S K R I P S I
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2014 TIESA SALEH
100200122
IMPLEMENTASI HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PENYEDIA JASA PEKERJA YANG DILAKUKAN PT. PLN (Persero) DENGAN PT. SENTRA (Studi Pada PT. PLN (Persero) Wil. Area Binjai)
Oleh
TIESA SALEH 100200122
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA (BW)
Disetujui Oleh
Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum NIP. 196603031985081001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Edy Ikhsan, SH., M.A
2014
Zulkifli Sembiring, SH., M.Hum
NIP. 196302161988031002 NIP:196101181988031010
FAKULTAS HUKUM
lepas/buruh kontrak. Dari perusahaan penyedia jasa pekerjalah didapat pekerja sesuai dengan yang dibutuhkan perusahaan untuk dapat menjalankan suatu pekerjaan tertentu yang berguna untuk melancarkan jalannya suatu perusahaan. Permasalahan yang penulis angkat dalam skripsi ini yaitu bagaimanakah Bentuk Penyedia Tenaga Kerja dalam perjanjian PT.PLN dengan PT.SENTRA, hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian PT. PLN (Persero) dan PT. SENTRA, dan bagaimanakah Akibat Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa dalam hal Wanprestasi apabila terjadi permasalahan pada perjanjian dikemudian hari.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu dengan mengkaji dokumen-dokumen perjanjian yang berbentuk baku dengan menggunakan berbagai tolak ukur dari peraturan-peraturan yang mengatur tentang perjanjian kerja pada umumnya.
Bentuk hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan dimaksud, diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan penerima pekerjaan dengan pekerja yang dipekerjakan, yang didasarkan atas Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu, sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Hak dan Kewajiban Pihak Pemborong, Hak Pihak pemborong PT.SENTRA berhak mendapatkan pembayaran sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati. Pihak pemborong juga berhak menentukan pekerja yang akan dipekerjakan akan tetapi tetap sesuai dengan prosedur yang telah disepakati dalam perjanjian. Kewajiban pihak pemborong PT.SENTRA diantaranya menyalurkan segala biaya yang telah diperoleh dari PT.PLN (Persero) dan menyediakan tenaga kerja, Menanggung semua pajak/bea, Melaksanakan Komitmen Integritas Layanan Publik, wajib membuat laporan pelaksanaan pekerjaan. Pekerja berkewajiban menjalankan pekerjaan yang telah ditentukan sebelumnya dalam perjanjian dengan sebaik-baiknya. Hak-hak karyawan telah juga disampaikan dalam perjanjian (draf perjanjian) agar segala hak dan kewajiban pekerja tidak bertentangan dari yang disepakati. Hak dari PT.PLN yaitu memperoleh hasil pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan. Kewajiban dari PT.PLN yaitu melakukan pembayaran terhadap PT.SENTRA sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak. Perjanjian kerja sama yang telah disepakati oleh para pihak harus ditandatangani semua pihak dan dimiliki oleh semua pihak yang termuat dalam perjanjian.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan
judul IMPLEMENTASI HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PENYEDIA
JASA PEKERJA YANG DILAKUKAN PT. PLN (Persero) DENGAN PT. SENTRA (Studi Pada PT. PLN (Persero) Wil. Area Binjai)
Guna memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan di Program
Studi S-I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan
Penulis menyadari bahwa yang disajikan dalam penulisan Skripsi ini
masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, untuk itu penulis mengharapkan
saran dan kritik yang sifatnya membangun sehingga dapat menjadi perbaikan di
masa akan datang.
Dalam penulisan Skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan
berbagai pihak baik secara moril dan materil, untuk itu penulis mengucapkan
terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I,
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan II,
4. Bapak Muhammad Husni, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III, Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Dr. Hasim Purba, SH., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum
Perdata, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH., M.A selaku dosen pembimbing I yang telah
bersedia meluangkan waktu sehingga terselesaikan skripsi ini.
7. Bapak Zulkifli Sembiring, SH., M.Hum selaku dosen pembimbing II yang
telah bersedia meluangkan waktu sehingga terselesaikan skripsi ini.
8. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
9. Kepada kedua orang tua ayahanda dan ibunda tercinta H.Irsal Saleh dan Hj.
Hariati yang telah banyak memberikan dukungan doa dan kasih sayang yang
tak pernah putus sampai sekarang.
10.Kepada rekan-rekan mahasiswa/i, Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
11.Rekan-rekan diluar kampus yang tidak bisa disebutkan satu persatu
Penulis berharap semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya. Akhirnya penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Medan, April 2014
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Keaslian Penulisan ... 11
F. Metode Penelitian ... 13
G. Sistematika Penulisan ... 15
BAB II SEKILAS TENTANG HUKUM PERJANJIAN DAN KONTRAK PENYEDIA JASA PEKERJA DI INDONESIA ... 18
A.Rumusan Perjanjian dalam Peraturan dan Ahli Hukum Perjanjian ... 18
B.Syarat-syarat sah dan jenis perjanjian yang dikenal dalam Hukum Perjanjian ... 21
C.Asas-Asas Hukum dan Berakhirnya Suatu Perjanjian ………… 49
D.Kontrak Penyedia Jasa di Indonesia ……… 58
BAB III BENTUK PENYEDIA TENAGA KERJA SERTA HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN PT. PLN (PERSERO) DAN PT. SENTRA ... 63
B.Sejarah Ikatan Kontrak PT. PLN (Persero) dan PT. Sentra…….. 64
C.Hak dan Kewajiban Para Pihak ……….. 65
D.Objek dan Jangka Waktu Perjanjian ……… 69
BAB IV AKIBAT HUKUM DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA DALAM HAL WANPRESTASI ... 72
A.Waktu terjadinya Perbuatan Wanprestasi ……… 72
B.Konsekuensi Hukum dan Upaya Lain yang dilakukan dalam Mempertahankan Perjanjian ... 76
C.Penggunaan Mekanisme ADR……….. 80
D.Potensi Penyelesaian Sengketa Kepengadilan……….. 86
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 89
A.Kesimpulan ……….. 89
B.Saran………. 94
ABSTRAK
Perusahaan penyedia jasa pekerja sendiri merupakan wadah pencarian tenaga kerja yang akan dipekerjakan dalam suatu perusahaan sebagai karyawan lepas/buruh kontrak. Dari perusahaan penyedia jasa pekerjalah didapat pekerja sesuai dengan yang dibutuhkan perusahaan untuk dapat menjalankan suatu pekerjaan tertentu yang berguna untuk melancarkan jalannya suatu perusahaan. Permasalahan yang penulis angkat dalam skripsi ini yaitu bagaimanakah Bentuk Penyedia Tenaga Kerja dalam perjanjian PT.PLN dengan PT.SENTRA, hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian PT. PLN (Persero) dan PT. SENTRA, dan bagaimanakah Akibat Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa dalam hal Wanprestasi apabila terjadi permasalahan pada perjanjian dikemudian hari.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu dengan mengkaji dokumen-dokumen perjanjian yang berbentuk baku dengan menggunakan berbagai tolak ukur dari peraturan-peraturan yang mengatur tentang perjanjian kerja pada umumnya.
Bentuk hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan dimaksud, diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan penerima pekerjaan dengan pekerja yang dipekerjakan, yang didasarkan atas Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu, sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Hak dan Kewajiban Pihak Pemborong, Hak Pihak pemborong PT.SENTRA berhak mendapatkan pembayaran sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati. Pihak pemborong juga berhak menentukan pekerja yang akan dipekerjakan akan tetapi tetap sesuai dengan prosedur yang telah disepakati dalam perjanjian. Kewajiban pihak pemborong PT.SENTRA diantaranya menyalurkan segala biaya yang telah diperoleh dari PT.PLN (Persero) dan menyediakan tenaga kerja, Menanggung semua pajak/bea, Melaksanakan Komitmen Integritas Layanan Publik, wajib membuat laporan pelaksanaan pekerjaan. Pekerja berkewajiban menjalankan pekerjaan yang telah ditentukan sebelumnya dalam perjanjian dengan sebaik-baiknya. Hak-hak karyawan telah juga disampaikan dalam perjanjian (draf perjanjian) agar segala hak dan kewajiban pekerja tidak bertentangan dari yang disepakati. Hak dari PT.PLN yaitu memperoleh hasil pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan. Kewajiban dari PT.PLN yaitu melakukan pembayaran terhadap PT.SENTRA sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak. Perjanjian kerja sama yang telah disepakati oleh para pihak harus ditandatangani semua pihak dan dimiliki oleh semua pihak yang termuat dalam perjanjian.
A.Latar Belakang
Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, pemerintah
berusaha menggalakkan pembangunan di segala bidang baik pembangunan fisik
maupaun non fisik pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, hasil-hasil pembangunan harus dapat
dinikmati oleh seluruh rakyat sebagai peningkatan kesejahteraan lahir dan batin
secara adil dan merata. Sebaliknya, berhasilnya pembangunan tergantung
partisipasi seluruh rakyat, yang berarti pembangunan harus dilaksanakan secara
merata oleh segenap lapisan masyarakat.1
Perkembangan ekonomi global, menimbulkan persaingan yang semakin
ketat menuntut pelaku usaha melakukan langkah efisiensi dalam segala lini agar
perusahaan dapat tetap dan terus eksis dengan ketat harus menimbulkan produk
dan atau jasa layanan terbaiknya. Menghadapi kompetisi sebagai akibat semakin
diminati kerja lingkungan bisnis, maka perusahaan harus semakin linear dan
responsif sehingga selalu mampu menyesuaikan dengan perubahan kerja
lingkungan bisnis yang karateristiknya serba cepat dan serba tidak pasti.2
1
Djumialdji, Hukum Bangunan Dasar-Dasar Hukum dan Proyek dan Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Rineka Cipta, 1996, hal. 1.
2
2
Sesuai kondisi tersebut agar dunia usaha dapat tetap dan terus eksis,
banyak perusahaan menggunakan tenaga kerja sesuai kebutuhan perusahaan
dengan status hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(selanjutnya disebut PKWT) dan atau menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lain, yang dikenal dengan istilah outsourcing.
Praktek hubungan kerja dan PKWT dan atau menyerahkan sebagian
pelaksana pekerjaan kepada perusahan lain, sudah lama dikenal di Indonesia.
Khusus pelaksana outsourcing telah dikenal sejak jaman kolonial Belanda
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1601 b Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) bahwa “ Pemborongan Pekerja adalah
perjanjian dengan mana pihak yang satu, sipemborong mengikatkan diri untuk
menyerahkan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborong dan
menerima suatu harga yang ditetapkan “.
Perusahaan penyedia jasa pekerja sendiri merupakan wadah pencarian
tenaga kerja yang akan dipekerjakan dalam suatu perusahaan sebagai karyawan
lepas/buruh kontrak. Dari perusahaan penyedia jasa pekerjalah didapat pekerja
sesuai dengan yang dibutuhkan perusahaan untuk dapat menjalankan suatu
pekerjaan tertentu yang berguna untuk melancarkan jalannya suatu perusahaan.
Melalui perusaan penyedia jasa juga didapat terjadinya perjanjian kerja karena
perusahaan dalam mencari karyawan melalui perusahaan penyedia jasa pekerja
ini. Dewasa ini hampir tidak ada satu orang pun yang bisa melakukan usahanya
dengan hanya mengandalkan dirinya sendiri, apalagi jika usaha tergolong skala
keterbatasan modal, keterbatasan skill, ataupun karena tuntutan perkembangan
usaha yang semakin maju. Untuk mengatasi kesulitan tersebut maka
berkembanglah apa yang dinamakan kerjasama. Sebagai dasar dari kerjasama
tersebut dibutuhkan apa yang disebut dengan perjanjian kerja sama.
Perjanjian kerja memegang peranan penting dan mewujudkan hubungan
kerja yang baik dalam praktek sehari-hari, maka perjanjian kerja pada umumnya
hanya berlaku bagi pekerja dan pengusaha yang mengadakan perjanjian kerja.
Dengan melakukan perjanjian kerja, pengusaha harus mampu memberikan
pengarahan atau penempatan kerja sehubungan dengan adanya kewajiban
mengusahakan pekerjaan atau menyediakan pekerjaan, yang tidak lain untuk
mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia.
Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian
maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian.
Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah
cukup umur. Selain itu seseorang dikatakan cakap membuat perjanjian jika orang
tersebut tidak terganggu jiwanya atau waras.
Hubungan kerja terjadi apabila seseorang (karyawan, pekerja atau
pegawai) menyediakan keahlian dan tenaganya untuk orang lain (majikan atau
pimpinan) sebagai imbalan pembayaran sejumlah uang. Hubungan kerja tersebut
harus dilakukan secara teratur dan terus-menerus, untuk membedakannya dengan
4
pekerjan tertentu, lama atau singkat, atau sampai suatu pekerjaan tertentu itu
diselesaikan.3
Melihat praktek yang sering terjadi dan dialami para pekerja bertolak
belakang dari perjanjian yang telah disepakati. Dimana banyak sekali hak dan
kewajiban yang diberikan perusahaan kepada para pekerja tidak sebagaimana
mestinya. Pekerja diberikan beban pekerjaan sebagai tanggung jawab dan
kewajibannya yang melebihi dari hak yang akan diperolehnya dari perusahaan.
Pada setiap pekerja seharusnya mendapatkan perlindungan atas diri dan haknya
selama menjalankan suatu pekerjaan. Hal ini dirasa perlu agar pekerja tidah
mendapatkan diskriminasi yang sering terjadi oleh setiap pekerja yang kurang
memahami apa pentingnya perlindungan hukum bagi dirinya sendiri. Ini juga Perjanjian pada dasarnya harus memuat pula ketentuan-ketentuan yang
berkenaan dengan hubungan kerja yaitu hak dan kewajiban buruh serta hak dan
kewajiban majikan. Ketentuan-ketentuan ini dapat pula diterapkan oleh majikan,
yaitu peraturan yang secara sepihak diterapkan oleh majikan juga peraturan
perusahaan. Peraturan majikan atau peraturan perusahaan ini atau lengkapnya
peraturan perburuhan majikan dibuat secara sepihak oleh majikan, sehingga
majikan ini pada dasarnya dapat memasukan apa saja yang diinginkannya. Dia
juga dapat dengan bebas mencantumkan segala kewajiban yang dibebankan
kepada buruh semaksimal mungkin. Hal ini agak membebankan buruh dengan
tanggung jawab yang melebihi ketentuan yang seharusnya didapat oleh para
pekerja dalam suatu aturan perusahaan.
3
berdampak kepada para perusahaan untuk mengetahui batasan-batasan dalam
melaksanakan perjanjian pekerjaan. Dengan adanya perlindungan kerja yang
didapat oleh pekerja dan perusahaan yang megetahui juga batasan dalam suatau
perjanjian kerja maka hubungan kerja yang dilaksanakan dapat berjalan dengan
baik. Dimana perusahaan dan pekerja dapat bekerja sama untuk menjalankan roda
perekonomian yang bertujuan untuk kemajuan negara.
Banyaknya perusahaan yang mengalihkan pekerjaan kepada perusahaan
penyedia jasa pekerja, dengan status hubungan kerja PKWT, menimbulkan
banyak sekali protes dan pertentangan yang terjadi pada pekerja yang
mengharapkan dihapuskannya outsourcing. Jika dilihat lebih teliti hal tersebut
sangat membantu pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya untuk mengatasi
angka pengangguran yang semakin lama akan semakin meningkat. Sehingga
untuk menyikapi praktek pelaksanaan PKWT dan outsourcing, maka
Undang-Undang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UUK) dalam beberapa Pasal
mengatur mengenai PKWT dengan maksud memberi kepastian hukum pekerja
dan sebagai acuan untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam
pelaksanaan PKWT dan outsourcing.
Memperhatikan banyaknya perusahaan yang menyerahkan sebagaian
pekerjaan kepada perusahaan lain, dengan mengunakan status hubungan kerja
PKWT, menimbulkan banyak reaksi dari para pekerja yang menuntut agar
outsourcing dihapuskan, padahal disisi lain perkembangan sektor perdagangan
dan industri dapat sekali membantu pemerintah dan perusahaan yang melakukan
6
dengan hal tersebut mengakibatkan perlindungan terhadap pelaku bisnis dan
tenaga kerja sejalan seiring dengan krisis global yang saat ini masih melanda
dunia juga dalam negeri yang turut mempengaruhinya.
Pemberlakuan peraturan untuk mempergunakan sistem PKWT ini sendiri
merupakan jalan terbaik yang mengatasi sebagian permasalahan ekonomi yang
terjadi antara perusahaan dan pekerja. Di mana perusahaan menggunakan sistem
PKWT sebagai salah satu cara untuk tetap mempertahankan roda bisnis yang
dijalankan diera global yang sering terjadi ketidakstabilan dibidang bisnis.
Sehingga para pekerja diharap untuk dapat turut serta mengatasi setiap
permasalahan dan selain untuk bisnis hal ini juga berdampak positif kepada para
pekerja dimana para pekerja dapat meningkatkan taraf kehidupan yang lebih layak
dengan mempergunakan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan.
UUK sebagai dasar hukum diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) di
Indonesia, membagi outsourcing (alih daya) menjadi dua bagian, yaitu:
pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh.4
1. Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh
digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau
kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk
kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung
dengan proses produksi.
Pasal 66 UUK dinyatakan bahwa:
4
2. Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan
yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh;
b. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana
dimaksud dalam huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau
perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan
ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan
yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh; dan
d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan
lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat
secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini.
3. Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum
dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
4. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a,
huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status
8
pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan pemberi pekerjaan.
Selain diatur di dalam UUK, Outsourcing (Alih Daya) juga diatur dalam
Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan
Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja / Buruh dan dalam Inpres No. 3 Tahun 2006
tentang paket Kebijakan Iklim Investasi disebutkan bahwa outsourcing (Alih
Daya) sebagai salah satu faktor yang harus diperhatikan dengan serius dalam
menarik iklim investasi ke Indonesia. Bentuk keseriusan pemerintah tersebut
dengan menugaskan menteri tenaga kerja untuk membuat draft revisi terhadap
UUK.
Persaingan dunia usaha yang semakin ketat menuntut para pengusaha
melakukan banyak perubahan dalam pengelolaan perusahaan. Hal ini dilakukan
dengan tujuan agar pengelolaan perusahaan dapat menjadi lebih efektif dan
efisien, sehingga dapat kompetitif dalam persaingan dunia usaha yang semakin
ketat. Salah satu upaya yang ditempuh oleh PT. PLN (Persero) dalam
meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat yang dalam hal ini adalah
pelayanan jasa maka PT. PLN (Persero) Wil Area Binjai berusaha semaksimal
mungkin agar dapat memberikan yang terbaik maka pihak PT. PLN (Persero) Wil
Area Binjai Area Pelayanan dan Jaringan Kota Binjai dalam pelaksanaan sebagian
pekerjaannya cenderung mempercayakan terhadap pihak ketiga atau dengan kata
lain outsourcing. Ada beberapa kegiatan PT. PLN (Persero) Wil Area Binjai
merupakan Perseroan Tebatas yang berkedudukan dan berkantor pusat di jalan
Tengku Amir Hamzah No. 48 Binjai, Perseroan ini bergerak di bidang kompetensi
elektrikal, elektronika, teknologi Informasi dan komunikasi dengan wilayah
pemasaran Sumatera Utara. Adaptasi terhadap perubahan trend yang berkembang,
PT. Sentra pada saat ini memfokuskan pengembangan produk pada solusi bisnis
berbasis tekhnologi. Beberapa unit bisnis di dalam organisasi PT. Sentra memiliki
kompetensi dalam bidang teknologi informasi, Man Power (sumber daya
manusia) yang meliputi Pemutusan & Penyambungan, Pembacaan Meter
Pelanggan, Customer Service Officer, Call Center dan Tekhnik Kelistrikan
diantaranya adalah pembacaan stand meter pelanggan dilingkungan PT. PLN
(Persero) dan System Online Payment Point (SOPP). Komitmen untuk
meningkatkan mutu produk dan layanan diwujudkan dengan penerapan
standarisasi mutu perusahaan ISO 9001-2000.
Setelah melalui evaluasi dan verifikasi terhadap keabsahan kelengkapan
persyaratan dokumen sertifikasi, PT. Sentra sejak tahun 2007 merupakan salah
satu perusahaan yang terdaftar di PT. PLN (Persero) sebagai perusahaan rekanan,
khususnya pada PT. PLN (Persero) Wil Area Binjai
Berdasarkan uraian di atas maka penulis memilih judul Implementasi
Hukum Terhadap Perjanjian Penyedia Jasa Pekerja Yang Dilakukan PT. PLN
(Persero) Dengan PT. Sentra (Studi Pada PT. PLN (Persero) Wil. Area Binjai)
10
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian diatas ada beberapa permasalahan yang dibahas dalam
perjanjian penyedia jasa di bidang tenaga kerja yaitu :
1. Bagaimanakah Bentuk Perjanjian Penyedia Tenaga Kerja dalam
Perjanjian PT. PLN dan PT. Sentra?
2. Bagaimanakah Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian PT. PLN
(Persero) dan PT. Sentra?
3. Bagaimanakah Akibat Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa
dalam hal Wanprestasi?
C.Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah :
1. Untuk mengetahui Bentuk Perjanjian Penyedia Tenaga Kerja dalam
Perjanjian PT. PLN dan PT. Sentra
2. Untuk mengetahui Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian PT.
PLN (Persero) dan PT. Sentra.
3. Untuk mengetahui Akibat Hukum dan Mekanisme Penyelesaian
Sengketa dalam hal Wanprestasi
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian merupakan dampak dari pencapaiannya tujuan.
Manfaat penelitian umumnya dipilah menjadi dua kategori, yaitu teoritis/akademis
1. Kegunaan teoritis/akademis terkait dengan kontribusi tertentu dari
penyelenggaraan penelitian terhadap perkembangan teori dan ilmu
pengetahuan serta dunia akademis, antara lain
a. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
perkembangan ilmu hukum pada umumnya.
b. Untuk mengetahui secara konkrit sejauh mana perkembangan
mengenai perjanjian pemborongan pekerjaan.
2. Kegunaan praktis/fragmatis berkaitan dengan kontribusi praktis yang
diberikan dari penyelenggaraan penelitian terhadap obyek penelitian,
baik individu, kelompok, maupun organisasi, antara lain :
a. Diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembaca, khususnya
mengenai perjanjian pemborongan pekerjaan dan agar masyarakat
mengetahui proses perjanjian pemborongan pekerjaan yang terjadi
antara PT. PLN (Persero) dengan PT. Sentra
b. Dengan adanya penelitian ini dapat memberikan tambahan
pengetahuan tentang cara membuat perjanjian pemborongan
pekerjaan yang baik dan dapat mengetahui mengenai klausula
pokok
E.Keaslian Penulisan
Keaslian penulisan merupakan suatu tanda bagi penulis bahwa apa yang
dibuat dan dijelaskannya pada tugas akhir ini merupakan suatu hasil karya dan
12
skripsi orang lain untuk menjadi sebuah karya yang diakui sebagai hasil karyanya
sendiri.
Penulis telah menelusuri seluruh daftar skripsi di perpustakaan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara dan arsip yang ada di Departemen Hukum
Perdata, akan tetapi penulis tidak menemukan adanya kesamaan judul ataupun
permasalahan dengan judul dan permasalahan yang penulis angkat yaitu tentang
“Implementasi Hukum Terhadap Perjanjian Penyedia Jasa Pekerja Yang
Dilakukan Oleh PT.PLN (Persero) Wil. SUMUT Dengan PT.Sentra (Studi Pada
PT.PLN (Persero) Wilayah Sumut Area Binjai)”. Oleh karena itu, tulisan ini
merupakan buah karya asli penulis yang disusun berdasarkan dengan asas-asas
keilmuan yang jujur, rasional dan ilmiah.
Adapun judul yang ada di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara antara
lain :
1. Pratama Bagus Onto Nim 070200265 dengan judul Aspek Hukum
Perjanjian Kerjasama antara Perusahaan Pengguna Jasa Pekerja dan
Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja (Studi Penelitian di PT. Gunung Garuda
Group)
2. Sherly Nim 030200126 dengan judul Pertanggungjawaban Perusahaan
Penyedia Jasa Pekerja Buruh PPJP/B dalam penempatan Karyawan pada
PT. Pusri Medan
Dengan demikian, dapat penulis simpulkan bahwa skripsi yang penulis
susun ini merupakan karya asli penulis dan tidak meniru dari kepunyaan orang
dan permasalahan skripsi penulis dengan skripsi yang sebelumnya yang terdapat
di perpustakaan Departemen Hukum Perdata.
F. Metode Penulisan
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
yuridis normatif.5
2. Pendekatan penelitian
Penelitian yuridis normatif dipergunakan untuk mengkaji
dokumen–dokumen perjanjian yang berbentuk baku dengan menggunakan tolak
ukur asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, maupun asas itikad baik
dan kepatutan yang dapat di simpulkan dari pasal–pasal mengenai perjanjian yang
terkait, serta peraturan–peraturan yang mengatur tentang perjanjian kerja antara
PT. PLN (Persero) dan PT. Sentra.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-empiris. Pendekatan
yuridis digunakan untuk menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan
terkait dengan perjanjian perjanjian pengadaan barang dan jasa. Sedangkan
pendekatan empiris digunakan untuk menganalisis hukum yang dilihat sebagai
prilaku masyarakat yang berpola dalam kehidupan masyarakat yang selalu
berinteraksi dan berhubungan dalam aspek kemasyarakatan.6
3. Spesifikasi penelitan
Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini, maka hasil
penelitian ini nantinya akan bersifat deskriptif analitis yaitu memaparkan,
5
Soejono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2006, hal. 7
6
14
menggambarkan atau mengungkapkan pelaksanaan perjanjian pengadaan barang
dan jasa. Hal tersebut kemudian dibahas atau dianalisis menurut ilmu dan
teori-teori atau pendapat peneliti sendiri, dan terakhir menyimpulkannya.7
4. Jenis dan sumber data
Jenis data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah berupa aturan -
aturan hukum, fakta-fakta yang terdapat dalam suatu perjanjian dan pendapat para
ahli yang berkaitan dengan masalah yang di teliti. Jenis data yang di pergunakan
adalah data sekunder yaitu sejumlah data yang diperoleh melalui studi pustaka
dengan mencari dan mengumpulkan data yang relevan serta membaca buku atau
literatur yang berkaitan dengan penelitian ini. Peraturan perundang-undangan,
serta dokumen-dokumen resmi yang meliputi perjanjian kerja dengan ketentuan
tenaga outsourcing yang berhubungan dengan obyek yang akan di teliti.
5. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang di gunakan untuk memperoleh data
sekunder adalah dengan cara studi kepustakaan dan kajian dokumen.
Untuk melengkapi penelitian ini agar mempunyai tujuan yang jelas dan
terarah serta dapat dipertanggung jawabkan sebagai salah satu hasil Karya Ilmiah,
maka metode yang digunakan untuk mengumpulkan data yang diperlukan untuk
mendukung antara lain :
a. Library Research atau penelitian kepustakaan
Mengadakan penelitian terhadap data-data yang diperoleh dari buku-buku
literatur, catatan kuliah, kliping, majalah-majalah ilmiah yang ada kaitannya
7
dengan skripsi ini dan KUHPerdata sebagai sumber dalam hukum perjanjian yang
digunakan sebagai rujukan dalam pembahasan skripsi ini untuk memperkuat dalil
dan fakta penelitian.
b. Field Research atau penelitian lapangan
Pengumpulan data melalui riset dilakukan dengan melakukan wawancara
kepada Rita Angraini selaku Assisten Bidang Administrasi PT. PLN (Persero)
Wil. Sumut Area Binjai yang ada kaitannya dengan pembahasan skripsi ini.
6. Analisis data
Analisis data yang digunakan adalah metode analisa deskriptif dengan
teknik induksi, hal ini dilakukan terhadap data yang sifatnya data sekunder yang
diperoleh melalui kajian kepustakaan. Teknik induksi digunakan untuk
menganalisis data primer maupun data sekunder yang berbentuk dokumen
perjanjian. Data yang telah diperoleh kemudian dikumpulkan yang selanjutnya
diolah dan dianalisis dengan menggunakan teknik editing yaitu memeriksa data
yang telah diperoleh untuk menjamin apakah dapat dipertanggung jawabkan.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini agar permasalahan yang diangkat
dengan pembahasan skripsi sesuai, maka diperlukan adanya sistematika penulisan
yang teratur yang saling berkaitan satu sama lain. Tiap bab terdiri dari setiap sub
bab dengan maksud untuk mempermudah dalam hal-hal yang dibahas dalam
skripsi ini. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :
16
Pendahuluan merupakan pengantar. Didalamnya termuat mengenai
gambaran umum tentang penulisan skripsi yang terdiri dari latar
belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan penulisan,
manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II SEKILAS TENTANG HUKUM PERJANJIAN DAN KONTRAK
PENYEDIA JASA PEKERJA DI INDONESIA.
Didalam bab ini penulis mencoba menjelaskan rumusan perjanjian
dalam peraturan dan ahli hukum perjanjian, syarat-syarat sah dan
jenis-jenis penjanjian yang dikenal dalam hukum perjanjian,
asas-asas hukum dan berakhirnya suatu perjanjian serta kontrak
penyedia jasa pekerja di Indonesia
BAB III BENTUK PERJANJIAN PENYEDIA TENAGA KERJA SERTA
HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM
PERJANJIAN PT. PLN (Persero) dan PT. SENTRA.
Dalam bab ini penulis membahas mengenai kontrak tenaga kerja
dan Bentuk Kontrak antara PT. PLN (Persero) dan PT. Sentra,
Sejarah Ikatan Kontrak PT. PLN (Persero) dan PT. Sentra, Hak
dan Kewajiban para Pihak, Objek dan Jangka Waktu Perjanjian
BAB IV AKIBAT HUKUM DAN MEKANISME PENYELESAIAN
SENGKETA DALAM HAL WANPRESTASI
Dalam bab ini terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai waktu
lain yang dilakukan dalam mempertahankan perjanjian,
penggunaan mekanisme ADR (alternative dispute resolution),
potensi penyelesaian sengketa kepengadilan.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bagian terakhir dari penulisan skripsi ini. Bab
ini berisi kesimpulan dari permasalahan pokok dari keseluruhan
isi. Kesimpulan bukan merupakan rangkuman ataupun ikhtisar.
Saran merupakan upaya yang diusulkan agar hal-hal yang
dikemukakan dalam pembahasan permasalahan dapat lebih
BAB II
SEKILAS TENTANG HUKUM PERJANJIAN DAN KONTRAK PENYEDIA JASA PEKERJA DI INDONESIA
A.Rumusan Perjanjian dalam Peraturan dan Ahli Hukum Perjanjian.
Menurut ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata Perjanjian didefinisikan
sebagai:“perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih” Jika diperhatikan dengan
seksama, rumusan yang dinyatakan dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut
ternyata menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang
mengikatkan dirinya dengan orang lain.8 Karena itu suatu perjanjian akan lebih
luas juga tegas artinya, jika pengertian mengenai perjanjian tersebut diartikan
sebagai suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan
diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.9
KUHPerdata tidak memberikan rumusan, definisi maupun istilah
“perikatan”. Diawali dengan ketentuan Pasal 1233 dinyatakan bahwa “Tiap-tiap
perikatan dilahirkan baik karena persetujian, baik karena undang-undang”,
ditegaskan bahwa setiap kewajiban perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh
pihak-pihak yang terikat dalam perikatan yang secara singkat dibuat oleh mereka,
ataupun karena ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian berarti perikatan adalah hubungan hukum antara dua atau lebih
8
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja (2), Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian,
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003, hal 92
9
orang/pihak dalam bidang/lapangan harta kekayaan yang melahirkan kewajiban
pada salah satu pihakdalam hubungan hukum tersebut.10 Dari rumusan yang
diberikan di atas dapat diketahui bahwa suatu perikatan, sekurangnya membawa
serta didalamnya empat unsur yaitu :11
1. Bahwa perikatan itu adalah suatu hubungan hukum.
2. Hubungan hukum tersebut melibatkan dua atau lebih orang (Pihak).
3. Hubungan hukum tersebut adalah hubungan hukum dalam lapangan
hukum harta kekayaan.
4. Hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban pada salah satu pihak
dalam perikatan.
Bila diperhatikan dengan seksama rumusan yang diberikan dalam Pasal 1234
KUHPerdata, dimana dinyatakan bahwa “tiap perikatan adalah untuk memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”, maka dapat kita
dibahwa KUHPerdata sangat menekankan pada kewajiban pemenuhan perikatan,
yang dikelompokan menjadi tiga macam, yaitu dalam bentuk kewajiban untuk
memberikan sesuatu, melakukan sesuatu dan atau untuk tidak melakukan
sesuatu.12
Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian yaitu suatu hubungan
Hukum Kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberikan
kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus
10
Ibid, hal. 17
11
Ibid
12
20
mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.13 Dari pengertian singkat
di atas dijumpai didalamnya beberapa unsur yang memeberikan wujud pengertian
perjanjian, antara lain hubungan hukum (rechtbetrekking) yang menyangkut
hukum kekayaan antara dua orang (person) atau lebih yang memberikan hak pada
satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.14 Dengan
demikian, perjanjian/verbintenis adalah Hubungan Hukum/ rechtsbetrekking yang
oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu
perjanjian yang mengandung Hubungan Hukum perorangan/person adalah hal-hal
yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum.15
Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntutsesuatu hal dari pihak lain, dan pihak yang berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Menurut J.Satrio perbedaan pengertian dari perikatan dengan
perjanjian, dengan memberikan definisi dari perikatan sebagai berikut :
16
Istilah lain yang sering dipersamakan dengan perjanjian menurut Lawrence
M Friedman adalah kontrak. Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa
inggris, yaitu contract of law. Hukum kontrak adalah perangkat hukum yang
hanya mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis perjanjian tertentu.17
13
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja (1), Perikatan Pada Umumnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 16
14
M.Yahya Harahap,Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986, hal.6.
15
Ibid , hal.6
16
J.Satrio, Hukum Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995, hal 7
17
Selain J. Satrio dan Lawrence M Friedman, ada beberapa sarjana yang
memberikan rumusan tentang definisi perjanjian, antara lain :
Menurut R. Subekti :
“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang
lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu”18
Beliau juga menyatakan “bahwa suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan,
karena dua pihak setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat juga dikatakan bahwa
dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya”19
Pengertian perjanjian menurut Tirtodiningrat yang dikutip oleh Mariam
Darus, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di
antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang
diperkenankan oleh undang-undang.
. Dari hal ini
dapat disimpulkan bahwa suatu persetujuan dan perjanjian mempunyai pengertian
yang sama, yaitu sama-sama memberikan keterikatan kepada para pihak agar janji
yang telah disepakati dapat dilaksanakan bagi para pihak.
20
B.Syarat-Syarat Sah dan Jenis Perjanjian yang Dikenal dalam Hukum Perikatan
1. Syarat-syarat sah suatu perjanjian
Pada suatu perjanjian dapat dilihat apakah suatu perjanjian dapat dikatakan
sah atau tidak dengan melihat syarat-syarat yang terlebih dahulu oleh
18
R. Subekti (1), Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1990, hal. 29
19
Ibid, hal.12
20
22
KUHPerdata telah diatur. Dalam KUHPerdata syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata dinyatakan bahwa:
“Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat:
a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
c. Suatu pokok persoalan tertentu.
d. Suatu sebab yang tidak terlarang.”
Pasal 1320 ini, merupakan Pasal yang sangat populer karena menerangkan
tentang syarat yang harus dipenuhi untuk lahirnya suatu perjanjian. Syarat tersebut
baik mengenai pihak yang membuat perjanjian maupun syarat mengenai
perjanjian itu sendiri (isi perjanjian).
Kesepakatan yang dimaksud dalam Pasal ini adalah persesuaian kehendak
antara para pihak, yaitu bertemunya antara penawaran dan penerimaan.
Kesepakatan ini dapat dicapai dengan berbagai cara, baik dengan tertulis maupun
secara tidak tertulis. Dikatakan tidak tertulis, bukan lisan karena perjanjian dapat
saja terjadi dengan cara tidak tertulis dan juga tidal lisan, tetapi bahkan hanya
dengan menggunakan simbol-simbol atau dengan cara lainnya yang tidak secara
lisan.21
Kecakapan adalah kemampuan menurut hukum untuk melakukan
perbuatan hukum (perjanjian). Pada pasal 1329 KUH Perdata dinyatakan bahwa
“setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh
21
undang-undang dinyatakan tak cakap”. Pada pasal 330 KUHPerdata dinyatakan
Pasal 1330 dinyatakan bahwa yang tak cakap membuat persetujuan :
1) Anak yang belum dewasa
2) Orang yang dibawa pengampuan
3) Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan
undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang-undang-undang
dilarang untuk membuat persetujuan tertentu (telah dicabut dengan Surat
Edaran Mahkamah Agung No.3 tahun 1963)
Khusus untuk orang yang menikah sebelum usia 21 tahun tersebut, tetap
dianggap cakap walaupun dia bercerai sebelum menginjak usia 21 tahun. Jadi,
janda atau duda tetap dianggap cakap walaupun usianya belum mencapai 21
tahun.22
Syarat ketiga untuk sahnya perjanjian ini menerangkan tentang harusnya
adanya objek perjanjian yang jelas. Jadi suatu perjanjian tidak bisa dilakukan
tanpa objek tertentu. Jadi tidak bisa seseorang menjual “sesuatu” (tidak tertentu) Walaupun ukuran kecakapan didasarkan pada usia 21 tahun atau sudah
menikah, tidak semua orang yang telah mencapai usia 21 tahun dan telah menikah
secara otomatis dapat dikatakan cakap menurut hukum karena ada kemungkinan
orang yang telah mencapai usia 21 tahun atau telah menikah tetapi tetap dianggap
tidak cakap karena berada dibawah pengampuan, misalnya karena gila atau
bahkan karena boros.
22
24
dengan harga seribu rupiah misalnya karena kata sesuatu itu tidak menunjukkan
hal tertentu, tetapi hal yang tidak tertentu.23
Syarat keempat mengenai suatu sebab yang halal, ini juga merupakan
syarat tentang isi perjanjian. Kata halal ini bukan bermaksud untuk
memperlawankan dengan kata haram dalam hukum Islam, tetapi yang
dimaksudkan disini adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak dapat bertentangan
dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban.24
Dari keempat syarat di atas yang telah diatur oleh KUHPerdata kemudian
dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam:25
a) Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan
perjanjian(unsur subyektif), dan
b) Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek
perjanjian (unsur obyektif).
Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari
para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan
perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan
yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan klausa dari obyek yang berupa
prestasi yang disepakati untuk dilaksakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak
dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Seperti pada pasal 1446
KUHPerdata dinyatakan bahwa “semua perikatan yang dibuat oleh orang-orang
yang ditaruh dibawah pengampuan, adalah batal demi hukum, dan atas penuntutan
yang dimajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata
23
Ibid, hal.69
24
Ibid
25
atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya. Perikatan-perikatan yang
dibuat oleh orang-orang perempuan yang bersuami dan oleh orang-orang belum
dewasa yang telah mendapat suatu pernyataan persamaan dengan orang dewasa
hanyalah batal demi hukum, sekadar perikatan-perikatan tersebut melampaui
kekuasaan mereka”. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari ke empat unsur
tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam
dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika tedapat pelanggaran
terhadap untur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak
terpenuhinya unsur obyektif) dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari
perjanjian tersebut tidak dapat dipaksa pelaksanaannya.
ad. a) Syarat Subyektif
Seperti telah dikatakan diatas bahwa syarat subyektif sahnya perjanjian,
digantungkan pada dua macam keadaan:26
(1.) Kesepakatan Bebas.
Kesepakatan bebas antara para pihak diantara para pihak ini pada
prinsipnya adalah pengejawatahan dari asas konsensualitas. Jika dibaca dan
perhatikan dengan seksama ketentuan yang diatur dalam Pasal 1321 hingga Pasal
1328 KUHPerdata, maka tidak akan menemukan pengertian, definisi atau makna
dari kesepakatan bebas. Menurut ketentuan yang diatur oleh KUHPerdata
tersebut, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya kesepakatan bebas dapat terjadi
ketika pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa
kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan maupun penipuan,
26
26
sebagaimana ditentukan pada Pasal 1321 KUHPerdata, dinyatakan bahwa: Tiada
suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau
diperoleh dengan paksaan atau penipu. Sebelum masuk membahas mengenai
kekhilafan, penipuan dan paksaan, akan di bahas terlebih dahulu pengertian
kesepakatan, bagaimana kesepakatan dapat terwujud dan kapan suatu kesepakatan
dianggap telah terjadi.
Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua
atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk
dilaksakan, dan siapa yang harus melaksanakannya. Pada dasarnya sebelum para
pihak sampai pada kesepaktan mengenai hak-hak tersebut, maka salah satu atau
lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih dahulu suatu
bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki para pihak dengan segala
macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk
disepakati oleh para pihak. Pernyataan yang disampaikan tersebut dikenal dengan
nama “penawaran”.27 Penawaran diartikan sebagai suatu usul untuk menutup
perjanjian yang diajukan kepda pihak lawan janjinya, usul tersebut telah
dirumuskan sedemikian rupa sehingga penerimaan usul itu langsung
menimbulkan perjanjian.28
Dalam perjanjian konsensuil, KUHPerdata menentukan bahwa segera
setelah terjadi kesepakatan, maka lahirlah perjanjian, pada saat yang bersamaan
27
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja (2), Op.cit, hal 96
28
juga menerbitkan perikatan diantara para pihak yang telah sepakat dan berjanji
tersebut.29
Menutup suatu perjanjian adalah suatu tindakan hukum, dan arena
kehendaknya ditujukan kepada timbulnya suatu akibat hukum tertentu (sesuatu
yang dikehendaki). Tetapi apa yang sebenarnya dikehendaki oleh satu pihak tidak
diketahui oleh pihak lain. Kehendak seseorang baru dapat diketahui oleh pihak
lain, kalau kehendak tersebut dinyatakan. Jadi untuk itu perlu adanya pernyataan
kehendak.30
Cara mengutarakan kehendak yang bisa bermacam-macam, ada lima cara
pernyataan kehendak, yaitu:
Pernyataan kehendak tersebut harus merupakan pernyataan, bahwa ia
menghendaki timbulnya hubungan hukum.
31
(a.) Bahasa yang sempurna dan tertulis.
Bahasa yang sempurna dan tertulis.
(b.) Bahasa yang sempurna secara lisan.
(c.) Bahasa yang tidak sempurna asal bisa diterima pihak lawan.
(d.) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan.
(e.) Diam atau membisu, tetapi dipahami atau diterima oleh pihak lawan.
Dalam KUHPerdata tidak ada dinyatakan bahwa harus adanya syarat yang
mencantumkan kehendak tertentu dalam suatu perjanjian, akan tetapi dalam
beberapa perjanjian ada yang mensyaratkan adanya kehendak tertentu dimuat
dalam bentuk-bentuk tertentu. Hukum perdata sendiri (dalam arti luas)
29
ibid, hal 97
30
J. Satrio, Op.cit, hal 174
31
28
mensyaratkan perwujudan dalam bentuk suatu akta yang tertulis. Akta itu sendiri
ada beberapa bentuk yang sering diartikan oleh hukum perdata yaitu akta bawah
tangan dan akta autentik. Yang dibuat oleh para pihak yang mengikatkan diri pada
suatu perjanjian yang semata-mata banyak bertujuan sebagai alat bukti adanya
suatu kesepakatan mengikat diri dalam suatu perjanjian oleh para pihak. Akan
tetapi para pihak tidak hanya berpegang pada alat bukti berupa akta melainkan
dapat juga membuktikannya dengan alat bukti lain. Suatu kata selain berlaku
sebagai alat bukti tetapi juga merupakan syarat konstitutif untuk adanya suatu
perjanjian yang sah sebagaimana dimaksud oleh undang-undang. Bentuk
perjanjian yang telah diatur sebagaimana dalam undang-undang tidak selamanya
sebagai dasar para pihak telah melakukan suatu perjanjian. Akan tetapi para pihak
dapat melakukan perjanjian dalam bentuk yang telah disepakati sendiri oleh para
pihak yang mengikat diri.
Dari uraian yang telah diberikan tersebut diatas, jelas bahwa tanpa adanya
kesepakatan tersebut, maka tidak pernah ada perjanjian yang tentunya tidak
melahirkan perjanjian. Dengan demikian berarti tanpa kesepakatan, tidak ada
perikatan yang menerbitkan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak (dalam
perjanjian yang akan dibentuk tersebut).
Dalam KUHPerdata terdapat beberapa hal yang merupakkan sebab-sebab
yang menimbulkan cacat pada kesepakatan yang dilakukan. Cacat pada kehendak
dapat dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu: tentang kekhilafan dalam perjanjian,
1.] Tentang Kekhilafan dalam Perjanjian.
Masalah kekhilafan dalam perjanjian sendiri diatur pada Pasal 1322
KUHPerdata dinyatakan bahwa: “Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu
perjanjian kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang
menjadi pokok perjanjian. Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika
kekhilafan hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seseorang
bermaksud untuk membuat perjanjian, kecuali jika perjanjian itu dibuat terutama
karena mengingat dirinya orang tersebut”
Ada dua hal pokok dan prinsipil dari rumusan Pasal 1322 KUHPerdata
yang dapat dikemukakan disini:32
a.] Kekhilafan bukanlah alasan untuk membatalkan perjanjian;
b.] Ada dua hal yang dapat menyebabkan alasan pembatalan perjanjian karena
kekhilafan mengenai:
[1.] Hakikat kebendaan yang menjadi pokok perjanjian tidak sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya;
[2.] Orang terhadap siapa suatu perjanjian hanya akan dibuat.
Hal pertama adalah prinsip umum yang harus dipegang, diikuti dan ditaati.
Hal kedua merupakan pengecualian atau penyimpangan, yang dibatasi alasannya.
Dari kedua alasan pengecualian yang disebutkan diatas, alasan kedua lebih mudah
dimengerti dari alasan pertama. Dari rumusan yang dikemukan dalam alasan
kedua tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dalam
pengecualian yang kedua tersebut adalah subyek hukum perikatan, artinya salah
32
30
satu pihak dalam perikatan, yang diwajibkan untuk melakukan atau berbuat
sesuatu. Hal ini adalah konsekuensi logis dari tiga macam perikatan yang dikenal
dan diakui oleh KUHPerdata. Meskipun dalam beberapa hal perikatan ini dapat
lahir suatu bentuk perjanjian anata dua atau lebih pihak yang berarti membatasi
pihak yang dilarang untuk melakukan sesuatu atau diharapkan untuk tidak berbuat
sesuatu, namun tujuan utama para pihak adalah tetap agar sesuatu yang tidak
dikehendaki olehnya tersebut, termasuk yang diperjanjikan dengan orang
perorangan atau pihak tertentu, tidak dilakukan. Sedangkan dalam perikatan untuk
berbuat atau melakukan sesuatu, meskipun tidak seluruhnya tepat, namun
seringkali suatu prestasi untuk berbuat atau melakukan sesuatu tersebut sangat
digantungkan pada siapa yang wajib untuk melakukannya.
Dalam hal demikianlah maka suatu perjanjian yang telah dibuat, dengan
alasan kekhilafan dapat dimintakan pembatalannya. Selanjutnya oleh karena
kekhilafan ini merupakan suatu bentuk bantahan terhadap kesepakatan yang telah
terjadi maka hak untuk meminta pembatalan perjanjian yang dibuat tersebut ada
pada pihak dimana kekhilafan telah terjadi, yaitu yang dianggap tidak telah
memberikan kesepakatan sebagaimana yang disyaratkan sebagai salah satu syarat
sahnya perjanjian menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Masih berkaitan
dengan hal kekhilafan seperti telah dibahas dalam KUHPerdata hanya mengenal
dua macam alasan sebagai bentuk kekhilafan yang memberikan hak untuk
membatalkan perjanjian yang telah dibuat. Jika pada alasan kedua yang berkaitan
dengan subyek terhadap siapa suatu perjanjian hanya akan dibuat, kekhilafan akan
kebendaan yang menjadi pokok perjanjian yang tidak sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya akan lebih sulit pembuktiannya. Menurut hakikat penulis, kekhilafan
dalam hubungannya dengan alasan yang pertama ini berhubungana dengan semua
jenis perjanjian yang disebut dalam Pasal 1234 KUHPerdata, yaitu baik yang
ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, maupun untuk tidak
berbuat sesuatu. Dengan demikian maka tepatlah kiranya bahwa dalam terjadinya
kekhilafan terhadap hakikat perjanjian, perjanjian yang terjadi tidak dibatalkan
demi hukum, melainkan jika diserahkan sepenuhnya pada keadilan dan kepatutan
yang dianggap pantas menurut Undang-undang maupun kebiasaan yang berlaku.
1.] Tentang paksaan dalam perjanjian
Paksaan sebagai alasan pembatalan perjanjian yang diatur dalam 5 Pasal
yaitu dari Pasal 1323 sampai 1327 KUHPerdata. Pasal 1323 KUHPerdata paksaan
sebagai alasan pembatalan perjanjian, dinyatakan: “Paksaan yang dilakukan
terhadap orang yang mengadakan suatu perjanjian mengakibatkan batalnya
perjanjian yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga
untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut tidak telah dibuat”.
Ketentuan Pasal 1323 KUHPerdata tersebut menunjukkan pada subyek
yang melakukan pemaksaan, yang dalam hal ini dapat dilakukan oleh orang yang
merupakan pihak dalam perjanjian, orang yang bukan pihak dalam perjanjian
tetapi mempunyai kepentingan terhadap perjanjian tersebut dan kepentingan
terhadap perjanjian yang dibuat. Hal yang terakhir ini sangat penting artinya bagi
hukum, mengingat bahwa kenyataan menunjukkan banyak terjadinya paksaan
32
memang tidak memiliki kepentingan terhadap perjanjian yang dibuat dibawah
paksaan atau ancaman tersebut.
Selanjutnya ketentuan Pasal 1235 KUHPerdata dinyatakan bahwa:
“Paksaan menjadikan suatu perjanjian batal bukan hanya bila dilakukan terhadap
salah satu pihak yang membuat perjanjian melainkan juga bila dilakukan terhadap
suami atau istri atau keluarganya dalam garis ke atas maupun kebawah”.
Dalam rumusan tersebut dapat dilihat bahwa subyek terhadap siapa
paksaan dilakukan ternyata tidak hanya meliputi orang yang merupakan pihak
dalam perjanjian melainkan juga termasuk didalamnya suami atau istri atau
keluarga mereka dalam garis keturunan keatas maupun kebawah. Berdasarkan hal
ini, KUHPerdata mempunyai pandangan bahwa dalam keluarga kecil termasuk
garis keturunan atas ataupun kebawah masih memiliki ikatan psikologis yang kuat
sekali. Meski yang demikian meskipun paksaan atau ancaman dilakukan terhadap
suatu orang lain yang mungkin juga memiliki keterkaitan yang sangat erat, namun
jika tidak termasuk dalam rumusan Pasal 1325 KUHPerdata maka paksaan
ataupun ancaman tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alasan membatalkan
perjanjian yang telah dibuat dibawah paksaan atau ancaman tersebut. Ketentuan
Pasal 1323 dan Pasal 1325 KUHPerdata berbicara soal subyek yang dipaksa atau
diancam, maka Pasal 1324 dan Pasal 1326 KUHPerdata mambahas tentang akibat
paksaan atau ancaman yang dilakukan, yang dapat dijadikan sebagai alasan
pembatalan perjanjian yang telah dibuat. Sebagaimana yang dimaksud Pasal 1324
dinyatakan: “Paksaan telah terjadi bila perbuatan itu sedemikian rupa sehingga
dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau
kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata”.
Dalam pertimbangan hal tersebut harus diperhatikan usia, jenis kelamin
dan kedudukan orang-orang yang bersangkutan. Selain Pasal 1324 yang baru kita
bahas kita juga harus membahas Pasal 1326 yang dinyatakan bahwa:“Ketakutan
saja karena hormat kepada ayah, ibu atau keluarga lain dalam garis keatas tanpa
disertai kekerasan tidak cukup untuk membatalkan perjanjian”.
Rumusan Pasal 1324 dan 1326 KUHPerdata dapat diketahui bahwa
paksaan yang dimaksud dapat terwujud dalam dua bentuk kegiatan atau
perbuatan. Perbuatan tersebut berupa:33
a.] Paksaan fisik dalam pengertian kekerasan.
b.] Paksaan psikis yang dilakukan dalam bentuk ancaman psikologis atau
kejiwaan.
Sebagai pasal terakhir yang mengatur mengenai paksaan sebagai alasan
untuk membatalkan perjanjian, dalam Pasal 1327 dinyatakan bahwa: “pembatalan
suatu perjanjian berdasarkan paksaan tidak dapat dituntut lagi bila setelah paksaan
berhenti perjanjian itu dikuatkan baik secara dinyatakan dengan tegas maupun
secara diam-diam atau jika seseorang melampaukan waktu yang ditentukan
Undang-Undang untuk dapat dipulihkan seluruhnya kekeadaan sebelumnya”.
Ketentuan ini pada dasarnya merupakan suatu bentuk konsekuensi logis
dari rumusan Pasal 1321 KUHPerdata yang meletakkan beban pembuktian pada
pihak yang mengalami paksaan. Dalam hal pihak yang mengalami paksaan,
33
34
setelah paksaan berhenti kemudian menyetujui untuk melakukan tindakan tersebut
baik secara langsung maupun dengan mengukuhkannya secara diam-diam
dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta pembatalan tersebut.
[3.] Tentang penipuan dalam perjanjian
Penipuan sebagai alasan pembatalan perjanjian yang diatur dalam Pasal
1328 KUHPerdata yang terdiri dari dua ayat, yang keseluruhannya dinyatakan
bahwa: “Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu perjanjian
apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa
sehingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan
itu jika tidak dilakuakn tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan
melainkan harus dibuktikan.”
Melalui rumusan yang diberikan tersebut dapat dilihat, bahwa berbeda dari
kekhilafan, penipuan melibatkan unsur kesengajaan dari salah satu pihak dalam
perjanjian untuk mengelabui pihak lawannya. Sehingga pihak yang terakhir ini
memberikan kesepakatan untuk tunduk pada perjanjian yang dibuat antara
mereka. KUHPerdata menyatakan bahwa masalah penipuan yang berkaitan
dengan kesengajaan ini harus dibuktikan dan tidak boleh hanya dipersangkakan
saja. Dalam hal ini maka pihak terhadap siapa penipuan telah terjadi wajib
membuktikan bahwa lawan pihaknya telah memberikan suatu informasi secara
tidak benar dan hal tersebut disengaja olehnya yang tanpa adanya informasi yang
tidak benar tersebut, pihak lawannya tersebut tidak mungkin akan memberikan
Dalam hal ini tidak jauh berbeda dari kekhilafan yang pada pokoknya
hanya berhubungan dengan “hakikat kebendaan” dan subyek terhadap siapa
perikatan dibuat dalam penipuan pun dengan memperhatikan persyaratan yang
ditetapkan undang-undang yaitu suatu keadaan, kondisi, peristiwa, perbuatan atau
informassi palsu yang tanpa adanya hal tersebut pihak lawannya tersebut tidak
mungkin akan memberikan kesepakatan untuk tunduk pada perjanjian yang dibuat
tersebut. Pokok penipuan pasti berkaitan dengan hal-hal yang sangat pokok dalam
perjanjian yang juga merupakan “hakikat dari perjanjian” atau suatu yang bersifat
esensial dalam perjanjian tersebut. Namun oleh karena penipuan berhubungan
dengan kesengajaan untuk melabui maka beban pembuktian ada tidaknya
kesengajaan menjadi sangat penting bagi pihak dalam perjanjian yang merasa
telah ditipu.
(2.) Kecakapan untuk bertindak
Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hukum merupakan syarat
subyektif kedua terbentuknya perjanjian yang sah diantara para pihak. Kecakapan
bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan
bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan
bertindak dalam hukum.meskipun kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda
namun dalam membahas masalah kecakapan bertindak yang melahirkan suatu
perjanjian yang sah maka masalah kewenangan untuk bertindak juga tidak dapat
dilupakan.34
34
Ibid., hal 124
Jika masalah kecakapan bertindak berkaitan dengan masalah
36
hukum, masalah kewenangan berkaitan dengan kapasitas orang perorangan
tersebut yang bertindak atau berbuat dalam hukum. Dapat saja seorang yang
bertindak atau berbuat dalam hukum. Dapat saja seorang yang cakap bertindak
dalam hukum tetapi ternyata tidak berwenang untuk melakukan suatu perbuatan
hukum dan sebaliknya seorang yang dianggapberwenang untuk bertindak
melakukan suatu perbuatan hukum. Karena suatu hal menjadi tidak cakap untuk
bertindak dalam hukum. Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah
masalah kecakapan untuk bertindak setelah seseorang dinyatakan cakap untuk
bertindak untuk dan atas nama sendiri. Baru kemudian dicari tahu apakah
perorangan yang cakap bertindak dalam hukum tersebut juga berwenang untuk
melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu. Dalam pembahasan
berikut ini masalah kecakapan dibahas dibawah pembahasan mengenai
kewenangan bertindak orang perorangan.
Seperti telah disinggung sebelumnya masalah kewenangan bertindak orang
perorangan dalam hukum, menurut doktrin ilmu hukum yang berkembang dapat
dibedakan kedalam:35
(a.) Kewenangan untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri yang berkaitan
dengan kecakapan untuk bertindak dalam hukum.
(b.) Kewenangan untuk bertindak selaku kuasa pihak lain yang dalam hal ini
tunduk pada ketentuan yang diatur dalam bab XVI KUHPerdata dibawah judul “Pemberi kuasa”.
(c.) Kewenangan untuk bertindak dalam kepastiannya sebagai wali atau wakil
dari pihak lain.
ad. (a.) Kecakapan dan kewenangan bertindak dalam rangka perbuatan untuk
kepentingan diri pribadi orang-perorangan.
35
Hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan dan kewenangan bertindak
dalam rangka perbuatan untuk kepentingan diri pribadi orang perorangan yang
diatur dalam Pasal 1329 KUHPerdata dinyatakan bahwa: “setiap oranag adalah
cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika ia oleh undang-undang tidak
dinyatakan tidak cakap”.
Rumusan tersebut membawa arti positif bahwa selain dinyatakan tidak
cakap maka setiap orang adalah cakap dan berwenang untuk bertindak dalam
hukum. Sedangkan pada Pasal 1330 KUHPerdata memeberikan limitasi
orang-orang mana saja yang dianggap tidak cakap untuk bertindak dalam hukum dengan
dinyatakan bahwa: Tidak cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian adalah:
1.]Anak yang belum dewasa
2.]Orang yang ditaruh dibawah pengampuan
3.]Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang
dan pada umunya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk
membuat perjanjian tertentu.
ad. (b.) Kewenangan untuk bertindak berdasarkan pemberian kuasa pihak lain.
Kewenangan untuk bertindak selaku kuasa pihak lain diatur dalam Bab
XVI KUHPerdata yang berjudul “pemberian kuasa”. Sebelum kita membahas
mengenai kewenangan berdasarkan kuasa ini terlebih dahulu harus diperhatikan
kecakapan untuk bertindak dalam hukum dari kedua belah pihak yaitu dari pihak
yang memberikan kuasa dan pihak yang menerima kuasa secara bersama-sama.
38
untuk bertindak dalam hukum, baru kita lihat ketentuan mengenai pemberian
kuasa.
Pasal 1792 KUHPerdata dinyatakan bahwa: “Pemberian Kuasa ialah suatu
perjanjian yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang
menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan
kuasa”. Sebagai suatu bentuk pemberian kuasa untuk melaksanakan suatu atas
nama orang yang memberikan kuasa, maka dalam Pasal 1797 KUHPerdata
dinyatakan bahwa: “Penerima Kuasa tidak boleh melakukan apapun yang
melampaui kuasanya, kekuasaan yang diberikan untuk menyelesaikan suatu
perkara secara damai, tidak mengandung hak untuk menggantungkan
penyelesaian perkara pada keputusan wasit”. Ini berarti kewenangan bertindak
penerima kuasa hanyalah sebatas kewenangan yang dicantumkan dalam kuasa
yang diberikan oleh pemberi kuasa.36
36
Ibid., hal.142
Mengenai bentuk kuasa yang harus
dipenuhi, Pasal 1793 KUHPerdata dinyatakan bahwa: “Kuasa dapat diberikan dan
diterima dengan suatu akta umum dengan suatu surat ataupun dengan lisan.
Pemerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan
dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa”. Selanjutnya rumusan Pasal
1796 KUHPerdata dinyatakan bahwa: Pemberian kuasa yang dirumuskan secara
umum hanya meliputi tindakan-tindakan yang menyangkut pengurusan utnuk
memindah tangankan barang atau meletakkan hipotek diatasnya untuk membuat
suatu perdamaian ataupun melakukan tindakan lain yang hanya dapat dilakukan
tegas”.Menunjukkan pada semua bahwa suatu pemberian kuasa secara umum
tidak memberikan kewenangan untuk melakukan perbuatan atau tindakan hukum
yang berhubungan dengan pengalihan termasuk untuk menjaminkan dengan
jaminan kebendaan, kebendaan milik pemberi kuasa maupun melakukan tindakan
perbuatan atau perjanjian yang dapat mengakibatkan kerugian terhadap harta
kekayaan pemberian kuasa.37
Kewenangan dalam hal perwalian telah di bahas dalam uraian sebelumnya.
Dengan demikian pengertian dan definisi badan hukum lahir dari doktrin ilmu
hukum yang dikembangkan oleh para ahli. Berdasarkan pasa kebutuhan praktek
hukum dan dunia usaha. Hal ini pada akhirnya melahirkan banyak teori tentang
badan hukum yang terus berkembang dari waktu ke waktu.
Untuk hal ini maka dalam ketentuan Pasal 1795
KUHPerdata dinyatakan bahwa: “Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus
yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih atau secara umum yaitu
meliputi segala kepentingan pemberian kuasa”.
Dengan pemberian kuasa khusus ini, pemberi kuasa dapat memberikan
kuasa kepada penerima kuasa khusu hanya untuk melakukan tindakaln hukum
tertentu baik yang berkaitan dengan pengalihan kebendaan, pemberian agunan
atau jaminan kebendaan, maupun hal-hal berhubungan dengan perubahan harta
kekayaan pemberi kuasa.
ad. (c.) Kecakapan dalam hubungan dengan sifat perwalian dan perwakilan.
38
37
Ibid., hal.143
38
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja (1) Op.cit., hal.146
Dari pengertian yang
diberikan tersebut diatas ada satu hal menarik yang dapat dikemukakan yaitu
40
memiliki sesuatu status yang dipersamakan dengan orang-perorangan sebagai
subyek hukum. Dalam pengertian sebagai penyandang hal dan kewajiban. Badan
hukum dapat diguggat atau menggugat dipengadilan. Hal ini membawa
konsekuensi bahwa keberadaannya dan ketidak beradaannya sebagai badan
hukum tidak digantungkan pada kehendak pendiri atau anggotanya melainkan
pada suatu yang ditentukan oleh hukum.39
Syarat obyektif sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam:
Dengan demikian jelaslah bahwa permintaan pembatalan atas perjanjian
yang dibuat dalam rangka ketidakcakapan salah satu atau lebih pihak dalam
perjanjian hanya diberikan kepada pihak yang dianggap tidak cakap dalam hukum
tersebut. Hak untuk meminta pembatalan tersebut tidaklah diberikan kepada
lawan pihak dari pihak yang dianggap tidak cakap untuk bertindak dalam hukum.
Dengan konsekuensi hukum ini, maka berarti setiap pihak yang akan berhubungan
hukum termasuk untuk membuat kesepakatan atau perjanjian haruslah lebih
dahulu atau berkewajiban untuk memastikan bahwa lawan pihak terhadap siapa
perbuatan hukum atau perjanjian akan disepakati adalah cakap utnuk bertindak
dalam hukum.
ad. b.) Syarat Obyektif.
40
(1.) Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata mengenai keharusan
adanya suatu hal tertentu dalam perjanjian.
39
Ibid, hal.147
40