UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI
MEDAN
ANALISIS HUBUNGAN TIMBAL BALIK ANTARA TINGKAT
INFLASI DENGAN TINGKAT PENGANGGURAN
DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Oleh:
NATALIN R. SIREGAR 060501083
EKONOMI PEMBANGUNAN
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
KATA PENGANTAR
Segala pujian syukur dan hormat hanya bagi Yesus Kristus, Allah yang
menyelamatkan dan senantiasa melimpahkan berkat dalam kehidupan penulis,
bahkan yang senantiasa memberikan kekuatan dan menunjukkan jalan dalam
setiap proses pengerjaan skripsi ini sehingga penulis mampu menyelesaikannya
guna memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan perkuliahan di Departemen
Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
Adapun judul dari skripsi ini adalah: “Analisis Hubungan Timbal Balik
Antara Tingkat Inflasi dengan Tingkat Pengangguran di Indonesia”.
Secara khusus skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orang tua
penulis terkasih Drs. M. Siregar dan E.T. Simanjuntak,BA yang selalu setia
mendukung dan mengajari penulis dalam memaknai kehidupan serta yang selalu
berdoa bagi penulis. Juga buat abang-abang penulis yang terkasih Chandra
Siregar, Darius Siregar yang selalu mengajari dan memotivasi penulis dan adek
Caesar Siregar yang jauh tapi dekat. Terima kasih untuk setiap cinta dan kasih
sayang yang selalu akan ada dan penulis rasakan.
Dalam kesempatan ini, penulis juga tidak lupa untuk mengucapkan banyak
terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menjalani
studi di Fakultas Ekonomi bahkan dalam masa-masa pengerjaan skripsi ini, baik
1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec, selaku Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec, selaku Ketua Departemen Ekonomi
Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, PhD, selaku Sekretaris departemen
Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Dra. T. Diana Bakti, MSi, selaku Dosen Penasehat Akademik.
5. Ibu Dr. Murni Daulay, MSi selaku Dosen Pembimbing penulis yang telah
meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan evaluasi dan saran
dalam pengerjaan skripsi ini.
6. Bapak Drs. Rujiman, MA dan Bapak Drs. HB. Tarmizi, SU selaku Dosen
Pembanding yang memberikan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Seluruh staf pengajar dan staf pegawai Fakultas Ekonomi terutama
Departemen Ekonomi Pembangunan yang telah berbagi ilmu pengetahuan
dan membantu penulis selama penulis menjalani masa perkuliahan.
8. Seluruh staf perpustakaan Biro Pusat Statistik Medan yang telah membantu
penulis dalam pencarian data yang diperlukan dalam pengerjaan skripsi ini.
9. Sahabat-sahabat penulis dalam KK Be Blessed, Derma Purba, Vina
Tambunan, Jeni Purba, Elida Simanjuntak, Siska Silitonga, Kak Gohana, dan
juga Kak Princes. Terima kasih karena selalu ada untuk menemani dan
mendukung penulis dalam setiap hal, suka dan dukaku sehingga kita dapat
10. Adik-adik penulis yang terkasih dalam KK Glorification, Paulina Hutagalung,
Evri Sihotang, Nova Sihombing dan juga dalam KK Zefanya, Henny
Damanik dan Ema Manurung, terima kasih untuk perhatian, doa dan
semangatnya.
11. Sahabat-sahabat penulis di Wisma Kasih (M’178), terutama Rini, Rotua,
Anike, Rebekka, Inta, Wenny, Rina, dan juga Eva yang telah memberi arti
dari persahabatan. Terima kasih untuk kebersamaan, pengertiannya selama ini
dalam menjalani segala sesuatu, dan dukungan yang selalu diberikan pada
penulis.
12. Teman-teman pelayanan PD/PA FILIPI, Hendro “iban”, Bang Ray, Bang
Freddy, Bang Alex, Bang Hendra, Kak Nita, Kak Magda, Nove dan
teman-teman lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih
untuk doa dan kebersamaannya selama ini yang menolong penulis untuk
bertumbuh dalam pengenalan akan Dia.
13. Teman-teman EP stambuk 2006, Valentina, Christin, Regina, Andreas, Irwin,
Arisandi, Albert, dan teman-teman yang lainnya untuk kebersamaannya
selama ini. Sukses untuk kita semua.
14. Abang dan Kakak stambuk 2004 dan 2005 yang telah lebih dahulu menjadi
alumni yang menjadi inspirasi bagi penulis. Terima kasih untuk
kebersamaannya selama menjalani masa perkuliahan di EP.
15. Christian Youth, terutama Ade, Nusa, Andi dan teman-teman lainnya. Sukses
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu
penulis juga mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi
penyempurnaan skripsi ini.
Akhir kata, kiranya skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang
membaca dan memerlukan.
Medan, Maret 2010
Penulis,
ABSTRACT
The aim of this research is to analize the relationship between inflation rate and unemployment rate in Indonesia e.i the causality relationship and the long term relationship between that two variables. Data that employed in this research are inflation rate and unemployment rate in Indonesia annually during 1980-2008.
This research used Granger Causality test, tried to investigate the causality relationship between inflation rate and unemployment rate and Cointegration test to investigate the long term relationship between to variables. But before used that two test, employed test of unit roots to investigate that two variables have been stationary.
The unit roots test results that inflation rate data were stationary at level and unemployment rate data were stationary at the first difference. Granger causality test indicated there is an unidirectional causal from unemployment rate to inflation rate in Indonesia. The cointegration test result that it has long term relationship between inflation rate and unemployment rate in Indonesia.
ABSTRAK
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran di Indonesia yaitu menganalisis hubungan timbal balik dan mengetahui hubungan keseimbangan dalam jangka panjang antara kedua variabel tersebut. Data yang dipergunakan adalah data tahunan tingkat inflasi dan tingkat pengangguran dalam kurun waktu 1980-2008.
Penelitian ini menggunakan alat analisis Uji Kausalitas Granger (Granger
Causality Test) untuk mengetahui hubungan timbal balik antara tingkat inflasi
dengan tingkat pengangguran dan Uji Kointegrasi (Cointegration Test) untuk mengetahui hubungan keseimbangan dalam jangka panjang. Namun, sebelum melakukan kedua uji tersebut, dilakukan uji stasioneritas dengan menggunakan Uji Akar Unit (Unit Root Test) untuk mengetahui apakah data yang dipergunakan sudah stasioner
Dari hasil Uji Akar Unit yang digunakan diperoleh bahwa variabel inflasi telah stasioner pada tingkat level atau I(0), sedangkan variabel tingkat inflasi stasioner pada tingkat first diference atau I(1) masing-masing pada tingkat kepercayaan 1%.. Dari hasi Uji Kausalitas Granger diketahui antara kedua variabel terdapat hubungan satu arah yaitu tingkat penganguran mempengaruhi tingkat inflasi di Indonesia pada tingkat kepercayaan 1%. Hasil Uji Kointegrasi menunjukkan adanya hubungan keseimbangan jangka panjang antara kedua variabel tersebut.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………. i
ABSTRAK……… ii
DAFTAR ISI……… iii
DAFTAR TABEL……….. iv
DAFTAR GAMBAR………. v
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang………... 1
1.2 Perumusan Masalah………... 7
1.3 Tujuan Penelitian………. 7
1.4 Manfaat Penelitian……… 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Inflasi……… 9
2.1.1 Definisi Inflasi………... 9
2.1.2 Indikator Inflasi………... 10
2.1.3 Teori-Teori Inflasi……… 13
2.1.4 Jenis-Jenis Inflasi………. 18
2.1.5 Dampak Inflasi……… 22
2.2 Pengangguran………... 28
2.2.1 Definisi Pengangguran……….. 28
2.2.2 Cara Mengukut Tingkat Pengangguran……. 30
2.2.3 Jenis Pengangguran………... 32
2.2.4 Dampak Pengangguran……… 41
2.3 Hubungan Inflasi dengan Pengangguran………….. 44
2.3.1 Kurva Phillips………... 44
2.3.2 Pandangan Mengenai Hubungan Antara Inflasi dengan Pengangguran……… 48
2.4 Penelitian Terdahulu... 52
2.5 Hipotesis Penelitian... 54
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian……… 55
3.2 Jenis dan Sumber Data………. 55
3.3 Teknik Pengumpulan Data………. 56
3.4 Teknik Pengolahan Data………... 56
3.5 Metode Analisis Data………. 56
3.5.1 Uji Akar-Akar Unit... 57
3.5.2 Uji Derajat Integrasi... 58
3.5.3 Uji Kausalitas Granger………. 58
3.5.4 Uji Kointegrasi... 59
BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Negara Indonesia... 62
4.1.1 Kondisi Geografis……… 62
4.1.2 Kondisi Iklim dan Topografi……… 62
4.1.3 Keadaan Demografi………. 63
4.2 Gambaran Umum Perekonomian Indonesia……... 65
4.3 Perkembangan Inflasi di Indonesia………... 75
4.4 Perkembangan Tingkat Pengangguran di Indonesia... 79
4.5 Analisis Data... 82
4.5.1 Uji Akar Unit dan Uji Derajat Kointrgrasi... 83
4.5.2 Uji Causalitas Granger……... 85
4.5.3 Uji Kointegrasi………. 87
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan………. 89
5.2 Saran……….. 90
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
No. Tabel Judul Halaman
2.1 Indeks Harga Konsumen Gabungan 66 Kota di Indonesia,
2004-2008……… 11
2.2 Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB), 2004-2008 ……… 12
4.1 Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia……… 65
4.2 Beberapa Indikator Makroekonomi Sebelum dan Sesudah
Krisis Ekonomi………. 71
4.3 Perkembangan Tingkat Inflasi Indonesia Tahun
1980-2008………. 77
4.4 Perkembangan Pengangguran Terbuka Indonesia…….…… 80
4.5 Pengangguran di Indonesia Berdasarkan Pendidikan
Tahun 2004-2008………... 82
4.6 Hasil Estimasi ADF dan Derajat Integrasi Untuk Uji
Akar Unit……… 83
4.7 Hasil Estimasi Uji Kausalitas Granger……… 85
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Judul Halaman
2.3 Inflasi Tekanan Permintaan (Demand-Pull Inflation)………. 20
2.4 Inflasi Dorongan Biaya (Coct-Push Inflation)……….. 21
2.5 Struktur Penduduk Berdasarkan Usia……… 29
2.6 Pandangan KlasikMengenai Mekanisme Pasaran Tenaga Kerja……… 37
2.7 Pengangguran Konjungtur dan Sebab Berlakunya………... 38
2.8 Kurva Phillips……… 45
2.9 Simple Phillips Curve………... 47
2.10 Kurva Phillips Berdasarkan Analisis AD-AS……… 48
2.11 Kurva Phillips Jangka Panjang……….. 51
ABSTRACT
The aim of this research is to analize the relationship between inflation rate and unemployment rate in Indonesia e.i the causality relationship and the long term relationship between that two variables. Data that employed in this research are inflation rate and unemployment rate in Indonesia annually during 1980-2008.
This research used Granger Causality test, tried to investigate the causality relationship between inflation rate and unemployment rate and Cointegration test to investigate the long term relationship between to variables. But before used that two test, employed test of unit roots to investigate that two variables have been stationary.
The unit roots test results that inflation rate data were stationary at level and unemployment rate data were stationary at the first difference. Granger causality test indicated there is an unidirectional causal from unemployment rate to inflation rate in Indonesia. The cointegration test result that it has long term relationship between inflation rate and unemployment rate in Indonesia.
ABSTRAK
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran di Indonesia yaitu menganalisis hubungan timbal balik dan mengetahui hubungan keseimbangan dalam jangka panjang antara kedua variabel tersebut. Data yang dipergunakan adalah data tahunan tingkat inflasi dan tingkat pengangguran dalam kurun waktu 1980-2008.
Penelitian ini menggunakan alat analisis Uji Kausalitas Granger (Granger
Causality Test) untuk mengetahui hubungan timbal balik antara tingkat inflasi
dengan tingkat pengangguran dan Uji Kointegrasi (Cointegration Test) untuk mengetahui hubungan keseimbangan dalam jangka panjang. Namun, sebelum melakukan kedua uji tersebut, dilakukan uji stasioneritas dengan menggunakan Uji Akar Unit (Unit Root Test) untuk mengetahui apakah data yang dipergunakan sudah stasioner
Dari hasil Uji Akar Unit yang digunakan diperoleh bahwa variabel inflasi telah stasioner pada tingkat level atau I(0), sedangkan variabel tingkat inflasi stasioner pada tingkat first diference atau I(1) masing-masing pada tingkat kepercayaan 1%.. Dari hasi Uji Kausalitas Granger diketahui antara kedua variabel terdapat hubungan satu arah yaitu tingkat penganguran mempengaruhi tingkat inflasi di Indonesia pada tingkat kepercayaan 1%. Hasil Uji Kointegrasi menunjukkan adanya hubungan keseimbangan jangka panjang antara kedua variabel tersebut.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat inflasi yang terkendali, nilai
tukar dan tingkat suku bunga yang stabil serta tingkat pengangguran yang rendah
atau bahkan tercapainya full employment adalah kondisi ideal perekonomian yang
ingin dicapai oleh semua negara, termasuk Indonesia. Dalam rangka pencapaian
kondisi ideal perekonomian seperti yang disebutkan di atas, pemerintah Indonesia
senantiasa berupaya menjalankan berbagai program dan kebijakan, baik di sektor
fiskal maupun sektor moneter.
Adapun beberapa upaya yang ditempuh oleh pemerintah untuk mencapai
kondisi perekonomian yang ideal tersebut adalah melalui kebijakan di sektor
fiskal yaitu kebijakan anggaran pemerintah dari sisi penerimaan maupun dari sisi
pengeluaran. Salah satu instrumen kebijakan fiskal adalah pajak dan subisidi.
Sedangkan kebijakan sektor moneter merupakan upaya untuk mengendalikan
jumlah uang beredar dalam masyarakat. Kebijakan ini dapat dilakukan melalui
kebijakan uang ketat (untuk mengurangi uang beredar) disebut sebagai kebijakan
moneter kontraktif dan kebijakan moneter ekspansif untuk menambah jumlah
uang beredar (Rahardja dan Manurung. 2004).
Namun pada kenyataannya, kondisi perekonomian ideal tersebut belum
dapat dicapai oleh Indonesia. Hal ini terbukti dari kondisi di Indonesia sendiri,
inflasi sulit untuk dikendalikan, angka pengangguran yang terus meningkat dari
tahun ke tahun, dan pertumbuhan ekonomi yang tidak selalu sesuai dengan target
yang ditetapkan. Hal tersebut sesungguhnya menunjukkan bahwa kondisi
ekonomi makro Indonesia terus mengalami perkembangan yang pasang surut.
Dari beberapa indikator ekonomi makro yang disebutkan di atas, variabel
yang terus-menerus dipantau adalah inflasi dan pengangguran. Kedua variabel ini
sangat berdampak buruk terhadap pembangunan ekonomi terutama terhadap
kesejahteraan masyarakat. Untuk itu masalah inflasi dan pengangguran ini selalu
menjadi dua hal yang menarik untuk dibahas dan dicari pemecahan masalahnya.
Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang sangat ditakuti oleh semua
negara di dunia, termasuk Indonesia. Apabila inflasi ditekan dapat mengakibatkan
meningkatnya tingkat pengangguran, sedangkan tingkat pengangguran adalah
salah satu simbol dari rendahnya produksi nasional yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi (Maknun, 1995).
Inflasi secara ringkas dapat diartikan sebagai kenaikan harga
barang-barang. Dengan kenaikan harga tersebut, perekonomian akan mengalami
ketidakstabilan dan akan mempengaruhi perilaku baik itu masyarakat ataupun
pemerintah. Dengan naiknya harga-harga, maka minat masyarakat untuk
menabung cenderung turun. Kemudian, untuk menarik uang pemerintah
menaikkan tingkat suku bunga yang mengakibatkan turunnya minat untuk
investasi, yang berarti adanya kecenderungan penurunan akumulasi modal
sehingga pertumbuhan dan kestabilan perekonomian akan terganggu.
Selain itu, inflasi juga dapat menimbulkan ketidakstabilan produktivitas
ketidakstabilan distribusi pendapatan masyarakat, dan masih banyak lagi variabel
ekonomi lain yang terpengaruh dengan adanya inflasi ini. Oleh karena itu, melalui
UU No. 23 Tahun 1999, yang kemudian direvisi dengan UU No. 3 Tahun 2004,
Pemerintah bersama Bank Indonesia akan berupaya mengendalikan dan mencapai
target inflasi yang telah ditetapkan, sehingga kestabilan dan pertumbuhan
ekonomi dapat tercapai dan berkelanjutan (Setyawan,2005).
Namun demikian, meskipun menjadi salah satu masalah besar dalam
perekonomian, sebagian ahli sepakat bahwa inflasi juga mampu memberi dampak
yang positif bagi perekonomian dalam kisaran tertentu. Bagi negara yang
perekonomiannya baik, tingkat inflasi yang terjadi berkisar antara 2 persen sampai
4 persen per tahun (Amir, 2008). Dengan kata lain, tingkat inflasi yang kurang
atau lebih dari angka tersebut, akan memiliki kecenderungan memberi dampak
negatif bagi perekonomian.
Perkembangan inflasi di Indonesia menunjukkan fluktuasi yang bervariasi
dari waktu ke waktu. Pembicaraan mengenai inflasi di Indonesia mulai populer
ketika laju inflasi demikian tinggi hingga mencapai 650 persen pada dasawarsa
1960-an. Berdasarkan pengalaman pahit tersebut, pemerintah berusaha untuk
mengendalikan laju inflasi. Pada tahun 1972 sampai dengan 1980-an rata-rata laju
inflasi di Indonesia masih berada pada level dua digit, tetapi pada tahun 1984
sampai tahun 1996 laju inflasi dapat dikendalikan pada level satu digit. Krisis
ekonomi yang terjadi di Indonesia pada pertengahan tahun 1997 membuat laju
inflasi di Indonesia naik menjadi dua digit yaitu sebesar 11,05 persen dan
mencapai puncaknya pada tahun 1998 sebesar 77,63 persen (Badan Pusat
Kondisi perekonomian Indonesia pasca krisis moneter mulai mengalami
perbaikan. Hal ini dilihat dari menurunnya laju inflasi sebesar 75,62 persen
menjadi 2,01 persen pada tahun 1999. Laju inflasi pada tahun 2001 sampai 2002
kembali naik pada level 2 digit yaitu sebesar 12,55 persen dan 10,05 persen.
Penyebab tingginya laju inflasi tersebut, selain kondisi keamanan dalam negeri
yang kurang kondusif juga dipicu oleh kebijakan pemerintah menaikkan harga
BBM, tarif listrik, dan telepon (Badan Pusat Statistik).
Selain berbicara masalah inflasi yang merupakan salah satu indikator
ekonomi makro yang sangat mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi, masalah utama dan mendasar dalam ketenagakerjaan di Indonesia
adalah masalah upah yang rendah dan tingkat pengangguran yang tinggi. Hal
tersebut disebabkan karena pertambahan tenaga kerja baru jauh lebih besar
dibandingkan dengan pertumbuhan lapangan kerja yang dapat disediakan setiap
tahunnya. Pertumbuhan tenaga kerja yang lebih besar dibandingkan dengan
ketersediaan lapangan kerja menimbulkan pengangguran yang tinggi.
Pengangguran merupakan salah satu masalah utama dalam jangka pendek
yang selalu dihadapi setiap negara. Karena itu, setiap perekonomian dan negara
pasti menghadapi masalah pengangguran, yaitu pengangguran alamiah (natural
rate of unemployment). Berbicara masalah pengangguran, berarti berbicara
masalah sosial dan ekonomi, karena pengangguran selain menyebabkan masalah
sosial juga memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara
khususnya negara yang sedang berkembang seperti Indonesia ini.
perlu ditingkatkan agar kegiatan perekonomian terdorong untuk menciptakan
lapangan kerja baru yang lebih besar sehingga mampu mengurangi kemiskinan.
Sebelum krisis ekonomi tahun 1997, tingkat pengangguran di Indonesia
pada umumnya di bawah 5 persen dan pada tahun 1997 sebesar 5,7 persen.
Tingkat pengangguran sebesar 5,7 persen masih merupakan pengangguran
alamiah. Tingkat pengangguran alamiah adalah suatu tingkat pengangguran yang
alamiah dan tak mungkin dihilangkan. Tingkat pengangguran alamiah ini sekitar
5-6 persen atau kurang. Artinya jika tingkat pengangguran paling tinggi 5 persen
itu berarti bahwa perekonomian dalam kondisi penggunaan tenaga kerja penuh
(full employment).
Jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Agustus 2008 mencapai 111,95
juta orang, bertambah 470 ribu orang dibanding jumlah angkatan kerja Februari
2008 sebesar 111,48 juta orang atau bertambah 2,01 juta orang dibanding Agustus
2007 sebesar 109,94 juta orang. Jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia pada
Agustus 2008 mencapai 102,55 juta orang, bertambah 503 ribu orang dibanding
keadaan pada Februari 2008 sebesar 102,05 juta orang, atau bertambah 2,62 juta
orang dibanding keadaan Agustus 2007 sebesar 99,93 juta orang. Tingkat
pengangguran terbuka di Indonesia pada Agustus 2008 mencapai 8,39 persen,
mengalami penurunan dibanding pengangguran Februari 2008 sebesar 8,46
persen, dan pengangguran Agustus 2007 sebesar 9,11 persen (Badan Pusat
Statistik).
Pengangguran biasanya dikaitkan dengan masalah tingkat inflasi yang
usaha lebih banyak disebabkan oleh kondisi ekonomi dunia yang memburuk dan
ketidakmampuan bersaing di pasar internasional, sedangkan daya beli masyarakat
di dalam negeri sangat terbatas.
Inflasi dan pengangguran secara teoritis terkait. Hal ini pertama kali
dikemukakan oleh ekonom Inggris bernama A.W. Phillips pada tahun 1958 yang
mengemukakan adanya hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran di
Inggris. Dalam penjelasannya, Phillips menggambarkan hubungan tersebut dalam
sebuah kurva yang kemudian dikenal dengan Kurva Phillips.
Secara garis besar, hubungan yang terjadi dalam kurva Phillips adalah apabila
terjadi suatu tingkat inflasi yang rendah, maka akan diiringi oleh tingginya tingkat
pengangguran.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman, banyak perubahan yang
mengiringi variabel-variabel ekonomi secara global maupun regional. Dampaknya
juga terimbas pada penerapan kurva Phillips. Banyak ekonom yang tidak setuju
dengan konsep dasar dari kurva Phillips ini, yaitu adanya hubungan negatif antara
inflasi dengan pengangguran.
Kritik ini dimulai dengan tanggapan Milton Friedman pada tahun 1976
mengatakan bahwa teori dasar dari kurva Phillips ini hanya terjadi pada jangka
pendek, tetapi tidak dalam jangka panjang, karena pada jangka pendek masih
berlaku harga kaku sticky price, sedangkan pada jangka panjang berlaku harga
fleksibel. Dengan kata lain, tingkat pengangguran bagaimanapun juga akan
kembali pada tingkat alamiahnya. Dan hubungan yang terjadi antara inflasi dan
Bertolak dari permasalahan di atas dan keinginan untuk mencari
pengetahuan yang lebih baik, maka penulis ingin melakukan penelitian dalam
bentuk skripsi yang berjudul : “Analisis Hubungan Timbal Balik Antara Tingkat
Inflasi dengan Tingkat Pengangguran di Indonesia”.
1.2 Perumusan Masalah
Masalah utama yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah melihat dan
menganalisis keberadaan hubungan antara tingkat inflasi dan pengangguran
dengan mengambil studi kasus di Indonesia. Masalah yang akan dikaji dalam
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah inflasi mempengaruhi tingkat pengangguran di Indonesia
ataukah sebaliknya yaitu tingkat pengangguran mempengaruhi tingkat
inflasi di Indonesia atau apakah keduanya saling mempengaruhi
ataukah keduanya tidak saling mempengaruhi?
2. Apakah tingkat inflasi dan tingkat pengangguran di Indonesia memiliki
pengaruh dalam jangka panjang?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui hubungan timbal balik antara tingkat inflasi dan
tingkat pengangguran di Indonesia
2. Untuk mengetahui hubungan keseimbangan jangka panjang antara
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sebagai suatu kesempatan bagi penulis menambah wawasan ilmiah
yang berkaitan dengan program studi yang sedang penulis tekuni
khususnya mengenai hubungan tingkat inflasi dan pengangguran di
Indonesia.
2. Sebagai bahan studi atau tambahan literatur dan informasi bagi
mahasiswa/i Fakultas Ekonomi khususnya Departemen Ekonomi
Pembangunan dan juga masyarakat yang ingin melakukan penelitian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Inflasi
2.1.1 Definisi Inflasi
Inflasi adalah gejala kenaikan harga barang-barang yang bersifat umum
dan terus-menerus. Dari defenisi ini, ada tiga komponen yang harus dipenuhi
untuk menggambarkan bahwa telah terjadi inflasi, yaitu :
1. Kenaikan Harga
2. Bersifat Umum
3. Berlangsung Terus-Menerus
1. Kenaikan Harga
Harga suatu komoditas dikatakan naik apabila menjadi lebih tinggi
daripada harga periode sebelumnya. Misalnya, harga beras satu kilogram pada
hari yang lalu adalah Rp. 6.000,00. Hari ini menjadi Rp. 7.000,00. Berarti harga
beras per kilogram hari ini Rp. 1.000,00 lebih mahal dibanding hari yang lalu.
Dapat dikatakan telah terjadi kenaikan harga beras. Perbandingan tingkat harga
juga bisa dilakukan dengan jarak waktu yang lebih panjang; satu minggu, satu
bulan, triwulan, atau satu tahun. Perbandingan harga juga bisa dilakukan
berdasarkan patokan musim. Misalnya di musim panceklik pada umumnya harga
beras akan mengalami kenaikan dan akan lebih mahal bila dibandingkan dengan
2. Bersifat Umum
Kenaikan harga suatu komoditi belum dapat menggambarkan bahwa telah
terjadi inflasi apabila kenaikan harga tersebut tidak mengakibatkan harga-harga
secara umum naik. Misalnya, apabila pemerintah menaikkan harga BBM (Bahan
Bakar Minyak), pada umumnya harga-harga komoditas lain akan ikut naik karena
BBM merupakan komoditi strategis, dimana sebagian besar kegiatan ekonomi
memerlukan BBM, sehingga kenaikan harga BBM akan merambat pada kenaikan
komoditas lainnya. Naiknya harga BBM ini dapat menimbulkan terjadinya inflasi.
3. Berlangsung Terus-Menerus
Kenaikan harga yang bersifat umum juga belum akan mengakibatkan
inflasi apabila kenaikan harga tersebut terjadi hanya sesaat. Karena perhitungan
inflasi dilakukan dalam rentang waktu minimal bulanan. Sebab dalam jangka
waktu satu bulan akan terlihat apakah kenaikan harga bersifat umum dan
terus-menerus.
2.1.2. Indikator Inflasi
Ada beberapa indikator ekonomi makro yang digunakan untuk mengukur
laju inflasi selama satu periode tahun tertentu, diantaranya adalah :
1. Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index)
Indeks Harga Konsumen (IHK) adalah angka indeks yang menunjukkan
tertentu. Angka IHK diperoleh dengan menghitung harga-harga barang dan jasa
utama yang dikonsumsi masyarakat dalam satu periode tertentu. Masing-masing
harga barang dan jasa tersebut diberi bobot (weighted) berdasarkan tingkat
keutamaannya. Barang dan jasa yang dianggap paling penting diberi bobot yang
paling besar.
Di Indonesia, penghitungan IHK dilakukan dengan mempertimbangkan
sekitar beberapa ratus komoditas pokok. Untuk lebih mencerminkan keadaan yang
sebenarnya, penghitungan IHK dilakukan dengan melihat perekembangan
regional, yaitu dengan mempertimbangkan tingkat inflasi kota-kota besar,
terutama ibukota provinsi-provinsi di Indonesia, seperti tampak dalam tabel
berikut ini.
Tabel 2.1
Indeks Harga Konsumen Gabungan 66 Kota Di Indonesia, 2004-2008 (2007=100)
Akhir Periode IHK Perubahan IHK (%)
2005 125,09 -
2006 142,48 13,90
2007 150,55 5,66
2008 132,72 -11,84
2009 124,78 -0,06
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)
Angka inflasi berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) diperoleh
Inflasi tahun t = X 100%
Dilihat dari cakupan komoditas yang dihitung, IHK kurang mencerminkan tingkat
inflasi yang sebenarnya. Tetapi IHK sangat berguna karena menggambarkan
besarnya kenaikan biaya hidup bagi konsumen, sebab IHK memasukkan
komoditas-komoditas yang relevan (pokok) yang biasanya dikonsumsi
masyarakat.
2. Indeks Harga Perdagangan Besar (Wholesale Price Index)
Jika IHK meluhat inflasi dari sisi konsumen, maka Indeks Harga
Perdagangan Besar (IHPB) melihat inflasi dari sisi produsen. Oleh karena itu,
IHPB sering juga disebut sebagai indeks harga produsen (production price index).
IHPB menunjukkan tingkat harga yang diterima produsen pada berbagai tingkat
produksi.
Tabel 2.2
Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) 2004-2008
(2000=100)
Akhir Periode IHPB Perubahan IHPB (%)
2004 131 7,38
2005 152 16,03
2006 172 13,16
2007 195 13,37
2008 246 26,15
Prinsip menghitung inflasi berdasarkan data IHPB adalah sama dengan
berdasarkan IHK :
Inflasi tahun t = X 100%
3. Indeks Harga Implisit (GDP Deflator)
Walaupun sangat bermanfaat, IHK dan IHPB memberikan gambaran laju
inflasi yang sangat terbatas. Sebab, dilihat dari metode perhitungannya, kedua
indikator tersebut hanya melingkupi beberapa puluh atau mungkin ratus jenis
barang dan jasa, di beberapa puluh kota saja. Padahal dalam kenyataan, jenis
barang dan jasa yang diproduksi atau dikonsumsi dalam sebuah perekonomian
dapat mencapai ribuan, puluhan ribu bahkan mungkin ratusan ribu jenis. Kegiatan
ekonomi juga terjadi tidak hanya di beberapa kota saja, melainkan seluruh pelosok
wilayah. Untuk mendapatkan gambaran inflasi yang paling mewakili keadaan
sebenarnya, ekonom menggunakan indeks harga implisit (GDP Deflator),
disingkat IHI.
Angka deflator (IHI) ini dapat diperoleh melalui perhitungan, sebagai
berikut :
IHI tahun t = X 100%
Perhitungan inflasi berdasarkan IHI dilakukan dengan menghitung perubahan
angka indeks :
2.1.3. Teori-Teori Inflasi
Ada beberapa teori dalam ilmu ekonomi yang menjelaskan tentang inflasi
(Boediono,2001 ) :
1. Teori Kuantitas Uang (Quantity Theory of Money)
Menurut Irving Fischer (transaction equation) adalah :
P.T = M.V
Dimana :
P = Tingkat Harga
M = Jumlah Uang Beredar (Penawaran Uang)
V = Kecepatan Perputaran Uang
T = Volume Transaksi
Dalam persamaan ini dapat dikemukakan bahwa seluruh transaksi
penjualan sama dengan nilai seluruh pembelian. Nilai transaksi dikali dengan
harga, sedangkan nilai transaksi pembelian sama dengan jumlah uang beredar
dikali dengan kecepatan beredar rata-rata perputaran uang.
Dari rumus diatas, dapat diambil kesimpulan proses terjadinya inflasi
disebabkan oleh :
1. Volume Uang Beredar
Inflasi hanya bisa terjadi jika ada penambahan volume uang beredar dalam
masyarakat (uang kartal dan uang giral). Penambahan jumlah uang beredar ini
besar dari kesanggupan output untuk menyerapnya (volume yang besar dari
pendapatan nasional). Bila jumlah uang yang beredar tidak ditambah, maka inflasi
akan beratambah secara otomatis.
2. Perkiraan Masyarakat Tentang Kenaikan Harga (expectation)
Kalau diperkirakan masyarakat akan ada perubahan harga walaupun ada
penambahan yang tidak akan menyebabakan inflasi, karena perubahan harga yang
terjadi masih kecil. Apabila akan ada perubahan harga yang cukup besar dan
penambahan uang beredar tidak ditambah maka inflasi akan berhenti secara
otomatis apapun penyebab kenaikan harga-harga dalam perekonomian tersebut.
2. Teori Keynes
Keynes menyoroti faktor inflasi melalui pendekatan teori ekonomi
makronya. Menurut teori yang dikeluarkan Keynes, inflasi akan terjadi karena
masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan pendapatannya. Terjadinya
inflasi melalui beberapa proses, ada sekelompok masyarakat yang ingin bersaing
untuk merebut pendapatan nasional yang lebih besar daripada kemampuan
kelompok tersebut untuk mendapatkan pendapatan nasional (kekuatan monopolis,
tuntutan kenaikan upah oleh para pekerja). Proses perebutan ini akhirnya
diwujudkan dalam permintaan efektif sehingga menyebabkan permintaan
masyarakat akan barang-barang lebih besar dari barang-barang yang sanggup
disediakan oleh kapasitas yang tersedia. Hal ini akan menimbulkan inflationary
gap, yang timbul akibat golongan masyarakat dalam permintaan di pasar
barang-barang. Dengan demikian akan menimbulkan kenaikan harga-harga.
Golongan masyarakat tersebut berhasil menterjemahkan aspirasi mereka
berhasil memperoleh dana untuk mengubah aspirasinya menjadi rencana
pembelian barang-barang yang didukung dengan dana. Golongan masyarakat
seperti ini mungkin adalah pemerintah sendiri, yang berusaha memperoleh bagian
yang lebih besar dari output masyarakat dengan menjalankan defisit dalam
anggaran belanjanya yang dibiayai dengan mencetak uang baru. Golongan
tersebut mungkin juga pengusaha-pengusaha swasta yang menginginkan untuk
melakukan investasi-investasi baru dan memperoleh dana pembiayaannya dari
kredit dari bank.
Bila jumlah dari oermintaan-permintaan efektif dari semua golongan
masyarakat tersebut, pada tingkat harga yang berlaku, melebihi jumlah maksimum
dari barang-barang yang bias dihasilkan oleh masyarakat, maka inflationary gap
muncul. Karena permintaan total melebihi jumlah barang yang tersedia, maka
harga-harga akan naik. Adanya kenaikan harga-harga berarti bahwa sebagian dari
rencana-rencana pembelian barang dari golongan-golongan tersebut tidak bias
terpenuhi. Pada periode selanjutnya golongan-golongan tersebut akan berusaha
untuk memperoleh dana yang lebih besar lagi.
Golongan yang bisa memperoleh dana yang lebih banyak bisa memperoleh
bagian dari output yang lebih banyak. Mereka yang tidak bisa memperoleh dana
akan mendapat bagian output yang lebih kecil. Yang termasuk golongan yang
“kalah” dalam proses perebutan ini adalah golongan yang berpenghasilan tetap
atau yang penghasilannya naik tidak secepat laju inflasi. Proses inflasi akan terus
berlangsung selama jumlah permintaan efektif dari semua golongan masyarakat
permintaan efektif total tidak melebihi, pada tingkat harga yang berlaku, jumlah
output yang tersedia.
3. Teori Strukturalis
Teori ini memberi tekanan pada ketegaran (rigidities) dari struktur
perekonomian negara-negara yang sedang berkembang. Karena inflasi dikaitkan
dengan faktor struktural dari perekonomian (yang menurut definisi,
faktor-faktor ini hanya bisa berubah secara gradual dan dalam jangka panjang), maka
teori ini bisa disebut teori inflasi “jangka panjang”. Dengan kata lain, yang ingin
diketahui adalah faktor-faktor jangka panjang manakah yang bisa mengakibatkan
inflasi (yang berlangsung lama).
Ada dua faktor yang menjadi masalah utama yang dapat menyebabkan
inflasi dalam negara berkembang berdasarkan teori strukturalis, yaitu :
a. Ketidakelastisan penerimaan ekspor, yaitu nilai ekspor yang berkembang
secara lamban dibanding sektor lain dalam perekonomian. Hal ini
disebabkan naiknya harga barang komoditi negara berkembang dalam
jangka panjang yang pada akhirnya mempengaruhi harga barang-barang
ekspor. Perkembangannya sangat lamban bila dibandingkan dengan harga
barang industri yang merupakan impor dari negara-negara berkembang.
Adanya perkembangan ekspor yang lamban juga merupakan penyebab
adanya kelambanan untuk mengimpor baramg-barang yang dibutuhkan
(terutama barang modal untuk mengubah struktur perekonomian).
Akibatnya, negara tersebut terpaksa mengambil kebijaksanaan yang
menekan pemakaian barang produksi dalam negeri (yang sebelumnya
karena kurang efisien). Ongkos produksi yang tinggi mengakibatkan harga
yang lebih tinggi. Ongkos produksi juga akan makin meluas, sehingga
makin banyak harga barang yang naik. Dengan demikian akan terjadi
inflasi dalam perekonomian yang berkepanjangan.
b. Ketidakelastisan dari supply atau produksi bahan makanan dalam negeri,
berakibat pada pertumbuhan produksi bahan makanan tidak secepat
pertumbuhan penduduk dan pendapatan, sehingga harga bahan makanan
ini cenderung meningkat. Kenaikan harga bahan makanan ini
mengakibatkan tuntutan kenaikan ongkos produksi. Jika demikian,
otomatis harga hasil produksi (industri dan pertanian) akan naik lagi,
sehingga kenaikan harga barang menuntut tingkat upah kembali dinaikkan,
demikian seterusnya. Proses ini akan berhenti apabila harga bahan
makanan tidak ikut naik kembali (karena kebutuhan sudah dapat dicukupi
oleh produksi dalam negeri). Akan tetapi, faktor struktural perekonomian
tidak bisa menghentikan kenaikan harga bahan makanan, sehingga akan
terjadi dorong-mendorong antara upah dengan kenaikan harga dan tidak
akan berhenti sampai struktur perekonomian dapat diubah.
2.1.4 Jenis - Jenis Inflasi
Apabila ditinjau dari bobotnya atau besarnya laju inflasi, maka inflasi
diklasifikasikan menjadi empat golongan, yaitu :
1. Inflasi ringan (inflasi merayap)
Disebut juga creeping inflation. Inflasi ringan adalah inflasi dengan laju
atau dibawah 10% pertahun. Kenaikan harga berjalan secara lambat, dengan
persentase yang kecil serta dalam jangka waktu yang relatif lama.
2. Inflasi sedang (inflasi menengah)
Inflasi sedang atau menengah ini merupakan inflasi dengan tingkat laju
pertumbuhan berada diantara 10-30% per tahun dan sangat mengancam struktur
dan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
3. Inflasi berat
Merupakan inflasi dengan laju pertumbuhan berada diantara 30-100%
pertahun. Pada kondisi demikian, sektor-sektor produksi hampir lumpuh total,
kecuali yang dikuasai negara. Ditandai dengan kenaikan harga yang cukup besar
dan kadang kala berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat
akselerasi. Artinya, harga-harga minggu/bulan ini lebih tinggi dari minggu/bulan
lalu dan seterusnya.
4. Inflasi sangat berat
Disebut juga hyperinflasi, adalah inflasi dengan laju pertumbuhan
melampaui 100% pertahun. Dalam kondisi ini, harga-harga barang naik menjadi
lima atau enam kali lipat. Masyarakat tidak lagi berkeinginan untuk menyimpan
uang. Nilai uang merosot tajam sehingga ingin ditukarkan dengan barang.
Perputaran uang makin cepat, harga naik secara pesat. Biasanya kondisi ini timbul
apabila pemerintah mengalami defisit anggaran belanja yang dibiayai/ditutupi
dengan mencetak uang.
Apabila ditinjau berdasarkan faktor penyebabnya, inflasi diklasifikasikan
1. Demand pull inflation, inflasi ini biasanya terdapat pada masa perekonomian
sedang berkembang pesat. Kesempatan kerja yang tinggi menciptakan tingkat
pendapatan yang tinggi dan selanjutnya daya beli sangat tinggi. Daya beli yang
tinggi akan mendorong permintaan melebihi total produk yang tersedia.
Permintaan aggregate meningkat lebih cepat (misalnya karena bertambahnya
pengeluaran pemerintah yang dibiayai dengan pencetakan uang, atau kenaikan
permintaan luar negeri akan barang-barang ekspor atau bertambahnya
pengeluaran investasi swasta karena kredit yang murah) dibandingkan dengan
potensi produktif perekonomian , akibatnya terjadi inflasi.
Gambar 2.1
Inflasi Tekanan Permintaan (Demand-Pull Inflation) P
0 Y
Gambar 2.1 menjelaskan terjadinya inflasi sebagai akibat kenaikan
permintaan. Hal ini terlihat dari adanya pergeseran kurva permintaan agregat dari
ADo menjadi AD1 yang mendorong harga naik dari P0 menjadi P1. Kenaikan harga AS0
AD1
AD0 Y1
Y0 P0
ini menimbulkan terjadinya inflasi . Akibat kenaikan harga ini menyebabkan
produk nasional bertambah dari OY0 dan OY1.
2. Cost push inflation, inflasi ini terjadi bila ada biaya produksi mengalami
kenaikan secara terus-menerus. Kenaikan biaya produksi dapat berawal dari
kenaikan harga input seperti kenaikan upah minimum, kenaikan bahan baku,
kenaikan tarif listrik, kenaikan BBM, dan kenaikan-kenaikan input lainnya
yang mungkin semakin langka dan harus diimpor dari luar negeri.
Gambar 2.2 Inflasi Dorongan Biaya
(Cost-Push Inflation)
P
0 Y1 Y0 Y
Gambar 2.2 menjelaskan terjadinya inflasi sebagai akibat dari kenaikan
biaya produksi. Hal ini terlihat dari adanya pergeseran kurva penawaran agregat
dari ASo menjadi AS1 yang mendorong harga naik dari P0 menjadi P1. Kenaikan
harga ini menyebabkan produk nasional berkurang dari OY0 menjadi OY1. AS1
AS0
AD0 P0
Selanjutnya, apabila ditinjau berdasarkan asal inflasi, maka inflasi
digolongkan menjadi dua golongan, yaitu :
1. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation), dimana inflasi ini
timbul bisa saja karena defisit anggaran belanja negara yang dibiayai dengan
pencetakan uang baru dan lain sebagainya sehingga menyebabkan terjadinya
kenaikan harga barang-barang dalam negeri secara umum dan
berkesinambungan.
2. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation), yaitu inflasi yang
bersumber dari kenaikan harga-harga barang yang diimpor, terutama barang
yang diimpor tersebut mempunyai peranan penting dalam setiap kegiatan
produksi. Kenaikan harga barang-barang impor mengakibatkan: (1) secara
langsung kenaikan indeks biaya hidup karena sebagian dari barang-barang
yang tercakup di dalamnya berasal dari import, (2) secara tidak langsung
menaikkan indeks harga melalui kenaikan biaya produksi (dan kemudian harga
jual) dari berbagai barang yang menggunakan bahan mentah atau mesin-mesin
yang harus diimpor, (3) secara tidak langsung menimbulkan kenaikan harga di
dalam negeri karena kemungkinan (tetapi ini tidak harus demikian) kenaikan
harga barang-barang impor mengakibatkan kenaikan pengeluaran
pemerintah/swasta yang berusaha mengimbangi kenaikan harga import
tersebut.
2.1.5 Dampak Inflasi
Tidak dapat dipungkiri, sampai pada tingkat tertentu inflasi dibutuhkan
mendorong produsen untuk meningkatkan outputnya. Namun apabila tingkat
inflasi sudah melampaui angka yang sewajarnya (≥ 10% per tahun), maka ada
beberapa masalah sosial yang muncul, yaitu :
1. Menurunnya Tingkat Kesejahteraan Rakyat
Tingkat kesejahteraan masyarakat, sederhananya dapat diukur melalui
tingkat daya beli pendapatan yang diperoleh. Inflasi menyebabkan daya beli
pendapatan masyarakat makin rendah, khususnya masyarakat yang
berpenghasilan kecil dan tetap (kecil). Misalnya, A adalah seorang pegawai negeri
sipil dengan penghasilan total sebesar Rp. 700.000, per bulan. Tahun lalu harga
beras per kilogram adalah sebesar Rp. 4.000,00. Karena itu gaji A setara dengan
175 kilogram beras setiap bulan. Apabila terjadi inflasi sebesar 20% pertahun
(cateris paribus), maka tahun ini gaji A per bulan setara dengan 145 kilogram
beras. Dengan demikian kesejahteraan A menurun dari kesejahteraan tahun lalu.
Apabila tingkat inflasi tetap sebesar 20% per tahun, maka dalam jangka waktu 4
tahun (cateris paribus) kesejahteraan A hanya tinggal separuhnya. Semakin tinggi
tingkat inflasi, maka semakin cepat penurunan tingkat kesejateraan suatu
masyarakat.
2. Semakin Buruknya Distribusi Pendapatan
Dampak buruk inflasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat dapat
dihindari jika pertumbuhan tingkat pendapatan dapat melebihi tingkat inflasi.
Apabila tingkat inflasi 20% per tahun, maka pertumbuhan tingkat pendapatan
harus lebih besar dari 20% per tahun. Permaslahannya adalah jika inflasi
meningkatkan pendapatannya ≥ 20% per tahun. Akibatnya, ada sekelompok
masyarakat yang mampu meningkatkan pendapatan riil (pertumbuhan pendapatan
nominal dikurangi laju inflasi > 0% per tahun). Akan tetapi sebagian besar
masyarakat mengalami penurunan pendapatan riil. Menurunnya pendapatan riil
menggambarkan bahwa distribusi pendapatan semakin buruk.
3. Terganggunya Stabilitas Ekonomi.
Pengertian yang paling sederhana dari stabilitas ekonomi adalah sangat
kecilnya tindakan spekulasi dalam perekonomian. Produsen berproduksi pada
kapasitas penuh (optimal). Konsumen juga memakai barang dan jasa optimal
dengan kebutuhan. Kondisi nyaman ini akan mulai terganggu apabila inflasi
relatif tinggi telah menjadi kronis.
Inflasi mengganggu stabilitas ekonomi dengan merusak perkiraan tentang
masa depan (ekspektasi) para pelaku ekonomi. Inflasi yang kronis menumbuhkan
perkiraan bahwa harga akan terus-menerus naik. Bagi konsumen, perkiraan ini
mendorong pembelian barang dan jasa lebih banyak dari yang
seharusnya/biasanya dengan tujuan untuk menghemat pengeluaran konsumsi.
Akibatnya, permintaan barang dan jasa justru dapat meningkat. Bagi para
produsen, perkiraan akan naiknya harga barang dan jasa mendorong mereka
menunda penjualan, untuk mendapat keuntungan yang lebih besar. Penawaran
barang dan jasa berkurang. Akibatnya, kelebihan permintaan membesar dan
mempercepat laju inflasi yang pada akhirnya kondisi perekonomian menjadi
2.1.6 Kebijakan Pengendalian Inflasi
Upaya-upaya untuk menegndalikan inflasi dapat berupa penerapan
kebijakan fiskal dan kebijakan moneter :
1. Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal merupakan kebijakan pemerintah untuk mengubah dan
mengendalikan penerimaan dan pengeluaran pemerintah melalui APBN
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dengan maksud untuk
mengatasi masalah yang sering dihadapi. Bentuk kebijakan fiskal untuk
jangka pendek dapat berupa :
a. Membuat perubahan yang berkaitan dengan pembelanjaan/pengeluaran
pemerintah
b. Membuat perubahan yang berkaitan dengan system pajak dan jumlah
pajak yang ditetapkan
Untuk jangka panjang, kebijakan fiskal dapat berupa :
a. Kebijakan penstabilan otomatik, artinya menjalankan sistem pajak
yang telah ada, misalnya sistem pajak progresif dan proporsional.
b. Kebijakan fiskal diskresioner, artinya kebijakan yang secara khusus
membuat perundang-undangan terhadap sistem yang ada. Misalnya
membuat undang-undang, peraturan-peraturan baru di bidang
penerimaan dan pengeluaran pemerintah.
2. Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter merupakan kebijakan yang dilakukan bank sentral
sentral ini ada yang bersifat kuantitatif dan ada yang bersifat kualitatif.
Kebijakan yang bersifat kuantitatif meliputi :
a. Kebijakan Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation), yaitu
membeli dan menjual obligasi pemerintah misalnya sertifikat Bank
Indonesia (SBI).
b. Kebijakan tingkat diskonto yaitu kebijakan dalam menetapkan tingkat
bunga.
c. Kebijakan cadangan wajib (reserve requirement) yaitu kebijakan
dalam menetapkan cadangan wajib untuk deposito bank dan lembaga
keuangan lainnya.
Kebijakan yang bersifat kualitatif meliputi pengawasan kredit secara
selektif dan moral suasion yaitu, membujuk/menghimbau secara moral kepada
masyarakat pengguna jasa bank.
Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dilaksanakan oleh dua lembaga
yang berbeda yaitu kebijakan fiskal oleh Departemen Ekonomi dan Keuangan,
sedangkan kebijakan moneter dilaksanakan oleh Bank Sentral. Oleh sebab itu,
kedua lembaga ini haruslah saling menyesuaikan kebijakan ekonominya dalam
mengatasi inflasi atau masalah ekonomi lainnya, sehingga setiap kebijakan
tersebut dapat berjalan dengan baik, efisien, dan efektif. Misalnya, untuk menekan
laju inflasi langkah yang diambil adalah sebagai berikut :
1. Kebijakan Fiskal, kebijakan yang dilakukan pemerintah (kementrian
ekonomi dan keuangan) untuk mengurangi jumlah uang beredar dengan
menurunkan daya beli masyarakat, sehingga pembelian terhadap barang
konsumsi dan investasi turun.
2. Kebijakan Moneter, yaitu kebijakan yang dilakukan bank sentral dengan
sasaran dapat mengurangi penawaran uang (supply of money) atau jumlah
uang beredar. Kebijakan tersebut misalnya dengan menaikkan suku bunga
dan memperbesar cadangan wajib. Kebijakan ini akan menimbulkan
penurunan investasi dan menurunkan konsumsi dalam perekonomian
masyarakat.
Untuk mengatasi inflasi, disamping beberapa kebijakan di atas terdapat
juga pandangan Klasik dan Keynes yang dapat dilakukan untuk mengatasi
masalah inflasi, yaitu :
1. Kelompok Ekonomi Klasik
Kelompok klasik ini memberikan formula dengan sebutan cold turkey.
Strategi mengatasi inflasi ini pada dasarnya adalah melakukan pengurangan
volume uang yang beredar secara drastis atau cepat. Karena dengan
pengurangan volume uang yang beredar ini, tingkat harga, upah akan
menyesuaikan diri secara otomatis sesuai dengan pandangan kaum Klasik
tentang mekanisme hume (Species Flow). Setiap ketidakseimbangan hanya
bersifat sementara, akhirnya akan menuju keseimbangan. Dengan
pengeluaran uang yang berbeda, tingkat harga, upah mau tidak mau akan
menyesuaikan diri terhadap perekonomian.
2. Kelompok Ekonomi Keynesian
Formula yang dikeluarkan oleh kelompok ini disebut dengan gradualism.
drastis akan memberika dampak yang negatif terhadap tenaga kerja (akan
meningkatkan jumlah pengangguran), karena adanya pengurangan aktivitas
perusahaan akibat pengurangan jumlah uang yang beredar. Strategi
gradualism, yaitu pengurangan peredaran uang secara bertahap dalam jangka
waktu beberapa tahun akan meminimalkan dampak negatif terhadap
perekonomian.
2.2 Pengangguran
2.2.1 Definisi Pengangguran
Dalam definisi ekonomi, pengangguran tidak identik dengan tidak (mau)
bekerja. Seseorang dikatakan menganggur apabila orang tersebut ingin bekerja
dan telah berusaha mencari pekerjaan, namun tidak mendapatkannya
Dalam ilmu kependudukan (demografi), orang yang mencari pekerjaan
termasuk dalam kategori kelompok penduduk yang disebut angkatan kerja.
Berdasarkan kategori usia, usia angkatan kerja adalah 15-64 tahun. Tetapi tidak
semua orang yang berusia 15-64 tahun dihitung sebagai angkatan kerja. Penduduk
yang dihitung sebagai angkatan kerja adalah penduduk usia 15-64 tahun dan
sedang mencari kerja, sedangkan yang tidak mencari kerja apakah karena
mengurus keluarga atau sekolah, tidak termasuk angkatan kerja. Tingkat
pengangguran adalah persentase angkatan kerja yang tidak/belum mendapatkan
Gambar 2.3
Struktur Penduduk Berdasarkan Usia
Penduduk usia kerja, tetapi tidak mencari kerja dengan berbagai alas an, misalnya sekolah/kuliah, ibu-ibu mengurus rumah
tangga 1. ≥ 35 jam/minggu Pengangguran
2. < 35 jam/minggu (underemployed)
Pada gambar 2.3 tersebut, terlihat bahwa jumlah penduduk suatu negara
dapat dibedakan menjadi penduduk usia kerja (15-64 tahun) dan bukan usia kerja.
Yang termasuk kelompok bukan usia kerja (usia non produktif) adalah anak-anak
(0-14 tahun) dan manusia lanjut usia (manula) yang berusia ≥ 65 tahun. Dari
jumlah penduduk usia kerja, yang termasuk angkatan kerja adalah mereka yang
mencari kerja atau bekerja. Sebagian yang tidak bekerja (dengan berbagai alasan)
tidak termasuk dalam angkatan kerja (bukan angkatan kerja), dan setiap angkatan
kerja yang tidak memperoleh lapangan kerja disebut sebagai penganggur.
Dalam standard pengertian yang sudah ditentukan secara internasional,
yang dimaksudkan dengan pengangguran adalah : seseorang yang sudah
digolongkan dalam angkatan kerja, yang secara aktif sedang mencari pekerjaan
pada suatu tingkat upah tertentu, tetapi tidak dapat memperoleh pekerjaan yang
diinginkannya. Berdasarkan definisi ini, ibu-ibu rumah tangga, para
mahasiswa/pelajar, anak-anak orang kaya yang sudah dewasa namun tidak
bekerja, tidak digolongkan sebagai penganggur seba mereka tidak secara aktif
mencari pekerjaan.
2.2.2 Cara Mengukur Tingkat Pengangguran
Dalam membicarakan mengenai pengangguran, yang selalu diperhatikan
bukan mengenai jumlah pengangguran, tetapi mengenai tingkat pengangguran –
yang dinyatakan sebagai persentase dari angkatan kerja. Membandingkan jumlah
pengangguran di antara berbagai negara tidak akan ada manfaatnya karena tidak
akan memberikan gambaran yang tepat tentang perbandingan masalah yang
berlaku.
Untuk dapat menentukan tingkat (persentase) pengangguran yang terdapat
dalam perekonomian, terlebih dahulu perlu untuk menentukan angkatan kerja
pada periode tersebut. Golongan penduduk yang tergolong sebagai angkatan kerja
adalah penduduk yang berumur di antara 15 hingga 64 tahun, kecuali : (i) ibu
rumah tangga yang lebih suka menjaga keluarganya daripada bekerja, (ii)
penduduk muda dalam lingkungan umur tersebut yang masih meneruskan
pelajarannya di sekolah atau di universitas, (iii) orang yang belum mencapai umur
65 tetapi sudah pensiun dan tidak mau bekerja lagi, dan (iv) pengangguran
sukarela – yaitu golongan penduduk dalam lingkungan umur tersebut yang tidak
secara aktif mencari pekerjaan. Dengan demikian jumlah angkatan kerja dapat
L = PL – (IR + MP + PP + PS)
Di mana :
L = jumlah tenaga kerja (angkatan kerja)
PL = penduduk dalam lingkungan umur 15 – 64 tahun
IR = ibu rumah tangga yang tidak ingin bekerja
MP = mahasiswa dan pelajar
PP = pekerja yang telah pensiun dan tidak ingin bekerja lagi
PS = orang-orang tidak sekolah dan tidak bekerja dan juga tidak mencari
pekerjaan.
Penduduk dalam lingkungan umur 15-64 tahun, yaitu PL, dapat dipandang
sebagai tenaga kerja potensial. mereka sudah dapat digolongkan sebagai tenaga
kerja apabila mereka benar-benar memilih untuk bekerja atau mencari pekerjaan.
tetapi sebagian dari mereka, berdasarkan kepada pilihan mereka sendiri,
memutuskan untuk tidak mencari pekerjaan. Oleh sebab itu jumlah tenaga kerja
yang sebenarnya terdapat dalam perekonomian (L), yang digolongkan sebagai
angkatan kerja atau labour force, adalah jumlah tenaga kerja yang dihitung
dengan menggunakan persamaan diatas. Perbandingan di antara angkatan kerja
yang sebenarnya dengan penduduk dalam lingkungan umur 15-64 tahun
dinamakan tingkat partisipasi tenaga kerja (labour participation rate), yang dapat
dihitung melalui formula sebagai berikut :
Tingkat partisipasi angkatan kerja (%) %
Setelah sebuah negara mendapat informasi mengenai dua data yang
diterangkan di atas, yaitu jumlah pengangguran dan jumlah tenaga kerja, tingkat
Tingkat pengangguran (%) %
Dimana :
U = jumlah pengangguran
L = jumlah tenaga kerja (angkatan kerja)
2.2.3 Jenis Pengangguran
Jenis pengangguran ditinjau dari teori ekonomi makro dapat dibedakan
menjadi beberapa bagian, yaitu pengangguran sukarela (vouluntary
unemployment) dan pengangguran terpaksa (invouluntary unemployment).
Pengangguran sukarela adalah pengangguran yang bersifat sementara, karena
mereka tidak mau bekerja pada tingkat upah yang berlaku dan berusaha mencari
pekerjaan yang lebih baik atau lebih cocok. Pengangguran terpaksa adalah
pengangguran yang terpaksa diterima oleh pencari kerja, walaupun pada tingkat
upah yang berlaku sesungguhnya dia masih bersedia/ingin bekerja.
Jenis pengangguran ditinjau dari interpensi ekonomi, antara lain dapat
berupa hal-hal berikut :
1. Pengangguran Friksional (Frictional Unemployment)
Pengangguran ini bersifat sementara, biasanya terjadi karena adanya
kesenjangan waktu, informasi maupun karena kondisi geografis antara pencari
kerja dan kesempatan (lowongan kerja). Mereka yang tergolong dalam kategori
pengangguran sementara pada umumnya rela menganggur (vouluttary
unemployment) untuk mendapat pekerjaan.
Terdapat tiga golongan penganggur yang dapat diklasifikasikan sebagai
a. Tenaga kerja yang baru pertama kali mencari kerja. Setiap tahun terdapat
golongan penduduk yang mencapai usia yang tergolong sebagai angkatan
kerja. Di samping itu, pelajar dan sarjana yang baru menyelesaikan
pelajarannya juga akan secara efektif mencari kerja.
b. Pekerja yang meninggalkan kerja dan mencari kerja baru. Ketika
perekonomian mencapai tingkat kegiatan yang sangat tinggi, terdapat
perusahaan yang mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan pekerja. Ini
akan mendorong orang-orang yang sedang bekerja meninggalkan
pekerjaanya, untuk mencari pekerjaan yang lebih sesuai dengan pribadinya
atau untuk mendapatkan gaji yang lebih tinggi.
c. Pekerja yang memasuki lagi pasaran buruh. Terdapat golongan pekerja
yang dahulu telah bekerja tetapi meninggalkan angkatan kerja,
memutuskan untuk bekerja kembali. Golongan tenaga kerja ini dapat
dilihat dari contoh berikut: seorang anak muda berhenti bekerja karena
ingin meneruskan pelajarannya. Setelah tamat, ia mencari pekerjaan yang
baru.
2. Pengangguran Struktural (Structural Unemployment)
Pengangguran ini sifatnya mendasar, dimana pengangguran ini disebabkan
adanya perubahan atau perkembangan teknologi dalam kegiatan ekonomi.
Sehingga terjadi ketidaksesuaian antara keterampilan yang dimiliki dengan yang
dibutuhkan lapangan kerja. Dilihat dari sifatnya, pengangguran struktural lebih
sulit diatasi dibandingkan pengangguran friksional. Selain membutuhkan
pendanaan yang besar untuk meningkatkan kualitas dan keterampulan tenaga
struktural merupakan masalah dimasa mendatang, jika tidak ada perbaikan
kualitas SDM.
Penyebab timbulnya pengangguran struktural adalah:
a. Adanya perkembangan teknologi yang menyebabakan munculnya
oengangguran teknologi.
b. Adanya kemunduran yang disebabkan persaingan dari luar negeri atau dari
luar daerah. Pengangguran struktural yang disebabkan persaingan dari luar
negeri banyak dialami oleh negara-negara maju. Untuk menghindari hal
tersebut, maka negara tersebut akan membatasi impor barang-barang ke
negara mereka.
c. Terjadinya kemunduran perkembangan ekonomi suatu kawasan sebagai
akibat dari pertumbuhan yang pesat dari kawasan lain.
3. Pengangguran Musiman (Seasonal Unemployment)
Pengangguran ini dipengaruhi oleh perubahan musim, biasanya bersifat
sementara dan terjadi dalam jangka pendek secara berulang-ulang. Contohnya di
sektor pertanian, di luar musim tanam atau musim panen akan terjadi
pengangguran.
4. Pengangguran Siklikal (Cyclical Unemployment)
Pengangguran ini disebabkan adanya fluktuasi/siklus dalam perkembangn
bisnis atau dikarenakan oleh kemerosotan perekonomian suatu negarra.
Kemerosotan ekonomi bisa berasal dari dalam negeri dan bisa pula dari luar
negeri, seperti: konsumsi, investasi, dan ekspor. Semuanya mendorong
permintaan agregat lebih rendah dibandingkan penawaran agregat, dan ini
Dalam kondisi perekonomian, kesempatan kerja penuh atau full
employment sering disalahtafsirkan banyak orang. Banyak yang menganggap
bahwa hal it berarti dalam perekonomian tidak terdapat pengangguran –yaitu
tenaga kerja dalam perekonomian tersebut sepenuhnya bekerja. Dalam analisis
makroekonomi dan juga dalam praktek penggunaan istilah tersebut, kesempatan
kerja penuh adalah keadaan di mana sekitar 95 persen dari angkatan kerja dalam
suatu waktu tertentu semuanya bekerja. Pengangguran yang berlaku pada tingkat
kesempatan kerja penuh ini dinamakan tingkat pengangguran alamiah atau
natural rate of employment. Sebagian ahli ekonomi lebih suka menggunakan
istilah NAIRU atau Non-Accelerated Inflation Rate of Unemployment, yang
dalam bahasa Indonesia kurang lebih dapat diartikan sebagai tingkat
pengangguran yang tidak akan mempercepat tingkat inflasi untuk menggantikan
istilah natural rate of unemployment.
Maksud dari angka 95 persen merupakan suatu ukuran kasar saja dan pada
hakikatnya mengatakan bahwa pengangguran dalam suatu perekonomian
mencapai 5 persen, maka perekonomian tersebut sudah dapat dianggap mencapai
kesempatan kerja penuh. Pengangguran sebesar 5 persen inilah yang dinamakan
sebagai pengangguran alamiah atau NAIRU.
Pada parakteknya, tingkat pengangguran yang dinamakan tingkat
pengangguran alamiah ini (i) berbeda di antara satu negara dengan negara lain,
dan (ii) berbeda dalam satu negara pada periode yang berbeda. Ada negara yang
menganggap bahwa pengangguran sebanyak 5 persensebagai ukuran untuk
menentukan tingkat kesempatan kerja penuh atau terlalu tinggi dan mereka
negara lain yang menganggap pengangguran 5 persen sebagai ukuran mencapai
kesempatan kerja penuh terlalu rendah dan menganggap sudah dicapai pada
tingkat pengangguran sebanyak 7 atau 8 persen.
Ahli-ahli ekonomi menganggap bahwa pengangguran friksional dan
pengangguran struktural merupakan pengangguran yang wajar (oleh sebab itu
kedua jenis pengangguran tersebut digolongkan sebagai natural unemployment,
dan istilah ini mula-mula dekemukakan oleh Milton Friedman pada tahun 1968 –
yang dianggap berlakunya tidak dapat dihindari. Inilah alasan para ahli ekonomi
menganggap kesempatan kerja penuh telah tercapai apabila pengangguran dalam
wujud pengangguran friksional dan struktural.
Ahli-ahli ekonomi klasik menganggap bahwa masalah pengangguran
merupakan masalah yang bersifat sementara. Apabila masalah tersebut terjadi,
menurut pendapat ahli-ahli ekonomi klasik, pasaran buruh akan membuat
penyesuaian-penyesuaian sehingga akhirnya tingkat kesempatan kerja penuh akan
Gambar 2.4
Pandangan Klasik Mengenai Mekanisme Pasaran Tenaga Kerja
Tingkat Upah
W0 A E0
E1
NA N1 N0 Jumlah Tenaga Kerja
Kurva NDo menggambarkan kurva permintaan buruh asal, manakala kurva
NS adalah kurva penawaran buruh. Dengan demikian pada mulanya tingkat upah
riil adalah W0 dan jumlah buruh yang akan digunakan dalam kegiatan ekonomi
adalah N0. Misalkan, terjadi perubahan dalam kegiatan ekonomi yang
menyebabkan permintaan buruh berkurang menjadi ND1. Apabila upah tetap pada
tingkat W0, akan terdapat kelebihan penawaran tenaga kerja sebanyak NAN0 akan
berlaku dalam perekonomian. Ahli-ahli ekonomi klasik berpendapat bahwa
pengangguran dalam wujud ini akan menurunkan tingkat upah. Para penganggur
akan bersaing satu sama lain untuk mendapatkan pekerjaan dan bersedia dibayar
pada tingkat upah yang lebih rendah. Persaingan di antara penganggur akan
menyebabkan penurunan upah riil dan pada akhirnya menciptakan keseimbangan
pasaran tenaga kerja yang baru, yaitu di titik E1. Tingkat upah riil menurun
menjadi W1 dan perekonomian sekarang menggunakan hanya sebanyak N1 tenaga
Ns
ND0
kerja, berbanding dengan N0 sebelum berlaku pengurangan dalam permintaan
tenaga kerja.
Menurut para ahli-ahli ekonomi klasik NAN0 bukanlah pengangguran
dalam pengertian yang digunaklan dalam masa kini. Kaum klasik menganggap
bahwa pengangguran sebanyak NAN0 sebagai pengangguran sukarela. Mereka
merupakan tenaga kerja yang tidak mau bekerja pada tingkat upah riil sebanyak
W1. Mereka hanya akan bekerja apabila upah sama dengan atau lebih tinggi dari
W0. Dengan demikian mereka tidak dapat digolongkan sebagai penganggur.
Dalam analisa modern, terdapat pengangguran yang melebihi
pengangguran alamiah yang dikenal dengan pengangguran konjungtor yang
terjadi sebagai akibat pengurangan dalam permintaan agregat. Perubahan
permintaan agregat dengan kesempatan kerja ditunjukkan pada grafik berikut.
Gambar 2.5
Pengangguran Konjungktur dan Sebab Berlakunya
P LRAS AS W1 N
s
E W0 A E0
E1 AD
AD1
Y1 YF Y N1 N0 N
(a) Permintaan dan Penawaran Agregat (b) Pasaran Tenaga Kerja
Grafik (a) menggambarkan permintaan dan penawaran agregat dalam
perekonomian mencapai kesempatan kerja penuh. Grafik (b) menggambarkann
keadaan di pasar tenaga kerja, di mana pada mulanya kesempatan kerja penuh
tercapai pada keseimbangan di titik E0 –yang berarti jumlah tenaga kerja yang
digunakan adalah N0 dan tingkat upah nominal adalah W0.
Seterusnya, misalkan perbelanjaan masyarakat mengalami kemunduran,
yang menyebabkan perubahan kurva permintaan agregat dari AD menjadi AD1.
Sebagai akibat dari perubahan ini keseimbangan di pasaran barang bergerak dari
titik E menjadi E1 –yang berarti pendapatan nasional turun dari YF menjadi Y1 dan
tingkat harga turun dari P0 menjadi P1. Perubahan di pasar barang ini akan
mempengarugi pasar tenaga kerja. Kemerosotan permintaan agregat, yang
menyebabkan penurunan harga dan pendapatan nasional akan mengurangi
permintaan ke atas tenaga kerja. Perubahan ke atas tenaga kerja ini digambarkan
oleh perpindahan permintaan tenaga kerja dan NDo menjadi ND1. Sebagai akibat
dari perubahan ini, pada tingkat upah W0, penawaran tenaga kerja melebihi
permintaan sebanyak AE0. Berarti pada tingkat upah W0 sebanyak N1N0 tenaga
kerja akan menganggur.
Menurut pandangan ahli-ahli ekonomi klasik, pengangguran ini akan
menyebabkan penurunan tingkat upah. Golongan Keynesian berpendapat tingkat
upah tidak akan mengalami perubahan, yaitu akan tetap sebesar W0 dan
menyebabkan perekonomian menghadapi pengangguran konjungtor sebanyak
N1N0. Pengangguran seperti ini dinamakan juga sebagai pengangguran tidak
sukarela (Invouluntary unemployment).
Golongan Keynesian (dan Keyneseian baru) mengemukakan beberapa