• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEGAWAI PDAM WAY RILAU BANDAR LAMPUNG YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN SOLAR (Studi Putusan Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEGAWAI PDAM WAY RILAU BANDAR LAMPUNG YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN SOLAR (Studi Putusan Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK)"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEGAWAI PDAM WAY RILAU BANDAR LAMPUNG YANG MELAKUKAN TINDAK

PIDANA KORUPSI PENGADAAN SOLAR (Studi Putusan Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK)

Oleh

CHRISTIAN KARTONO APRIANSYAH SILAEN

Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki posisi penting dalam pemerintahan, termasuk oleh pejabat Badan Usaha Milik Daerah. Secara ideal setiap pelaku tindak pidana korupsi harus dihukum secara maksimal untuk memberikan efek jera dan sebagai pembelajaran bagi pihak lain, tetapi pada kenyataannya putusan hakim belum sesuai dengan ancaman pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung yang melakukan tindak pidana korupsi pengadaan solar dalam Perkara Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK? (2) Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung yang melakukan tindak pidana korupsi pengadaan solar dalam Perkara Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK?

Metode penelitian dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Jenis data menggunakan data sekunder dan data primer. Narasumber penelitian terdiri dari Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung dan Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data menggunakan analisis kualitatif.

(2)

Christian Kartono Apriansyah Silaen

adanya keseimbangan antara perbuatan terdakwa yang melakukan tindak pidana korupsi dalam pembelian dan pengadaan solar bersubsidi, dengan ketentuan hukum. Putusan tersebut dapat dinyatakan telah memenuhi teori keseimbangan antara kesalahan terdakwa, ketentuan undang-undang serta hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa. Selain itu hal-hal yang memberatkan yaitu perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemberantasan korupsi yang dicanangkan pemerintah, terdakwa menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya dan perbuatan terdakwa merugikan keuangan Negara. Hal-hal yang meringankan adalah terdakwa mengakui perbuatannya, bersikap sopan di pengadilan dan terdakwa belum pernah dihukum

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi di lingkungan pemerintahan daerah dan badan usaha milik daerah hendaknya dioptimalkan melalui pemidanaan yang maksimal sesuai dengan ancaman yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini penting untuk dilaksanakan dalam rangka memberikan efek jera kepada pelaku dan sebagai pembelajaran bagi pihak lain agar tidak melakukan tindak pidana korupsi. (2) Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana korupsi disarankan untuk mempertimbangkan berbagai aspek yang menyebabkan terjadinya tindak pidana, kepentingan masyarakat terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi dan besarnya kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan terdakwa. Hal ini penting dilaksanakan agar pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa benar-benar berdasar pada teori keseimbangan dan keadilan bagi masyarakat.

(3)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEGAWAI PDAM WAY RILAU BANDAR LAMPUNG YANG MELAKUKAN TINDAK

PIDANA KORUPSI PENGADAAN SOLAR (Studi Putusan Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK)

Oleh

CHRISTIAN KARTONO APRIANSYAH SILAEN

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEGAWAI PDAM WAY RILAU BANDAR LAMPUNG YANG MELAKUKAN TINDAK

PIDANA KORUPSI PENGADAAN SOLAR (Studi Putusan Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK)

(Skripsi)

Oleh

CHRISTIAN KARTONO APRIANSYAH SILAEN

NPM. 1012011320

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)
(6)
(7)

DAFTAR ISI

Halaman I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 16

II TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana ... 18

B. Pengertian Tindak Pidana ... 24

C. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 26

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana... 30

E. PDAM Way Rilau Bandar Lampung ... 32

III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 36

B. Sumber dan Jenis Data ... 37

C. Penentuan Narasumber... 39

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 39

(8)

A. Karakteristik Responden ... 41

B. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Solar ... 42

C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap Pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Solar ... 68

V PENUTUP ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Saran ... 76

(9)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana dan perbuatan

melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi dengan tujuan

untuk menguntungkan diri sendiri atau korporasi, dengan cara menyalahgunakan

wewenang, kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatannya dan berdampak

pada kerugian keuangan dan perekonomian negara.

Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) disebutkan:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya

diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan

(10)

seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling

lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus

juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”

Berdasarkan pengertian korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) UUPTPK di atas, maka

diketahui bahwa terdapat tiga unsur tindak pidana korupsi yaitu secara melawan

hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara.

Secara ideal setiap pelaku tindak pidana korupsi harus dipidana secara maksimal

sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu

setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara

atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau

pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun

dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan

paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Tindak pidana korupsi berdampak pada kerugian keuangan negara dan

menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka

(11)

Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan

kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.

Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi maka diketahui bahwa tindak

pidana korupsi di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada

tahun 2010 jumlah kasus tindak pidana korupsi di Indonesia mencapai 2.156

kasus, meningkat menjadi 2.876 kasus pada tahun 2011 dan kembali mengalami

peningkatan menjadi 3.127 kasus pada tahun 20121.

Peningkatan tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana

tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan

berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan

sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak

ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi

dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu

kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), oleh karena itu diperlukan penegakan

hukum yang komprehensif.

Pemerintah Indonesia dalam upaya mewujudkan supremasi hukum, telah

meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana

korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan

perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan

1

(12)

Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang

Bersih dan Bebas korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Undang-Undang Nomor 28

tahun 1999 tentang Penyelenggara Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.2

Upaya untuk menjamin penegakan hukum harus dilaksanakan secara benar, adil ,

tidak ada kesewenang-wenangan, tidak ada penyalahgunaan kekuasaan, ada

beberapa asas yang harus selalu tampil dalam setiap penegakan hukum, yaitu asas

tidak berpihak (impartiality), asas kejujuran dalam memeriksa dan memutus

(fairness), asas beracara benar (prosedural due process), asas menerapkan hukum

secara benar yang menjamin dan melindungi hak-hak substantif pencari keadilan

dan kepentingan sosial (lingkungan), asas jaminan bebas dari segala tekanan dan

kekerasan dalam proses peradilan. Sistem peradilan pidana sebagai pelaksanaan

dan penyelenggaan penegakan hukum terdiri dari beberapa badan yaitu

kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, yang saling

berhubungan antara satu dengan yang lainnya. 3

Tindak pidana korupsi di Indonesia dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang pada

umumnya memiliki posisi penting dalam pemerintahan, termasuk oleh para

2

Eddy Mulyadi Soepardi, Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur Tindak

Pidana Korupsi, Yograkarta: Ghalia Indonesia, 2009, hlm. 3.

3

Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001,

(13)

Pegawai Negeri Sipil di dalam lingkungan pemerintahan daerah atau pejabat

Badan Usaha Milik Daerah. Beberapa modus operandi korupsi yaitu sebagai

berikut:

1) Penggelapan; tindak pidana korupsi penggelapan antara lain ditandai

dengan adanya para pelaku, seperti menggelapkan aset-aset harta

kekayaan negara atau keuangan negara untuk memperkaya dirinya

sendiri atau orang lain.

2) Pemerasan; bentuk tindak pidana korupsi pemerasan antara lain

dengan ditandainya adanya pelaku seperti memaksa seorang secara

melaan hukum yang berlaku agar memberikan sesuatu barang atau

uang kepada yang bersangkutan.

3) Penyuapan; bentuk tindak pidana korupsi penyuapan antara lain

ditandai adanya para pelakunya, seperti memberikan suap kepada

oknum-oknum pegawai negeri agar si penerima suap memberikan

kemudahan dalam pemberian izin, kredit Bank dll. yang bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4) Manipulasi; bentuk tindak pidana korupsi manipulasi antara lain

ditandai dengan adanya para pelakunya yang melakukan mark-up

proyek pembangunan, SPJ, pembiayaan gedung/kantor, pengeluaran

anggaran fiktif.

5) Pungutan Liar; bentuk korupsi pungutan liar antara lain ditandai

dengan adanya para pelakunya yang malakukan pungutan liar di luar

ketentuan peraturan. Umumnya pungutan liar ini dilakukan terhadap

(14)

instansi pemerintah.

6) Kolusi dan Nepotisme; yaitu pengangkatan sanak saudara,

teman-teman atau kelompok politiknya pada jabatan-jabatan dalam kedinasan

aparat pemerintah tanpa memandang keahlian dan kemampuan.4

Tindak Pidana Korupsi sebagai tindak pidana khusus di luar KUHP dinyatakan

secara tegas dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun1960 yang

mulai berlaku pada tanggal 9 Juni 1960 tentang pengusutan, penuntutan dan

pemeriksaan Tindak Pidana. Hukum Pidana Khusus adalah hukum pidana yang

ditetapkan untuk golongan orang khusus atau yang berhubungan dengan

perbuatan-perbuatan khusus, termasuk didalamnya hukum pidana militer

(golongan orang orang khusus) dan hukum pidana fiskal (perbutan-perbuatan

khusus) dan hukum pidana ekonomi. Disamping hukum pidana khusus ini, hukum

pidana umum (ius commune) tetap berlaku sebagai hukum yang menambah

(aanvullend rech). 5

Pidana khusus ini memuat ketentuan-ketentuan di luar ketentuan pidana umum

yang menyangkut sekelompok orang atau perbuatan-perbuatan tertentu. Khususan

dari hukum pidana khusus dapat dilihat adanya ketentuan mengenai dapat

dipidana suatu perbuatan, ketentuan tentang pidana dan tindakan dan mengenai

dapat dituntutnya perbuatan. Jadi penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan

umum inilah yang merupakan ciri-ciri dari hukum pidana khusus.Gejala-gejala

4

Eddy Mulyadi Soepardi, op cit, hlm. 4. 5

(15)

adanya pidana delik-delik khusus menunjuk kapada adanya diferensiasi dalam

hukum pidana, suatu kecenderungan yang bertentangan dengan adanya unifikasi

dan ketentuan-ketentuan umum dari hukum pidana khusus mempunyai tujuan dan

fungsi sendiri, akan tetapi azas-azas hukum pidana khususnya "tiada pidana tanpa

kesalahan" harus tetap dihormati.

Setiap pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum, sesuai dengan

ketentuan undang-undang. Setiap warga negara wajib menjunjung hukum, namun

demikian dalam kenyataan sehari-hari adanya warga negara yang lalai/sengaja

tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan masyarakat, dikatakan

bahwa warga negara tersebut melanggar hukum karena kewajibannya tersebut

telah ditentukan berdasarkan hukum. Seseorang yang melanggar hukum harus

mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum.

Pemberian sanksi terhadap pelaku tindak pidana merupakan proses penegakan

hukum. Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan

perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat

terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga

keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan

oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan

(16)

tujuan, adalah merupakan keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana

sebagai suatu sistem peradilan pidana.6

Salah satu perkara tindak pidana korupsi di wilayah hukum Kota Bandar

Lampung adalah tertuang dalam Putusan Pengadilan Nomor:

21/PID/TPK/2012.PN.TK. Dalam putusan tersebut dinyatakan bahwa terdakwa

Haris Munandar yang menjabat Kepala Sub Bagian Pembelian Perusahaan Daerah

Air Minum (PDAM) Way Rilau Kota Bandar Lampung telah secara sah dan

meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dalam pembelian dan pengadaan

solar bersubsidi, yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar

Rp.608.000.000,- (enam ratus delapan juta rupiah).

Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan terdakwa Haris Munandar yang

menjabat sebagai Kasubag Pembelian PDAM Way Rilau, melakukan tindak

pidana korupsi pembelian dan pengadaan solar di lingkungan PDAM Way Rilau

Kota Bandar Lampung serta terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal

3 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya dipidana

dengan selama 2,5 tahun penjara. Sebelumnya JPU menuntut kepada terdakwa

agar Majelis Hakim menjatuhkan pidana selama 3,5 tahun penjara dan uang

pengganti Rp 608 juta subsidair enam bulan penjara.

Berdasarkan fakta-fakta di persidangan Majelis Hakim menjatuhkan pidana

kepada terdakwa selama 2,5 penjara dan mewajibkan terdakwa membayar denda

6

(17)

Rp 50 juta subsidair satu bulan penjara serta uang pengganti Rp 608 juta subsidair

enam bulan penjara, sebagai bentuk pertanggungjawaban pidananya. Hal ini

sesuai dengan keterangan bahwa pertanggungjawaban pidana didasarkan pada

adanya unsur kesalahan, adanya kemampuan terdakwa untuk

mempertanggungjawabkan perbuatanya dalam artian bahwa terdakwa telah cakap

atau dewasa untuk bertanggung jawab serta tidak dalam keadaan kurang ingatan

atau gila.

Pandangan negatif masyarakat terhadap hakim dapat dihindari dengan memutus

perkara secara adil dan teliti, sehingga tidak menimbulkan kesenjangan terhadap

suatu putusan. Dari dalam diri hakim hendaknya lahir, tumbuh dan berkembang

adanya sikap/sifat kepuasan moral jika keputusan yang dibuatnya dapat menjadi

tolak ukur untuk kasus yang sama, sebagai bahan referensi bagi kalangan teoritis

dan praktisi hukum serta kepuasan nurani jika sampai dikuatkan dan tidak

dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung jika perkara tersebut

sampai ke tingkat banding atau kasasi. Hakim dalam membuat putusan harus

memperhatikan segala aspek di dalamnya, yaitu mulai dari perlunya kehati-hatian

serta dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik bersifat formal maupun

materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik dalam membuatnya. 7

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis melaksanakan penelitian dalam

rangka penyusunan Skripsi dengan judul: “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap

7

Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan

(18)

Pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung Yang Melakukan Tindak Pidana

Korupsi Pengadaan Solar (Studi Putusan Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka permasalahan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pegawai PDAM Way

Rilau Bandar Lampung yang melakukan tindak pidana korupsi pengadaan

solar dalam Perkara Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK?

b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap

pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung yang melakukan tindak pidana

korupsi pengadaan solar dalam Perkara Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah hukum pidana dan dibatasi pada kajian

pertanggungjawaban pidana terhadap pegawai PDAM Way Rilau Bandar

Lampung yang melakukan tindak pidana korupsi pengadaan solar dalam Putusan

Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK. Ruang

lingkup Lokasi Penelitian adalah Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan

(19)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini

adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pegawai PDAM Way

Rilau Bandar Lampung yang melakukan tindak pidana korupsi pengadaan

solar dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor

21/PID/TPK/2012. PN.TK.

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana

terhadap terhadap pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung yang

melakukan tindak pidana korupsi pengadaan solar pada Putusan Pengadilan

Negeri Tanjung Karang Nomor 21/PID/TPK/2012.PN.TK.

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun

secara praktis, yaitu sebagai berikut:

a. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah

kajian ilmu hukum pidana, khususnya yang berhubungan pertanggungjawaban

pidana terhadap pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung yang

(20)

hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terhadap pegawai PDAM Way

Rilau Bandar Lampung yang melakukan tindak pidana korupsi pengadaan

solar pada Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No: 697/Pid/B/2012/

PNTK.

b. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan

dan kontribusi positif bagi aparat penegak hukum dalam menanggulangi

tindak pidana korupsi pada masa-masa yang akan datang, sehingga

penanggulangan tindak pidana korupsi dapat dilaksanakan secara lebih

optimal.

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan pengabstrakan hasil pemikiran sebagai kerangka acuan

atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian ilmiah, khususnya dalam

penelitian ilmu hukum. Peneliti menggunakan kerangka teori sebagai dasar untuk

melakukan analisis terhadap permasalahan yang dibahas dalam penelitian,

sehingga setiap pembahasan yang dilakukan memiliki landasan secara teoritis.

Kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Teori Pertanggungjawaban Pidana

Untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, maka suatu perbuatan

harus mengandung kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu

kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa).

(21)

Kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat

dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh

khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu

tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana.

b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak

bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik,

tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti

perbuatan itu.

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu

kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya

dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.

2. Kelalaian (culpa)

Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun

juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh

karena itu delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet)

sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua

macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak

menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan

ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat

(22)

terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak

perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam

dengan pidana.8

Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan

menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:

a. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggungjawabkan

dari si pembuat.

b. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku

yang berhubungan dengan kelakuannya yang disengaja dan sikap

kurang hati-hati atau lalai

c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf dapat yang

menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat9

Pelaku tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuataannya, dengan

dasar kemampuan bertanggung jawab, ada perbuatan melawan hukum dan

tidak ada alasan pemaaf atau pembenar atas tindak pidana yang dilakukannya.

b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Hakim dalam mengadili pelaku tindak pidana harus melalui proses penyajian

kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian

proses penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan

8

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1993, hlm. 46.

9

(23)

demikian, putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori pembuktian,

yaitu saling berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain,

misalnya, antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain

atau saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain (Pasal

184 KUHAP).

Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan

kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui

putusanputusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan

perundang-undangan yang siciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin

keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan

tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas

yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak,

sebagai salah satu unsur Negara hukum. Sebagai pelaksana dari kekuasaan

kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam peraturan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim

melalui putusannya. Fungsi hakim adalah memberikan putusan terhadap

perkara yang diajukan, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas

dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menetukan bahwa suatu

hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya

alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang

dilandasi denganintegritas moral yang baik.10

10

(24)

Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim

dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;

b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau

mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;

c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan

tugas dan fungsi yudisialnya. 11

Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan

mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak

tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat menginterpensi hakim

dalam menjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan

harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara

yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan

pelaku, kepentingan pihak korban, keluarganya dan rasa keadilan masyarakat.

Menurut Mackenzie ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat

dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan dalam suatu perkara,

yaitu sebagai berikut:

a. Teori keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan disini keseimbangan antara

syarat-syarat yang ditentukan undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang

tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya

11

(25)

keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat dan kepentingan

terdakwa.

b. Teori pendekatan seni dan intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari

hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan

dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana,

hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam

perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam

penjatuhan putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada

pengetahuan dari hakim

c. Teori pendekatan keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana

harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya

dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka

menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini

merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara,

hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi

harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan

keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus

diputuskannya.

(26)

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya

dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan

pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui

bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara

pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

e. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang

mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara

yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan

yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar

hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus

didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan

memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

f. Teori kebijaksanaan

Teori ini diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, di mana sebenarnya teori

ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara di pengadilan anak.

Aspek ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang

tua ikut bertanggungjawab untuk membimbing, membina, mendidik dan

melindungi anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi

keluarga, masyarakat dan bagi bangsnya.12

12

(27)

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan konsep-konsep sebagai fokus pengamatan dalam

melaksanakan penelitian, khususnya dalam penelitian ilmu hukum. Analisis

pokok-pokok bahasan dalam penelitian ini dan memberikan batasan pengertian

yang berhubungan dengan yaitu sebagai berikut:

a. Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme

untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung

jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat

dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu

memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. 13

b. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,

larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu

bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana merupakan

pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan

sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku14

c. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan

melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam

undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib

hukum dan terjaminnya kepentingan umum15

(28)

d. Tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,

dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling

singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit

Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,-

(satu milyar rupiah).16 Tindak pidana korupsi dilakukan dengan tujuan

menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya

karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara; dan memberi hadian atau janji kepada Pegawai Negeri

dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau

kedudukannya tersebut. 17

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dalam lima bab untuk untuk memudahkan pemahaman

terhadap isinya. Secara terperinci sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut:

I PENDAHULUAN

Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum. 1998, hlm. 25. 16

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) 17

(29)

Bab ini berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar

Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan

Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang

berhubungan dengan penyusunan skripsi dan diambil dari berbagai

referensi atau bahan pustaka terdiri dari pengertian pertanggungjawaban

pidana, pengertian dan jenis tindak pidana, tindak pidana korupsi.

III METODE PENELITIAN

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan

Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur

Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat

penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai

pertanggungjawaban pidana terhadap pegawai PDAM Way Rilau Bandar

Lampung yang melakukan tindak pidana korupsi pengadaan solar dalam

Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor:

21/PID/TPK/2012.PN.TK dan dasar pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan pidana terhadap terhadap pegawai PDAM Way Rilau Bandar

(30)

Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor

21/PID/TPK/2012.PN.TK.

V PENUTUP

Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan

pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan

(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang

didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang

didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas

legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip

bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam

beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti

(vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah

kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun

kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep merupakan salah satu alasan

pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut

dipersalahkan kepadanya1

Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme

untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka

1

(32)

dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk

dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya

itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang.

Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang

melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam

undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan

sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan

pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila

ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu

melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan

normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut2

Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk

untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum

demi pengayoman masyarakat; menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak

pidana; memulihkan keseimbangan; mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;

memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi

orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Pertanggungjawaban pidana harus memperhatikan bahwa hukum pidana harus

digunakan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur merata materiil dan

spirituil. Hukum pidana tersebut digunakan untuk mencegah atau menanggulangi

2

(33)

perbuatan yang tidak dikehendaki. Selain itu penggunaan sarana hukum pidana

dengan sanksi yang negatif harus memperhatikan biaya dan kemampuan daya

kerja dari insitusi terkait, sehingga jangan sampai ada kelampauan beban tugas

(overbelasting) dalam melaksanakannya3

Perbuatan agar dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, harus mengandung

kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan

kelalaian (culpa).

1. Kesengajaan (opzet)

Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga

macam, yaitu sebagai berikut:

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat

dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh

khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu

tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena

dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si

pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang

menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.

b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak

bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik,

tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti

perbuatan itu.

3

(34)

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu

kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya

dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.

Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari

kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban

atas perbuatan seseorang yang dilakukannya4

2. Kelalaian (culpa)

Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun

juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh

karena itu delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet)

sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua

macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak

menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan

ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat

mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan

terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak

perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam

dengan pidana. 5

4

Ibid, hlm. 46. 5

(35)

Syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:

1) Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh

hukum, adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa

akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu

kemudian tidak benar. Kekeliruan terletak pada salah piker/pandang

yang seharusnya disingkirkan. Terdakwa sama sekali tidak punya

pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena

perbuatannya. Kekeliruan terletak pada tidak mempunyai pikiran sama

sekali bahwa akibat mungkin akan timbul hal mana sikap berbahaya

2) Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh

hukum, mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian

kebijaksanaan, kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam

keadaan yang tertentu/dalam caranya melakukan perbuatan. 6

Seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila

tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan

sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut

kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung

jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika

tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh

6

(36)

sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan

sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam

melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan

Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk

membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal

ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur

kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada

umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggung jawab, kecuali

kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak

normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap

keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya

masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggung jawab tidak

berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan

berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. 7

Masalah kemampuan bertanggung jawab ini terdapat dalam Pasal 44 Ayat 1

KUHP yang mengatur: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau

terganggu karena cacat, tidak dipidana”. Menurut Moeljatno, bila tidak

dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal

dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan.apabila

hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus

7

(37)

memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat yaitu syarat psikiatris dan syarat

psikologis.

Penjelasan mengenai kedua syarat tersebut adalah sebagai berikut:

a) Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna

akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang

mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan

keadaan ini harus terus menerus.

b) Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku

melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang

timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat

menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman8

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang

buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membedakan

perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Kemampuan untuk menentukan

kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut

adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan

tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang

tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tersebut maka orang yang tidak mampu

menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan,

8

(38)

dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian

itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa pertanggungjawaban

pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana

atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka

orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan

kesalahannya. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan

mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia

mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu

melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan

normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.

Hal yang mendasari pertangungjawaban tindak pidana adalah pemahaman bahwa

setiap manusia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa dengan akal budi dan nurani

yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang

buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam

menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia

memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Selain

untuk mengimbangi kebebasan, manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung

jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

(39)

Menurut P.A.F. Lamintang:

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak

pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana.

Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus

dihindari dan arang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi

larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati

oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam undang-undang

maupun peraturan-peraturan pemerintah. 9

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang

memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan

pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya

tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. 10

Menurut Andi Hamzah:

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam

undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan

9

P.A.F. Lamintang Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996. hlm. 7.

10

(40)

kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan

mempertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia

mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada

waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan

pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan11

Jenis-jenis tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

dibedakan atas dasar-dasar tertentu, sebagai berikut:

a) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara

lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat

dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan

“pelanggaran“ itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP

kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar

bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara

keseluruhan.

b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil

(formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak

pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang

dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362

KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya

adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang

menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggung jawabkan

dan dipidana.

11

(41)

c) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana

sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten).

Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP

antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan

sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang

dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga

dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang

menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam

Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.

d) Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan

aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk

mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang

berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378

KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan

tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan

secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya

berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552

KUHP.Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada

dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak

aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan

dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak

menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal12

12

(42)

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri

dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil

dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja

serta tindak pidana aktif dan pasif.

C. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Menurut Syed Husein Alatas:

Pengertian korupsi secara umum diartikan sebagai perbuatan yang

berkaitan dengan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk

kepentingan pribadi dan atau kelompok tertentu. Dengan demikian secara

spesifik ada tiga fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yaitu

penyuapan (bribery), pemerasan (extraction), dan nepotisme (nepotism).13

Kejahatan korupsi pada hakekatnya termasuk ke dalam kejahatan ekonomi, hal ini

bisa dibandingkan dengan anatomi kejahatan ekonomi sebagai berikut:

a) Penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan

b) Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban

c) Penyembunyian pelanggaran. 14

13

Syed Husein Alatas, Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, Jakarta:

LP3ES, 1983, hlm. 12. 14

(43)

Tindak Pidana Korupsi sebagai tindak pidana khusus di luar KUHP dinyatakan

secara tegas dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun1960 yang

mulai berlaku pada tanggal 9 Juni 1960 tentang pengusutan, penuntutan dan

pemeriksaan Tindak Pidana. Hukum Pidana Khusus adalah hukum pidana yang

ditetapkan untuk golongan orang khusus atau yang berhubungan dengan

perbuatan-perbuatan khusus, termasuk didalamnya hukum pidana militer

(golongan orang orang khusus) dan hukum pidana fiskal (perbutan-perbuatan

khusus) dan hukum pidana ekonomi. Disamping hukum pidana khusus ini, hukum

pidana umum (ius commune) tetap berlaku sebagai hukum yang menambah

(aanvullend rech).

Pidana khusus ini memuat ketentuan-ketentuan yang dari ketentuan pidana umum

yang menyangkut sekelompok orang atau perbuatan-perbuatan tertentu. Khususan

dari hukum pidana khusus dapat dilihat adanya ketentuan mengenai dapat

dipidana suatu perbuatan, ketentuan tentang pidana dan tindakan dan mengenai

dapat dituntutnya perbuatan. Jadi penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan

umum inilah yang merupakan ciri-ciri dari hukum pidana khusus.Gejala-gejala

adanya pidana delik-delik khusus menunjuk kapada adanya diferensiasi dalam

hukum pidana, suatu kecenderungan yang bertentangan dengan adanya unifikasi

dan ketentuan-ketentuan umum dari hukum pidana khusus mempunyai tujuan dan

fungsi sendiri, akan tetapi azas-azas hukum pidana khususnya "tiada pidana tanpa

kesalahan" harus tetap dihormati.

Selain pembagian hukum pidana dalam hukum pidana yang dikodifikasikan

(44)

pidana umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius singulare atau ius

speciale). Hukum pidana umum dan hukum pidana khusus ini tidak boleh

diartikan dengan bagian umum dan bagian khusus dari hukum pidana, karena

memang bagian dari umum dari hukum pidana menurut ketentuan-ketentuan atau

ajaran-ajaran umum, sedang bagian khususnya memuat perumusan tindak-tindak

pidana.

Semula dimaksudkan agar suatu kodifikasi itu memuat suatu bahan hukum yang

lengkap, akan tetapi kita mengatahui bahwa terbentuknya peraturan

perundang-undangan pidana diluar kodifikasi tidak dapat dihindarkan mengingat

pertumbuhan masyarakat terutama dibidang sosial dan ekonomi (di KUHP) dalam

buku keduanya memuat sebagian besar dari delik-delik berupa kejahatan, sedang

di buku ketiga dimuat sebagian kecil dari delik-delik berupa pelanggaran.

Undang-Undang Pidana Khusus adalah undang-undang pidana selain kitab

undang-undang hukum pidana yang merupakan induk peraturan hukum pidana.

Pengertian korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana

telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) tidak disebutkan pengertian

korupsi secara tegas. Pasal 2 ayat (1) menyebutkan:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan

(45)

tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit

Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,-

(satu milyar rupiah).”

Berdasarkan pengertian korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) UUPTPK di atas, dapat

disimpulkan ada tiga unsur tindak pidana korupsi yaitu secara melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara; Pasal 3

menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi dilakukan dengan tujuan

menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena

jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara; dan memberi hadian atau janji kepada Pegawai Negeri

dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau

kedudukannya tersebut.

Pelaku tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:

a) Setiap orang yang berarti perseorangan

b) Koorporasi dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 adalah

kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisir, baik berupa

badan hukum maupun tidak. Badan Hukum di Indonesia terdiri dari

Perseroan Terbatas (PT), Yayasan, Koperasi dan Indonesische

(46)

berupa firma, Commanditaire Vennootschap (CV) dan sebagainya.

c) Pegawai negeri yang dimaksud dengan Pegawai Negeri (Pejabat)

dalam pasal I ayat (2) Undang - Undang No. 31 tahun 1999 Jo

Undang-Undang No. 20 tahun 2001 meliputi Pegawai Negeri Sipil

Pegawai Negeri Sipil Pusat; Pegawai Negeri Sipil Daerah dan pegawai

Negeri Sipil lain yang ditetapkan dengan aturan Pemerintah. Angkatan

Bersenjata Republik Indonesia; Angkatan Darat; Angkatan

Laut;Angkatan Udara; Angkatan Kepolisian. 15

Masalah korupsi di Indonesia sangat kompleks. Korupsi sudah merambat ke

mana-mana dalam lapisan masyarakat pelaku tindak pidana korupsi tidak saja dari

kalangan pegawai negeri pada pejabat rendah tetapi sudah merambat pada

pengusaha, menteri, duta besar, dan lain-lain dalam semua tingkatan baik dari

kalangan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, maka tidak heran kalau golongan

pesimis mengatakan korupsi di Indonesia adalah suatu bagian budaya (sub

cultural) korupsi mulai dari pusat sampai ke daerah.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa korupsi merupakan

tindak pidana dan suatu perbuatan melawan hukum bertujuan untuk

menguntungkan diri sendiri, perusahaan dan menyalahgunakan wewenang,

kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatannya yang merugikan keuangan

15

(47)

dan perekonomian negara serta berdampak pada kerugian seluruh masyarakat

Indonesia.

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh

menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat

bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak

pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal

183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b).

Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal

yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184)

Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja

tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan

yang didakwakan kepadanya, sedangkan dalam Pasal 185Ayat (3) dikatakan

ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah

lainnya (unus testis nullus testis). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi,

sehingga apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal

185Ayat (3) KUHAP, maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana. 16

Hakim Pengadilan Negeri mengambil suatu keputusan dalam sidang pengadilan,

mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:

16

(48)

(1) Kesalahan pelaku tindak pidana

Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang.

Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya

pelaku tindak pidana tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak

pidana harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk

menentukan adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa

demi peristiwa, yang harus memegang ukuran normatif dari

kesengajaan dan niat adalah hakim.

(2) Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana

Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut

mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum

(3) Cara melakukan tindak pidana

Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan

terlebih dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang

terapat unsur niat di dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk

melawan hukum.

(4) Sikap batin pelaku tindak pidana

Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa

penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut.

Pelaku juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga

korban dan melakukan perdamaian secara kekeluargaan.

(5) Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi

Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga

(49)

hukuman bagi pelaku, misalnya belum pernah melakukan perbuatan

tidak pidana apa pun, berasal dari keluarga baik-baik, tergolong dari

masyarakat yang berpenghasilan sedang-sedang saja (kalangan kelas

bawah).

(6) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana

Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia

menjelaskan tidak berbelit-belit, ia menerima dan mengakui

kesalahannya.Maka hal yang di atas juga menjadi pertimbangan bagi

hakim untuk memberikan keringanan pidana bagi pelaku. Karena

hakim melihat pelaku berlaku sopan dan mau bertanggung jawab, juga

mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus terang dan berkata

jujur. Karena akan mempermudah jalannya persidangan.

(7) Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku

Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada

pelaku tindak pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak

mengulangi perbuatannya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada

pelaku, memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan,

sehingga menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna.

(8) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh

pelaku

Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakaan

pelaku adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku

untuk dijatuhi hukuman, agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan

(50)

merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal tersebut dinyatakan bahwa

ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan

dan kepastian hukum.17

Aspek secara kontekstual yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam

melaksanakan kekuasaan kehakiman adalah tiga esensi:

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan

b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau

mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim

c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan

tugas dan fungsi yudisialnya.18

E. PDAM Way Rilau Bandar Lampung

Menurut Syamsudin Alhabsji dan Soedjoto:

Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) adalah badan usaha milik

pemerintah daerah, yang melaksanakan fungsi pelayanan menghasilkan

kebutuhan air minum/air bersih bagi masyarakat, diharapkan dapat

memberikan pelayanan akan air bersih yang merata kepada seluruh lapisan

17

Barda Nawawi Arief, op cit, hlm. 77. 18

(51)

masyarakat, membantu perkembangan bagi dunia usaha dan menetapkan

struktur tarif yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan masyarakat. 19

Pengertian di atas menunjukkan bahwa keberadaan PDAM sebagai BUMD dapat

membantu memenuhi kebutuhan masyarakat, menunjang bagi perkembangan

kelangsungan dunia usaha dan perkembangan ekonomi di daerah, percepatan

pembangunan di daerah, karena air bersih yang dihasilkan PDAM merupakan

barang yang essensial yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Di sisi lain dengan menjual air bersih ini PDAM diharapkan juga memiliki

efisiensi sehingga memiliki kemampuan dalam memupuk dana dan menghasilkan

keuntungan, yang juga merupakan kontribusi bagi PAD. Dana dari PAD ini yang

kemudian diharapkan mampu menunjang terselenggaranya rencana pembangunan

di daerah, dan hasil pembangunan itu pada akhirnya dapat dinikmati kembali oleh

masyarakat. Maka sejalan dengan itu agar PDAM berjalan dengan tujuan dan

fungsinya, memerlukan pengelolaan yang baik dan benar dengan memperhatikan

segala kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dimilikinya, dalam

upayanya makin mensejahterakan masyarakat di era otonomi ini.

Menurut Sri Maemunah:

19

(52)

Perusahaan Daerah Air Minum merupakan salah satu Badan Usaha Milik

Daerah (BUMD) yang bergerak di bidang penyediaan air bersih untuk

kebutuhan masyarakat. Keberadaan Perusahaan Daerah Air Minum

sebagai unsur pelayanan publik, harus mengutamakan aspek sosial. Hal ini

tercermin di dalam penetapan harga produk lebih mempertimbangkan

kemampuan masyarakat, namun di balik fungsinya sebagai unsur

pelayanan publik juga tidak terlepas dari dimensi ekonomi, yaitu mencari

keuntungan, karena menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah.20

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 690-069 tahun 1992, tentang Pola

Petunjuk Teknis ditegaskan bahwa Perusahaan Daerah Air Minum mempunyai

fungsi pokok pelayanan umum kepada masyarakat, sehingga di dalam

menjalankan fungsinya tersebut Perusahaan Daerah Air Minum harus mampu

membiayai dirinya sendiri dan harus berusaha mengembangkan tingkat pelayanan

dan diharapkan mampu memberikan sumbangan kepada Pemerintah Daerah

dalam fungsinya sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah. Oleh karena itu perlu

penyelenggaraan dan pembinaan PDAM yang didasarkan pada asas ekonomi yang

sehat, sehingga mampu berkompetisi dengan perusahaan lain dalam meraih

peluang bisnis yang lebih menguntungkan.

Pemerintah Daerah mendirikan perusahaan daerah atas dasar pertimbangan:

menjalankan ideologi yang dianutnya bahwa sarana produksi milik masyarakat;

20

Referensi

Dokumen terkait

In this research, the researcher used error analysis as design of this research, based on Corder (1967) in Agustina (2016) that was determining the data, identifying the

Sesuai dengan pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005, maka pada tanggal 5 Mei dilakukan pengundian nomor urut pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, perlu dilakukan studi komparatif sekaligus korelasional untuk mengetahui sejauhmana pengaruh model pembelajaran (PBM, Inkuiri,

[r]

a. Besarnya gaji yang dibayar kepada setiap pegawai harus disesuaikan dengan prestasi kerja, jenis pekerjaan, risiko pekerjaan, tingkat pendidikan, jabatan pekerja,

PROGRAM/KEGIATAN : Koordinasi Kerjasama Pengembangan Peningkatan Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan Seni Budaya Region Kalimantan. TANGGAL PELAKSANAAN :

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan seperti berikut: Bagaimana memprediksi potensi kebangkrutan keuangan

Oleh karena sindrom koroner akut merupakan salah satu penyebab kematian di dunia dan di Indonesia serta besarnya pengaruh perubahan kadar lipid darah terhadap penyakit