• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Indonesia Terhadap Negara Lain Akibat Kabut Asap Kebakaran Hutan Dan Lahan Berdasarkan Hukum Lingkungan Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertanggungjawaban Indonesia Terhadap Negara Lain Akibat Kabut Asap Kebakaran Hutan Dan Lahan Berdasarkan Hukum Lingkungan Internasional"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

BUKU

Starke, J.G., 1992, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Sinar Grafika. Marzuki, Peter Muhammad, 2014, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana.

Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum,Jakarta: Universitas Indonesia (UI) Pers.

Danusaputro, Munadjat, 1980, Hukum Lingkungan Buku I: Umum, Bandung: Binacipta.

Danusaputro, Munadjat, 1985, Hukum Lingkungan Buku II: Nasional, Bandung: Binacipta.

Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, 2003, Hukum Internasional Bunga Rampai, Bandung: Alumni.. Erwin, Muhammad, 2011, Hukum Lingkungan: Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup,Bandung: PT.Refika Aditama.

Rangkuti, Siti Sundari, 1996, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Surabaya: University Press.

Soemartono, Gatot P., 1996, Hukum Lingkungan Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.

Arifin, Syamsul, 2012, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia, Medan: PT. Sofmedia.

Hardjosoemantri, Koesnadi, 1994, Menjelang Sepuluh Tahun Undang-undang Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Gadjah Mada University.

Hardjasoemantri, Koesnadi, 1988, Hukum Tata Lingkungan (Edisi Ketiga), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Supriadi, 1980, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Jakarta: PT. Sinar Grafika.

Bram, Deni, 2014, Hukum Lingkungan Hidup, Bekasi: Gramata Publishing.

Mauna, Boer, 2001, Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi dalam era Dinamika Global, Bandung: Alumni.

Silalahi, Daud, 2001, Hukum Lingkungan (Dalam Sistem Penegakkan Hukum Lingkungan Indonesia), Bandung: PT. Alumni.

Ida Bagus Wyasa Putra, 2002, Hukum Lingkungan Internasional Prespektif Bisnis Internasional, Bandung: PT. Refika Aditama.

Tan, Alan Khee Jin, 2008, Forest Fire of Indonesia : State Responsibility and International Liability, Faculty of Law University of Singapore, Singapore.

(2)

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KONVENSI INETRNASIONAL

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukkan dan Fungsi Kawasan Hutan

Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 Tentang Perencanaan Kehutanan

Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan Lahan. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Deklarasi Stockholm (United Nations Conference on Human Environment).

International Law Commission Draft Articles on State Responsibility, ILC’s 53 Session, Jenewa, 2001, Art.37.

ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollution, ASEAN Secretariat, November 1995.

 

ARTIKEL/WEBSITE

Hukum Internasional, Hukum Lingkungan Internasional dan Hukum Lingkungan Indonesia, sebagaimana dimuat dalam http://devi-anggraini-fisip12.web.unair.ac.id/

Around The World; Fire Reported To Ravage Huge Tract in Indonesia Terdapat dalam situs http://www.aroundtheworld;fire reported to Ravage Huge Tract in Indonesia - New York Times.mht.

Pengertian Hukum Lingkungan, sebagaimana dimuat dalam dari http://www.hukumsumberhukum.com

Tanggungjawab Negara State Responsibility terhadap pencemaran udara lintas batas negara berdasarkan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution sebagaimana dimuat dalam http://docplayer.info/397532

Indonesia Meratifikasi Undang-Undang Tentang Pengesahan ASEAN Angreement on Transboundary Haze Pollution sebagaimana dimuat dalam www.menlh.go.id.

Apa dan mengapa terjadi kebakaran hutan sebagaimana dimuat dalam https://jurnalbumi.com/kebakaran-hutan/.

 

JURNAL & MAKALAH

Akbar Kurnia Putra, “Transboundary Haze Pollution Dalam Prespektif Hukum Lingkungan Internasional”, Jurnal Hukum.

(3)

Konferensi PBB mengenai Lingkungan Hidup Manusia (United Nation Conference on Human Environment).

(4)

A. Pencemaran Lintas Batas Negara

Permasalahan seputar pencemaran lintas batas negara tidak hanya merupakan dominasi dari pemikiran dari badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang khusus menangani bidang lingkungan hidup semata, melainkan juga mendapat perhatian dari International Law Commission yang berupaya untuk mencari prinsip-prinsip hukum yang dapat diterapkan dalam hal terjadinya pencemaran lintas batas negara. Pencemaran lintas batas negara telah lama dimulai semenjak dikeluarkannya rancangan tentang “Liability for Injorious Consequences of Acts not Prohibited by International Law” pada tahun 1978.51

Prinsip-prinsip utama yang dihasilkan International Law Commission pada saat pembicaraan awal seputar pencemaran lintas batas negara mencakup (i) setiap negara mempunyai tugas untuk melakukan pencegahan, pengurangan, dan pengawasan terhadap pencemaran dan perusakan lingkungan, dan (ii) negara juga mempunyai tugas untuk bekerjasama baik dalam hal meminimalisir dampak, penilaian risiko pencemaran, peringatan dini, konsultasi, negosiasi dalam rangka mengurangi pencemaran dan perusakan lingkungan.

Dalam rangka memberikan suatu kepastian hukum, International Law

Commission dalam suatu tim kerja mencoba untuk merumuskan tanggung jawab

terhadap pencemaran lintas batas negara dalam suatu aturan baku. Walaupun pada

      

(5)

awal perumusan anggota dari tim kerja mendapat kesulitan untuk dapat melakukan identifikasi terhadap pelaku pencemaran, namun akhirnya

International Law Commission merumuskan tiga elemen pokok dalam pengaturan

pencemaran lintas batas negara yang meliputi pencegahan, kerjasama, dan tanggung jawab mutlak.

Rancangan ini diberlakukan untuk semua jenis kegiatan yang dilakukan dalam suatu wilayah yuridiksi suatu negara yang terdapat risiko di dalamnya yang mengakibatkan terjadinya kerusakan baik fisik maupun ekosistem dari lingkungan negara lain. Hal tersebut tidak hanya meliputi kerusakan alam yang alami, namun juga meliputi kecelakaan teknologi akibat human error seperti Chernobyl Case

dan pencemaran dari sektor industri seperti Trial Smelter Case.

Walaupun International Law Commission telah menetapkan aturan baku tentang pertanggungjawaban dalam hal terjadinya pencemaran lintas batas negara, sampai dengan tahun 1995 International Court of Justice belum memberikan kontribusi maksimal dalam menangani sengketa-sengketa hukum lingkungan internasional.

(6)

potensi kerusakan lingkungan yang akan terjadi sebagai bagian dari pelaksanaan prinsip pencegahan dini precautionary principle.52

Dari kasus di atas menimbulkan penerapan suatu tolak ukur baru dalam rangka menentukan pertanggungjawaban suatu negara terhadap pencemaran lintas batas negara yang disebut sebagai due diligence. Dalam penggunaannya due diligence merujuk pada suatu sikap tindak suatu negara baik dalam ranah legislasi maupun aturan administratif yang dapat menunjang adanya suatu efektifitas terhadap usaha penegahan perlindungan lingkungan baik terhadap negara lain maupun lingkungan global. Walaupun sangat sulit untuk mengukur tingkat keseriusan dan efektifitas suatu aturan dan sikap tindak yang dilakukan oleh suatu negara, namun beberapa pengaturan dalam konvensi internasional dapat dijadikan rujukan sebagai tolak ukur apakah sikap tindak suatu negara dapat mencerminkan upaya kehati-hatian (due-diligence).

Penggunaan prinsip due diligence sendiri dapat memberikan keuntungan di satu pihak dan kerugian di pihak lain. Keuntungan yang selalu digembar-gemborkan oleh negara-negara maju adalah adanya fleksibilitas dari prinsip tersebut yang tidak secara serta merta dapat menetapkan negara yang melakukan kegiatan sebagai penjamin secara penuh. Hal tersebut paling tidak dapat terlihat dari perumusan pasal 194 dari UNCLOS 1982 yang mengindikasikan bahwa pertimbangan ini dapat menjadi adanya keuntungan bagi negara berkembang dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Hal tersebut dapat ditemui pula dalam Pasal 2 1972 London Dumping Convention yang mensyaratkan adanya

(7)

pelaksanaan due diligence dengan ukuran “...according to their scientific, technical, and economic capabilities...”.

Pencemaran transnasional merupakan suatu bentuk pencemaran yang memiliki tingkat kesulitan tersendiri. Hal ini mengingat dalam hal terjadinya pencemaran transnasional maka akan ada dua negara atau lebih yang terkena dampak dari pencemaran yang terjadi. Dan ketentuan selanjutnya mengatakan bahwa negara yang menyebabkan kerugian bagi negara lain karena tindakan pencemaran transnasional ini wajib untuk mengadakan reparasi terhadap negara yang terkena dampak.53

Ada beberapa kasus penting dalam hal pencemaran lingkungan transnasional, salah satu yang menjadi titik penting adalah pada saat sengketa arbitrase Trail Smelter antara Amerika Serikat dan Kanada.54 Salah satu hasil yang terdapat dalam putusan arbitrase kasus ini secara eksplisit menyatakan bahwa setiap negara tidak mempunya hak untuk melakukan pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki dengan memberikan dampak kepada negara lain, seperti yang tertuang dalam putusan majelis arbitrase sebagai berikut:

“No State has the right to use or permit the use of its territory in such a

manner as to cause injury by fumes in or to the territory of another or the

properties of persons therein, when the cause is of serious consequence

and the injury is established by clear and convincing evidence.”

Sementara sengketa Trail Smelter diselesaikan dengan badan arbitrase di tingkat internasional, praktek-praktek pencemaran transnasional banyak yang

      

53Deni Bram, “Pertanggungjawaban Negara Terhadap Pencemaran Lingkungan

Transnasional”, Jurnal Hukum, Volume 18 No. 2, hlm. 201.

(8)

diselesaikan dengan peraturan pada tingkat regional dan mendasarkan diri pada sumber-sumber hukum yang bersifat soft lawsebagaimana termuat dalam prinsip-prinsip deklarasi di bidang lingkungan.

Kasus lain yang mencuat dalam bidang hukum lingkungan internasional adalah Kasus Terusan Korfu (Corfu Channel Case) yang bermula dari meledaknya Kapal Perang milik Inggris di Terusan Korfu, perairan Albania, sebagai akibat dari sebaran ranjau yang ada di perairan tersebut. Ledakan yang terjadi kontan saja mengakibatkan kerugian pada pihak Inggris, baik dalam bentuk kerusakan kapal maupun kematian para awak kapal. Atas dasar kerugian yang dialami tersebut, Inggris mengajukan klaim terhadap Albania.55 Kasus ini pun kemudian ditangani oleh Mahkamah Internasional yang dalam memutuskan kasus tersebut mendasarkan putusannya pada prinsip abuse of rights dengan menyatakan:

“...every state has an obligation not to allow knowingly its territory to be

use for acts contrary to the rights of other states...”

Prinsip tersebut menegaskan bahwa setiap negara wajib tahu keadaan setiap bagian wilayahnya dan wajib tidak menggunakan wilayahnya secara bertentangan dengan hak negara lainnya. Dalam prinsip tersebut juga tersurat bahwa setiap negara wajib memberitahukan keadaan-keadaan bahaya atau ancaman bahaya yang berada di dalam wilayahnya. Kelalaian terhadap kewajiban untuk melakukan hal tersebut dalam rangka hukum lingkungan internasional mengakibatkan negara yang bersangkutan wajib bertanggungjawab secara

(9)

internasional, terhadap akibat-akibat merugikan yang diderita negara lain, dan karena itu, Kanada harus bertanggung jawab kepada Inggris.

Dalam hal membicarakan masalah pencemaran lintas batas, khususnya pencemaran udara dapat diartikan sebagai suatu gambaran yang menerangkan bahwa suatu pencemaran yang terjadi dalam suatu wilayah negara akan tetapi dampak yang ditimbulkannya oleh karena faktor media atmosfer atau biosfer melintas sampai ke wilayah negara lain. Hal ini tak pelak diakibatkan udara merupakan common resources yang tidak terdapat suatu batas pemisah antar satu negara dengan negara lain. Lebih dari 30 tahun yang lau George Kennan telah memprediksi bahwa pencemaran udara transnasional tekah menjadi suatu fenomena baru yang melibatkan lingkungan antara satu negara dengan negara lain.56

Maraknya kasus pencemaran udara juga mendorong The Air Conversation

Commission untuk menaruh perhatian lebih terhadap udara bersih. Sikap dari

komisi ini berpijakan pada 4 alasan utama mengenai pentingnya usaha konservasi udara, yaitu:57

(i)Udara merupakan domain publik yang tidak mengenal batas wilayah administrasi dan tidak berada dalam kekuasaan suatu wilayah yurisdiksi negara tertentu, sehingga perlu adanya komitmen bersama;

(ii) Pencemaran udara merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan modern sekarang ini, hal tersebut diperlihatkan dengan tingginya tingkat

       56Ibid., hlm. 102.

(10)

pencemaran di kota-kota metropolitan, sehingga mendesak untuk dirumuskan suatu kebijakan dalam pengendalian pencemaran.

(iii)Dalam rangka merumuskan suatu kebijakan untuk pengendalian pencemaran udara, perlu adanya penerapan dari bidang ilmu lain dan membutuhkan suatu pemikiran yang bersifat interdisipliner;

(iv) Metode yang digunakan untuk mengurangi pencemaran udara hendaknya dilakukan dengan tidak menimbulkan pencemaran baru di bidang kehidupan manusia lainnya.

Sumber pencemaran udara pun sangat beragam, mulai dari kebakaran kecil di ladang perkebunan, lalu kebakaran besar di Indonesia pada era 1980-an yang menghanguskan lebih dari 3,5 juta hektar hutan di Kalimantan Timur dengan radius kabut asap hingga 13.500 mil persegi58 dan akibatnya kabut asap berdampak ke negara-negara lain seperti Malaysia dan Singapura, hingga asap yang dihasilkan dari kegiatan industri memiliki kontribusi masing-masing bagi kelayakan udara.

Seberapa kecil pun pencemaran yang dihasilkan oleh polluter akan berdampak pada udara baik pada tempat sekitar maupun udara bebas. Pada kondisi tertentu pollutant yang telah berada dalam udara bebas memungkinkan untuk dapat tersebar ke dalam wilayah yurisdiksi negara lain. Banyak hal baik yang bersifat alamiah berupa kecepatan angin dan cuaca sekita dari sumber

      

58Around The World; Fire Reported To Ravage Huge Tract in Indonesia Terdapat dalam

(11)

pencemaran serta non alamiah berupa campur tangan manusia dapat mempengaruhi tersebarnya suatu pollutant.59

B. Dampak dan Penyebab Pencemaran Kabut Asap di Asia Tenggara

Walaupun lebih dari duapertiga belahan bumi ini berupa lautan, namun tidak dapat dihindari bahwa hutan sebagai tempat dari komunal tumbuhan mempunyai peran penting dalam kelangsungan hidup manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa hutan mempunyai dua dimensi yang sangat berperan dalam kehidupan manusia.

Dimensi pertama adalah dimensi ekologis yaitu peran hutan yang menjadi tempat tinggal dari ribuan bahkan jutaan makhluk hidup yang terhubung dalam suatu rantai makanan dengan manusia dan merupakan sumber utama penghasil oksigen yang tak lain adalah zat terpenting dalam respirasi manusia. Dimensia kedua adalah keunggulan ekonomis yang dimiliki di dalam hutan tersebut, yang terkadang membuat manusia dengan segala akal fikirnya mencoba untuk mencari keuntungan tanpa memperhatikan keseimbangan fungsi alam.60

Indonesia sebagai salah satu negara dengan luas mencapai 1,9 juta mil persegi61 membuat sebagian dari hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Dalam hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ketiga setelah Brasil dan Republik Demokrasi Kongo (dulunya Zaire) dan hutan-hutan ini memiliki kekayaan hayati yang unik. Tipe-tipe hutan utama di Indonesia

      

59Istilah yang lazim digunakan untuk pencemaran yang disebabkan oleh kebakaran hutan

adalah smoke, sedangkan untuk pencemaran yang disebabkan oleh pabrik adalah smog.

(12)

berkisar dari hutan-hutan Dipterocarpaceae62 dataran rendah yang selalu hijau di Sumatera dan Kalimantan, sampai hutan-hutan monsun musiman dan padang savana di Nusa Tenggara, serta hutan-hutan non-Dipterocarpaceae dataran rendah dan kawasan alpin di Irian Jaya. Indonesia juga memiliki hutan dan mangrove yang terluas di dunia. Luasnya diperkirakan 4,25 juta hektar pada awal tahun 1990-an.

Seiring dengan semakin terbuainya segelintir orang dengan keunggulan ekonomis dan keunggulan ekologis yang dimiliki kawasan sumber daya hutan, kekayaan hutan Indonesia tergerus dan telah mencapai titk yang sangat memprihatinkan. Pada tahun 2004 kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3,8 juta hektar setahun. Hal tersebut berarti selama satu menit di bumi Nusantara ini terdapat 7,2 hektar hutan yang rusak. Jika masih terus terjadi dan tidak diberhentikan, maka hutan dataran rendah Sumatera dan Kalimantan akan habis. Bahkan menurut World Research Institute, dari tutupan hutan Indonesia seluas 130 juta hektar, 72 persen diantaranya yang merupakan hutan asli Indonesia telah hilang. Data Departemen Kehutanan sendiri mengungkapkan mengungkapkan 30 juta hektar hutan di Indonesia telah rusak parah atau setara dengan 25 persen.

Dalam banyak penelitian yang dilakukan terungkap bahwa keberadaan hutan di Indonesia khususnya di Kalimantan sebagai salah satu pulau dengan angka laju kerusakan hutan terbesar telah mencapai suatu titik yang memprihatinkan dan harus adanya suatu perubahan sikap pengelolaan hutan secara mendasar. Berdasarkan hasil studi dari Greenomics menunjukkan bahwa

      

(13)

tingkat keamanan ekologi Pulau Kalimantan berada di bawah standar, mengingat rata-rata tutupan lahan hutan primer terhadap Daerah Aliran Sungai (DAS) di bawah angka minimum 30%. Akibatnya, tidak mengherankan jika wilayah Pulau Kalimantan sering terjadi banjir dan tanah longsor setiap tahunnya. Pada tahun 2004, jika dirata-ratakan pada tingkat pulau, persentase tutupan hutan alam primer Kalimantan terhadap DAS hanya berkisar pada angka 20%. Pada akhir 2006, diperkirakan rata-rata tutupan hutan primer terhadap DAS tersebut terus menurun hingga pada kisaran angka 15%, atau setengah dari kebutuhan angka minimum standar aman ekologi. Data Departemen Kehutanan sendiri pada tahun 2004, menunjukkan bahwa kawasan lindung tak berhutan, maka kawasan hutan Pulau Kalimantan yang tidak berhutan mencapai angka 10 juta hektar, atau setara 156 kali lipat luas negara Singapura.

Hilangnya hutan primer Kalimantan seluas 10 juta hektar tersebut jelas akan menyulitkan ekosistem hutan Kalimantan melakukan pengendalian terhadap tanah longsor dan gangguan ekosistem lainnya, sehingga diperkirakan Pulau Kalimantan akan kehilangan hutannya lebih dari setengah luas pulau pada tahun 2020. Bahkan lebih parah lagi jika keadaan hutan di Indonesia semakin parah seperti ini, maka diprediksi hutan di Indonesia akan gundul di tahun 2050. Lantas kita akan bayangkan jika Indonesia tidak ada hutan, maka bisa dipastikan suhu udara di Indonesia semakin panas.

(14)

sepanjang sejarah keberadaan manusia, telah ada dua per tiga hutan alami dari bumi ini yang punah, akibat dari kegiatan manusia dalam menjalankan kehidupannya.63

Fenomena kebakaran hutan tidak hanya didominasi oleh negara-negara di Asia Tenggara, sejarah mencatat bahwa pada bulan Mei tahun 1998 pemerintah negara bagian Texas mengumumkan bencana nasional yang diakibatkan kebakaran hutan dan telah merusak ekosistem udara sampai radius 100 mil dari pusat kejadian. Langit di wilayah Dakota Utara dan Colorado pun tak luput dari dampak akibat bencana kebakaran hutan yang mengganggu pernafasan dan jarak pandang masyarakat sekitar. Bahkan Meksiko pernah mengalami kebakaran hutan lebih dari 70 tahun lamanya pada setiap musim kemarau yang berkepanjangan.

Bagi Indonesia sendiri fenomena kebakaran hutan sebagai penyebab pencemaran kabut asap yang sejalan dengan adagium dimana ada asap disitu ada api, bukanlah hal baru. Publik internasional bahkan telah terbiasa dengan agenda tahunan dari bencana kebakaran hutan di Indonesia. Perhatian awal dari masyarakat internasional pertama kali tertuju kepada Indonesia pada saat terjadinya kebakaran hutan pada skala yang sangat besar pada era tahun 1980 yang menghanguskan lebih dari 3,5 juta hektar hutan di Kalimantan Timur dengan radius kabut hingga 13.500 mil persegi.

Semenjak kejadian pada era 1980 tersebut, fenomena kebakaran hutan dan dampak kabut asap yang dikirimkan ke negara tetangga seakan-akan telah menjadi agenda rutin pada musim kemarau melanda Indonesia. Kabut asap yang

(15)

dihasilkan pun tidak hanya mengancam masyarakat pada tingkat nasional semata, melainkan telah merambah pada wilayah negara-negara tetangga dengan intensitas yang beragam dan memberikan dampak bagi kelangsungan hidup warga negara dalam wilayah yurisdiksi negara lain.64

Dampak bagi eksistensi hutan Indonesia pun akibat dari kebakaran hutan telah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan, pada tahun 1997 dan 1998

World Wide Fund for Nature (WWF) mencatat telah terjadi kebakaran hutan di

Sumatera dan Kalimantan yang menghanguskan lebih dari 2 juta hektar dan terus meluas setiap bulannya. Dampak-dampak dari kabut asap tersebut sangat berdampak khususnya terhadap sosial, budaya, dan ekonomi, seperti :

a. Hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat di dan sekitar hutan : asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut mengganggu aktifitas masyarakat. b. Terganggunya aktifitas sehari-hari : gangguan asap akan mengurangi

intensitas berada di luar ruangan, memaksa orang menggunakan masker yang dapat mengganggu aktifitas, kantor-kantor dan sekolah yang dihentikan atau libur karena tebalnya asap.

c. Terganggunya kesehatan : secara umum asap akibat kebakaran hutan telah meningkatkan kasus infeksi saluran pernafasan atas, pneumonia dan sakit mata.

d. Produktifitas menurun.

      

64Negara tetangga yang sering terkena dampak kabut asap dari kebakaran hutan di

(16)

Pada saat kalimantan terjadi fenomena kebakaran hutan pada tahun 1998, kabut asap yang dihasilkan yang diikuti pula dengan badai El Nino pada saat itu melanda Indonesia bagian timur telah menewaskan lebih dari 500 orang di sekitar Papua dengan gejala infeksi saluran pernafasan akut (ISPA).65 Kebakaran hutan pun bahkan pada kelanjutannya tidak hanya melanda Sumatera dan Kalimantan, di pulau Jawa bagian timur pun yang sebelumnya luput dari bencana kebakaran hutan merasakan kejadian serupa yang mengakibatkan gagal panen di lebih dari 12 juta ladang sawah petani dan tanaman palawija lainnya.66

Sebagai suatu bentuk pencemaran yang bersifat transnasional, terang saja bencana kebakaran hutan di Indonesia membawa dampak berupa pencemaran kabut asap ke negara tetangga. Pada saat terjadinya kebakaran hutan pada tahun 1998 di sekitar Sumatera dan Kalimantan terdeteksi pada alat Pollution Standard Index (PSI) sebagai parameter udara sehat yang terdapat di Malaysia seringkali melebihi nilai ambang batas yang semestinya yaitu 300 PSI yang tergolong kondisi membahayakan, bahkan di negara bagian Kuching, Malaysia Timur indeks mencapai titik 839 PSI. Dari kejadian tersebut Pemerintah Malaysia mencatat 18 juta warganya atau 83,2% dari jumlah penduduk yang ada mengalami gangguan pernafasan akut sehingga perlu mendapatkan pertolongan yang serius.

Selain memberikan dampak bagi kesehatan manusia, pencemaran kabut asap yang dihasilkan dari proses kebakaran hutan juga memberikan dampak ekonomis yang tidak saja kepada Indonesia melainkan pula kepada negara tetangga lainnya. Semenjak adanya import kabut asap dari kebakaran hutan

(17)

Indonesia yang telah mencapai bandar udara Palawan, Philipina 100 lebih pesawat ringan terpaksa menunda penerbangan ke Mindanao. Bandara Puerto Princesa juga ditutup. Biro Perhubungan Udara (ATO) telah mendesak perusahaan penerbangan lokal untuk mengamati isu meluasnya asap di berbagai bandara di selatan Filipina.67

Sektor pariwisata juga menerima imbas yang tidak sedikit dari bencana kabut asap yang terjadi, dari sektor penerbangan dan pariwisata yang meliputi penurunan angka hunian hotel dan biro perjalanan tercatat kerugian mencapai Rp 4,89 miliar. Serta banyak bisnis dan investasi yang batal atau tertunda sebagai suatu dampak ekonomi secara tidak langsung, sebesar Rp 25,69 miliar. Ditambah lagi dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah negara setempat untuk melakukan usaha pencemaran dengan pembelian masker yang tidak sedikit.

Dampak tidak langsung lainnya yang dihasilkan dari kebakaran hutan serta asapnya adalah menurunnya kualitas tanaman serta keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna yang dimiliki baik oleh pemerintah Indonesia maupun negara tetangga sebagai bentuk efek jangka panjang yang dihasilkan dari suatu bencana yang berkelanjutan.

Serangkaian akibat yang ditimbulkan baik secara langsung maupun tidak langsung dari kebakarn hutan memang diakui atau tidak bukanlah hanya sekedar

act of god dalam menjalankan kehendaknya di muka bumi ini. Tidak dapat

dipungkiri bahwa fenomena kebakaran hutan telah menjadi suatu ancaman yang

(18)

serius dan mendesak untuk ditanggulangi, terlebih dengan periodesasi yang hampir terjadi setiap tahun terutama di Kalimantan.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam rangka menghilangkan suatu kebiasaan membuka lahan dengan cara membakar hutan. Salah satu usaha yang pernah ditempuh oleh pemerintah adalah dengan menyediakan dan memperkenalkan teknologi ramah lingkungan dalam rangka pembukaan lahan, namun hal tersebut seakan-akan menjadi sia-sia pada saat masyarakat pedagang lokal tidak bersungguh-sungguh untuk dapat menggunakan teknologi yang ada dan menganggap teknologi tersebut sebagai suatu hal yang tidak efisien dan efektif.68

Keadaan prilaku dari masyarakat pedagang lokal pun semakin diperburuk denga ditungganginya mereka oleh beberapa perusahaan besar pada tingkatan

Multi National Corporation (MNC) yang menajdi aktor dibelakang kejadian

pembakaran hutan. Hal ini sangat terlihat mencolok pada saat beberapa titik api ditemukan berada pada wilayah konsesi yang dikuasai dengan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) di dalamnya. Dalam beberapa proses hukum yang ditelusuri bahkan ditemukan fakta bahwa hutan produksi memiliki kerawanan tingkat kebakaran hutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis hutan lainnya.

 

C. Kebijakan Global dan Regional Pencegahan Kebakaran Hutan

Walaupun keberadaan sumber daya hutan tidak dapat dielak lagi menjadi sumber daya yang mempunyai kemampuan ekologis dan ekonomis yang tinggi, namun hingga saat ini rasanya tidak banyak pengaturan-pengaturan pada tingkat

(19)

internasional yang mengatur dalam penggunaannya secara berkelanjutan. Hal ini paling tidak dilatarbelakangi oleh prinsip kedaulatan yang telah menjadi salah satu prinsip utama dalam hukum internasional. Para sejarawan modern menemukan paling tidak beberapa catatan kuno yang menunjukkan bahwa jumlah hutan selalu mengalami kemerosotan seiring dengan laju peradaban manusia.69

Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa deforestasi70 menjadi masalah lingkungan hidup yang besar dan tidak hanya membawa musibah bagi negara bersangkutan, melainkan juga memberikan dampak secara global. Berbagai fenomena bencana di bidang kehutanan seperti hujan asam di belahan Eropa dan kebakaran hutan di Asia menunjukkan bahwa perlu adanya suatu komitmen bersama dalam tingkat internasional untuk melakukan suatu upaya pencegahan dan penanggulangan yang dituangkan dalam suatu ketentuan hukum internasional.71Bahkan seorang environmentalist barat menyatakan bahwa pencemaran dan perusakan lingkungan hidup secara tidak langsung telah memaksa manusia untuk dapat hidup selaras dengan alam.

Keberadaan badan yang mempunyai kewenangan dalam membuat regulasi di bidang kehutanan pada tingkat nasional semata dirasakan kurang dapat untuk mewujudkan suatu perubahan yang berarti dalam penggunaan hutan secara berkelanjutan. Oleh karena itu perlu adanya suatu guideline dan dasar penilaian dalam proses pengelolaan dan pemanfaatan hutan secara bijak yang mengikat secara internasional dan mengenyampingkan kepentingan negara-negara secara

       69Ibid., hlm 116.

70Deforestasi ialah kegiatan penebanganhutan atau tegakan pohon (stand of trees)

sehingga lahannya dapat dialihgunakan untuk penggunaan nir-hutan (non-forest use), yakni pertanian, peternakan atau kawasan perkotaan.

(20)

parsial semata. Oleh karena itu perlu adanya suatu guideline dan dasar penilaian dalam proses pengelolaan dan pemanfaatan hutan secara bijak yang mengikat secara internasional dan mengenyampingkan kepentingan negara-negara secara parsial semata. United Nations Conference on Human Environment yang diadakan di Stockholm pada 1972 menjadi peletak awal pertama kali pembicaraan ekosistem secara menyeluruh.

Walaupun statusnya the first non legally binding document di bidang lingkungan hidup yang tidak mengikat para negara anggota, Stockholm

Declaration memberikan panduan mengenai penggunaan sumber daya alam

secara berkelanjutan dengan sebuah konsep yang dinamakan Sustainable

Developmentdan juga penekanan terhadap keadilan terhadap akses untuk

mendapatkan lingkungan yang sehat yang bersifat inter-generasi dan intar-generasi bagi sesama makhluk hidup.

Walaupun secara formal Stockholm Declaration tidak memberikan dasar-dasar pengelolaan dan manajemen hutan secara berkelanjutan, akan tetap Stockholm telah memberikan dasar keserasian antara lingkungan dan pembangunan yang termuat dalam prinsip-prinsip utama dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Usaha selanjutnya coba dirintis dalam pertemuan The World Conservation

Strategy (WCS) yang diadakan pada bulan Maret, 1980. Tujuan yang hendak

(21)

Berbeda dari yang dihasilkan dari Stockholm Declaration, dalam hasil pertemuan The World Conservation Strategy (WCS) memberikan contoh-contoh praktis dan model pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Hal ini jelas memberikan suatu pandangan baru dalam mengedepankan usaha perlindungan hutan dan tidak lagi menggunakan metode-metode tradisional seperti slash and burn72 dalam pembukaan lahan.

Salah satu tonggak penting dalam manajemen dan pengelolaan hutan secara berkelanjutan pada tingkat global adalah pada tahun 1992 dimana 180 lebih Kepala Pemerintahan bertemu di Rio de Janeiro, Brazil bersepakat untuk mengadopsi Agreement on Forestry Principles yang dituangkan dalam dokumen yang berjudul “Non-legally binding authoritative statement of principles for a global consensus one the management, conservation and sustainable development

of all types of forests”.

Forestry Principle secara langsung dan terperinci menyatakan pola

pengelolaan dan perlunya ada upaya secara serius dalam pengelolaan hutan secara berkelanjutan terutama pada hutan-hutan di daerah tropis yang merupakan tempat penyerapan karbon dan air yang mempunyai sumbangsih besar bagi kehidupan manusia.Dalam tataran regional, kawasan Asia Tenggara dan belahan Amerika Selatan menjadi tempat yang sangat rentan dengan masalah kebakaran hutan yang terjadi. Sebagai bentuk tindak lanjut dari maraknya kebakaran hutan khususnya di Asia Tenggara dan dampak kabut asap yang dihasilkan, negara-negara yang tergabung dalam Assocation of South East Asian Nations (ASEAN) mencoba

      

(22)

untuk merumuskan suatu kebijakan terkait dengan penanggulangan kebakaran hutan di Asia Tenggara. Pembicaraan mengenai dampak kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan sebenarnya telah dimulai pada tahun 1992 dengan mengadakan pertemuan di Bandung.73

Konferensi Bandung menghasilkan pembicaraan pada tingkat menteri untuk melakukan suatu penanganan secara sesegera mungkin dan merumuskan suatu kebijakan secara bersama-sama dalam rangka pengendalian asap yang dituangkan dalam dokumen “Long Term, Intergrated Forest Fire Management

Programme”. Pertemuan juga dilakukan pada tahun yang sama tepatnya 27 dan

28 Januari 1992 di Singapura. Dalam pertemuan pada tingkat kepala Pemerintahan ini para negara anggota sepakat untuk meningkatkan kerjasama di bidang lingkungan hidup, khususnya dalam hal pencemaran transnasional, bencana alam, kebakaran hutan, dan pemberantasan illegal logging.74

Pada tanggal 26 April 1994, pertemuan selanjutnya diadakan di Bandar Sri Begawan yang melibatkan para Menteri Lingkungan negara-negara anggota ASEAN yang menghasilkan rencana kerja berupa tindak lanjut dari Agenda 21 pada regional ASEAN. Untuk mempermudah langkah yang ingin dilaksanakan, pembicaraan difokuskan pada 3 (tiga) isu utama yang meliputi : (i) Pencemaran Atmosfir Lintas Batas; (ii) Pencemaran Limbah Berbahaya Lintas Batas dan; (iii) Pencemaran Lintas Batas akibat limbah Kapal Laut.

Pada pertemuan selanjutnya yang diadakan pada bulan Juni tahun 1995, para menteri negara-negara ASEAN sepakat untuk membuat suatu kebijakan pada

(23)

tingkat regional dalam mengatasi akibat kabut asap yang telah mencapai pada hampir setiap wilayah territorial negara anggota ASEAN. Setiap negara anggota yang turut serta dalam rencana kerjasama ini sepakat untuk saling bertukar informasi dan mengadakan pengalihan teknologi dalam rangka meminimalisir potensi kebakaran hutan.

Walaupun keberadaan rencana kerjasama untuk menanggulangi kebakaran hutan dan kabut asap yang dihasilkan sekilas memiliki keunggulan dibandingkan dengan perjanjian-perjanjian sejenis pada tingkat regional lainnya75,akan tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa rencana yang ada gagal pada tahapan implementasi. Hal ini dilatarbelakangi oleh kurang berminatnya para negara-negara anggota ASEAN lainnya (selain Singapura dan Malaysia) dalam membantu upaya penanggulangan kabut asap karena tidak mengalami dampaknya secara langsung.

Usaha ini pun dilanjutkan kembali dengan membawa isu yang lebih spesifik, yaitu penanggulangan dampak kabut asap melalui pernyataan para menteri yang terkait masing-masing negara anggota ASEAN dalam Regional Haze Action Plan. Sekali lagi action plan ini mencoba untuk menegaskan secara langsung mengenai dampak kabut asap yang dapat mengganggu tidak hanya ekosistem yang ada, melainkan juga makhluk hidup yang di dalamnya. Sebagai

      

75Rencana Kerjasama pada tingkat Regional ASEAN mempunyai keunggulan dimana

(24)

usaha untuk memanfaatkan momentum yang ada, dalam rencana kerja ini langsung berusaha untuk membentuk badan penanggulangan kabut asap dan lembaga penelitian pada tingkat regional dan sub regional.

Momentum selanjutnya adalah pada usaha negara-negara anggota ASEAN untuk merumuskan suatu panduan dan komitmen hukum secara bersama-sama yang dituangkan dalam suatu perjanjian yang berjudul ASEAN Agreement on

Transboundary Haze Pollution(Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Kabut

Asap Lintas Batas) yang mengatur pendistribusian tanggung jawab dan penanganan pencemaran kabut asap pada kawasan regional Asia Tenggara. Perjanjian ini ditandatangani oleh 10 negara peserta ASEAN pada Juni 2002, dan kemudian came into force pada 25 November 2003.76 Setelah tiga tahun berjalan, tujuh dari sepuluh negara penandatangan telah melakukan ratifikasi dan harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan nasional negara peserta setempat.77

Perjanjian ini mengatur perihal utama dalam penanganan kebakaran hutan pada umumnya dan dampak kabut asap pada khususnya. Perjanjian ini memandatkan untuk dibuat adanya suatu komite78 dan lembaga monitoring79untuk mengawasi jalannya isi perjanjian dan menghendaki adanya focal point di masing-masing negara untuk memudahkan proses korespondensi.80

      

76ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, Art.29. 77Deni Bram., Op.Cit., hlm. 123.

78ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, Art. 5(3). 79Ibid., Art.6.

(25)

Dalam perjanjian ini pula diatur mengenai dasar penilaian81 yang dilakukan dalam pencegahan dampak kebakaran hutan dan kabut asap yang dihasilkan baik berupa kebijakan yang merujuk pada ketentuan zero burning policy dan mengambil tindakan administratif dan hukum dalam upaya meminimalisir terjadinya kebakaran hutan baik pada tingkat masyarakat tradisional maupun pada industri modern.82 Dalam langkah represif perjanjian ini juga menerapkan kesiapsiagaan83 dan tanggap darurat84 dengan prosedur yang telah dibakukan sebagai bentuk penanganan yang komprehensif dengan mengandalkan peralatan dan teknologi dari penelitian yang dikembangkan.85

Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Kabut Asap Lintas Batas mempunyai keterkaitan yang sangat dalam dengan usaha pada tingkat global dalam rangka menciptakan lingkungan hidup yang sehat dan habitable. Salah satu perjanjian internasional yang terkait dengan persetujuan ini adalah Konvensi tentang Pencemaran Udara Lintas Batas Jarak Jauh (Convention on Long-Range Transboundary Air Pollution) sebagai dasar hukum internasional yang mengatur terjadinya pencemaran udara yang secara fisik dari satu negara ke negara lain.

Konvensi lain yang terkait adalah Konvensi tentang Perubahan iklim (Convention on Climate Change) yang bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir yang dapat membahayakan sistem iklim. Hal ini tidak terlepas dari sumbangsih hutan Indonesia yang mampu menyerap sebanyak 1500 Megaton emisi CO2, padahal emisi yang dihasilkan oleh hutan Indonesia sendiri

       81Ibid., Art.8.

(26)

hanya 740 Megaton. Selain itu Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Kabut Asap Lintas Batas berkaitan pula dengan Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity), mengingat begitu banyaknya keragaman sumber daya baik hayati dan nabati yang tersimpan dala ekosistem hutan terutama di Indonesia yang terkait satu sama lain dalam rantaian food chain

(27)

PERTANGGUNGJAWABAN INDONESIA TERHADAP NEGARA LAIN AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN BERDASARKAN HUKUM

LINGKUNGAN INTERNASIONAL

 

A. Pertanggungjawaban Indonesia terhadap Negara lain akibat Kebakaran Hutan dan Lahan berdasarkan Hukum Lingkungan Internasional

 

1. Tanggung jawab menurut Hukum Internasional

Aktivitas negara dalam menjalankan hubungan internasional kadangkala tidak luput atas perbuatan kesalahan. Misalnya melakukan pelanggaran terhadap negara lain yang perbuatannya dapat menimbulkan kerugian sehingga timbul pertanggungjawaban negara. Berbicara pada dampak pencemaran udara lintas batas akan berkenaan dengan tanggung jawab suatu negara.

(28)

Hal ini kemudian ditanggapi dalam hukum lingkungan internasional dengan mulai diadopsinya konsep pertanggungjawaban sebuah negara (State

Responsibility) sebagai suatu bentuk pertanggungjawaban negara terhadap

pencemaran yang mengakibatkan injury bagi negara lain. Ketentuan tersebut kemudian menjadi agenda penting dalam Konferensi Lingkungan Hidup Internasional yang kemudian memuat konsep ini dalam Pasal 21 Deklarasi Stockholm 1972:86

“States have, in accordance with the Charter of the United Nations and the

principles of international law, the sovereign right to exploit their own

resources pursuant to their own of international law, the responsibility to

ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage

to the environment of other States or of areas beyond the limits of national

jurisdiction”.

Prinsip ini menegaskan tanggung jawab negara (state responsibility) dan menekankan bahwa negara-negara memiliki hak berdaulat dan bertanggung jawab dalam kegiatan-kegiatan mengeksploitasi setiap kekayaan alam yang dimilikinya selama tidak menimbulkan kerugian/kerusakan terhadap negara lain.Bentuk pertanggungjawaban negara dalam ketentuan hukum internasional digunakan untuk menggambarkan kewajiban negara melakukan ganti kerugian berupa reparasi atau kompensasi terhadap pelanggaran kewajiban internasional. Dalam buku Hukum Internasional yang

      

86 Deni Bram, “Pertanggungjawaban Negara Terhadap Pencemaran Lingkungan

(29)

dikarangoleh Yudha Bhakti Ardhiwisastra mengenai tanggung jawab negara menurut Hukum Internasional menyatakan bahwa, dengan kata lain perkataan seseorang yang telah melakukan suatu tindakan yang merugikan orang lain harus menebus kerugian itu atau menderita pembalasan dendam dari pihak yang dirugikan. Pembayaran tebusan kemudian menjadi kewajiban lebih dahulu daripada suatu hak istimewa bagi yang menderita.87

Menurut ketentuan tentang State Responsibility yang telah dikodifikasi oleh Komisi Hukum Internasional, yang menyatakan bahwa segala bentuk tindakan salah (wrongful act) pada tingkat internasional oleh suatu negara menuntut adanya pertanggungjawaban dari negara tersebut dalam hukum internasional. Dalam hal komisi Hukum Internasional memprakarsai suatu studi tanggung jawab negara pada tahun 1949. Usaha-usaha awal Komisi untuk menghasilkan konsep Konvensi berhubungan dengan masalah tanggung jawab pada umumnya dengan tanggung jawab atas perlakuan terhadap orang asing pada khususnya terbukti tidak meyakinkan. Komisi berkumpul kembali pada tahun 1969 dan kali ini membatasi diri hanya pada masalah-masalah umum mengenai tanggung jawab.

Semua negara bertanggung jawab sama di bawah hukum internasional atas tindakan ilegal mereka. Peraturan ini absolut sifatnya. Negara tidak dapat, misalnya, mengaku kurang berwenang. Negara “baru” tidak menikmati masa jaya (period of grace) sebelum mereka memikul tanggung jawab sebagai pemenuhan kewajiban mereka.Tanggung jawab negara telah dinyatakan

      

87Yudha Bhakti Ardiwisastra, Hukum Internasional: Bunga Rampai, PT. Alumni,

(30)

secara tegas dibatasi pada pertanggungjawaban negara-negara bagi tindakan-tindakan yang secara internasional tidak sah. Ini merupakan tanggung jawab negara dalam arti tegas, sumber dari tanggung jawab tersebut adalah suatu tindakan atau tindakan-tindakan yang melanggar hukum internasional.88Tanggung jawab negara diatur oleh standar-standar internasional (meskipun dalam pelanggaran khusus suatu standar internasional dapat memasukkan suatu standar nasional), dan hal itu bergantung pada hukum internasional mengenai apakah dan sejauh manakah tindakan-tindakan atau kelalaian dari suatu negara tertentu dianggap sah atau tidak sah.

Hasil kerja International Law Commision (Komisi Hukum Internasional) yang berupaya merumuskan ketentuan hukum internasional tentang tanggung jawab negara ini penting pula untuk diutarakan disini. Pasal 1 Rancangan Pasal-pasal tentang tanggung jawab yang tidak sah secara internasional melahirkan tanggung jawab. Prinsip dalam rancangan pasal ini merupakan “suatu prinsip yang dianut dengan teguh oleh praktek negara dan (keputusan-keputusan) pengadilan serta telah tertanam kuat dalam doktrin hukum internasional.

Pasal 2 menegaskan pula bahwa setiap negara tunduk kepada kemungkinan untuk melakukan suatu tindakan yang melawan hukum secara internasional (an internationality) wrongful act, karenanya melahirkan tanggung jawab internasional. Menurut Harris, ketentuan pasal ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa semua negara bertanggung jawab

      

88 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika: Jakarta,

(31)

dalam hukum terhadap tindakan-tindakan ilegal yang mereka lakukan. Pasal ini menyiratkan pula bahwa tidak ada pengecualian berdasarkan kurang mampunya suatu negara.

Dalam pasal 3 menyatakan bahwa suatu perbuatan yang tidak sah secara internasional timbul jika :

a. Perbuatan tersebut terdiri dari suatu tindakan atau kelalaian suatu negara menurut hukum internasional.

b. Perbuatan tersebut merupakan suatu pelanggaran kewajiban internasional.89

Dalam rancangan pasal-pasal, komisi hukum internasional telah pula membedakan antara kejahatan internasional dan delik internasional, dalam hal tindakan melawan hukum secara internasional semua pelanggaran-pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban internasional adalah perbuatan melawan hukum secara internasional.

2. Tanggung jawab Indonesia menurut Hukum Lingkungan Internasional terkait kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang mencemari Malaysia dan Singapura

Dalam lingkungan internasional masalah asap dari kebakaran hutan sebenarnya bukan hal baru, di Indonesia masalah ini terjadi hampir setiap tahun, namun hingga saat ini masih belum ada perhatian serius dari pemerintah terhadap kasus ini, terutama mengenai pencegahan terjadinya kebakaran hutan secara baik.

(32)

Pada dasarnya hukum lingkungan internasional menyatakan tentang perlindungan hukum terkait pencemaran udara lintas batas negara, pencemaran udara akibat kebakaran hutan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional, antara lain prinsip “Sic utere tuo ut alienum

non laedes” yang menentukan bahwa suatu Negara dilarang melakukan atau

mengijinkan dilakukannya kegiatan yang dapat merugikan negara lain,90 dan prinsip good neighbourliness.91 Prinsip itu mengatakan bahwa kedaulatan wilayah suatu negara tidak boleh diganggu oleh negara lain. Prinsip tersebut membenarkan penempatan lingkungan hidup dalam status demikian tunduk kepada hukum nasional negara tertentu, terutama dengan ketentuan bahwa hak demikian diimbangi kewajiban bagi setiap negara untuk memanfaatkan lingkungan hidup yang menjadi bagian wilayahnya secara tidak menimbulkan kerugian terhadap negara lain.

Terkait hal ini berhubungan dengan bagaimana tanggung jawab negara terhadap permasalahan ini. Untuk itu Indonesia menanggapi permasalahan lingkungan internasional ini dengan mulai mengadopsi konsep pertanggungjawaban negara (state responsibility). Dengan mengadopsi konsep tersebut dapat menunjukkan menjadi bentuk pertanggungjawaban negara terhadap pencemaran yang mengakibatkan injury bagi negara lain khususnya Malaysia dan Singapura.

Ketentuan mengenai state responsibility tersebut terdapat dalam Pasal 21 Deklarasi Stockholm 1972, sebagai berikut:

(33)

“States have, in accordance with the Charter of the United Nations and the

principles of international law, the sovereign right to exploit their own

resources pursuant to their own of international law, the responsibility to

ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage

to the environment of other States or of areas beyond the limits of national

jurisdiction”.

(Suatu negara, sesuai dengan Piagam Bangsa-Bangsa dan prinsip-prinsip hukum internasional, suatu hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya mereka sendiri sesuai dengan peraturan lingkungan negara itu sendiri, dan tanggung jawab untuk memastikan bahwa aktifitas dalam yurisdiksi atau pengawasan mereka tidak menyebabkan kerusakan lingkungan negara lain atau kawasan diluar batas yurisdiksi nasional).

Apabila kita mengaitkan pada peristiwa kebakaran hutan di Indonesia yang menyebabkan pencemaran udara di negara lain, jelas sangat bertentangan dengan prinsip tersebut karena, Indonesia memanfaatkan sumber daya alamnya secara serakah, dengan menghamburkan izin tanpa pengawasan berarti yang dilakukan pada industri kayu dan perkebunan dimana kegiatan tersebut yang menjadi penyebab utama dari kebakaran hutan.

(34)

mengganggu aktifitas penduduk dan pemerintahan negara tersebut, tidak cukup sampai disitu saja, kebakaran ini menimbulkan kerugian di berbagai macam.

Dalam Deklarasi Rio 1992 di Prinisp 16 yaitu “Environmental impact assesment, as a national instrument, shall be undertaken for proposed

activities that are likely to have a significant adverse impact on the

environment and are subject to a decision of a competent national authority”.

(Penerapan prinsip pencemar harus menanggung kerugian yang timbul akibat pencemaran yang di buatnya untuk meningkatkan swadaya biaya-biaya lingkungan).92

Berdasarkan prinsip 16 Deklarasi Rio ini menunjukkan dengan tegas bahwa pencemar harus menanggung kerugian yang timbul akibat pencemaran yang dibuatnya, ini menerangkan dengan jelas siapa yang harus bertanggungjawab dalam peristiwa kebakaran hutan di Indonesia, namun juga menerangkan bahwa tidak hanya negara yang harus bertanggungjawab penuh, namun siapapun yang terlibat. Dalam peristiwa kebakaran hutan di Indonesia ada peran perusahaan dalam kebakaran tersebut.

Perusahaan-perusahaan tersebut ikut andil besar sebagai pelaku utama dalam peristiwa kebakaran hutan tersebut karena dalam pembukaan lahan perkebunan mereka menggunakan metode pembakaran, dan dalam kegiatan industri kayu kebakaran terjadi akibat tumpukan pembuang limbah sisa pembalakan yang membentuk suatu vegetasi padat sehingga mudah terbakar

      

(35)

jika disulut atau jika musim kering tiba.93 Dengan demikian Indonesia dapat dimintai pertanggungjawaban atas pencemaran udara lintas batas negara yang mengakibatkan pencemaran udara terhadap negara lain.

Konsep pertanggungjawaban negara menjadi salah satu isu penting yang dibicarakan pada tingkat global maupun regional, khususnya Asia Tenggara. Hal ini dilatarbelakangi dengan semakin hebatnya pencemaran udara kabut asap kebakaran hutan di Indonesia hingga mencemari negara lain seperti Malaysia dan Singapura. Kabut asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dari tahun ke tahun makin akrab sebagai agenda tahunan bagi negara dan hal ini disertai pula dengan dampak ekonomis dan kesehatan yang dihasilkan dari kabut asap itu. Oleh karena itu, maka Indonesia beserta negara ASEAN lainnya sepakat untuk mengatasi kebakaran dan dampak asapnya tersebut melalui penandatanganan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) pada tanggal 10 Juni 2002.

Salah satu alasan perlunya mengatasi kebakaran hutan dan lahan beserta dampak asapnya tersebut secara bersama-sama adalah masalah lemahnya kelembagaan, AATHP telah berlaku pada tanggal 25 November 2003 sejak 6 (enam) negara anggota ASEAN meratifikasinya.94

Tujuan dari konvensi ini adalah merumuskan kelembagaan atas ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP). Dengan diketahuinya bentuk-bentuk implikasi kelembagaan dari pemberlakuan AATHP khususnya

      

93Muhammad Muzaqir, “Kajian Hukum Lingkungan Internasional Terhadap Kebakaran

Hutan di Indonesia yang Mengakibatkan Pencemaran Udara di Malaysia”, Jurnal Hukum, hlm. 16.

94Akbar Kurnia Putra, “Transboundary Haze Pollution Dalam Prespektif Hukum Lingkungan

(36)

yang dapat mendorong perbaikan persoalan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia maka diharapkan Indonesia dapat lebih mampu mengatasi kebakaran hutan dan lahan beserta dampak asapnya.

Apabila dilihat dari substansi beberapa pasal AATHP, ada beberapa keuntungan dengan meratifikasi AATHP. Negara pencemar dapat memanfaatkan bantuan kerja sama. Berbagai hal dalam menerapkan langkah untuk mencegah memonitor, termasuk dalam identifikasi, mengontrol intensitas minimalisasi kebakaran, pertukaran informasi teknologi, serta penyediaan bantuan timbal balik.

Seperti yang dicantumkan dalam Pasal 4 (1) yang menanggap bahwa,

Transboundary haze pollutiondianggap sebagai masalah bersama oleh

(37)

kerugian. Dikarenakan ini merupakan tanggung jawab bersama negara-negara ASEAN.95

Terkait dengan adanya ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution, negara-negara ASEAN mengalami kesulitan untuk membantu

Indonesia mengatasi kebakaran hutan dikarenakan Indonesia sendiri belum meratifikasi kesepakatan tersebut. Menurut beberapa pihak, ratifikasi ini terhambat oleh faktor politik karena parlemen Indonesia yang punya wewenang melakukan ratifikasi tersebut, ternyata minta soal perjanjian kabut asap ini dikaitkan dengan masalah lingkungan yang lain, agar undang-undang itu juga dikaitkan dengan ilegal logging dan pengiriman limbah beracun. Jadi sebenarnya kesepakatan ini dipandang sebagai adu strategi politik regional hingga DPR minta agar pemerintah untuk membicarakan isu-isu lain dengan memanfaatkan traktat tersebut.96

Dan melalui tahap perundingan yang panjang pada September 2014, Indonesia meratifikasi UU tentang pengesahan ASEAN Agreement on

Transboundary Haze Pollution (AATHP). Momentum pengesahan RUU ini

menjadi sangat penting mengingat Indonesia merupakan satu-satunya negara yang belum meratifikasi Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas. Indonesia telah meratifikasi ASEAN Charter (Piagam ASEAN) melalui UU No. 38 Tahun 2008. UU ini yang menjadi payung berbagai perjanjian kerja sama di tingkat ASEAN termasuk AATHP. Melalui

       95

Diakses melalui http://docplayer.info/397532-Tanggung-jawab-negara-state- responsibility-terhadap-pencemaran-udara-lintas-batas-negara-berdasarkan-asean-agreement-on-transboundary-haze-pollution.html, Pada tanggal 1 Maret 2016.

96Akbar Kurnia Putra, “Transboundary Haze Pollution Dalam Prespektif Hukum Lingkungan

(38)

pengesahan Persetujuan ASEAN, Indonesia sebagai negara dengan luas lahan dan hutan terbesar di kawasan, akan bekerja sama dalam kerangka ASEAN dan dapat memanfaatkan bantuan internasional guna meningkatkan upaya pengendalian kebakaran lahan dan/atau hutan yang menyebabkan pencemaran asap lintas batas.

Indonesia akan memperoleh manfaat setelah mengesahkan Persetujuan AATHP, antara lain:97

1. Indonesia akan memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan dan ikut aktif mengarahkan keputusan ASEAN dalam pegendalian kebakaran hutan dan/atau lahan;

2. Melindungi masyarakat Indonesia dari dampak negatif kebakaran hutan dan/atau lahan yang dapat merugikan kesehatan manusia, mengganggu sendi-sendi kehidupan masyarakat dalam bidang sosial dan ekonomi serta menurunkan kualitas lingkungan hidup.

3. Melindungi kekayaan sumber daya lahan dan hutan dari bencana kebakaran hutan dan/atau lahan;

4. Memberikan kontribusi positif terkait upaya pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan yang menyebabkan pencemaran asap lintas batas, seperti:

a. Penguatan regulasi dan kebijakan nasional;

b. Pemanfaatan sumber daya di negara ASEAN dan di luar negara ASEAN;

      

97Diakses melalui, www.menlh.go.id,Indonesia Meratifikasi Undang-Undang Tentang

(39)

c. Penguatan manajemen dan kemampuan teknis pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan yang menyebabkan pencemaran asap lintas batas.

Dalam kasus transboundary haze pollution ini, negara yang dirugikan dapat saja menggugat Pemerintah Indonesia karena menurut sejumlah konvensi internasional yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia, seperti

Biodiversity Convention of Nature and Natural Resources 1985, di mana

Indonesia telah meratifikasinya, yang memuat ketentuan bahwa negara boleh saja mengeksploitasi sumber daya alam mereka, tetapi berkewajiban untuk memastikan bahwa aktivitas tersebut tidak menimbulkan kerusakan di wilayah negara lain (state responsibility). Ketentuan ini bahkan telah menjadi hukum kebiasaan internasional (international customary law) dan mengikat semua negara beradab, bahkan telah diterapkan sejak tahun 1941 dalam kasus Trail Smelter (AS vs Kanada).

(40)

tentang Kebakaran Hutan serta Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan melarang dengan tegas pembakaran hutan.98

Untuk membuktikan apakah Indonesia dapat dimintai ganti rugi, harusdilihat bentuk dari kerugian yang diakibatkan oleh suatu negara yang bisa berupa tindakan aktif (an act) atau tidak adanya tindakan (omission). Tindakan aktif berarti tindakan yang dilakukan secara sengaja oleh aparat negara yang kemudian menjadi tanggung jawab negara. Sementara tindakan omission adalah aparat negara tidak melakukan tindakan apapun namun karena ketiadaan tindakan mengakibatkan kerugian bagi negara lain.

Negara yang tercemar polusi yang disebabkan oleh asap tentunya dapat meminta pertanggungjawaban Indonesia. Mereka harus membuktikan bahwa pencemaran asap ke wilayah mereka merupakan kegagalan dari para pejabat Indonesia dalam menangani masalah asap. Ini bisa saja kandas karena yang terjadi adalah para pejabat Indonesia bukannya membiarkan (omission) terjadi pencemaran asap, melainkan karena ketidakmampuan aparat di Indonesia untuk menangani secara tuntas. Ketidakmampuan bukanlah tindakan membiarkan. Ketidakmampuan adalah sudah dilakukan tindakan tetapi tidak memadai.

Menurut hukum internasional, liability timbul dalam hal negara yang bersangkutan merugikan negara lain, dan dibatasi hanya terhadap perbuatan yang melanggar hukum internasional. Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia selama hampir 20 tahun telah dipengaruhi banyak faktor yang

      

98Dina S.T. Manurung, Pengaturan Hukum Internasional tentang Pertanggungjawaban Negara

(41)

antara lain adalah variabel ekonomi dari korporasi besar bidang kelapa sawit yang membuka lahan dengan mekanisme pembakaran sepaya upaya minimalisasi biaya. Dalam tataran hukum internasional, tindakan korporasi tersebut yang didasari oleh hak konsesi yang diberikan negara merupakan suatu bentuk tindakan negara yang diikuti dengan pertanggungjawaban.

Tindakan negara tersebut pun secara tegas telah melanggar beberapa sumber hukum internasional yang berorientasi menciptakan iklim yang lebih baik. Berdasarkan kedua hal tersebut dan berdasarkan teori pertanggungjawaban negara terdapat pada Draft Article on Responsibility of State for Internationally Wrongful Act yang dirilis oleh International Law

Comission pada akhir 2002, maka pemerintah Indonesia dapat dimintakan

pertanggungjawaban atas pencemaran kabut asap yang terjadi. Sebagai suatu bentuk konsekuensi logis dari pertanggungjawaban Indonesia adalah reparasi yang wajib dilakukan oleh pemerintah Indonesia kepada negara tercemar seperti yang diharapkan dari suatu negara terhadap kegiatan ekonomi yang sedang berjalan sebagai suatu bentuk pertanggungjawaban negara pada tingkatan paling tinggi.

(42)

adanya pelanggaran tersebut, maka diperlukan adanya upaya pemulihan yang dapat berupa satisfaction, misalnya permohonan maaf secara resmi, ataupun berwujud pecuniary reparation, misalnya dengan pemberian ganti rugi material.

3. Mekanisme penyelesaian sengketa pencemaran lingkungan yang bersifat Transnasional dalam Hukum Lingkungan Internasional

Berbagai mekanisme penyelesaian hukum lingkungan internasional pada awal-awal perkembangan hukum lingkungan internasional menunjukkan belum adanya suatu aturan yang mengikat dan memberikan kepastian dalam hal proses yang dilalui dalam penyelesaian sengketa hukum lingkungan internasional. Bahkan, dalam beberapa kasus besar, Majelis Arbitrase telah dijadikan salah satu alternatif utama dalam penyelesaian sengketa hukum lingkungan internasional memuat sanksi yang lebih bersifat ekonomis dan diplomatis dalam tataran internasional.

Salah satu alternatif yang timbul dalam mekanisme penyelesaian hukum lingkungan internasional yang tersedia adalah pemberlakuan prinsip pertanggungjawaban negara yang diawali dari adanya claim dari negara yang mengalami kerugian yang merupakan suatu bentuk absorpsi hukum lingkungan internasional terhadap keberlakuan prinsip utama dalam hukum internasional tersebut.

(43)

Kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia hampir dapat dipastikan 70 sampai dengan 80 persen merupakan akibat perbuatan manusia. Oleh karena itu, dalam PP Nomor 45 tahun 2004 tentang perlindungan Hutan ini, telah mengatur mengenai manusia sebagai salah satu penyebab terjadinya kerusakan hutan. Dalam Pasal 7 PP Nomor 45 Tahun 2004 dinyatakan bahwa, untuk mencegah, membatasi, dan mempertahankan serta menjaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dan huruf b yang disebabkan oleh perbuatan manusia, pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat:99

(a) Melakukan sosialisasi dan penyuluhan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan;

(b) Melakukan inventarisasi permasalahan;

(c) Mendorong peningkatan produktivitas masyarakat; (d) Memfasilitasi terbentuknya kelembagaan masyarakat;

(e) Meningkatkan peran serta masyakarat dalam kegiatan pengelolaan hutan; (f) Melakukan kerja sama dengan pemegang hak atau pemegang izin;

(g) Meningkatkan efektivitas koordinasi kegiatan perlindungan hutan; (h) Mendorong terciptanya alternatif mata pencaharian masyarakat;

(i) Meningkatkan efektivitas pelaporan terjadinya gangguan keamanan hutan; (j) Mengambil tindakan pertama yang diperlukan terhadap gangguan

keamanan hutan; atau

(k) Mengenakan sanksi terhadap pelanggaran hukum.

      

99Supriadi, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, PT. Sinar Grafika,

(44)

Menyimak ketentuan yang khusus mengatur mengenai perlindungan hutan sebagaimana yang diatur oleh PP Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan merupakan tanggung jawab pemerintah maupun pemerintah daerah sebagai pelaksana tugas negara untuk mengatur, melindungi dan menyejahterakan masyarakatnya. Oleh karena itu, salah satu tugas berat yang ditanggung oleh pemerintah maupun pemerintah daerah, adalah bagaimana caranya agar masyarakat sejahtera, khususnya masyarakat yang bermukim di sekitar hutan dengan cara tidak merusak hutan.

Permasalahan bagi Indonesia merupakan sesuatu yang sangat sulit, sebab dapat dipastikan bahwa kerusakan hutan di Indonesia karena ulah manusia, baik sebagai masyarakat maupun sebagai pengusaha.

Dalam Pasal 23 PP Nomor 45 Tahun 2004 dinyatakan bahwa, dalam rangka pencegahan kebakaran hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (1) huruf a, dilakukan kegiatan:

(a) Pada tingkat nasional, antara lain:

1) Membuat peta kerawanan kebakaran hutan nasional; 2) Mengembangkan sistem informasi kebakaran hutan; 3) Menetapkan pola kemitraan dengan masyarakat;

4) Menetapkan standar peralatan pengendalian kebakaran;

5) Membuat program penyuluhan dan kampanye pengendalian kebakaran;

(45)

(b) Pada tingkat provinsi, antara lain:

1) Membuat peta kerawanan kebakaran hutan provinsi; 2) Membuat model-model penyuluhan;

3) Melaksanakan pelatihan pencegahan kebakaran hutan;

4) Membuat petunjuk pelaksanaan pemadaman kebakaran hutan; 5) Mengadakan peralatan pemadam kebakaran hutan;

6) Melaksanakan pembinaan dan pengawasan. (c) Pada tingkat kabupaten/kota, antara lain:

1) Melakukan evaluasi lokasi rawan kebakaran hutan; 2) Melaksanakan penyuluhan;

3) Membuat petunjuk teknis pelaksanaan pemadaman kebakaran hutan; 4) Mengadakan peralatan kebakaran hutan;

5) Melaksanakan pembinaan dan pengawasan:

d) Pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan produksi, kesatuan pengelolaan hutan lindung, izin pemanfaatan hutan, izin penggunaan kawasan hutan dan hutan hak, antara lain melakukan inventarisasi lokasi rawan kebakaran hutan; menginventarisasi faktor penyebab kebakaran; menyiapkan regu-regu pemadaman kebakaran; membuat prosedur tetap pemadaman kebakaran hutan; mengadakan sarana pemadaman kebakaran hutan; dan membuat sekat bakar.

(46)

2004 dinyatakan bahwa, dalam rangka pemadaman kebakaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (1) huruf b, maka setiap pemegang izin pemanfaat hutan, pemegang izin penggunaan kawasan hutan, pemilik hutan hak dan Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan, berkewajiban melakukan rangkaian tindakan pemadaman dengan cara melakukan deteksi terjadinya kebakaran hutan; mendayagunakan selruh sumber daya yang ada; membuat sekat bakar dalam rangka melokalisasi api; membolisasi masyakarat untuk mempercepat pemadaman (ayat (1)).

Pemegang izin pemanfaatan hutan, pemegang izin penggunaan kawasan hutan, pemilik hutan hak dan/atau Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan melakukan koordinasi dengan instansi terkait dan tokoh masyarakat dalam rangka mempercepat pemadaman, evakuasi, ligitasi dan mencegah bencana; pelaporan kepada Bupati/Walikota tentang kebakaran hutan yang terjadi dan tindakan pemadaman yang dilakukan (ayat (2)).100

Sementara itu partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan kebakaran hutan sangat diperlukan, terutama masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar hutan.

Sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 26 , usaha yang dilakukan dalam menangani pasca kebakaran hutan adalah salah satunya melakukan penegakan hukum kepada siapa saja yang sengaja atau tidak sengaja melakukan kebakaran. Dalam Pasal 27 PP Nomor 45 Tahun 2004 dinyatakan bahwa, dalam rangka

(47)

penanganan pasca kebakaran hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (1) huruf c, dilakukan upaya kegiatan yang meliputi:

(a) Identifikasi dan evaluasi (b) Rehabilitasi

(c) Penegakan hukum.

(48)

1. Hukum lingkungan indonesia merupakan hukum lingkungan modern yang memiliki utuh sifat menyeluruh atau komprehensif integral, selalu berada dalam dinamika dengan sifat dan wataknya yang luwes, memperhatikan hak asasi manusia dan peran serta masyarakat termasuk lingkungan hidup itu sendiri, yang seiring dengan perkembangan hukum lingkungan hidup internasional.

2. Terjadinya pencemaran kabut asap yang diakibatkan dari kebakaran hutan di Indonesia kerap kali melanda beberapa negara ASEAN pada umumnya dan negara yang berdekatan dengan Indonesia pada khususnya yang tentu memberikan dampak yang tidak hanya mengganggu ekosistem negara sekitar, namun juga berdampak pada kegiatan usaha pada sektor riil seperti pariwisata dan transportasi udara.

3. Dalam hukum internasional, pertanggungjawaban negara timbul dalam hal negara yang bersangkutan merugikan negara lain, dan dibatasi hanya terhadap perbuatan yang melanggar hukum internasional.

B. SARAN

(49)

2. Sejauh ini upaya-upaya penanggulangan masalah asap hanya ada jika peristiwa kebakaran sudah terjadi, dimana yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah memperkuat penerapan tentang pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan lahan guna menghindari kerusakan lingkungan dan pencemaran asap yang parah.

(50)

A. Hukum Lingkungan Nasional (Indonesia) 1. Pengertian Hukum Lingkungan

Istilah hukum lingkungan dalam buku St. Munadjat Danusaputro mengenai beberapa pengertian hukum lingkungan ini merupakan terjemahan dari beberapa istilah, yaitu “Environmental Law” dalam Bahasa Inggris,

“Millieeurecht” dalam Bahasa Belanda, “L,environnement” dalam Bahasa

Prancis, “Umweltrecht” dalam Bahasa Jerman, “Hukum Alam Seputar” dalam Bahasa Malaysia,”Batas nan Kapaligiran” dalam Bahasa Tagalog,

“Sin-ved-lom Kwahm” dalam Bahasa Thailand, “Qomum al-Biah” dalam Bahasa

Arab.13

Banyaknya aliran dalam bidang hukum telah mengakibatkan banyak pengertian tentang hukum yang berbeda-beda. Oleh karena itu, untuk menyamakan persepsi dalam membahas pengertian hukum lingkungan, perlu disampaikan terlebih dahulu bahwa pada umumnya hukum itu adalah keseluruhan kumpulan peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama.

Mengutip dari Gatot P.Soemartonoyang menyebutkan bahwa hukum itu adalah keseluruhan peraturan tentang tingkah laku manusia yang isinya tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan dalam kehidupan

      

13 St. Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan-Buku I: Umum, Binacipta, Bandung,

(51)

bermasyarakat, yang pelaksanaan peraturan tersebut dapat dipaksakan dengan suatu sanksi oleh pihak yang berwenang. Dari uraian menurut pengertian hukum, maka hukum lingkungan adalah keseluruhan peraturan yang mengatur tentang tingkah laku orang tentang apa yang seharusnya dilakukan terhadap lingkungan, yang pelaksanaan peraturan tersebut dapat dipaksakan dengan suatu sanksi oleh pihak yang berwenang.14

Sedang menurut Danusaputrohukum lingkungan adalah hukum yang mendasari penyelenggaraan perlindungan dan tata pengelolaan serta peningkatan ketahanan lingkungan.15Beliaulah yang membedakan antara hukum lingkungan modern yang berorientasi kepada lingkungan atau

environment oriented law dan hukum lingkungan klasik yang berorientasi

kepada penggunaan lingkungan atau Use-oriented law.

Hukum lingkungan klasik menetapkan ketentuan dan norma-norma guna menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber-sumber daya lingkungan dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksimal mungkin, dan dalam jangka waktu yang sesingkat-singkatnya. Sebaliknya, hukum lingkungan modern menetapkan ketentuan norma-norma guna mengatur perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi menjamin kelestariannya, agar dapat langsung secara terus-menerus digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi-generasi mendatang.

      

14Gatot P.Soemartono, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996,

hlm.45

(52)

Karena hukum lingkungan modern berorientasi kepada lingkungan, sehingga sifat dan wataknya juga mengikuti sifat dan watak dari lingkungan sendiri, serta dengan demikian lebih banyak berguru pada ekologi. Dengan orientasi kepada lingkungan ini, hukum lingkungan modern memiliki sifat utuh menyeluruh, artinya selalu berada dalam dinamika dengan sifat dan wataknya. Sebaliknya hukum lingkungan klasik bersifat sektoral dan sukar berubah.

Sebagai disiplin ilmu hukum yang sedang berkembang, sebagian besar materi hukum lingkungan merupakan bagian hukum administrasi, namun hukum lingkungan mengandung pula aspek hukum perdata, pidana, pajak, internasional, dan penataan ruang.

Semula hukum lingkungan dikenal pula sebagai hukum gangguan

(hinderrecht) yang bersifat sederhana dan mengandung aspek keperdataan.

Lambat laun perkembangannya bergeser ke arah bidang hukum administrasi, sesuai dengan peningkatan peranan penguasa dalam bentuk campur tangan terhadap berbagai segi kehidupan dalam masyarakat yang semakinkompleks.16 Segi hukum lingkungan administratif terutama muncul apabila keputusan penguasa yang bersifat kebijaksanaan dituangkan dalam bentuk penetapan

(beschikking), misalnya dalam prosedur perijinan, penentuan baku mutu

lingkungan, prosedur analisis mengenai dampak lingungan, dan sebagainya. Menurut Siti Sundari Rangkuti, mengikuti pendapat A.V.van den Berg, bahwa pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia berhadapan dengan hukum

      

16Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional,

Referensi

Dokumen terkait