• Tidak ada hasil yang ditemukan

PSYCHOLOGICAL WELL BEING DITINJAU DARI TIPE COPING STRES PADA SISWA PROGRAM AKSELERASI SMA NEGERI 3 SURAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PSYCHOLOGICAL WELL BEING DITINJAU DARI TIPE COPING STRES PADA SISWA PROGRAM AKSELERASI SMA NEGERI 3 SURAKARTA"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

PSYCHOLOGICAL WELL-BEINGDITINJAU DARI TIPECOPINGSTRES PADA SISWA PROGRAM AKSELERASI

SMA NEGERI 3 SURAKARTA

Skripsi

Dalam rangka penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat

guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata 1 Psikologi

Disusun Oleh : Alvian Pribadi

G0104006

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user

DARI TIPE COPINGSTRES PADA SISWA

PROGRAM AKSELERASI SMA NEGERI 3

SURAKARTA

Alvian Pribadi

G0104006 2010

Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret pada:

(3)

commit to user

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi dengan judul:

PSYCHOLOGICAL WELL-BEINGDITINJAU DARI TIPE COPINGSTRES PADA SISWA PROGRAM AKSELERASI SMA NEGERI 3 SURAKARTA

Alvian Pribadi, G0104006, Tahun 2010

Telah diuji dan disahkan Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret pada:

(4)

commit to user

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi

saya ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar

kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya tidak

terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain,

kecuali yang secara tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, November 2010

(5)

commit to user

MOTTO

(6)

commit to user

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dengan penuh hormat serta cinta, kasih, dan sayang,

karya ini kupersembahkan kepada:

1. Ibu dan Bapak tercinta,

2. Staf pengajar Program Studi Psikologi UNS,

3. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya ini,

(7)

commit to user

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan

nikmat, rahmat, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

dengan judul Perbedaan Psychological Well Being Ditinjau dari Tipe Coping

Stress, sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana Program Studi Psikologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari akan kekurangan, kelemahan, dan hambatan yang

penulis hadapi, sehingga tanpa dorongan, bantuan, bimbingan, serta doa dari

beberapa pihak, skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik, oleh karena itu

penulis menghaturkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya

kepada:

1. Bapak Prof. Dr. AA. Subijanto, dr., M.S. selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberi ijin

penelitian pada penulis.

2. Bapak Drs. Hardjono, M.Si., selaku ketua Program Studi Psikologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret dan dosen pembimbing I,

yang telah memberikan arahan, bimbingan, serta masukan yang

bermanfaat bagi kelancaran skripsi penulis.

3. Ibu Dra. Salmah Lilik, M.Si., selaku dosen pembimbing I, yang telah

memberikan arahan, bimbingan, serta masukan yang bermanfaat bagi

(8)

commit to user

4. Ibu Rin Widya Agustin, M.Psi., selaku pembimbing II, yang dengan sabar

memberikan bimbingan, arahan, masukan, serta memberi semangat, dan

motivasi untuk terus berusaha hingga skripsi ini dapat terselesaikan

dengan baik.

5. Bapak Drs. Thulus Hidayat, S.U., M.A., selaku penguji I, yang memberi

masukan yang sangat bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak Aditya Nanda Priyatama, S.Psi., M.Si., selaku penguji II, yang

memberi kemudahan bagi penyelesaian skripsi ini.

7. Ibu Suci Murti Karini, M.Si., selaku dosen pembimbing akademik yang

selalu memberi semangat dan motivasi kepada penulis untuk terus

berjuang menyelesaikan skripsi.

8. Seluruh staf pengajar dan tata usaha Program Studi Psikologi Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan bekal ilmu

dan pengalaman kepada penulis.

9. Seluruh staf tata usaha dan perpustakaan Program Studi Psikologi Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret, yang telah membantu kelancaran

studi penulis.

10. Bapak Kusmanto selaku Kepala Program Akselerasi yang telah membantu

dalam persiapan pelaksanaan penelitian Program Akselerasi di SMA

Negeri 3 Surakarta.

11. Adik-adik siswa kelas akselerari X SMA N 3 Surakarta yang telah

(9)

commit to user

12. Ibuku tersayang, Ibu Suprapti Ningsih, yang telah memberikan kesabaran,

nasihat, pengertian, semangat, motivasi, serta kasih sayang, dan doa yang

selalu beliau panjatkan demi kesuksesan saya.

13. Ayahku tersayang, Bapak Djoko Muljono, BA. yang telah memberikan

kesabaran, nasihat, pengertian, semangat, motivasi, dana kepada penulis

dalam menyelesaikan skripsi, serta kasih sayang, dan doa yang selalu

beliau panjatkan demi kesuksesan saya.

14. Ullum, Raihana, Wahyu Pratomo, Ratih, Rini, Dewi, Femi, Erwin, Putri,

Nita, Dian, Agung B/N/W, Dani M, Candra, Sindhu, Irwan, dan

teman-teman Psikologi FK UNS dari semua angkatan. Terima kasih atas semua

dukungan dan bantuan yang telah kalian berikan.

15. dr. Mudzakkir Sp. An dan mamah, dr. Guntur dan mbak Fida, dr. Zen

Ahyar, dr. Iwing, dr. Andi, dr. Sandi, dan mr. Lilik. Terima kasih banyak

atas kasih sayang, perhatian, bantuan dan semangat yang telah saya terima.

16. Tegar, Lala, Agung, Icha, Iput, Tita, Ryan, Erika, Adiya, Viska,

17. dan seluruh teman-teman MAPALA VAGUS FK UNS, terima kasih untuk

rasa kebersamaan yang tidak akan pernah terlupakan.

18. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik kepada kita semua.

Surakarta, November 2010

(10)

commit to user

PSYCHOLOGICAL WELL-BEINGDITINJAU DARI TIPE COPINGSTRES PADA SISWA PROGRAM AKSELERASI

SMA NEGERI 3 SURAKARTA

G0104006 Alvian Pribadi

Program akselerasi merupakan suatu jawaban atas dibutuhkannya pelayanan pendidikan bagi siswa yang memiliki bakat istimewa dan kecerdasan luar biasa. Dalam program akselerasi, siswa mendapat perhatian dan pelajaran lebih khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasi dan bakatnya, sehingga dapat menyelesaikan program belajar lebih awal dari waktu yang lebih ditentukan. Dalam pelaksanaannya, program akselerasi selain memiliki dampak positif juga memiliki dampak negatif. Dampak negatif yang dapat timbul dalam pelaksaaan program akselerasi adalah terciptanya kondisi stres. Upaya untuk mengatasi stres tersebut dinamakan coping, dan bertujuan bertujuan mempertahankan well-beingnya

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan psychologica l well-being (PWB) ditinjau dari tipe coping stres yang berupa problem focused coping (PFC) dan emotion focused coping (EFC) pada siswa program akselerasi. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IX pada program akselerasi SMA NEGERI 3 SURAKARTA. Teknik pengambilan sampel dengan studi populasi. Alat pengumpulan data menggunakan modifikasi COPE Inventor y dan modifikasi skala psychologica l well-being dari WLS Sur vey. Analisis hipotesis dengan Uji Ma nn-Whitney.

Dari perhitungan dengan menggunakan Uji Mann-Whitney diperoleh

hasil p-va lue , maka diperoleh

kesimpulan bahwa secara statistik tidak ada perbedaan psychologica l well-being ditinjau dari tipe coping stres.

Hasil analisis deskriptif memberikan gambaran bahwa siswa program akselerasi cenderung memakai tipe coping berupa EFC (74%). Siswa program akselerasi yang menggunakan tipe PFC paling banyak berada dalam kategori sedang (69,2%), sama halnya dengan siswa yang menggunakan tipe EFC yaitu paling banyak berada dalam kategori sedang (69,2%). PWB siswa yang menggunakan tipe PFC lebih tinggi dari siswa yang menggunakan tipe EFC dengan selisih mean statistik yang tidak signifikan.

(11)

commit to user

PSYCHOLOGICAL WELL-BEINGVIEWED FROM THE TYPE OF COPING AT SMA NEGERI 3 SURAKARTA

ACCELERATED PROGRAM STUDENT

G0104006 Alvian Pribadi

Accelerated program is an answer to the need for educational services for students who have special talents and extraordinary intelligence. In the accelerated program, students receive special attention and more lessons can be driven for achievement and talent development, so as to complete the program earlier than the time to learn more determined. In practice, the acceleration program in addition to having a positive impact also has a negative impact. Negative impacts that may arise in the conduct of accelerated program is the creation of conditions of stress. Efforts to cope with stress is called coping, and aims to maintain their pschological well being.

This study aimed to determine whether there is difference in psychological well-being (PWB) in terms the type of stress coping in the form of problem focused coping (PFC) and emotion focused coping (EFC) on an accelerated program students. The subject of this research is a class IX student at the SMA NEGERI 3 SURAKARTA accelerated program. Sampling techniques with the study population. Tools of data collection using a modified scale modification COPE Inventory and psychological well-being of WLS Survey. Analysis of the hypothesis with the Mann-Whitney test.

From the calculation using the Mann-Whitney test result p-value = 0

no difference in psychological well-being in terms of type of stress coping.

Results of descriptive analysis suggests that the accelerated program students tend to use coping type of EFC (74%). Students acceleration program that uses a type of PFC's most lots are in the moderate category (69.2%), as well as students who use the type that is most widely EFC is in the moderate category (69.2%). PWB students who use type of PFC is higher than students who use type of EFC with the mean difference was not statistically significant. ….

(12)

commit to user

2. Dimensi-Dimensi Tipe Coping Stres ... ………… 3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Coping Stres ... B. Psychological Well-Being

1. Pengertian Psychologica l Well-Being……….. 2. Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being………...

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Psychologica l Well-Being C. Program Akselerasi

1. Pengertian Program Akselerasi ……….

(13)

commit to user

4. Kekurangan Program Akselerasi………

D. Psychological Well-Being Ditinjau Dari Tipe Coping Stres Pada Siswa Program Akselerasi……… C. Populasi, Sampel, dan Sampling ………. D. Metode Pengumpulan Data……….. E. Analisis Data

1. Uji Validitas Dan Daya Beda Aitem Alat Ukur………... 2. Uji Reliabilitas Aitem Alat Ukur……….

3. Uji Hipotesis………

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan Penelitian

(14)

commit to user

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan……….. B. Saran ………...

DAFTAR PUSTAKA………... LAMPIRAN………..

63 64

(15)

commit to user

Variabel Dummy Untuk Skala Coping Stres………... Skala Tipe Coping Stres Problem Focused Coping……… Skala Tipe Coping Stres Emotion F ocused Coping……….... Skala Psychological Well-Being ………...

Jumlah Siswa Untuk Penelitian...……….. Indeks Daya Beda Aitem Skala Coping Stres………..

Distribusi Butir Aitem Valid dan Gugur Skala Coping Stres…... Indeks Daya Beda Aitem Skala Psychological Well Being……... Distribusi Butir Aitem Valid dan Gugur Skala Psychologica l Well Being………...

Hasil Uji Normalitas………... Hasil Uji Homogenitas………...

Hasil Uji Hipotesis Ma nn-Whitney………... Kondisi Empiris Tipe Coping Stres pada Siswa Program Akselerasi ... Kategorisasi Subjek Berdasar Skor Alat Ukur Penelitian ……

(16)

commit to user

Gambar I.

.

Dinamika Psychological Well-Being Ditinjau Dari Tipe

(17)

commit to user

Lampiran A.

Lampiran B.

Lampiran C. Lampiran D. Lampiran E. Lampiran F.

Lampiran G. .

Alat Ukur Penelitian……… Tabulasi Data Hasil Penelitian………

Uji Reliabilitas dan Daya Beda Aitem……… Tabulasi Data Hasil Try Out Terpakai……… Hasil Uji Asumsi………... Hasil Uji Hipotesis………...

Surat Ijin dan Surat Tanda Bukti Penelitian……… 70 79

94 107 122 125

(18)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebutuhan akan sumber daya manusia yang unggul dan profesional

mutlak adanya pada segala bidang. Sekolah sebagai media pembelajaran yang

diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang siap menghadapi tantangan

globalisasi. Keberhasilan siswa di dalam kelas ditentukan oleh berbagai aspek,

yang diantaranya adalah daya tangkap dan kecepatan dalam memproses informasi.

Namun demikian, adanya perbedaan daya tangkap dan kecepatan dalam

memproses informasi yang dilakukan oleh siswa menimbulkan masalah tersendiri

dalam proses belajar-mengajar di sekolah, utamanya bagi siswa yang daya

tangkap dan kecepatan belajarnya melebihi teman-teman sebayanya.

Dalam studi kasus yang dilakukan Dharnoto (2006), dibahas tentang siswa

yang bernama Riana dan Adrian, keduanya mulai duduk di bangku SD pada umur

empat tahun, bahkan Adrian sejak usia dua tahun sudah bisa membaca koran,

merasa kesal karena dikelas reguler mereka merasa pelajarannya diulang ulang.

Kemampuan Riana dan Adrian dapat dimasukkan dalam tanda-tanda umum anak

berbakat, yang perlu dipahami adalah bahwa anak berbakat umumnya tidak

hanya belajar lebih cepat, tetapi juga sering menggunakan cara yang berbeda

dengan temannya, disamping itu anak berbakat istimewa biasanya memiliki

kemampuan menyerap informasi sebanyak mungkian dengan mudah dan cepat

(19)

yang dikemukakan oleh Monks dan Ypenburg yang dikutip oleh Van Tiel (2007)

bahwa sejak dini anak cerdas istimewa sudah belajar membaca dan menulis

dengan caranya sendiri tanpa diajari.

Pemerintah menaruh perhatian tentang masalah anak berbakat dan cerdas

istimewa, berupaya memberikan pelayanan pendidikan yang dinilai sesuai bagi

mereka. Perhatian tersebut berupa beasiswa, perintisan sekolah anak berbakat

sampai pada akhirnya pada tahun 1998 Depdiknas memberikan Surat Keputusan

Penetapan Penyelenggaraan Program Percepatan Belajar (Akbar, 2004).

Program percepatan belajar atau disebut juga program akselerasi

diidentifikasi sebagai salah satu bentuk pelayanan pendidikan yang diberikan bagi

siswa dengan kecerdasan dan kemampuan luar biasa untuk dapat menyelesaikan

pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan (Depdiknas, 2003). Hawadi

(2004) mengemukakan bahwa program akselerasi adalah pemberian layanan

pendidikan sesuai potensi siswa yang berbakat, dengan memberi kesempatan

kepada siswa untuk menyelesaikan program reguler dalam jangka waktu yang

lebih cepat dibandingkan teman-temannya.

Pelayanan pendidikan bagi anak berkemampuan dan berkecerdasan luar

biasa dalam program akselerasi ditunjang dengan fasilitas yang berbeda dibanding

dengan program reguler atau kelas biasa demi mengoptimalkan proses belajar

siswa kelas akselerasi. Fasilitas tersebut diantaranya adalah disediakannya kelas

khusus yang ber-AC dengan sistem pengaturan suhu yang baik, multimedia dan

dilengkapi dengan internet serta pembatasan jumlah siswa agar proses

(20)

Percepatan masa belajar yang semula tiga tahun menjadi dua tahun

menjadikan para siswa program akselerasi belajar “ekstra” keras. Porsi belajar

siswa program akselerasi ditambah, pukul 07.00 sampai dengan 14.00, bahkan ada

yang sampai sore, ditambah les untuk mata pelajaran tertentu, bisa dikatakan

bahwa sudah pulang lebih larut dari pada program reguler dirumah mereka harus

mengerjakan PR yang lebih banyak dari pada kelas reguler. Kerja mereka hanya

belajar, mandi, makan, dan belajar (Dharnoto, 2006).

Program akselerasi memiliki jadwal yang sedemikian ketat, sehingga

sering timbul pertanyaan apakah para siswa kelas akselerasi menjalani kehidupan

secara normal, walaupun dalam kelas mereka mendapat fasilitas yang khusus.

Mutiara, seorang pelajar SMA Negeri 8 Jakarta yang mengikuti program

akselerasi, merasakan pergaulannya menjadi terbatas, dikarenakan setiap hari

jadual belajarnya sangat padat. Senin hingga Jumat belajar sekitar pukul tujuh

pagi hingga pukul empat sore. Pada hari Sabtu ketika pelajar lain libur dari

kegiatan akademis dan menjalani aktivitas ekstrakurikuler, Mutiara dan 19 teman

sekelasnya justru disibukkan dengan berbagai praktikum (Permanasari, 2004).

Permasalahan sosialisasi antara program reguler dan akselerasi sulit

dihindari. Seperti yang dikemukakan oleh orang tua siswa akselerasi-Sigit

Sigalayan dari Samarinda yang sempat kaget ketika putranya Bhima bercerita

kalau teman-temannya di kelas reguler (saat SMP) mengatakan bahwa kelas

akselerasinya tidak diakui sebagai satu angkatan dengan murid yang masuk

bersamaan ke sekolah itu hanya karena waktu lulusnya berbeda, atau sebaliknya

(21)

karena waktu belajar yang umumnya ditempuh tiga tahun, diprogram akselerasi

dengan pemadatan materi menjadi dipercepat dan hanya berlangsung dua tahun.

Belajar tentunya adalah hal yang utama bagi siswa, terutama bagi siswa

kelas akselerasi dalam mempertahankan prestasi dan keberadaan mereka dalam

kelas akselerasi. Kepala SMPN 1 Sukatminanto (dalam Anwar, 2007) mengatakan

ada syarat khusus yang harus dipenuhi siswa agar bisa masuk kelas akselerasi dan

memperoleh kompensasi pemangkasan waktu studi. Syarat tersebut diantaranya

adalah siswa harus ber-IQ minimal 125, nilai akademik untuk pelajaran MIPA dan

bahasa Inggris rata-rata minimal 7,5, lolos tes psikologi dan tes komitmen serta

sudah melewati pengamatan guru dan wali kelas setelah 1,5 bulan jadi siswa.

Kalau siswa lolos tes dan dinyatakan diterima, masih ada dua syarat tambahan

lain, syarat tersebut, dites kesehatannya dan siswa dan orang tua harus mau

meneken surat pernyataan yakni sanggup jadi peserta kelas akselerasi. Jika di

tengah jalan tidak bisa memenuhi tuntutan yang ada harus mau diturunkan di

kelas reguler.

Siswa program akselerasi adalah individu yang berada pada masa remaja,

pada masa remaja kondisi perkembangan karakteristiknya sangat dipengaruhi oleh

kondisi fisik, mental dan sosial. Hurlock (2004) menyebutkan bahwa masa remaja

berada dalam rentang umur tiga belas tahun sampai delapan belas tahun, dianggap

sebagai periode "badai dan tekanan", suatu masa ketegangan emosi yang

meninggi akibat perubahan fisik dan kelenjar. Fisik remaja yang berkembang

adalah tinggi, berat, proporsi tubuh, organ seks primer dan sekunder. Retnowati

(22)

pubertas ini merupakan peristiwa yang paling penting, berlangsung cepat, drastis,

tidak beraturan dan terjadi pada sistem reproduksi. Hormon-hormon mulai

diproduksi dan mempengaruhi organ reproduksi untuk memulai siklus reproduksi

serta mempengaruhi terjadinya perubahan tubuh. Perubahan tubuh ini disertai

dengan perkembangan bertahap dari karakteristik seksual primer dan karakteristik

seksual sekunder. Karakteristik seksual primer mencakup perkembangan

organ-organ reproduksi, sedangkan karakteristik seksual sekunder mencakup perubahan

dalam bentuk tubuh sesuai dengan jenis kelamin misalnya, pada remaja putri

ditandai dengan (menstruasi pertama), tumbuhnya rambut-rambut

pubis, pembesaran buah dada, pinggul, sedangkan pada remaja putra mengalami

pollutio (mimpi basah pertama), pembesaran suara, tumbuh rambut-rambut pubis,

tumbuh rambut pada bagian tertentu seperti di dada, di kaki, kumis dan

sebagainya.

Tidak semua remaja dapat menerima perubahan dan menunjukkan

kepuasan pada perubahan tersebut sehingga membuat remaja mudah mengalami

perubahan suasana hati, sedih, gelisah, dan menangis tanpa sebab. Levine &

Smolak (dalam Asrori, 2009) menyatakan bahwa 40-70% remaja perempuan

merasakan ketidakpuasan pada dua atau lebih dari bagian tubuhnya, khususnya

pada bagian pinggul, pantat, perut dan paha. Hurlock (2004) menyebutkan pula

bahwa tubuh anak perempuan yang terlalu tinggi ataupun anak laki-laki yang

terlalu kurus, menimbukan penilaian sosial yang kurang baik. Shaw, Stice, dan

Whitenton (dalam Asrori, 2009) menyebutkan bahwa ketidakpuasan akan diri ini

(23)

penampilan, depresi, rendahnya harga diri, onset merokok, dan perilaku makan

yang maladaptif

Elkind dan Postman (dalam Retnowati, 2008) menyebutkan tentang

fenomena akhir abad duapuluh, yaitu berkembangnya kesamaan perlakuan dan

harapan terhadap anak-anak dan orang dewasa. Anak-anak masa kini mengalami

banjir stres yang datang dari perubahan sosial yang cepat dan membingungkan

serta harapan masyarakat yang menginginkan mereka melakukan peran dewasa

sebelum mereka masak secara psikologis untuk menghadapinya. Tekanan-tekanan

tersebut menimbulkan akibat seperti kegagalan di sekolah, penyalahgunaan

obat-obatan, depresi dan bunuh diri, keluhan-keluhan somatik dan kesedihan yang

kronis. Masyarakat pada era teknologi maju dewasa ini membutuhkan orang yang

sangat kompeten dan terampil untuk mengelola teknologi tersebut,

ketidakmampuan remaja mengikuti perkembangan teknologi yang demikian cepat

dapat membuat mereka merasa gagal, malu, kehilangan harga diri, dan mengalami

gangguan emosional.

Bellak (dalam Retnowati, 2008) menyebutkan bahwa remaja masa kini

dihadapkan pada lingkungan yang segala sesuatunya berubah sangat cepat.

Mereka dibanjiri oleh informasi yang terlalu banyak dan terlalu cepat untuk

diserap dan dimengerti. Semuanya terus bertumpuk hingga mencapai apa yang

disebut information overload. Akibatnya timbul perasaan terasing, keputusasaan,

absurditas, problem identitas dan masalah-masalah yang berhubungan dengan

benturan budaya. Gambaran diatas menunjukkan bahwa siswa program akselerasi

(24)

sendiri dan lingkungan sekaligus memenuhi tuntutan yang besar dari program

akselerasi itu sendiri.

Psikolog UI, Reni Akbar Hawadi (dalam Majidi, 2009) mengemukakan

bahwa siswa akselerasi cenderung akan mengalami stres pada awal program dan

stres tersebut akan muncul lagi saat ujian. Dosen Universitas Negeri Yogyakarta,

Hajar Pamadhi (dalam Fenizar, 2005) memberikan tambahan informasi bahwa

banyaknya sekolah yang menerapkan program percepatan (akselerasi) studi,

mengakibatkan rata-rata 11 orang pelajar per tahun menderita depresi karena

beban mental dan kelelahan belajar. Feldhusen (dalam Indriasari, 2007)

menyatakan bahwa jika seorang anak diketahui memiliki bakat intelektual, banyak

orang yang mengharapkan anak tersebut dapat menunjukkan kemampuannya pada

tingkatan yang lebih tinggi. Jika tuntutan tersebut dinilai melebihi batas

kemampuan yang dimiliki siswa untuk berespon, maka mereka akan mengalami

stress.

Rathi (2007) menyebutkan bahwa stres, kesehatan fisik serta popularitas

dan keintiman dalam hubungan dengan teman sebaya adalah beberapa faktor

penting yang memberi kontribusi pada tinggi atau rendahnya psychologica l

well-beingpada remaja. Menurut Ryff (dalam Trankle, 2008) psychologica l well-being

adalah ukuran yang multidimensi dari perkembangan psikologis dan kesehatan

mental, termasuk skala tingkatan kemandirian dan hubungan yang positif dengan

orang lain. Kondisi ketertekanan yang dialami siswa akselerasi sudah tentu akan

mengganggu psychologica l well-being mereka sebagai remaja. Dalam kondisi

(25)

mempunyai coping stres yang baik. Coping stres mencerminkan upaya seseorang

dalam menghadapi stres. Lazzarus dan Folkman (dalam Compas, 2001)

mengemukakan bahwa coping adalah suatu perubahan konstan dari kognitif dan

tingkah laku yang berusaha untuk mengatur tuntutan spesifik, luar maupun dalam

yang dinilai membebani atau melampaui kapasitas dari seseorang. Menurut

Lazarus dan Folkman (dalam Smith, 2007), coping stres mempunyai dua tipe

yaitu problem focused coping dan emotion focused coping. Menurut Lazarus dan

Folkman (dalam Andrews dkk., 2004) problem focused coping termasuk usaha

untuk mengendalikan atau mengubah sumber stres, sedangkan emotion focused

copingadalah usaha untuk mengelola respon emosional terhadap stres.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa kedua tipe

coping stres yang berupa problem focused coping dan emotion focused coping

memiliki karakteristik yang berbeda sehingga dimungkinkan memiliki efektivitas

yang berbeda pula dalam keberhasilan menghadapi stres. Menurut Carver dkk.

(dalam Moore, 2007) problem focused coping dikatakan potensial bermanfaat

karena dalam beberapa penelitian ternyata berhubungan secara negatif terhadap

simtom gangguan mental, sedangkan emotion focused coping menunjukkan

hubungan positif yang lebih konsisten dengan simtomatologi psikiatri dan

masalah kesehatan fisik. Hal tersebut mendorong peneliti untuk melihat

psychologica l well-being siswa kelas akselerasi ditinjau dari tipe coping stress

(26)

B. Perumusan Masalah

Masalah yang akan diungkap dalam penelitian ini adalah “Apakah ada

perbedaan psychologica l well-being ditinjau dari tipe coping stres pada siswa

program akselerasi?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya

perbedaan psychologica l well-being ditinjau dari tipe coping stres pada siswa

program akselerasi.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan ilmiah pada Psikologi

Klinis serta Psikologi Pendidikan.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Siswa

Memberikan informasi tentang coping stres yang dapat dilakukan

untuk meningkatkan psychologica l well-being mereka.

b. Bagi Praktisi Psikologi, Guru dan Orang Tua

Memberikan informasi bahwa terdapat adanya situasi dan kondisi

yang menekan pada program akselerasi sehingga praktisi Psikologi, guru

(27)

adalah salah satu faktor yang berperan membantu siswa program akselerasi

dalam mempertahankan psychologica l well-being mereka.

c. Bagi Sekolah

Memberikan informasi mengenai kaitan coping stres dengan

psychologica l well-being dan selanjutnya dapat digunakan untuk

meningkatkan pelayanan belajar-mengajar dengan menyeimbangkan aspek

(28)

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tipe Coping Stres

1. Pengertian Tipe CopingStres

Setiap orang dalam hidupnya mengalami stres, karena stres adalah

bagian dari hidup seseorang. Lazarus (dalam Kovacs, 2007) mengemukakan

bahwa merasa stres adalah sebagai kondisi secara subyektif dialami oleh

responden yang merasakan ketidakseimbangan antara tuntutan yang ditujukan

pada dirinya dengan sumber daya yang tersedia untuk memenuhi tuntutan

tersebut.

Stres sendiri ada yang bermanfaat, ada pula yang merugikan. Selye

(dalam Kovacs, 2007) mengemukakan bahwa stres yang baik dan berhubungan

dengan perasaan yang positif dan respon psikologis yang sehat disebut

Eustress, sedangkan stres yang berhubungan erat dengan perasaan negatif dan

tergangguanya keadan jasmaniah disebut Distress.

Lazarus (dalam Kovacs, 2007) juga membuat perbedaan antara stres,

beliau membedakan stres menjadi:

a. Ha rm (gangguan), yaitu kerusakan psikologis yang telah terjadi

semisal gagal bertemu klien sehingga kehilangan proyek bernilai

jutaan.

b. Threa t (ancaman), yaitu gangguan yang telah diperkirakan, belum

(29)

c. Cha llenge (tantangan), yaitu hasil dari tuntutan yang sulit, yang kita

rasakan percaya diri untuk memenuhinya dengan tindakan efektif

dan mengatur sumberdaya coping kita.

Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Compas dkk, 2001), coping stres

adalah suatu usaha konstan dari pikiran dan perilaku untuk mengatur tuntutan

yang spesifik baik dari dalam maupun luar diri individu yang dinilai

membebani atau melebihi sumber daya individu tersebut. Chaplin (2004)

mengartikan coping sebagai suatu tingkah laku dimana individu melakukan

interaksi dengan lingkungan sekitarnya dengan tujuan menyelesaikan tugas

atau masalah. Mutadin (2002) menyatakan bahwa strategi coping menunjuk

pada berbagai upaya baik mental maupun perilaku, untuk menguasai,

mentoleransi, mengurangi atau meminimalisasikan suatu situasi atau kejadian

yang penuh dengan tekanan, sedangkan Cheng (2001) menyatakan bahwa

coping itu adalah proses yang dinamis, individu mengubah secara konstan

pikiran dan perilaku mereka dalam merespon perubahan dalam penelitian

terhadap kondisi stres dan tuntutan-tuntutan dalam situasi tersebut.

Rudolph dan Weisz (dalam Compas, 2001) membedakan dua orientasi

coping. Orientasi tersebut adalah Prima ry Control yang berarti coping secara

langsung terhadap hal atau kondisi yang mempengaruhi atau pengaturan

langsung ekspersi emosi seseorang, dan yang berikutnya Seconda ry Control

berarti suatu usaha untuk menyesuaikan diri atau beradatasi dengan lingkungan

(30)

Ebata dan Moss (dalam Compass, 2001) berpendapat adanya tipe coping

Enggagement dan Disengga gement. Tipe Engga gement Coping biasanya

merupakan respon yang berorientasi langsung terhadap sumber stres, emosi

atau pikiran seseorang, sedangkan Disengga gement Coping berarti respon yang

menjauhi dari sumber stres emosi atau pikiran seseorang.

Lazarus dan Folkman (dalam Smith, 2007) mengemukakan ada dua tipe

coping stres yaitu tipe Problem Focused Coping dan tipe Emotion Focused

Coping. Tipe Problem Focused Coping yaitu ketika coping cenderung

digunakan ketika seseorang memutuskan bahwa gangguan, ancaman, atau

situasi yang menantang, dapat berubah, sedangkan tipe Emotion F ocused

Copingadalah ketika coping yang digunakan saat seseorang yang mengalami

stres, menganggap situasi yang menekan tersebut di luar kendalinya, atau tidak

ada yang dapat dilakukan untuk merubah gangguan tersebut. Dalam jurnal

sebelumnya, disebut Problem F ocused Coping apabila merupakan suatu usaha

memecahkan masalah atau melakukan sesuatu hal untuk mengubah sumber

dari stres, sedangkan disebut Emotion Focused Coping apabila merupakan

suatu usaha untuk mengurangi atau mengatur emotional distress yang

berhubungan (atau disebabkan) keadaan seseorang (Carver dkk.,1989).

Menurut Lazzarus dan Folkman (dalam Carver dkk., 1989) walaupun stressor

dikenai baik Problem Focused Coping maupun Emotion Focused Coping,

Problem Focused Copingcenderung menonjol ketika seseorang merasa bahwa

(31)

Emotion Focused Coping,cenderung menonjol ketika seseorang merasa bahwa

harus bertahan dengan penyebab stress.

Penelitian ini menggunakan tipe coping dari Lazarus dan Folkman

(dalam Smith, 2007) yang berupa tipe Problem Focused Coping yaitu ketika

coping cenderung digunakan ketika seseorang memutuskan bahwa gangguan,

ancaman, atau situasi yang menantang, dapat berubah, dan tipe Emotion

Focused Coping yaitu ketika coping yang digunakan saat seseorang yang

mengalami stres, menganggap situasi yang menekan tersebut di luar

kendalinya, atau tidak ada yang dapat dilakukan untuk merubah gangguan

tersebut.

2. Dimensi-Dimensi Tipe CopingStres

Penelitian yang dilakukan oleh Carver dkk. (1989) memunculkan suatu

konsep-konsep teoritis baru sebagai pembentukan dimensi-dimensi coping

stres yang bertujuan untuk menyempurnakan konsep-konsep yang

dikemukakan oleh Lazarus (dalam Carver dkk., 1989). Penyempurnaan itu

dirasa perlu karena:

a. Tidak ada pengukuran sebelumnya yang dapat digunakan pada

sampel yang berbeda-beda dalam bidang dan daerah.

b. Skala terdahulu kurang menunjukkan fokus pada beberapa aitem

yang menyebabkan terjadinya penafsiran yang ambigu pada beberapa

(32)

c. Terdapat masalah yang fundamental, yaitu bagaimana skala tersebut

secara tipikal dikembangkan. Skala yang terdahulu lebih berkembang

utamanya berbasis pada jalur kenyataan yang kemudian skala

tersebut kehilangan prinsip-prinsip teoritisnya.

Konsep-konsep yang telah disempurnakan tersebut kemudian digunakan

untuk menyusun suatu alat ukur coping stres yang disebut dengan COPE.

COPE terdiri dari lima skala yang konsepnya menjelaskan aspek dari problem

focused coping (a ctive coping, pla nning, suppression of competiting activities,

restra in coping, seeking socia l support for instumenta l rea son), lima skala

yang dapat dilihat sebagai emotion focused coping (Seeking socia l support for

emotional reason, positive r einterpreta tion, accepta nce, denia l, tur ning to

religion), serta tiga skala yang mengukur respon coping yang diperdebatkan

kurang berguna (focus on and venting emotion, beha viora l disengga gement,

mental disenggagement). Konsep-konsep tersebut dapat dijelaskan sebagai

berikut:

a . Active coping, maksudnya mengambil tindakan aktif untuk mencoba

menghilangkan atau mengelak dari stressor atau untuk memperbaiki

akibat dari stressor tersebut. Active coping dapat berupa tindakan

untuk memulai aksi coping secara langsung, meningkatkan suatu

upaya, dan mencoba untuk melaksanakan usaha coping dengan cara

yang lazim. Istilah a ctive coping hampir sama dengan inti dari

pernyataan dan istilah lain tentang problem-focused coping yang

(33)

b. Pla nning, maksudnya merencanakan tentang cara menanggulangi

stressor. Pla nning didalamnya termasuk cara merencanakan strategi

tindakan, memikirkan tentang langkah yang harus diambil dan cara

terbaik dalam mengendalikan masalah. Menurut Carver dkk. (1989)

pla nning jelas adalah problem focused, tetapi secara konseptual

berbeda dengan pelaksaaan aksi problem focused tersebut. Pla nning

terjadi selama penilaian kedua, dimana a ctive coping terjadi selama

fase coping berlangsung.

c. Suppression of competiting a ctivities, maksudnya mengesampingkan

aktivitas lain dan menekankan pada penanganan stressor. Seseorang

melakukan suppression of competiting a ctivities dalam rangka

meningkatkan konsentrasi pada dirinya dalam menangani masalah

yang dihadapi.

d. Restr aint coping, maksudnya secara pasif menunda pelaksanaan

kegiatan sampai saat yang tepat, sampai situai memungkinkan untuk

bertindak dan tidak tergesa-gesa. Restr aint coping kadang diperlukan

dan fungsional dalam respon terhadap stres, walaupun sering

dilupakan sebagai suatu strategi coping yang potensial. Restr ain

coping adalah strategi a ctive coping yang selain memfokuskan diri

pada bagaimana cara mengatasi stres, juga sebagai passive stra tegy

yang berarti tidak bertindak apapun.

e. Seeking socia l support for instrumenta l reason,maksudnya berusaha

(34)

lain. Seeking socia l support for instr umenta l reason termasuk

kategori problem focused coping.

f. Seeking social support for emotiona l reason, maksudnya berusaha

mendapatkan simpati, dukungan emosional, dan pengertian orang

lain. Seeking socia l support for emotiona l rea son termasuk kategori

emotion focused coping. Terjadinya perbedaan antara seeking social

support for instrumenta l r ea son dan seeking social support for

emotional rea son adalah karena perbedaan penerapan konsep

problem focusindividu tersebut.

g. Positif r einterpreta tion a nd growth, maksudnya berusaha mengatur

emosi akibat keadaan yang menyusahkan daripada berhadapan

dengan stressor pada dirinya. Lazarus dan Folkman (dalam Carver

dkk., 1989) memasukkan tendensi ini dalam emotion focused coping,

akan tetapi, ditegaskan oleh Carver dkk. (1989) bahwa

bagaimanapun, nilai dari tendensi ini tidak terbatas hanya untuk

mengurangi distres, tetapi juga menerangkan transaksi yang penuh

tekanan dalam makna positif, yang hakekatnya dapat membimbing

seseorang untuk melanjutkan atau meneruskan dengan aktif-perilaku

problem focused coping.

h. Acceptance, maksudnya menerima kenyataan bahwa situasi stres

telah terjadi. Seseorang dapat saja mengira a ccepta nce menjadi

(35)

harus disesuaikan, atau kebalikannya, yaitu seseorang dapat mengira

bahwa penyebab stres dapat mudah diubah atau diatasi.

i. Turning to religion, maksudnya memperbanyak aktifitas

keagaamaan, meliputi tindakan berdoa dan memperbanyak ibadah

untuk meminta bantuan kepada tuhan. McCrae dan Costa (dalam

Carver dkk., 1989) menyatakan bahwa turning to religion adalah

taktik yang cukup penting untuk banyak orang. Seseorang dapat

memilih turning to religion karena berbagai alasan seperti misalnya

agama mungkin tersaji sebagai sumber dukungan emosional, sebagai

media untuk positif reinterpreta tion a nd growth, atau sebagai taktik

dari a ctive coping terhadap penyebab stres.

j. Denial, maksudnya menolak mempercayai stresor itu ada dan

bertindak seolah-olah stresor itu tidak nyata dan tidak terjadi pada

dirinya. Lazarus dkk. (dalam Carver dkk., 1989) menyatakan bahwa

denia l adalah respon yang berguna, meminimalisasi distres dan

dengan cara demikian akan memfasilitasi coping. Levine dkk.

(dalam Carver dkk., 1989) mengungkapkan bahwa denia l berguna

pada masa awal yang penuh tekanan walaupun nantinya

mengganggu coping itu sendiri.

k. Focus on a nd venting of emotions,maksudnya kecenderungan untuk

fokus pada distres apapun, atau kekecewaan seseorang yang

(36)

l. Beha viora l disengagement, maksudnya mengurangi upaya yang

berurusan dengan penyebab stres, sama halnya mengira usaha

mencapai tujuan bersama penyebab stres adalah suatu hal yang

bertentangan. Fenomena ini juga diidentifikasikan sebagai keadaan

tidak berdaya. Behaviora l disengagement dalam teorinya sering

terjadi ketika seseorang mengira kemungkinan keberhasilan

copingnya itu kecil.

m. Menta l disengagement, maksudnya aktivitas bervariasi yang

dilakukan untuk mengalihkan seseorang dari berpikir tentang

dimensi perilaku atau tujuan yang berhubungan dengan penyebab

stres. Seseorang yang memilih untuk mengalihkan pikiran dari

masalah adalah contoh dari mental disenga gement.

Penelitian ini menggunakan skala yang konsepnya serupa dengan yang

dikemukakan Lazarus dan Folkman (dalam Carver dkk., 1989) yang

disempurnakan dalam COPE oleh Carver dkk. (1989) yang memuat dimensi

dari problem focused coping dan emotion focused coping serta dimensi untuk

mengukur respon koping. Namun sesuai dengan judul penelitian, peneliti

hanya memfokuskan pada problem focused coping dan emotion focused coping

sehingga dimensi-dimensi coping stres yang dipakai adalah a ctive coping,

pla nning, suppression of competiting a ctivities, restra int coping, seeking socia l

support for instr umenta l rea son, seeking social support for emotiona l r ea son,

(37)

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Coping Stres

Menurut Lazzarus dan Mozkowitz (dalam Kilburn, 2002), coping stres

dipengaruhi oleh:

1. Disposisi kepribadian seperti optimism, neuroticism, dan extra version.

2. Penerimaan karakteristik dari situasi stres termasuk kendali

terhadapnya

3. Sumber daya sosial

Menurut Mutadin (2002), faktor-faktor yang berpengaruh dalam

perilaku coping stres terdiri dari:

1. Kesehatan fisik. Kesehatan merupakan hal yang penting, karena

selama dalam usaha mengatasi stres individu dituntut mengeluarkan

energi yang besar.

2. Keyakinan atau pandangan positif. Keyakinan menjadi sumber daya

psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib,

mengarahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan dan akan

menurunkan kemampuan coping tipe problem focused coping.

3. Keterampilan memecahkan masalah. Keterampilan ini meliputi

kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, identifikasi

masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan,

kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan

hasil yang ingin dicapai dan pada akhirnya melaksanakan rencana

(38)

4. Keterampilan sosial. Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk

berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai

dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat.

5. Dukungan sosial. Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan

informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan orangtu,

anggota keluarga lain, saudara, teman dan lingkungan masyarakat

sekitar.

6. Materi. Dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang,

barang-barang, atau layanan yang biasanya dapat dibeli.

Menurut Lazarus (1976) perilaku coping yang dilakukan individu akan

dipengaruhi oleh:

a. Jenis kelamin. Menurut penelitian yang dilakukan Lazarus ditemukan

bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama menggunakan tipe coping

yang berfokus pada masalah (problem focused coping) maupun tipe

copingyang berfokus pada emosi (emotion focused coping).

b. Konteks lingkungan dan dan sumber individu, karena sumber-sumber

individu yang dimiliki seseorang seperti pengalaman, persepsi,

kemampuan intelektual, kesehatan kepribadian, pendidikan, dan

situasi yang dihadapi sangat menentukan proses penerimaan suatu

stimulus yang kemudian dapat dirasakan sebagai ancaman atau

tekanan.

Ditambahkan oleh Garmezy dan Rutter (Hapsari dkk., 2002) bahwa

(39)

Berdasarkan uraian diatas dapat penulis menyimpulkan faktor-faktor

yang mempengaruhi coping antara lain kepribadian, jenis kelamin, usia,

dukungan sosial, dan sumber daya individu.

B.Psychological Well-Being

1. Pengertian Psychological Well-Being

Konsep tentang psychologica l well-being merupakan konsep banyak

ditemukan dalam berbagai sumber dan literatur, sehingga konsep tersebut

mempunyai banyak definisi dengan berbagai pengertian. Ryff (dalam Min Ma,

2008) mengadakan pendekatan terhadap psychologica l well-being melalui

perkembangan dan realisasi diri dari individu, lebih lanjut lagi Ryff

mengemukakan bahwa konsep psychologica l well-being adalah suatu

euda imonia (kebahagiaan) yang dapat dialami dari aktivitas pribadi yang

penuh perasaan yang menjadi fasilitator atas pemenuhan potensi diri,

pengalaman dari hidup, dan kemajuan dari tujuan seseorang dalam hidup.

Min Ma (2008) menyebutkan bahwa Buhler, Erikson dan Neugarten

berpendapat bahwa psychologica l well-being adalah identifikasi dari fungsi

positif psikologis yang dijelaskan dalam gambaran dari perkembangan

sepanjang hidup, sedangkan Allport mengartikan psychologica l well-being

sebagai kedewasaan, oleh Jung diartikan individuasi, oleh Rogers dimaknai

orang yang berfungsi penuh, oleh Maslow diartikan aktualisasi diri, dan oleh

Jahoda psychologica l well-being diartikan sebagai kesehatan mental yang

(40)

Ryff (dalam Pudrovska, 2005) memandang psychologica l well-being

sebagai aspek fundamental dari perkembangan dan komponen yang sangat

diperlukan dalam proses perkembangan kehidupan serta kemampuan

beradaptasi.

P sychologica l well-being oleh Maslow (dalam Schultz, 1991)

dikemukakan sebagai kesehatan psikologis pada diri individu. Kesehatan

psikologis terwujud dalam sifat-sifat pengaktualisasian diri, yang sifat-sifat

tersebut telah cukup memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang lebih rendah

secara teratur berupa kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta dan memiliki, serta

penghargaan. Individu tersebut bebas dari psikosis, neurosis, atau gangguan

patologis lain. Selain itu, individu tersebut juga memperhatikan

kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi dengan cara memenuhi potensi-potensi dan

mengetahui serta memahami dunia sekitar.

Penelitian ini mendasarkan pada pengertian psychological well-being dari

Ryff (dalam Min Ma, 2008) dengan pertimbangan bahwa pengertian

psychologica l well-being dari Ryff (dalam Min Ma, 2008) telah mencakup

berbagai pengertian psychologica l well-being dari beberapa ahli lain dalam

landasan teori ini. Pengertian psychologica l well-being tersebut menurut Ryff

(dalam Min Ma, 2008) adalah kebahagiaan yang dapat dialami dari aktivitas

pribadi yang penuh perasaan yang menjadi fasilitator atas pemenuhan potensi

(41)

2. Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being

Ryff (dalam Christopher, 1999) memformulasikan enam dimensi

psychologica l well-being yang disusunnya berdasarkan teori psikologi

perkembangan, teori psikologi klinis, maupun teori kesehatan sebagai berikut:

a. Penerimaan diri

Penerimaan diri merupakan kriteria psychologica l well-being paling

penting. Penerimaan diri merupakan sikap positif seseorang terhadap

dirinya terkait dengan masa kini maupun masa lalu hidupnya.

b. Hubungan positif dengan orang lain

Hubungan positif dengan orang lain maksudnya terkait dengan

kemampuan seseorang untuk menjalin hubungan antar pribadi yang

hangat, memuaskan, saling mempercayai, serta terdapat hubungan

saling memberi dan menerima.

c. Kemandirian

Kemandirian maksudnya individu memiliki kebebasan menentukan

hidupnya sendiri dan kemandirian dalam menjalani hidupnya serta

berperilaku sesuai dengan standar nilai itu sendiri.

d. Penguasaan lingkungan

Penguasaan lingkungan adalah kemampuan individu untuk memilih

maupun menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi

(42)

e. Tujuan hidup

Tujuan hidup maksudnya memiliki suatu perasaan bahwa hidupnya

memiliki tujuan dan makna baik masa lalu maupun yang sedang

dijalaninya kini. Individu yang berfungsi secara positif memiliki

tujuan, intensi, dan arah yang membuatnya merasa hidup ini memiliki

makna.

f. Pertumbuhan pribadi

Pertumbuhan pribadi yaitu terus mengembangkan potensinya secara

berkesinambungan untuk tumbuh dan berkembang secara pribadi.

Melengkapi enam dimensi kesejahteraan diatas, Rathi (2007)

menambahkan bahwa remaja yang menunjukkan kekuatan pada setiap dan

semua area dimensi tersebut akan berada dalam keadaan psychologica l

well-being yang tinggi, sedangkan remaja yang lemah dalam area dimensi-dimensi

tersebut akan berada dalam keadaan psychologica l well-being yang rendah.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

Ryff (1995) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi

psychologica l well-beingadalah:

a. Status pernikahan

Individu yang telah menikah lebih banyak memiliki emosi positif

(43)

b. Latar belakang budaya

Individu yang berasal dari negara timur mempunyai hubungan

dengan orang lain yang lebih tinggi, akan tetapi, mempunyai

penerimaan diri, kemandirian, dan pengembangan pribadi yang

rendah daripada individu dari negara barat. Selain itu individu dari

negara timur lebih mementingkan kesejahteraan psikologis orang lain

(misal anaknya) untuk menentukan kesejahteraannya sendiri.

c. Pengalaman hidup dan interpretasinya

Individu akan mengiterpretasikan pengalaman hidupnya dengan

bervariasi. Interpretasi tersebut berupa membandingkan dirinya

dengan orang lain, mengevaluasi umpan balik yang mereka terima

dari orang orang terdekatnya, mencoba mengerti penyebab

pengalaman mereka, dan mengambil makna yang relatif penting dari

beberapa pengalaman hidup yang dialaminya.

Kemudian Ryff (Papalia dkk, 2001) menambahkan faktor faktor yang

mempengaruhi well-being individu antara lain:

a. Usia

Individu usia dewasa madya memiliki psychologica l well-being yang

lebih tinggi pada beberapa dimensi daripada individu dewasa akhir

dan dewasa awal. Individu dewasa madya lebih mandiri dan memiliki

penguasaan lingkungan yang lebih tinggi daripada dewasa awal tetapi

kurang memiliki tujuan hidup dan kurang terfokus pada pertumbuhan

(44)

b. Jenis kelamin

Pada umumnya antara laki-laki dan perempuan mempunyai

psychologica l well-being yang sama, tetapi perempuan lebih

memiliki hubungan sosial yang positif dengan orang lain.

c. Pendapatan atau status sosial ekonomi

Individu yang memiliki pekerjaan yang bagus dengan pendapatan

yang tinggi atau status sosial ekonominya tinggi akan memiliki

psychologica l well-being yang tinggi daripada individu yang

mempunyai pendapatan yang rendah atau tidak bekerja.

d. Pendidikan

Individu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan memiliki

psychologica l well-being yang tinggi daripada individu yang

berpendidikan rendah.

Faktor lain yang juga mempengaruhi psychologica l well-being

menurut Schumutte dan Ryff (1997) adalah temperamen dan kepribadian.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor

yang mempengaruhi psychologica l well-being adalah usia, jenis kelamin,

pendapatan atau status sosial ekonomi, pendidikan, temperamen dan

(45)

C. Program Akselerasi

1. Pengertian Program Akselerasi

Menurut Kamdi (2004) akselerasi adalah program percepatan belajar

untuk peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang mendapat

perhatian dan pelajaran lebih khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasi

dan bakatnya. Menurut Pressey (dalam Hawadi, 2004) akselerasi adalah

sebagai suatu kemajuan yang diperoleh dalam program pengajaran yang lebih

cepat atau usia yang lebih muda yang konvensional. Hal ini menunjukkan

bahwa akselerasi meliputi persyaratan untuk menghindari hambatan

pemenuhan permintaan dalam pengajaran dan juga mengusulkan proses-proses

yang memungkinkan siswa melalui pemberian materi yang lebih cepat

dibanding dengan kemajuan rata-rata siswa. Program akselerasi bertujuan bagi

siswa yang berbakat istimewa di bidang kecerdasan akademik dapat

menyelesaikan studinya dengan lebih cepat dari waktu yang ditentukan

(Widyorini, 2002).

Hawadi (2004) mengemukakan bahwa program akselerasi adalah

pemberian layanan pendidikan sesuai potensi siswa yang berbakat, dengan

memberi kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan program reguler

dalam jangka waktu yang lebih cepat dibandingkan teman-temannya.

Akselerasi juga diidentifikasi sebagai salah satu bentuk pelayanan pendidikan

yang diberikan bagi siswa dengan kecerdasan dan kemampuan luar biasa untuk

dapat menyelesaikan pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan

(46)

anak, bukan saja hanya merugikan anak itu sendiri, melainkan akan membawa

kerugian yang lebih besar bagi perkembangan pendidikan dan percepatan

pembangunan di Indonesia, dan jika potensi mereka tidak dimanfaatkan,

mereka akan mengalami kesulitan walau potensial (Hawadi, 2004).

Berdasarkan uraian diatas maka penulis mengambil kesimpulan

bedasarkan pendapat Kamdi (2004) bahwa program akselerasi adalah

program percepatan belajar untuk peserta didik yang memiliki kecerdasan luar

biasa yang mendapat perhatian dan pelajaran lebih khusus agar dapat dipacu

perkembangan prestasi dan bakatnya.

2. Ciri-Ciri Program Akselerasi

Menurut Depdiknas (2003), program akselerasi memiliki ciri-ciri sebagai

berikut:

a. Masukan (Input)

Masukan siswa diseleksi ketat dengan menggunakan kriteria dan

prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan, kriteria yang digunakan

adalah:

1) Informasi Data Objek

Informasi data objek yang diperoleh dari pohak sekolah berupa

skor akademis (nilai UAN dari sekolah sebelumnya rata-rata

delapan, oleh tes kemampuan akademik, rapor seluruh mata

(47)

pemeriksaan psikologis berdasarkan hasil tes intelektual umum

dengan tes IQ.

2) Kesehatan Fisik

3) Informasi Data Subyektif

Yaitu nominasi yang diperoleh dari diri sendiri, teman sebaya,

orang tua, dan guru sebagai hasil dari pengamatan sejumlah

ciri-ciri keberbakatan.

4) Kesediaan Calon Siswa

Kesediaan calon siswa dan persetujuan dari orang tua secara

tertulis mengenai hak dan kewajiban serta hal-hal yang dianggap

perlu untuk menjadi peserta program akselerasi.

b. Tenaga Kependidikan.

Guru yang dipilih untuk mengajar program akselerasi adalah

guru yang memiliki kemampuan sikap dan ketrampilan terbaik diantara

guru yang ada dan setidaknya memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1) Memiliki tingkat pendidikan yang dipersyaratkan sesuai dengan

jenjang sekolah yang diajarkan minimal lulusan S1.

2) Mengajar sesuai dengan latar belakang pendidikannya

3) Memiliki pengalaman mengakar di kelas reguler minimal 3 tahun

dengan prestasi baik.

4) Memiliki pengetahuan tentang karateristik siswa berpotensi,

kecerdasan dan bakat istimewa secara umum dan program

(48)

5) Memiliki karakterisitik umum yang dipersyaratkan seperti: adil dan

tidak memihak, sikap kooperatif demokratis, fleksibilitas, rasa

humor, menggunakan penghargaan dan pujian, minat yang luas,

memberi perhatian terhadap masalah anak, dan penampilan sikap

menarik.

6) Memenuhi persyaratan sebagai berikut: memiliki pengetahuan

tentang sifat dan kebutuhan anak berbakat, memiliki kemampuan

berfikir tingkat tinggi. Memiliki pengetahuan tentang kebutuhan

afektif dan kognitif anak bebakat, memiliki kemampuan untuk

menunjuk teknik mengajar yang sesuai, memiliki kemampuan

untuk membimbing dan memberi konseling kepada siswa berbakat

dan orangtuanya dan memiliki kemampuan untuk melakukan

penelitian.

c. Kurikulum.

Kurikulum program akselerasi adalah kurikulum nasional dan

muatan lokal yang dimodifikasi dengan penekanan pada materi

esensial dan dikembangkan melalui sistem pembelajaran yang dapat

memacu dan mewadahi integrasi antara pengembangan spiritual,

logika, etika dan estetika, serta dapat mengembangkan kemampuan

berpikir holistic, kreatif, sistematis, linear, dan konvergen, untuk

memenuhi tuntutan masa kini dan masa mendatang.

(49)

Sarana belajar yang harus dipenuhi adalah:

1) Sumber belajar seperti buku paket, buku pelengkap, buku

referensi, buku bacaan, majalah, koran, modul, lembar kerja,

kaset video, VCD, CD ROM, dan sebagainya.

2) Media pembelajaran seperti radio, ca sette recorder , TV,

OHP, wireless, slide projector, LD/LCD/VCD/DVD pla yer,

komputer, dan sebagainya

3) Adanya sarana Informa tion Technology (IT), jaringan

internet, dan lain-lain.

Sedangkan prasarana belajar yang harus dipenuhi adalah:

1) Ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang BK, ruang TU, dan

ruang OSIS.

2) Ruang kelas, dengan formasi tempat duduk yang mudah

dipindah-pindah sesuai dengan keperluan.

3) Ruang laboratorium IPA, laboratorium IPS, laboratorium

bahasa, laboratorium komputer dan ruang perpustakaan.

4) Kantin sekolah, koperasi sekolah, mushola atau tempat

ibadah dan poliklinik.

5) Aula pertemuan

6) Lapangan olah raga

7) Kamar mandi/WC

(50)

Pengembangan sistem proses belajar mengajar siswa program akselerasi,

diarahkan pada terwujudnya proses belajar mengajar tuntas dengan

memperhatikan keselarasan dan keseimbangan antara: a) dimensi tujuan

pembelajaran, b) dimensi pengembangan persaingan dan kerjasama, d) dimensi

penegembangan kemampuan holistik dan kemampuan berfikir elaborasi, e)

dimensi pelatihan berfikir induktif dan deduktif, dan f) pengembangan IPTEK

dan IMTAQ secara terpadu, serta g) lingkungan.

3. Kelebihan Program Akselerasi.

Menurut Southerm dan Jones (dalam Akbar, 2004) keuntungan program

akselerasi bagi anak berbakat:

a. Meningkatkan efesiensi

Siswa yang telah siap dengan bahan-bahan pengajaran dan menguasai

kurikulum pada tingkat sebelumnya akan belajar lebih baik dan lebih

efisien

b. Meningkatkan efektivitas

Siswa yang terkait belajar pada tingkat kelas yang dipersiapkan dan

menguasai keterampilan-keterampilan sebelumnya merupakan siswa

yang paling efektif.

c. Penghargaan

Siswa yang telah mampu mencapai tingkat tertentu sepantasnya

memperoleh penghargaan atas prestasi yang dicapainya

(51)

Adanya pengurangan waktu belajar akan meningkatkan produktivitas

siswa, penghasilan, dan kehidupan pribadinya pada waktu yang lain

e. Membuka siswa pada kelompok barunya

Dengan program akselerasi, siswa dimungkinkan untuk bergabung

dengan siswa lain yang memiliki kemampuan intelektial dan akademis

yang sama

f. Ekonomis

Keuntungan bagi sekolah ialah tidak perlu mengeluarkan banyak

biaya untuk mendidik guru khusus anak berbakat.

4. Kekurangan Program Akselerasi

Akan tetapi dibalik semua itu program akselerasi menurut Southerm dan

Jones (dalam Akbar, 2004) masih banyak mempunyai kelemahan antara lain:

a. Segi akademik

1) Bahan ajar terlalu tinggi bagi siswa akselerasi.

2) Kemampuan siswa melebihi teman sebayanya sementara siswa

akseleran kemungkinan imatur secara sosial, fisik dan emosional

dalam tingkatan kelas tertentu

3) Siswa akseleran terikat pada keputusan karier lebih dini tidak

efisien sehingga mahal.

4) Siswa akseleran mengembangkan kedewasaan yang luar biasa

(52)

5) Pengalaman-pengalaman yang sesuai untuk anak seusianya tidak

dialami karena tidak merupakan bagian dari kurikulum

6) Tuntutan sebagai siswa sebagian besar pada produk akademik

konvergen sehingga siswa akseleran akan kehilangan kesempatan

mengembangkan kemampuan berpikir kreatif dan divergen.

b. Segi penyesuaian sosial

1) Kekurangan waktu beraktivitas dengan teman sebayanya

2) Siswa akan kehilangan aktivitas sosial yang penting dalam usia

sebenarnya dan kehilangan waktu bermain.

c. Berkurangnya kesempatan kegiatan ekstrakurikuler

d. Penyesuaian emosional

1) Siswa akseleran pada akhirnya akan mengalami burn out di bawah

rekanan yang ada dan kemungkinan menjadi underachiever

2) Siswa akseleran akan mudah frustasi dengan adanya tekanan dan

tuntutan berprestasi.

e. Adanya tekanan untuk berprestasi membuat siswa akseleran

kehilangan kesempatan untuk mengembangkan hobi.

Kelas dengan program akselerasi adalah salah satu dari beberapa

program belajar bagi siswa berbakat, program ini mungkin sesuai pada

beberapa siswa berbakat tetapi belum tentu sesuai dengan siswa berbakat

lainnya. Hal utama yang perlu diperhatikan adalah data seleksi untuk

(53)

D.Psychological Well-BeingDitinjau Dari Tipe Coping Stres

Pada Siswa Program Akselerasi

Program akselerasi merupakan suatu jawaban atas dibutuhkannya

pelayanan pendidikan bagi siswa yang memiliki bakat istimewa dan kecerdasan

luar biasa. Dalam program akselerasi, siswa yang memiliki bakat istimewa dan

kecerdasan luar biasa mendapat perhatian dan pelajaran lebih khusus agar dapat

dipacu perkembangan prestasi dan bakatnya, yang nantinya mereka dapat

menyelesaikan program belajar lebih awal dari waktu yang lebih ditentukan.

Dalam pelaksanaannya, program akselerasi selain memiliki dampak positif juga

memiliki dampak negatif bagi siswanya. Dampak negatif dari pelaksanaan

program akselerasi menurut Southern dan Jones (dalam Indriasari, 2007)

diantaranya pada bidang akademis, penyesuaian sosial, dan penyesuaian emosi.

Pada bidang akademis, dampak negatif yang mungkin muncul adalah

ketidakmampuan siswa menyesuaikan diri dengan tingginya tuntutan berprestasi,

padatnya materi, banyaknya pekerjaan rumah sehingga membuat kreativitas

mereka terbelenggu dan berkurangnya kemampuan mereka untuk berpikir

divergen. Pada bidang penyesuaian sosial, dampak negatif yang mungkin muncul

adalah berkurangnya waktu beraktivitas dengan teman sebaya, juga kemungkinan

penolakan oleh teman-teman yang lebih dewasa atau teman-teman di luar program

akselerasi. Pada bidang penyesuaian emosi, dampak negatif yang muncul menurut

Southern dan Jones (dalam Indriasari, 2007) adalah munculnya rasa frustrasi

(54)

Berbagai hal diatas berpotensi menimbulkan stres pada siswa program

akselerasi. Stres adalah keadaan dimana tuntutan melampaui kemampuan dan

sumberdaya individu untuk mengatur tuntutan tersebut (Strens, 2007). Sebagai

manusia, saat remaja mengalami situasi dan kondisi yang menimbulkan stres,

secara alamiah mereka akan berusaha mengatasi stres tersebut dengan

menggunakan sejumlah perilaku. Usaha untuk mengatasi stres tersebut disebut

coping stres. Menurut Lazarus (dalam Compas dkk, 2001) coping adalah respon

penuh arti yang ditujukan langsung untuk memecahkan hubungan penuh stres

antara diri dengan lingkungan atau diri dengan emosi negatif yang muncul akibat

stres itu sendiri. Coping mempunyai dua tipe, yaitu problem focused coping dan

emotion focused coping.Menurut Lazarus dan Folkman ( dalam Andrews, Ainley,

Frydenberg, 2004) problem focused coping termasuk usaha untuk mengendalikan

atau mengubah sumber stres, sedangkan emotion focused coping adalah usaha

untuk mengelola respon emosional terhadap stres.Penelitian Oleh Compas dkk

(Dalam Kephart, 2001) menemukan bahwa problem focused coping berhubungan

negatif dengan masalah emosi dan perilaku, sedangkan emotion focused coping

berhubungan positif dengan masalah tersebut.

Pada remaja, problem focused coping lebih fungsional dalam

menyelesaikan masalah, sedangkan emotion focused coping menunjukkan

disfungsinya dalam menyelesaikan masalah dan dapat menuntun pada penarikan

diri, tingkah laku merusak dan penghindaran masalah (Kilburn dan Whitlock,

2008). Problem focused coping berhubungan dengan rendahnya tingkat simtom

(55)

dengan derajat yang tinggi (Compas dkk dalam Ellen, DiGuissepe, Froh, 2006).

Causey (dalam Compas, B. E., Smith, J. K. C., Saltzman, H., Thomsen, A. H.,

Wadsworth, M. E., 2001) menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara

problem focused coping dengan kompetensi akademik dan sosial. Remaja yang

kurang dalam membiasakan menggunakan problem focused coping mengalami

lebih banyak masalah penyesuaian (Kilburn dan Whitlock, 2008).

Feldman (dalam Indriasari, 2007) mengungkapkan bahwa stres yang

berlebihan tanpa adanya kemampuan coping efektif akan mempunyai implikasi

jangka panjang pada kesehatan psikologis dan fisiologis. Rathi (2007)

menyebutkan bahwa stres, kesehatan fisik serta popularitas dan keintiman dalam

hubungan dengan teman sebaya adalah beberapa faktor penting yang memberi

kontribusi pada tinggi atau rendahnya psychologica l well-being pada remaja.

Psychologica l well-being menurut Ryan dan Deci (dalam Strens, 2007) adalah

konsep mencapai kesenangan dan menghindari rasa sakit, serta menjadi berfungsi

sepenuhnya termasuk kesehatan fisik dan pikiran yang bagus. Gambaran diatas,

menunjukkan bahwa coping stres dalam tipe problem focused coping maupun

emotion focused coping memiliki karakteristik yang berbeda dalam membantu

siswa program akselerasi untuk mempertahankan psychologica l well-being

mereka dalam kondisi tertekan akibat berbagai tuntutan akademis dari program

akselerasi maupun akibat perubahan karakteristik perkembangan masa remaja.

Dinamika hubungan antara tipe coping stres dengan psychologica l

(56)

E. Kerangka Pikir

Gambar 1

Dinamika Psychological Well-BeingDitinjau Dari TipeCoping Stres

Copingstres mempunyai dua tipe yaitu problem focused coping dan emotion focused coping, yang keduanya mempengaruhi tinggi rendahnya

psychologica l well being.

F. Hipotesis

Hipotesis yang melandasi penelitian ini adalah ada perbedaan psychologica l

well-beingditinjau dari tipe coping stres pada siswa program akselerasi.

Coping Stres

problem focused

emotion focused

P sychologica l Well-Being

Gambar

Gambar I.Dinamika Psychological Well-Being Ditinjau Dari Tipe
Tabel 1Variabel Dummy Untuk  Skala
Tabel 4Psychological Well-Being
Tabel 5Jumlah Siswa Untuk Penelitian
+5

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Tombol ini berguna untuk memasukkan lagu ini ke dalam koleksi lagu favorit anda.. Tekan tombol ini jika ingin melihat preview videonya sebelum

Agar dapat bertahan dalam persaingan pangsa pasar yang ketat dan kondisi krisis sekarang ini perusahaan berusaha mencari cara-cara untuk menurunkan biaya produksi,

No Jenis Makanan Frekuensi Masalah yang timbul terkit dengan makanan 13. Bubur kacang hijau

Untuk menghitung harga pokok produk jadi departemen B yang ditransfer gudang dan harga pokok persediaan produk dalam proses di departemen B pada akhir bulan Januari 20X1,

Menyatakan bahwa Tesis dengan judul : "PENGARUH MODAL, HUTANG DAN EFISIENSI OPERASIONAL TERHADAP NILAI PERUSAHAAN MELALUI PROFITABILITAS PADA BANK-BANK YANG TERDAFTAR DI BURSA

Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan maka dapat dirumuskan masalah dari pengembangan ini adalah : “Bagaimana model Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Salah satu cara untuk menentukan ukuran dan jumlah plot sampel adalah dengan menggunakan Area kurve spesies, yang pada prinsipnya mengikuti prosedur sbb:..