• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Hukum Terhadap Perjanjian Penyedia Jasa Pekerja Yang Dilakukan PT. PLN (Persero) Dengan PT. SENTRA (Studi Pada PT. PLN (Persero) Wil. Area Binjai).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Implementasi Hukum Terhadap Perjanjian Penyedia Jasa Pekerja Yang Dilakukan PT. PLN (Persero) Dengan PT. SENTRA (Studi Pada PT. PLN (Persero) Wil. Area Binjai)."

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2014 TIESA SALEH

100200122

(2)

IMPLEMENTASI HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PENYEDIA JASA PEKERJA YANG DILAKUKAN PT. PLN (Persero) DENGAN PT. SENTRA (Studi Pada PT. PLN (Persero) Wil. Area Binjai)

Oleh

TIESA SALEH 100200122

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA (BW)

Disetujui Oleh

Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum NIP. 196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Edy Ikhsan, SH., M.A

2014

Zulkifli Sembiring, SH., M.Hum

NIP. 196302161988031002 NIP:196101181988031010

FAKULTAS HUKUM

(3)

lepas/buruh kontrak. Dari perusahaan penyedia jasa pekerjalah didapat pekerja sesuai dengan yang dibutuhkan perusahaan untuk dapat menjalankan suatu pekerjaan tertentu yang berguna untuk melancarkan jalannya suatu perusahaan. Permasalahan yang penulis angkat dalam skripsi ini yaitu bagaimanakah Bentuk Penyedia Tenaga Kerja dalam perjanjian PT.PLN dengan PT.SENTRA, hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian PT. PLN (Persero) dan PT. SENTRA, dan bagaimanakah Akibat Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa dalam hal Wanprestasi apabila terjadi permasalahan pada perjanjian dikemudian hari.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu dengan mengkaji dokumen-dokumen perjanjian yang berbentuk baku dengan menggunakan berbagai tolak ukur dari peraturan-peraturan yang mengatur tentang perjanjian kerja pada umumnya.

Bentuk hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan dimaksud, diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan penerima pekerjaan dengan pekerja yang dipekerjakan, yang didasarkan atas Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu, sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Hak dan Kewajiban Pihak Pemborong, Hak Pihak pemborong PT.SENTRA berhak mendapatkan pembayaran sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati. Pihak pemborong juga berhak menentukan pekerja yang akan dipekerjakan akan tetapi tetap sesuai dengan prosedur yang telah disepakati dalam perjanjian. Kewajiban pihak pemborong PT.SENTRA diantaranya menyalurkan segala biaya yang telah diperoleh dari PT.PLN (Persero) dan menyediakan tenaga kerja, Menanggung semua pajak/bea, Melaksanakan Komitmen Integritas Layanan Publik, wajib membuat laporan pelaksanaan pekerjaan. Pekerja berkewajiban menjalankan pekerjaan yang telah ditentukan sebelumnya dalam perjanjian dengan sebaik-baiknya. Hak-hak karyawan telah juga disampaikan dalam perjanjian (draf perjanjian) agar segala hak dan kewajiban pekerja tidak bertentangan dari yang disepakati. Hak dari PT.PLN yaitu memperoleh hasil pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan. Kewajiban dari PT.PLN yaitu melakukan pembayaran terhadap PT.SENTRA sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak. Perjanjian kerja sama yang telah disepakati oleh para pihak harus ditandatangani semua pihak dan dimiliki oleh semua pihak yang termuat dalam perjanjian.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat

dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan

judul IMPLEMENTASI HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PENYEDIA

JASA PEKERJA YANG DILAKUKAN PT. PLN (Persero) DENGAN PT. SENTRA (Studi Pada PT. PLN (Persero) Wil. Area Binjai)

Guna memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan di Program

Studi S-I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

Penulis menyadari bahwa yang disajikan dalam penulisan Skripsi ini

masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, untuk itu penulis mengharapkan

saran dan kritik yang sifatnya membangun sehingga dapat menjadi perbaikan di

masa akan datang.

Dalam penulisan Skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan

berbagai pihak baik secara moril dan materil, untuk itu penulis mengucapkan

terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I,

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan II,

(5)

4. Bapak Muhammad Husni, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III, Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Hasim Purba, SH., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum

Perdata, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH., M.A selaku dosen pembimbing I yang telah

bersedia meluangkan waktu sehingga terselesaikan skripsi ini.

7. Bapak Zulkifli Sembiring, SH., M.Hum selaku dosen pembimbing II yang

telah bersedia meluangkan waktu sehingga terselesaikan skripsi ini.

8. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Kepada kedua orang tua ayahanda dan ibunda tercinta H.Irsal Saleh dan Hj.

Hariati yang telah banyak memberikan dukungan doa dan kasih sayang yang

tak pernah putus sampai sekarang.

10.Kepada rekan-rekan mahasiswa/i, Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

11.Rekan-rekan diluar kampus yang tidak bisa disebutkan satu persatu

Penulis berharap semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada

umumnya. Akhirnya penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Medan, April 2014

Penulis

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penulisan ... 11

F. Metode Penelitian ... 13

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II SEKILAS TENTANG HUKUM PERJANJIAN DAN KONTRAK PENYEDIA JASA PEKERJA DI INDONESIA ... 18

A.Rumusan Perjanjian dalam Peraturan dan Ahli Hukum Perjanjian ... 18

B.Syarat-syarat sah dan jenis perjanjian yang dikenal dalam Hukum Perjanjian ... 21

C.Asas-Asas Hukum dan Berakhirnya Suatu Perjanjian ………… 49

D.Kontrak Penyedia Jasa di Indonesia ……… 58

BAB III BENTUK PENYEDIA TENAGA KERJA SERTA HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN PT. PLN (PERSERO) DAN PT. SENTRA ... 63

(7)

B.Sejarah Ikatan Kontrak PT. PLN (Persero) dan PT. Sentra…….. 64

C.Hak dan Kewajiban Para Pihak ……….. 65

D.Objek dan Jangka Waktu Perjanjian ……… 69

BAB IV AKIBAT HUKUM DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA DALAM HAL WANPRESTASI ... 72

A.Waktu terjadinya Perbuatan Wanprestasi ……… 72

B.Konsekuensi Hukum dan Upaya Lain yang dilakukan dalam Mempertahankan Perjanjian ... 76

C.Penggunaan Mekanisme ADR……….. 80

D.Potensi Penyelesaian Sengketa Kepengadilan……….. 86

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 89

A.Kesimpulan ……….. 89

B.Saran………. 94

(8)

ABSTRAK

Perusahaan penyedia jasa pekerja sendiri merupakan wadah pencarian tenaga kerja yang akan dipekerjakan dalam suatu perusahaan sebagai karyawan lepas/buruh kontrak. Dari perusahaan penyedia jasa pekerjalah didapat pekerja sesuai dengan yang dibutuhkan perusahaan untuk dapat menjalankan suatu pekerjaan tertentu yang berguna untuk melancarkan jalannya suatu perusahaan. Permasalahan yang penulis angkat dalam skripsi ini yaitu bagaimanakah Bentuk Penyedia Tenaga Kerja dalam perjanjian PT.PLN dengan PT.SENTRA, hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian PT. PLN (Persero) dan PT. SENTRA, dan bagaimanakah Akibat Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa dalam hal Wanprestasi apabila terjadi permasalahan pada perjanjian dikemudian hari.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu dengan mengkaji dokumen-dokumen perjanjian yang berbentuk baku dengan menggunakan berbagai tolak ukur dari peraturan-peraturan yang mengatur tentang perjanjian kerja pada umumnya.

Bentuk hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan dimaksud, diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan penerima pekerjaan dengan pekerja yang dipekerjakan, yang didasarkan atas Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu, sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Hak dan Kewajiban Pihak Pemborong, Hak Pihak pemborong PT.SENTRA berhak mendapatkan pembayaran sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati. Pihak pemborong juga berhak menentukan pekerja yang akan dipekerjakan akan tetapi tetap sesuai dengan prosedur yang telah disepakati dalam perjanjian. Kewajiban pihak pemborong PT.SENTRA diantaranya menyalurkan segala biaya yang telah diperoleh dari PT.PLN (Persero) dan menyediakan tenaga kerja, Menanggung semua pajak/bea, Melaksanakan Komitmen Integritas Layanan Publik, wajib membuat laporan pelaksanaan pekerjaan. Pekerja berkewajiban menjalankan pekerjaan yang telah ditentukan sebelumnya dalam perjanjian dengan sebaik-baiknya. Hak-hak karyawan telah juga disampaikan dalam perjanjian (draf perjanjian) agar segala hak dan kewajiban pekerja tidak bertentangan dari yang disepakati. Hak dari PT.PLN yaitu memperoleh hasil pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan. Kewajiban dari PT.PLN yaitu melakukan pembayaran terhadap PT.SENTRA sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak. Perjanjian kerja sama yang telah disepakati oleh para pihak harus ditandatangani semua pihak dan dimiliki oleh semua pihak yang termuat dalam perjanjian.

(9)

A.Latar Belakang

Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, pemerintah

berusaha menggalakkan pembangunan di segala bidang baik pembangunan fisik

maupaun non fisik pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran

dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, hasil-hasil pembangunan harus dapat

dinikmati oleh seluruh rakyat sebagai peningkatan kesejahteraan lahir dan batin

secara adil dan merata. Sebaliknya, berhasilnya pembangunan tergantung

partisipasi seluruh rakyat, yang berarti pembangunan harus dilaksanakan secara

merata oleh segenap lapisan masyarakat.1

Perkembangan ekonomi global, menimbulkan persaingan yang semakin

ketat menuntut pelaku usaha melakukan langkah efisiensi dalam segala lini agar

perusahaan dapat tetap dan terus eksis dengan ketat harus menimbulkan produk

dan atau jasa layanan terbaiknya. Menghadapi kompetisi sebagai akibat semakin

diminati kerja lingkungan bisnis, maka perusahaan harus semakin linear dan

responsif sehingga selalu mampu menyesuaikan dengan perubahan kerja

lingkungan bisnis yang karateristiknya serba cepat dan serba tidak pasti.2

1

Djumialdji, Hukum Bangunan Dasar-Dasar Hukum dan Proyek dan Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Rineka Cipta, 1996, hal. 1.

2

(10)

2

Sesuai kondisi tersebut agar dunia usaha dapat tetap dan terus eksis,

banyak perusahaan menggunakan tenaga kerja sesuai kebutuhan perusahaan

dengan status hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

(selanjutnya disebut PKWT) dan atau menyerahkan sebagian pelaksanaan

pekerjaan kepada perusahaan lain, yang dikenal dengan istilah outsourcing.

Praktek hubungan kerja dan PKWT dan atau menyerahkan sebagian

pelaksana pekerjaan kepada perusahan lain, sudah lama dikenal di Indonesia.

Khusus pelaksana outsourcing telah dikenal sejak jaman kolonial Belanda

sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1601 b Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) bahwa “ Pemborongan Pekerja adalah

perjanjian dengan mana pihak yang satu, sipemborong mengikatkan diri untuk

menyerahkan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborong dan

menerima suatu harga yang ditetapkan “.

Perusahaan penyedia jasa pekerja sendiri merupakan wadah pencarian

tenaga kerja yang akan dipekerjakan dalam suatu perusahaan sebagai karyawan

lepas/buruh kontrak. Dari perusahaan penyedia jasa pekerjalah didapat pekerja

sesuai dengan yang dibutuhkan perusahaan untuk dapat menjalankan suatu

pekerjaan tertentu yang berguna untuk melancarkan jalannya suatu perusahaan.

Melalui perusaan penyedia jasa juga didapat terjadinya perjanjian kerja karena

perusahaan dalam mencari karyawan melalui perusahaan penyedia jasa pekerja

ini. Dewasa ini hampir tidak ada satu orang pun yang bisa melakukan usahanya

dengan hanya mengandalkan dirinya sendiri, apalagi jika usaha tergolong skala

(11)

keterbatasan modal, keterbatasan skill, ataupun karena tuntutan perkembangan

usaha yang semakin maju. Untuk mengatasi kesulitan tersebut maka

berkembanglah apa yang dinamakan kerjasama. Sebagai dasar dari kerjasama

tersebut dibutuhkan apa yang disebut dengan perjanjian kerja sama.

Perjanjian kerja memegang peranan penting dan mewujudkan hubungan

kerja yang baik dalam praktek sehari-hari, maka perjanjian kerja pada umumnya

hanya berlaku bagi pekerja dan pengusaha yang mengadakan perjanjian kerja.

Dengan melakukan perjanjian kerja, pengusaha harus mampu memberikan

pengarahan atau penempatan kerja sehubungan dengan adanya kewajiban

mengusahakan pekerjaan atau menyediakan pekerjaan, yang tidak lain untuk

mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia.

Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian

maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian.

Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah

cukup umur. Selain itu seseorang dikatakan cakap membuat perjanjian jika orang

tersebut tidak terganggu jiwanya atau waras.

Hubungan kerja terjadi apabila seseorang (karyawan, pekerja atau

pegawai) menyediakan keahlian dan tenaganya untuk orang lain (majikan atau

pimpinan) sebagai imbalan pembayaran sejumlah uang. Hubungan kerja tersebut

harus dilakukan secara teratur dan terus-menerus, untuk membedakannya dengan

(12)

4

pekerjan tertentu, lama atau singkat, atau sampai suatu pekerjaan tertentu itu

diselesaikan.3

Melihat praktek yang sering terjadi dan dialami para pekerja bertolak

belakang dari perjanjian yang telah disepakati. Dimana banyak sekali hak dan

kewajiban yang diberikan perusahaan kepada para pekerja tidak sebagaimana

mestinya. Pekerja diberikan beban pekerjaan sebagai tanggung jawab dan

kewajibannya yang melebihi dari hak yang akan diperolehnya dari perusahaan.

Pada setiap pekerja seharusnya mendapatkan perlindungan atas diri dan haknya

selama menjalankan suatu pekerjaan. Hal ini dirasa perlu agar pekerja tidah

mendapatkan diskriminasi yang sering terjadi oleh setiap pekerja yang kurang

memahami apa pentingnya perlindungan hukum bagi dirinya sendiri. Ini juga Perjanjian pada dasarnya harus memuat pula ketentuan-ketentuan yang

berkenaan dengan hubungan kerja yaitu hak dan kewajiban buruh serta hak dan

kewajiban majikan. Ketentuan-ketentuan ini dapat pula diterapkan oleh majikan,

yaitu peraturan yang secara sepihak diterapkan oleh majikan juga peraturan

perusahaan. Peraturan majikan atau peraturan perusahaan ini atau lengkapnya

peraturan perburuhan majikan dibuat secara sepihak oleh majikan, sehingga

majikan ini pada dasarnya dapat memasukan apa saja yang diinginkannya. Dia

juga dapat dengan bebas mencantumkan segala kewajiban yang dibebankan

kepada buruh semaksimal mungkin. Hal ini agak membebankan buruh dengan

tanggung jawab yang melebihi ketentuan yang seharusnya didapat oleh para

pekerja dalam suatu aturan perusahaan.

3

(13)

berdampak kepada para perusahaan untuk mengetahui batasan-batasan dalam

melaksanakan perjanjian pekerjaan. Dengan adanya perlindungan kerja yang

didapat oleh pekerja dan perusahaan yang megetahui juga batasan dalam suatau

perjanjian kerja maka hubungan kerja yang dilaksanakan dapat berjalan dengan

baik. Dimana perusahaan dan pekerja dapat bekerja sama untuk menjalankan roda

perekonomian yang bertujuan untuk kemajuan negara.

Banyaknya perusahaan yang mengalihkan pekerjaan kepada perusahaan

penyedia jasa pekerja, dengan status hubungan kerja PKWT, menimbulkan

banyak sekali protes dan pertentangan yang terjadi pada pekerja yang

mengharapkan dihapuskannya outsourcing. Jika dilihat lebih teliti hal tersebut

sangat membantu pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya untuk mengatasi

angka pengangguran yang semakin lama akan semakin meningkat. Sehingga

untuk menyikapi praktek pelaksanaan PKWT dan outsourcing, maka

Undang-Undang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UUK) dalam beberapa Pasal

mengatur mengenai PKWT dengan maksud memberi kepastian hukum pekerja

dan sebagai acuan untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam

pelaksanaan PKWT dan outsourcing.

Memperhatikan banyaknya perusahaan yang menyerahkan sebagaian

pekerjaan kepada perusahaan lain, dengan mengunakan status hubungan kerja

PKWT, menimbulkan banyak reaksi dari para pekerja yang menuntut agar

outsourcing dihapuskan, padahal disisi lain perkembangan sektor perdagangan

dan industri dapat sekali membantu pemerintah dan perusahaan yang melakukan

(14)

6

dengan hal tersebut mengakibatkan perlindungan terhadap pelaku bisnis dan

tenaga kerja sejalan seiring dengan krisis global yang saat ini masih melanda

dunia juga dalam negeri yang turut mempengaruhinya.

Pemberlakuan peraturan untuk mempergunakan sistem PKWT ini sendiri

merupakan jalan terbaik yang mengatasi sebagian permasalahan ekonomi yang

terjadi antara perusahaan dan pekerja. Di mana perusahaan menggunakan sistem

PKWT sebagai salah satu cara untuk tetap mempertahankan roda bisnis yang

dijalankan diera global yang sering terjadi ketidakstabilan dibidang bisnis.

Sehingga para pekerja diharap untuk dapat turut serta mengatasi setiap

permasalahan dan selain untuk bisnis hal ini juga berdampak positif kepada para

pekerja dimana para pekerja dapat meningkatkan taraf kehidupan yang lebih layak

dengan mempergunakan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan.

UUK sebagai dasar hukum diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) di

Indonesia, membagi outsourcing (alih daya) menjadi dua bagian, yaitu:

pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh.4

1. Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh

digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau

kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk

kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung

dengan proses produksi.

Pasal 66 UUK dinyatakan bahwa:

4

(15)

2. Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan

yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi

syarat sebagai berikut:

a. Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia

jasa pekerja/buruh;

b. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana

dimaksud dalam huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang

memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau

perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan

ditandatangani oleh kedua belah pihak;

c. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan

yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh; dan

d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan

lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat

secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam

undang-undang ini.

3. Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum

dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan.

4. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a,

huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status

(16)

8

pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan

perusahaan pemberi pekerjaan.

Selain diatur di dalam UUK, Outsourcing (Alih Daya) juga diatur dalam

Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia

Nomor Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan

Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja / Buruh dan dalam Inpres No. 3 Tahun 2006

tentang paket Kebijakan Iklim Investasi disebutkan bahwa outsourcing (Alih

Daya) sebagai salah satu faktor yang harus diperhatikan dengan serius dalam

menarik iklim investasi ke Indonesia. Bentuk keseriusan pemerintah tersebut

dengan menugaskan menteri tenaga kerja untuk membuat draft revisi terhadap

UUK.

Persaingan dunia usaha yang semakin ketat menuntut para pengusaha

melakukan banyak perubahan dalam pengelolaan perusahaan. Hal ini dilakukan

dengan tujuan agar pengelolaan perusahaan dapat menjadi lebih efektif dan

efisien, sehingga dapat kompetitif dalam persaingan dunia usaha yang semakin

ketat. Salah satu upaya yang ditempuh oleh PT. PLN (Persero) dalam

meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat yang dalam hal ini adalah

pelayanan jasa maka PT. PLN (Persero) Wil Area Binjai berusaha semaksimal

mungkin agar dapat memberikan yang terbaik maka pihak PT. PLN (Persero) Wil

Area Binjai Area Pelayanan dan Jaringan Kota Binjai dalam pelaksanaan sebagian

pekerjaannya cenderung mempercayakan terhadap pihak ketiga atau dengan kata

lain outsourcing. Ada beberapa kegiatan PT. PLN (Persero) Wil Area Binjai

(17)

merupakan Perseroan Tebatas yang berkedudukan dan berkantor pusat di jalan

Tengku Amir Hamzah No. 48 Binjai, Perseroan ini bergerak di bidang kompetensi

elektrikal, elektronika, teknologi Informasi dan komunikasi dengan wilayah

pemasaran Sumatera Utara. Adaptasi terhadap perubahan trend yang berkembang,

PT. Sentra pada saat ini memfokuskan pengembangan produk pada solusi bisnis

berbasis tekhnologi. Beberapa unit bisnis di dalam organisasi PT. Sentra memiliki

kompetensi dalam bidang teknologi informasi, Man Power (sumber daya

manusia) yang meliputi Pemutusan & Penyambungan, Pembacaan Meter

Pelanggan, Customer Service Officer, Call Center dan Tekhnik Kelistrikan

diantaranya adalah pembacaan stand meter pelanggan dilingkungan PT. PLN

(Persero) dan System Online Payment Point (SOPP). Komitmen untuk

meningkatkan mutu produk dan layanan diwujudkan dengan penerapan

standarisasi mutu perusahaan ISO 9001-2000.

Setelah melalui evaluasi dan verifikasi terhadap keabsahan kelengkapan

persyaratan dokumen sertifikasi, PT. Sentra sejak tahun 2007 merupakan salah

satu perusahaan yang terdaftar di PT. PLN (Persero) sebagai perusahaan rekanan,

khususnya pada PT. PLN (Persero) Wil Area Binjai

Berdasarkan uraian di atas maka penulis memilih judul Implementasi

Hukum Terhadap Perjanjian Penyedia Jasa Pekerja Yang Dilakukan PT. PLN

(Persero) Dengan PT. Sentra (Studi Pada PT. PLN (Persero) Wil. Area Binjai)

(18)

10

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian diatas ada beberapa permasalahan yang dibahas dalam

perjanjian penyedia jasa di bidang tenaga kerja yaitu :

1. Bagaimanakah Bentuk Perjanjian Penyedia Tenaga Kerja dalam

Perjanjian PT. PLN dan PT. Sentra?

2. Bagaimanakah Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian PT. PLN

(Persero) dan PT. Sentra?

3. Bagaimanakah Akibat Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa

dalam hal Wanprestasi?

C.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah :

1. Untuk mengetahui Bentuk Perjanjian Penyedia Tenaga Kerja dalam

Perjanjian PT. PLN dan PT. Sentra

2. Untuk mengetahui Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian PT.

PLN (Persero) dan PT. Sentra.

3. Untuk mengetahui Akibat Hukum dan Mekanisme Penyelesaian

Sengketa dalam hal Wanprestasi

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian merupakan dampak dari pencapaiannya tujuan.

Manfaat penelitian umumnya dipilah menjadi dua kategori, yaitu teoritis/akademis

(19)

1. Kegunaan teoritis/akademis terkait dengan kontribusi tertentu dari

penyelenggaraan penelitian terhadap perkembangan teori dan ilmu

pengetahuan serta dunia akademis, antara lain

a. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi

perkembangan ilmu hukum pada umumnya.

b. Untuk mengetahui secara konkrit sejauh mana perkembangan

mengenai perjanjian pemborongan pekerjaan.

2. Kegunaan praktis/fragmatis berkaitan dengan kontribusi praktis yang

diberikan dari penyelenggaraan penelitian terhadap obyek penelitian,

baik individu, kelompok, maupun organisasi, antara lain :

a. Diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembaca, khususnya

mengenai perjanjian pemborongan pekerjaan dan agar masyarakat

mengetahui proses perjanjian pemborongan pekerjaan yang terjadi

antara PT. PLN (Persero) dengan PT. Sentra

b. Dengan adanya penelitian ini dapat memberikan tambahan

pengetahuan tentang cara membuat perjanjian pemborongan

pekerjaan yang baik dan dapat mengetahui mengenai klausula

pokok

E.Keaslian Penulisan

Keaslian penulisan merupakan suatu tanda bagi penulis bahwa apa yang

dibuat dan dijelaskannya pada tugas akhir ini merupakan suatu hasil karya dan

(20)

12

skripsi orang lain untuk menjadi sebuah karya yang diakui sebagai hasil karyanya

sendiri.

Penulis telah menelusuri seluruh daftar skripsi di perpustakaan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara dan arsip yang ada di Departemen Hukum

Perdata, akan tetapi penulis tidak menemukan adanya kesamaan judul ataupun

permasalahan dengan judul dan permasalahan yang penulis angkat yaitu tentang

“Implementasi Hukum Terhadap Perjanjian Penyedia Jasa Pekerja Yang

Dilakukan Oleh PT.PLN (Persero) Wil. SUMUT Dengan PT.Sentra (Studi Pada

PT.PLN (Persero) Wilayah Sumut Area Binjai)”. Oleh karena itu, tulisan ini

merupakan buah karya asli penulis yang disusun berdasarkan dengan asas-asas

keilmuan yang jujur, rasional dan ilmiah.

Adapun judul yang ada di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara antara

lain :

1. Pratama Bagus Onto Nim 070200265 dengan judul Aspek Hukum

Perjanjian Kerjasama antara Perusahaan Pengguna Jasa Pekerja dan

Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja (Studi Penelitian di PT. Gunung Garuda

Group)

2. Sherly Nim 030200126 dengan judul Pertanggungjawaban Perusahaan

Penyedia Jasa Pekerja Buruh PPJP/B dalam penempatan Karyawan pada

PT. Pusri Medan

Dengan demikian, dapat penulis simpulkan bahwa skripsi yang penulis

susun ini merupakan karya asli penulis dan tidak meniru dari kepunyaan orang

(21)

dan permasalahan skripsi penulis dengan skripsi yang sebelumnya yang terdapat

di perpustakaan Departemen Hukum Perdata.

F. Metode Penulisan

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

yuridis normatif.5

2. Pendekatan penelitian

Penelitian yuridis normatif dipergunakan untuk mengkaji

dokumen–dokumen perjanjian yang berbentuk baku dengan menggunakan tolak

ukur asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, maupun asas itikad baik

dan kepatutan yang dapat di simpulkan dari pasal–pasal mengenai perjanjian yang

terkait, serta peraturan–peraturan yang mengatur tentang perjanjian kerja antara

PT. PLN (Persero) dan PT. Sentra.

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-empiris. Pendekatan

yuridis digunakan untuk menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan

terkait dengan perjanjian perjanjian pengadaan barang dan jasa. Sedangkan

pendekatan empiris digunakan untuk menganalisis hukum yang dilihat sebagai

prilaku masyarakat yang berpola dalam kehidupan masyarakat yang selalu

berinteraksi dan berhubungan dalam aspek kemasyarakatan.6

3. Spesifikasi penelitan

Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini, maka hasil

penelitian ini nantinya akan bersifat deskriptif analitis yaitu memaparkan,

5

Soejono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2006, hal. 7

6

(22)

14

menggambarkan atau mengungkapkan pelaksanaan perjanjian pengadaan barang

dan jasa. Hal tersebut kemudian dibahas atau dianalisis menurut ilmu dan

teori-teori atau pendapat peneliti sendiri, dan terakhir menyimpulkannya.7

4. Jenis dan sumber data

Jenis data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah berupa aturan -

aturan hukum, fakta-fakta yang terdapat dalam suatu perjanjian dan pendapat para

ahli yang berkaitan dengan masalah yang di teliti. Jenis data yang di pergunakan

adalah data sekunder yaitu sejumlah data yang diperoleh melalui studi pustaka

dengan mencari dan mengumpulkan data yang relevan serta membaca buku atau

literatur yang berkaitan dengan penelitian ini. Peraturan perundang-undangan,

serta dokumen-dokumen resmi yang meliputi perjanjian kerja dengan ketentuan

tenaga outsourcing yang berhubungan dengan obyek yang akan di teliti.

5. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang di gunakan untuk memperoleh data

sekunder adalah dengan cara studi kepustakaan dan kajian dokumen.

Untuk melengkapi penelitian ini agar mempunyai tujuan yang jelas dan

terarah serta dapat dipertanggung jawabkan sebagai salah satu hasil Karya Ilmiah,

maka metode yang digunakan untuk mengumpulkan data yang diperlukan untuk

mendukung antara lain :

a. Library Research atau penelitian kepustakaan

Mengadakan penelitian terhadap data-data yang diperoleh dari buku-buku

literatur, catatan kuliah, kliping, majalah-majalah ilmiah yang ada kaitannya

7

(23)

dengan skripsi ini dan KUHPerdata sebagai sumber dalam hukum perjanjian yang

digunakan sebagai rujukan dalam pembahasan skripsi ini untuk memperkuat dalil

dan fakta penelitian.

b. Field Research atau penelitian lapangan

Pengumpulan data melalui riset dilakukan dengan melakukan wawancara

kepada Rita Angraini selaku Assisten Bidang Administrasi PT. PLN (Persero)

Wil. Sumut Area Binjai yang ada kaitannya dengan pembahasan skripsi ini.

6. Analisis data

Analisis data yang digunakan adalah metode analisa deskriptif dengan

teknik induksi, hal ini dilakukan terhadap data yang sifatnya data sekunder yang

diperoleh melalui kajian kepustakaan. Teknik induksi digunakan untuk

menganalisis data primer maupun data sekunder yang berbentuk dokumen

perjanjian. Data yang telah diperoleh kemudian dikumpulkan yang selanjutnya

diolah dan dianalisis dengan menggunakan teknik editing yaitu memeriksa data

yang telah diperoleh untuk menjamin apakah dapat dipertanggung jawabkan.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini agar permasalahan yang diangkat

dengan pembahasan skripsi sesuai, maka diperlukan adanya sistematika penulisan

yang teratur yang saling berkaitan satu sama lain. Tiap bab terdiri dari setiap sub

bab dengan maksud untuk mempermudah dalam hal-hal yang dibahas dalam

skripsi ini. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :

(24)

16

Pendahuluan merupakan pengantar. Didalamnya termuat mengenai

gambaran umum tentang penulisan skripsi yang terdiri dari latar

belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan penulisan,

manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

BAB II SEKILAS TENTANG HUKUM PERJANJIAN DAN KONTRAK

PENYEDIA JASA PEKERJA DI INDONESIA.

Didalam bab ini penulis mencoba menjelaskan rumusan perjanjian

dalam peraturan dan ahli hukum perjanjian, syarat-syarat sah dan

jenis-jenis penjanjian yang dikenal dalam hukum perjanjian,

asas-asas hukum dan berakhirnya suatu perjanjian serta kontrak

penyedia jasa pekerja di Indonesia

BAB III BENTUK PERJANJIAN PENYEDIA TENAGA KERJA SERTA

HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM

PERJANJIAN PT. PLN (Persero) dan PT. SENTRA.

Dalam bab ini penulis membahas mengenai kontrak tenaga kerja

dan Bentuk Kontrak antara PT. PLN (Persero) dan PT. Sentra,

Sejarah Ikatan Kontrak PT. PLN (Persero) dan PT. Sentra, Hak

dan Kewajiban para Pihak, Objek dan Jangka Waktu Perjanjian

BAB IV AKIBAT HUKUM DAN MEKANISME PENYELESAIAN

SENGKETA DALAM HAL WANPRESTASI

Dalam bab ini terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai waktu

(25)

lain yang dilakukan dalam mempertahankan perjanjian,

penggunaan mekanisme ADR (alternative dispute resolution),

potensi penyelesaian sengketa kepengadilan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bagian terakhir dari penulisan skripsi ini. Bab

ini berisi kesimpulan dari permasalahan pokok dari keseluruhan

isi. Kesimpulan bukan merupakan rangkuman ataupun ikhtisar.

Saran merupakan upaya yang diusulkan agar hal-hal yang

dikemukakan dalam pembahasan permasalahan dapat lebih

(26)

BAB II

SEKILAS TENTANG HUKUM PERJANJIAN DAN KONTRAK PENYEDIA JASA PEKERJA DI INDONESIA

A.Rumusan Perjanjian dalam Peraturan dan Ahli Hukum Perjanjian.

Menurut ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata Perjanjian didefinisikan

sebagai:“perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih” Jika diperhatikan dengan

seksama, rumusan yang dinyatakan dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut

ternyata menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang

mengikatkan dirinya dengan orang lain.8 Karena itu suatu perjanjian akan lebih

luas juga tegas artinya, jika pengertian mengenai perjanjian tersebut diartikan

sebagai suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan

diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.9

KUHPerdata tidak memberikan rumusan, definisi maupun istilah

“perikatan”. Diawali dengan ketentuan Pasal 1233 dinyatakan bahwa “Tiap-tiap

perikatan dilahirkan baik karena persetujian, baik karena undang-undang”,

ditegaskan bahwa setiap kewajiban perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh

pihak-pihak yang terikat dalam perikatan yang secara singkat dibuat oleh mereka,

ataupun karena ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan demikian berarti perikatan adalah hubungan hukum antara dua atau lebih

8

Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja (2), Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian,

Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003, hal 92

9

(27)

orang/pihak dalam bidang/lapangan harta kekayaan yang melahirkan kewajiban

pada salah satu pihakdalam hubungan hukum tersebut.10 Dari rumusan yang

diberikan di atas dapat diketahui bahwa suatu perikatan, sekurangnya membawa

serta didalamnya empat unsur yaitu :11

1. Bahwa perikatan itu adalah suatu hubungan hukum.

2. Hubungan hukum tersebut melibatkan dua atau lebih orang (Pihak).

3. Hubungan hukum tersebut adalah hubungan hukum dalam lapangan

hukum harta kekayaan.

4. Hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban pada salah satu pihak

dalam perikatan.

Bila diperhatikan dengan seksama rumusan yang diberikan dalam Pasal 1234

KUHPerdata, dimana dinyatakan bahwa “tiap perikatan adalah untuk memberikan

sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”, maka dapat kita

dibahwa KUHPerdata sangat menekankan pada kewajiban pemenuhan perikatan,

yang dikelompokan menjadi tiga macam, yaitu dalam bentuk kewajiban untuk

memberikan sesuatu, melakukan sesuatu dan atau untuk tidak melakukan

sesuatu.12

Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian yaitu suatu hubungan

Hukum Kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberikan

kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus

10

Ibid, hal. 17

11

Ibid

12

(28)

20

mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.13 Dari pengertian singkat

di atas dijumpai didalamnya beberapa unsur yang memeberikan wujud pengertian

perjanjian, antara lain hubungan hukum (rechtbetrekking) yang menyangkut

hukum kekayaan antara dua orang (person) atau lebih yang memberikan hak pada

satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.14 Dengan

demikian, perjanjian/verbintenis adalah Hubungan Hukum/ rechtsbetrekking yang

oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu

perjanjian yang mengandung Hubungan Hukum perorangan/person adalah hal-hal

yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum.15

Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntutsesuatu hal dari pihak lain, dan pihak yang berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.

Menurut J.Satrio perbedaan pengertian dari perikatan dengan

perjanjian, dengan memberikan definisi dari perikatan sebagai berikut :

16

Istilah lain yang sering dipersamakan dengan perjanjian menurut Lawrence

M Friedman adalah kontrak. Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa

inggris, yaitu contract of law. Hukum kontrak adalah perangkat hukum yang

hanya mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis perjanjian tertentu.17

13

Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja (1), Perikatan Pada Umumnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 16

14

M.Yahya Harahap,Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986, hal.6.

15

Ibid , hal.6

16

J.Satrio, Hukum Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995, hal 7

17

(29)

Selain J. Satrio dan Lawrence M Friedman, ada beberapa sarjana yang

memberikan rumusan tentang definisi perjanjian, antara lain :

Menurut R. Subekti :

“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang

lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu”18

Beliau juga menyatakan “bahwa suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan,

karena dua pihak setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat juga dikatakan bahwa

dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya”19

Pengertian perjanjian menurut Tirtodiningrat yang dikutip oleh Mariam

Darus, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di

antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang

diperkenankan oleh undang-undang.

. Dari hal ini

dapat disimpulkan bahwa suatu persetujuan dan perjanjian mempunyai pengertian

yang sama, yaitu sama-sama memberikan keterikatan kepada para pihak agar janji

yang telah disepakati dapat dilaksanakan bagi para pihak.

20

B.Syarat-Syarat Sah dan Jenis Perjanjian yang Dikenal dalam Hukum Perikatan

1. Syarat-syarat sah suatu perjanjian

Pada suatu perjanjian dapat dilihat apakah suatu perjanjian dapat dikatakan

sah atau tidak dengan melihat syarat-syarat yang terlebih dahulu oleh

18

R. Subekti (1), Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1990, hal. 29

19

Ibid, hal.12

20

(30)

22

KUHPerdata telah diatur. Dalam KUHPerdata syarat-syarat sahnya suatu

perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata dinyatakan bahwa:

“Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat:

a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

c. Suatu pokok persoalan tertentu.

d. Suatu sebab yang tidak terlarang.”

Pasal 1320 ini, merupakan Pasal yang sangat populer karena menerangkan

tentang syarat yang harus dipenuhi untuk lahirnya suatu perjanjian. Syarat tersebut

baik mengenai pihak yang membuat perjanjian maupun syarat mengenai

perjanjian itu sendiri (isi perjanjian).

Kesepakatan yang dimaksud dalam Pasal ini adalah persesuaian kehendak

antara para pihak, yaitu bertemunya antara penawaran dan penerimaan.

Kesepakatan ini dapat dicapai dengan berbagai cara, baik dengan tertulis maupun

secara tidak tertulis. Dikatakan tidak tertulis, bukan lisan karena perjanjian dapat

saja terjadi dengan cara tidak tertulis dan juga tidal lisan, tetapi bahkan hanya

dengan menggunakan simbol-simbol atau dengan cara lainnya yang tidak secara

lisan.21

Kecakapan adalah kemampuan menurut hukum untuk melakukan

perbuatan hukum (perjanjian). Pada pasal 1329 KUH Perdata dinyatakan bahwa

“setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh

21

(31)

undang-undang dinyatakan tak cakap”. Pada pasal 330 KUHPerdata dinyatakan

Pasal 1330 dinyatakan bahwa yang tak cakap membuat persetujuan :

1) Anak yang belum dewasa

2) Orang yang dibawa pengampuan

3) Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan

undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang-undang-undang

dilarang untuk membuat persetujuan tertentu (telah dicabut dengan Surat

Edaran Mahkamah Agung No.3 tahun 1963)

Khusus untuk orang yang menikah sebelum usia 21 tahun tersebut, tetap

dianggap cakap walaupun dia bercerai sebelum menginjak usia 21 tahun. Jadi,

janda atau duda tetap dianggap cakap walaupun usianya belum mencapai 21

tahun.22

Syarat ketiga untuk sahnya perjanjian ini menerangkan tentang harusnya

adanya objek perjanjian yang jelas. Jadi suatu perjanjian tidak bisa dilakukan

tanpa objek tertentu. Jadi tidak bisa seseorang menjual “sesuatu” (tidak tertentu) Walaupun ukuran kecakapan didasarkan pada usia 21 tahun atau sudah

menikah, tidak semua orang yang telah mencapai usia 21 tahun dan telah menikah

secara otomatis dapat dikatakan cakap menurut hukum karena ada kemungkinan

orang yang telah mencapai usia 21 tahun atau telah menikah tetapi tetap dianggap

tidak cakap karena berada dibawah pengampuan, misalnya karena gila atau

bahkan karena boros.

22

(32)

24

dengan harga seribu rupiah misalnya karena kata sesuatu itu tidak menunjukkan

hal tertentu, tetapi hal yang tidak tertentu.23

Syarat keempat mengenai suatu sebab yang halal, ini juga merupakan

syarat tentang isi perjanjian. Kata halal ini bukan bermaksud untuk

memperlawankan dengan kata haram dalam hukum Islam, tetapi yang

dimaksudkan disini adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak dapat bertentangan

dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban.24

Dari keempat syarat di atas yang telah diatur oleh KUHPerdata kemudian

dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam:25

a) Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan

perjanjian(unsur subyektif), dan

b) Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek

perjanjian (unsur obyektif).

Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari

para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan

perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan

yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan klausa dari obyek yang berupa

prestasi yang disepakati untuk dilaksakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak

dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Seperti pada pasal 1446

KUHPerdata dinyatakan bahwa “semua perikatan yang dibuat oleh orang-orang

yang ditaruh dibawah pengampuan, adalah batal demi hukum, dan atas penuntutan

yang dimajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata

23

Ibid, hal.69

24

Ibid

25

(33)

atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya. Perikatan-perikatan yang

dibuat oleh orang-orang perempuan yang bersuami dan oleh orang-orang belum

dewasa yang telah mendapat suatu pernyataan persamaan dengan orang dewasa

hanyalah batal demi hukum, sekadar perikatan-perikatan tersebut melampaui

kekuasaan mereka”. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari ke empat unsur

tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam

dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika tedapat pelanggaran

terhadap untur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak

terpenuhinya unsur obyektif) dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari

perjanjian tersebut tidak dapat dipaksa pelaksanaannya.

ad. a) Syarat Subyektif

Seperti telah dikatakan diatas bahwa syarat subyektif sahnya perjanjian,

digantungkan pada dua macam keadaan:26

(1.) Kesepakatan Bebas.

Kesepakatan bebas antara para pihak diantara para pihak ini pada

prinsipnya adalah pengejawatahan dari asas konsensualitas. Jika dibaca dan

perhatikan dengan seksama ketentuan yang diatur dalam Pasal 1321 hingga Pasal

1328 KUHPerdata, maka tidak akan menemukan pengertian, definisi atau makna

dari kesepakatan bebas. Menurut ketentuan yang diatur oleh KUHPerdata

tersebut, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya kesepakatan bebas dapat terjadi

ketika pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa

kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan maupun penipuan,

26

(34)

26

sebagaimana ditentukan pada Pasal 1321 KUHPerdata, dinyatakan bahwa: Tiada

suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau

diperoleh dengan paksaan atau penipu. Sebelum masuk membahas mengenai

kekhilafan, penipuan dan paksaan, akan di bahas terlebih dahulu pengertian

kesepakatan, bagaimana kesepakatan dapat terwujud dan kapan suatu kesepakatan

dianggap telah terjadi.

Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua

atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk

dilaksakan, dan siapa yang harus melaksanakannya. Pada dasarnya sebelum para

pihak sampai pada kesepaktan mengenai hak-hak tersebut, maka salah satu atau

lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih dahulu suatu

bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki para pihak dengan segala

macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk

disepakati oleh para pihak. Pernyataan yang disampaikan tersebut dikenal dengan

nama “penawaran”.27 Penawaran diartikan sebagai suatu usul untuk menutup

perjanjian yang diajukan kepda pihak lawan janjinya, usul tersebut telah

dirumuskan sedemikian rupa sehingga penerimaan usul itu langsung

menimbulkan perjanjian.28

Dalam perjanjian konsensuil, KUHPerdata menentukan bahwa segera

setelah terjadi kesepakatan, maka lahirlah perjanjian, pada saat yang bersamaan

27

Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja (2), Op.cit, hal 96

28

(35)

juga menerbitkan perikatan diantara para pihak yang telah sepakat dan berjanji

tersebut.29

Menutup suatu perjanjian adalah suatu tindakan hukum, dan arena

kehendaknya ditujukan kepada timbulnya suatu akibat hukum tertentu (sesuatu

yang dikehendaki). Tetapi apa yang sebenarnya dikehendaki oleh satu pihak tidak

diketahui oleh pihak lain. Kehendak seseorang baru dapat diketahui oleh pihak

lain, kalau kehendak tersebut dinyatakan. Jadi untuk itu perlu adanya pernyataan

kehendak.30

Cara mengutarakan kehendak yang bisa bermacam-macam, ada lima cara

pernyataan kehendak, yaitu:

Pernyataan kehendak tersebut harus merupakan pernyataan, bahwa ia

menghendaki timbulnya hubungan hukum.

31

(a.) Bahasa yang sempurna dan tertulis.

Bahasa yang sempurna dan tertulis.

(b.) Bahasa yang sempurna secara lisan.

(c.) Bahasa yang tidak sempurna asal bisa diterima pihak lawan.

(d.) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan.

(e.) Diam atau membisu, tetapi dipahami atau diterima oleh pihak lawan.

Dalam KUHPerdata tidak ada dinyatakan bahwa harus adanya syarat yang

mencantumkan kehendak tertentu dalam suatu perjanjian, akan tetapi dalam

beberapa perjanjian ada yang mensyaratkan adanya kehendak tertentu dimuat

dalam bentuk-bentuk tertentu. Hukum perdata sendiri (dalam arti luas)

29

ibid, hal 97

30

J. Satrio, Op.cit, hal 174

31

(36)

28

mensyaratkan perwujudan dalam bentuk suatu akta yang tertulis. Akta itu sendiri

ada beberapa bentuk yang sering diartikan oleh hukum perdata yaitu akta bawah

tangan dan akta autentik. Yang dibuat oleh para pihak yang mengikatkan diri pada

suatu perjanjian yang semata-mata banyak bertujuan sebagai alat bukti adanya

suatu kesepakatan mengikat diri dalam suatu perjanjian oleh para pihak. Akan

tetapi para pihak tidak hanya berpegang pada alat bukti berupa akta melainkan

dapat juga membuktikannya dengan alat bukti lain. Suatu kata selain berlaku

sebagai alat bukti tetapi juga merupakan syarat konstitutif untuk adanya suatu

perjanjian yang sah sebagaimana dimaksud oleh undang-undang. Bentuk

perjanjian yang telah diatur sebagaimana dalam undang-undang tidak selamanya

sebagai dasar para pihak telah melakukan suatu perjanjian. Akan tetapi para pihak

dapat melakukan perjanjian dalam bentuk yang telah disepakati sendiri oleh para

pihak yang mengikat diri.

Dari uraian yang telah diberikan tersebut diatas, jelas bahwa tanpa adanya

kesepakatan tersebut, maka tidak pernah ada perjanjian yang tentunya tidak

melahirkan perjanjian. Dengan demikian berarti tanpa kesepakatan, tidak ada

perikatan yang menerbitkan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak (dalam

perjanjian yang akan dibentuk tersebut).

Dalam KUHPerdata terdapat beberapa hal yang merupakkan sebab-sebab

yang menimbulkan cacat pada kesepakatan yang dilakukan. Cacat pada kehendak

dapat dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu: tentang kekhilafan dalam perjanjian,

(37)

1.] Tentang Kekhilafan dalam Perjanjian.

Masalah kekhilafan dalam perjanjian sendiri diatur pada Pasal 1322

KUHPerdata dinyatakan bahwa: “Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu

perjanjian kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang

menjadi pokok perjanjian. Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika

kekhilafan hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seseorang

bermaksud untuk membuat perjanjian, kecuali jika perjanjian itu dibuat terutama

karena mengingat dirinya orang tersebut”

Ada dua hal pokok dan prinsipil dari rumusan Pasal 1322 KUHPerdata

yang dapat dikemukakan disini:32

a.] Kekhilafan bukanlah alasan untuk membatalkan perjanjian;

b.] Ada dua hal yang dapat menyebabkan alasan pembatalan perjanjian karena

kekhilafan mengenai:

[1.] Hakikat kebendaan yang menjadi pokok perjanjian tidak sesuai dengan

keadaan yang sebenarnya;

[2.] Orang terhadap siapa suatu perjanjian hanya akan dibuat.

Hal pertama adalah prinsip umum yang harus dipegang, diikuti dan ditaati.

Hal kedua merupakan pengecualian atau penyimpangan, yang dibatasi alasannya.

Dari kedua alasan pengecualian yang disebutkan diatas, alasan kedua lebih mudah

dimengerti dari alasan pertama. Dari rumusan yang dikemukan dalam alasan

kedua tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dalam

pengecualian yang kedua tersebut adalah subyek hukum perikatan, artinya salah

32

(38)

30

satu pihak dalam perikatan, yang diwajibkan untuk melakukan atau berbuat

sesuatu. Hal ini adalah konsekuensi logis dari tiga macam perikatan yang dikenal

dan diakui oleh KUHPerdata. Meskipun dalam beberapa hal perikatan ini dapat

lahir suatu bentuk perjanjian anata dua atau lebih pihak yang berarti membatasi

pihak yang dilarang untuk melakukan sesuatu atau diharapkan untuk tidak berbuat

sesuatu, namun tujuan utama para pihak adalah tetap agar sesuatu yang tidak

dikehendaki olehnya tersebut, termasuk yang diperjanjikan dengan orang

perorangan atau pihak tertentu, tidak dilakukan. Sedangkan dalam perikatan untuk

berbuat atau melakukan sesuatu, meskipun tidak seluruhnya tepat, namun

seringkali suatu prestasi untuk berbuat atau melakukan sesuatu tersebut sangat

digantungkan pada siapa yang wajib untuk melakukannya.

Dalam hal demikianlah maka suatu perjanjian yang telah dibuat, dengan

alasan kekhilafan dapat dimintakan pembatalannya. Selanjutnya oleh karena

kekhilafan ini merupakan suatu bentuk bantahan terhadap kesepakatan yang telah

terjadi maka hak untuk meminta pembatalan perjanjian yang dibuat tersebut ada

pada pihak dimana kekhilafan telah terjadi, yaitu yang dianggap tidak telah

memberikan kesepakatan sebagaimana yang disyaratkan sebagai salah satu syarat

sahnya perjanjian menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Masih berkaitan

dengan hal kekhilafan seperti telah dibahas dalam KUHPerdata hanya mengenal

dua macam alasan sebagai bentuk kekhilafan yang memberikan hak untuk

membatalkan perjanjian yang telah dibuat. Jika pada alasan kedua yang berkaitan

dengan subyek terhadap siapa suatu perjanjian hanya akan dibuat, kekhilafan akan

(39)

kebendaan yang menjadi pokok perjanjian yang tidak sesuai dengan keadaan yang

sebenarnya akan lebih sulit pembuktiannya. Menurut hakikat penulis, kekhilafan

dalam hubungannya dengan alasan yang pertama ini berhubungana dengan semua

jenis perjanjian yang disebut dalam Pasal 1234 KUHPerdata, yaitu baik yang

ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, maupun untuk tidak

berbuat sesuatu. Dengan demikian maka tepatlah kiranya bahwa dalam terjadinya

kekhilafan terhadap hakikat perjanjian, perjanjian yang terjadi tidak dibatalkan

demi hukum, melainkan jika diserahkan sepenuhnya pada keadilan dan kepatutan

yang dianggap pantas menurut Undang-undang maupun kebiasaan yang berlaku.

1.] Tentang paksaan dalam perjanjian

Paksaan sebagai alasan pembatalan perjanjian yang diatur dalam 5 Pasal

yaitu dari Pasal 1323 sampai 1327 KUHPerdata. Pasal 1323 KUHPerdata paksaan

sebagai alasan pembatalan perjanjian, dinyatakan: “Paksaan yang dilakukan

terhadap orang yang mengadakan suatu perjanjian mengakibatkan batalnya

perjanjian yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga

untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut tidak telah dibuat”.

Ketentuan Pasal 1323 KUHPerdata tersebut menunjukkan pada subyek

yang melakukan pemaksaan, yang dalam hal ini dapat dilakukan oleh orang yang

merupakan pihak dalam perjanjian, orang yang bukan pihak dalam perjanjian

tetapi mempunyai kepentingan terhadap perjanjian tersebut dan kepentingan

terhadap perjanjian yang dibuat. Hal yang terakhir ini sangat penting artinya bagi

hukum, mengingat bahwa kenyataan menunjukkan banyak terjadinya paksaan

(40)

32

memang tidak memiliki kepentingan terhadap perjanjian yang dibuat dibawah

paksaan atau ancaman tersebut.

Selanjutnya ketentuan Pasal 1235 KUHPerdata dinyatakan bahwa:

“Paksaan menjadikan suatu perjanjian batal bukan hanya bila dilakukan terhadap

salah satu pihak yang membuat perjanjian melainkan juga bila dilakukan terhadap

suami atau istri atau keluarganya dalam garis ke atas maupun kebawah”.

Dalam rumusan tersebut dapat dilihat bahwa subyek terhadap siapa

paksaan dilakukan ternyata tidak hanya meliputi orang yang merupakan pihak

dalam perjanjian melainkan juga termasuk didalamnya suami atau istri atau

keluarga mereka dalam garis keturunan keatas maupun kebawah. Berdasarkan hal

ini, KUHPerdata mempunyai pandangan bahwa dalam keluarga kecil termasuk

garis keturunan atas ataupun kebawah masih memiliki ikatan psikologis yang kuat

sekali. Meski yang demikian meskipun paksaan atau ancaman dilakukan terhadap

suatu orang lain yang mungkin juga memiliki keterkaitan yang sangat erat, namun

jika tidak termasuk dalam rumusan Pasal 1325 KUHPerdata maka paksaan

ataupun ancaman tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alasan membatalkan

perjanjian yang telah dibuat dibawah paksaan atau ancaman tersebut. Ketentuan

Pasal 1323 dan Pasal 1325 KUHPerdata berbicara soal subyek yang dipaksa atau

diancam, maka Pasal 1324 dan Pasal 1326 KUHPerdata mambahas tentang akibat

paksaan atau ancaman yang dilakukan, yang dapat dijadikan sebagai alasan

pembatalan perjanjian yang telah dibuat. Sebagaimana yang dimaksud Pasal 1324

dinyatakan: “Paksaan telah terjadi bila perbuatan itu sedemikian rupa sehingga

(41)

dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau

kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata”.

Dalam pertimbangan hal tersebut harus diperhatikan usia, jenis kelamin

dan kedudukan orang-orang yang bersangkutan. Selain Pasal 1324 yang baru kita

bahas kita juga harus membahas Pasal 1326 yang dinyatakan bahwa:“Ketakutan

saja karena hormat kepada ayah, ibu atau keluarga lain dalam garis keatas tanpa

disertai kekerasan tidak cukup untuk membatalkan perjanjian”.

Rumusan Pasal 1324 dan 1326 KUHPerdata dapat diketahui bahwa

paksaan yang dimaksud dapat terwujud dalam dua bentuk kegiatan atau

perbuatan. Perbuatan tersebut berupa:33

a.] Paksaan fisik dalam pengertian kekerasan.

b.] Paksaan psikis yang dilakukan dalam bentuk ancaman psikologis atau

kejiwaan.

Sebagai pasal terakhir yang mengatur mengenai paksaan sebagai alasan

untuk membatalkan perjanjian, dalam Pasal 1327 dinyatakan bahwa: “pembatalan

suatu perjanjian berdasarkan paksaan tidak dapat dituntut lagi bila setelah paksaan

berhenti perjanjian itu dikuatkan baik secara dinyatakan dengan tegas maupun

secara diam-diam atau jika seseorang melampaukan waktu yang ditentukan

Undang-Undang untuk dapat dipulihkan seluruhnya kekeadaan sebelumnya”.

Ketentuan ini pada dasarnya merupakan suatu bentuk konsekuensi logis

dari rumusan Pasal 1321 KUHPerdata yang meletakkan beban pembuktian pada

pihak yang mengalami paksaan. Dalam hal pihak yang mengalami paksaan,

33

(42)

34

setelah paksaan berhenti kemudian menyetujui untuk melakukan tindakan tersebut

baik secara langsung maupun dengan mengukuhkannya secara diam-diam

dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta pembatalan tersebut.

[3.] Tentang penipuan dalam perjanjian

Penipuan sebagai alasan pembatalan perjanjian yang diatur dalam Pasal

1328 KUHPerdata yang terdiri dari dua ayat, yang keseluruhannya dinyatakan

bahwa: “Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu perjanjian

apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa

sehingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan

itu jika tidak dilakuakn tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan

melainkan harus dibuktikan.”

Melalui rumusan yang diberikan tersebut dapat dilihat, bahwa berbeda dari

kekhilafan, penipuan melibatkan unsur kesengajaan dari salah satu pihak dalam

perjanjian untuk mengelabui pihak lawannya. Sehingga pihak yang terakhir ini

memberikan kesepakatan untuk tunduk pada perjanjian yang dibuat antara

mereka. KUHPerdata menyatakan bahwa masalah penipuan yang berkaitan

dengan kesengajaan ini harus dibuktikan dan tidak boleh hanya dipersangkakan

saja. Dalam hal ini maka pihak terhadap siapa penipuan telah terjadi wajib

membuktikan bahwa lawan pihaknya telah memberikan suatu informasi secara

tidak benar dan hal tersebut disengaja olehnya yang tanpa adanya informasi yang

tidak benar tersebut, pihak lawannya tersebut tidak mungkin akan memberikan

(43)

Dalam hal ini tidak jauh berbeda dari kekhilafan yang pada pokoknya

hanya berhubungan dengan “hakikat kebendaan” dan subyek terhadap siapa

perikatan dibuat dalam penipuan pun dengan memperhatikan persyaratan yang

ditetapkan undang-undang yaitu suatu keadaan, kondisi, peristiwa, perbuatan atau

informassi palsu yang tanpa adanya hal tersebut pihak lawannya tersebut tidak

mungkin akan memberikan kesepakatan untuk tunduk pada perjanjian yang dibuat

tersebut. Pokok penipuan pasti berkaitan dengan hal-hal yang sangat pokok dalam

perjanjian yang juga merupakan “hakikat dari perjanjian” atau suatu yang bersifat

esensial dalam perjanjian tersebut. Namun oleh karena penipuan berhubungan

dengan kesengajaan untuk melabui maka beban pembuktian ada tidaknya

kesengajaan menjadi sangat penting bagi pihak dalam perjanjian yang merasa

telah ditipu.

(2.) Kecakapan untuk bertindak

Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hukum merupakan syarat

subyektif kedua terbentuknya perjanjian yang sah diantara para pihak. Kecakapan

bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan

bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan

bertindak dalam hukum.meskipun kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda

namun dalam membahas masalah kecakapan bertindak yang melahirkan suatu

perjanjian yang sah maka masalah kewenangan untuk bertindak juga tidak dapat

dilupakan.34

34

Ibid., hal 124

Jika masalah kecakapan bertindak berkaitan dengan masalah

(44)

36

hukum, masalah kewenangan berkaitan dengan kapasitas orang perorangan

tersebut yang bertindak atau berbuat dalam hukum. Dapat saja seorang yang

bertindak atau berbuat dalam hukum. Dapat saja seorang yang cakap bertindak

dalam hukum tetapi ternyata tidak berwenang untuk melakukan suatu perbuatan

hukum dan sebaliknya seorang yang dianggapberwenang untuk bertindak

melakukan suatu perbuatan hukum. Karena suatu hal menjadi tidak cakap untuk

bertindak dalam hukum. Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah

masalah kecakapan untuk bertindak setelah seseorang dinyatakan cakap untuk

bertindak untuk dan atas nama sendiri. Baru kemudian dicari tahu apakah

perorangan yang cakap bertindak dalam hukum tersebut juga berwenang untuk

melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu. Dalam pembahasan

berikut ini masalah kecakapan dibahas dibawah pembahasan mengenai

kewenangan bertindak orang perorangan.

Seperti telah disinggung sebelumnya masalah kewenangan bertindak orang

perorangan dalam hukum, menurut doktrin ilmu hukum yang berkembang dapat

dibedakan kedalam:35

(a.) Kewenangan untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri yang berkaitan

dengan kecakapan untuk bertindak dalam hukum.

(b.) Kewenangan untuk bertindak selaku kuasa pihak lain yang dalam hal ini

tunduk pada ketentuan yang diatur dalam bab XVI KUHPerdata dibawah judul “Pemberi kuasa”.

(c.) Kewenangan untuk bertindak dalam kepastiannya sebagai wali atau wakil

dari pihak lain.

ad. (a.) Kecakapan dan kewenangan bertindak dalam rangka perbuatan untuk

kepentingan diri pribadi orang-perorangan.

35

(45)

Hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan dan kewenangan bertindak

dalam rangka perbuatan untuk kepentingan diri pribadi orang perorangan yang

diatur dalam Pasal 1329 KUHPerdata dinyatakan bahwa: “setiap oranag adalah

cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika ia oleh undang-undang tidak

dinyatakan tidak cakap”.

Rumusan tersebut membawa arti positif bahwa selain dinyatakan tidak

cakap maka setiap orang adalah cakap dan berwenang untuk bertindak dalam

hukum. Sedangkan pada Pasal 1330 KUHPerdata memeberikan limitasi

orang-orang mana saja yang dianggap tidak cakap untuk bertindak dalam hukum dengan

dinyatakan bahwa: Tidak cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian adalah:

1.]Anak yang belum dewasa

2.]Orang yang ditaruh dibawah pengampuan

3.]Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang

dan pada umunya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk

membuat perjanjian tertentu.

ad. (b.) Kewenangan untuk bertindak berdasarkan pemberian kuasa pihak lain.

Kewenangan untuk bertindak selaku kuasa pihak lain diatur dalam Bab

XVI KUHPerdata yang berjudul “pemberian kuasa”. Sebelum kita membahas

mengenai kewenangan berdasarkan kuasa ini terlebih dahulu harus diperhatikan

kecakapan untuk bertindak dalam hukum dari kedua belah pihak yaitu dari pihak

yang memberikan kuasa dan pihak yang menerima kuasa secara bersama-sama.

(46)

38

untuk bertindak dalam hukum, baru kita lihat ketentuan mengenai pemberian

kuasa.

Pasal 1792 KUHPerdata dinyatakan bahwa: “Pemberian Kuasa ialah suatu

perjanjian yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang

menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan

kuasa”. Sebagai suatu bentuk pemberian kuasa untuk melaksanakan suatu atas

nama orang yang memberikan kuasa, maka dalam Pasal 1797 KUHPerdata

dinyatakan bahwa: “Penerima Kuasa tidak boleh melakukan apapun yang

melampaui kuasanya, kekuasaan yang diberikan untuk menyelesaikan suatu

perkara secara damai, tidak mengandung hak untuk menggantungkan

penyelesaian perkara pada keputusan wasit”. Ini berarti kewenangan bertindak

penerima kuasa hanyalah sebatas kewenangan yang dicantumkan dalam kuasa

yang diberikan oleh pemberi kuasa.36

36

Ibid., hal.142

Mengenai bentuk kuasa yang harus

dipenuhi, Pasal 1793 KUHPerdata dinyatakan bahwa: “Kuasa dapat diberikan dan

diterima dengan suatu akta umum dengan suatu surat ataupun dengan lisan.

Pemerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan

dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa”. Selanjutnya rumusan Pasal

1796 KUHPerdata dinyatakan bahwa: Pemberian kuasa yang dirumuskan secara

umum hanya meliputi tindakan-tindakan yang menyangkut pengurusan utnuk

memindah tangankan barang atau meletakkan hipotek diatasnya untuk membuat

suatu perdamaian ataupun melakukan tindakan lain yang hanya dapat dilakukan

(47)

tegas”.Menunjukkan pada semua bahwa suatu pemberian kuasa secara umum

tidak memberikan kewenangan untuk melakukan perbuatan atau tindakan hukum

yang berhubungan dengan pengalihan termasuk untuk menjaminkan dengan

jaminan kebendaan, kebendaan milik pemberi kuasa maupun melakukan tindakan

perbuatan atau perjanjian yang dapat mengakibatkan kerugian terhadap harta

kekayaan pemberian kuasa.37

Kewenangan dalam hal perwalian telah di bahas dalam uraian sebelumnya.

Dengan demikian pengertian dan definisi badan hukum lahir dari doktrin ilmu

hukum yang dikembangkan oleh para ahli. Berdasarkan pasa kebutuhan praktek

hukum dan dunia usaha. Hal ini pada akhirnya melahirkan banyak teori tentang

badan hukum yang terus berkembang dari waktu ke waktu.

Untuk hal ini maka dalam ketentuan Pasal 1795

KUHPerdata dinyatakan bahwa: “Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus

yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih atau secara umum yaitu

meliputi segala kepentingan pemberian kuasa”.

Dengan pemberian kuasa khusus ini, pemberi kuasa dapat memberikan

kuasa kepada penerima kuasa khusu hanya untuk melakukan tindakaln hukum

tertentu baik yang berkaitan dengan pengalihan kebendaan, pemberian agunan

atau jaminan kebendaan, maupun hal-hal berhubungan dengan perubahan harta

kekayaan pemberi kuasa.

ad. (c.) Kecakapan dalam hubungan dengan sifat perwalian dan perwakilan.

38

37

Ibid., hal.143

38

Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja (1) Op.cit., hal.146

Dari pengertian yang

diberikan tersebut diatas ada satu hal menarik yang dapat dikemukakan yaitu

(48)

40

memiliki sesuatu status yang dipersamakan dengan orang-perorangan sebagai

subyek hukum. Dalam pengertian sebagai penyandang hal dan kewajiban. Badan

hukum dapat diguggat atau menggugat dipengadilan. Hal ini membawa

konsekuensi bahwa keberadaannya dan ketidak beradaannya sebagai badan

hukum tidak digantungkan pada kehendak pendiri atau anggotanya melainkan

pada suatu yang ditentukan oleh hukum.39

Syarat obyektif sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam:

Dengan demikian jelaslah bahwa permintaan pembatalan atas perjanjian

yang dibuat dalam rangka ketidakcakapan salah satu atau lebih pihak dalam

perjanjian hanya diberikan kepada pihak yang dianggap tidak cakap dalam hukum

tersebut. Hak untuk meminta pembatalan tersebut tidaklah diberikan kepada

lawan pihak dari pihak yang dianggap tidak cakap untuk bertindak dalam hukum.

Dengan konsekuensi hukum ini, maka berarti setiap pihak yang akan berhubungan

hukum termasuk untuk membuat kesepakatan atau perjanjian haruslah lebih

dahulu atau berkewajiban untuk memastikan bahwa lawan pihak terhadap siapa

perbuatan hukum atau perjanjian akan disepakati adalah cakap utnuk bertindak

dalam hukum.

ad. b.) Syarat Obyektif.

40

(1.) Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata mengenai keharusan

adanya suatu hal tertentu dalam perjanjian.

39

Ibid, hal.147

40

(49)

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, pada pelaksanaan perjanjian selain mengindahkan ketentuan- ketentuan dasar mengenai perjanjian sebagaimana diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum

Ketentuan mengenai perjanjian Outsourcing yang berupa perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis, diatur dalam pasal 66 Undang-Undang Nomor

uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4). Selanjutnya Pengusaha juga dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Pekerja/Buruh

Penipuan sebagai alasan pembatalan perjanjian yang diatur dalam Pasal 1328 KUHPerdata yang terdiri dari dua ayat, yang keseluruhannya dinyatakan bahwa: “Penipuan merupakan

Perjanjian kerja bersama merupakan salah satu bentuk perjanjian kerja yang di buat oleh pengusaha dan serikat pekerja, berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun

Perjanjian kerja bersama merupakan salah satu bentuk perjanjian kerja yang di buat oleh pengusaha dan serikat pekerja, berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun

Sedangkan perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk tertentu secara

Secara yuridis, seharusnya sebuah perjanjian kerja bagi pekerja kontrak memenuhi kaidah-kaidah yang ada di dalam suatu perjanjian yang sah sebagaimana diatur di