• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Habitat Joja (Presbytis potenziani Chasen & Kloss, 1928) di Areal IUPHHK-HA PT Salaki Summa Sejahtera, Sumatera Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Habitat Joja (Presbytis potenziani Chasen & Kloss, 1928) di Areal IUPHHK-HA PT Salaki Summa Sejahtera, Sumatera Barat"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK HABITAT JOJA (

Presbytis potenziani

Chasen

& Kloss, 1928) DI AREAL IUPHHK-HA PT SALAKI SUMMA

SEJAHTERA, SUMATERA BARAT

UTOMO PRANOTO

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Habitat Joja (Presbytis potenziani Chasen & Kloss, 1928) di Areal IUPHHK-HA PT Salaki Summa Sejahtera, Sumatera Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

UTOMO PRANOTO. Karakteristik Habitat Joja (Presbytis potenziani Chasen & Kloss, 1928) di Areal IUPHHK-HA PT Salaki Summa Sejahtera, Sumatera Barat. Dibimbing oleh AGUS PRIYONO KARTONO dan LILIK BUDI PRASETYO.

Aktivitas penebangan pohon dalam kegiatan IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) mengakibatkan habitat joja (Presbytis potenziani) terganggu. Joja merupakan salah satu jenis primata endemik di Kepulauan Mentawai. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi karakteristik habitat joja di hutan bekas tebangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa habitat joja adalah areal-areal yang memiliki kerapatan pohon sebesar 408.34 ind/ha dan nilai leaf area index (LAI) berkisar antara 2.7–3.2. Areal tersebut berada di ketinggian 50–100 mdpl, dengan kemiringan lahan berkisar antara 15–25%, berjarak 200–300 meter dari jalan sarad atau jalan utama dan berjarak 300–400 meter dari sungai.

Kata kunci: IUPHHK, joja, karakteristik habitat, Mentawai

ABSTRACT

UTOMO PRANOTO. Habitat Characteristic of Joja (Presbytis potenziani Chasen and Kloss, 1928) on the Area of PT Salaki Summa Sejahtera, West Sumatera. Supervised by AGUS PRIYONO KARTONO and LILIK BUDI PRASETYO.

Logging activity in IUPHHK (License for Natural Forest Timber Consesion) activity disturb habitat of joja (Presbytis potenziani). Joja is one of endemic primates in Mentawai Island. This research aimed to analize joja habitat characteristics on logged over forests. The result showed that joja habitat were areas that had trees density of 408.34 ind/ha with leaf area index (LAI) values ranges from 2.7–3.2. The area located at altitude of 50–100 meters above sea level, on at slope between 15–25%, Joja was found within 200–300 meters from the main road or skid trail, and within 300–400 meters from the river.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

KARAKTERISTIK HABITAT JOJA (

Presbytis potenziani

Chasen

& Kloss, 1928) DI AREAL IUPHHK-HA PT SALAKI SUMMA

SEJAHTERA, SUMATERA BARAT

UTOMO PRANOTO

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Karakteristik Habitat Joja (Presbytis potenziani Chasen & Kloss, 1928) di Areal IUPHHK-HA PT Salaki Summa Sejahtera, Sumatera Barat

Nama : Utomo Pranoto NIM : E34090082

Disetujui oleh

Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi Pembimbing I

Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang diambil penulis untuk tulisan ini adalah Karakteristik Habitat Joja (Presbytis potenziani Chasen & Kloss, 1928) di Areal IUPHHK-HA PT Salaki Summa Sejahtera, Sumatera Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Agus Priyono Kartono MSi dan Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo MSc selaku pembimbing. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf PT Salaki Summa Sejahtera, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga untuk keluarga besar Himakova, keluarga besar Anggrek Hitam, Desi Ratnasari, Romy Prasetyo, Dedy Setyawan, Widiantoro Cahyo Setyawan, Hafiyyan Sastranegara, Deddy Irawan, Intan Purnamasari dan semua sahabat, atas suka duka dan dukungannya selama ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Mama, adik-adikku dan seluruh keluarga tercinta, atas segala dukungan, doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 1

METODE 2

Waktu dan Lokasi Penelitian 2

Bahan 2

Alat 2

Metode Pengumpulan Data 3

Analisis Data 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 7

Komponen Biotik Habitat Joja 8

Komponen Fisik Habitat Joja 10

SIMPULAN DAN SARAN 15

Simpulan 15

Saran 15

DAFTAR PUSTAKA 15

(10)

DAFTAR TABEL

1 Jumlah individu joja yang ditemukan berdasarkan kerapatan

vegetasi dan LAI 8

2 Jumlah individu joja yang ditemukan berdasarkan ketinggian

tempat 10

3 Jumlah individu joja yang ditemukan berdasarkan kemiringan

lahan 11

4 Jumlah individu joja yang ditemukan berdasarkan jarak dari

sungai 12

5 Jumlah individu joja yang ditemukan berdasarkan jarak dari jalan 14

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi penelitian 2

2 Desain inventarisasi vegetasi 3

3 Proses pembuatan peta kelas leaf area index (LAI) 6 4 Proses pembuatan peta kelas ketinggian tempat dari permukaan

laut dan kemiringan lahan 6

5 Proses pembuatan peta kelas jarak dari sungai 7

6 Proses pembuatan peta kelas jarak dari jalan 7

7 Peta kelas LAI 9

8 Peta kelas ketinggian tempat dari permukaan laut 11

9 Peta kelas kemiringan lahan 12

10 Peta kelas jarak dari sungai 13

11 Peta kelas jarak dari jalan 14

12 Joja yang berada pada pohon Aphanamixis grandifolia 22

13 Joja yang sedang istirahat 22

DAFTAR LAMPIRAN

1 Sebaran vegetasi di lokasi penelitian 17

2 Daftar jenis pohon pakan joja 21

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Aktivitas penebangan pohon dalam kegiatan IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) mengakibatkan habitat dan populasi satwa di areal tersebut menjadi terganggu khususnya primata. Bismark (2007) menyatakan bahwa tingkat pemanfaatan hutan melalui kegiatan HPH (Hak Pengusahaaan Hutan) secara intensif dapat menurunkan populasi primata. Dampak dari kegiatan IUPHHK adalah terjadinya fragmentasi habitat. Fragmentasi habitat terjadi karena adanya pembuatan jalan utama dan jalan-jalan sarad sebagai akses pengangkutan kayu hasil tebangan dari dalam kawasan ke tempat pengumpulan. Hal ini dapat mengakibatkan beberapa primata yang memanfaatkan tajuk pohon untuk melakukan aktivitas menjadi terganggu. Whitten et al. (1984) diacu dalam Handayani (2008) menyatakan bahwa pengaruh gangguan hutan akibat penebangan terutama pada bagian tajuk hutan akan merubah komposisi pakan dan pola perjalanan yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap perilaku sosial dan populasi satwa.

Joja (Presbytis potenziani Chasen & Kloss, 1928) merupakan salah satu jenis primata endemik di Kepulauan Mentawai. Primata ini bersifat arboreal sehingga sangat membutuhkan tajuk-tajuk pohon yang relatif bertautan untuk melakukan aktivitas perpindahan dan mencari pakan. Sumber pakan utama bagi joja adalah daun, tetapi joja juga memakan buah dan biji. Fuentes (1996) menyatakan bahwa joja memakan buah dan biji sebanyak 32%. Hilangnya tajuk pohon yang bertautan dapat mengakibatkan timbulnya kesulitan bagi joja untuk mendapatkan pakan. Pakan joja sebagian besar berada di tajuk pohon. Rahayuni (2007) menyatakan bahwa buah dan biji lebih mudah diperoleh di bagian tajuk dibandingkan bagian pohon lainnya.

Pelestarian habitat joja perlu dilakukan agar populasinya tetap terjaga. Penelitian mengenai karakteristik habitat joja di areal bekas tebangan sangat diperlukan sebagai langkah awal upaya pelestarian habitat joja.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi karakteristik habitat joja di areal hutan bekas tebangan IUPHHK-HA PT Salaki Summa Sejahtera.

Manfaat Penelitian

(12)

2

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengumpulan data di lapang dilaksanakan pada 26 Juli-23 September 2013 di areal IUPHHK-HA PT Salaki Summa Sejahtera, Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat. Penelitian dilakukan di areal kebun benih (100 ha), Logged Over Area (LOA) umur 1 tahun (1 193.73 ha) dan Logged Over Area (LOA) umur 6 tahun (1 000 ha). Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan dan Permodelan Spasial, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer Global Digital Elevation Model (ASTER GDEM), peta Citra Landsat Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+7) bulan Mei 2013 path/row 128/61, peta batas areal kerja, peta jaringan sungai dan peta jalan areal kerja PT Salaki Summa Sejahtera.

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah binokuler, kamera Digital Single Lens Reflex (DSLR) Canon D1000, tripod, lensa fish eye,

(13)

3 Global Positioning System (GPS), tali rafia, tambang, meteran, kompas, software Hemiview 2.1, Minitab 14, SPSS v 20, ArcGIS 10.1 dan ERDAS IMAGINE 9.1.

Metode Pengumpulan Data Pengamatan joja

Pengamatan joja dilakukan dengan menggunakan metode perjumpaan langsung (direct encounter). Lama pengamatan yang dilakukan adalah 2 hari di kebun benih, 10 hari di LOA 1 tahun dan 10 hari di LOA 6 tahun. Pengamatan dilakukan pada pagi (07.00–11.00) dan sore (15.30–18.30) dengan cara mengeksplorasi areal penelitian. Data yang dikumpulkan adalah posisi kehadiran joja yang ditandai menggunakan GPS, aktivitas yang dilakukan dan jumlah individu yang teramati.

Komponen Biotik Habitat

Pengumpulan data kondisi biotik habitat joja dilakukan melalui analisis vegetasi dan pengambilan foto Leaf Area Index (LAI) menggunakan teknik hemispherical photography. Analisis vegetasi bertujuan memperoleh data kerapatan dan frekuensi setiap jenis vegetasi yang terdapat di lokasi perjumpaan joja. Inventarisasi vegetasi dilakukan dengan menggunakan metode petak tunggal. Setiap petak tunggal berukuran 20 m x 20 m, selanjutnya dibuat sub petak berukuran 2 m x 2 m untuk pengamatan tingkat semai, 5 m x 5 m untuk tingkat pancang, 10 m x 10 m untuk tingkat tiang dan 20 m x 20 m untuk tingkat pohon. Titik pusat petak pengamatan vegetasi ditempatkan pada lokasi ditemukan joja. Pada setiap titik perjumpaan joja dibuat tiga petak tunggal dengan jarak 20 m antara satu petak dengan petak yang lain (Gambar 2). Data yang dikumpulkan meliputi jenis pohon dan jumlah individu setiap jenis.

Hemispherical photography adalah teknik fotografi untuk tumbuhan yang memiliki karakteristik berupa kanopi yang diambil menggunakan kamera DSLR beserta lensa fish eye. Foto yang dihasilkan merupakan gambaran geometri dari bukaan tajuk. Hasil tersebut dapat mengindikasikan tipe tutupan lahan melalui LAI dan penyebaran sudut daun (Anderson 1964 diacu dalam Rich 1990). LAI pertama kali didefinisikan oleh Chen & Black tahun 1992, yakni LAI merupakan luas tajuk per satuan luas permukaan

Gambar 2 Desain inventarisasi vegetasi

Keterangan : A = petak pengamatan untuk tingkat pohon, B = petak pengamatan untuk tingkat

(14)

4

tanah (Chen et al. 1997), yang berarti bahwa m2 area tajuk per m2 area tanah (Allen et al. 1990).

Foto yang diperoleh diolah dengan menggunakan software Hemiview 2.1 untuk memperoleh nilai LAI. Nilai LAI selanjutnya dilakukan analisis regresi linier sederhana dengan nilai Normalized Different Vegetation Index (NDVI) menggunakan software Minitab 14 sehingga diperoleh persamaan hubungan LAI dengan NDVI. Persamaan tersebut kemudian diolah menggunakan software ERDAS Imagine 9.1 untuk menghasilkan peta LAI. Komponen Fisik Habitat

Data komponen fisik habitat yang digunakan merupakan data sekunder yang diperoleh dari hasil analisis spasial peta ASTER GDEM, peta Citra Landsat ETM+ 7. Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan software ArcGis 10.1 dan ERDAS Imagine 9.1. Hasil yang diperoleh selanjutnya disusun kedalam 4 layer yang meliputi layer ketinggian tempat diatas permukaan laut, kemiringan lahan, jarak posisi ditemukannya joja dari sungai serta jarak posisi ditemukannya joja dari jalan sarad atau jalan utama.

Analisis Data Komponen Biotik Habitat

Jumlah individu joja yang ditemukan diregresikan dengan variabel biotik (kerapatan pohon, kerapatan pohon pakan dan LAI) dan variabel fisik (ketinggian tempat, kemiringan lahan, jarak ditemukannya joja dari sungai dan jarak ditemukannya joja dari jalan) untuk melihat hubungannya. Hasil dari analisis vegetasi diolah menggunakan persamaan untuk menduga nilai kerapatan setiap jenis. Persamaan yang digunakan adalah :

Kerapatan suatu jenis (K) = ∑Individu suatu jenis/Luas plot pengamatan (ind/ha)

Peta NDVI diperoleh dengan mengolah citra landsat menggunakan software ERDAS 9.1 dengan persamaan :

Hasil analisis regresi linier antara nilai LAI dan nilai NDVI digunakan untuk membuat Peta LAI. Proses pembuatan peta LAI disajikan pada Gambar 3.

Komponen Fisik Habitat

Peta ASTER GDEM merupakan peta ketinggian. Peta tersebut kemudian diolah menggunakan perangkat lunak ArcGis 10.1 untuk peta ketinggian tempat dari permukaan laut dan peta kemiringan lahan. Alur proses pembuatan peta ketinggian dan kemiringan lahan disajikan pada Gambar 4. Peta jarak posisi ditemukannya dari sungai dibuat dengan memanfaatkan peta jaringan sungai (vektor) yang dianalisis menggunakan

(15)

5 software ArcGIS 10.1. Alur proses pembuatannya disajikan pada Gambar 5. Peta jarak posisi ditemukannya joja dari jalan sarad atau jalan utama dibuat menggunakan peta jaringan jalan (vektor) yang diolah dengan software ArcGIS 10.1. Alur proses pembuatannya disajikan pada Gambar 6.

Hubungan antara komponen biotik habitat joja (kerapatan vegetasi, kerapatan pohon pakan dan LAI) dan komponen fisik habitat joja (ketinggian tempat, kemiringan lahan, jarak ditemukannya joja dari sungai dan jarak ditemukannya joja dari jalan) dengan jumlah individu joja yang ditemukan dilakukan dengan analisis regresi linier berganda menggunakan metode stepwise. Persamaan yang digunakan adalah :

Y = a0 + a1X1 + a2X2 + ... + a10X10

Keterangan :

Y = Jumlah individu joja ditemukan X1 = Kerapatan vegetasi tingkat semai

X2 = Kerapatan vegetasi tingkat pancang

X3 = Kerapatan vegetasi tingkat tiang

X4 = Kerapatan vegetasi tingkat pohon

X5 = Kerapatan pohon pakan

X6 = Leaf Area Index (LAI)

X7 = Ketinggian tempat dari permukaan laut

X8 = Kemiringan lahan

X9 = Jarak ditemukannya joja dari sungai

X10 = Jarak ditemukannya joja dari jalan

an = Koefisien regresi

a0 = Nilai intersep

Analisis sidik ragam dengan menggunakan uji F pada tingkat kepercayaan 5% dilakuan untuk melihat keeratan hubungan antar variabel. Hipotesa yang digunakan adalah :

H0 = Variabel X tidak berhubungan dengan variabel Y

H1 = Minimal ada 1 variabel X yang berhubungan dengan variabel Y

Jika F-hitung ≤ F0.05;db, maka terima H0 dan jika F-hitung > F0.05;db, maka

tolak H0.

Uji t dilakukan untuk mengetahui masing-masing variabel bebas yang berpengaruh terhadap variabel terikatnya. Hipotesa yang digunakan adalah :

H0 = Variabel bebas (X) tidak berhubungan nyata dengan variabel terikat

(Y)

H1 = Variabel bebas (X) berhubungan nyata dengan variabel terikat (Y)

Jika t-hitung ≤ t0.05;db, maka terima H0 dan jika t-hitung > t0.05;db, maka tolak

(16)

6

Gambar 4 Proses pembuatan peta kelas ketinggian tempat dari permukaan laut dan kelas kemiringan lahan

ASTER GDEM

Peta Kelas Ketinggian Surface

Slope

Peta Kelas Kemiringan Lahan Pengkelasan Kemiringan Lahan Gambar 3 Proses pembuatan peta kelas leaf area index (LAI)

Hemispherical Photograph

Foto

Calculate

Analisis Regresi

Model Maker

Peta NDVI Koordinat

Nilai NDVI Nilai LAI

Peta Kelas LAI Pengkelasan LAI Citra Landsat

Pemotongan Citra

Koreksi Geometri

(17)

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kepulauan Mentawai terletak 85 sampai 135 km dari pesisir pantai Sumatera Barat (Whittaker 2006) dan secara administratif termasuk ke dalam Provinsi Sumatera Barat. Kepulauan Mentawai terdiri atas beberapa pulau, antara lain Sipora, Pagai Utara, Pagai Selatan dan Siberut. Pulau Siberut memiliki tujuh tipe ekosistem hutan, yaitu hutan primer Dipterocarpaceae, hutan primer campuran, hutan sekunder Dipterocarpaceae, hutan rawa air tawar, hutan mangrove, hutan rawa sagu dan hutan pantai (BTNS 2003). Dipterocarpaceae merupakan salah satu

Gambar 6 Proses pembuatan peta kelas jarak dari jalan Peta Jalan

Spatial analyst

Distance

Euclidean Distance

Pengkelasan jarak Peta jarak jalan

Gambar 5 Proses pembuatan peta kelas jarak dari sungai Peta Sungai

Spatial analyst

Distance

Euclidean Distance

(18)

8

jenis pohon yang bernilai ekonomi tinggi sehingga banyak dimanfaatkan oleh perusahaan IUPHHK, seperti PT Salaki Summa Sejahtera (PT SSS).

Areal PT SSS merupakan areal bekas PT Tjirebon Agung yang telah berhenti beroperasi pada tahun 1993. PT SSS memiliki areal kerja seluas 47 605 ha yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor-SK.654/Menhut-II/2010, tanggal 22 November 2010. PT SSS memiliki kelas tutupan lahan sebanyak 3 kelas, yaitu kelas hutan primer, kelas hutan bekas tebangan dan kelas bukan hutan. Luas areal hutan bekas tebangan lebih banyak dari areal lainnya, yaitu 42 457 ha atau sekitar 89.19%. Luas hutan primer dan areal bukan hutan masing-masing adalah 455 ha dan 4 693 ha. Sungai yang berada di areal PT SSS merupakan tipe sungai efluent dan influent (ICS 2012).

Komponen Biotik Habitat Joja

Hutan primer merupakan habitat utama bagi joja. Fuentes (1996) menyatakan bahwa Presbytis potenziani menggunakan hutan primer sebagai habitatnya dengan persentasi sebesar 72.1%, hutan sekunder 19.1% dan kebun atau habitat yang terganggu sebesar 8.8%. Selain hutan primer, hutan sekunder atau areal bekas tebangan juga dapat menjadi habitat bagi joja. Bismark (1984) menyatakan bahwa Presbytis spp. mampu menyesuaikan diri dengan bentuk hutan sekunder. Kerapatan merupakan gambaran mengenai jumlah vegetasi dalam suatu luasan areal tertentu. Lokasi perjumpaan, jumlah individu, nilai kerapatan vegetasi dan nilai LAI di lokasi ditemukannya joja disajikan pada Tabel 1.

Lokasi yang memiliki nilai regenerasi hutan yang baik adalah LOA 1 tahun. Hal ini terlihat dari nilai kerapatan untuk tingkat semai dan pancang di LOA 1 tahun memiliki nilai lebih besar daripada LOA 6 tahun. Selain itu, frekuensi dan kerapatan untuk tingkat tiang dan pohon di LOA 1 tahun memiliki nilai yang cukup tinggi. Kondisi ini mengindikasikan bahwa proses penebangan di LOA 1 tahun lebih baik daripada di LOA 6 tahun.

Joja lebih banyak ditemukan di lokasi yang memiliki nilai kerapatan tiang dan pohon yang tinggi. Kondisi ini dapat dilihat dari jumlah individu yang ditemukan di lokasi perjumpaan yang memiliki nilai kerapatan tiang dan pohon paling tinggi, yaitu di LOA 1 tahun. Joja yang ditemukan di Tabel 1 Jumlah individu joja yang ditemukan berdasarkan kerapatan vegetasi

dan LAI

Semai Pancang Tiang Pohon Pohon pakan Kebun

beniha 1 11 666.67 1 466.67 66.67 25 0

LOA 1

tahunb 7 36 666.66 9 066.66 433.34 408.34 233.33 LOA 6

tahunb 6 17 500 4 000 366.66 291.66 166.66

a

(19)

9 lokasi ini lebih banyak daripada lokasi lain, yaitu 7 individu. Hal ini dikarenakan joja membutuhkan pohon untuk mendukung aktivitasnya, khususnya pada bagian tajuk pohon. Rahayuni (2007) menyatakan bahwa joja lebih sering melakukan aktivitas di pohon yang memiliki tinggi total berkisar antara 21–25 m, sebesar 34% dari total aktivitasnya. Hadi et al. (2012) juga menyatakan bahwa joja lebih banyak memanfaatkan tajuk yang berada pada pohon yang memiliki tinggi total berkisar antara 16–25 m.

Selain itu, LOA 1 tahun juga memiliki nilai LAI yang cukup tinggi, yaitu berkisar antara 2.7–3.2. Hal ini mengindikasikan bahwa joja sangat membutuhkan habitat yang memiliki nilai LAI tinggi. Fuentes (1994) menyatakan bahwa sebanyak 75% dari total perjumpaan Presbytis potenziani berada di pohon yang memiliki ketinggian >20 meter. Rahayuni (2007) juga menyatakan bahwa joja lebih sering memanfaatkan tajuk tengah dibandingkan dengan bagian lain dari pohon, yaitu sebesar 97%. Pemanfaatan tajuk oleh joja dikarenakan kebutuhan untuk melakukan aktivitas mobilisasi, aktivitas istirahat dan aktivitas makan. Rahayuni (2007) menyatakan bahwa sumber pakan joja banyak dijumpai di bagian tajuk luar pohon.

Nilai determinan yang diperoleh dari hasil regresi linier antara nilai LAI dengan nilai NDVI sebesar 44.5%. Hal ini berarti nilai NDVI hanya mampu menjelaskan 44.5% dari nilai LAI. Kondisi ini dikarenakan peta citra landsat pada areal penelitian banyak tertutup oleh awan. Persamaan untuk membuat peta LAI yang diperoleh dari hasil regresi antara nilai LAI dan NDVI adalah LAI = 1.66 + 3.45*(NDVI). Sebaran joja pada masing-masing kelas LAI di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 7.

Faktor keberadaan pohon pakan juga dapat mempengaruhi keberadaan joja. Hal ini dapat dilihat dari jumlah joja yang banyak di lokasi yang

(20)

10

memiliki nilai kerapatan pohon pakan tinggi. Kamaliasari (2011) menyatakan bahwa joja memilih pohon tidur yang dekat dengan sumber pakan. Hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa joja lebih memilih habitat yang memiliki sumber pakan yang cukup.

Jenis vegetasi yang berhasil diidentifikasi sebanyak 81 jenis dari 35 famili, sedangkan jenis yang tidak teridentifikasi ada 6 jenis (Lampiran 1). Famili Euphorbiaceae memiliki jumlah jenis paling banyak, yaitu 16 jenis. Rahayuni (2007) menyatakan bahwa jenis pakan joja sebagian besar berasal dari famili Rubiaceae, Euphorbiaceae, dan Moraceae. Berdasarkan daftar jenis pakan joja pada Fuentes (1994), Hadi et al. (2012) dan pengamatan langsung diketahui 17 jenis pakan dari 8 famili yang berada di lokasi perjumpaan joja (Lampiran 2). Famili Dipterocarpaceae (5 jenis) dan Euphorbiaceae (4 jenis) merupakan famili yang paling banyak memiliki jenis vegetasi yang dimanfaatkan joja sebagai pakan. Fuentes (1994) juga menyatakan bahwa beberapa jenis vegetasi yang dimanfaatkan joja sebagai pakan, antara lain Arenga obtusifolia, Artocarpus sp., Baringtonia sp., Baccaurea sp., Calamus sp., Daemonorops sp., Diospyros sp., Dipterocarpus sp., Durio sp., Ficus sp., Gnetum sp., Myrmecoidea tuberosa, Manioc sp., Musa sp., Pometia pinnata, Shorea sp., Vatica sp. dan beberapa tumbuhan yang tidak teridentifikasi.

Komponen Fisik Habitat Joja

Areal kerja PT SSS berada pada ketinggian 50–340 mdpl (ICS 2012). Data mengenai ketinggian tempat ditemukannya joja disajikan pada Tabel 2.

Areal dengan ketinggian tempat 50–100 mdpl di PT SSS merupakan areal yang sering dimanfaatkan joja. Joja juga ditemukan di areal dengan ketinggian 150–200 mdpl. Fuentes (1996) menyatakan bahwa joja ditemukan di hutan primer, hutan sekunder, hutan rawa, hutan Baringtonia dan kebun. Hal ini mengindikasikan bahwa joja dapat ditemukan hampir di semua kelas ketinggian. Peta sebaran joja pada masing-masing kelas ketinggian ditunjukkan Gambar 8.

Tabel 2 Jumlah individu joja yang ditemukan berdasarkan ketinggian tempat di atas permukaan laut

Ketinggian tempat (mdpl)

Jumlah joja

ditemukan (ind) Aktivitas Lokasi ditemukan

(21)

11 Areal PT SSS memiliki topografi datar hingga curam. Akan tetapi areal kerja PT SSS didominasi oleh kelas kemiringan lahan agak curam (15– 25%) (ICS 2012). Perjumpaan joja berdasarkan kemiringan lahan di areal PT SSS disajikan pada Tabel 3

Areal yang memiliki kemiringan lahan agak curam (15–25%) merupakan areal yang sering dimanfaatkan joja. Keberadaan sumber pakan di areal tersebut menjadi salah satu alasan joja lebih memanfaatkan areal dengan kemiringan lahan 15–25%. Whitten (1982) menyatakan bahwa Dipterocarpaceae, Euphorbiaceae dan Myristicaceae merupakan famili yang dapat ditemukan di setiap kemiringan lahan, namun Myristicaceae merupakan famili yang mendominasi daerah yang datar dan Dipterocarpaceae merupakan famili yang mendominasi perbukitan. Pemilihan habitat oleh joja sama dengan yang dilakukan oleh Presbytis

Gambar 8 Peta kelas ketinggian tempat dari permukaan laut

Tabel 3 Jumlah individu joja yang ditemukan berdasarkan kelas kemiringan lahan

Kelas kemiringan lahan (%)

Jumlah

joja (ind) Aktivitas Lokasi ditemukan

0–8 - - -

8–15 1 istirahat LOA 1 tahun

15–25 10 istirahat, makan,

lokomosi, sosial LOA 1 tahun, LOA 6 tahun 25–40 3 istirahat, makan,

lokomosi Kebun benih, LOA 1 tahun

(22)

12

rubicunda. Bismark (1984) menyatakan bahwa Presbytis rubicunda cenderung memilih daerah puncak dan lereng-lereng bukit sebagai habitatnya, dikarenakan penyebaran buah sebagai pakan dan penyebaran pohon tidur. Selain itu kondisi vegetasi yang berada di daerah puncak dan lereng bukit membuat komunikasi antar kelompok menjadi lebih mudah. Hal ini merupakan salah satu cara untuk menghindari predator. Peta sebaran joja pada masing-masing kelas kemiringan lahan disajikan pada Gambar 9.

Sungai dimanfaatkan sebagai salah satu sumber air bagi mahluk hidup di hutan. Joja merupakan satwa yang memanfaatkan sungai secara tidak langsung. Kamaliasari (2011) menyatakan bahwa joja jarang turun ke lantai hutan dan mendekati sumber air untuk minum. Seperti halnya joja, simpai juga tidak pernah ditemukan turun ke lantai hutan untuk melakukan aktivitas minum langsung dari sumber air (Sabarno 1998). Jumlah joja yang ditemukan berdasarkan jarak dari sungai disajikan pada Tabel 4.

Gambar 9 Peta kelas kemiringan lahan

Tabel 4 Jumlah joja yang ditemukan berdasarkan jarak dari sungai Jarak dari sungai (meter) Jumlah joja Aktivitas Lokasi

0–100 5 makan, istirahat LOA 1 tahun, LOA 6 tahun

100–200 2 makan LOA 6 tahun

200–300 1 istirahat Kebun benih

300–400 6 sosial, lokomosi,

makan LOA 1 tahun

(23)

13 Lokasi yang memiliki jarak 300–400 m dari sungai merupakan lokasi yang paling sering dimanfaatkan joja. Hal ini terlihat dari jumlah joja yang ditemukan pada jarak tersebut lebih banyak dikarenakan adanya pohon pakan di lokasi tersebut, seperti pohon dari jenis Dipterocarpaceae. Selain itu, joja juga ditemukan di lokasi yang berjarak 0–100 m dari sungai. Keberadaan joja di sekitar sungai karena kebutuhannya terhadap sumber pakan yang ada disekitar sungai, yakni buah. Pemilihan buah sebagai pakan bertujuan memenuhi kebutuhan nutrisi dan air bagi joja. Kamaliasari (2011) menyatakan bahwa kebutuhan air joja diperkirakan telah dipenuhi dari sumber pakan yang banyak mengandung air. Rahayuni (2007) juga menyatakan bahwa buah dapat memberikan joja nutrisi lebih baik daripada daun. Kebutuhan joja terhadap pakan mengakibatkan joja juga ditemukan di lokasi yang memiliki jarak 0–400 m dari sungai. Peta sebaran joja berdasarkan jarak dari sungai disajikan pada Gambar 10.

Joja merupakan satwa yang sangat jarang turun ke tanah. Fuentes (1996) menyatakan hanya 5% dari total keberadaan joja secara vertikal dalam pengamatannya berada di pohon yang memiliki ketinggian <10 meter. Rahayuni (2007) juga menyatakan bahwa joja tidak pernah berjalan di lantai hutan. Kondisi ini hampir sama dengan simpai (Presbytis melalophos) yang hanya ditemukan sekali turun ke lantai hutan (Sabarno 1998). Joja tidak pernah dijumpai di lantai hutan, namun berdasarkan informasi pegawai PT SSS, joja pernah terlihat berada di lantai hutan di pinggir jalan utama. Hal ini dikarenakan habitat yang terfragmentasi mengakibatkan joja harus menyebrangi jalan untuk pindah ke habitat yang lain. Jumlah joja yang ditemukan berdasarkan jarak dari jalan sarad atau jalan utama disajikan pada Tabel 5.

(24)

14

Lokasi yang berjarak 200–300 m dari jalan merupakan lokasi yang paling banyak dimanfaatkan oleh joja. Joja merupakan satwa yang sensitif sehingga lebih memilih habitat yang jauh dari jalan. Hal ini merupakan salah satu cara bagi joja untuk menghindari predator. Manusia dan Python sp. merupakan predator bagi primata di Mentawai (Tenaza & Tilson 1985). Joja merupakan salah satu satwa yang menjadi buruan masyarakat lokal Mentawai sebagai bahan makanan. Fuentes (2002) menyatakan bahwa dua jenis Colobine di Kepulauan Mentawai dianggap sebagai makanan yang baik bagi mayoritas penghuni pulau. Hal ini yang menyebabkan joja banyak ditemukan di lokasi yang memiliki jarak 200–300 m dari jalan sarad atau jalan utama.

Berdasarkan hasil regresi linear antara jumlah individu joja dengan komponen biotik habitat (kerapatan semai, kerapatan pancang, kerapatan tiang, kerapatan pohon, kerapatan pohon pakan dan LAI) dan komponen

Gambar 11 Peta kelas jarak dari jalan

Tabel 5 Jumlah joja yang ditemukan berdasarkan jarak dari jalan Jarak dari jalan

(meter)

Jumlah joja

(ind) Aktivitas Lokasi ditemukan

0–100 3 istirahat,

lokomosi

Kebun benih, LOA 1 tahun

100–200 4 makan LOA 6 tahun

200–300 6 makan, sosial LOA 6 tahun, LOA

1 tahun

300–400 1 istirahat LOA 1 tahun

(25)

15 fisik habitat (ketinggian tempat, kemiringan lahan, jarak ditemukannya joja dari sungai dan jarak ditemukannya joja dari jalan), hanya variabel kerapatan tiang yang memiliki nilai signifikansi <0.05. Nilai determinan yang diperoleh sebesar 96.6% dengan persamaan yaitu Y = 0.08 + 0.016*(kerapatan tiang). Hal ini mengidikasikan bahwa jumlah individu joja hanya dipengaruhi oleh nilai kerapatan tiang, yakni semakin tinggi nilai tiang maka akan semakin banyak jumlah individu joja.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Habitat yang dimanfaatkan joja dari aspek komponen biotik adalah habitat yang memiliki nilai kerapatan semai sebesar 36 666.66 ind/ha, kerapatan pancang sebesar 9 066.66 ind/ha, kerapatan tiang sebesar 433.34 ind/ha, kerapatan pohon sebesar 408.34 ind/ha dan kerapatan pohon pakan sebesar 233.33 ind/ha, serta memiliki nilai LAI 2.7–3.2. Selanjutnya, habitat yang dimanfaatkan joja dari aspek komponen fisik habitat adalah habitat yang berada pada ketinggian yang berkisar 50–100 mdpl dengan kemiringan lahan agak curam (15–25%). Habitat tersebut juga berada pada jarak 300– 400 meter dari sungai dan 200–300 meter dari jalan sarad atau jalan utama.

Saran

Perlu adanya pembuatan wilayah koridor satwa yang menghubungkan antar habitat yang terfragmentasi di masing-masing LOA sebagai akses bagi satwa untuk berpindah dari satu habitat ke habitat lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Allen RG, Pereirra LS, Raes D, Smith M. 1990. Crop evapotranspiration (guidelines for computing crop water requirements). FAO Irrigation and Drainage Paper No 56.

[BTNS] Balai Taman Nasional Siberut. 2003. Taman Nasional Siberut Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat [booklet]. Maileppet, Siberut.

Bismark M. 1984. Biologi dan Konservasi Primata di Indonesia. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Bismark M. 1994. Studi Ekologi Makan Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Hutan Bakau Taman Nasional Kutai Kalimantan Timur [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Bismark M. 2007. Konservasi primata endemik Mentawai: analisis habitat dan populasi primata di Siberut Utara. Prosiding Expose Hasil-Hasil Penelitian.

(26)

16

Chetry D, Chetry R, Ghosh K, Bhattacharjee PC. 2010. Status and conservation of golden langur in Chakrashila Wildlife Sanctuari, Assam, India. Primate Conservation. (25):1-6.

Fuentes A. 1994. The socioecology of the Mentawai Island langur (Presbytis potenziani) [disertasi]. Berkeley (US): University of California. Fuentas A. 1996. Feeding and ranging in the Mentawai Island Langur

(Presbytis potenziani). International Journal of Primatology. 17(4):525-548

Fuentes A. 2002. Monkeys, humans and politics in the Mentawai Island : no simple solution in a complex world. Di dalam: Fuentes A, Wolfe LD, editor. Primates Face to Face: Conservation Implication of Human Non-human Primate Interconnection. New York (US): Cambrige Univ. Press. hlm 187-207.

Hadi S, Ziegler T, Waltert M, Syamsuri F, Muhlenberg M, Hodges JK. 2012. Habitat use and trophic niche overlap of two sympatric colobines, Presbytis potenziani and Simias concolor, on Siberut Island, Indonesia. International Journal Primatology. 33:218-232.

Handayani YD. 2008. Struktur vegetasi habitat simakobu (Simias concolor) di Area Siberut Conservation Program (SCP), Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [ICS] IDEAS Consultancy Service. 2012. Identifikasi kawasan hutan

bernilai konservasi tinggi PT Salaki Summa Sejahtera Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat [tidak dipublikasikan].

Kamaliasari P. 2011. Preferensi pohon tidur joja (Presbytis potenziani) di Siberut Utara, Kepulauan Mentawai [skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia.

Rahayuni DR. 2007. Studi ko-habitasi antara simakobu (Simias concolor) dan joja (Presbytis potenziani) di Area Siberut Conservation Program (SCP), Pulau Siberut-Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rich PM. 1990. Characterizing plant canopies with hemispherical photographs. Remote Sensing Reviewsi. 5:13-29.

Sabarno MY. 1998. Studi pakan dan perilaku makan simpai (Presbytis melalophos) di kawasan hutan konservasi PT Hutan Musi Persada Sumatera Selatan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Tenaza RR, Tilson RL. 1985. Human predation and kloss’s gibbon (Hylobates klossii) sleeping trees in Siberut Island, Indonesia. American Journal of Primatology. 8:299-308.

Tilson RL, Tenaza RR. 1976. Monogamy and duetting in an old world monkey. Nature. 263:320-321.

Whittaker DJ. 2006. A conservation action plan for the Mentawai primates. Primates Conservation. (20):95-105.

Whitten AJ, Sardar Z. 1981. Master plan for a tropical paradise. New Scientist. 91:230-235.

(27)

17 Lampiran 1 Sebaran vegetasi di lokasi penelitian

Famili Nama Lokal Nama Ilmiah Kebun Benih LOA 1 Tahun LOA 6 Tahun

Actinidiaceae Sembuy Saurauia bracteosa Dc. √ √ √

Alangiaceae Boiko Alangium javanicum Wang. √ √

Anacardiaceae Tumu Campnosperma macrophylla Hook.f. √ √

Annonaceae Kurutna Sageraea lanceolata Merr.

Annonaceae Leset Polyalthia hypoleuca Hook.f.et.Th. √ √

Annonaceae Pokaligei Uvaria rufa Blume

Annonaceae Puilud Cyanthocalyx bancana Boerl

Annonaceae Pokatulu Polyalthia sumatrana King √ √

Aristolochiaceae sipuleu leban Apama corymbosa (Griffith) Willd. ex

Soleleder √

Asteraceae Pondik Vernonia arborea Ham.

Bombacaceae pokatoktung Durio malaccensis Planch. √ √

Burseraceae Sibadakdak Santiria oblongifolia Blume √ √

Burseraceae pakkale iba Dacryodes rostrata (Bl.) Lamk.

Burseraceae popaingetanbatek Arthophyllum diversifolium Blume

Clusiaceae lakoma Garcinia mangostana

Clusiaceae sipuai lopak Garcinia lateriflora Blume

Datiscaccae lot-lot Octomeles sumatrana Miq.

Dilleniaceae polenggu Dillenia indica L. √ √

Dilleniaceae kalapupuk Dillenia excelsa Gilg. √ √

(28)

18 Lampiran 1 Sebaran vegetasi di lokasi penelitian (lanjutan)

Famili Nama Lokal Nama Ilmiah Kebun Benih LOA 1 Tahun LOA 6 Tahun

Dipterocarpaceae kruing Dipterocarpus elongatus Korth. √ √

Dipterocarpaceae mancemen Shorea sororia

Dipterocarpaceae meranti Shorea pauciflora King √ √

Dipterocarpaceae ungla Vatica sp √ √

Dipterocarpaceae garau Dipterocarpus hasseltii Blume

Dipterocarpaceae katongairi Vatica sp. √ √

Euphorbiaceae petpettaik Aphorus sp.

Euphorbiaceae alosit Baccaurea javanica (Blume) Muell. Arg. √ √

Euphorbiaceae gut-gut Coccoseras borneensis J.J.Sm.

Euphorbiaceae kalibangbang Endospermum diadenum A. Shaw √ √

Euphorbiaceae lapolainung Aporusa sp.

Euphorbiaceae potsaiguan Cleistanthus sp √ √

Euphorbiaceae putti Croton oblongus Blume

Euphorbiaceae tainanak Blumeodendron kurzii (Hk.f.) J.J.Sm

Euphorbiaceae tenglei Mallotus peltatus (Geisel) Muell. Arg. √ √

Euphorbiaceae telengguak Baccaurea sp.

Euphorbiaceae posa Baccaurea deflexa Roxb.

Euphorbiaceae rimbu Glochidion capitatum J.J.S.

Euphorbiaceae sibeu latsit Cleistanthus myrianthus Kurz.

Euphorbiaceae sileu Baccaurea sumatrana (Miq.) M.A.

Euphorbiaceae giling Aporusa sp.

Euphorbiaceae teppek Trigonopleura malayana Hook.f.

(29)

19 Lanpiran 1 Sebaran vegetasi di lokasi penelitian (lanjutan)

Famili Nama Lokal Nama Ilmiah Kebun Benih LOA 1 Tahun LOA 6 Tahun

Flacourtiaceae tetepana Hydnocarpus merrillianus Sleum.

Flacourtiaceae sibeu langgurek Ryparosa javanica Kurz.

Flacourtiaceae tinanggau sikailak Flacourtia rukam Z.et.M.

Icacinaceae susuken Platea latifolia Blume

Lamiaceae gmelina Gmelina arborea

Lauraceae sibuluk boiko Litsea noronhae Blume

Lauraceae pulaga Litsea brachystachya Boerl.

Lauraceae sibeu lakau Cryptocarya ferrea Blume √ √

Lauraceae sonbailiu Cryptocarya sp.

Lauraceae sirugui Actinodaphne glomerata Nees.

Leaceae sibububun Leea indica Merr. √ √

Leguminoceae magri Archidendron jiringa Wilson √ √ √

Leguminoceae gappotkalibobo Abarema clypearia (Jack.) Kosterm

Meliaceae sibulung bekew Dysoxylum alliaceum Blume

Meliaceae buka Aphanamixis grandifolia Blume √ √

Meliaceae sibulung babaen Aglaia tomentosa T.et.B.

Moraceae aanggai Ficus lepicarpa Blume √ √ √

Moraceae kalumangga Ficus ribes Reinw.

Moraceae peiki Artocarpus integer (Thumb). Merr. √ √

Myristicaceae alatna Gymnacranthera forbesii King. √ √

Myristicaceae logauna Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb. √ √

(30)

20 Lampiran 1 Sebaran vegetasi di lokasi penelitian (lanjutan)

Famili Nama Lokal Nama Ilmiah Kebun Benih LOA 1 Tahun LOA 6 Tahun

Myristicaceae kapenei Myristica maxima Warb.

Myrsinaceae matananggem Ardisia attenuata Miq. √ √

Myrtaceae sibeu muntei Sizygium glomerata K.et.V. √ √

Myrtaceae sipopailungga Sizygium clavimyrtus K.et.V.

Polygalaceae sipusanggelei Xanthophyllum eurynchum Miq.

Rubiaceae tepuk-tepuk Tarenna sp. √ √

Rubiaceae motek Neonauclea calycina Merr.

Rutaceae palicceu Melicope latifolia Dc.

Sapindaceae sinailup Harpullia arborea (Blanco) Radlk.

Sapotaceae menegan Pouteria firma Bachni

Sapotaceae renggeu Palaquium obovatum Engl.

Saxifragaceae sipotelengguak Polyosoma sp.

Simaroubaceae pasak bumi Eurycoma longifolia Jack

Sterculiaceae tomboi Pterospermum javanicum Jungh.

Symplocaceae leba Symplocos fasciculata Zoll. √ √

Theaceae siporingin Eurya acuminata DC. √ √

Tidak teridentifikasi karai bilow

patualai

sibuluk loh

simatara

sipukarigi

(31)

21 Lampiran 2 Daftar jenis pohon pakan joja

Famili Nama Lokal Nama Ilmiah Kebun Benih LOA 1

Tahun

LOA 6 Tahun

Bagian yang dimakan

Bombacaceae Pokatoktung Durio malaccensis Planch. √ √ Buah

Burseraceae pakkale iba Dacryodes rostrata (Bl.) Lamk. √ Daun

Dilleniaceae Kalapupuk Dillenia excelsa Gilg. √ √ Buah

Dipterocarpaceae Kruing Dipterocarpus elongatus Korth. √ √ Daun

Dipterocarpaceae Mancemen Shorea sororia √ Daun

Dipterocarpaceae Meranti Shorea pauciflora King √ √ Daun

Dipterocarpaceae Ungla Vatica sp √ Daun

Dipterocarpaceae Katongairi Vatica sp. √ √

Euphorbiaceae Alosit Baccaurea javanica (Blume)

Muell. Arg. √

Buah

Euphorbiaceae gut-gut Mallotus subpeltatus Muell Arg. √ Daun

Euphorbiaceae Posa Baccaurea deflexa Roxb. √ Buah

Euphorbiaceae Rimbu Glochidion capitatum J.J.S. √ Bunga

Meliaceae Buka Aphanamixis grandifolia Blume √ Buah

Moraceae Aanggai Ficus lepicarpa Blume √ √ Daun/buah

Moraceae Peiki Artocarpus integer (Thumb).

Merr. √ √

Bunga

Myristicaceae Alatna Gymnacranthera forbesii King. √ √ Buah

(32)

22

Lampiran 3 Hasil dokumentasi joja

Gambar 12 Joja yang berada pada pohon Aphanamixis grandifolia

(33)

23

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tegal pada tanggal 11 Maret 1992 dari ayah Daryono dan ibu Siti Rokhani. Penulis adalah putra pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA N 2 Slawi dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor dan diterima di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.

Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah menjadi asisten praktikum Ekologi Satwaliar pada tahun 2012/2013 dan Analisis Spasial Lingkungan pada tahun 2014. Penulis telah melakukan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Tangkuban Perahu dan Cikeong pada tahun 2011, Praktik Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) pada tahun 2012, serta Praktik Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Baluran pada tahun 2013.

Penulis pernah menjabat sebagai Ketua Ikatan Mahasiswa Tegal (IMT) yang merupakan Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) di IPB pada tahun 2011/2012 dan Wakil Ketua Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) pada tahun 2012. Penulis juga aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (Himakova). Penulis juga pernah mengikuti kegiatan ekspedisi dan eksplorasi yang diadakan oleh Himakova, yaitu Pendidikan dan Latihan Kelompok Pemerhati Mamalia (Diklat KPM) pada tahun 2011, Eksplorasi Fauna Flora Indonesia (RAFFLESIA) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (2010) dan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) di Taman Nasional Bukit Tigapuluh (2012).

Gambar

Gambar 1  Peta lokasi penelitian
Gambar 2  Desain inventarisasi vegetasi
Gambar 3 Proses pembuatan peta kelas leaf area index (LAI)
Gambar 5  Proses pembuatan peta kelas jarak dari sungai
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengadaan melalui proyek juga masih bisa dilakukan sepanjang tidak menimbulkan dampak negatif Misalnya agar tidak terjadi duplikasi, maka buku yang dibeli harus

Implementasi kebijakan pelayanan e-Ktp di Kecamatan Singkil Kota Manado pada umumnya sudah efektif dilihat dari empat aspek penting dari proses implementasi kebijakan

Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini: (1) Dalam penyusunan anggaran harus menyiapkan rencana kegiatan, kemudian mengalokasikan anggaran untuk setiap

Hasil dari penelitian ini adalah berupa E-Tracer alumni yang akan digunakan oleh Bina Darma Career &amp; Training Center. Dimana pengembangan E-Tracer alumni tersebut

Hasil pengkajian menunjukkan : (a) Tampilan komponen hasil jagung pada introduksi teknologi relatif lebih baik dari pada pola petani, (b) Introduksi teknologi

Pada era modern, khususnya Indonesia, Islamic Center berubah menjadi sebuah komplek yang di dalamnya terdapat masjid sebagai bangunan utama dan bangunan-bangunan

NOVIA IKA SETYANI, D1210054, Penggunaan Media Sosial sebagai Sarana Komunikasi bagi Komunitas (Studi Deskriptif Kualitatif Penggunaan Media Sosial Twitter, Facebook, dan Blog

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara belajar pemain keyboard pada band dalam salah satu komunitas musik di Bandung yaitu More Than Music Community yang belajar