• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Komunitas Rayap pada Tipe Penggunaan Lahan yang Berbeda sebagai Bioindikator Kualitas Lingkungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keanekaragaman Komunitas Rayap pada Tipe Penggunaan Lahan yang Berbeda sebagai Bioindikator Kualitas Lingkungan"

Copied!
176
0
0

Teks penuh

(1)

KEANEKARAGAMAN KOMUNITAS RAYAP PADA TIPE

PENGGUNAAN LAHAN YANG BERBEDA SEBAGAI

BIOINDIKATOR KUALITAS LINGKUNGAN

TEGUH PRIBADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keanekaragaman Komunitas Rayap pada Tipe Penggunaan Lahan yang Berbeda sebagai Bioindikator Kualitas Lingkungan adalah benar hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2009

Teguh Pribadi

(3)

ABSTRACT

TEGUH PRIBADI. The Diversity of Termite Community on Different Land Use Types as Bioindicator for Environmental Quality. Under direction of RIKA RAFFIUDIN and IDHAM SAKTI HARAHAP.

Termites have sensitivity on land use changes and disturbance levels. Their sensitivity can be used as bioindicator for environmental quality. However, termite response community to land use alteration and disturbance levels in plateau ecosystems remain poorly studied. This study was conducted to investigate the response of termite’s community in Slamet Mountain which was impacted by land use intensification and to explore their roles as bioindicator for environmental quality. Termite protocol standard survey was used to collect termites in different land use types with several disturbance levels i.e. protection forest, recreation forest, production forest, agroforestry and urban area. A range of environmental parameters i.e. plant diversity, physical and chemical soil properties and litter thickness were measured to explore their relationship with termite community as well. Explorations found two termite families of seven species. Termite species richness, species evenness, biodiversity, relative abundance and biomass of termite declined along land use types and disturbance gradient along protection forest to urban area. Disturbance habitat was the main factor in declining diversity of termite community whereas litter thickness was the main factor in affecting termite species existence. Termite composition changed along disturbance gradient of land use. Soil feeding group of termite showed their gradual sensitivity to disturbance and was not found in urban area. Hence, they can be used as bioindicator for environmental quality to detect disturbance habitats.

(4)

RINGKASAN

TEGUH PRIBADI. Keanekaragaman Komunitas Rayap pada Tipe Penggunaan Lahan yang Berbeda sebagai Bioindikator Kualitas Lingkungan. Dibimbing oleh RIKA RAFFIUDIN dan IDHAM SAKTI HARAHAP.

Rayap merupakan mesofauna tanah utama di kawasan tropis. Rayap berperan penting dalam dekomposisi, perputaran unsur hara dan proses di dalam tanah. Perubahan dan intensitas penggunaan lahan berperan besar terhadap kerusakan habitat dan penurunan keanekaragaman hayati. Kerusakan habitat dan penurunan keanekaragaman hayati berdampak pada kesehatan dan fungsi ekosistem. Rayap memiliki kepekaan terhadap perubahan penggunaan lahan dan tingkat kerusakan habitat sehingga dapat digunakan sebagai bioindikator. Umumnya penelitian tentang kepekaan rayap terhadap penggunaan lahan dilaksanakan di ekosistem dataran rendah, masih sedikit yang mengkaji di ekosistem dataran tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari: pengaruh penggunaan lahan terhadap komunitas rayap dan parameter lingkungan yang mempengaruhinya serta pemanfaatan rayap sebagai bioindikator.

Penelitian ini dilaksanakan di Gunung Slamet bagian Timur pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda, yaitu: hutan lindung, wana wisata, hutan produksi, agroforestri dan permukiman. Dua buah transek protokol standar untuk pengamatan rayap dilakukan pada masing-masing tipe penggunaan lahan. Pada transek ukuran 100 m x 2 m yang dibagi menjadi 20 bagian dilakukan pengkoleksian rayap secara manual. Tiap bagian dilakukan pencarian rayap pada 12 lubang tanah dengan ukuran 12 cm x 12 cm x 15 cm; tumpukan serasah dan humus di sekitar pohon besar atau akar papan; ranting, cabang, batang kayu dan tunggak pohon; tanah di bawah batang kayu yang membusuk; sarang di permukaan tanah; liang kembara pada pohon dan sarang arboreal sampai ketinggian 2 m. Rayap dipilah secara morfospesies kemudian diidentifikasi sampai tingkat spesies. Spesies rayap yang telah diidentifikasi kemudian dikelompokkan ke dalam kelompok fungsional rayap berdasarkan kebiasaan tipe makanan yang diperoleh. Kelimpahan relatif rayap dihitung berdasarkan jumlah bagian petak ditemukannya suatu spesies rayap. Biomassa rayap dihitung berdasarkan berat basah rata-rata bobot tubuh individu spesies rayap.

Pengamatan tumbuhan atas dilakukan di sepanjang transek rayap pada petak berukuran 40 m x 5 m, tumbuhan bawah diukur pada petak 0.5 m x 0.5 m sebanyak 8 contoh petak (atau 4 contoh petak 1 m x 1 m untuk petak yang berada di kawasan bukan hutan). Parameter yang dihitung adalah keanekaragaman tumbuhan bawah dan atas, luas bidang dasar, kerapatan individu pohon. Sifat tanah seperti: pH, kandungan karbon organik, nitrogen total, dan bulk density

dianalisis di dua titik di sepanjang bidang transek. Ketebalan serasah dan laju dekomposisi dihitung pada 5 titik di sepanjang bidang transek. Ordinasi

Redudancy Analysis (RDA) dan Canonical Correspondence Analysis (CCA) digunakan untuk mengeksplorasi hubungan antara parameter lingkungan dengan komunitas rayap.

Jumlah spesies rayap yang ditemukan di Gunung Slamet bagian Timur sebanyak tujuh spesies, yang terdiri dari dua famili dan empat subfamili.

(5)

Famili Rhinotermitidae yang terkoleksi. Enam spesies rayap lainnya adalah spesies rayap dari Famili Termitidae yang dikelompokan dalam tiga subfamili. Subfamili Termitinae terdiri dari spesies Procapritermes setiger Haviland dan

Pericapritermes semarangi Holmgren, Subfamili Macrotermitinae terdiri dari spesies Macrotermes gilvus Hagen dan Microtermes insperatus Kemner dan Subfamili Nasutitermitinae terdiri dari spesies Nasutitermes javanicus Holmgren dan N. matangensis Haviland. Kelompok rayap pemakan tanah terdiri dari

Procapritermes setiger Haviland dan Pericapritermes semarangi Holmgren, sedangkan lima spesies rayap yang lain dikelompokan ke dalam kelompok rayap pemakan kayu.

Nasutitermes javanicus dan Schedorhinotermes javanicus ditemukan di seluruh lokasi pengambilan sampel. Sedangkan spesies rayap yang hanya ditemukan pada satu lokasi adalah Macrotermes gilvus dan N. matangensis. Kelimpahan relatif rayap tertinggi diperoleh di hutan lindung sebanyak 39

encounter dan terendah di permukiman sebanyak 10 encounter. Biomassa rayap di lokasi hutan lindung, wana wisata, hutan produksi, agroforestri dan permukiman berturut-turut: 1.33, 0.31, 0.81, 0.49, dan 0.34 gr/m2. Di permukiman tidak ditemukan spesies rayap pemakan tanah sedangkan spesies rayap pemakan tanah terbanyak diperoleh di hutan lindung dan hutan produksi.

Berdasarkan analisis ordinasi RDA, keanekaragaman komunitas rayap menunjukan penurunan dengan meningkatnya tingkat gangguan habitat (λ = 0.38, p = 0.038, F = 4.84). Namun, tipe penggunaan lahan tidak berpengaruh nyata terhadap keanakeragaman komunitas rayap (λ = 0.00, p = 0.965, F = 0.07). Parameter lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan spesies rayap berdasarkan ordinasi CCA adalah ketebalan serasah (λ = 0.30, p = 0.030, F = 4.34). Parameter yang lain dinyata pengaruhnya seperti bulk density (λ = 0.20, p = 0.160, F = 1.73), keanekaragaman tumbuhan atas (λ = 0.18, p = 0.225, F = 1.33), pH (λ = 0.14, p = 0.290, F = 1.25), luas bidang dasar (λ = 0.13, p = 0.130, F = 3.27), laju dekomposisi (λ = 0.07, p = 0.495, F = 0.94), nitrogen total (λ = 0.06, p = 1.000, F = 0.00), dan kandungan karbon organik (λ = 0.02, p = 0.765, F = 0.40), serta keanekaragaman tumbuhan bawah (λ = 0.00, p = 1.000, F = 0.00).

Penurunan keanekaragaman komunitas rayap dipengaruhi oleh perubahan kondisi habitat. Habitat yang terganggu cenderung menunjukkan jumlah pohon yang lebih sedikit sehingga penutupan tajuk menjadi lebih terbuka. Pembukaan penutupan tajuk berdampak pada perubahan iklim mikro sehingga mengurangi aktivitas dan daerah jelajah rayap. Kerusakan habitat juga menurunkan jumlah serasah yang mempengaruhi penyusutan mikrohabitat rayap sehingga mengurangi aktivitas rayap untuk bersarang dan mencari makanan. Peningkatan tingkat gangguan habitat menyebabkan peningkatan bulk density yang berdampak pada penyempitan daerah jelajah rayap.

Komposisi antara kelompok rayap pemakan tanah dengan rayap pemakan kayu mengalami perubahan sesuai dengan tingkat gangguan habitatnya. Berdasarkan hal ini, kelompok rayap pemakan tanah dapat digunakan sebagai bioindikator. Kelompok rayap pemakan tanah memiliki kepekaan terhadap tingkat ganggguan habitat.

(6)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

KEANEKARAGAMAN KOMUNITAS RAYAP PADA TIPE

PENGGUNAAN LAHAN YANG BERBEDA SEBAGAI

BIOINDIKATOR KUALITAS LINGKUNGAN

TEGUH PRIBADI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Tesis : Keanekaragaman Komunitas Rayap pada Tipe Penggunaan Lahan yang Berbeda sebagai Bioindikator Kualitas Lingkungan

Nama : Teguh Pribadi

NIM : G351060391

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rika Raffiudin, M.Si. Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, M.Si. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Juni sampai Oktober 2008 ini ialah komunitas rayap, dengan judul Keanekaragaman Komunitas Rayap pada Tipe Penggunaan Lahan yang Berbeda sebagai Bioindikator Kualitas Lingkungan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Rika Raffiudin, M. Si. dan

Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, M. Si. selaku komisi pembimbing serta Dr. Ir. Ibnul Qoyyim yang telah memberi saran untuk perbaikan isi tesis. Asper

Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Gunung Slamet Timur, Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Serang dan Warga Desa Serang yang telah memberikan izin dan memberikan bantuan teknis selama penelitian dilaksanakan. Di samping itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ahmad Rizali, S. P., M. Si.; Rosniati A. Risna, S. Si., M. Si.; dan Ir. Samin Botanri, M. P. yang telah memberikan saran untuk perbaikan penulisan tesis serta semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan untuk Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang telah memberikan bantuan dana penelitian melalui program beasiswa Peneliti, Pencipta, Penulis, Seniman, Olahragawan dan Tokoh (P3SWOT). Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, ayah, istri, dan anakku yang tercinta serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2009

(11)

KEANEKARAGAMAN KOMUNITAS RAYAP PADA TIPE

PENGGUNAAN LAHAN YANG BERBEDA SEBAGAI

BIOINDIKATOR KUALITAS LINGKUNGAN

TEGUH PRIBADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keanekaragaman Komunitas Rayap pada Tipe Penggunaan Lahan yang Berbeda sebagai Bioindikator Kualitas Lingkungan adalah benar hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2009

Teguh Pribadi

(13)

ABSTRACT

TEGUH PRIBADI. The Diversity of Termite Community on Different Land Use Types as Bioindicator for Environmental Quality. Under direction of RIKA RAFFIUDIN and IDHAM SAKTI HARAHAP.

Termites have sensitivity on land use changes and disturbance levels. Their sensitivity can be used as bioindicator for environmental quality. However, termite response community to land use alteration and disturbance levels in plateau ecosystems remain poorly studied. This study was conducted to investigate the response of termite’s community in Slamet Mountain which was impacted by land use intensification and to explore their roles as bioindicator for environmental quality. Termite protocol standard survey was used to collect termites in different land use types with several disturbance levels i.e. protection forest, recreation forest, production forest, agroforestry and urban area. A range of environmental parameters i.e. plant diversity, physical and chemical soil properties and litter thickness were measured to explore their relationship with termite community as well. Explorations found two termite families of seven species. Termite species richness, species evenness, biodiversity, relative abundance and biomass of termite declined along land use types and disturbance gradient along protection forest to urban area. Disturbance habitat was the main factor in declining diversity of termite community whereas litter thickness was the main factor in affecting termite species existence. Termite composition changed along disturbance gradient of land use. Soil feeding group of termite showed their gradual sensitivity to disturbance and was not found in urban area. Hence, they can be used as bioindicator for environmental quality to detect disturbance habitats.

(14)

RINGKASAN

TEGUH PRIBADI. Keanekaragaman Komunitas Rayap pada Tipe Penggunaan Lahan yang Berbeda sebagai Bioindikator Kualitas Lingkungan. Dibimbing oleh RIKA RAFFIUDIN dan IDHAM SAKTI HARAHAP.

Rayap merupakan mesofauna tanah utama di kawasan tropis. Rayap berperan penting dalam dekomposisi, perputaran unsur hara dan proses di dalam tanah. Perubahan dan intensitas penggunaan lahan berperan besar terhadap kerusakan habitat dan penurunan keanekaragaman hayati. Kerusakan habitat dan penurunan keanekaragaman hayati berdampak pada kesehatan dan fungsi ekosistem. Rayap memiliki kepekaan terhadap perubahan penggunaan lahan dan tingkat kerusakan habitat sehingga dapat digunakan sebagai bioindikator. Umumnya penelitian tentang kepekaan rayap terhadap penggunaan lahan dilaksanakan di ekosistem dataran rendah, masih sedikit yang mengkaji di ekosistem dataran tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari: pengaruh penggunaan lahan terhadap komunitas rayap dan parameter lingkungan yang mempengaruhinya serta pemanfaatan rayap sebagai bioindikator.

Penelitian ini dilaksanakan di Gunung Slamet bagian Timur pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda, yaitu: hutan lindung, wana wisata, hutan produksi, agroforestri dan permukiman. Dua buah transek protokol standar untuk pengamatan rayap dilakukan pada masing-masing tipe penggunaan lahan. Pada transek ukuran 100 m x 2 m yang dibagi menjadi 20 bagian dilakukan pengkoleksian rayap secara manual. Tiap bagian dilakukan pencarian rayap pada 12 lubang tanah dengan ukuran 12 cm x 12 cm x 15 cm; tumpukan serasah dan humus di sekitar pohon besar atau akar papan; ranting, cabang, batang kayu dan tunggak pohon; tanah di bawah batang kayu yang membusuk; sarang di permukaan tanah; liang kembara pada pohon dan sarang arboreal sampai ketinggian 2 m. Rayap dipilah secara morfospesies kemudian diidentifikasi sampai tingkat spesies. Spesies rayap yang telah diidentifikasi kemudian dikelompokkan ke dalam kelompok fungsional rayap berdasarkan kebiasaan tipe makanan yang diperoleh. Kelimpahan relatif rayap dihitung berdasarkan jumlah bagian petak ditemukannya suatu spesies rayap. Biomassa rayap dihitung berdasarkan berat basah rata-rata bobot tubuh individu spesies rayap.

Pengamatan tumbuhan atas dilakukan di sepanjang transek rayap pada petak berukuran 40 m x 5 m, tumbuhan bawah diukur pada petak 0.5 m x 0.5 m sebanyak 8 contoh petak (atau 4 contoh petak 1 m x 1 m untuk petak yang berada di kawasan bukan hutan). Parameter yang dihitung adalah keanekaragaman tumbuhan bawah dan atas, luas bidang dasar, kerapatan individu pohon. Sifat tanah seperti: pH, kandungan karbon organik, nitrogen total, dan bulk density

dianalisis di dua titik di sepanjang bidang transek. Ketebalan serasah dan laju dekomposisi dihitung pada 5 titik di sepanjang bidang transek. Ordinasi

Redudancy Analysis (RDA) dan Canonical Correspondence Analysis (CCA) digunakan untuk mengeksplorasi hubungan antara parameter lingkungan dengan komunitas rayap.

Jumlah spesies rayap yang ditemukan di Gunung Slamet bagian Timur sebanyak tujuh spesies, yang terdiri dari dua famili dan empat subfamili.

(15)

Famili Rhinotermitidae yang terkoleksi. Enam spesies rayap lainnya adalah spesies rayap dari Famili Termitidae yang dikelompokan dalam tiga subfamili. Subfamili Termitinae terdiri dari spesies Procapritermes setiger Haviland dan

Pericapritermes semarangi Holmgren, Subfamili Macrotermitinae terdiri dari spesies Macrotermes gilvus Hagen dan Microtermes insperatus Kemner dan Subfamili Nasutitermitinae terdiri dari spesies Nasutitermes javanicus Holmgren dan N. matangensis Haviland. Kelompok rayap pemakan tanah terdiri dari

Procapritermes setiger Haviland dan Pericapritermes semarangi Holmgren, sedangkan lima spesies rayap yang lain dikelompokan ke dalam kelompok rayap pemakan kayu.

Nasutitermes javanicus dan Schedorhinotermes javanicus ditemukan di seluruh lokasi pengambilan sampel. Sedangkan spesies rayap yang hanya ditemukan pada satu lokasi adalah Macrotermes gilvus dan N. matangensis. Kelimpahan relatif rayap tertinggi diperoleh di hutan lindung sebanyak 39

encounter dan terendah di permukiman sebanyak 10 encounter. Biomassa rayap di lokasi hutan lindung, wana wisata, hutan produksi, agroforestri dan permukiman berturut-turut: 1.33, 0.31, 0.81, 0.49, dan 0.34 gr/m2. Di permukiman tidak ditemukan spesies rayap pemakan tanah sedangkan spesies rayap pemakan tanah terbanyak diperoleh di hutan lindung dan hutan produksi.

Berdasarkan analisis ordinasi RDA, keanekaragaman komunitas rayap menunjukan penurunan dengan meningkatnya tingkat gangguan habitat (λ = 0.38, p = 0.038, F = 4.84). Namun, tipe penggunaan lahan tidak berpengaruh nyata terhadap keanakeragaman komunitas rayap (λ = 0.00, p = 0.965, F = 0.07). Parameter lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan spesies rayap berdasarkan ordinasi CCA adalah ketebalan serasah (λ = 0.30, p = 0.030, F = 4.34). Parameter yang lain dinyata pengaruhnya seperti bulk density (λ = 0.20, p = 0.160, F = 1.73), keanekaragaman tumbuhan atas (λ = 0.18, p = 0.225, F = 1.33), pH (λ = 0.14, p = 0.290, F = 1.25), luas bidang dasar (λ = 0.13, p = 0.130, F = 3.27), laju dekomposisi (λ = 0.07, p = 0.495, F = 0.94), nitrogen total (λ = 0.06, p = 1.000, F = 0.00), dan kandungan karbon organik (λ = 0.02, p = 0.765, F = 0.40), serta keanekaragaman tumbuhan bawah (λ = 0.00, p = 1.000, F = 0.00).

Penurunan keanekaragaman komunitas rayap dipengaruhi oleh perubahan kondisi habitat. Habitat yang terganggu cenderung menunjukkan jumlah pohon yang lebih sedikit sehingga penutupan tajuk menjadi lebih terbuka. Pembukaan penutupan tajuk berdampak pada perubahan iklim mikro sehingga mengurangi aktivitas dan daerah jelajah rayap. Kerusakan habitat juga menurunkan jumlah serasah yang mempengaruhi penyusutan mikrohabitat rayap sehingga mengurangi aktivitas rayap untuk bersarang dan mencari makanan. Peningkatan tingkat gangguan habitat menyebabkan peningkatan bulk density yang berdampak pada penyempitan daerah jelajah rayap.

Komposisi antara kelompok rayap pemakan tanah dengan rayap pemakan kayu mengalami perubahan sesuai dengan tingkat gangguan habitatnya. Berdasarkan hal ini, kelompok rayap pemakan tanah dapat digunakan sebagai bioindikator. Kelompok rayap pemakan tanah memiliki kepekaan terhadap tingkat ganggguan habitat.

(16)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(17)

KEANEKARAGAMAN KOMUNITAS RAYAP PADA TIPE

PENGGUNAAN LAHAN YANG BERBEDA SEBAGAI

BIOINDIKATOR KUALITAS LINGKUNGAN

TEGUH PRIBADI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(18)

Judul Tesis : Keanekaragaman Komunitas Rayap pada Tipe Penggunaan Lahan yang Berbeda sebagai Bioindikator Kualitas Lingkungan

Nama : Teguh Pribadi

NIM : G351060391

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rika Raffiudin, M.Si. Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, M.Si. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(19)
(20)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Juni sampai Oktober 2008 ini ialah komunitas rayap, dengan judul Keanekaragaman Komunitas Rayap pada Tipe Penggunaan Lahan yang Berbeda sebagai Bioindikator Kualitas Lingkungan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Rika Raffiudin, M. Si. dan

Dr. Ir. Idham Sakti Harahap, M. Si. selaku komisi pembimbing serta Dr. Ir. Ibnul Qoyyim yang telah memberi saran untuk perbaikan isi tesis. Asper

Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Gunung Slamet Timur, Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Serang dan Warga Desa Serang yang telah memberikan izin dan memberikan bantuan teknis selama penelitian dilaksanakan. Di samping itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ahmad Rizali, S. P., M. Si.; Rosniati A. Risna, S. Si., M. Si.; dan Ir. Samin Botanri, M. P. yang telah memberikan saran untuk perbaikan penulisan tesis serta semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan untuk Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang telah memberikan bantuan dana penelitian melalui program beasiswa Peneliti, Pencipta, Penulis, Seniman, Olahragawan dan Tokoh (P3SWOT). Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, ayah, istri, dan anakku yang tercinta serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2009

(21)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Purbalingga pada tanggal 27 Desember 1980 dari ayah Supardi dan ibu Suliyah. Penulis merupakan putra kedua dari dua bersaudara. Saat ini penulis telah menikah dengan Ika Wahyuni, S. Pd. dan memiliki seorang putra yang bernama Naufal ‘izza Labib Abhista.

Tahun 1999 penulis lulus dari SMK Negeri 2 Purwokerto. Tahun 2000, penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat, lulus pada tahun 2004. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke program magister diperoleh pada tahun 2006 di Departemen Biologi pada Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional.

(22)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR ... xii DAFTAR LAMPIRAN... xiv PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan ... 3 Manfaat ... 3 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Bioekologi Rayap ... 4 Dasar dan Konsep Bioindikator... 8 Ekosistem yang Sehat ... 12 METODE PENELITIAN... 14

Waktu dan Tempat... 14 Alat dan Bahan ... 15 Cara Kerja... 15 Analisis Data ... 20 HASIL ... ... 22 Komunitas Rayap ... 22 Parameter Lingkungan... 26 Hubungan antara Komunitas Rayap dengan Parameter Lingkungan .. 30 PEMBAHASAN ... 34

Kekayaan Spesies Rayap ... 34 Komposisi dan Kepadatan Rayap... 36 Distribusi dan Preferensi Habitat Rayap ... 38 Tingkat Gangguan Habitat... 39 Pengaruh Tipe Penggunaan Lahan dan Tingkat Gangguan Habitat.... 40 Paremeter Lingkungan... 43 Komunitas Rayap sebagai Bioindikator ... 48 SIMPULAN DAN SARAN ... 50

Simpulan ... 50 Saran ... 51 DAFTAR PUSTAKA ... 52 LAMPIRAN... 58

(23)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Karakteristik lokasi pengambilan sampel ... 16 2 Kelimpahan relatif spesies rayap pada lima tipe penggunaan lahan yang

berbeda di Gunung Slamet bagian Timur ... 25 3 Lima famili dan spesies tumbuhan bawah yang mendominasi pada lima

tipe penggunaan lahan yang berbeda di Gunung Slamet bagian Timur.. 27 4 Struktur dan komposisi vegetasi pada lima tipe penggunaan lahan yang

berbeda di Gunung Slamet bagian Timur ... 29 5 Rataan dan standar deviasi beberapa sifat kimia dan fisika tanah pada

lima tipe penggunaan lahan yang berbeda di Gunung Slamet bagian

Timur.. ... 29 6 Rataan dan standar deviasi ketebalan serasah, dekomposisi relatif,

dan laju dekompoisisi pada lima tipe penggunaan lahan yang

berbeda di Gunung Slamet bagian Timur ... 29 7 Parameter yang digunakan sebagai indikator tingkat gangguan habitat . 30 8 Ringkasan hasil ordinasi RDA pengaruh parameter lingkungan terhadap

struktur dan komunitas rayap pada lima tipe penggunaan lahan

yang berbeda di Gunung Slamet bagian Timur... 31 9 Ringkasan hasil ordinasi CCA dari parameter lingkungan yang

mempengaruhi keberadaan spesies rayap pada lima tipe penggunaan

(24)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Morfologi kasta rayap Schedorhinotermes javanicus Kemner:

(a) pekerja, (b) parajurit, (c) reproduktif... 4

2 Skema perkembangan rayap ... 6

3 Tingkat respons sistem biotik terhadap stress terkait dengan ukuran dan

Kompleksitas sistem yang mengalami tekanan... 11

4 Peta lokasi penelitian ... 14

5 Bentuk transek pengamatan rayap dan penempatan petak pengamatan

tumbuhan... 17

6 Prajurit spesies S. Javanicus Kemner: (a) parajurit minor tampak dorsal, (b) prajurit minor tampak lateral, (c) prajurit mayor tampak dorsal, dan

(d) prajurit mayor tampak lateral ... 22

7 Prajurit spesies Procapritermes setiger Haviland: (a) tampak dorsal,

dan (b) tampak lateral... 23

8 Prajurit spesies Pericapritermes semarangi Holmgren: (a) tampak

Dorsal dan (b) tampak lateral... 23

9 Prajurit spesies M. gilvus Hagen: (a) prajurit minor tampak dorsal, (b) prajurit minor tampak lateral, dan (c) prajurit mayor tampak

tampak dorsall ... 23

10 Prajurit spesies Microtermes insperatus Kemner: (a) tampak dorsal,

dan (b) tampak lateral... 24

11 Prajurit spesies N. javanicus Holmgren: (a) tampak dorsal, dan

(b) tampak lateral ... 24

12 Prajurit spesies N. matangensis Haviland: (a) tampak dorsal, dan

(b) tampak lateral ... 24

13 Biomassa rayap pada masing-masing tipe penggunaan lahan yang

Berbeda di Gunung Slamet bagian Timur... 26

14 Perbandingan antara kelompok rayap pemakan kayu ( ) dengan pemakan tanah ( ) pada lima tipe penggunaan lahan yang

berbeda di Gunung Slamet bagian Timur ... 26

(25)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

15 Ordinasi RDA antara tingkat gangguan habitat (TK), tipe penggunaan lahan (PL) dengan kemerataan spesies (E), biomassa (BM),

kelimpahan relatif (KR), dan keanekaragaman spesies (H), serta kekayaan spesies (S) pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda

di Gunung Slamet bagian Timur ... 31

16 Ordinasi CCA parameter lingkungan ( ) dengan spesies rayap (Δ) pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda di Gunung Slamet

(26)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan

bawah yang terdapat di hutan lindung ... 58 2 Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan

bawah yang terdapat di wana wisata... 60 3 Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan

bawah yang terdapat di hutan produksi... 61 4 Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan

bawah yang terdapat di agroforestri... 62 5 Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan

bawah yang terdapat di permukiman ... 64 6 Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan

atas yang terdapat di hutan lindung... 65 7 Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan

atas yang terdapat di wana wisata ... 65 8 Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan

atas yang terdapat di hutan produksi... 66 9 Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan

atas yang terdapat di agroforestri ... 66 10 Frekuensi relatif, kerapatan relatif, indeks nilai penting tumbuhan

atas yang terdapat di permukiman... 67

(27)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penggunaan lahan yang dilakukan oleh manusia merupakan penyebab utama perubahan ekologis suatu ekosistem. Perubahan dan intensitas penggunaan lahan berperan besar terhadap kerusakan habitat dan penurunan keanekaragaman hayati. Kerusakan habitat dan penurunan keanekaragaman hayati berdampak pada kesehatan dan fungsi ekosistem. Oleh karena itu, diperlukan suatu mekanisme deteksi dini yang dengan cepat dapat mengetahui perubahan kondisi ekosistem. Deteksi dini ini dapat dilakukan menggunakan suatu organisme yang ada di suatu ekosistem atau habitat yang memberikan respons terhadap perubahan tersebut.

Suatu organisme yang dapat memberikan respons (Weissman et al. 2006), indikasi (Elliot 1997), peringatan dini (Jones & Eggleton 2000), atau representasi (Hilty & Merylender 2000; Vanclay 2004), serta refleksi (Vogt et al. 1997; Didden 2003; Vanclay 2004), dan informasi (McGeoch 1998) dari kondisi dan atau perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem disebut bioindikator. Bioindikator merupakan salah satu komponen penting dalam pengelolaan ekosistem. Dasar pemikiran akan adanya suatu organisme indikatif adalah adanya hubungan yang erat antara suatu organisme dengan parameter biotik dan abiotik dari suatu ekosistem (McGeoch et al. 2002). Suatu organisme akan berkembang secara optimal pada kondisi lingkungan yang ideal. Komponen ekosistem yang tidak normal berdampak pada perubahan mekanisme kerja pada suatu organisme.

(28)

Pembukaan kawasan hutan pada umumnya mengakibatkan penurunan kelimpahan, biomassa dan kekayaan spesies rayap secara cepat (Eggleton & Bignel 1995; Eggleton et al. 1995; 1996). Kekayaan spesies rayap pada suatu ekosistem berkorelasi negatif dengan tingkat gangguan yang terjadi pada ekosistem tersebut (Eggleton et al. 1995; 2002). Penelitian Jones et al. (2003) dan Gillison et al. (2003) menemukan sekitar 34 spesies rayap pada hutan primer dan menurun sampai hanya ada satu spesies rayap di pertanaman tipe monokultur. Beberapa penelitian juga menunjukan fenomena yang sama dimana kekayaan spesies rayap pada kawasan yang relatif belum terganggu lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan lain yang sudah terganggu (Eggleton et al. 1995; 1996; 1999; Jones & Prasetyo 2002; Gillison et al. 2003)

Komposisi spesies rayap mengalami perubahan ketika suatu ekosistem yang kompleks menjadi lebih sederhana (Bignell & Eggleton. 2000). Pada hutan yang telah mengalami pembukaan, dominasi rayap pemakan tanah digantikan oleh keberadaan rayap pemakan kayu (Bignel & Eggleton 2000; Jones et al. 2003). Rayap pemakan kayu cenderung meningkat jumlahnya sedangkan komposisi spesies rayap pemakan tanah menurun dengan drastis (Eggleton et al. 2002). Kelimpahan relatif dari rayap pemakan kayu juga cenderung lebih tinggi dibandingkan rayap pemakan tanah (Jones & Prasetyo 2002; Jones et al. 2003).

Purbalingga merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Tengah yang berada di kaki Gunung Slamet. Lereng bagian timur Gunung Slamet merupakan salah satu kawasan di Purbalingga dengan variasi penggunaan lahan yang tinggi. Di kawasan ini terdapat hutan lindung, hutan produksi terbatas, loka wisata Gua Lawa, Wana Wisata Serang, dan sentra pertanian hortikultura serta kawasan permukiman.

Seiring dengan meningkatnya kebutuhan untuk lahan pertanian dan permukiman serta akses negatif dari kegiatan pertanian dan pariwisata menjadikan kawasan ini sebagai salah satu kawasan dengan laju perubahan penggunaan lahan yang tertinggi di Purbalingga. Perubahan penggunaan lahan yang masif akan berdampak pada perubahan parameter ekologi seperti penurunan keanekaragaman hayati, penurunan keseimbangan hara tanah, peningkatan pencemaran lingkungan,

(29)

dan peningkatan erosi. Lingkungan yang terganggu merupakan indikasi dari ketidaksehatan suatu ekosistem.

Rayap merupakan mesofauna tanah utama di kawasan tropis (Lee & Wood 1971, Bignel & Egglenton 2000). Perubahan penggunaan lahan akan memberikan dampak pada rayap. Berdasarkan pemikiran ini perlu dikaji respons rayap terhadap perbedaan penggunaan lahan dan tingkat indikasi sebagai bioindikator kualitas lingkungan.

B. Tujuan

1. Mempelajari pengaruh tipe penggunaan lahan yang berbeda terhadap komunitas rayap di Gunung Slamet bagian Timur.

2. Mempelajari hubungan antara parameter lingkungan dan tingkat gangguan habitat terhadap komunitas rayap di Gunung Slamet bagian Timur.

3. Mempelajari pemanfaatan komunitas rayap sebagai bioindikator kualitas lingkungan di Gunung Slamet bagian Timur.

C. Manfaat

(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Bioekologi Rayap

Rayap merupakan serangga sosial (Lee & Wood 1971; Wilson 1971; Gullan & Cranston 1999; Speight et al. 1999; Elzinga 2004; Triplehorn & Johnson 2005) pemakan selulosa (Gullan & Cranston 1999; Speight et al. 1999; Triplehorn & Johnson 2005) dan tinggal di dalam sarang atau termitarium yang dibangun sendiri (Lee & Wood 1971). Serangga ini memiliki ukuran tubuh yang relatif kecil (Triplehorn & Johnson 2005) seringkali pada kasta reproduktif bersayap atau alates ukuran panjang tubuh tidak lebih dari 20 mm (Gullan & Cranston 1999), kecuali kasta reproduktif primer yang mengalami physogastry atau pembesaran pada bagian abdomen sehingga dapat mencapai ukuran panjang 8 cm (Gullan & Cranston 1999; Triplehorn & Johnson 2005). Rayap merupakan serangga sosial dengan sistem kasta polimorfik (Lee & Wood 1971; Gullan & Cranston 1999; Roisin 2000). Morfologi kasta-kasta rayap dapat dilihat pada Gambar 1.

a b

[image:30.595.160.460.416.659.2]

c

(31)

Rayap secara taksonomi dikelompokkan ke dalam ordo Isoptera (iso = sama dan ptera = sayap). Rayap memiliki tubuh yang lunak dan berwarna terang (Triplehorn & Johnson 2005). Ordo Isoptera dicirikan dengan kepala yang prognatik (prognathous head, yaitu posisi alat mulut searah dengan arah bidang tubuh atau mengarah ke depan) (Elzinga 2004). Memiliki mata majemuk dan umumnya mengalami pereduksian sebagai pola adaptasi terhadap kebiasaan hidup di habitat yang gelap (Gullan & Cranston 1999). Antena berbentuk manik-manik (moniliform) (Elzinga 2004) panjang, multisegmen dari 11 sampai dengan 31 segmen (Gullan & Cranston 1999; Donovan et al. 2000; Kambhampati & Eggleton 2000). Alat mulut bertipe menggigit-mengunyah (mandibulata) yang berkembang sesuai dengan tipe kastanya; prajurit memiliki bentuk mandibula besar atau memiliki nasuti (Gullan & Cranston 1999). Tarsi terdiri dari tiga sampai dengan lima segmen. Cerci pendek terbagi dalam satu sampai lima segmen (Gullan & Cranston 1999; Donovan et al. 2000; Kambhampati & Eggleton 2000). Sayap hanya dimiliki oleh kasta reproduktif yang terdiri dari dua pasang sayap tipe membran dengan venasi yang rumit serta memiliki ukuran dan bentuk yang sama, kecuali pada Mastotermes dengan venasi sayap yang lebih rumit (Gullan & Cranston 1999). Rayap mengalami metamorfosis paurometabola (Wilson 1971; Triplehorn & Johnson 2005).

Rayap kasta reproduktif (fertil) terdiri dari sepasang kasta reproduktif primer dan beberapa anggota kasta reproduktif sekunder/alates. Selain itu sering kali muncul pula kasta reproduktif suplementer/neoten, yang muncul ketika koloni mengalami fragmentasi. Kasta reproduktif yang terdiri dari sepasang ratu dan raja yang bertugas untuk menghasilkan telur (Triplehorn & Johnson 2005).

(32)

(Lee & Wood 1971; Higashi et al. 2000). Rayap kasta prajurit memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan pekerja, namun memiliki ukuran tubuh yang lebih besar, berwarna lebih gelap, tubuh mengalami elongasi dan kepala tersklerotisasi dengan tipe alat mulut blattoid atau mandibulata (Lee & Wood 1971; Wilson 1971; Triplehorn & Johnson 2005). Pada rayap kasta prajurit untuk beberapa spesies mengalami polimorfik, yaitu prajurit mayor dan minor (Gullan & Cranston 1999; Triplehorn & Johnson 2005).

[image:32.595.185.428.435.694.2]

Koloni rayap dibentuk pertama kali dari sepasang alates (laron) yang muncul ketika sedang musim kawin. Setelah itu mereka berkopulasi menjadi ratu dan raja dan menghasilkan telur. Telur berkembang menjadi larva kemudian berkembang menjadi kasta pekerja yang mendominasi koloni dan sebagian menjadi kasta prajurit. Larva yang lain berkembang menjadi nimfa yang akan berkembang menjadi laron. Pembentukan kasta rayap pada rayap tingkat rendah dipengaruhi oleh pemberian hormon foremon dasar (primer pheromone) oleh kasta reproduktif primer, sedangkan pada rayap tingkat tinggi pembentukan kasta rayap dimulai sejak awal atau instar pertama. (Gambar 2).

Gambar 2 Skema perkembangan rayap (Abe & Higashi 2000)

(33)

Karakteristik perilaku rayap sebagai serangga sosial antara lain trophallaxis (memberi makan anggota kasta lain), grooming (saling menjilat), tigmotaksis (bergerombol dan berdesak-desakan), koprofagi (memakan bangkai anggota koloni) dan kanibalisme. Salah satu sifat yang khas dari rayap jika dibandingkan dengan serangga sosial lainnya adalah kriptobiotik (menjauhi cahaya) kecuali kasta reproduktif pada waktu swarming (penerbangan untuk mencari pasangan sebelum melakukan kopulasi) (Lee & Wood 1971; Wilson 1971).

Kemampuan rayap mendegradasi selulosa karena terdapat simbion di dalam rektum rayap. Mikroorganisme yang lazim terdapat di dalam rektum rayap adalah Archaaea, Eubacteria, dan Eucarya seperti Protozoa dan Fungi (Bignel 2000). Rayap tingkat rendah (lower termite) banyak ditemukan protozoa simbion di rektum sedangkan pada rayap tingkat tinggi (higher termite) peran protozoa digantikan oleh bakteri (Lee & Wood 1971).

Jumlah spesies rayap di dunia ada sekitar 2,648 spesies yang digolongkan ke dalam tujuh famili dan 281 genus. Famili Termitidae merupakan famili dengan jumlah anggota spesies yang tertinggi. Delapan puluh lima persen total spesies rayap yang telah diidentifikasi merupakan anggota Famili Termitidae (Kambhampati & Eggleton 2000). Sedangkan, Famili Mastotermitidae dan Famili Serritermitidae hanya memiliki satu anggota spesies rayap. Famili rayap yang lain adalah Famili Kalotermitidae, Termopsidae, Hodotermitidae dan Rhinotermitidae yang masing-masing famili berturut-turut terdiri dari 411, 20, 15, dan 305 spesies rayap (Kambhampati & Eggleton 2000).

(34)

Jawa sebanyak 30 spesies (Gathorne-Hardy et al. 2000), sedangkan menurut Tho (1992) terdapat 54 spesies rayap.

Rayap juga dikelompokkan dalam berbagai karakteristik seperti: (1) Rayap dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan habitat yaitu: rayap kayu kering atau dry wood termite (rayap yang bersarang dan beraktivitas di dalam kayu yang kering) dan rayap tanah atau subterranean termite (rayap yang bersarang dan beraktivitas di dalam tanah) (Su & Scheffrahn 2000; Triplehorn & Johnson 2005) serta rayap kayu lembab atau damp wood termite (rayap yang bersarang dan beraktivitas di dalam kayu yang sudah lapuk atau lembab) (Tarumingkeng 1971); (2) Rayap dikelompokkan menjadi enam kelompok berdasarkan tipe makanan (feeding groups) yang terdiri dari: soil feeder (pemakan mineral tanah yang berasal dari bahan berselulosa yang telah lapuk), soil/wood interface-feeders (pemakan kayu yang lapuk), wood feeders (pemakan kayu), litter-foragers (rayap menjelajahi serasah atau kayu kecil dan membawa ke sarang secara temporer), grass-feeders (pemakan rumput, terutama rumput atau batang tumbuhan bawah) dan minor feeding groups (kelompok kecil rayap yang terdiri dari pemakan jamur, alga ataupun lumut kering, pemakan tinja dan rayap yang mencari makan dari sarang spesies rayap lain); (3) Rayap dikelompokkan menjadi empat kelompok berdasarkan struktur (letak) sarang, yaitu: wood nesting (bersarang di dalam kayu), hypogeal nesting (bersarang di dalam tanah), epigeal mounds (sarang berada di permukaan tanah) dan arboreal mounds (sarang berada di pohon) (Biggnel & Eggleton 2000).

B. Dasar dan Konsep Bioindikator

Bioindikator adalah organisme (atau bagian dari suatu organisme ataupun suatu komunitas organisme) yang dapat memberikan informasi tentang kualitas suatu kondisi lingkungan atau sebagian dari organ lingkungan (Mhatre & Pankhurst 1997; Kettrup 2003) yang digunakan untuk menjelaskan pengaruh perubahan lingkungan pada skala ruang dan waktu (Markert et al. 2003) ataupun kondisi lingkungan sehingga sering diacu sebagai indikasi tekanan lingkungan yang bersifat antropogenik (Franzle 2003). Lebih lanjut, bioindikator didefinisikan sebagai spesies atau kelompok spesies yang secara cepat dapat menggambarkan kondisi lingkungan baik abiotik maupun biotik atau

(35)

menggambarkan dampak perubahan lingkungan dari sebuah habitat, komunitas atau ekosistem atau mengindikasikan keragaman dari kelompok takson, atau keragaman secara keseluruhan di dalam suatu kawasan (McGeoch 1998).

Bioindikator adalah organisme yang menunjukan sensitivitas atau toleransi terhadap kondisi lingkungan sehingga memungkinkan untuk digunakan sebagai alat penilai kondisi lingkungan. Spesies indikator adalah spesies yang memiliki amplitudo terhadap satu atau beberapa pengaruh faktor lingkungan yang sempit (McGeoch 1998).

Bioindikator dalam penerapan di lapangan dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu:

1. Indikator lingkungan adalah spesies atau kelompok spesies yang tanggap terhadap kondisi lingkungan yang rusak atau perubahan kondisi lingkungan. Organisme ini dapat digunakan untuk menduga dan memantau perubahan kondisi lingkungan. Indikator lingkungan dibagi lagi menjadi lima yaitu sentinels (organisme peka yang dapat diaplikasikan di lapangan sebagai alat peringat dini), detektor (spesies yang secara alamiah terkait dan menunjukan respons biologis terukur terhadap perubahan lingkungan), eksploiter (kehadiran spesies ini memberikan informasi tentang kemungkinan adanya pencemaran dan gangguan pada lingkungan), akumulator (organisme yang mampu menyerap dan mengakumulasi bahan kimia di dalam tubuh sehingga memberikan informasi tentang tingkat pencemaran yang memapar), dan bioassay organisms (organisme yang digunakan sebagai reagen untuk mendeteksi pencemaran atau toksisitas di lingkungan).

2. Indikator ekologis yaitu karakteristik takson atau kelompok yang sensitif untuk mengidentifikasikan faktor tekanan lingkungan, yang menggambarkan pengaruh dari tekanan-tekanan ini terhadap biota dan respons tersebut diwakili oleh sedikit takson yang ada pada habitat tersebut sekaligus memonitor pengaruh penyebab tekanan terhadap perubahan kondisi biota dalam jangka panjang

(36)

sifat dan endemisitas) takson di atasnya dalam sebuah habitat atau kelompok habitat, sehingga fungsinya dapat digunakan untuk mengidentifikasi keanekaragaman hayati ataupun memantau perubahan keanekaragaman hayati. Indikator biodiversitas dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu kelompok referensi, kelompok kunci dan kelompok focal McGeoch (1998).

Bioindikator dapat meliputi beberapa variasi skala dari aspek makromolekul, sel, organ, organisme, populasi, sampai ekosistem. Sehingga bentuk bioindikasi meliputi : (1) reaksi biokima dan fisiologis; (2) penyimpangan bentuk anatomis, morfologis, bioritme dan tingkah laku dari kondisi normal, (3) perubahan floristik, faunistik, dan populasi secara berurutan, (4) perubahan ekosistem ataupun kombinasi ekosistem, (5) perubahan bentuk dan fungsi ekosistem, dan (6) perubahan dari sifat lansekap (Mhatre & Pankhurst 1997).

Tipe indikator secara umum dibedakan menjadi tiga kelompok berdasarkan respons bioindikator terhadap permasalahan lingkungan (tekanan) yang memapar organisme bioindikator, yaitu: (1) Indikator (kehadiran dan ketidakhadiran bioindikator menyimpulkan tentang permasalahan lingkungan, secara kuantitatif jarang dianalisis). (2) spesies uji (respons spesies ini mengindikasikan tentang permasalahan yang luas, spesies uji umumnya memiliki standardisasi yang tinggi), (3) monitor (menyediakan bukti akan adanya perubahan dan kesimpulan secara kuantitatif biasanya memungkinan jika dilakukan kalibrasi). Monitor terdiri dari monitor aktif (organisme monitor yang tersedia dengan cepat di alam) dan monitor pasif (organisme monitor yang diintroduksi). Monitor pasif terdiri dari reaktor (respons spesies reaktor berupa perubahan fungsi atau reaksi) dan akumulator yang responsnya diamati berdasarkan akumulasi polutan (Hornby & Bateman 1997).

Pengembangan sistem bioindikator dapat dilihat sebagai hubungan timbal balik antara faktor lingkungan dengan parameter biologis. Karakteristik biologis diantaranya adalah komposisi spesies, gejala kerusakan suatu organisme, tubuh yang terkontaminasi polutan, induksi dan penghambatan enzim (Straalen 1997). Respons suatu organisme terhadap pengaruh lingkungan dapat diamati dari tingkat molekular sampai dengan tingkat ekosistem (Gambar 3).

(37)

Waktu (S) Ruang (m2)

100 10-9 Dampak

Ambang batas tiba-tiba -

beberapa hari

Gejala neurologis dan endokrin aktivitas enzimatis dan kemofoto dan geotaksis, metabolisme, induksi MFO, orientasi, motilitas sintesis asam amino dan

hormon steroid, mutasi DNA

jam –

minggu Depleksi O2, proses osmotik perubahan jaringan, dan ionik, pengambilan pembentukan tumor,

makanan, pencernaan, deformasi

ekskresi, fotosintesis

nitrifikasi

hari - Embriogenesis, reproduksi, kecepatan pertumbuhan bulan

Penyusutan kelimpahan, perubahan struktur umur bulan - dan sumber daya genetik

tahun

Perubahan struktur dan dinamika pada komunitas dan tahun - ekosistem

dekade

Perubahan pada tingkat ekosistem Perubahan pada tingkat komunitas

Modifikasi daur kehidupan

Reaksi morfologis Reaksi

fisiologis

Reaksi biokimia Gangguan

109 103

[image:37.595.117.502.79.571.2]

1010 104

(38)

organisme tersebut terdistribusi dalam ruang dan waktu yang luas atau bersifat kosmopolitan; dan (5) berkorelasi kuat dengan keseluruhan komunitas dan/atau dengan faktor tekanan (Hodkinson & Jackson 2005).

C. Ekosistem yang Sehat

Ekosistem yang sehat dapat diartikan sebagai suatu ekosistem yang tidak mengalami tanda-tanda terjadinya tekanan (dan atau gangguan). Ekosistem tersebut mampu memulihkan diri secara cepat seperti kondisi semula (kelentingan) dan atau hilangnya resiko atau ancaman gangguan terhadap komposisi, struktur dan fungsi ekologis yang terdapat di dalam ekosistem tersebut (Rapport et al. 1997). Kesehatan ekosistem mengacu pada fungsi-fungsi penting dalam ekosistem tersebut berjalan secara baik dan sempurna. Kesehatan eksosistem berarti juga stabil dan berkelanjutan (Rapport et al. 1998). Kesehatan ekosistem memiliki padanan istilah dengan integritas ekosistem (ecosystem integrity).

Karakteristik eksosistem yang sehat adalah: (1) ekosistem tersebut bebas dari sindrom tekanan ekosistem (ecosystems distress syndrome). Pada ekosistem daratan, ekosistem yang mengalami tekanan ditandai dengan peningkatan pencucian unsur hara, penurunan keanekaragaman hayati, perubahan komposisi spesies yang didominasi oleh spesies oportunistik (invansif), dan penurunan produktivitas, serta peningkatan serangan hama dan penyakit dibandingkan dengan ekosistem yang normal; dan (2) ekosistem memperoleh energi dari dalam ekosistem tersebut. Artinya ekosistem tersebut tidak memperoleh subsidi atau bantuan dari manusia untuk meningkatkan produktivitas seperti pemupukan; dan (3) tidak mengganggu sistem di sekitarnya. Misalnya sistem pertanian yang memiliki ekosistem yang sehat seharusnya tidak mencemari daerah aliran sungai yang ada di sekitar ekosistem tersebut (Rapport et al. 1997).

Kesehatan eksosistem merupakan perwujudan dari fungsi ekologi. Fungsi-fungsi penting dari suatu ekosistem merupakan dasar dalam kuantifikasi ekosistem yang baik, seperti perputaran unsur hara, transfer energi yang melibatkan berbagai unsur baik biotik maupun abiotik (Rapport et al. 1997).

Penilaian kesehatan ekosistem didasarkan pada tiga parameter yaitu: (1) kelentingan, yaitu kapasitas suatu sistem untuk memelihara struktur dan

(39)
(40)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

[image:40.595.120.504.331.605.2]

Penelitian ini secara geografis dilakukan di Kabupaten Purbalingga yang terletak pada posisi 109011’ – 109035’ BT dan 7010’ – 7029’ LS. Beberapa lokasi adalah di sekitar Gunung Slamet bagian Timur. Lokasi penelitian ini secara admistratif berada di Desa Serang, Kecamatan Karang Reja, Kabupaten Purbalingga (Gambar 4). Secara umum topografi kawasan ini berbukit-bukit dengan kelerengan yang relatif curam, kecuali pada lokasi yang dijadikan permukiman memiliki topografi yang datar. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni sampai Oktober 2008.

(41)

B. Alat dan Bahan

Bahan penelitian yang digunakan adalah: (1) hardcopy peta administratif dan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Purbalingga, hardcopy peta tanah, data citra satelit dari Bappeda kabupaten Purbalingga, peta kawasan hutan dari BKPH Banyumas Timur; (2) bahan untuk pembuatan herbarium: alkohol (70%), kantong plastik besar (60 cm x 100 cm), kertas koran, gunting ranting, label gantung; (3) bahan untuk pembuatan koleksi spesimen rayap (microtube); dan (4) kantung nilon ukuran 20 cm x 20 cm.

Alat penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut: (1) perangkat computer; (2) alat pengecek lapangan: GPS, kamera digital dan baterei, abney level, kompas geologi, clinometer, RH-meter, pH-meter dan hagameter; (3) peralatan pengukuran laju dekomposisi serasah: timbangan analitik dan penggaris; (4) peralatan inventarisasi pohon: tali, meteren gulung dan phiband; (5) alat tulis menulis; (6) perlengkapan jelajah lapangan; (7) parang dan sekop tanah; (8) oven; dan (9) mikroskop stereo.

C. Cara Kerja

1. Penentuan area kajian dan rancangan percobaan

Lokasi pengambilan sampel untuk pengamatan keragaman rayap tanah dipilih berdasarkan perbedaan tingkat gangguan yang diakibatkan oleh aktivitas tipe penggunaan lahan sesuai kriteria yang ditetapkan oleh Bickel & Watanasit (2005). Penilaian tingkat gangguan habitat didasarkan pada pada: (1) jumlah pohon dengan diameter besar (ø ≥ 20 cm); (2) keberadaan tumbuhan bawah; (3) jumlah stratifikasi tajuk; (4) paparan sinar matahari langsung memapar permukaan tanah; dan (5) tingkat aksesibilitas ke kawasan.

(42)
[image:42.595.115.507.113.314.2]

Tabel 1. Karakteristik lokasi pengambilan sampel

No. Lokasi Koordinat

Ketinggian tempat (m dpl) Tipe tegakan dominan Tipe penggunaan lahan S. 07015.229’

1. Gunung

Keris E.109016.716’ 1152

Tegakan puspa

Hutan lindung (HL)

S. 07014.706’ 2. Pesanggrahan

E.109017.505’ 1012

Tegakan damar

Wana wisata (WW)

S. 07014.503’

3. Brubahan E.109017.717’ 1124 Tegakan pinus

Hutan produksi

(HP)

S. 07015.181’ 4. Kali Pring

E.109017.059’ 1087

Tegakan damar

Agroforestri (AF)

S. 07014.846’ 5. Brubahan

E.109017.868’ 1001 -

Permukiman (PM)

2. Pengambilan Sampel Rayap

Metode yang digunakan untuk mengamati karakter ekologis rayap pada penelitian ini adalah metode transect surveys (Eggleton et al. 1999). Metode ini relatif cepat untuk menilai kekayaan jenis rayap pada suatu kawasan, pola spasial dan temporal dari struktur komposisi rayap di hutan tropis sekaligus mendukung pengamatan rayap sebagai bioindikator (Jones & Eggleton 2000). Data yang diperoleh dari protokol standar ini adalah komposisi taksonomi dan kelompok fungsional rayap (kelompok makan atau feeding groups) (Eggleton et al. 2002; Jones et al. 2006).

Pada masing-masing lokasi ditempatkan dua buah transek rayap yang diletakkan secara purposive (ditempatkan pada habitat yang secara kasat mata seragam) dan memotong garis kontur. Transek rayap berukuran 100 m x 2 m, dimana sepanjang transek rayap dibagi menjadi 20 section (bagian) dengan ukuran 5 m x 2 m, yang disusun secara berurutan (Gambar 5). Di setiap bagian dilakukan pengamatan, pencarian dan pengoleksian rayap yang tertangkap berdasarkan mikrosite-nya. Mikrosite yang dieksplorasi untuk menemukan rayap adalah tanah (bagian dalam dan permukaan), serasah, batang kayu, dan pohon. Waktu yang diperlukan untuk mengeksplorasi keberadaan rayap pada setiap bagian adalah 30 menit/orang untuk dua orang kolektor.

(43)

5 m 2 m

40 m 5 m

100 m

Gambar 5. Bentuk transek pengamatan rayap dan penempatan petak pengamatan tumbuhan.

keterangan : = bagian dari transek pengamatan rayap (5 m x 2 m) = petak pengamatan tumbuhan atas (40 m x 5 m) = petak pengamatan tumbuhan bawah (0.5 m x 0.5 m).

Titik-titik pengamatan di setiap bagian dalam transek rayap terdiri dari: (1) dua belas areal di permukaan tanah dengan luas ± 50 cm2 yang banyak terdapat serasah. Masing-masing areal digali kira-kira 5 cm kedalaman dari permukaan tanah dan rayap yang ada di dalamnya dikoleksi. (2) kayu mati dengan diameter 1 cm ke atas dibongkar dan rayap yang ada di dalamnya dikoleksi. Batang kayu atau banir, di mana banyak terdapat serasah atau bahan organik tanah di sekitarnya, diamati. Banir dan lembaran pepagan dibuka dan rayap yang ditemukan sampai ketinggian ± 2 m dikoleksi. (3) sarang dan mound (gundukan) yang ada di permukaan tanah dibuka dan rayap yang ditemukan dikoleksi.

Rayap yang dikoleksi dimasukkan dalam tabung yang berisi alkohol 70% dan diberi label. Selanjutnya dilakukan pemilahan dan identifikasi spesimen. Identifikasi awal dilakukan sampai tingkat morfospesies genus. Identifikasi spesimen rayap mengacu pada kunci identifikasi Ahmad (1965), Tho (1992) dan Sornnuwat et al. (2004) dan selanjutnya spesimen dikirim ke ahli taksonomi rayap (Dr. Anggoro Hari Prasetyo – Museum Zoologi LIPI Cibinong) untuk pengecekan ulang dan verifikasi sampai tingkat spesies.

Kelimpahan relatif diukur berdasarkan jumlah rayap dari spesies yang sama yang tertangkap di setiap bagian pada sepanjang transek. Sehingga nilai kelimpahan relatif (KR) berkisar dari 0 – 20 untuk tiap transek. Kelimpahan relatif ini dapat digunakan sebagai alat perbandingan dengan lokasi yang lain.

(44)

rayap yang terkoleksi ditimbang. Penimbangan diulangi sebanyak lima kali sebagai ulangan. Biomassa rayap (BM) untuk masing-masing tipe penggunaan lahan dihitung dengan persamaan:

= =

= n l

n i

LA m BM

0

dimana : BM = Biomassa rayap (gr/m2)

mi = Massa individu rayap spesies i (gr)

LA = Luas petak pengamatan (200 m2)

n = Kelimpahan relatif rayap (0, 1, 2, 3, …, l)

3. Pengukuran Parameter Lingkungan

Di setiap lokasi pengamatan rayap dibuat petak pengamatan tumbuhan atas seluas 40 m x 5 m (Gillison 2002). Petak pengamatan tumbuhan atas ditempatkan di sepanjang transek pengamatan rayap yang dibuat memotong garis kontur. Luas bidang dasar tumbuhan atas dengan diameter ≥ 3 cm diukur dan jumlahnya dihitung. Vegetasi berupa herba atau tumbuhan bawah diukur dalam delapan petak dengan ukuran 0.25 m2 yang diletakkan secara sistematis sepanjang petak pengamatan vegetasi tumbuhan atas dengan jarak 5 m antar petak pengamatan tumbuhan bawah. Pada kawasan bukan hutan petak pengamatan tumbuhan bawah diperluas menjadi 1 m2 sebanyak empat petak pengamatan tumbuhan bawah (Jones et al. 2003). Spesimen tumbuhan yang tidak bisa diidentifikasi di lapangan dibuat herbarium untuk dideterminasi berdasarkan Kostermans et al. (1987) dan Steenis (2006). Ilustrasi petak pengamatan vegatasi dapat dilihat pada Gambar 5.

Ukuran kuantitas komunitas tumbuhan, yang terdiri dari: kerapatan individu (KI), luas bidang dasar (LBD), dan indek nilai penting (INP) dihitung berdasarkan formulasi dari Muller-Dombois & Ellenberg (1974); Cox (2002). Keanekaragaman hayati diinterpretasi dengan menilai indeks kekayaan spesies (S), indeks keanekaragaman spesies Shannon-Wiener (H) dan indeks kemerataan Smith & Wilson (E) berdasarkan rumus dari Krebs (1999).

Sifat fisika dan kimia tanah diambil di sepanjang jalur transek pengamatan rayap. Titik pengambilan sampel tanah terlebih dahulu dibersihkan dari serasah atau kotoran yang lain. Sampel sifat kimia tanah diambil dari sampel tanah komposit, sedangkan sifat fisika tanah sampelnya diperoleh dari tanah padat yang

(45)

diperoleh dengan menggunakan ring sampel pada kedalaman tanah 15 cm dari permukaan tanah. Contoh tanah kemudian dimasukkan ke dalam kantong hitam dan disimpan pada kotak khusus untuk mencegah benturan dan kerusakan sampel tanah sebelum dibawa ke laboratorium untuk dianalisis.

Sifat-sifat tanah yang diukur adalah: bulk density, pH, kandungan karbon organik, dan kandungan nitrogen total. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada dua titik dengan jarak 40 m pada transek pengamatan rayap. Ketebalan serasah diukur dari lima titik yang berjarak 8 m antar titik di masing-masing lokasi di sepanjang transek pengamatan rayap. Serasah baik berupa daun atau ranting yang belum membusuk diambil pada petak 0.25 m2, kemudian dibersihkan dari kotoran atau tanah dan dikeringkan pada suhu 400 C selama 48 jam.

Laju dekomposisi diukur dengan menggunakan teknik kantung serasah (litter bag) sesuai dengan usulan Coleman et al. (2004); Barlocher (2005) yang dimodifikasi. Pengukuran laju dekomposisi di wilayah permukiman dilakukan dengan menggunakan bahan yang mudah diperoleh di tempat tersebut. Hal ini dikarenakan jumlah serasah yang tersedia terbatas di permukiman dan untuk menyamakan perlakuan pada masing-masing perlakuan maka digunakan serasah daun duku (Lansium domesticum). Kantung serasah terbuat dari kain nilon dengan ukuran 20 cm x 20 cm dengan lubang ukuran 1 mm. Masing-masing kantung serasah diisi dengan serasah sebanyak 20 gr (kering udara). Kemudian lima kantung serasah ditempat pada tiap lokasi pengambilan sampel dengan jarak 20 m antar titik di sepanjang transek pengamatan rayap. Kantung serasah diletakan pada permukaan tanah kemudian ditutup dengan serasah yang ada di sekitarnya. Setelah 60 hari masing-masing kantung serasah diambil dan serasah yang tersisa dibersihkan dan dikeringkan dengan tanur pada suhu 40oC selama 48 jam serta ditimbang. Dekomposisi relatif (DR) dihitung berdasarkan persamaan yang dibuat oleh Das dan Chaturvedi (2003):

DR = ln (W1 – W0) : (t1 – t0) (Das & Chaturvedi 2003)

Sedangkan, laju dekomposisi (R) dihitung berdasarkan persamaan:

(46)

dimana : DR = Dekomposisi relatif (gr/bulan) W1 = Berat akhir (gr)

W0 = Berat awal (gr)

t1 = Waktu akhir pengamatan (bulan) t0 = Waktu awal pengamatan (bulan)

Xt = Berat kering udara pada akhir pengamatan (gr)

X0 = Berat awal saat dimasukkan ke dalam litterbag (20 gr) e = Logaritma natural

R = Laju dekomposisi (gr/gr.hari) t = Selang waktu (hari). 60 hari.

D. Analisis Data

Kekayaan spesies rayap dan tumbuhan (S) dihitung berdasarkan jumlah spesies yang ditemukan. Indeks Shannon & Wiener (H), indeks kemerataan Smith & Wilson (E) dihitung dengan bantuan perangkat lunak Ecological Methodology 2nd Edition. Analisis varian satu arah (one ways ANOVA) digunakan untuk membedakan pengaruh tipe pengunaan lahan terhadap masing-masing parameter yang diukur. Analisis tersebut dilakukan dengan menggunakan Software Statistica Versi 6 (StatSoft 2001).

Hubungan antara tipe penggunaan lahan (PL) dan tingkat gangguan habitat (TK) terhadap komunitas rayap yang terdiri dari: kekayaan spesies (S), kelimpahan relatif (KR), keanekaragaman hayati (H), kemerataan spesies (E), dan biomassa (BM) dianalisis dengan ordinasi Redudancy Analysis (RDA). Koneri (2007) menyatakan bahwa kecenderungan hubungan antara parameter lingkungan dengan struktur komunitas suatu spesies (kekayaan, kelimpahan, keanekaragaman dan kemerataan) dapat diduga dengan analisis RDA. Analisis RDA dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Canoco Versi 4.5 (Braak & Smilauer 2002).

Hubungan antara spesies rayap dengan parameter lingkungan diuji dengan ordinasi Canonical Correspondence Analysis (CCA) dengan menggunakan perangkat lunak Canoco Versi 4.5 (Braak & Smilauer 2002). Parameter lingkungan yang digunakan adalah keanekaragaman tumbuhan bawah (HTB), keanekaragaman tumbuhan atas (THA), bulk density (BD), pH (pH), kandungan karbon organik (COR), kandungan nitrogen total (NTO), ketebalan serasah (KSE), dekomposisi relatif (DR) dan laju dekomposisi (R). CCA merupakan teknik analis peubah ganda yang digunakan untuk mengurai hubungan antara spesies dengan karakter lingkungan yang telah diketahui. Hubungan ini

(47)
(48)

IV. HASIL

A. Komunitas Rayap

Jumlah spesies yang ditemukan pada penelitian ini adalah tujuh spesies, enam genera dari empat subfamili yang dikelompokan dalam dua famili (Gambar 6-12). Schedorhinotermes javanicus Kemner merupakan satu-satunya spesies rayap dari Famili Rhinotermitidae yang terkoleksi. Enam spesies rayap lainnya adalah spesies rayap dari Famili Termitidae yang dikelompokan dalam tiga subfamili. Subfamili Termitinae terdiri dari spesies Procapritermes setiger Haviland dan Pericapritermes semarangi Holmgren, Subfamili Macrotermitinae terdiri dari spesies Macrotermes gilvus Hagen dan Microtermes insperatus Kemner dan Subfamili Nasutitermitinae terdiri dari spesies Nasutitermes javanicus Holmgren dan N. matangensis Haviland.

a 1 mm b 1 mm

[image:48.595.115.509.379.622.2]

c 1 mm d 1 mm

(49)

a 1 mm b 1 mm

Gambar 7 Prajurit spesies Procapritermes setiger Haviland: (a) tampak dorsal, dan (b) tampak lateral.

a 1 mm b 1 mm

Gambar 8 Prajurit spesies Pericapritermes semarangi Holmgren: (a) tampak dorsal, dan (b) tampak lateral.

a 1 mm b 1 mm

c 1 mm

[image:49.595.151.475.469.714.2]
(50)

24

a 1 mm b 1 mm

Gambar 10 Prajurit spesies Microtermes insperatus Kemner (a) tampak dorsal, (b) tampak lateral.

a 1 mm b 1 mm

Gambar 11 Prajurit spesies N. javanicus Holmgren (a) tampak dorsal, (b) tampak lateral.

a 1 mm b 1 mm

Gambar 12 Prajurit spesies N. matangensis Haviland (a) tampak dorsal, (b) tampak lateral.

(51)

rayap dengan kelimpahan relatif terendah sedangkan spesies rayap dengan kelimpahan relatif tertinggi adalah Pericapritermes semarangi. Schedorhinotermes javanicus dan N. javanicus merupakan spesies rayap yang ditemukan di seluruh tipe penggunaan lahan. Sedangkan, Macrotermes gilvus dan N. matangensis merupakan dua spesies rayap yang ditemukan hanya di satu tipe penggunaan lahan. Macrotermes gilvus ditemukan pada permukiman sedangkan N. matangensis pada hutan lindung yang tidak terganggu.

Tabel 2 Kelimpahan relatif spesies rayap pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda di Gunung Slamet bagian Timur

Tipe Penggunaan Lahan Spesies

HL WW HP AF PM ∑ Ket.

Schedorhinotermes javanicus Kemner (Sch) 9 4 8 1 1 23 RH, Rh1, K*

Procapritermes setiger Haviland (Pro) 2 - 1 - - 3 TE, Te1, T*

Pericapritermes semarangi Holmgren (Per) 16 3 6 6 - 31 TE, Te1, T

Macrotermes gilvus Hagen (Mac) - - - - 5 5 TE Te2, K

Microtermes insperatus Kemner (Mic) - 1 2 - - 3 TE, Te2, K

Nasutitermes javanicus Holmgren (Nja) 10 4 1 2 4 21 TE, Te3, K

Nasutitermes matangensis Haviland (Nma) 2 - - - - 2 TE, Te3, K

Jumlah 39 12 18 9 10 88

Keterangan kode tipe penggunaan lahan merujuk pada Tabel 1. RH (Rhinotermitidae), Rh1 (Rhinotermitinae), TE (Termitidae), Te1 (Termitinae), Te2 (Macrotermitinae), Te3 (Nasutitermitinae). K (pemakan kayu), T (pemakanan tanah). *Kelompok fungsional rayap berdasarkan klasifikasi Donovan et al. (2001). Tanda (-) berarti tidak diketemukan rayap spesies tersebut.

Biomassa rayap tertinggi diperoleh di hutan lindung sebanyak 1.33 gram/m2, sedangkan biomassa rayap terendah diperoleh di wana wisata

sebanyak 0.31 gram/m2 (Gambar 13). Ukuran berat individu spesies rayap berperan dalam biomassa rayap secara keseluruhan. Namun, dalam penelitian ini ukuran populasi rayap tidak diamati, sehingga biomassa rayap didasarkan pada berat rata-rata individu spesies rayap dan kelimpahan relatifnya.

(52)
[image:52.595.127.504.86.294.2] [image:52.595.121.506.353.560.2]

26 Gambar 13 Biomassa rayap pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda di Gunung Slamet bagian Timur. Keterangan kode tipe penggunaan lahan merujuk pada Tabel 1.

Gambar 14 Perbandingan antara kelompok rayap pemakan kayu ( ) dengan pemakan tanah ( ) pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda di Gunung Slamet bagian Timur. Keterangan kode tipe penggunaan lahan merujuk pada Tabel 1.

B. Parameter Lingkungan

Tumbuhan bawah yang ditemukan lokasi penelitian ini terdiri dari 40 famili dengan 90 spesies. Vegetasi tumbuhan bawah untuk hutan lindung didominasi oleh Famili Urticeae. Wana wisata di dominasi oleh Famili Commelinaceae.

Tipe Penggunaan Lahan 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4

HL WW HP AF PM

B io m as sa g r/ m 2 0 1 2 3 4 5 6

HA WW HP AF PM

Tipe Penggunaan Lahan

(53)

Sedangkan, Hutan Produksi didominasi oleh Famili Poaceae. Agroforestri dan permukiman didominasi oleh Famili Asteraceae (Tabel 3). Tumbuhan bawah pada masing-masing kawasan cenderung menunjukan perbedaan spesies yang mendominasi (Lampiran 1-5). Hutan lindung didominasi oleh Elatostema sesquifolium (Bl) Hassk. Wana wisata didominasi oleh Pityrogramma calomelanos Link dan hutan produksi didominasi oleh spesies Isochne globosa (Thunb) OK. Sedangkan, agroforestri dan permukiman didominasi oleh Ageratum conyzoides L (Tabel 3).

Tabel 3 Lima famili dan spesies tumbuhan bawah yang mendominasi pada lima tipe penggunaan lahan yang berbeda di Gunung Slamet bagian Timur

No Famili SDR

(%) Spesies

INP (%) Hutan lindung

1 Urticeae 26.602 Elatostema sesquifolium 10.928

2 Araceae 14.597 E. strigosum 9.872

3 Begoniaceae 8.095 Homalomena javanicum 9.261 4 Melastomaceae 7.798 Melastoma macrophyllum 5.866 5 Polypodiaceae 7.353 Begonia robusta 5.421

Wana wisata

1 Commelinaceae 21.246 Pityrogramma calomelanos 17.602 2 Polypodiaceae 20.385 Commelina diffusa 14.392 3 Asteraceae 14.553 Eupathorium triplinerve 13.459 4 Poaceae 13.497 Axonopus compressus 12.525 5 Melastomaceae 12.619 Melastoma polyanthum 11.801

Hutan produksi

1 Poaceae 29.568 Isochne globosa 19.502

2 Asteraceae 16.410 Commelina diffusa 12.641 3 Commelinaceae 15.846 Eupathorium troplinerve 11.043

4 Apiaceae 9.573 Centella asiatica 8.224

5 Melastomaceae 7.659 Melastoma polyanthum 6.579 Agroforestri

1 Asteraceae 30.042 Ageratum conyzoides 20.593

2 Poaceae 12.247 Biden pilosa 10.711

3 Hypericeae 10.042 Hypericum japonicum 8.948 4 Compositaceae 9.916 Crassocephalum crepidioces 8.809

5 Cyperaceae 8.342 Cyperus rotundus 7.232

Permukiman

1 Asteraceae 19.192 Ageratum conyzoides 18.015 2 Hypericaea 13.126 Hypericum japonicum 12.304

3 Poaceae 12.903 Cyperus rotundus 8.434

[image:53.595.113.511.298.743.2]
(54)

28 Keanekaragaman hayati tumbuhan bawah tertinggi terdapat di hutan lindung yaitu dengan nilai indeks Shannon-Wiever sebesar 4.224, sedangkan keanakeragaman hayati yang terrendah berada di wana wisata sebesar 3.152. Begitu juga dengan tingkat kemerataan dan kekayaan spesies tumbuhan, bawah hutan lindung menunjukan nilai

Gambar

Gambar 1 Morfologi kasta rayap Schedorhinotermes javanicus Kemner:            (a) pekerja, (b) prajurit minor, dan (c) reproduktif
Gambar 2  Skema perkembangan rayap (Abe & Higashi 2000)
Gambar 3. Tingkat respons sistem biotik terhadap tekanan terkait dengan ukuran dan kompleksitas sistem yang mengalami tekanan (Franzle 2003)
Gambar 4.  Peta lokasi penelitian. Keterangan angka pada peta lokasi menunjukan titik pengambilan sampel dalam penelitian ini: 1 (hutan lindung), 2 (wana wisata), 3 (hutan produksi), 4 ( agroforestri) dan  5 (permukiman)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis maka peneliti mengimpulkan dua hal sebagai berikut, Pertama Penegakan Pelanggaran Administrasi pada Pemilihan Umum Anggota DPRD

Subhani (2011) mengatakan bahwa Kartu kuartet berasal dari dua kata yaitu kartu dan kuartet, dalam kamus bahasa Indonesia kontemporer kartu merupakan

dibandingkan dengan model konvensional. Saran yang dapat disampaikan berdasarkan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut. 1) Disarankan bagi SD No. 1 Anturan

epidermidis , maka pemberian ekstrak kulit buah dan biji manggis (Garcinia mangostana) dengan konsentrasi yang berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda pada diameter

Masalah dalam pergaulan membuatnya merasa tidak percaya diri dan seperti tidak diterima.Jejaring sosial seperti facebook dan sejenisnya pun jadi pelarian.Ketika

Bagi anak angkat karena adanya proses pengobatan atau kecelakaan ( Anak Daun ), suku ( Anak Suku ), memiliki nama yang sama ( Senamo), ataupun karena pernikahan jauh

Dilihat dari ketentuan-ketentuan dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2007 di atas, pada tingkat nasional telah terdapat “payung” bagi pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu. Hal

Di dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, disebutkan bahwa Lembaga Arbitrase adalah badan