PENGARUH INTERAKSI PERADABAN ISLAM-BARAT DALAM PERANG SALIBTERHADAP IDE DEMOKRASI
(Studi Deskriptif Masa Renaissance Di Eropa)
RAMADHAN SYAH HARAHAP 070906061
DEPARTEMEN ILMU POLITK
FAKULTAS ILMU SOSOIAL DAN ILMU POLITIK
UNVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK
RAMADHAN SYAH HARAHAP (070906061)
PENGARUH INTERAKSI PERADABAN ISLAM-BARAT DALAM PERANG SALIBTERHADAP IDE DEMOKRASI
(Studi Deskriptif Masa Renaissance di Eropa)
Rincian isi Skripsi ix, 114 halaman, 62 buku. (Kisaran buku dari tahun 1837-2013)
ABSTRAK
Penelitian ini mencoba menggambarkan pengaruh interaksi peradaban Islam dengan peradaban Barat terhadap ide demokrasi. Peradaban Barat merupakan masyarakat baru dari suku-suku barbar belahan utara Eropa yang berhasil menaklukkan bagian barat Kekaisaran Romawi. Suku-suku tersebut kemudian menjadi identitas baru bersatu di bawah nama Kekaisaran Romawi Suci. Beratus-ratus tahun masyarakat tersebut berada di bawah kekuasaan Paus hingga akhirnya mengalami perubahan secara perlahan setelah peradaban Islam berkembang pesat di bagian barat benua Eropa, Spanyol. Perubahan dalam masyarakat Barat dipengaruhi dari adanya interaksi antar kedua peradaban dalam bentuk kerja sama dan konflik.
Ide demokrasi merupakan warisan dari peradaban Yunani Klasik. Berabad-abad setelah peradaban tersebut runtuh, tulisan-tulisan lama dari Yunani Klasik dikenalkan oleh sraja-sarjana Muslin kepada masyarakat Barat. Pemikiran-pemikan para filsuf Yunani Klasik telah memberikan pandangan baru bagi masyarakat Barat tentang negara dan kebebasan yang berkontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan politik. Perubahan tersebut diawali dengan suatu gerakan yang mereka sebut sebagai kelahiran kembali filsafat Yunani, Renaissance. Konflik-konflik yang terjadi, khususnya Perang Salib, telah mempercepat proses perubahan tersebut.
UNIVERSITY OF NORTH SUMATERA
FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE
RAMADHAN SYAH HARAHAP (070906061)
INTERACTION OF ISLAM-WEST CIVILIZATIONIN THE CRUSADE: ITS IMPACTON DEMOCRACY
(The Study of Renaissance in Europe)
Content: ix, 114 pages, 62 books. (Publication from 1837-2013)
ABSTRACT
This research tries to describe Islamic civilization interaction with Western civilization and its effect on idea of democracy. Western civilization is a new community of barbarian tribes from northern Europe who managed to conquer the western part of the Roman Empire. These tribes later became a new identity that united under the name of the Holy Roman Empire. Hundred years, that society run under the reign of the Pope which finally change slowly after the Islamic civilization thrived in the western part of Europe, Spain. The transformation in Western society was influenced by this interaction in the form of cooperation and conflict.
The idea of democracy is a legacy of Ancient Greek civilization. After many centuries as from the fall of Ancient Greek, the old literature from that civilization introduced by Muslim scholars to Western society. Ideas fromAncient Greek philosophersgave them a new perspectiveabout political system and freedom that contribute in the evolution of science and political change. The change begun with a movement that they named with the rebirth of Greek philosophy, Renaissance. With all those conflicts in their society, especially the Crusades, has accelerated the revolution.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
Halaman Pengesahan
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan panitia penguji skripsi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
Dilaksanakan pada:
Hari : Kamis Tanggal : 27 Juni 2013 Pukul : 10.00 WIB
Tempat : Ruang Sidang FISIP USU
Tim Penguji:
Ketua :
Dra. T. Irmayani, M.Si
NIP. 196806301994032001 ( )
Anggota I :
Drs. Zakaria Thaher, M.SP ( )
NIP. 195801151986011002
Anggota II :
Adil Arifin, S.Sos, MA ( )
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
Halaman Persetujuan
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh
Nama : Ramadhan Syah Harahap NIM : 070906061
Departemen : Ilmu Politik
Judul : Pengaruh Interaksi Peradaban Islam-Barat Dalam Perang Salib Terhadap Ide Demokrasi
(Studi Deskriptif Masa Renaissance di Eropa)
Menyetujui: Ketua
Departemen Ilmu Politik,
Dra. T. Irmayani, M.Si NIP. 196806301994032001
Dosen Pembimbing, Dosen Pembaca,
(Drs. Zakaria Thaher, M.SP) (Adil Arifin, S.Sos, MA) NIP. 195801151986011002 NIP. 198302162010121003
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim. Alhamdulillaahirobbil’alamiin.Allohumma
sholli‘alaa Muhammadwa ‘alaa alihi wa shohbihi ajma’iin. Akhirnya penulis
telah menyelesaikan studi ini berupa penulisan skripsi dengan judul “Pengaruh
Interaksi Peradaban Islam-Barat Dalam Perang Salib Terhadap Ide Demokrasi
(Studi Deskriptif Masa Renaissance di Eropa)” yang dikerjakan selama satu
tahun. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada Dosen
Pembimbing, Dosen Pembaca serta Dosen Penasehat Akademik. Penulis juga
berterimakasih kepada Dekan, Pembantu Dekan, Ketua Departemen serta staff
pengajar dan pegawai di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, khususnya para
pengajar di Departemen Ilmu Politik. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan
kepada semua kawan-kawan mahasiswa di Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat adanya
kemungkinan kesalahan dan kekurangan dengan adanya berbagai keterbatasan
baik kemampuan, pengalaman, waktu, dan dana dalam penulisan skripsi ini. Oleh
karena itu, penulis dengan tangan terbuka menerima berbagai kritikan terhadap
tulisan ini dari para pembaca untuk menyempurnakan tulisan ini. Dan untuk setiap
kritikan tersebut penulis mengucapkan terimakasih.
Medan, 27 Juni 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ... i
Abstrak ... ii
Abstract ... v
Halaman Pengesahan ... iv
Halaman Persetujuan ... v
Lembar Persembahan ... vii
Kata Pengantar ... viii
Daftar Isi ... ix
BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Batasan Masalah ... 6
D. Tujuan Penelitian ... 6
E. Manfaat Penelitian ... 6
F. Kerangka Teori ... 7
G. Metodologi Penelitian ... 32
BAB II Sejarah Peradaban Islam dan Peradaban Barat Pada Abad Pertengahan A. Sejarah Peradaban Barat ... 35
BAB III Pengaruh Interaksi Peradaban Islam-Barat
Dalam Perang Salib Terhadap Ide Demokrasi
A. Interaksi Islam-Barat dalam Kerja Sama dan Konflik ... 86
B. Pengaruh Interaksi Terhadap Ide Demokrasi ... 92
BAB IV Penutup
A. Kesimpulan ... 110
B. Implikasi Teoritis ... 113
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK
RAMADHAN SYAH HARAHAP (070906061)
PENGARUH INTERAKSI PERADABAN ISLAM-BARAT DALAM PERANG SALIBTERHADAP IDE DEMOKRASI
(Studi Deskriptif Masa Renaissance di Eropa)
Rincian isi Skripsi ix, 114 halaman, 62 buku. (Kisaran buku dari tahun 1837-2013)
ABSTRAK
Penelitian ini mencoba menggambarkan pengaruh interaksi peradaban Islam dengan peradaban Barat terhadap ide demokrasi. Peradaban Barat merupakan masyarakat baru dari suku-suku barbar belahan utara Eropa yang berhasil menaklukkan bagian barat Kekaisaran Romawi. Suku-suku tersebut kemudian menjadi identitas baru bersatu di bawah nama Kekaisaran Romawi Suci. Beratus-ratus tahun masyarakat tersebut berada di bawah kekuasaan Paus hingga akhirnya mengalami perubahan secara perlahan setelah peradaban Islam berkembang pesat di bagian barat benua Eropa, Spanyol. Perubahan dalam masyarakat Barat dipengaruhi dari adanya interaksi antar kedua peradaban dalam bentuk kerja sama dan konflik.
Ide demokrasi merupakan warisan dari peradaban Yunani Klasik. Berabad-abad setelah peradaban tersebut runtuh, tulisan-tulisan lama dari Yunani Klasik dikenalkan oleh sraja-sarjana Muslin kepada masyarakat Barat. Pemikiran-pemikan para filsuf Yunani Klasik telah memberikan pandangan baru bagi masyarakat Barat tentang negara dan kebebasan yang berkontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan politik. Perubahan tersebut diawali dengan suatu gerakan yang mereka sebut sebagai kelahiran kembali filsafat Yunani, Renaissance. Konflik-konflik yang terjadi, khususnya Perang Salib, telah mempercepat proses perubahan tersebut.
UNIVERSITY OF NORTH SUMATERA
FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE
RAMADHAN SYAH HARAHAP (070906061)
INTERACTION OF ISLAM-WEST CIVILIZATIONIN THE CRUSADE: ITS IMPACTON DEMOCRACY
(The Study of Renaissance in Europe)
Content: ix, 114 pages, 62 books. (Publication from 1837-2013)
ABSTRACT
This research tries to describe Islamic civilization interaction with Western civilization and its effect on idea of democracy. Western civilization is a new community of barbarian tribes from northern Europe who managed to conquer the western part of the Roman Empire. These tribes later became a new identity that united under the name of the Holy Roman Empire. Hundred years, that society run under the reign of the Pope which finally change slowly after the Islamic civilization thrived in the western part of Europe, Spain. The transformation in Western society was influenced by this interaction in the form of cooperation and conflict.
The idea of democracy is a legacy of Ancient Greek civilization. After many centuries as from the fall of Ancient Greek, the old literature from that civilization introduced by Muslim scholars to Western society. Ideas fromAncient Greek philosophersgave them a new perspectiveabout political system and freedom that contribute in the evolution of science and political change. The change begun with a movement that they named with the rebirth of Greek philosophy, Renaissance. With all those conflicts in their society, especially the Crusades, has accelerated the revolution.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Demokrasi yang dikenal pada Abad 21 merupakan suatu sistem
pemerintahan. Demokrasi tidak dirancang untuk efisiensi, akan tetapi untuk
pertanggungjawaban akan suatu kebijakan. Pemerintahan yang diktator, kebijakan
dapat diambil tanpa perlu melakukan diskusi yang lama seperti dalam
pemerintahan yang demokratis. Namun, kebijakan dalam pemerintahan yang
demokratis merupakan kepentingan bersama setiap inividu yang berada di
dalamnya karena didasarkan pada suara terbanyak. Dengan kata lain, sekalipun
kebijakan tersebut belum tentu dapat menyelesaikan masalah bahkan merugikan
negara tersebut tetap mendapat dukungan publik.
Ide demokrasi merupakan satu ideologi politik yang berprinsip kepada
persamaan hak, kebebasan dan keadilan. Ide demokrasi ini diwujudkan menjadi
suatu sistem pemerintahan yang digunakan oleh suatu negara dengan adanya
pembagian kekuasaan negara. Hal itu dimaksudkan untuk menjamin persamaan
hak, kebebasan serta tegaknya keadilan. Demokrasi dikenalkan ke seluruh dunia
pada Abad 21 melalui negara Amerika Serikat setelah berakhirnya Perang Dunia
Kedua sebagai satu gagasan yang menjunjung tinggi persamaan, kebebasan dan
keadilan.
Sejarah negara Amerika Serikat dalam kaitannya dengan ide demokrasi
telah mengalami peristiwa penting yang menjadi pemicu diterapkannya gagasan
tersebut, yaitu Perang Sipil antara negara-negara di utara dan negara-negara di
selatan. Negara di belahan utara menginginkan dihapuskannya perbudakan
bersikeras mempertahankannya. Karena adanya perbedaan ini, negara-negara di
belahan selatan ingin memisahkan diri dari Negara Perserikatan. Perang
dimenangkan oleh negara belahan utara dan perbudakan dihapuskan. Presiden saat
itu adalah Abraham Lincoln yang sesuai dengan pidatonya menegaskan kembali
bahwa negara-negara di belahan utara dan selatan tetap masih dalam kesatuan
politis, yang pemerintahannya berasal dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat.
Pernyataan presiden tersebut bermakna penegasan tentang persamaan hak
manusia. Sebuah negara dengan pemerintahan yang setiap warga memiliki hak
untuk ikut di dalamnya dalam menentukan berbagai kebijakan-kebijakan yang
ditujukan kepada individu itu sendiri. Adanya nilai-nilai tersebut tidak terlepas
dari sejarah masyarakat Barat pada Abad Pertengahan yang mengalami
perkembangan dalam ilmu pengetahuan, khususnya filsafat. Para filsuf Barat telah
mengemukakan berbagai pemikiran mereka tentang negara dan sistem
pemerintahan yang terbaik, seperti Thomas Hobbes, John Locke, Montesquieu,
dan Jean Jacques Rousseau. Kehadiran para filsuf tersebut beserta pemikirannya
berawal dari gerakan Renaissance.
Menurut catatan sejarah, Renaissance adalah suatu periode yang
berlangsung selama 25 sampai 50 tahun dan secara umum dapat dikatakan
berpusat pada sekitar tahun 1500. Era ini dapat digambarkan sebagai kebangkitan
jenius dari dunia seni, pemikiran, dan literatur yang menarik Eropa keluar dari
kegelapan intelektual di Masa Kegelapan. Renaissance bukan merupakan suatu
evolusi perluasan dari Masa Kegelapan yang terjadi secara alami, namun lebih
merupakan sebuah revolusi budaya; sebuah reaksi atas kekakuan pemikiran dan
tradisi di era sebelumnya.
Secara defenitif, kata “renaissance” bermakna kebangkitan atau kehidupan
kembali. Periode yang dikenal sebagai Renaissance dipandang sebagai suatu
penemuan kembali pencerahan yang terjadi pada masa keemasan peradaban
sementara di era ini dapat ditemukan banyak orang membaca literatur klasik dan
mempertimbangkan kembali pemikiran-pemikiran klasik, inti sesungguhnya dari
Renaissance melibatkan sejumlah besar inovasi dan penemuan. Banyak
universitas-universitas dibuka di seluruh Eropa, dan ada kebutuhan mendesak
untuk penyebarluasan gagasan.1
1
Megandaru W Kawuran. 2008. Kamus Politik Modern. Yogyakarta: Pura Pustaka. Hlm. 687.
Renaissance merupakan sejarah penting karena era ini dengan segera dan
menyeluruh telah berhasil mempengaruhi jalannya begitu banyak aspek sejarah
peradaban Barat. Dan saat ini, abad 21 telah dipengaruhi oleh peradaban Barat
baik dari ilmu pengetahuan dan teknologi ataupun dari nilai-nilai yang dianut oleh
kebanyakan masyarakat di dunia.
Pada awalnya penulis memahami bahwa kebangkitan masyarakat Barat
(Renaissance) adalah berkat tokoh-tokoh Barat pada abad 12-16 M.
Pemikir-pemikir Barat seperti Copernicus misalnya, dianggap sebagai pencetus
kebangkitan masyarakat Barat tanpa pengaruh peradaban lain. Sebutan Abad
Kegelapan sekitar abad ke 5-10 M di Eropa oleh para ahli sejarah dan ilmuwan
memiliki alasan, yaitu sedikitnya dokumentasi yang dapat memberitahukan
kepada masyarakat Abad 21 tentang keadaan abad tersebut. Bisa dikatakan pada
saat itu begitu kosongnya tradisi ilmiah sampai-sampai hanya segelintir manusia
yang mau menulis. Dan sekitar abad ke 6 M, sebuah peradaban baru muncul yang
berkembang begitu cepat dari daerah padang pasir yang tandus yang jauh dari
wilayah Eropa, yaitu di Hijaz Arab (sebutan untuk semenanjung Arabia). Hanya
dalam waktu kurang dari 25 tahun sesosok manusia, Muhammad bin Abdullah,
mampu membawa kehidupan barbar yang tidak mengenal budaya membaca dan
menulis menuju peradaban yang gemilang di Kota Madinah (sebuah kota yang
dilandasi oleh persamaan hak dan sistem musyawarah). Dalam kepercayaan
Setelah kematian NabiMuhammad SAW, banyak muslim (sebutan untuk
orang yang memegang ajaran Islam) yang hidup untuk mencari ilmu pengetahuan.
Al-Quran (kitab suci sebagai pedoman hidup bagi muslim) dan Sunnah (segala
perkataan dan perilaku yang dicontohkan oleh Muhammad sebagai pedoman
hidup bagi muslim) menjadi kajian utama.Dalam motivasi menyebarkan ajaran
Islam, melalui perdagangan sampai pada penaklukan peradaban-peradaban lain
yang berkuasa dengan kesewenang-wenangan terhadap rakyatnya, mereka
mengembangkan ilmu-ilmu keduniaan dari peradaban lain. Terjadi interaksi
peradaban Islam dengan peradaban Persia, India, Cina dan Yunani melalui
Romawi (selanjutnya disebut dengan peradaban Barat).
Sebelum masa Renaissance di Eropa, ketika peradaban Barat masih berada
dalam otoritas Gereja, ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam di Timur Tengah
mengalami perkembangan yang cepat sebagai konsekuensi bagi muslim untuk
mempelajari ilmu pengetahuanberdasarkan wahyu pertama yang berisi perintah
untuk membaca dengan keimanan terhadap adanya Tuhan yang menciptakan
manusia dari segumpal darah dan membaca dengan mengangungkan Tuhan yang
mengajar manusia dengan perantara qolam (pena), yang mengajarkan kepada
manusia apa yang tidak diketahui. Ilmu pengetahuan dipelajari dari penerjemahan
manuskrip Yunani, India dan Cina ke dalam bahasa Arab di Baghdad pada abad
ke 8 M yang melahirkan para astronom, fisikawan, filsuf, ahli matematika, ahli
kimia. Pengetahuan ini kemudian dibawa ke Cordoba (Spanyol) hingga
mempengaruhi masyarakat Barat seperti Thomas Aquinas dan Nicolaus
Copernicus.2
Dalam konteks kelahiran dan perkembangan peradaban Barat itu, Roger
Garaudy menyebut tiga pilar peradaban Barat. Yaitu, peradaban Yunani-Romawi,
Judeo Kristiani, dan Islam.3
2
John Freely. 2011. Cahaya dari Timur: Peran Ilmuwan dan Sains Islam Dalam Membentuk Dunia Barat. Jakarta: Elex Media Komputindo. Hlm. 328-343.
3
Roger Garaudy. 1984. Janji-Janji Islam terj. Prof. H.M. Rasyidi. Jakarta: Bulan Bintang. Hlm. 11.
memberikan dampak bagi masyarakat Barat dalam hal ilmu pengetahuanwalaupun
kebanyakan masyarakat Barat pada awalnyamengatakan bahwa pemikir-pemikir
Barat pada masa Renaissance tidak dipengaruhi oleh pemikir-pemikir Islam pada
abad Pertengahan. Barat selama ratusan tahun menyangkal kontribusi warisan
intelektual peradaban Islam ini. Hanya baru-baru ini saja mulai muncul banyak
sarjana kritis Barat secara objektif memperlihatkan bahwa Islam ternyata berperan
penting menumbuhkan tradisi keilmuan dan peradaban Barat. Di antara mereka
adalah Roger Garaudy, Bernard Lewis, Maurice Bucaille, Marcel Boisard,
Bertrand Russel, Louis Masignon, dan lain-lain.4
1. Bagaimana pengaruh interaksi peradaban Islam dengan peradaban Barat dalam
Perang Salib terhadap perkembangan ide demokrasi?
Ide demokrasi sebagai gagasan yang berasal dari peradaban Barat yang
kemudian diadopsi oleh seluruh dunia, menjadikan penulis tertarik untuk melihat
bagaimana peradaban Islam mempengaruhi munculnya kembali ide
demokrasidalam peradaban Barat. Penulis melihat dari rentangan waktu, ada
interaksi peradaban Barat dengan peradaban Islam.Dalam hal ini, penulis
membahas interaksi kedua peradaban tersebut dalam Perang Salib karena menurut
penulis telah terjadi interaksi dalam perang tersebut yang kemudian menyebabkan
masyarakat Barat untuk mempertimbangkan kembali tentang otoritas Gereja di
Eropa melalui gerakan Renaissance.
B.Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
4
C.Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana interaksi peradaban Islam denganperadaban Baratpada Abad
Pertengahan?
2. Bagaimana pengaruh interaksi tersebut terhadap perkembangan ide demokrasi?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk melihat interaksi peradaban Islamdengan peradaban Baratpada Abad
Pertengahan.
2. Untuk melihat pengaruh interaksi tersebut terhadap perkembanganide
demokrasi.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini ditujukan kepada:
1. Ilmu Pengetahuan; tulisan ini diharapkan menjadi sumbangan dalam dunia
ilmu pengetahuan sebagai literatur yang dapat dipertanggungjawabkan
khususnya tentang studi ilmu politik yang berfokus ide demokrasi dalam
peradaban Barat.
2. Departemen Ilmu Politik yang merupakan bagian dari Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara, tulisan ini diharapkan menjadi
bahan yang dapat digunakan dalam proses belajar-mengajar di lingkungan
3. Masyarakat, tulisan ini diharapkan menjadi literatur untuk menambah wawasan
bagi masyarakat yang berminat terhadap studi ilmu politik; agar menambah
wawasan dan informasi mengenai ide demokrasidalam peradaban Barat.
F. Kerangka Teori
1. Interaksi Sosial
Interaksi sosial diartikan di sini sebagai suatu tindakan timbal balik antara
dua orang atau lebih melalui suatu kontak dan komunikasi. Suatu tindakan
timbal-balik, oleh karena itu, tidak mungkin terjadi apabila tidak dilakukan oleh dua
orang atau lebih. Kontak dipandang sebagai tahap permulaan untuk terjadinya
interaksisosial. Kontak merupakan kata serapan dari bahasa Latin, yaitu con atau
cum dan tango. Con diartikan sebagai bersama-sama, sedangkan tango bermakna
menyentuh. Dengan demikian, secara harfiah makna dari kontak adalah
bersama-sama menyentuh.
Interaksi sosial belum terjadi apabila hanya ada kontak tanpa diiringi
dengan komunikasi. Kata komunikasi yang diserap dari bahasa Inggris,
communication, berakar dari perkataan bahasa Latin, yaitu communico memiliki
makna sebagai membagi, communis berarti membuat kebersamaan, communicare
yang maknanya berunding atau bermusyawarah, atau communicatio yang
memiliki arti sebagai pemberitahuan, penyampaian atau pemberian.5
Interaksi sosial dapat dilakukan antar individu dengan individu, individu
dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok.Berlangsungnya suatu proses
interaksi didasarkan pada berbagai faktor, antara lain, faktor imitasi, sugesti,
identifikasi dan simpati. Faktor-faktor tersebut dapat bergerak sendiri-sendiri
secara terpisah maupun dalam keadaan tergabung.6
5
Ibid. Hlm. 1-4.
6
SoerjonoSoekanto. 2005. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.Hlm. 63.
dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition) dan bahkan
dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict).7
Pruitt dan Rubin juga mengemukakan ada tiga fungsi positif dari konflik.
Pertama, konflik sebagai persemaian yang subur bagi terjadinya perubahan sosial.
Masyarakat menganggap situasi yang dihadapinya tidak adil atau mengganggap
bahwa kebijakan yang berlaku tidak masuk akal biasanya mengalami
pertentangan dengan aturan yang berlaku sebelumnya. Dengan kata lain, jika
kebijakan baru yang dianggap oleh masyarakat tidak masuk akal tersebut
dibatalkan maka konflik dapat dihindari begitu juga dengan perubahan. Kedua,
konflik memfasilitasi tercapainya rekonsiliasi atas berbagai kepentingan.
Kebanyakan konflik tidak berakhir dengan kemenangan di salah satu pihak dan
kekalahan di pihak lainnya. Sebaliknya, beberapa sintesis dari posisi kedua belah
pihak yang bertikai --- beberapa di antaranya berupa kesepakatan yang bersifat Ketiga bentuk interaksi tersebut, pertentangan atau konflik adalah bentuk
interaksi yang sesuai dengan penelitian ini, yakni Perang Salib sebagai konflik.
Menurut Webster (1966), istilah “conflict” di dalam bahasa aslinya berarti suatu
“perkelahian, peperangan, atau perjuangan” --- yaitu berupa konfrontasi fisik
antara beberapa pihak. Tetapi arti kata itu kemudian berkembang dengan
masuknya “ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan,
ide, dan lain-lain”. dengan kata lain, istilah tersebut sekarang juga menyentuh
aspek psikologis di balik konfrontasi fisik yang terjadi, selain konfrontasi fisik itu
sendiri. Secara singkat, istilah “conflict” menjadi begitu meluas sehingga beresiko
kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal. Sedangkan Pruit dan Rubin
mendefinisikan konflik dengan mengambil suatu makna terbatas berdasarkan
defenisi Webster yang kedua, yaitu konflik berarti persepsi mengenai perbedaan
kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa
aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan.
7
integratif --- yang menguntungkan kedua belah pihak dan memberikan manfaat
kolektif yang lebih besar bagi para anggotanya sering kali terjadi. Ketiga, konflik
dapat mempererat persatuan kelompok. Tanpa adanya kapasitas perubahan sosial
atau rekonsiliasi atas kepentingan individual yang berbeda, maka solidaritas
kelompok tampaknya akan merosot.8
Ketiga, tidak adanya alternatif yang dapat diterima semua pihak.
Memiliki aspirasi yang tinggi dan berkeyakinan bahwa pihak lain juga memiliki
aspirasi yang tinggi adalah aspek yang diperlukan bagi persepsi mengenai konflik Pada Bab 2 dalam bukunya, Pruitt dan Rubin menjelaskan
sumber-sumber (penyebab, penulis) konflik. Pertama, adanya determinan tingkat
aspirasi. Aspirasi bangkit dan kemudian menghasilkan konflik karena salah satu
dari dua alasan, yaitu masing-masing pihak memiliki alasan untuk percaya bahwa
mereka mampu mendapatkan sebuah objek bernilai untuk diri mereka sendiri atau
mereka percaya bahwa mereka berhak memiliki objek tersebut. Pertimbangan
pertama bersifat realistis, sedangkan yang kedua bersifat idealistis.
Masing-masing pertimbangan dapat timbul melalui bermacam-macam cara, yaitu
berdasarkan prestasi masa lalu, persepsi mengenai kekuasaan, aturan dan norma,
pembandingan dengan orang lain, dan terbentuknya kelompok pejuang (struggle
group).
Kedua, adanya determinan persepsi tentang aspirasi pihak lain. Hanya
karena memiliki aspirasi yang tinggi semata-mata tidak cukup dapat
menyebabkan orang terlibat di dalam konflik. Suatu pihak pun harus percaya
bahwa pihak lain juga memiliki aspirasi yang tinggi, sehingga tidak
memungkinkan kedua belah pihak mencapai aspirasi masing-masing. Bila aspirasi
pihak lain rendah atau bersifat fleksibel, maka aspirasi tersebut tidak dianggap
sebagai ancaman bagi pihak yang bersangkutan, sehingga tidak akan terjadi
konflik.
8
kepentingan, tetapi itu saja tidak cukup. Suatu pihak juga harus memiliki persepsi
bahwa aspirasi kedua belah pihak tidak kompatibel satu sama lain. Ini adalah
masalah persepsi mengenai alternatif --- yang dapat digunakan untuk mencapai
sebuah keadaan yang dapat diterima semua pihak.9
2. Hakikat Peradaban
Di Indonesia, sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang
mensinonimkan dua kata kebudayaan (Arab, al-Tsaqafah; Inggris, culture) dan
peradaban (Arab, al-Hadharah; Inggris, civilization). Dalam perkembangan ilmu
antropologi sekarang, kedua istilah itu dibedakan. Kebudayaan adalah bentuk
ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan,
manifestasi-manifestasi kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban.
Kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, religi (agama),
dan moral, maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi, dan teknologi.
Menurut Koenjtaraningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga
wujud, (1) wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya, (2) wujud
kelakukan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan
berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) wujud benda, yaitu wujud
kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya. Sedangkan, istilah peradaban
biasanya dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang
halus dan indah. Menurutnya, peradaban sering juga dipakai untuk menyebut
suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa,
sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.10
Penjelasan lebih luas mengenai konsep peradaban, penulis mengacu pada
tulisan Samuel P. Huntington dalam bukunya “Benturan Antarperadaban dan
9
Ibid. Hlm. 21-39.
10
Masa Depan Politik Dunia”, dia menjelaskan bahwa konsep peradaban dapat
dipahami sebagai berikut.
Pertama, sebuah pembedaan dapat ditemukan di antara pelbagai
peradaban, baik singular (tunggal, penulis) maupun plural (banyak, penulis). Ide
tentang peradaban dikembangkan oleh pemikir Perancis abad XVIII, yang
memperlawankannya dengan konsep “barbarisme.” Masyarakat yang telah
berperadaban dibedakan dari masyarakat primitif karena mereka adalah
masyarakat urban, hidup menetap, dan terpelajar. Berperadaban adalah baik, tidak
berperadaban adalah buruk. Konsep peradaban menyajikan sebuah ‘tolok ukur’
yang dapat dijadikan acuan dalam memberikan penilaian terhadap pelbagai
(dinamika kehidupan) masyarakat, yang selama abad XIX, orang-orang Eropa
banyak melakukannya melalui upaya-upaya intelektual, diplomatis, dan politis
dalam mengelaborasi kriteria yang diterapkan pada masyarakat-masyarakat
non-Eropa yang dapat mereka anggap sebagai “masyarakat yang telah berperadaban”
dan mereka terima sebagai bagian dari sistem yang mendunia dalam tatanan
masyarakat Eropa. Pada saat yang bersamaan, orang-orang mulai berbicara
tentang peradaban dalam konteks plural. Hal ini berarti adanya “penolakan
terhadap suatu peradaban yang dirumuskan sebagai sebuah pandangan hidup, atau
sesuatu yang lebih dari itu” dan sebuah asumsi yang menyatakan bahwa terdapat
tolok ukur tunggal bagi apa yang disebut sebagai ‘berperadaban,’ “tersaring,”
dalam kata-kata Braudel, “untuk sebuah privilege (hak istimewa, penulis) dari
sekelompok orang atau ‘elite’ tertentu.” Sekalipun terdapat pelbagai bentuk
peradaban singular, namun “ia telah kehilangan sebagai identitasnya,” dan sebuah
peradaban dalam pengertian plural dapat saja disebut sebagai “tidak cukup
berperadaban´dalam konteks singular.
Kedua, sebuah peradaban, kecuali di Jerman, adalah sebuah entitas
kultural. Para pemikir Jerman abad XIX membedakan secara tajam antara
masing-masing peradaban dikarenakan pelbagai faktor, seperti faktor-faktor mekanis,
pandangan hidup, kualitas-kualitas intelektual dan moral yang lebih tinggi dari
suatu masyarakat. Pembedaan ini hanya dapat dijumpai di Jerman, tetapi tidak di
luar Jerman. Beberapa antropolog bahkan telah menarik ke belakang hubungan
antar-kebudayaan dan menyatakan bahwa kebudayaan-kebudayaan
masyarakat-masyarakat nonurban yang dicirikan sebagai primitf, tidak berubah, sedangkan
masyarakat-masyarakat urban yang telah berperadaban, berkembang dinamis dan
lebih kompleks. Upaya-upaya ini dimaksudkan untuk membedakan antara
kebudayaan dengan peradaban, yang bagaimanapun juga, tidak dapat ditemukan
baik di Jerman ataupun di luar Jerman. Dalam hal ini, sejalan dengan pendapat
Braudel bahwa “tidak mungkin, dalam konteks Jerman, untuk meisahkan
kebudayaan dari bangunan dasarnya, peradaban.”
Seluruh faktor objektif yang merumuskan pelbagai corak peradaban,
bagaimana-pun juga, yang terpenting, pada umunya, adalah faktor agama,
sebagaimana ditekankan oleh orang-orang Athena. Pada tataran yang luas, dalam
sejarah manusia, peradaban-peradaban besar umumnya identik dengan
agama-gama besar dunia; dan orang-orang yang memiliki kesamaan etnis dan bahasa
namun berbeda agama bisa saja saling membunuh satu sama lain, sebagaimana
yang terjadi di Lebanon, Yugoslavia, dan Anak Benua (Subcontinent).
Sebuah hubungan penting yang ada dalam kaitan dengan pembagian
masyarakat dan karakteristik budaya ke dalam pelbagai corak perdaban dan
pembagian mereka melalui karakteristik fisikal ke dalam pelbagai suku bangsa.
Sekalipun demikian, peradaban dan suku bangsa (ras) tidak identik. Orang-orang
yang memiliki kesamaan ras dapat benar-benar terpisahkan melalui peradaban;
orang-orang yang memiliki perbedaan ras dapat dipersatukan melalui peradaban.
Utamanya, melalui dua agama besar, Kristen dan Islam yang mampu menaungi
kelompok-kelompok masyarakat yang berasal dari pelbagai suku bangsa.
Pembedaan krusial antara pelbagai golongan manusia berkaitan dengan nilai-nilai,
keyakinan-keyakinan, institusi-institusi, dan struktur-struktur sosial mereka,
Ketiga, setiap peradaban selalu bersifat komprehensif yang tidak satu pun
dari konstituen kesatuannya dapat sepenuhnya terpahami tanpa mengacu pada
cakupan (wilayah) peradaban. Peradaban adalah entitas paling luas dari budaya.
Perkampungan-perkampungan, wilayah-wilayah, kelompok-kelompok etnis,
nasionalitas-nasionalitas, pelbagai kelompok keagamaan, seluruhnya memiliki
perbedaan kultur pada tingkatan yang berbeda dari heterogenitas kultural. Kultur
dari sebuah perkampunagn di selatan Italia barangkali berbeda dari kultur dari
sebuah perkampungan di utara Italia. Namun, secara umum, keduanya sama-sama
memiliki kultur Italia yang membedakan mereka dari (kultur)
perkampungan-perkampungan Jerman. Komunitas-komunitas Eropa, sebaliknya, akan memiliki
pelbagai budaya yang sama yang membedakan mereka dari komunitas-komunitas
Cina dan Hindu. Orang-orang Cina, Hindu, dan orang-orang Barat, bagaimanapun
juga, bukanlah bagian dari pelbagai entitas kultural yang lebih luas. Mereka
menegakkan peradaban-peradaban. Sebuah peradaban adalah bentuk budaya
paling tinggi dari suatu kelompok masyarakat dan tataran yang paling luas dari
identitas budaya kelompok masyarakat manusia yang dibedakan secara nyata dari
makhluk-makhluk lainnya. Ia terdefinisikan baik dalam faktor-faktor objektif
pada umumnya, seperti bahasa, sejarah, agama, kebiasaan-kebiasaan,
institusi-institusi, maupun identifikasi diri yang bersifat subjektif. Setiap masyarakat
memiliki pelbagai tingkatan identitas: seorang penduduk Roma barangkali akan
mengidentifikasikan diri sebagai orang Roma, orang Italia, seorang Katolik,
seorang Kristen, sebagai orang Eropa, orang Barat. Peradaban memiliki tingkatan
identifikasi yang sangat luas yang dengannya seseorang mengidentifikasikan diri
secara kuat. Peradaban-peradaban besar dimana “kita” berada di dalamnya, secara
kultural menjadikan kita bagai di rumah sendiri dan dibedakan dari “mereka”
yang berada di “luar sana.” Peradaban-peradaban bisa jadi melibatkan pelbagai
kelompok masyarakat dalam jumlah yang besar, seperti peradaban Cina, atau
Keempat, peradaban-peradaban bersifat fana namun juga hidup sangat
lama; ia berkembang, beradaptasi dan sangat berpengaruh terhadap kehidupan
manusia, “realitas-realitas yang benar-benar dapat bertahan dalam waktu lama.”
“Keunikan dan esensi utama”-nya adalah kontinuitas historisnya yang panjang.
Peradaban adalah fakta kesejarahan yang membentang dalam kurun waktu yang
sangat panjang.” Kekuasan-kekuasaan berkembang dan jatuh,
pemerintahan-pemerintahan datang dan pergi, peradaban-peradaban tetap ada dan”menopang
kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan bahkan ideologi”.
Kelima, karena peradaban-peradaban merupakan entitas-entitas kultural,
bukan entitas-entitas politis, sehingga tidak berpegang pada tatanan, penegakan
keadilan, kesejahteraan bersama, upaya-upaya perdamaian, mengadakan pelbagai
negosiasi, atau menetapkan “kebijakan-kebijakan” yang biasa dilakukan oleh
sebuah pemerintahan. Komposisi politis peradaban yang begitu bervariasi
menyajikan pembedan-pembedaan di dalam peradaban itu sendiri. Suatu
peradaban bisa saja mencakup satu atau beberapa kesatuan politis.
Kesatuan-kesatuan tersebut dapat berupa negara-kota, kekaisaran-kekaisaran,
federasi-federasi, konfederasi-konfederasi-federasi, atau negara-bangsa. Semua itu merupakan
bentuk pemerintahan.11
3. Hubungan Renaissance dan Ide Demokrasi
Sejarah tentang paham demokrasi itu menarik; sedangkan sejarah tentang
demokrasi itu sendiri menurut Held membingungkan. Ada dua fakta historis yang
penting. Pertama, hampir semua orang pada masa ini mengaku sebagai demokrat.
Beragam jenis rezim politik di seluruh dunia mendeskripsikan dirinya sebagai
demokrat. Namun demikian, apa yang dikatakan dan diperbuat oleh rezim yang
satu dengan yang lain sering berbeda secara substansial. Demokrasi kelihatannya
melegitimasi kehidupan politik modern: penyusunan dan penegakan hukum
11
dipandang adil dan benar jika ‘demokratis’. Pada kenyataannya tidak selalu
demikian. Dari zaman Yunani kuno hingga sekarang mayoritas teoritikus di
bidang politik banyak melontarkan kritik terhadap teori dan praktik demokrasi.
Komitmen umum terhadap demokrasi merupakan fenomena yang terjadi
baru-baru ini saja.
Kedua, sementara banyak negara pada saat ini menganut paham
demokrasi, sejarah lembaga politiknya mengungkap adanya kerapuhan dan
kerawanan tatanan demokrasi. Sejarah Eropa pada abad ke-20 sendiri
menggambarkan dengan jelas bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan
yang sangat sulit untuk diwujudkan dan dijaga: Fasisme, Nazisme, dan Stalinisme
hampir saja menghancurkannya. Demokrasi telah berkembang melalui
perlawanan sosial yang intensif. Demokrasi juga sering dikorbankan dalam
perlawanan serupa.
Demokrasi merupakan asas dan sistem yang paling baik di dalam sistem
politik dan ketatanegaraan kiranya tidak dapat dibantah. Khasanah pemikiran dan
preformasi politik di berbagai negara sampai pada satu titik temu tentang ini:
demokrasi adalah pilihan terbaik dari berbagai pilihan lainnya. Sebuah laporan
studi yang disponsori oleh salah satu organ PBB, yakni UNESCO pada awal
1950-an menyebutkan bahwa tidak ada satu pun tanggapan menolak “demokrasi”
sebagai landasan dan sistem yang paling tepat dan ideal bagi semua organisasi
politik dan organisasi modern. Studi yang melibatkan lebih dari 100 orang sarjana
Barat dan Timur itu dapat dipandang sebagai jawaban yang sangat penting bagi
studi-studi tentang demokrasi.
Permasalahan yang belum sampai pada titik temu di sekitar perdebatan
tentang demokrasi itu adalah bagaimana mengimplementasikan demokrasi itu di
dalam praktik. Berbagai negara telah menentukan jalurnya sendiri-sendiri yang
tidak sedikit di antaranya justru mempraktikkan cara-cara atau mengambil jalur
sebagai asasnya yang fundamental. Oleh sebab itu, studi-studi tentang politik
sampai pada identifikasi bahwa fenomena demokrasi itu dapat dibedakan atas
demokrasi normatif dan demokrasi empirik. Demokrasi normatif menyangkut
rangkuman gagasan-gagasan atau idealita tentang demokrasi yang terletak di
dalam alam filsafat, sedangkan demokrasi empirik adalah pelaksanaannya di
lapangan yang tidak selalu paralel dengan gagasan normatifnya. Ada yang
menyebut istilah lain untuk demokrasi normatif dan empirik ini, yakni demokrasi
sebagai “essence” dan demokrasi sebagai “preformence”. Dalam ilmu hukum
istilah yang sering dipakai adalah demokrasi “dassollen” dan demokrasi
“dassein”. Karena sering terjadinya persilangan antara demokrasi normatif dan
demokrasi empirik itulah, maka diskusi-diskusi tentang pelaksanaan demokrasi
menjadi objek yang senantiasa menarik.
Pada permulaan pertumbuhan demokrasi telah mencakup beberapa asas
dan nilai yang diwariskan kepadanya dari masa lampau, yaitu gagasan mengenai
demokrasi dari kebudayaan Yunani Klasik dan gagasan mengenai kebebasan
beragama yang dihasilkan oleh aliran reformasi serta perang-perang agama yang
menyusulnya.
Sistem demokrasi yang terdapat di negara kota (city state) Yunani Klasik
abad ke-6 sampai abad ke-3 SM merupakan demokrasi langsung (direct
democracy), yaitu suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat
keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga
negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung dari
demokrasi Yunani dapat diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam
kondisi sederhana, wilayahnya terbatas (negara terdiri dari kota dan daerah
sekitarnya) serta jumlah penduduk sedikit (300.000 penduduk dalam satu
negara-kota). Lagipula ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga negara
yang resmi, yang hanya merupakan bagian kecil saja dari penduduk. Untuk
berlaku. Dalam negara modern demokrasi tidak lagi bersifat langsung tetapi
bersifat demokrasi berdasarkan perwakilan (representative democracy).
Gagasan demokrasi Yunani boleh dikatakan hilang dari muka dunia Barat
waktu bangsa Romawi, yang sedikit banyak masih mengenal kebudayaan Yunani,
dikalahkan oleh suku bangsa Eropa Barat dan Benua Eropa memasuki Abad
Pertengahan (600-1400). Masyarakat Abad Pertengahan dicirikan oleh struktur
sosial yang feodal; yang kehidupan sosial serta spiritualnya dikuasai oleh Paus
dan pejabat-pejabat agama lainnya; yang kehidupan politiknya ditandai oleh
perebutan kekuasaan antara para bangsawan satu sama lain. Dilihat dari sudut
perkembangan demokrasi Abad Pertengahan menghasilkan suatu dokumen yang
penting, yaitu Magna Charta Piagam Besar 1215.
Sebelum Abad Pertengahan berakhir di Eropa pada permulaan abad ke-16
muncul banyak negara-bangsa (nation-state) dalam bentuk yang modern, maka
masyarakat Barat mengalami beberapa perubahan sosial dan kultural yang
mempersiapkan jalan untuk memasuki zaman yang lebih modern di mana akal
dapat memerdekakan diri dari pembatasan-pembatasannya. Dua kejadian ini ialah
Renaissance (1350-1650) yang terutama berpengaruh di Eropa Selatan seperti
Itali, dan ReformasiGereja(1500-1650) yang mendapat banyak pengikutnya di
Eropa Utara, seperti Jerman, Swiss, dan sebagainya.
Renaissance adalah aliran yang menghidupkan kembali minat kepada
kesusasteraan dan kebudayaan Yunani Klasik yang selama Abad Pertengahan
telah disisihkan. Aliran ini membelokkan perhatian yang tadinya semata-mata
diarahkan kepada tulisan-tulisan keagamaan kearah masalah-masalah
keduniawian dan mengakibatkan timbulnya pandangan-pandangan baru.
Reformasi serta perang-perang agama yang menyusul akhirnya menyebabkan
manusia berhasil melepaskan diri dari penguasaan Gereja, baik di bidang spiritual
dalam bentuk dogma, maupun di bidang sosial dan politik. Hasil dari pergumulan
garis pemisah yang tegas antara permasalahan agama dan permasalahan
keduniawian, khususnya di bidang pemerintahan. Ini dinamakan “pemisahan
antara Gereja dan Negara”.
Kedua aliran pikiran yang tersebut di atas mempersiapkan orang Eropa
Barat memasuki masa “Aufklarung” (Abad Pemikiran) beserta
Rasionalismesekitar tahun 1650-1800, suatu aliran pikiran yang ingin
memerdekakan pemikiran manusia dari batas-batas yang ditentukan oleh Gereja
dan mendasarkan pemikiran atas akal (ratio) semata-mata. Kebebasan berpikir
membuka jalan untuk meluaskan gagasan ini di bidang politik. Timbulah gagasan
bahwa manusia mempunyai hak-hak politik yang tidak boleh diselewengkan oleh
raja dan mengakibatkan dilontarkannya kecaman-kecaman terhadap raja, yang
menurut pola yang sudah lazim pada masa itu mempunyai kekuasaan tak terbatas.
Pendobrakan terhadap kedudukan raja-raja absolut ini didasarkan atas suatu teori
rasionalitas yang umumnya dikenal sebagai social contract (kontrak sosial).12
4. Pandangan Pemikir Islam tentang Negara 1. Al-Mawardi
Menurut Al-Mawardi, perbedaan bakat, pembawaan, dan kemampuan
antara manusialah yang mendorong bagi mereka untuk saling membantu.
Kelemahan manusia, yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi semua
kebutuhannya sendiri, dan terdapatnya keanekaragaman dan perbedaan bakat,
pembawaan, kecenderungan alami serta kemampuan, semua itu mendorong
manusia untuk bersatu dan saling membantu, dan akhirnya sepakat untuk
mendirikan negara.
Suatu hal yang sangat menarik dari gagasan ketatanegaraan Al-Mawardi
ialah hubungan antara Ahl al-‘Aqdi wa al-Halli atau Ahl al’Ikhtiar dan imam atau
kepala negara itu merupakan hubungan antara dua pihak peserta kontrak sosial
12
atau perjanjian masyarakat atas dasar sukarela, suatu kontrak atau persetujuan
yang melahirkan kewajiban dan hakbagi kedua belah pihak atas dasar timbal
balik. Oleh karena itu, imam, selain berhak untuk ditaati oleh rakyat dan untuk
menuntut loyalitas penuh dari mereka, ia sebaliknya mempunyai
kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi terhadap rakyatnya, seperti memberikan
perlindungan kepada mereka dan mengelola kepentingan mereka dengan baik dan
penuh rasa tanggung jawab. Al-Mawardi mengemukakan teori kontraknya itu
pada abad XI, sedangkan di Eropa teori kontrak sosial baru muncul untuk pertama
kalinya pada abad XVI.13
Setelah organisasi kemasyarakatan terbentuk dan peradaban merupakan
suatu kenyataan di dunia ini, maka masyarakat membutuhkan seseorang yang
dengan pengaruhnya dapat bertindak sebagai penengah dan pemisah antara para
anggota masyarakat. Tokoh yang mempunyai kekuasaan dan wibawa yang
2. Ibnu Khaldun
Adanya organisasi kemasyarakatan merupakan suatu keharusan bagi hidup
manusia. Manusia diciptakan oleh Allah dalam bentuk atau keadaan yang hanya
mungkin hidup dan bertahan dengan bantuan makanan. Sementara itu,
kemampuan manusia (orang) tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhannya akan
makanan.
Manusia supaya hidup perlu makan dan untuk aman harus dapat membela
diri terhadap serangan dari makhluk-makhluk hidup lain. Dua hal tersebut tidak
dapat dilakukan seorang diri, maka diperlukan adanya kerjasama antar sesama
manusia, dan itulah sebabnya mengapa organisasi kemasyarakatan merupakan
suatu keharusan bagi hidup manusia.
13
memungkinkannya bertindak sebagai penengah, pemisah, dan sekaligus hakim itu
adalah raja atau kepala negara.14
5. Pandangan Pemikir Barat tentang Negara
Teori-teori tentang asal-usul negara dapat dimasukkan ke dalam dua
golongan besar, yakni pertama teori-teori yang spekulatif; dan kedua teori-teori
yang historis atau teori-teori yang evolusionis. Adapun teori-teori yang masuk
kategori teori-teori spekulatif adalah teori perjanjian masyarakat, teori teokratis,
teori kekuatan.
1. Teori Perjanjian Masyarakat
Teori perjanjian masyarakat atau teori kontrak sosial menganggap
perjanjian sebagai dasar negara dan masyarakat. Teori ini dipandang tertua dan
tepenting. Setiap perenungan mengenai negara dan masyarakat, mau tidak mau
akan menghasilkan paham-paham yang mendasarkan adanya negara dan
masyarakat itu pada persetujuan anggota-anggotanya. Persetujuan-persetujuan itu
dapat dinyatakan secara tegas (expressed) atau dianggap telah diberikan secara
diam-diam (tacitly assumed).
Teori perjanjian masyarakat terbukti dapat mempengaruhi pemikiran
politik di benua Eropa sejak Abad Pertengahan sampai ke masa Renaissance dan
terus sampai abad ke-18. Beberapa sarjana yang menganut teori perjanjian
masyarakatantara lain: Richard Hooker, Hugo de Groot (Grotius), Benedictus de
Spinoza, Samuel Pufendorf, Thomas Hobbes, John Locke, Jean Jacques
Rousseau, dan Immanuel Kant. Tetapi penulis yang paling berpengaruh mengenai
perjanjian masyarakat ialah Thomas Hobbes, John Locke, dan JJ. Rousseau.
Teori-teori pejanjian masyarakat didasarkan atas paham, bahwa kehidupan
manusia dipisahkan dalam dua zaman, yakni zaman sebelum manusia bernegara
14
dan zaman sesudah manusia memasuki hidup bernegara atau zaman yang disebut
Melamed sebagai Staatlosen Zustand dan Staatzustand.
Peralihan dari zaman pra-negara ke zaman bernegara terlaksana dengan
perjanjian yang dibuat dengan sengaja atau tidak dengan sengaja oleh semua
manusia yang pada suatu waktu tertentu bersama-sama mendiami suatu wilayah.
Keadaaan tak bernegara disebut keadaan alamiah (state of nature, status
naturalis), di mana individu hidup tanpa organisasi dan pimpinan, dengan kata
lain tanpa hukumyang mengatur hidup mereka.
Dalam kepustakaan ilmu politik dikenal dan dibedakan dua macam
perjanjian masyarakat, yakni yang disebut perjanjian masyarakat sebenarnya dan
perjanjian pemerintahan. Dengan perjanjian masyarakat yang sebenarnya dibentuk
suatu badan kolektif bersama yang akan menampung individu-individu yang
bersama-sama mengadakan perjanjian itu. Dengan perjanjian masyarakat yang
sebenarnya terbentuklah sociatas atau masyarakat manusia. Perjanjian ini secara
teknis disebut pactum unionis atau pacte d’association (istilah Otto von Gierke),
atau social contract proper dalam bahasa Inggris.
Bersamaan atau kemudian daripada pembentukan masyarakat atau
societas itu diadakan pula perjanjian dengan seseorang atau sekelompok orang
yang diberikan kekuasaan dengan syarat-syarat tertentu yang harus dihormati dan
ditaati oleh kedua belah pihak, yakni rakyat dan orang atau kelompok orang itu.
Orang atau badan yang dibentuk itu diberi mandat untuk menjalankan kekuasaan
atas nama rakyat. Perjanjian ini melahirkan pemerintah atau negara. Perjanjian
pemerintahan ini secara teknis disebut pactum subjectionis atau pacte de
government (istilah Rousseau) atau contract of government.15
15
2. Teori Ketuhanan
Doktrin ketuhanan ini memperoleh bentuknya yang sempurna dalam
tulisan-tulisan sarjana-sarjana Eropa pada Abad Pertengahan yang menggunakan
teori ini untuk membenarkan kekuasaan raja-raja yang mutlak.Doktrin ketuhanan
lahir sebagai resultante-resultante kontroversial dari kekuasaan politik dalammasa
Abad Pertengahan. Kaum monarchomach, yaitu mereka yang berpendapat bahwa
raja yang berkuasa secara tiranik dapat diturunkan dari mahkotanya, bahkan dapat
dibunuh, menganggap sumber kekuasaan adalah rakyat, sedangkan raja-raja pada
waktu itu menganggap sumber kekuasaan mereka diperoleh dari Tuhan. Negara
dibentuk oleh Tuhan dan pemimpin-pemimpin negara ditunjuk oleh Tuhan. Raja
dan pemimpin-pemimpin negara hanya bertanggung jawab pada Tuhan dan tidak
kepada siapa pun.
Teori ketuhanan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu teori ketuhanan
yang langsung dan teori ketuhanan tidak langsung. Pengertian teori ketuhanan
yang langsung adalah untuk menunjukkan bahwa yang berkuasa dalam negara itu
langsung berasal dariTuhan. Dan adanya negara di dunia ini adalah atas kehendak
Tuhan dan yang memerintah adalah Tuhan.
Adapun yang dimaksud dengan teori ketuhanan yang tidak langsung ialah
manakala bukan Tuhan sendiri yang memerintah melainkan raja atas nama Tuhan.
Raja memerintah atas kehendak Tuhan sebagai karunia. Dengan doktrin tersebut
diusahakan agar kekuasaan raja mendapatkan sifatnya yang suci (dalam arti
“Ketuhanan”), sehingga pelanggaran terhadap kekuasaan raja merupakan
pelanggaran terhadap Tuhan.16
Dalam teori kekuatan negara yang pertama adalah hasil dominasi dari
kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah. Negara terbentuk dari
3. Teori Kekuatan
16
penaklukan dan pendudukan. Dengan penaklukan dan pendudukan dari suatu
kelompok etnis yang lebih kuat atas kelompok etnis yang lebih lemah dimulailah
proses pembentukan negara. Negara merupakan resultante positif dari sengketa
dan penaklukan. Dalam teori kekuatan, faktor kekuatanlah yang dianggap sebagai
faktor tunggal dan terutama yang menimbulkan negara. Negara dilahirkan karena
pertarungan kekuatan dan yang keluar sebagai pemenang adalah pendiri negara
itu.
Menurut Hobbes, syarat penting untuk menjadi seorang raja adalah orang
yang fisiknya kuat melebihi yang lainnya agar dapat mengatasi segala kekacauan
yang timbul dalam masyarakat. Demikian pula pendapat Machiavelli, bahwa
seorang raja harus kuat dan caranya untuk mengatasi segala kekacauan yang
dihadapi negara, ia dapat mempergunakan segala alat yang menguntungkan
baginya. Kalau perlu alat yang dipergunakan boleh melanggar perikemanusiaan.
Menurut teori kekuataan ekonomi sebagaimana yang dinyatakan oleh
Marx, yang menganggap bahwa negara itu merupakan alat kekuasaan bagi
segolongan manusia di dalam masyarakat untuk menindas golongan lainnya guna
mencapai tujuannya. Marx mengaggap ada pertentangan kelas di dalam
masyarakat karena adanya perbedaan kekuatan ekonomi, yakni kaum yang
ekonominya kuat dan kaum yang ekonominya lemah. Pertentangan antara dua
kelas itu ditujukan untuk merebut kekuasaan negara sebab negara adalah alat
kekuasaan.17
6. Doktrin Ide Demokrasi Modern 1. John Locke (1632-1704)
Menurut Locke, keadaan bebas merdeka (state of liberty) bukanlah
keadaanbebas sekehendaknya (not a state of license). Manusia tidak berkebebasan
untuk menghancurkan dirinya atau makhluk lain karena keadaan alam kodrat
17
mempunyai hukum alam yang mengatur, yang tak lain ialah rasio. Locke lantas
percaya bahwa rasio mengajarkan pada semua manusia agar tidak mengganggu
sesamanya atas rights of life, libertyandproperty (yaitu hak-hak asasi yang
meliputi kehidupan, kemerdekaan, hak milik). Rasio yang tidak membolehkan
manusia untuk mengganggu sesamanya itu disimpulkan dari keyakinan Kristen
bahwa semua manusia adalah milik Tuhan. Atas pemikirannya ini, Locke
dipandang sebagai bapak Hak-Hak Asasi.
Menurut Locke, masyarakat pertama adalah antara suami dan istri, yang
merupakan awal masyarakat antara orang tua dan anak-anak, selanjutnya
masyarakat antara tuan dan hamba. Namun demikian, semuanya itu masih belum
membentuk masyarakat politis. Masyarakat politis atau sipil barulah terbentuk
manakala setiap orang dengan berkesepakatan dengan orang-orang lain
ditundukkan pada kekuasaan politis atas persetujuan mereka sendiri, dan melalui
persetujuan itulah dibentuk sebuah masyarakat agar terpelihara kehidupan yang
tenteram dan damai serta dapat menikmati rights of life, liberty and property. Atas
pemikiran di muka, Locke dipandang sebagai eksponen teori masyarakat sipil.
Pada teori itu sudah tersimpul social contract (kontrak sosial, perjanjian
masyarakat), yaitu manusia-manusia dalam persekutuan setuju menyerahkan
natural rights (hak-hak alamiah) kepada masyarakat. Namun menurut Locke, sifat
penyerahan adalah tidak sepenuhnya. Kemudian, masyarakat (one body politic)
yang dibentuk oleh persekutuan itu membentuk pemerintah (one government),
yang tugas utamanya adalah menjaga hak milik dan melindungi hak kebebasan
warga. Atas pemikiran ini, Locke dipandang sebagai eksponen “teori jaga malam
oleh pemerintah”.
Locke meyakini bahwa perjanjian yang berlangsung itu adalah pactum
union (perjanjian penyatuan) dari orang-orang yang bebas, sederajat dan
bergabung dalam persekutuan. Pada perjanjian ini, hak dan status kebebasan
masyarakat membentuk pemerintah dan menyerahkan kekuasaan kepada
pemerintah, orang-orang masih mempunyai hak-hak dan status kebebasan.
Betapapun juga, pemerintah memegang kekuasaan politik yang terbatas, yaitu
dibatasi konstitusi.
Locke yakin bahwa melalui konstitusi dan pembatasan kekuasaan,
Leviathan yang perkasa pun tak akan hidup lama. Adanya penyerahan kekuasaan
dari masyarakat kepada pemerintah menunjukkan sifat tidak langsung dan asas
konstitusional dari perjanjian masyarakat. Sebagai konsekuensinya, apabila
pemerintah yang diserahi kekuasaan itu adalah seorang monarch atau raja maka
ada monarki konstitusional. Namun bila pemerintah itu tak lain adalah mayoritas
itu sendiri, maka ada demokrasi konstitusional. Jelaslah bahwa doktrin Locke
mengenai perjanjaian masyarakat merupakan jalinan dari doktrin-doktrin
liberalisme, konstitusionalisme, dan pembatasan kekuasaan. Sistem doktrin itulah
yang hingga kini masih diyakini kebenarannya untuk diimplementasikandan
bahkan ditransplantasikan ke berbagai negara di dunia, tentu saja dengan berbagai
variasi serta modifikasinya.
Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa alih-alih menggunakan istilah
state untuk menyebut negara, Locke baru mengenal istilah commonwealth atau
persemakmuran yang merupakan padanan kata Latin, civitas. Menurut dia,
Commonwealth adalah suatu independent community, sedangkan bentuknya
ditentukan menurut kriteria kekuasaan tertinggi untuk membuat undang-undang,
sehingga dapat diperoleh bentuk-bentuk sebagai berikut:
1. Demokrasi sepenuhnya (prefectdemocracy) yaitu apabila kekuasaan
mayoritas atau masyarakat dapat menggunakan kekuasaan itu dalam
membuat undang-undang dan dalam melaksanakan undang-undang
2. Oligarki (oligarchy), yaitu apabila mayoritas itu dapat meletakkan
kekuasaan membentuk undang-undang di tangan beberapa orang yang
terpilih dan pewaris-pewaris mereka atau pengganti-pengganti mereka.
3. Monarki (monarchy), yaitu apabila kekuasaan membentuk
undang-undang di tangan satu orang.
4. Monarki turun-temurun (hereditarymonarchy), yaitu apabila
kekuasaan membentuk undang-undang di tangan satu orang dan
pewaris-pewarisnya.
5. Monarki elektif (electivemonarchy), yaitu apabila kekuasaan
membentuk undang-undang di tangan satu orang, tetapi pada saat
kematiannya, kekuasaan untuk menunjuk pengganti kembali kepada
mayoritas.
Bagi Locke, tujuan besar pembentukan masyarakat adalah menikmati
properties dan sarananya adalah undang-undang. Badan legislatif diunggulkannya
sebagai kekuasaan tertinggi, keramat dan tak dapat diubah. Itulah sebabnya Locke
hampir senantiasa menentang hak pengadilan untuk memutuskan bahwa tindakan
legislatif itu tidak konstitusional (Michael H. Hart, 2003: 256). Tak
mengherankan kalau dia yakin bahwa penetapan kekuasaan legislatif adalah
pelestarian masyarakat dalam suatu commonwealth.
Locke kemudian menunjukkan adanya tiga kekuasaan commonwealth,
yaitu;
1. Kekuasaan legislatif (legislative power), yaitu kekuasaan untuk
membuat undang-undang. Inilah kekuasaan tertinggi dan dipisahkan
dari kekuasaan eksekutif.
2. Kekuasaan eksekutif (executive power), yaitu kekuasaan yang harus
telah dibuat dan tetap berlaku. Bagi Locke, hak pengadilan adalah
bagian dari kekuasaan eksekutif.
3. Kekuasaan federatif (federative power), yaitu kekuasaan untuk
berperang dan berdamai, mengadakan liga dan perserikatan, serta
melakukan transaksi dengan orang atau masyarakat di luar
commonwealth. Kekuasaan ini berbeda dari kekuasaan eksekutif,
namun keduanya tidak dapat dipisahkan.
Doktrin Locke berpengaruh besar pada rakyat Inggris, sarjana-sarjana
Perancis dan Amerika Serikat. Para perantau Inggris yang berangkat ke benua
Amerika dengan menumpang kapal Mayflower telah mempraktikkan ajaran Locke
dengan serta merta. Di Perancis, Rousseau mengembangkan doktrin ajaran
contarct social meskipun pada alur yang bebeda, yaitu menopang demokrasi dan
kebebasan absolut tetapi tidak menganjurkan revolusi; sedangkan Montesquieu
memerlukan diri datang ke Inggris untuk meninjau monarki konstitusional dan
sekembalinya ke Perancis mengembangkan teori kekuasaan yang memisahkan
kekuasaan yudisial dari kekuasaan eksekutif. Di Amerika Serikat, Jonathan
Mayhew (1720-1766) dan John Adams (1798-1801) melancarkan doktrin no
taxation without representation (tiada pajak tanpa perwakilan) pada tahun 1765;
sedangkanthe Founding Fathers of United States memasukkan gagasan-gagasan
penting seperti all men created free and equal dan unalienable rights dalam
Declaration of Independence (1776).18
Bagi Montesquieu, negara dan hukum tumbuh melalui proses sosial yang
menyejarah. Negara ialah hasil perkembangan masyarakat. Maka, masyarakatlah
yang primer, bukan negara. Hukum (undang-undang) negara merupakan
penjelmaan saja dari hukum (kebiasaan) masyarakat yang sudah berlangsung
2. Charles de Montesquieu (1689-1755)
18
lebih lama. Maka, hukum masyarakat itulah yang primer, bukan undang-undang.
Jelaslah bahwa paham hukum Montesquieu amat maju untuk ukuran zamannya,
yaitu yuridis historis-sosiologis.
De L’Esprit des Lois merupakan karya terbesar Montesquieu yang berisi
ajaran mengenai sistem pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip yang
dikandungnya dan ajaran pemisahan kekuasaan-kekuasaan negara. Menurutnya,
sistem pemerintahan dapat dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu:
1. Pemerintahan monarkis, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh satu
orang berdasarkan asal-usul keturunan (misalnya raja, kaisar, ratu)
dengan berlandaskan undang-undang sebagai pedoman menjalankan
pemerintahan. Satu orang pemimpin negara berkuasa berdasarkan
prinsip honneur atau kehormatan. Dalam perkembangan suatu negara,
dapat terjadi pelimpahan wewenang dan tanggung jawab satu orang
kepada orang-orang tertentu berdasarkan prinsip tadi, sehingga mereka
itu memperoleh hak-hak istimewa untuk menjalankan misi negara
dengan baik dan seimbang. Maka, pemerintahan monarkis ini
kadang-kadang dikenali sebagai pemerintahan aristokratik, yaitu pemerintahan
yang dipegang oleh sekelompok orang yang berasal dari golongan
aristokrasi dengan berlandaskan undang-undang sebagai pedoman
menjalankan pemerintahan.
2. Pemerintahan despotis, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh
seorang raja tanpa berlandaskan undang-undang atau aturan tertulis
yang berkepastian. Hukum yang berlaku disesuaikan dengan kehendak
pribadi sang raja dan cenderung represif. Pemimpin negara yang
berkuasa berdasarkan prinsip ketakutan. Pemerintahan kediktatoran ini
mengkonsepkan para bawahan tanpa kecuali berada dalam suasana
pengabdian pada raja, sedangkan rakyat diperlakukan sebagai
3. Pemerintahan republik, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh rakyat
untuk menjamin terwujudnya kebijakan yang berpihak pada publik dan
berlakunya hukum undang-undang atas diri rakyat sendiri.
Pemimpin-pemimpin negara merupakan pilihan rakyat berdasarkan prinsip
kebajikan. Maka, pemimpin-pemimpin itu mengakui kebebasan politik
rakyat dan tunduk pada konstitusi. Apabila rakyat tidak mampu
mematuhi hukum undang-undang yang pada dasarnya penjelmaan
kebiasaan rakyat itu sendiri, maka lambat laun negara mengalami
kemunduran dan kehancuran.
Montesquieu mengagumi Inggris yang menurut pengamatannya selama 18
bulan di sekitar tahun 1732 merupakan monarki konstitusional dan dapat dicontoh
sebagai model pemerintahan terbaik. Inggris memang menyatakan diri sebagai
monarki konstitusional sesudah bangkitnya GloriusRevolution (1688-1689).
Monarki konstitusional merupakan bentuk campuran pemerintahan monarki dan
pemerintahanrepublik. Monarki konstitusional yaitu kerajaan
yangpemerintahannya dipegang oleh seorang raja yang tidak mampu bertindak
sewenang-wenang karena terdapat konstitusi yang mengatur serta membatasi
kekuasaan politik raja, dan pemerintahan itu mengakui serta menghormati
hak-hak kebebasan politik rakyat. Jelaslah bahwa paham politik Montesquieu ialah
liberalisme.
Montesquieu lantas menganjurkan Perancis untuk membina kestabilan
politik melalui golongan-golongan agama, aristokrat dan parlemen untuk
menjalankan fungsi-fungsinya yang tertentu dan berbeda-beda. Tujuan utama
golongan-golongan itu ialah mewujudkan keseimbangan antara wewenang raja
dan kebebasan rakyat. Wewenang raja meliputi hak-hak istimewa itu jangan
sampai menjadi arbitrer, sedangkan kebebasan rakyat jangan sampai menjadi
Jalan untuk mewujudkan gagasan itu adalah separation de pouvoir atau
pemisahan kekuasaan berupa kuasa eksekutif, legislatif, dan yudisial. Pemisahan
kekuasaan itu pada gilirannya diistilahi oleh Immanuel Kant sebagai trias politica
atau tiga kuasa politik dalam karyanya, Rechtslehre (Science of Right,
Jurrisscientia).
Berdasarkan separation de pouvoir itu, kekuasaan negara harus dipisahkan
menjadi tiga, yaitu:
1. Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan yang meliputi kegiatan
melaksanakan undang-undang, menjaga keamanan negara, serta
menetapkan keadaan damai dan perang. Kekuasaan ini sebaiknya
merupakan urusan raja karena mampu bertindak lebih baik daripada
beberapa orang.
2. Kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan membentuk, memperbaiki, serta
mengamandemen undang-undang. Kekuasaan ini sebaiknya
merupakan urusan parlemen atau dewan perwakilan rakyat karena
rakyat melalui wakilnya dapat menjadi penentu atas hukum
undang-undang yang pada gilirannya digunakan sebagai sarana untuk
mengatur rakyat itu sendiri.
3. Kekuasaan yudisial, yaitu kekuasaan yang menerapkan serta
mempertahankan undnag-undang, dan mengadili
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi terhadap undang-undang. Kekuasaan ini
sebaiknya bukan merupakan urusan raja dan parlemen, melainkan
badan tersendiri dan terpisah yang beranggotakan hakim-hakim.
Montesquieu meyakini bahwa badan tersendiri itu tidak mungkin
mengganggu stabilitas negara dan sewenang-wenang sebab hakim hanyalah
corong dari undang yang tidak dapat mengubah atau menambah
bounce qui pronounce les paroles de la loi, mulut yang hanya mengucapkan
kata-kata peraturan undang-undang. Undang-undang itu sendiri hanya merupakan
penjelmaan secara tegas dan sadar dari kebiasaan yang tumbuh dalam masyarakat.
Montesquieu menaruh perhatian pada kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dalam
masyarakat. Kebiasaan-kebiasaan itu pulalah yang sesungguhnya mampu
menopang hak-hak kebebasan politik rakyat.19
7. Nilai-Nilai Dalam Ide Demokrasi Modern
Di Perancis, ajaran negara hukum dikembangkan berdasarkan dua unsur,
yaitu pemisahan kekuasaan dan hak-hak dasar, sedangkan ajaran kedaulatan
rakyat akan dikukuhkan oleh pemikir politik berikutnya, Jean Jacques Rousseau.
Henry B. Mayo dalam bukunya Introduction to Democratic Theory
memberi defenisi demokrasi sebagai sistem politik sebagai berikut:A democratic
political system is one in which public policies are made on a majority basis, by
representatives subject to effective popular control at periodic elections which are
conducted one the principle of political equality and under conditions of political
freedom(dalam bahasa Indonesia, sistem politik yang demokratis ialah di mana
kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang
diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang
didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana
terjaminnya kebebasan politik).
Lebih lanjut B. Mayo menyatakan bahwa demokrasi didasari oleh
beberapa nilai, yakni: (1)menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara
melembaga (institutionalized peaceful settlement of conflict); (2) menjamin
terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang
berubah (peaceful change in a changing society); (3)menyelenggarakan
pergantian pimpinan secara teratur (orderly succession of rulers); (4) membatasi
19