• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi keberlanjutan dan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Perairan Selat Bali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi keberlanjutan dan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Perairan Selat Bali"

Copied!
205
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI KEBERLANJUTAN DAN

OPTIMALISASI PEMANFAATAN SUMBERDAYA

IKAN LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853)

DI PERAIRAN SELAT BALI

Oleh :

R. Abdoel Djamali

NRP.

C261040161

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii

ABSTRAK

R.ABDOEL DJAMALI. Evaluasi Keberlanjutan dan Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Perairan Selat Bali. Dibimbing oleh: SUTRISNO SUKIMIN, SAPTO J. POERWOWIDAGDO, dan JOKO SANTOSO.

Ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) merupakan sumberdaya perikanan yang sangat penting dan spesifik di perairan Selat Bali karena mempunyai peran strategis. Beberapa peneliti berpendapat bahwa ada kecenderungan penurunan produksi ikan lemuru yang diakibatkan oleh penangkapan berlebih (overfishing).

Tujuan penelitian yakni: (a) mengevaluasi keberlanjutan pembangunan perikanan dengan pendekatan top down dan bottom up, (b) mengkaji optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru, dan (c) mendesain strategi pembangunan perikanan yang berkelanjutan.

Metodologi yang digunakan yakni survei dengan pendekatan expert system. Teknik analisis yang diterapkan yakni: (a) rapid appraisal fisheries (RAPFISH), multi criteria analysis (MCA), analysis of indicator linkages yang terdiri dari cognitive mapping dan centrality indicator, (b) analisis bioekonomi Gompertz, (c) Analytical Hierarchy Process.

(3)

iii

fishing ground ke arah ZEE, (k) nilai total PV-RO (δ=15%) sebesar Rp 357,2 milyar dan PV-RO (δ=5,72%) sebesar Rp 183,2 milyar, PV-RA (δ=15%) mencapai Rp 380 milyar dan Rp 214 milyar (δ=5,72%), PV-RL relatif lebih stabil dari tahun ke tahun walaupun nilai total hanya Rp 200,8 milyar (δ=15%) dan Rp 108,9 milyar (δ=5,72%), (l) komponen/dimensi yang diprioritaskan berturut-turut: ekonomi, ekologi, etik, sosial dan teknologi. Sub komponen yang diprioritaskan berturut-turut pengembangan ekonomi rakyat, penataan sosial dan kelembagaan, dan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya. Stakeholder yang diprioritaskan berturut-turut pemerintah, masyarakat nelayan, swasta, perguruan tinggi, dan LSM. Sedangkan alternatif strategi yang diprioritaskan berturut-turut: peningkatan kesejahteraan nelayan, pelestarian sumberdaya, penegakan hukum, menjamin kebutuhan rakyat dan industri, peningkatan kemampuan armada dan alat tangkap, dan peningkatan pendapatan asli daerah

(4)

iv

ABSTRACT

R ABDOEL. DJAMALI. The Sustainability Evaluation and The Benefit Optimization of Lemuru (Sardinella Lemuru Bleeker 1853) Fish Resources at Bali Strait Waters. Supervised by SUTRISNO SUKIMIN, SAPTO J. POERWOWIDAGDO, and JOKO SANTOSO.

Lemuru fish (S. lemuru Bleeker 1853) is a very important and specific fishery resources at Bali Strait Waters because it has a strategic role. Some researchers noted that there is a tendency of sardinella decreasing product caused by over fishing.

The intention of this experiment is: (a) to evaluate the sustainability of fishery development by top down and bottom up approaches, (b) to study the benefit of lemuru fish resources optimally, and (c) to design the fishery development strategy sustainability.

The used methodology is survey with expert system approach. Analysis technique applied is: (a) rapid appraisal fisheries (RAPFISH), (b) multi criteria analysis (MCA), analysis of indicator linkage that is consisted of cognitive mapping and centrality indicator, (b) bioeconomics (Gompertz analysis), (c) analytical hierarchy process (AHP).

(5)

v

years to years although the total value is only Rp. 200,8 billions (δ=15%) and Rp 108,9 billions (δ=5,72%); (l) the prioritized component/dimension repeatedly: economy, ecology, ethic, social, and technology. The prioritized sub component/dimension repeatedly is social economy development, social and institution arrangement, and exploration and exploitation of resources. The prioritized stakeholder repeatedly is government. fisherman society, private, university, and social organization. While the alternative strategy that is prioritized repeatedly fisherman welfare increasing, resources conservation, law enforcement, guarantee of society and industry needs, increasing of fleet and catching tool, and regional income increasing.

(6)

vi

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul:

Evaluasi Keberlanjutan dan Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Perairan Selat Bali

Adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada

perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya

yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam

teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir naskah disertasi ini.

Bogor, 31 Agustus 2007 Penulis

(7)

vii

© Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik

(8)

viii

EVALUASI KEBERLANJUTAN DAN

OPTIMALISASI PEMANFAATAN SUMBERDAYA

IKAN LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853)

DI PERAIRAN SELAT BALI

Oleh :

R. Abdoel Djamali

NRP. C261040161

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

ix

Judul Disertasi : Evaluasi Keberlanjutan dan Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) di Perairan Selat Bali

N a m a : R. Abdoel Djamali

NRP : C 261 040 161

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Program : Doktor (S3)

Menyetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sutrisno Sukimin,DEA Ketua

Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si. Prof. Dr. Sapto J. Poerwowidagdo, M.Sc

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Departemen Manajeman Dekan

Sumberdaya Perairan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc. Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

(10)

x

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten SampangPropinsi Jawa Timur tanggal 19

November 1966, putra kedua dari sembilan bersaudara dari pasangan R. Moh.

Dahri dan R. Siti Maonah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN

Negeri 1 Sampang lulus tahun 1999, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 1

Sampang lulus tahun 1982 dan pada tahun 1985 lulus dari SMA Negeri 1

Sampang. Pada tahun 1985 penulis menempuh program pendidikan Sarjana di

Fakultas Pertanian Universitas Jember Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian,

berhasil lulus tahun 1989. Tahun 1991 mengikuti Pendidikan Profesional di

PEDCA (Polytechnic Education Development Centre of Agricultural) Universitas Padjajaran Bandung, lulus tahun 1993. Kemudian pada tahun 1996 melanjutkan

pendidikan Pascasarjana S2 di IPB Bogor Program Studi Komunikasi

Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (KMP), berhasil lulus tahun 1999. Seluruh

pembiayaan selama program pendidikan S2 ini dibiayai dari TMPD-Departemen

Pendidikan dan Kebudayan RI. Kesempatan untuk melanjutkan program Doktoral

(S3) pada perguruan tinggi yang sama diperoleh tahun 2004 dengan dibiayai dari

BPPS Departemen Pendidikan Nasional RI, penulis diterima pada Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL).

Penulis bekerja sebagai Dosen Tetap Politeknik Negeri Jember sejak tahun

1991 sampai sekarang. Jabatan fungsional/golongan terakhir : IIID/Lektor. Karya

tulis selain penelitian dan pengabdian pada masyarakat yang dimuat di jurnal

ilmiah, juga berhasil menulis buku ajar Manajemen Usahatani (dibiayai Dikti

tahun 2001) dan 12 buah buku panduan untuk membangun usaha kecil (Dibiayai

(11)

xi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas ridho-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan disertasi ini. Penulisan disertasi ini merupakan salah satu

syarat untuk menyelesaikan studi Program Doktor (S3) pada Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut

Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik di

dalam studi secara keseluruhan maupun khususnya di dalam penulisan disertasi

ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

a. Komisi Pembimbing yakni : Bapak Dr. Ir. Sutrisno Sukimin, DEA, Bapak

Prof. Dr. Sapto J. Poerwowidagdo, M.Sc, dan Bapak Dr. Ir. Joko Santoso,

M.Si, yang telah membimbing, memberikan saran, dan dorongan

semangat hingga terselesaikannya disertasi ini.

b. Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto, MSc. atas kesediannya menjadi penguji luar

komisi dalam sidang ujian Prelim Lisan. Disamping itu, beliau juga sangat

banyak membuka wawasan serta penajaman terhadap arah penelitian.

c. Bapak Dr. Ir. Achmad Fahrudin dan Bapak Dr. Ir. Bambang Sadhotomo,

MSi atas kesediaan menjadi penguji luar komisi dalam Sidang Ujian

Tertutup.

d. Bapak Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja, MSc. dan Bapak Dr. Ir. Son

Diamar, MSc. atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi dalam

Sidang Ujian Terbuka.

e. Seluruh Expert yang menjadi responden karena berkat kesediaannya untuk mengisi daftar pertanyaan dan berdiskusi secara intensif sehingga banyak

memberikan pengetahuan dan data sebagai masukan utama dalam

penelitian ini.

f. Seluruh pihak dari Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Timur,

Propinsi Bali, Kabupaten Banyuwangi, dan Kabupaten Jembrana yang

telah menyediakan data-data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian

(12)

xii

g. Bapak Drs. Kartono Umar Agauw (Kepala BPPP Muncar) dan Bapak

Rusman yang telah banyak membantu dan menjadi pemandu lapang

dalam pengamatan lapang dan pengumpulan data primer.

Disertasi ini saya persembahkan untuk istri tersayang Hj. Raudhatul

Jannah, SPd. dan juga untuk anakku semata wayang R.Faris Mukmin Kalijogo

yang telah setia, sabar, dan selalu mendoakan serta memberikan semangat untuk

segera menyelesaikan studi. Disamping itu juga tak akan pernah terlupakan yakni

kupersempahkan untuk kedua orang tua tercinta sebagai bentuk ungkapan rasa

bakti dan hormat yakni kepada Ramanda R. Moh. Dahri dan Ibunda R. Siti

Maonah yang tidak pernah putus yang selalu memberikan petuah, bimbingan,

panjatan doa dan restunya hingga ananda mampu menyelesaikan program doktor.

Untuk saudara-saudaraku Mas Edi, dan adik-adikku yakni Fendi, Heri,

Mamak, Watik, Ana-Ani, dan Yuni, serta keluarga Mas Hary dan Mbak Nung,

saya ucapkan terima kasih karena telah banyak memberikan dorongan semangat,

bantuan doa, dan fasilitas selama menempuh pendidikan doktoral.

Disamping itu tak lupa ucapan terima kasih kepada teman-teman SPL

Angkatan 9 yang telah berjuang bersama-sama untuk meraih sukses. Terutama

Mas Abdurahman Baksir, Aman Damai, H. Ipranto, dan yang telah banyak

membantu kelancaran studi dan penelitian ini.

Saya menyadari bahwa di dalam disertasi ini masih ada kekurangan, untuk

itulah, kritik dan saran demi kesempurnaan ilmu pengetahuan sangat diharapkan.

Semoga disertasi ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan

semoga Allah SWT selalu memberkahi kita semuanya, amien.

(13)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Kegunaan Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Konsep Pembangunan Perikanan Berkelanjutan ... 6

2.2 Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan ... 12

2.3 Otonomi Pengelolaan Perikanan ... 16

2.4 Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarchy Process) ... 19

2.5 Keadaan Umum Perairan Selat Bali ... 21

2.6 Perikanan Lemuru di Selat Bali ... 22

2.7 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Lemuru Selat Bali ... 24

2.8 Kerangka Pemikiran ... 26

III. METODOLOGI ... 31

3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian dan Waktu Pelaksanaan . 31 3.2 Metode Penelitian ... 31

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 31

3.4 Teknik Analisis ... 33

3.4.1 Analisis Modifikasi Rapid Appraisal Fisheries (MODRAPF) ... 33

3.4.2 Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Lemuru ... 42

(14)

xiv

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 54

4.1 Letak Geografis ... 54

4.2 Luas Wilayah ... 54

4.3 Topografi dan Jenis Tanah ... 55

4.4 Iklim ... 55

4.5 Kependudukan ... 56

4.6 Potensi Perikanan dan Kelautan ... 57

4.7 Jumlah Nelayan dan Perkembangan Produksi Perikanan ... 58

4.8 Armada dan Alat Tangkap Perikanan Laut ... 61

4.9 Pengolahan Hasil Perikanan dan Pemasaran ... 62

4.10 Sumberdaya Perairan ... 64

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 66

5.1 Keberlanjutan Pembangunan Perikanan di Selat Bali ... 66

5.1.1 Analisis Multi Dimension Scalling ... 66

5.1.2 Analisis Leverage ... 70

5.1.3 Tingkat Kepercayaan Keberlanjutan Pembangunan Perikanan ... 84

5.2 Analisis Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) ... 87

5.3 Multi Criteria Analysis (MCA) ... 93

5.4 Analisis Keterkaitan Indikator (Analysis of Indicator Linkages) 101 5.5 Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Lemuru ... 108

5.5.1 Produksi Ikan Lemuru ... 108

5.5.2 Estimasi Parameter Biologi ... 111

5.5.3 Estimasi Parameter Ekonomi ... 112

5.5.4 Analisis Sustainable Yield ... 113

5.5.5 Analisis Degradasi ... 116

5.5.6 Depresiasi Sumberdaya Perikanan ... 118

5.5.7 Pengelolaan Sumberdaya yang Optimal ... 120

5.5.8 Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ... 127

(15)

xv

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 144

6.1 Kesimpulan ... 144

6.2 Saran ... 145

DAFTAR PUSTAKA ... 147

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Penggolongan ikan lemuru dan periode tangkap ... 24

3.1 Kriteria keberlanjutan pembangunan perikanan ... 34

3.2 Definisi skala analytical hierarchy process ... 52

3.3 Cara perhitungan analytical hierarchy process ... 52

4.1 Iklim Kabupaten Banyuwangi tahun 2004 ... 56

4.2 Klasifikasi penduduk yang bermata pencaharian sektor perikanan ... 56

4.3 Jumlah petani ikan/pembudidaya ikan, dan nelayan Kabupaten Banyuwangi tahun 2004 ... 57

4.4 Jumlah nelayan di Kabupaten Banyuwangi tahun 2004 ... 58

4.5 Perkembangan produksi perikanan tahun 2003-2004 ... 59

4.6 Distribusi produksi penangkapan perikanan ikan laut tahun 2003-2004 ... 59

4.7 Produksi dan nilai produksi ikan laut menurut jenisnya tahun 2004 ... 60

4.8 Perkembangan armada perikanan Kabupaten Banyuwangi tahun 2003-2004 ... 61

4.9 Jenis alat tangkap perikanan laut ... 61

4.10 Produksi ikan olahan Kabupaten Banyuwangi ... 62

4.11 Pengusaha pengolahan hasil perikanan Kabupaten Banyuwangi tahun 2004 ... 63

5.1

Rekapitulasi skor rata-rata keberlanjutan pembangunan

perikanan di Selat Bali ...

66

5.2

Nilai keberlanjutan pembangunan perikanan di Selat Bali ... 69

5.3 Rekapitulasi skor rata-rata CCRF ...

88

5.4 Nilai CCRF dalam keberlanjutan pembangunan perikanan di Selat Bali ... 89

5.5 Rata-rata tingkat kepentingan dan estimasi bobot dari

masing-masing atribut ...

95

5.6 Skor atribut dan sustainability indicator criteria (SIC) ... 98

(17)

xvii

5.8. Data effort dan CPUE diolah ... 111

5.9 Hasil analisis nilai parameter biologi ... 112

5.10 Harga dan biaya produksi ikan lemuru ... 112

5.11 Perubahan rente ekonomi sumberdaya perikanan ... 119

5.12 Nilai optimal biomassa, hasil tangkapan, dan effort dengan menggunakan discount rate market 15% dan Kula 5.72% ... 121

5.13 Analisis kelebihan perahu purse seine di Selat Bali ... 124

(18)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Kurva pertumbuhan logistik ... 13

2.2 Kurva model Gordon-Schaefer ... 15

2.3 Ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker, 1853) ... 23

2.4 Perairan Selat Bali ... 25

2.5 Struktur analisis hierarki proses pembangunan perikanan berkelanjutan Kabupaten Banyuwangi ... 29

2.6 Kerangka pemikiran penelitian ... 30

3.1 Data dan teknik analisis penelitian ... 32

3.2 Proses aplikasi Rapfish untuk evalusi pembangunan perikanan (Alder et al. 2000) ... 36

3.3 Diagram ilustrasi hubungan antara article 7 CCRF yang dipetakan Dalam Rapfish Fields ... 38

3.4 Konsep indikator kognitif dalam cognitive mapping ... 41

3.5 Konsep centrality indicator dalam cognitive mapping ... 42

3.6 Langkah-langkah pemodelan bioekonomi ... 43

4.1 Rantai pemasaran produk perikanan tangkap ... 64

5.1 Status keberlanjutan pembangunan perikanan di Selat Bali ... 68

5.2 Diagram keberlanjutan Selat Bali dilihat dari kelima dimensi ... 70

5.3 Analisis leverage dimensi ekologi ... 72

5.4 Analisis leverage dimensi ekonomi ... 74

5.5 Analisis leverage dimensi sosial ... 76

5.6 Analisis leverage dimensi teknologi ... 79

5.7 Perkembangan jumlah tangkap purse seine di Selat Bali ... 81

5.8 Analisis leverage dimensi etik ... 83

5.9 Ordinansi analisis Monte Carlo pada posisi median ... 85

5.10 Ordinansi analisis Monte Carlo yang menunjukkan posisi median dan selang kepercayaan 95% terhadap median ... 86

5.11 Ordinansi analisis Monte Carlo yang menunjukkan posisi median dan selang inter-kuartil ... 86

(19)

xix

5.13 Diagram keberlanjutan pembangunan perikanan dilihat

dimensi CCRF ... 91

5.14 Modifikasi kombinasi Rapfish dan CCRF ... 92

5.15 Diagram Kombinasi Dimensi Pembanguan Perikanan Berkelanjutan dan CCRF ... 93

5.16 Rata-rata tingkat kepentingan dari masing-masing dimensi ... 97

5.17 Sustainability index criteria (SIC) dari Selat Bali ... 99

5.18 Cognitive map dari keterkaitan atribut keberlanjutan ... 102

5.19 Domain dan skor centrality dari atribut keberlanjutan ... 107

5.20 Data produksi ikan lemuru di perairan Selat Bali tahun 1985-2004 ... 108

5.21 Hasil tangkap per purse seine di Selat Bali 1985-2004 ... 110

5.22 Perbandingan produksi aktual dan lestari ... 114

5.23 "Copes eye ball" sustainable yield (fungsi Gompertz) ... 115

5.24 Perbandingan koefisien degradasi lestari dan koefisien degradasi rataan ... 116

5.25 Perbandingan koefisien degradasi lestari dengan produksi aktual .. 117

5.26 Perbandingan koefisien degradasi lestari dengan effort ... 118

5.27 Perbandingan produksi aktual, lestari dan optimal (δ=15% dan 5,72%) ... 122

5.28 Perbandingan effort aktual dan optimal (δ=15% dan 5,27%) ... 123

5.29 Perbandingan PV-RO, PV-RL dan PV-RA pada δ=15% ... 126

5.30 Perbandingan PV-RO, PV-RL dan PV-RA pada δ=5,72% ... 127

5.31 Diagram hirarki, nilai bobot prioritas dan ranking berdasarkan geomean skor (RBGS) ... 129

5.32 Prioritas utama dimensi pembangunan perikanan berkelanjutan (level2) ... 130

5.33 Prioritas utama sub komponen pembangunan perikanan berkelanjutan (level 3) ... 134

5.34 Prioritas utama stakeholder pembangunan perikanan berkelanjutan (level 4) ... 136

(20)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil-hasil pengkajian stok ikan lemuru di Selat Bali oleh

beberapa peneliti ... 155

2. Rekapitulasi skor Rapfish ... 156

3. Rekapitulasi skor CCRF ... 157

4. Jenis perahu di perairan Selat Bali ... 158

5. Data teknik perahu dan alat tangkap purse seine di perairan Selat Bali ... 159

6. Jumlah purse seine dan Surat Keputusan ... 160

7. Analisis Monte Carlo ... 166

8. Penentuan tingkat kepentingan dari skor atribut keberlanjutan pembangunan perikanan di Selat Bali ... 169

9. Produksi ikan lemuru dan jumlah trip tahun 1985-2004 ... 170

10. Analisis discount rate teknik Kula ... 171

11. Perbandingan produksi aktual dan lestari (Gompertz dan Logistik) ... 172

12. Koefisien degradasi sumberdaya perikanan ... 173

13. Maple output untuk perhitungan optimal ... 174

14. Perbandingan PV-RO, PV-RL, dan PV-RA pada δ=15% dan 5,72% ... 178

15. Maple output perbandingan rezim pengelolaan SDI ... 179

16. Rekapitulasi skor analisis hirarki proses ... 181

17. Penentuan prioritas berdasarkan geomean prioritas dan skor ... 184

(21)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini, pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu isu global

yang menentukan dalam percaturan politik internasional di samping isu-isu HAM,

demokratisasi dan good governance. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar

di dunia yang memiliki komitmen untuk mewujudkan pembangunan

berkelanjutan tersebut. Hal ini diwujudkan dengan menjadi peserta aktif pada

United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) yang juga dikenal sebagai “KTT Bumi” di Rio de Janeiro, Brasil pada tahun 1992 yang

hasil utamanya adalah Agenda 21: Program Aksi untuk Pembangunan

Berkelanjutan. Sebagai implementasinya, pada tahun 1997 Indonesia

mengeluarkan Agenda 21 Indonesia. Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 2002,

PBB mengevaluasi KTT di Rio dengan Konferensi di Johannesburg Afrika

Selatan yang dikenal dengan KTT Pembangunan Berkelanjutan.

Paradigma pembangunan yang harus diimplementasikan sekarang dan

untuk masa-masa mendatang adalah paradigma pembangunan berkelanjutan

(sustainable development). Pembangunan berkelanjutan adalah suatu sistem pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa menurunkan atau

merusak kemampuan generasi-generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan

dan aspirasi hidupnya (WCED 1987).

Dalam sektor pembangunan perikanan yang juga mengadopsi konsep

pembangunan berkelanjutan merupakan panduan dalam mengelola sumberdaya

wilayah pesisir dan kelautan. Konsep pembangunan berkelanjutan tersebut, mulai

dari perencanaan sampai dengan implementasinya tentunya harus merujuk kepada

prinsip-prinsip dasar pembangunan berkelanjutan seperti yang tertuang dalam

Agenda 21 Indonesia (KMNLH 1997). Kunci utama untuk terselenggaranya

pembangunan perikanan berkelanjutan yakni dilaksanakannya sistem kemitraan

nasional oleh seluruh sektor yang berkaitan dengan pembangunan dan

lingkungan. Disamping itu, seiring dengan perubahan paradigma pembangunan

(22)

2

koreksi dengan munculnya lingkungan strategi baru dalam pendekatan

pembangunan yang bersifat desentralistik atau yang dikenal dengan otonomi

daerah. Dalam era otonomi daerah, yakni dimana daerah otonom diberi hak,

wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan

perundang-undangan (RI 2004a).

Khususnya dalam pengelolaan perikanan seperti ditegaskan dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, bahwa dalam pengelolaan perikanan

dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan,

keterpaduan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan (RI 2004b). Kaitannya

antara otonomi daerah dan pembangunan perikanan sebagaimana yang diatur

dalam pasal 18 UU. No. 32 Tahun 2004, dimana daerah yang memiliki wilayah

laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut (RI

2004a). Sinkronisasi kedua peraturan perundangan tersebut lebih memperkuat

posisi bahwa dalam era otonomi daerah ini, maka ruang lingkup pengelolaan

perikanan lebih mendorong kepada pembangunan perikanan keberlanjutan yang

harus didekati secara menyeluruh dari semua dimensi (multi dimensional).

Pendekatan holistic dalam pembangunan perikanan yang berkelanjutan

menyangkut beberapa dimensi/komponen antara lain : aspek ekologi, ekonomi,

sosial, teknologi dan etik (Pitcher dan Preikshot 2001; Dahuri 2003a; Kavanagh

dan Pitcher 2004; Fauzi dan Anna 2005).

Menurut Lubis et al. (2005) bahwa tipologi wilayah Propinsi Jawa Timur

termasuk wilayah propinsi berpenduduk padat dan aktivitas perikanan tangkap

yang intensif. Kabupaten Banyuwangi sebagai salah satu daerah otonom di

propinsi Jawa Timur memiliki potensi produksi perikanan yang cukup besar. Hal

ini dapat dilihat dari jumlah produksi hasil perikanan laut (marine fishery)

sebanyak 38.589,7 ton atau 12 % dari total produksi perikanan Propinsi Jawa

Timur (BPS Kabupaten Banyuwangi 2004).

Seiring dengan era otonomi daerah, maka Pemerintah Kabupaten

Banyuwangi telah mencanangkan salah satu prioritas pembangunan yaitu bidang

perikanan dan kelautan disamping bidang pertanian, peternakan, dan pariwisata

(23)

3

Terbitnya Perda tersebut, diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran bahwa

sektor perikanan dan kelautan memiliki potensi cukup besar sehingga diharapkan

mampu menunjang pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Banyuwangi serta

memperluas lapangan kerja dan mengurangi tingkat kemiskinan (DKP Kabupaten

Banyuwangi 2005).

Ikan lemuru (Sardinella lemuru Bleeker 1853) merupakan sumberdaya

perikanan yang sangat penting dan spesifik di perairan Selat Bali karena

mempunyai peran yang sangat strategis. Peran tersebut antara lain sebagai: (a)

sumber pendapatan utama masyarakat nelayan setempat, (b) memobilisasi

aktivitas ekonomi wilayah khususnya dalam penyerapan tenaga kerja dalam

berbagai bidang usaha yakni usaha penangkapan, industri sarana produksi

perikanan tangkap dan pengolahan hasil, industri pengolahan, industri jasa

transportasi, dan pemasaran hasil perikanan, (c) penyedia bahan baku industri

pengolahan, dan (d) sumber pendapatan asli daerah (PAD).

Beberapa peneliti berpendapat bahwa ada kecenderungan penurunan

produksi ikan lemuru yang diakibatkan oleh penangkapan berlebih (overfishing)

(Gumilar 1985; Merta dan Eidman 1995; Martosubroto et al. 1986; Salim 1986;

Merta 1992; FAO 1999). Untuk lebih detail lihat Lampiran 1 yang merupakan

hasil penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa ahli tentang kajian stok ikan

lemuru di Selat Bali. Dimana dalam kajian tersebut menggunakan pendekatan

biologi dalam penentuan standing stock, biomassa, MSY, dan fopt. Dalam kurun

waktu 1975-1997, terjadi fluktuasi produksi hasil tangkap ikan lemuru dalam

setiap tahunnya. Tangkapan ikan lemuru terendah terjadi pada tahun 1986 sebesar

4.661,4 ton dan tahun 1996 sebesar 13.326,7 ton. Produksi tertinggi dicapai pada

tahun 1983 dan 1991, padahal jumlah armada penangkapan ikan lemuru di

perairan tersebut secara nominal relatif tetap (Wudianto 2001). Penyebab

terjadinya fluktuasi produksi tahunan ikan lemuru di Selat Bali ini secara pasti

belum dapat diketahui dan untuk sementara diduga berkaitan erat dengan

terjadinya perubahan iklim global yaitu El-Nino yang biasanya produksi ikan

lemuru hasil tangkapan cenderung meningkat (Gofar dan Mathews 1996 diacu

(24)

4

Melihat kenyataan tersebut di atas, peneliti tertarik untuk mengevaluasi

keberlanjutan pembangunan perikanan di Kabupaten Banyuwagi dan optimalisasi

pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru (S. lemuru Bleeker 1853) hasil tangkapan

di perairan Selat Bali.

1.2 Perumusan Masalah

Kondisi saat ini, dimana dalam mengevaluasi keberlanjutan atas

eksploitasi dan atau eksplorasi sumberdaya perikanan lebih memfokuskan pada

penentuan stok relatif dari spesies target terhadap referensi biologi. Indikator ini

hanyalah sebagai sinyal early warning bagi terlampauinya level ekstraksi dari

carrying capacity. Padahal konsep keberlanjutan sangatlah kompleks atau multidimensional, sehingga dalam mengevaluasinya harus merubah paradigma tersebut menjadi paradigma pembangunan keberlanjutan yang multidimensi guna

lebih akurat dalam mempresentasikan pengelolaan perikanan yang lebih obyektif.

Dalam penyusunan perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten

Banyuwangi belum didasarkan atas kajian ilmiah secara obyektif atas

keberlanjutan pembangunan yang multidimensi dan komprehensif.

Produksi hasil tangkapan ikan lemuru yang diperoleh dari perairan Selat

Bali, saat ini sudah mengalami penurunan sebagai akibat terjadinya penangkapan

(overfishing). Penurunan produksi ditunjukkan oleh ukuran ikan tangkap yang makin kecil, turunnya produksi per unit input, dan jumlah struktur populasi yang

menurun. Kondisi lainnya dalam perikanan lemuru yakni terjadinya produksi

yang berfluktuasi, kurang efisiensi pemanfaatan sumberdaya ikan, serta belum

adanya strategi sistem pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan.

Selama ini kajian-kajian pemanfaatan ikan lemuru masih parsial misalnya

penentuan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru banyak mengacu pada

referensi biologi, yang sering dikenal dengan pendekatan Maximum Sustainable

Yield (MSY). Pendekatan tersebut banyak kelemahannya, khususnya karena tidak memasukkan aspek sosial ekonomi. Sehingga perlu adanya kajian optimalisasi

pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru dengan mengkombinasikan aspek biologi

dan ekonomi agar dapat ditentukan tingkat effort, produksi, dan keuntungan

(25)

5

1.3 Tujuan Penelitian

a. Mengevaluasi keberlanjutan pembangunan perikanan dengan pendekatan

top down dan bottom up.

b. Mengkaji optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru.

c. Mendesain strategi pembangunan perikanan yang berkelanjutan.

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai :

a. Alat kendali dalam mengevaluasi status keberlanjutan pembangunan

perikanan di Kabupaten Banyuwangi dan dapat dilakukan penilaian secara

regular dan berkesinambungan.

b. Acuan dalam menentukan tingkat effort, produksi dan tingkat keuntungan

optimum agar dalam pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru tetap berbasis

sustainability.

c. Arahan penyusunan strategi pembangunan perikanan yang berkelanjutan

yang mampu mengoptimalkan potensi dan pemanfaatan sumberdaya ikan

sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat dan tetap menjaga

(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pembangunan Perikanan Berkelanjutan

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 dijelaskan bahwa

perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan

pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi,

produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu

sistem bisnis perikanan. Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas

manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi,

dan kelestarian yang berkelanjutan.

Pengelolaan perikanan merupakan suatu proses terintegrasi yang meliputi

pengumpulan dan analisis informasi, perencanaan, pengambilan keputusan,

alokasi sumberdaya dan perumusan tindakan penegakan peraturan-peraturan di

bidang pengelolaan perikanan. Melalui pihak yang berwenang di bidang

perikanan dapat mengendalikan perilaku pihak-pihak yang berkepentingan untuk

menjamin kelangsungan produktivitas perikanan dan kesejahteraan sumberdaya

hidup (Anonim 2001 diacu dalam Zamany2002).

Memahami makna pembangunan perikanan selain memperhatikan aspek

keberlanjutan tidak bisa hanya melihat dari satu atau dua dimensi saja tetapi

harus didekati dengan pendekatan menyeluruh yang menyangkut berbagai

dimensi dan terpadu. Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali

diperkenalkan oleh World Commission on Enviromental and Development (WCED) pada tahun 1987. Menurut Young (1992), Reid (1995) diacu dalam Kay

dan Alder (1999), bahwa pembangunan berkelanjutan mencakup 3 hal yang

utama yakni : (a) integritas lingkungan, (b) efisiensi ekonomi, dan (c) keadilan

kesejahteraan (equity) memiliki makna bahwa pembangunan harus mampu memperhatikan generasi saat ini dan yang akan datang dengan

mempertimbangkan aspek budaya selain aspek ekonomi.

Begitu pula pendapat Cicin-Sain dan Knecht (1998) bahwa pembangunan

(27)

7

a. Pembangunan ekonomi untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia.

b. Pembangunan yang sesuai dengan lingkungan.

c. Pembangunan yang sesuai dengan keadilan kesejahteraan, yaitu keadilan

penyebaran keuntungan pembangunan.

Bengen (2002) menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan pada

dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam

ambang batas (limit) pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak (absolute), melainkan merupakan batas yang luwes (flexible) yang bergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta

kemampuan biosfir untuk menerima dampak kegiatan manusia. Dengan perkataan

lain, pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan eksositem

alamiah sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan

manfaat bagi kehidupan manusia tidak rusak. Secara garis besar konsep

pembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi yakni : (a) ekologi, (b)

sosial-ekonomi-budaya, (c) sosial politik, dan (d) hukum dan kelembagaan.

Konsep lain yang dikemukakan Clark (1996) bahwa pembangunan

berkelanjutan yakni konsep pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan

(sustainable use of resources) yang bermakna pemanenan, ekstraksi, ataupun pemanfaatan sumberdaya tidak boleh melebihi jumlah yang dapat diproduksi atau

dihasilkan dalam kurun waktu yang sama.

Dahuri (2003a) mengemukakan bahwa pembangunan wilayah pesisir

harus memenuhi kriteria pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) yang dikelompokkan menjadi 4 aspek yakni: ekologis, sosial, ekonomis, dan pengaturan (governance). Mubyarto dan Bromley (2002) memberikan gagasan baru dalam pembangunan, yaitu tentang pentingnya peran

kelembagaan dalam pembangunan. Selama aspek kelembagaan belum

diperhatikan dengan baik, maka akan sulit untuk merumuskan dan melaksanakan

aktivitas pembangunan yang mendukung terwujudnya pemerataan sosial,

pengurangan kemiskinan, dan usaha-usaha peningkatan kualitas hidup lainnya.

(28)

8

ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat miskin, dalam memanfaatkan

kesempatan ekonomi yang ada.

Sementara itu, Alder et al. (2000); Pitcher (1999); Pitcher dan Power (2000); dan Pitcher dan Preikshot (2001), melakukan penilaian sumberdaya

perikanan berkelanjutan dengan mengembangkan program Rapfish yang meliputi 5 dimensi yakni : ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan etik. Beberapa literatur

yang lain menambahkan aspek teknologi, walaupun sebenarnya dapat ditinjau

pula dari aspek ekologis, seperti aspek etika yang dapat dimasukkan ke dalam

aspek sosial budaya. Barangkali bukan pengelompokkan aspek besar tersebut

yang penting, tetapi atribut atau kriteria pada setiap aspek tersebut yang lebih

penting sehingga mencakup seluas mungkin atribut yang dapat digunakan untuk

menilai status pembangunan wilayah pesisir.

Walaupun selama ini konsep keberlanjutan dalam perikanan sudah mulai

dapat dipahami, namun dalam menilai secara komprehensif dan terpadu

nampaknya mengalami kesulitan dalam menganalisisnya. Diharapkan dalam

pengambilan kebijakan benar-benar berdasarkan kajian ilmiah secara terpadu dan

realistis. Paradigma pembangunan perikanan pada dasarnya mengalami evolusi

dari paradigma konservasi (biologi) ke paradigma rasional (ekonomi), kemudian

ke paradigma sosial/komunitas. Namun, ketiga paradigma tersebut masih tetap

relevan dalam kaitan dengan pembangunan perikanan yang berkelanjutan.

Pembangunan perikanan yang berkelanjutan haruslah mengakomodasikan ketiga

aspek tersebut di atas. Oleh karena itu, konsep pembangunan perikanan yang

berkelanjutan sendiri mengandung aspek (Charles 2001) :

a. Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi). Dalam pandangan ini memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga tidak melewati daya

dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem

menjadi perhatian utama.

b. Socioeconomic sustainability (keberlanjutan sosio-ekonomi). Konsep ini mengandung makna bahwa pembangunan perikanan harus memperhatikan

keberlanjutan dari kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu.

(29)

9

masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian kerangka

keberlanjutan.

c. Community sustainability (keberlanjutan komunitas), mengandung makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat

haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan.

d. Institutional sustainability (keberlanjutan kelembagaan). Dalam kerangka ini, keberlanjutan kelembagaan yang menyangkut pemeliharaan aspek

finansiil dan administrasi yang sehat merupakan prasyarat ketiga

pembangunan keberlanjutan di atas.

Berdasarkan definisi yang diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa

pembangunan perikanan berkelanjutan adalah langkah strategis pembangunan

dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan secara bijaksana dan konsisten untuk

memenuhi kebutuhan manusia saat sekarang dan juga untuk generasi yang akan

datang secara berkelanjutan dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan

etik.

Selama ini kajian stok perikanan, seringkali lebih difokuskan pada status

stok relatif dengan acuan biologi, misalkan tingkat kematian, spawning biomass atau struktur umur (Smith 1993), atau untuk mendiagnostik dini tentang

kenderungan depletion atau collapse (Pitcher 1995 diacu dalam Pitcher dan Preikshot 2001). Selanjutnya, penilaian stok didasarkan para prediksi sejumlah

parameter yang cukup banyak dan pengukuran data historis dari perikanan dan

dari survey biomassa independent. Bagaimanapun, ada ketidaksepadanan antara kompleksitas dari model penilaian stok dan tingginya tingkat ketidakpastian yang

tak terpisahkan di dalam penelitian perikanan (Walters 1998). Pada waktu yang

sama, luasnya data yang dibutuhkan menghambat aplikasi dari model ini di dunia

perikanan. Lebih dari itu, penilaian stok konvensional berhubungan hanya dengan

aspek ekologis saja, atau adakalanya dengan kondisi ekonomi, namun juga

perikanan pada kenyataannya merupakan suatu multi-disciplinary usaha manusia yang meliputi aspek sosial, teknologi, dan implikasi etik.

Dalam pengelolaan perikanan yakni bagaimana meningkatkan upaya

manusia untuk memanipulasi ekologi ikan (Jentoft 1998 diacu dalam Fauzi dan

(30)

10

(sosial) kurang diperhitungkan atau kurang diprediksi. Meskipun demikian,

dimensi manusia ini menjadi sangat berkaitan dengan tipe alat tangkap, kapal,

pasar, biologi dan ketahanan ekonomi, manajemen, alokasi dan pembangunan

kembali stok ikan yang mengalami deplesi atau collapse, bahkan studi perikanan dapat dikaji secara multi-disciplinary dengan sebaik-baiknya.

Rapfish adalah suatu teknik penilaian cepat yang dirancang sesuai dengan tujuan, transparan, evaluasi multi-disciplinary, tetapi tidaklah diharapkan untuk menggantikan metode konvensional dalam penilaian stok dalam pengaturan kuota

(Pitcher dan Preikshot 2001). Metode ini telah dikembangkan oleh University of

British Columbia, Canada. Hasil Rapfish dapat direplikasi dan bersifat obyektif secara numerik (Pitcher dan Power, 2000). Rapfish merupakan analisis evaluasi keberlanjutan sederhana namun komprehensif, assessment terhadap sumberdaya dapat dilakukan secara utuh sehingga hasil studi ini dapat dijadikan bahan acuan

melakukan assessment terhadap pengelolaan perikanan di daerah lain. Replikasi dapat dilakukan untuk assessment status perikanan overtime maupun antar perikanan di suatu wilayah ataupun antar wilayah untuk assessment yang lebih luas (Fauzi dan Anna 2005). Dengan menggunakan multidimensional scalling (MDS) dan metode ordinansi guna melakukan penilaian secara relatif

keberlanjutan perikanan. Rapfish melakukan skoring terhadap sejumlah atribut dari 5 dimensi yang terdiri dari: ekologi, ekonomi, sosial, tehnologi, dan etik.

Karakteristik rapid appraisal, merupakan suatu metode pendekatan top down dengan memanfaatkan definisi nilai dan kriteria untuk mengevaluasi sistem perikanan (Adrianto et al. 2005). Beberapa contoh aplikasi Rapfish antara lain: di North Atlantic (Chuenpagdee dan Alder 1999), di Gulf of Marine Fisheries

(Pitcher dan Preikshot 2001), di Kepulauan Seribu-Jakarta dengan

mengembang-kan RapSmile (Susilo 2003), di Provinsi Bengkulu (Masydzulhak 2004), di

wilayah pesisir perikanan Jakarta (Fauzi dan Anna 2005), dan Prawoto (2005)

mengembangkan Rapfish dengan pendekatan sistem pakar.

Metode analisis dan evaluasi keberlanjutan perikanan selain dengan

(31)

11

Compliance (Pitcher 1999 dan Garcia et al. 1999) dan International Instrument Complience (Chuenpagdee dan Alder 1999)

Penerapan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)-FAO, sama

halnya dengan Rapfish dengan menggunakan pendekatan MDS. Dalam

penyusunan CCRF dalam penelitian ini khususnya merujuk pada artikel 7 yang

diuraikan dalam 6 bidang yang terdiri dari: (a) sasaran manajemen, (b) kerangka

kerja, (c) pendekatan pencegahan, (d) stok ikan, armada, dan alat tangkap, (e)

sosial ekonomi, dan (f) monitoring controlling survailance/MCS (Pitcher 1999). Metode ini sudah diaplikasikan di perikanan Australia (Garcia 1999) dan

perikanan Gulf of Maine (Chuenpagdee dan Alder 1999).

Metode International Instrument Complience memfokuskan pada

pengukuran kualitatif atau kuantitatif pada level pemenuhan dalam pengelolaan

perikanan dengan menggunakan beberapa instrumen (Chuenpagdee dan Alder

1999). Dalam metode ini, rentang skor kriteria yang digunakan mulai dari 0

(tidak memenuhi) hingga 3 (sangat memenuhi) dan jumlah kriteria dibatasi hingga

6 per instrumen. Sebagai contoh aplikasi metode ini yang dilakukan Chuenpagdee

dan Alder (1999) yang mengambil kasus di perikanan Gulf of Maine.

Menurut Adrianto et al. (2004) bahwa metode tersebut di atas relatif lebih memfokuskan pada pendekatan statik (top down approach), dimana sejumlah pertanyaan hanya digunakan untuk obyek yang statik. Metode tersebut

juga tidak memasukkan peran stakeholder dalam mengevaluasi perikanan. Sehingga perlu dikembangkan metode pendekatan bottom-up mengingat sistem perikanan sangat dinamis dan komplek dengan menyertakan stakeholder lokal yang disebut ”local accepted”. Berdasarkan pertimbangan dari stakeholder setempat dapat ditentukan indikator sustainability yang bersifat lokal, tingkat kepentingan, tingkat interaksi, keterkaitan, dan pola hubungannya. Indikator

sustainability dapat mendefinisikan variabel yang dapat mengukur atau menilai status atau kondisi sistem perikanan (Mendoza dan Prabhu 2002), seperti yang

(32)

12

2.2 Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Fenomena persepsi yang keliru dari stakeholder terhadap pemanfaatan potensi sumberdaya ikan (SDI) yang dianggap sebagai sumberdaya yang dapat

pulih (renewable resorces) sehingga dapat dieksploitasi secara tak terbatas (infinite). Selain itu, sumberdaya ikan dianggap sebagai sumberdaya milik umum (common property resources) sehingga berlaku rejim open access, yang bermakna bahwa sumberdaya ikan tersebut tidak jelas sifat kepemilikannya relatif

bersifat terbuka, maka siapapun dapat berpartisipasi tanpa harus memiliki

sumberdaya tersebut. Makanya tidak jarang satu wilayah dimana jumlah tangkap

melampaui daya pulih secara alami SDI tersebut atau sering disebut overfishing. Untuk mewujudkan perikanan tangkap berkelanjutan (sustainable fisheries), maka harus merubah rejim pengelolaan open access ke arah perikanan yang bertanggung jawab seperti yang dianjurkan dalam Code of Conduct forf Responsible Fisheries.

Pada mulanya, pengelolaan sumberdaya perikanan banyak didasarkan

pada faktor biologis semata, dengan pendekatan yang disebut Maximum Sustainable Yield (MSY) atau tangkapan lestari yang diperkenalkan oleh Schaefer tahun 1957. Konsep ini murni didasarkan pada pendekatan biologi

semata. Inti pendekatan ini adalah bahwa setiap spesies ikan memiliki

kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus),

sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih atau tida kurang) maka stok ikan

akan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable) (Fauzi 2004).

Konsep MSY ini menuai kritik karena dianggap terlalu sederhana dan

tidak mencukupi, karena tidak mempertimbangkan aspek-aspek lainnya utamanya

sosial ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya alam (SDA). Menurut Conrad dan

Clark (1987) diacu dalam Fauzi (2004) menyatakan bahwa kelemahan

pendekatan MSY sebagai berikut :

a. Tidak bersifat stabil, karena perkiraan stok yang meleset begitu saja bisa

mengarah pada pengurasan stok (stok depletion).

(33)

13

c. Tidak memperhitungkan nilai ekonomis apabila stok ikan tidak dipanen

(input value).

d. Mengabaikan aspek interdependensi dari sumberdaya.

e. Sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ragam jenis

(multi species).

Salah satu bentuk fungsi density dependent yang sederhana dan sering digunakan dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan adalah model pertumbuhan

logistik (logistic growth model). Dalam persamaan tersebut di atas, memperlihatkan fungsi pertumbuhan logistik serta plot stok terhadap waktu

beserta perilaku pencapaian ke arah daya dukung maksimum lingkungan

(carrying capacity).

(a) (b)

Gambar 2.1 Kurva Pertumbuhan Logistik

Dari persamaan matematis dan diagram di atas (panel a) terlihat bahwa dalam

kondisi seimbang (ekuilibrium) dimana laju pertumbuhan sama dengan nol

(∂x/∂t=0), tingkat populasi akan sama dengan carrying capacity. Sedangkan maksimum pertumbuhan akan terjadi pada kondisi setengah dari carrying capacity tersebut (K/2). Tingkat ini disebut juga sebagai Maximum Sustainable Yield atau MSY. Pada panel (b) dari Gambar 2.1 di atas diperlihatkan bagaimana stok akan mencapai keseimbangan maksimum pada tingkat carrying capacity (K) tergantung tingkat pertumbuhan intrinsik (r); semakin tinggi nilai r (r1>r2 pada

panel di atas), semakin cepat carrying capacity dicapai. F(x)

½ K K x

0 0 t

xt

K

r1

r2

t2

(34)

14

Meski banyak fungsi pertumbuhan yang bersifat density dependent, salah satu bentuk fungsi density dependent yang sederhana dan sering digunakan dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan adalah model pertumbuhan logistik (logistic growth model). Fungsi logistik tersebut secara matematis sebagai berikut:

) 1 ( K x rx t

x=

∂ ∂

(2.1)

Kurva pertumbuhan tersebut di atas dibangun dengan asumsi perikanan

tidak mengalami eksploitasi. Model di atas kemudian dikembangkan dengan

memasukkan faktor produksi (tangkap) ke dalam model. Untuk mengeksploitasi

ikan di suatu perairan dibutuhkan berbagai sarana. Sarana tersebut dalam literatur

perikanan biasa disebut sebagai upaya atau effort (trip, tenaga kerja, kapal, jaring dan sebagainya) yang dibutuhkan dalam aktivitas perikanan. Secara eksplisit,

fungsi produksi yang sering digunakan dalam pengelolaan sumberdaya ikan yang

diasumsikan bahwa laju penangkapan linear terhadap biomass dan effort dengan rumus sebagai berikut:

h

t

=

qE

t

x

t (2.2)

dimana q dikenal sebagai koefisien kemampuan tangkap atau catchability coefisient yang sering diartikan sebagai proporsi stok ikan yang dapat ditangkap oleh satu unit upaya. Sedangkan Et adalah fungsi dari upaya penangkapan (trip)

dan xt adalah biomassa ikan. Dengan adanya aktivitas penangkapan, maka

persamaan 2.1 akan menjadi:

qxE

K

x

rx

h

K

x

rx

t

x

t

=

=

)

1

(

)

1

(

(2.3)

Fauzi (2004) bahwa dalam model Gordon-Schaefer ini, beberapa asumsi

akan digunakan untuk memudahkan pemahaman. Asumsi-asumsi tersebut antara

lain:

1. Harga per satuan output, diasumsikan konstan atau kurva permintaan diasumsikan elastis sempurna.

2. Biaya per satuan upaya (c) dianggap konstan.

(35)

15

5. Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan (tidak termasuk faktor

pasca panen dan lain sebagainya).

Gambar 2.2 menguraikan inti dari Model Gordon-Schaefer mengenai

pengelolaan perikanan dalam dua rezim pengelolaan yang berbeda. Dalam

kondisi pengelolaan yang bersifat terbuka (open access), keseimbangan pengelolaan akan dicapai pada tingkat E, dimana TR (total revenue) sama

dengan TC (total cost). Pada kondisi ini rente ekonomi sumberdaya (economic rent) tidak diperoleh. Tingkat upaya pada posisi ini adalah tingkat upaya dalam kondisi keseimbangan yang oleh Gordon disebut sebagai ”bioeconomic equilibrium of open access fishery” atau bioekonomik dalam kondisi akses terbuka.

Gambar 2.2 Kurva Model Gordon-Schaefer

Pada setiap tingkat upaya lebih rendah dari E (sebelah kiri E),

penerimaan total akan melebihi biaya total sehingga penerimaan nelayan akan

lebih banyak tertarik untuk menangkap ikan. Dalam kondisi akses yang tidak

dibatasi, hal ini akan menyebabkan bertambahnya pelaku masuk (entry) ke industri perikanan. Sebaliknya pada tingkat upaya yang lebih tinggi dari (di

sebalah kanan E) biaya total melebihi total penerimaan, sehingga banyak pelaku

perikanan keluar (exit) dari perikanan. Dengan kata lain, keseimbangan open access akan terjadi jika seluruh rente ekonomi telah terkuras habis (driven to

Bia

y

a, Pe

nerimaan

TR TC TC

Rp

Πmak

C B

Upaya (effort) ∞

(36)

16

zero) sehingga tidak ada lagi insentif untuk entry maupun exit, serta tidak ada perubahan pada tingkat upaya yang sudah ada. Pada kondisi ini identik dengan

ketiadaan hak kepemilikan (property right) sumberdaya.

Keuntungan lestari yang maksimum (maximum sustainable rent) akan diperoleh pada tingkat upaya dimana jarak vertikal antara penerimaan dan biaya

merupakan jarak terbesar (garis BC=πmax). Dalam literatur ekonomi sumberdaya

ikan, tingkat upaya ini sering disebut sebagai Maximum Economic Yield (MEY) atau produksi yang maksimum secara ekonomi, dan merupakan tingkat upaya

yang optimum secara sosial (socially optimum). Kalau dibandingkan dengan kondisi open access tingkat yang dibutuhkan jauh lebih besar dari yang semestinya untuk mencapai keuntungan optimal yang lestari. Hal ini ini berarti

terjadi misallocation karena kelebihan faktor produksi (tenaga kerja dan modal) yang sebenarnya dapat dialokasikan untuk kegiatan produktif lainnya. Inilah

sebenarnya inti prediksi Gordon bahwa perikanan yang open access akan

menimbulkan kondisi economic overfishing. Kondisi Eo, tingkat upaya yang

dibutuhkan jauh lebih kecil dibandingkan untuk mencapat titik MSY (EMSY).

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat upaya pada titik keseimbangan

terlihat lebih ”conservative minded” (lebih bersahabat dengan lingkungan) dibandingkan dengan tingkat upaya.

2.3 Otonomi Pengelolaan Perikanan

Di dalam buku Ringkasan Agenda 21 Indonesia bagian Bab Pendahuluan

(KMNLH 1997) juga disebutkan bahwa sebenarnya di dalam Agenda Global,

merekomendasikan pentingnya desentralisasi pengambilan keputusan pengelolaan

sumberdaya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Namun, dalam

Agenda Indonesia 21 memang tidak ada arahan yang mengisyaratkan pelaksanaan

program pembangunan yang bersifat desentralisasi.

Agenda Indonesia sebagai advisory document, nampaknya harus

menyesuaikan diri guna mengimbangi dinamika dan tuntutan pembangunan saat

ini yakni era otonomi daerah. Perubahan dari paradigma pembangunan lama yang

(37)

17

desentralistik. Sejalan dengan kondisi tersebut, maka lahirlah Undang-Undang

Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (lebih spesifik otonomi daerah),

sebagai bentuk implementasi paling kompromis dari desakan federalisme di awal

reformasi. Namun dalam perjalanannya dalam waktu yang singkat,

Undang-Undang tersebut mengalami penggantian (bukan sebagai revisi), maka terbitlah

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (lebih

memfokuskan pada pemilihan kepala daerah/Pilkada).

Kinerja pembangunan perikanan dan kelautan nasional pada masa lalu

belum seperti yang kita harapkan, salah satu faktor yang terpenting adalah bahwa

proses perencanaan dan pengambilan keputusan tentang pembangunan kelautan

sangat sentralistik dan “top-down”. Oleh karena itu, lahirnya UU. No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah yang juga mencakup kewenangan daerah dalam

mengelola sumberdaya kelautan merupakan angin segar bagi pembangunan

perikanan dan kelautan yang lebih baik. Dalam pasal 18 disebutkan bahwa

kewenangan daerah dalam pengelolaan sumberdaya kelautan mencakup paling

jauh 12 mil laut dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan

kepulauan untuk propinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan propinsi

untuk kabupaten/kota. Kewenangan daerah dalam mengelola sumberdaya laut

meliputi :

a. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut.

b. Pengaturan administratif yang meliputi perizinan, kelaikan, dan

keselamatan.

c. Pengaturan tata ruang.

d. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau

yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah.

e. Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan.

f. Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.

Jika selama ini terdapat kesan bahwa Pemerintah Daerah tidak peduli

terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan termasuk pesisir secara berkelanjutan

sangatlah wajar mengingat manfaat terbesar dari sumberdaya tersebut tidak

mereka nikmati, melainkan dinikmati oleh Pemerintah Pusat. Namun dengan

(38)

18

sumberdaya kelautan yang berada dalam batas-batas yang telah ditetapkan, maka

manfaat terbesar dari sumberdaya kelautan akan diperoleh Pemerintah Daerah dan

masyarakat.

Berdasarkan otonomi daerah ini, Pemerintah Daerah sudah memiliki

landasan yang kuat untuk mengimplementasikan pembangunan kelautan secara

terpadu mulai dari aspek perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan

pengendalian sumberdaya kelautan dalam upaya menerapkan pembangunan

kelautan secara berkelanjutan. Permasalahan yang dihadapi sekarang adalah

seberapa besar keinginan dan komitmen Pemerintah Daerah untuk mengelola

sumberdaya kelautan secara berkelanjutan yang berada dalam wewenang/

kekuasaannya.

Pertanyaan di atas penting mengingat tidak seluruh daerah memiliki

pemahaman yang sama akan arti pentingnya pengelolaan sumberdaya kelautan

secara berkelanjutan. Pembangunan kelautan berkelanjutan pada dasarnya adalah

pembangunan untuk mencapai keseimbangan antara manfaat dan kelestarian

sumberdaya kelautan. Artinya, bahwa sumberdaya kelautan dapat dieksploitasi

untuk kemaslahatan manusia namun tidak menjadikan lingkungan termasuk

sumberdaya itu sendiri menjadi rusak.

Isyarat pembangunan berkelanjutan dalam undang-undang ini seperti

tersirat dalam pasal 17 ayat [1], bahwa daerah berwenang mengelola sumberdaya

nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara

kelestarian lingkungan sesuai peraturan perundangan. Oleh karena itu, dalam

pendayagunaan sumberdaya alam tersebut haruslah dilakukan secara terencana,

rasional, optimal dan bertanggung-jawab disesuaikan dengan kemampuan daya

dukungnya dan digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat

serta harus memperhatikan kelestarian dan keseimbangan lingkungan hidup untuk

terciptanya pembangunan yang berkelanjutan.

Salah satu permasalahan yang muncul dalam pengelolaan sumberdaya

kelautan di daerah selama ini adalah adanya konflik-konflik pemanfaatan dan

kekuasaan. Upaya penanganan masalah tersebut diharapkan dapat dilakukan

(39)

19

melakukan resolusi konflik, mediasi atau musyawarah dalam menangani masalah

tersebut. Upaya proaktif adalah upaya penanganan konflik pengelolaan

sumberdaya kelautan secara aktif dan dilakukan untuk mengantisipasi atau

mengurangi potensi-potensi konflik pada masa yang akan datang. Penanganan

seperti ini dilakukan melalui penataan kembali kelembagaan Pemerintah Daerah,

baik dalam bentuk konsep perencanaan, peraturan perundang-undangan,

sumberdaya manusia, sistem administrasi pembangunan yang mengacu pada

rencana pengelolaan sumberdaya kelautan secara terpadu. Upaya ini dilakukan

dengan menyusun rencana strategis (RENSTRA) pengelolaan sumberdaya

kelautan terpadu dari setiap daerah propinsi, kabupaten/kota, dengan cara

menyusun zonasi kawasan pesisir dan laut untuk memfokuskan sektor-sektor

tertentu dalam suatu zona, menyusun rencana pengelolaan (management plan) untuk suatu kawasan tertentu atau sumberdaya tertentu.

Manfaat langsung dari otonomi daerah dalam pengelolaan sumberdaya

pesisir adalah Pemerintah Daerah memiliki sumber pendapatan dan pendanaan

yang berasal dari (a) sharing Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan di wilayah pesisir, (b) biaya-biaya dari proses perijinan dan

usaha, pajak pendapatan dan pajak lainnya, retribusi daerah, dan (c) pendapatan

tidak langsung akibat pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian pembangunan

kawasan pantai (desa-desa), pelabuhan, kawasan industri dan lain-lain dapat

dibiayai oleh Pemerintah Daerah.

2.4 Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarchy Process)

Analytical Hierarchy Process (AHP) yaitu suatu pendekatan yang digunakan analisis kebijakan atau analisis jenjang keputusan yang bertujuan untuk

memilih/menentukan prioritas kegiatan pada kawasan konflik penggunaan lahan

dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang optimal (Saaty 1999). Menurut

Permadi (1992) bahwa AHP merupakan:

a. Desain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan

sangat erat dengan suatu permasalahan tertentu, melalui suatu prosedur

yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi di antara berbagai

(40)

20

b. Pendekatan analisis yang bertujuan membuat suatu model permasalahan

yang tidak terstruktur, dan biasanya diterapkan untuk memecahkan

masalah-masalah secara terukur (kuantitatif).

c. Biasanya digunakan untuk pengambilan keputusan untuk banyak kriteria,

perencanaan, alokasi sumberdaya, dan penentuan prioritas dari

strategi-strategi yang dimiliki pelaku dalam suatu konflik.

d. Analisis yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan dengan

pendekatan sistem, dimana pengambilan keputusan memahami suatu

kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam mengambil

keputusan.

Saaty (1999) menyarankan sedapat mungkin menghindari adanya

penyederhanaan seperti dengan membuat asumsi-asumsi, dengan tujuan dapat

diperoleh model-model yang kuantitatif. Untuk memecahkan konflik yang terjadi

dan solusi yang diinginkan, maka perlu diketahui faktor-faktor yang

mempengaruhi keputusan dalam pengambilan suatu kebijakan yaitu aspek tujuan

utama, sub tujuan, kriteria, dan alternatif. AHP dapat merinci permasalahan ke

dalam komponennya yang selanjutnya diatur dalam bentuk hierarki, dimana

hierarki paling atas diturunkan ke dalam beberapa elemen set lainnya, sehingga

terdapat elemen yang spesifik yang dapat dikendalikan dicapai dalam situasi

konflik.

Menurut Saaty (1999), bahwa AHP memiliki banyak keunggulan dalam

menjelaskan proses pengambilan keputusan, karena dapat digambarkan secara

grafis, sehingga mudah dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam

pengambilan keputusan. Dengan AHP, proses keputusan kompleks dapat

diuraikan menjadi keputusan-keputusan yang lebih kecil yang dapat ditangani

dengan mudah. Selain itu, AHP juga menguji konsistensi penilaian, bila terjadi

penyimpangan yang terlalu jauh dari nilai konsistensi sempurna, maka hal ini

menunjukkan bahwa penilaian perlu diperbaiki, atau hierarki harus distruktur

ulang.

Analisis AHP dapat mendesain strategi pembangunan pembangunan yang

disusun dalam berbagai skenario-skenario. Strategi merupakan suatu rencana

(41)

21

yang menguntungkan (Grant 1997). Keputusan strategi secara umum memiliki

tiga karakteristik umum yaitu :

a. Strategi merupakan hal yang penting.

b. Strategi meliputi komitmen yang penting dari sumberdaya.

c. Strategi tidak mudah diubah.

Grant (1997) juga menyatakan bahwa strategi yang berhasil biasanya

memiliki empat unsur utama yakni :

a. Strategi tersebut ditujukan untuk mencapai tujuan yang jelas dan dalam

jangka waktu yang panjang.

b. Strategi didasarkan pada pemahaman yang mendalam terhadap lingkungan

eksternal.

c. Strategi didasarkan pada pemahaman yang mendalam mengenai

kemampuan internal organisasi maupun individu.

d. Strategi dilaksanakan dengan resolusi, koordinasi, serta pemanfaatan yang

efektif terhadap kemampuan dan komitmen dari semua anggota organisasi.

2.5 Keadaan Umum Perairan Selat Bali

Perairan Selat Bali di sebelah barat dibatasi oleh daratan Pulau Jawa dan di

sebelah timur dibatasi oleh daratan Pulau Bali. Selat bali merupakan perairan yang

relatif sempit ± 2.500 km2 (Merta et al. 1998). Bagian utara Selat Bali mempunyai lebar ± 1 mil yang berhubungan dengan Laut Jawa (Selat Madura)

dan merupakan perairan yang dangkal (kedalaman ± 50 meter), sedangkan lebar

selat bagian selatan sekitar 28 mil yang merupakan perairan yang dalam dan

berhubungan langsung dengan Samudera Hindia. Perairan Selat Bali ini

mempunyai kesuburan yang tinggi, dimana produktivitas tertinggi terjadi pada

musim timur karena pada saat itu terjadi upwelling di bagian selatan Selat Bali (DKP Propinsi Jatim 2000b).

Adanya penaikan massa air cukup kuat di perairan sebelah selatan Bali

akibat bertiupnya angin musson Tenggara yang menyusuri pantai selatan

Jawa-Bali. Disamping itu, akibat adanya pengaruh gaya Corolius transport air di lapisan permukaan dibelokkan ke tengah laut sehingga terjadi kekosongan air di

(42)

22

Kejadian ini dapat ditunjukkan dari hasil analisis sebaran melintang suhu

sepanjang transek di perairan selatan Jawa-Bali dimana terjadi suhu dingin (26oC)

di dekat permukaan pada wilayah perairan dekat pantai (Fakultas Perikanan IPB

1997).

Pada saat musim timur, konsentrasi nitrat tinggi terjadi di Paparan Bali

(Illahude 1975 diacu dalam Wudianto 2001). Zat hara seperti nitrat dan fosfat

sangat penting bagi perkembangan fitoplankton. Pada saat musim timur dimana

terjadi upwelling mengakibatkan terjadinya peningkatan fitoplankton (Arinardi 1989). Menurut hasil penelitian disertasi yang dilakukan Wudianto (2001) bahwa

rata-rata kelimpahan fitoplankton di perairan Selat Bali berdasarkan musim: (a)

barat (bulan Januari) sebesar 7,3 x 103 sel/m3, (b) peralihan I (bulan Mei) sebesar

21,9 x 103 sel/m3, (c) timur (bulan Agustus) sebesar 35,5 x 103 sel/m3, dan (d)

peralihan II (bulan September) sebesar 24,4 x 103 sel/m3. Subani dan Sudrajat

(1981) menyatakan bahwa konsentrasi plankton di perairan Paparan Bali lebih

tinggi dibandingkan dengan perairan di bagian tengah selat dan Paparan Jawa.

2.6 Perikanan Lemuru di Selat Bali

Pada tahun-tahun terakhir ini sebutan Sardinella longiceps jarang digunakan sebagai nama ilmiah ikan lemuru yang tertangkap di perairan Selat

Bali. Hasil revisi klasifikasi ikan lemuru yang dilakukan Wongratana (1982)

dalam Merta (1992); Gloerfet-Tarp dan Kailola (1984) diacu dalam FAO (2000)

mengidentifikasikan jenis lemuru di perairan Selat Bali sebagai Sardinella lemuru Bleeker, 1853. FAO (2000) mengidentifikasikan jenis Sardinella lemuru ini dalam bahasa Inggris dinamakan Bali Sardinella. Sedangkan dalam bahasa dagang ikan lemuru dikenal dengan istilah “Indian oil sardinella”. Taksonomi ikan lemuru sebagai berikut (FishIndex 2006):

a. Kelas : Actinopterygii,

b. Ordo : Clupeiformes,

c. Famili : Clupeidae,

d. Nama ilmiah : Sardinella lemuru,

(43)

23

Di Indonesia, istilah ”lemuru” sering digunakan untuk beberapa spesies

sardines (Baharuddin et al. 1984) dan dalam publikasi tahunan ”Statistik Perikanan Indonesia” lemuru meliputi Sardinella longiceps (S.lemuru), S. aurita, S. leiogaster, S. clupeoides. Gambar ikan lemuru yang ditangkap di perairan Selat Bali lebih detail seperti dalam Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Ikan lemuru (S. lemuru Bleeker, 1853) (Sumber: FAO/SIDP 2006)

Pendugaan besarnya sediaan ikan lemuru di perairan Selat Bali

(1973-1981), baik dengan menggunakan metode akustik maupun model surplus produksi

dari data hasil tangkapan dan upaya yang tersedia, memberikan hasil dugaan

potensi yang hampir sama yaitu berkisar antara 35.000-66.000 ton (Sujastani dan

Nurhakim 1982).

Kemudian pada tahun 1986 di perairan Selat Bali diadakan pendugaan

sediaan ikan lemuru lagi dengan menggunakan data hasil tangkapan dan upaya

yang diturunkan dari data ekonomi diperoleh nilai dugaan MSY sebesar

62.000-66.000 ton per tahun (Martosubroto et al. 1986)

Menurut FAO (1999) yang menyatakan bakwa pendaratan ikan lemuru

dari hasil penangkapan di perairan Selat Bali memang berfluktuasi dari waktu ke

waktu. Dimana pada saat mencapai puncak pada tahun 1983 yang mencapai

48.000 ton kemudian pada tahun-tahun berikutnya terus merosot menjadi 4.600

ton pada tahun 1986. Kemudian mengalami titik produksi puncak lagi pada tahun

1991 yang berhasil didaratkan sebanyak 61.000 ton, kemudian merosot lagi pada

tahun 1996 menjadi 13.000 ton. Pada tahun berikutnya 1997 meningkat tajam

menjadi 50.000 ton, kemudian turun lagi pada tahun 1998.

Sumberdaya ikan pelagis di Selat Bali jauh lebih besar dibandingkan

(44)

24

total produksi ikan yang didaratkan di perairan Selat Bali adalah jenis ikan lemuru

(S. lemuru) (Budihardjo et al. 1990). Demikian juga Merta (1992) menyatakan bahwa produksi lemuru yang didaratkan dari perairan Selat Bali berkisar antara

65,86-92,89% dari produksi total pada tahun 1984-1989. Berdasarkan data dari

Resort Muncar tahun 1998, musim ikan lemuru Selat Bali menurut ukurannya

digolongkan seperti dalam Tabel 2.1

Tabel 2.1 Penggolongan ikan lemuru dan periode tangkap

No. Golongan Ikan Ukuran Panjang (cm) Periode Bulan

1.

2.

3.

4.

Sempenit

Protolan

Lemuru

Lemuru Kucing

< 11

11-15

15-18

> 18

Agustus-Desember

Januari-Desember

Mei-Desember

Oktober-Desember

Sumber: DKP Propinsi Jawa Timur 2000; Merta 1992.

2.7 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Lemuru Selat Bali

Dengan semakin meningkatnya kegiatan penangkapan ikan dengan

menggunakan alat tangkap purse seine di Selat Bali dan dalam rangka memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan secara bertanggung jawab dengan

memperhatikan kelestariannya serta menciptakan ketenangan berusaha bagi para

nelayan di Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur dan Bali, maka dikeluarkan

kesepakatan antar dua propinsi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Selat

Bali tersebut sebagai berikut (DKP Propinsi Jawa Timur 2000):

a. Surat Keputusan Bersama (SKB) Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur

dan Gubernur KDH I Tingkat I Bali Nomor HK.1/39/77/EK/le/52/77

tanggal 20 Mei 1977 tentang pengaturan bersama mengenai kegiatan

penangkapan ikan di daerah Selat Bali. Dalam SKB tersebut, jumlah alat

tangkap purse seine yang boleh berope

Gambar

Gambar  2.4  Perairan Selat Bali (www.encharta.com)
Gambar 2.5  Struktur  analisis hierarki proses pembangunan perikanan berkelanjutan Kabupaten Banyuwangi
Gambar 2.6 Kerangka pemikiran penelitian
Gambar 3.1 Data dan teknik analisis penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

menggunakan Model Produksi Surplus, memperoleh dugaan MSY=36,00 ton dan f6ot=190 unit pukat cincin, menunjukkan bahwa perikanan lemuru di Selat Bali telah mengalami

Pengkajian terhadap nilai upaya penang- kapan (E msy ) dan nilai hasil tangkapan (C msy ) saat berada pada keadaan MSY merupakan faktor pembatas dalam pemanfaatan sumber

Untuk menyelesaikan studi di Fakultas, penulis melaksanakan penelitian dengan judul “Potensi, Tingkat Pemanfaatan dan Keberlanjutan Ikan Tembang (Sardinella sp.) di Perairan

Analisis Potensi dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Kuwe (Carrangidae sp) di Perairan Laut Flore Provinsi Sulawesi Selatan.. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan

Berdasarkan pengamatan pra sampling yang dilaksanakan pada Bulan Agustus 2010 menunjukkan bahwa ikan lemuru kategori dewasa (adult) dimana gonad jantan dan betina sudah bisa

Faktor kritis terhadap kelestarian sumberdaya lemuru adalah: (1) tertangkapnya ikan ukuran pertamakali (Lc=14,3 cm) jauh lebih kecil dari ukuran ikan matang gonad