• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Yurisdiksi Negara dalam Hukum In

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Makalah Yurisdiksi Negara dalam Hukum In"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tertib hukum internasional dilandasi prinsip kedaulatan Negara. Setiap Negara merdeka memiliki kedaulatan untuk mengatur segala sesuatu yang ada maupun yang terjadi di wilayah atau teritorialnya. Sebagai implementasi dimilikinya kedaulatan, Negara berwenang untuk menetapkan ketentuan hukum dan untuk menegakkan atau menetapkan ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya terhadap suatu peristiwa, kekayaan dan perbuatan. Kewenangan ini dikenal sebagai yurisdiksi Negara dalam hukum internasional.

Yurisdiksi Negara dalam hokum internasional jelas berperan sangat penting dalam tiap-tiap Negara, dengan demikian tiap Negara berwenang untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hokum nasionalnya terhadap suatu peristiwa, kekayaan dan perbuatan apapun yang terjadi di wilayah atau teritorialnya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah-masalah yang dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut:

1) Apa pengertian yurisdiksi Negara dalam Hukum Internasional? 2) Apa saja prinsip-prinsip yurisdiksi dalam Hukum Internasional? 3) Bagaimana penerapan yurisdiksi ekstrateritorial?

4) Bagaimana bentuk kerjasama antranegara dalam penerapan yurisdiksi?

1.3 Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa lebih memahami tentang yurisdiksi Negara yang ada dalam Hukum Internasional.

(2)

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Yurisdiksi Negara dalam Hukum Internasional

Kata yurisdiksi (jurisdiction) berasal dari kata yurisdictio. Kata yurisdictioberasal dari dua kata yaitu kata Yuris dan Diction. Yuris berarti kepunyaan hukum atau kepunyaan menurut hukum. Adapun Dictio berarti ucapan, sabda atau sebutan. Dengan demikian dilihat dari asal katanya Nampak bahwa yurisdiksi berkaitan dengan masalah hukum, kepunyaan menurut hukum atau kewenangan menurut hukum.

Dalam praktik kata yurisdiksi sering memiliki bebarapa arti seperti di pengadilan Inggris dalam kasus custody of children sering dinyatakan bahwa para pihak dilarang melakukan “out of the jurisdiction of the court” terhadap anak-anak yang berarti melarang membawa anak-anak keluar dari Inggris. Kata jurisdiction di sini berarti territory. Dalam Piagam PBB sering digunakan istilah domestic jurisdiction yang berarti kewenangan domestik. Meskipun demikian, dalam praktik, kata yurisdiksi paling sering untuk menyatakan kewenangan yang dlaksanakan oleh Negara terhadap orang, benda atau peristiwa. Menurut Wayan Parthiana, kata yurisdiksi berarti kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki suatu badan peradilan atau badan-badan Negara lainnya yang berdasarkan atas hukum yang berlaku. Bila yurisdiksi dikaitkan dengan Negara maka akan berarti kekuasaan atau kewenangan Negara untuk menetapkan dan memaksakan (to declare and to enfore) hukum yang dibuat oleh Negara atau bangsa itu sendiri.

Dalam bahasa yang lebih sederhana Shaw mengemukakan bahwa yurisdiksi adalah

1. Kewenangan Negara untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum terhadap orang, benda, peristiwa maupun perbuatan di wilayah teritorialnya (legislative jurisdiction or prescriptive jurisdiction);

2. Kewenangan Negara untuk memaksakan berlakunya ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya (executive jurisdiction or enforcement jurisdiction);

3. Kewenangan pengadilan Negara untuk mengadili dan memberikan putusan hukum (yudicial jurisdiction).

(3)

Bila Akehurst menekankan perbedaan antara enforcement jurisdiction denganjudicial jurisdiction. Beberapa penulis lain seperti Martin Dixon dan Tien Saefullah menggabungkan keduanya dalam enforcement jurisdiction. Dengan demikian, menurut mereka keweangan Negara untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum dikenal sebagai jurisdiction to prescribe, adapun kewenangan untuk menegakkan atau menerapkan ketentuan hukum nasionalnya terhadap peristiwa, kekayaan danperbuatan dikenal sebagai jurisdiction to enfore. Dengan jurisdiction to prescribe Negara bebas untuk merumuskan materi ketentuan HN-nya, juga untuk menyatakan bahwa ketentuan tersebut berlaku secara ekstrateritorial, maka beberapa penulis lain justru menekankan pentingnya perbedaan antara prescriptive jurisdiction dengan enforcement jurisdiction. Kewenangan Negara untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum dikenal sebagaijurisdiction to prescribe.

Adapun berkaitan dengan jurisdiction to enforce Negara tidak dapat secara otomatis memaksakan ketentuan hukum yang telah dirumuskannya di luar wilayah negaranya. Hal ini dikarenakan oleh adanya prinsip Par in parem non habet imperiumyang melarang suatu Negara yang berdaulat melakukan tindakan kedaulatan di dalam wilayah Negara lain. Dalam kasus Lotus 1927 Mahkamah Internasional Permanen (PJIC) dinyatakan bahwa suatu Negara tidak dapat melaksnakan segala bentuk kekuasaannya di wilayah Negara lain. Dengan kata lain, kecuali ditentukan lain, Negara A tiak dapat melaksanakan yurisdiksinya di Negara B.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa bila Negara memiliki kekuasaan penuh di bawah hukum internasional to prescribe jurisdiction, namun pelaksanaanprescriptive jurisdiction tersebut terbatas hanya di wilayah teritorialnya saja. Penggunaan kekuatan polisi, eksekusi putusan pengadilan nasional, tidak dapat dilakukan di wilayah Negara lain, kecuali diperjanjikan secara khusus oleh pihak-pihak terkait. Contoh yang jarang terjadi adalah perjanjian antara UK dan Belanda 1999 yang mengizinkan persidangan kasus Lockerbie diselenggarakan oleh Pengadilan Scotlandia, menggunakan hukum Scotlandia, di wilayah Belanda. Kesemuanya ini sebenarnya senada dengan yang dikemukakan oleh Muchtar Kusumaatmadja bahwa kedaulatan Negara berakhir ketika dimlai wilayah Negara lain. Kedaulatan Negara dibatasi oleh hukum internasional dna kepentingan Negara lain.

(4)

Dalam kaitannya dengan klasifikasi beberapa penulis hukum internasional telah mencoba untuk membuat beberapa kualifikasi. Berdasarkan objeknya (hal, masalah, peristiwa, orang dan benda), yurisdiksi Negara dibedakan menjadi yurisdiksi personal, yurisdiksi kebendaan, yurisdiksi criminal, yurisdiksi perdata, dan yurisdiksi eksklusif. Adapun berkaitan dengan ruang atau tempat objek atau masalah yang bukan semata-mata masalah domestic maka yurisdiksi Negara dapat dibedakan menjai yurisdiksi territorial, quasi territorial, ekstrateritorial, universal dan eksklusif.

2.2 Prinsip-Prinsip Yurisdiksi dalam Hukum Internasional

Secara garis besar yurisdiksi pengadilan (judicial jurisdiction) mencakup perdata dan pidana. Yurisdiksi perdata adalah kewenangan hokum pengadilan suau Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut keperdataan baik yang sifatnya perdata biasa (nasional), maupun yang bersifat perdata internasional di mana ada unsur-unsur asing dalam kasus tersebut baik menyangkut para pihak, objek yang disengketakan maupun tempat perbuatan dilakukan. Adapun yurisdiksi pidana adalah kewenangan hokum pengadilan suatu Negara terhadap perkara-perkara yang menyangkut kepidanaan baik yang murni nasional maupun yang terdapat unsure asing di dalamnya.

Hukum internasional public tidak banyak membuat aturan atau pembatasan berkaitan dengan kasus-kasus perdata internasional. Hokum internasional public lebih memfokuskan diri pada yurisdiksi pengadilan yang berkaitan dengan kasus-kasus pidana internasional. Sepanjang menyangkut perkara pidana ada beberapa prinsip yurisdiksi yang dikenal dalam hokum internasional yang dapat digunakan oleh Negara untuk mengklaim dirinya memiliki judicial jurisdiction. Adapun prinsip-prinsip tersebut ialah:

1. Prinsip Yurisdiksi Teritorial

Menurut prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah atau teritorialnya. Dibandingkan prinsi-prinsip lain, prinsip territorial merupakan prinsip yang tertua, terpopuler dan terpenting dalam pembahasan yurisdiksi dalam HI. Menurut Hakim Loed Macmillan, suatu Negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang, benda dan perkara-perkara perdata dan pidana dalam batas-batas territorialnya sebagai pertanda Negara tersebut berdaulat. Pengadilan Negara di mana suatu kejahatan dilakukan memiliki yurisdiksi terkuat dengan pertimbangan:

a. Negara dimana kejahatan dilakukan adalah Negara yang ketertiban sosialnya paling terganggu;

(5)

c. Akan lebih mudah menemukan saksi dan bukti-bukti sehingga proses persidangan dapat lebih efisien dan efektif;

d. Sesroang WNA yang dating ke wilayah suatu Negara dianggap menyerahkan diri pada system HN Negara tersebut, sehingga ketika ia melakukan pelanggaran HN di Negara yang ia datangi maka ia harus tunduk pada hokum stempat meskipun mungkin apa yang ia lakukan sah (lawful) menurut system HN negaranya sendiri.

Dengan demikian, ketika seorang WN Australia tertangkap basah menyimpan dan memperjualbelikan ganja di sebuah hotel Denpasar, Bali Indonesia dapat menerapkan yurisdiksi teritorialnya terhadap orang tersebut.

Meskipun penting, kuat dan popular, penerapan yurisdiksi territorial tidaklah absolute. Ada beberapa perkecualian yang diatur dalam HI dimana Negara tidak dapat menerapkan yurisdiksi territorialnya, meskipun suatu peristiwa terjadi di wilayahnya, beberapa perkecualian yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Terhadap pejabat diplomatik negara asing b. Terhadap negara dan kepala negara asing c. Terhadap kapal publik negara asing d. Terhadap organisasi internasional

e. Terhadap pangkalan militer negara asing

2. Prinsip Teritorial Subjektif

Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang melakukan kejahatan yang dimulai dari wilayahnya, tetapi diakhiri atau menimbulkan kerugian di Negara lain. Didekat perbatasan wilayah Indonesia-Malaysia, A yang berada di wilayah Indonesia menembak B yang berada di seberang perbatasan (wilayah Malaysia). Dalam kasus ini, Indonesia memiliki dasar untuk mengadili A berdasarkan prinsip territorial subjektif karena A melakukan kejahatan yang dimulai dari wilayah Indonesia meskipun kerugiannya timbul di wilayah Malaysia.

3. Prinsip Teritorial Objektif

(6)

memiliki yurisdiksi untuk mengadili A karena telah menimbulkan kerugian yaitu tertembaknya B di wilayah Malaysia, meskipun penembakan dilakukan A dari wilayah Indonesia.

4. Prinsip Nasionalitas Aktif

Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warga yang melakukan kejahatan di luar negeri. Indonesia memiliki yurisdiksi untuk mengadilil TKI yang membunuh majikannya di Arab Saudi atas dasar prinsip ini. Dalam praktik sering terjadi klaim yang tumpang tindih dari beberapa Negara karena pelaku kejahatan memiliki kewarganegaraan ganda. Karenanya sangat penting bagi suatu Negara untuk membuat aturan tegas siapa yang berhak mendapatkan kewarganegaraan di negaranya.

5. Prinsip Nasionalitas Pasif

Berdasarkan prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi terhadap warganya yang menjadi korban kejahatan yang dilakukan orang asing di luar negeri. Dengan prinsip ini maka Indonesia akan memiliki yurisdiksi berdasarkan prinsip nasionalitas pasif terhadap Philip (Warga Filipina) yang membunuh Soni (Warga Indonesia) di Thailand. Dalam kasus US v Yunis 1989, Amerika mengadili Yunis, warga Libanon yang dituduh terlibat pembajakan pesawat Yordania di Timur Tengah atas dasar prinsip nasionalitas pasif. Beberapa warga AS yang ada dalam pesawat Yordania itu menjadi korban perbuatan Yunis.

6. Prinsip Universal

Berdasarkan prinsip ini setiap Negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku kejahatan internasional yang dilakukan dimanapun tanpa memperhatikan kebangsaan pelaku maupun korban. Alasan munculnya prinsip ini adalah bahwa pelaku dianggap orang yang sangat kejam, musuh seluruh umat manusia, jangan sampai ada tempat untuk pelaku meloloskan diri dari hukuman, sehingga tuntutan yang dilakukan oleh suatu Negara terhadap pelaku adalah atas nama seluruh masyarakat internasional.

Yurisdiksi universal dalam hokum internasional bertujuan untuk memproses fenomena pengampunan (impunity) bagi orang-orang tertentu. Pelaku serious international crime tanpa di bawah hokum internasional yang menikmati impunity bebas bepergian ke suatu tempat yang diinginkannya setelah ia melakukan serious international crime tanpa bisa dimintai pertanggungjawaban bahkan hanya untuk sekedar diinvestigasi.

Yurisdiksi universal adalah yurisdiksi yang bersifat unik dengan beberapa cirri menonjol sebagai berikut:

(7)

aktif menyelamatkan masyarakat internasional dari bahaya yang ditimbulkan oleh serious crime, sehingga merasa wajib untuk menghukum pelakunya. Rasa bertanggung jawab tersebut harus dibuktikan dengan tidak adanya niat untuk melindungi pelaku dengan memberikan safe heaven dalam wilayah negaranya.

b. Setiap Negara yang ingin melaksanakan yurisdiksi universal tidak perlu mempertimbangkan siapa dan berkewarganegaraan apa pelaku juga korban dan dimana serious crime dilakukan. Dengan kata lain dapat dikatakan tidak diperlukan titik pertautan antara Negara yang akan melaksanakan yurisdiksinya dengan pelaku, korban dan tempat dilakukannya kejahatan itu sendiri. Satu-satunya pertimbangan yang diperlukan adalah apakah pelaku berada di wilayahnya atau tidak? Tidak mungkin suatu Negara bisa melakansakan yurisdiksi universal bia pelaku tidak berada di wilayahnya. Akan merupakan pelanggaran hokum internasional bila Negara memaksa menangkap seseorang yang berada di wilayah Negara lain.

c. Setiap Negara hanya dapat melaksanakan yurisdiksi universalnya terhadap pelaku serious crime atau yang lazim disebut internastional crime.

Berdasarkan karakteristik sebagaimana dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya yurisdiksi yang berpotensi untuk mengisi kekosongan hokum dalam pelaksanaan yurisdiksi terhadap tindak-tindak pidana internasional. Hakikat yurisdiksi universal berbeda dengan yurisdiksi yang lain karena tidak memerlukan titik pertautan antara Negara yang melaksanakan yurisdiksinya dengan pelaku, korban, dan tindak pidana itu sendiri. Kekosongan hokum dapat diatasi dengan diberikannya wewenang oleh hokum internasional kepada setiap Negara untuk melaksanakan yurisdiksi universal.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, selama ini yurisdiksi universal hanya dapat diterapkan dalam kasus-kasus international crime menurut hakim Supreme CourtAmerika Serikat dalam Hostage Case adalah:

“an international crime is such an act universally recognized as criminal, which is considered as agrave matter of international concern and for some valid reason cannot be left within the state that would have control over it under normal circumatances”

Dengan demikian, untuk menjadi international crime harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:

a. Perbuatan itu diakui universal sebagai tindak pidana, sudah dirumuskan sebagai tindak pidana dalam semua system hokum pidana di semua Negara. Semua Negara mengutuk (condemn) perbuatan itu dan menentukan hukumannya yang layak.

(8)

kepentingan umat manusia sehingga penegakan hokum internasionalnya harus dilakukan, dengan melalui hokum kebiasaan internasional maupun perjanjian internasional, dengan menghukum pelakunya.

c. Arena sifatnya yang sangat membahayakan masyarakat internasional maka sangat beralasan untuk tidak hanya memberikan yurisdiksi pada suatu Negara saja yang jika dalam keadaan normal memang berhak untuk melaksanakannya.

Hukum internasional klasik menyebutkan kejahatan perang (war crime) dan piracy sebagai kejahatan internasional yang kepadanya dapat diterapkan yurisdiksi universal. Pasal 404 Restatement(Third) of the Foreign Relations Law of United Statesmenyebutkan yurisdiksi universal diberlakukan terhadap piracy, perdagangan budak, attack or hijacking of aircraft, genocide, war crimes dan terrorism. ICTY memasukkan pelanggaran berat Konvensi Jenewa 1949, pelanggaran hokum atau kebiasaan perang, genocide, dan kejahatan kemanusiaan sebagai kejahatan internasional yang memerlukan yurisdiksi universal. Yurisdiksi ICTR mencakup genocide, kejahatan kemanusiaan, pelanggaran pasal 3 bersama Konvensi Geneva dan Protokol Tambahan II 1977. Adapun Statuta ICC menyebutkan genocide, war crime, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan agresi sebagai yurisdiksinya.

7. Prinsip Perlindungan

Berdasarka prinsip ini Negara memiliki yurisdiksi trehadap orang asing yang melakukan yurisdiksi terhadap orang asing yang melakukan kejahatan yang sangat serius yang mengancam kepentingan vital Negara, keamanan, integritas dan kedaulatan, serta kepentingan vital ekonomi Negara. Beberapa contoh kejahatan yang masuk yurisdiksi perlindungan antara lain spying, plots to overthrow the government, forging currency, immigration and economic violation.

Meskipun dipraktikan di beberapa HN Negara seperti halnya Prancis, Inggris, dan lain-lain termasuk Indonesia, namun prinsip ini terkadang dipandang sangat berbahaya karena dapat diinterpretasikan dengan sangat luas oleh suatu Negara untuk mengadili seseorang atas dasar prinsip perlindungan bagi negaranya. Beberapa Negara barat menggunakan prinsip ini dalam kasus perdagangan obat-obat terlarang juga terorisme. Adapun Indonesia menyatakan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidananya bahwa Indonesia memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang ada di luar negeri yang melakukan tindakan mengancam dan kepentingan vital ekonomi Indonesia.

2.3 Penerapan Yurisdiksi Ektrateritorial

(9)

seandainya ada suatu Negara (Negara A) menyatakan bahwa penerapan yurisdiksi dari Negara B melanggar hokum internasional, maka Negara A harus membuktikan dimana letak pelanggaran yang telah dilakukan Negara B.

Dalam kaitannya dengan hal ini pertanyaan yang sering muncul adalah apakah suatu Negara (Negara C) bisa menerapkan yurisdiksi extraterritorial-nya terhadap subjek hokum asing (Negara D) yang melakukan perbuatan di luar wilayah Negara C. Yurisdiksi ekstrateritorial digunakan beberapa Negara berlandaskan kepentingan nasional, khususnya kepentingan nasional, khususnya kepentingan bisnis mereka. Sebagai contoh dapat dikemukakan jika dua perusahaan asing membuat perjanjiandi luar negeri untuk mengoordinasikan kebijakan harga barang-barang yang mereka pasarkan di wilayah Negara X dapatkah dikatakan bahwa perjanjian ii melanggar hokum nasional Negara X atas dasar merugikan kepentingan Negara X.

Undang-undang anti monopoli Amerika Serikat, Sherman Act, yang pertama kali dibuat tahun 1890 adalah contoh riil undang-undang nasional yang menerapkan yurisdiksi ekstrateritorial. UU ini menetapkan bahwa semua perjanjian, persekongkolan, dan konspirasi dalam pembatasan usaha bidang perdagangan, baik di dalam maupun luar negeri, yang mencoba memonopoli adalah bertentangan dengan hokum Amerika Serikat (AS).

Yurisdiksi ekstrateritorial mengundang controversial khususnya dari sudut pandang yurisdiksi territorial karena tidak ada direct and immediate link between the initiation and complection of the act sebagaimana ditemukan dalam kasus Lotus yang menerapkan yursdiksi tertorial objektif.

Contoh kasus penggunaan yurisdiksi ekstrateritorial antara lain dalam kasus American Banana Co. Dalam kasus ini penggugat adalah warga Negara AS, pemilik perkebunan pisang di Costarica, sedangkan tregugat adalah pemilik United Fruit Co. Tuntutan yang diajukan adalah bahwa tergugat telah melanggar Sherman Act dengan cara membujuk pemerintah Costaria untuk merampas tanah milik perkebunan Banana Co. Mahkamah Agung AS memutuskan bahwa Sherman Act tidak dapat diterapkan terhadap United Fruit Co atas kegiatannya yang dilakukan di luar negeri bila kegiatan tersebut tidak melanggar hokum Costarica. Pelanggaran terhadap hokum AS di luar negeri tidak dapat dijadikan dasar tuntutan di pengadilan AS apabila tindakan tersebut tidka bertentangan dengan hokum nasionall dimana perbuatan itudilakukan.

(10)

2. Tidak mempunyai akibat terhadap perdagangan AS;

Apabila kedua syarat itu terpenuhi maka Sherman Act dapat diterapkan sekalipun kegiatannya dilakukan di luar wilayah AS.

Masih terkait dengan penerapan yurisdiksi ekstrateritorial, AS juga menerapkaneffect doctrine melalui US anti-trust legislation. Effect doctrine diterapkan pertama kali dalam kasus US v Aluminium Co of America tahun 1945. Dalam kasus ini dipertanyakan apakah perusahaan Canada dapat dimintai pertanggungjawaban di bawah US anti trust legislation atas kebajikannya menetapkan harga barang yang mereka pasarkan di AS. Pengadilan AS menyatakan dirinya memiliki judicial jurisdiction terhadap perusahaan Canada tersebut atas dasar effect doctrine, bahwa tindakan Perusahaan Canada memberikan efek, merusak persaingan di AS.

Selain AS, penerapan yurisdiksi ekstrateritorial juga diterapkan oleh pengadilan Eropa (ECJ) berkaitan dengan penerapan EC Competition Law dalam kasus Wood Pulp. Dalam kasus ini muncul kontroversi seputar dua hal menyangkut yurisdiksi ECJ dan substansi tuntutan. Dalam kasus ini pengadilan pengadilan menetapkan bahwa lebih dari 42 supplier of wood pulp melanggar European Community Competition Law. Perusahaan-perusahaan tersebut 11 perusahaan AS, 6 Canada, 11 Swedia, 11 Finlandia, 1 Norwegia, 1 Spanyol, dan 1 Portugal. Perusahaan-perusahaan Non EC ini menjual barang mereka ke Eropa lewat berbagai cara seperti agen, cabang, dan anak perusahaan yang berada di Eropa.

Pelaksanaan yurisdiksi ekstrateritorial sering menimbulkan banyak masalah. Investasi cabang perusahaan yang ada di luar negeri misalnya, akan memerlukan kerja sama dari otoritas yang berwenang demikian halnya berkaitan dengan enforcement jurisdiction putusan pengadilan. Negara lain tidak memiliki kewajiban untuk membantu atau bekerja sama dengan otoritas asing berkaitan dengan pengakuan pelaksanaan putusan asing tersebut.

2.4 Bentuk Kerja Sama Antarnegara Dalam Penerapan Yurisdiksi

(11)

penegakan hukumnya. Keberhasilan kerjasama penegakan hokum tersebut pada umumnya tidak akan menjadi kenyataan jika tidakada perjanjian bilateral maupun multilateral dalam penyerahan pelaku kejahatan atau dalam kerja sama penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Prasyarat perjanjian tersebut tidak bersifat mutlak karena tanpa ada perjanjian itupun kerjasama penegakan hukum dapat dilaksnakan berlandaskan asas resiprositas (timbal balik).

Kerjasama penerapan yurisdiksi atau penegakan hukum yang tertua adalah ekstradisi kemudian diikuti kerjasama penegakan hukum lainnya seperti, dengan “mutual assistance” (MLAT’s); “transfer of sentenced person” (TSP); “transfer of criminal proceedings” (TCP), dan “joint investigation” serta “handing over”.

Pemerintah Indonesia telah memiliki “undang-undang payung” (umbrella act) untuk ekstradisi dengan undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, dan untuk kerja sama penyidikan dan penuntutan, termasuk pembekuan dan penyitaan asset, dengan Undang-undang No 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (mutual assistance in criminal matters). Perbedaan kedua bentuk perjanjian kerja sama penegakan hokum tersebut adalah, bahwa perjanjian ekstradisi untuk tujuan penyerahan orang (pelaku kejahatan), sedangkan perjanjian MLTA’s untuk tujuan perbantuan dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang peradilan pidana termasuk pengusutan, penyitaan dan pengembalian asset hasil kejahatan. Permintaan penyerahan pelaku kejahatan (ekstradisi) tidak serta merta merupakan pengembalian aset hasil kejahatan yang dibawa pelaku kejahatan yang bersangkutan. Kedua bentuk perjanjian tersebut harus saling melengkapi dan bukan dilihat secara terpisah. Hal ini berarti permintaan ekstradisi wajib dilengkapi dengan permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana terutama pengusutan dan pengembalian aset kejahatan dari pelaku kejahatan yang bersangkutan.

(12)

dapat disimpulkan bahwa ekstradisi adalah penyerahan secara formal seseorang baik dalam statustersangka, terdakwa, atau trepidana dari Negara diminta ke Negara yang meminta untuk diadili atau dilaksanakan hukumannya. Ekstradisi dapat dilakukan melalui perjanjian maupun atas dasar hubungan baik kedua Negara.

Perjanjian ekstradisi sangat dibutuhkan saat ini seiring dengan meningkatnya kualitas maupun kuantitas kejahatan khususnya kejahatan transnasional dan terorisme. Keberadaan istrumen hukum internasional ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan jangkauan da kemampuan penegakan hokum pidana nasional secara umum.

Perjanjian ekstradisi tumbuh dari praktik Negara-negara yang kemudian menjadi hokum kebiasaan internasional. Pada umunya perjanjian-perjanjian ekstradisi akan memuat sebagai prinsip-prinsip berikut:

1. Prinsip kejahatan ganda (double criminal) 2. Prinsip kekhususan/spesialitas

3. Prinsip tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik 4. Prinsip tidak menyerahkan WN sendiri

5. Prinsip Ne bis in idem 6. Prinsip kadaluwarsa

Prinsip-prinsip di atas sudah terwadahi dalam instrumen hukum nasional yaitu UU No. 1/1979 tentang ekstradisi. Disamping hukum nasional yang bersumberkan pada hukum internasional, saat ini PBB juga sudah mengeluarkan instrumen khusus yang menjadi panduan dalam pembuatan perjanjian ekstradisi yaitu Model Treaty on Extradition. Model ini bisa diterapkan baik dalam perjanjian bilateral maupun internasional.

(13)

3.1 Kesimpulan

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa bila Negara memiliki kekuasaan penuh di bawah hukum internasional to prescribe jurisdiction, namun pelaksanaanprescriptive jurisdiction tersebut terbatas hanya di wilayah teritorialnya saja. Penggunaan kekuatan polisi, eksekusi putusan pengadilan nasional, tidak dapat dilakukan di wilayah Negara lain, kecuali diperjanjikan secara khusus oleh pihak-pihak terkait. Contoh yang jarang terjadi adalah perjanjian antara UK dan Belanda 1999 yang mengizinkan persidangan kasus Lockerbie diselenggarakan oleh Pengadilan Scotlandia, menggunakan hukum Scotlandia, di wilayah Belanda. Kesemuanya ini sebenarnya senada dengan yang dikemukakan oleh Muchtar Kusumaatmadja bahwa kedaulatan Negara berakhir ketika dimlai wilayah Negara lain. Kedaulatan Negara dibatasi oleh hukum internasional dan kepentingan Negara lain.

Dalam kaitannya dengan klasifikasi beberapa penulis hukum internasional telah mencoba untuk membuat beberapa kualifikasi. Berdasarkan objeknya (hal, masalah, peristiwa, orang dan benda), yurisdiksi Negara dibedakan menjadi yurisdiksi personal, yurisdiksi kebendaan, yurisdiksi criminal, yurisdiksi perdata, dan yurisdiksi eksklusif. Adapun berkaitan dengan ruang atau tempat objek atau masalah yang bukan semata-mata masalah domestic maka yurisdiksi Negara dapat dibedakan menjai yurisdiksi teritorial, quasi territorial, ekstrateritorial, universal dan eksklusif.

Secara garis besar yurisdiksi pengadilan (judicial jurisdiction) mencakup perdata dan pidana. Hokum internasional public lebih memfokuskan diri pada yurisdiksi pengadilan yang berkaitan dengan kasus-kasus pidana internasional. Sepanjang menyangkut perkara pidana ada beberapa prinsip yurisdiksi yang dikenal dalam hukum internasional yang dapat digunakan oleh Negara untuk mengklaim dirinya memiliki judicial jurisdiction. Adapun prinsip-prinsip tersebut ialah:

1. Prinsip yurisdiksi teritorial 2. Prinsip teritorial subjektif 3. Prinsip territorial objektif 4. Prinsip nasionalitas aktif 5. Prinsip nasionalitas pasif 6. Prinsip universal

3.2 Saran

(14)

dibenahi. Selagi pembenahan berjalan, tampaknya dewasa ini upaya-upaya yang efektif untuk menerapkan yurisdiksi Negara dalam hukum internasional adalah agar para pihak mencoba dengan sungguh-sungguh supaya hal tersebut dapat diterapkan dengan baik dan sesuai aturan hukum yang berlaku.

(15)

Referensi

Dokumen terkait

Apabila menyangkut perkara perdata maka diselesaikan melalui Pengadilan Niaga (Comercial Court), Penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak Deperindag Jateng dengan

Internasional, selain negara yang berdaulat, yurisdiksi juga dimiliki oleh pengadilan.. internasional seperti contohnya International Criminal Court (ICC),

(9) Perkara pidana dan perkara perdata yang termasuk lingkup kewenangan Pengadilan Negeri Bintuhan dan Pengadilan Negeri Tais yang pada saat Keputusan Presiden

(2)Perkara Pidana dan Perkara Perdata yang termasuk lingkup kewenangan Pengadilan Negeri Gunung Sugih dan Pengadilan Negeri Sukadana pada saat Keputusan

Oleh : R.A .z. Kartini Djauhari Yurisdiksi negara yang berlaku terhadap pelaku penguasaan pesawat udara seeara melawan hukum adalah yurisdiksi dari negara tempat

Arbitrase adalah cara penyelasaian sengketa perdata yang bersifat diluar pengadilan umum yang didasarkan pada kontrak arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh

Kegiatan Pokok yang dilaksanakan Pengadilan Tinggi Agama Kupang dalam pelaksanaan Program Peningkatan Manajemen Peradilan Agama adalah :. Penyelesaian Perkara

2 2.3 Teori yang mengatur perjanjian atau kontrak hukum perdata internasional Dalam melakukan perjanjian atau hubungan keperdataan dengan warga Negara asing, perusahaan asing, atau