SURAT KABAR
Harian Merdeka, 21 Februari 1946.
, 14 Maret 1946.
, 15 Maret 1946.
Nederlands Instituut Voor Oorlogdocumentatie, Publicatie Pandji Ra’jat, 2 September 1947.
Semangat Merdeka, 31 Januari 1946.
, 12 Maret 1946.
, 13 Maret 1946.
, 14 Maret 1946.
, 20 Maret 1946.
, 29 Maret 1946.
Soeara Merdeka, 20 Februari 1946
Soeloeh Merdeka, 16 Maret 1946.
, 18 Maret 1946.
, 22 Maret 1946.
, 23 Maret 1946.
, 25 Maret 1946.
, 25 April 2014.
, 27 April 2014
SUMBER LISAN
Wawancara,Ratna dengan Abdul Kahar Abdullah, Medan, 02 Juni 1983.
Wawancara,S.P. Dewi Murni dengan Rokyoto, Binjai, 12 Juni 1983.
Wawancara, Tengku Luckman Sinar dengan Tengku Sulong Chalizar, Stabat, 18 Juni 1983.
Wawancara, Tengku Luckman Sinar dengan Tengku Mochtar Azis, Medan, 22 Juli 1983.
INTERNET
diakses pada tanggal 22 Agustus 2014, pukul 16.35 WIB.
05.40 WIB.
pukul 07.00 WIB.
DAFTAR INFORMAN
Nama : Datuk Oka Abdul Hamid A Umur : 64 tahun
Pekerjaan : Pensiunan PNS
Alamat : Griya Pertanian Indah A7 Jalan Stasiun Kp. Lalang-Sunggal
Nama : Fachrudin Ray Umur : 81 tahun Pekerjaan : Pensiunan PNS
Alamat : Komplek Pemda Stabat
Nama : Jalilah Yahya Umur : 90 tahun Pekerjaan : Pensiunan PNS
Alamat : Jalan Perniagaan, Stabat
Nama : Musa Darus Umur : 72 tahun Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jalan Amir Hamzah, Tanjung Pura
Nama : Oka Rulam Umur : 92 tahun
Pekerjaan : Nelayan / Pejuang LVRI Alamat : Pulau Banyak Tanjung Pura
Nama : Tengku Muhammad Nasir Umur : 77 tahun
Pekerjaan : Pensiunan PNS
Alamat : Dusun Pasar Batu, Stabat Lama Barat
Nama : Tengku Rahil Umur : 77 tahun Pekerjaan : Pensiunan PNS
Nama : Tengku Ta’zul Rizal Azis Umur : 67 tahun
LAMPIRAN I
Soengai Karang Gading dengan Paloek Lamdaja
dan dari sitoe menghilir Soengai Karang Gading
sampai ke koelanya di Selat Malaka.
Dengan Selat MalakaMoelai dari Kwala Karang Gading moelai dari
Pantai sampai ke Koeala Ajer Masin.
LAMPIRAN II
Gambar Istana (Lama) Darul Aman Kesultanan Langkat
LAMPIRAN III
Istana (baru) Darussalam Kesultanan Langkat
LAMPIRAN IV
Gambar Sultan Langkat, Tengku Mahmud Abdul Jalil Rahmadsyah
LAMPIRAN V
LAMPIRAN VI
Sumber : Prabudi Said (ed.). Berita Peristiwa 60 Tahun. Medan :
LAMPIRAN VII
Korban revolusi sosial
(34 orang bangsawan Melayu Kesultanan Langkat dibunuh)
LAMPIRAN VIII
Surat protes Tengku Abdullah Hod mengenaiapa yang yang dialami para korban revolusi sosial kepada Menteri Luar Negeri
LAMPIRAN IX
Surat Balasan dari Sekretaris Jenderal, w.g J.M. Kiveron kepada Tengku Abdullah Hod
LAMPIRAN X
Pusat Pemerintahan Sumatera Timur di Medan
akan dipindahkan ke Pematang Siantar
LAMPIRAN XI
FotoPengusaha kaya di Langkat Oka Muhammad Darus Umar dan merupakan salah satu korban revolusi sosial
LAMPIRAN XII
Foto keluarga besar Sultan Mahmud (diambil pasca revolusi sosial di rumahnya
di Jalan Manggalan, Medan (sekarang menjadi Jalan Diponegoro) ).
Sumber foto: Djohar Arifin Husin.Sejarah Kesultanan Langkat. Medan: Yayasan Bangun
LAMPIRAN XIII
Surat Balasan dari Tengku Mahsoeri Langkat kepada P.J.M. Mr. J. Gerritsen
tentang turut berduka cita atas meninggalnya Sultan Langkat
LAMPIRAN XIV
Surat kepada wali Negara Sumatera Timur dan Gubernur Jenderal Batavia mengenai permohonan bantuan untuk korban revolusi sosial
LAMPIRAN XV
Surat Mr. Moh. Hasan kepada Direksi Pengembalian Hak mengenai permata Sultan Siak
LAMPIRAN XVI
Surat Wakil Kepala Senat R.I.S., Mr. Moh. Hasan kepada Perdana Menteri mengenai daftar harta Sultan dan Bangsawan Serdang yang hilang atau diserahkan ketika terjadi
LAMPIRAN XVII
Surat pemberitahuan pemblokiran saham Sultan Abdul Azis yang tersimpan di Nederlandsch
Indische Handelsbank, N.V.
LAMPIRAN XVIII
Surat balasan dari Bank Indonesia yang akan mengadakan penelitian perihal kejelasan harta Sultan Langkat (Sultan Abdul Azis) yang tersimpan
diNederlandsch Indische HandelsbankN.V.
LAMPIRAN XIX
Surat dari European Banks International Company S.A mengenai saham-saham Sultan Abdul
Azis yang telah dijual di London
LAMPIRAN XX
Surat dari Tengku Rahimah Azis mengenai kuasaahliwaris yang diberikankepadanya untuk
mengurusi harta Sultan Abdul Azis di Belanda
LAMPIRAN XXI
DAFTAR PUSTAKA
ARSIP
Archief C.O. AMACAB van Sumatra, dr. Amir No. 3181/ P.Z., Medan, tanggal 4-6-1946. Dan di ARA (Archief Algemeene Secretarie) Reel 183.
NEFIS Publicatie, De Rol Door Dr Amir Gespeeld In De Sociale Revolutie Ter Oostkust van Sumatera No. 7 , Batavia tanggal 17-6-1946. Dan diARA 1207 (Archief Algemeene Secretarie)Kist II, dossier 51.
Surat Tengkoe Abdoellah Hod Dewa Sjahdan kepada Minister van Overzeesche Gebiedsdeelen te ‘s Gravenhage tentang berita Revolusi Sosial di Langkat, Amsterdam, tanggal 5-5-1946.
Surat balasan Secretarie Generaal (w.g. kiveron) kepada Tengkoe Abdoellah Hod Dewa Sjahdan, No. N.32/180, tanggal 28-6-1946.
Surat Sultan Langkat, Tengku Mahmud kepada Dr.H.J. van Mook, tentang ucapan selamat tahun baru dan kemakmuran dan kedamaian Belanda dan Indonesia, Medan, 30-12-1947.
Surat Komite Memperingati Revolusi Sosial kepada wali Negara Sumatera dan Gubernur Jenderal Batavia mengenai permohonan bantuan untuk korban revolusi sosial, Medan, tanggal 5-3-1948.
Surat Balasan dari Tengku Mahsoeri Langkat kepada P.J.M. Mr. J. Gerritsen tentang turut berduka Cita atas meninggalnya Sultan Langkat, dan balasannya, Medan tanggal 5-5-1948.
Surat Mr.T.M.Hasan kepada Kepala Direksi Pengembalian Hak Rijkswijk 11 di Jakarta tentang pengembalian harta-harta Sultan Siak dan Serdang, Jakarta, 17 Februari 1950.
BUKU-BUKU
A, Datuk Oka Abdul Hamid. Sejarah Langkat Mendai Tuah Berseri. Medan : Badan Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi Propinsi Sumatera Utara. 2011.
Agustono, Budi. “Kehidupan Bangsawan Serdang 1887-1946”, dalam Tesis S2 belum diterbitkan. Yogyakarta : Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 1993.
Aka, Zainal Arifin.Riwayat Tengku Amir Hamzah : Cinta Tergadai, Kasih Tak Sampai.Langkat : Dewan Kesenian Langkat, 2002.
Basarshah II, Tuanku Luckman Sinar. Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur.Tanpa Kota Terbit : Tanpa Penerbit, Tanpa Tahun Terbit.
Biro Sejarah Prima. Medan Area Mengisi Proklamasi. Jilid I, Medan : Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area, 1976.
Bottomore, T.B. Elite dan Masyarakat. Jakarta : Institut Akbar Tanjung. 2006.
Danil, Rohani Darus. Mendobrak Tradisi : Otobiografi. Medan : Consortium for Policy Review and Advocacy (COPRA). 2000.
Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta : UI Press. 1985.
Husin,Djohar Arifin.Sejarah Kesultanan Langkat. Medan: Yayasan Bangun Langkat Sejahtera, 2013.
Husny, Tengku Muhammad Lah.Biography Sejarah Amir Hamzah. Medan: Badan Penerbit Husny. 1976.
. Revolusi Sosial di Sumatera Utara/Tapanuli Disertai Pangkal dan Akibatnya. Medan : Badan Penerbit Husny. 1983.
Hutasoit, Marnixius. Percikan Revolusi di Sumatera. Jakarta : PT. B.P.K. Gunung Mulia. 1986.
Kementerian Penerangan R.I. Republik Indonesia : Propinsi Sumatera Utara. Medan: CV Karya Purna. 1953.
Langenberg, Michael van. “National Revolution in North Sumatera : Sumatera Timur and Tapanuli 1942-1950”, dalam Tesis Doktor, University of Sidney. 1976.
Mansyur. The Golden Bridge : Jembatan Emas 1945. Medan : Lembaga Sosial Juang 45 Medan Area. Tanpa Tahun.
Noor, Amiruddin. Putri Melayu : Kisah Cinta dan Perjuangan Seorang Gadis Melayu di Tengah Kecamuk Pembantaian. Yogyakarta : Bentang. 2009.
Ratna, “Birokrasi Kerajaan Melayu Sumatera Timur di Abad XII”, dalam Tesis S2 belum diterbitkan, Yogyakarta : Pasca Sarjana UGM, 1990.
Reid, Anthony.Perjuangan Rakyat : Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera Timur.Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.1987.
, Revolusi Nasional Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Ritonga, Farida Hanum. “Peranan Partai Politik Pada Peristiwa 3 Maret 1946 di Langkat”, dalam Skripsi belum diterbitkan. Medan : Jurusan Sejarah USU. 1981.
Said, Mohammad. Kuli Kontrak Tempo Dulu : Dengan Derita dan Kemarahannya. Medan : Percetakan Waspada, 1977.
Said, Prabudi (ed.). Berita Peristiwa 60 Tahun. Medan : Tanpa Penerbit, dan Tahun Terbit.
Sebayang, Nas, dkk. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Langkat dan Binjai. Langkat-Binjai : Team Redaksi Panitia Penyusun Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. 1993.
Soeratman, Darsiti. Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta : Penerbit Taman Siswa. 1989.
Suprayitno.Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia. Yogyakarta : Yayasan Untuk Indonesia. 2001.
. “Revolusi Sosial di Sumatera Timur Maret 1946 (Tragedi Amir Hamzah)” dalam Agus Suwignyo (ed.), Sejarah Sosial di Indonesia : Perkembangan dan Kekuaatan 70 Tahun Prof. Dr. Suhartono Wiryo Pranoto. Yogyakarta : Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada, 2011.
Susilo. “Pengaruh Revolusi Sosial di Langkat Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Bangsawan Melayu di Kabupaten Langkat”, dalam Skripsi Sarjana Belum Diterbitkan. Medan : Fakultas Ilmu Sosial Unimed. 2008.
Syahnan, H.R. Dari Medan Area ke Pedalaman dan Kembali ke Kota Medan. Medan : Dinas Sejarah Kodam-II / Bukit Barisan. 1982.
BAB III
PERISTIWA REVOLUSI SOSIAL DI LANGKAT
3.1 Latar Belakang Peristiwa Revolusi Sosial
Telah dijelaskan di bab dua bahwa situasi di Sumatera Timur pasca kemerdekaan Indonesia
mengalami gejolak. Berbagai konflik dan hambatan satu persatu datang menghadang Negara
Republik Indonesia di wilayah Sumatera Timur yang baru seumur jagung. Mulai dari
kerusuhan-kerusuhan yang dipelopori Sekutu/NICA78, hingga mengontrol kelompok radikal
yang non-kooperatif79 dalam mempertahankan Republik Indonesia. Partai-partai politik
dengan laskar rakyatnya yang bergabung di dalam Volksfront merasa tidak suka dengan sikap
dan kebijakan yang ditunjukkan oleh T.M. Hasan dalam memimpin pemerintahan.80
Sikap tidak suka ini berawal dari pertemuan yang diadakan pada tanggal 8 September
1945 (sebelum pertemuan di Taman Siswa) oleh T.M. Hasan dengan tokoh politik, antara
lain Abdul Xarim MS, Mohammad Said, dan Jahja Jacoeb di rumah dr. Amir di Tanjung
78
Netherlands Indisch Civil Administration atau NICA adalah sebuah badan pemerintahan sipil Hindia Belanda yang dibentuk oleh Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dr. H.J. van Mook dan pembantu utamanya Ch. O. van der Plas selama mereka masih berkedudukan di Australia, tidak berapa lama setelah Jepang menyerah. NICA ini yang telah direncanakan Belanda menjadi badan resmi yang akan mengambil alih kekuasaan atas Indonesia dari tangan Jepang. Lihat, Biro Sejarah Prima,Medan Area Mengisi Proklamasi. Jilid I, Medan : Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area, 1976, hlm. 82.
79
Kelompok radikal tersebut antara lain, Saleh Umar, Marzuki Lubis, dan Jacob Siregar (PNI/Napindo), Luat Siregar, dan Nathar Zainuddin (PKI), Sarwono Sastrosutardjo (Pesindo), dan Bachtiar Yunus (Hizbullah). Lihat, Suprayitno, “Revolusi Sosial di Sumatera Timur Maret 1946 (Tragedi Amir Hamzah)” dalam Agus Suwignyo (ed.), Sejarah Sosial di Indonesia : Perkembangan dan Kekuaatan 70 Tahun Prof. Dr. Suhartono Wiryo Pranoto, Yogyakarta : Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada, 2011, hlm. 149.
80
Pura. Dalam pertemuan ini T.M. Hasan dan dr. Amir lalai sehingga sama sekali tidak
menyinggung masalah kemerdekaan Indonesia kepada mereka. Hal ini menimbulkan
kekecewaan para tokoh politik terhadap kedua para pemimpin itu. Sikap dr. Amir sendiri
sudah tidak begitu perduli terhadap proklamasi kemerdekaan karena beliau menganggap
proklamasi hanyalah sandiwara belaka.81 Kekecewaan para tokoh politik ini semakin
mendalam dengan adanya kebijakan T.M. Hasan yang berusaha melakukan diplomasi
terhadap golongan bangsawan kesultanan di Sumatera Timur agar melebur ke dalam
republik.82
Akibat desakan oleh para pemimpin politik, pada tanggal 31 September 1945T.M.
Hasan memanggil seluruh para pemuda yang tergabung dalam Barisan Pemuda Indonesia
(BPI) dalam rapat sosialisasi Kemerdekaan Indonesia di gedung Taman Siswa Medan.
Akhirnya pada tanggal 6 Oktober 1945, bendera merah putih resmi dikibarkan di lapangan
Esplanade (lapangan Merdeka sekarang), Medan.83
Pada tanggal 25 Desember 1945, T.M. Hasan melakukan kunjungan di Aceh. Selama
gubernur Sumatera tidak berada di tempat, mulai tampak perubahan yang mencurigakan di
wajah politik dr. Amir. Selama menjabat sebagai wakil gubernur, ia mulai berhubungan erat
dengan beberapa tokoh komunis seperti Mr. Luat Siregar, dan Joenoes Nasution. Pada bulan
itu, dr. Amir berangkat ke Jawa bersama Mr. Luat Siregar dan Adinegoro, serta Dr. Djamil
81
Biro Sejarah Prima,op.cit., hlm. 100-101.
82
Suwignyo, loc.cit.
83
atas tawaran sekutu/NICA. Malah sepulangnya dari Jakarta, tanggal 3 Januari, sikap dr Amir
menambah kecurigaan pemuda, karena dr. Amir mengatakan bahwa politik dan ekonomi di
Sumatera dapat bebas dilakukan sendiri tanpa harus mengikuti sistem pemerintahan RI di
Jawa.84 Pada tanggal 17 Januari 1946, dr. Amir bersama dengan Mr. Luat Siregar dan Jahja
Jacoeb ditugaskan untuk memimpin Balai Layanan Informasi Penerangan dan Penyelidikan
untuk memberikan panduan mengenai langkah-langkah menjalankan sistem pemerintahan,
memberikan pendidikan politik kepada penduduk atas dasar untuk berpartisipasi memberikan
ide-ide, baik di bidang politik, agama, dan sosial, serta digunakan sebagai sarana konferensi
pers, publikasi, dan siaran radio (disamping mengendalikan pers).85
Pada tanggal 3 Februari 1946 diadakan rapat antara Komite Nasional Indonesia
(KNI) daerah Sumatera Timur dengan gubernur Sumatera dan para sultan yang dihadiri oleh
Tengku Hafas (Residen Sumatera Timur). Dalam rapat itu KNI meminta agar para sultan,
raja-raja dan sibayak dalam tempo yang sesingkat-singkatnya segera mengubah sistem
pemerintahannya dari otokrasi ke demokrasi sesuai dengan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia.86
84
Ibid., hlm. 356. 85
Lihat NEFIS Publicatie, De Rol Door Dr Amir Gespeeld In De Sociale Revolutie Ter Oostkust van SumateraNo. 7 , Batavia tanggal 17-6-1946. Dandi ARA 1207(Archief Algemeene Secretarie) Kist II, dossier 51.
86
Kementerian Penerangan R.I. Republik Indonesia : Propinsi Sumatera Utara. Medan: CV Karya Purna. 1953, hlm. 76.
Kemudian para sultan dan raja-raja yang diwakili oleh Sultan Langkat
memberikan pidato bahwa mereka berjanji akan setia terhadap Pemerintahan Republik
menyampaikan kepada presiden RI mengenai permohonan para sultan agar
mempertimbangkan pembentukan daerah istimewa di Sumatera Timur.87
Berselang tiga hari pasca pertemuan itu yakni pada tanggal 6 Februari 1946,
Gubernur Sumatera, T.M. Hasan didampingi Abdul Xarim MS dan pejabat pemerintahan
lainnya melakukan kunjungan ke Selatan dengan tujuan untuk melihat keadaan-keadaan di Dari isi pidato yang diucapkan Sultan Langkat, tersirat bahwa tidak terlihat jelas
kesungguhan mereka untuk setia ke dalam republik, karena sejujurnya tujuan mereka adalah
ingin supaya wilayah kekuasaan mereka di Sumatera Timur menjadi daerah istimewa
sehingga tetap melanggengkan sistem kekuasaan otokrasi mereka meskipun tidak seperti
pada masa Belanda. Hal ini disebabkan oleh adanya segelintir bangsawan pro Belanda yang
selalu menghasut para sultan agar tidak menyatukan diri ke dalam Republik. Misalnya,
Sultan Langkat yang selalu dihasut oleh penasehatnya Datuk Jamil (pro Belanda), sehingga
membuat sultan ragu-ragu dalam mengambil tindakan terhadap republik.
Bagi golongan politik, ini merupakan gong sebagai pertanda permainan mereka telah
berakhir, dan kini akan dimulai permainan baru yang diprakarsai oleh golongan politik untuk
menghancurkan kekuasaan otokrasi para bangsawan.
87
daerah-daerah tersebut dari dekat guna terjalin hubungan kerjasama (koordinasi) di seluruh
Sumatera.88 Selama gubernur Sumatera melakukan perjalanan, pemerintahan dipegang oleh
dr. Amir. Situasi ini dimanfaatkan oleh dr. Amir dan tokoh radikal lainnya89
Kelompok radikal semakin melebarkan sayapnya dan menunjukkan wajah
“garang”nya di Sumatera Timur. Mereka juga membentuk Ekonomi Rakyat Republik
Indonesia (ERRI) untuk menguasai perkebunan yang terbengkalai dan hasilnya dijual guna
membeli senjata untuk persiapan perang.
untuk
merencanakan sesuatu yang masih belum terlihat pergerakannya.
90
Sultan pun kehilangan hak istimewanya atas
tanah perkebunan tersebut, sedangkan rakyat Melayu harus menyingkir dari tanah-tanah
yang telah mereka garap sejak masa Belanda. Di Langkat, Tengku Amir Hamzah sejak bulan
Februari secara diam-diam mengundurkan diri dari kedudukan jabatan republiknya (asisten
residen) karena tekanan-tekanan berat dari Sultan Langkat dan Datuk Jamil (sekretaris
sultan) yang pro Belanda, serta di lain pihak mendapat tekanan dari para pemuda militan.
Tokoh politik penting dari PNI dan bekas Gerindo, Adnan Nur Lubis mengambil alih
tugas-tugas pemerintahannya atas persetujuan KNI Langkat.91
88
Tujuh keresidenan yang akan dikunjungi Mr. T.M. Hasan yaitu Tapanuli, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Palembang, Lampung, dan Bengkulu. Lihat, Soeloeh Merdeka, 22 Maret 1946.
89
Tokoh radikal itu antara lain, Luat Siregar, Sarwono Sastrosutardjo, Nathar Zainuddin, dan Abdul Xarim MS.
90
Reid, op.cit., hlm. 369.
91
Pada tanggal 27 Februari, kelompok radikal dan dr. Amir membawa Mayor Inggris,
Fergusen pergi ke Asahan dan Pematang Siantar untuk meninjau daerah republik. Disana
mereka diterima baik oleh rakyat dengan slogan-slogan “merdeka”.92
Di sisi lain, pergolakan di Sumatera Timur yang perlahan-perlahan mulai jelas
arahnya membuat para sultan dan bangsawan cemas. Suasana kekalutan mendera Sultan
Langkat dan golongan bangsawan. Mereka sering mengadakan pertemuan tertutup untuk
membahas kekuatan pergerakan dan nasib mereka. Pertemuan ini, mereka lakukan secara
hati-hati agar tidak membuat anak istri mereka cemas. Laskar rakyat hilir mudik di
jalan-jalan raya Langkat. Truk mengangkut laskar rakyat silih berganti. Gerak-gerik sultan dan
bangsawan pun mulai diawasi. Tengku Muhammad Khalid dan bangsawan lainnya sudah
memiliki firasat buruk bahwa suatu hal yang mengerikan akan terjadi kepada hidup
mereka.
Di samping itu, mereka
memprovokasi rakyat dengan isu-isu yang tak menyedapkan bahwa para sultan telah
membentuk Comite van Ontvangst sehingga membuat rakyat tidak senang terhadap golongan
bangsawan.
93
Bangsawan Melayu yang tergabung dalam TKR pun mengalami tekanan.
Ketidakseimbangan berita sangat mengganggu mereka. Sebagian bangsawan memilih
92
Lihat NEFIS Publicatie, De Rol Door Dr Amir Gespeeld In De Sociale Revolutie Ter Oostkust van SumateraNo. 7 , Batavia tanggal 17-6-1946. Dandi ARA 1207(Archief Algemeene Secretarie) Kist II, dossier 51.
93
menjauhi Kota Tanjung Pura, menyingkir ke rumah-rumah orang Melayu kebanyakan di luar
kota. Akan tetapi hal itu tidak mudah karena rakyat yang dulu merasa tersanjung bila sekedar
memperoleh lambaian tangan kaum bangsawan, sekarang mereka merasa turut terancam
apabila didekati kaum bangsawan itu. Mereka khawatir akan turut dicurigai laskar rakyat.94
1. Pada masa Belanda golongan bangsawan yang menguasai kekuasaan di
pemerintahan Kesultanan Langkat. Mereka juga banyak yang bekerja sebagai
pegawai di Pemerintahan Belanda. Tidak ada penduduk pribumi yang
diperbolehkan untuk menduduki kekuasaan tertinggi. Di kerapatan Kesultanan
Langkat, orang yang menjadi hakim atau jaksa adalah keluarga sultan/bangsawan.
Jadi, hal ini menimbulkan sikap pilih kasih dalam menjatuhi hukuman terhadap
terdakwa.
Selama mereka menumpang di rumah rakyat, mereka juga turut membantu dalam urusan
rumah tangga sang pemilik rumah seperti memasak, membersihkan rumah, dan sebagainya.
Menurut Rokyoto, ada beberapa keburukan sultan yang membuat para pemuda yang
tergabung dalam laskar rakyat harus menyingkirkan mereka, yaitu sebagai berikut.
2. Pada masa pendudukan Jepang, para pemuda berusaha mendekati Jepang untuk
bekerja sama sebagai taktik untuk menghancurkannya. Pada akhirnya para sultan
dan bangsawan lah yang berhasil mendekati Pemerintah Jepang dan mendapat
hak istimewa. Pada masa Jepang semua partai-partai politik dihapuskan dan
94
hanya BOMPA yang tetap diperbolehkan. Hal ini yang membuat pemuda curiga
kepada sultan dan bangsawan yang dianggap mereka telah menghasut
pemerintahan Jepang agar membekukan partai politik. Selain itu, para sultan
disuruh Jepang untuk mengumpulkan rakyat menjadi romusha sehingga membuat
rakyat semakin tidak senang terhadap sultan.
3. Ketika sekutu datang memboncengi NICA, bangsawan Langkat meminta bantuan
kepada Jepang yang telah mengadakan perjanjian dengansekutu/NICA untuk
mengamankan orang-orang Belanda dan sarana umum seperti rumah sakit karena
situasi sedang chaos. Ternyata dibalik itu sultan mengevakuasi keluarga Rampen
yang merupakan orang Belanda yang bekerja di Rumah Sakit Bangkatan. Satu
kompi panser Jepang mengamankannya untuk dibawa ke markas Belanda di
Binjai.95
Beberapa hari sebelum terjadi revolusi sosial, dua orang pemuda dari laskar
mendatangi istana Langkat untuk bertemu dengan Sultan Mahmud. Dalam pembicaraan itu,
mereka meminta agar sultan memasang bendera merah putih di halaman istana. Akan tetapi
Datuk Jamil yang pro Belanda segera menolaknya dengan berbagai alasan. Sultan pun yang
selalu dibayang-bayangi pengaruh Datuk Jamil merasa tidak bisa berbuat apa-apa.96
95
Wawancara, S.P. Dewi Murni dengan Rokyoto, Binjai, 12 Juni 1983.
96
Tengku Mochtar mengatakan bahwa ia sangat kecewa kepada abangnya (Tengku Mahmud) karena terlalu mempercayai Datuk Jamil sebagai penasihatnya yang sudah jelas merupakan boneka Belanda.Wawancara, Tengku Luckman Sinar dengan Tengku Mochtar Azis, Medan, 22 Juli 1983.
menjadi penanda dimulainya revolusi sosial di Langkat yang ditujukan untuk menyingkirkan
golongan bangsawan.
3.2 Jalan Peristiwa Revolusi Sosial
Pada tanggal 2 Maret 1946, rombongan dr. Amir telah tiba di Medan dan suasana di
Medan ketika itu benar-benar tegang. Dr. Amir yang berusaha membujuk para kelompok
radikal itu tidak mampu menghentikan langkah mereka untuk melakukan revolusi sosial
terhadap para bangsawan. Orang-orang di belakang layar ternyata sejak lama telah
merencanakan revolusi sosial dengan rapi. Mereka adalah orang-orang yang tergabung dalam
Markas Agung PKI yang dipimpin oleh Sarwono Sastrosutardjo.97
Pada tanggal 2 Maret malam, Rokyoto sedang berada di markas istimewa Pesindo di
Binjai. Pada tengah malam itu beliau mendapat telepon dari Residen Sumatera Timur, Mr.
Luat Siregar, untuk berbicara dengan Tengku Achmad Chairy (ketua Pesindo Binjai). Dalam
perbincangan itu, Mr. Luar Siregar memerintahkan bahwa mulai besok pada tanggal 3 Maret
1946 wilayah istimewa Kesultanan Langkat dihapuskan. Tangkap para bangsawan dan cegah
pertumpahan darah. Achmad Chairy segera memberikan komando kepada Laskar Pesindo
untuk bersiap. Beliau memberi komando untuk menangkap seluruh golongan bangsawan
yang memiliki jabatan dan orang-orang yang pro Belanda.
Politik saling curiga
mencurigai pada masa itu adalah hal biasa di Sumatera Timur.
98
97
Tengku Lah Husny, Revolusi Sosial di Sumatera Utara/Tapanuli Disertai Pangkal dan Akibatnya. Medan : Badan Penerbit Husny. 1983, hlm. 46.
98
Pada tanggal 3 Maret 1946 mulailah diberlakukan revolusi sosial di Sumatera Timur.
Pertama-tama revolusi sosial berlangsung di Sungga l. Di Binjai, Volksfront memaksa agar
pemerintah wilayah Binjai diserahkan kepada mereka. Pada tanggal 4 Maret Datuk Jamil
yang mendengar aksi penangkapan dan pembunuhan itu, segera meminta bantuan kepada
sekutu dan Pesindo Koloni V99 untuk memberikan perlindungan dan menjaga istana di
Binjai. Setelah situasi dinilai aman, mereka pindah ke Istana Darul Aman Tanjung Pura yang
dijaga oleh TKR. Pesindo yang telah mengetahui hal itu segera melakukan penyerbuan ke
istana di Langkat.100
Pada tanggal 4 Maret jam 23.00 WIB, Tengku Saidi Husny sebagai Wakil Asisten
Residen di Tanjung Pura mendapat telepon dari Abu Samah (ketua PKI Langkat) yang
mengatakan bahwa besok tanggal 5 Maret 1946 revolusi sosial di Langkat akan
dilaksanakan. Mendapat berita yang mengejutkan itu, ia langsung menghubungi Tengku
Amir Hamzah yang menjabat sebagai Asisten Residen RI di Langkat untuk mengkonfirmasi
berita tersebut. Dalam pembicaraan itu, Tengku Amir Hamzah hanya berpesan jangan
sampai terjadi pertumpahan darah. Keesokan harinya Joenoes Nasution menghadiri rapat di
Binjai dan memerintahkan penghapusan sistem kesultanan pada pukul 05.00 sore tanpa
kejelasan pasti tentang pengganti kekuasaannya.101
99
Pesindo Koloni V merupakan Laskar Pesindo pimpinan Dr. Nainggolan yang bertujuan untuk mempertahankan kerajaan. Anggota laskar ini terdiri dari orang Batak antara lain, Raja Ngena Karo-Karo, Raja Ismail Maklan, Philips Simanjuntak, dan L.Lumbantobing.
100
Tuanku Luckman Sinar,Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur,Tanpa Kota Terbit : Tanpa Penerbit, Tanpa Tahun Terbit, hlm. 493. Mengenai jalannya peristiwa revolusi sosial di Sumatera Timur, lihat lampiran V dan VI.
101
Reid, op.cit., hlm. 380.
sebagai Asisten Residen Langkat dan keduduka n bangsawan lain di pemerintahan telah
dicopot dan diganti oleh para tokoh radikal.102
Kemudian pada tanggal 7 Maret dini hari, Tengku Amir Hamzah ditangkap di Istana
Binjai dan dibawa ke Kebun Lada, kemudian diasingkan di Kuala Begumit. Sebelum beliau
ditangkap, bangsawan dan datuk-datuk lainnya di Binjai telah ditangkap. Tengku Amir
Hamzah ditangkap dengan tuduhan sebagai kaki tangan Belanda. Pada malam itu, ada 18
orang yang ditangkap. Selain Tengku Amir Hamzah dan para bangsawan, terdapat
orang-orang Batak yang tergabung dalam Pesindo Koloni V. Mereka ditangkap karena jelas-jelas
pro terhadap Belanda, seperti Raja Ngena Karo-Karo (mantri polisi RI di Binjai), Raja Ismail
Maklan (komisi kantor bupati), dan Philips Simanjuntak (kantor pos Binjai), dan
L.Lumbantobing (pegawai kantor kota).103
Melihat tidak ada reaksi dari sultan mengenai berita di Binjai, pada tanggal 7 Maret,
Volksfront mengutus Marwan cs dan Usman Parinduri dari Pesindo, sementara di pihak
kesultanan diwakilkan oleh Tengku Mochtar dan Tengku Jafar. Dalam pertemuan itu, tokoh
Pesindo itu memerintahkan sultan untuk menyerahkan kekuasaan pemerintahan agar tidak
terjadi pertumpahan darah. Mereka mengatakan percuma saja para bangsawan
mempertahankan pemerintahan karena rakyat pun sudah tidak senang terhadap kesultanan.
Akhirnya sultan mengalah dan memerintahkan agar polisi Istana Langkat yang menjaga
102
Jabatan Tengku Hafas sebagai Residen Sumatera Timur digantikan oleh Joenoes Nasution, sedangkan jabatan Tengku Amir Hamzah sebagai asisten residen Langkat digantikan oleh Adnan Nur Lubis. Husny, op.cit., hlm. 48.
103
istana untuk mundur. Sementara itu, Datuk Jamil telah mati ditembak ketika melarikan diri
dari tahanan rumah mantan Residen Tengku Hafas di Medan, di dalam perjalanan ke
Tanjung Pura.104
Setelah istana dapat dikendalikan, pada tanggal 7 Maret tepat pukul 12.00 malam,
barisan Pesindo yang dipimpin Marwan cs dan Usman Parinduri menyerbu istana Langkat.
Ketika itu, opas yang bekerja sedang memukul lonceng rubuh terkena tembakan.
Lampu-lampu mati seketika dan membuat suasana semakin mencekam. Kemudian para laskar masuk
ke dalam istana dan menangkap para bangsawan. Tengku Harison yang sempat ingin
melarikan diri ditangkap dan disiksa. Ketika itu, istana Langkat dihuni oleh 200 kepala
keluarga yang merupakan kerabat Sultan Langkat. Mereka yang bermaksud menghindari
lubang ular, malah masuk ke lubang buaya.105
Menurut Oka Rulam, yang memperoleh cerita dari temannya Dollah (Abdullah)
anggota Laskar Pesindo yang ikut dalam eksekusi tersebut, bahwa sewaktu istana Langkat
diserbu oleh Pesindo, sultan dan keluarga serta bangsawan lainnya tidak ada yang melawan.
Akan tetapi adiknya Sultan Mahmud yang bernama Tengku Harun berusaha melarikan diri,
akhirnya ditembak hingga meninggal.106
Di luar istana, suara tembakan itu terdengar oleh rakyat. Menurut Fachrudin Ray,
ketika terjadi revolusi sosial, ia mendengar tembakan dari istana karena rumahnya berada di
104
Ibid., hlm. 495.
105
Ibid., hlm. 496.
106
belakang Mesjid Azizi yang tidak jauh dari istana. Ia melihat dari jendela banyak kelompok
pemuda hilir mudik di istana. Beliau dan keluarga serta rakyat sekitar merasa ketakutan,
namun setelah mengetahui bahwa penyerbuan itu ditujukan untuk menangkap golongan
bangsawan, mereka tidak terlalu cemas. Rakyat sekitar tidak mampu berbuat apa-apa untuk
menolong para bangsawan itu.107
“Marwan cs yang merupakan penggerak/promotor revolusi sosial di Tanjung Pura. Semua golongan partai seperti PKI, PNI, dan organisasi agama serta masyarakat umum yang ingin merdeka juga melakukan revolusi sosial. Jadi, yang melakukan revolusi sosial tidak hanya PKI.”
Perlu diketahui, bahwa orang yang melakukan revolusi sosial tidak hanya barisan
Pesindo yang disokong Volksfront, tetapi juga banyak partai-partai lainnya seperti PNI dan
partai beraliran agama seperti Hizbullah dan Sabilillah ikut terlibat. Pendapat itu dibenarkan
oleh Abdul Kahar Abdullah, seorang anggota Pesindo cabang Medan.
108
Menurut Tengku Mochtar Azis, Marwan cs dan Usman Parinduri adalah orang yang
tidak asing baginya. Ia bercerita bahwa Marwan merupakan pemuda Tanjung Pura. Ketika
masih bersekolah di Makhtab Mahmudiyah, ia pernah kesal kepada Tengku Temenggung
karena disuruh mencari hama sehingga kini ia ingin balas dendam. Mengenai Usman
Parinduri, ia pernah ditangkap oleh Jepang dan Tengku Mochtar Azis yang
107
Wawancara, dengan Fachrudin Ray, Stabat, 12 Februari 2014.
108
membebaskannya.109 Ia merupakan bekas anggota Kenkokutai dan pemimpin PKI di
Langkat.110
Menjelang subuh, sultan dan keluarga serta para bangsawan dibawa ke Sawit
Seberang dan ditahan di sebuah rumah perkebunan di Sawit Seberang. Regu pertama yang
terdiri dari Datuk Jamil, Oka. Ibrahim, dan Tengku Siddik dibawa ke Sungai Sawit Seberang
dan satu persatu kepala mereka dipenggal. Dalam peristiwa itu, kedua putri sultan juga turut
diperkosa oleh Marwan cs dan Usman Parinduri. Hal yang sama juga terjadi kepada
bangsawan lain di Binjai. Tengku Amir Hamzah dan Pesindo Koloni V juga dibunuh pada
tanggal 20 Maret 1946.111
Menurut Rokyoto, Tengku Amir Hamzah adalah orang yang baik. Rakyat sendiri
tidak memandang pemerintahan yang diemban beliau sebagai pemerintahan yang kejam. Ia
tetap orang yang bersahaja, meskipun pada saat pemerintahan Jepang, beliau hanya menjadi
pejabat di bagian ekonomi kerajaan yang bertugas mengurusi upeti rakyat bagi pemenuhan
kebutuhan logistik militer Jepang. Sungguh ini suatu pekerjaan yang sangat menyakiti
hatinya. Akan tetapi beliau tidak melawan terutama kepada Sultan Mahmud yang merupakan
paman sekaligus mertuanya. Bagi adat yang berlaku di istana “titah dijunjung, titah
disembah” masih dipegang teguh oleh para bangsawan. Meskipun itu salah tetapi jika
perintah sultan maka wajib dilaksanakan. Sikap Tengku Amir Hamzah inilah yang kemudian
109
Wawancara, Tengku Luckman Sinar dengan Tengku Mochtar Azis, Medan, 22 Juli 1983.
110
Reid, op.cit., hlm. 368.
111
membuat partai politik menuduhnya sebagai kaki tangan Belanda. Mereka dibunuh atas
perintah Sulaiman Saleh yang memiliki pengaruh di Pesindo.112
Suasana yang tidak menentu membuat nafsu untuk membunuh semakin membara.
Revolusi sosial yang ditujukan untuk menghapuskan kekuasaan otokrasi Kesultanan Langkat
menjadi peristiwa berdarah yang mengerikan. Rokyoto menambahkan, meskipun Tengku
Achmad Chairy dan Tengku Kamil Hasyim sebagai pemimpin Pesindo di Binjai, namun
mereka tidak mengetahui akan ada peristiwa berdarah. Mereka yang mendapat perintah dari
markas Pesindo pusat untuk melakukan evakuasi tanpa pertumpahan darah segera
mengomando pasukannya, namun apa yang terjadi di lapangan mereka tidak mampu
membendungnya.113
Dalam peristiwa revolusi sosial di Langkat orang-orang yang dibunuh diperkirakan
sebanyak 200 orang, dan lebih kurang sekitar 34 orang adalah keluarga Sultan Langkat
termasuk para pembesar istana.114 Di samping itu juga terdapat pegawai perkebunan dan
pejabat istana yang ditangkap kemudian dibebaskan, seperti Datuk Mahidin, Datuk Ahmad
Setia Berjasa, H. Oka Salamudin, Haris Lubis dan Jabal Nasution. Dalam peristiwa revolusi
sosial, rakyat Melayu biasa yang memiliki hubungan dengan sultan juga ditangkap, seperti
keluarga Darus115
112
Wawancara, SP Dewi Murni dengan Rokyoto, Binjai, 12 Juni 1983.
113
Ibid.
114
Lihat lampiran VII.
dan Umri yang menjadi korban revolusi sosial.
115
Perlu diketahui bahwa tidak semua bangsawan Melayu ditangkap dalam peristiwa
revolusi sosial. Jadi, walaupun ia memiliki kedudukan tetapi tidak terbukti adanya hubungan
sebagai kaki tangan Belanda, maka ia tidak ditangkap. Hal ini yang dibenarkan oleh Tengku
Muhammad Nasir yang dipaparkannya sebagai berikut:
“Ayah atok sejak tahun 1927 hingga tahun 1967 jadi penghulu (kepala desa) di Stabat Lama. Tapi waktu terjadi revolusi sosial ayah atok tidak ditangkap. Kami tenang-tenang saja di rumah.”116
Selain pembunuhan dan pemerkosaan, harta-harta sultan dan bangsawan lain yang
tidak sempat diselamatkan dijarah oleh para laskar rakyat yang kemudian diserahkan kepada
republik,117 dan banyak diantara mereka yang merampok untuk kepentingan pribadi.
Menurut Rokyoto, situasi yang tidak dapat dikontrol membuat sesama anggota laskar rakyat
saling bertengkar untuk memperebutkan harta, sedangkan yang dekat dengan pimpinan akan
mendapat bagian lebih banyak dari harta sultan dan bangsawan Langkat tersebut.118
Setelah mendengar berita penangkapan sultan, sekutu Belanda segera menyampaikan
pernyataan kepada dr. Amir dan memerintahkan tentara Jepang di Tanjung Beringin bergerak
mencari dan menyelamatkan Sultan Langkat. Dr. Amir sendiri berusaha sekuat tenaga untuk
tidak diketahui dimana jasadnya.Rohani Darus Danil, Mendobrak Tradisi : Otobiografi. Medan : Consortium for Policy Review and Advocacy (COPRA). 2000, hlm. 13.
116
Wawancara, dengan Tengku Muhammad Nasir, Stabat, 16 April 2014.
117
Harta-harta sultan Langkat yang dijarah seperti emas, berlian, barang-barang perak, mobil mewah,perabotan rumah, uang, dan sebagainya.
118
menyelamatkan Sultan Langkat yang telah banyak berjasa kepadanya.119Kepada pihak
Volksfront Langkat, Jepang menyampaikan ultimatum agar menyelamatkan sultan tanpa
cedera sedikitpun. Mendengar info dari kurir-kurirnya di kota, Marwan cs cemas dan tiga
hari kemudian segera memindahkan rombongan sultan ke Perkebunan Namu Unggas.120
Di sana rombongan diserahkan kepada laskar-laskar pimpinan Ismail Daud,
sedangkan Marwan cs melarikan diri. Dua minggu kemudian rombongan sultan dipindahkan
lagi ke Batang Serangan dan kemudian dipindahkan lagi ke Tanjung Selamat untuk
menghilangkan jejak. Di Tanjung Selamat, rombongan sultan dipecah dua, sebagian
dikembalikan lagi ke Sawit Seberang dan sultan sendiri dengan dua istri dan anaknya yang
paling kecil langsung dibawa ke Berastagi. Kemudian pada tanggal 26 Maret 1946
rombongan tawanan laki-laki dari Sawit Seberang dibawa menuju Sunggal dan kemudian
dibawa ke Kampung Merdeka (Berastagi).121
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, selain perlakuan keji terhadap bangsawan,
juga terjadi pemerkosaan terhadap kedua putri sultan. Akan tetapi berita pemerkosaan itu
tersebar luas setelah beberapa bulan peristiwa itu terjadi sehingga muncul protes keras dari
organisasi-organisasi Islam. Kejadian-kejadian di Langkat itu membuat rakyat ragu terhadap
revolusi sosial yang dianggap telah melenceng jauh. Marwan cs dan Usman Parinduri yang
jelas bersalah ditangkap dan dihukum mati oleh organisasi pemuda Islam dari Laskar
119
Selama Sultan Mahmud ditahan, dr. Amir berusaha mencari tahu keberadaan Sultan Mahmud dan keluarganyaserta meminta kepada Sarwono cs agar hanya nyawa sultan diselamatkan, sedangkan bangsawan lain terserah saja. Lihat, Sinar, op.cit.,hlm. 498.
120
Ibid., hlm. 497.
121
Hizbullah (Masyumi), sedangkan orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan para sultan
menurut pemuka agama, perlu disyahadatkan kembali.
Selain itu, protes juga dilakukan oleh kerabat Sultan Langkat, salah satunya adalah
Tengku Abdullah Hod (abang Tengku Amir Hamzah)yang berada di Amsterdam. Di dalam
surat yang ditujukan kepada Menteri Luar Negeri Hindia Belanda di Gravenhage, beliau
mengecam segala tindakan pembunuhan, pemerkosaan, dan penjarahan yang dilakukan oleh
orang-orang yang mengaku dirinya laskar rakyat sehingga mencoreng adat istiadat
Melayu.122 Dalam surat balasannya yang ditulis oleh Sekretaris Gubernur Jenderal, w.g.
J.M.Kiveron mewakili Menteri Luar Negeri Hindia Belanda, disebutkan bahwa mereka turut
bersimpati apa yang dialami oleh golongan bangsawan dan akan memberikan bantuan serta
berkontribusi untuk pemulihan kedamaian di Sumatera Timur di bawah kedaulatan Belanda
atas Indonesia.123
Munculnya protes itu membuat ketegangan para pemimpin itu. Dr Amir yang
posisinya sudah tersudutkan mulai melakukan tindakan untuk mereorganisasi dewan
pemerintah untuk mengadili para bangsawan itu. Posisi Joenoes Nasution124
Joenoes Nasution merupakan salah satu tokoh PKI penting di Sumatera Timur. Ia pernah menjabat sebagai ketua PKI Sumatera Timurdan membentuk Badan Pusat Perekonomian Rakyat atau BAPPER pada Desember 1945 (kemudian menjadi ERRI). Ia juga menjadi salah aktor penggerak revolusi sosial 1946 dan pernah menjabat sebagai Residen Sumatera Timur pada Maret tahun 1946.
yang tergeser
dari kedudukannya membuat ia melakukan ancaman terhadap dr. Amir di rumahnya. Setelah
ini semakin meningkat. Untuk menghindari kudeta terhadapnya, T.M. Hasan mengambil
kebijakan untuk pergi ke Pematang Siantar pada tanggal 24 Maret 1946. Hal ini juga dengan
maksud untuk memindahkan pusat pemerintahan Sumatera Timur ke kota tersebut karena
dinilai cukup aman dari ancaman sekutu/NICA yang akan datang kembali untuk menduduki
Sumatera Timur.125Situasi dan tekanan-tekanan yang semakin menyudutkannya, akhirnya dr.
Amir segera mengambil tindakan melarikan diri ke kamp RAPWI (Inggris) di Medan pada
tanggal 25 April 1946.126
Dari Binjai, suami saya dipindahkan ke penjara di Brastagi selama 3 bulan, kemudian dipindahkan ke Tahanan Rakyat di Raya selama 1 tahun. Saya sempat melihat suami dan Tengku Sulong disana. Setelah dibebaskan suami saya pernah bercerita bagaimana kehidupan di penjara. Di sana mereka tinggal 5 orang dalam 1 kamar dan makan dalam 1 talam. Nasinya seperti makanan ayam karena bercampur kerikil dan ikan busuk. Suami saya sering tidak makan tetapi anaknya sangat lahap makan.”
Pengalaman masa-masa sulit dan kejamnya revolusi sosial juga dirasakan oleh
bangsawan Melayu Langkat lainnya. Hal ini diutarakan oleh Jalilah Yahya, seperti berikut :
“Ketika itu selepas maghrib rumah kami didatangi oleh orang yang tidak dikenal. Ternyata rumah kami telah dikepung oleh 12 orang pemuda Laskar Pesindo. Tujuan mereka adalah untuk membawa Tengku Muhammad Khalid (Kejuruan Stabat). Merasa tidak bersalah suami saya mengikuti perintah mereka dan digiring ke dalam truk. Sebelum pergi, ia berpesan kepada saya untuk menyampaikan kepada keluarga di rumah besar jika ia dibawa oleh kelompok pemuda. Anak tertuanya, Tengku Sulong juga ikut ditangkap oleh Pesindo dan dikumpulkan di Pekan (Pajak Stabat sekarang). Disana telah ramai para bangsawan telah dikumpulkan. Dari Pekan Stabat, mereka dibawa ke markas Pesindo di Binjai (sekolah Binjai 3 sekarang).
125
Reid, op.cit., hlm. 386; Lihat juga Lampiran X.
126
Selama suaminya di penjara, kehidupan keluarganya susah. Jalilah berusaha
menghidupi dirinya dan anaknya yang masih berumur 3 bulan. Akan tetapi karena kesulitan
ekonomi dan tidak bisa bekerja karena sekolah telah ditutup, akhirnya ia memutuskan untuk
pergi mengungsi ke rumah ibunya Besilam. Untuk pergi ke Besilam, ia berjalan kaki sambil
menggendong anaknya dan baru tiba disana menjelang maghrib.127
Pemuda : “Untuk menyatukan diri dengan Pemerintahan Republik Indonesia”
Hal serupa juga dituturkan oleh Tengku Sulong Chalizar, anak Tengku Muhammad
Chalid, Kejuruan Stabat. Tengku Sulong bercerita bahwa pada malam itu rumahnya (rumah
besar) didatangi oleh dua pemuda yang kemudian diketahui sebagai anggota Laskar Pesindo.
Beliau memperagakan seperti di bawah ini:
Pemuda : “Assalamualaikum. Selamat malam”
Tengku Sulong : “Waalaikumsalam. Silahkan duduk. Ada apa?”
Pemuda : “Saya diutus untuk menyiapkan tengku untuk membawa tengku ke markas”
Tengku Sulong : “Untuk apa?”
128
Merasa tidak bersalah, tanpa ragu-ragu, beliau ikut dengan kedua pemuda tersebut.
Setelah beliau turun dari tangga beliau melihat di sekeliling rumahnya telah dikepung oleh
Pesindo yang lengkap membawa senjata tajam. Dari rumahnya, beliau dikumpulkan ke
127
Wawancara, dengan Jalilah Yahya, Stabat, 22 Mei 2014.
128
Pekan Stabat dan dibawa ke Tanjung Kasau. Setelah itu, beliau dibawa ke markas Pesindo di
sekolah Biskop (sekarang SMP 3) Binjai. Di markas itu sudah terdapat para tawanan yang
terdiri dari pembesar-pembesar Stabat termasuk ayahnya Kejuruan Stabat.129
Di markas Pesindo Binjai, beliau bertemu dengan Ketua Pesindo Stabat, Abdul
Hamid yang merupakan teman baik Tengku Sulong. Ketika melihat Tengku Sulong ditawan
Abdul Hamid menangis karena tahu akan terjadi sesuatu dengan temannya. Suatu hari,
Tengku Sulong dipanggil keluar dari tahanan untuk menemui salah satu anggota Pesindo.
Anggota Pesindo itu menanyakan keterlibatan Tengku Sulong di dalam Harib (Harimau
Bampu). Harib merupakan perkumpulan pasukan inti dari Sabilillah. Pesindo menangkap
Tengku Sulong dengan alasan bahwa beliau pro Belanda karena b dari kata Harib
dimaksudkan sebagai Belanda. Beliau melawan sehingga beliau dimaki-maki dengan kasar
oleh anggota Pesindo tersebut.130
Selama berada di markas Pesindo di Binjai, meskipun sering dimaki, golongan
bangsawan masih diperlakukan dengan baik. Seminggu ditawan di Biskop Binjai, kemudian
mereka dibawa ke Kebun Lada. Disana mereka tinggal di dalam kamar-kamar yang sempit
dan gelap. Setiap kamar diisi oleh 3 orang, dan disinilah penderitaan mereka jelas nyata.
Tengku Sulong bercerita selama disana mereka makan 3 kali sehari tetapi tidak diberi air
minum. Mereka makan nasi bungkus dan nasinya dibungkus dengan rapi. Sesampainya di
depan pintu, mereka ditanya mau makan atau tidak. Jika mau, nasi yang dibungkus tadi
129
Ibid.
130
dilempar ke lantai yang kotor. Lauknya pun menggunakan ikan busuk. Jadi bercampurlah
nasi itu dengan pasir dan kerikil. Begitulah makanan sehari-hari yang mereka makan selama
di dalam tahanan. Selain itu, mereka juga kerap mendapat pukulan fisik.131
Setelah 5 hari berada disana, kemudian mereka dipindahkan ke Kuala Begumit.
Disana beliau bertemu dengan golongan bangsawan dan orang penting kerajaan yang
ditangkap seperti Wan Syaifuddin. Di Kuala Begumit mereka ditahan selama 2 minggu.
Mereka yang ditahan ada 15 orang dan semuanya adalah bangsawan Melayu. Beliau
bercerita bahwa tiap malam ada yang dibebaskan atau dibunuh. Orang yang membunuh
mereka adalah mandor-mandor perkebunan yang dulunya akrab dengan mereka, seperti
mandor Yang Wijaya adalah orang yang membunuh Tengku Amir Hamzah. Yang Wijaya
dulunya adalah ayah angkat Tengku Amir Hamzah dan pernah bekerja sebagai guru silat di
istana Langkat. Pada siang hari, penjaga yang selalu mengantar nasi membocorkan
siapa-siapa saja yang masuk daftar untuk dibunuh nanti malam.132
Oleh karena merasa tindakan Pesindo sudah tidak manusiawi, maka para tawanan itu
sepakat untuk melawan dengan menggunakan alat-alat sederhana yang mereka dapatkan di
dalam kamar tahanan itu. Ketika itu, Tengku Sulong tidak merasa takut. Akan tetapi niat itu
diurungkan karena ayahnya melarangnya. Ayahnya berpesan jika memang mereka harus
meninggal sekarang itu karena takdir mereka sudah ditentukan oleh Allah SWT.133
131
Ibid.
132
Ibid.
133
Malam yang dinantikan datang. Setelah adzan Isya berkumandang, angin bertiup
sangat kencang. Mereka menunggu sampai dipanggil, ternyata hingga keesokan paginya
mereka belum dipanggil sehingga mereka masih selamat.Akan tetapi tidak dipanggil malam
itu bukan akhir dari penderitaan mereka. Keesokan malamnya, sekitar pukul 10 malam
pasukan Volksfront datang. Pimpinan mereka memerintahkan untuk membawa Tengku
Sulong ke Binjai untuk diinterogasi dan kemudian dibawa kembali ke Kuala Begumit.134
Setelah 2 minggu, Volksfront memerintahkan para tawanan untuk dibawa ke tahanan
di Kampung Merdeka, Berastagi. Ketika dibawa ke Berastagi, mereka diangkut
menggunakan truk dan di dalam truk itu telah banyak para tawanan lainnya. Sebelum naik
truk, Tengku Sulong sempat dinasehati oleh anggota Volksfront yang masih memiliki hati
nurani supaya jangan duduk di tepi. Akhirnya ia dan ayahnya naik truk dan memilih duduk di
tengah. Truk berhenti di tengah jalan untuk mengangkut tahanan orang Karo dan anggota
Pesindo yang pro Belanda, truk mereka dihadang oleh para anggota laskar. Sambil memaki,
mereka mengancam akan membunuh. Kemudian datanglah segerombolan pemuda Laskar
Pesindo dengan menggunakan motor. Di saat itu mereka dimaki-maki dan seketika itu juga
mereka disiksa dengan menggunakan pisau sehingga para tawanan yang duduk di tepi truk
mengalami luka. Ternyata itulah sebab mengapa pemuda itu berpesan agar mereka jangan
duduk di tepi.135
134
Ibid.
135
Setelah sampai di Markas Pesindo di Kampung Merdeka, mereka diminta untuk turun
satu persatu. Mereka dijaga oleh gabungan Laskar Pesindo dan TKR. Disana beliau bertemu
dengan Suhut, Ketua Pesindo di Berastagi. Beliau pernah sebelumnya bertemu dengan Suhut
ketika pergi menemui Tengku Ja’far di Berastagi sebelum revolusi sosial terjadi.136
Setelah turun, dengan leher terikat satu dengan yang lain oleh rantai, mereka
dikumpulkan. Suhut memanggil nama Tengku Sulong. Ketika maju, beliau ditanyakan
kembali mengapa beliau mendirikan Harib dan mengapa namanya Harib. Beliau menjawab
Harib didirikan sebagai basis utama Laskar Sabilillah. Jika namanya Hariw maka nanti dikira
orang Harimau Ratu Wilhelmina. Oleh karena jawaban Tengku Sulong dianggap melawan,
Suhut mengambil balok dan memukul kepala Tengku Sulong dengan keras sehingga
kepalanya mengeluarkan darah dan beliau jatuh tersungkur.137
Setelah kejadian itu, mereka disuruh masuk ke kamar. Para bangsawan tidur tanpa
menggunakan alas dan baju. Keesokan paginya, setelah sadar Tengku Sulong bangun dan
mengintip dari celah dinding bahwa yang berada di tahanan adalah bangsawan dan orang
Melayu dari Langkat, Serdang, dan sebagainya.138
Paginya, mereka disuruh duduk berbaris. Untuk mengambil makan, mereka harus
berkelompok. Setiap kelompok terdiri dari 5 orang. Mereka makan menggunakan talam dan
tidak boleh berbagi. Untuk makan, yang memasak makanan adalah para golongan
136
Ibid.
137
Ibid.
138
bangsawan yang menjadi tawanan. Mereka masak di ruangan besar. Tidak jarang mereka
makan kerak nasi bercampur tanah dan kerikil.139
Tengku Sulong bercerita bahwa pernah suatu malam pintu kamar tahanan diketuk dan
Tengku Sulong disuruh keluar. Tengku Sulong diminta membuka semua pakaiannya dan
kemudian diperintahkan tidur tanpa sehelai benangpun. Jika ingin membuang air kecil atau
air besar, maka mereka harus buang di kamar itu juga. Salah seorang sekamarnya yang ingin
membuang air besar, karena tidak tahan, ia mengetuk pintu untuk meminta penjaga supaya
membiarkannya keluar untuk buang air besar. Akan tetapi penjaga itu tidak mengizinkan dan
menyuruhnya buang air besar di kamar. Akhirnya, ia buang air besar di dalam kamar tersebut
menggunakan alas pecinya. Najis-najis bersatu dengan tempat mereka tidur. Selama disana
mereka memang selalu buang air besar di dalam kamar menggunakan baju atau alas-alas
lainnya. Barulah setelah itu mereka diizinkan untuk membuangnya keluar.140
Menurutnya selama berada di penjara mereka mengalami kesulitan air, sehingga
untuk mandi seminggu sekali dapat dikatakan sangat jarang. Pada suatu malam, ketika hujan
lebat turun, mereka disuruh keluar. Mereka disuruh membuka semua pakaian mereka dan
mandi hujan. Menurutnya hal itu sungguh memalukan dan tidak berperikemanusiaan.141
Para tahanan diperiksa satu persatu oleh jaksa yang bekerja dibawah Volksfront.
Tengku Sulong yang sedang diinterogasi sempat melihat laporan dari pimpinan PKI di Stabat
139
Ibid.
140
Ibid.
141
bernama Iswaidi. Di dalam laporan tersebut disebutkan bahwa Tengku Sulong harus
disingkirkan. Meskipun tidak ada bukti, mereka tetap dianggap bersalah.142
Setelah diperiksa oleh jaksa, para tawanan dibawa ke tahanan di Raya. Di Raya
mereka sudah sepenuhnya dijaga dan diawasi oleh TKR dan Laskar Barisan Harimau Liar.
Selama berada di Raya beliau diperbolehkan untuk dijenguk oleh sanak keluarga. Di dalam
tahanan itu, sering juga ada tawanan yang dipindahkan, seperti Sultan Langkat dan
bangsawan lain, dipindahkan ke Perkebunan Bah Birung Ulu dan ada sebagian lain ke Kuta
Cane.143 Mengingat Sultan Langkat yang menderita sakit parah, ia dititipka n di rumah
seorang saudagar Pakistan di Wilhelmina Straat (sekarang jalan Sutomo) Pematang Siantar.
Sultan Langkat sering memperlihatkan dirinya di jendela loteng sehingga orang mudah
melihatnya.144
Pengalaman ditangkap ketika terjadi revolusi sosial juga dirasakan oleh Tengku
Mochtar Azis, adik Sultan Langkat. Ketika terjadi revolusi sosial, Tengku Mochtar Azis
sedang berada di Tanjung Beringin. Kemudian beliau ditangkap di rumahnya dengan alasan
akan diperiksa sebentar di markas Pesindo dan kemudian diangkut menggunakan truk ke
Binjai. Selama ditahan, ia mendengar cerita dari orang teman satu kamarnya yang dikenalnya
di istana yang bernama Yusuf (sebelum dibunuh) bahwa Tengku Amir Hamzah telah
meninggal dipancung karena dituduh pro Belanda.
142
Ibid.
143
Ibid.
144
Pada hari itu juga (tanggal 20 Maret 1946) mereka dibawa ke Gundaling, Berastagi.
Selama berada di tempat itu mereka mendapat perlakuan kejam dan tidak manusiawi oleh
pemuda laskar. Mereka tinggal di kamar yang berisi 5 orang. Setelah 12 hari disana, mereka
dipindahkan ke Kampung Merdeka, Berastagi. Makanan yang disuguhkan kepada mereka
persis seperti makanan untuk hewan dan untuk mandi hanya seminggu sekali. Selama di
tahanan banyak bangsawan yang sakit karena makanan dan lingkungan yang buruk dan
sebagian ada yang dibawa ke rumah sakit. Setelah 100 hari ditahan, kemudian Tengku
Mochtar Azis dan para bangsawan Langkat dipindahkan ke Tahanan Rakyat di Raya.145
Pengalaman serupa juga dialami keluarga Datuk Oka Abdul Hamid dari Lepan.
Ayahnya (Oka Abdullah Debot) pernah bercerita kepadanya, bahwa ketika terjadi revolusi
sosial ayahnya ikut ditangkap, sedangkan kakek dari ayah dan ibunya mengungsi ke Kuala
Simpang dan Banda Aceh dengan berjalan kaki melewati hutan. Memang ketika itu, banyak
penduduk Melayu di Langkat yang merasa takut sehingga memilih mengungsi ke Aceh
karena situasi disana cukup aman. Ayahnya mengatakan selama di tahanan, untuk makan dan
ganti pakaian sekali seminggu sangat susah. Akan tetapi tidak lama ayahnya dibebaskan
kembali.146
145
Wawancara, Tengku Luckman Sinar dengan Tengku Mochtar Azis, Medan, 22 Juli 1983; Lihat juga Pandji Ra’jat, 2 September 1947.
146
Pengalaman pahit masa-masa revolusi sosial juga dialami oleh Tengku Rahil dan
Keluarga Darus.147
147
M. Darus Umar merupakan salah satu pengusaha kaya di Langkat dan pemimpin grup musik Langkat Band yang terkenal pada masa Belanda. Ayahnya, H. Abdullah Umar adalah termasuk kerabat Sultan Langkat. M. Darus Umar memiliki tiga orang istri dan 20 orang anak. Rohani, op.cit., hlm. 4. Untuk mengetahui lebih jelas silsilah keluarga M. Darus Umar, lihat, Susilo. “Pengaruh Revolusi Sosial di Langkat Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Bangsawan Melayu di Kabupaten Langkat”, dalam Skripsi Sarjana Belum Diterbitkan. Medan : Fakultas Ilmu Sosial Unimed. 2008, hlm. 77-79. Untuk mengenal Muhammad Darus Umar, lihat foto lampiran XI.
Kedua keluarga ini harus mengalami kehidupan di dalam pengungsian.
Tengku Rahil bercerita, ketika peristiwa revolusi sosial terjadi, beliau masih berumur 8
tahun. Berselang beberapa hari setelah penangkapan keluarga sultan, malam harinya rumah
mereka didatangi beberapa orang pemuda yang diketahui dari Laskar Pesindo. Menurutnya,
orang yang mendatangi rumahnya (anggota Pesindo) itu merupakan penduduk yang dikenal
baik dalam kehidupan sehari-hari, misalnya pedagang es, dan sebagainya. Mereka sangat
ketakutan. Tujuan mereka mendatangi rumahnya, agar keluarga Tengku Rahil pindah
mengungsi dari rumahnya. Akan tetapi karena orang tuanya tidak terlibat atau tidak memiliki
kedudukan penting di Kesultanan Langkat, orang tuanya tidak ditangkap seperti uwaknya
Tengku Amir Hamzah. Mereka hanya disuruh pindah dari Tanjung pura, sedangkan atoknya,
Tengku Pangeran Jambak, yang dulunya pernah menjabat sebagai Luhak Langkat Hilir tidak
ditangkap karena sudah tua dan sakit-sakitan. Mengingat situasi Langkat yang tidak aman
dan memikirkan keselamatan anak-anaknya, akhirnya orang tuanya memutuskan agar
mereka mengungsi ke rumah sanak keluarganya yang tinggal di Pekubuan yang situasinya
jauh lebih aman. Mereka mengungsi hanya dengan membawa barang-barang seadanya,
Selama berada di tempat pengungsian di Pekubuan, maka untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari keluarga, ayahnya bekerja bercocok tanam di kebun milik mereka
yang berada disana. Tengku Rahil yang masih kecil pun berusaha meringankan beban orang
tuanya dengan tidak nakal dan membantu ibunya menjaga adik. Ketika itu, kondisi orang
tuanya sangat terpuruk, terutama ibunya yang dilanda kesedihan karena banyak sanak
keluarga ibunya yang meninggal akibat kejamnya revolusi sosial. Selama berada di
Pekubuan, aktivitas orang tuanya diawasi dan sekali-kali datang anggota Laskar Pesindo ke
tempat mereka mengungsi. Mereka mengungsi selama 3 bulan lamanya hingga ada berita
dari para anggota laskar bahwa mereka boleh kembali ke rumah. Ketika kembali, kondisi
rumah sudah berantakan. Harta-harta benda yang ditinggal sudah habis dijarah oleh Laskar
Pesindo.148
Mengenai harta-harta benda Sultan Langkat tidaklah jelas keberadaannya. Menurut
Rokyoto, sebagian harta-harta yang diambil oleh Laskar Pesindo kemudian dibawa ke Binjai.
Akan tetapi ketika Pesindo pusat di Medan melakukan pengawasan terhadap Pesindo Binjai,
harta-harta tersebut dibawa mereka ke Medan.149 Menurut Oka Abdul Hamid, harta-harta
yang dibawa ke Medan kemudian dikumpulkan di depan halaman Hotel de Boer.150
148
Wawancara, dengan Tengku Rahil, Tanjung Pura, 28 Mei 2014.
149
Wawancara, SP Dewi Murni dengan Rokyoto, Binjai, 12 Juni 1983.
150
Wawancara, dengan Datuk Oka Abdul Hamid A, Medan, 12 April 2014.
Salah
dikendarai oleh pemimpin PKI, Abdul Xarim MS, di Pematang Siantar, tidak lama setelah
peristiwa revolusi sosial terjadi.151
Menjelang akhir bulan April 1946, harta benda Kesultanan Langkat diambil alih oleh
Komando Divisi-IV dan dibawa ke Pematang Siantar oleh Mayor Mahroezar dan Mayor
Tengku Dhamrah. Harta benda itu akhirnya diserahkan kepada Kapten Adil yang menjadi
Perwira Keuangan Divisi-IV untuk disimpan dalam kas divisi. Akan tetapi dari tujuh belas
peti yang berisi harta sultan, hanya tiga belas peti yang sampai ke tangan Komando
Divisi-IV. Dalam bulan November 1946 dibentuk panitia oleh Dja’far Harahap untuk meregistrasi
dan menilai harta benda yang berada dalam pengamanan tentara. Kemudian dalam bulan
Januari 1947 sebagian harta benda feodal yang disimpan dalam kas Divisi-IV (berganti nama
menjadi Divisi Gajah-II) sekitar sepuluh juta gulden Belanda, diputuskan untuk dilelang di
hadapan umum dan hasilnya dipergunakan untuk membiayai perjuangan kemerdekaan.152
151
Said, op.cit., hlm. 5.
152
Biro Sejarah Prima, op.cit., hlm. 635.
Setelah revolusi sosial mulai mereda, datang kembali tantangan dari adanya Agresi
Militer Belanda I yang dimulai tanggal 21 Juli 1947. Pasukan Sekutu mendarat di Sumatera
Timur. Di sisi lain, perhatian ekstrim Pesindo terhadap golongan bangsawan sudah mulai
berkurang. Kegiatan Laskar Pesindo dan barisan pemuda terfokus di markas Pangkalan
Brandan untuk mempersiapkan perang melawan Belanda. Penjagaan para tahanan
Pergerakan Belanda cukup gesit untuk menguasai Sumatera Timur. Ketika itu
Belanda telah menduduki Stabat dan rumah besar Kejuruan Stabat dijadikan markas
Belanda.153 Oleh karena merasa posisi mereka mulai tersudutkan, pada tanggal 27 Juli 1947
para pemuda dan laskar rakyat bergabung untuk membumihanguskan Kota Tanjung Pura,
termasuk seluruh gedung-gedung pemerintahan dan Istana Kesultanan Langkat agar tidak
diduduki Belanda. Aksi bumi hangus yang dilakukan TNI dan laskar rakyat menimbulkan
efek psikologis terhadap penduduk Sumatera Timur, terutama penduduk Melayu serta
Cina.154
Menurut Rohani Darus, malam tanggal 27 Juli 1947, Kota Tanjung Pura
dibumihanguskan, termasuk seluruh pabrik getah, kilang padi, dan kilang papan milik
ayahnya, Muhammad Darus Umar. Menurut kabar yang beredar, ayahnya diculik oleh
sekelompok anggota PKI/Pesindo karena dituduh mata-mata Belanda.155
Hal serupa juga dibenarkan oleh adik kandung Ani Darus bernama Musa Darus.
Menurut Musa Darus, ketika terjadi Agresi Militer Belanda beliau masih berumur 5 tahun.
Situasi yang menakutkan, sehingga ibunya memutuskan membawa mereka mengungsi naik
kereta api ke Kualasimpang (Aceh). Begitu pula dengan istri dan anak-anak ayahnya yang
lain juga ikut mengungsi ke daerah yang aman.156
153
Wawancara, Tengku Luckman Sinar dengan Tengku Sulong Chalizar, Stabat, 18 Juni 1983.
154
Suprayitno, op.cit., hlm. 83.
155
Rohani,loc.cit.
156
Rohani Darus menggambarkan bagaimana situasi kehidupan mereka selama
mengungsi di Aceh, yaitu sebagai berikut :
“Ketika kereta api yang membawa kami mengungsi tiba di stasiun Kualasimpang, kami tidak tahu bagaimana nasib ayah yang sebenarnya. Tapi karena kondisi yang tidak mengizinkan kami tidak sempat lagi mencek keberadaan ayah. Menurut informasi yang kami terima, ayah termasuk salah seorang yang diculik anggota PKI/Pesindo. Masih menurut berita dari mulut ke mulut, kabarnya ayah sempat ditahan di Kualasimpang lalu dipindahkan ke Langsa. Tapi sampai saat ini, kami tidak dapat mengetahui dimana sebenarnya ayah kami ditawan karena tidak tahu hutan rimbanya. Ketika mengungsi, kami pun tidak bisa membawa barang-barang apapun karena rumah kami ikut terbakar. Jadi yang kami bawa hanyalah baju yang melekat di tubuh kami. Yang penting kami bisa menyelamatkan diri dari serangan tentara Belanda …
Tidak lama kami tinggal di Kualasimpang. Entah apa sebabnya kami harus pindah lagi ke Sungai Raya, Aceh Perlak. Di sini kami tinggal di gudang milik PJKA yang tidak terpakai lagi di dekat stasiun kereta api. Sebagai gudang lama yang tak terpakai lagi, tentu tidak sehat bagi kami yang masih anak-anak. Selain kumuh dan berdebu, gudang itu juga tidak mempunyai jendela sehingga tidak ada udara segar yang masuk. Akibatnya, kami selalu menderita sakit. Hampir seluruh badan kami terkena penyakit kudis atau puru (patek).”157
Menurut Musa Darus, selama di Sungai Raya kehidupan mereka sangat susah. Untuk
makan menggunakan ikan asin sudah sangat mewah. Di sana mereka tidak memiliki sanak
saudara, dan menurutnya penduduk disana tidak ada yang membantu mereka. Untuk
bertahan hidup, mereka berjualan dengan membantu ibunya. Abang dan kakaknya berjualan
teh manis dan telur rebus di stasiun kereta api, sedangkan beliau yang masih kecil hanya
157
membantu membawa barang dagangan. Uang hasil jualan mereka berikan kepada ibunya
untuk keperluan sehari-hari.158
Kami menjajakan dagangan masing-masing di stasiun kereta api ketika kereta api itu berhenti di stasiun itu baik untuk menaikkan atau menurunkan penumpang. Pekerjaan ini kami jalani setiap hari dengan tidak mengenal lelah atau capek. Uang hasil jualan itu, nantinya dikumpulkan untuk membeli keperluan pokok seperti beras dan ikan asin. Ibu juga berkali-kali mengatakan kepada kami, agar selama dalam pengungsian ini hidup dengan hemat dan berusaha mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk modal bila keadaan sudah pulih kembali.”
“ … Abang dan kakak saya memilih berjualan nasi bungkus dan teh manis. Sedangkan saya, sesuai dengan kondisi yang masih kecil memilih berjualan rokok daun nipa dan sirih …
159
Selama Agresi Militer Belanda, Pemerintah Belanda terus mendesak Pemerintahan RI
melalui gubernur Sumatera untuk membebaskan para tawanan revolusi sosial. Akhirnya pada
tanggal 1 Agustus 1947, para tawanan yang terdiri dari para sultan dan raja-raja sibayak dan
bekas pejabat sipil kolonial resmi dibebaskan setelah adanya pernyataan dari Pemerintah RI
bahwa revolusi sosial yang terjadi di Sumatera Timur dianggap tidak sah. Pernyataan ini
menjadi titik berakhirnya revolusi sosial di Sumatera Timur, meskipun kebebasan para
tawanan belum sepenuhnya dirasakan.
158
Wawancara, dengan Musa Darus, Tanjung Pura, 1 Agustus 2014.
159
BAB IV
KAUM BANGSAWAN MELAYU LANGKAT
SETELAH REVOLUSI SOSIAL
4.1 Citra Kaum Bangsawan di Mata Masyarakat
Setelah dinyatakan resmi dibebaskan pada bulan Agustus 1947, para bangsawan
antusias untuk menghirup kembali jiwa merdeka yang selama beberapa waktu direnggut oleh
ketidaksenangan, ketidakadilan, dan situasi yang tidak menentu. Rasa suka cita itu
diungkapkan oleh Tengku Sulong Chalizar, sebagai berikut:
“Setelah mendengar kami semua dibebaskan, subuh hari patik dan ayah patik segera keluar. Sangkin senangnya celana ayah patik sampai koyak tersangkut kawat waktu menerobos keluar. Kami pulang dengan cara masing-masing. Patik dan ayah patik pulang ke Stabat menggunakan motor yang tertinggal di dekat tahanan.”160
“Setelah pulang ke Stabat, suami andong (Tengku Muhammad Chalid) tidak mendapatkan siapa-siapa di rumah. Sejak suami ditahan, madu andong (istri tua) pulang ke rumah orang tuanya di Tanjung Pura, andong pulang ke Besilam. Seminggu lewat, suami andong datang mengendarai mobil dan Akan tetapi kebebasan itu belum sepenuhnya dirasakan oleh sebagian golongan
bangsawan itu karena mereka terkadang masih diintai oleh laskar rakyat dan jika pergi
kemana-mana harus dikawal oleh tentara Belanda. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh
Jalilah Yahya mengenai keadaan suaminya pasca dibebaskan dari tahanan:
160