ABSTRACT
DETERMINATION OF LAND TO POND RATIO IN RAIN WATER HARVESTING SYSTEM TO SUPPORT RICE-SOYBEAN
CROPPING PATTERN
By
WIRA HADINATA
The rain water harvesting system consists of a land area cultivated with rice and soybean cropping pattern annually, and a rainwater collection pond. Surplus water (runoff) in raining season is captured and collected in the pond, and used for irrigation in the following cultivation. The objective of this research was to determine the optimum ratio of the land to pond area. This research was carried out in the Integrated Field Laboratory, Faculty of Agriculture, University of Lampung by using data of soil physical properties (water content, field capacity, permanent wilting point, percolation); rice crop coefficient, soybean crop
coefficient and climatological data for 13 years from 1999 to 2011. Data was processed using a simulation program (Visual Simulation) presented in the graphical form. The results showed that the rainwater potential that can be utilized as an alternative irrigation is abundant, about 1500 mm/year - 3000 mm/year with a total of rainwater reaching 314.509,78 m3 over 13 years. Based on the simulation, the most effective period of planting, for rice is in January and for soybean is in May. In addition, the optimum pond dimension to serve 1 ha cropping land is about 2450 m2 in with 3 m depth, or the ratio of land to pond is 4:1.
ABSTRAK
PENENTUAN DIMENSI KOLAM PENAMPUNGAN PADA SISTEM PEMANENAN AIR HUJAN (WATER HARVESTING) UNTUK
MENDUKUNG POLA TANAM PADI DAN KEDELAI
Oleh
WIRA HADINATA
Unsur utama dari sistem pemanenan air hujan terdiri dari pola tanam padi dan kedelai, dan kolam penampung air hujan. Kelebihan air hujan (runoff) di musim hujan akan dikumpulkan di kolam penampungan untuk digunakan sebagai sumber irigasi ketika musim kemarau. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dimensi kolam yang efektif dalam pemanfaatan air. Penelitian dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung dengan menggunakan data sifat fisik tanah (kadar air, kapasitas lapang, titik layu permanen, perkolasi); data koefisien tanaman padi, data koefisien tanaman kedelai dan data klimatologi selama 13 tahun 1999. Data diolah menggunakan program simulasi (Visual Simulation) disajikan dalam bentuk grafik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi air hujan yang dapat digunakan sebagai alternatif irigasi cukup besar yaitu berkisar 1500 mm/tahun – 3000 mm/tahun dengan jumlah total selama 13 tahun sebesar 322.039 m3. Berdasarkan simulasi yang telah dilakukan jadwal tanam yang sesuai untuk tanaman padi dan kedelai adalah bulan Januari. Sedangkan luas kolam yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan irigasi adalah 2450 m2 pada
kedalaman 3 m, atau dengan perbandingan rasio lahan budidaya dan kolam penampung sebesar 4:1.
PENENTUAN DIMENSI KOLAM PENAMPUNGAN PADA SISTEM PEMANENAN AIR HUJAN (WATER HARVESTING) UNTUK
MENDUKUNG POLA TANAM PADI DAN KEDELAI
(Skripsi)
Oleh
WIRA HADINATA
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
i
4. Modifikasi microcatchment untuk menyalurkan dan menampung runoff ke lokasi yang ditentukan ... 24
5. Kolam penampung air hujan untuk mendukung diversifikasi pertanian ... 25
12. Volume limpasan air hujan dari kolam seluas 2000 m2 dengan kedalaman 2 m2 selama 13 tahun untuk tanam bulan Januari. ... 41
13. Luas kolam penampung untuk memenuhi kebutuhan irigasi padi dan kedelai pada lahan seluas 1 ha ... 43
14. Total kebutuhan irigasi selama 13 tahun pada bulan tanam Januari-Juni tanpa kekurangan air pada lahan seluas 1 ha ... 43
15. Kesetimbangan air rata-rata selama 13 tahun di lahan untuk musim tanam padi, kedelai dan bera ... 44
ii 17. Hubungan kekurangan irigasi dengan luas kolam untuk
kedalaman 1,5 m ... 46 18. Hubungan kekurangan irigasi dengan luas kolam untuk
kedalaman 2 m ... 47 19. Hubungan kekurangan irigasi dengan luas kolam untuk
kedalaman 2,5 m ... 47 20. Hubungan kekurangan irigasi dengan luas kolam untuk
kedalaman 3 m ... 48 21. Tinggi air di lahan pada musim tanam bulan Januari selama
13 tahun ... 49 22. Tinggi air di kolam dengan luas 3000 m2 kedalaman 2 m pada
musim tanam bulan Januari ... 49 23. Tinggi air di kolam dengan luas 2000 m2 kedalaman 2 m pada
musim tanam bulan Januari ... 50 24. Tinggi air di kolam dengan luas 2450 m2 kedalaman 3 m pada
DAFTAR ISI
2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruihi Kebutuhan Air... 13
2.3.1. Topografi... 13
2.6.3. Rancangan Sistem Panen Air Hujan ... 24
3.6. Skenario dan Batasan Model Sistem Water Harvesitng ... 32
3.7. Analisis Neraca Air ... 34
4.6. Hasil Simulasi Kesetimbangan Tinggi Air ... 48
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Teks
1. Luas Panen Tanaman kedelai menurut Kabupaten/Kota di Provinsi
Lampung Tahun 2005 - 2009 ( Hektar ) ... 6
2. Produksi kedelai menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung Tahun 2005-2009 (ton) ... 7
3. Luas Panen Tanaman padi menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung Tahun 2005 - 2009 ( Hektar ) ... 8
4. Produksi Tanaman Padi menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung Tahun 2005 – 2009 (ton) ... 9
5. Data tekstur tanah ... 34
6. Data analisis neraca air pada sistem water harvesting ... 52
Lampiran 7. Curah hujan harian tahun 1999 ... 57
8. Curah hujan harian tahun 2000 ... 58
9. Curah hujan harian tahun 2001 ... 59
10. Curah hujan harian tahun 2002 ... 60
11. Curah hujan harian tahun 2003 ... 61
12. Curah hujan harian tahun 2004 ... 62
13. Curah hujan harian tahun 2005 ... 63
14. Curah hujan harian tahun 2006 ... 64
15. Curah hujan harian tahun 2007 ... 65
16. Curah hujan harian tahun 2008 ... 66
18. Curah hujan harian tahun 2010 ... 68 19. Curah hujan harian tahun 2011 ... 69 20. Hasil simulasi luas kolam 1000 m2 dengan kedalaman 3 m untuk
“…Allah pasti akan mengangkat derajat orang yang beriman dan
berpengetahuan di antara kamu beberapa tingkat lebih tinggi….”.
(QS. Al-Mujadilah:11)
Pelajarilah ilmu dan ajarkan pada manusia,dalam mencari ilmu
bukanlah suatu aib jika kita gagal dalam suatu usaha tapi yang
merupakan aib adalah jika kita tidak berusaha dari kegagalan itu
(Ali bin Abi Thalib)
Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan
(Al-Insyiroh: 6)
Kalau kau ingin tahu dunia, bacalah. Tetapi kalau ingin dunia
mengetahui kamu, menulislah.
Untuk menjadi orang yang hebat kita harus melalui proses jatuh
bangun. Saat ujian datang silih berganti, jangan bersedih. Itu bagian
Bismillahirrahmanirrahim
Dengan rasa syukur dan terima kasih hanya kepada
Allah SWT dan shalawat salam semoga selalu tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW.
kupersembahkan karya ini untuk ;
Ibunda dan Ayahanda tercinta,
“Dengan segala pengorbanan, kesabran, doa serta harapan
yang tiada pernah henti
sesungguhya senyum bangga dari wajah mereka adalah
kebahagiaanku”
Untuk Kakanda Luthfi dan adikku Rizky Rahmawati
Atas segala dukungan moril yang telah diberikan
Almamater UNILA tercinta, teman-teman seperjuanganku
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 14 Desember 1988 , sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan
Muhamad Kusnadi dan Fatonah.
Pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) Aisyiyah Bustanul Athfal Poncowati diselesaikan tahun 1995, Sekolah Dasar (SD) Negeri 1
Poncowati pada tahun 1995-2001. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Poncowati pada tahun 2001-2004 dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Terbangii Besar pada tahun 2004-2007.
Tahun 2007, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung melalui jalur Penelusuran Kemampuan Akademik dan Bakat (PKAB). Penulis pernah melaksanakan Praktik Umum di PT Parung Farm Bogor Jawa barat dengan judul ”Mempelajari Macam-macam Teknik Hidroponik pada Tanaman Sayuran” mulai tanggal 01 Agustus 2010 sampai 31 Agustus 2010.
Dalam keorganisasian, penulis pernah aktif sebagai Wakil Komandan Menwa Satuan 201 Universitas Lampung periode 2010-2012, Pengurus HIMATEKTAN
periode 2008-2009, Pengurus Forum Studi Islam Fakultas Pertanian (FOSI FP) periode 2008-2009, Pengurus Birohmah periode 2010-2011 dan Pelatih PSHT
SANWACANA
Puji syukur kehadirat Allah SWT, Robb semesta alam yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Penentuan Dimensi Kolam Penampungan pada Sistem Pemanenan Air Hujan (Water Harvesting) untuk Mendukung Pola Tanam Padi dan Kedelai.
Skripsi ini dibuat untuk melengkapi salah satu syarat dalam mencapai gelar Sarjana Teknologi Pertanian jenjang pendidikan Strata Satu Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih dan hormat kepada seluruh pihak yang telah membantu kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
2. Bapak Dr. Ir. Agus Haryanto, M.P., selaku Ketua Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung
3. Bapak Dr. Ir. Sugeng Triyono, M. Sc., selaku pembimbing skripsi
4. Bapak Ahmad Tusi S.T.P., M.Si, selaku pembimbing skripsi terimakasih atas bantuan, pengarahan, masukan, dan waktu yang telah diberikan kepada penulis.
5. Bapak Prof. Dr. Ir. Ra. Bustomi Rosadi, M.S., selaku pembahas dan pembimbing akademik, terimakasih atas masukan dan pengarahan yang telah diberikan kepada penulis.
6. Kedua orang tua dan adikku tersayang yang telah mendukung selama melaksanakan penelitian.
7. Seluruh Staf Administrasi dan Keluarga besar Teknik Pertanian.
8. Rekan-rekan mahasiswa Jurusan Teknik Pertanian Unila angkatan 07 atas segala dukungan dan kerja samanya.
Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan yang telah dilakukan, memudahkan segala urusan, menambahkan nikmat dan rezki kepada kalian semua, sebagaimana yang telah dianugerahkan selama ini. Terakhir penulis persembahkan skripsi ini kepada Universitas Lampung yang merupakan tempat penulis menimba ilmu. Mudah-mudahan skripsi ini memberikan sumbangan pemikiran khususnya pada bidang pertanian.
Bandar Lampung, Desember 2014 Penulis
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia mempunyai plasma nutfah tumbuhan yang tersebar luas di wilayahnya. Keanekaragaman hayati tersebut menjadi sumberdaya yang layak untuk
dikembangkan sebagai komoditi yang bernilai ekonomis (Bottama,1990). Padi dan kedelai merupakan sumber komoditas pertanian utama yang ditanam petani di Indonesia dengan didukung dengan iklim dan curah hujan yang tersedia.
Tanaman-tanaman ini merupakan sumber penting untuk menambah pendapatan petani karena tergolong kebutuhan konsumsi utama masayarakat Indonesia.
2
dapat dipastikan kegiatan budidaya tersebut akan berjalan dengan tidak optimal (Irianto, 2007).
Air hujan, air tanah dan air permukaan merupakan sumber air utama yang digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pertanian. Namun demikian sampai saat ini sebagian besar kebutuhan air masih mengandalkan dari sumber air hujan. Oleh karena itu sumber air hujan perlu dikelola dengan baik sehingga mampu memberikan manfaat bagi pengembangan sektor pertanian. Salah satu strategi yang paling murah, cepat dan efektif serta hasilnya langsung terlihat adalah dengan memanen aliran permukaan dan air hujan di musim penghujan melalui water harvesting.
Menurut Bech (2005), pemanenan air hujan dapat dipertimbangkan sebagai alternatif irigasi dengan biaya rendah dan juga dapat menurunkan laju erosi, namun pemanenan hanya dapat dilakukan pada saat musim hujan. Ketersediaan air hujan dapat dikonsentrasikan pada areal yang lebih kecil, sehingga hasil pertanian yang lebih baik dapat dicapai. Teknologi water harvesting sudah berkembang sangat pesat dan luas tidak saja di negara maju seperti Eropa, Amerika dan Australia, tetapi juga di negara seperti China yang padat penduduk dan luas pemilikan lahannya sangat terbatas. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan limpasan air hujan adalah dengan membangun kolam penampung air hujan (onfarm reservoir).
3
sumber irigasi suplementer untuk budidaya komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi (high added value crops) di musim kemarau atau di saat curah hujan makin jarang. Embung merupakan salah satu teknik pemanenan air (water harvesting) yang sangat sesuai di segala jenis agroekosistem. Sementara pada ekosistem tadah hujan atau lahan kering dengan intensitas dan distribusi hujan yang tidak merata, embung dapat digunakan untuk menahan kelebihan air dan menjadi sumber air irigasi pada musim kemarau. Secara operasional sebenarnya embung berfungsi untuk mendistribusikan dan menjamin kontinuitas ketersediaan pasokan air untuk keperluan tanaman di musim kemarau dan penghujan (Maarif, 2011).
Namun kendala yang mungkin terjadi dalam pembuatan embung adalah tidak mencukupinya ketersediaan air tampungan dalam satu masa periode tanam. Oleh karena itu dalam hal ini perlu diadakan analisis dalam penentuan ukuran dimensi embung yang efektif dan efisien dalam memenuhi kebutuhan irigasi pada periode tanam komoditas pertanian. Penentuan ukuran embung dapat dilakukan dengan cara kalkulasi curah hujan bulanan atau dengan simulasi. Data dan informasi yang diperlukan akan beragam disetiap lokasi maupun antar tahun, sehingga hasil yang didapat akan keliru jika perhitungannya didasarkan pada data yang
4
1.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah
1. Menentukan dimensi kolam yang efektif dalam pemanfaatan air hujan 2. Menentukan jadwal tanam tanaman padi dan kedelai yang efektif selama
satu tahun.
1.3. Manfaat Penelitian
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komoditas Tanaman
2.1.1 Tanaman Kedelai
Semua varietas kedelai merupakan tanaman semusim, dan termasuk tanaman basah. Batangnya berdiri tegak dan bercabang banyak. Kedelai sangat peka terhadap perubahan faktor lingkungan. Pertumbuhannya dapat lebih baik pada struktur tanah yang gembur, bebas rumput dan cara bercocok tanam yang baik. Respon kedelai terhadap perubahan faktor lingkungan akan menjadi lebih
menguntungkan dengan memilih varietas yang sesuai. AAK (1991) menyatakan kedudukan tanaman kedelai dalam sistematik tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta Sub-divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Polypetales Family : Leguminosae Sub-family : Papilionoideae Genus : Glycine
6
Kendala untuk meningkatkan produksi kedelai di Indonesia, antara lain: (a) faktor fisik, seperti tanah dan iklim terutama curah hujan, sebaran hujan, dan suhu udara; (b) faktor biologis, terutama hama, penyakit, dan gulma; (c) faktor sosial yang meliputi rendahnya adopsi teknologi oleh petani yang berakibat beragamnya pengelolaan tanaman kedelai di lapang; (d) faktor ekonomi yang mencakup rendahnya keuntungan (profitabilitas) usahatani dan lemahnya daya saing kedelai terhadap komoditas pertanian lainnya; dan (e) kurang berkembangnya
kelembagaan penunjang usahatani kedelai, diantaranya sistem perbenihan, kurang tersedianya sarana produksi penting lainnya seperti penyediaan inokulum
rhizobium bagi daerah-daerah pengembangan (Atman, 2006).
Pengembangan pertanaman kedelai dapat diarahkan pada tiga agroekosistem utama, yaitu: lahan sawah irigasi, lahan sawah tadah hujan, dan lahan kering. Luas lahan yang digunakan untuk produksi kedelai dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1. Luas Panen Tanaman kedelai menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung Tahun 2005 - 2009 ( Hektar )
7
Jumlah produksi kedelai yang dihasilkan dalam kurun waktu 5 tahun dapat dilihat pada tabel 2 berikut :
Tabel 2. Produksi kedelai menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung Tahun 2005 2009 (ton)
Sumber : Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung, 2013
2.1.2 Tanaman Padi
Padi merupakan tanaman pangan yang berupa rumput berumpun. tanaman pertanian berasal dari dua benua yaitu Asia dan Afrika barat tropis dan subtropis. Terdapat 25 spesies Oryza, yang dikenal adalah Oryza sativa dengan dua
8
rata-rata curah hujan yangbaik adalah 200mm/bulan atau 1500-2000 mm/tahun. Padi dapat ditanam di musim kemarau atau hujan. Pada musim kemarau produksi meningkat asalkan air irigasi selalu tersedia (Prihatman, 2000).
Klasifikasi botani tanaman padi adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Famili : Gramineae (Poaceae) Genus : Oryza
Species : Oryza spp.
Hingga tahun 2009 luas areal tanam padi di Lampung terus meningkat hingga mencapai 570.417 hektar. Dengan rincian tiap kabupaten dapat dilihat pada tabel 3 berikut :
Tabel 3. Luas Panen Tanaman padi menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung Tahun 2005 - 2009 ( Hektar )
No Kabupaten/Kota Tahun
9
Jumlah produksi tanaman padi terus meningkat seiring dengan bertambahnya luas areal tanam. Hingga tahun 2009 jumlah produksi mencapai 2.673.844 ton, lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel 4 berikut :
Tabel 4. Produksi Padi menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung Tahun 2005 – 2009 (ton)
No Kabupaten/Kota Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 1 Kabupaten Lampung Barat 106.272 114.791 148.087 148.070 159.483 2 Kabupaten Tanggamus 255.013 229.679 220.649 251.970 313.708 3 Kabupaten Lampung Selatan 401.097 373.210 405.034 280.514 365.050 4 Kabupaten Lampung Timur 347.098 357.528 352.057 382.387 435.541 5 Kabupaten Lampung Tengah 467.984 493.123 539.270 514.792 608.294 6 Kabupaten Lampung Utara 111.532 110.865 129.937 121.353 139.377 7 Kabupaten Way Kanan 139.190 133.792 137.793 152.198 159.897 8 Kabupaten Tulang Bawang 270.698 291.920 350.906 354.546 336.343
9 Kabupaten Pesawaran X X X 106.850 123.801
10 Kota Bandar Lampung 8.345 7.823 6.908 8.727 9.220 11 Kota Metro 16.915 17.183 17.763 19.668 23.130 Total 2.124.144 2.129.914 2.308.404 2.341.075 2.673.844 Sumber : Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung, 2013
2.2 Kebutuhan Air Tanaman
Kebutuhan air irigasi adalah jumlah volume air yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan evapotranspirasi, kehilangan air, kebutuhan air untuk tanaman dengan memperhatikan jumlah air yang diberikan oleh alam melalui hujan dan kontribusi air tanah.
10
2.2.1 Evaporasi
Evaporasi merupakan faktor penting dalam studi tentang pengembangan sumber-sumber daya air termasuk juga dalam penggunaan konsumtif (consumptive use) untuk tanaman. Air akan menguap dari dalam tanah, baik tanah yang gundul atau yang tertutup oleh tanaman dan pepohonan. Laju evaporasi atau penguapan akan berubah-ubah menurut warna dan sifat pemantulan permukaan (albedo) dan berbeda pada permukaan yang langsung tersinari matahari dan yang terlindungi (Allen, 1990).
Di daerah beriklim sedang lembab, kehilangan air melalui evaporasi bebas dapat mencapai 60 cm per tahun dan kira-kira 45 cm lewat evaporasi permukaan tanah. Di daerah beriklim kering angka tersebut menjadi 200 cm dan 10 cm. Perbedaan tersebut disebabkan oleh karena tidak adanya curah hujan dalam waktu yang cukup lama (Soemarto, 1995).
Beberapa faktor meteorologi yang mempengaruhi besarnya evaporasi adalah sebagai berikut :
a. Radiasi matahari
Evaporasi merupakan konversi air ke dalam uap air. Proses ini berjalan terus hampir tanpa berhenti di siang haridan kerap kali juga dimalam hari.
11
b. Angin
Jika air menguap ke atmosfir maka lapisan batas antara permukaan tanah dan udara menjadi jenuh oleh uap air sehingga proses penguapan berhenti. Agar proses tersebut dapat berjalan terus, lapisan jenuh harus diganti dengan udara kering. Pergantian itu hanya mungkin kalau ada angin yang akan menggeser komponen uap air. Jadi, kecepatan angin memegang peranan penting dalam proses evaporasi.
c. Kelembapan Relatif (relative humidity)
Faktor lain yang mempengaruhi evaporasi adalah kelembaban relatif udara. Jika kelembaban relatif ini naik, maka kemampuan udara untuk menyerap air akan berkurang sehingga laju evaporasinya menurun. Penggantian lapisan udara pada batas tanah dan udara dengan udara yang sama kelembaban relatifnya tidak akan menolong dalam memperbesar laju evaporasinya.
d. Suhu (temperatur)
12
Suhu merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Suhu udara dipengaruhi oleh radiasi yang diterima di permukaan bumi sementara tinggi rendahnya suhu disekitar tanaman ditentukan oleh radiasi matahari, kerapatan tanaman, distribusi cahaya dalam tajuk tanaman, kandungan lengas tanah. Umumnya laju metabolisme makhluk hidup akan bertambah dengan meningkatnya suhu hingga titik optimum tertentu. Beberapa proses metabolisme tersebut antara lain bukaan stomata, laju transpirasi, laju penyerapan air dan nutrisi,
fotosintesis, dan respirasi. Setelah melewati titik optimum, proses tersebut mulai dihambat: baik secara fisik maupun kimia, menurunnya aktifitas enzim (June, 2002).
Evaporasi yang mungkin terjadi pada kondisi air yang tersedia berlebihan disebut evaporasi potensial. Meskipun demikian kondisi air berlebih sering tidak terjadi. Evaporasi tetap terjadi dalam kondisi air tidak berlebihan meskipun tidak sebesar evaporasi potensial, evaporasi ini disebut evaporasi aktual.
2.2.2 Transpirasi
13
tersebut evaporasi dan transpirasi, saling berkaitan sehingga dinamakan evapotranspirasi.
Jumlah air yang ditranspirasikan dapat bertambah besar, misalnya pada pohon yang besar yang akar-akarnya sangat dalam menembus tanah. Jumlah air yang ditranspirasikan akan lebih banyak dibandingkan jika air itu dievaporasikan sebagai air bebas (free water). Proses transpirasi berjalan terus hampir sepanjang hari di bawah pengaruh sinar matahari. Pada malam hari pori-pori daun menutup. Apabila pori-pori ini menutup menyebabkan terhentinya proses transpirasi secara drastis. Tetapi tidak demikian halnya dengan evaporasi. Proses evaporasi dapat berjalan terus selama ada masukan panas. Faktor lain yang penting adalah jumlah air yang tersedia cukup banyak. Jika jumlah air selalu tersedia secara berlebihan dari yang diperlukan oleh tanaman selama proses transpirasi ini, maka jumlah air yang ditranspirasikan akan lebih besar dibandingkan apabila tersedianya air di bawah keperluan.
2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Air Tanaman
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi jumlah kebutuhan air pada tanaman antara lain :
2.3.1 Topografi
14
mengalami infiltrasi, dengan kata lain kehilangan air di lahan miring akan lebih besar.
2.3.2 Hidrologi
Intensitas curah hujan yang turun di permukaan tanah akan mempengaruhi kebutuhan air. Semakin banyak curah hujannya, semakin sedikit kebutuhan air akan tanaman. Perubahan siklus hidrologi terutama ditunjukkan oleh periode La Nina dan El Nino yang semakin sering. La Nina merupakan fenomena alam yang ditandai dengan kondisi suhu muka laut di perairan Samudra Pasifik ekuator berada di bawah nilai normalnya (dingin), sementara kondisi suhu muka laut di perairan Benua Maritim Indonesia berada di atas nilai normalnya (hangat). Kondisi suhu muka laut di samudra pasifik yang dingin menimbulkan tekanan udara tinggi, sementara kondisi hangat perairan Indonesia yang berada di sebelah barat pasifik menimbulkan tekanan udara rendah. Kondisi ini menyebabkan mengalirnya massa udara dari pasifik ke wilayah Indonesia. Aliran tersebut mendorong terjadinya konvergensi massa udara yang kaya uap air. Akibatnya semakin banyak awan yang terkonsentrasi dan menyebabkan turunnya hujan yang lebih banyak di daerah tersebut (lebih dari 40 mm/bulan di atas rata-rata
15
2.3.3 Klimatologi
Keadaan cuaca adalah salah satu syarat penting dalam pengelolaan pertanian. Dengan memperhatikan keadaan cuaca dan cara pemanfaatannya, maka dapat dilaksanakan penanaman tanaman yang tepat untuk periode yang tepat dan sesuai dengan keadaan tanah. Cuaca dapat dijadikan rasionalisasi penentuan laju
evapotranspirasi, hal ini sangat bergantung pada intensitas penyinaran dan radiasi cahaya matahari.
2.4 Evapotranspirasi
Evapotranspirasi adalah kombinasi proses kehilangan air dari suatu lahan
bertanaman melalui evaporasi dan transpirasi. Evaporasi adalah proses dimana air diubah menjadi uap air (vaporization) dan selanjutnya uap air tersebut
16
Menurut Runtunuwu (2008), Evaporasi yang sering digunakan dalam studi agroklimat adalah evapotranspirasi potensial dan evapotranspirasi tanaman
(actual). Laju evapotranspirasi dari suatu daerah oleh dua pengendali atau kontrol utama. Yang pertama ialah ketersediaan air pada permukaan daerah tersebut, dan kontrol kedua ialah kemampuan atmosfir mengevapotranspirasikan air dari permukaan dan memindahkan uap air ke atas. Kolam banyaknya air selalu tersedia tak terbatas, maka evapotranspirasi akan berlangsung dengan laju maksimum untuk lingkungan tersebut. Keadaan ini memunculkan konsep evapotranspirasi potensial. Akan tetapi pada umumnya banyaknya air pada permukaan tidaklah selalu tersedia, apalagi tak terbatas, sehingga
evapotranspirasinya berlangsung dengan laju yang lebih kecil daripada laju seandainya banyaknya air yang tersedia tak terbatas. Dari konsep ini timbullah konsep evapotranspirasi aktual. Ada dua macam pengukuran yang biasa dijumpai disuatu stasiun pengamatan. Salah satunya, mengukur banyaknya air yang
menguap dari suatu permukaan (Allen, 1990).
17
sebagai volume air cair yang hilang oleh proses evapotranspirasi dari daerah hasil tadi dalam satuan waktu yang setara dengan tinggi atau tebal air cair yang hilang tiap satuan waktu dari daerah yang ditinjau. Satu satuan waktu yang dipakai bisa satu jam atau satu hari dan satuan tebal dengan satuan milimeter atau sentimeter (Allen et al, 1990)
2.4.1 Evapotranspirasi Potensial (ET0)
ET0 merupakan jumlah air yang ditranspirasikan dalam satuan unit waktu oleh tanaman yang menutupi tanah secara keseluruhan dengan ketinggian seragam, tidak pernah kekurangan air, dan tidak terserang hama penyakit. Dengan kata lain, ET0 dapat diinterpretasikan sebagai kehilangan air olehtanaman yang diakibatkan oleh faktor klimatologis. Penentuan nilai kebutuhan air tanaman (evapotranspirasi) sejauh ini masih berdasarkan pada persamaan empiris yang telah banyak dikembangkan (Doorenbosand Pruitt, 1984). Di antara persamaan-persamaan empiris yang umum digunakan adalah metode Blaney-Criddle dan metode Penman, sedangkan penggunaan langsung di lapang umumnya dengan menggunakan peralatan untuk mengamati perubahan air tanah. ETo dapat
dihitung secara empiris dengan persamaan Penman (Doorenbos and Pruitt, 1984), sebagai berikut:
Keterangan :
18
U2 = Kecepatan angin pada ketinggian 2 m (m s-1) es = Tekanan uap jenuh [kPa]
ea = Tekanan uap aktual [kPa] es - ea = Defisit tekanan uap [kPa]
Δ = Pertambahan tekanan uap jenuh [kPa oC-1] γ = Tekanan konstan psykhrometrik [kPa oC-1]
2.4.2 Evapotranspirasi Aktual (ETc)
ETc merupakan tebal air yang dibutuhkan untuk mengganti sejumlah air yang hilang melalui evapotranspirasi pada tanaman yang sehat. Nilai Etc adalah nilai kebutuhan air yang harus diberikan ke tanaman, atau merupakan dasar dalam penentuan kebutuhan air bagi tanaman di lapang dengan persamaan empiris:
...(2) Dimana :
ET0 = Evapotranspirasi (potensial) tanaman acuan (mm/hari) Kc = Koefisien tanaman
ETc = Evapotransipirasi (aktual) tanaman (mm/hari)
2.5 Limpasan Permukaan (Run Off)
Salah satu komponen dalam siklus hidrologi adalah limpasan hujan. Komponen limpasan hujan dapat berupa runoff (aliran permukaan) ataupun aliran yang lebih besar seperti aliran air di sungai. Limpasan akibat hujan ini dapat terjadi dengan cepat dan dapat pula setelah beberapa jam setelah terjadinya hujan. Lama waktu
kejadian hujan puncak dan aliran puncak sangat dipengaruhi oleh kondisi wilayah
tempat jatuhnya hujan. Makin besar perbedaan waktu kejadian hujan puncak dan
debit puncak, makin baik kondisi wilayah tersbut dalam menyimpan air di dalam
19
Triatmodjo (2008) menyatakan wilayah Indonesia dengan kondisi tropis dimana
hujan terjadi terpusat pada enam bulan periode hujan menyebabkan kita harus bisa
melakukan rekayasa konservasi air dengan cara menyimpan air hujan sebanyak
mungkin di dalam tanah selama musim hujan dan memanfaatkannya setelah
datangnya periode musim kemarau.
Aliran air yang terjadi di permukaan tanah setelah jenuhnya tanah lapisan permukaan
disebut runoff. Air hujan yang jatuh di permukaan bumi akan menjadi aliran
permukaan (runoff) setelah tanah di lapisan permukaan jenuh oleh air hujan dan
proses hujan memiliki intensitas lebih besar dari laju perkolasi. Aliran permukaan
kemudian saling bertemu pada jaringan pengaliran yang kecil sebagai anak-anakan
sungai. Aliran tersebut terus berkumpul dan selanjutnya akan bertemu di sungai
sebagai aliran air yang lebih besar dimana aliran permukaan berpadu dengan aliran
bawah permukaan (interflow) dan aliran dasar (base flow).
Aliran permukaan akibat kejadian hujan pada suatu tempat dapat dinyatakan dengan
rumus:
Roff = CH – I...(3)
Dimana Roffadalah aliran permukaan (mm), CHadalah curah hujan (mm) dan I
adalah infiltrasi (mm).
2.6 Pemanenan Air Hujan (Water Harvesting)
20
metode sekala kecil dan sederhana telah dikembangkan untuk menangkap dan mengumpulkan air limpasan permukaan (runoff) digunakan untuk beragam tujuan produktif. Kalau limpasan permukaan ini dibiarkan saja akan dapat menyebabkan erosi tanah, runoff ini dapat dipanen dan dimanfaatkan. Beragam teknik
memanen air dengan aneka ragam aplikasinya telah tersedia.
Gambar 1. Siklus hidrologi (Critchley, 1991).
Pemanenan air hujan ini ditujukan untuk memanfaatkan runoff, penyimpanan lengas tanah bertujuan untuk mencegah runoff dan menyimpan air hujan di tempat dimana jatuh dari langit sebanyak mungkin. Perbedaan di antara dua macam teknologi ini tidak terlalu jelas, terutama kalau daerah-tangkapan hujan (penghasil
runoff ) sekalanya sangat kecil. Selain itu, teknologi penyimpanan lengas tanah dapat diaplikasikan di daerah lahan budidaya pertanian (Soemarno, 2010).
2.6.1 Prinsip-prinsip Panen Air Hujan
21
dan dikumpulkan dari cucuran atap atau dari permukaan lahan, atau dari sungai-sungai musiman. Sistem pemanenan air yang memanen runoff dari atap bangunan atau dari permukaan lahan termasuk dalam kategori “pemanenan air hujan”,
sedangkan semua system yang mengumpulkan runoff dari sungai-sungai musiman
dikelompokkan dalam kategori “pemanenan air banjir”. Secara sederhana sistem
dalam pemanenan air hujan disajikan pada gambar 2 (Soemarno, 2010).
Gambar 2. Prinsip panen air hujan untuk produksi tanaman (Critchley dkk. 1991)
22
Gambar 3. Daerah Tangkapan (catchment) Mikro (Critchley, 1991).
2.6.2 Kondisi yang dipersyaratkan panen air hujan
Menurut Soemarno (2010) beberapa hal penting yang harus dipertimbangkan dalam pemanenan hujan adalah sebagai berikut :
A. Iklim
Pemanenan air hujan sangat sesuai untuk daerah-daerah semi-arid dengan rataan curah hujan tahunan (300-700 mm). Teknologi ini juga dipraktekkan di beberapa daerah arid dengan rataan curah hujan tahunan (100-300 mm). Di kebanyakan
daerah tropis, periode utama curah hujan terjadi selama periode panas ’summer’,
23
B. Kemiringan Lereng
Pemanenan air hujan tidak direkomendasikan pada lahan dengan kemiringan lebih dari 5% karena distribusi runoff tidak merata, erosi tanah intensif dan biaya
pembuatan bangunan penangkap air hujan juga mahal. Tanah dan pengelolaan kesuburan tanah di zone budidaya harus cukup tebal sehingga mempunyai kapasitas simpanan air yang cukup besar, dan tanahnya subur. Tanah-tanah di daerah-tangkapan air harus mempunyai laju infiltrasi yang rendah. Untuk kebanyakan sistem pemanenan air, kesuburan tanahnya harus diperbaiki, atau dipertahankan, supaya tetap produktif dan lestari. Peningkatan ketersediaan lengas tanah dan peningkatan produktivitas tanaman yang dihasilkan dari kegiatan penangkapan air hujan akan berdampak pada eksploitasi hara tanah yang lebih besar. Tanah-tanah berpasir tidak terlalu banyak memberikan nilai-tambah dari kegiatan pemanenan air hujan ini, kecuali kalau pada saat yang bersamaan juga ditingkatkan kesuburan tanahnya.
C. Tanaman
24
2.6.3 Rancangan Sistem Panen Air Hujan
Menurut Soemarno (2010) cadangan air di daerah budidaya pertanian didukung dengan air dari daerah-tangkapan air hujan (Gambar 4). Pada saat merancang suatu sistem pemanenan air, ukuran daerah-tangkapannya dihitung atau diestimasi secara akurat untuk menjamin cukupnya runoff yang dapat dipanen untuk
memenuhi kebutuhan tanaman di lahan budidaya.
Gambar 4. Modifikasi microcatchment untuk menyalurkan dan menampung
runoff ke lokasi yang ditentukan (Critchley, 1991)
Data yang diperlukan (curah hujan, runoff dan crop water requirements)
seringkali tidak tersedia dan kalau ada variasinya sangat besar. Informasi dan data seperti ini dapat beragam antar lokasi, atau antar tahun. Perhitungan dapat
memberikan kesan tentang akurasi, tetapi hal ini dapat keliru kalau perhitungannya didasarkan pada data yang ragamnya sangat besar.
25
hujan yang berhasil biasanya dimulai dengan sekala eksperimen kecil-kecilan dengan estimasi rasio C:CA. Disain awal kemudian dapat dimodifikasi
berdasarkan pengalaman lapangan. Untuk dapat mengestimasi rasio C:CA dan menilai secara kritis hasil-hasil eksperimen pertama dari suatu sistem panen air hujan, diperlukan pemahaman yang komprehensif tentang bagaimana bekerjanya sistem pemanenan air hujan. Aspek-aspek apa saja yang mempengaruhi
berfungsinya sistem pemanenan air hujan.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2013 di Laboratorium Sumber Daya Air dan Lahan Jurusan Teknik Pertanian dan Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain undisturbed soil sample,
neraca Ohaus, mistar, komputer/laptop dan Software program Visual Simulation. Bahan yang digunakan pada penelitian ini berupa data koefisien tanaman, data curah hujan harian, data evaporasi harian, data perkolasi, data kapasitas lapang, data kadar air tanah, data tekstur tanah dan data massa jenis tanah.
3.3 Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data dilakukan dengan beberapa kelompok diantaranya : 3.3.1 Iklim
27
digunakan untuk menganalisis evapotranspirasi yang terjadi di lapangan, dan selanjutnya digunakan sebagai data pada simulasi sistem pemanenan hujan.
3.3.2. Tanah A. Kadar Air Tanah
Pengukuran kadar air tanah pada kondisi kapasitas lapang dilakukan pada contoh tanah tidak terganggu dengan menggunakan metode gravimetri. Contoh tanah yang telah diketahui volumenya dibenamkan kedalam air sampai tanah dalam keadaan jenuh. Selanjutnya, tanah ditiriskan selama ± 24 jam sampai tanah berada pada kapasitas Lapang. Tanah ditimbang kemudian dioven pada suhu 105°C selama ± 48 jam. Tanah ditimbang kembali untuk dihitung berat keringnya.. Rumus perhitungan kadar air tanah dihitung dengan persamaan berikut :
...(4)
Keterangan :
KA : Kadar air tanah (%)
Wb : Berat tanah dalam keadaan kapasitas lapang (gr) Wk : Berat tanah dalam keadaan kering (gr)
B. Penentuan Tekstur Tanah dan Massa Jenis Tanah
28
Perhitungan massa jenis tanah dengan persamaan 6 berikut :
...(6)
Keterangan :
ρp : Massa jenis tanah atau partikel density (gr/cm3) Mp : Massa padatan tanah (gr)
Vp : Volume padatan tanah (cm3) C. Pengukuran Debit Limpasan
Pengukuran debit limpasan merupakan air hujan yang mengalir di sekitar areal tanaman yang masuk kedalam kolam penampungan. Untuk mengukur besarnya debit limpasan curah hujan total pada areal tanam adalah dengan mengurangi tinggi kadar air yang meresap kedalam tanah sebagai perkolasi dengan kadar air tanah jenuh (saturated). Sehingga didapatkan persamaan :
RO = CH – P ...(7)
RO (Run off) : Limpasan permukaan (mm)
CH : Curah hujan harian (mm)
P : Perkolasi (mm)
3.3.3 Tanaman
Penentuan nilai kebutuhan air tanaman (evapotranspirasi) sejauh ini masih
29
1. Koefisien Tanaman Padi
Koefisien tanaman padi diperoleh dari penelitian sebelumnya, menurut Amien (2012) menyebutan nilai kc pada fase initial adalah 1,09. Nilai kc maksimum dihasilkan pada fase mid-season sebesar 1,77. Kc mulai menurun pada fase end
season yaitu sebesar 1,23.
2. Koefisien Tanaman Kedelai
30
3.4 Tahap Pelaksanaan Penelitian
Gambar 1. Diagram alir penelitian Mulai
Pembuatan Program
Visual Simulation
Pengumpulan data
Evapotranspirasi
Input data
Persiapan alat
Koefisien Tanaman
Pengambilan data lahan penelitian
Skenario/Sim ulasi
Pengamatan dan Analisis Data
31
3.5 Deskripsi Simulasi Pemanenan Air Hujan
Sistem pemanenan air hujan diasumsikan pada kolam penampungan yang berisi kedap air dengan input air berasal dari curah hujan langsung dan air limpasan dari lahan tanam. Lahan budidaya diasumsikan seluas 1 hektar, ditanami oleh dua jenis tanaman yaitu padi dan kedelai pada waktu yang berbeda. Awal musim tanaman dimulai dengan menanam kedelai. Simulasi dijalankan selama periode 13 tahun (1999 – 2011) menggunakan program visual simulator dengan memasukkan data – data yang sudah disiapkan. Pada awal proses simulasi perubahan tinggi air pada hari pertama diasumsikan dengan kapasitas volume air maksimum.
Kemudian perubahan selanjutnya disesuaikan dengan kondisi cuaca hari H+1. Apabila terjadi hujan dan mengakibatkan limpasan permukaan maka secara otomatis tinggi muka air pada kolam penampungan akan bertambah sebesar input air limpasan dan curah hujan yang jatuh ke kolam penampungan. Namun
sebaliknya, jika pada hari H+1 tidak terjadi hujan maka tinggi muka air akan berkurang sebesar air yang menguap (terevaporasi) ke udara. Kolam
penampungan yang tidak mampu menampung jumlah input debit air yang masuk, maka air akan dianggap meluap (over flow) dari kolam penampungan. Jika
ditinjau dari rumus kesetimbangan air, kadar air di lahan dapat diasumsikan secara kontinyu dari waktu ke waktu dengan pendekatan integrasinumerik metode
deferensial berikut :
Keterangan :
32
h(i) : Tinggi air pada hari ke i
: Perubahan tinggi air pada hari ke i
Secara sederhana sistem pemanenan air hujan disajikan gambar berikut :
Gambar 2. Sistem pemanenan air hujan
3.6 Skenario dan Batasan Model Sistem Water Harvesting
Skenario yang digunakan pada penelitian ini meliputi proses simulasi yang dijalankan dalam menentukan dimensi dan jadwal tanam yang efektif. Program dijalankan dengan metode coba ralat pada variabel luas kolam, kedalaman kolam dan awal jadwal tanam. Luas kolam yang disimulasikan berkisar antara 1000 m2 sampai 3.500 m2 dengan range perubahan 100 m2 setiap menjalankan coba ralat pada program. Sedangkan untuk kedalaman kolam dibatasi pada kedalaman 1 m hingga 3 m dengan perubahan 0,5 m setiap menjalankan coba ralat pada program. Pola tanam diasumsikan menanam padi diawal waktu kemudian lahan
ETc CH CH
L1
E
L2 P
CH L1
E
L2 E
33
diistirahatkan (bera) selama 1 bulan dan diikuti dengan menanam kedelai. Untuk mendapatkan jadwal tanam yang terbaik, dilakukan metode coba ralat pada setiap bulannya (Januari – Juni). Indikator yang dicapai adalah kebutuhan irigasi terpenuhi untuk kedua jenis tanaman selama satu tahun serta tidak terjadi kekeringan pada kolam penampung.
Batasan water harvesting pada penelitian ini adalah 1. Tanaman
Tanaman yang digunakan pada peneltian ini adalah Padi Gogo dan Kedelai. Masa tanam untuk padi adalah 112 hari sedangkan kedelai 85 hari. Koefisien tanaman menggunakan data dari penelitian sebelumnya yaitu tanaman padi kcinitial adalah 1,09 ; kc mid adalah 1,77 ; dan kc end adalah 1,23 (Amien, 2012). Sedangkan untuk tanaman kedelai nilai kc tanaman kedelai rata-rata pada tahap initial adalah 0,98; tahap mid season (pertengahan) adalah 1,26 serta tahap end season (adalah 1,11 (Octaviani, 2012).
2. Lahan Budidaya
34
3.7 Analisis Neraca Air
Perhitungan neraca air sangat berguna untuk evaluasi ketersediaan air di suatu tempat terutama untuk mengetahui kapan ada surplus dan defisit air.
Rumus kesetimbangan yang dapat digunakan pada konsep neraca air pada lahan tanam adalah sebagai berikut :
Keterangan :
: Perubahan tinggi muka air pada lahan terhadap waktu (mm/hari) CH : Curah hujam (mm/hari)
IR : Irigasi (mm/hari)
ETc : Evapotranspirasi (mm/hari) P : Perkolasi (mm/hari)
L1 : Limpasan lahan tanam (mm/hari)
Rumus kesetimbangan yang dapat digunakan pada konsep neraca air pada kolam penampungan adalah sebagai berikut :
Keterangan :
: Perubahan tinggi muka air pada kolam terhadap waktu (mm/hari) CH : Curah hujam (mm/hari)
IR : Irigasi (mm/hari) E : Evaporasi (mm/hari)
L1 : Limpasan lahan tanam (mm/hari)
35
3.8 Data yang Diamati Selama Simulasi
Data yang akan diamati pada proses simulasi antara lain : 1. Kesetimbangan air kolam
2. Limpasan air dari lahan dan kolam 3. Pengambilan air irigasi
4. Kekurangan air irigas
36
3.9 Skema Program Simulasi
Gambar 8. Mekanisme sistem kerja Simulasi START
ETc
Data Klimat
Koefisien Tanaman
INPUT
OUTPUT Luas Kolam
(1000 – 3500 m2)
Kedalaman
(1 – 3 m) Awal Bulan Tanam SIMULASI
Pengambilan air irigasi
Kekurangan air irigasi
Limpasan
Kolam kering
Dimensi Kolam
Kebutuhan Irigasi Terpenuhi
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Luas kolam yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan irigasi rata-rata pertahun
tanaman padi dan kedelai adalah 2450 m2 pada kedalaman 3 m.
2. Jadwal tanam yang efektif berdasarkan ketersediaan air pada kolam dan total curah hujan bulanan untuk tanam padi adalah pada bulan Januari, sedangkan untuk tanam kedelai adalah pada bulan Mei.
5.2. Saran
54
DAFTAR PUSTAKA
AAK. 1991. Kedelai. Kanisius. Yogyakarta. (83 halaman)
Allen, R.G., L.S. Pereira, D. Raes, and M. Smith. 1990. Crop Evapotranspiration: Guidelines for computing crop water requirements. Irrigation and
Drainage Paper 56, Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. (300 halaman).
Agus, F., U. Kurnia, A. Adimihardja, dan A. Dariah. (Editor). 2006. Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisinya. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Jakarta. (289 halaman)
Amien, E. R. 2012. Analisa Neraca Air pada Budidaya Padi Gogo. Jurusan Teknik Pertanain (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung Atman. 2006. Inovasi Teknologi Pengembangan Kedelai di Lahan Kering
Masam. Jurnal Ilmiah Tambua 5(3): 281-287.
Badan Pusat Statistik Lampung. 2013. Lampung Dalam Angka 2013. BPS Provinsi Lampung
Bech, B. 2005. Agriculture Part II Human Resource Development Unit. Dacaar. Afganistan. (68 halaman)
Boer, R. 2002. Analisis Resiko Iklim untuk Produksi Pertanian. Makalah
disajikan pada pelatihan dosen perguruan tinggi se Indonesia Barat dalam bidang pemodelan dan simulasi pertanian dan lingkungan.
Bottama, J.T.W. 1990. Sistem Komoditas Kedelai di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Jakarta. (100 halaman)
Critchley, W., K. Siegert, dan C. Chapman. 1991. A manual for the Design and Construction of Water harvesting Schemes for Plant Production. FAO, Rome, Italy. (154 halaman)
Doorenbos, J. Dan W.O. Pruitt. 1977. Guidelines for predicting crop water requirements, Irrigation and Drainage. Paper 24, Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. (154 halaman)
55
June, T. 2000. Kenaikan CO2 Dan Perubahan Iklim : Implikasinya Terhadap Pertumbuhan Tanaman. (http://buletin.tripod.com/tania/tania1.htm. diakses pada tanggal 14 Oktober 2013)
Maarif, S. 2011. Meningkatkan Kapasitas Masyarakat dalam Mengatasi Risiko Bencana Kekeringan. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. 13(2) : 65-73 Octaviani. 2012. Analisis Neraca Air Budidaya Tanaman Kedelai pada Lahan
Kering. Skripsi. Universitas Lampung
Patel, A.S dan D. L., Shah. 2008. Water Management Consevation Harvesting and Artificial Recharge. New Age International. Gujarat. (344 halaman) Prihatman, K. 2000. Padi. Sistim Informasi Manajemen Pembangunan di
Perdesaan. Menegristek. BPPT. Jakarta
Runtunuwu, E. 2008. Validasi Model Pendugaan Evapotranspirasi: Upaya Melengkapi Sistem Database Iklim Nasional. Jurnal Tanah dan Iklim
No 28 : 1-4
Soemarno, 2010. Teknologi Panen Air Hujan dan Penyimpanannya. Bahan Kajian MK. Pengelolaan Sumberdaya Alam (PSDA)PM PSLP PPSUB. (52 halaman)
Soemarto, C.D., 1995. Hidrologi Teknik. Erlangga. Jakarta. (315 halaman)
Suprapto, H.S. 1994. Bertanam Kedelai. Penebar Swadaya. Jakarta. (74 halaman) Suprayogo, D., Widianto, B. Lusiana dan M. V. Noordwijk. 2014. Analisis
Neraca Air dalam Sistem Agroforesti. Universitas Brawijaya. Malang. (139 halaman)
Triatmodjo, B. 2008. Hidrologi Terapan. Beta Offset, Yogyakarta.