• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI MANAJEMEN TEACHING FACTORY PADA UNIT PRODUKSI TRAINING HOTEL SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN KRIDAWISATA BANDAR LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EVALUASI MANAJEMEN TEACHING FACTORY PADA UNIT PRODUKSI TRAINING HOTEL SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN KRIDAWISATA BANDAR LAMPUNG"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKSI TRAINING HOTEL SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN KRIDAWISATA BANDAR LAMPUNG

Oleh

I Nyoman Gali Darmawan

Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi manajemen teaching factory pada Unit Produksi Training Hotel Sekolah Menengah Kejuruan Kridawisata Bandar Lampung dengan menggunakan model analisis CIPP (contet, input, process dan product), yang meliputi; (1) Mengevaluasi context manajemen teaching factory (2) Mengevaluasi input manajemen teaching factory (3) Mengevaluasi process manajemen teaching factory (4) Mengevaluasi product manajemen teaching factory pada unit produksi Training Hotel SMK Kridawisata Bandar Lampung.

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian evaluasi, dengan model evaluasi CIPP, Informan penelitian terdiri dari Yayasan Krida Utama, unsur manajemen teaching factory dan pihak industri yang menjadi mitra SMK Kridawisata Bandar Lampung. Pengumpulan data dilaksanakan dengan wawancara, pengamatan dan dokumentasi. Data selanjutnya dianalisis secara evaluatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Evaluasi Context terdiri dari; a) Analisis kebutuhan kurang maksimal, dikarenakan pengelolaan teaching factory belum menerapkan prinsip-prinsip Manajemen Berbasis Sekolah. b) Dukungan budaya sekolah sangat baik, budaya industri; kebersihan, disiplin dan keramah tamahan diadopsi dengan baik oleh siswa. (2) Evaluasi Input terdiri dari; a) kepemimpinan yang diterapkan mendukung pelaksanaan teaching factory, b) Kurikulum, kurang maksimal, pedoman teaching factory belum dimuat dalam lampiran (anjuran Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan”. c) Akses dan mutu siswa baru, kurang maksimal, diperlukan kriteria khusus dalam penerimaan siswa baru. c) Mutu pendidik dan tenaga kependidikan, kurang maksimal, diperlukan adanya peningkatan kualifikasi akademik bagi pendidik. d) Kecukupan efektifitas dan efesiensi sarana prasarana, sangat baik, sarana dan prasarana saling menunjang antara sekolah dan unit produksi. (3) Evaluasi Process terdiri dari; a) Perencanaan, kurang maksimal diperlukan penyusunan Rencana Kerja Sekolah mengenai teaching factory. b) Pelaksanaan, kurang maksimal, diperlukan adanya standar baku yang dijadikan pedoman pelaksanaan teaching factory. c) Pengawasan kurang maksimal, diperlukan adanya pengawasan dengan melibatkan stakeholder pendidikan (Kepmendiknas No. 044/U/2002). (4) Evaluasi Product, terdiri dari; a) Mutu kegiatan teaching factory mampu menciptakan budaya industri di sekolah dan salah satu sumber pembiayaan bagi sekolah. b) Kerjasama industri untuk memperluas lapangan kerja dilakukan melalui menjalin kemitraan dengan dunia industri perhotelan melalui program ”casual”.

(2)

UNIT PRODUCTION IN HOTEL TRAINING VOCATIONAL HIGH SCHOOL KRIDAWISATA BANDAR LAMPUNG

By

I Nyoman Gali Darmawan

The purpose of this study was to evaluate the management of teaching factory in Unit Production Hotel Training on vocational Kridawisata Bandar Lampung using CIPP (context, input, process and product) analytical models, they were: (1) Evaluating the management context of teaching factory (2) Evaluating the management inputs of teaching factory (3 ) Evaluating the management process of teaching factory (4) Evaluating the management product of teaching factory on production units Hotel Training Kridawisata SMK Bandar Lampung.

This study used evaluation research approach of, and the CIPP was as the evaluation model. The informants of the research were Krida Foundation, elements of teaching factory management and the industry partner Kridawisata SMK Bandar Lampung. Data collection was conducted by interview, observation and documentation. The data was then analyzed by evaluative.

The results showed that: (1) Evaluation of Context consists of; a) Analysis of need less than the maximum, because the teaching factory management have yet to implement the principles of School-Based Management. b) Support the school is very good culture, the culture industry; hygiene, discipline and hospitality adopted well by the students. (2) Evaluation of Input consists of; a) leadership that is applied to support the implementation of the teaching factory, b) curriculum, less than the maximum, the guidelines have not been published in a teaching factory attachment (recommended by the Directorate of Technical and Vocational Education ". c) Access and quality of new students, less than the maximum, required specific criteria in admissions The new. c) The quality of teachers and education personnel, less than the maximum, it is necessary to increase the academic qualifications for educators. d) Adequacy of the effectiveness and efficiency of infrastructure, very good, facilities and infrastructure support each other between the school and the production unit. (3) Evaluation Process consists of; a) Planning, preparation less than the maximum required Work Plan of the School teaching factory. b) Implementation, less than the maximum, it is necessary to standards guiding the implementation of the teaching factory. c) Supervision less than the maximum, it is necessary to control the education stakeholders involved (Kepmendiknas No. 044/U/2002). (4) Evaluation Product, consisting of; a) The quality of teaching factory activity capable of creating industrial culture in the school and one of the sources of funding for schools. b) Cooperation industry to expand jobs done through a partnership with the hospitality industry through the "casual".

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

RIWAYAT HIDUP

Gali dengan nama lengkap I Nyoman Gali Darmawan lahir pada tanggal 20 November 1984 di kabupaten Bangli provinsi Bali, sebagai anak ke tiga dari tiga bersaudara, buah hati dari pasangan I Nyoman Swita, dan Ni Nyoman Sudri (alm). Kehidupan rumah tangga (grahastha asrama) di bangun dan dijalaninya bersama Eka Puji Susanti, MM, dan putri kecilnya Atreya Devina Laksmi.

Penulis merupakan alumnus Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar. Pendidikan Strata Satu (S-1) ini diselesaikannya pada tahun 2008 Jurusan Pendidikan Agama Hindu. Sebelum memantapkan diri menempuh pendidikan di IHDN penulis pernah tercatat sebagai mahasiswa di dua perguruan tinggi yang ada di pulau Dewata (Bali), namun disayangkan tidak sampai menamatkan studi. Adapun pendidikan dasar dan menengah sepenuhnya dijalankan di Kota Bangli (Bali). Pendidikan tingkat dasar diselesaikan tahun 1996 pada SD Negeri 1 Susut Bangli, pendidikan tingkat menengah pertama diselesaikan tahun 1999 pada SMP Negeri 1 Susut Bangli, dan pendidikan tingkat menengah atas diselesaikan tahun 2002 pada SMA Negeri 1 Susut Bangli.

(8)

masyarakat sekitar.

12 Desember 2009 ia merantau ke provinsi Lampung untuk meneruskan pendidikan strata dua (S2) pada program pascasarjana FKIP Universitas Lampung, program Magister Manajemen Pendidikan. Di sela-sela waktu kuliahnya ia kembali terjun dalam organisasi kemasyarakatan, sampai detik ini dia masih aktif sebagai ketua Lemabaga Swadaya Masyarakat (LSM) TAPAWANA provinsi Lampung, disamping itu dia merupakan sekretaris Lembaga Aspirasi Masyarakat dan Analisa Pembangungan Provinsi Lampung (LAMBANG).

Bandar Lampung, 7 November 2014 Penulis,

(9)

PERSEMBAHAN

Tesis ini penulis persembahkan kepada:

a. Istri tercinta Eka Puji Susanti, MM, yang senantiasa mendoakan dan memberikan motivasi dalam penyelesaian tesis ini.

b. Putri kecilku terkasih Atreya Devina Laksmi, terimakasih atas kehadirannya menyemarakkan taman yang sempat layu merangas.

c. Ibuku I Nyoman Sudri (Alm), dan Bapak I Nyoman Swita, yang sangat aku cintai, kakak, serta mertua yang senantiasa mendoakan keberhasilanku.

d. Dra. Chr. I Gst. Ayu Chandrawasih, M.Pd, yang sangat penulis hormati, semoga tesis sederhana ini mampu memberikan sumbangan pemikiran untuk Kridawisata yang lebih baik.

(10)

MOTO

sesuatu yang sulit di lalui adalah pelajaran terbaik

untuk hidup yang lebih baik, berkat Tuhan

(11)

SANWACANA

Dengan mengucap puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyusun tesis dengan judul “Evaluasi Manajemen Teaching Factory pada Unit Produksi Hotel Training Sekolah Menengah Kejuruan Kridawisata Bandar Lampung”.

Tesis ini disusun untuk memenuhi syarat mencapai gelar magister manajemen pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., Rektor Universitas Lampung yang telah memberikan inspiratif keilmuan melalui artikel yang penulis baca di website dan media massa.

2. Dr. Hi. Bujang Rahman, M.Si., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung yang telah menjadi salah satu sumber inspiratif penulis.

(12)

6. Prof. Dr. Bambang Sumitro, M.S. Dosen Pascasarjana Program Studi Magister Manajemen Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung, sekaligus sebagai pembimbing satu, atas kesediaan memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian tesis ini.

7. Dr. Sulton Djasmi, M.Pd. Dosen Pascasarjana Program Studi Magister Manajemen Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung, sekaligus sebagai Pembimbing dua atas kesediaan memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian tesis ini.

8. Seluruh Dosen Pascasarjana Program Studi Magister Manajemen Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung, yang tidak mungkin untuk kami sebutkan namanya satu persatu.

9. Ketua Yayasan Kridawisata, Petrus I Nyoman Giri yang telah memfasilitasi dan memberikan masukan-masukan selama pelaksanaan penelitian.

10.Kepala SMK Kridawisata, Dra. Chr. I Gst. Ayu Chandrawasih yang telah mengijinkan peneliti untuk tinggal di SMK Kridawisata, dalam beberapa bulan untuk melakukan penelitian pada Unit Produksi Hotel Training SMK Kridawisata Bandar Lampung.

(13)

12.Istriku Eka Puji Susanti, MM yang telah memberikan dukungan rohani dan jasmani, sehingga peneliti memiliki semangat untuk menyelesaikan studi. Terimakasih atas kasih dan kepercayaanmu istriku.

13.Atreya Devina Laksmi, putri kecilku yang menginspirasi penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

14.Sahabat-sahabat setiaku di Program Pascasarjana Manajemen Pendidikan angkatan kedua Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung. Terimakasih atas kebersamaan kalian.

15.Partner setiaku di LSM Tapawana dan LSM Lambang, terkhusus untuk Drs. Antoni Wijaya, dan Dr. Arwin Surbhakti, M.Si yang memotivasi peneliti untuk menyelesaikan studi. Terima kasih atas kebersamaannya.

Penulis menyadari sepenuhnya kemampuan yang ada dalam diri penulis yang terbatas, semoga tesis ini dapat memberikan manfaat sebagaimana yang diharapkan. Astungkara.

Bandar Lampung, 7 November 2014

(14)

Halaman

HALAMAN PERSEMBAHAN ………. xii

DAFTAR ISI ……… xiii

1.2 Indentifikasi Masalah ………... 7

1.3 Pembatasan Masalah ……… 9

1.4 Rumusan Masalah ……… 10

1.5 Tujuan Penelitian ………... 11

1.6 Kegunaan Penelitian ……… 12

II KAJIAN PUSTAKA ……… 13

2.1 Konsep Evaluasi ………... 13

2.1.1 Pengertian Evaluasi ……….. 13

2.1.2 Evaluasi Program Pendidikan ……….. 16

2.1.3 Model Evaluasi CIPP ………... 17

2.2 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) ………... 23

2.2.1 Kebijakan Pemerintah tentang SMK ……… 23

2.2.2 Model Penyelenggaraan Pendidikan SMK ……….. 24

2.2.3 Unit Produksi sebagai Sarana Pengembangan SMK ………. 26

2.2.4 Teaching Factory sebagai Pengembangan Unit Produksi SMK ……….. 28

2.2.4.1 Konsep Teaching Factory ………. 28

2.2.4.2 Elemen Teaching Factory ………. 31

2.2.4.3 Faktor Pendukung Teaching Factory …… 33

2.2.4.4 Konsep Manajemen Teaching Factory …. 36 2.3 Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ………… 43

(15)

2.5.3 Kebijakan Operasional Standar Mutu Pendidikan… 54

2.6 Kajian Penelitian yang Relevan ………... 58

2.7 Kerangka Pikir Penelitian ……… 59

III METODE PENELITIAN ……… 60

3.5 Definisi Konseptual dan Operasional Variabel ……… 69

3.6 Instrumen dan Kisi-Kisi Instrumen ……….. 71

3.7 Teknik Analisis Data ……… 73

IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………. 76

4.1 Deskripsi Latar ………. 76

4.1.1 Kondisi Geografis ……… 76

4.1.2 Sejarah Singkat SMK Kridawisata Bandar Lampung ……….. 76

4.1.3 Visi, Misi dan Motto SMK Kridawisata Bandar Lampung ……….. 81

4.1.4 Perkembangan Siswa SMK Kridawisata Bandar Lampung ……….. 82

4.1.5 Mitra Kerja Industri SMK Kridawisata Bandar Lampung ……….. 83

4.1.6 Sarana dan Prasarana SMK Kridawisata Bandar Lampung ……….. 85

4.1.7 Struktur Organisasi Sekolah Menengah Kejuruan Kridawisata Bandar Lampung... 86

4.1.8 Struktur Manajemen Teaching Factory SMK Kridawisata Bandar Lampung... 87

4.2 Temuan Penelitian ………... 88

4.2.1 Evaluasi Konteks (Context) ………. 88

4.2.1.1 Analisis Kebutuhan Program Teaching Factory ……….. 88

4.2.1.2 Budaya SMK Kridawisata Bandar Lampung Pendukung Teaching factory ... 91

4.2.2 Evaluasi Masukan (Input) ……… 94

(16)

4.2.2.4 Mutu Tenaga Pendidik dan Tenaga

Kependidikan ………. 107

4.2.2.5 Kecukupan efektivitas dan Efesiensi Sarana Prasarana Teaching Factory …….. 109

4.2.3 Evaluasi Proses (Process) ……… 111

4.2.3.1 Perencanaan Teaching Factory …………. 112

4.2.3.2 Pelaksanaan Teaching Factory ………….. 116

4.2.3.3 Pengawasan Teaching Factory ………….. 121

4.2.4 Evaluasi Produk (Product) 126 4.2.4.1 Mutu Program Teaching Factory ……….. 127

4.2.4.2 Kerjasama Industri untuk Perluasan Peluang Kerja ……… 130

4.3 Pembahasan 134 4.3.1 Evaluasi Konteks (Context) ……….. 140

4.3.2 Evaluasi Masukan (Input) ………. 143

4.3.3 Evaluasi Proses (Process) ……… 149

4.3.4 Evaluasi Produk (Product) 160 4.4 Keterbatasan Penelitian ……… 163

V SIMPULAN DAN SARAN ……….. 164

5.1 Simpulan ……….. 164

5.2 Saran ………. 167 DAFTAR PUSTAKA

(17)

Tabel Halaman

2.1 Kreteria Evaluasi Model CIPP Manajemen Teaching Factory SMK

Kridawisata Bandar Lampung ………... 22

3.1 Data Informan Penelitian 63 3.2 Kisi-Kisi Instrumen Penelitian ………... 72

3.3 Pengkodean ……….. 74

4.1 Jumlah Siswa SMK Kridawisata Bandar Lampung ……….... 83

4.2 Industri Rekanan SMK Kridawisata Bandar Lampung ……… 84

4.3 Sarana Prasarana SMK Kridawisata Bandar Lampung ……… 85

4.4 Matrik Dukungan Lingkungan Fisik Program Teaching Factory …... 90

4.5 Matrik Dukugan Budaya Pelaksanaan Teaching Factory ……… 93

4.6 Struktur Kurikulum Kompetensi Keahlian Akomodasi Perhotelan... 99

4.7 Matrik Pedoman Pelaksanaan Teaching Factory ...………. 103

4.8 Keadaan Guru Produktif SMK Kridawisata Bandar Lampung... 102

4.9 Keadaan Tenaga Kependidikan SMK Kridawisata Bandar Lampung... 106

4.10 Matrik Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan SMK Kridawisata Bandar Lampung... 106

4.11 Matrik Akses dan Mutu Siswa Baru SMK Kridawisata... 108

4.12 Matrik Efektivitas dan Efesiensi Sarana Prasarana Teahing Factory ………... 111

4.13 Matrik Perencanaan Teaching Factory ……… 115

4.14 Matrik Pelaksanaan Teaching Factory ………. 120

4.15 Form Penilaian Teaching Factory... 123

4.16 Matrik Mutu Lulusan SMK Kridawisata Bandar Lampung ...…... 129

4.17 Matrik Kerjasama Industri SMK Kridawisata Bandar Lampung …… 133

4.18 Evaluasi Manajemen Teaching Factory pada Unit Produksi Hotel Training SMK Kridawisata Bandar Lampung ………. 135

4.19 Hasil Evaluasi Masukan (Input) Manajemen Teaching Factory Unit Produksi Hotel Training SMK Kridawisata Bandar Lampung ……… 148

4.20 Hasil Evaluasi Proses (Process) Manajemen Teaching Factory Unit Produksi Hotel Training SMK Kridawisata Bandar Lampung ……… 159

(18)

Gambar Halaman

2.1 Lima Pilar Membangun Mutu ……….. 49

2.2 Kerangka Pikir Penelitian ………... 59

3.1 Pola Interaktif Data Penelitian ……….. 73

4.1 Logo SMK Kridawisata Bandar Lampung ………... 82

4.2 Struktur Organisasi SMK Kridawisata Bandar Lampung ………….... 86

4.3 Struktur Manajemen Teaching Factory ……… 87

4.4 Dukungan Lingkungan Fisik Terhadap Program Teaching Factory... 91

4.5 Dukungan Budaya Terhadap Program Teaching Factory... 94

4.6 Kepemimpinan Kepala SMK Kridawisata Bandar Lampung... 98

4.7 Pelaksanaan Program Teaching Factory ... 104

4.8 Kualifikasi Akademik Tenaga Pendidik dan Kependidikan... 107

4.9 Akses dan Mutu Siswa Baru... 109

4.10 Kecukupan Efektifitas sarana dan prasarana teaching factory ... 111

4.11 Perencanaan Program Teaching Factory ... 116

4.12 Pelaksanaan Program Teaching Factory... 121

4.13 Pengawasan Program Teaching Factory... 126

4.14 Mutu Lulusan SMK Kridawisata Bandar Lampung... 130

(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Globalisasi, menuntut kemampuan kompetitif dalam berbagai aspek, termasuk dalam Sumberdaya Manusia (SDM). Sehubungan dengan itu, upaya peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan perlu terus dikembangkan sesuai dengan tuntutan pasar kerja baik untuk skala regional, nasional maupun internasional. Pengembangan sistem pendidikan dan pelatihan kejuruan sebagai pranata utama peningkatan SDM berkualitas menjadi sangat penting, Terutama dengan dua hal (teori dan praktek) harus berjalan seiring dan saling melengkapi.

Tantangan masa depan bangsa menghadapi era globalisasi dalam bidang sumberdaya manusia menuntut pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Indonesia dengan 3 (tiga) sasaran pokok yaitu, (1) peningkatan mutu proses dan hasil pendidikan, (2) peningkatan kemampuan entrepreneurship lulusan, (3) peningkatan kerjasama dengan pengguna lulusan (industri, perusahan, pemerintah daerah, dan lain-lain) (DPSMK-DJMPM Diknas, 2009).

(20)

sebagai konsekuensi dari tujuan SMK tersebut, maka SMK dituntut mampu membekali lulusannya dengan seperangkat kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja/industri. Dengan demikian, program pendidikan SMK lebih berorientasi pada upaya pengembangan kemampuan siswa untuk dapat melaksanakan jenis pekerjaan tertentu di industri.

Berkaitan dengan penyiapan tenaga kerja, secara eksplisit disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor: 29 tahun 1990 pasal 29 ayat 2, bahwa: “Untuk mempersiapkan siswa SMK menjadi tenaga kerja, pada SMK dapat didirikan unit produksi yang beroperasional secara profesional”. Unit produksi merupakan suatu sarana pembelajaran berwirausaha bagi siswa dan guru serta memberi dukungan operasional sekolah. Selain itu unit produksi sekolah dapat berperan dalam pembekalan keterampilan produksi yang sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja pada pasar industri (Handayani, 2009: 226).

(21)

Keberhasilan dari penerapan TEFA di SMK tidak terlepas dari dukungan berbagai komponen pendidikan yang ada di sekolah tersebut. Komponen-komponen yang dimaksud meliputi; (1) komponen konteks meliputi; demografi/ lingkungan fisik, sosial ekonomi dan budaya serta keamanan, (2) komponen input meliputi; keadaan siswa baru, kurikulum (pedoman), tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, kepemimpinan kepala sekolah, dan sarana prasarana (3) komponen proses; merupakan kegiatan pembelajaran yang diberikan kepada siswa yang menjadi input dalam pendidikan dan (4) komponen produk (output) adalah siswa yang telah mendapatkan proses pembelajaran sampai dinyatakan lulus dan siap terjun ke dunia industri atau jasa bahkan melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi. Keempat komponen tersebut saling berkaitan dan berinteraksi antara satu komponen dengan komponen yang lainnya.

SMK Kridawisata Bandar Lampung, merupakan salah satu sekolah menengah kejuruan, yang telah menerapkan pendekatan pembelajaran teaching factory (TEFA). TEFA memungkinkan siswa untuk belajar memproduksi barang atau jasa yang sesuai dengan disiplin ilmunya. Pelaksanaan TEFA pada SMK tidak terlepas dari dukungan fisik, demografi dari sekolah tersebut. SMK Kridawisata Bandar Lampung memiliki lokasi yang cukup strategis, berada di antara pusat industri provinsi Lampung dengan akses lokasi yang cukup mudah untuk dijangkau. Secara geografis terletak di Jalan Urip Sumoharjo, Gang Prajurit No. 1 Sukarame Bandar Lampung.

(22)

layaknya seorang pegawai hotel. Layaknya industri perhotelan unit produksi training hotel ini beroperasi selama 24 jam setiap harinya. Hal ini menuntut siswa

untuk siap beraktifitas pada malam hari bagi yang dapat giliran tugas pada malam hari (shift malam). Kegiatan TEFA pada malam hari sudah selayaknya mendapatkan perhatian serius bagi sekolah, mengingat tingkat kerentanan resiko yang tidak diinginkan sangat tinggi pada malam hari, terutama menyangkut masalah keamanan, terlebih lagi bagi anak usia remaja (siswa SMK). Observasi awal yang dilakukan peneliti pada malam hari mendapatkan data bahwa pendampingan dari guru produktif saat shift malam masih kurang maksimal, bahkan hampir tidak ada pengawasan.

Pelaksanaan TEFA akan berjalan dengan baik apabila ada calon siswa yang akan menjadi objek dari proses pembelajaran. Berdasarkan sudut pandang siswa, keadaan sosial ekonomi orang tua siswa akan sangat menentukan kesiapan siswa dalam mengikuti pembelajaran. Proses rekrutmen calon siswa juga menjadi hal penting yang perlu diperhatikan. Siswa SMK Kridawisata Bandar Lampung, mayoritas berasal dari lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dari luar lingkungan kota Bandar Lampung dan penerimaannya tidak melalui seleksi atau menggunakan kreteria khusus yang dijadikan acuan untuk penerimaan siswa.

(23)

sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik. Standar akademik bagi pendidik khususnya guru produktif yang terkait langsung dengan pelaksanaan TEFA masih dirasa kurang maksimal. Berdasarkan data awal penelitian, diketahui bahwa tenaga pendidik guru produktif dari lima guru produktif hanya dua guru produktif yang berkualifikasi strata satu (S1) sedangkan tiga guru produktif yang lain memiliki kualifikasi setingkat SMA/SMK. Hal ini tentunya akan menghambat ketercapaian tujuan dari pelaksanaan TEFA itu sendiri.

Peran dari tenaga kependidikan juga sangat sentral dalam pelaksanaan TEFA, terkait dengan aspek-aspek administratif pengelolaan program. Minimnya dokumen yang dapat dijadikan sumber informasi, merupakan salah satu indikasi bahwa pendokumentasian mengenai TEFA belum berjalan dengan baik. Observasi awal peneliti di tempat penelitian, melalui pengamatan terhadap dokumen Rencana Kegiatan Sekolah (RKS) peneliti mendapatkan data bahwa dokumen tersebut belum memuat mengenai TEFA. Hal yang sama ditemukan ketika peneliti mengamati kurikulum SMK Kridawisata Bandar Lampung, pada lampiran kurikulum belum memuat mengenai pedoman pelaksanaan TEFA, sebagaimana yang dianjurkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan.

(24)

menngoptimalkan pengelolaan program TEFA yang sudah menjadi ciri khas dari sekolah tersebut.

Pengelolaan TEFA yang professional dapat dilakukan melalui menerapkan prinsip-prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dengan prinsip; (1) kemandirian, (2) akuntabilitas, (3) transparan, (4) kemitraan, (5) partisipasi, (6) efektif dan (7) efesien. Prinsip-prinsip tersebut merupakan dasar yang digunakan untuk membentuk manajemen TEFA yang efektif. Prinsip kemandirian, memberikan ruang gerak bagi sekolah untuk mengelola sumber daya yang dimilikinya untuk suatu tujuan pencapaian mutu layanan pendidikan yang lebih baik dari sebelumnya. Walaupun demikian, dalam pengelolaan pendidikan di sekolah hendaknya dilakukan secara transparan, secara efektif dan efesien, melibatkan partisipasi warga sekolah dan masyarakat, serta menjalin kemitraan dengan masyarakat sehingga pengelolaan tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepada stakeholder pendidikan (Depdiknas, 2007).

(25)

berhubungan dengan pengkoordinasian dan pengawasan, sedangkan perencanaan dan pengorganisasian dilakukan oleh Yayasan Krida Utama yang menaungi SMK Kridawisata Bandar Lampung. (SMK Kridawisata Bandar Lampung, 2012).

Pengelolaan TEFA tidak terlepas dari berbagai permasalahan, oleh karena itu menjadi penting untuk diperhatikan berbagai komponen yang terdapat dalam manajemen TEFA sebagai bentuk usaha untuk mengatasi permasalahan dan melakukan perbaikan melalui suatu langkah evaluasi. Melalui kegiatan evaluasi ini diharapkan akan mampu menemukan permasalahan mendasar yang menyebabkan pelaksanaan TEFA belum berjalan secara maksimal.

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dilaksanakan untuk mengevaluasi manajemen teaching factory pada unit produksi training hotel Sekolah Menengah Kejuruan Kridawisata Bandar Lampung. Evaluasi manajemen tersebut didasarkan pada model evaluasi CIPP yang di kembangkan oleh Daniel Stufflebeam yang mendasarkan evaluasi pada empat komponen evaluasi yaitu; Context, Input, Process, dan Product. Penggunaan CIPP dalam penelitian ini, didasarkan pada tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan perbaikan terhadap permasalahan yang terdapat dalam manajemen TEFA.

1.2Identifikasi Masalah

(26)

Menengah Kejuruan Kridawisata Bandar Lampung dengan menggunakan model evaluasi CIPP antara lain sebagai berikut:

1.2.1 Kegiatan TEFA di unit produksi training hotel menuntut sekolah beroperasi selama 24 jam/sehari penuh. TEFA pada malam hari sudah selayaknya mendapatkan perhatian serius bagi sekolah, mengingat tingkat kerentanan resiko yang tidak diinginkan sangat tinggi pada malam hari, terutama menyangkut masalah keamanan, terlebih lagi bagi anak usia remaja (siswa SMK).

1.2.2 Pelaksanaan TEFA akan berjalan dengan baik apabila ada calon siswa yang akan menjadi objek dari proses pembelajaran. Proses rekrutmen calon siswa tidak melalui seleksi atau menggunakan kreteria khusus yang dijadikan acuan untuk penerimaan siswa.

1.2.3 Standar akademik bagi pendidik khususnya guru produktif yang terkait langsung dengan pelaksanaan TEFA masih dirasa kurang maksimal. Berdasarkan data awal penelitian, diketahui bahwa tenaga pendidik guru produktif dari lima guru produktif hanya dua guru produktif yang berkualifikasi strata satu (S1) sedangkan tiga guru produktif yang lain memiliki kualifikasi setingkat SMA/SMK.

(27)

1.2.5 Keluaran dari suatu tingkat pendidikan merupakan input bagi tingkat pendidikan yang lain, atau merupakan aset bagi dunia usaha/industri. Keberhasilan dari sistem pendidikan umumnya dinilai dari kualitas lulusannya. Kualitas/mutu lulusan SMK Kridawisata Bandar Lampung masih belum diketahui, untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. 1.2.6 Pengelolaan TEFA yang professional dapat dilakukan melalui menerapkan

prinsip-prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dengan prinsip; (1) kemandirian, (2) akuntabilitas, (3) transparan, (4) kemitraan, (5) partisipasi, (6) efektif dan (7) efesien. Pengelolaan TEFA di SMK Kridawisata Bandar Lampung belum melibatkan komite sekolah sebagaimana amanat Kepmendiknas Nomor: 044/U/2002. Oleh karena itu prinsip-prinsip MBS belum sepenuhnya dijalankan, yangmana prinsip transparansi, kemitraan, dan partisipasi masih terabaikan sehingga akuntabilitas pengelolaan masih dapat diragukan.

1.3 Pembatasan Masalah

Penelitian ini akan membatasi pada aspek-aspek evaluasi menurut Model Evaluasi CIPP dari Daniel Stufflebeam yaitu evaluasi konteks yang merupakan evaluasi terhadap komponen konteks (context), evaluasi input yang merupakan evaluasi terhadap input (input), evaluasi proses yang merupakan evaluasi terhadap proses (process), dan evaluasi produk yang merupakan evaluasi terhadap produk (product). Berdasarkan identifikasi masalah, batasan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:

(28)

a) Dukungan lingkungan fisik terhadap program teaching factory b) Dukungan budaya sekolah terhadap program teaching factory

1.3.2 Komponen Input

a) Kepemimpinan Kepala Sekolah

c) Pedoman pelaksanaan teaching factory

b) Kualifikasi akademik pendidik dan tenaga kependidikan c) Akses dan mutu siswa baru.

d) Kecukupan efektifitas dan efisiensi sarana prasarana

1.3.3 Komponen Proses

a. Perencanaan program teaching factory b. Pelaksanaan program teaching factory

c. Pengawasan dan penilaian program teaching factory

1.3.4 Komponen Produk

a) Mutu lulusan SMK Kridawisata Bandar Lampung.

b) Peluang kerja lulusan SMK Kridawisata Bandar Lampung

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut, maka masalah dalam penelitian ini, dirumuskan sebagai berikut:

(29)

1.4.2 Bagaimanakah evaluasi masukan (input) manajemen teaching factory pada unit produksi training hotel SMK Kridawisata Bandar Lampung ?

1.4.3 Bagaimanakah evaluasi proses (process) manajemen teaching factory pada unit produksi training hotel SMK Kridawisata Bandar Lampung ?

1.4.4 Bagaimanakah evaluasi produk (product) manajemen teaching factory pada unit produksi training hotel SMK Kridawisata Bandar Lampung ?

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi manajemen teaching factory pada unit produksi training hotel Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kridawisata Bandar Lampung, dengan menggunakan model evaluasi CIPP, yang meliputi :

1.5.1 Mengevaluasi konteks (context) manajemen teaching factory pada unit produksi training hotel SMK Kridawisata Bandar Lampung.

1.5.2 Mengevaluasi masukan (input) manajemen teaching factory pada unit produksi training hotel SMK Kridawisata Bandar Lampung.

1.5.3 Mengevaluasi proses (process) manajemen teaching factory pada unit produksi training hotel SMK Kridawisata Bandar Lampung.

(30)

1.6 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki dua kegunaan yaitu secara teoritis dan praktis. Berikut penjelasan dari masing-masing kegunaan yang dimaksud :

1.6.1 Kegunaan Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai suatu kajian baru dalam pengembangan konsep-konsep dalam manajemen, khususnya pada manajemen teaching factory pada unit produksi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

1.6.2 Kegunaan Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi institusi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dalam memanajemen program teaching factory pada unit-unit produksi sekolah. Sebagaimana tujuan dari

(31)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konsep Evaluasi 2.1.1 Pengertian Evaluasi

Evaluasi bukanlah sesuatu yang asing lagi oleh mereka yang bergelut dengan “manajemen”. Ada dua istilah yang dipergunakan untuk evaluasi, yaitu

evaluation research (riset evaluasi) atau evaluative research (riset evaluatif).

Evaluation (evaluasi), dan evaluation science (sains evaluasi). Istilah riset evaluasi dipopulerkan oleh F.G Caro (1971) dalam bukunya yang berjudul “Readings in Evaluation Research”. Semenjak itu sebagian teoritisi evaluasi,

peneliti, lembaga pemerintah, dan lembaga swasta menggunakan istilah riset evaluasi. Misalnya, Evaluation Research Society lembaga asosiasi profesi evaluasi yang kemudian merger dengan American Evaluation Association, USA Office of Health Evaluation, Michael Quin Patton (1978), dan Peter H. Rosi dan

Howard Freeman menggunakan istilah riset evaluasi. Sedangkan sejumlah teoritisi lainnya seperti Daniel Stufflebeam dan Antony J. Shinkfield (1985) dan Blaine R. Worthen dan James R Sanders (1987), dan Raymond G. Carey (1997) menggunakan istilah evaluasi (Wirawan, 2011: 2)

(32)

applying descriptive and judgmental information about some object’s merit, worth, probity and significance in order to guide dicision making, support accountability, disseminate affective practices, and increase understanding of the involved phenomena” (Daniel L. Stufflebeam, 2003)

Seperti telah dijelaskan di atas, evaluasi merupakan salah satu jenis riset, sebagai penelitian, evaluasi tunduk pada kaidah-kaidah misalnya, metode yang digunakan adalah metode penelitian saintifik; metode penelitian yang digunakan dalam semua jenis penelitian dapat digunakan dalam evaluasi. Teknik penarikan sampel, instrument, dan analisis datanya sesuai dengan teknik penelitian. Objek evaluasi adalah apa yang akan dievaluasi, sedangkan tujuan dari dilakukannya evaluasi adalah mengumpulkan informasi yang bermanfaat mengenai objek evaluasi. Evaluasi pada dasarnya adalah melakukan penilaian kualitas (merit) mengenai baik buruknya atau tinggi rendahnya kualitas program yang dievaluasi, dan penilaian manfaat (worth), bermanfaat tinggi atau rendahnya program, dalam kaitan dengan suatu tujuan atau standar tertentu (Wirawan, 2011: 9)

(33)

bagian atau komponen program yang saling kait-mengait dan bekerjasama satu dengan yang lainnya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sistem dengan begitu, program terdiri dari komponen-komponen yang saling berkaitan dan saling menunjang dalam mencapai suatu tujuan (Arikunto, 2008: 9)

Arikunto (2008: 10), menambahkan dalam penelitian evaluasi penting bagi peneliti untuk dapat berpikir sistemik, yaitu berpandangan bahwa program yang akan dievaluasi merupakan kumpulan dari beberapa komponen atau unsur yang bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan program. Oleh karena itu, komponen tersebut dipandang sebagai unsur atau bagian, tetapi mempunyai peranan penting sebagai faktor penentu keberhasilan program.

Peneliti evaluatif harus tahu secara tepat apa yang dimaksud dengan komponen program. Sebelum mulai kegiatannya, peneliti harus mengadakan identifikasi komponen dari program yang dievaluasi. Arikunto dan Abdul Jabar (2008: 11) menjelaskan:

“Yang dimaksud dengan komponen program adalah bagian-bagian yang menunjukkan nafas penting dari keterlaksanaan program. Mungkin orang lebih senang menggunkan istilah “unsur” dan adapula yang menggunakan istilah “faktor”. Banyak komponen untuk masing-masing program tidak sama, sangat tergantung dari tingkat kompleksitas program yang bersangkutan”.

(34)

komponen manajemen teaching factory sangat ditentukan oleh beberapa faktor penting, yaitu; (1) siswa, (2) tenaga pendidik (guru), (3) kurikulum/materi pembelajaran, (4) sarana dan prasarana (sarpras), (5) pengelolaan, (6) lingkungan. jika program tersebut dinilai kurang berjalan maksimal maka hasil penelitian ini dapat dijadikan pedoman dalam melakukan perbaikan.

2.1.2Evaluasi Program Pendidikan

Dalam ilmu evaluasi program pendidikan, ada banyak model yang bisa digunakan untuk mengevaluasi suatu program. Meskipun terdapat perbedaan dari model yang satu dengan yang lainnya, namun memiliki maksud sama yaitu, melakukan kegiatan pengumpulan data atau informasi yang berkenaan dengan obyek yang dievaluasi yang tujuannya memberikan bahan bagi pengambil keputusan dalam menentukan tindak lanjut suatu program.

(35)

program adalah Stufflebeam, Metfessel, Michael Scriven, Stake, dan Glaser. Kaufman dan Thomas dalam Arikunto (2008: 40) membedakan model evaluasi menjadi delapan yaitu:

1. Goal Oriented Evaluation Model, dikembangkan oleh Tyler 2. Goal Free Evaluation Model, dikembangkan oleh Scriven

3. Formatif Sumatif Evaluation Model, dikembangkan oleh Michael Scriven

4. Countenance Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake 5. Responsive Evaluation Model, dikembangkan Stake.

6. CSE-UCLA Evaluation Model, menekankan pada “kapan” evaluasi dilakukan.

7. CIPP Evaluation Model, yang dikembangkan oleh Stufflebeam. 8. Discrepancy Model, yang dikembangkan oleh Provus.

Dalam penelitian evaluatif tentang evaluasi manajemen teaching factory pada unit produksi training hotel SMK Kridawisata Bandar Lampung ini, model evaluasi yang digunakan adalah CIPP evaluation model yang dikembangkan oleh Stufflebeam dan kawan-kawan.

2.1.3 Model Evaluasi Context, Input, Process dan Product (CIPP)

(36)

evaluasi para pemangku kepentingan evaluasi (Wirawan, 2011: 92)

Menurut Arikunto (2008: 40) model evaluasi CIPP adalah model evaluasi yang terdiri dari empat komponen evaluasi yaitu: Context, Input, Process dan Product. Komponen evaluasi CIPP pada dasarnya merupakan komponen dari prosesi sebuah kegiatan. CIPP merupakan sebuah singkatan dari context evaluation artinya evaluasi terhadap konteks, input evaluation artinya evaluasi terhadap masukan, process evaluation artinya evaluasi terhadap proses dan product evaluation artinya evaluasi terhadap hasil. Dengan melihat penjelasan tersebut,

maka langkah evaluasi yang dilakukan adalah menganalisis program tersebut berdasarkan komponen-komponennya.

Daniel L.Stufflebeam (2003) dalam Wirawan ( 2011: 92), menyatakan model evaluasi CIPP merupakan kerangka yang komprehensif untuk mengarahkan pelaksanaan evaluasi formatif dan evaluasi sumatif terhadap objek program, proyek, personalia, produk, institusi dan sistem. Model evaluasi ini dikonfigurasi untuk dipakai oleh evaluator internal yang dilakukan oleh organisasi evaluator, evaluasi diri yang dilakukan oleh tim proyek atau penyedia layanan individual yang dikontrak atau evaluator eksternal. Model evaluasi ini dipakai secara meluas di seluruh dunia dan dipakai untuk mengevaluasi berbagai disiplin dan layanan misalnya pendidikan, perumahan, pengembangan masyarakat, transportasi dan sistem evaluasi personalia militer.

(37)

pendidikan, (2) keputusan untuk menentukan desain prosedur pembelajaran, (3) keputusan untuk memperbaiki prosedur, dan (4) mengkaji ulang keputusan berdasarkan reaksi dan dampak yang dihasilkan oleh prosedur.

Daniel L.Stufflebeam (1997) dalam Arikunto (2008: 42), model evaluasi CIPP dijelaskan sebagai berikut:

The models core concepts are denoted bayacronym CIPP, wich stands for evaluations of an entity’s context, input, process, and product. Context evaluations assess needs, problems, assets, and oportunities to help decicions makers define goals and priorities and help broader group of user judge goals, priorities and outcomes. Input evaluations assess alternative approache, competing action plans, and budgets for their feasibility and potential cost-effectiveness to meet targeted needs and achieved goals. Decision makers us input evaluations in chososing among competing plans, writing funding proposals, allocation resources, assigning staff, scheduling work, and ultimately in helping others judge an effort’s plans and budget. Process evaluations assess the implementation of plans to help staff carry out activities and later help the broad group of users judge program performance and interpret outcomes. Product evaluations identify and assess outcames-intended and unitended, short term and long term-both to help a staff keep an enterprise focused on achieving important outcomes and ultimately to help the broader group of user gauge the effort’s success in meeting targeted needs.

(38)

dalam evaluasi input di dalamnya memilih penyusunan rencana, penulisan proposal, alokasi sumberdaya, pengelolaan ketenagaan, jadwal kegiatan, dan tersusun rapi dalam membantu mengambil keputusan berusaha menyiapkan rencana dan pembiayaan. Evaluasi proses menilai pelaksanaan rencana untuk membantu staff melaksanakan kegiatan kemudian membantu mengguna menilai kinerja program, dan menafsirkan hasil. Evaluasi hasil mengidentifikasi dan menilai hasil baik jangka pendek dan jangka panjang untuk membantu staff untuk lebih terfokus pada hasil penting dan hasil akhir serta mengukur keberhasilan upaya dalam mencapai target yang telah ditetapkan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan evaluasi CIPP adalah model evaluasi yang dikembangkan oleh Daniel L.Stufflebeam dkk, model evaluasi ini terdiri dari empat komponen yaitu; Context, Input, Process dan Product. Komponen model evaluasi CIPP bersifat linier. Artinya; evaluasi input didahului dengan evaluasi context; evaluasi process harus di dahului dengan evaluasi input. Berdasarkan penjelasan tersebut maka langkah evaluasi yang dilakukan adalah menganalisis program tersebut berdasar komponen-komponennya. Secara sederhana model evaluasi CIPP dapat dijelaskan sebagai berikut:

(39)

rencana kegiatan, penyediaan sarana, penyediaan biaya efektif untuk penyaiapan kebutuhan dan pencapaian tujuan.

3) Evaluasi proses (process) menilai pelaksanaan rencana untuk membantu staff melaksanakan kegiatan, kemudian membantu pengguna menilai kinerja program, dan menafsirkan hasil.

4) Evaluasi produk (product) mengidentifikasi dan menilai hasil baik jangka pendek dan jangka panjang untuk membantu staff untuk lebih fokus pada hasil penting dan hasil akhir serta mengukur keberhasilan upaya dalam memenuhi target yang ditetapkan.

(40)

Tabel 2.1 di bawah ini:

Tabel 2.1 Kriteria Evaluasi Model CIPP Pada Manajemen Teaching Factory SMK Kridawisata Bandar Lampung

NO KOMPONEN

EVALUASI KRETERIA STANDAR

1 KONTEKS

1. Adanya dukungan lingkungan fisik terhadap program teaching factory

2. Adanya dukungan budaya sekolah terhadap program teaching factory

2 INPUT

1. Kepemimpinan kepala SMK Kridawisata Bandar Lampung dalam pengelolaan program teaching factory

2. Ketersediaan pedoman pelaksanaan program teaching factory

3. Kualifikasi akademik bagi pendidik dan tenaga kependidikan

4. Adanya kreteria dalam menentukan akses dan mutu siswa baru.

5. Adanya efektifitas dan efesiensi sarana dan prasarana penunjang pelaksanaan program teaching factory

3 PROSES

1. Perencanaan program teaching factory pada unit produksi training hotel SMK Kridawisata Bandar Lampung

2. Pelaksanaan program teaching factory pada unit produksi training hotel SMK Kridawisata Bandar Lampung

3. Pengawasan dan penilaian program teaching factory pada unit produksi training hotel SMK Kridawisata Bandar Lampung

4 PRODUK

1. Mutu lulusan SMK Kridawisata Bandar Lampung 2. Peluang kerja lulusan SMK Kridawisata Bandar

(41)

2.2.1 Kebijakan Pemerintah Mengenai Sekolah Menengah Kejuruan

Pendidikan kejuruan di Indonesia merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional. Keberadaan sekolah menengah kejuruan (SMK) dijamin oleh Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 18 Ayat (2) disebutkan bahwa; “pendidikan menengah terdiri dari pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan”, selanjutnya dalam Ayat (3)

dikatakan bahwa; “pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas

(SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat” .

Berdasarkan Undang-Undang tersebut dapat diketahui bahwa SMK adalah satuan pendidikan kejuruan pada pendidikan menengah. Lebih lanjut diterangkan Direktorat Pembinaan SMK (2006: 3), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan lembaga pendidikan yang berperan untuk menyiapkan peserta didik menjadi tenaga kerja tingkat menengah untuk mendukung pembangunan sektor perekonomian bangasa.

(42)

tinggi.

Disamping karakteristik yang berbeda dengan sekolah menengah yang lainnya, Kebijakan Pendidikan Sistem Ganda (PSG) merupakan salah satu ciri dari pelaksanaan pendidikan SMK. Pada saat ini Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan sedang menggalakkan Unit Produksi Sekolah dan Pendidikan Kewirausahan. Pengadaan unit produksi dan pendidikan kewirausahan ini diharapkan mampu mendukung pelaksanaan PSG di SMK.

Unit produksi di SMK dijadikan sebagai sarana pendidikan kewirausahaan. Penerapan kurikulum berbasis kompetensi di SMK dimaksudkan untuk membekali siswa kompetensi untuk memasuki dunia kerja (dunia usaha/industri). Sebelum siswa SMK melakukan praktek magang (on the job training) di dunia industri sesungguhnya, siswa diajarkan mengenal dunia industri dengan melakukan proses pembelajaran berbasis produksi dengan memanfaatkan unit produksi sebagai sarana pembelajaran. Salah satu pembelajaran berbasis produksi dan pembelajaran di dunia kerja adalah pabrik pengajaran atau yang lebih dikenal dengan istilah “teaching factory” yang merupakan optimalisasi pemanfaatan Unit

Produksi Sekolah.

2.2.2 Model Penyelenggaraan Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan

(43)

pendidikan yang penyelenggaraannya bersifat formal. Model seperti ini banyak diterapkan diberbagai negara di Indonesia di kenal dengan istilah SMK. sebagaimana diketahui model sekolah produksi merupakan pengembangan dari sekolah kejuruan.

Menurut Grenert dan Weimann dalam Heru Subroto (2004), model sekolah produksi dapat dibedakan menjadi tiga model dasar yaitu; (1) sekolah produksi sederhana, (2) sekolah produksi yang berkembang, (3) sekolah yang berkembang dalam bentuk pabrik sebagai tempat belajar.

Model pertama adalah sekolah produksi sederhana dalam pelaksanaannya mempunyai bentuk sederhana yang mempunyai sifat mendasar. Ciri khas dari model ini adalah mengacu pada ciri-ciri organisasi pada suatu sekolah. Sekolah seperti ini dilengkapi dengan bengkel/laboratorium praktek atau suatu bangunan gedung untuk kegiatannya.

Model kedua adalah sekolah produksi yang berkembang, pelaksanaannya merupakan penggabungan antara kegiatan pendidikan dengan kegiatan produksi. Bentuk organisasi ini ditandai dengan kombinasi antara bagan pendidikan dengan bagian produksi. Sekolah semacam ini dilengkapi dengan bengkel untuk pendidikan dan bengkel untuk produksi.

(44)

inovasi dalam upaya pemberdayaan SMK agar lebih bermutu. Prinsip ini menempatkan SMK selain sebagai penghasil lulusan yang merupakan calon pekerja yang handal juga menghasilkan barang dan jasa yang siap dijual. Melalui teaching factory ini SMK dapat mengembangkan unit produksi sebagai penghasil

barang atau jasa yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.

Model sekolah produksi yang diterapkan di SMK Kridawisata Bandar Lampung adalah model sekolah produksi yang berkembang. Hal ini dapat diketahui SMK Kridawisata Bandar Lampung memanfaatkan secara optimal unit produksi yang dimiliki dengan mengikut sertakan siswa dalam kegiatan produksi jasa yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dalam hal jasa pelayanan menginap di unit produksi training hotel yang berada di lingkungan sekolah.

2.2.3 Unit Produksi Sebagai Sarana Pengembangan Sekolah

(45)

yangmana aktivitasnya tidak mengganggu program intrakurikuler sekolah. Berdasarkan pedoman pelaksanaan unit produksi (Dikmenjur, 1997) tujuan penyelenggaraan kegiatan tersebut ; (1) memeberi kesempatan kepada siswa dan guru untuk mengerjakan pekerjaan praktik yang berorientasi pada kebutuhan pasar, (2) mendorong siswa dan guru dalam mengembangkan wawasan ekonomi dan kewirausahan, (3) memperoleh tambahan dana bagi penyelenggaraan pendidikan, (4) meningkatkan pendayagunaan sumberdaya pendidikan yang ada di sekolah, (5) meningkatkan kreativitas siswa dan guru, (6) unit produksi sebagi tempat magang bagi siswa dan guru SMK, sehingga mampu bekerja sebagai tenaga industri/usaha.

Penyelenggaraan dan pengembangan unit produksi di sekolah bermanfaat secara edukatif, ekonomis maupun sosial. Menurut Pakpahan dalam Handayani (2009) manfaat secara edukatif meliputi; (1) dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa, guru dan karyawan, (2) dapat meningkatkan kemampuan berorganisasi warga sekolah dalam bidang usaha, (3) melatih disiplin, inisiatif dan memeberikan jasa pelayanan, (4) membantu terselenggaranya PBM dan menambah intensitas belajar siswa, (5) membantu pelaksanaan PSG dan sebagai wahana pelatihan kejuruan, belajar sambil bekerja/tempat bekerja bagi tamatan yang belum bekerja, (6) tempat mengikuti perkembangan IPTEK

(46)

dengan adanya unit produksi di sekolah antara lain; (1) secara internal, dapat menumbuhkan rasa kebersamaan antar warga sekolah untuk meningkatkan kehidupannya, (2) secara eksternal dapat mensosialisasikan sekolah dengan masyarakt umum, dunia usaha, dan lembaga lain, baik mengenai operasionalisasi pendidikan, tamatan serta produk jasa yang dihasilkan.

Bedasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa unit produksi sekolah memberikan manfaat positif bagi sekolah. Keberadaan unit produksi di sekolah akan mampu mengembangkan sekolah ke arah pencapaian sekolah yang seutuhya, sebagai tempat pendidikan yang mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi dan mampu bersaing dalam dalam bursa kerja nasional dan internasioanl.

2.2.4 Teaching Factory sebagai Pengembangan Unit Produksi di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

2.2.4.1 Konsep Teaching Factory (TEFA)

(47)

dapat menjembatani kesenjangan kompetensi antara kebutuhan industri dan pengetahuan sekolah. Teknologi pembelajaran yang inovatif dan praktek produktif merupakan konsep metode pendidikan yang berorientasi pada manajemen pengelolaan siswa dalam pembelajaran agar selaras dengan kebutuhan dunia industri (Brosur IGI, 2007).

TEFA sebagai salah satu strategi pembelajaran memiliki beberapa tujuan. Berdasarkan makalah yang dipublikasikan oleh American Society For Engineering Education Annual Conference an Annual Conference and

Exposition, Alptekin, et al (2001) dalam Ibnu Siswanto (2010: 2) menyatakan

bahwa tujuan teaching factory ialah menghasilkan lulusan yang profesional di bidangnya, mengembangkan kurikulum yang fokus pada konsep modern, mendemontrasikan solusi yang tepat untuk tantangan yang dihadapi dunia industri, serta transfer teknologi dari industri yang menjadi partner dengan siswa dan institusi pendidikan.

(48)

dari http://dedi_indrayana.blogspot.com tanggal 20 November 2012), mengatakan konsep teaching factory (TEFA) itu diarahkan pada peningkatan kualitas, yaitu keahlian dan kompetensi lulusan. Jadi tidak berorientasi bisnis semata. Perlu adanya perubahan paradigma dari para pemangku kepentingan (stakeholder), mulai dari birokrat, pengelola sekolah, hingga siswa untuk mencapai cita-cita ini. Idealita ini akan coba dicapai melalui TEFA atau pabrik pengajaran. TEFA itu pertemuan dimana komunitas sekolah dan warga bisa berinteraksi langsung dengan produk barang atau jasa sebagai perantara.

Tujuan dari TEFA adalah melaksanakan pembelajaran yang sesuai dengan bidang diklat, juga berproduksi untuk menghasilkan barang jadi yang siap dijual. Jadi SMK sekaligus industri yang bisa sekaligus sebagai tempat praktek siswa. Menurut Joko Sutrisno (diambil dari http://tve.depdiknas.go.id/ pada tanggal 20 November 2012) bahwa, diharapkan melalui TEFA akan terlahir entrepreneur-entrepreneur kecil yang akan mempercepat pertumbuhan industri.

Program TEFA merupakan perpaduan pembelajaran yang sudah ada yaitu Competency Based Training (CBT) dan Production Based Training (PBT), dalam

pengertiannya bahwa suatu proses keahlian atau keterampilan (life skill) dirancang dan dilaksanakan berdasarkan prosedur dan standar bekerja yang sesungguhnya untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan tuntutan pasar/konsumen.

(49)

yang relevan, misalnya: pada program studi keahlian Akomodasi Perhotelan melalui kegiatan pengelolaan unit produksi training hotel yang dilakukan oleh siswa. Adanya program TEFA merupakan langkah positif yang ditawarkan melalui kebijakan pemerintah guna mengembangkan jiwa enterpreneur, dengan harapan tamatan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) mampu menjadi aset daerah dan bukan menjadi beban daerah.

Berasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa teaching factory merupakan konsep pembelajaran produksi sebagai hasil pengembangan unit produksi dalam rangka mengembangkan kompetensi dan jiwa entrepreneur siswa melalui pembelajaran dunia industri sesungguhnya.

2.2.4.2 Elemen Teaching Factory (TEFA)

Teaching factory (TEFA) merupakan konsep pembelajaran produksi sebagai hasil

pengembangan unit produksi dalam rangka mengembangkan kompetensi dan jiwa entrepreneur siswa melalui model pembelajaran layaknya seperti dunia industri. Elemen-elemen yang terdapat dalam TEFA meliputi; (a) standar kompetensi, (b) siswa, (c) media belajar, dan (d) perlengkapan/peralatan. Uraian singkat dari elemen-elemen yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1) Standar Kompetensi

(50)

tuntutan kebutuhan kompetensi dunia industri secara nyata. Kompetensi tersebut akan ditimbulkan dari interaksi dalam menyelesaikan problem industry.

2) Siswa

Penggolongan siswa dalam pembelajaran teaching factory adalah berdasarkan kualitas akademis dan bakat/minat. Siswa dengan kualitas yang seimbang antara akademis dan keterampilan bakat/minat memperoleh prosentase yang besar untuk masuk dalam program ini. Siswa yang kurang dalam dua hal tersebut direkomendasikan untuk mengambil bagian yang termudah.

3) Media Belajar

Teaching factory (TEFA) menggunakan pekerjaan produksi sebagai media

untuk proses pembelajaran. Pekerjaan produksi dapat berupa industrial order atau standard products. Produk ini harus dipahami terlebih dahulu oleh instruktur sebagai media untuk pengembangan kompetensi melalui fungsi produk, dimensi, toleransi, dan waktu penyelesaian. Media belajar menjadi sesuatu yang sangat penting, sebisa mungkin disesuaikan dengan media yang terdapat dalam dunia industri sesungguhnya.

4) Perlengkapan dan Peralatan

(51)

kompetensi siswa bersamaan dengan penyelesaian pekerjan “production

pada tingkat kualitas terbaik.

2.2.4.3 Faktor Pendukung Pelaksanaan Teaching Factory

Secara garis besar faktor penting yang menentukan berjalan atau tidaknya program teaching factory (TEFA) di sekolah adalah faktor sekolah dan guru. Sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:

1) Faktor Sekolah

(52)

Guru adalah nahkoda di kelas saat proses belajar, karena guru adalah orang yang paling tahu tentang kondisi saat itu dan bagaimana tindakan yang harus dilakukan. Teaching factory (TEFA) memerlukan perhatian yang serius dari semua pihak yang terlibat agar tujuan yang ditetapkan dapat terlaksana. Guru memiliki tanggung jawab yang besar dalam hal ini, selain sebagai konsultan, asesor dan fasilitator guru juga memiliki tanggung jawab moral kepada siswanya untuk memberikan yang terbaik kepada mereka baik dari segi pengetahuan maupun ketrampilan yang diajarkan.

Kualitas seorang guru dapat diukur berdasarkan bagaimana tingkat keberhasilan siswanya mengaplikasikan apa yang diajarkan gurunya. Guru yang baik adalah guru yang mampu memaksimalkan potensi siswanya, serta memberikan atau memfasilitasi siswanya untuk berkembang, dan mampu menciptakan kondisi yang kondusif agar siswa nyaman, senang dan tertarik untuk belajar.

Guru sebagai tenaga pendidik yang berhubungan langsung dengan siswa harus memiliki keahlian khusus dan kualifikasi khusus di bidang akademik. Dengan kompetensi yang dimilikinya guru dapat menjalankan tugas dengan baik untuk mencerdaskan siswa secara akademik dan membangun kompetensi siswa dalam hal skill/kemampuan.

(53)

memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Pada

pasal tersebut sangat jelas dikatakan bahwa guru di Indonesia harus memiliki kualifikasi minimum serta harus mengikuti sertifikasi untuk meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru.

Lebih lanjut dijelaskan lagi pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 8, pasal 9, dan pasal 10. Pasal 8 berbunyi, Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasal 9 berbunyi “kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana (S1) atau program diploma empat (D IV).

Sedangkan pada pasal 10 tertulis “Kompetensi guru sebagaimana dimaksud

dalam pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi”. Standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru lebih

lanjut diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 Pasal 1 ayat (1) “Setiap guru wajib memenuhi standar kualifikasi

akademik dan kompetensi guru yang berlaku secara nasional.

(54)

Manajemen berasal dari bahasa Latin, yaitu berasal dari asal kata “manus” yang berarti tangan dan “agere” yang berarti melakukan. Kata-kata itu digabungkan menjadi kata kerja “managere” yang berarti menangani. Managere diterjemahkan

kedalam Bahasa Inggris dalam bentuk kata kerja “to manage”, dengan kata benda “management” dan manager untuk orang yang melakukan kegiatan manajemen.

Akhirnya “management” diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi

manajemen atau pengelolaan.

Manajemen menurut Mary Parker dalam Stoner & Freeman (2000) ialah seni melaksanakan pekerjaan melalui orang-orang (The art of getting things done through people). Menurut Husaini Usman (2007) manajemen meliputi;

perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, kepemimpinan, pemantauan, supervisi, evaluasi pelaporan, dan tindak lanjut hasil. Akan tetapi manajemen ini dapat disederhanakan menjadi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan (P3). Hal ini dikarenakan pengorganisasian dan kepemimpinan dapat dimasukkan dalam pelaksanaan. Sedangkan pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan dan tidak lanjut hasil pengawasan dapat dimasukkan dalam pengawasan.

(55)

organisasi.

Manajemen teaching factory (TEFA) yang dimaksud adalah kegiatan pengelolaan TEFA. Menurut Husaini Usman (2007) manajemen meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, kepemimpinan, pemantauan, supervisi, evaluasi pelaporan, dan tindak lanjut hasil. Akan tetapi manajemen ini dapat disederhanakan menjadi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan (P3K).

1) Perencanaan (Planning)

(56)

ditemui; dan (9) mengarahkan pada pencapaian tujuan (Husaini, 2007).

2) Pelaksanaan (Organizing)

Sudjana (2000) mengatakan, bahwa pengorganisasian adalah kegiatan mengidentifikasi dan memadukan sumber-sumber yang diperlukan ke dalam kegiatan yang akan dilakukan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sumber-sumber tersebut meliputi tenaga manusia, fasilitas, alat-alat, dan biaya yang tersedia atau dapat disediakan. Pengorganisasian menekankan pentingnya tingkahlaku orang-orang yang diberikan peranan dan tugas.

Pengaturan tingkah laku orang-orang yang diberikan peranan dan tugas dapat dilakukan dengan menetapkan pembagian tugas kerja, hubungan kerja, delegasi wewenang, integrasi, dan koordinasidalam bagan organisasi. Organisasi merupakan alat untuk mencapai tujuan. Organisasi yang baik akan membantu terwujudnya tujuan efektif.

3) Pengawasan (Controlling)

Pengawasan merupakan suatu proses yang harus dilakukan secara sistematis dan rasional sesuai dengan pedoman-pedoman yang telah dimiliki (seperti rencana, tujuan, dan petunjuk-petunjuk umum organisasi). Proses pengawasan meliputi kegiatan penentuan tujuan yang pragmatis, menetapkan standar “performance”, mengadakan

(57)

(Burhanuddin, 1994)

Berdasarkan uraian di atas, manajemen teaching factory adalah pengelolaan secara profesional pabrik pengajaran (teaching factory) dengan menerapakan fungsi-fungsi manajemen yang melingkupi; perencanaan (planning), pelaksanaan (organizing) dan pengawasan (controling).

4) Kepemimpinan (Leadership)

Kepemimpinan atau leadership merupakan ilmu terapan dari ilmu-ilmu sosial, sebab prinsip-prinsip dan rumusannya diharapkan dapat mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan manusia (Moejiono, 2002). Kepemimpinan memiliki peran penting dalam suatu organisasi. Sekolah merupakan suatu organisasi formal tempat berlangsungnya suatu proses pendidikan. Kepemimpinan di sekolah dilakukan oleh seorang kepala sekolah.

(58)

guru-cara berpikir, sikap, tingkah laku yang dipimpinnya. Dengan kelebihan yang dimilikinya yaitu kelebihan pengetahuan dan pengalaman, siswa akan mampu membantu guru-guru berkembang menjadi guru yang profesional. Dalam melaksanakan fungsi kepemimpinannya kepala sekolah harus melakukan pengelolaan dan pembinaan sekolah melalui kegiatan administrasi, manajemen dan kepemimpinan yang sangat tergantung pada kemampuannya. Sehubungan dengan itu, kepala sekolah sebagai supervisor berfungsi untuk mengawasi, membangun, mengkoreksi dan mencari inisiatif terhadap jalannya seluruh kegiatan pendidikan yang dilaksanakan di lingkungan sekolah. Disamping itu kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan berfungsi mewujudkan hubungan manusiawi (human relationship) yang harmonis dalam rangka membina dan mengembangkan

kerjasama antar personal, agar secara serempak bergerak kearah pencapaian tujuan melalui kesediaan melaksanakan tugas masing-masing secara efisien dan efektif.

(59)

menentukan keberhasilan pengelolaan program teaching factory. Gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh kepala sekolah akan sangat mempengaruhi motivasi para guru dan karyawan agar berkinerja lebih baik. Tentunya dengan harapan program teaching factory mampu meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah.

Upaya menggerakkan dan memotivasi guru dan karyawan agar melakukan tindakan-tindakan yang terarah pada pencapaian tujuan, seorang pemimpin harus pandai dalam menentukan gaya atau tipe kepemimpinan yang cocok diterapkan pada organisasi yang dipimpinnya. Secara sederhana ada tiga tipe kepemimpinan yaitu:

a. Kepemimpinan Otoriter

Kepemimpinan otoriter adalah kepemimpinan yang bertindak sebagai diktator terhadap anggota-anggota kelompoknya. Baginya memimpin adalah menggerakkan dan memaksa kelompok. Apa yang diperintahnya harus dilaksanakan secara utuh, ia bertindak sebagai penguasa dan tidak dapat dibantah sehingga orang lain harus tunduk kepada kekuasaanya.

(60)

Bentuk kepemimpinan ini merupakan kebalikan dari kepemimpinan otoriter. Yangmana kepemimpinan laissez faire menitik beratkan kepada kebebasan bawahan untuk melakukan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Pemimpin lasses faire banyak memberikan kebebasan kepada personil untuk menentukan sendiri kebijaksanaan dalam melaksanakan tugas, tidak ada pengawasan dan sedikit sekali memberikan pengarahan kepada personilnya.

Kepemimpinan Laissez Faire tidak dapat diterapkan secara resmi di lembaga pendidikan, kepemimpinan laissez faire dapat mengakibatkan kegiatan yang dilakukan tidak terarah, perwujudan kerja simpang siur, wewenang dan tanggungjawab tidak jelas, yang akhirnya apa yang menjadi tujuan pendidikan tidak tercapai.

c. Kepemimpinan Demokratis

(61)

terarah yang berusaha memanfaatkan setiap personil untuk kemajuan dan perkembangan organisasi pendidikan. Kepemimpinan ini bermanfaat untuk menciptakan suasana demokratis di lingkungan organisasi.

Berdasarkan uraian di atas, dalam pengelolaan teaching factory seorang kepala sekolah hendaknya menerapkan gaya kepemimpinan demokratis, sehingga setiap personil memiliki keinginan atau motivasi untuk mensukseskan program teaching factory. Disamping itu sedapat mungkin untuk menghindarkan diri dari memberikan kebebasan kepada personil untuk menentukan sendiri kebijaksanaan dalam melaksanakan tugas, dengan memberikan pengawasan dan selalu memberikan pengarahan kepada personilnya.

2.3 Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

(62)

akuntabilitas (Umiarso, 2010: 68-69)

Menurut Umiarso (2010: 70), MBS pada intinya memberikan kewenangan kepada sekolah untuk melakukan pengelolaan dan perbaikan kualitas secara terus menerus melalui penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholder) yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidika nasional.

Sementara itu Nanang Fatah (2003) memberikan pengertian bahwa MBS merupakan pendekatan politik yang bertujuan untuk mendesain ulang pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, komite sekolah, orang tua siswa dan masyarakat.

(63)

Factory (TEFA)

Pemberian wewenang secara otonomi kepada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efesiensi, dan pemerataan pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat dan menjalin kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah merupakan salah satu wujud dari implentasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di satuan pendidikan.

Departemen Pendidikan Nasional mendeskripsikan bahwa tujuan pelaksanaan MBS adalah meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola serta memberdayakan sumberdaya yang tersedia; meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama; meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; serta meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang dicapai (Depdiknas, 2007: 4)

Lebih lanjut dijelaskan dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Berbasis Masyarakat pasal 55 ayat (1) bahwa; “Masyarakat

berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan non formal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, budaya untuk kepentingan masyarakat”, setidaknya ada ada empat aspek yaitu kualitas

Gambar

Gambar
Tabel 2.1 Kriteria Evaluasi Model CIPP Pada Manajemen Teaching Factory
Gambar 2.1 Lima Pilar Membangun Mutu
Gambar 2.2 Kerangka Pikir Penelitian
+5

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ditemukan bahwa implementasi kebijakan kurikulum 2013 pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) belum berjalan maksimal karena salah satu substansi

(4) SMK, sekolah diharapkan dapat menciptakan kondisi lingkungan yang kondusif dalam pelaksanaan pembelajaran teaching factory dari segi system pelaksanaan teaching

Berdasarkan tabel di atas, hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen kegiatan praktik unit produksi pada aspek perencanaan praktik unit produksi di SMK kelompok Bisnis dan

Simpulan yang dapat ditarik dari penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut : pertama manajemen teaching factory di workshop Tata Kecantikan dalam upaya

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan Teaching Factory yang sudah terlaksana pada Jurusan Bangunan Bidang Keahlian DPIB dan KGSP di SMK Negeri

PENGEMBANGAN DAN IMPLEMENTASI E-JOBSHEET TEACHING FACTORY PRODUKSI ROTI BERBASIS SKKNI DI SMK NEGERI PP CIANJUR.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Dalam tesis ini, metode ini diterapkan untuk menganalisis rata-rata nilai Ujian Nasional siswa Sekolah Menengah Kejuruan di Bandar Lampung.. Untuk mendapatkan sebuah model

Untuk meningkatkan kepuasan kerja guru Sekolah Menengah Kejuruan SMK Muhammadiyah se-Kabupaten Lampung Timur, diperlukan motivasi kerja yang yang baik, sesuai dengan hasil penelitian