DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Mangara Sitorus
Umur : 70 tahun
Pekerjaan : Mantan kepala periode 1986
Alamat : Desa Tangga Batu I
2. Nama : Boturan Sitorus
Umur : 60 tahun
Pekerjaan : Mantan kepala desa dua periode ( 1990- 2005)
Alamat : Desa Tangga Batu I
3. Nama : Mandahar Sitorus
Umur : 73 tahun
Pekerjaan : Tokoh Adat
Alamat : Huta Nagodang
4. Nama : Pardoal Sitorus
Umur : 68 tahun
Pekerjaan : Petani/ Tokoh Adat
Alamat : Jln. Huta Nagodang
5. Nama : Mangarican Sitorus
Umur : 57 tahun
Pekerjaan : Kepala SPSI/ Tokoh Adat
6. Nama : Ari Nadapdap
Umur : 45 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta/ Bere
Alamat : Jln. Huta Nagodang
7. Nama : Opel Sinaga
Umur : 47 tahun
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil/ Bere
Alamat : Tangga Batu I Sosor ladang
8. Nama : Evi Sitorus
Umur : 52 tahun
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil/ Boru
Alamat : Tangga Batu I Sosor ladang
9. Nama : Halim Harahap
Umur : 38 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta/ Pendatang
Alamat : Tangga Batu I Sosor ladang
10. Nama : Amir Manurung
Umur : 58 tahun
Pekerjaan : LSM/ Tokoh Agama
LAMPIRAN
Lampiran 1
DAFTAR KATA
Anak : Anak sendiri, anak saudara, anak dari
teman semarga yang berada pada
tingkat yang sama( anak laki-laki).
Anakhon Hi Do Hamoraon Di Au : Anakkulah kekayaanku
Bere : Anak dari saudari, kemanakan
Bius : Kesatuan daerah yang bersama-sama
mengadakan kurban, region, gabungan
beberapa horja
Bona Pasogit : Harfiah: tempat rumah kurban marga
yang pertama
Simbolis : Daerah asal pertama marga
Bona Ni Ari : Pihak hula-hula, mertua dari ayah
oppung kita, beserta abang dan
adiknya serta keturunannya laki-laki
Bona Ni Pinasa : Harfiah: Pokok nangka
Simbolis: Daerah asal pertama marga
Boru : Perempuan, pihak penerima istri
Dalihan Na Tolu : Harfiah: Tungku masak yang
Simbolis: Struktur social Batak Toba
yang terdiri dari: Hula-hula (pemberi
istri), Dongan sabutuha(ego dan
anggota klen sendiri, dan Boru
(penerima istri)
Dang Di Ho,Dang Di Au, Tumagon Tu Begu : Tidak sama kamu, tidak sama saya,
lebih baik sama setan
Datu : Imam dan ahli pengobatan
Debata : Dewata
Demban : Sirih
Dengke Sitiotio : Ikan berkat pada ritus adat
Dongan Tubu : Teman/kawan semarga
Elat : Sikap iri, perilaku yang sering
mencela kebaikan orang lain
Elek : Sikap yang santun dan merendah
untuk meminta sesuatu
Gondang : Musik tradisional Batak Toba
Hagabeon : Mempunyai banyak keturunan anak
laki-laki dan perempuan yang bisa
menjadi pelindung orang tua
Haha : Abang, saudara-saudara kandung dan
saudara semarga
Hamoraon : Memiliki harta, bisa berwujud materi
atau anak
Hangoluan : Kehidupan
Hasangapon : Memiliki kehormatan, kekuasaan dan
pengaruh
Horja : Gabungan atau persekutuan beberapa
huta(kampung)
Hula-hula : Pihak (marga) pemberi anak
perempuan kepada pihak (marga)
pemberi anak laki-laki; pihak
pemberi istri
Huta : Kampung(perkampungan) kesatuan
territorial tingkat terendah yang
bersifat otonom
Ito/ iboto : Panggilan antara orang yang berlainan
jenis kelamin, ang semarga dan
sederajat menurut sisilah keluarga(
tarombo)
Late : Rasa iri hati yang jahat; dengki
Mandok hata : Memberi kata sambutan
Manat : Hati-hati
Marga : Klen
Marga partano : Klen yang memiliki hak atas daerah
Marga Raja : Klen yang memerintah
Marengge-rengge : Pedagang kecil di emperan took atau
didalam pasar yang mengelar barang
dangangannya berupa bahan makanan
pokok, hasil pertanian dan
barang kecil yang mudah diangkat dan
disimpan
Martarombo : Hubungan kekeluargaan dalam sisilah
keluarga
Martutur : Hubungan kekeluargaan karena
perkawinan
Mula Jadi Nabolon : Tuhan yang maha kuasa
Nabisuk Nampuna Hata : Orang yang pintar yang menguasai
pembicaraan
Naoto Tu Panggadisan : Orang bodoh selalu dikorbankan
Ompung : Kakek/nenek
Panungganei : Para tua-tua
Paramak So Balunon : Mempunyai tikar yang tidak pernah di
gulung(orang yang ramah)
Parsakkalan So Ra Mahiang : Mempunyai talenan yang tidak pernah
kering (kaya raya)
Partogi : Pemimpin
Patik : Peraturan, hokum, kaidah, tatacara
Punguan Marga : Perkumpulan marga
Punguan Parsahutaon : Perkumpulan satu kampung/ daerah
Sahala Dalam : Wibawa, hikmat dan kesaktian yang
dimana putradan putrinya sudah semua
menikah dan mempunyai cucu
Sipele Begu, Parbegu : Pemuja roh
Tao : Danau
Tarombo : Silsilah
Teal : Berat sebelah;berlagak pandai;
berlagak kaya;tetapi sebenarnya tidak
Tulang : Paman
Tumpak : Bantuan berupa uang, beras atau ternak
yang biasanya diberikan pihak
semarga, boru, teman sekampung dan
teman sejawat yang berpesta;
sumbangan
Uhum : Hukum adat yang berupa kaidah,
norma, peraturan yang mengatur dan
menetukan dalam hubungan
Lampiran 2
Peta Kecamatan Parmaksian Setelah Pemekaran dari Kecamatan Porsea Tahun 2005
Lampiran 3
Lampiran 4
Tambak periode 1991 hingga 1995
Lampiran 5
Tambak periode 1996 hingga 2000
Lampiran 6
Sumber: Dokumen Penulis, tanggal 14 Agustus 2015.
DAFTAR PUSTAKA
Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah (terj. Nugroho Notosusanto), Jakarta; UI Press, 1985.
Gultom, D. J. Rajamarpondang, 1992. Dalihan Na Tolu Nilai Suku Batak, Medan CV. Armanda.
Harahap, Basyral & Hotman Siahaan. 1987. Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak. Jakarta: Sanggar William Iskandar.
Haviland, William, 1985. Antropologi, Edisi Keempat Jilid II. Jakarta: Erlangga Ihromi,
Irmawati, 2007, Nilai-Nilai yang Mendasari Motif Motif Penentu Keberhasilan Suku Batak Studi psikologi Ulayat, disertasi.
Koentjaraningrat. 1983 . Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
1983. Metode - Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Kuntowijoyo, 1995. Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Marun, M.A., I.M.T. Hutapea. 1987. Kamus Budaya Batak Toba. Jakarta: Balai Pustaka.
Nainggolan, Togar. 2006. Batak Toba di Jakarta( Kontinuitas dan Perubahan Identitas). Medan: Bina Media.
2012. Batak Toba Sejarah dan Transformasi Religi. Medan: Bina Media Perintis.
Nasution, M. A dkk. 2000. Budaya Konflik orang Batak Toba, dalam, Dinamika & Problem Masyarakat. Medan: UPT. Penerbit dan Percetakan USU.
Pelly,U. 2004, Pengaruh Modernisasi terhadap Adat dan Budaya di Sumatera Utara, dalam Pelestarian Adat Masyarakat Etnik di Sumatera Utara. Cetakan Pertama, Medan: Forum Komunikasi Antar Lembaga Adat Sumatera Utara.
Purba , E. F & Purba O.H.S.1997. Migrasi Spontan Batak Toba (MARSERAK) : sebab,Motif,dan Akibat Perpindahan Penduduk dari dataran Tinggi Toba. Medan: Monora.
Subagyo, Joko, 2006, Metode Penelitian Dalam teori& praktek, Jakarta: Rineka Cipta.
Sihombing,T. M.( Ompu ni Marhulalan). 1989. Jambar Hata,Dogan Tu Ulaon Adat.[Tanpa Kota] CV: Tulus Jaya.
2000. Filsafat Batak :Tentang Kebiasaan-Kebiasaan Adat istiadat. Jakarta: Balai Pustaka.
Simamora, Sampetua. 2002. Habatakon. Pontianak: C.V. Lusamti Medan.
Simanjuntak, Bungaran Antonius. 1995. Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Simatupang, M. 2002. Budaya Indonesia yang Supraetnis.Cetakan Pertama, Jakarta:Papas sinar Sinanti.
Sinaga , Richard. 2013. Meninggal Adat Dalihan Natolu. Jakarta: Dian Utama dan Kerabat( Kerukunan Masyarakat Batak).
Sinulingga, S. 2004. Peranan Adat terhadap Pembangunan di Sumatera Utara, dalam Pelestarian Adat Masyarakat Etnik Sumatera Utara.Medan: Forum Komunikasi Antar Lembaga Adat (Forkala) Sumatera Utara.
Situmorang, Sitor. 2004. Toba Na Sae. Jakarta: Komunitas Bambu.
Situmorang, Jaulahan. 1965. Hagabeon, Hamoraon, Hasangapon dohot Mula ni Paradaton-Mula ni Marga-Mula ni Umpasa. Pematangsiantar: [tanpa penerbit].
Vergouwen, J.C. 1985. Masyarakat Hukum Adat Batak Toba. Jakarta: Pustaka Azet.
Sumber Website:
(http://mhs.blog.ui.ac.id/harry.surjadi/2008/10/05/kapital- sosial - sebagai-ukuran-keberhasilan-program- csr - bagi-masyarakat/ - _ftn3 (Hills dan Welford, 2005) Diakses tanggal 17 Juli 2015 pukul 18.00 Wib.
BAB III
PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN TAMBAK
3.1 Sistem Religi Masyarakat Batak Toba
Untuk menelusuri bagaimana perkembangan pembangunan tambak di Tanah
Batak khususnya di Desa Tangga Batu I terlebih dahulu dijelaskan tentang
kepercayaan masyarakat Batak. Kepercayaan masyarakat Batak Toba pada masa
sebelum masuknya agama berbentuk “paganisme” yaitu penyembahan terhadap roh
nenek moyang dan benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan. Lingkaran hidup
masyarakat Batak di bimbing oleh motif religius dan seluruh pemikirannya dikuasai
oleh konsep “adikodrati.”31
Bentuk kepercayaan ini terus hidup selama kurun waktu yang lama, sekalipun
masyarakat telah beralih ke agama Kristen. Sebagaimana halnya dengan suku-suku
lainnya yang ada di dunia ini, sejumlah kebiasaan dan adat istiadat yang jelas
bercorak “paganisme” dilestarikan baik sebagai kebiasaan maupun sebagai produk
sampingan rasa takut kepada kuasa di luar kuasanya sendiri. Sebagaian kebiasaan ini
mengalami perubahan dengan datangnya kekristenan dan sebagian terserap ke dalam
kawasan netral dari kebiasaan purba, tradisi, praktek pemujaan simbolisme, upacara
31
wajib dan bentuk-bentuk peradilan dan sebagainya yang beberapa di antaranya sudah
ada terlebih dahulu.32
Paganisme orang Batak adalah suatu campuran dari kepercayaan keagamaan
kepada dewata, pemujaan yang bersifat animisme terhadap roh-roh orang yang sudah
meninggal dan dinamisme. Di dalam banyak tata cara dan adat istiadat seluruh
pemikiran religius ini masih bercampur baur. Di dalam penerapan, batas-batas unsur
kepercayaan keagamaan tersebut tidak tampak dengan jelas, baik yang berlangsung di
kalangan orang biasa, di lingkungan para pemimpin kharismatis yang sudah mantab,
maupun dalam praktek religius magis.
Keseluruhan kehidupan religius paganisme orang Batak terikat dengan
keyakinan akan dewata yaitu Batara-Guru (Dewa Banua Atas) Soripada (Dewa
Banua Tengah) dan Mangala Bulan (Banua Bawah) sebagai totalitas. Dengan
keutuhan ini kehidupan manusia mempunyai kesatuan dengan “dunia” atau kosmos dimanapun dia hidup, dengan demikian juga keutuhannya dengan hidup dewa-dewa.
Ketiganya disebut Dewata na Tolu (Dewata yang Tiga). Dewa yang paling tinggi
kedudukannya adalah Debata Mulajadi Nabolon, yaitu asal mula yang ada sebagai
pencipta makro kosmos dan mikro kosmos sebagai dewata asli orang Batak Toba.33
Pemujaan terhadap keseluruhan dewata pada pokoknya dipusatkan pada
upacara religius besar seperti pesta-pesta persembahan umum yang ditujukan untuk
menangkal bencana dan wabah. Selain pada upacara-upacara kelompok besar yang
32
ibid., hal 80.
33
berupa pemujaan kepada roh leluhur. Keseluruhan peristiwa tersebut dimaksudkan
untuk menerima berkat dari roh para leluhur. Biasanya permohonan ini disampaikan
pada upacara adat oleh Datu (tokoh bius). Roh nenek moyang dipuja dan dihormati
dengan upacara-upacara ritual agar terus bergiat dalam memajukan kesejahteraan
keturunan leluhurnya. Apabila keturunannya menjadi marga yang besar maka
keturunannya tersebut akan memandang bahwa leluhur mereka mempuyai
keistimewaan dan dianggap sebagai jelmaan dari dewata yang harus di sembah.
Dengan keyakinan terhadap kekuatan ini mendorong masyarakat untuk tetap
memelihara dan melaksanakan kegiatan penghormatan kepada leluhurnya, dan hasrat
untuk menyerahkan diri kepada kekuasaan yang direfleksikan dalam kegiatan upacara
adat untuk menerima berkat. Dengan dilaksanakannya upacara tersebut maka
manusia secara tidak langsung telah berhubungan dengan kekuatan-kekuatan
supranatural.
Realisasi pembangunan tambak sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari
upacara pemakaman kedua “Mangongkal Holi”(menggali tulang) setelah adanya
pemakaman sementara. Upacara kematian atau pemakaman, hanya sebagi titik tolak
untuk dapat melihat bahwa arti kematian dapat dinilai dari upacara adat yang
dilakukan oleh keturunan supaya nenek moyangnya di kumpulkan dalam satu
tambak. Jarak antara pemakaman sementara dengan pemakaman kedua (pinanangkok
saringsaringna) berlangsung setelah daging sudah tanggal dari tulang belulang yang
Ada kalanya akibat waktu yang terlalu lama atau bahkan puluhan tahun baru
dilakukan penggalian tulang belulang untuk dibuat dalam satu tambak yang lebih
besar dan lebih baik lagi, tulang belulang ini sulit untuk ditemukan walaupaun tata
letaknya dapat ditebak, kemungkinan sudah menjadi tanah. Untuk mengetahui hal ini
maka akan dilakukan upacara ritual dengan gendang melalui medium datu (dukun),
sehingga dalam upacara tersebut dukun diminta untuk mengungkapkan dimana letak
tulang belulang para leluhurnya berada. Apabila upacara ritual itu telah dilakukan
akan tetapi tidak dapat menemukan dimana letak tulang belulang leluhurnya maka
sebagai bukti simbolis segemgam tanah dari tempat dimakamkan diambil sebagai
pengganti tulang belulang untuk di masukkan ke dalam tambak.
Tulang belulang yang diambil dari kuburan biasanya diletakkan di atas piring
khusus, kemudian dimasukkan kedalam peti mayat yang baru untuk kemudian
dilakukan ritual memasukkan peti ke dalam tambak yang baru. Upacara pemakaman
kedua mengharuskan kehati-hatian karena dimaksudkan untuk memberangkatkan,
memperingati, dan menghormati leluhurnya.34 Orang tua harus dihormati semasa hidup ataupun setelah mati. Artinya hubungan roh orang mati selalu ada dengan
orang yang hidup dan selalu dekat. Upacara- upacara besar seperti dalam hal
membuat tambak, dengan ritual upacara Mangongkal Holi merupakan satu rentetan
ritual yang cukup rumit tetapi tetap dilakukan untuk menghormati arwah nenek
moyang.
34
Dengan penggalian tulang belulang maka orang Batak Toba berasumsi akan
berakhirlah keadaan sementara terkantung-kantungnya roh nenek moyang mereka.
Orang Batak Toba meyakini melalui penguburan kedua ini maka leluhurnya
berpengaruh. Pembangunan tambak bagi nenek moyang melambangkan kekuasaan
yang baru dalam persekutuan roh leluhurnya. Dengan persekutuan tersebut maka
diharapkan kekuatan rohnya dapat memberi berkat untuk keturunannya sekaligus
menjaga ketentraman hidup.35 Melalui pelaksanaan upacara di atas, keturunannya yakin bahwa perbuatan tersebut sama dengan memenuhi permintaan nenek
moyangnya pada hidupnya.
Masyarakat Batak Toba mengakui, bahwa dewata akan bekerja memberkati
mereka melalui kurban yang disampaikan kepada illahi. Sombaon (dewata)
menjadikan upacara yang dihadiri oleh keturunannya sebagai saluran berkat. Upacara
besar seperti ini menunjukkan bahwa Dewata itu mempunyai kuasa menembus
pekerjaan, tuntutan, dan kemauan melalui kurban yang harus disampaikan oleh
keturunannya supaya mereka selamat.
Mereka menyadari bahwa sombaon dekat dengan mereka. Dewata itu dapat
bekerja melalui alat-alat dan bertindak menghukum yang salah melalui hukum
sumpah (gana) yang mengena terhadap tindakan sendiri dan menyelamatkan yang
benar. Bahwa illahi (sombaon) bekerja lebih khusus melalui upacara-upacara adat
melalui alat-alat, perlengkapan manusia seperti pembangunan tambak.
35
Konsepsi-konsepsi masyarakat yang membangun tambak nenek moyang
dapat dimengerti secara jelas dalam pepatah-pepatah yang dipakai pada waktu
peresmian tambak tersebut. “Ditaruh tulang-belulang kita ini ke dalam makam yang lebih tinggi. Semogalah meningkat kemakmuran, kesuburan, dan meningkat
kesejahteraan. Itu dilaksanakan kepada kita oleh nenek asli kita.36
Pada waktu ditinggikan “tondi”, (roh) nenek moyang dipersatukan sepenuhnya dengan tambak atau tempat penyimpanan tulang belulang kaum keluarga.
Dengan demikian keseimbangan telah dipulihkan. Di sekitar leluhur berlangsunglah
seluruh kehidupan sosial religius. Dalam satu tambak yang dipestakan hanya untuk
satu keturunan nenek moyang ataupun beberapa nenek moyang yang memiliki ikatan
keluarga yang sangat dekat. Hal ini terjadi jika semua keturunan sudah sepakat untuk
menyatukan bapa leluhurnya dalam satu tambak yang besar.
Kepercayaan tradisional Batak, kita dapat kita lihat dari mendirikan tambak.
Membangun tambak adalah suatu usaha mencari identitas diri dan identitas nenek
moyang. Tambak merupakan suatu pengungkapan nyata tentang pergumulan hidup
mereka untuk memperoleh kepastian, sebagaimana yang tertera dalam kutipan berikut
:”…saya berdiri di atas tradisi para bapa leluhur yang diwariskan oleh mereka sendiri.
Dengan kehadiran mereka, masa depan dapat menjadi masa kini yang merupakan
kehidupan yang layak.37
36
Schreiner, perjumpaan Adat dan Iman Kristen di Tanah Batak, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978, hal. 198.
37
Tambak sebagai simbolis memenuhi kebutuhan masyarakat adat dalam upaya
menjaga kehidupan kekerabatan berdasarkan kehidupan religi. Dalam hubungan ini
kita dapat melihat bagaimana masyarakat Batak Toba “mentoleransikan” antara
kepercayaan tradisional (kepercayaaan terhadap roh nenek moyang) dengan
kehidupan keagamaan yang mereka anut. Ada dua macam ibadah di tengah-tengah
orang Kristen Batak Toba yang sibuk dengan pendirian tambak karena pada satu
pihak mereka adalah penganut agama Kristen, di lain pihak mereka adalah penganut
dan beribadat kepada Debata Mulajadi Nabolon yaitu dewa tertinggi dalam agama
Batak kuno.
3.2 Nilai-nilai Utama Suku Batak Toba
Batak adalah suku yang memiliki tradisi yang kuat dalam berprinsip dan
berkeluarga, orang Batak tergolong orang yang selalu peduli terhadap sesamanya. Di
balik setiap sifat yang keras dan suara yang lantang, sebenarnya suku Batak adalah
suku yang memiliki segala keunikan. Suku Batak memiliki adat budaya yang baku
yang disebut Dalihan Na Tolu yang dapat menembus sekat-sekat agama/kepercayaan
mereka yang berbeda-beda. Tradisi adat budaya Batak Toba dalam menjalani
hidupnya berpedoman pada sejumlah nilai-nilai yang memiliki keyakinan,
penghormatan dan cita-cita hidupnya. ada sembilan nilai utama dalam kebudayaan
dan tradisi orang Batak Toba yaitu: Kekerabatan, Religi, Hagabeon, Hasangapon
Hamoraan, Hamajuon, Uhum dan ugari, Pangayoman, dan Konflik.38 Nilai
38
kekerabatan atau keakraban berada di tempat paling utama dari nilai inti budaya
utama masyarakat Batak.
3.2.1 Kekerabatan
Kehidupan masyarakat Batak Toba diatur dalam sistem kekerabatan Dalihan na
Tolu. Hubungan berdasarkan sistem kekerabatan ini telah disosialisasikan kepada
anak sejak dia mulai mengenali lingkungannya yang paling dekat, yaitu orang-orang
yang paling dekat dengan lingkungannya terutama ibu, ayah, dan saudara-saudaranya.
Orang lain diluar dirinya secara evolusionistis di perkenalkan sesuai dengan sistem
kekerabatan Dalihan na Tolu.
Dalihan na Tolu sebagai jaringan kekerabatan yang mengajarkan hak dan
kewajiban yang setara di antara ketiga unsur Dalihan na Tolu, yaitu Dongan
Sabutuha ( kelompok klen semarga), Hula-hula (kelompok yang memberi istri) dan
Boru (kelompok klen yang menerima istri). Sosialisasi Dalihan na Tolu yang
mencakup marga, silsilah dan tutur merupakan pendidikan dasar primordial suku
yang kuat.
Hubungan kekerabatan berdasarkan Dalihan na Tolu, mengajarkan solidaritas
dan penghargaan kepada orang lain. Setiap individu dalam masyarakat Batak Toba
memiliki kedudukan sebagai dongan sabutuha, hula-hula, dan boru. Hubungan
kekerabatan yang seperti ini mendidik masyarakat Batak Toba untuk menjadi orang
yang demokratis dan terbuka.
Masyarakat Batak Toba, dalam segala bentuk upacara landasan gerak dan tindak
pola tritunggal sikap Dalihan na Tolu yakni somba marhula-hula (hormat kepada
pihak pemberi istri), elek marboru (membujuk kepada pihak penerima istri), dan
manat mardongan tubu (hati-hati kepada teman semarga). Dari segi hak dan
kewajiban Dalihan na Tolu, yakni bahwa pihak dongan tubu sebagai tuan rumah
yang menyediakan segala keperluan dan dari pihak boru yang berperan sebagai
parhobas (pelayan atau pekerja). Ketiga unsur Dalihan na Tatolu tidak dapat
dipisahkan sebab apabila hilang satu unsur maka hilanglah sistem kekerabatan suku
Batak Toba. Ketiganya merupakan satu bagian yang satu sama lain disatukan oleh
pertalian keluarga.
Kekerabatan masyarakat Batak Toba yaitu: dongan tubu, hula-hula, dan boru
masing-masing mempunyai pribadi dan harga diri. Tiap unsure dalam Dalihan na
Tolu bertanggung-jawab sesuai dengan kedudukan dalam kegiatan upacara atau
peristiwa. Seluruh kerabat akan memposisikan diri menjadi salah satu dari ketiga
unsur Dalihan na Tolu.
3.2.2 Religi
Kedudukan religi dalam Batak Toba sangat tinggi. Religi dalam pengertian ini
adalah agama purba atau agama asli masyarakat Batak Toba. Religi yang memasuki
segala aspek kehidupan masyarakat Batak Toba tetap terpelihara, sekalipun banyak
yang mempengaruh kehidupan masyarakat Batak Toba seperti agama Kristen dan
modernisasi. Semua pengaruh itu tidah pernah berhasil menghapus identitas
masyarakat Batak Toba yang mempertahankan identitas kebatakannya.
Sekalipun kebanyakan masyarakat Batak Toba merupakan penganut agama
Padahal religi ini ditantang keras oleh agama Kristen Protesta, termasuk membangun
tambak nenek moyang. Bukti nyata betapa hebatnya pembangunan tambak (kubur)
nenek moyang ini, dapat disaksikan siapa saja yang melintasi wilayah Tobasa, Taput
melalui jalur Sipirok-Pahae-Tarutung-Parapat maupun melalui jalur
Sibolga-Tarutung- Balige-Porsea-Parapat. Di sepanjang jalan pemandangan yang amat
menonjol adalah bangunan tambak atau makam-makam nenek moyang yang megah.
Menarik untuk dilihat, bahwa tambak itu justru dibangun oleh orang-orang
Batak modern, yang kaya, dan berpendidikan, bahkan pejabat yang berpangkat, yang
migran di kota-kota di luar wilayah Batak Toba. Ini membuktikan bahwa religi
dalam masyarakat Batak Toba benar-benar mengakar.
Agama Kristen tidak mengahapus identitas kebatakan masyarakat Batak Toba.
Bahkan gereja justru memperkokoh identitas kebatakan mereka. Di gerejalah
masyarakat Batak Toba bertemu secara teratur baik membicarakan hal-hal yang
bersifat agama maupun membahas masalah-masalah sosial budaya. Menghormati
nenek moyang, mengandung makna menyembah Debata Mulajadi Na Bolon.
Petuah-petuah nenek moyang terus dijalankan secara berkesinambungan generasi demi
generasi. Pelanggaran terhadap petuah nenek moyang, akan menyebabkan kemurkaan
roh nenek moyang orang Batak Toba dan merupakan perilaku religius.
3.2.3 Hagabeon
Religi dan hagabeon berkaitan erat sekali, karena kehormatan dan kemuliaan itu
berhasil diraih hanya dengan berkat Debata Mulajadi na Bolon yang dalam alam
kenyataannya didelegasi kepada hula-hula. Mengenal Kedudukan hula-hula ini
Hula-Hula Ido Debata na Niida. Di atas telah disinggung bahwa ukuran hagabeon adalah
keluarga yang besar dan usia lanjut sekaligus menjadi panutan masyarakat.
Hagabeon, berarti banyak keturunan dan panjang umur. Satu ungkapan
tradisional Batak yang terkenal disampaikan pada saat upacara pernikahan adalah
ungkapan yang mengharapkan agar kelak pengantin baru dikaruniai anak 17 dan putri
16. Dari ungkapan di atas kelihatan bahwa anak laki-laki memiliki keistimewaan
dalam pandangan orangtua karena anak laki-laki adalah penerus garis keturunan.
Sehingga anak laki-laki sering disebut sebagai sinuan tunas (tunas yang baru). Bila
tidak memiliki keturunan laki-laki maka si ayah disebut punu, kelak bila meninggal
akan disebut mate punu merupakan suatu bentuk kematian yang tercela karena
sisilahnya akan terputus dan seluruh harta bendanya akan diambil oleh
saudara-saudaranya. Oleh sebab itu masyarakat Batak Toba sangat mendambakan agar
anaknya yang pertama adalah laki-laki.39
Dalam pembagian harta warisan misalnya, maka anak laki-laki akan
mendapatkan tanah, rumah, dan harta tak tergerak lainnya, sedangkan anak
perempuan hanya mendapatkan harta berupa pemberian dari orang tua yang biasanya
adalah berupa harta bergerak. Anak laki-laki lebih bebas merantau atau mendapat
kesempatan yang lebih luas untuk melanjutkan sekolahnya. Tetapi akhir-akhir ini
mulai ada perubahan pandangan orang tua terhadap perbedaan ini. Bagi mereka anak
laki-laki dan perempuan adalah sama saja. Walaupun demikian mengenai pembagian
harta warisan masih dipertahankan, tetapi dalam kesempatan memperoleh
pendidikan sudah disamakan baik laki-laki maupun perempuan.
39
Bagi seorang ayah anak laki-laki adalah kebanggaan yang tiada taranya sehingga
sering disebut Anakkonhi do Hamoraon di Au, artinya anak adalah kekayaan bagiku.
Maka dalam kehidupannya anak laki-laki harus lebih berhasil dari orang tuanya,
sebagaimana tergambar dari puwungan rumah tradisional orang Batak Toba dimana
bagian belakang lebih tinggi dari bagian depan. Falsafah yang terkandung dalam
bentuk ini adalah bahwa anak harus lebih berhasil atau lebih tinggi kedudukannya
dari orang tuanya. Oleh sebab itu , maka si anak harus disekolahkan setinggi mungkin
(ingkon do singkola satimbo-tombona) sebab pada akhir-akhir ini jalur pendidikan
merupakan jalur yang paling penting dalam perbaikan mobilitas sosial.
Sumber daya manusia bagi orang Batak Toba sangat penting. Kekuatan yang
tangguh hanya dapat dibangun dengan jumlah manusia yang banyak. Ini erat
hubungannya dengan sejarah suku Batak yang ditakdirkan memiliki budaya bersaing
berkadar tinggi. Konsep hagabeon berakar dari budaya bersaing ini pada zaman
purba, bahkan tercatat dalam sejarah perkembangan marga, terwujud dalam perang
antar huta ( kampung).
Dalam perang tradisional ini kekuatan tertumpu pada jumlah personil yang
besar. Mengenai umur panjang dalam konsep hagabeon disebut saur matua bulung
(seperti daun yang gugur setelah tua) pada orang Batak Toba. Dan saur matua
bulung,lopus marsege-sege abuan ( seperti daun yang gugur setelah tua, sampai
kembali berperilaku seperti anak-anak, menampi-nampi abu).
Dapat dibanyangkan betapa pesatnya pertambahan jumlah tenaga manusia yang
diharapkan melahirkan putra-putri sebanyak 33 orang, dan semua diharapkan berusia
hidupnya, pada saat kematiannya diadakan pesta besar (saur matua) untuk
menunjukkan kebesaran keluarganya. Saur matua hanya berlaku untuk orang tua
yang anaknya sudah menikah semua dan sudah punya keturunan.
3.2.4 Hamoraon
Sedemikian besarnya peranan misi budaya hamoraon, diungkapkan bahwa harta
kekayaaan membuat orang menjadi mulia dan terpandang seperti disebut dalam
ungkapan ini : Arta do hasangapon di Batak, molo godang hepengna, dohot do
bangkena marsangap. Hamoraon dalam kehidupan sehari-hari orang Batak Toba
merupakan misi budaya yang menonjol. Hamoraon, kaya raya, salah satu nilai
budaya yang mendasari dan mendorong orang Batak Toba untuk mencari harta benda
yang banyak. Ditengah-tengah suasana persaingan yang sangat tinggi, solidaritas
tetap memelihara untuk mencapai tujuan bersama yaitu kaya raya. Ini merupakan
mentalitas yang unik, menjaga solidaritas dalam suasana persaingan.40
3.2.5 Hasangapon
Hasangapon (kemulian dan kehormatan) boleh dikatakan merupakan hasil yang
diperoleh setelah memiliki kejayaan dalam misi budaya (hagabeon dan hamoraon).
Hasangapon adalah hasil puncak dari misi budaya 3H itu. Hasangapon, kehormatan
kemuliaan, kewibawaan, kharisma, satu nilai utama memberi dorongan kuat untuk
meraih kejayaan. Nilai ini memberi dorongan kuat, lebih-lebih pada orang Batak
Toba untuk meraih jabatan dan pangkat yang memberikan kemuliaan, kewibawaan,
kharisma dan kekuasaan.
40
Nilai kekerabatan erat sekali dengan nilai hasangapon seperti dinyatakan dalam
ungkapan tradisional Toba dibawah ini:
Molo naeng gabe, hormat ma marhula-hula
Molo naeng sangap, denggan na marsabutuha
Molo naeng ma mora, elek ma marboru41
‘Kalau ingin memiliki hagabeon, harus hormat kepada hula-hula’
‘Kalau ingin memiliki hasangapon, harus rukun bersaudara’
‘ Kalau ingin memiliki kekayaan, harus mengambil hati boru’42
Ungkapan ini memiliki makna yang luas, merupakan ajaran yang menciptakan
kestabilan hubungan tiga unsur Dalihan na Tolu yang menampilkan sikap saling
menghargai sesuai dengan fungsi, hak dan kewajiban ketiga unsur dalihan na tolu.
Ungkapan di atas tegas menyatakan bahwa kerukunan dan kasih sayang bersaudara
adalah salah satu syarat penting untuk menentukan apakah seseorang telah atau belum
memiliki hasangapon.
Hasangapon sebagai salah satu bagian budaya 3H merupakan nilai budaya
utama yang mencirikan orang Batak Toba yang sempurna sesuai ukuran nilai-nilai
budaya Batak Toba. Orang Toba yang telah mencapai taraf sangap adalah pemberi
kebijakan, pemberi habisuhon, (kerendahan hati) sekaligus menjadi teladan
masyarakatnya. Dalam kenyataan hidup sekarang ini yang dimaksud hasangapon
41 T. M. Sihombing ( Ompu ni Marhulalan). 1989. Jambar Hata,Dogan Tu Ulaon Adat.[Tanpa Kota] CV: Tulus Jaya. hal. 83.
42
terkait pada jabatan dan kedudukan yang memiliki kewibawaan yang kuat.
Kewibawaan ini pun merupakan hasil perjuangan meraih kemajuan.
3.2.6 Hamajuon
Gerakan misi Kristen yang memasuki wilayah Toba pada pertengahan abad
dan kehadiran penjajahan di wilayah Toba membawa perubahan mendasar terhadap
peningkatan taraf hidup orang Batak Toba. Gagasan-gagasan pembaharuan yang
dibawa oleh misionaris membuka cakrawala wawasan yang luas orang Toba.43 Pendidikan formal, gereja, dan pembangunan sarana kesehatan telah membuka isolasi
kawasan budaya Toba. Kedatangan orang kulit putih yang membawa modernisasi dan
ajaran baru kepada orang Toba merupakan gerakan emansipasi yang antara lain
berhasil menghapuskan perbudakan dan perang antar huta.
3.2.7 Hukum (Patik dohot Uhum)
Kesadaran hukum tradisional mengandung makna hukum religi sedangkan
kesadaran hukum formal mengandung makna hubungan antar manusia. Hukum
tradisional adalah aturan yang datang dari Debata Mulajadi Na Bolon melalui nenek
moyang hula-hula, yang mengatur kehidupan manusia dengan manusia dan alam
sekitarnya, sekaligus mengatur hubungan manusia dengan roh nenek moyang dan
Debata Mulajadi na Bolon. Sedangkan hukum formal hanya mengatur hubungan
manusia dengan manusia. Ini menjadi lebih jelas, apabila kita baca
ungkapan-ungkapan tradisional tentang kesadaran hukum ini, yang antara lain menyebut
sekuat-kuat hukum masih lebih sekuat-kuat padan ( janji).44
43
Irmawati, op.cit.hal . 128.
44
Ungkapan tradisional tentang padan dan hukum di bawah ini memberikan
kesan kadar nilai hukum dalam kehidupan orang Toba :
Dengke ni sabulan ‘Ikan dari sabulan’
Tonggi jala tabo ‘Manis dan enak’
Jolma siose padan ‘Orang pelanggar janji’
Ripur jala mago ‘Musnah dan lenyap’
Hapur di tangan do ahu ‘Kapur di tanganlah aku’ Napuran ni hallungan ‘Sirih di pikulan’
Na ingot di padan do ahu ‘Yang ingat di janjilah aku’ Ingot di paruhuman ‘Ingat di peraturan’
Ganjang jorat ni hoda ‘Panjang tali kekang kuda’ Sai talutuk do oloan ‘Selalu tapal batas yang di turuti’
Manang beha pe balga ni hata ‘Biar bagaimanapun besarnya perkataan’ Sai uhum pansohotan 45 ‘Selalu hukumlah penyelesaian’
Diatas telah disinggung bahwa ada perubahan kekuatan padan dan hukum
yang mengikat erat kesadaran hukum pada orang Batak Toba. Ungkapan di bawah ini
menjelaskan hal tersebut :
Togu urat ni bulu ‘Kuat akar bambu’
Toguan urat ni padan*46 ‘Lebih kuat akar ilalang’
45
T. M. Sihombing .,Op.cit.hal. 90. 46
Togu hata ni uhum ‘kuat kata hukum’
Toguan hata ni padan ‘Lebih kuat lagi kata ikrar’
Orang Batak Toba sangat tegas menindak orang yang terbukti melanggar
hukum seperti dinyatakan dalam ungkapan di bawah ini :
Bulung ni bulu ‘Daun bambu’
Diparingat-paringat nihalak ‘Diretak-retakkan orang’
Molo soadong uhummu ‘Kalautak ada hukummu’
Tibu ma ho ditadingkon halak ’Cepat kau ditinggalkan orang’ Orang yang tidak mematuhi patik dohot uhum akan segera dikucilkan dari
lingkungan masyarakatnya. Hukuman seperti ini merupakan hukuman yang amat
berat dalam kehidupan sosial orang Batak Toba membuat orang yang terkucil sangat
terasing dan menderita.
3.2.8 Pengayoman
Kehadiran pengayoman dalam kehidupan orang Batak Toba adalah perlu.
Namun demikian pengayoman menduduki tempat ke 8 dari 9 nilai budaya Batak
Toba. Hal ini dapat di jelaskan dengan pengenalan lebih dekat hak dan kewajiban
pengayoman dalam kehidupan orang Batak Toba. Pengayoman adalah pemberi
kearifan, pemberi kesejahteraan, pelindung yang ditaati, pencipta ketenteraman batin
dalam sistem kekerabatan dalihan na tolu diperankan oleh hula-hula. Kemandirian
yang telah mendarah daging pada orang Batak Toba, menempatkan kedudukan
pengayoman menjadi sangat terhormat. Pengayom hanya diperlukan pada saat-saat
yang kritis, Misalnya ketika yang diayomi mengalami penderitaan baik lahir maupun
3.2.9 Konflik
Konflik dalam kehidupan orang Toba memicu kemandirian dalam dinamika
kehidupan sekaligus melatih orang Batak Toba untuk tidak lari dari situasi konflik.
Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu memiliki mekanisme untuk meyelesaikan setiap
konflik melalui musyawarah keluarga dekat, rapat adat ataupun rapat warga. Akar
konflik terletak pada nilai budaya 3H. perjuangan meraih tujuan misi budaya 3H
merupakan perjuangan sepanjang masa.
Dalam proses sosialisasi orang Batak Toba, hidup berkonflik menjadi bagian
yang terpadu menyatu dengan komponen sosialisasi lainnya. Sejak kecil dalam
keluarga batin, anak telah terbiasa melihat, mendengar, terlibat atau dilibatkan bahkan
melibatkan diri dalam konflik. Dalam pengalamannya, anak merasakan dan
menghayati bahwa hampir segala segi kehidupan dapat menjadi sumber konflik. Segi
positif berkonflik ini adalah proses sosialisasi yang menyangkut latihan
berkesinambungan untuk mampu menganalisa setiap persoalan.
Konflik dipandang dari sudut lain, merupakan komponen yang penting dalam
proses sosialisasi orang Batak Toba. Dengan konflik proses seleksi tokoh dapat
berlangsung. Tokoh di gembleng sejak kecil untuk senantiasa berhadapan dengan
berbagai konflik, dia terlibat dari awal konflik sampai konflik itu di selesaikan.
Proses melibatkan atau dilibatkan dalam suasana konflik, mendidik masyarakat Batak
Toba menjadi orang yang terbuka. Hal ini dapat dipahami karena hampir tidak ada
konflik yang disembunyikan. Berkonflik dalam masyarakat Batak Toba bukanlah
Keterlibatan keluarga dekat yang terdiri dari unsur Dalihan na Tolu terbukti
bahwa konflik bukanlah hal yang ditutupi karena masalah konflik ini sebagian besar
dibicarakan dalam rapat adat. Dalam kasus tertentu, kehadiran tokoh masyarakat
dalam menyelesaikan konflik dapat diterima. Secara khusus pula, hula-hula
mengambil bagian aktif untuk menyelesaikan konflik yang baru terjadi, yang disebut
terakhir ini berada dalam posisi sebagai penerima pesan penyelesaian konflik.
Berbagai bukti sejarah menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu kala dan
bahkan hingga saat ini orang Batak Toba selalu terlibat dalam konflik. Pada masa
dahulu orang Batak Toba selalu terlibat dalam konflik antar desa, antar marga dan
bahkan dalam keluarga.
Potensi konflik pada orang Batak Toba terlihat manakala mereka saling
berinteraksi baik dalam suasana suka maupun suasana duka. Cara berkomunikasi
dengan suara yang keras, cepat dan sering mempunyai emosi sepertinya telah terjadi
pertengkaran menjadi stereotip etnis ini. Akibatnya ada anggapan etnis lainnya yang
mengatakan orang Batak Toba gemar berkelahi.
Konflik pada orang Batak Toba ini tidak hanya terbatas pada kalangan rendah
saja, atau orang-orang yang tinggal di desa, tetapi lebih daripada itu dan tidak
mengenal batas wilayah. Konflik terjadi pada orang Batak Toba yang tinggal di kota,
bahkan dari keluarga-keluarga kaya atau pejabat, berpendidikan atau tidak
berpendidikan.
Konflik pada dasarnya adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan
berkenaan dengan status, kuasa dan sumber-sumber kekayaan yang terbatas
yang diinginkan, melainkan juga memojokkan, merugikan atau menghancurkan
lawan mereka. Konflik ini dapat berlangsung antara individu, perkumpulan atau
antara individu dengan perkumpulan. Biasanya inti persoalannya atau penyebab
terjadi konflik berkaitan dengan upaya memperoleh kehormatan (hasangapon),
kekayaan (hamoraon) dan kesejahteraan (hagabeon).
Membahas sembilan nilai-nilai utama orang Batak Toba, yaitu dalihan na tolu
(kekerabatan), religius, hagabeon, hamoraon, hasangapon, hamajuon, hukum¸
panganyoman, konflik, maka menurut Usman Pelly (dalam Sinulingga dkk, 2004),
kesembilan nilai budaya orang Batak Toba tersebut apabila diperas atau dilihat
substansinya, dapat dirumuskan ke dalam tiga nilai yang penting, yaitu hamoraon,
hagabeon, dan hasangapon47.
Nilai budaya yang menjadi tujuan dan pandangan hidup ideal asli orang Batak
Toba dirumuskan di dalam rangkaian tiga kata yang secara eksistensial saling
mendukung yaitu hamoraon, hagabeon, hasangapon, kekayaan, keturunan dan
kehormatan. Metode pencapaian pandangan hidup diatur oleh struktur sosial Dalihan
na Tolu yang keberadaannya berdasar kepada sistem garis keturunan kebapaan
berwujud marga. Kemudian aplikasi struktur itu dijabarkan di dalam sistem sosial
berupa tatanan adat istiadat, kepercayaan dan idealisme. 48Upacara adat yang
47
Usman Pelly,Pengaruh Modernisasi terhadap Adat dan Budaya di Sumatera Utara dalam Pelestarian Adat Masyarakat Etnik di sumatera Utara. Cetakan Pertama,Medan : forum komuniasi Antar lembaga Adat Sumatera Utara,2004, hal 70-84.
48Bungaran Antonius Simanjuntak. 1995. Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba.
digerakkan oleh Dalihan na Tolu menjadi “media” untuk menanamkan nilai-nilai hamoraon , hagabeon, dan hasangapon.
Di dalam ideologi Batak Toba, kekayaan, hamoraon adalah salah satu tujuan
hidup. Kekayaan dipergunakan untuk memperoleh status yang bermuatan kekuasaan.
Semakin besar akumulasi kekayaan, semakin besar modal, yang pada akhirnya akan
memperbesar kekuasaan. Walaupun kekuasaan pada akhirnya akan menghasilkan
kekayaan, akan tetapi yang pertama ialah memakai kekayaan untuk memperoleh
kekuasaan.
Perebutan status mulai terlihat pada persaingan meningkatkan pendidikan.
Bagi orang Batak Toba, faktor kekayaan tidak merupakan fasilitas yang membedakan
keinginan untuk berpendidikan tinggi. Semua orang bersaing untuk memperoleh
pendidikan yang dipandang sebagai jalur utama memperoleh status sosial formal.
Pendidikan dan status memberi prestise dan kehormatan, hasangapon yang
didambakan sebagai unsur kedua tujuan hidup.
Tujuan hidup hamoraon, hagabeon, dan hasangapon mengandung essensi
kekuasaan. Memakai kekayaan untuk memperoleh kekuasaan. Demikian juga bila
mempunyai banyak keturunan, maka “people power” akan dimiliki. Melalui
hasangapon, kehormatan, maka kekuasaan akan diperoleh. Karena itu diperlukan
terlebih dahulu usaha memiliki kekayaan dan keturunan agar kehormatan diperoleh.49 Dengan memiliki kekayaan, keturunan yang banyak dan kehormatan maka
kekuasaan otomatis diperoleh. Ketiga unsur ini saling menunjang adalah merupakan
prinsip bagi orang Batak Toba, bahwa orang yang kaya tetapi tidak mempunyai
49
keturunan kurang dihormati dan tidak mempunyai kewenangan dalam
upacara-upacara adat. Karena hanya orang yang kaya, dan berketurunan yang dipandang
mampu dan layak memberi restu kepada orang lain. Orang yang banyak berketurunan
tapi miskin juga dikategorikan sebagai tidak terhormat dan tidak berkuasa . Karena
itu landasan kekuasaan ialah kepemilikan kekayaan dan keturunan.
Aliran I: Ada orang Batak Toba yang berpendapat bahwa prioritas pertama
dalam cita- citanya ialah mempunyai banyak anak (hagabeon) baik
pria maupun wanita. Menurut mereka, memiliki angkatan (generasi),
sekaligus akan memiliki tradisi hari depan keluarga. Nyanyian seperti
“Anakkonhi do hasangapon di ahu” (anakku adalah kedaulatan bagi
saya), membenarkan aliran ini. Aliran I yang mengandalkan banyak
anak (hagabeon), mengharapkan hasil pekerjaan anaknya,
keturunannya mampu berkembang untuk menjadi kaya dan berdaulat.
Aliran II: Berpikir bahwa banyak anak (hagabeon) harus berpartner dengan
kekayaan (hamoraon). Apabila kedua ini saling bertautan maka
kedaulatan akan timbul. Menurut mereka walaupun memiliki banyak
anak tetapi tidak mempunyai tanah warisan yang luas, tidak
mempunyai ternak dan lain-lain, maka tidak mungkin mereka
dipandang sebagai orang berdaulat (sangap).
Aliran III: Berpendapat lain, yaitu ketiga unsur itu sama-sama menjadi landasan
Dari ungkapan ini, dinamika meraih hamoraon tak ada hentinya. Sudah kaya,
masih ada lagi yang lebih kaya. Daya dorong yang asli itu tetap hidup dalam setiap
tingkatan hamoraon yang dapat dicapai dengan kegigihan dalam suasana persaingan
berkadar tinggi.
Sejalan dengan ungkapan tersebut di atas yang menggambarkan bahwa
maduma (kaya) belum cukup, oleh karena itu harus bekerja keras sampai pada
tingkatan kaya raya.
Dalam keluarga Batak eratnya rasa kekeluargaan merupakan suatu aliran turun
temurun yang diturunkan dari nenek moyang ke setiap manusia yang dilahirkan dari
suku Batak. Kekuataan itu kekeluargaan dalam satu marga baik terjadi baik dari satu
darah (kandung) maupun satu marga dari berbeda keluarga
3.3 Kedudukan Tambak dalam Kebudayaan Batak Toba di Desa Tangga Batu I
Pembangunan tambak di Desa Tangga Batu I pada umumnya digolongkan
pada kategori yang tercakup dalam pengertian yaitu berkenaan untuk menghormati
arwah nenek moyang masyarakat Batak Toba. Meskipun pada akhir- akhir ini
mencakup pengaktualisasian diri ke dalam kelompok marga. Sejalan dengan
informasi yang diuraikan tentang sejarah perkembangannya bahwa perkembangan
pembangunan tambak dimulai dengan adanya kecenderungan masyarakat Batak Toba
yang ada di Desa Tangga Batu I untuk mengidentikkan nenek moyang mereka
seperti halnya para raja.
Ada pendapat yang mengatakan, semua orang Batak adalah raja. Walaupun
maksud untuk membuat suatu pertanda kuburan nenek moyang, kemudian menjadi
kegiatan rutin yang dikaitkan dengan adat. Perkembangan pembangunan tambak di
Desa Tangga Batu I tidak terlepas dari pengaruh dari luar kebudayaan Batak Toba.
Walaupun harus diakui bahwa kecenderungan yang mengarah kesana sudah ada sejak
dahulu, yang dimunculkan kepermukaan setelah bercampur baur dengan unsur-unsur
yang paralel serta sejalan. Kegiatan mendirikan tambak nenek moyang kemudian
menjadi adat yang bersendi pada prinsip Dalihan na Tolu.
Di tanah pemakaman yang ada di Desa Tangga Batu I sebagian besar
makam-makam yang ada adalah penghormatan kepada nenek moyang. Kegiatan ini banyak
menimbulkan tanggapan dan pendapat baik yang menolak ataupun yang mendukung
kegitan Pembangunan tambak ini di Desa Tangga Batu I. Perbedaan pendapat dan
tanggapan tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga bagian, yaitu:
1. Kelompok pertama menginginkan agar pembangunan tambak
dengan pendekatan gerejawi ataupun peraturan pemerintah daerah
yang dianggap kurang baik bagi kehidupan masyarakat.
2. Kelompok kedua yang menginginkan pembangunan tambak tidak
perlu dihilangkan tetapi perlu penyederhanaan bentuk dan pesta
peresmiannya dengan desain baru serta mengandung nilai nilai
baru.
3. Kelompok ketiga menyatakan agar dibangun tambak yang hidup,
dalam arti dapat meninggkatkan kesejahteraan masyarakat seperti
sekaligus dapat menunjukkan nama keluarga atau kelompok marga
pendirinya.
Tambak sebagai unsur yang membudaya saat ini, merupakan milik yang
direalisasikan sesuai dengan sistem nilai kebudayaan yang hidup dalam masyarakat
yang mempedomani arah orientasi tingkah laku masyarakat Batak Toba. Harus
diakui, bahwa seluruh kebudayaan termasuk kebudayaan Batak Toba bukanlah suatu
yang statis, melainkan berubah pada waktunya. Perubahan yang berasal dari dalam
dan dari luar yaitu kebudayaan-kebudayaan lain yang memperngaruhi tetap berlaku
dan berkesinambungan. Kejadian seperti ini dapat diterima masyarakat Batak Toba
yang ada di desa Tangga Batu I terhadap budaya yang unsur-unsurnya relatif
bersesuaian.
3.4 Perkembangan Pembangunan Tambak di Desa Tangga Batu I
Apabila seseorang meninggal dan sudah mempunyai keturunan yang besar,
maka oleh keturunannya akan ditempatkan pada sebuah kuburan besar yang dalam
istilah Batak-nya disebut tambak.50 Mengenai tambak ini, Pasaribu mengatakan :
“…di atas tambak biasanya ditanam pohon beringin yang menjadi simbol dari kehidupan yang sempurna dari nenek moyang. Daun yang lebat dan cabang yang banyak serta batang yang besar semuanya ini menggambarkan kebesaran dan kesempurnaan semasa hidupnya, ia tempat bersandar, tempat bertanya, tempat berlindung dari keluarganya dan orang-orang kampung, maka di dalam roh pun ia
demikian juga…”51
50Tambak
adalah timbunan tanah yang ditinggikan sampai beberapa tingkat di atas kuburan orang-orang tua yang sudah mempunyai keturunan besar. Akhir-akhir ini tambak dibuat dari semen dan batu.
51
Sebelum tambak dibuat, pertama-tama dibuat “jabu mar-rumaruma” (rumah
kecil yang mempunyai atap) di atas kuburan orang yang meninggal, kemudian
ditimbun dengan tanah sampai bertingkat-tingkat sehingga berbentuk tambak, serta
dibuat untuk setiap orang yang meninggal yang sudah besar keturunanya atau gabe.
Kuburan ditimbun beberapa tingkat, tingginya lebih kurang satu sampai dua meter,
panjang dan lebar lebih kurang lima meter.
Sebagian besar masyarakat Batak Toba mengikuti berkembangnya pendirian
tambak adalah dari adanya makam kubur nenek moyang orang Batak Toba yang
masih terbilang sederhana. Ada suatu upacara yang menurut orang Batak sebagai
suatu prosedur yang melatarbelakangi pembangunan tambak yaitu upacara
“mangongkal holi.” Upacara penggalian tulang belulang ini dilakukan dengan
jenjang yang agak rumit dan memakan waktu yang cukup lama. Pada saat upacara ini
gendang dipukul dan diadakan pesta makan bersama. Ada suatu keyakinan bahwa roh
nenek moyang akan mendengar bunyi gendang dan melihat situasi pesta, sehingga
roh mereka bergembira dan akan memberkati seluruh keturunannya.
Menanam pohon beringin (jabi-jabi) di atas kuburan adalah kebiasaan yang
sudah lama dilakukan oleh orang Batak. Adapun maksud penanaman pohon beringin
didorong oleh keinginan agar kuburan mempunyai pertanda untuk waktu yang sangat
lama. Pohon seperti itu ternyata dapat bertahan lama dan nyaman pula dipandang
mata. Penanaman pohon beringin ini adalah kegiatan orang Batak yang ada
kemiripannya dengan pembangunan tambak, setidak-tidaknya dalam pengertian.
juga menunjukkan pertumbuhan yang cukup lambat. Dalam dua tiga tahun pohon ini
belum begitu tampak jelas, akan tetapi tambak yang dibuat dari semen dan batu sudah
dapat menjulang tinggi dalam waktu yang singkat.
Dari kebiasaan ini, kemudian berkembang usaha-usaha pendirian tambak yang
akhir-akhir ini berkembang dengan pesat, sering dibangun untuk penghormatan
kepada seseorang nenek moyang kelompok genealogis atau marga tertentu. Kuburan
yang ditinggikan dengan semen atau batu dalam berbagai bentuk. Ada kalanya semen
tersebut berbentuk manusia di atas kubur seseorang. Tidak dapat diketahui dengan
pasti, apakah patung semen itu mempunyai rupa yang mirip dengan orang yang
terkubur dibawahnya, ataukah hanya untuk keindahan saja.52
Sulit menunjukkan dengan tepat hal yang melatarbelakangi mendirikan
tambak nenek moyang, tetapi jelas sudah bahwa jumlah tambak bertambah semenjak
awal tahun 50-an. Penggalian tulang-belulang leluhur di Bona Pasogit (kampung
halaman) orang Batak Toba sampai saat ini sudah menjadi tren baru yang diadatkan
sehingga marga yang satu akan merasa malu terhadap marga yang lain jika belum
menggali tulang-belulang nenek moyang mereka dan memasukkannya ke dalam batu
na pir ( kubur yang terbuat dari bahan semen) atau paling di kenal dengan sebutan
tambak dalam sebuah pesta mangongkal holi.53. Dengan adanya tambak-tambak ini, pemujaan nenek moyang di tanah Batak telah mendapat suatu perwujudan. Jumlah
tambak di tanah Batak menanjak sedemikian menyolok, sehingga dapat disebut
52
Pasaribu, Op.cit., hal. 184.
53
sebagai suatu hal yang menunjukkan betapa hormatnya masyarakat Batak Toba pada
leluhurnya.
3.4.1 Perkembangan Pembangunan Tambak secara Kuantitatif
Pembangunan tambak di Desa Tangga Batu I secara kuantitatif selama kurun
waktu dua puluh tahun dapat dilihat perkembangannya dari tahun ke tahun seperti
yang terlihat jelas dalam tabel berikut:
TABEL 4
PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN TAMBAK DI DESA TANGGA BATU I SECARA KUANTITATIF
No TAHUN JUMLAH
PENDUDUK
JUMLAH TAMBAK
1. 1986-1990 623 19
2. 1991-1995 872 24
3. 1996-2000 1011 27
4. 2001-2005 1314 34
Sumber: Data dari hasil wawancara dengan tokoh-tokoh adat Desa Tangga Batu I
dan peninjaun langsung ke lokasi penelitian.
Penulis meneliti pembangunan tambak di desa Tangga Batu I Kecamatan
Porsea dalam kurun waktu dua puluh tahun yaitu antara tahun 1986 hingga tahun
ini penulis mengangkat dari tahun 1986 karena di sini merupakan awal pembangunan
tambak semakin berkembang. Dalam penelitian ini data yang di dapat dari jumlah
tambak yang terbangun di tahun 1986-1990 sebanyak Sembilan belas tambak
diantaranya delapan tambak sudah ada sebelum tahun penelitian dan kubur tambak
ini berada di lokasi pemakan umum. Selanjutnya jumlah tambak dalam kurun waktu
lima tahun itu ada sebanyak sebelas tambak yang berdiri. dimana jumlah ini sedikit
lebih banyak dikarenakan sebelas tambak yang berdiri itu sebelumnya di makamkan
di lokasi tepat industri indorayon akan dibangun. Luas jangkauan pembangunan
lokasi pabrik samapi ke pemakaman atas permohonan pembangunan pabrik kepada
masyarakat pihak pabrik bersedia untuk memberikan dana ganti rugi atas pemakaian
lahan pemakaman. PT.IIU memberikan ganti rugi kepada pihak keluarga berupa
dana sebesar Rp 15.000.000,-/ makam orang tua dan dari dana itu dialokasikan untuk
pembangunan tambak ( panangkok saring-saring) orang tua yang dipindahkan
makamnya.54
Dari 1991 sampai tahun 1995 jumlah tambak yang bertambah sebanyak lima
buah tambak. Dan ditahun 1996 hingga tahun 2000 berdiri tiga buah tambak pada
tahun ini jumlah pembangunan tambak yang dibangun menurun dikarenakan
terjadinya demo besar-besaran dari masyarakat akibat pengelolaan limbah yang
kurang baik, yang mengakibatkan perusahaan tutup dan terjadi pengangguran
besar-besaran. Pendapatan masyarakat juga turun drastis karena kehilangan pekerjaan. Hal
lain yang menyebabkan turunnya pembangunan tambak dikarenakan krisis moneter
54
menyebabkan banyak anak perantauan yang tidak mampu memberi dukungan dana
untuk pembangunan tambak karena sulitnya keuangan pada masa itu.55
Dalam hal ini penulis menemukan hal yang berbeda dari tahun sebelumnya di
mana pada tahun sebelumnya perusahaan Pulp dan Paper berhenti beroperasi untuk
sementara waktu. Akibat demostrasi masyarakat yang berdomisili di sekitar pabrik.
Di Tahun 2003 pabrik kembali beroperasi setelah mendapat izin dari menteri
kehutanan Nomor Sk.351/menhut-II/2004. Serta pihak CSR (Corporate Social
Responsibility) perusahaan berjanji memberikan dana kepada masyarakat sebagai
bentuk ganti rugi akibat pengelolaan limbah yang kurang baik. Dan mempekerjakan
putra daerah sesuai dengan skill yang dibutuhkan perusahaan. Hal ini sangat
membantu pandapatan masyarakat, dan perekonomian normal kembali.
Tahun 2001 samapi tahun 2005 jumlah tambak yang dibangun sebanyak
tujuh bangunan. Dimana total keseluruhan tambak yang dibangun di desa Tangga
Batu I berjumlah 34 bangunan tambak. Dari total jumlah bangunan tambak sesuai
hasil penelitian penulis di lapangan bahwa bagunan tambak dibangun keluarga
besar yang masih dalam satu garis keturunan (saompu). Mengenai biaya
pembangunan tambak bantuan dana yang paling besar adalah dari pihak perantau
yang telah sukses di tanah perantaun ( tano parserakan). Keluarga yang ada di tanah
perantauan dan yang tinggal di kampung masih sama-sama menanggung biaya
pembangunan tambak secara proporsional.
55
3.4.2 Perkembangan Pembangunan Tambak secara Kualitatif
Perkembangan pembangunan tambak di Desa Tangga Batu I secara kualitatif
selama kurun waktu dua puluh tahun dapat dilihat perkembangannya dari tahun ke
tahun seperti yang terlihat jelas dalam tabel berikut:
TABEL 5
PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN TAMBAK DI DESA TANGGA BATU I SECARA KUALITATIF
No TAHUN JUMLAH
PENDUDUK
KEINDAHAN TAMBAK
1. 1986-1990 623 Tambak masih sederhana.
2. 1991-1995 872 Tambak Pada periode ini masih
sederhana akan tetapi sudah
mulai telihat adanya peningkatan
keindahan tambak.
3. 1996-2000 1011 Tambak pada periode ini sudah
mengunakan beberapa ornament.
4. 2001-2005 1314 Tambak pada periode ini sudah
terlihat memakai ornamen
mewah.
Sumber: Data dari hasil wawancara dengan tokoh-tokoh adat Desa Tangga Batu I
Penulis meneliti perkembangan keindahan tambak di Desa Tangga Batu I
Kecamatan Porsea dalam kurun waktu dua puluh tahun yaitu antara tahun 1986
hingga tahun 2005. Tambak sebenarnya jauh sebelum tahun 1986 sudah ada di
bangun dengan motif yang sangat sederhana dan ukuran yang masih tidah terlalu
luas sekitar 4-5 meter. Keindahan tambak tahun 1986-1990 juga masih sederhana
karena menggunakan bahan bangunan semen biasa tanpa ada motif tertentu yang
dipakai sebagai hiasan dari tambak nenek moyang zaman dahulu.
Keindahan tambak pada periode 1991 hingga tahun 1995 sudah mulai terlihat
adanya peningkatan keindahan tambak yaitu berbahan semen dengan menggunakan
gorga Batak dan sudah menggunakan cat tembok biasa, biasanya gorga batak hanya
mengunakan 3 warna yang sangat khas yaitu merah, hitam, dan putih dan masih
dengan ukuran yang relative sama dengan tahun sebelumnya.
Di tahun 1996 hingga tahun 2000 keindahan tambak tahun ini sudah mulai
ada kemajuan dimana keindahannya sudah mulai meningkat karena sudah
mengunakan bahan semen dengan motif gorga Batak tetap dengan warna yang selalu
di gunakan yaitu: merah, hiam, dan putih. Tambak juga sering di buat dengan
mengunakan motif jabu (rumah) Batak, dipadukan dengan bahan keramik biasa
dengan ukuran yang relative meninggkat dari tahun sebelumnya yaitu berukuran 6-7
M.
Terlihat jelas tambak di tahun 2001 hingga tahun 2005, dalam kurun di
dimana motif yang digunakan sudah semakin indah karena bahan nya bnyak terbuat
dari semen yang dipadukan dengan bahan keramik mewah dengan warna yang lebih
indah dan unik. Motif tambak terkadang menyerupai rumah tempat tinggal
masyarakat bahkan terkadang melebihi rumah masyarakat karena motif dan bahan
yang digunakan sudah semakin modern, bahkan biaya pembuatan dari tambak bisa
melebihi biaya dari pembuatan rumah masyarakat, dengan ukuran yang semakin luas
BAB IV
DAMPAK PEMBANGUNAN TAMBAK TERHADAP PERKEMBANGAN DESA TANGGA BATU I
4.1 Silsilah dan Alat Mempererat Hubungan Sosial
Membangun tambak nenek moyang merupakan suatu tuntutan adat yang
dianut oleh masyarakat Batak Toba. Dalam hal ini Schreiner mengatakan:
”... Adat adalah merangkum seluruh aspek kehidupan agama dan peradilan, hubungan keluarga dan kematian, sebagai hukum yang berlaku bukan hanya memberikan ketetapan tentang bagaimana menghukum pencuri, bagaimana menyatakan perang, bagaimana menyatakan suatu perundingan perdamaian. Melainkan juga mengatur bagaimana cara pemuda melamar seorang gadis, bagaimana mengatur pakaian kedua mempelai, dan pergaulan satu samaa lain. Antar keluarga Dalihan Na tolu serta cara membuat peti jenazah serta hewan yang akan di sembelih untuk pesta penguburan.”56
Dari uraian diatas adat adalah kekuatan hidup yang mempertahankan
eksistensi, maka penetapan adat dan hukum adalah bersifat konstitutif dan secara
mutlak normatif. Adat harus dilakonkan dan hukum dipatuhi setiap pribadi dan
keluarga dan mampu bertahan dalam kekuatan adat mendapatkan kesempurnaan
dalam arti mempunyai status dalam kehidupan masyarakat adat. Seperti yang
diyatakan pepatah Batak:
Tuat dolok atungkotkon siala gundi
Dipungka omputa na parjoloma adat dohot uhum
Diihuthon pomparan sian pudi
56
”Turun menyusuri gunung bertongkatkan tongkat gaib” ”Nenek moyang kita yang menciptakan hukum dan adat”
”kita keturunannya mematuhi dan melakukannya”
Kenyataan yang tidak dapat kita pungkiri, bahwa adat merupakan penurunan
dari generasi ke generasi dalam satu kurun waktu tertentu dan merupakan kewajiban
bagi generasi sekarang melaksanakan adat dan hukum yang diciptakan leluhur suku
Batak Toba. Adat juga memiliki sifat-sifat normatif yang menjadi tatanan hidup yang
ideal serta di dalamnya terkandung harapan dan berkat dari penciptanya.57 Dengan demikian masyarakat dan anggota keluarga yang ikut berpartisipasi dalam
pembangunan tambak pomparan marga dianggap orang yang mampu melaksanakan
kehidupan adat leluhurnaya.
Dari uraian di atas dapat diketahui dari keturunan mana dan nomor atau
generasi keberapa. Misalnya: penulis bermarga Sitorus yaitu keturunan nairasaaon
dan nomor atau generasi ke 14 dari garis keturunan Sitorus. Jadi penelusurannya
silsilah dari garis keturunan dengan pembangunan tambak merupakan suatu usaha
untuk mendapatkan kata sepakat, sebab terwujudnya pembangunan tambak sudah
menunjukkan kesepakatan dan kebulatan tekat seluruh pendukungnya. Hal ini
dilakukan karena kebutuhan mencari garis keturunan akan semakin mendesak bila
mereka mulai merasa asing dalam kehidupannya di daerah perantauan. Pengetahuan
tentang silsilah sudah samar-samar, kebutuhan seperti ini dituntut pemecahan dan
hanya dapat direalisasasikan dalam kegiatan adat istiadat dan pembangunan tambak.
57
4.2 Tambak Sebagai Gengsi Sosial (Social Prestige)
Sifat kedinamisan masyarakat Batak Toba mengakibatkan mereka harus
mengadopsi nilai-nilai baru di lingkungan perkotaan. Identitasnya selama ini yang
dimiliki pada kehidupan suku mulai hilang, menyebabkan mereka ingin memastikan
identitasnya.58 Kesadaran para perantau untuk memastikan identitasnya semakin mendesak setelah merasakan hidup di luar daerah asal sebagai ”diaspora” (perserakan) yaang mungkin diperoleh dalam kelompok genealogis59
Merupakan kebanggaan apabila satu kelompok dapat mengaktualkan diri
kepada kelompok lain dengan menunjukkan kebesaran keturunan. Karena
pembangunan tambak harus didukung oleh keturunan dari leluhur yang sedang
dibuatkan tambaknya. Seseorang yang dikatakan sempurna tidak diukur dari jumlah
usianya tetapi diukur dari jumlah keturunannya. Kebesaran ini mencakup hamoraon,
hagabeon, dan hasangapon.
Di sekitar pembangunan tambak juga akan terbentuk suatu kelompok sosial
yang terpisah dan bersaing dengan kelompok kelompok genealogis dan teritorial lain.
Setelah berdiri tambak-tambak kelompok marga pada awal perkembangannya, maka
kelompok marga lain akan mendesak para perantau untuk membiayai pembangunan
tambak buat kelompoknya. Karena ada anggapan bahwa makin besar biaya-biaya
yang dikeluarkan oleh pihak keluarga untuk pembangunan dan pesta tambak, makin
bertambah pulalah identitas dan kemampuan kelompok marga itu karena besarnya
58
Schreiner, op.cit., hal 186 59