• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik aliran dalam pemilu 2009 : studi atas perubahan platform partai keadilan sejahtera pada pemilu 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Politik aliran dalam pemilu 2009 : studi atas perubahan platform partai keadilan sejahtera pada pemilu 2009"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK ALIRAN DALAM PEMILU 2009

(Studi Atas Perubahan Platform Partai Keadilan Sejahtera

pada Pemilu 2009)

Skripsi diajukan untuk Persyaratan dalam menyelesaikan Program Strata 1 Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Oleh :

Muhammad Alatas NIM : 104033201135

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITK UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

KATA PENGANTAR

Assamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, segala puji dan syukur hanya Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta karunia-Nya, sehingga Penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir akademis pada jurusan

Pemikiran Politik Islam, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat teriring salam selalu tercurah kepada baginda Rasulullah SAW

yang telah memberikan cahaya kebenaran dan petunjuk kepada umat manusia

dengan akhlak dan budi pekertinya menuju peradaban yang lebih baik, serta para

keluarga dan sahabatnya.

Pada akhirnya Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Politik Aliran Dalam Pemilu 2009 (Studi atas Perubahan Platform Partai Keadilan Sejahtera Pada Pemilu 2009) pada saat yang tepat. Hal ini tidak lepas dari bantuan semua pihak yang telah membantu selesainya skripsi ini. Sudilah kiranya

Penulis memberikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua

tercinta yaitu Al-Walid Al-Habib Umar bin Al-Habib Muhammad Al-Athas (Aba)

dan Assyarifah Zahra binti Al-Habib Mukhsin Al-Athas (Umi) yang dalam proses

penyusunan Skripsi ini Aba dan Umi telah dipanggil oleh Allah SWT Ke

Rahmatullah. Semoga rahmat dan kasih sayang Allah selalu menyertai mereka

(3)

Umar Al-Athas, Nur Jehan Al-Athas, S. Ag., Intan Al-Athas, Anisah Alatas, S.

Pd., Gamar Athas, Habib Shaleh bin Umar Athas, Salim bin Umar

Al-Athas, S. Sos., M. Si., dr. Sofia Al-Athas dan seluruh kakak ipar tercinta, semoga

Allah menganugerahi kasih dan sayang-Nya kepada kakak-kakak sekalian.

Selanjutnya Penulis meminta maaf dan mengucapkan terima kasih,

permintaan maaf Penulis sampaikan karena skripsi ini jauh dari kesempurnaan

dan ucapan terima kasih Penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah

membantu dan mendukung skripsi ini, antara lain:

1. Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial &

Ilmu Politik, Dr. Hendro Prasetyo, MA., selaku Wakil Dekan Fakultas

Ilmu Sosial Ilmu Politik, Drs. Idris Thaha, M. Si., Dra. Hj. Wiwi Siti

Sajaroh, M. Ag., selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu

Sosial & Ilmu Politik, M. Zaki Mubarok, M. Si., selaku Sekretaris

Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik. Penulis

haturkan rasa hormat dan terima kasih serta do’a Penulis agar Allah SWT

kiranya menganugerahi kasih dan sayang-Nya kepada Bapak dan Ibu.

2. Dra. Haniah Hanafie, M. Si., selaku dosen pembimbing yang telah

membimbing dan memberikan motivasi, sehingga skripsi ini menjadi lebih

baik. Penulis haturkan rasa hormat dan terima kasih serta do’a Penulis agar

Allah SWT kiranya menganugerahi kasih dan sayang-Nya kepada Ibu dan

keluarga.

3. Seluruh Guru dan Dosen-dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

(4)

terima kasih serta do’a Penulis agar Allah SWT kiranya menganugerahi

kasih dan sayang-Nya kepada Bapak dan Ibu.

4. Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat dan Pusat Informasi PT. Kompas Gramedia.

Terima kasih atas pinjaman buku dan referensinya.

5. Teman-teman Program Studi Pemikiran Politik Islam Angkatan 2003,

Angkatan 2004, Angkatan 2005.

6. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Tama Jagakarsa Jakarta.

7. Sahabat-sahabatku, Ustadz H. Muhammad Arfan & MT. Asshofa,

Muhammad Syarif, Galeh Subroto & Teman-teman Paskibra-24 Jakarta.

8. Special tahnks for Kakak tercinta Hasan Al-Athas beserta istri (Fatimah binti Zein Al-kaff) yang telah memberikan support dan perhatiannya selama proses penulisan skripsi ini.

9. Special tahnks for Kakak tercinta Salim Al-Athas, S. Sos., M. Si., yang telah memberikan support dan perhatiannya selama proses penulisan skripsi ini.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh

pihak yang terkait, lembaga maupun perorangan, yang tidak dapat Penulis

sebutkan satu persatu yang secara langsung atau tidak langsung telah memberikan

semangat dan membantu Penulis dalam kuliah dan penyelesaian skripsi ini.

(5)

Penulis Sangat menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan yang

perlu disempurnakan, untuk itu dengan segala kerendahan hati Penulis

mengharapakan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Ciputat, April 2010

(6)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……….. i

Daftar Isi ………... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masasalah ………..………... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 9

C. Metodologi Penelitian ... 10

D. Tujuan Penelitian ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II LANDASAN TEORI A. Politik Aliran ... 13

B. Islam Tradisionalis ... 20

C. Islam Modernis ... 23

BAB III BIOGRAFI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA A. Sejarah Perkembangan Partai Keadilan Sejahtera .. 27

B. Tokoh-tokoh PKS ... 35

(7)

BAB IV PERUBAHAN DAN IMPLIKASI PLATFORM PARTAI KEADILAN SEJAHTERA

A. Politik Aliran dalam Pemilu 2009 ………. 48

B. Perubahan Platform Partai Keadilan Sejahtera ... 53

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Perubahan Platform Partai Keadilan Sejahtera … 61 D. Implikasi Perubahan Platform PKS pada Pemilu 2009 64 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……….. 69

B. Saran ... 68

Daftar Pustaka ………... 72

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Partai Keadilan Sejahtera (PK-Sejahtera) merupakan pelanjut perjuangan

Partai Keadilan (PK) yang dalam pemilu 1999 lalu meraih 1,4 juta suara (7 kursi

DPR, 26 kursi DPRD Propinsi dan 163 kursi DPRD Kota/Kabupaten)1. Pada 20 Juli

1998 PKS berdiri dengan nama awal Partai Keadilan (disingkat PK) dalam sebuah

konferensi pers di Aula Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta. Presiden (ketua)

partai ini adalah Nurmahmudi Isma'il.

Pada 20 Oktober 1999 PK menerima tawaran kursi kementerian Kehutanan

dan Perkebunan (Hutbun) dalam kabinet pemerintahan KH Abdurrahman Wahid, dan

menunjuk Nurmahmudi Isma'il (saat itu presiden partai) sebagai calon menteri.

Nurmahmudi kemudian mengundurkan diri sebagai presiden partai dan digantikan

oleh Hidayat Nur Wahid yang terpilih pada 21 Mei 2000. Pada 3 Agustus 2000

Delapan partai Islam (PPP, PBB, PK, Masyumi, PKU, PNU, PUI, PSII 1905)

menggelar acara sarasehan dan silaturahmi partai-partai Islam di Masjid Al Azhar dan

meminta Piagam Jakarta masuk dalam Amandemen UUD 1945.

Akibat UU Pemilu Nomor 3 Tahun 1999 tentang syarat berlakunya batas

minimum keikut sertaan parpol pada pemilu selanjutnya (electoral threshold) dua

1

(9)

persen, maka PK harus merubah namanya untuk dapat ikut kembali di Pemilu

berikutnya. Pada 2 Juli 2003, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyelesaikan seluruh

proses verifikasi Departemen Kehakiman dan HAM (Depkehham) di tingkat Dewan

Pimpinan Wilayah (setingkat Propinsi) dan Dewan Pimpinan Daerah (setingkat

Kabupaten/Kota). Sehari kemudian, PK bergabung dengan PKS dan dengan

penggabungan ini, seluruh hak milik PK menjadi milik PKS, termasuk anggota

dewan dan para kadernya. Dengan penggabungan ini maka PK (Partai Keadilan)

resmi berubah nama menjadi PKS (Partai Keadilan Sejahtera).

Setelah Pemilu 2004, Hidayat Nur Wahid (Presiden PKS yang sedang

menjabat) kemudian terpilih sebagai ketua MPR masa bakti 2004-2009 dan

mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden PK Sejahtera. Pada Sidang

Majelis Syuro I PKS pada 26 - 29 Mei 2005 di Jakarta, Tifatul Sembiring terpilih

menjadi Presiden PK Sejahtera periode 2005-2010.

R. William Liddle, seorang guru besar di Departemen Ilmu Politik Ohio State

University, dalam bukunya Revolusi dari Luar; Demokatisasi di Indonesia (2005), menyatakan bahwa pada pemilu 1999 dan 2004, telah terjadi pertarungan ideologi

yang kemudian menjelma dengan kekuatan politik. PKS adalah salah satu partai yang

muncul dari ideologi Islam modernis yang dianut oleh para elit-elit partai, dan

menjadikan ideologi ini sebagai ikon untuk mobilisasi dan maksimalisasi suara..

Inilah kemudian yang membuat sebagian orang menyebut PKS juga partai-partai lain

(10)

Konsep aliran pertama kali diciptakan oleh antropolog Clifford Geertz dalam

tulisan The Javanese Village (1959), untuk menggambarkan struktur sosial dan politik desa di daerah Jawa pada awal zaman kemerdekaan. Dua tahun (1952-1954)

Geertz tinggal di Pare Jawa Timur, sebelum dia akhirnya mengenalkan konsep ini

kepada dunia ilmiah2.

Pola pembentukan aliran dalam politik Indonesia merupakan ekses dari

pengaruh politik etis kolonial Belanda3. Penelitian Geertz4 bahkan mengamati bahwa

kebijakan agraria pemerintah Belanda, khusunya apa yang dinamakan Cultuur Stelsel,

sistem pertanian tanam paksa, berusaha melindungi atau melestarikan struktur sosial

dan politik tradisional orang Jawa. Penjajah Belanda juga berusaha untuk mengisolasi

masyarakat Jawa dari dunia luar, atau dalam bahasa Geertz “hasil pertanian Jawa,

tetapi bukan rakyatnya, mau dimasukkkan ke dunia modern”.

Yang dimaksud dengan politik aliran adalah kelompok sosio-budaya yang

menjelma sebagai organisasi politik. Pada tahun 1950-an, Clifford Geertz

menemukan empat aliran besar dalam masyarakat Jawa yaitu : PNI yang mewakili

golongan priyayi, PKI yang mewakili golongan abangan, Masyumi sebagai wakil dari

santri modernis, serta NU yang merupakan wakil santri tradisionalis. Dengan

demikian pembentukan partai politik pada awal kemerdekaan mengikuti garis-garis

2

R. William Liddle. Revolusi dari Luar: Demokratisasi di indonesia (Jakarta: Nalar, 2005), h. 105.

3

Daniel S. Lev. Partai-partai Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Parlementer (1950-1957) Dan Demokrasi Terpimpin (1957-1965). Dalam Ichlasul Amal. Teori-teori Mutakhir partai Politik (Tiara Wacvana Yogya, 1996), h. 131.

4

(11)

pengelompokkan yang sudah ada, baik menurut kelompok-kelompok suku bangsa,

etnik ataupun agama dan kepercayaan5.

Dari berbagai aliran pemikiran itu, nampaknya partai politik Islam

memainkan peranan yang cukup penting pada masa kemerdekaan dan masa

demokrasi parlementer. Pada masa kemerdekaan, Masyumi, misalnya, pandai dalam

melihat suasa politik. Ia tak segan-segan berkoalisi dengan partai sekuler dalam suatu

kabinet. Atau, ketika koalisi tidak terjadi, beberapa orang masyumi tetap menjadi

anggota kabinet meski mengatasnamakan pribadi. Ini seperti yang terjadi pada

kabinet Syahrir I, II dan III beberapa orang Masyumi masih dipercaya untuk menjadi

menteri6.

Pada masa orde baru pola aliran tercermin dalam politik elektoral saat

Soeharto memaksakan semua partai santri bergabung kedalam Partai Persatuan

Pembangunan (PPP), dan semua partai priyayi, abangan, dan non-Islam berdifusi

menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pasca orde baru realitas politik yang

didasarkan pada aliran bukan berangsur hilang, melainkan sebaliknya kian menonjol.

R. William Liddle, guru besar di Departemen Ilmu Politik Ohio State University,

dalam bukunya Revolusi dari Luar; Demokatisasi di Indonesia (2005) menyatakan bahwa pola aliran masih berlaku, dan dalam pemilu 1999 semua partai yang meraih

5

Daniel S. Lev Partai-partai Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Parlementer (1950-1957) Dan Demokrasi Terpimpin (1957-1965). Dalam Ichlasul Amal. Teori-teori Mutakhir partai Politik, h. 132.

6

(12)

suara terbanyak, kecuali Golkar merupakan perwujudan baru dari sistem aliran yang

dilukiskan oleh Geertz.

PDI-P merupakan kelanjutan secara organisatoris dan ideologis dengan PNI

yang diciptakan Soekarno. Begitu juga dengan PKB, yang merupakan kelanjutan dari

partai politik NU. Kita juga bisa mengaitkan, secara lebih longgar, antara PAN

melalui Muhamadiyah (sebagai santri modernis) dengan Masyumi. PPP juga tidak

bisa dilepaskan dari masa lalunya dengan NU ketika pada 1971 bersama partai-partai

santri, berdifusi menjadi PPP.

Sejarah terulang kembali dalam pemilu 2004. Ketika politik aliran mulai

menemukan bentuknya lewat kemenangan partai-partai yang mengikuti pola aliran

yang dirumuskan Geertz pada 1950-an, dengan beberapa pengecualian, yaitu

suksesnya Partai Demokrat meraih sekitar 7,5 % suara meski afiliasi alirannya

samar-samar.

Dalam konteks demikian penulis melihat bahwa politik aliran tengah bekerja

di dalam kehidupan politik kita dewasa ini. Ia berperan sebagai instrumen untuk

mobilisasi dan maksimalisasi dukungan7.

Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya ketika setiap partai mlekatkan

dirinya pada ideologi ataupun aliran. Pada pemilu 2009 kita dapat mengamati bahwa

partai-partai politik telah mencanangkan keterbukaan partai mereka. Dalam artian

7

(13)

mereka mencari dukungan dari semua warga negara Indonesia, tanpa memandang

agama, ideologi, ataupun etnis.

Begitu pula dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang

selama ini dicitrakan sebagai partai ideologis yang berafiliasi kepada golongan

abangan yang mulai merapat kepada kelompok-kelompok muslim. Salah satunya

dengan membentuk Baitul Muslimin Indonesia yang merupakan organisasi sayap

PDI-P yang didirikan untuk mendulang suara dari kelompok muslim. Disamping itu,

Hidayat Nur Wahid, seorang yang memiliki basis massa muslim yang kuat, menjadi

kandidat calon wakil presiden mendampingi Megawati dan menurut polling Pusat

Kebijakan dan Pembangunan Strategies (Desember 2008) pasangan Mega-Hidayat

menembus angka 40,21 %.

Kedekatan PDI-P dengan kelompok muslim ini sungguh diluar dugaan,

mengingat pada tahun 1999 sempat terjadi ketegangan antara parpol-parpol Islam

dengan PDI-P, ditambah lagi dengan seruan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan

ormas-ormas Islam untuk tidak memilih PDI-P yang menampilkan banyak caleg

non-muslim. Oleh banyak kalangan ketegangan antara parpol dan ormas Islam disatu sisi

dengan PDI-P pada sisi lainnya seringkali digambarkan sebagai ketegangan antara

kelompok santri dan abangan.

Demikian halnya dengan partai-partai lain yang mulai menyadari bahwa

dalam konteks masyarakat majemuk seperti Indonesia, tampak ganjil jika hanya

(14)

dukungan sebanyak mungkin dari beragam entitas, ras, agama dan golongan agar bisa

memerintah negeri ini.

Partai Keadilan Sejahtera adalah salah satu partai yang dilahirkan oleh rahim

reformasi 1998. Awalnya, partai ini menjadikan Islam sebagai platform dan menjadikan penegakan syariat Islam sebagai tujuan partai dan bersama-sama partai

Islam lain berjuang untuk mengembalikan tujuh kata dalam piagam Jakarta.8 Dengan

mengikuti pola aliran Geertz, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berfiliasi kepada

santri modernis9.

Dalam rangka pencapaian target 20 % suara dalam pemilu 2009 mulai

mengubah citra sebagai partai terbuka bagi semua kalangan, termasuk menerima

pencalonan anggota legislatif dari kalangan non-muslim. Cara lain yang dilakukan

PKS untuk merubah citra sebagai muslim eksklusif, dengan melakukan political marketing untuk merekayasa citra sebagai partai terbuka. Salah satunya iklan politik yang ditayangkan di stasiun televisi swasta nasional 9-11 November 2008, yang

menampilkan delapan tokoh nasional dengan afiliasi aliran serta ideologi yang

berbeda; KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, Jenderal Soedirman, Bung

Tomo, Sukarno, Muhammad Natsir, dan Soeharto.

Anis Matta, Sekjen PKS10, mengatakan bahwa era politik aliran di Indonesia

dinilai sudah berakhir. Konstituen dalam Pemilu 2009 diprediksi akan lebih

8

Saiful Mujani. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan partisipasi Politik di Indonesia Pasca –Ordebaru (Jakarta : Gramedia, 2007), h. 71-72.

9

R. William Liddle. Revolusi dari Luar: Demokratisasi diIndonesia, h. 106. 10

(15)

terpengaruh pada kinerja kader dan kredibilitas partai, ketimbang karena sentimen

agama atau kelompok tertentu. Uniknya pernyataan ini disampaikan Sekretaris dalam

acara temu muka Tim Delapan PKS dengan sejumlah tokoh nonmuslim Makassar di

Hotel Clarion, Makassar. Oleh karena itu, menurut Anis, PKS berhasrat merangkul

semua suku maupun agama yang ada di Indonesia untuk memenuhi target perolehan

suara 20 persen dalam Pemilu 2009. Saat ini sudah waktunya bagi PKS untuk

membuka diri, mengusung isu kemanusiaan tanpa dominasi agama. Selain itu, agenda

PKS untuk mengusung isu kemanusiaan tanpa sekat apapun dalam persatuan bangsa

adalah dengan menghapuskan anggapan awam bahwa partai selalu berorientasi

tempat, tokoh, dan warna.

Meski pada awalnya PKS ingin mencoba bermanuver dengan strategi lintas

ideologi, tetapi dukungan terhadap PKS masih cenderung didominasi oleh

kader-kader militannya. PKS tidak mampu menembus lintas batas ideologis politik aliran,

dan kurang berhasil menyedot swing voters dan pemilih rasional. Ini terbukti dengan

suara PKS yang relative stabil (stagnan) pada pemilu 2009 lalu11.

Skripsi ini membahas pola aliran yang terjadi pada pemilu 2009 dengan

menjadikan Partai Keadilan Sejahtera sebagai sampel. Pemilihan Partai Keadilan

sejahtera didasarkan atas konsistensinya memmperjuangkan syariat Islam dan

aktifitas dakwah yang dilakukan melalui partai politik. Tulisan ini juga relevan untuk

melihat ketegangan-ketegangan yang terjadi antara (meminjam istilah Geertz) santri

11

(16)

modernis dan tradisional. Dengan melihat pola-pola aliran yang terjadi pada

partai-partai Islam, kita juga akan melihat peta-peta politik umat Islam pada pemilu 2009.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Tulisan ini secara spesifik ingin mendeskripsikan tentang dinamika politik

Islam Indonesia yang terjadi pada pemilihan umum (pemilu) 2009. Mengingat,

bahwa Sejak digulirkannya reformasi 1998 seolah membuka kembali lembaran

sejarah tentang pola aliran yang terbentuk pada awal-awal kemerdekaan. Berbeda

dengan dua pemilu sebelumnya, dimana nuansa aliran sangat kental terasa, pada

pemilu 2009 mulai timbulnya kesadaran setiap partai politik bahwa dalam konteks

masyarakat majemuk seperti Indonesia, tampak ganjil jika hanya mengandalkan

religio-ideological cleavages sebagai ikonuntuk mobilisasi dan maksimalisasi suara. Karena dengan membuka diri, setiap partai dapat meraih dukungan sebanyak

mungkin dari beragam entitas, ras, agama dan golongan agar bisa memerintah negeri

ini. Dan tulisan ini bertujuan untuk memberi gambaran yang lebih komprehensif dari

pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan sebagai berikut :

(17)

C. Metodologi Penelitian

Dalam menyusun skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian

kualitatif dengan melakukan penelusuran literatur yang berbentuk buku, makalah,

surat kabar, artikel-artikel yang terkait dengan tulisan yang dibahas pada skripsi ini.

Untuk melengkapi bahan tulisan ini secara komprehensif, penulis melakukan

wawancara mendalam (depth interview), dengan tehnik yang dipergunakan adalah

Purposive Sampling12 yaitu sampel dipilih dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, sedangkan pertimbangan yang diambil itu berdasarkan tujuan penelitian.

Dan sebagai narasumbernya ialah anggota Majelis Pertimbangan Partai (MPP) dan

Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera dan juga salah satu pendiri Partai Keadilan

Sejahtera.

Semua data-data, baik literatur ataupun hasil wawancara, kemudian

dianalisis secara deskriptif.

Sebagai referensi pedoman penulisan ini, penulis menggunakan buku

terbitan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta “Pedoman Penulisan

Skripsi, Tesis dan Disertasi” dan buku pedoman akademik tahun 2003/2004 Fakultas

Ushuludin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan

12

(18)

Secara umum penelitian ini bertujuan melihat pola politik aliran yang

terjadi pada pemilu 2009; studi atas perubahan Platform Partai Keadilan

Sejahtera pada Pemilu 2009.

2. Manfaat

Untuk memperluas khazanah keilmuan ilmu politik khususnya bagi Penulis

dan Mahasiswa Ilmu Politik pada umunya.

E. Sisematika Penulisan

Guna memudahkan pembahasan dan penulisan serta lebih sisematis, maka

penulis menyususun skripsi ini menjadi lima bab, yaitu :

Bab I : Pendahuluan, merupakan gambaran umum tentang latar belakang

masalah

Bab II : Menjelaskan definisi operasional “politik aliran”. Dalam bab ini juga

diuraikan perkembangan partai politik Islam, serta pola pemikiran

Islam tradisionalis dan dan modernis, dua tipologi pemikiran Islam

ini merupakan entry point terbentuknya diskursus politik Islam Idonesia

Bab III : Biografi Partai Keadilan Sejahtera

Bab IV : Menggambarkan Politik Aliran dalam Pemilu 2009, mendeskripsikan

perubahan yang terjadi pada platform Partai Keadilan Sejahtera pada

(19)

perubahan-perubahan tersebut serta implikasi perubahan tersebut

pada perolehan suara Partai Keadilan Sejahtera dalam Pemilu 2009

(20)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Politik Aliran

Konsep aliran pertama kali diciptakan oleh antropolog Clifford Geertz

untuk menggambarkan struktur sosial dan politik desa di daerah Jawa pada awal

zaman kemerdekaan.Geertz tinggal di pare, Jawa Timur selama dua tahun

1952-1954. Istilah aliran diperkenalkan kepada dunia ilmiah pada 1959 dalam The Javanese Village, yang diterbitkan dalam sebuah buku, Local ethnic, and National Loyalties in Village Indonesia1.

Dalam penelitiannya itu, Geertz mencoba menghubungkan bagaimana

hubungan antara struktur-struktur sosial yang ada dalam suatu masyarakat dengan

pengorganisasian dan perwujudan simbol-simbol, dan bagaimana para anggota

masyarakat mewujudkan integrasi disintegrasi dengan cara mengorganisasi dan

mewujudkan simbol-simbol tertentu. Sehingga, perbedaan-perbedaan yang

nampak antara struktur sosial yang ada dalam masyarakat tersebut hanyalah

bersifat komplementer2.

Penemuan utama Geertz adalah bahwa masyarakat Jawa sudah lama

kehilangan kemampuan untuk menyusun kehidupan bersama. Dia

membandingkan citra desa yang romantik-komunal, organis, tata tentrem dengan

kenyataan yang diamatinya : “ketidakmampuan untuk bekerja sama atau untuk

mengorganisasikan segala hal; suatu keengganan yang bermula pada

1

R. William Liddle. Revolusi dari Luar: Demokratisasi di indonesia, h. 105. 2

(21)

ketidakpastian tentang apa yang seharusnya dilakukan untuk menjalani berbagai

usaha yang kompleks dan berjangka panjang, dan suatu kemandekan”.3

Masyarakat Jawa oleh Geertz dilihat sebagai suatu sistem sosial, dengan

kebudayaan Jawanya yang akulturatif dan agama yang sinkretik, yang terdiri atas

sub kebudayaan Jawa yang masing-masing merupakan struktur sosial yang

berlawanan. Struktur-struktur sosial yang dimaksud adalah Abangan (yang intinya berpusat di pedesaan), Santri (yang intinya berpusat di pedesaan), dan Priyayi

(yang intinya berpusat di kantor pemerintahan, di kota)4.

Pembentukan aliran pada zaman kemerdekaan, menurut R. William

Liddle5, terjadi dalam konteks Cultuur Stelsel, sistem pertanian tanam paksa. Ketika sejak awal abad ke-19 Belanda memaksa para petani di Jawa menanam

tebu, tembakau dan kopi yang akan di ekspor ke luar Hindia Belanda. Namun,

penjajah itu berusaha sekaligus melindungi atau melestarikan struktur dan politik

tradisional orang Jawa, atau dalam bahasa Geertz “Hasil pertanian Jawa, tetapi

bukan rakyatnya, mau dimasukkan ke dunia modern”.

Clifford Geertz membagi masyarakat Jawa, yang ditarik dari

mikrokosmosnya di Mojokuto, kedalam tiga varian sosiokultural : abangan, santri

dan priyayi. Ketika memaparkan perbedaan-perbedaan umum antara ketiga varian

tersebut dalam bukunya Religion of Java, ia menulis :

“Abangan mewakili suatu penekanan kepada aspek-aspek animistis dari seluruh sinkretisme Jawa dan secara luas berkaitan dengan unsur petani di kalangan penduduk; santri mewakili suatu penekanan kepada aspek-aspek Islam dari sinkretisme diatas dan pada umumnya berkaitan dengan unsur dagang (juga unsur-unsur tertentu dalam kelompok

3

R. William Liddle. Revolusi dari Luar: Demokratisasi di indonesia, h. 105. 4

Abudin Nata. Metodologi studi Islam, h. 347-348 5

(22)

petani); dan priyayi menekankan pada aspek-aspek Hinduistis dan berkaitan dengan unsur birokrasi).”6

Dengan demikian penyebab terjadi tipologi yang berbeda tersebut salah

satunya berkaitan dengan lingkungan yang berbeda (yaitu pedesaan, pasar dan

kantor pemerintahan) dibarengi dengan latar belakang sejarah kebudayaan yang

berbeda (yang berkaitan dengan masuknya agama serta peradaban Hindu dan

Islam di Jawa) telah mewujudkan adanya ketiga varian sosial keagamaan tersebut.

Disamping itu menurut Daniel S. Lev7, pengelompokkan tersebut makin diperkuat

oleh perbedaan-perbedaan ekonomis. Kelompok santri lebih cenderung pada aktivitas perdagangan daripada kelompok abangan yang tipikal ideal sebagai petani, dan kelompok priyayi urban sebagai birokrat.

Hasil penelitian Geertz ini bukan tanpa kekurangan, telah banyak kritik

dikemukakan ahli dan pengamat khususnya Harsja W. Bahtiar dan

Koentjaraningrat, terhadap tipologi atau varian “keagamaan” masyarakat Jawa.8

Harsja W. Bachtiar9, misalkan, mengatakan bahwa yang disebut kaum abangan

tidaklah harus mengacu kepada tradisi rakyat yang pokok yang terdiri dari tradisi

kebudayaan rakyat biasa, wong cilik (orang kecil). Dengan kata lain kelirulah untuk menganggap tradisi kebudayaan kaum tani sebagai tradisi abangan.

Demikian pula, mengenai varian kaum santri bisa saja berasal dari golongan

rendahan dan karena banyak priyayi telah diasuh oleh pelayan-pelayan dari

6

Bahtiar Effendi. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 37

7

Daniel S. Lev. Partai-partai Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Parlementer (1950-1957) Dan Demokrasi Terpimpin (1957-1965). Dalam Ichlasul Amal. Teori-teori Mutakhir partai Politik, h. 134.

8

Azyumardi Azra. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antar Umat (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), h. 185

9

(23)

golongan rendahan yang berada dalam kedudukan uuntuk mempengaruhi mereka,

maka apa yang disini disebut “kepercayaan rakyat” atau kepercayaan animistik,

merupakan suatu yang lazim di kalangan orang-orang yang oleh Geertz disebut

sebagai santri dan priyayi, meskipun wajarlah apabila mereka tidak mengakuinya

Dengan kata lain Bachtiar ingin mengatakan, bahwa penggunaan istilah

abangan, santri dan priyayi untuk mengklasifikasikan masyarakat Jawa dalam golongan-golongan agama tidaklah tepat, karena ketiga golongan yang disebutkan

tadi tidak bersumber dari satu sistem klasifikasi yang sama.

Beberapa ahli berpendapat bahwa istilah santri-abangan sudah ada jauh sebelum Geertz mengemukakan hasil penelitiannya. Bahkan Azyumardi Azra10

menyatakan bahwa pada dasarnya Geertz hanyalah merumuskan dan

menteorisasikan kategori yang telah ada; bukan menciptakan. Yang diciptakan

Geertz adalah kerumitan tambahan, dengan memasukkan kategori “priyayi”

sehingga menciptakan “trikotomi” santri-abangan-priyayi. Padahal jelas, priyayi

adalah kategori sosiologis, bukan kategori keagamaan. Karena itu kategorisasi

“santri-abangan” sebenarnya tidak kedap air (watertight) dan, karena itu terdapat banyak persilangan dan tumpang tindih.

Terlepas dari semua ini, yang jelas “trikotomi” Geertz, atau lebih tepat lagi

“dikhotomi” santri-abangan terlanjur populer, bukan hanya dalam dunia keilmuan,

khususnya antropologi, tetapi juga digunakan untuk menjelaskan pemilahan

politik dalam masyarakat Jawa khususnya. Demikian, pertarungan dan pergulatan

politik Indonesia, khususnya tahun-tahun 1950-an (menjelang dan pasca-pemilu

10

(24)

1955) di antara Masyumi, PNI dan PKI dijelaskan banyak pihak dalam kerangka

Geertz, yang populer sebagai “politik aliran”, persisnya pertarungan antara santri

pada satu pihak dan abangan pada pihak lain.

Dengan demikian dalam kasus ini, Geertz menjelaskan, “proses manuver

politik yang digerakkan oleh sistem aliran ini segera membuat persekutuan

orientasi abangan dan priyayi dalam satu kesatuan yang berhadapan dengan

orientasi santri. Proses persekutuan politik antara kedua varian ini, untuk satu hal,

didorong oleh “terlembagakannya politik massa dan hak politik universal yang

mendekatkan kelompok priyayi dengan abangan”. Hal itu juga disebabkan oleh

kenyataan yang kuat diterima bahwa kedua kelompok tersebut “tidak menyukai

eksklusivisme kelompok santri”11

Yang dimaksud dengan politik aliran adalah kelompok sosio-budaya yang

menjelma sebagai organisasi politik12. Menurut Bahtiar Effendi13, Geertz

memaparkan aliran sebagai “suatu partai politik yang dikelilingi oleh satuan

organisasi-organisasi sukarela yang formal maupun tidak formal berkaitan

dengannya….[aliran] adalah pengelompokan organisasi secara nasional….yang

menganut arah dan posisi ideologis yang sama.” Terlepas dari penekannya pada

partai politik sebagai unsur pokok dalam konsep ini, penting dicatat bahwa “suatu

aliran lebih dari sekedar partai politik, jelas juga lebih dari sekedar ideologi; ia

adalah suatu pola integrasi sosial yang komprehensif,” dan ia diidentifikasi

kurang-lebih oleh “oposisi suatu kelompok kepada yang lain”

11

Bahtiar Effendi. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 39

12

R. William Liddle. Revolusi dari Luar: Demokratisasi di indonesia, h. 108. 13

(25)

Setidaknya ada dua unsur utama yang inheren dalam konsep aliran.

Pertama, pentingnya pembilahan religio-kultural dalam tradisi masyarakat Jawa.

Kedua, cara dimana pembilahan semacam itu mentransformasikan diri secara agak mudah kedalam pola pengelompokan-pengelompokan sosial-politik14.

Politik aliran terbentuk, untuk pertama kalinya pada pemilu 1955. Ketika

masyarakat Jawa untuk kali pertamanya selama satu setengah abad diberi

kebebasan untuk membuat organisasi-organisasi sosial dan politik baru. Yang

mereka ciptakan kemudian adalah aliran, yaitu partai-partai politik nasional, yang

diimpor dari Jakarta, lengkap dengan ideologi masing-masing dan

organisasi-organisasi sosial untuk petani, buruh, wanita, pemuda dan lain-lain15.

Pada pemilu tahun 1950-an pola pembentukan partai politik dipengaruhi

oleh konsep aliran. Kelompok santri cenderung mengarahkan orientasi politik

mereka ke partai-partai politik Islam, misalnya Masyumi dan Nahdlatul Ulama

(NU), dua partai Islam terbesar pada 1950-an. Pada sisi lainnya, kelompok

abangan dan priyayi lebih suka mengekspresikan kedekatan politis mereka dengan

partai “nasionalis” (PNI atau PKI).

Tumbangnya pemerintahan orde lama setelah gagalnya pemberontakan

PKI pada 1965 tidak serta merta menghapuskan trikhotomi abangan, santri dan

priyayi. Bahkan perkembangan politik Indonesia umumnya pada masa orde baru

tetap masih bisa dijelaskan banyak pengamat dalam kerangka Geertzian. Bahkan

banyak pemimpin militer Indonesia yang sebagian besar berasal dari etnis Jawa,

dan karena itu abangan menentang Islam dan kaum santri. Militer abangan yang

14

Bahtiar Effendi. Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 38

15

(26)

hostile terhadap Islam dan golongan santri inilah yang kemudian mendukung dan memenangkan Golkar sejak pemilu 1977, 1982 dan 1987, yang juga didominasi

oleh kaum abangan dan non-muslim. Singkatnya, polarisasi antara santri dan

abangan terus berlanjut dalam masa orde baru16.

Pada masa orde baru pola aliran tercermin dalam politik elektoral saat

Soeharto memaksakan semua partai santri bergabung kedalam Partai Persatuan

Pembangunan (PPP), dan semua partai priyayi, abangan, dan non-Islam berdifusi

menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pasca orde baru realitas politik yang

didasarkan pada aliran bukan berangsur hilang, melainkan sebaliknya kian

menonjol.

PDI-P merupakan kelanjutan secara organisatoris dan ideologis dengan

PNI yang diciptakan Soekarno. Begitu juga dengan PKB, yang merupakan

kelanjutan dari partai politik NU. Kita juga bisa mengaitkan, secara lebih longgar,

antara PAN melalui Muhamadiyah (sebagai santri modernis) dengan Masyumi.

PPP juga tidak bisa dilepaskan dari masa lalunya dengan NU ketika pada 1971

bersama partai-partai santri, berdifusi menjadi PPP.

Pada Pemilu tahun 2004 ternyata tidak ada lompatan ideologis (ideological leapfrogging) yang ekstrim, namun dua partai Islam, PPP dan PBB, bergerak lebih jauh ke kanan, sementara PKS lebih mendekat ke tengah. Partai-partai

sekuler, meski tetap dalam posisi semula, menjalankan strategi yang berbeda guna

16

(27)

memperluas jangkauan pada segmen-segmen komunitas Islam tanpa mengubah

sikap dasar ideologinya.17

Arti penting teori aliran Geertz adalah bahwa teori ini mencoba

menunjukkan salah satu sumber paling esensial dari

pengelompokan-pengelompokan sosial-politik yang berkembang dalam realitas politik di

Indonesia.

B. Islam Tradisionalis

Sebenarnya apa yang sering disebut sebagai tradisionalis-modernis dalam

gerakan Islam Indonesia merupakan suatu istilah yang bisa diperdebatkan dan

dipertukarkan dengan istilah-istilah lain. Pemakaian istilah modernis, misalkan,

dalam banyak literatur gerakan Islam Indonesia teramat sering bertukar dengan

istilah “reformis”. R. William Liddle18 bahkan menggunakan istilah

“Skripturalis-Substansialis” untuk menggantikan istilah “tradisionalis-modernis”, Deliar Noer19

menggunakan istilah “kaum tua” kelompok tradisional dan “kaum muda” untuk

kelompok modernis. Meskipun demikian pada tulisan ini akan tetap digunakan

istilah “tradisionalis-modernis” yang dalam banyak hal maknanya paralalel

dengan “skripturalis-substansialis” dan “kaum tua-kaum muda”.

Sarjana Indonesia yang paling bertanggung jawab dalam menyebarluaskan

distingsi – yang selanjutnya menjadi dikotomi – antara “Islam tradisionalis” dan

17

Kuskridho Ambardi. Mengungkap Politik Kartel; Studi tentang Sistem Kepartaian di Indoensia Era reformasi (Jakarta; Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), h. 239

18

R. William Liddle. Skripturalisme Media Dakwah: sebuah Bentuk Pemikian dan Aksi Politik Islam Indonesia pada Masa Orde Baru. Dalam Idy Subandi Ibrahim (editor). Media dan Citra Muslim: Dari Spiritualitas untuk berperang menuju Spiritualitas untuk Berdialog. (Yogyakarta: Jalasutra, 2005), h. 406

19

(28)

“Islam modernis” dalam kajian tentang Islam di Indonesia adalah Deliar Noer

dalam karyanya yang kini sudah menjadi klasik. Dalam karyanya ini, Deliar Noer

secara tegas membuat semacam watertight distinction antara Islam tradionalis dan Islam modernis20.

Pembedaan awal dari kedua golongan ini pada mulanya hanya

menyangkut gerakan sosial dan keagamaan, akan tetapi selanjutnya meluas ke

bidang lainnya termasuk politik. Golongan tradisional adalah mereka yang

berpegang teguh pada pemikiran tradisional, sedangkan golongan modern adalah

mereka yang menghendaki perubahan.

Dalam konteks studi sosial-politik Islam Indonesia, islam “muslim

tradisionalis” memiliki dua arti: yang satu bersifat pejorative sementara yang lain bersifat netral. Pertama, istilah tradisionalis berkonotasi pejorative jika dipakai dengan merujuk kepada muslim model lama yang berasal dari kampung yang

tradisional dalam agama, kolot secara intelektual, oportunistik secara politik dan

sinkretik secara kultural. Kedua, pemahaman yang lebih umum mengenai muslim tradisionalis menunjukkan bahwa mereka merupakan orang yang percaya bahwa

umat Muslim yang tidak memiliki keahlian memadai untuk berijtihad harus mengikuti salah satu dari empat mazhab hukum yang ada dan memakai

pendekatan bertahap dan toleran dalam berdakwah ketika mereka berhadapan

dengan tradisi lokal. Kenyataan bahwa praktik-praktik Islam adakalanya

20

(29)

tercampur aduk dengan tradisi lokal tidak berarti bahwa mereka menganggap

tradisi lokal bersifat islami; sebaliknya, ini hanya soal pendekatan saja21.

Golongan Islam tradisional diwadahi oleh organisasi keagamaan Nahdlatul

Ulama (NU). Sedangkan kendaraan politik yang mereka pergunakan pada awal

kemerdekaan adalah Masyumi hingga NU menyatakan keluar dan membentuk

partai sendiri, tahun 1952. Selanjutnya pada pemilu 1955 dan 1971 NU tampil

sebagai partai politik yang mewadahi golongan tradisional. Namun sebagaimana

golongan Islam lainnya, sejak tahun 1973 NU memperoleh perlakuan yang tidak

manusiawi dari pemerintah dan dipaksa berfusi ke PPP. Kondisi perpolitikan yang

tidak kondusif ini baru berakhir ketika rezim otoriter Orde Baru tumbang dan

beralih ke era reformasi, dimana setiap kelompok dan juga individu memiliki

kebebasan dan berpolitik.

Akhirnya pada forum Munas Alim Ulama NU pada 1983 di Situbondo,

NU memproklamirkan kembali ke “khittah 1926”. Digulirkannya gagasan

”kembali ke khitah 1926” ini merupakan upaya pemulihan untuk mengatasi

persoalan aliran atau eksklusivisme politik yang ada pada the body of politics

organisasi sosial keagamaan ini. Dengan pernyatan ini, NU melakukan reposisi

ulang: mengembalikan jati dirinya sebagai organisasi sosial keagamaan seperti

ketika lahir dulu (1926). Dan itu berarti NU tak lagi berfungsi sebagai organisasi

sosial-politik22.

21

Suadi Asyari. Nalar Politik NU dan Muhammadiyah. (Yogyakarta: LKiS, 2009), h. 76-77 22

(30)

C. Islam Modernis

Pemikiran Islam di Indonesia berkembang dengan tumbuhnya gerakan

modernisme. Gerakan modernisme ialah gerakan kembali kepada al-Qur’an dan

Sunnah. Ajaran ini bersifat prinsip, garis besar, dan dipercayai berlaku untuk

segala tempat dan zaman, sehingga ia senantiasa modern. Ia perlu ditimbulkan

lagi karena tertutup oleh tradisi, adat kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran

pokok (bagi gerakan modernis adat kebiasaan yang tidak bertentangan dengan

ajaran pokok dapat diterima), dengan faham kebekuan (jumud) dan sifat ketertutupan23.

Awalnya modernisasi Islam di Indonesia merupakan reaksi terhadap

berbaurnya praktik-praktik Islam dengan tradisi lokal. Gerakan modernisasi dalam

Islam seringkali dirujuk kepada gerakan Islam puritan, yaitu kelompok Muslim

yang cenderung mengklaim bahwa kelompok merekalah yang paling benar atau

menganut Islam murni dan karenanya merasa bertanggung jawab untuk

memurnikan Muslim lainnya yang tidak berpegang pada paham teologi Islam dan

cara ibadah yang sama seperti mereka24.

Berdasarkan catatan sejarah, golongan modernis Islam di Indonesia pada

umumnya masuk kedalam organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah,

Al-Irsyad, Persatuan Islam (Persis) dan organisasi keagamaan lain yang senapas

dengan organisasi-organisasi tersebut. Sejauh menyangkut Muhammadiyah,

paling tidak sudah menjadi hal yang bisa diperdebatkan jika organisasi ini hanya

23

Deliar Noer. Memposisikan Harun Nasution dalam pemikiran Islam di Indonesia. Dalam Abdul Halim (editor). Teologi Islam Rasional: Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution (Jakarta : Ciputat Pres, 2001), h. 142

24

(31)

dilabeli sebagai gerakan modernis, lantaran teologinya mengandung unsur-unsur

puritan, yakni teologi yang didasarkan atas ideologi pemurnian akidah Muslim,

yang pada mulanya di propagandakan oleh gerakan Wahabi.

Sementara itu terkait dengan isu-isu penting dalam gerakan politik

‘tradisional-modernis” menurut Deliar Noer25 berkaitan dengan ini pertama, soal khilafiyah. Gerakan modern Islam di negeri kita, seperti juga di negera Islam

lainnya, bermula dengan soal-soal ubudiyah. Dalam rangka ini, paham gerakan

tersebut berusaha mengubah paham-paham tradisional. Kedalamnya termasuk apa

yang disebut takhayul, khurafat, ada pula yang disebut masalah khilafiyah dalam

kalangan Islam. Kedua, sifat fragmentasi kepartaian. Sifat ini dimasa 1920-1942, sangat menonjol baik pada kalangan Islam maupun pada kalangan kebangsaan.

Ketiga, Kepemimpinan yang bersifat pribadi. Dizaman merdeka kecenderungan seperti itu terjadi, yaitu pemimpin, dengan alasan-alasannya sendiri, membawa

pengikutnya keluar organisasi semula membangun partai baru ataupun mengubah

sifat organisasinya menjadi partai politik. Keempat, perbedaan dan pertentangan paham yang berhubungan dengan pemerintah.

Sementara kelompok modernis secara kelembagaan diwadahi oleh

organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah, Persis, Dewan Dakwah Islam

Indonesia (DDII) dan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) dengan

gerakan politik yang dominan diberikan kepada Partai Amanat Nasional.

Uniknya pilihan ideologis PKB dan PAN mungkin akan memunculkan

masalah dalam merumuskan strategi elektoral yang bisa mengakomodasi berbagai

25

(32)

kepentingan konstituen tradisional dan konstituen baru yang ingin dirangkul.

Meskipun berasal dari basis massa organisasi Muslim terbesar, PKB dan PAN

tidak serta merta mengidentifikasikan dirinya dengan politik Islam. PAN dan PKB

hanya menyebut diri mereka sebagai partai berbasis massa Muslim. Tetapi

menolak disebut sebagai partai Islam. Sementara pada sisi lainnya, PPP sebagai

partai Islam dengan basis massa tradisional yang sama dengan PKB, mengingat

secara genealogi PPP dilahirkan dari rahim partai-partai Islam pada tahun 1971.

Sedangkan PBB dan PKS adalah representasi, pada sisi lainnya, sebagai santri

modernis yang secara genealogis dan ideologis sangat berkaitan dengan

Muhammadiah dan organisasi-organisasi modernis lainnya.

Adapun acuan keagamaan PKS adalah Ikhwanul Muslimin, dikarenakan

diantara para pendiri PKS yang menuntut ilmu di Timur Tengah, dan Ikhwanul

Muslimin adalah sebuah organisasi yang lahir dan tumbuh di Timur Tengah. PKS

tidak memiliki persambungan keagamaan dengan jaringan ulama dan kiai

pesantren serta lembaga-lembaga pendidikan Islam dan lembaga-lembaga dakwah

yang bernaung di bawahnya yang telah mengakar di masyarakat dan tumbuh

bersama tradisi yang ada. Oleh karena itu, pemahaman keagamaan yang

berkembang di PKS seakan berjarak dengan pemahaman keagamaan yang dianut

masyarakat negeri ini sehingga tidaklah heran jika pada awal-awal tumbuhnya

(33)

masyarakat umum. Bahkan tidak jarang sebagian mereka menganggap masyarakat

telah menyimpang dari Islam yang benar.26

26

(34)

BAB III

BIOGRAFI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA

A. Sejarah Perkembangan Partai Keadilan Sejahtera

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan partai yang diprakarsai oleh para

aktivis dakwah kampus. Para aktivis yang sebagian besar berusia muda tersebut

bergerak dari dalam kampus (pada umumnya kampus-kampus umum) dan dalam

skala terbatas di sekolah-sekolah. Di kampus mereka mendirikan dan mengelola

pengajian yang di wadahi dalam bentuk Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Lembaga

inilah yang menyelenggarakan berbagai aktivitas keagamaan, baik berupa

pengajian-pengajian untuk mahasiswa, maupun pengajaran Islam bagi para anggotanya. Di

sekolah-sekolah, para aktivis ini berkiprah melalui lembaga kesiswaan yang sering

disebut Rohani Islam (ROHIS). Kegiatan yang dilakukan di ROHIS sama dengan

LDK, yakni memberikan pemahaman dasar-dasar keislaman dengan penekanan pdaa

penanaman semangat (ghirah) keislaman1.

Pada masa-masa awal (era pertengahan 1970-an hingga 1980-an), kegiatan

para aktivis tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi; dalam arti, berbagai

kegiatan lebih sering dilakukan dengan diam-diam dan jika menyelenggarakan

pengajian untuk banyak orang, mereka berkamuflase dengan mengatasnamakan

kegiatan mahasiswa atau siswa. Kegiatan diam-diam ini dikenal sebagai kegiatan

“usroh”. Para aktivisnya disebut “anak usroh”. Usroh berarti keluarga. Maksudnya,

1

(35)

para anggota pengajian ini dibagi ke dalam satuan-satuan kecil (6-10 orang) dengan

seorang mentor (murabbi) dalam sistem stelsel.

Metode pengajian yang cenderung rahasia ini tidak terlepas dari kebijakan

politik pemerintahan Orde Baru yang sangat represif terhadap gerakan keagamaan.

Situasi sedikit berubah ketika memasuki era 1990-an di mana mulai muncul

pergeseran politik ketika Soeharto mulai menempatkan para aktivis Islam sebagai

sekutu. Meskipun demikian, para aktivis LDK belum menempuh strategi gerakan

yang terbuka. Dalam kondisi yang agak kondusif, para aktivis LDK lebih leluasa

melakukan dakwahnya dan mendapatkan sambutan lebih luas. Pada era ini, mereka

tidak lagi menggunakan sebutan Usroh, tetapi mengubahnya menjadi Ikhwan dan

menamai aktivitas mereka dengan sebutan tarbiyah (pendidikan)2

Seiring waktu, kelompok ini semakin lama semakin besar. Kedisiplinan

mereka dalam mengamalkan ajaran Islam yang mereka tahu dan kajian buku tentang

keilmuan dari para tokoh Al-Ikhwan Al-Muslimun, terutama dalam konsep tarbiyah, membuat mereka secara sadar sering menyebut bahwa konsep tarbiyah merupakan landasan bagi sebuah pembinaan. Dengan kata lain, semua marhalah tarbiyah seperti

tabligh, ta’lim, takwin dan tanfidz harus dilalui dalam sebuah pembinaan. Lama kelamaan penggunaan istilah tarbiyah ini menjadi “latah” digunakan semua orang,

2

(36)

karena itu yang melakukan pengajian-pengajian dalam kelompok kecil kemudian

menyebutnya sebagai kelompok tarbiyah3.

Perkembangan kelompok tarbiyah ini bisa dikatakan sangat cepat, tak sampai 10 tahun jaringannya sudah ada hampir di semua universitas maupun kantor-kantor

pemerintahan. Mereka menggunakan sistem Multi Level Marketing (MLM). Seorang kader, membina paling tidak 5 orang kader baru dalam pengajian. Dan itu terjadi di

hampir semua universitas, untuk menopang kader-kader baru di daerah4.

Gerakan Tarbiyah terdiri atas lima elemen penting, yaitu5 :

1. Dewan Dakwah Islam Indonesia dengan tokoh utama M. Natsir. DDII

berperan menjadi inisiator awal berdakwah melalui kampus dan sekaligus

peletak dasar-dasar strategi dakwah kampus serta menyiapkan jaringan

para pendamping LDK yang terdiri dari tokoh-tokoh senior seangkatan M.

Natsir sendiri hingga para penerusnya, seperti Abu Ridho, Husein Umar

dan Masyhadi.

2. Elemen Jaringan LDK sebagai tulang punggung tarbiyah dan sekolah

(ROHIS). LDK merupakan pelaku utama dakwah kampus dan

menyediakan wahana dan mekanisme rekruitmen kader di kampus dan

sekolah. LDK sendiri bermula dari berbagai kegiatan yang

diselenggarakan oleh Masjid Salman ITB di bawah mentoring Imaduddin

3

Aay Muhammad Furkon. Partai Keadilan sejahtera; Ideologi dan Praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer. (Jakarta: Teraju, 2004), h. 124

4

Aay Muhammad Furkon. Partai Keadilan sejahtera;, h. 132 5

(37)

Abdurrahim. Berbagai kegiatan ini, selain diikuti oleh para mahasiswa di

sekitar Bandung, juga diikuti oleh mahasiswa dari kota-kota lain seperti

UI, UGM dan IPB. Mereka inilah yang kemudian menjadi dai-dai di

kampus masing-masing dan juga kampus-kampus lain.

3. Elemen para alumnus perguruan tinggi luar negeri, khusunya Timur

Tengah. Mereka berperan sebagai tenaga-tenaga murabbi (pendidik) yang mengisi ceramah-ceramah dalam pertemuan-pertemuan tersebut. Para

alumni Timur Tengah yang memiliki kelebihan dalam pendalaman

keislaman serta penguasaan akan pikiran-pikiran Ikhwanul Muslimin

menjadi ideolog-ideolog yang handal. Mereka dihadirkan dalam

pengajian-pengajian dan menjadi tempat untuk bertanya dan berkonsultasi

dalam berbagai masalah. Selain itu, mereka juga berperan dalam

menyebarkan pemikiran-pemikiran Ikhwanul Muslimin di kalangan publik

yang lebih luas. Mereka menjadi penceramah di radio, televisi, menulis

buku, mengelola penerbitan dan menjadi narasumber di seminar-seminar

yang diikuti oleh kalangan luas.

4. Para aktivis ormas Islam maupun kepemudaan Islam. Dikalangan aktivis

Tarbiyah juga terdapat tokoh-tokoh yang selain aktif di Tarbiyah, juga

aktif di ormas-ormas kepemudaan Islam, seperti PII, GPI, IMM, HMI dan

PMII. Para kader yang memiliki kemampuan kepemimpinan dan

pengorganisasian ini juga turut berperan dalam mengisi kepemimpinan

(38)

5. Para da’i lulusan pesantren. Mereka menjadi pengajar materi keislaman

dan menjadi mentor pengamalan ajaran Islam sekaligus menyumbangkan

pengalaman berdakwah dimasyarakat.

Kombinasi yang kompak dari lima elemen utama tarbiyah yang sebagian

besar didukung oleh orang-orang berkultur modernis (Masyumi) dan mahasiswa

perguruan tinggi umum ini menghasilkan pertumbuhan jaringan dakwah yang makin

lama makin banyak anggotanya. Dilihat dari pertumbuhan jaringan dakwah kampus,

perkembangan anggota dan persebarannya, menunjukkan tingkat akselerasi yang

mengagumkan.

Pada 1998 jaringan ini telah menyebar ke enam puluh empat perguruan tinggi

di seluruh Indonesia. Di sebagian besar perguruan tinggi tersebut, para aktivis

dakwah Tarbiyah ini bahkan menjadi kekuatan yang dominan dalam dunia

kemahasiswaan dan memgang posisi penting dalam organisasi intra kampus.

Pada 1998, mereka ikut merespon perkembangan politik Indonesia dengan

membentuk organisasi formal bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia

(KAMMI). Kesatuan mahasiswa yang didukung para kader Tarbiyah ini menjadi

salah satu kekuatan mahasiswa yang cukup diperhitungkan saat gerakan mahasiswa

menggulingkan rezim Soeharto. Selain jumlah mereka yang besar, para pemimpin

kesatuan ini juga merupakan kader kampus yang menonjol sehingga mampu

(39)

juga menambah daya tarik dan daya gebrak KAMMI guna meraih dukungan

masyarakat untuk bersama-sama menggulingkan rezim Orde Baru6.

Pada bulan Agustus 1998, para kader Tarbiyah membentuk partai politik

bernama Partai Keadilan (PK). Kelahiran PK didahului dengan pro dan kontra di

kalangan internal mereka. Persoalan mendirikan partai ini menjadi agenda penting

dibicarakan: sebagian mengatakan perlu mendirikan partai politik, sementara

sebagian yang lain menyatakan tidak perlu. Persoalan ini kemudian menjadi

pembahasan yang cukup panjang. Sebagian berpendapat bahwa era reformasi yang

membuka keran kebebasan utuk berekspresi merupakan peluang yang baik untuk

meningkatkan tahap perjuangan pada mihwar siyasi. Akan tetapi, sebagian menyatakan bahwa capaian yang diraih belum cukup untuk mewujudkan partai

politik7.

Kemudian diadakanlah musyawarah untuk menampung aspirasi dari kedua

pihak yang berbeda tersebut. Musyawarah untuk membentuk partai pada jamaah

Tarbiyah terjadi setelah Dewan Dakwah ‘gagal’ membuat satu partai politik yang

berazaskan Islam. Lahirnya Partai Bulan Bintang dengan azas Pancasila membuat

sebagian anggota Dewan Dakwah yang terlibat merumuskan partai Islam merasa

kecewa. Pada saat itu, menurut Abu Ridho, jamaah yang kini menjadi Partai Keadilan

sesungguhnya sedang menunggu dan meperhatikan Dewan Dakwah yang akan

6

M. Imdadun Rahmat. Ideologi Politik PKS; Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen, h. 34 7

(40)

membidani lahirnya partai politik Islam. Namun, ketika lahir tidak dengan azas Islam,

maka mereka kemudian mengadakan musyawarah tersendiri8.

Dengan demikian, bukan kebetulan jika kedua partai ini mendeklarasikan diri

di tempat yang sama, masjid Al-Azhar. Tempat ini umum dikenal sebagai benteng

aktivis Muslim modernis. PBB dideklarasikan lebih awal pada 26 Juli 1998. Embrio

partai ini dapat dilacak dalam pembentukan BKUI (Barisan Kebangkitan Ulama

Indonesia) pada 12 Mei 1998, dimana tokoh kunci DDII terlibat aktif dalam proses

pembentukan organisasi tersebut, sementara PK dideklarasikan lebih belakangan di

hadapan ribuan pendukungnya pada 9 Agustus 19989.

Dalam deklarasi Partai Keadilan 9 Agustus 1998 Hidayat Nur Wahid sebagai

Ketua Dewan Pendiri membacakan pernyataan, yang dikenal dengan Piagam

Deklarasi bahwa :

“Partai Keadilan didirikan bukan atas inisiatif seorang atau beberapa orang aktivisnya, namun merupakan perwujudan dari kesepakatan yang diambil musyawarah yang aspiratif dan demokratis. Sebuah survei yang melingkupi cakupan luas dari para aktivis dakwah, terutama yang tersebar dimasjid-masjid kampus di Indonesia dilakukan beberapa bulan sebelumnya untuk melihat respon umum dari kondisi politik yang berkembang di Indonesia. Survei ini menujukkan bahwa sebagian besar mereka menyatakan bahwasanya inilah waktu yang tepat untuk meneguhkan aktivitas dakwah dalam bentuk kepartaian dalam konteks formalitas politik yang ada sekarang. Survei ini mecerminkan tumbuhnya kesamaan sikap dikalangan sebagian besar aktivis dakwah yang dapat menjadi sebuah pola dinamis bagi pengendalian partai di kemudian hari. Terbukti setelah tekad mendirikan sebuah partai diputuskan maka kesatuan sikap secara menyeluruh”.10

8

Aay Muhammad Furkon. Partai Keadilan sejahtera;, h. 150 9

Kuskridho Ambardi. Mengungkap Politik Kartel; Studi tentang Sistem Kepartaian di Indoensia Era reformasi, h. 140

10

(41)

Jika diperhatikan Piagam Deklarasi diatas mempunyai makna bahwa Partai

Keadilan tidak didirikan oleh orang-orang tapi didirikan secara bersama-sama.

Piagam deklarasi juga merupakan indikasi dari “amal jama’i” di mana seluruh komponen yang terlibat dalam pendirian mempunyai tanggung jawab dan visi yang

sama tentang urgensi partai sebagai kendaraan untuk dakwah. Hal ini berimplikasi

pada sikap mental bahwa kegagalan mengurus partai bisa berarti kegagalan dalam

mengelola dakwah. Dengan demikian, profesionalitas dan keberhasilan

mengaplikasikan nilai-nilai dakwah menjadi sesuatu yang dipertaruhkan.

Sementara itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) resmi berdiri pada 20 April

2002, sebagai langkah strategis dalam menjawab hambatan menyangkut elektoral treshol. Dengan demikian maka visi dan misi partai tidak bergeser dari khittah PK dan kalaupun ada perbedaan hanya dalam bentuk redaksional dan teknis semata. Atas

dasar kesamaan visi dan misi tersebut, musyawarah Majelis Syura Partai Keadilan

XIII yang berlangsung di Wisma Haji, Bekasi, Jawa Barat, pada 17 April 2003,

memutuskan Partai Keadilan menggabungkan diri dengan Partai Keadilan Sejahtera.

Pada saat deklarasi, Partai Keadilan Sejahtera memiliki pengurus di 30 DPW, 312

DPD, dan 2155 DPC di seluruh Indonesia. Selain itu, PKS juga memiliki 13

perwakilan di luar negeri dengan Pusat Informasi Partai Keadilan Sejahtera

(PIPKS)11.

Dengan demikian, kita dapat meliihat bahwa perubahan PK ke PKS hanyalah

semata-mata perubahan nama untuk menyiasati agar bisa mengikuti Pemilu 2004.

11

(42)

Oleh karena itu, suprastruktur (ideologi, pemikiran dan konsep-konsep partai),

maupun infrastruktur PKS (baik berupa jaringan kader, kepengurusan hingga

aset-aset partai) adalah pelimpahan dari PK.

Belajar dari “kegagalan” pada Pemilu 1999, PKS menempuh upaya

perekrutan kader dan simpatisan dengan ekstra keras. Selain itu, PKS juga mengubah

strategi dengan menampilkan citra yang lebih inklusif dengan mengangkat isu-isu

yang relevan bagi seluruh elemen masyarakat. Ini ditempuh dengan harapan PKS

mampu menjaring pemilih seluas-luasnya, tidak terbatas hanya pada kalangan kader

Tarbiyah.

B. Tokoh-tokoh PKS

Dalam piagam deklarasi12 yang di bacakan pada musyawarah Majelis Syura

Partai Keadilan XIII yang berlangsung di Wisma Haji, Bekasi, jawa Barat, pada 17

April 2003, tercantumlah beberapa nama tokoh-tokoh pendiri Partai Keadilan

Sejahtera, sebagian dari mereka kemudian menduduki posisi penting pada jajaran

MPP ataupun DPP, sebagian lagi menjadi anggota legislatif di DPR RI.

Para tokoh-tokoh yang tercantum dalam piagam deklarasi tersebut berasal ari

beberapa elemen penting yang turut berkontribusi dalam jaringan tarbiyah hingga

akhirnya membentuk sebuah kekuatan politik, elemen-elemen yang dimaksud adalah

Dewan Dakwah Islam Indonesia, elemen jaringan Lembaga Dakwah Kampus (LDK),

12

(43)

elemen alumnus Timur tengah, para aktivis ormas maupun kepemudaan Islam, serta

para dai-dai lulusan pesantren.

Para tokoh pendiri PKS yang tercantum dalam piagam deklarasi adalah :

1. Abdullah Baharmus, Lc., MA. 2. Achyar Eldine, SE

3. Ahmad Yani, Drs.

4. Ahmadi Sukarno, Lc., MAg 5. Ahzami Samiun Jazuli, MA, DR 6. Ali Akhmadi, MA

14.H. Abdul Jabbar Madjid MA 15.H.M Ridwan

28.Mohammad Idris Abdus Somad, MA, DR 29.Muhammad Aniq S, Lc

30.Muhammad Budi Setiawan, Drs 31.Muslim Abdullah, MA

32.Musoli, MSc, Drs

(44)

38.Sarah Handayani, SKM 39.Susanti

40.Suswono, Ir 41.Syamsu Hilal, Ir

42.Umar Salim Basalamah, SIP 43.Usman Effendi, Drs

44.Wahidah R Bulan, Dra 45.Wirianingsih, Dra 46.Yusuf Dardiri, Ir 47.Zaenal Arifin 48.Zufar Bawazier, Lc 49.Zulkieflimansyah, DR.

Sebagaimana dibahas dalam bab sebelumnya, para tokoh-tokoh pendiri PKS

yang tercantum dalam piagam deklarasi berasal dari elemen-elemen kelompok

tarbiyah. Elemen-elemen gerakan tersebut adalah13 :

1. Dewan Dakwah Islam Indonesia dengan tokoh utama M. Natsir. Mereka

yang masuk dari Dewan Dakwah Islam Indonesia adalah Abu Ridho,

Husein Umar dan Masyhadi.

2. Elemen Jaringan LDK sebagai tulang punggung tarbiyah dan sekolah

(ROHIS). Mereka yang termasuk dalam kelompok ini adalah : Achyar

Eldine, SE; Ir. Arlin Salim; Ir. Eddy Zanur, MSAE; Eman Sukirman, SE;

Ir. Ruly Tisnayuliansyah; Drs. Musoli, MSc; Ir. Suswono; Ir. Yusuf

Dardiri; Sarah Handayani, SKM; Ir. Syamsu Hilal; Ferry Noor, SSi; Drs.

Bali Pranowo; Drs. Haryo Setyoko, Dra. Herawati Noor; Imron Zabidi,

13

(45)

Mphil; Drs. Muhammad Budi Setiawan; P. Edy Kuncoro, SE. Ak; Ir.

Syamsu Hilal; Umar Salim Basalamah, SIP; Dr. Zulkieflimansyah.

3. Elemen para alumnus perguruan tinggi luar negeri, khusunya Timur

Tengah. Diantaranya adalah : Abdullah Baharmus, MA; Ahmadi Sukarno,

Lc., MAg; Dr. Ahzami Samiun Jazuli, MA; Ali Akhmadi, MA; Bukhori

Yusuf , MA; H. Abdul Jabbar Madjid MA; H.M. Nasir Zein, MA; Harjani

Hefni, Lc; M. Iskan Qolba Lubis, MA; Mohammad Idris Abdus Somad,

MA, DR; Muhammad Aniq S, Lc; Muslim Abdullah, MA; Musyafa

Ahmad Rahim, Lc; Nizamuddin Hasan, Lc; Zufar Bawazier, Lc

4. Para dai lulusan pesantren. Diantara mereka adalah : H.M Ridwan;

Kaliman Iman Sasmitha; M. Martri Agoeng; Muttaqin; Mahfudz

Abdurrahman; Rusdi Muchtar; Zaenal Arifin.

C. Paradigma dan Ideologi PKS

Sebagai partai politik, PKS memiliki tujuan yang hampir sama dengan partai

lain, yakni mewujudkan demokratisasi, memperjuangkan kejayaan negara, membela

kepentingan rakyat, menegakkan keadilan, meningkatkan kesejahteraan, memperbaiki

birokrasi dan yang penting mewujudkan agenda-agenda reformasi. Akan tetapi,

berbeda dengan partai lain, PKS adalah partai dakwah, dengan demikian memiliki

agenda-agenda Islami yang berbeda dengan agenda partai lain, lebih-lebih partai yang

(46)

Sebagaimana tercantum dalam visi dan misi Partai Keadilan Sejahtera14,

disebutkan bahwa visi umum PKS adalah “Sebagai partai dakwah penegak keadilan

dan kesejahteraan dalam bingkai persatuan ummat dan bangsa”. Lebih jauh visi ini

akan mengarahkan Partai Keadilan Sejahtera sebagai :

1. Partai dakwah yang memperjuangkan Islam sebagai solusi dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara.

2. Kekuatan transformatif dari nilai dan ajaran Islam di dalam proses

pembangunan kembali umat dan bangsa di berbagai bidang.

3. Kekuatan yang mempelopori dan menggalang kerjasama dengan berbagai kekuatan yang secita-cita dalam menegakkan nilai dan sistem Islam yang

rahmatan lil ‘alamin.

4. Akselerator bagi perwujudan masyarakat madani di Indonesia.

Sementara itu misi Partai Keadilan Sejahtera adalah :

1. Menyebarluaskan da'wah Islam dan mencetak kader-kadernya sebagai anashir

taghyir.

2. Mengembangkan institusi-institusi kemasyarakatan yang Islami di berbagai

bidang sebagai markaz taghyir dan pusat solusi.

3. Membangun opini umum yang Islami dan iklim yang mendukung bagi

penerapan ajaran Islam yang solutif dan membawa rahmat.

14

(47)

4. Membangun kesadaran politik masyarakat, melakukan pembelaan, pelayanan

dan pemberdayaan hak-hak kewarganegaraannya.

5. Menegakkan amar ma'ruf nahi munkar terhadap kekuasaan secara konsisten

dan terus-menerus dalam bingkai hukum dan etika Islam.

6. Secara aktif melakukan komunikasi, silaturahmi, kerjasama dan ishlah dengan

berbagai unsur atau kalangan umat Islam untuk terwujudnya ukhuwah

Islamiyah dan wihdatul-ummah, dan dengan berbagai komponen bangsa

lainnya untuk memperkokoh kebersamaan dalam merealisir agenda reformasi.

7. Ikut memberikan kontribusi positif dalam menegakkan keadilan dan menolak

kezaliman khususnya terhadap negeri-negeri muslim yang tertindas.

Dengan berdasar pada visi-misi tersebut dapat kita simpulkan bahwa : PKS

adalah murni partai dakwah yang berjuang melalui parlemen untuk menegakkan

nilai-nilai Islam yang berdasar pada al-Qur’an dan Sunnah. Meskipun, dalam

berbagai dokumen resmi yang dikeluarkan oleh partai menyatakan bahwa PKS

berasaskan pancasila, namun secara praktis-implementatif baik di tingkat eksekutif

maupun legislatif, PKS selalu mengedepankan nilai-nilai Islam dalam konteks

bernegara.

Kemudian, dengan mendasarkan pada visi-misi, tujuan utama berdirinya PKS

adalah menegakkan nilai dan sistem Islam sebagai rahmatan lil ‘alamiin. Poin ini akan menjadi kontrakdiktif jika kita melihat realitas bahwa PKS hidup dan

dibesarkan dalam sistem demokrasi. Kontradiksi ini hanya dapat dipahami apabila

(48)

akhirnya PKS harus menegakkan nilai-nilai demorasi yang mengharuskan adanya

keterbukaan, pluralisme dan inklusivisme. Bertolak belakang dengan hal ini, PKS

harus pula menegakkan nilai-nilai Islam yang seringkali bersifat ekskluif dibanding

inklusif.

Berkaitan dengan politik luar negeri PKS – sebagaimana tercantum dalam

visi-misi – dikatakan bahwa “ikut memberikan kontribusi positif dalam menegakkan

keadilan dan menolak kedhaliman khususnya terhadap negeri-negeri muslim yang

tertindas”. Secara praktis misi ini merupakan perwujudan dari solidaritas sesama

muslim atau lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa ini adalah merupakan perwujudan

dari “pan islamisme”, persatuan Islam yang dahulu pernah digagas oleh Jamaluddin

al-Afghani pada abad ke-19. Dapat dikatakan bahwa PKS adalah satu-satunya partai

yang secara tegas menyatakan perhatian mereka terhadap politik luar negeri, meski

hanya spesifik kepada Negara Islam. Ini dibuktikan oleh PKS dengan pembelaan

mereka terhadap situasi konflik Israel-Palestina, dalam bebrapa pernyataan resmi

mereka mendesak pemerintah Indonesia untuk secara aktif terlibat dalam konflik ini,

tekanan ini juga di tujukan kepada PBB melalui parlemen untuk berdiri di tengah

dalam konflik ini. Disamping itu, mereka juga kerap kali melakukan demonstrasi

dengan mengerahkan ratusan ribu kader mereka untuk turun kejalan menyuarakan

aspirasi, tujuannya agar suara umat Islam Indonesia dapat terdengar oleh dunia

Internasional terkait dengan konflik antara Israel-Palestina yang kian tak berujung.

Demi menjabarkan visi dan misi tersebut maka disusunlah strategi, sebagai

(49)

Sejahtera yang diterbitkan oleh Majelis Pertimbangan Pusat Partai Keadilan Sejahtera (2007) bahwa Strategi PKS sebagai partai dakwah (khuthuth ‘aridhah)

dalam transformasi berbangsa, adalah gerakan kultural (strategi mobilisasi

horizontal/tabi’ah al-afaqiyah) dan gerakan struktural (strategi mobilitas vertikal/tabi’ah al-amudiyah). Mobilitas vertikal adalah penyebaran kader dakwah ke berbagai lembaga yang menjadi mashadirul qarar (pusat-pusat kebijakan), agar mereka dapat menterjemahkan konsep dan nilai-nilai Islam ke dalam

kebijakan-kebijakan publik. Sedangkan mobilisasi horizontal adalah penyebaran kader dakwah

ke berbagai kalangan dan lapisan masyarakat untuk menyiapkan masyarakat agar

mereka menerima manhaj Islam serta produk kebijakan yang Islami. 15

Paradigma Partai Dakwah yang melekat pada PKS ini kemudian memberikan

pengaruh terhadap sikap mereka di parlemen. Menurut M. Imdadun Rahmat,

masuknya kader PKS dalam jajaran legislatif di pusat maupun di daerah

memunculkan suatu warna baru. Para anggota legislatif yang merupakan santri

jebolan pengajian tarbiyah ini menyuarakan gerakan moral di DPR. Mereka

mempraktikkan gaya hidup shaleh dengan ketaatan beribadah, kesantunan akhlak

serta menjauhi kemaksiatan yang melekat dengan dunia glamour kepartaian. Salah

satu bentuk gerakan moral ini adalah gebrakan politik parlementer melawan

korupsi16.

15

Majelis Pertimbangan Pusat partai Kedilan Sejahtera. Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera. (Jakarta: MPP Partai Keadilan Sejahtera, 2007), h. 17

16

(50)

Pada sisi lainnya, PKS adalah partai kader. Sebagaimana keyakinan PKS17

bahwa jawaban untuk melahirkan Indonesia yang lebih baik di masa depan adalah

dengan mempersiapkan kader-kader yang berkualitas baik secara moral, intelektual,

dan profesional. Sebagai partai kader PKS memiliki sistem kaderisasi kepartaian yang

sistematis dan metodik. Kaderisasi ini memiliki fungsi rekrutmen calon anggota dan

fungsi pembinaan untuk seluruh anggota, kader dan fungsionaris partai.

Fungsi-fungsi ini dijalankan secara terbuka melalui infrastruktur kelembagaan partai yang

tersebar dari tingkat pusat sampai tingkat ranting. Fungsionalisasi berjalan sepanjang

waktu selaras dengan tujuan dan sasaran umum partai, khususnya dalam bidang

penyiapan sumber daya manusia partai18.

Dalam konteks pengkaderan, PKS mempunyai dasar pemikiran bahwa untuk

mendapatkan kader yang tangguh maka diperlukan suatu pembinaan yang secara

khusus dengan cara bertahap. Adapun pentahapan tersebut yakni dengan membangun

kekuatan pribadi yang baik dapat melahirkan keluarga yang baik. Keluarga yang baik

dapat pula melahirkan masyarakat yang baik. Keluarga dan masyarakat yang baik

akan menciptakan lingkungan yang baik juga. Mengingat pembangunan sebuah

negara memerlukan pribadi dan masyarakat yang shaleh, yang layak memikul

amanah yang dibebankan kepadanya, maka pembangunan pribadi juga sesuatu yang

niscaya. Sebab, setiap individu bertanggung jawab karena ia adalah alat masyarakat

17

http://www.pk-sejahtera.org/v2/index.php?op=isi&id=110, artikel diakses tanggal 20 Maret 2010.

18

Gambar

Tabel 1

Referensi

Dokumen terkait

4.12 Partisipasi Perempuan Partai Keadilan Sejahtera di DPRD Kota Medan Peran perempuan dalam percaturan politik di DPRD Kota Medan menunjukkan. sedikit perubahan walau belum

Skripsi ini berjudul “Perkembangan dan Partisipasi Politik Partai Keadilan Sejahtera di Wilayah Sumatera Utara (1998-2014)”, semoga dengan adanya skripsi ini, peneliti

Partai Keadilan Sejahtera telah sah menjadi salah satu partai peserta Pemilu 2014 dengan nomor urut 3 (Keputusan KPU No:166/Kpts/KPU/Tahun 2013 Tentang Penetapan Nomor Urut

menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi saya yang berjudul POLITIK IDENTITAS MUSLIM KAMPUNG JAWA TERHADAP PARTAI KEADILAN SEJAHTERA DI KOTA DENPASAR adalah karya

Dari proses wawancara dengan berbagai sumber peneliti mendapatkan data- data seperti, data-data kepengurusan Partai Keadilan Sejahtera serta strategi politik yang digunakan

Keadilan Sejahtera di Kabupaten Batubara. Partisipasi politik perempuan dalam proses perumusan kebijakan mengenai. perempuan di Partai Nasdem dan Partai Keadilan Sejahtera

Penelitian ini beranjak dari realitas kemenangan Partai Keadilam Sejahtera (PKS) Kota Padang dalam pemilu legislatif 2004 yang lalu dengan menyisihkan partai politik lainnya

Partai Keadilan Sejahtera telah sah menjadi salah satu partai peserta Pemilu 2014 dengan nomor urut 3 (Keputusan KPU No:166/Kpts/KPU/Tahun 2013 Tentang Penetapan Nomor Urut