• Tidak ada hasil yang ditemukan

Partisipasi Masyarakat Dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP)Di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Partisipasi Masyarakat Dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP)Di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara"

Copied!
264
0
0

Teks penuh

(1)

PARTISIPASI MASYARAKAT

DALAM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN

MASYARAKAT MANDIRI PERDESAAN (PNPM-MP)

DI KECAMATAN TARUTUNG

KABUPATEN TAPANULI UTARA

TESIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) dalam Program Studi Pembangunan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Oleh

KARTINI EVA CHRISTINA NAHAMPUN

087024021

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)

ABSTRAK

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) merupakan program untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan yang berbasis pemberdayaan dan partisipasi masyarakat. Maka Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui partisipasi masyarakat dalam PNPM-MP di Kecamatan Tarutung. Pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat mensyaratkan keterlibatan langsung dari masyarakat, karena adanya partisipasi masyarakat, maka hasil pembangunan tersebut akan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Untuk dapat meningkatkan partisipasi masyarakat Kecamatan Tarutung, maka masih dibutuhkan peranan dari para pelaku pemberdayaan yang diharapkan mampu sebagai agen perubahan. Para pelaku pemberdayaan yang diharapkan sebagai agen perubahan di Kecamatan Tarutung adalah Fasilitator, Kader Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah.

Metode penelitian yang digunakan adalah dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan Fasilitator, Kader Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah di Kecamatan Tarutung masih perlu ditingkatkan. Para pelaku pemberdayaan tersebut masih sangat diharapkan mampu menjadi agen perubahan dalam pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan partisipasi masyarakat. Selain itu ditemukan juga tingkat partisipasi masyarakat yang berada pada kategori sedang, dengan perolehan skor 2,94, serta beberapa faktor penghambat partisipasi masyarakat di Kecamatan Tarutung.

Penelitian ini merekomendasikan beberapa saran yaitu: perlunya untuk giat melakukan sosialisasi dengan lebih intensif, melakukan pelatihan secara rutin dan berkelanjutan setiap jangka waktu tertentu untuk lebih meng-up date pengetahuan, keterampilan dari para pelaku-pelaku pemberdayaan dan masyarakat desa, melakukan perekrutan relawan baru sebagai Kader Pemberdayaan Masyarakat melalui mekanisme yang dapat mengakomodir potensi sumber daya manusia di setiap desa, bagi Fasilitator dan KPM diharapkan perlu pembekalan dan pelatihan yang lebih berkualitas, menggunakan tenaga pemuda desa yang cakap atau potensial (kaum muda yang berkarya) di dalam pelaksanaan PNPM-MP.

(3)

ABSTRACT

PNPM-MP is an integrated and sustainable program to reduce poverty, based on empowerment and community participation. Therefore, this research aims to identify community participation in PNPM-MP in the District Tarutung. The implementation of community empowerment programs are requiring the direct involvement of the community beneficiaries, because only with the participation of beneficiaries, the results of such development will be in accordance with the aspirations and needs of society itself. To increase the participation of Tarutung people, still required the role of the empowerment agent, who are expected to be an agent of change. The agent of change are Facilitator, Cadres of Community Empowerment, Local Government.

The research method used was qualitative and quantitative approaches. The experiment was conducted in District Tarutung, North Tapanuli. The results showed that the role of Facilitator, Cadres of Community Empowerment and Local Governments in the District Tarutung still needs to be improved. The agent of empowerment is still highly expected to become agents of change in community empowerment through increased community participation. In addition it was also found that the level of community participation in middle category, with the acquisition of 2.94 score, and several factors inhibiting the participation of communities in the District of Tarutung.

This research recommends some suggestions that information need to socialize with intensive, conduct regular training to update knowledge and skills of community agents, recruit new volunteers as a KPM and Facilitator, both of them can accommodate potential human resources in each village. Debriefing and training more qualified for the facilitator and KPM, using skilled labor or village youth potential in the implementation of PNPM-MP.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Yesus Kristus yang telah melimpahkan kasih dan berkat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul: “Partisipasi Masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara” ini. Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat kelulusan pada Program Pasca Sarjana Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan tesis ini, penulis mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih secara khusus kepada mama dan bapak, serta seluruh keluarga penulis yang telah memberikan dukungan dan semangat bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini, serta penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dosen pembimbing tesis Bapak Drs. Henry Sitorus, MA dan Bapak Husni Thamrin, S.Sos, MSP;

2. Aparat kecamatan, kepala desa, lurah, pelaku-pelaku PNPM-MP Kecamatan Tarutung;

3. Samuel AH Lumbanraja yang selalu setia memberikan dukungan dan semangat bagi penulis;

(5)

robert, bang dedy, jeniusman dan lain-lain) atas kebersamaan, dukungan dan berbagai saran sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik;

5. Semua pihak yang telah membantu dalam proses pendidikan penulis

Penulis menyadari penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik dari pembaca sangat penulis harapkan. Akhirnya, semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2010

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK………..………. i

ABSTRACT………. ii

KATA PENGANTAR……… iii

DAFTAR ISI………..………. v

DAFTAR TABEL………..………... viii

DAFTAR GAMBAR…….………. ix

DAFTAR LAMPIRAN………... xi

BAB I PENDAHULUAN…... 1

1.1. Latar Belakang…... 1

1.2. Perumusan Masalah……….. 12

1.3. Tujuan Penelitian….………. 14

1.4. Manfaat Penelitian….………... 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…... 16

2.1. Kemiskinan 16 2.2. Pemberdayaan Masyarakat………..………. 18

2.3. Konsep Partisipasi Masyarakat………. 25

2.4. Intervensi Pemberdayaan Masyarakat……….………. 31

2.4.1. Konsep Peranan……….………. 33

2.4.2. Peranan Agent of Change atau Pelaku Perubahan dalam Pemberdayaan Masyarakat……….………. 35

2.4.2.1. Peranan Fasilitator Pemberdayaan….………. 36

2.4.2.2. Peranan Kader Pemberdayaan Masyarakat………...………. 40

2.4.2.3. Peranan Pemerintah Daerah………...………. 45

2.5. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM).…...……. 49

(7)

2.5.2. PNPM Mandiri Perdesaan……….………. 53

2.6. Kerangka Pemikiran………. 58

BAB III METODE PENELITIAN ... 60

3.1. Jenis/Desain Penelitian………. 60

3.2. Defenisi Konsep………..………. 60

3.3. Defenisi Operasional………...………. 62

3.4. Populasi, Sampel dan Informan Penelitian………. 65

3.5. Teknik Pengumpulan Data………..………. 67

3.6. Lokasi Penelitian……….………. 69

3.7. Metode Analisis Data………..………. 70

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN…..………... 73

4.1. Deskripsi Wilayah Penelitian………..………. 73

4.1.1. Kondisi Geografis Kecamatan Tarutung………. 73

4.1.2. Kondisi Demografi Kecamatan Tarutung…...………. 74

4.1.3. Kondisi Sosial Kecamatan Tarutung………..………. 78

4.2. Karakteristik Responden………..………. 82

4.3. Hasil Penelitian………. 93

4.3.1. Peranan Agent of change...………. 94

4.3.1.1. Peranan Fasilitator...………. 95

4.3.1.2. Peranan KPM...………. 119

4.3.1.3. Peranan Pemerintah Daerah...………. 136

4.3.2. Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam PNPM-MP di Kecamatan Tarutung………...………... 148

4.3.2.1. Aliran Informasi di dalam masyarakat...………. 149

4.3.2.2. Konsultasi Masyarakat...………. 157

(8)

4.3.2.4. Pengambilan Keputusan...………. 171

4.3.2.5. Keterlibatan dalam Pelaksanaan...………. 176

4.3.2.6. Swadaya Masyarakat...………. 179

4.3.2.7. Pengawasan oleh Masyarakat...………. 184

4.3.2.8. Evaluasi dari Masyarakat...………. 185

4.3.2.9. Keterlibatan dalam Pemanfaatan Hasil.………. 190

4.3.2.10.Keterlibatan dalam Pemeliharaan Hasil………. 191

4.3.3. Rekapitulasi Nilai Rata-Rata Indikator Partisipasi Masyarakat dalam PNPM-MP... 193

4.3.4. Faktor-Faktor Penghambat Partisipasi Masyarakat....………. 203

BAB V PENUTUP... 223

5.1. Kesimpulan……..……….. 223

5.2. Saran... 226

DAFTAR PUSTAKA

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1. Alokasi Berdasarkan Ratio Penduduk Miskin dan Jumlah Penduduk

di Kecamatan………..………. 8

Tabel 3.1. Batasan Operasionalisasi Variabel Peranan Fasilitator, Peranan

Kader Pemberdayaan Masyarakat dan Peranan Pemerintah

Daerah……….………. 64

Tabel 3.2. Batasan Operasionalisasi Variabel Tingkat Partisipasi

Masyarakat………...……… 65

Tabel 3.3. Interval Kategori Tingkat Partisipasi………..……. 72

Tabel 4.1. Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis

Kelamin………... 74

Tabel 4.2. Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut

Desa/Kelurahan Tahun 2008... 76

Tabel 4.3. Jumlah Penduduk dan Rumah Tangga dan rata-rata Per rumah

tangga Menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan Tarutung Tahun

2008... 77

Tabel 4.4. Jumlah Usaha Industri/Kerajinan Menurut Desa/Kelurahan dan

Jenisnya Tahun 2008... 79

Tabel 4.5. Jumlah Rumah Tangga Miskin Menurut Desa/Kelurahan Tahun

2008... 81

Tabel 4.6. Kehadiran Masyarakat Kecamatan Tarutung pada MD I dan MD II

PNPM-MP Berdasarkan Desa yang berpartisipasi di Kecamatan

tarutung Tahun 2009... 84

Tabel 4.7. Sektor/Bidang Usaha Sumber Penghasilan Utama Sebagian Besar

Penduduk Tahun 2008... 92

Tabel 4.8. Rekapitulasi Nilai Rata-Rata Indikator Tingkat Partisipasi

Masyarakat dalam PNPM Mandiri Perdesaan... 194

Tabel 4.9. Daftar Penerima Dana Simpan Pinjam Perempuan (SPP)

Kecamatan Tarutung Tahun 2007 s/d 2010... 210

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1.1. Perbandingan Rumah Tangga Miskin dan Rumah Tangga

Layak di Kecamatan Tarutung Tahun 2008……….

10

Gambar 1.2. Perbandingan Rumah Tangga Miskin dan Rumah Tangga Layak di Kecamatan Tarutung Tahun 2006……….

11

Gambar 2.1. Sinergi Masyarakat dan Pemerintah Daerah……… 48

Gambar 2.2. Alur Tahapan PNPM mandiri Perdesaan... 57

Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran………. 58

Gambar 4.1. Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 83

Gambar 4.2. Komposisi Responden Berdasarkan Kelompok Umur……. 85

Gambar 4.3. Jumlah Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan…….. 87

Gambar 4.4. Jumlah Responden Berdasarkan Suku Bangsa... 88

Gambar 4.5. Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga……… 89

Gambar 4.6. Responden Berdasarkan Penghasilan Perbulan……… 90

Gambar 4.7. Tahapan Masyarakat Menuju Keberdayaan………. 96

Gambar 4.8. Distribusi Frekuensi Tingkat Kepedulian Masyarakat... 150

Gambar 4.9. Distribusi Frekuensi Tingkat Pemahaman Masyarakat Terhadap Arti Pemberdayaan... 153

Gambar 4.10. Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Masyarakat Terhadap Informasi PNPM Mandiri Perdesaan... 155

Gambar 4.11. Distribusi Frekuensi Keinginan Masyarakat Berkonsultasi dengan Pelaku Pemberdayaan... 158

(11)

Gambar 4.13. Distribusi Frekuensi Keterlibatan Masyarakat dalam

Perencanaan Pembangunan... 163 Gambar 4.14. Distribusi Frekuensi Motivasi Masyarakat Menghadiri

Musyawarah Perencanaan Pembangunan... 166 Gambar 4.15. Distribusi Frekuensi Masyarakat Memberi Gagasan dalam

Musyawarah Perencanaan Pembangunan... 169 Gambar 4.16. Distribusi Frekuensi Tingkat Kehadiran Masyarakat dalam

Musyawarah Pengambilan Keputusan... 172 Gambar 4.17. Distribusi Frekuensi Kesesuaian Usulan dengan

Keputusan Pembangunan………. 174 Gambar 4.18. Distribusi Frekuensi Tingkat Keikutsertaan Masyarakat

dalam Pelaksanaan Pembangunan……… 177 Gambar 4.19. Distribusi Frekuensi Keikutsertaan Masyarakat dalam

Memberi Sumbangan Dana Pembangunan Desa…………. 180 Gambar 4.20. Distribusi Frekuensi Keikutsertaan Masyarakat dalam

Memberi Sumbangan Tenaga Pembangunan Desa……….. 182 Gambar 4.21. Distribusi Frekuensi Keikutsertaan Masyarakat

Mengawasi Pembangunan... 184 Gambar 4.22. Distribusi Frekuensi Keikutsertaan Masyarakat Memberi

Penilaian terhadap Kualitas Pembangunan……….. 186 Gambar 4.23. Distribusi Frekuensi Keikutsertaan Masyarakat Memberi

Masukan dan Kritik untuk Perbaikan Pembangunan……... 188 Gambar 4.24. Distribusi Frekuensi Keikutsertaan Masyarakat

Memanfaatkan Hasil Pembangunan………. 190 Gambar 4.25. Distribusi Frekuensi Keikutsertaan Masyarakat

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Kuesioner Penelitian

2. Daftar Pedoman Wawancara

(13)

ABSTRAK

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) merupakan program untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan yang berbasis pemberdayaan dan partisipasi masyarakat. Maka Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui partisipasi masyarakat dalam PNPM-MP di Kecamatan Tarutung. Pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat mensyaratkan keterlibatan langsung dari masyarakat, karena adanya partisipasi masyarakat, maka hasil pembangunan tersebut akan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Untuk dapat meningkatkan partisipasi masyarakat Kecamatan Tarutung, maka masih dibutuhkan peranan dari para pelaku pemberdayaan yang diharapkan mampu sebagai agen perubahan. Para pelaku pemberdayaan yang diharapkan sebagai agen perubahan di Kecamatan Tarutung adalah Fasilitator, Kader Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah.

Metode penelitian yang digunakan adalah dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan Fasilitator, Kader Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah di Kecamatan Tarutung masih perlu ditingkatkan. Para pelaku pemberdayaan tersebut masih sangat diharapkan mampu menjadi agen perubahan dalam pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan partisipasi masyarakat. Selain itu ditemukan juga tingkat partisipasi masyarakat yang berada pada kategori sedang, dengan perolehan skor 2,94, serta beberapa faktor penghambat partisipasi masyarakat di Kecamatan Tarutung.

Penelitian ini merekomendasikan beberapa saran yaitu: perlunya untuk giat melakukan sosialisasi dengan lebih intensif, melakukan pelatihan secara rutin dan berkelanjutan setiap jangka waktu tertentu untuk lebih meng-up date pengetahuan, keterampilan dari para pelaku-pelaku pemberdayaan dan masyarakat desa, melakukan perekrutan relawan baru sebagai Kader Pemberdayaan Masyarakat melalui mekanisme yang dapat mengakomodir potensi sumber daya manusia di setiap desa, bagi Fasilitator dan KPM diharapkan perlu pembekalan dan pelatihan yang lebih berkualitas, menggunakan tenaga pemuda desa yang cakap atau potensial (kaum muda yang berkarya) di dalam pelaksanaan PNPM-MP.

(14)

ABSTRACT

PNPM-MP is an integrated and sustainable program to reduce poverty, based on empowerment and community participation. Therefore, this research aims to identify community participation in PNPM-MP in the District Tarutung. The implementation of community empowerment programs are requiring the direct involvement of the community beneficiaries, because only with the participation of beneficiaries, the results of such development will be in accordance with the aspirations and needs of society itself. To increase the participation of Tarutung people, still required the role of the empowerment agent, who are expected to be an agent of change. The agent of change are Facilitator, Cadres of Community Empowerment, Local Government.

The research method used was qualitative and quantitative approaches. The experiment was conducted in District Tarutung, North Tapanuli. The results showed that the role of Facilitator, Cadres of Community Empowerment and Local Governments in the District Tarutung still needs to be improved. The agent of empowerment is still highly expected to become agents of change in community empowerment through increased community participation. In addition it was also found that the level of community participation in middle category, with the acquisition of 2.94 score, and several factors inhibiting the participation of communities in the District of Tarutung.

This research recommends some suggestions that information need to socialize with intensive, conduct regular training to update knowledge and skills of community agents, recruit new volunteers as a KPM and Facilitator, both of them can accommodate potential human resources in each village. Debriefing and training more qualified for the facilitator and KPM, using skilled labor or village youth potential in the implementation of PNPM-MP.

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Program pengentasan kemiskinan pada masa sekarang lebih berorientasi kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak program pengentasan kemiskinan di Indonesia yang pada umumnya memiliki konsep sebagai program yang berdasar kepada keinginan dan kebutuhan masyarakat. Kenyataan yang ditemui bahwa pada saat itu masyarakat tidak merasa memiliki terhadap program-program tersebut sehingga seringkali ditemukan di lapangan bahwa banyak program yang hanya seumur masa proyek dan berakhir tanpa dampak berarti bagi kehidupan masyarakat. Program yang ada tersebut kurang berhasil mencapai sasaran yang diharapkan, yakni kemandirian masyarakat baik secara ekonomis, sosial maupun politis. Bahkan sampai saat ini, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa masyarakat pada umumnya menganggap bahwa pemberdayaan adalah hanya sebatas mereka memperoleh akses finansial seperti dana bantuan atau pun kredit.

(16)

Melalui pencapaian pendapatan nasional yang tinggi dianggap merupakan keberhasilan bagi seluruh bangsa. Namun kenyataan adalah bahwa pola pendekatan tersebut adalah tidak sempurna, yang terjadi adalah semakin luasnya kesenjangan yang terjadi antara masyarakat ekonomi lemah dan ekonomi kuat. Jumlah masyarakat miskin bukan berkurang melainkan bertambah dari tahun ke tahun.

Kenyataan tersebut membawa perubahan terhadap pola pengentasan kemiskinan oleh banyak negara. Di negara Indonesia, pemerintah kemudian mewujudkan program pengentasan kemiskinan melalui pola bantuan langsung dan pola pemberdayaan masyarakat. Berbagai program seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT), program Takesra, program Jaring Pengaman Sosial (JPS), program kredit lunak bagi masyarakat miskin, Program Pengembangan Kecamatan Fase I dan Fase II serta berbagai program pengentasan kemiskinan melalui pemberian subsidi dan bantuan bagi masyarakat miskin telah dilakukan oleh pemerintah.

(17)

menimbulkan implikasi baru dalam menanggulangi kemiskinan di masyarakat. Pola ini memang sangat efektif dalam mencapai sasaran yang ada namun di sisi lain tanpa adanya penguatan sosial (social strengthening) justru akan menimbulkan ketergantungan masyarakat serta memperlemah daya kreasi dan inovasi dari masyarakat tersebut. Dampak dari program ini pun tidak berkelanjutan bagi pemenuhan kesejahteraan bagi masyarakat.

Menurut Prasojo (2003) ada beberapa permasalahan terkait upaya pemberdayaan masyarakat sehingga tidak mencapai tujuan pemberdayaan dan penanggulangan kemiskinan yaitu:

a) Diskontinuitas dan diskoordinasi merupakan permasalahan pemberdayaan masyarakat dikarenakan tidak adanya koordinasi yang baik dari keseluruhan program yang menyangkut pemberdayaan masyarakat, dimana program dijalankan bersifat sporadis. Kebijakan pemerintah mengenai suatu program pemberdayaan tidak berkoordinasi dengan LSM atau upaya pendampingan masyarakat, sehingga program yang dijalankan tidak menyentuh akar permasalahan yang ada.

(18)

penggunaan bahasa ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat sasaran pemberdayaan.

c) Disorientasi Pemberdayaan dengan pendekatan proses, biasanya membutuhkan waktu yang lama sehingga ada kecenderungan dari fasilitator baik dari pemerintah maupun LSM untuk mengubah kebijakan yang lebih nyata. Pendekatan pemberdayaan yang berorientasi proses diubah menjadi lebih berorientasi ke hasil. Sehingga terjadi perubahan orientasi pemberdayaan masyarakat yang menyebabkan ketidakberlanjutan program pemberdayaan masyarakat.

d) Adanya upaya Generalisasi. Kondisi keragaman yang dimiliki oleh negara Indonesia, mengandung potensi variasi lokal yang sangat bear. Oleh karena itu kebijakan pemberdayaan masyarakat harus mengikuti keragaman yang ada tersebut, karena dengan penyeragaman pelaksanaan program tidak akan menyentuh akar permasalahan dalam komunitas yang berbeda tersebut. Oleh karena itu pendekatan pembangunan melalui pemberdayaan masyarakat harus memperhatikan nilai-nilai dasar yang ada di masyarakat, karakter budaya, serta struktur sosial masyarakat.

(19)

mengikuti peraturan dari pada menjawab kebutuhan lapangan. Hal ini akan sangat menghambat upaya pemberdayaan masyarakat.

f) Indikator yang tidak tepat dimana upaya pemberdayaan masyarakat yang selama ini dijalankan seringkali diukur dalam bentuk fisik, komoditas dengan berorientasi pada input dan kualitatif dari pada non-fisik dengan ukuran keberhasilan dari dampak dan proses. Hal ini mengabaikan pentingnya proses dalam upaya pemberdayaan karena yang paling penting adalah bagaimana menumbuhkan partisipasi, kesadaran akan nilai dan hukum dari masyarakat sehingga menjadi masyarakat yang mampu dan mandiri.

(20)

konsep pemberdayaan masyarakat disini bukan untuk mencari dan menetapkan solusi, struktur penyelesaian masalah atau menghadirkan pelayanan bagi masyarakat melainkan lebih pada usaha bersama masyarakat sehingga mereka dapat mendefinisikan dan menangani masalah, serta terbuka untuk menyatakan kepentingan-kepentingannya sendiri dalam proses pengambilan keputusan. Konsep ini menjadi sangat penting terutama karena memberikan perspektif positif terhadap orang miskin. Orang miskin tidak lagi dipandang sebagai orang yang serba kekurangan (misalnya; kurang makan, kurang pendapatan, kurang sehat, kurang dinamis) dan objek pasif penerima pelayanan belaka, melainkan sebagai orang yang memiliki beragam kemampuan yang dapat dimobilisasi untuk perbaikan hidupnya.

(21)

masyarakat mulai dari titik awal dan benar-benar membutuhkan usaha bersama dari seluruh elemen negara.

(22)

pemberdayaan masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat ini terdiri dari tahap pembelajaran, kemandirian dan keberlanjutan. Sumber dana PNPM Mandiri Perdesaan berasal dari:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) c. Swadaya Masyarakat

d. Partisipasi dunia usaha

Alokasi dana PNPM-MP berdasarkan ratio penduduk miskin dan jumlah penduduk kecamatan sebagai berikut:

Tabel 1.1.

Alokasi PNPM-MP Berdasarkan Ratio Penduduk Miskin dan Jumlah Penduduk di Kecamatan

Lokasi Jumlah Penduduk Persen Penduduk

Miskin

(23)
(24)

posisi penting untuk menjadi agent of change, melakukan perubahan dengan menggugah kesadaran berpartisipasi oleh masyarakat di dalam pembangunan.

(25)

Gambar 1.1.

Perbandingan Rumah Tangga Miskin dan Rumah Tangga Layak di Kecamatan Tarutung Tahun 2008

Rum ah Tangga Layak

76%

Rum ah Tangga Miskin

24%

Rumah Tangga Miskin Rumah Tangga Layak

Sumber: BPS Kabupaten Tapanuli Utara, Tahun 2009

(26)

Gambar 1.2.

Perbandingan Rumah Tangga Miskin dan Rumah Tangga Layak di Kecamatan Tarutung Tahun 2006

Rum ah Tangga Miskin

32%

Rum ah Tangga Layak

68%

Rumah Tangga Miskin Rumah Tangga Layak

Sumber: BPS Kabupaten Tapanuli Utara, Tahun 2006

Gambar 1.2. di atas menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga miskin di Kecamatan Tarutung memang dalam angka yang cukup besar, mengingat Kecamatan Tarutung sebagai ibukota Kabupaten Tapanuli Utara. Indikator kemiskinan yang menjadi acuan data pada gambar adalah sesuai dengan indikator rumah tangga miskin menurut BPS yaitu sangat miskin berarti konsumsi kurang dari 1.900 kalori per orang/ per hari ditambah pengeluaran non pangan Rp. 480.000,- per bulan/ per rumah tangga. Penduduk miskin berarti konsumsi antara 1900-2.100 kalori per orang/ per hari ditambah pengeluaran non pangan Rp. 600.000,- per bulan/ per rumah tangga. Kemudian penduduk hampir miskin 2.100-2.300 kalori per orang/ per hari ditambah pengeluaran non pangan Rp. 700.000,- per bulan/ per rumah tangga.

(27)

tersebut. Basis dari program pemberdayaan ini adalah partisipasi masyarakat, yang menghargai pengalaman masyarakat di dalam pembangunan desa. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui bagaimana partisipasi masyarakat Kecamatan Tarutung dalam pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan, dimana partisipasi masyarakat akan menjadi tolak ukur keberhasilan dari pelaksanaan PNPM-MP, yang pada akhirnya akan mampu mengurangi jumlah penduduk miskin di Kecamatan Tarutung melalui upaya pemberdayaan. Untuk mencapai itu semua, masih dibutuhkan peran dari para pelaku yang sangat diharapkan mampu menjadi agen perubahan, mempercepat proses pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan partisipasi masyarakat di dalam pelaksanaan PNPM-MP tersebut. Maka uraian tersebut dijadikan oleh penulis sebagai latar belakang memilih judul ”Analisis Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan di

Kecamatan Tarutung”.

1.2. Perumusan Masalah

(28)

yang terpinggirkan juga menjadi tujuan yang sangat penting bagi pelaksanaan PNPM-MP ini.

Pembangunan partisipatif tentunya mengutamakan partisipasi masyarakat lokal untuk mengembangkan kapasitas atau kemampuan masyarakat tersebut. Apabila wewenang diberikan kepada masyarakat untuk mengelola suatu program demi peningkatan kesejahteraan mereka sendiri, maka masyarakat akan mau mengerahkan segala potensi yang dimilikinya demi keberhasilan progrram tersebut. Agar sasaran penelitian ini lebih terarah, perlu adanya perumusan masalah yang jelas dan terinci yaitu:

1) Bagaimana peranan fasilitator, Kader Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah sebagai agent of change dalam meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MP di Kecamatan Tarutung?

2) Bagaimana tingkat partisipasi masyarakat dan faktor-faktor penghambat partisipasi dalam pelaksanaan PNPM-Mandiri Perdesaan di Kecamatan Tarutung?

(29)

PNPM-Mandiri Perdesaan yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri, tidak akan dapat dicapai dengan maksimal. Dan apabila terjadi hal demikian maka, program ini hanya akan berakhir sama seperti program-program pemberdayaan masyarakat yang pernah dilaksanakan sebelumnya.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian adalah:

1) Untuk mengetahui bagaimana peranan Fasilitator, Kader Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah sebagai agent of change dalam meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-Mandiri Perdesaan di Kecamatan Tarutung.

(30)

1.4. Manfaat Penelitian

1. Secara akademis memberikan kontribusi keilmuan tentang pemberdayaan masyarakat dan pengembangannya serta partisipasi masyarakat dalam kegiatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan dan proses pembangunan.

(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kemiskinan

Chambers dalam Dewanta (1995) menyebutkan inti dari masalah kemiskinan terletak pada apa yang disebut jebakan kekurangan atau deprivation trap yang melilit keluarga miskin. Kelima ketidakberuntungan itu adalah: kemiskinan itu sendiri, kelemahan fisik, ketersaingan, kerentanan, dan ketidakberdayaan. Kelimanya sangat berhubungan satu sama lain. Chambers menganjurkan agar kedua jenis ketidakberuntungan dari kelima hal tersebut mendapatkan perhatian khusus, yaitu kerentanan dan ketidakberdayaan, karena keduanya sering menjadi penyebab keluarga miskin menjadi bertambah miskin. Kerentanan menurut Chambers dilihat dari ketidakmampuan keluarga miskin untuk menyediakan sarana untuk menghadapi situasi darurat seperti datangnya bencana, penyakit dan sebagainya yang tiba-tiba menimpa keluarga itu. Sedangkan ketidakberdayaan keluarga miskin tercermin dalam kasus-kasus dimana mereka tidak dapat melakukan perlawanan pada saat mereka dipojokkan pada posisi tidak menguntungkan oleh pihak-pihak lain.

(32)

pandangan mengenai penyebab kemiskinan (Loekman Soetrisno dalam Dewanta, 1995) sebagai berikut:

a. Kelompok Agrarian Populism berpendapat bahwa kemiskinan disebabkan oleh campur tangan yang terlalu luas dari perintah dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat pedesaan, orang miskin dianggap akan dapat membantu dirinya sendiri. Kelompok ini mengusulkan cara untuk memberantas kemiskinan dengan jalan memberikan empowerment kepada masyarakat miskin.

b. Kelompok yang berpendapat bahwa inti atau penyebab kemiskinan adalah budaya orang miskin karena tidak memiliki etos kerja yang tinggi, tidak memiliki jiwa wiraswasta, pendidikan relatif rendah dan kualitas sumber dayanya rendah dan sebagainya.

Kemiskinan merupakan permasalahan yang selalu menjadi topik penting bagi bangsa Indonesia. Menurut Wrihatnolo dkk (2007), kondisi kemiskinan yang tengah dihadapi Indonesia dapat dilihat dari pendekatan konsumsi penduduk miskin, kemiskinan multidimensi dan kesenjangan antar-wilayah. Pendekatan konsumsi penduduk untuk melihat fenomena kemiskinan dapat dilihat dari dua jenis ukuran, yaitu ukuran konsumsi penduduk penduduk miskin dan ukuran daya beli. Kemiskinan multidemensi dapat diamati pada berbagai dimensi yang menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk miskin tidak mampu menikmati pelayanan dasar. Sedangkan kesenjangan antar-wilayah berarti bahwa masalah kemiskinan dipahami sebagai masalah kesenjangan antar daerah dalam hal kesejahteraan penduduk dengan melihat Indikator Pembangunan Manusia Indonesia (IPMI).

(33)

a. Strategi pertumbuhan berkualitas bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin ditandai dengan menguatnya daya beli yang didorong oleh terciptanya penghasilan bagi keluarga miskin dan berkurangnya beban pengeluaran serta lebih jauh dapat meningkatkan kemandirian keluarga miskin.

b. Strategi peningkatan akses pelayanan dasar bagi keluarga miskin yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup keluarga miskin yang ditandai dengan semakin meningkatnya kehadiran keluarga miskin pada fasilitas dan pelayanan kesehatan dasar, pendidikan, konsumsi pangan dan gizi.

c. Strategi perlindungan sosial bertujuan untuk meningkatkan perlindungan sosial kepada keluarga miskin ditandai dengan keluarga miskin yang dijangkau oleh sistem perlindungan sosial.

d. Strategi pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk mendorong penduduk miskin untuk secara kolektif terlibat dalam proses pengambilan keputusan termasuk menanggulangi kemiskinan yang mereka alami sendiri.

2.2. Pemberdayaan Masyarakat

Secara etimologis, pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya”, yang berarti kekuatan atau kemampuan. Sedangkan pemberdayaan dapat diartikan sebagai sebuah proses menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh daya/kekuatan/kemampuan, atau proses pemberian daya/kekuatan/kemampuan.

Sulistiyani (2004) menyatakan sebagai berikut:

“Daya dipahami sebagai suatu kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat, supaya mereka dapat melakukan sesuatu (pembangunan) secara mandiri. Sedangkan pemberdayaan merupakan suatu proses bertahap yang harus dilakukan dalam rangka memperoleh serta meningkatkan daya sehingga masyarakat mampu mandiri.”

(34)

tujuan pengentasan kemiskinan. Seperti yang diungkapkan oleh Hikmat (2001), yaitu bahwa “pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasi budaya, proses ini pada akhirnya akan menciptakan pembangunan yang berpusat pada rakyat”. Pembangunan yang bertumpu pada manusia dengan menggunakan strategi pemberdayaan masyarakat secara partisipatif, merupakan pilihan strategi pembangunan bagi banyak negara termasuk negara Indonesia. Pemberdayaan merupakan suatu upaya memberikan kekuatan kepada orang ataupun kelompok masyarakat yang lemah atau miskin dengan memberi peluang berpartisipasi baik dalam aspek ekonomi, sosial dan politik untuk kemudian mereka menyadari akan kebutuhan mereka dan pada akhirnya mampu melakukan penyelesaian terhadap masalah pemenuhan kebutuhan dan keluar dari kemiskinan.

Menurut Rappaport dalam Hikmat (2001), pemberdayaan diartikan sebagai “pemahaman secara psikologis pengaruh kontrol individu terhadap keadaan sosial, kekuatan politik, dan hak-haknya menurut undang-undang”. Dari pengertian tersebut konsep pemberdayaan bukan hanya seputar masalah ekonomi saja melainkan juga termasuk persoalan sosial dan politik.

(35)

kehidupan masyarakat”. Berbagai aturan dirancang untuk kemudian mengakui dan memperhitungkan berbagai kelompok yang terpinggirkan dalam proses sosial politik dan ekonomi. Namun menjadi hal yang sangat penting juga untuk mempersiapkan kelompok masyarakat tersebut melalui pendidikan sehingga menjadi mampu dan terampil dalam mempergunakan akses yang mereka dapatkan dalam proses pemberdayaan masyarakat. Saat ini merupakan masa dimunculkannya peran masyarakat pada tataran akar rumput, untuk berpartisipasi di dalam pembangunan.

Saat ini adalah masa dimunculkannya peran masyarakat pada tataran akar rumput untuk berpartisipasi di dalam pembangunan. Menurut Hikmat (2001:2) “pada hakikatnya proses pemberdayaan dapat dipandang sebagai depowerment dari sistem kekuasaan yang mutlak-absolut (intelektual, religius, politik, ekonomi dan militer)”. Sehingga sistem yang tercipta sepenuhnya berpihak pada kemanusiaan itu sendiri. Dengan demikian masyarakat miskin pun menjadi terangkat martabatnya dan di anggap memiliki potensi pengetahuan dan kemandirian terutama dalam kegiatan pembangunan. Kegiatan memberdayakan akan mengalami masalah ketika ada dominasi kekuatan dan kekuasaan suatu kelompok terhadap kelompok yang lainnya. Dalam pemberdayaan, kelompok masyarakat memiliki power untuk mewujudkan keinginannya dalam melanjutkan kehidupannya.

(36)

untuk dapat dipergunakan dalam memenuhi kebutuhannya. Hal tersebut senada dengan pernyataan Payne dalam Adi (2008) dikatakan bahwa inti dari suatu pemberdayaan ditujukan untuk:

“Membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.”

Beberapa pendapat tentang pemberdayaan di atas, memberikan cakupan yang luas dari konsep pemberdayaan tersebut. Namun inti dari konsep pemberdayaan, harus dipahami sebagai sebuah proses atau upaya menciptakan kemandirian masyarakat, agar masyarakat mampu mandiri dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan mereka terutama dalam masalah kemiskinan, tanpa tergantung dengan pihak lain. Tujuan akhir dari pemberdayaan itu sendiri adalah penanggulangan kemiskinan, melalui suatu capaian masyarakat yang mandiri.

(37)

1) Pilihan-pilihan pribadi dan menciptakan kesempatan-kesempatan kehidupan;

2) Mendefinisikan kebutuhan-kebutuhan; 3) Mengungkapkan gagasan-gagasan;

4) Mempengaruhi lembaga-lembaga pelayanan; 5) Memanfaatkan sumber-sumber;

6) Melakukan aktifitas-aktifitas ekonomi; serta 7) Melakukan reproduksi.

Ketujuh tujuan penyadaran tersebut memberikan pemahaman bahwa, pemberdayaan menjadi suatu upaya mengaktualisasikan potensi yang sebenarnya ada pada masyarakat, sehingga pada akhirnya potensi tersebut dimanfaatkan untuk mencapai kemandirian dalam memenuhi kebutuhannya sendiri. Variasi lokal atau karakteristik khusus seperti budaya, ciri atau latar belakang yang dimiliki oleh masyarakat dapat menjadi potensi bagi masyarakat untuk berkembang. Menurut Setiana (2005) bahwa dalam kerangka pemberdayaan masyarakat, yang terpenting adalah dimulai dengan bagaimana cara menciptakan kondisi, suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang.

Menurut Kartasasmita (1997), dalam upaya memberdayakan masyarakat dilakukan melalui tiga hal penting yaitu:

(38)

setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena kalau demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasikan dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.

2) Empowering; yaitu memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat. Dalam hal ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Proses ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. Upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Masukan (input) menyangkut pembangunan sarana dan prasarana dasar baik fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling bawah, serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di perdesaan, dimana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya amat kurang. 3) Protect ; bahwa memberdayakan mengandung arti melindungi. Dalam proses

(39)

Pada kerangka pembangunan nasional Indonesia, memberikan penjelasan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui: pertama,

menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan masyarakat berkembang.

Kedua, meningkatkan kemampuan masyarakat dalam membangun melalui berbagai bantuan dana, pelatihan, pembangunan prasarana dan sarana baik fisik maupun sosial, serta pengembangan kelembagaan di daerah. Ketiga, melindungi/memihak yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang dan menciptakan kemitraan yang menguntungkan. Pemberdayaan masyarakat dipahami sebagai strategi yang tepat untuk menggalang kemampuan ekonomi negara Indonesia guna meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Program Pengembangan Kecamatan (PPK) mengartikan konsep pemberdayaan sebagai suatu proses yang membangun manusia atau masyarakat melalui tiga aspek yaitu pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan perilaku masyarakat dan pengorganisasian masyarakat dengan tujuan utama pemberdayaan masyarakat (PPK-Fase II:2002):

1. Mengembangkan kemampuan masyarakat dengan membangun manusia, mengembangkan potensi masyarakat dan merubah sikap hidup.

(40)

3. Mengorganisir masyarakat, masyarakat perlu diorganisir untuk bekerja sama, mengatur, mengelola kegiatan atau program yang mereka kembangkan, mengajak untuk mengidentifikasi kebutuhan, memprioritaskan dan mencari pemecahannya.

Berdasarkan pedoman umum pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan, pemberdayaan masyarakat diartikan sebagai “upaya untuk menciptakan/meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan terkait upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraannya”. Masyarakat menjadi subjek dari pembangunan itu dan seluruh masalah yang dihadapi oleh masyarakat harus mampu diselesaikan oleh masyarakat sendiri. Yang berperan paling utama adalah masyarkat karena sebenarnya masyarakat sendirilah yang mengetahui apa yang dibutuhkannya. Masyarakat kemudian akan difasilitasi dengan pembimbingan, pembinaan, pengembangan kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya secara berkelanjutan sehingga pada saatnya mereka akan mampu dan mandiri.

(41)

dalam menanggulangi kemiskinan juga berangkat dari titik tersebut melalui program pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan.

2.3. Konsep Partisipasi Masyarakat

Partisipasi merupakan suatu bagian paling penting dalam proses pemberdayaan masyarakat. Partisipasi adalah sebuah konsep sentral, dan prinsip dasar dari pengembangan masyarakat karena diantara banyak hal, partisipasi terkait erat dengan gagasan HAM (Ife dan Tesoriero. 2008:295). Dalam hal ini dengan mendorong partisipasi dapat diartikan juga dengan mewujudkan hak azasi manusia.

Moeljarto (1987), mengartikan partisipasi sebagai pernyataan mental secara emosional seseorang dalam suatu situasi kelompok yang mendorong mereka menyumbangkan daya pikir dan perasaan mereka bagi terciptanya tujuan organisasi dan bersama-sama bertanggung jawab terhadap organisasi sosial tersebut. Masyarakat memberikan perhatian seutuhnya memikirkan apa yang terbaik bagi peningkatan kesejahteraan hidup mereka. Ketika mereka yang menentukan apa yang hendak mereka usahakan dan perbuat bagi pembangunan, maka secara otomatis tanggung jawab akan tumbuh di dalam diri masyarakat tersebut.

(42)

sukarela mendukung kegiatan tersebut. Kegiatan mendukung suatu kegiatan memang berkembang dari masyarakat di tingkat bawah sampai pada proses pengambilan keputusan.

Bintoro (1998) memberikan esensi partisipasi masyarakat sebagai berikut: 1. Keterlibatan dalam proses penentuan arah, strategi dan kebijaksanaan

pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Hal ini terutama berlangsung dalam proses politik tetapi juga berlangsung dalam proses sosial, hubungan antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

2. Keterlibatan dalam memikul beban dan bertanggungjawab dalam pelaksanaan pembangunan. Hal ini dapat berupa sumbangan dalam memobilisasi sumber-sumber pembiayaan dalam pembangunan, kegiatan produktif yang serasi, dan pengawasan sosial atas jalannya pembangunan. 3. Keterlibatan dalam memetik hasil dan manfaat pembangunan secara

berkeadilan. Bagian-bagian daerah ataupun golongan-golongan masyarakat tertentu dapat ditingkatkan keterlibatannya dalam bentuk kegiatan produktif mereka melalui perluasan kesempatan-kesempatan dan pembinaan tertentu.

(43)

merencanakan, memutuskan, melaksanakan, mengawasi, mengevaluasi sampai memelihara pembangunan tersebut. Pembangunan yang berbasis partisipasi tersebut akan memunculkan rasa memiliki terhadap program pembangunan, pada akhirnya paradigma top down akan ditinggalkan (Muttaqin,_____).

Ife dan Tesoriero menyatakan ada beberapa kondisi yang mendorong partisipasi, kondisi-kondisi tersebut adalah sebagai berikut:

1) Orang akan berpartisipasi apabila mereka merasa bahwa isu atau aktivitas tersebut penting. Cara ini akan lebih efektif apabila rakyat sendiri telah mampu menentukan isu atau aksi, bukan berasal dari perintah orang luar. 2) Orang harus merasa bahwa aksi mereka akan membawa perubahan. 3) Berbagai bentuk partisipasi harus diakui dan dihargai.

4) Orang harus bisa berpartisipasi, dan tentunya didukung dalam partisipasinya.

5) Struktur dan proses tidak boleh mengucilkan, sebagai contoh pembuatan keputusan yang sering mengucilkan mereka yang tidak bisa “berpikir cepat”, tidak ingin menginterupsi, kurang percaya diri dan tidak memiliki kemahiran berbicara.

(44)

a. Partisipasi dilakukan melalui organisasi yang sudah dikenal atau sudah ada dalam masyarakat

b. Partisipasi memberikan manfaat langsung kepada masyarakat

c. Manfaat yang diperoleh melalui partisipasi dapat memenuhi kepentingan masyarakat setempat.

Masyarakat berpartisipasi dilakukan secara sukarela berarti bahwa masyarakat tidak boleh berada dalam tekanan dari pihak luar. Partisipasi bukan hanya diukur dari sekedar memenuhi suatu aturan dari program pembanguman, namun partisipasi lebih pada kualitas yang dihasilkan oleh keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan. Partisipasi bukan dari kuantitas, yang menekankan angka-angka dan jumlah warga yang berpartisipasi akan tetapi lebih pada kualitas wacana partisipasi yang dikembangkan (Kleden, 2004). Sehingga partisipasi menjadi lebih bermakna ketika argumen untuk partisipasi dan akuntabilitas institusional didasari oleh konsepsi hak yang dalam konteks pembangunan, akan memperkuat status warga negara. Jika sebelumnya warga negara dirumuskan sebagai pemanfaat (beneficiaries), sekarang ini harus diposisikan sebagai pihak yang berhak atas pembangunan.

Bentuk-bentuk partisipasi (Ndraha, 1990) meliputi:

(45)

b) Partisipasi dalam memperhatikan/menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima, mengiyakan, menerima dengan syarat maupun dalam arti menolaknya

c) Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pengambilan keputusan

d) Partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan

e) Partisipasi dalam menerima, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan

f) Partisipasi dalam menilai, yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai sejauh mana pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana dan sejauh mana hasilnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan berarti masyarakat sebagai pemeran utama mulai dari perencanaan, pengelolaan sampai pada pengawasan dan evaluasi, sehingga pada akhirnya masyarakat merasa memiliki terhadap berbagai program pembangunan yang dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat. Dalam kaitannya dengan hal ini, para praktisi pembangunan berposisi sebagai pihak yang memfasilitasi upaya peningkatan aksesibilitas terhadap sumber-sumber lokal (Hikmat, 2001).

(46)

masyarakat. Keadaan ini dapat terjadi karena beberapa sebab antara lain (Kartasasmita, 1997):

a) Pembangunan hanya menguntungkan segolongan kecil masyarakat dan tidak menguntungkan rakyat banyak.

b) Pembangunan meskipun dimaksudkan menguntungkan rakyat banyak, tetapi rakyat kurang memahami maksud itu

c) Pembangunan dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat dan rakyat memahaminya, tetapi cara pelaksanaannya tidak sesuai dengan pemahaman mereka.

d) Pembangunan dipahami akan menguntungkan rakyat tetapi sejak semula rakyat tidak diikutsertakan.

Keikutsertaan masyarakat adalah sangat penting di dalam keseluruhan proses pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam program pemberdayaan selayaknya mencakup keseluruhan proses mulai dari awal sampai tahap akhir. Oleh karena itu, Kaho (1995) mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat dapat terjadi pada empat jenjang yaitu:

a) Partisipasi dalam proses pembuatan keputusan b) Partisipasi dalam pelaksanaan

(47)

Konsep ini memberikan makna bahwa masyarakat akan berpartisipasi secara sukarela apabila mereka dilibatkan sejak awal dalam proses pembangunan melalui program pemberdayaan. Ketika mereka mendapatkan manfaat dan merasa memiliki terhadap program pemberdayaan, maka dapat dicapai suatu keberlanjutan dari program pemberdayaan.

2.4. Intervensi Pemberdayaan Masyarakat

Intervensi dalam bentuk pendampingan masyarakat sangat penting bagi upaya memandirikan masyarakat,utamanya di awal proses pemberdayaan, karena sering dijumpai masyarakat yang memiliki pengetahuan terbatas seperti dalam bidang manajemen, pemasaran, teknologi dan sebagainya. Namun pendampingan yang kurang tepat juga dapat mengakibatkan hal yang sebaliknya yaitu ketidakmandirian bahkan ketergantungan. Oleh karena itu menurut Ismawan (2000), bentuk pendampingan yang dapat memandirikan masyarakat adalah dengan memiliki kriteria sebagai berikut:

(48)

b. Organisasi yang sesuai; artinya organisasi pendampingan semestinya didesain sesederhana mungkin dan berorientasi pada praksis, berjalan mengikuti perkembangan kelompok.

c. Tenaga pendamping yang tepat; memiliki kapasitas dan kapabilitas yang memadai agar mampu mengemban tugas sebagai agen pemberdayaan masyarakat. Kriteria dasar yang harus dimiliki oleh pendamping ada tiga yaitu: memiliki wawasan yang tepat tentang kegiatan yang dijalankan, memiliki kemampuan berkomunikasi sesuai “bahasa” kelompok masyarakat yang didampingi, serta memiliki kemampuan berperilaku sesuai dengan nilai, norma dan tradisi masyarakat setempat.

(49)

memenuhi kebutuhannya. Intervensi dalam penelitian ini diarahkan kepada bentuk peranan dari fasilitator, pemerintah daerah dan kader pemberdayaan masyarakat yang harus mampu sebagai agent of change yang mampu membawa nuansa perubahan ke arah yang lebih baik demi kesejahteraan masyarakat dengan niat sebagai pekerja sosial yang baik.

Menjadi seorang pelaku perubahan dituntut suatu keberanian, percaya diri, komitmen dan cekatan terhadap usahanya dalm melakukan perubahan. Di dalam Program nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, peranan yang paling penting terdapat pada fasilitator, Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) dan pemerintah daerah. Agar lebih jelas dan terarah, perlu diberikan batasan terhadap konsep dari peranan itu sendiri.

2.4.1. Konsep Peranan

(50)

Dalam kehidupan sehari-hari peranan mempunyai fungsi yang penting, khususnya dalam mengatur tingkah laku seseorang. Sehubungan dengan hal tersebut menurut Elly Chinoi (Soekanto, 1990), pentingnya peranan adalah karena ia mengatur perilaku seseorang. Orang yang bersangkutan akan dapat menyesuaikan diri dengan perilaku orang-orang sekelompoknya. Kemudian Soekanto (1990) mengatakan sebagai berikut:

Peranan menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai proses. Tepatnya adalah bahwa seseorang yang menduduki suatu posisi atau tempat dalam masyarakat dan menjalankan suatu peran. Peranan merupakan proses dinamis dari kedudukan dan status. Dengan demikian seseorang yang menjalankan peranan adalah mereka yang melaksanakan hak dan kewajiban, tugas dan fungsinya sesuai dengan kedudukan atau status yang dimiliki.

Menurut Gibson (1991), ada beberapa jenis peranan yaitu:

a. Peranan yang dipersepsikan, yaitu perangkat perilaku seseorang dalam suatu posisi dimana ia berpendapat bahwa ia harus memainkan peranan tersebut.

b. Peranan yang diharapkan, yaitu perilaku nyata yang diharapkan masyarakat dari seseorang atas kedudukannya.

c. Peranan yang dimainkan, yaitu perilaku yang benar-benar dilaksanakan seseorang sesuai dengan kedudukannya.

(51)

penelitian ini, konteks peranan diarahkan pada peranan agen-agen pemberdayaan masyarakat seperti Fasilitator, Kader Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah dalam kerangka memberdayakan masyarakat melalui peningkatan partisipasi aktif dari masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan.

2.4.2. Peranan Agent Of Change atau Pelaku Perubahan dalam Pemberdayaan

Masyarakat

Peran pelaku perubahan dalam upaya pemberdayaan masyarakat terkait dengan peran sebagai community worker ataupun enabler (Ife dalam Adi, 2007). Selanjutnya menurut Ife, sebagai community worker, setidak-tidaknya ada empat peran dan keterampilan utama yang nantinya secara lebih spesifik akan mengarah pada teknik dan keterampilan tertentu yang harus dimiliki seorang community worker

sebagai pemberdaya masyarakat yaitu sebagai berikut:

a. Peran dan keterampilan fasilitatif, dari peran ini terdapat tujuh peran khusus yaitu: animasi sosial, mediasi dan negosiasi, pemberi dukungan, membentuk konsensus, fasilitasi kelompok, pemanfaatan sumber daya dan keterampilan, dan mengorganisasi.

(52)

c. Peran dan keterampilan perwakilan yang meliputi enam peran yaitu mencari sumber daya, advokasi, memanfaatkan media, hubungan masyarakat, mengembangkan jaringan, serta membagi pengetahuan dan pengalaman.

d. Peran dan keterampilan teknis yang mencakup keterampilan pemberdaya masyarakat untuk melakukan riset, menggunakan komputer, melakukan presentasi tertulis maupun verbal, serta kemampuan untuk mengontrol dan mengelola keuangan.

Pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan dijalankan oleh beberapa pelaku yang mempunyai fungsi masing-masing, baik itu sebagai pelaksana, fasilitator, pembimbing dan Pembina agar tujuan, prinsip, kebijakan, prosedur dan mekanisme PNPM Mandiri Perdesaan tercapai dan dilaksanakan secara benar dan konsisten. Di dalam penelitian ini dibatasi pada peranan Fasilitator, Kader Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah yang diharapkan mampu sebagai agen-agen perubahan dalam upaya pemberdayaan masyarakat.

2.4.2.1. Peranan Fasilitator Pemberdayaan

(53)

bertugas hanya memberikan pelatihan, bimbingan, nasihat atau pendapat. Fasilitator harus menjadi narasumber yang baik untuk berbagai permasalahan (Indosdm, 2008).

Pada sebuah program pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat, dibutuhkan bantuan dari fasilitator yang memiliki kualifikasi terhadap proses pemberdayaan masyarakat yang tepat. Fasilitator adalah seseorang yang mempunyai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan perilaku (attitude), yang dimanfaatkan untuk memberdayakan komunitas rentan, sehingga komunitas tersebut mampu mengatasi kemiskinannya. Fasilitator sangat diperlukan untuk mendampingi masyarakat yang memiliki keterbatasan dalam mengembangkan dirinya dalam memperbaiki kesejahteraannya. Sebagai fasilitator, peranan yang diberikan berkaitan dengan pemberian motivasi, kesempatan, dan dukungan bagi masyarakat melalui mediasi, negosiasi, memberi dukungan, membangun konsensus bersama serta melakukan pengorganisasian dan pemanfaatan sumber (Shodiq, 2009).

Menurut Ife dan Tesoriero (2008), peran memfasilitasi dalam hal menstimulasi dan menunjang pengembangan masyarakat yaitu:

(54)

dengan jelas dan tepat, pemahaman dan analisis pekerja masyarakat yang tepat.

b. Mediasi dan Negosiasi; mensyaratkan keterampilan untuk mendengar dan memahami kedua belah pihak, untuk merefleksikan berbagai pandangan dari masing-masing pihak, untuk membuat penduduk menghormati legitimasi pandangan orang lain, serta untuk membantu penduduk mencari area-area yang bisa menjadi kesepakatan dan kemudian membantu mereka membuat konsensus. Apabila pekerja masyarakat tersebut berada di satu sisi konflik sehingga mediasi menjadi sesuatu hal yang tidak mungkin, maka masih bisa memerankan peran negosiasi, untuk bisa mewakili satu pihak dari suatu konflik tertentu.

c. Dukungan; yaitu menyediakan dukungan bagi orang-orang yang terlibat dalam berbagai struktur dan aktivitas masyarakat mencakup hal-hal mengafirmasi penduduk, mengenali dan mengakui nilai mereka serta nilai kontribusi mereka, memberi dorongan, menyediakan diri ketika mereka perlu membicarakan sesuatu atau menanyakan berbagai pertanyaan, dan lain sebagainya.

(55)

tidak berarti setiap orang harus setuju terhadap segala hal, terutama ketika terdapat perbedaan pendapat yang secara jelas tidak mungkin dipertemukan. Lebih dari itu, sebuah konsensus itu mewakili suatu persetujuan atas tujuan dari tindakan, yang setiap orang telah ditentukan akan menjadi bagian yang terbaik dengan memperhatikan dan menghormati perbedaan pandangan dalam sebuah kelompok.

e. Fasilitasi kelompok; seorang pekerja masyarakat akan memainkan sebuah peran memfasilitasi dengan sebuah kelompok, apakah secara formal sebagai seorang ketua rapat atau penyelenggara rapat, ataukah secara tidak formal sebagai seorang anggota kelompok yang mampu membantu kelompok untuk mencapai tujuannya dengan sebuah cara yang efektif. Hal tersebut dapat melibatkan pembicaraan kepada anggota kelompok terlebih dahulu mendorong mereka untuk berpartisipasi dan membantu mereka untuk berpikir melalui pendekatan pertemuan.

(56)

seorang pekerja masyarakat juga penting untuk memiliki pemahaman yang baik mengenai apa yang tersedia dalam masyarakat seperti keuangan, keahlian, bahan-bahan mentah, produk-produk yang dibuat, berbagai fasilitas masyarakat atau pekerja sukarela.

g. Mengorganisasi; peran ini melibatkan kemampuan untuk berpikir melalui apa yang butuh diselesaikan tanpa harus melakukannya seorang diri untuk memastikan itu semua terjadi.

h. Komunikasi pribadi; peran ini adalah penting untuk dapat berhubungan dengan penduduk setempat. Komunikasi yang dihasilkan adalah efektif, dengan tetap memelihara atmosfir kepercayaan dan dukungan masyarakat.

2.4.2.2. Peranan Kader Pemberdayaan Masyarakat

(57)

Menurut Peraturan menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2007, Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) adalah “anggota masyarakat Desa dan Kelurahan yang memiliki pengetahuan, kemauan dan kemampuan untuk menggerakkan masyarakat berpartisipasi dalam pemberdayaan masyarakat dan pembangunan partisipatif.” Oleh karena itu untuk menjadi kader dalam pemberdayaan masyarakat harus memiliki kapasitas yang baik serta memiliki jiwa pengabdian bagi masyarakat. Untuk itu para KPM wajib mengikuti pelatihan guna menyelaraskan tujuan bersama dalam pemberdayaan masyarakat guna mencapai kesejahteraan.

Tugas KPM dalam rangka pemberdayaan masyarakat dan pembangunan partisipatif menurut Permendagri Nomor 7 tahun 2007 adalah sebagai berikut:

a. Menggerakkan dan memotivasi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembangunan di wilayahnya;

b. Membantu masyarakat dalam mengartikulasi kebutuhannya dan membantu mengidentifikasi masalahnya;

c. Membantu masyarakat mengembangkan kapasitas agar dapat menangani masalah yang dihadapi secara efektif;

(58)

e. Melakukan pekerjaan purna waktu untuk menghadiri pertemuan/ musyawarah, membantu kelompok masyarakat dalam memperoleh akses terhadap berbagai pelayanan yang dibutuhkan.

Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) dalam melaksanakan berbagai tugas dengan tujuan utamanya untuk memberdayakan masyarakat, memiliki fungsi sebagai berikut:

a. Pengidentifikasian masalah, kebutuhan dan sumber daya pembangunan yang dilakukan seara partisipatif;

b. Penampungan dan penyaluran aspirasi masyarakat bersama Lembaga Kemasyarakatan kepada Pemerintah Desa atau Kelurahan;

c. Penyusunan rencana pembangunan dan fasilitasi musyawarah perencanaan pembangunan secara partisipatif;

d. Pemberian motivasi, penggerakkan dan pembimbingan masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat dan pembangunan partisipatif;

e. Penumbuhkembangan prakarsa, swadaya dan gotong royong masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat dan pembangunan partisipatif;

f. Pendampingan masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat;

(59)

h. Pendampingan masyarakat dalam pemanfaatan, pemeliharaan dan pengembangan hasil pembangunan;

i. Menumbuhkembangkan dinamika Lembaga Kemasyarakatan dan kelompok-kelompok masyarakat yang bergerak di bidang ekonomi, sosial budaya, dan pelestarian lingkungan hidup dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat;

j. Pengordinasian pelaksanaan kegiatan Kader Teknis dalam pemberdayaan masyarakat dan pembangunan partisipatif; dan

k. Penanaman dan pemupukan rasa persatuan dan kesatuan masyarakat dalam kerangka memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan peranan KPM menurut Permendagri Nomor 7 tahun 2007 adalah sebagai berikut:

a. Enabler yaitu sebagai pemercepat perubahan dengan membantu masyarakat untuk mengidentifikasi masalah, mengembangkan kapasitas agar dapat menangani masalah yang dihadapi secara lebih efektif dan mengembangkan hubungan di antara pemeran/ stakeholders pembangunan dengan baik;

(60)

individu atau kelompok masyarakat apabila terjadi konflik dalam masyarakat;

c. Educator yaitu sebagai pendidik dengan secara aktif memberikan berbagai masukan yang positif dan langsung sebagai bagian dari pengalaman-pengalamannya. Membangkitkan kesadaran individu atau kelompok warga masyarakat bahwa ketidakberdayaan mereka disebabkan oleh ketidaksadarannya pada berbagai masalah yang ada pada dirinya. Memberi informasi melalui kegiatan belajar-mengajar untuk mendidik dan membiasakan warga yang didampinginya berfikir lebih matang secara komprehensif. Menularkan dan membagi pengalaman dan pengetahuan yang telah diperoleh selama menjadi pendamping kepada masyarakat; d. Planner yaitu sebagai perencana, dengan mengumpulkan data mengenai

masalah yang terdapat dalam masyarakat, kemudian menganalisa dan menyajikan alternatif tindakan yang rasional untuk menangani masalah dan mengembangkan program pemberdayaan masyarakat dan pembangunan partisipatif;

(61)

f. Activist yaitu menjadi aktivis melakukan perubahan institusional yang lebih mendasar dengan tujuan pengalihan sumber daya ataupun kekuasaan pada kelompok yang kurang mendapatkan keuntungan. Memperhatikan isu-isu tertentu, menstimulasi kelompok-kelompok yang kurang diuntungkan, untuk mengorganisir diri dan melakukan tindakan melalui negosiasi dalam mengatasi konflik; dan

g. Technical roles atau menjadi pelaksana teknis dengan mengorganisir warga masyarakat, juga melaksanakan tugas-tugas teknis seperti mengumpulkan data, mengolah data, menganalisis, mengoperasikan komputer, menulis, presentasi dan mengatur serta mengendalikan keuangan.

2.4.2.3. Peranan Pemerintah Daerah

(62)

berorientasi pada pasar. Arah pelayanan publik lebih dititikberatkan pada “rowing role’s” (fasilitasi untuk mendorong partisipasi masyarakat) yang dimanifestasikan dalam kebijakan publik dan “steering role’s” (mengarahkan kegiatan masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan).

Upaya pemberdayaan masyarakat saat ini, mengutamakan adanya keterlibatan atau peranan segenap unsur dalam masyarakat, utamanya peranan birokrasi sebagai unsur yang dekat dengan kehidupan masyarakat. Peranan pemerintah daerah dalam proses pemberdayaan masyarakat adalah penting. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pemerintah daerah yang paling dekat dengan masyarakat adalah pemerintah Kelurahan dan Desa. Penggunaan kekuasaan negara ada di dalam pemerintahan, seperti pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial bagi pembangunan masyarakat, sehingga hal ini pasti berpengaruh terhadap keberdayaan masyarakat. Kemudian di dalam menjalankan otonomi daerah, pemerintah daerah mengambil peranan besar. Di dalam proses pemberdayaan, pemerintah harus mampu menyesuaikan dengan kondisi masyarakat, dalam hal ini, ada beberapa upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah (Kartasasmita, 1997) yaitu:

(1)Birokrasi harus memahami aspirasi rakyat dan harus peka terhadap masalah yang dihadapi oleh rakyat.

(63)

Aparat pemerintah mambantu memecahkan masalah yang tidak dapat di atasi oleh masyarakat sendiri.

(3)Untuk itu maka birokrasi harus menyiapkan masyarakat dengan sebaiknya, baik pengetahuannya maupun cara bekerjanya, agar upaya pemberdayaan masyarakat dapat efektif. Ini merupakan bagian dari upaya pendidikan sosial untuk memungkinkan rakyat membangun dengan kemandirian. (4)Birokrasi harus membuka dialog dengan masyarakat. Keterbukaan dan

konsultasi ini amat perlu untuk meningkatkan kesadaran (awareness) masyarakat, dan agar aparat dapat segera membantu jika ada masalah yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh rakyat.

(5)Birokrasi harus membuka jalur informasi dan akses yang diperlukan oleh masyarakat yang tidak dapat diperolehnya sendiri.

(6)Birokrasi harus menciptakan instrumen peraturan dan pengaturan mekanisme pasar yang memihak golongan masyarakat yang lemah.

(64)

untuk menjadi salah satu agen yang membawa perubahan di tengah-tengah masyarakat, yang memandang masyarakat sebagai pemilik pembangunan. Perubahan perilaku yang sentralistik dan kaku menjadi birokrasi yang mampu menumbuhkan inisiatif dan kreativitas masyarakat dan lembaga lokal, serta memandang masyarakat sebagai subjek dari pembangunan.

(65)

Gambar 2.1.

Sinergi Masyarakat dan Pemerintah Daerah

Sumber: Paparan Deputi Menkokesra, 10 Juli 2008 Stakeholder lokal PEMDA PRO POOR &

GOOD GOVT atas dasar prinsip Good

(66)

2.5. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri

2.5.1. PNPM Mandiri

Diperlukan suatu usaha penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja, dengan menggunakan pendekatan yang multi disiplin dan berdimensi pemberdayaan. Oleh karena itu mulai tahun 2007 pemerintah Indonesia mengeluarkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Program ini melibatkan masyarakat dalam pembangunan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi. Pada program ini, masyarakat diharapkan menjadi mandiri dan berperan sebagai subyek dalam upaya penanggulangan kemiskinan. PNPM Mandiri adalah program Nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPM Mandiri dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan, dan pendanaan stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan.

(67)

1) Tujuan Umum

Adalah meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri.

2) Tujuan Khusus

a. Meningkatnya partisipasi seluruh masyarakat, termasuk masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas adat terpencil, dan kelompok masyarakat lainnya yang rentan dan sering terpinggirkan ke dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan.

b. Meningkatnya kapasitas kelembagaan masyarakat yang mengakar, representatif dan akuntabel

c. Meningkatnya kapasitas pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat terutama masyarakat miskin melalui kebijakan, program dan penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin (pro-poor).

d. Meningkatnya sinergi masyarakat, pemerintah daerah, swasta, asosiasi, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, dan kelompok peduli lainnya, untuk mengefektifkan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan.

(68)

f. Meningkatnya modal sosial masyarakat yang berkembang sesuai dengan potensi sosial dan budaya serta untuk melestarikan kearifan lokal.

g. Meningkatnya inovasi dan pemanfaatan teknologi tepat guna, informasi dan komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat.

PNPM Mandiri menekankan pada prinsip-prinsip dasar yaitu: 1) Bertumpu pada pembangunan manusia

2) Otonomi 3) Desentralisasi

4) Berorientasi pada masyarakat miskin 5) Partisipasi

6) Kesetaraan dan keadilan gender 7) Demokratis

8) Transparansi dan akuntabel 9) Prioritas

10)Kolaborasi 11)Keberlanjutan 12)Sederhana

(69)

pemberdayaan masyarakat dalam PNPM Mandiri dilakukan melalui komponen program sebagai berikut:

1) Pengembangan Masyarakat

Komponen ini mencakup serangkaian kegiatan untuk membangun kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat yang terdiri dari pemetaan potensi, masalah dan kebutuhan masyarakat, perencanaan partisipatif, pengorganisasian, pemanfaatan sumberdaya, pemantauan dan pemeliharaan hasil-hasil yang telah dicapai. Untuk mendukung kegiatan tersebut, disediakan dana pendukung kegiatan pembelajaran masyarakat, pengembangan relawan, dan operasional pendampingan masyarakat; dan fasilitator, pengembangan kapasitas, mediasi dan advokasi. Peran fasilitator terutama pada saat awal pemberdayaan, sedangkan relawan masyarakat adalah yang utama sebagai motor penggerak masyarakat di wilayahnya.

2) Bantuan Langsung Masyarakat

Komponen BLM ini adalah dana stimulan keswadayaan yang diberikan kepada sekelompok masyarakat untuk membiayai sebagian kegiatan yang direncanakan oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan, terutama masyarakat miskin.

3) Peningkatan Kapasitas Pemerintahan dan Pelaku Lokal

Gambar

Gambar 2.1. Sinergi Masyarakat dan Pemerintah Daerah
Gambar 2.2. Alur Tahapan PNPM Mandiri Perdesaan
Tabel 3.1. Batasan Operasionalisasi Variabel Peranan Fasilitator, Peranan Kader
Tabel 3.2. Batasan Operasionalisasi Variabel Tingkat Partisipasi Masyarakat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam perencanaan PNPM MP di Desa Sitio II masih rendah dilihat dari kehadiran masyarakat dalam

[r]

1) Adanya keterlibatan mental dan perasaan, lebih dari semata-mata atau hanya keterlibatan secara jasmaniah. Disini masyarakat Desa Pulorejo yang tergabung dalam relawan

Dimana dengan adanya pengelolaan yang baik terhadap dana Simpan Pinjam Perempuan ini di dalam kelompok, diharapkan program Simpan Pinjam Perempuan mampu menjadi

Pelaksanaan kegiatan Simpan Pinjam khusus Perempuan (SPP) Perguliran yang dipelopori oleh PNPM MPd di Desa Jenggawah Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember yang

Koordinasi Camat dalam perencanaan kegiatan PNPM Mandiri dilakukan dengan efektif melalui Musyawarah Antar Desa (MAD) Prioritas Usulan yang membahas dan menyusun

PNPM-MP khususnya SPP ini juga sangat berpengaruh bagi masyarakat Dusun Belencong Desa Midang karena dengan adanya kelompok SPP ini mereka dapat dengan mudah mendapatkan

Fasilitator Kabupaten adalah tenaga profesional yang berkedudukan di tingkat Kabupaten. Peran Fasilitator Kabupaten adalah sebagai supervisor atas pelaksanaan