GANGGUAN FUNGSI KOGNITIF PADA REMAJA PENDERITA MIGREN DAN PERAN TERAPI PROFILAKTIK
SIPROHEPTADIN
TESIS
ELVINA YULIANTI 057103005/IKA
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK-SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
GANGGUAN FUNGSI KOGNITIF PADA REMAJA PENDERITA MIGREN DAN PERAN TERAPI PROFILAKTIK
SIPROHEPTADIN
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik (Anak) Dalam Program Magister Kedokteran Klinik
Konsentrasi Kesehatan Anak
Pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
ELVINA YULIANTI 057103005/IKA
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK-SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : Gangguan Fungsi Kognitif Pada Remaja Penderita Migren dan Peran Terapi Profilaktik Siproheptadin
Nama Mahasiswa : Elvina Yulianti Nomor Induk Mahasiswa : 057103005
Program Magister : Kedokteran Magister Klinik Konsentrasi : Kesehatan Anak
Menyetujui Komisi Pembimbing :
( Prof. Dr. H. Iskandar Z. Lubis,SpA(K) ) Ketua
( Prof. Dr. H. Munar Lubis, SpA(K)) Anggota
Ketua Program Studi, Ketua TKP-PPDS,
Telah diuji pada
Tanggal : 12 November 2008
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua: Prof. Dr. H. Iskandar Z. Lubis, SpA(K) ……… Anggota: 1. Prof. Dr. H. Munar Lubis, SpA(K) ……… 2. Prof. Dr. Darulkutni Nasution, SpS(K) ……… 3. Prof. Dr. Rusdi Djas, SpA(K) ………
UCAPAN TERIMA KASIH
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahNya serta telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas
akhir pendidikan keahlian di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK-USU /
RSUP H. Adam Malik Medan.
Penulis menyadari penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari
kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, oleh sebab itu dengan segala
kerendahan hati penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua
pihak untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan
penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Pembimbing utama Prof. dr. H. Iskandar Z.Lubis, SpA(K), dr.Hj. Melda
Deliana, SpA(K), yang telah memberikan bimbingan, bantuan serta
saran-saran yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan
penyelesaian tesis ini.
2. Dr. Sri Sofyani, SpAK, dr. Yazid Dimyati, Sp A dan dr. Johannes
Saing, Sp A yang telah banyak membantu dan membimbing saya
dalam menyelesaikan penelitian serta tesis ini.
3. Prof. dr. H. Munar Lubis, SpA(K), selaku Ketua Program Studi
Pendidikan Dokter Spesialis Anak FK-USU dan Prof. dr. Hj. Bidasari
Lubis, SpA(K). selaku Sekretaris Program Studi hingga tahun 2007
dan dr. Hj. Melda Deliana, SpA(K) selaku Sekretaris Program Studi
periode 2007 hingga saat ini, yang telah banyak memberikan nasehat
4. Prof. dr. H. Guslihan Dasa Tjipta, SpA(K), selaku Ketua Departemen
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik
Medan periode 2003-2007 dan dr. H. Ridwan M. Daulay, SpA(K),
selaku Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
USU/RSUP H. Adam Malik Medan periode 2007 – 2010 yang telah
memberikan bantuan dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian
tesis ini.
5. Dr. Muhammad Ali, SpA(K) dan seluruh staf pengajar di Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah
memberikan sumbangan pikiran dalam pelaksanaan penelitian dan
penulisan tesis ini.
6. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. H. Chairuddin P Lubis,
DTM&H, SpA(K) dan Dekan FK-USU yang telah memberikan
kesempatan untuk mengikuti program pendidikan Dokter Spesialis
Anak di FK- USU.
7. Kepala Sekolah beserta guru-guru Sekolah Menengah Pertama
(SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah kejuruan
setingkat SMA dan SMP, meliputi SMP Negeri 34, SMP Swasta
Bhayangkari, SMP Taman Siswa, serta SMU, STM, SMEA
Tsanawiyah UMN Al- Wasliyah, SMU I UNIVA, SMU Mualimin UNIVA
dan SMK Taman Siswa serta orang tua siswa/i yang telah
memberikan izin dan fasilitas pada penelitian ini sehingga dapat
terlaksana dengan baik.
8. Sahabat saya Rina Amalia C Saragih dan teman sejawat Ade
Rahmat, Zulkarnain, Pranoto Trilaksono, Astri Nurhayati dan Atahillah
yang senantiasa mendoakan, mendorong, dan mengorbankan banyak
hal demi selesainya studi ini.
9. Susilowati, Gemma Nazri Yani, Ayodhia Pitaloka, Rini Savitri Daulay,
bersama-sama dalam suka dan duka serta teman sejawat PPDS Ilmu
Kesehatan Anak dan semua pihak yang telah memberikan bantuan
dalam terlaksananya penelitian serta penulisan tesis ini.
10. Teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK USU serta semua
pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan dalam terlaksananya penelitian serta penulisan
tesis ini.
Teristimewa kepada ibunda tercinta Hj. Salmiah Saleh yang
senantiasa mendoakan, memberikan kasih sayang dan semangat, dan
ayahanda Alm. H. Abd Gani Sabi yang walaupun beliau telah kembali ke
haribaan Allah SWT, namun berkat doa dan dorongan semasa hidupnya-lah
yang memungkinkan penulis dapat menjalani dan menyelesaikan studi ini,
semoga Allah SWT menempatkan beliau pada tempat yang mulia di
haribaan-Nya. Amin. Serta semua abang dan kakak yang selalu mendoakan,
memberikan dorongan, bantuan moril dan materil selama penulis mengikuti
pendidikan ini. Semoga budi baik yang telah diberikan mendapat imbalan
dari Allah SWT
Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini
bermanfaat bagi kita semua, Amin.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Medan, 12 November 2008
BAB 4. HASIL 29
BAB 5. PEMBAHASAN 36
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 44
6.2 Saran 44
Ringkasan 45
Daftar Pustaka 47
Lampiran 1. Lembar Penjelasan Kepada Orang tua Subyek 51
2. Surat Pernyataan Kesediaan 53
3. Lembar Kuesioner 55
4. Diagnosis Migren 57
5. PedMIDAS 59
6. WISC Record Form 60
7. Persetujuan Komite Etik 61
8. Riwayat Hidup 62
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Karakteristik sampel penelitian 29
Tabel 4.2. Frekuensi dan beratnya migren 30
Tabel 4.3. Nilai WISC (Mean, (SD)) antara kedua kelompok 31
Tabel 4.4. Nilai WISC (Mean, (SD)) antara setiap kelompok 32
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Patofisiologi dan target terapi migren 10
Gambar 2.2. Rumus bangun siproheptadin 13
Gambar 2.3. Kerangka konseptual 17
Gambar 3.1. Alur penelitian 23
Gambar 4.1. CONSORT Algoritme 28
DAFTAR SINGKATAN
IHS : International Headache Society
IQ : Intelligence Question
kgbb : Kilogram berat badan
mg : miligram
mm : milimeter
MSG : mono sodium glutamat
MIDAS : Migraine Disability Assessment MA : Migren dengan aura
MoA : Migren tanpa aura
PedMIDAS : PediatricMigraine Disability Assessment PGA : Pebdidikan guru agama
SD : Sekolah Dasar
SMP : Sekolah menengah Pertama SMEA : Sekolah Menengah Ekonomi Atas SMK : Sekolah Menengah Kejuruan STM : Sekolah Teknik Menengah
SMU : Sekolah Menengah Umum UNIVA : Universitas Alwasliyah
UMN : Universitas Muslim Nusantara USU : Universitas Sumatera Utara
US : United State
P1 : Proporsi sembuh untuk kelompok I P2 : Proporsi sembuh untuk kelompok II
Q1 : 1 – P1 Q2 : 1 – P2
zα : Deviat baku normal untuk α zβ : Deviat baku normal untuk β
P : Tingkat kemaknaan
x2 : Kai kuadrat
> : Lebih besar dari < : Lebih kecil dari
≥ : Lebih besar dari
ABSTRAK
Latar belakang. Migren merupakan penyebabkan umum ketidakhadiran anak di sekolah. Masih di jumpai beberapa perbedaan pendapat mengenai hubungan migren dan fungsi kognitif. Terapi profilaktik selama 1 sampai 2 bulan dapat menurunkan kejadian migren
Tujuan. Untuk mengetahui apakah terapi profilaktik siproheptadin akan mempengaruhi fungsi kognitif remaja penderita migren.
Metode. Suatu penelitian uji klinis tersamar tunggal. Sampel penelitian adalah anak sekolah usia 11 sampai 18 tahun yang menderita migren. Diagnosis migren di tegakkan berdasarkan klasifikasi Internasional Headache Society (HIS). Sampel di acak menjadi 2 kelompok. Kelompok intervensi mendapat siproheptadin 4 mg satu kali perhari dan kelompok kontrol mendapat terapi plasebo. Fungsi kognitif di nilai dengan menggunakan WISC sebelum intervensi dan 2 bulan setelah terapi.
Hasil. Dari 100 remaja migren yang menyelesaikan penelitian, setelah 2 bulan terapi terdapat perbedaan yang signifikan terhadap IQ verbal, IQ performance, full IQ dan perbandingan tingkat IQ dibanding data dasar pada kelompok siproheptadin.
Kesimpulan. Terdapat perbedaan yang signifikan pada fungsi kognitif setelah intervensi di banding data dasar pada kelompok siproheptadin, tetapi tidak pada kelompok placebo.
ABSTRACT
Background: Migraine is the common cause of absent in school. There are still some controversies about the association of cognitive function and migraine. Prophylactic therapy for 1 to 2 months can reduce the incidence of migraine.
Objective: To evaluate whether cyproheptadine as prophylactic therapy influence cognitive function in migraineurs adolescent.
Methods: This study is a single mask randomized controlled clinical trial study. Samples were 11 to 18 years old students with migraine. Diagnosis of migraine was determined according to The International Classification of Headache Society (IHS). Sample was randomized into 2 groups; intervention group that received cyproheptadine 4 mg once daily and control group that received placebo. Cognitive function was assessed using Wechsler Intelligence Scale for Children (WISC) before intervention and 2 months after therapy.
Results: From 100 migraineurs adolescent completed the study. After 2 months of therapy, there were significant differences on verbal IQ, performance IQ, full IQ and proportion of full IQ gradation compared with baseline for group cyproheptadine.
Conclusion: There was significant difference on cognitive function after intervention compared with baseline in cyproheptadine group, even though there was no significant difference compared with placebo groups
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Nyeri kepala merupakan bagian terbesar dari penderitaan manusia (greatest
shared human affliction).1 Nyeri kepala berulang merupakan masalah yang
sering pada anak dan remaja, yang mengganggu pelajaran dan aktivitas.2
Migren merupakan fenomena umum pada anak namun masih sedikit diteliti.3
Migren sering diderita anak dan remaja, walaupun sering diremehkan oleh
karena sulit didiagosis secara tepat.4 Insiden migren sampai usia di bawah
11 tahun lebih banyak mengenai anak laki-laki (4% sampai 11%), namun
setelah umur tersebut lebih sering ditemukan pada anak perempuan (8%
sampai 23%). Usia puncak kejadian migren rata-rata 7 tahun untuk anak
laki-laki dan 11 tahun untuk anak perempuan.5 Pada anak perempuan menjelang
menstruasi terjadi peningkatan jumlah kejadian migren sampai dua kali lipat
dibanding anak laki-laki yang dikarenakan terjadi penurunan kadar estrogen
dan pelepasan prostaglandin.1 Penelitian jangka panjang yang dilakukan di
Finlandia melaporkan peningkatan insiden migren pada anak yang luar biasa
selama lebih 30 tahun seperti migren tanpa aura tahun 1974 hanya 14,5 per
seribu menjadi 91,9 tahun 2002 yang diakibatkan perubahan pola hidup
anak.6
Menurut World Federation of Neurology, migren adalah suatu kelainan
yang bersifat familial dengan adanya serangan nyeri kepala yang berulang
serangan migren bersifat unilateral, berdenyut, disertai hilangnya nafsu
makan, mual-muntah dan membaik setelah tidur. Migren merupakan tipe
nyeri kepala yang paling penting dan paling sering pada anak serta
penyebab umum ketidakhadiran anak di sekolah.7 Studi prevalensi yang
dilakukan terhadap anak sekolah dilaporkan migren sebagai penyebab
tersering nyeri kepala pada anak dan remaja, dan secara bermakna
menyebabkan penurunan angka kehadiran di sekolah.8
Fungsi proses informasi visual dan auditorik penderita migren berbeda
dengan yang bukan penderita migren. Telah ditemukan bahwa perubahan
fungsi dan elektrofisiologi saat interval migren yang berkaitan dengan
gangguan kognitif seperti yang ditunjukkan pada uji persepsi, kemampuan
psikomotor, atensi, memori dan verbal.9
Beberapa penelitian melaporkan bahwa penderita migren mengalami
defisit fungsi kognitif. Sementara penelitian lain tidak mendukung adanya
kaitan antara migren dan fungsi kognitif. Fungsi yang paling sering
dipengaruhi adalah memori, kecepatan proses informasi, perhatian dan
kemampuan psikomotor.4 Suatu studi yang dilakukan untuk mengetahui
hubungan migren dengan fungsi kognitif disimpulkan bahwa kemampuan
verbal penderita migren lebih rendah diakibatkan oleh serangan kumulatif
dan dapat disebabkan oleh faktor perkembangan semasa janin.9
Terapi migren bisa dilakukan secara akut (abortif) dan preventif
memerlukan keduanya. Terapi akut bertujuan untuk menghentikan atau
melakukan prevensi progresi migren atau mengurangi nyeri kepala. Terapi
profilaktik diberikan juga sewaktu tidak ada nyeri kepala, bertujuan untuk
mengurangi frekuensi dan beratnya serangan migren.10 Terapi profilaktik
migren pada anak sulit dimengerti dan masih sedikit diteliti. Terdapat dua
pertiga penderita terjadi pengurangan frekuensi migren setelah mendapat
terapi profilaktik.11 Suatu penelitian di Jerman di dapati bahwa profilaktik
jangka panjang dengan ergotamin berpengaruh terhadap proses informasi
kognitif, meskipun sampai pengobatan selesai proses informasi kognitif tidak
normal secara sempurna.12
Siproheptadin menurut U.S. Headache Consortium Recommendations
dan American Academy of Neurology bermanfaat untuk pencegahan migren
pada anak dan dewasa, namun American Academy of Family Physicians
(AAFP) dan American College of Physicians-American Society of Internal
Medicine (ACP-ASIM) tidak merekomendasikan disebabkan belum
mempunyai high-quality evidence.13 Siproheptadin sebagai antihistamin yang
bermanfaat untuk profilaktik migren sudah sangat berkembang
penggunaannya pada anak, namun belum mempunyai data yang memadai,
seperti halnya penggunaan sodium valproat, topiramat dan amitriptilin yang
Belum ada penelitian yang menilai apakah terapi profilaktik mengurangi
fungsi kognitif anak migren.15
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan
yaitu: Bagaimana gangguan fungsi kognitif remaja penderita migren dan
peran terapi profilaktik siproheptadin sebelum dan setelah mendapat terapi
1.3. Hipotesis
Terdapat perbedaan fungsi kognitif pada remaja penderita migren sebelum
dan setelah terapi profilaktik siproheptadin
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gangguan fungsi
kognitif remaja penderita migren dan peran terapi profilaktik siproheptadin
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Mengetahui manfaat siproheptadin sebagai salah satu terapi
pencegahan serangan (profilaktik) migren pada remaja dan pemantauan efek
samping yang timbul sehingga dapat mengurangi jumlah ketidakhadiran
remaja di sekolah karena menderita migren
1.5.2. Memberikan alternatif obat profilaktik migren yang dapat terjangkau
masyarakat
2.1. Kognitif
Istilah cognitive berasal dari kata cognition yang padanannya knowing,
berarti mengetahui. Cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan
penggunaan pengetahuan. Selanjutnya istilah kognitif popular sebagai
domain psikologis manusia meliputi setiap perilaku mental yang
berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi,
pemecahan masalah, kesengajaan dan keyakinan. Menurut ahli psikologi
kognitif, pendayagunaan kapasitas ranah kognitif manusia sudah mulai
berjalan sejak manusia mulai mendayagunakan kapasitas motor dan
sensorinya. Namun cara dan intensitas pendayagunaan kapasitas ranah
kognitif tersebut masih belum jelas.16
Terdapat beberapa cara untuk menilai kemampuan kognitif yaitu
Binet’s Test, Mental Test, Moray House Test, Stanford-Binet Test dan
Wechsler Intelligence Test. Mental Test biasa dikenal sebagai tes
intelegensi, kognitif, kemampuan dan tes minat-bakat.Wechsler Intelligence
Test terdiri dari 3 kelompok.17
1. Wechsler Pre-school and Primary Scale of Intelligence (WPPSI) untuk
usia 3 - 7 tahun.
2. Wechsler Intelligence Scales for Children (WISC) untuk usia 7-16 tahun.
3. Wechsler Adult Intelligence Scales (WAIS) untuk usia diatas 16 tahun.
Terdapat dua teori kognitif yang penting yaitu teori perkembangan kognitif
Teori Piaget
Psikolog Swiss terkenal, Jean Piaget (1896 - 1980) menekankan bahwa
remaja secara aktif mengkonstruksikan dunia kognitif mereka sendiri,
informasi tidak hanya dicurahkan ke dalam pikiran mereka dari lingkungan.
Piaget menekankan bahwa remaja menyesuaikan pikiran mereka dengan
memasukkan gagasan-gagasan baru, karena tambahan informasi akan
mengembangkan pemahaman.18
Piaget (1954) juga percaya bahwa kita melewati empat tahapan dalam
memahami dunia. Setiap tahap berhubungan dengan umur tertentu dan
terdiri dari cara berpikir yang berbeda. Ingatlah, cara berfikir yang berbeda
dalam memahami dunialah yang membuat satu tahap lebih maju daripada
tahap yang lain; mengetahui lebih banyak informasi tidaklah membuat anak
berpikir lebih maju dalam pandangan Piaget. Itulah yang dimaksudkan oleh
Piaget ketika dia mengatakan kognisi anak berbeda secara kualitatif dalam
tahap yang satu dibandingkan dengan tahap yang lain.18 Tahap
perkembangan kognitif Piaget terdiri dari:19
1. Tahap sensorimotorik (sensorimotor stage) yang berlangsung dari lahir sampai kira-kira usia 2 tahun, adalah tahap Piaget yang pertama. Pada
tahap ini, anak mengkonstruksikan pemahaman mengenai dunia dengan
mengkoordinasikan pengalaman sensoris (seperti melihat dan
mendengar) dengan tindakan fisik, motorik karena itu disebut sensori
2. Tahap praoperasional (preoperational stage) yang berlangsung dari kira-kira usia 2-7 tahun, adalah tahap Piaget yang kedua. Pada tahap ini,
anak mulai menginterpretasikan dunia dengan kata-kata, citra dan
gambar-gambar.
3. Tahap operasional konkrit (concrete operational stage) yang berlangsung dari kira-kira usia 7 sampai 11 tahun, adalah tahap Piaget
yang ketiga. Pada tahap ini, anak dapat melakukan operasi dan
penalaran logis, menggantikan pemikiran intuitif, sepanjang penalaran
dapat diaplikasikan pada contoh khusus atau konkrit.
4. Tahap operasional formal (formal operational stage) yang terjadi antara usia 11 dan 15 tahun, adalah tahap Piaget yang keempat dan terakhir.
Pada tahap ini, individu bergerak melebihi dunia pengalaman yang aktual
dan konkrit, dan berpikir lebih abstrak serta logis.
2.2. Migren
Secara klinik the International Headache Society (IHS-2) 2004 membagi
nyeri kepala pada dua klasifikasi yaitu nyeri kepala primer seperti migren,
nyeri kepala cluster dan nyeri kepala tipe tension serta nyeri kepala sekunder
yang timbul berdasarkan sebabnya, seperti nyeri kepala akibat trauma
kepala, penyakit vaskular, infeksi susunan saraf pusat, tumor dan gangguan
Nyeri kepala pada migren sifatnya berdenyut dan berpulsasi,
mula-mula unilateral dan berlokalisasi di daerah frontotemporal dan okuler, lalu
bertambah dalam waktu 1 sampai 2 jam, menyebar ke posterior dan menjadi
difus, dan biasanya lamanya dari beberapa jam sampai sehari penuh dengan
intensitas nyeri sedang sampai berat, sehingga menyebabkan penderita
berdiam diri, karena nyeri akan bertambah pada aktivitas fisik.20 Serangan
biasanya terjadi sewaktu pasien sadar, mual terjadi pada sekitar 80% anak
dan muntah pada sekitar 50% penderita yang biasanya terjadi sewaktu
serangan, disertai muntah dan intoleransi makanan, dan pada beberapa
anak tampak pucat dengan fotofobia dan fonofobia, yang biasa menyertai
nyeri kepalanya.20,21
2.2.1. Jenis Migren
Migren tanpa aura pada anak serangan dapat berlangsung selama 1 sampai
72 jam, umumnya bilateral, nyeri biasa di oksipital bisa unilateral atau
bilateral. Disini tidak terdapat aura, tetapi biasanya 24 jam atau lebih
sebelum serangan bisa terdapat gejala prodormal: misalnya perasaan lemah,
lelah, lesu, kurang nafsu makan, muntah, perasaan sensitif terhadap
sentuhan, suara, bau-bauan maupun cahaya.22 Nyeri kepala migren tanpa
aura seringkali sukar dibedakan dengan nyeri kepala oleh sebab lain.
Pedoman jelas pada migren adalah anak tampak sakit, ingin tidur dan tidak
Migren dengan aura (classic migraine) yaitu suatu serangan nyeri
kepala menyerupai migren tanpa aura, berulang sekurang-kurangnya dua
kali, bersamaan atau didahului gejala aura homonim yang reversible secara
bertahap 5 sampai 20 menit dan berlangsung kurang dari 60 menit. Bila
dibandingkan dengan migren umum, migren klasik lebih jarang ditemukan
pada anak dan remaja.7
2.2.2. Patogenesis Migren24,25
Harold Wolf dianggap sebagai ahli pertama yang mendukung teori vaskular
migren. Bila ”generator migren” dinyalakan, aliran darah otak regional
menurun yang diikuti dengan suatu gelombang depresi yang menyebar ke
kortikal. Jika aliran darah otak menurun dibawah nilai kritis akan muncul
gejala aura. Penurunan aliran darah otak kemudian diikuti oleh vasodilatasi
yang menyebabkan edema perivaskular dan inflamasi yang menyebabkan
sakit kepala migren.
Penelitian lain yang menilai peran serotonin dalam patogenesis
migren. Sistim vaskular trigeminal dan agonis serotonin dapat menyebabkan
vasokonstriksi pembuluih darah meningeal dan meningkatkan pelepasan
berbagai dari aferent trigeminal termasuk serotonin (5-TH), Vasoactive
Intestinal Peptide (VIP), Nitric Oxide (NO), substans P, neurokin A dan
Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Namun teori trigeminal vaskular
ini diketahui gagal menjelaskan triger migren yang spesifik seperti
neurologi seperti gangguan kognitif yang muncul saat serangan migren.
Gambar 2.1 berikut ini mencantumkan patofisiologi dan target terapi migren.
Gambar 2.1. Patofisiologi dan target terapi migren24
2.2.3. Gejala Klinik Migren 26
Gejala prodromal seperti mual, hilangnya penglihatan dalam sebagian
lapangan penglihatan dan aura selalu muncul setengah sampai satu jam
sebelum migren. Emosi dan ketegangan yang lama menyebabkan
vasospasme refleks dari beberapa arteri kepala, termasuk arteri yang
mensuplai otak itu sendiri. Spasme pembuluh darah itu menyebabkan
berakibat dinding vaskuler lemah dan tidak dapat mempertahankan tonus
vaskuler selama 24 sampai 48 jam. Tekanan darah di dalam pembuluh darah
tersebut menyebabkan berdilatasi dan berpulsasi dengan hebat, dan terjadi
peregangan berlebihan dari dinding arteri termasuk arteri temporalis
sehingga berakibat nyeri kepala pada migren.
2.2.4. Diagnosis Migren
Diagnosis migren umumnya didasarkan pada observasi klinis dan tidak
memerlukan alat bantu diagnostik. Namun bila nyeri kepala bersifat kronis
dan diagnosis meragukan sebaiknya dikerjakan pemeriksaan pencitraan
untuk menyingkirkan adanya kelainan organik.20 Kriteria diagnostik migren
pada anak dapat ditegakkan berdasarkan kriteria International Headache
Society (IHS).5 Diagnosis klinik IHS sebagai standar baku emas migren
sebab lebih mudah dan mempunyai akurasi yang baik.20
2.2.5. Terapi Profilaktik Migren
Pengobatan migren adalah akut (abortif) dan profilaktik (preventif).
Pengobatan akut tergantung dari pemilihan anak terhadap beratnya
serangan dan timbulnya gejala komorbid serta respon anak terhadap migren.
Tujuan prevensi migren adalah untuk mengurangi frekuensi, berat dan
lamanya serangan migren dan memperbaiki respons terhadap pengobatan
dari serangan akut dan memperbaiki fungsi dan mengurangi disabilitas.27
Indikasi terapi profilaktik migren adalah serangan berulang, yang
di sekolah serta aktivitas anak lainnya walaupun telah diberi terapi akut.7
Terapi juga diberi pada serangan migren yang sering, efek samping pada
terapi akut, dan terdapatnya jenis migren yang tidak lazim seperti migren
hemiplegik, migren basiler atau migren dengan aura yang panjang.10 Terapi
adekuat untuk profilaktik migren secara umum tampak perbaikan sedikitnya
satu sampai dua bulan.5,10
2.2.6. Siproheptadin sebagai Antiserotonergik
Serotonin (5-HT2) adalah neurotransmiter yang tersebar luas dan
mempunyai peran yang kompleks dan penting dalam proses modulasi nyeri
yaitu sebagai antinociceptive pathway ascending maupun descending dari
brain stem ke medulla spinalis. Serotonin mempunyai efek bervariasi
terhadap tonus pembuluh darah, dapat menyebabkan vasodilatasi ataupun
vasokonstriksi. Kadar serotonin di plasma terganggu pada saat migren,
terjadi pengurangan serotonin di trombosit dan sintesa yang meningkat di
otak. Hal ini ditandai dengan ditemukannya metabolit serotonin di urin dan
cairan serebrospinal pada penderita migren. 10
Siproheptadin ((5H-dibenzo cyclohepten-5-ylidine)-1methylpiperidin
hydrochloride) (Gambar 2.2.7) adalah suatu antihistamin dengan efek
antiserotonergik yang digunakan untuk pencegah migren pada anak.
Siproheptadin seperti antihistamin yang lain diabsorbsi dengan baik setelah
pemberian per oral, dengan kadar maksimum dalam serum tercapai setelah
ini mempunyai bioavailabilitas tinggi, didistribusi pada semua jaringan,
termasuk susunan saraf pusat. Tempat biotransformasi utama adalah dalam
hati. Diekskresi ke dalam urin, sedikit dalam bentuk yang tidak berubah dan
sebagian besar dalam bentuk metabolit. Efek samping obat terutama
peningkatan nafsu makan dan mengantuk, terkadang juga ditemukan mulut
kering, anoreksia dan mual.28 Dosis 2 sampai 4 mg oral saat mau tidur
sangat rasional dengan dosis maksimal 12 sampai 16 mg/ hari di bagi tiga
dosis. 20
Gambar 2.2. Rumus kimia siproheptadin 28
Migren menyebabkan pelepasan serotonin yang diangkut oleh
trombosit dibawah pengaruh adrenalin dan tiramin, sehingga pada awal
serangan kadar serotonin dalam darah akan naik. Siproheptadin diduga
mengurangi aktivitas serotonin dengan jalan persaingan reseptornya,
sehingga dapat menghambat transmisi sinyal-sinyal nyeri di otak, sehingga
ambang nyeri dinaikkan.29 Dari penelitian pola terapi profilaktik anak migren
secara retrospektif didapati siproheptadin menurunkan frekuensi migren
sebanyak 55% pada 30 anak dengan usia rata-rata 8,8 tahun.15
Penilaian keberhasilan terapi profilaktik migren pada anak dengan mengukur
penurunan frekuensi serta lama serangan, dan catatan harian nyeri kepala
yang digunakan untuk menilai efek tersebut. Untuk pemeriksaan disabilitas
yang sensitif, dapat dipercaya dan sahih pada anak digunakan Pediatric
Migraine Disability Assessment (PedMIDAS), sebagai modifikasi Migraine
Disability Assessment (MIDAS) yang dipakai pada dewasa.30
Terdapat 6 pertanyaan pada PedMIDAS yang berhubungan dengan
dampak migren dengan aktivitas sekolah, kegiatan harian di rumah dan
sosialisasi serta olahraga. Pertanyaan pertama didasarkan pada hari
ketidakhadiran di sekolah sebab migren. Pertanyaan kedua adalah jumlah
hari anak hadir di sekolah tetapi sebab migren harus terlambat atau terpaksa
pulang lebih awal. Pertanyaan ketiga berhubungan dengan jumlah hari di
sekolah dimana anak kurang berfungsi kurang dari setengah kemampuannya
karena sakit kepala. Pertanyaan keempat berfokus pada kegiatan-kegiatan di
rumah, dengan mencatat jumlah hari anak tidak mampu melaksanakan
pekerjaan rumah karena sakit kepala. Dua pertanyaan terakhir berhubungan
dengan kegiatan di luar rumah seperti bermain dan olah raga. Pertanyaan
kelima jumlah hari anak tidak berpartisipasi dan keenam tentang
kemampuan anak berpartisipasi tetapi kurang 50% dari kemampuan
sebenarnya. 30-31 Tingkatan skala PedMIDAS seperti yang tersebut di bawah
Rentang nilai PedMIDAS Gradasi disabilitas
0 – 10 Sedikit atau tidak ada
11- 30 Ringan
31 – 50 Sedang
> 50 Berat
2.3. Hubungan Migren dengan Fungsi Kognitif
Migren diketahui berkaitan dengan spektrum luas dari neuropsikologi seperti
amnesia transient. Biasanya gangguan sementara ini berakhir setelah
periode waktu 10 sampai 15 menit. Meskipun kerentanan neuropsikologi
yang lebih tinggi telah dikemukakan terutama penderita migren dengan aura,
dimana terjadi atrofi sereberal luas atau fokal.33 Beberapa peneliti
menunjukkan bahwa penderita migren mengalami perubahan dalam aliran
darah ke otak dan evoked potensial, serta meningkatkan risiko untuk lesi
subklinik otak dan strok.34
Banyak penelitian telah menemukan defisit neurokognitif pada
penderita migren. Secara umum terdapat kecenderungan para peneliti tidak
menemukan defisit verbal dan memori visual. Masih sedikit penelitian yang
menilai fungsi kognitif anak penderita migren, tapi suatu penelitian
menemukan tidak ada perbedaan fungsi kognitif antara 37 anak migren
Dalam penelitian fungsi kognitif penderita migren yang dilakukan
secara tersamar didapati terjadi penurunan dalam hal memori waktu reaksi,
konsentrasi dan proses visual spasial pada 28 penderita migren. Hal ini
sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa penderita
migren memiliki uji memori perspektif yang lebih buruk dibanding bukan
penderita migren.36
Fungsi kognitif secara tipikal menurun saat fase serangan migren.
Beberapa peneliti mendapati perbaikan fungsi kognitif setelah pengobatan
migren akut. Di banding plasebo hanya sedikit yang terjadi perubahan fungsi
2.4. Kerangka Konseptual
- Perubahan fungsi dan
elektrofisiologi saat interval migren
- Perubahan aliran darah ke otak
- Perubahan Evoked Potensial
Verbal Psikomotor Perhatian Memor
i
WISC
Gambar 2.3. Kerangka konseptual
BAB 3. METODOLOGI
3.1. Desain Penelitian
Penelitian ini bersifat uji klinis tersamar tunggal, untuk mengetahui fungsi
kognitif remaja penderita migren yang mendapat terapi siproheptadin
sebagai terapi profilaktik dibandingkan dengan plasebo
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di sekolah SMP Swasta Bhayangkari, SMP dan SMK
Swasta Taman Siswa, SMP Negeri 34, serta SMU, STM, SMEA, Tsanawiyah
UMN Al-Washliyah, SMU I UNIVA, SMU Muallimin UNIVA dan SMU PGA
UNIVA di Medan, Sumatera Utara. Penelitian dilakukan selama 8 minggu
yaitu pada bulan Maret hingga Mei 2008.
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi dan sampel penelitian adalah anak sekolah yang berusia 11 sampai
18 tahun yang dikunjungi ke sekolah untuk di lakukan skrining dengan
kuisoner untuk menentukan penderita sakit kepala, yang selanjutnya
dilakukan uji diagnostik dengan menggunakan IHS untuk menentukan
penderita migren. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi di masukkan ke
3.4 Perkiraan Besar Sampel
Besar sample dihitung dengan menggunakan rumus uji dua proporsi yaitu
sebagai berikut:38
P1 = proporsi remaja yang berubah fungsi kognitif untuk kelompok I (kontrol)
P2 = proporsi remaja yang berubah fungsi kognitif untuk kelompok II (diuji)
P = Proporsi = ½ (P1+P2)
Q = 1-P
Pada penelitian ini ditetapkan yaitu :
α = kesalahan tipe 1 = 0,05 (tingkat kepercayaan 95%) Æ Z α = 1,96
β = kesalahan tipe 2 = 0,2 (kekuatan studi 80%) Æ Z β = 0,842
Perbedaan proporsi berubahnya fungsi kognitif yang diharapkan adalah 0,30
P1 = 0,50 dan P2 = 0,80
P = ½ (0.50+0,80) = 0,65
Q = 1- 0,65 = 0,35
Dengan memakai rumus diatas maka diperoleh besar sampel adalah 44
orang.
Koreksi besar sampel untuk antisipasi drop out yaitu : n = n / (1 – f) Î 49
n = besar sampel yang dihitung = 44
f = perkiraan proporsi drop out = 10% (0,1)
Dari hasil perhitungan diperoleh jumlah sampel minimal adalah 49 anak pada
setiap kelompok termasuk untuk antisipasi drop out dan metode
pengambilan sampel yaitu secara randomisasi sederhana.
3.5. Kriteria Penelitian Kriteria Inklusi:
a. Dua atau lebih serangan migren perbulan yang menyebabkan ketidak
mampuan melaksanakan aktivitas harian selama 3 hari atau lebih
dalam satu bulan
b. Kontraindikasi atau kegagalan terapi akut
c. Menggunakan terapi akut lebih dari dua kali per minggu
d. Mengalami keadaan migren yang tidak lazim, termasuk migren
hemiplegik atau migren dengan aura yang memanjang
e. Belum pernah mendapat tiga atau lebih profilaktik migren sebelumnya
a. Nyeri kepala kronik setiap hari
b. Lebih dari satu tipe nyeri kepala termasuk cluster headaches
c. Terdapat gangguan medis, neurologi dan kelainan psikiatri
d. Obesitas
3.6. Persetujuan / Informed Consent
Semua subjek penelitian akan diminta persetujuan dari orang tua setelah
dilakukan penjelasan terlebih dahulu mengenai kondisi penyakit yang
dialami, pengobatan yang diberikan, dan efek samping pengobatan. Formulir
surat pernyataan kesediaan terlampir dalam tesis ini.
3.7. Etika Penelitian
Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3.8. Cara Kerja dan Alur Penelitian
Pasien disurvei terlebih dahulu dengan kuisoner untuk menetukan penderita
sakit kepala, selanjutnya dengan menggunakan uji diagnostik IHS remaja
yang memenuhi kriteria diagnostik untuk migren oleh dokter anak yang telah
mendapat pendidikan neurologi anak dijadikan populasi terjangkau
penelitian. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi di masukkan ke dalam
sampel penelitian dengan diberi penjelasan (inform consent) sebelumnya
dan persetujuan mengikuti penelitian. Remaja yang memenuhi kriteria inklusi
menjadi dua kelompok perlakuan yaitu diberi siproheptadin atau plasebo
yang diacak secara sederhana yaitu sistem lotre. Obat diberikan setiap hari
dalam bentuk kapsul dengan dosis 4 mg siproheptadin perhari (Heptasan,
Sanbe Indonesia). Plasebo diberikan setiap hari sebagai kapsul yang
mengandung sakarum laktis. Kapsul yang mengandung siproheptadin dan
plasebo mempunyai bentuk yang sama dengan formulasi oleh apotik Kimia
Farma. Pemeriksaan penderita migren dilakukan pada saat penelitian
dimulai, pemeriksaan meliputi anamnesis terutama frekuensi, berat dan
lamanya migren yang dialami remaja, dicatat data antropometrik meliputi
berat badan dan tinggi badan. Selain itu dilakukan juga penilaian fungsi
kognitif dengan menggunakan Weshler Intelligence Scale for Children
(WISC) oleh tenaga ahli psikologi.
Semua anak diberi terapi dengan siproheptadin dan plasebo dengan
pengawasan guru dan orang tua setiap hari. Selanjutnya diberikan dan
dijelaskan kepada anak dan orangtua mengenai catatan harian nyeri kepala
dan suatu lembaran skala penilaian yang disebut PedMIDAS untuk menilai
disabilitas anak migren. Masing-masing kelompok mencatat catatan harian
nyeri kepala yang telah diberikan untuk mencatat frekuensi dan lamanya
serangan migren per bulan selama 2 bulan. Pemeriksaan dilakukan tiap
bulan untuk melihat frekuensi dan lamanya serangan migren, evaluasi
beratnya nyeri kepala serta efek samping yang timbul. Pasien dibolehkan
selama 2 bulan lalu diuji kembali fungsi kognitif remaja dengan
menggunakan WISC
Alur penelitian
Randomisasi
Gambar 3.1. Alur penelitian manfaat antara kedua kelompok intervensi Penderita
Migren tanpa PedMIDAS
daily diaries
WISC
Kelompok Plasebo Kelompok Siproheptadi
Fungsi kognitif Î WISC
3.9. Identifikasi Variabel
Variabel Bebas Skala
Jenis obat Nominal
Variabel Tergantung Skala Gradasi fungsi kognitif (WISC) Ordinal
Rerata score parameter WISC Numerik
3.10. Definisi Operasional Migren menurut kriteria IHS.5 Migren tanpa aura pada anak:
B. Serangan nyeri kepala berlangsung 1 sampai 72 jam
C. Nyeri kepala mempunyai sedikitnya dua diantara karakteristik berikut:
1. Lokasi unilateral, mungkin bilateral, frontotemporal (tanpa oksipital)
2. Kualitas berdenyut
3. Intensitas nyeri sedang atau berat
4. Keadaan bertambah berat oleh aktifitas fisik atau penderita
menghindari aktifitas fisik rutin (seperti berjalan atau naik tangga)
D. Selama nyeri kepala disertai salah satu dibawah ini :
1. Nausea dan atau muntah
2. Fotofobia dan fonofobia
E. Tidak berkaitan dengan kelainan yang lain
Migren dengan aura pada anak:
A. Sekurang-kurangnya terjadi 2 serangan yang memenuhi kriteria B
B. Adanya aura yang terdiri paling sedikit satu dari dibawah ini:
1. Gangguan visual yang reversibel termasuk : positif atau negatif
(seperti cahaya yang berkedip-kedip, bintik-bintik atau garis-garis)
2. Gangguan sensoris yang reversibel termasuk positif (seperti diuji
dengan peniti dan jarum) atau negatif (hilang rasa/kebas)
3. Gangguan bicara disfasia yang reversibel sempurna
C. Paling sedikit dua dari dibawah ini:
1. Gejala visual homonim atau gejala sensoris unilateral
aura yang lainnya ≥ 5 menit
3. Tiap gejala berlangsung ≥ 5 menit dan ≤ 60 menit D. Tidak berkaitan dengan kelainan lain
Remaja didefinisikan bila telah mencapai umur 10-18 tahun untuk anak perempuan dan 12-20 tahun untuk anak laki-laki. World Health Organization
(WHO) mendefinisikan remaja bila anak telah mencapai umur 10-19 tahun.
Menurut Undang-undang perkawinan No.1 tahun 1974 anak dianggap sudah
remaja apabila sudah cukup matang untuk menikah yaitu 16 tahun untuk
anak perempuan dan 19 tahun untuk anak laki-laki.39
Fungsi kognitif merupakan fungsi untuk mengambil, menyimpan dan menyajikan kembali berbagai bentuk ingatan.16
Terapi profilaktik merupakan terapi yang diberikan sewaktu tidak ada nyeri kepala, bertujuan untuk mengurangi frekuensi dan beratnya serangan
migren.5
3.11. Pengolahan dan Analisis Data
Data diolah dengan SPSS for WINDOWS 15 (SPSS Inc, Chicago). Untuk
membedakan variable kualitatif digunakan uji chi-square, membedakan dua
mean berdistribusi normal digunakan uji t, kalau dua mean data dependent
digunakan uji t berpasangan dan uji Mann Whitney U test digunakan untuk
membedakan dua mean tidak berdistribusi normal. Wilcoxon rank-sum test
digunakan untuk membedakan mean dua kelompok dependent (sebelum
kepercayaan dengan Confident Interval (CI) 95%, serta keseluruhan analisis
dengan menggunakan intention to treat.
BAB 4. HASIL
4.1. Hasil Penelitian
Dilakukan skrining untuk mencari penderita migren pada 11 sekolah, yaitu 3
SMA serta 8 SMP sederajat di Medan, Sumatera Utara.
Remaja Migren (n=320)
Nyeri kepala berulang (n= 1770)
Gambar 4.1. CONSORT Algoritme Mendapat izin
(n=100)
Plasebo (n=48) Siproheptadin
(n=52)
2 anak drop
Ikut penelitian sampai selesai dan diamati selama 2 bulan Ikut penelitian sampai selesai
Dari 3025 siswa sekolah terdapat 1770 siswa mengalami nyeri kepala
berulang. Setelah diskrining 320 siswa tergolong migren sesuai kriteria IHS
Terdapat 271 anak yang memenuhi kriteria sebagai sampel penelitian,
namun hanya 100 orang yang bersedia mengikuti penelitian. Sampel setelah
dirandomisasi dibagi menjadi dua kelompok. Sebanyak 52 orang dalam
kelompok siproheptadin dan 48 orang dimasukkan dalam kelompok plasebo.
Pada saat pemantauan bulan pertama, terdapat 2 orang drop out dari
kelompok siproheptadin, oleh karena analisa dengan menggunakan intention
to treat dimasukkan ke dalam kelompok siproheptadin dan semua sampel
dipantau selama 2 bulan. (Gambar 4.1).
Tabel 4.1. Karakteristik sampel penelitian
Karakteristik Siproheptadin (n=52)
Usia, mean (SD), tahun
Jenis kelamin, n (%) Laki-laki
Perempuan
Berat badan, mean (SD), kg
Riwayat keluarga, n (%)
Faktor Makanan sbg pencetus, n (%) Tidak ada pencetus
Tabel 4.1 menunjukkan karakteristik sampel masing-masing kelompok
sebelum intervensi. Terdapat 62% anak menderita migren tanpa aura dan
38% migren dengan aura. Sebanyak 18% laki-laki dan 82% perempuan.
Faktor makanan juga berpengaruh terhadap timbulnya migren, faktor
yang mengandung monosodium glutamat sebanyak 38 anak (78%) pada
kelompok siproheptadin dan 31 anak (62%) kelompok plasebo.
Tabel 4.2. Frekuensi dan beratnya serangan migren sebelum dan setelah intervensi
Pada tabel 4.2 tampak penurunan frekuensi migren yang signifikan
dari 5,6 (SD 3,64) menjadi 3,4 (SD 2,58) sedangkan plasebo tidak bermakna
yaitu dari 4,9 (SD 2,96) menjadi 4,7 (SD 2,67). Walaupun pada kedua
kelompok secara statistik bermakna untuk menilai disabilitas tetapi tampak
pada kelompok siproheptadin dari skor PedMIDAS kelompok siproheptadin
tampak perbaikan dari 12,8 (SD 8,92) dibanding 19,5 (SD 11,50), sedang
kelompok plasebo hanya tampak perbaikan dari 16,1 (SD 9,39) dibanding
16,9 (SD 9,19) saat awal penelitian.
Tabel 4.3 Nilai WISC (mean, (SD)) antara kedua kelompok
Sebelum (rerata) Sesudah (rerata)
heptadin heptadin
Nilai dalam rerata (SD)
Pada tabel 4.3 tidak terlihat perbedaan yang signifikan terhadap nilai
WISC antara kedua kelompok sebelum dan setelah intervensi.
Siproheptadin (rerata) Plasebo (rerata)
Parameter Sebelum Setelah P Sebelum Setelah P
Information
Setelah intervensi, didapati peningkatan yang signifikan terhadap nilai
digit span (P=0,010), picture arrangement (P=0,033), picture completion
dibanding sebelum intervensi. Demikian hal pada kelompok placebo yaitu
picture arrangement (P=0,010), picture completion (P=0,018), dan object
assembly (P=0,049). Selain itu terdapat perbedaan signifikan terhadap IQ
verbal, IQ perforamance, full IQ sebelum dan setelah intervensi dengan P
0,001 (Tabel 4.4)
Gambar 4.2. Hasil Gradasi full IQ (uji WISC) setiap kelompok sebelum dan setelah terapi
Dari hasil penelitian didapat perbedaan yang signifikan nilai IQ pada
tiap-tiap kelompok sebelum dan setelah terapi, terutama pada kelompok
siproheptadin terjadi peningkatan gradasi IQ, sebelum terapi tertinggi pada
tingkat borderline ( 22 orang ) dan setelah terapi pada tingkat dull normal (23
orang). Tetapi untuk kelompok pasebo sebelum dan setelah intervensi
gradasi IQ tertinggi tetap pada tingkat borderline.
BAB. 5. PEMBAHASAN
Pada tahun 1988, International Headache Society menetapkan standar baku
untuk definisi migren. Oleh karena itu, pada tahun 2003, International
perubahan yang sensitif terhadap perkembangan yang memungkinkan daya
aplikasi luas terhadap anak anak dan anak remaja, sembari
mempertahankan spesivisitas dan meningkatkan sensitivitas.20
Lima puluh empat persen anak penderita migren dilaporkan menderita
migren aura termasuk efek visual, mati rasa, rasa geli, atau letih. Migren
tanpa aura paling sering ditemukan (60 sampai 85%).3 Dalam studi penelitian
ini, kami menggunakan kriteria International Headache Society, dan
menemukan 62 penderita migren tanpa aura (MoA ) dan 38 penderita migren
dengan aura (MA)
Disfungsi kogntiif pada penderita migren telah dilaporkan oleh
beberapa peneliti. namun masih ditemukan kontroversial dari
temuan-temuan tersebut. Beberapa peneliti menyebutkan terdapat penurunan fungsi
kognitif pada penderita migren, tetapi beberapa peneliti lain tidak sependapat
dengan hal ini. Dari suatu penelitian didapatkan performance yang secara
bermakna lebih buruk saat dilakukan uji memori dan pengolahan informasi
pada kelompok penderita migren berat.40 Dari penelitian lain didapati 20
pasien penderita migren yang menunjukkan gangguan kogntiif yang diseleksi
dari 200 subjek penelitian.41 Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan di Italia yang menyatakan bahwa penderita migren tanpa aura
memperlihatkan gangguan yang signifikan dalam hal memori verbal
performance. Gangguan memori terjadi baik pada memori visual maupun
Suatu penelitian terhadap 1431 pelajar pesantren Raudatul Hasanah,
Medan, sampel diambil secara acak sejumlah 395 pelajar. Didapati hasil
remaja yang menderita migren sekitar 2,3% sampai 5,6%. Ketidakhadiran di
sekolah oleh karena migren sebesar 74,5% dengan rata-rata jumlah hari
adalah 3,7 hari/tahunnya.43
Suatu penelitian yang mengamati apakah penderita migren interiktal
dengan aura dan penderita migren tanpa aura, memperlihatkan gangguan
kognitiif dibandingkan subjek penelitian kelompok kontrol yang sehat. Pasien
migren tanpa aura bekerja secepat subjek kelompok kontrol pada uji kognitif.
Namun, kecepatan kognitif lebih rendah pada penderita migren dengan aura
pada beberapa domain kognitif. Penderita migren dengan aura, lebih lambat
dibandingkan kelompok kontrol selama uji digit simbol, yang
menggambarkan fungsi seperti proses visual, encoding, memori jangka
pendek, dan perhatian yang terus menerus. Karena tidak ada efek
detrimental lain yang dideteksi pada penderita migren dengan aura selama
uji lain dalam encoding digit ataupun selama uji yang memerlukan memori
jangka pendek, maka respon yang lebih lambat selama substitusi digit,
disebabkan adanya gangguan kemampuan dalam proses visual ataupun
gangguan perhatian.44 Namun ada penelitian lain yang tidak mendapatkan
gangguan kogntif dalam sampel penderita migren dengan aura.45 Ada juga
yang melaporkan bahwa tidak ada gangguan kognitif pada sampel pasien
Suatu penelitian retrospektif tentang penggunaan topiramat sebagai
profilaktik pada anak, terjadi penurunan frekuensi sakit kepala sampai 70%,
dimana 7 pasien melaporkan efek sedasi, perlambatan fungsi kognitif,
kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan.15
Pengukuran nilai kognitif pada anak dengan WISC yang terbagi atas
10 macam test dan dikelompokkan dalam 2 kategori: Verbal dan
Performance.Untuk test Verbal berupa: informasi, pemahaman, berhitung,
persamaan, perbendaharaan kata, rentangan kata; sedangkan test
Performance berupa: melengkapi gambar, mengatur gambar, rancangan
balok, merakit objek, symbol dan Mazes. Table 5.1 berikut ini mencantumkan
klasifikasi Kuosien Intelegensia berdasarkan skala Wechsler.47
Tabel.5.1. Klasifikasi Kuosien Intelegensi berdasarkan skala Wechsler47 Skala Wechsler Klasifikasi
Diatas 128 Very superior
120 – 127 Superior
111 – 119 Bright normal/ High average
91 – 110 Average
80 – 90 Dull Normal/ Low average
Dibawah 65 Mental devective
Dalam penelitian ini kami menggunakan skala Wechsler karena
merupakan uji inteligensi yang sering digunakan.48 Aspek yang di ungkap
dari hasil uji WISC adalah:46
Tools Interpretasi
Luasnya pengetahuan, memori jangka panjang
Kemampuan menggunakan pertimbangan praktis dalam kehidupan social sehari-hari (verbal judgment) Kemampuan konsentrasi/ atensi
Pemahaman konsep verbal, kemampuan penalaran angka, konsentrasi/atensi
Kemampuan untuk membedakan hal yang penting dan tidak penting, kemampuan berfikir asosiatif
Sistematika berpikir/logika
Kemampuan analisa sintesa: hubungan sebab-akibat Kecermatan dan ketelitian, konsentrasi dalam pengamatan
Koordinasi visual motorik, kemampuan berpikir abstrak
Kemampuan untuk melihat hubungan bagian dari keseluruhan
Kecepatan motorik dan ketelitian
Dari penelitian ini ditemukan perbedaan yang bermakna pada picture
arrangement, picture completion, dan object assembly pada kedua
kelompok. Juga terdapat perbedaan signifikan antara uji WISC setelah
terapi 2 bulan dengan data dasar dalam IQ verbal, IQ performance, full IQ
menjadi dull normal. Hasil ini didukung dengan terlihatnya penurunan
frekuensi migren sebelum dan setelah terapi pada kelompok siproheptadin.
Studi penelitian epidemiologis telah memperkirakan bahwa 75% anak
usia 15 tahun atau lebih muda, mengalami sakit kepala secara klinis, lebih
dari 15% setiap minggunya pada anak- anak usia 10 -17 tahun.2 Usia
rata-rata serangan adalah 7 tahun untuk laki laki dan 11 tahun untuk anak
perempuan, dan prevalensinya meningkat selama masa anak anak.
Prevalensi migren pada usia 3 sampai 7 tahun adalah 1,2% sampai 3,2%,
usia 7 sampai 11 tahun adalah 4% sampai 11%, dan untuk usia 15 tahun
adalah 8% sampai 23%.5 Pada mulanya, sedikit didominansi oleh pria yaitu
pada usia 3 sampai 11 tahun, namun selama masa remaja (usia15 tahun),
ada peralihan kearah dominansi wanita, yang tetap berlangsung sampai
masa dewasa.15 Berdasarkan kriteria IHS didapati prevalensi migren lebih
tinggi pada wanita (55%) dibandingkan pria (45%). Dalam penelitian ini, kami
menemukan dari 1770 siswa terdapat 320 penderita migren remaja (55,3%).
Usia rata-rata dalam studi penelitian ini adalah 14,7 tahun dan lebih
didominasi oleh perempuan (80% banding 20%)
Jika diangosis migren sudah ditetapkan, maka pengobatan yang
komprehensif sudah dapat dilaksanakan. Pilihan pengobatan mencakup
intervensi perilaku, serangan akut atau episodik, dan agen profilaktik setiap
serangan akut, pemakaian obat profilaktik harus dipertimbangkan. Indikasi
terapi profilaktik migren adalah 1). Dua atau lebih serangan migren perbulan
yang menyebabkan ketidakmampuan melaksanakan aktivitas harian selama
3 hari atau lebih dalam satu bulan, 2). Kontraindikasi atau kegagalan terapi
akut, 3). Menggunakan terapi akut lebih dari dua kali per minggu, 4).
Mengalami keadaan migren yang tidak lazim, termasuk migren hemiplegik
atau migren dengan aura yang memanjang.28 Hanya sedikit informasi
mengenai farmakologi profilaktik anak penderita migren. Rekomendasi
terbaru menyarankan penggunaan berbagai obat - obatan yang sama
dengan yang dipergunakan dalam profilaktik dewasa dengan dosis yang
disesuaikan untuk anak. Pada umumnya, profilaktik harus dipertimbangkan
bila migren terjadi cukup sering atau bila penderita migren tidak respon
terhadap pengobatan akut.3
Siproheptadin merupakan terapi profilaktik kedua yang paling sering
digunakan. Jenis obat ini sudah dipergunakan secara luas pada anak - anak
tetapi tidak seefektif amitriptilin dan propanolol. Siproheptadin mempunyai
sifat antiserotonergik dan menghambat saluran kalsium. Dosis efektif untuk
profilaktik biasanya lebih rendah dari indikasi utama obat tersebut. Dosis
profilaktik siproheptadin 2 sampai 4 mg secara oral saat menjelang tidur
adalah pilihan yang rasional dan aman dengan dosis maksimal 12 sampai 16
mg/hari di bagi tiga dosis.29 Suatu penelitian yang membandingkan
kombinasi propanolol dan siproheptadin secara signifikan menurunkan
frekuensi, durasi dan keparahan migren sampai 55% yang diamati selama 6
bulan.50 Terapi profilaktik migren yang adekuat akan memperlihatkan
perbaikan sedikitnya 1 sampai 2 bulan.10 Durasi pengobatan profilaktik
masih kontroverial. Pilihan lain pada anak usia lebih muda adalah
menggunakan jangka waktu yang lebih singkat (6 sampai 8 minggu), diikuti
dengan penyapihan perlahan-lahan.5 Dalam penelitian ini, kami memberikan
siproheptadine 4 mg secara oral sekali sehari selama 2 bulan.
Fungsi kognitif secara khusus menurun selama serangan migren.
Beberapa studi mendapati terjadi perbaikan fungsi kognitif setelah
pengobatan migren akut.37 Dalam penelitiani ini terdapat penurunan yang
signifikan pada durasi, frekuensi dan keparahan migren setelah pengobatan
profilaktik dengan siproheptadin, dan juga ditemukan peningkatan yang
signifikan terhadap fungsi kogntif setelah pemberian terapi profilaktik.
Keterbatasan penelitian ini adalah pemantauan ulangan yang terlalu
singkat dengan menggunakan metode pemeriksaan yang sama dan
dilaksanakan hanya 2 bulan setelah pra-test, sehingga sampel dapat
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Telah dilakukan penelitian secara uji klinis tersamar tunggal dengan kontrol
plasebo yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana fungsi kognitif remaja
penderita migren dan peran terapi profilaktik siproheptadin sebelum dan
sesudah intervensi. Terdapat perbedaan yang signifikan terhadap fungsi
kognitif setelah intervensi dibandingkan data dasar dalam kelompok
sipropheptadin, meskipun tidak ada perbedaan yang signifikan dibanding
dengan kelompok plasebo.
Terapi profilaktik tidak mempengaruhi fungsi kognitif remaja migren.
Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan waktu yang lebih
lama sebelum di lakukan tes IQ sesudah interfensi untuk melihat adanya
perbedaan yang signifikan terhadap fungsi kognitif remaja migren yang dapat
terapi profilaktik siproheptadin.
RINGKASAN
Migren merupakan fenomena umum pada anak namun masih sedikit diteliti oleh karena sulit didiagnosis secara tepat. Migren secara bermakna menyebabkan penurunan angka kehadiran di sekolah. Fungsi kognitif secara tipikal menurun selama fase serangan migren. Beberapa penelitian melaporkan bahwa penderita migren mengalami defisit fungsi kognitif, sementara penelitian lain tidak mendukung adanya kaitan antara migren dan fungsi kognitif. Fungsi yang paling sering dipengaruhi adalah memori, kecepatan proses informasi, perhatian dan kemampuan psikomotor.
Terapi profilaktik migren pada anak sulit dimengerti dan masih sedikit diteliti. Indikasi terapi profilaktik migren adalah serangan berulang yang secara bermakna mempengaruhi kegiatan sehari-hari seperti ketidak hadiran di sekolah serta aktivitas anak lainnya walaupun telah diberi terapi akut. Terapi adekuat untuk profilaktik migren secara umum tampak perbaikan setelah satu sampai dua bulan terapi. Siproheptadin sebagai profilaktik migren sudah sangat berkembang penggunaanya pada anak, namun belum mempunyai data yang memadai. Belum ada penelitian yang menilai apakah terapi profilaktik mempengaruhi fungsi kognitif anak migren.
perhari dalam bentuk kapsul yang sama selama dua bulan. Plasebo yang diberikan mengandung sakarum laktis. Sebelum di berikan terapi, sampel penelitian dilakukan uji fungsi kognitif dengan menggunakan WISC dan di ulang dua bulan setelah mendapat terapi siproheptadin. Selama periode penelitian terdapat 100 anak, dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 52 anak kelompok siproheptadin dan 48 anak kelompok plasebo. Pada akhir penelitian didapati kesimpulan terjadi perbedaan yang signifikan terhadap fungsi kognitif setelah intervensi pada kelompok sipropheptadin.
SUMMARY
Migraine is a common phenomene in children, but there is still limited study because it is hard to diagnose exactly. Migraine significantly lead to school absent in school. Cognitive function is typically decreased during migraine phase. Some studies reported that migraineurs had deficit cognitive function, while other studies didn’t support the relation between migraine and cognitive function. The most affected functions are memory, information processing, attention and psychomotor performance.
The prophylactic treatment of migraine in children is not fully understood and there are still limited studies on it. The indication of prophylactic treatment is recurrent attack that significantly affects daily activities, such as absent in school, eventhough the acute therapy had already given. Adequate therapy for migraine prophylactic commonly shows improvement after one to two months of therapy. Cyproheptadine as migraine prophylactic had widely used in children, but there is still lack of data. There is still no research evaluating wether the prophylactic treatment affect the cognitive function in migraineurs children.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lazuardi S. Nyeri kepala pada anak dan remaja. Dalam : Pusponegoro HD, Passat J, Mangunatmadja I, Widodo DP, Soetomenggolo TS, Ismael S, penyunting. Neurologi anak dalam praktek sehari-hari (Naskah lengkap PKB IKA XXXIV). Jakarta : Balai Penerbit FK UI; 1995. h.189-206
2. Martin-Herz SP, Smith MS, McMahon RJ. Psychosocial factors associated with headache in junior high school students. Journal of Pediatric Psychology. 1999; 24:13-23
3. Bland SE. Pediatric migraine recognition management. Journal of the Pharmacy Society of Wisconsin. 2002; 2:41-4
4. Riva D, Aggio F, Vago C, Nichelli F. Cognitive and behavioral effects of migraine in childhood and adolescence. Cephalalgia. 2006; 26:596-603 5. Donald W, Lewis MD. Pediatric Migraine. Neurology. 2007; 28:43-53 6. Anttila P, Metsahonkala L, Sillanpaa M. Long-term trends in the
incidence of headache in finnish schoolchildren. Pediatrics. 2006; 117:1197-201
7. Rothner D, Menkes JH. Headaches and nonepileptic episodic disorders. Dalam: Menkes JH, penyunting. Child Neurology. Edisi ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. h.943-64
8. Abu-Arefeh I, Russel G. Prevalence of headache and migraine in schoolchildren. BMJ. 1994; 309:756-9
9. Waldie KE, Hausmann M, Milne BJ, Poulton R. Migraine and cognitive function a life-course study. Neurology. 2002; 59:904-8
10. Weiss HD. Headache and facial pain. Dalam: Johnson RT, Griffin JW, McArthur JC, penyunting. Current therapy in neurologic disease. Edisi ke- 7. St.Louis: Mosby Inc; 2002. h.81-6
11. Pakalnis A. New avenues in treatment of paediatric migraine: a review of the literature. Family Practice. 2001; 18:101-6
12. Evers S, Schmidt F, Bauer B, Voss H, Grotemeyer K-H, Husstedt IW. The impact of ergotamine-induced headache and ergotamine withdrawal on information processing. Psychopharmacology. 1999; 142:61-67.
13. Silberstein SD. Practice parameter: evidence-based guidelines for migraine headache (an evidence-based review). Report of the quality standards subcommittee of the American Academy of Neurology. AAN. 2000; 1:1-9
14. Spry H, McDiarmid T, Mayer J. What medication best prevents migraine in children? Clinical inquires: from the family practical inquiries network. Journal of Family Practice. 2003; 24:2-4
16. Syah M. Hubungan antara perkembangan dengan belajar. Dalam: Syah M, penyunting. Psikologi belajar. Edisi ke-1. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada; 2007. h.22-37
17. Deary IJ, Batty GD. Cognitive epidemiology. J. Epidemiol Community Health. 2007; 13: 378 – 84
18. Bulk P. Hakikat perkembangan remaja. Dalam: Santrock JW, penyunting. Adolescence – perkembangan remaja. Edisi ke-6. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2003. h.23-60
19. Soetjiningsih, Suandi IKG. Gizi untuk tumbuh kembang anak. Dalam Narendra MB, Sularyo TS, Soetjiningsih, Suyitno H, Ranuh ING, Wiradisuria S, penyunting. Buku ajar I tumbuh kembang anak dan remaja. Edisi ke-1. Jakarta, Sagung Seto; 2002. h.22-50
20. Lewis DW. Headaches in infants and children. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, penyunting. Pediatric Neurology Principles & Practice. Edisi ke-4. Philadelphia : Mosby Inc; 2006. h.1183-99
21. Schor NF. Migraine in children and adolescent. Dalam: Maria BL, penyunting. Current management in child neurology. New York: BC Decker Inc; 2005. h.39-41
22. Sjahrir H. Nyeri kepala di Indonesia dan klasifikasi nyeri kepala menurut IHS. Dalam: Sjahrir H, penyunting. Nyeri kepala buku I. Medan: USU Press; 2004. h.1-26
23. Rossi LN, Cortinovis I, Menegazzo L, Brunelli G, Bossi A, Macchi M. Classification criteria and distinction between migraine and tension-type headache in children. Dev Med & Child Neurol. 2001; 43:45-51
24. Villalon CM, Centurion D, Valdivia LF, Vries PD, Saxena PR. Migraine: pathophysiology, pharmacology, treatment and future trends. Current Vascular Pharmacology. 2003; 1:71-84
25. Cady R. Pathophysiology of migraine. The pain practitioner. 2007; 17:6-10
26. Sjahrir H. Patofisiologi migren. Dalam: Sjahrir H, penyunting. Nyeri kepala & vertigo. Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press; 2008. h.73-123 27. Snow V, Weiss K, Wall EM, Mottur-Pilson C. Pharmacologic management
of acute attacks of migraine and prevention of migraine headache. Ann Intern Med. 2002; 137:840-9
28. Sanders-Bush E, Mayer SE. 5-Hydroxytryptamine (serotonin) receptor agonists and antagonists. Dalam: Hardman JG, Lee E, Limbird, Gilman AG, penyunting. Goodman & Gilman`s The pharmacological basis of therapeutics. Edisi ke-10. New York: McGraw-Hill; 2001. h.249-62
30. Hershey AD, Powers SW, Vockell B, LeCates S, Kabbouche MA, Maynard MK. PedMIDAS development of a questionnaire to assess disability of migraines in children. Neurology. 2001; 57:2034-9
31. Hershey AD, Powers SW, Vockell A-LB, LeCates SL, Segers A, Kabbouche MA. Development of a patient-based grading scale for PedMIDAS. Cephalalgia. 2004; 24:844-9
32. Cincinnati Children's Hospital Medical Center. PedMIDAS headache tool. Diunduh dari
http :/ / www.c inc inna tic hild re ns.o rg / svc / a lp ha / h/ he a d a c he / p e d mi d a s.htm. Diakses Oktober 2008
33. Haverkamp F, Honscheid A, Muller-sinik K. Cognitive development in children with migraine and their healthy unaffected siblings. Headache. 2002; 42:776-779
34. Kalaydjian A, Zandi PP, Swartz KL, Eaton WW, Lyketsos C. How migraines impact cognitive function. Neurology. 2007; 68:1417-24
35. Calandre EP, Bembibre J, Arnedo ML. Cognitive disturbances and regional cerebral blood flow abnormalities in migraine patiens: their relationship with the clinical manifestations of the illness. Cephalalgia. 2002; 22:291-302
36. Pearsons AJ, Chronicle EP, Maylor EA. Cognitive function is not impaired in people with a long history of migraine: a blinded study. Cephalalgia. 2006; 26:74-80
37. O’Bryant SE, Marcus DA, Rains JC, Penzien DB. The neuropsychology of recurrent headache. Headache. 2006; 46:1364-76
38. Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH Perkiraan besar sampel. Dalam : Sastroasmoro S, Ismael S, penyunting. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi ke-2. Jakarta: CV Agung Seto; 2002. h.259-86
39. Pardede N. Masa remaja. Dalam: Narendra MB, Sularyo TS, Soetjiningsih, Suyitno H, Paneih IGNG, penyunting. Buku ajar I tumbuh kembang anak dan remaja. Edisi ke-1. Jakarta:C.V. Sagung Seto; 2002. h.138-69
40. Zeitlin C, Oddy M. Cognitive impairment in patient with severe migraine. Br. J Clin Pschycol. 1984; 23:27-35.
41. Ardila A, Sanchez E. Neuropsychologic symptoms in the migraine syndrome. Cephalalgia. 1988; 8:67-70.
42. Le Pira F, Zappala G, Giuffrida S, Lo Bartolo ML, Murana R, Lanala F. Memory disturbances in migraine with and without aura: a strategy problem?. Cephalalgia. 2000; 20:475-8.
43. Yusuf M, Djali D, Sjahrir H. karakteristik nyeri kepala migren dan Tension type Headache pada pelajar pesantren Raudhatul Hasanah Medan. Dibacakan pada kongres Perdossi, Denpasar 2003.
45. Sinforiani E, Farina S, Mancuso A, Manzoni GC, Bono G, Mazzuchi A. Analysis of higher nervus function in migraine and cluster headache. Funct Neurol. 1987; 2:69-77.
46. Leijdekkers MLA, Passchier J, Goudswoard P, Menges LJ, Orlebeke JF. Migraine patients cognitively impaired? Headache. 1990; 30:352-8
47. Glasser AJ, Zimmerman IL. Clinical interpretation of the wechsler intelligence scale for children (WISC). New York: Grune & Stratton Inc; 1967. h. 9-19.
48. Gardner H, Kornhaber ML, Wake WK. Intellegence: multiple perspectives. US: Thomson Learning Inc; 1996. h.79-83.
49. Lewis DW. Preventive therapy for migraine. Dalam: Maria BL, editor. Current management in child neurology. New York: BC Decker Inc; 2005. h.53-7.
Lampiran 1
LEMBAR PENJELASAN KEPADA ORANG TUA SUBJEK PENELITIAN Assalamu’alaikum wr.wb
Saya akan menjelaskan maksud dan tujuan saya sebagai peneliti. Seperti
yang kita ketahui bahwa nyeri kepala berulang merupakan masalah yang
sering pada anak dan remaja, yang mengganggu pelajaran dan aktivitas
sehingga menjadi penyebab umum ketidakhadiran anak di sekolah. Migren
sering diderita anak dan remaja, walaupun sering diremehkan oleh karena
sulit didiagosis secara tepat. Dari penelitian sebelumnya ternyata migren
dapat mempengaruhi fungsi kognitif anak remaja. Maka dari itu disini saya
ingin melakukan suatu penelitian apakah benar remaja penderita migren
akan mempengaruhi fungsi kognitifnya. Dimana kemampuan menganalisa
penderita migren lebih rendah diakibatkan oleh serangan kumulatip dari
serangan migren. Maka dari itu frekuensi, lama dan beratnya serangan
migren harus di kurangi agar mengurangi serangan migren. Pertama sekali
saya akan memeriksa apakah nyeri kepala anak ibu/ bapak termasuk kriteria
migren atau bukan. Jika termasuk penderita migren kami mohon ijin anak
bapak/ibu untuk dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif oleh tenaga ahli
psikologi Universitas Sumatera Utara. Baru setelah itu kami akan memberi
obat selama 2 bulan yang diminum sehari sekali pada siang hari sehingga
dapat mencegah dan mengurangi serangan migren. Setelah 2 bulan di beri
obat kami akan memeriksa fungsi kognitif anak bapak/ibu kembali sehingga
dapat di ketahui apakah fungsi konitif anak bapak/ ibu memang di pengaruhi
oleh migren atau tidak.
Demikianlah penjelasan yang dapat saya sampaikan kepada bapak/
ibu, saya harap bapak/ ibu memgerti apa yang saya sampaikan dan dapat
memberi ijin atas apa yang akan saya lakukan. Atas kerjasama dan