ABSTRAK
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEGAWAI PDAM WAY RILAU BANDAR LAMPUNG YANG MELAKUKAN TINDAK
PIDANA KORUPSI PENGADAAN SOLAR (Studi Putusan Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK)
Oleh
CHRISTIAN KARTONO APRIANSYAH SILAEN
Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki posisi penting dalam pemerintahan, termasuk oleh pejabat Badan Usaha Milik Daerah. Secara ideal setiap pelaku tindak pidana korupsi harus dihukum secara maksimal untuk memberikan efek jera dan sebagai pembelajaran bagi pihak lain, tetapi pada kenyataannya putusan hakim belum sesuai dengan ancaman pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung yang melakukan tindak pidana korupsi pengadaan solar dalam Perkara Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK? (2) Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung yang melakukan tindak pidana korupsi pengadaan solar dalam Perkara Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK?
Metode penelitian dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Jenis data menggunakan data sekunder dan data primer. Narasumber penelitian terdiri dari Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung dan Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data menggunakan analisis kualitatif.
Christian Kartono Apriansyah Silaen
adanya keseimbangan antara perbuatan terdakwa yang melakukan tindak pidana korupsi dalam pembelian dan pengadaan solar bersubsidi, dengan ketentuan hukum. Putusan tersebut dapat dinyatakan telah memenuhi teori keseimbangan antara kesalahan terdakwa, ketentuan undang-undang serta hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa. Selain itu hal-hal yang memberatkan yaitu perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemberantasan korupsi yang dicanangkan pemerintah, terdakwa menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya dan perbuatan terdakwa merugikan keuangan Negara. Hal-hal yang meringankan adalah terdakwa mengakui perbuatannya, bersikap sopan di pengadilan dan terdakwa belum pernah dihukum
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi di lingkungan pemerintahan daerah dan badan usaha milik daerah hendaknya dioptimalkan melalui pemidanaan yang maksimal sesuai dengan ancaman yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini penting untuk dilaksanakan dalam rangka memberikan efek jera kepada pelaku dan sebagai pembelajaran bagi pihak lain agar tidak melakukan tindak pidana korupsi. (2) Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana korupsi disarankan untuk mempertimbangkan berbagai aspek yang menyebabkan terjadinya tindak pidana, kepentingan masyarakat terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi dan besarnya kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan terdakwa. Hal ini penting dilaksanakan agar pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa benar-benar berdasar pada teori keseimbangan dan keadilan bagi masyarakat.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEGAWAI PDAM WAY RILAU BANDAR LAMPUNG YANG MELAKUKAN TINDAK
PIDANA KORUPSI PENGADAAN SOLAR (Studi Putusan Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK)
Oleh
CHRISTIAN KARTONO APRIANSYAH SILAEN
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEGAWAI PDAM WAY RILAU BANDAR LAMPUNG YANG MELAKUKAN TINDAK
PIDANA KORUPSI PENGADAAN SOLAR (Studi Putusan Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK)
(Skripsi)
Oleh
CHRISTIAN KARTONO APRIANSYAH SILAEN
NPM. 1012011320
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR ISI
Halaman I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10
E. Sistematika Penulisan ... 16
II TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana ... 18
B. Pengertian Tindak Pidana ... 24
C. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 26
D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana... 30
E. PDAM Way Rilau Bandar Lampung ... 32
III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 36
B. Sumber dan Jenis Data ... 37
C. Penentuan Narasumber... 39
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 39
A. Karakteristik Responden ... 41
B. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Solar ... 42
C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap Pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Solar ... 68
V PENUTUP ... 75
A. Kesimpulan ... 75
B. Saran ... 76
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana dan perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi dengan tujuan
untuk menguntungkan diri sendiri atau korporasi, dengan cara menyalahgunakan
wewenang, kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatannya dan berdampak
pada kerugian keuangan dan perekonomian negara.
Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) disebutkan:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”
Berdasarkan pengertian korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) UUPTPK di atas, maka
diketahui bahwa terdapat tiga unsur tindak pidana korupsi yaitu secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara.
Secara ideal setiap pelaku tindak pidana korupsi harus dipidana secara maksimal
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu
setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Tindak pidana korupsi berdampak pada kerugian keuangan negara dan
menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka
Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan
kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi maka diketahui bahwa tindak
pidana korupsi di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada
tahun 2010 jumlah kasus tindak pidana korupsi di Indonesia mencapai 2.156
kasus, meningkat menjadi 2.876 kasus pada tahun 2011 dan kembali mengalami
peningkatan menjadi 3.127 kasus pada tahun 20121.
Peningkatan tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana
tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan
berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan
sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak
ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi
dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu
kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), oleh karena itu diperlukan penegakan
hukum yang komprehensif.
Pemerintah Indonesia dalam upaya mewujudkan supremasi hukum, telah
meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana
korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan
1
Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Undang-Undang Nomor 28
tahun 1999 tentang Penyelenggara Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.2
Upaya untuk menjamin penegakan hukum harus dilaksanakan secara benar, adil ,
tidak ada kesewenang-wenangan, tidak ada penyalahgunaan kekuasaan, ada
beberapa asas yang harus selalu tampil dalam setiap penegakan hukum, yaitu asas
tidak berpihak (impartiality), asas kejujuran dalam memeriksa dan memutus
(fairness), asas beracara benar (prosedural due process), asas menerapkan hukum
secara benar yang menjamin dan melindungi hak-hak substantif pencari keadilan
dan kepentingan sosial (lingkungan), asas jaminan bebas dari segala tekanan dan
kekerasan dalam proses peradilan. Sistem peradilan pidana sebagai pelaksanaan
dan penyelenggaan penegakan hukum terdiri dari beberapa badan yaitu
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, yang saling
berhubungan antara satu dengan yang lainnya. 3
Tindak pidana korupsi di Indonesia dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang pada
umumnya memiliki posisi penting dalam pemerintahan, termasuk oleh para
2
Eddy Mulyadi Soepardi, Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur Tindak
Pidana Korupsi, Yograkarta: Ghalia Indonesia, 2009, hlm. 3.
3
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001,
Pegawai Negeri Sipil di dalam lingkungan pemerintahan daerah atau pejabat
Badan Usaha Milik Daerah. Beberapa modus operandi korupsi yaitu sebagai
berikut:
1) Penggelapan; tindak pidana korupsi penggelapan antara lain ditandai
dengan adanya para pelaku, seperti menggelapkan aset-aset harta
kekayaan negara atau keuangan negara untuk memperkaya dirinya
sendiri atau orang lain.
2) Pemerasan; bentuk tindak pidana korupsi pemerasan antara lain
dengan ditandainya adanya pelaku seperti memaksa seorang secara
melaan hukum yang berlaku agar memberikan sesuatu barang atau
uang kepada yang bersangkutan.
3) Penyuapan; bentuk tindak pidana korupsi penyuapan antara lain
ditandai adanya para pelakunya, seperti memberikan suap kepada
oknum-oknum pegawai negeri agar si penerima suap memberikan
kemudahan dalam pemberian izin, kredit Bank dll. yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4) Manipulasi; bentuk tindak pidana korupsi manipulasi antara lain
ditandai dengan adanya para pelakunya yang melakukan mark-up
proyek pembangunan, SPJ, pembiayaan gedung/kantor, pengeluaran
anggaran fiktif.
5) Pungutan Liar; bentuk korupsi pungutan liar antara lain ditandai
dengan adanya para pelakunya yang malakukan pungutan liar di luar
ketentuan peraturan. Umumnya pungutan liar ini dilakukan terhadap
instansi pemerintah.
6) Kolusi dan Nepotisme; yaitu pengangkatan sanak saudara,
teman-teman atau kelompok politiknya pada jabatan-jabatan dalam kedinasan
aparat pemerintah tanpa memandang keahlian dan kemampuan.4
Tindak Pidana Korupsi sebagai tindak pidana khusus di luar KUHP dinyatakan
secara tegas dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun1960 yang
mulai berlaku pada tanggal 9 Juni 1960 tentang pengusutan, penuntutan dan
pemeriksaan Tindak Pidana. Hukum Pidana Khusus adalah hukum pidana yang
ditetapkan untuk golongan orang khusus atau yang berhubungan dengan
perbuatan-perbuatan khusus, termasuk didalamnya hukum pidana militer
(golongan orang orang khusus) dan hukum pidana fiskal (perbutan-perbuatan
khusus) dan hukum pidana ekonomi. Disamping hukum pidana khusus ini, hukum
pidana umum (ius commune) tetap berlaku sebagai hukum yang menambah
(aanvullend rech). 5
Pidana khusus ini memuat ketentuan-ketentuan di luar ketentuan pidana umum
yang menyangkut sekelompok orang atau perbuatan-perbuatan tertentu. Khususan
dari hukum pidana khusus dapat dilihat adanya ketentuan mengenai dapat
dipidana suatu perbuatan, ketentuan tentang pidana dan tindakan dan mengenai
dapat dituntutnya perbuatan. Jadi penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan
umum inilah yang merupakan ciri-ciri dari hukum pidana khusus.Gejala-gejala
4
Eddy Mulyadi Soepardi, op cit, hlm. 4. 5
adanya pidana delik-delik khusus menunjuk kapada adanya diferensiasi dalam
hukum pidana, suatu kecenderungan yang bertentangan dengan adanya unifikasi
dan ketentuan-ketentuan umum dari hukum pidana khusus mempunyai tujuan dan
fungsi sendiri, akan tetapi azas-azas hukum pidana khususnya "tiada pidana tanpa
kesalahan" harus tetap dihormati.
Setiap pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum, sesuai dengan
ketentuan undang-undang. Setiap warga negara wajib menjunjung hukum, namun
demikian dalam kenyataan sehari-hari adanya warga negara yang lalai/sengaja
tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan masyarakat, dikatakan
bahwa warga negara tersebut melanggar hukum karena kewajibannya tersebut
telah ditentukan berdasarkan hukum. Seseorang yang melanggar hukum harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum.
Pemberian sanksi terhadap pelaku tindak pidana merupakan proses penegakan
hukum. Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan
perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat
terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga
keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan
oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan
tujuan, adalah merupakan keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana
sebagai suatu sistem peradilan pidana.6
Salah satu perkara tindak pidana korupsi di wilayah hukum Kota Bandar
Lampung adalah tertuang dalam Putusan Pengadilan Nomor:
21/PID/TPK/2012.PN.TK. Dalam putusan tersebut dinyatakan bahwa terdakwa
Haris Munandar yang menjabat Kepala Sub Bagian Pembelian Perusahaan Daerah
Air Minum (PDAM) Way Rilau Kota Bandar Lampung telah secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dalam pembelian dan pengadaan
solar bersubsidi, yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar
Rp.608.000.000,- (enam ratus delapan juta rupiah).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan terdakwa Haris Munandar yang
menjabat sebagai Kasubag Pembelian PDAM Way Rilau, melakukan tindak
pidana korupsi pembelian dan pengadaan solar di lingkungan PDAM Way Rilau
Kota Bandar Lampung serta terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal
3 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya dipidana
dengan selama 2,5 tahun penjara. Sebelumnya JPU menuntut kepada terdakwa
agar Majelis Hakim menjatuhkan pidana selama 3,5 tahun penjara dan uang
pengganti Rp 608 juta subsidair enam bulan penjara.
Berdasarkan fakta-fakta di persidangan Majelis Hakim menjatuhkan pidana
kepada terdakwa selama 2,5 penjara dan mewajibkan terdakwa membayar denda
6
Rp 50 juta subsidair satu bulan penjara serta uang pengganti Rp 608 juta subsidair
enam bulan penjara, sebagai bentuk pertanggungjawaban pidananya. Hal ini
sesuai dengan keterangan bahwa pertanggungjawaban pidana didasarkan pada
adanya unsur kesalahan, adanya kemampuan terdakwa untuk
mempertanggungjawabkan perbuatanya dalam artian bahwa terdakwa telah cakap
atau dewasa untuk bertanggung jawab serta tidak dalam keadaan kurang ingatan
atau gila.
Pandangan negatif masyarakat terhadap hakim dapat dihindari dengan memutus
perkara secara adil dan teliti, sehingga tidak menimbulkan kesenjangan terhadap
suatu putusan. Dari dalam diri hakim hendaknya lahir, tumbuh dan berkembang
adanya sikap/sifat kepuasan moral jika keputusan yang dibuatnya dapat menjadi
tolak ukur untuk kasus yang sama, sebagai bahan referensi bagi kalangan teoritis
dan praktisi hukum serta kepuasan nurani jika sampai dikuatkan dan tidak
dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung jika perkara tersebut
sampai ke tingkat banding atau kasasi. Hakim dalam membuat putusan harus
memperhatikan segala aspek di dalamnya, yaitu mulai dari perlunya kehati-hatian
serta dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik bersifat formal maupun
materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik dalam membuatnya. 7
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis melaksanakan penelitian dalam
rangka penyusunan Skripsi dengan judul: “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap
7
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan
Pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung Yang Melakukan Tindak Pidana
Korupsi Pengadaan Solar (Studi Putusan Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK)
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka permasalahan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pegawai PDAM Way
Rilau Bandar Lampung yang melakukan tindak pidana korupsi pengadaan
solar dalam Perkara Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK?
b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap
pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung yang melakukan tindak pidana
korupsi pengadaan solar dalam Perkara Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK?
2. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah hukum pidana dan dibatasi pada kajian
pertanggungjawaban pidana terhadap pegawai PDAM Way Rilau Bandar
Lampung yang melakukan tindak pidana korupsi pengadaan solar dalam Putusan
Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 21/PID/TPK/2012.PN.TK. Ruang
lingkup Lokasi Penelitian adalah Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pegawai PDAM Way
Rilau Bandar Lampung yang melakukan tindak pidana korupsi pengadaan
solar dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor
21/PID/TPK/2012. PN.TK.
b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap terhadap pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung yang
melakukan tindak pidana korupsi pengadaan solar pada Putusan Pengadilan
Negeri Tanjung Karang Nomor 21/PID/TPK/2012.PN.TK.
2. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun
secara praktis, yaitu sebagai berikut:
a. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah
kajian ilmu hukum pidana, khususnya yang berhubungan pertanggungjawaban
pidana terhadap pegawai PDAM Way Rilau Bandar Lampung yang
hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terhadap pegawai PDAM Way
Rilau Bandar Lampung yang melakukan tindak pidana korupsi pengadaan
solar pada Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No: 697/Pid/B/2012/
PNTK.
b. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan
dan kontribusi positif bagi aparat penegak hukum dalam menanggulangi
tindak pidana korupsi pada masa-masa yang akan datang, sehingga
penanggulangan tindak pidana korupsi dapat dilaksanakan secara lebih
optimal.
D. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan pengabstrakan hasil pemikiran sebagai kerangka acuan
atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian ilmiah, khususnya dalam
penelitian ilmu hukum. Peneliti menggunakan kerangka teori sebagai dasar untuk
melakukan analisis terhadap permasalahan yang dibahas dalam penelitian,
sehingga setiap pembahasan yang dilakukan memiliki landasan secara teoritis.
Kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Teori Pertanggungjawaban Pidana
Untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, maka suatu perbuatan
harus mengandung kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu
kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa).
Kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:
a. Kesengajaan yang bersifat tujuan
Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat
dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh
khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu
tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana.
b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian
Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak
bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik,
tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti
perbuatan itu.
c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan
Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu
kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya
dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.
2. Kelalaian (culpa)
Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun
juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh
karena itu delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet)
sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua
macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak
menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan
ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat
terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak
perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam
dengan pidana.8
Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan
menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:
a. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggungjawabkan
dari si pembuat.
b. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku
yang berhubungan dengan kelakuannya yang disengaja dan sikap
kurang hati-hati atau lalai
c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf dapat yang
menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat9
Pelaku tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuataannya, dengan
dasar kemampuan bertanggung jawab, ada perbuatan melawan hukum dan
tidak ada alasan pemaaf atau pembenar atas tindak pidana yang dilakukannya.
b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana
Hakim dalam mengadili pelaku tindak pidana harus melalui proses penyajian
kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian
proses penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan
8
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1993, hlm. 46.
9
demikian, putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori pembuktian,
yaitu saling berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain,
misalnya, antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain
atau saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain (Pasal
184 KUHAP).
Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan
kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui
putusanputusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan
perundang-undangan yang siciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin
keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan
tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas
yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak,
sebagai salah satu unsur Negara hukum. Sebagai pelaksana dari kekuasaan
kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam peraturan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim
melalui putusannya. Fungsi hakim adalah memberikan putusan terhadap
perkara yang diajukan, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas
dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menetukan bahwa suatu
hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya
alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang
dilandasi denganintegritas moral yang baik.10
10
Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim
dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:
a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;
b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau
mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;
c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan
tugas dan fungsi yudisialnya. 11
Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan
mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak
tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat menginterpensi hakim
dalam menjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan
harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara
yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan
pelaku, kepentingan pihak korban, keluarganya dan rasa keadilan masyarakat.
Menurut Mackenzie ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat
dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan dalam suatu perkara,
yaitu sebagai berikut:
a. Teori keseimbangan
Yang dimaksud dengan keseimbangan disini keseimbangan antara
syarat-syarat yang ditentukan undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang
tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya
11
keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat dan kepentingan
terdakwa.
b. Teori pendekatan seni dan intuisi
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari
hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan
dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana,
hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam
perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam
penjatuhan putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada
pengetahuan dari hakim
c. Teori pendekatan keilmuan
Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana
harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya
dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka
menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini
merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara,
hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi
harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan
keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus
diputuskannya.
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya
dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan
pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui
bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara
pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.
e. Teori Ratio Decidendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang
mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara
yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan
yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar
hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus
didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan
memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.
f. Teori kebijaksanaan
Teori ini diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, di mana sebenarnya teori
ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara di pengadilan anak.
Aspek ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang
tua ikut bertanggungjawab untuk membimbing, membina, mendidik dan
melindungi anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi
keluarga, masyarakat dan bagi bangsnya.12
12
2. Konseptual
Konseptual adalah susunan konsep-konsep sebagai fokus pengamatan dalam
melaksanakan penelitian, khususnya dalam penelitian ilmu hukum. Analisis
pokok-pokok bahasan dalam penelitian ini dan memberikan batasan pengertian
yang berhubungan dengan yaitu sebagai berikut:
a. Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme
untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung
jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat
dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu
memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. 13
b. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu
bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana merupakan
pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan
sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku14
c. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan
melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam
undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib
hukum dan terjaminnya kepentingan umum15
d. Tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit
Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,-
(satu milyar rupiah).16 Tindak pidana korupsi dilakukan dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara; dan memberi hadian atau janji kepada Pegawai Negeri
dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya tersebut. 17
E. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun dalam lima bab untuk untuk memudahkan pemahaman
terhadap isinya. Secara terperinci sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
I PENDAHULUAN
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum. 1998, hlm. 25. 16
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) 17
Bab ini berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar
Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan
Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.
II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang
berhubungan dengan penyusunan skripsi dan diambil dari berbagai
referensi atau bahan pustaka terdiri dari pengertian pertanggungjawaban
pidana, pengertian dan jenis tindak pidana, tindak pidana korupsi.
III METODE PENELITIAN
Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan
Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur
Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat
penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai
pertanggungjawaban pidana terhadap pegawai PDAM Way Rilau Bandar
Lampung yang melakukan tindak pidana korupsi pengadaan solar dalam
Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor:
21/PID/TPK/2012.PN.TK dan dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan pidana terhadap terhadap pegawai PDAM Way Rilau Bandar
Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor
21/PID/TPK/2012.PN.TK.
V PENUTUP
Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan
pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang
didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang
didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas
legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip
bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam
beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti
(vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah
kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun
kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep merupakan salah satu alasan
pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut
dipersalahkan kepadanya1
Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme
untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka
1
dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk
dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya
itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang.
Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang
melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam
undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan
sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan
pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila
ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu
melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan
normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut2
Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk
untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum
demi pengayoman masyarakat; menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak
pidana; memulihkan keseimbangan; mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi
orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Pertanggungjawaban pidana harus memperhatikan bahwa hukum pidana harus
digunakan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur merata materiil dan
spirituil. Hukum pidana tersebut digunakan untuk mencegah atau menanggulangi
2
perbuatan yang tidak dikehendaki. Selain itu penggunaan sarana hukum pidana
dengan sanksi yang negatif harus memperhatikan biaya dan kemampuan daya
kerja dari insitusi terkait, sehingga jangan sampai ada kelampauan beban tugas
(overbelasting) dalam melaksanakannya3
Perbuatan agar dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, harus mengandung
kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan
kelalaian (culpa).
1. Kesengajaan (opzet)
Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga
macam, yaitu sebagai berikut:
a. Kesengajaan yang bersifat tujuan
Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat
dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh
khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu
tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena
dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si
pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang
menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.
b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian
Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak
bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik,
tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti
perbuatan itu.
3
c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan
Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu
kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya
dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.
Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari
kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban
atas perbuatan seseorang yang dilakukannya4
2. Kelalaian (culpa)
Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun
juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh
karena itu delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet)
sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua
macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak
menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan
ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat
mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan
terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak
perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam
dengan pidana. 5
4
Ibid, hlm. 46. 5
Syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:
1) Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh
hukum, adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa
akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu
kemudian tidak benar. Kekeliruan terletak pada salah piker/pandang
yang seharusnya disingkirkan. Terdakwa sama sekali tidak punya
pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena
perbuatannya. Kekeliruan terletak pada tidak mempunyai pikiran sama
sekali bahwa akibat mungkin akan timbul hal mana sikap berbahaya
2) Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh
hukum, mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian
kebijaksanaan, kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam
keadaan yang tertentu/dalam caranya melakukan perbuatan. 6
Seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila
tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan
sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut
kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung
jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika
tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh
6
sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan
sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam
melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan
Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk
membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal
ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur
kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada
umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggung jawab, kecuali
kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak
normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap
keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya
masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggung jawab tidak
berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan
berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. 7
Masalah kemampuan bertanggung jawab ini terdapat dalam Pasal 44 Ayat 1
KUHP yang mengatur: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau
terganggu karena cacat, tidak dipidana”. Menurut Moeljatno, bila tidak
dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal
dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan.apabila
hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus
7
memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat yaitu syarat psikiatris dan syarat
psikologis.
Penjelasan mengenai kedua syarat tersebut adalah sebagai berikut:
a) Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna
akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang
mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan
keadaan ini harus terus menerus.
b) Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku
melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang
timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat
menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman8
Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang
buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membedakan
perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Kemampuan untuk menentukan
kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut
adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan
tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang
tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tersebut maka orang yang tidak mampu
menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan,
8
dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian
itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa pertanggungjawaban
pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana
atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka
orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan
kesalahannya. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan
mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia
mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu
melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan
normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.
Hal yang mendasari pertangungjawaban tindak pidana adalah pemahaman bahwa
setiap manusia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa dengan akal budi dan nurani
yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang
buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam
menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia
memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Selain
untuk mengimbangi kebebasan, manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung
jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.
Menurut P.A.F. Lamintang:
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak
pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah
perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan
merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana.
Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus
dihindari dan arang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi
larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati
oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam undang-undang
maupun peraturan-peraturan pemerintah. 9
Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya
tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. 10
Menurut Andi Hamzah:
Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam
undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan
9
P.A.F. Lamintang Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996. hlm. 7.
10
kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan
mempertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia
mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada
waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan
pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan11
Jenis-jenis tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
dibedakan atas dasar-dasar tertentu, sebagai berikut:
a) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara
lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat
dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan
“pelanggaran“ itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP
kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar
bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara
keseluruhan.
b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil
(formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak
pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang
dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362
KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya
adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang
menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggung jawabkan
dan dipidana.
11
c) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana
sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten).
Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP
antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan
sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang
dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga
dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang
menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam
Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.
d) Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan
aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk
mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang
berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378
KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan
tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan
secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya
berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552
KUHP.Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada
dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak
aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan
dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak
menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal12
12
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri
dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil
dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja
serta tindak pidana aktif dan pasif.
C. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Menurut Syed Husein Alatas:
Pengertian korupsi secara umum diartikan sebagai perbuatan yang
berkaitan dengan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk
kepentingan pribadi dan atau kelompok tertentu. Dengan demikian secara
spesifik ada tiga fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yaitu
penyuapan (bribery), pemerasan (extraction), dan nepotisme (nepotism).13
Kejahatan korupsi pada hakekatnya termasuk ke dalam kejahatan ekonomi, hal ini
bisa dibandingkan dengan anatomi kejahatan ekonomi sebagai berikut:
a) Penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan
b) Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban
c) Penyembunyian pelanggaran. 14
13
Syed Husein Alatas, Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, Jakarta:
LP3ES, 1983, hlm. 12. 14
Tindak Pidana Korupsi sebagai tindak pidana khusus di luar KUHP dinyatakan
secara tegas dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun1960 yang
mulai berlaku pada tanggal 9 Juni 1960 tentang pengusutan, penuntutan dan
pemeriksaan Tindak Pidana. Hukum Pidana Khusus adalah hukum pidana yang
ditetapkan untuk golongan orang khusus atau yang berhubungan dengan
perbuatan-perbuatan khusus, termasuk didalamnya hukum pidana militer
(golongan orang orang khusus) dan hukum pidana fiskal (perbutan-perbuatan
khusus) dan hukum pidana ekonomi. Disamping hukum pidana khusus ini, hukum
pidana umum (ius commune) tetap berlaku sebagai hukum yang menambah
(aanvullend rech).
Pidana khusus ini memuat ketentuan-ketentuan yang dari ketentuan pidana umum
yang menyangkut sekelompok orang atau perbuatan-perbuatan tertentu. Khususan
dari hukum pidana khusus dapat dilihat adanya ketentuan mengenai dapat
dipidana suatu perbuatan, ketentuan tentang pidana dan tindakan dan mengenai
dapat dituntutnya perbuatan. Jadi penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan
umum inilah yang merupakan ciri-ciri dari hukum pidana khusus.Gejala-gejala
adanya pidana delik-delik khusus menunjuk kapada adanya diferensiasi dalam
hukum pidana, suatu kecenderungan yang bertentangan dengan adanya unifikasi
dan ketentuan-ketentuan umum dari hukum pidana khusus mempunyai tujuan dan
fungsi sendiri, akan tetapi azas-azas hukum pidana khususnya "tiada pidana tanpa
kesalahan" harus tetap dihormati.
Selain pembagian hukum pidana dalam hukum pidana yang dikodifikasikan
pidana umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius singulare atau ius
speciale). Hukum pidana umum dan hukum pidana khusus ini tidak boleh
diartikan dengan bagian umum dan bagian khusus dari hukum pidana, karena
memang bagian dari umum dari hukum pidana menurut ketentuan-ketentuan atau
ajaran-ajaran umum, sedang bagian khususnya memuat perumusan tindak-tindak
pidana.
Semula dimaksudkan agar suatu kodifikasi itu memuat suatu bahan hukum yang
lengkap, akan tetapi kita mengatahui bahwa terbentuknya peraturan
perundang-undangan pidana diluar kodifikasi tidak dapat dihindarkan mengingat
pertumbuhan masyarakat terutama dibidang sosial dan ekonomi (di KUHP) dalam
buku keduanya memuat sebagian besar dari delik-delik berupa kejahatan, sedang
di buku ketiga dimuat sebagian kecil dari delik-delik berupa pelanggaran.
Undang-Undang Pidana Khusus adalah undang-undang pidana selain kitab
undang-undang hukum pidana yang merupakan induk peraturan hukum pidana.
Pengertian korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) tidak disebutkan pengertian
korupsi secara tegas. Pasal 2 ayat (1) menyebutkan:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,-
(satu milyar rupiah).”
Berdasarkan pengertian korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) UUPTPK di atas, dapat
disimpulkan ada tiga unsur tindak pidana korupsi yaitu secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara; Pasal 3
menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi dilakukan dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara; dan memberi hadian atau janji kepada Pegawai Negeri
dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya tersebut.
Pelaku tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
a) Setiap orang yang berarti perseorangan
b) Koorporasi dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 adalah
kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisir, baik berupa
badan hukum maupun tidak. Badan Hukum di Indonesia terdiri dari
Perseroan Terbatas (PT), Yayasan, Koperasi dan Indonesische
berupa firma, Commanditaire Vennootschap (CV) dan sebagainya.
c) Pegawai negeri yang dimaksud dengan Pegawai Negeri (Pejabat)
dalam pasal I ayat (2) Undang - Undang No. 31 tahun 1999 Jo
Undang-Undang No. 20 tahun 2001 meliputi Pegawai Negeri Sipil
Pegawai Negeri Sipil Pusat; Pegawai Negeri Sipil Daerah dan pegawai
Negeri Sipil lain yang ditetapkan dengan aturan Pemerintah. Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia; Angkatan Darat; Angkatan
Laut;Angkatan Udara; Angkatan Kepolisian. 15
Masalah korupsi di Indonesia sangat kompleks. Korupsi sudah merambat ke
mana-mana dalam lapisan masyarakat pelaku tindak pidana korupsi tidak saja dari
kalangan pegawai negeri pada pejabat rendah tetapi sudah merambat pada
pengusaha, menteri, duta besar, dan lain-lain dalam semua tingkatan baik dari
kalangan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, maka tidak heran kalau golongan
pesimis mengatakan korupsi di Indonesia adalah suatu bagian budaya (sub
cultural) korupsi mulai dari pusat sampai ke daerah.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa korupsi merupakan
tindak pidana dan suatu perbuatan melawan hukum bertujuan untuk
menguntungkan diri sendiri, perusahaan dan menyalahgunakan wewenang,
kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatannya yang merugikan keuangan
15
dan perekonomian negara serta berdampak pada kerugian seluruh masyarakat
Indonesia.
D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana
Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh
menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal
183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b).
Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal
yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184)
Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja
tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan
yang didakwakan kepadanya, sedangkan dalam Pasal 185Ayat (3) dikatakan
ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah
lainnya (unus testis nullus testis). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi,
sehingga apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal
185Ayat (3) KUHAP, maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana. 16
Hakim Pengadilan Negeri mengambil suatu keputusan dalam sidang pengadilan,
mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:
16
(1) Kesalahan pelaku tindak pidana
Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang.
Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya
pelaku tindak pidana tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak
pidana harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk
menentukan adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa
demi peristiwa, yang harus memegang ukuran normatif dari
kesengajaan dan niat adalah hakim.
(2) Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana
Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut
mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum
(3) Cara melakukan tindak pidana
Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan
terlebih dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang
terapat unsur niat di dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk
melawan hukum.
(4) Sikap batin pelaku tindak pidana
Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa
penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut.
Pelaku juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga
korban dan melakukan perdamaian secara kekeluargaan.
(5) Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi
Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga
hukuman bagi pelaku, misalnya belum pernah melakukan perbuatan
tidak pidana apa pun, berasal dari keluarga baik-baik, tergolong dari
masyarakat yang berpenghasilan sedang-sedang saja (kalangan kelas
bawah).
(6) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana
Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia
menjelaskan tidak berbelit-belit, ia menerima dan mengakui
kesalahannya.Maka hal yang di atas juga menjadi pertimbangan bagi
hakim untuk memberikan keringanan pidana bagi pelaku. Karena
hakim melihat pelaku berlaku sopan dan mau bertanggung jawab, juga
mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus terang dan berkata
jujur. Karena akan mempermudah jalannya persidangan.
(7) Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku
Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada
pelaku tindak pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak
mengulangi perbuatannya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada
pelaku, memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan,
sehingga menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna.
(8) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh
pelaku
Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakaan
pelaku adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku
untuk dijatuhi hukuman, agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan
merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal tersebut dinyatakan bahwa
ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan
dan kepastian hukum.17
Aspek secara kontekstual yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam
melaksanakan kekuasaan kehakiman adalah tiga esensi:
a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan
b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau
mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim
c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan
tugas dan fungsi yudisialnya.18
E. PDAM Way Rilau Bandar Lampung
Menurut Syamsudin Alhabsji dan Soedjoto:
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) adalah badan usaha milik
pemerintah daerah, yang melaksanakan fungsi pelayanan menghasilkan
kebutuhan air minum/air bersih bagi masyarakat, diharapkan dapat
memberikan pelayanan akan air bersih yang merata kepada seluruh lapisan
17
Barda Nawawi Arief, op cit, hlm. 77. 18
masyarakat, membantu perkembangan bagi dunia usaha dan menetapkan
struktur tarif yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan masyarakat. 19
Pengertian di atas menunjukkan bahwa keberadaan PDAM sebagai BUMD dapat
membantu memenuhi kebutuhan masyarakat, menunjang bagi perkembangan
kelangsungan dunia usaha dan perkembangan ekonomi di daerah, percepatan
pembangunan di daerah, karena air bersih yang dihasilkan PDAM merupakan
barang yang essensial yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Di sisi lain dengan menjual air bersih ini PDAM diharapkan juga memiliki
efisiensi sehingga memiliki kemampuan dalam memupuk dana dan menghasilkan
keuntungan, yang juga merupakan kontribusi bagi PAD. Dana dari PAD ini yang
kemudian diharapkan mampu menunjang terselenggaranya rencana pembangunan
di daerah, dan hasil pembangunan itu pada akhirnya dapat dinikmati kembali oleh
masyarakat. Maka sejalan dengan itu agar PDAM berjalan dengan tujuan dan
fungsinya, memerlukan pengelolaan yang baik dan benar dengan memperhatikan
segala kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dimilikinya, dalam
upayanya makin mensejahterakan masyarakat di era otonomi ini.
Menurut Sri Maemunah:
19
Perusahaan Daerah Air Minum merupakan salah satu Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD) yang bergerak di bidang penyediaan air bersih untuk
kebutuhan masyarakat. Keberadaan Perusahaan Daerah Air Minum
sebagai unsur pelayanan publik, harus mengutamakan aspek sosial. Hal ini
tercermin di dalam penetapan harga produk lebih mempertimbangkan
kemampuan masyarakat, namun di balik fungsinya sebagai unsur
pelayanan publik juga tidak terlepas dari dimensi ekonomi, yaitu mencari
keuntungan, karena menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah.20
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 690-069 tahun 1992, tentang Pola
Petunjuk Teknis ditegaskan bahwa Perusahaan Daerah Air Minum mempunyai
fungsi pokok pelayanan umum kepada masyarakat, sehingga di dalam
menjalankan fungsinya tersebut Perusahaan Daerah Air Minum harus mampu
membiayai dirinya sendiri dan harus berusaha mengembangkan tingkat pelayanan
dan diharapkan mampu memberikan sumbangan kepada Pemerintah Daerah
dalam fungsinya sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah. Oleh karena itu perlu
penyelenggaraan dan pembinaan PDAM yang didasarkan pada asas ekonomi yang
sehat, sehingga mampu berkompetisi dengan perusahaan lain dalam meraih
peluang bisnis yang lebih menguntungkan.
Pemerintah Daerah mendirikan perusahaan daerah atas dasar pertimbangan:
menjalankan ideologi yang dianutnya bahwa sarana produksi milik masyarakat;
20