• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI NASIONALISME PADA FILM TENDANGAN DARI LANGIT (Studi Pada Tokoh Wahyu Melalui Tanda Verbal dan Visual)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "REPRESENTASI NASIONALISME PADA FILM TENDANGAN DARI LANGIT (Studi Pada Tokoh Wahyu Melalui Tanda Verbal dan Visual)"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK disutradarai oleh Hanung Bramantyo yang diprouksi oleh SinemArt Pictures. Tujuan dari sang sutradara menumbuhkan rasa nasionalisme sejak dini pada anak-anak, Tendangan dari Langit menyuguhkan adegan nasionalisme dan patriotisme melalui simbol-simbol, dengan perantara objek olah raga yaitu sepak bola, olah raga yang sangat populer di Indonesia, yang digemari kalangan manapun dan usia berapapun. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimanakah nasionalisme dipresentasikan dalam tokoh Wahyu melalui tanda verbal dan tanda visual pada film Tendangan dari Langit.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Pendekatan yang digunakan adalah semiotik Roland Barthes di karenakan peneliti ingin mengungkapkan ideologi film melalui pemaknaan dua tahap denotasi dan konotasi.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa penggambaran nasionalisme dalam film Tendangan Dari Langit disampaikan melalui kecintaan, kesetiaan, kekaguman, kebanggaan, serta pengabdian yang menjadi unsur dari simbol sosial dan simbol teknis berupa scene, shot, visual, audio dan dialog yang di dapat pada emblem, kaos tim nasional, dan bendera merah putih. Nasionalisme mencoba untuk direpresentasikan melalui olahraga, dalam hal ini adalah sepak bola. Nasionalisme juga berusaha ditampilkan dalam wujud anak-anak, terutama anak-anak perkotaan, dan nasionalisme. Hal ini di karenakan nasionalisme di ungkapkan dengan cara yang salah, melalui cinta yang berlebih lebihan. Nasionalisme sebagai sebuah konsep ideal dalam film ini mampu menjadi sebuah media yang ampuh untuk menanggulangi berbagai pemikiran yang tidak sesuai dengan pemikiran atau gagasan yang berasal dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

(2)

FILM TENDANGAN DARI LANGIT By :

M. Gilang Dwandaru

Tendangan Dari Langit is Indonesian film was released in 2011 directed by Hanung Bramantyo the produced by SinemArt Pictures. The purpose of the director foster a sense of nationalism since early in children, Tendangan Dari Langit panoramic scenes of nationalism through symbols, with intermediary objects sports namely soccer, sports are very popular in Indonesia, which is popular among anywhere and any age. The problems discussed in this study are presented in the figure how nationalism Revelation through verbal signs and visual cues in the movie Tendangan Dari Langit.

This study uses qualitative research methods. The approach used is due to Roland Barthes semiotic researchers to reveal ideological film through two levels of denotation and connotation.

Based on the research results and the discussion of nationalism in mind that filming the movie Tendangan Dari Langit conveyed through love, devotion, admiration, adoration, and devotion to the elements of a social symbol and symbol of a technical kind of scene, shot, visual, audio and dialogue in the can on Patch, a national team shirt, white and red flags. Nationalism try to be represented through athletics, in this case football. Nationalism also work appears in the existence of children, especially younger children, urban. This is because the nationalism expressed in the wrong way, through love overbuilding. Nationalism as an ideal concept in this film can be a powerful medium for tackling various thoughts that do not fit with a thought or idea that comes from the noble values of the Indonesian people.

(3)

REPRESENTASI NASIONALISME PADA FILM TENDANGAN DARI LANGIT

(Studi Penelitian Pada Tokoh Wahyu Melalui Tanda Verbal dan Visual)

Oleh

M. GILANG DWANDARU

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA ILMU KOMUNIKASI

Pada

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)
(5)
(6)
(7)

MOTO

Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di

dunia, dan ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang

beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakal

(Q.S.Asy Syura: 36)

Maka bermimpilah selagi mimpi tersebut dapat menjadikan seseorang berusaha untuk

mendapat apa yang akan di inginkannya

(M. Gilang Dwandaru)

Real success is determined by two factors. First is faith, and second is action

(Reza M. Syarif)

Life isn’t about finding yourse

lf, life is about creating yourself

(8)

Kupersembahkan karya ku kepada orang-orang yang

kucintai :

Mama dan Papa tercinta, yang telah memberikan motivasi terbesar

dalam hidupku, yang telah mengiringiku dengan doa dalam setiap

hembusan nafas dan ayunan langkahku.

Kakak dan adik-adikku tersayang, serta keluarga besarku yang selalu

memberiku semangat.

Sahabat-sahabatku tersayang, yang telah memberikan warna-warni

dalam hidupku dan selalu ada pada saat susah maupun senang.

(9)

SANWACANA

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi yang berjudul “Representasi

Nasionalisme Pada Film Tendangan Dari Langit (Studi Pada Tokoh Wahyu Melalui Tanda Verbal dan Visual)” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu

Komunikasi pada Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

Penulis Menyadari bahwa selesainya penulisan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada:

1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

2. Bapak Drs. Teguh Budi Raharjo, M.Si., selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi dan selaku Dosen Penguji yang telah memberikan saran dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

(10)

Pembimbing Akademik yang telah membantu dalam perkuliahan dan aktivitas penulis selama masa studi.

5. Seluruh Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung, yang telah memberikan didikan dan ilmu yang bermanfaat.

6. Segenap staf administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung atas bantuannya.

7. Kedua orang tuaku, Papa (Rudy Priajaya, S.E.,M.IP) dan Mama (Sri Ayu Rafida, S.E.,M.M) terima kasih atas perlindungan, kasih saying, cinta, dan dukungannya serta pengorbanan yang selalu diberikan dengan tulus kepada anak-anaknya.

8. Kakakku tersayang Finidya Demarani, S.E., adikku tersayang Firianda Dzakiya, dan M.Gifary Dharmayandaru. Terimakasih atas doa, bantuan dan dukungan kalian.

9. Eyang H. Radjimin Djamil dan Nenek Hj. Emma Hosi atas doa dan dukungannya untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

10.Datuk H. Alhusniduki Hamim (alm) dan Hj. Nyaik Dewi Sriyati (almh) yang sudah mensupport saya sewaktu hidup sampai akhir hayatnya, semoga Datuk dan Nyaik dapat melihat saya dari surga Allah SWT. Amiinn.

11.Marini yang selalu ada dan mensupport saya saat susah dan senang, serta doa dan dukungannya agar saya dapat menyelesaikan skripsi ini, makasih ya say…

(11)

kesebut semua baik yang udah lulus maupun yang sedang berjuang, tetap semangat!!!!

13.Temen-temen nongkrong khususan di wakilin sist Yuki dan temen-temen SMA di wakilin Bundo, terimakasih dukungannya.

14.Seluruh Keluarga besar Ilmu Komunikasi beserta jajarannya yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.

Setiap karya pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Segala kelebihan dan manfaat yang bias diambil merupakan hasil dari bimbingan dan bantuan segenap pengajar, dan segala kelemahan dalam karya ini merupakan keterbatasan kemampuan yang penulis miliki. Karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan dimasa mendatang.

Bandar Lampung, Februari 2015 Penulis

(12)

DAFTAR ISI

BABA II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu ... 6

B. Komunikasi Massa ... 8

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 28

B. Definisi Konseptual ... 29

C. Fokus Penelitian ... 30

D. Teknik Pengumpulan Data ... 31

(13)

BAB IV DESKRIPSI FILM TENDANGAN DARI LANGIT

A. Sinopsis Film Tendangan Dari Langit ... 35

B. Antusiasme Penonton Tendangan Dari Langit ... 42

C. Theme Song Tendangan Dari Langit ... 43

D. Rilis Tendangan Dari Langit ... 43

E. Sukses Besar Tendangan Dari Langit ... 43

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 46

B. Pembahasan ... 67

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 72

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Film adalah gambar hidup yang sering disebut movie. Film secara kolektif sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa di kenal di duina para sineas sebagai seluloid. Garin Nugroho menyebutkan “film sebagai

penemuan komunal dari penemuan-penemuan sebelumnya (fotografi, perekaman gambar, perekaman suara, dll), dan ia tumbuh seiring pencapaian penemuan-penemuan selanjutnya. Film juga merupakan hasil peleburan sekaligus persitegangan hakikat seni dan media komunikasi massa” (Nugroho, 1995: 77).

(15)

2

Film merupakan media komunal dan cangkokan dari berbagai teknologi dan unsur-unsur kesenian. Ia cangkokan dari perkembangan teknologi fotografi dan rekaman suara. Juga komunal berbagai kesenian baik seni rupa, teater, sastra, arsitektur hingga musik. Maka kemampuan bertumbuh film sangatlah bergantung pada tradisi bagaimana unsur-unsur cangkokan teknologi dan unsur seni dari film yang dalam masyarakat masing-masing berkembang pesat dicangkok dan dihimpun. Dengan demikian tidak tertinggal dan mampu bersaing dengan teknilogi media, dan seni lainnya.

Tendangan dari Langit adalah film Indonesia yang dirilis pada tahun 2011 dengan disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Bercerita tentang Wahyu seorang anak berumur 16 tahun yang memiliki kemampuan luar biasa dalam bermain sepakbola. Ia tinggal di Desa Langitan di lereng gunung Bromo bersama ayahnya seorang penjual minuman hangat di kawasan wisata gunung api itu, dan ibunya. Demi membahagiakan orang tuanya, Wahyu memanfaatkan keahliannya dalam bermain bola dengan menjadi pemain sewaan dan bermain bola dari satu tim desa ke tim desa lain dengan bantuan pamannya. Hanung Bramantyo mengklaim film berjudul Tendangan dari Langit merupakan salah satu film layar lebar pertama bergenre Olahraga tentang Sepak Bola dengan produksi bergaya Hollywood blockbuster.

(Anonim, Tendangan dari Langit, http://id.wikipedia.org/wiki, diakses tanggal 2 Juni 2013)

(16)

kurang menampilkan karakter intelektual yang netral, nasionalisme yang menggebu-gebu, malah justru terjebak dalam pragmatisme dan hedonisme. Sehingga kaum muda kemudian ditengarai mengalami krisis nasionalisme. Terjadi pergeseran orientasi nilai kaum muda. Kaum muda sudah kurang menghayati nilai-nilai nasionalisme. Nasionalisme kaum muda sudah terasa menjadi sesuatu yang “banal”, sesuatu yang mengalami pendangkalan makna. Seolah-olah bagi

kaum muda masa kini, nasionalisme bukan sesuatu yang penting lagi.

(Anonim, Tendangan dari Langit, http://id.wikipedia.org/wiki, diakses tanggal 2 Juni 2013).

Dalam studi pesan terdapat beberapa macam metode penelitian salah satunya adalah metode semiotik. Sebagai bentuk pesan film ini terdiri dari berbagai tanda dan simbol yang membentuk sebuah sistem makna. Proses pemaknaan simbol-simbol dan tanda-tanda tersebut tentu saja sangat tergantung dari referensi dan kemampuan pikir masing-masing individu. Oleh karena itu dalam hal ini analisis semiotik sangat berperan. Semiotik tanda-tanda dan simbol-simbol dianalisa dengan kaidah-kaidah berdasarkan pengkodean yang berlaku, dengan demikian

proses intrepertasi akan menemukan sebuah “kebenaran makna” dalam

(17)

4

B. Rumusan Masalah

Setelah melihat pemaparan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan adalah bagaimanakah nasionalisme dipresentasikan dalam tokoh Wahyu melalui tanda verbal dan tanda visual pada film Tendangan dari Langit?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan temuan-temuan tentang bagaimana nasionalisme di representasikan dalam tokoh Wahyu melalui pengungkapan tanda verbal dan tanda visual pada film Tendangan dari Langit.

D. Kegunaan Penelitian

Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain: 1. Kegunaan Teoritis

(18)

2. Kegunaan Praktis

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu merupakan kumpulan dari hasil-hasil penelitian dari peneliti sebelumnya dalam kaitannya dengan lama mencari kerja tenga kerja terdidik. Penelitian terdahulu yang diambil dalam penelitian ini adalah:

1. Christina Ineke Widhiastuti, Skripsi, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, 2012, Serang.

Judul : “Representasi Nasionalisme Dalam Film Merah Putih (Analisis Semiotika Roland Barthes)”.

(20)

Judul : “Analisis Semiotika Pada Film Laskar Pelangi”.

Peneliti menjelaskan analisis semiotika dengan menggunakan teori dari Ferdinand De Saussure serta menganalisis data berdasarkan Kamus, Ideologi, Frame Work Budaya dan Interpretan Kelompok. Hasil Penelitian menunjukan bahwa film Laskar Pelangi memiliki makna pesan yang positif untuk mendidik dan mencerdaskan anak bangsa. Dalam film ini, terdapat makna tentang semangat dan tekad yang kuat untuk belajar ditengah keterbatasan serta mencerikatakan tentang pengabdian guru meski hidup dibawah garis kemiskinan. Dengan memiliki semangat, tekad yang kuat serta dididik oleh guru yang benar-benar ingin mengabdi maka siswa-siswa SD Muhamadiah bisa mencapai impian mereka.

2. Hendra Harahap, Skripsi, Universitas Sumatra Utara, 2011, Medan.

judul : “Representasi Feminisme Dalam Film (Analisis Semiotika Representasi Feminisme Dalam Film “Sex And The City 2”.

(21)

8

realita sosial dari kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang, sebagai manusia yang sederajat yang disebut feminisme.

Dalam penelitian yang di buat oleh penulis sangat berbeda dengan penelitian terdahulu yang sudah ada, karena penelitian dari film Tendangan Dari Langit merepresentasiakan nasionalisme melalui penggambaran melalui kecintaan, kesetiaan, kekaguman, kebanggaan, serta pengabdian yang menjadi unsur dari simbol sosial dan simbol teknis berupa scene, shot, visual, audio, maupun dialog.

B. Komunikasi Massa

Menurut Bittner seperti yang dikutip oleh Jalaludin Rakhmat, komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (Rakhmat. 2005:188). Perkembangan media komunikasi massa terbilang begitu cepat. Media komunikasi yang termasuk media massa adalah radio siaran dan televisi (media elektronik); surat kabar dan majalah (media cetak); serta media film. Film sebagai media komunikasi massa adalah film bioskop (Ardianto, 2007:3).

(22)

Pesan yang disampaikan komunikasi massa bersifat umum. Komunikasi massa bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu ditujukan untuk semua orang dan tidak untuk sekelompok orang tertentu. Komunikasi massa bersifat anonim dan heterogen. Komunikator dalam komunikasi massa tidak mengenal komunikan (anonim), karena komunikasinya menggunakan media dan tidak tatap muka. Selain itu, komunikan komunikasi massa adalah heterogen, karena terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda, yang dapat dikelompokkan berdasarkan faktor: usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, latar belakang budaya, agama, dan tingkat ekonomi (Ardianto, 2007: 7).

Komunikasi massa menimbulkan keserempakan. Kelebihan komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi lainnya adalah jumlah sasaran khalayak atau komunikan yang dicapainya relatif banyak dan tidak terbatas. Bahkan lebih dari itu, komunikan yang banyak tersebut secara serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama pula. Komunikasi massa mengutamakan dimensi isi ketimbang dimensi hubungan. Sedangkan pada komunikasi antar personal unsur hubungan sangat penting. Dimensi isi menunjukkan muatan atau isi komunikasi, yaitu apa yang dikatakan, sedangkan dimensi hubungan menunjukkan bagaimana cara mengatakannya, yang juga mengisyaratkan bagaimana hubungan para peserta komunikasi itu (Ardianto, 2007: 8).

(23)

10

komunikasi massa stimulasi alat indra bersifat terbatas. Stimulasi alat indra bergantung pada jenis media massa. Tidak seperti pada komunikasi antar personal yang bersifat tatap muka, maka seluruh alat indra pelaku komunikasi dapat digunakan secara maksimal (Ardianto, 2007: 9).

Umpan balik pada komunikasi massa bersifat tertunda (delayed) atau tidak langsung (indirect). Artinya, komunikator komunikasi massa tidak dapat dengan segera mengetahui bagaimana reaksi khalayak terhadap pesan yang disampaikannya. Tanggapan khalayak bisa diterima lewat telepon, email, atau surat pembaca. Proses penyampaian feedback lewat telepon, email, atau surat pembaca itu menggambarkan feedback komunikasi massa bersifat indirect (Ardianto, 2007: 10).

C. Film sebagai Komunikasi Massa

(24)

kabar pada masa pertumbuhannya dalam abad ke-18 dan permulaan abad ke-19 (Sobur. 2006:126).

Namun seiring dengan kebangkitan film pula muncul film-film yang mengumbar seks, kriminal, dan kekerasan. Inilah yang kemudian melahirkan berbagai studi komunikasi massa. Kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial, lantas membuat para ahli menyatakan bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya (Sobur. 2006:127). Film melalui medianya sendiri merupakan media komunikasi massa yang bisa dijadikan alat pembelajaran untuk kita. Banyak film yang mengandung nilai-nilai positif di dalamnya. Dan ini bisa dijadikan alat untuk mendidik masyarakat, yang juga merupakan fungsi komunikasi massa.

(25)

12

Alex Sobur menunjukkan faktor-faktor yang menunjukkan karakteristik film. Faktor-faktor tersebut antara lain film memiliki layar yang luas/ lebar yang memberikan keleluasaan penontonnya untuk melihat adegan-adegan yang disajikan dalam film. Penonton pun bisa menikmati film dengan leluasa. Pengambilan gambar atau shot dalam film bioskop memungkinkan dari jarak jauh atau extreme long shot, dan panoramic shot, yakni pengambilan pemandangan menyeluruh. Shot tersebut dipakai untuk memberi kesan artistik dan suasana yamg sesungguhnya. Dengan pengambilan shot-shot yang berbeda inilah film menjadi lebih menarik. Film di bioskop membuat kita berkonsentrasi penuh. Kita akan terbebas dari gangguan hiruk-pikuknya suara di luar karena biasanya ruangan kedap suara. Semua mata hanya tertuju pada layar, sementara pikiran perasaan kita tertuju pada alur cerita. Dalam keadaan demikian emosi kita juga terbawa suasana (Ardianto, 2007: 145-147).

(26)

Jenis film selanjutnya adalah film berita. Film berita atau newsreel adalah film mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada publik harus mengandung nilai berita (news value).44 Selain film cerita dan film berita, ada juga film dokumenter. Film dokumenter (documentary film) didefinisikan oleh Robert Flaherty yang dikutip oleh Ardianto sebagai “karya ciptaan mengenai kenyataan”. Berbeda dengan film berita yang

merupakan rekaman kenyataan, maka film dokumenter merupakan hasil interpretasi pribadi (pembuatnya) mengenai kenyataan tersebut. Dan yang jenis film terakhir adalah film kartun. Film kartun (cartoon film) dibuat untuk dikonsumsi anak-anak. Sekalipun tujuan utamanya menghibur, film kartun bisa juga mengandung unsure pendidikan (Ardianto, 2007: 149).

D. Nasionalisme

(27)

14

kemerdekaan, semangat kebangsaan bangsa Indonesia terfokus pada semangat anti kolonial. Tantangan baru dalam mengisi kemerdekaan jauh berbeda dengan tantangan pada waktu merebut kemerdekaan. Tantangan yang kita hadapi dewasa ini adalah mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa yang telah maju (Kansil,. 1993:1).

Kebangunan bangsa jajahan dan perlawanan terhadap system kolonial itu disebut dengan istilah sosiologisnya Nasionalisme. Adapun Nasionalisme itu mempunyai bermacam-macam bentuk dan unsur-unsur tetapi yang pokok ialah unsur kebangsaan. Unsur ini merupakan unsure yang terpenting. Di samping itu maka gerakan menuju ke perubahan masyarakat dan perekonomian, merupakan unsur kedua. Tentang nasionalisme Indonesia sendiri telah banyak dikemukakan pendapat oleh penulis-penulis kenamaan, antara lain Verdoom yang dikutip oleh Kansil, mengatakan bahwa Nasionalisme di Indonesia tujuannya ialah melenyapkan tiap-tiap bentuk kekuasaan penjajahan dan mencapai suatu keadaan yang memberi tempat untuk perkembangan merdeka dan mencapai suatu keadaan yang memberi tempat untuk perkembangan merdeka bangsa Indonesia (Kansil, 1993: 17).

(28)

kebangsaan (Kohn. 1984:11). Perasaan sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan tradisi-tradisi setempat dan penguasa-penguasa resmi di daerahnya selalu ada di sepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda-beda.

Kita harus meninggalkan cara pandang Ernest Renan bahwa nasionalisme bukan lagi sekadar kehendak untuk bersatu (le desir d'etre ensemble) sebagai sebuah negara-bangsa. Sejatinya, nasionalisme yang utuh adalah ide dan cita-cita tentang sebuah masa depan: bagaimana karakter sebuah bangsa yang merdeka kukuh di tengah arus globalisasi. Karena itu, nasionalisme lama harus direkonstruksi menjadi nasionalisme baru yang berpijak pada tantangan-tantangan kebangsaan yang makin kompleks.

E. Komunikasi Simbolik

Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang diharapkan. Hal yang paling penting dalam film adalah gambar dan suara: kata yang diucapkan (ditambah dengan suarasuara lain yang serentak mengiringi gambar-gambar) dan musik film. Sistem semiotika yang lebih penting lagi dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu.

(Anonim, Rekonstruksi Nasionalisme Kaum Muda.

(29)

16

Sebuah film pada dasarnya bisa melibatkan bentuk-bentuk symbol visual dan linguistik untuk mengodekan pesan yang sedang disampaikan. Pada tingkatan paling dasar, misalnya, “suara di luar layar” mungkin hanya menguraikan objek

dan tindakan yang ada di layar. Namun, unsur suara (voice over) dan dialog dapat juga mengkoding makna kesusastraan. Pada tataran gambar bergerak, kode-kode gambar dapat diinternalisasikan sebagai bentuk representasi mental (Sobur. 2007: 128).

Film memaknai realitas sosial dengan simbol. Fiske membagi pengkodean dalam tiga level pengkodean tayangan televisi, yang juga berlaku pada film, yaitu : Level Reality: Kode yang tercakup dalam level ini adalah penampilan, kostum, riasan, lingkungan, tingkah laku, cara berbicara, bahasa atau gerak tubuh, ekspresi, suara, dll. Level Representation: Di level kedua ini kode yang termasuk di dalamnya adalah seputar kode kode teknik, seperti kamera, pencahayaan, editing, musik, dan suara. Di mana level ini mentransmisikan kode-kode konvensional. Dan Level Ideology : Level ini adalah hasil dari level realita dan level representasi yang terorganisir atau terkategorikan kepada penerimaan dan hubungan sosial oleh kode-kode ideologi, seperti individualisme, patriarki, ras, kelas, materialisme, kapitalisme, dan lain-lain.

(30)

F. Semiotika Film

Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau semiotika. Seperti yang dikemukakan oleh van Zoest, film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan. Pada film digunakan tandatanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Ciri gambar-gambar film adalah persamaannya dengan realitas yang ditunjuknya. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya (Sobur. 2007: 31).

Film menuturkan ceritanya dengan cara khususnya sendiri. Kekhususan film adalah mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera dan pertunjukkannya dengan proyektor dan layar. Ada hal-hal yang dapat dilakukan film yang tidak dapat dilakukan cerita tertulis dan sebaliknya (Sobur. 2007: 128). Film dan televisi memiliki bahasanya sendiri dengan sintaksis dan tata bahasa yang berbeda. Tata bahasa itu terdiri atas semacam unsur yang akrab, seperti pemotongan (cut), pemotretan jarak dekat (close-up), pemotretan dua (two shot), pemotretan jarak jauh (long shot), pembesaran gambar (zoom-in), pengecilan gambar (zoom-out), memudar (fade), pelarutan (dissolve), gerakan lambat (slow motion), gerakan yang dipercepat (speeded-up), efek khusus (special effect) (Sobur. 2007: 130).

(31)

18

baik verbal maupun yang berupa ikonikon atau gambar. Dari berbagai tanda dalam semiotika film, dikenal pula istilah mise en scene yang terkait dengan penempatan posisi dan pergerakan aktor pada set (blocking), serta sengaja dipersiapkan untuk menciptakan sebuah adegan (scene) dan sinematografi yang berkaitan dengan penempatan kamera. Mise en scene berarti menempatkan sesuatu pada satu layar, unsur-unsurnya antara lain actor’s performance yang terdiri dari script adalah sebuah naskah yang berisi semua kalimat yang diucapkan oleh pemain film, dan movement yaitu semua hal dan berbagai tindakan yang dilakukan oleh pemain film. Selain itu mise en scene juga terdiri dari unsur suara (sound). Sound yaitu latar belakang suara pemain, lagu, sound effect, atau nat sound (suara di sekeliling pemain film). Suara yang dapat didengar mendampingi visualisasi gambar pada layar (Sobur. 2007: 131).

Adapun kategori suara antara lain: Spoken word berupa perkataan, komentar, dialog, maupun monolog dari seorang pemain film. Natural sound berupa semua suara selain ucapan pemain film dan musik yang berfungsi sebagai ilusi realitas dan simbolisasi keadaan. Serta, music berupa instrumen atau nyanyian yang berfungsi untuk membantu transisi antar sequence, membentuk suasana latar tempat, membentuk kesan emosi pemain lebih hidup, untuk membentuk atmosfer, menambah kesan dramatis ataupun sekedar menyampaikan pesan non verbal (Bordwell, 1993: 45).

(32)

dan costum berupa segala pakaian yang dipakai oleh pemain film. Penerapan metode semiotika dalam film berkaitan erat pula dengan media televisi. Karena televisi merupakan medium yang kompleks yang menggunakan bahasa verbal, gambar dan suara untuk menghasilkan impresi dan ide-ide pada orang. Aspek-aspek yang diperhatikan dari medium yang berfungsi sebagai tanda, untuk membedakan sebagai pembawa tanda. Apa yang menarik dari TV adalah pengambilan gambar dari kamera yang dilakukan (Barger. 1999: 33).

Hal di atas menunjukkan semacam “tata bahasa” televisi seperti pengambilan

gambar, kerja kamera, dan teknik penyuntingan. Hal tersebut membantu kita untuk memahami apa yang terjadi pada sebuah program. Terdapat pula hal lain yang mungkin juga menarik, seperti teknik pencahayaan, penggunaan warna, efek suara, dan musik. Semua penanda tersebut menolong kita untuk menerjemahkan apa yang kita lihat dan yang kita dengar dari televisi.

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Kata ”semiotika” berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti ”tanda” atau seme, yang berarti ”penafsir tanda”. Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika. ”Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal

yang menunjuk pada adanya hal lain (Sobur. 2007:15).

(33)

20

bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk nonverbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya dan bagaimana tanda disusun. Secara umum, studi tentang tanda merujuk kepada semiotika (Sobur. 2007:15).

Pada penelitian ini penulis menggunakan metode semiotika Roland Barthes karena dalam semiotika Roland Barthes terdapat dua tingkatan makna yaitu denotasi dan konotasi dimana di dalam tingkatan konotasi terdapat unsur mitos, dan semiotika Roland Barthes dianggap sebagai menyempurna semiotika Peirce dan Saussure.

Roland Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu (Sobur. 2007:17). Dalam setiap eseinya, Barthes menghabiskan waktu untuk menguraikan dan menunjukkan bahwa konotasi yang terkandung dalam mitologi-mitologi tersebut biasanya merupakan hasil konstruksi yang cermat.

(34)

tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadangkala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Dalam hal ini denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna dan dengan demikian, sensor atau represi politis. Sedangkan konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai

”mitos”, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi

nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.

G. Semiotika dalam Tanda Dan Makna

Semiotika (Semiotic) adalah teori tentang pemberian ‟tanda‟. Secara garis besar semiotika digolongkan menjadi tiga konsep dasar, yaitu semiotika pragmatik (semiotic pragmatic), semiotika sintaktik (semiotic syntactic) dan semiotika sematik (semiotic sematic) (Sobur, 2007:31).

1. Semiotika Pragmatik (semiotic pragmatic)

(35)

22

merupakan tinjauan tentang pengaruh arsitektur (sebagai sistem tanda) terhadap manusia dalam menggunakan bangunan. Semiotika pragmatik arsitektur berpengaruh terhadap indra manusia dan perasaan pribadi (kesinambungan, posisi tubuh, otot dan persendian). Hasil karya arsitektur akan dimaknai sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya, hasil persepsi tersebut kemudian dapat mempengaruhi pengamat sebagai pemakai dalam menggunakan hasil karya arsitektur. Dengan kata lain, hasil karya arsitektur merupakan wujud yang dapat mempengaruhi pemakainya.

2. Semiotika Sintaktik (semiotic syntactic)

Semiotika sintaktik menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa memperhatikan ‟maknanya‟ ataupun hubungannya terhadap perilaku subjek.

Semiotika sintaktik ini mengabaikan pengaruh akibat bagi subjek yang menginterpretasikannya. Dalam arsitektur, semiotika sintaktik merupakan tinjauan tentang perwujudan arsitektur sebagai panduan dan kombinasi dari berbagai sistem tanda. Hasil karya arsitektur akan dapat diuraikan secara komposisional dan ke dalam bagianbagiannya, hubungan antar bagian dalam keseluruhan akan dapat diuraikan secara jelas.

3. Semiotika Sematik (semiotic sematic)

Semiotika sematik menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan ‟makna‟ yang disampaikan. Dalam arsitektur, semiotika sematik merupakan

(36)

pengamatnya. Perwujudan makna suatu rancangan dapat dikatakan berhasil jika makna atau ‟arti‟ yang ingin disampaikan oleh perancang melalui

rancangannya dapat dipahami dan diterima secara tepat oleh pengamatnya, jika ekspresi yang ingin disampaikan perancangnya sama dengan persepsi pengamatnya.

Dunia komunikasi visual, sematik menjadi panutan yang tepat dalam menelaah, meneliti dan menganalisis makna tanda-tanda visual. Visualisasi dari image merupakan simbol dari suatu makna. Dalam lingkup pemaknaan terhadap pesan terdapat istilah Asosiasi dan Sinestesia. Asosiasi adalah perubahan makna yang terjadi karena persamaan sifat (Sobur, 2007:35).

(37)

24

H. Representasi

Menurut David Croteau dan William Hoynes (dalam Wibowo, 2010: 120), representasi merupakan hasil dari suatu proses penyeleksian yang menggarisbawahi hal-hal tertentu dan hal lain diabaikan. Dalam representasi media, tanda yang akan digunakan untuk melakukan representasi tentang sesuuatu mengalami proses seleksi. Mana yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan dan pencapaian tujuan-tujuan komunikasi ideologisnya itu yang digunakan sementaran tanda-tanda lain diabaikan. Marcel Danesi mendefinisikan representasi sebagai, proses perekaman gagasan, pengetahuan, atau pesan secara fisik.Secara lebih tepat dapat diidefinisikan sebagai penggunaan „tanda-tanda‟ (gambar, suara, dan

sebagainya) untuk menampilkan ulang sesuatu yang diserap, diindra, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik. Didalam semiotika dinyatakan bahwa bentuk fisik sebuah representasi, yaitu X, pada umumnya disebut sebagai penanda. Makna yang dibangkitkannya (baik itu jelas maupun tidak), yaitu Y, pada umumnya dinamakan petanda; dan makna secara potensial bisa diambil dari representasi ini

(X = Y) dalam sebuah lingkungan budaya tertentu, disebut sebagai signifikasi (sistem penandaan).

(38)

tujuan pembuatannya, dan seterusnya merupakan faktor-faktor kompleks yang memasuki gambaran tersebut. Agar tugas ini bisa dilakukan secara sistematis, terbentuklah disini suatu terminologi yang khas (Danesi, 2010: 3-4).

Contoh seperti proses yang dilakukan dalam merepresentasikan seks bisa dirangkum dalam diagram dibawah ini. Untuk menunjukkan pelbagai penanda dan petanda yang ada didalam masing-masing representasi ini, dipakai subskrip dalam bentuk angka. Meskipun demikian, ini bukanlah praktik standar dalam semiotika; hal ini dipakai di sini untuk memberikan kejelasan saja. Di sini tidak ada cara untuk menentukan hal menjadi petanda atau meramalkan signifikasi mana yang akanditerapkan untuk bisa menggambarkan secara tepat representasi (X = Y) seperti apa yang berlaku pada satu kelompok orang tertentu. Meskipun demikian, proses penurunan makna dari representasi tertentu bukan merupakan proses terbukakarena dibatasi oleh konvensi sosial, pengalaman komunal, serta banyak hal faktorkontekstualyang membatasi pelbagai pilihan makna yang mungkin berlaku pada pilihan tertentu. Analisis semiotika adalah upaya menggambarkan pelbagai pilihan makna yang tersedia. Danesi mencontohkan representasi dengan sebuah konstruksi X yang dapat mewakilkan atau memberikan suatu bentuk kepada suatu materil atau konsep tentang Y. (Wibowo, 2010: 122).

Menurut Stuart Hall ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental, yaitu konsep tentang „sesuatu„ yang ada dikepala kita masing-masing (peta

(39)

26

yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam „bahasa‟ yang lazim,

supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dari simbol-simbol tertentu. Media sebagai suatu teks banyak menebarkan bentuk-bentuk representasi pada isinya. Representasi dalam media menunjuk Pada bagaimana seseorang atau suatu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan (Wibowo, 2010: 123).

Isi media bukan hanya pemberitaan tetapi juga film dan hal-hal lain di luar pemberitaan intinya bahwa sama dengan berita, film juga merepresentasikan orang-orang, kelompok atau gagasan tertentu. John Fiske merumuskan tiga proses yang terjadi dalam representasi:

a. Realitas dalam proses ini peristiwa atau ide dikonstruksi sebagai realitas oleh media dalam bentuk bahasa gambar ini umumnya berhubungan dengan aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan ekspresi dan lain-lain. Di sini realitas selalu siap ditandakan.

b. Representasi dalam proses ini realitas digambarkan dalam perangkat-perangkat teknis seperti bahasa tulis, gambar, grafik, animasi, dan lain-lain. c. Tahap ideologis dalam proses ini peristiwa-peristiwa dihubungkan dan

(40)

Konsep representasi sendiri bisa berubah-ubah, selalu ada pemaknaan baru. Representasi berubah-ubah akibat makna yang juga berubah -ubah. Setiap waktu terjadi proses negoisasi dalam pemaknaan. Jadi representasi bukanlah suatu kegiatan atau proses statis tapi merupakan proses dinamis yang terus berkembang seiring dengan kemampuan intelektual dan kebutuhan para pengguna tanda yaitu manusia sendiri yang juga terus bergerak dan berubah. Representasi merupakn suatu proses usaha konstruksi. Karena pandangan-pandangan baru yang menghasilkan pemaknaan baru , juga merupakan hasil pertumbuhan konstruksi pemikiran manusia, melalui representasi makna diproduksi dan dikonstruksi. Ini menjadi proses penandaan, praktik yang membuat suatu hal bermakna sesuatu.

I. Kerangka Pikir

(41)

28

Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian Film sebagai Komunikasi Massa

Simbol sosial visual, verbal, teknis Tendangan dari Langit Semiologi Roland Barthes

Makna Nasionalisme

(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang menggunakan latar alamiah. Penelitian kualitatif itu bertumpu secara mendasar pada fenomenologi. Fenonomenologi diartikan sebagai pengalaman subjektif atau pengalaman fenomenogikal atau bias juga diartikan sebagai suatu studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang (Moleong. 2006: 14). Namun pada penelitian deskriptif kualitatif ini tidak sepenuhnya mengakar pada penilitian kualitatif, hanya kebiasaan dan pengaruh antara pandangan kuantitatif-kualitatif sajalah akhirnya melahirkan tipe penelitian kualitatif deskriptif tersebut, sehingga tipe penelitian kualitatif deskriptif lebih tepat disebut sebagi quasi-kualitatif. Bogdan dan Taylor mendefinisikan “metodelogi kualitatif“ sebagai prosedur

(43)

29

B. Definisi Konseptual

Definisi konseptual menurut Azwar (2011:42) merupakan pembatasan pengertian tentang hal-hal yang perlu diamati, merupakan kerangka pikir, mengenai hubungan diantara variabel-variabel, juga memudahkan identifikasi fungsi-fungsi variabel-variabel penelitian sehingga akan tampak jelas mana variabel yang harus dimanipulasikan. Berikut dijelaskan mengenai definisi konseptual dari penelitian ini, yaitu:

1. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Kata ”semiotika” berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti ”tanda” atau

seme, yang berarti ”penafsir tanda”. Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika. ”Tanda” pada masa itu masih

bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain (Sobur. 2007:15). 2. Film adalah gambar-hidup, juga sering disebut movie (semula pelesetan untuk

'gambar bergerak'). Film, secara kolektif, sering disebut 'sinema'. Gambar-hidup adalah bentuk seni, bentuk populer dari hiburan, dan juga bisnis.

(44)

C. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini pada film Tendangan dari Langit yang digunakan peneliti secara keseluruhan sebagai objek penelitian yang akan diteliti. Unit analisis yang dikenal sebagai unit produksi, yakni mise en scene yang terkait dengan segala sesuatu yang tampil di kamera, baik penampilan pemain film, suara, dan desain produksi (lokasi, properti, dan kostum), serta sinematografi yang berkaitan dengan penempatan kamera dalam film.

Pada penelitian ini peneliti menggunakan analisis semiotik. Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya dan penerimannya oleh mereka yang menggunakannya. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Narbuko. 2005:81). Analisis semiotik berupaya menemukan makna tanda termasuk hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah tanda (teks, iklan, berita). Pemikiran pengguna tanda merupakan hasil pengaruh dari berbagai konstruksi sosial di mana pengguna tanda tersebut berada, karena sistem tanda sifatnya amat kontekstual dan bergantung pada pengguna tanda tersebut.

(45)

31

semiotik makro, dimana Barthes memberikan makna pada sebuah tanda berdasarkan kebudayaan yang melatarbelakangi munculnya makna tersebut. Dengan demikian makna dalam tataran mitos dapat diungkap sesuai dengan keunggulan semiotik Roland Barthes yang terkenal dengan elemen mitosnya. Metodologi dengan teknik semiotik dalam penelitian ini pada dasarnya bersifat kualitatif-interpretatif. Dengan fokus penelitian nasionalisme yang direpresentasikan tokoh Wahyu dalam film Tendangan Dari Langit, maka plot-plot dalam film yang dipilih adalah plot-plot-plot-plot yang dinilai peneliti mendekati makna mencerminkan nasionalisme Wahyu. Adapun indikator Nasionalisme dalam film ini dikategorikan sebagai berikut :

a. Kecintaan b. Kesetiaan c. Kekaguman d. Kebanggaan e. Pengabdian

D. Teknik Pengumpulan Data 1. Dokumentasi

(46)

pengumpulan data. Tujuannya untuk mendapatkan informasi yang mendukung analisis dan interpretasi data (Sugiyono. 2007:82).

2. Studi Kepustakaan

Studi pustaka adalah metode pengumpulan data dan informasi dengan menggunakan data yang diperoleh orang lain melalui penelitian sebelumnya, atau yang diperoleh dari sumber tertulis yang terdapat dalam berbagai referensi buku, surat kabar dan lain sebagainya. Salah satu hal yang perlu dilakukan dalam persiapan penelitian ialah mendayagunakan sumber informasi yang terdapat di perpustakaan dan jasa informasi yang tersedia. Pemanfaatan perpustakaan ini diperlukan, baik untuk penelitian lapangan maupun penelitian bahan dokumentasi (data skunder). Dokumentasi yang digunakan bisa berupa data-data, gambar, foto yang berkaitan dengan penelitian ini, baik dari sumber dokumen maupun buku-buku, Koran majalah dan tulisan-tulisan pada situs internet. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa artikel yang diambil baik dari situs internet maupun koran yang dijadikan sebagai data sekunder.

E. Analisis Data

(47)

33

dalam riset kualitatif, yaitu sebagai faktor utama penilaian kualitas terhadap suatu riset. Artinya, kemampuan periset memberi makna kepada data merupakan kunci apakah data yang diperolehnya memenuhi unsur reliabilitas dan validitas atau tidak. Secara lebih rinci, uraian ringkas mengenai langkah-langkah analisisnya diolah dari analisis semiotik:

a) Inventarisasi data, yaitu dengan cara mengumpulkan data sebanyak-banyaknya baik dari dokumentasi maupun studi kepustakaan.

b) Kategorisasi model semiotik, menentukan model semiotik yang digunakan, yakni model semiotika Roland Barthes.

c) Klasifikasi data, identifikasi teks (tanda), alasan-alasan tanda tersebut dipilih, tentukan pola semiosis, dan tentukan kekhasan wacananya dengan mempertimbangkan elemen semiotika dalam scene yang dianggap mewakili representasi nasionalisme.

d) Penentuan scene tersebut menentukan penanda (signifer), petanda (signified), makna denotasi pertama (denotative sign 1), lalu makna konotasi pertama (connotative sign 1) yang juga merupakan makna denotasi tahap kedua (denotative sign 2) berupa representasi nasionalisme.

e) Analisis data untuk membahas makna konotasi tahap kedua (connotative sign 2) yang ditarik berdasarkan ideologi, interpretan kelompok, framework budaya, aspek sosial, komunikatif, lapis makna, intertekstualitas, kaitan dengan tanda lain, hukum yang mengaturnya, serta berasal dari kamus atau ensiklopedia.

(48)

Berdasarkan uraian teori di atas bisa disimpulkan teknis analisis yang dipakai peneliti, yaitu:

a) Peneliti menonton film Tendangan dari Langit terlebih dahulu

b) Melakukan pengamatan adegan ataupun hal-hal yang terjadi dalam scene tersebut.

c) Mengklasifikasi data dengan melakukan capture scene-scene yang dianggap mewakili representasi nasionalisme.

d) Penentuan scene tersebut menentukan penanda (signifer), petanda (signified), makna denotasi pertama (denotative sign 1), lalu makna konotasi pertama (connotative sign 1) yang juga merupakan makna denotasi tahap kedua (denotative sign 2) berupa representasi nasionalisme.

e) Analisis data untuk membahas makna konotasi tahap kedua (connotative sign 2).

(49)

BAB IV

DESKRIPSI FILM TENDANGAN DARI LANGIT

A. Sinopsis Film Tendangan Dari Langit

Sutradara Hanung Bramantyo

Produser Leo Sutanto

Penulis Fajar Nugros

Pemeran

Irfan Bachdim

Kim Jeffrey Kurniawan

(50)

Giorgino Abraham

Jordi Onsu

Joshua Suherman

Agus Kuncoro

Sujiwo Tejo

Natasha Chairani

Yosie Kristanto

Mathias Ibo

Musik Kotak

Music Director Tya Subiakto

Editor Cesa David Lukmansyah

Studio SinemArt Pictures

Distributor SinemArt Pictures

Tanggal rilis Jumat, 25 Agustus 2011

Durasi 117 menit

Negara Indonesia

Bahasa Bahasa Indonesia

(51)

37

Sepak bola sebagai olahraga yang begitu dekat dengan masyarakat Indonesia ternyata masih terlalu jauh untuk diraih bagi remaja asal Langitan, Wahyu (Yosie Kristanto). Konon ia punya bakat besar dan mimpi yang sama besarnya untuk bisa bergabung di Persema (Persatuan Sepak Bola Malang) bersama dua nama besar yang sedang populer, Irfan Bachdim dan Kim Kurniawan. Wahyu mungkin mewakili beberapa jiwa anak muda yang ingin menjadikan sepak bola sebagai pilihan kariernya. Berawal dari pemain bayaran untuk Desa Karangsari di lereng Gunung Bromo, Wahyu beruntung bisa bertemu dengan Coach Timo sang pelatih Persema ketika menolong anaknya yang diganggu anak jalanan di Malang. Pertemuan mereka memang hanya sekilas saja. Namun, „jodoh‟ mempertemukan

mereka kembali saat Coach Timo melihat Wahyu yang sedang berlatih bola di Gunung Bromo.

(52)

Di Tendangan Dari Langit begitu banyak tokoh yang berperan menjadi „kompor‟ untuk memanasi Wahyu pilihan mana yang sebaiknya dipilih. Awalnya, ketika Wahyu berseteru dengan Darto yang terus melarangnya bermain bola, Hasan (Agus Kuncoro) selalu berada di belakang Wahyu mendukung setiap pilihan langkahnya. Hasan bahkan mempertemukan Wahyu dengan Gatot (Toro Margens), yang akhirnya menghadiahinya kuda setelah memenangkan pertandingan. Hasan selalu muncul di saat-saat terburuk Wahyu, termasuk saat amarah Darto memuncak Hasan juga membongkar kenapa Darto begitu membenci sepak bola. Saat itu Wahyu merasa ada dalam lindungan Hasan, sang Pak Le yang bisa menyelamatkan mimpinya di lapangan hijau.

Keadaan menjadi berbalik ketika Darto mulai luluh dan mengizinkan Wahyu main sepak bola. Awalnya terkesan mendukung Wahyu bermain bola untuk mengejar impian sekaligus mendapat uang tambahan, Hasan justru sempat menghalangi niat Wahyu untuk menerima tawaran Coach Timo di Persema. Hasan memang sempat mengantar Wahyu menuju markas Persema, tapi ketika di tengah jalan ban motor Hasan pecah dan Wahyu nyaris terlambat, Hasan masih berniat membuat Wahyu mengurungkan niatnya itu.

(53)

39

terkadang jenaka kala bercanda, sampai sikapnya yang agak penakut ketika berhadapan dengan Gatot. Terlihat dari dialognya dengan Wahyu yang cukup mendominasi di awal film. Ia juga memposisikan dirinya sebagai pelindung Wahyu dengan berkali-kali menyebut dirinya “Pak Le” alias paman untuk mengesankan kedekatannya dengan Wahyu. Didukung dengan ketidakakuran Wahyu dengan Darto, situasi tersebut sangat menguntungkan posisi Hasan di mata Wahyu.

Ketamakan Hasan terbongkar seiring dengan perubahan sikap Darto yang melunak. Sang ayah yang sudah terbuka dan mengizinkan Wahyu bergabung di Persema ditunjukan dengan mimik Sujiwo Tejo yang makin mengumbar senyum. Pemilihan kata-kata yang seperti berpantun makin menguatkan sosok Darto yang justru sudah berada di pihak Wahyu dan membebaskan pilihannya. Hal ini terlihat ketika Wahyu didera kebingungan memilih antara cintanya dengan Indah (Maudy Ayunda), sang gadis impian atau sepak bola. Darto hanya memberikan nasihat “Cinta itu harus memilih salah satu, yang satunya lagi hanya menghormati” atau

cara Darto yang berusaha menggoda Wahyu dengan pantunnya, “Kalau cinta

melekat, tai kucing terasa cokelat”. Guyonan Darto tersebut seolah meruntuhkan

karakternya yang sebelumnya ditampilkan sebagai ayah yang kaku, pemarah dan tidak suportif.

(54)

campur tangan beberapa pihak. Di sisi lain, tidak dipungkiri sepak bola masih dianggap sebagai salah satu alat pemicu nasionalisme di negeri ini. Hal ini juga terlihat di awal film ketika menampilkan pertandingan sepak bola zaman dulu sampai kekalahan tim nasional Indonesia di piala AFF dengan Malaysia. Masyarakat pun menyatukan suara dan semangat untuk tetap mendukung Indonesia.

Kembali ke film, dua tokoh Hasan dan Darto ini membantu menguatkan karakter Wahyu yang masih nampak datar dan tidak dominan. Wahyu mungkin memang tidak digambarkan sebagai sosok yang ekspresif atau jenaka seperti kedua temannya yang diperankan oleh Jodi Onsu dan Joshua Suherman. Namun, tokoh Wahyu justru menonjol akibat munculnya karakter-karakter lain yang menguatkan sosok Wahyu itu sendiri.

(55)

41

Terlepas dari dialog-dialog yang memorable, beberapa detail adegan nampaknya luput dari perhatian. Kaki kanan Wahyu divonis osgoodschlatter, namun ketika Wahyu tumbang saat main bola di Karangsari, ia terlihat memegang kaki kirinya. Di adegan berikutnya ia baru memegang kaki kanannya. Film yang kental unsur Jawa Timur ini seperti ingin masuk sampai logat para pemainnya. Sayangnya logat Maudy Ayunda justru terkesan dipaksakan. Terasa perbedaan signifikan dengan Melly atau Wahyu sendiri.

Lepas dari semua itu, Tendangan merupakan salah satu film yang menyenangkan ditonton di musim libur Lebaran ini. Unsur lokal yang kental lewat lokasi dan dialognya, nuansa sepak bola yang penuh pesan nasionalisme, sekaligus ajang jualan para pemain naturalisasi yang sedap dipandang mata. Meskipun Bachdim dan Kurniawan dipajang sebagai „dagangan‟ utama film ini, bagi saya dua bule

(56)

B. Antusiasme Penonton Tendangan Dari Langit

Sejak hari pertama tayang di bioskop, penjualan tiket Tendangan Dari Langit laris manis dan bahkan terjual habis. Hari pertama rilis, sebanyak sekitar 60.000 (enam puluh ribu) penonton mnyerbu bioskop-bioskop untuk menonton film keluarga paling ditunggu pengisi liburan sekolah ini. Antrian panjang terjadi di berbagai bioskop baik di daerah Jabodetabek maupun luar kota.

Setelah tayang selama 2 (dua) minggu, Tendangan Dari Langit berhasil meraup 1 juta penonton. Antusiasme penonton juga tidak berkurang meskipun hadir film-film box office Hollywood yang kemudian naik tayang di bioskop-bioskop yang juga menarik banyak penonton. “Hal ini menjadi bukti, bahwa film Indonesia

yang dibuat dengan production value yang baik, dengan cerita yang digarap dengan baik, dengan menampilkan akting-akting para pemain yang berkualitas, bisa bersaing dengan film Hollywood,” ujar Shanty Harmayn selaku produser. “Kami bersyukur bahwa penonton Indonesia sangat apresiatif terhadap film

Tendangan Dari Langit ini. Dan bertahannya film ini di tengah gempuran film-film box office Hollywood yang tayang pada waktu yang hampir bersamaan, kami rasa merupakan bukti bahwa penonton Indonesia sekarang ini, selain tetap mendukung perfilman Indonesia, juga semakin cerdas untuk memilih film. Terima kasih banyak pada apresiasi dan antusiasme para penonton,” imbuh Putut

(57)

43

C. Theme song Tendangan Dari Langit

Original Soundtrack Tendangan dari Langit adalah album yang diproduksi oleh Warner Music Group dan yang distasiun jaringan saluran asli oleh RCTI untuk mengiringi dari film yang berjudul sama, Tendangan dari Langit dirilis pada tahun 2011 yang sama sekuel sepertinya direkam. Berisi 5 buah lagu dengan lagu Tendangan dari Langit yang dinyanyikan Kotak sebagai lagu unggulan. Selain itu masih ada lagu Cinta Jangan Pergi (karya oleh Kotak) dan Energi (karya oleh Kotak) sebagai hits singel berikutnya. ini berisi 24 karya dengan 12 lagu bervokalkan Kotak dan 12 musik pengiring film. (Anonim, Tendangan Dari Langit, http://wowkeren.com/berita/tampil/00010320.html, diakses tanggal 27 Maret 2014).

D. Rilis Tendangan Dari Langit

Pada tanggal 25 Agustus 2011, Tendangan Dari Langit rilis serentak di lebih dari 70 bioskop di berbagai kota di Indonesia, baik di jaringan bioskop 21 Cineplex maupun Blitzmegaplex. Pada Pk. 16.00 WIB juga diadakan launching buku Tendangan Dari Langit yang bertempat di MP Book Point, Jl. Puri Mutiara Raya No. 72 Cipete, Jakarta Selatan. Acara ini menghadirkan para pemain dan sutradara filmnya dan terbuka untuk umum. (Anonim, Tendangan Dari Langit, http://id.wikipedia.org/wiki, diakses tanggal 27 Maret 2014).

E. Sukses Besar Tendangan Dari Langit

(58)

menjadi film buruan para pencinta film tanah air. Hal ini terbukti dari antrian panjang di beberapa bioskop dan tiket yang selalu terjual habis hingga jam-jam terakhir pemutaran. Fenomena ini tidak hanya terjadi di daerah Jabodetabek, tetapi juga di kota-kota lain seperti Bandung, Yogya, Medan, Makassar, Pekanbaru, Surabaya, Malang, dan Cilegon. Tua-muda besar-kecil dari perorangan hingga rombongan keluarga, rela mengantri demi film yang mengangkat tema nasionalis ini. Bahkan di beberapa tempat, seperti Makassar dan Yogyakarta, karcis yang dijual adalah untuk pertunjukan hari berikutnya.

Tidak heran, roadshow artis dan pendukung film Tendangan Dari Langit ke beberapa kota di Indonesia pada 22-23 Agustus 2011 lalu juga mendapat sambutan meriah. Kota-kota tersebut adalah Bandung, Makassar, Medan, Banjarmasin, dan Yogyakarta. Tim Tendangan Dari Langit yang berkunjung adalah Irfan Bachdim sebagai Irfan, Kim Jeffrey Kurniawan sebagai Kim, Maudy Ayunda sebagai Indah, Giorgino Abraham sebagai Hendro, Jordi Onsu sebagai Mitro, Joshua Suherman sebagai Purnomo, Agus Kuncoro sebagai Pak Lik Hasan, Sujiwo Tejo sebagai Pak Darto, Natasha Chairani sebagai Melly, Yosie Kristanto sebagai Wahyu, Timo Scheunemann sebagai Coach Timo, Matias Ibo sebagai Matias. Juga akan diadakan kunjungan ke bioskop oleh para aktor dan aktris Tendangan Dari Langit ke Depok, Bekasi, dan Bogor.

Berikut komentar beberapa tokoh setelah menonton film Tendangan Dari Langit: Anies Baswedan (Rektor Universitas Paramadina)

“Saya melihat film ini menarik, menunjukkan determinasi anak muda yang

(59)

45

pendidikan juga sangat kuat disamping nuansa realita masyarakatnya terasa sekali. Saya melihat film ini dengan perspektif yang sangat positif”.

Prof. Dr. Bambang Sudibyo (Mendiknas Republik Indonesia)

“Tidak hanya menghibur tapi film ini juga mendidik. Ini adalah bukti

bahwa dengan kreativitas yang baik dan tinggi, tema pendidikan bisa juga diangkat menjadi hiburan yang menarik, mencerahkan dan membuat rileks. Dan yang dididik dari film ini bukan hanya anak-anak tapi juga orangtua”.

Gumilar Sumantri (Rektor Universitas Indonesia)

“Film ini luar biasa, dari awal sampai akhir, bagaimana cinta pada bola,

cinta pada bangsa, membela nama baik bangsa negara, ini memang sesuatu hal yang mengharukan bagaimana refleksi pada bangsa dan negara itu ditanamkan”.

Kak Seto (Pemerhati Anak)

“Selain mengembangkan atau menumbuhkan patriotisme di kalangan anak-anak,

(60)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Film Tendangan Dari Langit adalah film yang mencoba merepresentasikan nasionalisme dalam olah raga, penelitian ini dilakukan dengan analisa semiotika Roland Barthes yang bertujuan mengetahui bagaimana penggambaran nasionalisme dalam film Tendangan Dari Langit melalui kecintaan, kesetiaan, kekaguman, kekaguman, serta pengabdian yang menjadi unsur dari simbol sosial dan simbol teknis berupa scene, shot, visual, audio dan dialog yang di dadapat pada emblem, kaos tim nasional, dan bendera merah putih. Simbol sosial tersebut antara lain:

a. Kecintaan

(61)

73

meneriakan sila-sila dalam Pancasila dalam salah scene nya serta betapa Wahyu sangat cinta terhadap sepak bola dan bercita – cita untuk menjadi pemain sepak bola nasional dan ingin membela Negara Republik Indonesia dalam bidang olahraga (sepakbola). Simbol nasionalisme melalui kecintaan adalah bendera Merah Putih, sepakbola, kaos serta emblem timnas Indonesia.

b. Kesetiaan

Nasionalisme pun tidak hanya membicarakan kecintaan semata, tetapi juga tentang kesetiaan terhadap sesuatu yang dirasakan lebih. Begitu pula kesetiaan Wahyu untuk tetap berlatih sepak bola walau dapat tentangan dari Ayah nya, selain itu pula Wahyu pun dapat kesetiaan dari sahabat-sahabatnya yang terus mendukung Wahyu dengan bakat yang terpendam selama ini, Wahyu menjalin persahabatan tidak hanya di sekolah saja, tetapi dalam aktifitas di luar sekolah pun mereka sering bermain bersama. Simbol nasionalisme melalui kesetiaan adalah kesetiaan tokoh Wahyu terhadap sepakbola serta tetap fokus untuk menggapai cita – citanya sebagai pemain timnas Indonesia serta kesetiaan Wahyu terhadap keluarga serta sahabat – sahabatnnya.

c. Kekaguman

(62)

dimiliki Wahyu terhadap seragam tim nasional merupakan pencerminan jiwa Nasionalisme, pada seragam tim nasional yang tak lain adalah simbol negara Wahyu yaitu Indonesia.

d. Kebanggaan

Wahyu mengenakan seragam sepak bola resmi dari Persema Malang merupakan kebanggaan Wahyu yang terpendam tokoh Wahyu dapat bergabung dalam sebuah club sepak bola, yang suatu saat akan memabawanya ke pertandingan yang dapat mewakili desanya di kancah nasional dan dapat mewakili Indonesia di ajang internasional sebagai pemain sepak bola Timnas Indonesia. Nasionalisme dapat dilihat dari rasa kebanggaan, kebanggaan yang dimiliki Wahyu menjadi warga negara Indonesia sehingga dapat mengenakan atribut kebangsaannya.

e. Pengabdian

(63)

75

Nasionalisme sebagai sebuah konsep ideal dalam film ini mampu menjadi sebuah media yang ampuh untuk menanggulangi berbagai pemikiran yang tidak sesuai dengan pemikiran atau gagasan yang berasal dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Dalam film ini terdapat sebuah konsep tentang bagaimana mencintai bangsa dan negara melalui olahraga sepak bola.

B. Saran

(64)

DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, Elvinaro, dkk. 2007. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar Edisi Revisi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Ardianto, Elvinaro dan Komala, Lukiati. 2004. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Berger, Arthur Asa. 1999. Media Analysis Techniques. Alih Bahasa Setio Budi. Yogyakarta: Andi Offset.

Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra.

Kansil, C.S.T., dan Julianto. 1993. Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Kriyantono, Rachmat. 2009. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Kusnadi, Wawan. 1996. Komunikasi Massa: Sebuah Analisis Media Televisi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Moleong, Lexy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy. 2008. Komunikasi Massa: Kontroversi, Teori, dan Aplikasi. Bandung: Widya Padjadjaran.

Narbuko, Cholid dan Achmadi, Abu. 2005. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.

Nugroho, Garin, 1995, Kekuasaan dan Hiburan, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta.

Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Komunikasi Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

(65)

Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. 2010. Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Sumber Lain

Anonim, Tendangan dari Langit, http://id.wikipedia.org/wiki.

Anonim, Rekonstruksi Nasionalisme Kaum Muda.

http://www.tempointeraktif.com

Gambar

Tabel 2.2 Peta Tanda Roland Barthes
Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan

Pemahaman nilai-nilai yang kuat dijadikan kepala sekolah untuk menggerakkan para guru dan pegawai agar mengartikulasikan visi sesuai dengan bidang mereka masing-masing yang

sumber belajar memberikan pengaruh yang paling dominan antara guru, buku paket, dan internet terhadap motivasi belajar siswa pada mata pelajaran

Hasil penelitian menunjukkan bahwa saat ini perusahaan telah menerapkan Sistem Akuntansi Pertanggungjawaban dengan cukup baik, dilihat dari partisipasi tiap level manajemen

menerapkan jalan jawaban di atas tentu akan menghabiskan waktu, jalan tercepatnya yaitu cukup dengan mencari rata-ratanya saja, sedangkan median dan modus tidak perlu mencari

Dengan demikian hasil perhitungan ini dapat diambil suatu keputusan bahwa akuntansi konservatif (X 1 ), size perusahaan (X 2 ), dan default risk (X 3 ), secara simultan

KONSELING ANALISIS TRANSAKSIONAL UNTUK MENGURANGI PERILAKU AGRESIF REMAJA (Studi pada Sekolah Menengah Kejuruan Kota

Demikian Pengumuman Penyedia ini dibuat untuk dapat dipergunakan sebagai mana mestinya. Sekayu, 18