• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hubungan Timbal Balik Antara Tingkat Inflasi dengan Tingkat Pengangguran di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Hubungan Timbal Balik Antara Tingkat Inflasi dengan Tingkat Pengangguran di Indonesia"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

MEDAN

ANALISIS HUBUNGAN TIMBAL BALIK ANTARA TINGKAT

INFLASI DENGAN TINGKAT PENGANGGURAN

DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Oleh:

NATALIN R. SIREGAR 060501083

EKONOMI PEMBANGUNAN

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

(2)

KATA PENGANTAR

Segala pujian syukur dan hormat hanya bagi Yesus Kristus, Allah yang

menyelamatkan dan senantiasa melimpahkan berkat dalam kehidupan penulis,

bahkan yang senantiasa memberikan kekuatan dan menunjukkan jalan dalam

setiap proses pengerjaan skripsi ini sehingga penulis mampu menyelesaikannya

guna memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan perkuliahan di Departemen

Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul dari skripsi ini adalah: “Analisis Hubungan Timbal Balik

Antara Tingkat Inflasi dengan Tingkat Pengangguran di Indonesia”.

Secara khusus skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orang tua

penulis terkasih Drs. M. Siregar dan E.T. Simanjuntak,BA yang selalu setia

mendukung dan mengajari penulis dalam memaknai kehidupan serta yang selalu

berdoa bagi penulis. Juga buat abang-abang penulis yang terkasih Chandra

Siregar, Darius Siregar yang selalu mengajari dan memotivasi penulis dan adek

Caesar Siregar yang jauh tapi dekat. Terima kasih untuk setiap cinta dan kasih

sayang yang selalu akan ada dan penulis rasakan.

Dalam kesempatan ini, penulis juga tidak lupa untuk mengucapkan banyak

terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menjalani

studi di Fakultas Ekonomi bahkan dalam masa-masa pengerjaan skripsi ini, baik

(3)

1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec, selaku Dekan Fakultas Ekonomi

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec, selaku Ketua Departemen Ekonomi

Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, PhD, selaku Sekretaris departemen

Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dra. T. Diana Bakti, MSi, selaku Dosen Penasehat Akademik.

5. Ibu Dr. Murni Daulay, MSi selaku Dosen Pembimbing penulis yang telah

meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan evaluasi dan saran

dalam pengerjaan skripsi ini.

6. Bapak Drs. Rujiman, MA dan Bapak Drs. HB. Tarmizi, SU selaku Dosen

Pembanding yang memberikan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Seluruh staf pengajar dan staf pegawai Fakultas Ekonomi terutama

Departemen Ekonomi Pembangunan yang telah berbagi ilmu pengetahuan

dan membantu penulis selama penulis menjalani masa perkuliahan.

8. Seluruh staf perpustakaan Biro Pusat Statistik Medan yang telah membantu

penulis dalam pencarian data yang diperlukan dalam pengerjaan skripsi ini.

9. Sahabat-sahabat penulis dalam KK Be Blessed, Derma Purba, Vina

Tambunan, Jeni Purba, Elida Simanjuntak, Siska Silitonga, Kak Gohana, dan

juga Kak Princes. Terima kasih karena selalu ada untuk menemani dan

mendukung penulis dalam setiap hal, suka dan dukaku sehingga kita dapat

(4)

10. Adik-adik penulis yang terkasih dalam KK Glorification, Paulina Hutagalung,

Evri Sihotang, Nova Sihombing dan juga dalam KK Zefanya, Henny

Damanik dan Ema Manurung, terima kasih untuk perhatian, doa dan

semangatnya.

11. Sahabat-sahabat penulis di Wisma Kasih (M’178), terutama Rini, Rotua,

Anike, Rebekka, Inta, Wenny, Rina, dan juga Eva yang telah memberi arti

dari persahabatan. Terima kasih untuk kebersamaan, pengertiannya selama ini

dalam menjalani segala sesuatu, dan dukungan yang selalu diberikan pada

penulis.

12. Teman-teman pelayanan PD/PA FILIPI, Hendro “iban”, Bang Ray, Bang

Freddy, Bang Alex, Bang Hendra, Kak Nita, Kak Magda, Nove dan

teman-teman lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih

untuk doa dan kebersamaannya selama ini yang menolong penulis untuk

bertumbuh dalam pengenalan akan Dia.

13. Teman-teman EP stambuk 2006, Valentina, Christin, Regina, Andreas, Irwin,

Arisandi, Albert, dan teman-teman yang lainnya untuk kebersamaannya

selama ini. Sukses untuk kita semua.

14. Abang dan Kakak stambuk 2004 dan 2005 yang telah lebih dahulu menjadi

alumni yang menjadi inspirasi bagi penulis. Terima kasih untuk

kebersamaannya selama menjalani masa perkuliahan di EP.

15. Christian Youth, terutama Ade, Nusa, Andi dan teman-teman lainnya. Sukses

(5)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu

penulis juga mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi

penyempurnaan skripsi ini.

Akhir kata, kiranya skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang

membaca dan memerlukan.

Medan, Maret 2010

Penulis,

(6)

ABSTRACT

The aim of this research is to analize the relationship between inflation rate and unemployment rate in Indonesia e.i the causality relationship and the long term relationship between that two variables. Data that employed in this research are inflation rate and unemployment rate in Indonesia annually during 1980-2008.

This research used Granger Causality test, tried to investigate the causality relationship between inflation rate and unemployment rate and Cointegration test to investigate the long term relationship between to variables. But before used that two test, employed test of unit roots to investigate that two variables have been stationary.

The unit roots test results that inflation rate data were stationary at level and unemployment rate data were stationary at the first difference. Granger causality test indicated there is an unidirectional causal from unemployment rate to inflation rate in Indonesia. The cointegration test result that it has long term relationship between inflation rate and unemployment rate in Indonesia.

(7)

ABSTRAK

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran di Indonesia yaitu menganalisis hubungan timbal balik dan mengetahui hubungan keseimbangan dalam jangka panjang antara kedua variabel tersebut. Data yang dipergunakan adalah data tahunan tingkat inflasi dan tingkat pengangguran dalam kurun waktu 1980-2008.

Penelitian ini menggunakan alat analisis Uji Kausalitas Granger (Granger

Causality Test) untuk mengetahui hubungan timbal balik antara tingkat inflasi

dengan tingkat pengangguran dan Uji Kointegrasi (Cointegration Test) untuk mengetahui hubungan keseimbangan dalam jangka panjang. Namun, sebelum melakukan kedua uji tersebut, dilakukan uji stasioneritas dengan menggunakan Uji Akar Unit (Unit Root Test) untuk mengetahui apakah data yang dipergunakan sudah stasioner

Dari hasil Uji Akar Unit yang digunakan diperoleh bahwa variabel inflasi telah stasioner pada tingkat level atau I(0), sedangkan variabel tingkat inflasi stasioner pada tingkat first diference atau I(1) masing-masing pada tingkat kepercayaan 1%.. Dari hasi Uji Kausalitas Granger diketahui antara kedua variabel terdapat hubungan satu arah yaitu tingkat penganguran mempengaruhi tingkat inflasi di Indonesia pada tingkat kepercayaan 1%. Hasil Uji Kointegrasi menunjukkan adanya hubungan keseimbangan jangka panjang antara kedua variabel tersebut.

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………. i

ABSTRAK……… ii

DAFTAR ISI……… iii

DAFTAR TABEL……….. iv

DAFTAR GAMBAR………. v

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang………... 1

1.2 Perumusan Masalah………... 7

1.3 Tujuan Penelitian………. 7

1.4 Manfaat Penelitian……… 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Inflasi……… 9

2.1.1 Definisi Inflasi………... 9

2.1.2 Indikator Inflasi………... 10

2.1.3 Teori-Teori Inflasi……… 13

2.1.4 Jenis-Jenis Inflasi………. 18

2.1.5 Dampak Inflasi……… 22

(9)

2.2 Pengangguran………... 28

2.2.1 Definisi Pengangguran……….. 28

2.2.2 Cara Mengukut Tingkat Pengangguran……. 30

2.2.3 Jenis Pengangguran………... 32

2.2.4 Dampak Pengangguran……… 41

2.3 Hubungan Inflasi dengan Pengangguran………….. 44

2.3.1 Kurva Phillips………... 44

2.3.2 Pandangan Mengenai Hubungan Antara Inflasi dengan Pengangguran……… 48

2.4 Penelitian Terdahulu... 52

2.5 Hipotesis Penelitian... 54

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian……… 55

3.2 Jenis dan Sumber Data………. 55

3.3 Teknik Pengumpulan Data………. 56

3.4 Teknik Pengolahan Data………... 56

3.5 Metode Analisis Data………. 56

3.5.1 Uji Akar-Akar Unit... 57

3.5.2 Uji Derajat Integrasi... 58

3.5.3 Uji Kausalitas Granger………. 58

3.5.4 Uji Kointegrasi... 59

(10)

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Negara Indonesia... 62

4.1.1 Kondisi Geografis……… 62

4.1.2 Kondisi Iklim dan Topografi……… 62

4.1.3 Keadaan Demografi………. 63

4.2 Gambaran Umum Perekonomian Indonesia……... 65

4.3 Perkembangan Inflasi di Indonesia………... 75

4.4 Perkembangan Tingkat Pengangguran di Indonesia... 79

4.5 Analisis Data... 82

4.5.1 Uji Akar Unit dan Uji Derajat Kointrgrasi... 83

4.5.2 Uji Causalitas Granger……... 85

4.5.3 Uji Kointegrasi………. 87

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan………. 89

5.2 Saran……….. 90

DAFTAR PUSTAKA

(11)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

2.1 Indeks Harga Konsumen Gabungan 66 Kota di Indonesia,

2004-2008……… 11

2.2 Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB), 2004-2008 ……… 12

4.1 Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia……… 65

4.2 Beberapa Indikator Makroekonomi Sebelum dan Sesudah

Krisis Ekonomi………. 71

4.3 Perkembangan Tingkat Inflasi Indonesia Tahun

1980-2008………. 77

4.4 Perkembangan Pengangguran Terbuka Indonesia…….…… 80

4.5 Pengangguran di Indonesia Berdasarkan Pendidikan

Tahun 2004-2008………... 82

4.6 Hasil Estimasi ADF dan Derajat Integrasi Untuk Uji

Akar Unit……… 83

4.7 Hasil Estimasi Uji Kausalitas Granger……… 85

(12)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

2.3 Inflasi Tekanan Permintaan (Demand-Pull Inflation)………. 20

2.4 Inflasi Dorongan Biaya (Coct-Push Inflation)……….. 21

2.5 Struktur Penduduk Berdasarkan Usia……… 29

2.6 Pandangan KlasikMengenai Mekanisme Pasaran Tenaga Kerja……… 37

2.7 Pengangguran Konjungtur dan Sebab Berlakunya………... 38

2.8 Kurva Phillips……… 45

2.9 Simple Phillips Curve………... 47

2.10 Kurva Phillips Berdasarkan Analisis AD-AS……… 48

2.11 Kurva Phillips Jangka Panjang……….. 51

(13)

ABSTRACT

The aim of this research is to analize the relationship between inflation rate and unemployment rate in Indonesia e.i the causality relationship and the long term relationship between that two variables. Data that employed in this research are inflation rate and unemployment rate in Indonesia annually during 1980-2008.

This research used Granger Causality test, tried to investigate the causality relationship between inflation rate and unemployment rate and Cointegration test to investigate the long term relationship between to variables. But before used that two test, employed test of unit roots to investigate that two variables have been stationary.

The unit roots test results that inflation rate data were stationary at level and unemployment rate data were stationary at the first difference. Granger causality test indicated there is an unidirectional causal from unemployment rate to inflation rate in Indonesia. The cointegration test result that it has long term relationship between inflation rate and unemployment rate in Indonesia.

(14)

ABSTRAK

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran di Indonesia yaitu menganalisis hubungan timbal balik dan mengetahui hubungan keseimbangan dalam jangka panjang antara kedua variabel tersebut. Data yang dipergunakan adalah data tahunan tingkat inflasi dan tingkat pengangguran dalam kurun waktu 1980-2008.

Penelitian ini menggunakan alat analisis Uji Kausalitas Granger (Granger

Causality Test) untuk mengetahui hubungan timbal balik antara tingkat inflasi

dengan tingkat pengangguran dan Uji Kointegrasi (Cointegration Test) untuk mengetahui hubungan keseimbangan dalam jangka panjang. Namun, sebelum melakukan kedua uji tersebut, dilakukan uji stasioneritas dengan menggunakan Uji Akar Unit (Unit Root Test) untuk mengetahui apakah data yang dipergunakan sudah stasioner

Dari hasil Uji Akar Unit yang digunakan diperoleh bahwa variabel inflasi telah stasioner pada tingkat level atau I(0), sedangkan variabel tingkat inflasi stasioner pada tingkat first diference atau I(1) masing-masing pada tingkat kepercayaan 1%.. Dari hasi Uji Kausalitas Granger diketahui antara kedua variabel terdapat hubungan satu arah yaitu tingkat penganguran mempengaruhi tingkat inflasi di Indonesia pada tingkat kepercayaan 1%. Hasil Uji Kointegrasi menunjukkan adanya hubungan keseimbangan jangka panjang antara kedua variabel tersebut.

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat inflasi yang terkendali, nilai

tukar dan tingkat suku bunga yang stabil serta tingkat pengangguran yang rendah

atau bahkan tercapainya full employment adalah kondisi ideal perekonomian yang

ingin dicapai oleh semua negara, termasuk Indonesia. Dalam rangka pencapaian

kondisi ideal perekonomian seperti yang disebutkan di atas, pemerintah Indonesia

senantiasa berupaya menjalankan berbagai program dan kebijakan, baik di sektor

fiskal maupun sektor moneter.

Adapun beberapa upaya yang ditempuh oleh pemerintah untuk mencapai

kondisi perekonomian yang ideal tersebut adalah melalui kebijakan di sektor

fiskal yaitu kebijakan anggaran pemerintah dari sisi penerimaan maupun dari sisi

pengeluaran. Salah satu instrumen kebijakan fiskal adalah pajak dan subisidi.

Sedangkan kebijakan sektor moneter merupakan upaya untuk mengendalikan

jumlah uang beredar dalam masyarakat. Kebijakan ini dapat dilakukan melalui

kebijakan uang ketat (untuk mengurangi uang beredar) disebut sebagai kebijakan

moneter kontraktif dan kebijakan moneter ekspansif untuk menambah jumlah

uang beredar (Rahardja dan Manurung. 2004).

Namun pada kenyataannya, kondisi perekonomian ideal tersebut belum

dapat dicapai oleh Indonesia. Hal ini terbukti dari kondisi di Indonesia sendiri,

(16)

inflasi sulit untuk dikendalikan, angka pengangguran yang terus meningkat dari

tahun ke tahun, dan pertumbuhan ekonomi yang tidak selalu sesuai dengan target

yang ditetapkan. Hal tersebut sesungguhnya menunjukkan bahwa kondisi

ekonomi makro Indonesia terus mengalami perkembangan yang pasang surut.

Dari beberapa indikator ekonomi makro yang disebutkan di atas, variabel

yang terus-menerus dipantau adalah inflasi dan pengangguran. Kedua variabel ini

sangat berdampak buruk terhadap pembangunan ekonomi terutama terhadap

kesejahteraan masyarakat. Untuk itu masalah inflasi dan pengangguran ini selalu

menjadi dua hal yang menarik untuk dibahas dan dicari pemecahan masalahnya.

Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang sangat ditakuti oleh semua

negara di dunia, termasuk Indonesia. Apabila inflasi ditekan dapat mengakibatkan

meningkatnya tingkat pengangguran, sedangkan tingkat pengangguran adalah

salah satu simbol dari rendahnya produksi nasional yang dapat mempengaruhi

pertumbuhan ekonomi (Maknun, 1995).

Inflasi secara ringkas dapat diartikan sebagai kenaikan harga

barang-barang. Dengan kenaikan harga tersebut, perekonomian akan mengalami

ketidakstabilan dan akan mempengaruhi perilaku baik itu masyarakat ataupun

pemerintah. Dengan naiknya harga-harga, maka minat masyarakat untuk

menabung cenderung turun. Kemudian, untuk menarik uang pemerintah

menaikkan tingkat suku bunga yang mengakibatkan turunnya minat untuk

investasi, yang berarti adanya kecenderungan penurunan akumulasi modal

sehingga pertumbuhan dan kestabilan perekonomian akan terganggu.

Selain itu, inflasi juga dapat menimbulkan ketidakstabilan produktivitas

(17)

ketidakstabilan distribusi pendapatan masyarakat, dan masih banyak lagi variabel

ekonomi lain yang terpengaruh dengan adanya inflasi ini. Oleh karena itu, melalui

UU No. 23 Tahun 1999, yang kemudian direvisi dengan UU No. 3 Tahun 2004,

Pemerintah bersama Bank Indonesia akan berupaya mengendalikan dan mencapai

target inflasi yang telah ditetapkan, sehingga kestabilan dan pertumbuhan

ekonomi dapat tercapai dan berkelanjutan (Setyawan,2005).

Namun demikian, meskipun menjadi salah satu masalah besar dalam

perekonomian, sebagian ahli sepakat bahwa inflasi juga mampu memberi dampak

yang positif bagi perekonomian dalam kisaran tertentu. Bagi negara yang

perekonomiannya baik, tingkat inflasi yang terjadi berkisar antara 2 persen sampai

4 persen per tahun (Amir, 2008). Dengan kata lain, tingkat inflasi yang kurang

atau lebih dari angka tersebut, akan memiliki kecenderungan memberi dampak

negatif bagi perekonomian.

Perkembangan inflasi di Indonesia menunjukkan fluktuasi yang bervariasi

dari waktu ke waktu. Pembicaraan mengenai inflasi di Indonesia mulai populer

ketika laju inflasi demikian tinggi hingga mencapai 650 persen pada dasawarsa

1960-an. Berdasarkan pengalaman pahit tersebut, pemerintah berusaha untuk

mengendalikan laju inflasi. Pada tahun 1972 sampai dengan 1980-an rata-rata laju

inflasi di Indonesia masih berada pada level dua digit, tetapi pada tahun 1984

sampai tahun 1996 laju inflasi dapat dikendalikan pada level satu digit. Krisis

ekonomi yang terjadi di Indonesia pada pertengahan tahun 1997 membuat laju

inflasi di Indonesia naik menjadi dua digit yaitu sebesar 11,05 persen dan

mencapai puncaknya pada tahun 1998 sebesar 77,63 persen (Badan Pusat

(18)

Kondisi perekonomian Indonesia pasca krisis moneter mulai mengalami

perbaikan. Hal ini dilihat dari menurunnya laju inflasi sebesar 75,62 persen

menjadi 2,01 persen pada tahun 1999. Laju inflasi pada tahun 2001 sampai 2002

kembali naik pada level 2 digit yaitu sebesar 12,55 persen dan 10,05 persen.

Penyebab tingginya laju inflasi tersebut, selain kondisi keamanan dalam negeri

yang kurang kondusif juga dipicu oleh kebijakan pemerintah menaikkan harga

BBM, tarif listrik, dan telepon (Badan Pusat Statistik).

Selain berbicara masalah inflasi yang merupakan salah satu indikator

ekonomi makro yang sangat mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan

ekonomi, masalah utama dan mendasar dalam ketenagakerjaan di Indonesia

adalah masalah upah yang rendah dan tingkat pengangguran yang tinggi. Hal

tersebut disebabkan karena pertambahan tenaga kerja baru jauh lebih besar

dibandingkan dengan pertumbuhan lapangan kerja yang dapat disediakan setiap

tahunnya. Pertumbuhan tenaga kerja yang lebih besar dibandingkan dengan

ketersediaan lapangan kerja menimbulkan pengangguran yang tinggi.

Pengangguran merupakan salah satu masalah utama dalam jangka pendek

yang selalu dihadapi setiap negara. Karena itu, setiap perekonomian dan negara

pasti menghadapi masalah pengangguran, yaitu pengangguran alamiah (natural

rate of unemployment). Berbicara masalah pengangguran, berarti berbicara

masalah sosial dan ekonomi, karena pengangguran selain menyebabkan masalah

sosial juga memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara

khususnya negara yang sedang berkembang seperti Indonesia ini.

(19)

perlu ditingkatkan agar kegiatan perekonomian terdorong untuk menciptakan

lapangan kerja baru yang lebih besar sehingga mampu mengurangi kemiskinan.

Sebelum krisis ekonomi tahun 1997, tingkat pengangguran di Indonesia

pada umumnya di bawah 5 persen dan pada tahun 1997 sebesar 5,7 persen.

Tingkat pengangguran sebesar 5,7 persen masih merupakan pengangguran

alamiah. Tingkat pengangguran alamiah adalah suatu tingkat pengangguran yang

alamiah dan tak mungkin dihilangkan. Tingkat pengangguran alamiah ini sekitar

5-6 persen atau kurang. Artinya jika tingkat pengangguran paling tinggi 5 persen

itu berarti bahwa perekonomian dalam kondisi penggunaan tenaga kerja penuh

(full employment).

Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Agustus 2008 mencapai 111,95

juta orang, bertambah 470 ribu orang dibanding jumlah angkatan kerja Februari

2008 sebesar 111,48 juta orang atau bertambah 2,01 juta orang dibanding Agustus

2007 sebesar 109,94 juta orang. Jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia pada

Agustus 2008 mencapai 102,55 juta orang, bertambah 503 ribu orang dibanding

keadaan pada Februari 2008 sebesar 102,05 juta orang, atau bertambah 2,62 juta

orang dibanding keadaan Agustus 2007 sebesar 99,93 juta orang. Tingkat

pengangguran terbuka di Indonesia pada Agustus 2008 mencapai 8,39 persen,

mengalami penurunan dibanding pengangguran Februari 2008 sebesar 8,46

persen, dan pengangguran Agustus 2007 sebesar 9,11 persen (Badan Pusat

Statistik).

Pengangguran biasanya dikaitkan dengan masalah tingkat inflasi yang

(20)

usaha lebih banyak disebabkan oleh kondisi ekonomi dunia yang memburuk dan

ketidakmampuan bersaing di pasar internasional, sedangkan daya beli masyarakat

di dalam negeri sangat terbatas.

Inflasi dan pengangguran secara teoritis terkait. Hal ini pertama kali

dikemukakan oleh ekonom Inggris bernama A.W. Phillips pada tahun 1958 yang

mengemukakan adanya hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran di

Inggris. Dalam penjelasannya, Phillips menggambarkan hubungan tersebut dalam

sebuah kurva yang kemudian dikenal dengan Kurva Phillips.

Secara garis besar, hubungan yang terjadi dalam kurva Phillips adalah apabila

terjadi suatu tingkat inflasi yang rendah, maka akan diiringi oleh tingginya tingkat

pengangguran.

Namun, seiring dengan perkembangan zaman, banyak perubahan yang

mengiringi variabel-variabel ekonomi secara global maupun regional. Dampaknya

juga terimbas pada penerapan kurva Phillips. Banyak ekonom yang tidak setuju

dengan konsep dasar dari kurva Phillips ini, yaitu adanya hubungan negatif antara

inflasi dengan pengangguran.

Kritik ini dimulai dengan tanggapan Milton Friedman pada tahun 1976

mengatakan bahwa teori dasar dari kurva Phillips ini hanya terjadi pada jangka

pendek, tetapi tidak dalam jangka panjang, karena pada jangka pendek masih

berlaku harga kaku sticky price, sedangkan pada jangka panjang berlaku harga

fleksibel. Dengan kata lain, tingkat pengangguran bagaimanapun juga akan

kembali pada tingkat alamiahnya. Dan hubungan yang terjadi antara inflasi dan

(21)

Bertolak dari permasalahan di atas dan keinginan untuk mencari

pengetahuan yang lebih baik, maka penulis ingin melakukan penelitian dalam

bentuk skripsi yang berjudul : “Analisis Hubungan Timbal Balik Antara Tingkat

Inflasi dengan Tingkat Pengangguran di Indonesia”.

1.2 Perumusan Masalah

Masalah utama yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah melihat dan

menganalisis keberadaan hubungan antara tingkat inflasi dan pengangguran

dengan mengambil studi kasus di Indonesia. Masalah yang akan dikaji dalam

penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah inflasi mempengaruhi tingkat pengangguran di Indonesia

ataukah sebaliknya yaitu tingkat pengangguran mempengaruhi tingkat

inflasi di Indonesia atau apakah keduanya saling mempengaruhi

ataukah keduanya tidak saling mempengaruhi?

2. Apakah tingkat inflasi dan tingkat pengangguran di Indonesia memiliki

pengaruh dalam jangka panjang?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui hubungan timbal balik antara tingkat inflasi dan

tingkat pengangguran di Indonesia

2. Untuk mengetahui hubungan keseimbangan jangka panjang antara

(22)

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sebagai suatu kesempatan bagi penulis menambah wawasan ilmiah

yang berkaitan dengan program studi yang sedang penulis tekuni

khususnya mengenai hubungan tingkat inflasi dan pengangguran di

Indonesia.

2. Sebagai bahan studi atau tambahan literatur dan informasi bagi

mahasiswa/i Fakultas Ekonomi khususnya Departemen Ekonomi

Pembangunan dan juga masyarakat yang ingin melakukan penelitian

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Inflasi

2.1.1 Definisi Inflasi

Inflasi adalah gejala kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum

dan terus-menerus. Dari defenisi ini, ada tiga komponen yang harus dipenuhi

untuk menggambarkan bahwa telah terjadi inflasi, yaitu :

1. Kenaikan Harga

2. Bersifat Umum

3. Berlangsung Terus-Menerus

1. Kenaikan Harga

Harga suatu komoditas dikatakan naik apabila menjadi lebih tinggi

daripada harga periode sebelumnya. Misalnya, harga beras satu kilogram pada

hari yang lalu adalah Rp. 6.000,00. Hari ini menjadi Rp. 7.000,00. Berarti harga

beras per kilogram hari ini Rp. 1.000,00 lebih mahal dibanding hari yang lalu.

Dapat dikatakan telah terjadi kenaikan harga beras. Perbandingan tingkat harga

juga bisa dilakukan dengan jarak waktu yang lebih panjang; satu minggu, satu

bulan, triwulan, atau satu tahun. Perbandingan harga juga bisa dilakukan

berdasarkan patokan musim. Misalnya di musim panceklik pada umumnya harga

beras akan mengalami kenaikan dan akan lebih mahal bila dibandingkan dengan

(24)

2. Bersifat Umum

Kenaikan harga suatu komoditi belum dapat menggambarkan bahwa telah

terjadi inflasi apabila kenaikan harga tersebut tidak mengakibatkan harga-harga

secara umum naik. Misalnya, apabila pemerintah menaikkan harga BBM (Bahan

Bakar Minyak), pada umumnya harga-harga komoditas lain akan ikut naik karena

BBM merupakan komoditi strategis, dimana sebagian besar kegiatan ekonomi

memerlukan BBM, sehingga kenaikan harga BBM akan merambat pada kenaikan

komoditas lainnya. Naiknya harga BBM ini dapat menimbulkan terjadinya inflasi.

3. Berlangsung Terus-Menerus

Kenaikan harga yang bersifat umum juga belum akan mengakibatkan

inflasi apabila kenaikan harga tersebut terjadi hanya sesaat. Karena perhitungan

inflasi dilakukan dalam rentang waktu minimal bulanan. Sebab dalam jangka

waktu satu bulan akan terlihat apakah kenaikan harga bersifat umum dan

terus-menerus.

2.1.2. Indikator Inflasi

Ada beberapa indikator ekonomi makro yang digunakan untuk mengukur

laju inflasi selama satu periode tahun tertentu, diantaranya adalah :

1. Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index)

Indeks Harga Konsumen (IHK) adalah angka indeks yang menunjukkan

(25)

tertentu. Angka IHK diperoleh dengan menghitung harga-harga barang dan jasa

utama yang dikonsumsi masyarakat dalam satu periode tertentu. Masing-masing

harga barang dan jasa tersebut diberi bobot (weighted) berdasarkan tingkat

keutamaannya. Barang dan jasa yang dianggap paling penting diberi bobot yang

paling besar.

Di Indonesia, penghitungan IHK dilakukan dengan mempertimbangkan

sekitar beberapa ratus komoditas pokok. Untuk lebih mencerminkan keadaan yang

sebenarnya, penghitungan IHK dilakukan dengan melihat perekembangan

regional, yaitu dengan mempertimbangkan tingkat inflasi kota-kota besar,

terutama ibukota provinsi-provinsi di Indonesia, seperti tampak dalam tabel

berikut ini.

Tabel 2.1

Indeks Harga Konsumen Gabungan 66 Kota Di Indonesia, 2004-2008 (2007=100)

Akhir Periode IHK Perubahan IHK (%)

2005 125,09 -

2006 142,48 13,90

2007 150,55 5,66

2008 132,72 -11,84

2009 124,78 -0,06

Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)

Angka inflasi berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) diperoleh

(26)

Inflasi tahun t = X 100%

Dilihat dari cakupan komoditas yang dihitung, IHK kurang mencerminkan tingkat

inflasi yang sebenarnya. Tetapi IHK sangat berguna karena menggambarkan

besarnya kenaikan biaya hidup bagi konsumen, sebab IHK memasukkan

komoditas-komoditas yang relevan (pokok) yang biasanya dikonsumsi

masyarakat.

2. Indeks Harga Perdagangan Besar (Wholesale Price Index)

Jika IHK meluhat inflasi dari sisi konsumen, maka Indeks Harga

Perdagangan Besar (IHPB) melihat inflasi dari sisi produsen. Oleh karena itu,

IHPB sering juga disebut sebagai indeks harga produsen (production price index).

IHPB menunjukkan tingkat harga yang diterima produsen pada berbagai tingkat

produksi.

Tabel 2.2

Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) 2004-2008

(2000=100)

Akhir Periode IHPB Perubahan IHPB (%)

2004 131 7,38

2005 152 16,03

2006 172 13,16

2007 195 13,37

2008 246 26,15

(27)

Prinsip menghitung inflasi berdasarkan data IHPB adalah sama dengan

berdasarkan IHK :

Inflasi tahun t = X 100%

3. Indeks Harga Implisit (GDP Deflator)

Walaupun sangat bermanfaat, IHK dan IHPB memberikan gambaran laju

inflasi yang sangat terbatas. Sebab, dilihat dari metode perhitungannya, kedua

indikator tersebut hanya melingkupi beberapa puluh atau mungkin ratus jenis

barang dan jasa, di beberapa puluh kota saja. Padahal dalam kenyataan, jenis

barang dan jasa yang diproduksi atau dikonsumsi dalam sebuah perekonomian

dapat mencapai ribuan, puluhan ribu bahkan mungkin ratusan ribu jenis. Kegiatan

ekonomi juga terjadi tidak hanya di beberapa kota saja, melainkan seluruh pelosok

wilayah. Untuk mendapatkan gambaran inflasi yang paling mewakili keadaan

sebenarnya, ekonom menggunakan indeks harga implisit (GDP Deflator),

disingkat IHI.

Angka deflator (IHI) ini dapat diperoleh melalui perhitungan, sebagai

berikut :

IHI tahun t = X 100%

Perhitungan inflasi berdasarkan IHI dilakukan dengan menghitung perubahan

angka indeks :

(28)

2.1.3. Teori-Teori Inflasi

Ada beberapa teori dalam ilmu ekonomi yang menjelaskan tentang inflasi

(Boediono,2001 ) :

1. Teori Kuantitas Uang (Quantity Theory of Money)

Menurut Irving Fischer (transaction equation) adalah :

P.T = M.V

Dimana :

P = Tingkat Harga

M = Jumlah Uang Beredar (Penawaran Uang)

V = Kecepatan Perputaran Uang

T = Volume Transaksi

Dalam persamaan ini dapat dikemukakan bahwa seluruh transaksi

penjualan sama dengan nilai seluruh pembelian. Nilai transaksi dikali dengan

harga, sedangkan nilai transaksi pembelian sama dengan jumlah uang beredar

dikali dengan kecepatan beredar rata-rata perputaran uang.

Dari rumus diatas, dapat diambil kesimpulan proses terjadinya inflasi

disebabkan oleh :

1. Volume Uang Beredar

Inflasi hanya bisa terjadi jika ada penambahan volume uang beredar dalam

masyarakat (uang kartal dan uang giral). Penambahan jumlah uang beredar ini

(29)

besar dari kesanggupan output untuk menyerapnya (volume yang besar dari

pendapatan nasional). Bila jumlah uang yang beredar tidak ditambah, maka inflasi

akan beratambah secara otomatis.

2. Perkiraan Masyarakat Tentang Kenaikan Harga (expectation)

Kalau diperkirakan masyarakat akan ada perubahan harga walaupun ada

penambahan yang tidak akan menyebabakan inflasi, karena perubahan harga yang

terjadi masih kecil. Apabila akan ada perubahan harga yang cukup besar dan

penambahan uang beredar tidak ditambah maka inflasi akan berhenti secara

otomatis apapun penyebab kenaikan harga-harga dalam perekonomian tersebut.

2. Teori Keynes

Keynes menyoroti faktor inflasi melalui pendekatan teori ekonomi

makronya. Menurut teori yang dikeluarkan Keynes, inflasi akan terjadi karena

masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan pendapatannya. Terjadinya

inflasi melalui beberapa proses, ada sekelompok masyarakat yang ingin bersaing

untuk merebut pendapatan nasional yang lebih besar daripada kemampuan

kelompok tersebut untuk mendapatkan pendapatan nasional (kekuatan monopolis,

tuntutan kenaikan upah oleh para pekerja). Proses perebutan ini akhirnya

diwujudkan dalam permintaan efektif sehingga menyebabkan permintaan

masyarakat akan barang-barang lebih besar dari barang-barang yang sanggup

disediakan oleh kapasitas yang tersedia. Hal ini akan menimbulkan inflationary

gap, yang timbul akibat golongan masyarakat dalam permintaan di pasar

barang-barang. Dengan demikian akan menimbulkan kenaikan harga-harga.

Golongan masyarakat tersebut berhasil menterjemahkan aspirasi mereka

(30)

berhasil memperoleh dana untuk mengubah aspirasinya menjadi rencana

pembelian barang-barang yang didukung dengan dana. Golongan masyarakat

seperti ini mungkin adalah pemerintah sendiri, yang berusaha memperoleh bagian

yang lebih besar dari output masyarakat dengan menjalankan defisit dalam

anggaran belanjanya yang dibiayai dengan mencetak uang baru. Golongan

tersebut mungkin juga pengusaha-pengusaha swasta yang menginginkan untuk

melakukan investasi-investasi baru dan memperoleh dana pembiayaannya dari

kredit dari bank.

Bila jumlah dari oermintaan-permintaan efektif dari semua golongan

masyarakat tersebut, pada tingkat harga yang berlaku, melebihi jumlah maksimum

dari barang-barang yang bias dihasilkan oleh masyarakat, maka inflationary gap

muncul. Karena permintaan total melebihi jumlah barang yang tersedia, maka

harga-harga akan naik. Adanya kenaikan harga-harga berarti bahwa sebagian dari

rencana-rencana pembelian barang dari golongan-golongan tersebut tidak bias

terpenuhi. Pada periode selanjutnya golongan-golongan tersebut akan berusaha

untuk memperoleh dana yang lebih besar lagi.

Golongan yang bisa memperoleh dana yang lebih banyak bisa memperoleh

bagian dari output yang lebih banyak. Mereka yang tidak bisa memperoleh dana

akan mendapat bagian output yang lebih kecil. Yang termasuk golongan yang

“kalah” dalam proses perebutan ini adalah golongan yang berpenghasilan tetap

atau yang penghasilannya naik tidak secepat laju inflasi. Proses inflasi akan terus

berlangsung selama jumlah permintaan efektif dari semua golongan masyarakat

(31)

permintaan efektif total tidak melebihi, pada tingkat harga yang berlaku, jumlah

output yang tersedia.

3. Teori Strukturalis

Teori ini memberi tekanan pada ketegaran (rigidities) dari struktur

perekonomian negara-negara yang sedang berkembang. Karena inflasi dikaitkan

dengan faktor struktural dari perekonomian (yang menurut definisi,

faktor-faktor ini hanya bisa berubah secara gradual dan dalam jangka panjang), maka

teori ini bisa disebut teori inflasi “jangka panjang”. Dengan kata lain, yang ingin

diketahui adalah faktor-faktor jangka panjang manakah yang bisa mengakibatkan

inflasi (yang berlangsung lama).

Ada dua faktor yang menjadi masalah utama yang dapat menyebabkan

inflasi dalam negara berkembang berdasarkan teori strukturalis, yaitu :

a. Ketidakelastisan penerimaan ekspor, yaitu nilai ekspor yang berkembang

secara lamban dibanding sektor lain dalam perekonomian. Hal ini

disebabkan naiknya harga barang komoditi negara berkembang dalam

jangka panjang yang pada akhirnya mempengaruhi harga barang-barang

ekspor. Perkembangannya sangat lamban bila dibandingkan dengan harga

barang industri yang merupakan impor dari negara-negara berkembang.

Adanya perkembangan ekspor yang lamban juga merupakan penyebab

adanya kelambanan untuk mengimpor baramg-barang yang dibutuhkan

(terutama barang modal untuk mengubah struktur perekonomian).

Akibatnya, negara tersebut terpaksa mengambil kebijaksanaan yang

menekan pemakaian barang produksi dalam negeri (yang sebelumnya

(32)

karena kurang efisien). Ongkos produksi yang tinggi mengakibatkan harga

yang lebih tinggi. Ongkos produksi juga akan makin meluas, sehingga

makin banyak harga barang yang naik. Dengan demikian akan terjadi

inflasi dalam perekonomian yang berkepanjangan.

b. Ketidakelastisan dari supply atau produksi bahan makanan dalam negeri,

berakibat pada pertumbuhan produksi bahan makanan tidak secepat

pertumbuhan penduduk dan pendapatan, sehingga harga bahan makanan

ini cenderung meningkat. Kenaikan harga bahan makanan ini

mengakibatkan tuntutan kenaikan ongkos produksi. Jika demikian,

otomatis harga hasil produksi (industri dan pertanian) akan naik lagi,

sehingga kenaikan harga barang menuntut tingkat upah kembali dinaikkan,

demikian seterusnya. Proses ini akan berhenti apabila harga bahan

makanan tidak ikut naik kembali (karena kebutuhan sudah dapat dicukupi

oleh produksi dalam negeri). Akan tetapi, faktor struktural perekonomian

tidak bisa menghentikan kenaikan harga bahan makanan, sehingga akan

terjadi dorong-mendorong antara upah dengan kenaikan harga dan tidak

akan berhenti sampai struktur perekonomian dapat diubah.

2.1.4 Jenis - Jenis Inflasi

Apabila ditinjau dari bobotnya atau besarnya laju inflasi, maka inflasi

diklasifikasikan menjadi empat golongan, yaitu :

1. Inflasi ringan (inflasi merayap)

Disebut juga creeping inflation. Inflasi ringan adalah inflasi dengan laju

(33)

atau dibawah 10% pertahun. Kenaikan harga berjalan secara lambat, dengan

persentase yang kecil serta dalam jangka waktu yang relatif lama.

2. Inflasi sedang (inflasi menengah)

Inflasi sedang atau menengah ini merupakan inflasi dengan tingkat laju

pertumbuhan berada diantara 10-30% per tahun dan sangat mengancam struktur

dan pertumbuhan ekonomi suatu negara.

3. Inflasi berat

Merupakan inflasi dengan laju pertumbuhan berada diantara 30-100%

pertahun. Pada kondisi demikian, sektor-sektor produksi hampir lumpuh total,

kecuali yang dikuasai negara. Ditandai dengan kenaikan harga yang cukup besar

dan kadang kala berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat

akselerasi. Artinya, harga-harga minggu/bulan ini lebih tinggi dari minggu/bulan

lalu dan seterusnya.

4. Inflasi sangat berat

Disebut juga hyperinflasi, adalah inflasi dengan laju pertumbuhan

melampaui 100% pertahun. Dalam kondisi ini, harga-harga barang naik menjadi

lima atau enam kali lipat. Masyarakat tidak lagi berkeinginan untuk menyimpan

uang. Nilai uang merosot tajam sehingga ingin ditukarkan dengan barang.

Perputaran uang makin cepat, harga naik secara pesat. Biasanya kondisi ini timbul

apabila pemerintah mengalami defisit anggaran belanja yang dibiayai/ditutupi

dengan mencetak uang.

Apabila ditinjau berdasarkan faktor penyebabnya, inflasi diklasifikasikan

(34)

1. Demand pull inflation, inflasi ini biasanya terdapat pada masa perekonomian

sedang berkembang pesat. Kesempatan kerja yang tinggi menciptakan tingkat

pendapatan yang tinggi dan selanjutnya daya beli sangat tinggi. Daya beli yang

tinggi akan mendorong permintaan melebihi total produk yang tersedia.

Permintaan aggregate meningkat lebih cepat (misalnya karena bertambahnya

pengeluaran pemerintah yang dibiayai dengan pencetakan uang, atau kenaikan

permintaan luar negeri akan barang-barang ekspor atau bertambahnya

pengeluaran investasi swasta karena kredit yang murah) dibandingkan dengan

potensi produktif perekonomian , akibatnya terjadi inflasi.

Gambar 2.1

Inflasi Tekanan Permintaan (Demand-Pull Inflation) P

0 Y

Gambar 2.1 menjelaskan terjadinya inflasi sebagai akibat kenaikan

permintaan. Hal ini terlihat dari adanya pergeseran kurva permintaan agregat dari

ADo menjadi AD1 yang mendorong harga naik dari P0 menjadi P1. Kenaikan harga AS0

AD1

AD0 Y1

Y0 P0

(35)

ini menimbulkan terjadinya inflasi . Akibat kenaikan harga ini menyebabkan

produk nasional bertambah dari OY0 dan OY1.

2. Cost push inflation, inflasi ini terjadi bila ada biaya produksi mengalami

kenaikan secara terus-menerus. Kenaikan biaya produksi dapat berawal dari

kenaikan harga input seperti kenaikan upah minimum, kenaikan bahan baku,

kenaikan tarif listrik, kenaikan BBM, dan kenaikan-kenaikan input lainnya

yang mungkin semakin langka dan harus diimpor dari luar negeri.

Gambar 2.2 Inflasi Dorongan Biaya

(Cost-Push Inflation)

P

0 Y1 Y0 Y

Gambar 2.2 menjelaskan terjadinya inflasi sebagai akibat dari kenaikan

biaya produksi. Hal ini terlihat dari adanya pergeseran kurva penawaran agregat

dari ASo menjadi AS1 yang mendorong harga naik dari P0 menjadi P1. Kenaikan

harga ini menyebabkan produk nasional berkurang dari OY0 menjadi OY1. AS1

AS0

AD0 P0

(36)

Selanjutnya, apabila ditinjau berdasarkan asal inflasi, maka inflasi

digolongkan menjadi dua golongan, yaitu :

1. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation), dimana inflasi ini

timbul bisa saja karena defisit anggaran belanja negara yang dibiayai dengan

pencetakan uang baru dan lain sebagainya sehingga menyebabkan terjadinya

kenaikan harga barang-barang dalam negeri secara umum dan

berkesinambungan.

2. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation), yaitu inflasi yang

bersumber dari kenaikan harga-harga barang yang diimpor, terutama barang

yang diimpor tersebut mempunyai peranan penting dalam setiap kegiatan

produksi. Kenaikan harga barang-barang impor mengakibatkan: (1) secara

langsung kenaikan indeks biaya hidup karena sebagian dari barang-barang

yang tercakup di dalamnya berasal dari import, (2) secara tidak langsung

menaikkan indeks harga melalui kenaikan biaya produksi (dan kemudian harga

jual) dari berbagai barang yang menggunakan bahan mentah atau mesin-mesin

yang harus diimpor, (3) secara tidak langsung menimbulkan kenaikan harga di

dalam negeri karena kemungkinan (tetapi ini tidak harus demikian) kenaikan

harga barang-barang impor mengakibatkan kenaikan pengeluaran

pemerintah/swasta yang berusaha mengimbangi kenaikan harga import

tersebut.

2.1.5 Dampak Inflasi

Tidak dapat dipungkiri, sampai pada tingkat tertentu inflasi dibutuhkan

(37)

mendorong produsen untuk meningkatkan outputnya. Namun apabila tingkat

inflasi sudah melampaui angka yang sewajarnya (≥ 10% per tahun), maka ada

beberapa masalah sosial yang muncul, yaitu :

1. Menurunnya Tingkat Kesejahteraan Rakyat

Tingkat kesejahteraan masyarakat, sederhananya dapat diukur melalui

tingkat daya beli pendapatan yang diperoleh. Inflasi menyebabkan daya beli

pendapatan masyarakat makin rendah, khususnya masyarakat yang

berpenghasilan kecil dan tetap (kecil). Misalnya, A adalah seorang pegawai negeri

sipil dengan penghasilan total sebesar Rp. 700.000, per bulan. Tahun lalu harga

beras per kilogram adalah sebesar Rp. 4.000,00. Karena itu gaji A setara dengan

175 kilogram beras setiap bulan. Apabila terjadi inflasi sebesar 20% pertahun

(cateris paribus), maka tahun ini gaji A per bulan setara dengan 145 kilogram

beras. Dengan demikian kesejahteraan A menurun dari kesejahteraan tahun lalu.

Apabila tingkat inflasi tetap sebesar 20% per tahun, maka dalam jangka waktu 4

tahun (cateris paribus) kesejahteraan A hanya tinggal separuhnya. Semakin tinggi

tingkat inflasi, maka semakin cepat penurunan tingkat kesejateraan suatu

masyarakat.

2. Semakin Buruknya Distribusi Pendapatan

Dampak buruk inflasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat dapat

dihindari jika pertumbuhan tingkat pendapatan dapat melebihi tingkat inflasi.

Apabila tingkat inflasi 20% per tahun, maka pertumbuhan tingkat pendapatan

harus lebih besar dari 20% per tahun. Permaslahannya adalah jika inflasi

(38)

meningkatkan pendapatannya ≥ 20% per tahun. Akibatnya, ada sekelompok

masyarakat yang mampu meningkatkan pendapatan riil (pertumbuhan pendapatan

nominal dikurangi laju inflasi > 0% per tahun). Akan tetapi sebagian besar

masyarakat mengalami penurunan pendapatan riil. Menurunnya pendapatan riil

menggambarkan bahwa distribusi pendapatan semakin buruk.

3. Terganggunya Stabilitas Ekonomi.

Pengertian yang paling sederhana dari stabilitas ekonomi adalah sangat

kecilnya tindakan spekulasi dalam perekonomian. Produsen berproduksi pada

kapasitas penuh (optimal). Konsumen juga memakai barang dan jasa optimal

dengan kebutuhan. Kondisi nyaman ini akan mulai terganggu apabila inflasi

relatif tinggi telah menjadi kronis.

Inflasi mengganggu stabilitas ekonomi dengan merusak perkiraan tentang

masa depan (ekspektasi) para pelaku ekonomi. Inflasi yang kronis menumbuhkan

perkiraan bahwa harga akan terus-menerus naik. Bagi konsumen, perkiraan ini

mendorong pembelian barang dan jasa lebih banyak dari yang

seharusnya/biasanya dengan tujuan untuk menghemat pengeluaran konsumsi.

Akibatnya, permintaan barang dan jasa justru dapat meningkat. Bagi para

produsen, perkiraan akan naiknya harga barang dan jasa mendorong mereka

menunda penjualan, untuk mendapat keuntungan yang lebih besar. Penawaran

barang dan jasa berkurang. Akibatnya, kelebihan permintaan membesar dan

mempercepat laju inflasi yang pada akhirnya kondisi perekonomian menjadi

(39)

2.1.6 Kebijakan Pengendalian Inflasi

Upaya-upaya untuk menegndalikan inflasi dapat berupa penerapan

kebijakan fiskal dan kebijakan moneter :

1. Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal merupakan kebijakan pemerintah untuk mengubah dan

mengendalikan penerimaan dan pengeluaran pemerintah melalui APBN

(Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dengan maksud untuk

mengatasi masalah yang sering dihadapi. Bentuk kebijakan fiskal untuk

jangka pendek dapat berupa :

a. Membuat perubahan yang berkaitan dengan pembelanjaan/pengeluaran

pemerintah

b. Membuat perubahan yang berkaitan dengan system pajak dan jumlah

pajak yang ditetapkan

Untuk jangka panjang, kebijakan fiskal dapat berupa :

a. Kebijakan penstabilan otomatik, artinya menjalankan sistem pajak

yang telah ada, misalnya sistem pajak progresif dan proporsional.

b. Kebijakan fiskal diskresioner, artinya kebijakan yang secara khusus

membuat perundang-undangan terhadap sistem yang ada. Misalnya

membuat undang-undang, peraturan-peraturan baru di bidang

penerimaan dan pengeluaran pemerintah.

2. Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter merupakan kebijakan yang dilakukan bank sentral

(40)

sentral ini ada yang bersifat kuantitatif dan ada yang bersifat kualitatif.

Kebijakan yang bersifat kuantitatif meliputi :

a. Kebijakan Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation), yaitu

membeli dan menjual obligasi pemerintah misalnya sertifikat Bank

Indonesia (SBI).

b. Kebijakan tingkat diskonto yaitu kebijakan dalam menetapkan tingkat

bunga.

c. Kebijakan cadangan wajib (reserve requirement) yaitu kebijakan

dalam menetapkan cadangan wajib untuk deposito bank dan lembaga

keuangan lainnya.

Kebijakan yang bersifat kualitatif meliputi pengawasan kredit secara

selektif dan moral suasion yaitu, membujuk/menghimbau secara moral kepada

masyarakat pengguna jasa bank.

Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dilaksanakan oleh dua lembaga

yang berbeda yaitu kebijakan fiskal oleh Departemen Ekonomi dan Keuangan,

sedangkan kebijakan moneter dilaksanakan oleh Bank Sentral. Oleh sebab itu,

kedua lembaga ini haruslah saling menyesuaikan kebijakan ekonominya dalam

mengatasi inflasi atau masalah ekonomi lainnya, sehingga setiap kebijakan

tersebut dapat berjalan dengan baik, efisien, dan efektif. Misalnya, untuk menekan

laju inflasi langkah yang diambil adalah sebagai berikut :

1. Kebijakan Fiskal, kebijakan yang dilakukan pemerintah (kementrian

ekonomi dan keuangan) untuk mengurangi jumlah uang beredar dengan

(41)

menurunkan daya beli masyarakat, sehingga pembelian terhadap barang

konsumsi dan investasi turun.

2. Kebijakan Moneter, yaitu kebijakan yang dilakukan bank sentral dengan

sasaran dapat mengurangi penawaran uang (supply of money) atau jumlah

uang beredar. Kebijakan tersebut misalnya dengan menaikkan suku bunga

dan memperbesar cadangan wajib. Kebijakan ini akan menimbulkan

penurunan investasi dan menurunkan konsumsi dalam perekonomian

masyarakat.

Untuk mengatasi inflasi, disamping beberapa kebijakan di atas terdapat

juga pandangan Klasik dan Keynes yang dapat dilakukan untuk mengatasi

masalah inflasi, yaitu :

1. Kelompok Ekonomi Klasik

Kelompok klasik ini memberikan formula dengan sebutan cold turkey.

Strategi mengatasi inflasi ini pada dasarnya adalah melakukan pengurangan

volume uang yang beredar secara drastis atau cepat. Karena dengan

pengurangan volume uang yang beredar ini, tingkat harga, upah akan

menyesuaikan diri secara otomatis sesuai dengan pandangan kaum Klasik

tentang mekanisme hume (Species Flow). Setiap ketidakseimbangan hanya

bersifat sementara, akhirnya akan menuju keseimbangan. Dengan

pengeluaran uang yang berbeda, tingkat harga, upah mau tidak mau akan

menyesuaikan diri terhadap perekonomian.

2. Kelompok Ekonomi Keynesian

Formula yang dikeluarkan oleh kelompok ini disebut dengan gradualism.

(42)

drastis akan memberika dampak yang negatif terhadap tenaga kerja (akan

meningkatkan jumlah pengangguran), karena adanya pengurangan aktivitas

perusahaan akibat pengurangan jumlah uang yang beredar. Strategi

gradualism, yaitu pengurangan peredaran uang secara bertahap dalam jangka

waktu beberapa tahun akan meminimalkan dampak negatif terhadap

perekonomian.

2.2 Pengangguran

2.2.1 Definisi Pengangguran

Dalam definisi ekonomi, pengangguran tidak identik dengan tidak (mau)

bekerja. Seseorang dikatakan menganggur apabila orang tersebut ingin bekerja

dan telah berusaha mencari pekerjaan, namun tidak mendapatkannya

Dalam ilmu kependudukan (demografi), orang yang mencari pekerjaan

termasuk dalam kategori kelompok penduduk yang disebut angkatan kerja.

Berdasarkan kategori usia, usia angkatan kerja adalah 15-64 tahun. Tetapi tidak

semua orang yang berusia 15-64 tahun dihitung sebagai angkatan kerja. Penduduk

yang dihitung sebagai angkatan kerja adalah penduduk usia 15-64 tahun dan

sedang mencari kerja, sedangkan yang tidak mencari kerja apakah karena

mengurus keluarga atau sekolah, tidak termasuk angkatan kerja. Tingkat

pengangguran adalah persentase angkatan kerja yang tidak/belum mendapatkan

(43)

Gambar 2.3

Struktur Penduduk Berdasarkan Usia

Penduduk usia kerja, tetapi tidak mencari kerja dengan berbagai alas an, misalnya sekolah/kuliah, ibu-ibu mengurus rumah

tangga 1. ≥ 35 jam/minggu Pengangguran

2. < 35 jam/minggu (underemployed)

Pada gambar 2.3 tersebut, terlihat bahwa jumlah penduduk suatu negara

dapat dibedakan menjadi penduduk usia kerja (15-64 tahun) dan bukan usia kerja.

Yang termasuk kelompok bukan usia kerja (usia non produktif) adalah anak-anak

(0-14 tahun) dan manusia lanjut usia (manula) yang berusia ≥ 65 tahun. Dari

jumlah penduduk usia kerja, yang termasuk angkatan kerja adalah mereka yang

mencari kerja atau bekerja. Sebagian yang tidak bekerja (dengan berbagai alasan)

tidak termasuk dalam angkatan kerja (bukan angkatan kerja), dan setiap angkatan

kerja yang tidak memperoleh lapangan kerja disebut sebagai penganggur.

Dalam standard pengertian yang sudah ditentukan secara internasional,

yang dimaksudkan dengan pengangguran adalah : seseorang yang sudah

digolongkan dalam angkatan kerja, yang secara aktif sedang mencari pekerjaan

pada suatu tingkat upah tertentu, tetapi tidak dapat memperoleh pekerjaan yang

(44)

diinginkannya. Berdasarkan definisi ini, ibu-ibu rumah tangga, para

mahasiswa/pelajar, anak-anak orang kaya yang sudah dewasa namun tidak

bekerja, tidak digolongkan sebagai penganggur seba mereka tidak secara aktif

mencari pekerjaan.

2.2.2 Cara Mengukur Tingkat Pengangguran

Dalam membicarakan mengenai pengangguran, yang selalu diperhatikan

bukan mengenai jumlah pengangguran, tetapi mengenai tingkat pengangguran –

yang dinyatakan sebagai persentase dari angkatan kerja. Membandingkan jumlah

pengangguran di antara berbagai negara tidak akan ada manfaatnya karena tidak

akan memberikan gambaran yang tepat tentang perbandingan masalah yang

berlaku.

Untuk dapat menentukan tingkat (persentase) pengangguran yang terdapat

dalam perekonomian, terlebih dahulu perlu untuk menentukan angkatan kerja

pada periode tersebut. Golongan penduduk yang tergolong sebagai angkatan kerja

adalah penduduk yang berumur di antara 15 hingga 64 tahun, kecuali : (i) ibu

rumah tangga yang lebih suka menjaga keluarganya daripada bekerja, (ii)

penduduk muda dalam lingkungan umur tersebut yang masih meneruskan

pelajarannya di sekolah atau di universitas, (iii) orang yang belum mencapai umur

65 tetapi sudah pensiun dan tidak mau bekerja lagi, dan (iv) pengangguran

sukarela – yaitu golongan penduduk dalam lingkungan umur tersebut yang tidak

secara aktif mencari pekerjaan. Dengan demikian jumlah angkatan kerja dapat

(45)

L = PL – (IR + MP + PP + PS)

Di mana :

L = jumlah tenaga kerja (angkatan kerja)

PL = penduduk dalam lingkungan umur 15 – 64 tahun

IR = ibu rumah tangga yang tidak ingin bekerja

MP = mahasiswa dan pelajar

PP = pekerja yang telah pensiun dan tidak ingin bekerja lagi

PS = orang-orang tidak sekolah dan tidak bekerja dan juga tidak mencari

pekerjaan.

Penduduk dalam lingkungan umur 15-64 tahun, yaitu PL, dapat dipandang

sebagai tenaga kerja potensial. mereka sudah dapat digolongkan sebagai tenaga

kerja apabila mereka benar-benar memilih untuk bekerja atau mencari pekerjaan.

tetapi sebagian dari mereka, berdasarkan kepada pilihan mereka sendiri,

memutuskan untuk tidak mencari pekerjaan. Oleh sebab itu jumlah tenaga kerja

yang sebenarnya terdapat dalam perekonomian (L), yang digolongkan sebagai

angkatan kerja atau labour force, adalah jumlah tenaga kerja yang dihitung

dengan menggunakan persamaan diatas. Perbandingan di antara angkatan kerja

yang sebenarnya dengan penduduk dalam lingkungan umur 15-64 tahun

dinamakan tingkat partisipasi tenaga kerja (labour participation rate), yang dapat

dihitung melalui formula sebagai berikut :

Tingkat partisipasi angkatan kerja (%) %

Setelah sebuah negara mendapat informasi mengenai dua data yang

diterangkan di atas, yaitu jumlah pengangguran dan jumlah tenaga kerja, tingkat

(46)

Tingkat pengangguran (%) %

Dimana :

U = jumlah pengangguran

L = jumlah tenaga kerja (angkatan kerja)

2.2.3 Jenis Pengangguran

Jenis pengangguran ditinjau dari teori ekonomi makro dapat dibedakan

menjadi beberapa bagian, yaitu pengangguran sukarela (vouluntary

unemployment) dan pengangguran terpaksa (invouluntary unemployment).

Pengangguran sukarela adalah pengangguran yang bersifat sementara, karena

mereka tidak mau bekerja pada tingkat upah yang berlaku dan berusaha mencari

pekerjaan yang lebih baik atau lebih cocok. Pengangguran terpaksa adalah

pengangguran yang terpaksa diterima oleh pencari kerja, walaupun pada tingkat

upah yang berlaku sesungguhnya dia masih bersedia/ingin bekerja.

Jenis pengangguran ditinjau dari interpensi ekonomi, antara lain dapat

berupa hal-hal berikut :

1. Pengangguran Friksional (Frictional Unemployment)

Pengangguran ini bersifat sementara, biasanya terjadi karena adanya

kesenjangan waktu, informasi maupun karena kondisi geografis antara pencari

kerja dan kesempatan (lowongan kerja). Mereka yang tergolong dalam kategori

pengangguran sementara pada umumnya rela menganggur (vouluttary

unemployment) untuk mendapat pekerjaan.

Terdapat tiga golongan penganggur yang dapat diklasifikasikan sebagai

(47)

a. Tenaga kerja yang baru pertama kali mencari kerja. Setiap tahun terdapat

golongan penduduk yang mencapai usia yang tergolong sebagai angkatan

kerja. Di samping itu, pelajar dan sarjana yang baru menyelesaikan

pelajarannya juga akan secara efektif mencari kerja.

b. Pekerja yang meninggalkan kerja dan mencari kerja baru. Ketika

perekonomian mencapai tingkat kegiatan yang sangat tinggi, terdapat

perusahaan yang mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan pekerja. Ini

akan mendorong orang-orang yang sedang bekerja meninggalkan

pekerjaanya, untuk mencari pekerjaan yang lebih sesuai dengan pribadinya

atau untuk mendapatkan gaji yang lebih tinggi.

c. Pekerja yang memasuki lagi pasaran buruh. Terdapat golongan pekerja

yang dahulu telah bekerja tetapi meninggalkan angkatan kerja,

memutuskan untuk bekerja kembali. Golongan tenaga kerja ini dapat

dilihat dari contoh berikut: seorang anak muda berhenti bekerja karena

ingin meneruskan pelajarannya. Setelah tamat, ia mencari pekerjaan yang

baru.

2. Pengangguran Struktural (Structural Unemployment)

Pengangguran ini sifatnya mendasar, dimana pengangguran ini disebabkan

adanya perubahan atau perkembangan teknologi dalam kegiatan ekonomi.

Sehingga terjadi ketidaksesuaian antara keterampilan yang dimiliki dengan yang

dibutuhkan lapangan kerja. Dilihat dari sifatnya, pengangguran struktural lebih

sulit diatasi dibandingkan pengangguran friksional. Selain membutuhkan

pendanaan yang besar untuk meningkatkan kualitas dan keterampulan tenaga

(48)

struktural merupakan masalah dimasa mendatang, jika tidak ada perbaikan

kualitas SDM.

Penyebab timbulnya pengangguran struktural adalah:

a. Adanya perkembangan teknologi yang menyebabakan munculnya

oengangguran teknologi.

b. Adanya kemunduran yang disebabkan persaingan dari luar negeri atau dari

luar daerah. Pengangguran struktural yang disebabkan persaingan dari luar

negeri banyak dialami oleh negara-negara maju. Untuk menghindari hal

tersebut, maka negara tersebut akan membatasi impor barang-barang ke

negara mereka.

c. Terjadinya kemunduran perkembangan ekonomi suatu kawasan sebagai

akibat dari pertumbuhan yang pesat dari kawasan lain.

3. Pengangguran Musiman (Seasonal Unemployment)

Pengangguran ini dipengaruhi oleh perubahan musim, biasanya bersifat

sementara dan terjadi dalam jangka pendek secara berulang-ulang. Contohnya di

sektor pertanian, di luar musim tanam atau musim panen akan terjadi

pengangguran.

4. Pengangguran Siklikal (Cyclical Unemployment)

Pengangguran ini disebabkan adanya fluktuasi/siklus dalam perkembangn

bisnis atau dikarenakan oleh kemerosotan perekonomian suatu negarra.

Kemerosotan ekonomi bisa berasal dari dalam negeri dan bisa pula dari luar

negeri, seperti: konsumsi, investasi, dan ekspor. Semuanya mendorong

permintaan agregat lebih rendah dibandingkan penawaran agregat, dan ini

(49)

Dalam kondisi perekonomian, kesempatan kerja penuh atau full

employment sering disalahtafsirkan banyak orang. Banyak yang menganggap

bahwa hal it berarti dalam perekonomian tidak terdapat pengangguran –yaitu

tenaga kerja dalam perekonomian tersebut sepenuhnya bekerja. Dalam analisis

makroekonomi dan juga dalam praktek penggunaan istilah tersebut, kesempatan

kerja penuh adalah keadaan di mana sekitar 95 persen dari angkatan kerja dalam

suatu waktu tertentu semuanya bekerja. Pengangguran yang berlaku pada tingkat

kesempatan kerja penuh ini dinamakan tingkat pengangguran alamiah atau

natural rate of employment. Sebagian ahli ekonomi lebih suka menggunakan

istilah NAIRU atau Non-Accelerated Inflation Rate of Unemployment, yang

dalam bahasa Indonesia kurang lebih dapat diartikan sebagai tingkat

pengangguran yang tidak akan mempercepat tingkat inflasi untuk menggantikan

istilah natural rate of unemployment.

Maksud dari angka 95 persen merupakan suatu ukuran kasar saja dan pada

hakikatnya mengatakan bahwa pengangguran dalam suatu perekonomian

mencapai 5 persen, maka perekonomian tersebut sudah dapat dianggap mencapai

kesempatan kerja penuh. Pengangguran sebesar 5 persen inilah yang dinamakan

sebagai pengangguran alamiah atau NAIRU.

Pada parakteknya, tingkat pengangguran yang dinamakan tingkat

pengangguran alamiah ini (i) berbeda di antara satu negara dengan negara lain,

dan (ii) berbeda dalam satu negara pada periode yang berbeda. Ada negara yang

menganggap bahwa pengangguran sebanyak 5 persensebagai ukuran untuk

menentukan tingkat kesempatan kerja penuh atau terlalu tinggi dan mereka

(50)

negara lain yang menganggap pengangguran 5 persen sebagai ukuran mencapai

kesempatan kerja penuh terlalu rendah dan menganggap sudah dicapai pada

tingkat pengangguran sebanyak 7 atau 8 persen.

Ahli-ahli ekonomi menganggap bahwa pengangguran friksional dan

pengangguran struktural merupakan pengangguran yang wajar (oleh sebab itu

kedua jenis pengangguran tersebut digolongkan sebagai natural unemployment,

dan istilah ini mula-mula dekemukakan oleh Milton Friedman pada tahun 1968 –

yang dianggap berlakunya tidak dapat dihindari. Inilah alasan para ahli ekonomi

menganggap kesempatan kerja penuh telah tercapai apabila pengangguran dalam

wujud pengangguran friksional dan struktural.

Ahli-ahli ekonomi klasik menganggap bahwa masalah pengangguran

merupakan masalah yang bersifat sementara. Apabila masalah tersebut terjadi,

menurut pendapat ahli-ahli ekonomi klasik, pasaran buruh akan membuat

penyesuaian-penyesuaian sehingga akhirnya tingkat kesempatan kerja penuh akan

(51)

Gambar 2.4

Pandangan Klasik Mengenai Mekanisme Pasaran Tenaga Kerja

Tingkat Upah

W0 A E0

E1

NA N1 N0 Jumlah Tenaga Kerja

Kurva NDo menggambarkan kurva permintaan buruh asal, manakala kurva

NS adalah kurva penawaran buruh. Dengan demikian pada mulanya tingkat upah

riil adalah W0 dan jumlah buruh yang akan digunakan dalam kegiatan ekonomi

adalah N0. Misalkan, terjadi perubahan dalam kegiatan ekonomi yang

menyebabkan permintaan buruh berkurang menjadi ND1. Apabila upah tetap pada

tingkat W0, akan terdapat kelebihan penawaran tenaga kerja sebanyak NAN0 akan

berlaku dalam perekonomian. Ahli-ahli ekonomi klasik berpendapat bahwa

pengangguran dalam wujud ini akan menurunkan tingkat upah. Para penganggur

akan bersaing satu sama lain untuk mendapatkan pekerjaan dan bersedia dibayar

pada tingkat upah yang lebih rendah. Persaingan di antara penganggur akan

menyebabkan penurunan upah riil dan pada akhirnya menciptakan keseimbangan

pasaran tenaga kerja yang baru, yaitu di titik E1. Tingkat upah riil menurun

menjadi W1 dan perekonomian sekarang menggunakan hanya sebanyak N1 tenaga

Ns

ND0

(52)

kerja, berbanding dengan N0 sebelum berlaku pengurangan dalam permintaan

tenaga kerja.

Menurut para ahli-ahli ekonomi klasik NAN0 bukanlah pengangguran

dalam pengertian yang digunaklan dalam masa kini. Kaum klasik menganggap

bahwa pengangguran sebanyak NAN0 sebagai pengangguran sukarela. Mereka

merupakan tenaga kerja yang tidak mau bekerja pada tingkat upah riil sebanyak

W1. Mereka hanya akan bekerja apabila upah sama dengan atau lebih tinggi dari

W0. Dengan demikian mereka tidak dapat digolongkan sebagai penganggur.

Dalam analisa modern, terdapat pengangguran yang melebihi

pengangguran alamiah yang dikenal dengan pengangguran konjungtor yang

terjadi sebagai akibat pengurangan dalam permintaan agregat. Perubahan

permintaan agregat dengan kesempatan kerja ditunjukkan pada grafik berikut.

Gambar 2.5

Pengangguran Konjungktur dan Sebab Berlakunya

P LRAS AS W1 N

s

E W0 A E0

E1 AD

AD1

Y1 YF Y N1 N0 N

(a) Permintaan dan Penawaran Agregat (b) Pasaran Tenaga Kerja

Grafik (a) menggambarkan permintaan dan penawaran agregat dalam

(53)

perekonomian mencapai kesempatan kerja penuh. Grafik (b) menggambarkann

keadaan di pasar tenaga kerja, di mana pada mulanya kesempatan kerja penuh

tercapai pada keseimbangan di titik E0 –yang berarti jumlah tenaga kerja yang

digunakan adalah N0 dan tingkat upah nominal adalah W0.

Seterusnya, misalkan perbelanjaan masyarakat mengalami kemunduran,

yang menyebabkan perubahan kurva permintaan agregat dari AD menjadi AD1.

Sebagai akibat dari perubahan ini keseimbangan di pasaran barang bergerak dari

titik E menjadi E1 –yang berarti pendapatan nasional turun dari YF menjadi Y1 dan

tingkat harga turun dari P0 menjadi P1. Perubahan di pasar barang ini akan

mempengarugi pasar tenaga kerja. Kemerosotan permintaan agregat, yang

menyebabkan penurunan harga dan pendapatan nasional akan mengurangi

permintaan ke atas tenaga kerja. Perubahan ke atas tenaga kerja ini digambarkan

oleh perpindahan permintaan tenaga kerja dan NDo menjadi ND1. Sebagai akibat

dari perubahan ini, pada tingkat upah W0, penawaran tenaga kerja melebihi

permintaan sebanyak AE0. Berarti pada tingkat upah W0 sebanyak N1N0 tenaga

kerja akan menganggur.

Menurut pandangan ahli-ahli ekonomi klasik, pengangguran ini akan

menyebabkan penurunan tingkat upah. Golongan Keynesian berpendapat tingkat

upah tidak akan mengalami perubahan, yaitu akan tetap sebesar W0 dan

menyebabkan perekonomian menghadapi pengangguran konjungtor sebanyak

N1N0. Pengangguran seperti ini dinamakan juga sebagai pengangguran tidak

sukarela (Invouluntary unemployment).

Golongan Keynesian (dan Keyneseian baru) mengemukakan beberapa

Gambar

Tabel 2.1
Tabel 2.2 Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB)
Gambar 2.1 Inflasi Tekanan Permintaan
Gambar 2.2 Inflasi Dorongan Biaya
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rachma Fahayyina : Analisis Kausalitas Antara Tingkat Inflasi dan Tingkat Pengangguran di Sumatera Utara, 2007... Rachma Fahayyina : Analisis Kausalitas Antara Tingkat Inflasi

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teori kurva Phillips yang menyebutkan adanya trade off atau hubungan negatif antara inflasi dengan tingkat pengangguran ternyata

Dalam kesempatan ini, penulis juga tidak lupa untuk mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menjalani studi di Fakultas Ekonomi

Error t-Statistic Prob... Error t-Statistic

Irdam Ahmad, Hubungan Antara Inflasi Dengan Tingkat Pengangguran, Pengujian Kurva Philips Dengan Data Indonesia, 1976-2006,. Muhammad Iqbal Surya Pratiko dan Lucky

Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara jumlah penduduk, tingkat inflasi, rata – rata upah minimum kabupaten / kota, dan laju pertumbuhan PDRB dengan

Temuan dari penelitian ini adalah tidak adanya hubungan kausalitas antara defisit APBN dengan tingkat inflasi atau dengan kata lain antara deficit APBN dengan tingkat inflasi

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teori Kurva Phillips yang menyebutkan adanya trade-off atau hubungan negatif antara inflasi dengan tingkat pengangguran