan mempunyai latar belakang pengalaman sebagai hakim umum yang sudah terbiasa menyidangkan perkara dan menguasai hukum acara pidana.

-Hakim ad-hoc yang persyaratannya harus memiliki pendidikan strata satu (S1) dari lingkungan perikanan (baik itu perguruan tinggi, organisasi maupun keahlian) dan berpengalaman minimal 5 tahun di bidangnya.

(27)

17

Sarana dan Prasarana

Adanya:

-Ruang persidangan yang layak

-Kantor khusus hakim ad-hoc dan hakim karier. Tempat ini digunakan untuk kelancaran hakim untuk memeriksa berkas perkara dari jaksa penuntut umum. -Ruang panitera untuk tempat mengumpulkan berkas perkara secara teratur sebelum diberikan kepada hakim untuk diperiksa.

-Kendaraan antar jemput khusus tersangka pidana perikanan. Dengan keadaan yang masih berfungsi dan aman. Kendaraan ini digunakan untuk mengantar dan menjemput tersangka dari tempat penahanan sementara ke pengadilan negeri.

-Penerjemah bahasa yang handal dalam berbahasa asing, terutama bahasa dari negara Thailand, Filipina, Singapura, dan Malaysia.

-Lembaga pemasyarakatan umum untuk penahanan tetap tersangka setelah putusan tersangka inkrah di persidangan.

Masyarakat Turut mendukung dan berkontribusi dengan mengikuti jalannya persidangan pada tingkat persidangan pertama.

Sudah terpenuhi

Banding

Jika dilihat pada tolak ukur efektivitas (Tabel 8), sistem peradilan perikanan pada tahap pemeriksaan di Pengadilan Tinggi Pekanbaru belum sepenuhnya dikatakan efektif. Hal ini karena dari faktor hukum, UU Perikanan yang menetapkan waktu pemeriksaan dan putusan kurang relevan dengan pelaksanaannya dan kenyataannya di lapangan. Begitu juga dari segi faktor sarana prasarana, dimana jarak antara Pengadilan Negeri Tanjung Pinang dengan Pengadilan Tinggi Pekanbaru yang menjadi kendala dalam pengiriman berkas perkara pidana perikanan yang akan diproses. Selain itu, dari segi faktor masyarakat yang belum terpenuhi karena masyarakat belum turut mendukung dan berkontribusi dengan mengikuti persidangan pada tingkat banding.

Tabel 8 Tolak ukur efektivitas tahap banding

Faktor Tolak Ukur Efektivitasan Hasil

Hukum -Berdasarkan pada UU No 31 Tahun 2004

Pembatasan jangka waktu yang dimulai dari penerimaan surat dakwaan hingga pada putusan di persidangan banding harus diselesaikan maksimal 20 hari, dan jika diperlukan diberikan perpanjangan yaitu selama 10 hari. Hal ini tercantum pada Pasal 82 ayat (2) dan Pasal 82 ayat (3).

-Permintaan banding dapat diajukan dalam tenggang waktu tujuh hari setelah putusan pengadilan pertama ditetapkan. Jika lewat, maka dianggap penuntut

Belum terpenuhi

(28)

18

umum tidak mengajukan permintaan banding sehingga putusan di persidangan pertama berkekuatan tetap. Hal ini tercantum pada KUHAP pasal 233 ayat (1) dan ayat (2)

Penegak Hukum

Hakim pengadilan tinggi yang dapat menilai secara objektif terhadap hasil putusan persidangan pertama, apakah hasil putusan telah benar dalam menilai fakta dan menerapkan hukum sesuai ketentuan.

Sudah terpenuhi

Sarana dan Prasarana

Adanya:

-Ruang persidangan yang layak.

-Kantor khusus hakim untuk memeriksa berkas perkara dari penuntut umum mengenai hasil putusan persidangan pertama.

-Kendaraan antar jemput khusus tersangka pidana perikanan, jika sekiranya dilakukan persidangan ulang.

-Penerjemah bahasa asing, jika sekiranya dilakukan persidangan ulang pada tahap banding.

-Lembaga pemasyarakatan umum untuk penahanan tetap tersangka setelah putusan tersangka inkrah di persidangan.

Masyarakat Turut mendukung dan berkontribusi dengan mengikuti persidangan pada tingkat banding.

Belum terpenuhi

Kasasi

Jika dilihat pada tolak ukur efektivitas (Tabel 9), sistem peradilan perikanan pada tahap pemeriksaan di Mahkamah Agung belum sepenuhnya dikatakan efektif. Hal ini karena dari segi faktor hukum, UU Perikanan yang menetapkan waktu pemeriksaan dan putusan kurang relevan dengan pelaksanaan dan kenyataannya di lapangan, karena terkendala dengan waktu pemeriksaan perkara pidana yang tergolong banyak untuk diperiksa di Mahkamah Agung.

Tabel 9 Tolak ukur efektivitas tahap kasasi

Faktor Tolak Ukur Efektivitasan Hasil

Hukum - Berdasarkan UUNo 31 tahun 2004

Jangka waktu yang diberikan dalam proses pemeriksaan hingga pada putusan akhir di Mahkamah Agung maksimal waktu yang diberikan selama 30 hari.

- Berdasarkan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

- pengajuan kasasi yang diajukan dalam wajib dalam waktu 14 hari setelah terdakwa menerima pemberitahuan putusan dari tingkat banding. Hal ini tercantum pada Pasal 245 ayat (1). Dan jika terlambat dari 14 hari, maka pengajuan kasasi akan ditolak, dan putusan terakhir berkekuatan

Belum terpenuhi

(29)

19

tetap, hal ini tercantum pada Pasal 246 ayat (2). - pemeriksaan kasasi berdasarkan 3 aspek yaitu

pada : peraturan hukum ditetapkan atau tidak, cara mengadili pengadilan dibawahnya sesuai ketentuan/tidak, dan batas wewenang pengadilan dibahnya melampaui batas atau tidak. Hal ini tercantum pada Pasal 253 ayat (1).

Sudah terpenuhi

Penegak Hukum

Hakim Agung yang dapat menilai secara objektif terhadap hasil putusan pengadilan tingkat pertama maupun tingkat banding, dan dapat apakah pengajuan banding dapat dikabulkan atau tidak, yang didasarkan pada penilaian pada KUHAP Pasal 253 ayat (1).

Sudah terpenuhi

Sarana dan Prasarana

Adanya:

-Ruang majelis hakim untuk memeriksa berkas perkara dari penuntut umum mengenai hasil putusan persidangan pertama.

-Ruang panitera untuk menerima memori kasasi dari pihak terdakwa maupun penuntut umum.

-Ruang koordinasi pidana khusus untuk mendiskusikan hasil putusan akhir.

Sudah terpenuhi

Masyarakat Masyarakat turut mendukung dan berkontribusi dengan mengikuti perkembangan putusan akhir Mahkamah Agung.

Belum terpenuhi

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan uraian terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), serta deskripsi proses peradilan perikanan dan kajian terhadap pelaksanaan hukum acara perikanan di wilayah Riau, maka dapat disimpulkan bahwa sistem peradilan perikanan di wilayah Riau belum dapat dikatakan efektif. Hal ini karena pada setiap tahap masih belum memenuhi faktor efektivitas seperti faktor hukum, penegak hukum, sarana prasarana dan faktor masyarakat yang seyogianya dapat dipenuhi, agar suatu kaidah hukum perikanan dalam proses sistem peradilan perikanan benar-benar berfungsi.

Saran

(30)

20

DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita,R.1995.Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Bandung: Penerbit Mandar Maju

Fauzi,A.2005.Kebijakan Perikanan dan Kelautan Issue, Sintesis, dan Gagasan. Bogor: Gramedia Pustaka Utama

Gatot,S.2011.Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana Di Bidang Perikanan.Jakarta: Penerbit Rineka Cipta

Idrus,M.2009.Metode Penelitian Ilmu Sosial.Jakarta: Penerbit Erlangga

Jevons,B.2013.Integrated Criminal Justice System Terhadap Sistem Peradilan Tindak Pidana Perikanan. Lex Crimen. 2(7):93-100

Nikijuluw,V.2008. Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Illegal Blue Water Crime. Jakarta: PT Pustaka Cidesindo

Pengadilan Tanjung Pinang Kepulauan Riau.2013.Register Induk Perkara Pidana Perikanan

Soekanto,S. 2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Jakarta: Rajawali Press

Soekanto,S. 1985. Efektivikasi Hukum dan Peranan Sanksi. Bandung: Penerbit Remadja Karya CV Bandung

Soemardjan,S. 1965. Perkembangan Politik sebagai Penggerak Dinamik Pembangunan Ekonomi.Jakarta: Fakutas Ekonomi,Universitas Indonesia Undang – Undang Perikanan nomor 31 tahun 2004

(31)

21

LAMPIRAN

Lampiran 1 Kelembagaan dalam sistem peradilan perikanan

Kantor utama SatKer PSDKP Batam Kantor pasukan TNI AL Batam

Rumah tahanan sementara (luar) Rumah tahanan sementara (dalam )

(32)

22

Lampiran 1 (Lanjutan)

Pengadilan Negeri Tanjung Pinang Pengadilan khusus perikanan Tanjung Pinang

Pengadilan tinggi Pekanbaru, Riau

(33)

23 Lampiran 2 Perkara, proses hukum, dakwaan dan putusan perkara pidana perikanan di perairan Kepulauan Riau dari bulan Januari 2013 sampai Juli 2013

No Perkara Proses

Hukum

Putusan / Dakwaan Perkara di Pengadilan Perikanan Tanjung Pinang Lokasi : posisi koordinat

01o52’80’’ LU - bersalah melakukan tindak pidana

perikanan “dengan sengaja di perairan

Indonesia melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan ikan yang tidak

memiliki SIUP”

2.Menjatuhkan pidana dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 8 (delapan) bulan serta denda sebesar Rp 500.000.000 dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dapat dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.

3.Menetapkan lamanya masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa akan dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

4.Menetapkan barang bukti dalam perkara, berupa 1 unit kapal, 1 GPS, alat komunikasi radio, kompas, dirampas oleh negara. Dan ikan campuran (150kg), 1 unit jaring trawl, dirampas untuk dimusnahkan

5.Terdakwa wajib membayar biaya perkara sebesar Rp.5000 (lima ribu rupiah)

2 Tersangka : Dji Nang

1. Menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perikanan:

“dengan sengaja di perairan Indonesia

melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan yang tidak memiliki SIUP.

2. Menjatuhkan pidana dengan pidana penjara selama 1(satu) tahun dan 8 (delapan) bulan serta denda sebesar Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dapat dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.

(34)

24

4. Menetapkan barang bukti dalam perkara berupa 1 unit kapal, 1 unit GPS, 1 unit radio, 1 unit kompas Sea Monster, dirampas untuk negara. Dan 1 unit jaring trawl, 150 kilogram ikan campuran, dirampas untuk dimusnahkan

5. Terdakwa wajib membayar biaya perkara sebesar Rp.5000 (lima ribu Indonesia melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan ikan tidak memiliki SIUP.

2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah supaya tetap ditahan dan denda sebesar Rp 1.500.000.000 (satu milyar lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidaa kurungan selama 3 (tiga) bulan.

4. Terdakwa wajib membayar biaya perkara sebesar Rp.5000 (lima ribu Lokasi : posisi koordinat

01o01’36’’ LU – 105o

1. Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: “secara bersama-sama dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan RI mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing di ZEEI dan tidak memiliki SIUP.

(35)

25

ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka akan diganti dengan hukuman kurungan selama 3 (tiga) bulan.

3. Menetapkan masa tahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan 4. Menetapkan barang-barang bukti

berupa 1 unit kapal, 1 buah GPS, 1 buah radio, 1 buah kompas, di rampas untuk negara. Dan 1 unit jaring trawl, 200 kilogram ika campur, dirampas untuk dimusnahkan.

5. Terdakwa wajib membayar biaya perkara sebesar Rp.5000 (lima ribu

1. Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana: “secara

bersama-sama dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan RI mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing di ZEEI dan tidak memiliki SIUP.

2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana senda sebesar Rp 1.500.000 (satu milyar lima ratus juta rupiah)

3. Menetapkan barang bukti berupa 1 unit kapal, 1 buah kompas express, dan 1 unit radio yang dirampas untuk negara. Dan 1 palkah es curah yang dirampas untuk dimusnahkan.

4. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp 5000 (lima ribu

1. Menyatakan terdakwa terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dan/atau mengoperasikan kapal penangkapan ikan berbendera asing di ZEEI dan tidak memiliki SIPI

2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan denda pidana sebesar Rp 1.500.000.000 (satu milyar lima ratus juta rupiah)

(36)

26

radio, yang dirampas untuk negara. Dan 1 unit alat penangkap ikan pair trawl dan 1000 kilogram ikan campur yang dirampas untuk dimusnahkan.

4. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp 5000 (lima ribu dan meyakinkan bersalah melakukan

tindak pidana: “dengan sengaja

melakukan usaha perikanan dibidang penangkapan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki SIUP

2. Menyatakan pidana dengan pidana denda sebesar Rp 1.500.000 (satu milyar lima ratus juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar seluruhnya oleh terdakwa, maka diganti dengan pidana denda kutungan selama 6 (enam) bulan 3. Menetapkan barang bukti berupa 1 unit

kapal, 1 buah kompas, 1 unit radio yang dirampas untuk negara. Dan 1 alat tangkap pancing rawai (longline), 1 unit alat bantu penangkapan ikan berupa winch, 100 kilogram ikan, dirampas untuk dimusnahkan.

(37)

27

melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan yang tidak memiliki

SIUP”

2. Menjatuhkan pidana pada pidana denda sebesar Rp 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dapat dibayar sepenuhnya, maka digantikan dengan kurungan selama 6 (enam) bulan

3. Menetapkan barang bukti berupa: uang hasil lelang kapal sebesar Rp 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah) dirampas oleh negara. Dan 100 kilogram ikan pari dan lumandang, dirampas untuk dimusnakan.

4. Terdakwa wajib membayar biaya perkara sebesar Rp.5000 (lima ribu

1. Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana: “dengan

sengaja di ZEEI melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan ikan yang tidak memiliki SIUP

2. Menjatuhkan pidana denda sebesar Rp 2.000.000.000 (dua milyar rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka digantikan dengan hukuman kurungan selama 6

(38)
(39)

29

1. Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: telah melakukan perbuatan atau turut serta melakukan perbuatan atau turut serta melakukan perbuatan dengan sengaja di WPP RI melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, tidak memiliki SIUP

2. Menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan 8 (delapan) bulan serta denda sebesar Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) atau subsidair 6 (enam) bulan kurungan

3. Memerintahkan barang bukti berupa: 1 unit kapal ikan, 1 unit alat navigasi dan komunikasi, dirampas untuk negara. 4. Membebankan kepada terdakwa untuk

membayar biaya pidana sebesar Rp

1. Menetapkan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana:

“menggunakan alat penangkap ikan

yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan berupa jaring trawl

2. Menghukum pidana dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan denda Rp 1.000.000 (satu milyar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar seluruhnya oleh terdakwa maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.

3. Menetapkan barang bukti : 1 unit kapal, 1 unit kompas, 1 unit GPS, 1 unit radio yang dirampas untuk negara. Dan 1 unit alat tangkap trawl yang dirampas untuk dimusnahkan.

(40)

30

membayar biaya pidana sebesar Rp 5000 (lima ribu rupiah)

19 Tersangka : Aung Wlim Asal : Myanmar Nama Kapal : PKFA 7773 Bendera : Myanmar Penangkap : HIU 003 Tanggal : 11 Juni 2013

P-21 -

20 Tersangka : Nguyen Van Lat Asal : Vietnam

Nama Kapal : QNG 90243 TS Bendera : Vietnam Penangkap : HIU 009 Tanggal : 23 Juni 2013

Lokasi : posisi koordinat 01o

22’ 735’’ LU – 105o

02’ 705’’ BT

Pelanggaran : pasal 26 ayat (1) UU no.31 tahun 2004 tentang perikanan

P-21 -

21 Tersangka : Tran Nam Asal : Vietnam Nama Kapal : QNG 95004 TS Bendera : Vietnam Penangkap : HIU 009 Tanggal : 22 Juni 2013

Lokasi : posisi koordinat 01o

24,977’ LU – 104o

58’ 330’’ BT

Pelanggaran : pasal 26 ayat (1) UU no.31 tahun 2004 tentang perikanan

P-21 -

Sumber : Buku Regiter Induk Perkara Pidana Perikanan, Pengadilan Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. 2013

Keterangan :

Kode Perkara Arti

P-19 Pengembalian berkas perkara untuk dilengkapi

P-21 Pemberitahuan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap

(41)

31

Riwayat Hidup

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 26 November 1992 dari pasangan Bapak Pandapotan Napitupulu dan Ibu Roulina Simamora. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2004 di SD Budi Mulia Bogor. Lalu pada tahun 2007 penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertamanya di SMP Budi Mulia Bogor. Tahun 2010 penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengahnya di SMA Budi Mulia Bogor. Selanjutnya di tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan melalui jalur UTM (Ujian Talenta Masuk).

Gambar

Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian
Tabel 1 Jumlah perkara kegiatan tindak pelanggaran perikanan
Tabel 2 Jangka waktu penahanan dan perpanjangan menurut KUHAP
Tabel 5  Tolak ukur efektivitas tahap penyidikan
+5

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Instruksi Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.03- UM.06.02 Tahun 1999 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Bantuan Hukum Bagi

Algoritma adalah urutan langkah-langkah logis penyelesaian masalah yang disusun secara sistematis dan logis. Logis adalah hal yang pokok dalam algoritma, arti logis adalah masuk

Ruang lingkup penelitian dibatasi pada analisis struktur support pemegang sumber dan karakterisasi yang meliputi pengujian kinerja sistem kendali dan kinerja

Akan tetapi, yang menjadi menarik dalam proses adaptasi film Sang Penari ialah bahwa film ini dianggap lebih mewakili isi cerita novel Ronggeng Dukuh Paruk jika dibandingkan dengan

Didapatkan data bahwa dari perawat dengan level 6 dan level 5 , sebagian besar responden mengatakan bahwa jenjang karirnya sesuai dan mereka mendapatkan kepuasan

Jumlah leukosit setelah pemberian seduhan daun kelor menunjukkan perbedaan yang signifikan pada kelompok perlakuan ( p =0,008) dengan penurunan rerata yang lebih besar

Penelitian ini membahas tentang hasil belajar pada pokok bahasan plantae dengan menggunakan model pembelajaran bercerita berpasangan dan bertukar pasangan. Model

isi 92,31 Sangat tinggi Berdasarkan persentase jawaban guru tersebut, dapat disimpulkan bahwa aspek grafika dan kesesuaian isi prosedur praktikum berbasis green chemistry