SKRIPSI
PENGEMBANGAN MINUMAN FRUITMILK
DI PT. SANGHIANG PERKASA, JAKARTA
YAYAH HOERIYAH F24102057
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SKRIPSI
PENGEMBANGAN MINUMAN FRUITMILK
DI PT. SANGHIANG PERKASA, JAKARTA
Oleh :
YAYAH HOERIYAH F24102057
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Yayah Hoeriyah. F24102057. Pengembangan Minuman Fruitmilk di
PT. Sanghiang Perkasa, Jakarta. Di bawah bimbingan: Prof. Dr. Ir. Winiati
Pudji Rahayu, MS. 2006
RINGKASAN
PT. Sanghiang Perkasa merupakan perusahaan yang menghasilkan produk makanan dan minuman yang berbasis kesehatan (Health Food). Produk yang saat ini sedang dikembangkan adalah minuman fruitmilk dengan kandungan protein tinggi yang diproses dengan cara sterilisasi. Minuman fruitmilk selain memiliki protein tinggi yang berasal dari whey protein susu juga mengandung mineral kalsium, fosfat, magnesium, dan besi.
Penelitian dilakukan dalam rangka mengembangkan formulasi dan proses pembuatan minuman fruitmilk. Kegiatan yang dilakukan meliputi enam tahap yaitu proses pembuatan minuman fruitmilk, pemilihan sumber protein, pemilihan konsentrat sari buah, pemilihan acidulant, penambahan mineral, dan
pemilihan stabilizer. Pengamatan yang dilakukan meliputi analisis organoleptik
dengan metode kesukaan dan analisis fisik terhadap produk fruitmilk yang
meliputi pH, viskositas dan total padatan terlarut produk.
Produk fruitmilk merupakan produk berbasis whey protein susu yang
dicampur konsentrat sari buah. Pengembangan pada produk yang berbasis whey protein susu telah banyak dilakukan, salah satunya adalah penelitian oleh Djuric et al. (2004), yaitu pengembangan produk yang berbasis whey protein susu
dengan penambahan konsentrat sari buah jeruk, apel, peach dan pear.
cukup tinggi dan diproses secara HTLT (High Temperature Long Time). Hal ini mengakibatkan protein memiliki risiko yang tinggi terhadap denaturasi, oleh
karena itu perlu dilakukan penambahan stabilizer. Stabilizer yang terpilih adalah
pektin B dengan konsentrasi 0.1 %B/B menghasilkan produk stabil dengan viskositas 160 centipoise.
Dari hasil analisis kesukaan untuk atribut warna dan aroma diketahui
bahwa produk fruitmilk yang dibuat telah disukai panelis dengan persentase
kesukaan lebih dari 70%, sedangkan untuk atribut rasa dan tekstur masih dalam
taraf biasa sampai suka. Produk fruitmilk yang dibuat dibandingkan dengan
produk yang dikembangkan oleh Djuric et al. (2004), ternyata produk fruitmilk memiliki karakteristik organoleptik yang tidak jauh berbeda untuk atribut warna,
rasa dan aroma. Dengan demikian secara umum produk fruitmilk untuk ketiga
atribut tersebut telah dapat diterima. Sedangkan untuk atribut tekstur produk fruitmilk memiliki persentase kesukaan untuk dapat diterima lebih rendah daripada produk yang dikembangkan oleh Djuric et al. (2004).
Selanjutnya dilakukan penambahan mineral pada formula asam. Asam malat dan laktat memiliki rasa asam yang lembut dibandingkan dengan asam sitrat (Doores, 1990), sehingga kedua formula asam tersebut diberi perlakuan penambahan mineral. Dibandingkan persentase kesukaan untuk dapat diterima antara formula asam tanpa penambahan mineral dengan dengan formula asam dengan penambahan mineral pada atribut warna, aroma, rasa dan tekstur mengalami penurunan <5%. Semua formula baik formula asam (sitrat, malat, laktat) maupun formula asam dan mineral (malat dan mineral, laktat dan mineral), setelah dianalisis secara statistik tidak memiliki perbedaan yang nyata antara formula untuk tiap atribut warna, aroma, rasa dan tekstur.
Karakteristik fisik produk fruitmilk berdasarkan percobaan yaitu
memiliki pH pada kisaran 4.2-4.3, memiliki total padatan terlarut sekitar 25 °Brix, dan viskositas sebesar 160 centipoise. Secara umum produk ini masih
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGEMBANGAN MINUMAN FRUITMILK
DI PT. SANGHIANG PERKASA, JAKARTA
Oleh :
YAYAH HOERIYAH F24102057
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Dilahirkan pada tanggal 7 Mei 1984 Di Bogor
Tanggal Lulus : 6 September 2006
Menyetujui, Bogor, 15 September 2006
Prof. Dr. Ir. Winiati Pudji Rahayu, MS Dosen Pembimbing Akademik
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 7 Mei 1984. Penulis merupakan anak kelima dari enam bersaudara dari pasangan H. M. Supri dan Hj. Siti Mariam. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari SD Negeri Bantar Kemang 7 Bogor (19901996), SLTP Negeri 3 Bogor (1996-1999), dan SMU Negeri 1 Bogor (1999-2002).
Pada tahun 2002, penulis masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Jalur USMI (Undangan Saringan Masuk IPB) dan terdaftar sebagai mahasiswa pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selam masa perkuliahan penulis aktif dalam beberapa kegiatan akademis dan non akademis, diantaranya menjadi asisten praktikum Biokimia Pangan, Prinsip Teknik Pangan, dan Teknologi Hasil Hortikultura. Selain itu penulis juga menjadi anggota FPC (Food Processing Club) pada tahun 2003 dan anggota di Departemen Profesi dan Internal HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan) pada tahun 2004. Penulis juga aktif dalam beberapa kepanitiaan, diantaranya sebagai bendahara HACCP (Hazard Analytical Critical Control Point) II pada tahun 2004 dan menjadi seksi acara pada acara LCTIP
(Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan) Tingkat Nasional pada tahun 2004. Pada tahuna 2004, penulis melakukan praktek lapang di PT. Indolakto dengan tema ”Mempelajari Teknologi Proses Produksi Susu UHT di PT. Indolakto, Sukabumi.”
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR………. i
DAFTAR ISI………... iii
DAFTAR TABEL………... v
DAFTAR GAMBAR……….. vi
DAFTAR LAMPIRAN………... vii
I. PENDAHULUAN……….. 1
A. LATAR BELAKANG………... 1
B. TUJUAN……….... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA………. 3
A. PROTEIN………... 3
1. Fungsi Dan Karakteristik...………... 3
2. Whey Protein Susu………..……….. 4
3. Denaturasi Protein………...……….... 7
B. KONSENTRAT SARI BUAH………... 9
C. SUKROSA………... 10
D. BAHAN TAMBAHAN PANGAN……… 10
1. Asam Sitrat...……… 11
2. Asam Malat...……… 11
3. Asam Laktat...………... 12
4. Stabilizer...……… 13
5. Pewarna...………... 14
6. Flavor...………... 14
E. MINERAL ...……… 15
F. PROSES PEMANASAN ...………... 16
III. METODOLOGI PENELITIAN………... 19
A. BAHAN DAN ALAT……….... 19
1. Penelitian Pendahuluan... 21
a. Proses Pembuatan Fruitmilk...…………... 21
b. Pemilihan Sumber Protein...………... 24
c. Pemilihan Konsentrat Sari Buah...……… 24
d. Pemilihan Stabilizer... 25
2. Penelitian Lanjutan... 25
a. Pemilihan Jenis Pengasam...………. 25
b. Penambahan Mineral...……….. 25
C. METODE ANALISIS………... 26
1. Nilai pH ...……… 26
2. Viskositas...……….. 26
3. Total Padatan Terlarut………... 27
4. Analisis Organoleptik………...………... 27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………. 27
A. PENELITIAN PENDAHULUAN………. 28
1. Proses Pembuatan Fruitmilk………... 28
2. Pemilihan Sumber Protein……….…….……….. 32
3. Pemilihan Konsentrat Sari Buah.………....………….. 35
4. Pemilihan Stabilizer...………….. 37
B. PENELITIAN LANJUTAN... 40
1. Pemilihan Jenis Pengasam ...………... 40
2. Penambahan Mineral... 48
C. PEMBAHASAN UMUM... 55
V. KESIMPULAN DAN SARAN………. 59
A. KESIMPULAN………... 59
B. SARAN………. 61
DAFTAR PUSTAKA………. 63
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Batas maksimum penggunaan asam sitrat pada pangan... 11
Tabel 2. Batas maksimum penggunaan asam malat pada pangan.. 12
Tabel 3. Spesifikasi mutu pektin kering... 13
Tabel 4. Jenis analisis untuk tiap-tiap tahap perlakuan... 20
Tabel 5. Hubungan pH dan suhu pada proses sterilisasi... 23
Tabel 6. Kandungan mineral fruitmilk... 26
Tabel 7. Formulasi berdasarkan literatur... 29
Tabel 8. Spesifikasi WPC dan WPI yang dipakai pada produk minuman fruitmilk... 33
Tabel 9. Karakteristik fungsi whey yang penting pada produk Minuman... 34
Tabel 10. Hasil perlakuan jumlah WPC dan WPI... 34
Tabel 11. Hasil percobaan penggunaan beberapa jenis konsentrat sari buah pada produk minuman fruitmilk... 36
Tabel 12. Hasil perlakuan perbedaan konsentrasi konsentrat apel pada Produk minuman fruitmilk... 36
Tabel 13. Hasil perlakuan jenis dan konsentrasi pektin... 37
Tabel 14. Jenis-jenis pektin dan aplikasi penggunaannya... 38
Tabel 15. Perbandingan produk fruitmilk yang stabil dan tidak stabil ... 39
Tabel 16. Hasil analisis fisik dan kimia fruitmilk... 52
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka penelitian pengembangan fruitmilk…………. 20
Gambar 2. Proses pembuatan minuman fruitmilk tahap 1... 21
Gambar 3. Proses pembuatan minuman fruitmilk tahap 2... 23
Gambar 4a. Bagan alir pembuatan fruitmilk……… 31
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Komposisi produk whey (%w/w)………. 67
Lampiran 2. Formulir analisis hedonik... 68
Lampiran 3a. Rekapitulasi analisis hedonik formula asam... 69
Lampiran 3b. Persentase kesukaan formula asam... ... 69
Lampiran 4a. Analisa sidik ragam warna formula asam... 70
Lampiran 4b. Analisis duncan terhadap atribut warna formula asam ……….………. 70
Lampiran 5a. Analisa sidik ragam aroma formula asam... 71
Lampiran 5b. Analisis duncan terhadap atribut aroma formula asam ……….………. 71
Lampiran 6a. Analisa sidik ragam rasa formula asam... 72
Lampiran 6b. Analisis duncan terhadap atribut rasa formula asam ………..…..…….. 72
Lampiran 7a. Analisa sidik ragam tekstur formula asam... 73
Lampiran 7b. Analisis duncan terhadap atribut tekstur formula asam ………....…….. 73
Lampiran 8a. Rekapitulasi analisis hedonik formula asam dan mineral ... 74
Lampiran 8b. Persentase kesukaan formula asam dan mineral... 74
Lampiran 9. Analisa sidik ragam warna formula asam dan mineral... 75
Lampiran 10. Analisa sidik ragam aroma formula asam dan mineral... 75
Lampiran 11. Analisa sidik ragam rasa formula asam dan mineral... 76
BAB I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pengembangan produk merupakan kegiatan yang harus terus dilakukan oleh industri pangan untuk kelangsungan dan kemajuan industri tersebut. Kegiatan pengembangan produk dapat dilakukan untuk menciptakan produk yang benar-benar baru ataupun hanya sebatas penyempurnaan dan modifikasi produk yang sudah ada.
Setiap produk akan mengalami suatu siklus hidup (life cycle) yaitu fase pengenalan produk, fase pertumbuhan, fase kejenuhan (stationer) dan fase penurunan penjualan. Oleh karena itu kegiatan pengembangan produk harus terus dilakukan khususnya saat produk telah mencapai fase kejenuhan sehingga saat produk tersebut mencapai fase penurunan, perusahaan telah memiliki produk lain yang dapat menggantikan produk yang telah mencapai fase penurunan ataupun merevitalisasi produk yang sudah beredar dipasaran. Dengan demikian produk tersebut tetap exist dan memiliki jangkauan pasar yang lebih luas. Setiap tahap dalam proses pengembangan produk baru harus dilakukan dan dianalisis secara seksama dengan tujuan untuk menciptakan produk yang sesuai dengan standar mutu yang diharapkan.
Saat ini produk berbasis susu banyak dikembangkan oleh industri, hal ini dikarenakan susu merupakan bahan pangan yang hampir sempurna kandungan gizinya. Kandungan gizi pada susu sapi yaitu protein 3.5%, lemak 3.7%, total kasein 2.8%, karbohidrat 4.8%, whey protein 0.7%, dan mineral 0.7% (Bylund, 1995). Sebagai bahan pangan, susu dapat digunakan baik dalam bentuk aslinya sebagai satu kesatuan maupun dari bagian-bagiannya.
Minuman yang menyegarkan dan bernutrisi dapat dihasilkan dari whey protein dan konsentrat whey protein yang dikombinasikan dengan buah.
PT. Sanghiang Perkasa mencoba mengembangkan produk yang berbasis pada whey protein susu yaitu produk minuman fruitmilk. Fruitmilk merupakan
produk minuman yang berbasis pada whey protein susu yang dicampur dengan komponen buah yaitu konsentrat sari buah.
Bagi perusahaan, pengembangan produk minuman fruitmilk merupakan suatu inovasi baru dengan pemanfaatan whey protein susu dan proses sterilisasi, sehingga diharapkan memiliki nilai jual tinggi. Sedangkan untuk konsumen, produk minuman fruitmilk yang akan dikembangkan diharapkan dapat diterima sebagai minuman yang menyehatkan. Minuman merupakan media yang baik guna menambahkan komponen zat gizi untuk memperkaya diet (Kuhn, 1998 diacu dalam Temelli, 2004). Dimana minuman yang dikonsumsi sebagai bagian dari diet sehari-hari dapat meningkatkan status gizi konsumen tanpa mempengaruhi kebiasaan makan dari konsumen sehari-hari.
Penelitian dalam pengembangan minuman berbasis whey yang dikombinasikan dengan komponen buah telah banyak dilakukan. Penelitian pertama yaitu pada tahun 1976 oleh Bangert didalam Djuric et al. (2004) yang
mengkombinasikan whey protein dengan jeruk. Sejak saat itu minuman
berbasis whey yang paling populer adalah minuman whey yang
dikombinasikan dengan jeruk. Selain itu kombinasi lain yang memiliki penerimaan yang baik bila dicampur dengan whey protein adalah anggur, mangga, pisang, nanas, jambu dan stroberi (Branger et al., 1999).
B. TUJUAN
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. PROTEIN
1. Fungsi Dan Karakteristik
Protein adalah senyawa organik terdiri atas karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), dan nitrogen (N). Keberadaan nitrogen (N) membedakan protein dengan zat gizi lain. Fungsi protein bagi tubuh adalah untuk pemeliharaan, penggantian jaringan yang rusak serta pertumbuhan sel-sel baru. Sedangkan fungsi spesifiknya antara lain untuk mensintesa protein struktural (otot, kulit, rambut), sintesa hormon peptida (seperti growth hormone (GH), insulin-like growth factor 1 (IGF-1), insulin dan
glukagon), dan sintesa protein transport (seperti albumin yang digunakan untuk transportasi senyawa lain dalam aliran darah).
Protein tersusun atas sub-unit yang dikenal dengan asam amino. Setiap hari tubuh manusia memecah protein dan mensintesa yang lain, proses ini disebut pergantian protein (protein turn over). Pada keadaan diet normal, seseorang rata-rata mengganti 300 g protein dalam 24 jam, tapi tubuh tidak membutuhkan 300 g protein sehari. Hal ini disebabkan karena sebagian besar protein yang dipecah akan digunakan kembali dalam sintesa protein.
Kebutuhan protein wajib manusia dewasa didefinisikan sebagai jumlah protein yang diperlukan untuk mengimbangi protein yang hilang setiap hari, sehingga seseorang tetap berada dalam keseimbangan N. Kebutuhan protein manusia dewasa menurut RDA (Recommended Dietary Allowance) adalah sebesar 0.8 g/Kg BB/hari yang dapat mencukupi kebutuhan protein manusia dewasa bagi 95% populasi (RDA, 1980).
Kelarutan protein sangat dipengaruhi oleh pH, hal ini didasarkan pada perbedaan muatan antara asam-asam amino yang menyusun protein. Pada pH tertentu perbedaan tersebut dapat mencapai nol atau terjadi keseimbangan. Hal ini dikenal sebagai titik isoelektrik. Pada pH tersebut protein memiliki daya tarik-menarik yang paling kuat antara sesamanya (Lehninger, 1982). Adanya perubahan muatan pada protein menyebabkan menurunnya daya tarik-menarik antara molekul protein sehingga molekul lebih mudah terurai. Semakin jauh perbedaannya dari titik isoelektrik maka kelarutan protein semakin meningkat (Lehninger, 1982).
Kekentalan suatu protein dipengaruhi oleh diameter molekul protein yang terdispersi. Diameter molekul protein dipengaruhi oleh karakteristik intrinsik molekul protein, interaksi antara protein dan pelarut yang berpengaruh terhadap pembengkakan, serta interaksi protein-protein yang menentukan ukuran agregat molekul protein. Selain itu faktor lingkungan juga mempengaruhi diameter molekul protein dengan mengubah karakteristik intrinsik molekul protein melalui proses pembukaan lipatan
atau unfolding. Faktor lingkungan itu diantaranya pH, kekuatan ion, dan
suhu (Cheftel et al. 1985).
Suhu berpengaruh terhadap kekentalan dispersi protein. Pemberian panas yang berlebihan dapat menyebabkan penurunan kekentalan tetapi kekentalannya akan meningkat setelah didinginkan (Kinsella, 1979). Faktor lain yang juga mempengaruhi kekentalan larutan adalah konsentrasi protein, dimana kekentalan protein meningkat secara eksponensial dengan meningkatnya konsentrasi protein (Shen, 1981). Meningkatnya konsentrasi protein menyebabkan molekul protein yang terdispersi tidak lagi bebas dan interaksi protein-protein menjadi lebih dominan sehingga terjadi peningkatan kekentalan (Huang dan Kinsella, 1979).
2. Whey Protein Susu
Whey protein susu adalah campuran protein susu yang heterogen dan
protein susu terdiri beberapa bagian yaitu α-laktalbumin, β-laktoglobulin, albumin, imunoglobulin, pecahan protease pepton, dan protein lainnya.
α-laktalbumin adalah molekul yang memiliki 123 residu asam amino dan 4 jembatan disulfide. Kandungan α-laktalbumin dalam whey protein adalah 1.5 g/l. β-laktoglobulin adalah molekul yang terdiri dari 9 β-sheet dan 2 jembatan sulfida, kandungan β-laktoglobulin dalam whey protein adalah 1.5 g/l. Struktur β-laktoglobulin yang kompak membuatnya tahan terhadap proteolisis oleh protease
Whey alami memiliki pH 3.9 dan memiliki berat kering 5.4% (Von
Bockelman dan Bockelman, 1998). Komposisi produk whey dapat dilihat pada Lampiran 1.
Whey memiliki berbagai karakteristik fungsional sehingga sangat
potensial untuk dimanfaatkan bagi kesehatan tubuh. Kualitas nutrisi yang tinggi dari whey protein telah diketahui sejak lama, whey protein adalah salah satu komponen dalam diet atlet untuk meningkatkan massa otot. Menurut Renner (1989), whey protein susu paling efektif dibandingkan kasein dalam hal proteksi melawan kanker dengan cara meningkatkan sistem kekebalan tubuh.
Salah satu studi di Australia pada tahun 1998, menyebutkan bahwa diet yang kaya akan whey protein memiliki efek yang signifikan dalam menurunkan koloni tumor yang berkembang menjadi kanker pada tikus dibandingkan protein dari kasein, daging dan kedelai. Efek ini terkait
dengan konsentrasi glutathione yang secara signifikan meningkat (Mazza,
1998). Dimana glutathione dalam WPC menurut Harper (2000) diperkirakan berfungsi sebagai antioksidan dan berperan dalam perbaikan DNA. Efek antikarsinogenik juga dilaporkan oleh Bounous et al (1991).
McIntosh et al. (1995) dalam Temelli et al. (2004) melaporkan bahwa whey protein melalui induksi kimia secara signifikan mampu menurunkan
Studi lainnya yang memperkuat hal tersebut adalah dengan ditemukan efek meningkatkan kekebalan tubuh dari whey protein terutama bila dikombinasikan dengan whey fosfolipid. Dimana serum imunoglobulin (IgM) meningkat dua kali pada tikus yang diberi diet yang kaya akan whey protein. Efek meningkatkan sistem imun dari whey protein terkait dengan penurunan kolesterol LDL yang merupakan kolesterol jahat dan peningkatan produksi kolesistokinin yang berpengaruh pada peningkatan nafsu makan sehingga kekebalan tubuh akan meningkat (Mazza, 1998).
Komponen-komponen dari whey protein masing-masing memiliki efek fisiologis bagi tubuh. α-laktalbumin berperan dalam sintesa laktosa, dimana sintesa laktosa secara langsung dikontrol oleh α-laktalbumin dibawah pengaruh hormonal. Konsentrasi laktosa susu secara langsung terkait dengan konsentrasi α-laktalbumin. Laktosa berperan dalam tekanan osmotik, sehingga pembentukannya harus dikontrol secara ketat dan hal
itu merupakan fungsi fisiologi dari α-laktalbumin. Selain itu α-laktalbumin sebagai protein pengikat kalsium atau metallo-protein dapat
mengikat satu kalsium per mol dalam satu bagian yang mengandung empat residu aspartat. α-laktalbumin juga merupakan sumber triptofan yang penting untuk sel-sel saraf (Renner, 1989).
α-laktalbumin bersama dengan laktoferin memiliki aktivitas
bifidogenik karena dapat memacu pertumbuhan Bifidobacterium. Laktoferin sendiri dapat mengikat kuat besi, sehingga memiliki fungsi untuk absorpsi besi dan proteksi terhadap penyakit.
β-laktoglobulin secara in vivo berperan sebagai pengikat retinol,
karena bisa mengikat retinol pada bagian hidrofobiknya, melindunginya dari oksidasi dan mengantarkan melewati lambung sampai ke usus halus, dimana retinol akan ditransfer ke retinol binding protein, yang memiliki
struktur sama dengan β-laktoglobulin (Fox dan Sweeney, 1998). β-laktoglobulin juga mengikat asam lemak dan menstimulasi lipolisis
(lipase dihambat oleh asam lemak bebas).
Penggunaan whey protein berkembang dengan pesat karena adanya
Isolate (WPI). Sifat fungsional dari whey protein susu dapat dikembangkan dari reaksi proteolisis terbatas. Proteolisis terbatas dari konsentrat protein whey mengurangi sifat emulsifikasi, meningkatkan volume busa tetapi menurunkan stabilitas busa dan meningkatkan stabilitas panas (Damodaran dan Paraf, 1997).
Proses-proses untuk menghasilkan WPC dan WPI adalah dengan menggunakan teknologi membran, elektrodialisa, kristalisasi, dan kromatografi (Smith, 2000). Teknologi membran dilakukan dengan cara
mengalirkan whey cair menggunakan tekanan dari pompa, sedangkan
elektrodialisa menggunakan tekanan dari arus listrik. Sehingga cairan tersebut melalui membran, dimana molekul whey dapat melalui membran (disebut permeat) sedangkan molekul lebih besar tidak dapat melaluinya (disebut rententat).
Kristalisasi dilakukan dengan mengkonsentrasikan whey atau permeat dengan proses evaporasi kemudian laktosa dijenuhkan hingga mengkristal saat permeat didinginkan. Sedangkan proses kromatografi menggunakan resin bermuatan untuk memisahkan protein dalam whey dengan komponen lain.
Aplikasi dari WPI dibandingkan dengan WPC masih kurang. Menurut Nakai dan Modler (1996) hal ini dikarenakan sebagai berikut:
- biaya produksi WPI yang lebih mahal dibandingkan dengan WPC
- kebanyakan WPC lebih mudah untuk dimanipulasikan guna memenuhi
fungsi-fungsi tertentu seperti defatted (penghilangan lemak),
demineralized (penghilangan mineral)
- rasio α-laktalbumin dan β-laktoglobulin yang dimodifikasi pada WPI
mengakibatkan ketidak konsistenan rasio protein dari isolat protein whey.
3. Denaturasi Protein
Definisi dari denaturasi protein adalah proses atau rangkaian proses perubahan pada rantai polipeptida sehingga terjadi perubahan molekul dari
bentuk aslinya menjadi rangkaian tidak beraturan. Sedangkan
spesifik yaitu modifikasi pada konformasi ikatan peptida (sekunder, tersier, atau kuartener) tanpa merubah konformasi ikatan peptida primer. Definisi yang lebih ekstrem yaitu kehilangan satu atau lebih karakteristik dari protein seperti kehilangan kelarutan (pada pelarut yang biasanya protein larut), kehilangan aktivitas enzimatik, atau perubahan dari berat molekul protein. Menurut Damodaran dan Paraf (1997), faktor-faktor yang mempengaruhi denaturasi protein antara lain:
a) Panas, adalah agen fisik utama yang mengakibatkan denaturasi protein.
Laju denaturasi tergantung pada suhu dan untuk protein lajunya
meningkat 600 kali dengan peningkatan suhu sebesar 10 oC. Hal ini
dikarenakan rendahnya energi pada interaksi yang menstabilkan struktur sekunder, tersier, dan kuartener. Harwalkar (1980), melaporkan denaturasi protein dari β-laktoglobulin terdeteksi mulai
suhu sekitar 75 oC dan terbagi menjadi dua tingkat yaitu tingkat
pertama muncul pada lima menit pertama pemanasan dan akan lebih cepat pada fase berikutnya.
b) pH. Pada umumnya protein stabil pada rentang pH netral (6-7) dan
pada pH ekstrem akan terdenaturasi. pH yang ekstrem yaitu pada saat muatan molekul protein mencapai keseimbangan atau tidak bermuatan yang dikenal dengan pH isoelektrik. Pada pH isoelektrik (sekitar 4.5), kekurangan energi repulsif menghambat pelipatan dari molekul protein. Hal ini mengakibatkan ikatan sekunder, tersier dan kuartener dari molekul protein menjadi rusak.
c) Ion metal, kemampuan elektrolit untuk mempengaruhi konformasi dan
c) Gula dan poliol, sama seperti garam, gula mempengaruhi konformasi protein melalui efek tidak langsung dari interaksi hidrofobik
(Arntfield, et al., 1990). Boye et al. (1996), mempelajari denaturasi
dan agregasi dari β-laktoglobulin dengan adanya konsentrasi tinggi dari sukrosa dan glukosa menggunakan spektroskopi infrared. Hasilnya gula menstabilisasi sebagian denaturasi protein dan menghambat agregasi protein. Dimana sukrosa memiliki efek lebih besar dibandingkan dengan glukosa.
B. KONSENTRAT SARI BUAH
Definisi konsentrat sari buah menurut Depkes (1998) adalah produk yang mengandung sari buah satu atau lebih jenis buah yang dipekatkan dengan cara menghilangkan airnya sehingga diperoleh produk yang mempunyai padatan yang jumlahnya tidak kurang dari dua kali jumlah padatan sari buah. Jumlah sari buah semula disaring atau tidak dengan atau tanpa penambahan gula dan bahan tambahan pangan yang diizinkan.
Proses pemekatan sari buah mengakibatkan komponen aroma yang volatil atau essence yang hilang dari sari buah. Hal ini memberi ketidakseimbangan flavor sehingga setelah proses pemekatan komponen tersebut ditambahkan kembali pada konsentrat sari buah.
Produk sari buah dapat dibagi menjadi dua kategori utama yaitu ready to drink (RTD) dan concentrated (frozen concentrated juices/FCJ). RTD adalah minuman sari buah yang bisa langsung dikonsumsi (tanpa perlu pengenceran lagi), sedangkan FCJ memerlukan pengenceran sebelum dikonsumsi. Macam-macam FCJ antara lain:
- FCJ dengan total padatan terlarut 65-66°Brix yang merupakan standar untuk produk sari buah. FCJ ini dikonsentrasikan sekitar 5.5 kali.
- FCJ dengan total padatan terlarut 55 °Brix biasa digunakan untuk produk susu.
minum yang bisa direkonstitusi dari sejumlah tertentu konsentrat sari buah (Tetra Pak, 1998). Suhu penyimpanan konsentrat sari buah pada suhu -8 °C sampai -10 °C, hal ini untuk mencegah reaksi pencoklatan non enzimatis (Tetra Pak, 1998).
C. SUKROSA
Sukrosa merupakan senyawa kimia yang termasuk karbohidrat, memiliki rasa manis, berwarna putih, bersifat anhidrous, dan larut air (Nicol,
1979). Rumus molekul sukrosa adalah C12H22O11. Secara komersial, sukrosa
diproduksi dari gula tebu atau gula bit dan didapat dalam bentuk gula pasir atau sirup. Sukrosa mempunyai berat molekul 342,30 terdiri dari gugus glukosa dan fruktosa. Sukrosa merupakan senyawa gula yang paling disukai (Sudarmadji, 1982).
Sukrosa memiliki peranan penting dalam teknologi pangan karena fungsinya beraneka ragam, yaitu sebagai pemanis, pembentuk tekstur, pengawet, pembantu cita rasa, bahan pengisi, pelarut, dan sebagai pembawa trace element (Nicol, 1979). Fungsi utama sukrosa sebagai pemanis
memegang peranan penting karena dapat meningkatkan penerimaan dari suatu makanan yaitu dengan menutupi cita rasa yang tidak menyenangkan.
Rasa manis sukrosa bersifat murni karena tidak ada aftertaste yang merupakan cita rasa kedua yang timbul setelah cita rasa yang pertama. Disamping itu sukrosa juga memperkuat cita rasa pada makanan, karena menyeimbangkan rasa asam, pahit, dan asin atau melalui reaksi kimia seperti karamelisasi. Sukrosa umum digunakan sebagai standar tingkat kemanisan bagi pemanis lainnya (Nicol, 1979). Sukrosa merupakan pemanis karbohidrat yang biasa digunakan dalam produk pangan cair dalam konsentrasi tinggi dan mengakibatkan peningkatan dalam densitas, kandungan energi, viskositas, dan flavor.
D. BAHAN TAMBAHAN PANGAN
nilai gizi yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam pangan untuk maksud teknologi (organoleptik) pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan pangan untuk menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat khas makanan tersebut.
1. Asam Sitrat
Asam sitrat termasuk dalam bahan pengasam (acidulants) yang ditambahkan pada proses pengolahan pangan dengan berbagai tujuan (Winarno, 1992). Asam sitrat merupakan asam organik yang banyak digunakan dalam industri pangan karena mudah dicerna, mempertahankan rasa asam yang menyenangkan, tidak beracun, dan mudah larut dalam air (Furia, 1981). Asam sitrat berfungsi menurunkan pH medium, menghambat pertumbuhan mikroba, menstabilkan warna, pemberi cita rasa dan tekstur, serta dapat mengikat logam-logam divalen seperti Mg, Mn, dan Fe yang dibutuhkan sebagai katalisator dalam reaksi-reaksi
biologis. Batas maksimum penggunaan asam sitrat berdasarkan SNI 01-0222-95 untuk berbagai produk dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Batas Maksimum Penggunaan Asam Sitrat Pada Produk Pangan
Jenis Produk Pangan Batas Penggunaan
• Makanan bayi kalengan
• Makanan bayi, bubuk instan
• Coklat, coklat bubuk
Secukupnya hingga pH 2.8 – 3.5a
Sumber: a)SNI 01-0222-1995
b)
SNI 01-7111.1-2005
Asam sitrat memiliki rumus molekul C6H8O7 yang larut dalam air dan
2. Asam Malat
Asam malat adalah asam yang digunakan untuk berbagai keperluan antara lain sebagai penguat cita rasa dan pengontrol pH (buffer). Sejumlah besar asam malat dapat digunakan dalam berbagai makanan kecuali makanan bayi dan penggunaannya harus dalam taraf GMP (Good Manufacturing Practises). Pada industri pangan yang sudah menerapkan
GMP dengan baik maka penggunaan bahan tambahan pangan disesuaikan dengan fungsi bahan tersebut pada produk dan penggunaannya tidak boleh
berlebihan. Asam malat memiliki rumus molekul C4H6O5 dan larut dalam
air dan alkohol (Doores, 1990). Batas maksimum penggunaan asam malat berdasarkan SNI 01-0222-95 untuk berbagai produk dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Batas Maksimum Penggunaan Asam Malat Pada Produk Pangan
Jenis Produk Pangan Batas Penggunaan
• Jam, jelly dan marmalad
Secukupnya hingga pH 2.8-3.5 Secukupnya
Level maksimum asam malat untuk berbagai kategori produk pangan adalah sebesar 3.4-3.5 %B/B. Bentuk L (+) asam malat merupakan bentuk umum asam malat yang ada pada pangan, sedangkan DL (-) asam malat bukan merupakan produk antara pada siklus krebs. Oleh karena itu penggunaan DL (-) asam malat untuk asupan manusia dibatasi yaitu sebesar 100 mg/kg BB (Doores, 1990).
3. Asam Laktat
Asam laktat memiliki rumus molekul C3H6O3 dan larut dalam air dan
laktat dan turunannya umum digunakan sebagai bahan tambahan dalam produk pangan yaitu sebagai bahan pengasam makanan dan minuman, meningkatkan aroma dan rasa pada saus dan bumbu, serta mengurangi resiko bakteri patogen pada produk daging. Asam laktat bisa digunakan pada produk pangan kecuali untuk makanan bayi, hal ini dikarenakan kelompok bayi yang diberi susu yang diasamkan dengan D (-) atau DL
asam laktat mengalami asidosis, kehilangan berat, dehidrasi, dan muntah-muntah (Doores, 1990).
Asam laktat memiliki rasa asam yang lebih lembut dan memiliki keasaman yang lebih rendah dibanding sitrat dan malat sehingga untuk mencapai pH yang sama memerlukan jumlah yang lebih banyak dibanding sitrat dan malat. Selain itu asam laktat juga memiliki aroma creamy yang menyenangkan.
4. Stabilizer
Philips (1981) menyatakan bahwa penstabil pada minuman berfungsi untuk meningkatkan kestabilan dari komponen minuman, meningkatkan kejernihan produk, tidak berbau dan meningkatkan kelarutan air dingin. Stabilizer yang digunakan pada produk fruitmilk adalah pektin. Hal ini
karena pektin merupakan stabilizer ionik yang stabil pada rentang pH 1.0-4.5 (Danischo, 2005). Pektin yang digunakan adalah High Ester
Pectin dengan derajat esterifikasi>70. Minuman berprotein tinggi tanpa penambahan pektin akan mengalami pemisahan (separasi dalam dua fase) jika dipanaskan pada suhu 60 ºC selama 10 menit (Nussinovitch, 1997). Spesifikasi mutu pektin kering dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3.Spesifikasi Mutu Pektin Kering
Karakteristik Nilai (Maks)
Kadar air 12 %
Kadar abu 10 %
Pektin bermetoksil tinggi (minimum) 7 %
Pektin bermetoksil rendah 7 %
Asam galakturonat (minimum) 35 %
Logam berat 40 mg/kg
Menurut Kertesz (1951), pektin didefinisikan sebagai asam pektinat yang larut air dengan kandungan metal-ester yang bervariasi dan memiliki derajat kenetralan yang mampu membentuk gel dengan adanya gula, asam dan kalsium. Pektin komersial biasanya diekstrak dari kulit jeruk yang mengandung pektin 25% (Keller, 1983) atau apel kering (15-18% pektin) (Hang dan Walter, 1989).
5. Pewarna
Berdasarkan sumbernya pewarna untuk makanan terbagi menjadi dua yaitu pewarna alami dan pewarna sintetik atau buatan. Pewarna alami umumnya diperoleh dari ekstraksi pigmen yang berasal dari tanaman atau bahan pangan. Contoh bahan pewarna alami antara lain klorofil, antosianin, karotenoid, dan sebagainya. Sedangkan pewarna buatan dibuat dari bahan-bahan kimia. Beberapa pewarna sintetik untuk makanan diantaranya adalah tartrazine, carmoisine, sunset yellow, ponceau 4R dan lain sebagainya. Penggunaan pewarna sintetik sebagai Bahan Tambahan Pangan telah diatur dalam SNI 01-0222-95 mengenai bahan tambahan makanan. Batas penggunaan pewarna untuk minuman adalah 5-200 ppm (CCIC, 1968).
6. Flavor
Menurut Hall (1968), flavor didefinisikan sebagai komponen yang memiliki karakteristik yang dapat menimbulkan sensasi sensori. Ostendorf (1978) menyatakan flavor dalam minuman dapat berasal dari buah, minuman buah atau flavor buatan (sintetik). Meskipun dalam jumlah yang kecil, flavor sangat berarti bagi cita rasa produk minuman.
E. MINERAL
Penambahan vitamin, mineral, asam amino dan zat gizi yang lain ke dalam bahan pangan dengan tujuan meningkatkan kesehatan dan kenyamanan hidup masyarakat. Informasi yang penting dalam kegiatan penambahan zat gizi adalah informasi bioavailabilitas, stabilitas, dan interaksi fortifikan-karier. Informasi ini penting untuk menentukan titik penambahan dari fortifikan.
Secara umum penambahan zat gizi disarankan pada titik dalam rangkaian proses yang akan menyebabkan: (1) memungkinkan pengadukan yang cukup untuk menjamin fortifikan terdistribusi seragam, (2) produk diketahui jumlahnya baik secara total atau rata-rata untuk menghasilkan rasio yang diinginkan antara karier dan fortifikan, (3) mudah dalam proses penambahannya, (4) menghindari sebanyak mungkin kondisi proses yang merusak fortifikan (Palupi, 1995).
Menurut American Medical Association/ Food&Nutrition Board,
syarat zat gizi yang akan difortifikasikan secara umum adalah zat yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh, cukup stabil selama penyimpanan, tidak menimbulkan keracunan apabila bahan pangan dikonsumsi secara berlebihan serta penambahannya tidak mengganggu keseimbangan zat gizi esensial lainnya (Palupi, 1995). Efek penambahan mineral pada produk pangan menurut Clysdale (1985) adalah sebagai berikut:
1. Perubahan warna, akibat reaktivitas mineral yang digunakan dan jumlah mineral yang digunakan. Penggunaan Ca dan Mg yang tidak larut pada produk strawberi dan coklat cair steril membuat warna lebih cerah dari yang dikehendaki akibat ”diluent like effect”. Penambahan besi ke produk susu membuat warnanya menjadi abu-abu. Pada minuman sari buah dengan pH yang rendah cenderung melarutkan garam mineral tetapi meningkatkan potensi dan reaktivitas serta perubahan warna Dilain pihak hal tersebut dapat meningkatkan bioavailabilitas. Perubahan warna dapat dicegah dengan mengganti sumber fortifikan atau menambahkannya pada saat yang tepat.
2. Perubahan flavor. Penambahan garam Ca dan Mg yang berlebihan
elektrolitnya akan mempunyai rasa pahit dan off flavor. Chalky flavor dapat direduksi dengan menambahkan garam mineral diawal proses sebelum homogenisasi.
3. Perubahan kualitas lainnya yaitu interaksi Ca/Mg dengan protein akan mengakibatkan sedimentasi atau gelasi. Penambahan mineral pada produk cair berprotein juga akan mengakibatkan pengendapan protein. Hal ini dapat diatasi dengan kombinasi mineral larut dan tidak larut tetapi dapat menurunkan bioavailabilitas.
4. Toksisitas, untuk mineral RDA besar seperti Ca, Mg, dan P keracunan tidak perlu dikhawatirkan. Konsumsi yang berlebihan pada mineral
tersebut mengakibatkan sandiness atau chalkiness. Untuk mineral RDA
kecil seperti Fe, penambahan yang berlebihan mengakibatkan keracunan. Kelebihan asupan zat besi dapat mengakibatkan hemosiderosis (peningkatan pemecahan sel darah merah) dan hemochromatosis (penyakit genetik yang dapat mengakibatkan kerusakan hati (Williams, 1985).
F. PROSES PEMANASAN
Pengolahan dengan panas (thermal processing) memiliki dua tujuan yaitu untuk pemasakan dan untuk pengawetan. Terdapat tiga metode pemanasan pada produk susu yaitu termalisasi, pasteurisasi dan sterilisasi. Termalisasi susu merupakan proses perlakuan panas dengan suhu yang relatif lebih rendah dibandingkan suhu pasteurisasi dan sterilisasi. Termalisasi bertujuan untuk merusak sebagian enzim lipase alami dan membuat susu lebih resisten terhadap kerusakan mekanik (misalnya pemompaan). Selain itu termalisasi juga bertujuan untuk menstimulasi spora tahan panas untuk untuk bergerminasi menjadi sel vegetatif sehingga mudah dibunuh pada proses pasteurisasi.
reaksinya memungkinkan gelasi konsentrat selama penyimpanan (Tetra Pak, 1998). Sedangkan proses pasteurisasi kedua dilakukan sebelum pengemasan untuk membunuh mikroba yang mengkontaminasi sari buah setelah proses pasteurisasi pertama dan bertahan pada penyimpanan, dimana mikroba tersebut dapat mengkontaminasi sari buah rekonstitusi.
Proses sterilisasi terdiri dari dua operasi yaitu pemanasan (sterilisasi
komersial) dan pengemasan. Proses ini terbagi menjadi tiga cara yaitu 1) produk dipanaskan kemudian dikemas dalam keadaan panas (contoh:saos,
selai), 2) produk dikemas kemudian dipanaskan (contoh: pengalengan), dan 3) produk dan kemasan dipanaskan secara terpisah kemudian produk dikemas dalam ruang steril atau proses aseptik, (contohnya produk UHT).
Menurut Bylund (1995), faktor-faktor yang mempengaruhi suhu dan
lama sterilisasi adalah a) keasaman produk, Ph ≤4.6 suhu 90-100 °C; pH ≥4.6
suhu ≥116 °C; b) jenis dan jumlah mikroba, jenis mikrobanya yaitu
Clostridium botulinum (patogen tahan panas), Bacillus stearothermophilus
(pembusuk tahan panas aerobik), dan Clostridium sporogenes (pembusuk
tahan panas anaerobik) selain itu jumlah mikroba tinggi memerlukan suhu
lebih tinggi atau waktu pemanasan lebih lama pada proses sterilisasi, c) kecepatan perambatan panas,jika panas merambat lebih cepat maka proses
sterilisasi lebih singkat.
Proses sterilisasi pada industri pangan dilakukan hingga mencapai sterilisasi komersial. Sterilisasi komersial yaitu suatu proses sterilisasi untuk membunuh semua jasad renik yang dapat menyebabkan kebusukan makanan pada kondisi suhu ruang. Dalam sterilisasi komersial terdapat konsep 12D artinya proses pemansan dapat menurunkan jumlah mikroba sebesar 12 siklus
logaritmik. Jika proses sterilisasi diberikan pada 109 kaleng dimana
masing-masing kaleng terdapat 103 spora bakteri, maka setelah proses
sterilisasi hanya ada 1 spora bakteri yang berpeluang hidup dalam 1 kaleng. Kontaminasi berasal dari spora bakteri yang bertahan, yang dinamakan process survivor. Untuk produk dengan keasaman tinggi, tujuan dari proses
Parameter mikrobiologi dari proses sterilisasi yaitu parameter proses, jumlah mikroba, kualitas bahan baku, level infeksi, multiplikasi dan sporulasi sebelum proses pemanasan, serta jenis dan resistensi spora bakteri (Von Bockelman dan Bockelman, 1998). Sehingga perlu diperhatikan spesifikasi bahan baku baik dari segi fisik, kimia maupun mikrobiologi. Sedangkan untuk proses pemanasan tergantung pada waktu dan suhu. Efektifitas mikrobiologi dari proses UHT dapat ditingkatkan dengan peningkatan suhu dan waktu penahanan.
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan minuman fruitmilk
adalah whey protein (Whey Protein Isolate (WPI) dan Whey Protein
Concentrate (WPC)) diperoleh dari PT. Ultrajaya Milk and Trading Company,
air, konsentrat sari buah (stroberi, apel, jeruk, jambu, blackcurrant), sukrosa, asam sitrat, asam malat, asam laktat, pewarna, mineral (Ca, Mg, Fe, P), stabilizer (pektin) dan flavor yang tersedia di PT. Sanghiang Perkasa.
Sedangkan bahan yang digunakan untuk analisis fisik dan kimia yaitu aquades, alkohol, dan larutan buffer 7, 4, dan 10.
Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan minuman fruitmilk adalah mixer tangan, timbangan, neraca analitik, kompor gas, homogenizer double
stage, hot plate, panci, dan pressure cooker. Sedangkan alat-alat yang
digunakan untuk analisis yaitu pH meter, refraktometer, viskometer, dan alat-alat gelas.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini meliputi penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan meliputi proses pembuatan minuman fruitmilk, pemilihan sumber protein, pemilihan konsentrat sari buah, dan pemilihan stabilizer. Pada penelitian pendahuluan dilakukan analisis organoleptik
Tahap 1: ↓
Formula dasar 1 Pemilihan sumber protein(a)
Tahap 2: ↓
Formula dasar 2 Pemilihan konsentrat sari buah(a)
Tahap 3; ↓
Formula dasar 3 Pemilihan stabilizer(a) Analisis
Tahap 4: ↓
Formula dasar 4 Pemilihan jenis pengasam(b)
Tahap 5: ↓
Formula dasar 5 Penambahan mineral(b)
Keterangan: (a)Penelitian Pendahuluan
(b)
Penelitian Lanjutan
Gambar 1. Kerangka Penelitian Pengembangan Fruitmilk
Tabel 4. Jenis Analisis untuk Tiap-tiap Tahap Perlakuan
Perlakuan Karakteristik Organoleptik Fisik dan Kimia
Pemilihan sumber protein Aroma dan kekentalan(a) -
Pemilihan konsentrat sari buah Aroma dan rasa(a) pH dan total
padatan terlarut (TPT)
Pemilihan konsentrasi konsentrat sari buah apel
rasa(a) -
Pemilihan stabilizer Penampakan dan tekstur(a) Viskositas
Pemilihan jenis pengasam warna, aroma, rasa dan
tekstur(b)
pH, TPT, dan viskositas
Penambahan mineral warna, aroma, rasa dan
tekstur(b)
pH, TPT, dan viskositas
Keterangan: (a)Dilakukan oleh 3 orang panelis terlatih
(b)Dilakukan oleh 20 orang panelis agak terlatih Mulai
1. Penelitian Pendahuluan
a. Proses Pembuatan Fruitmilk
Proses pembuatan fruitmilk dapat dibedakan menjadi dua jenis proses. Proses pertama meliputi pemilihan sumber protein dan konsentrat sari buah. Proses kedua meliputi pemilihan stabilizer, pemilihan jenis pengasam, dan penambahan mineral. Kedua proses tersebut secara rinci adalah sebagai berikut:
i. Proses pertama dalam pembuatan minuman fruitmilk menggunakan
bahan air, gula, asam sitrat, flavor, protein, dan konsentrat sari buah. Pada tahap ini bahan dicampur sampai homogen kemudian dianalisa oeh tiga orang panelis terlatih. Proses pertama untuk pembuatan minuman fruitmilk dapat dilihat pada Gambar 2.
←
(a) Diaduk (b)
Dianalisis
Keterangan: (a)Tahap 1: Pemilihan sumber protein
(b)
Tahap 2: Pemilihan konsentrat sari buah
Gambar 2. Proses Pertama Pembuatan Fruitmilk
sukrosa Air
Perlakuan protein Perlakuan konsentrat sari buah
Asam sitrat, dan Flavor
Konsentrat sari buah Protein
ii. Proses kedua dalam pembuatan minuman fruitmilk menggunakan bahan air, gula, pengasam, protein, konsentrat sari buah, stabilizer, pewarna, flavor dan mineral. Pada proses ini dilakukan pencampuran bahan (mixing), homogenisasi dua tahap (p1=20 bar; p2=160 bar), dan sterilisasi. Pencampuran pertama yaitu pektin dan sukrosa dilarutkan dengan air bersuhu 70 °C, pencampuran dilakukan dengan
menggunakan mixer yang berskala 3. Mixer yang digunakan
memiliki 3 skala dimana skala 1 merupakan kecepatan terendah dan skala 3 merupakan kecepatan tertinggi. Kemudian ditambahkan protein kedalam larutan pektin dan sukrosa, pencampuran dilakukan dengan mixer berskala 1. Setelah homogen dilakukan penurunan suhu larutan
menjadi < 10°C. Penurunan suhu dilakukan dengan cara merendamnya dalam air dingin. Proses selanjutnya adalah pencampuran pengasam, konsentrat sari buah, stabilizer, pewarna, flavor dan mineral kedalam larutan protein, pektin dan gula. Setelah homogen dilakukan pemanasan larutan hingga mencapai suhu 60-70 °C, pemanasan larutan
menggunakan hot plate. Kemudian larutan dihomogenisasi dengan
Dilakukan mixing dengan mixer skala 3
→ Dilakukan mixing dengan mixer skala 1 (b)
Dilakukan penurunan suhu <10 °C ←
(c) Diaduk Diaduk
Dilakukan Pre-Heating sampai mencapai suhu 60-70 °C
Dilakukan homogenisasi dua tahap (P1=20 bar dan P2=160 bar)
Dilakukan proses sterilisasi
(suhu dan waktu sterilisasi sesuai Tabel 5.)
Keterangan: (a)Tahap 3: Pemilihan stabilizer
(b)
Tahap 4: Pemilihan pengasam
(c)
Tahap 5: Penambahan mineral
Gambar 3. Proses Kedua Pembuatan Fruitmilk
Tabel 5. Hubungan pH dan Suhu pada Proses Sterilisasi pH Waktu
Sumber: Von Bockelmann dan Von Bockelmann, 1998 Protein
Konsentrat sari buah, Flavor, dan Pewarna
Fruitmilk
Pektin(a)+sukrosa Air bersuhu±70 °C
Perlakuan pengasam
Pada Tabel 5. terlihat bahwa kondisi pH rendah maka suhu sterilisasi lebih rendah dibandingkan dengan kondisi pH yang lebih tinggi untuk waktu yang sama.
b. Pemilihan Sumber Protein
Penelitian pada tahap ini untuk memilih sumber protein dan formula dasar yang digunakan adalah air, sukrosa, asam sitrat, konsentrat stroberi, dan flavor. Sumber protein yang digunakan adalah konsentrat whey protein (WPC) dan isolat whey protein (WPI). Jumlah protein yang digunakan disesuaikan dengan target produk fruitmilk. Dimana jumlah protein dihitung dengan melihat persentase protein WPC dan WPI pada spesifikasi bahan baku, sehingga produk fruitmilk yang dihasilkan diharapkan mengandung protein sebesar 7 gram dalam 200 g minuman fruitmilk. Konsentrasi protein dalam WPC dan WPI masing-masing
sebesar 80 dan 90%, untuk mendapatkan produk dengan kandungan protein sebesar 7 gram dalam 200 g minuman digunakan perhitungan dengan menggunakan neraca keseimbangan massa. Perlakuannya meliputi formula WPC, WPI, kombinasi WPC dan WPI dengan perbandingan 1:1 dan 4:1 %B/B. Parameter untuk memilih sumber protein yang paling sesuai untuk produk fruitmilk adalah karakteristik organoleptik yaitu kekentalan dan aroma dengan menggunakan tiga orang panelis terlatih.
c. Pemilihan Konsentrat Sari Buah
yaitu aroma dan rasa dengan menggunakan tiga orang panelis terlatih. Selain itu diamati nilai pH dan total padatan terlarut dari produk fruitmilk. Sedangkan untuk pengamatan konsentrasi konsentrat sari buah
apel diamati karakteristik organoleptik rasa saja.
d. Pemilihan Stabilizer
Penelitian pada tahap ini untuk memilih jenis dan konsentrasi stabilizer. Sebagai formula dasar adalah protein terpilih (pada penelitian
pendahuluan tahap 1), konsentrat sari buah terpilih (pada penelitian pendahuluan tahap 2), air, sukrosa, asam sitrat, flavor, pewarna dan mineral. Perlakuan pada penelitian ini yaitu menggunakan pektin A dan B dengan konsentrasi masing-masing 0.1, 0.3 dan 0.5 % B/B. Parameter untuk memilih jenis dan konsentrasi sari buah yang paling sesuai untuk produk fruitmilk adalah karakteristik organoleptik yaitu penampakan dan tekstur dengan menggunakan tiga orang panelis terlatih. Selain itu diamati nilai viskositas dari produk fruitmilk.
2. Penelitian Lanjutan
a. Pemilihan Jenis Pengasam
Penelitian pada tahap ini untuk memilih jenis pengasam dan formula dasar yang digunakan adalah protein terpilih (pada penelitian pendahuluan tahap 1), konsentrat sari buah terpilih (pada penelitian pendahuluan tahap 2), stabilizer (pada penelitian pendahuluan tahap 3), air, sukrosa, flavor, dan pewarna. Pengasam yang digunakan adalah
asam sitrat (0.35 %B/B), asam malat (0.35 %B/B), dan asam laktat (0.4 %B/B). Jenis dan konsentrasi asam tersebut didasarkan pada
pH High Acid Liquid Food yaitu ≤4.6 dan memiliki rasa yang enak. Parameter untuk memilih jenis asam yang paling sesuai untuk produk fruitmilk adalah karakteristik organoleptik dengan metode
b. Penambahan Mineral
Penelitian pada tahap ini untuk melakukan penambahan mineral pada
produk fruitmilk. Penambahan mineral dilakukan untuk meningkatkan
nilai gizi produk. Unsur mineral yang ditambahkan adalah kalsium, fosfor, magnesium dan besi. Sebagai formula dasar adalah protein terpilih (pada penelitian pendahuluan tahap 1), konsentrat sari buah terpilih (pada penelitian pendahuluan tahap 2), stabilizer (pada penelitian pendahuluan tahap 3), bahan pengasam terpilih (pada penelitian lanjutan tahap 1), air, sukrosa, flavor, dan pewarna.
Penambahan mineral mengakibatkan kenaikan pH produk. Kenaikan pH produk mengakibatkan konsentrasi asam yang ditambahkan pada
produk semakin besar untuk bisa mencapai pH ≤4.6. Konsentrasi asam
laktat yang ditambahkan adalah 0.6% B/B sedangkan untuk asam malat sebesar 0.4% B/B. Konsentrasi mineral disesuaikan dengan target kandungan mineral pada produk yang dapat dilihat pada Tabel 6.
Selanjutnya diamati mutu organoleptik produk fruitmilk dengan
penambahan mineral menggunakan metode kesukaan/hedonik terhadap atribut warna, rasa, aroma, dan tekstur dengan menggunakan 20 orang panelis agak terlatih.
Tabel 6. Kandungan Mineral Fruitmilk
Mineral Kandungan per 200 ml
Kalsium 350 mg
Fosfor 233 mg
Magnesium 50 mg
C. METODE ANALISIS
1. Nilai pH (Apriyantono et al., 1989).
Pengukuran derajat keasaman menggunakan alat pH meter. Sebelum digunakan, alat dikalibrasi terlebih dahulu dengan menggunakan
larutan buffer pH 7, 4 dan 10. Formula minuman diambil 25 ml dalam
gelas kecil, kemudian elektroda pH meter dicelupkan ke dalam minuman dan dilakukan pembacaan pH minuman setelah dicapai nilai konstan yang ditandai dengan tulisan ready pada pH meter.
2. Viskositas (Muchtadi dan Sugiyono, 1989)
Spindel viskometer dipasang terlebih dahulu pada viskometer. Fruitmilk kira-kira 150-200 ml dimasukkan ke dalam gelas, kemudian spindel viskometer dimasukkan ke dalam wadah yang berisi fruitmilk, setelah itu tombol on pada viskometer ditekan. Setelah stabil nilai viskositas dapat dilihat pada skala yang ada di viskometer. Kecepatan yang dipakai pada pengukuran adalah 60 rpm sedangkan spindel yang dipakai adalah spindel nomor 1, 2 dan 3.
3. Total Padatan Terlarut (TPT) (Apriyantono et al., 1989).
Pengukuran total padatan terlarut sampel dilakukan dengan menggunakan refraktometer. Sebanyak dua tetes sampel diteteskan pada refraktometer lalu dilihat batas terang-gelapnya dan dibaca skalanya. TPT dinyatakan dalam °Brix.
4. Analisis Organoleptik (Rahayu, 2001)
Analisis organoleptik yang dilakukan dibedakan menjadi dua yaitu metode deskripsi yang bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik produk dan metode hedonik bertujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan
panelis terhadap produk minuman fruitmilk yang dihasilkan. Metode
hedonik dilakukan pada pemilihan jenis pengasam dan penambahan mineral dengan menggunakan 20 orang panelis agak terlatih yang merupakan karyawan PT. Sanghiang Perkasa. Atribut produk yang diamati adalah warna, aroma, rasa, dan tekstur sesuai dengan perlakuannya. Skala hedonik yang digunakan adalah 1-5, dimana angka 1=sangat tidak suka, 2=tidak suka, 3=biasa, 4=suka, dan 5=sangat suka. Formulir analisis organoleptik dengan metode hedonik dapat dilihat pada Lampiran 2. Data analisis organoleptik selanjutnya dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis sidik ragam. Selain itu dihitung persentase kesukaan untuk dapat diterima terhadap produk, produk diterima apabila memiliki persentase kesukaan >70%. Cara penghitungannya adalah sebagai berikut:
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENELITIAN PENDAHULUAN
1. Proses Pembuatan Minuman Fruitmilk
Minuman fruitmilk merupakan minuman yang berbasis pada whey
protein susu. Formulasi yang sudah beredar dipasaran dapat dilihat pada Tabel 7. Pengembangan produk berbasis whey protein susu yang dilakukan
Djuric et al. (2004), menggunakan bahan diantaranya, fresh whey, sukrosa,
air, asam sitrat, konsentrat jeruk, apel, peach, dan pear. Sedangkan
formulasi dasar minuman fruitmilk yang sedang dikembangkan tidak dapat
dituliskan karena merupakan hak cipta dari perusahaan.
Tabel 7. Formulasi Fruitmilk Berdasarkan Literatur Komponen 0.7%protein 3.0%protein
Fresh whey 75.50 -
Whey konsentrat - 8.50
Pektin 0.1 0.3
Gula 6.00 6.00
Asam sitrat 0.65 0.65
Sodium sitrat 0.55 0.55
Konsentrat buah 15.00 15.00
Air - 69.40
100.00 100.00
Sumber: Von Bockelman dan Von Bockelman, 1998
Proses pembuatan minuman fruitmilk terbagi menjadi tiga proses
utama yaitu tahap pencampuran, homogenisasi dan sterilisasi. Proses pencampuran dilakukan untuk menghasilkan larutan yang homogen. Pencampuran pertama antara gula, pektin dan air bersuhu 70 °C dengan mixer berkecepatan tinggi. Pektin dapat terdispersi secara merata pada
Kemudian ditambahkan whey protein dengan kecepatan mixer yang rendah agar tidak terbentuk banyak busa. Hal ini disebabkan karakteristik whey protein yang digunakan memiliki daya busa yang relatif tinggi.
Pembentukan busa pada produk mengakibatkan proses homogenisasi kurang efektif karena busa memerangkap udara yang dapat menghambat penghomogenan dari partikel-partikel dalam produk. Selain itu busa juga mengurangi efektivitas sterilisasi karena mikroba yang terperangkap dalam udara tidak terkena efek letal sterilisasi dan mengakibatkan produk tidak steril.
Tahap selanjutnya adalah penurunan suhu larutan menjadi <10°C, lalu dicampurkan konsentrat sari buah, pengasam, flavor, dan mineral. Suhu rendah dimaksudkan agar protein tidak menggumpal ketika terjadi penurunan pH dan selama penurunan suhu stabilizer bisa bekerja optimal dalam melindungi protein. Setelah proses pencampuran dilakukan pemanasan awal hingga produk mencapai suhu 60-70 °C. Suhu tersebut merupakan suhu terbaik untuk homogenisasi produk susu. Suhu yang relatif tinggi pada proses homogenisasi digunakan agar pembentukan membran partikel baru menjadi lebih cepat sehingga menghambat clustering (pengelompokan) dalam katup homogenisasi (Widodo, 2003). Proses homogenisasi ini sangat penting untuk menghancurkan agregat protein dan memastikan pektin menempel pada protein, sehingga pada proses pemanasan protein tidak mengalami penggumpalan (Danischo, 2005).
Homogenisasi yang dilakukan pada produk fruitmilk adalah homogenisasi
dua tahap dengan tekanan total 180 bar, dimana tekanan pertama sebesar 20 bar dan tekanan kedua sebesar 160 bar.
Homogenisasi jenis double stage dilakukan untuk mencapai efisiensi homogenisasi yang optimal. Homogenisasi dua tahap biasa dilakukan pada produk dengan kandungan lemak tinggi, produk dengan kandungan dry matter yang tinggi serta bahan dengan viskositas rendah. Homogenisasi bertujuan untuk memperkecil ukuran globula lemak agar tidak terjadi cream line, menjadikan warna lebih putih, mengurangi oksidasi lemak dan
homogenisasi dilakukan pengisian produk ke dalam botol gelas yang tahan panas, setelah itu produk dimasukkan kedalam panci berisi air (sebagai medium pemanas) untuk disterilisasi. Simulasi proses sterilisasi untuk
produk fruitmilk berdasarkan Von Bockelmann dan Von Bockelmann
(1998), produk dengan pH 4.2 disterilisasi pada suhu 95 °C selama 20 menit untuk mencapai sterilisasi komersial. Proses ini dikenal dengan
istilah High Temperature Long Time (HTLT). Proses pembuatan minuman fruitmilk yang sedang dikembangkan dan dibandingkan dengan proses yang
sudah ada dapat dilihat pada Gambar 4.
Keterangan: a) Bagan Alir Pembuatan Fruitmilk dan,
b) Bagan Alir Pembuatan Long Life Whey Drink (Von
Bockelman dan Von Bockelman, 1998)
Gambar 4. Bagan Alir Pembuatan Whey Based Drink Protein
Fruitmilk
Pektin+sukrosa+air
Whey powder
Fruitmilk termasuk dalam kelompok makanan berasam tinggi (High Acid Liquid Food) dengan pH kurang ≤4.6 (Von Bockelman dan Von Bockelman, 1998). Produk High Acid Liquid Food merupakan kelompok pangan yang relatif aman secara mikrobiologis karena bakteri patogen dan spora bakteri pembusuk tidak dapat tumbuh. Oleh karena itu proses pemanasan untuk mencapai efisiensi sterilisasi lebih rendah daripada Low Acid Liquid Food. Dimana tipikal proses untuk Low Acid Liquid Food
adalah 130-150 °C dengan waktu penahanan (Holding Time) selama 4 detik, sedangkan High Acid Liquid Food adalah 85-95°C dengan
waktu penahanan (Holding Time) selama 30-15 detik atau beberapa menit (Von Bockelman dan Von Bockelman, 1998). Perbedaan mendasar pada kedua proses tersebut terletak pada proses sterilisasinya. Produk yang sudah beredar dipasaran menggunakan metode sterilisasi High Temperature Short Time (HTST) yang merupakan proses sterilisasi dengan menggunakan suhu
tinggi dalam waktu yang singkat yaitu 90 °C selama 30 detik. Sedangkan
produk fruitmilk yang sedang dikembangkan menggunakan metode
sterilisasi High Temperature Long Time (HTLT) yang merupakan proses
sterilisasi dengan menggunakan suhu tinggi dalam waktu yang lama yaitu 95 °C selama 20 menit. Kedua macam metode sterilisasi mampu
memberikan kerusakan spora yang sama tetapi metode HTST menghasilkan produk dengan kualitas yang lebih baik. Hal ini disebabkan HTST memiliki waktu penahanan yang singkat dimana pengaruh pemanasan terhadap produk menjadi lebih minimal dibandingkan pengaruh pemanasan pada metode HTLT. Pada penelitian ini digunakan metode HTLT karena adanya keterbatasan alat.
2. Pemilihan Sumber Protein
Sumber protein yang dipakai dalam minuman fruitmilk adalah WPC
Tabel 8. Spesifikasi WPC dan WPI yang Dipakai dalam Minuman Fruitmilk
Karakteristik WPC WPI
Kandungan protein 80% 90%
Penampakan Bubuk berwarna krem Bubuk berwarna kuning
Flavor dan bau Typical dairy flavor Mild flavor
Sifat spesifik Memiliki penampakan
bening, stabil dalam larutan dalam proses pemanasan.
Memiliki 9% total solid larutan stabil setelah dipanaskan pada suhu 90 °C selama 8 menit
Minuman fruitmilk merupakan minuman berprotein tinggi dengan
berbasis pada whey protein susu yang tergolong dalam High Acid Liquid Food, selanjutnya produk ini akan diproses dengan cara sterilisasi. Sehingga sumber protein yang dipakai harus memiliki karakteristik fungsional yaitu kandungan protein yang tinggi, stabilitas asam dan stabilitas panas yang baik.
Protein terdiri dari dua fraksi yaitu kasein dan whey. Berbeda dengan kasein, whey protein tidak terlalu sensitif terhadap koagulasi asam, sehingga cocok digunakan untuk produk yang bersifat asam. Sedangkan sifat tahan panas dari whey protein disebabkan proses proteolisis terbatas dari konsentrat whey protein. Menurut Damodaran dan Paraf (1997), proteolisis terbatas mengurangi sifat emulsifikasi, meningkatkan volume busa tetapi menurunkan stabilitas busa dan meningkatkan stabilitas panas.
Jenis-jenis whey protein susu dan karakteristik fungsionalnya dapat
dilihat pada Tabel 9 yang dapat membantu formulator untuk memilih whey yang digunakan dalam pembuatan produk minuman. Sesuai Tabel 9 sumber
protein yang sesuai dengan karakteristik produk fruitmilk adalah Whey
Protein Concentrate (WPC) dan Whey Protein Isolate (WPI). WPC yang
Tabel 9. Karakteristik Fungsi Whey yang Penting pada Produk Minuman
Keterangan:
•
= memiliki karakteristik fungsi yang baik.Whey demineralisasi=whey yang telah dihilangkan mineralnya WPC34=konsentrat whey protein dengan kandungan protein 34% WPC50=konsentrat whey protein dengan kandungan protein 50% WPC75=konsentrat whey protein dengan kandungan protein 75% WPC80=konsentrat whey protein dengan kandungan protein 80% WPI=isolat whey protein
Produk fruitmilk dengan perlakuan WPC memiliki karakteristik seperti susu dengan rasa dan aroma yang menyenangkan. Akan tetapi penggunaan WPC secara keseluruhan sebagai sumber protein akan membuat produk cenderung kearah milky, hal ini tidak diinginkan karena target konsumen yaitu orang-orang yang tidak terlalu menyukai susu tetapi memerlukan asupan protein tinggi. Pada Tabel 10 dapat dilihat hasil dari perlakuan terhadap sumber protein yang digunakan yaitu WPC (Whey Protein Concentrate), WPI (Whey Protein Isolate) serta kombinasi WPC dan WPI dengan perbandingan 1:1 dan 4:1 %B/B.
Tabel 10. Hasil Perlakuan Penambahan WPC dan WPI
Perlakuan sumber protein Karakteristik organoleptik
(aroma dan kekentalan)
WPC Aroma susu kuat, kekentalan tinggi
WPI Aroma powdery, kekentalan rendah
WPC:WPI = 1:1 Aroma powdery, kekentalan rendah
Produk fruitmilk dengan perlakuan WPI memiliki aroma powdery yang kurang enak. Hal ini dikarenakan WPI memiliki karakteristik aroma powdery yang dominan dan tidak tertutupi dengan penambahan konsentrat sari buah dan flavor. Selain itu aroma kurang menyenangkan (off flavor) terbentuk akibat reaksi Maillard antara protein dan gula pereduksi. Reaksi Maillard juga mengakibatkan warna susu menjadi agak coklat. Selain itu pada
pembuatan french fries terbentuk senyawa akrilamida yang merupakan
senyawa karsinogen bagi tubuh (Ismunandar, 2003). WPI memiliki kandungan protein tinggi mencapai 90% dan memiliki kekentalan yang rendah. Sehingga penambahan WPI dikombinasikan dengan WPC. Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa sumber protein yang memiliki penerimaan organoleptik yang bisa diterima adalah kombinasi WPC dan WPI dengan perbandingan 4:1 % B/B. Kombinasi tersebut menghasilkan aroma dan kekentalan yang bisa diterima, sehingga untuk selanjutnya digunakan kombinasi tersebut.
Produk fruitmilk memiliki kandungan protein (yang diharapkan)
sebesar 3.5 %B/V atau 7 gram dalam 200 ml. Kebutuhan protein orang
dewasa sebesar 0.8 kg/BB/hari, untuk orang dewasa dengan berat badan 50 kg kebutuhan proteinnya perhari adalah sebesar 40 gram. Konsumsi fruitmilk dua kali (2x200ml) dapat memenuhi kebutuhan protein orang tersebut sebesar 35% per hari.
3.Pemilihan Konsentrat Sari Buah
Tabel 11. Hasil Percobaan Penggunaan Beberapa Jenis Konsentrat Sari Buah pada Produk Fruitmilk
Perlakuan konsentrat sari buah
pH TPT
(°Brix) Karakteristik organoleptik (aroma dan rasa)
Stroberi 4.39 19 Diterima secara aroma dan rasa
Blackcurrant 4.00 18.75 Tidak dapat diterima secara rasa
Jambu 4.19 19.5 Tidak dapat diterima secara
aroma
Apel 4.49 18.75 Diterima secara aroma dan rasa
Jeruk 4.18 18.5 Tidak dapat diterima secara rasa
Produk dengan kelima macam konsentrat buah memiliki nilai
pH ≤4.6 dengan total padatan terlarut antara 18.5-19.5 °Brix. Produk
dengan penambahan konsentrat jeruk dan blackcurrant tidak dapat diterima karena rasa produk yang terlalu asam. Sedangkan produk dengan penambahan konsentrat jambu memiliki aroma yang kurang enak sehingga tidak dapat diterima secara organoleptik.
Dari Tabel 11 dapat diketahui bahwa produk yang dapat diterima secara rasa dan aroma adalah produk dengan penambahan konsentrat stroberi dan apel. Sehingga selanjutnya konsentrat sari buah yang dipakai adalah stroberi dan apel.
Produk dengan konsentrat apel memiliki pH yang tinggi sehingga dilakukan penurunan pH dengan cara penambahan konsentrasi konsentrat apel yaitu menjadi 5, 10, dan 15 %B/B. Hasil dari perlakuan tersebut dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil Perlakuan Perbedaan Konsentrasi Konsentrat Apel pada Produk Minuman Fruitmilk
Perlakuan konsentrasi (%B/B) konsentrat sari buah apel
Karakteristik organoleptik (rasa)
5 Asam dan sepat
10 Asam dan sepat
15 Asam dan sepat
diterima secara organoleptik. Penggunaan konsentrat apel tidak digunakan lagi sehingga untuk selanjutnya dipilih konsentrat buah yang memiliki pH yang rendah yang tidak menimbulkan rasa sepat dan memiliki rasa manis yaitu konsentrat stroberi dengan konsentrasi 1% B/B.
4. Pemilihan Stabilizer
Hasil dari perlakuan pemilihan stabilizer dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Hasil Perlakuan Jenis dan Konsentrasi Pektin
Jenis Pektin Konsentrasi (%B/B)
0.5 Stabil dan kekentalan
tinggi
350
Pektin B 0.1 Stabil dan kekentalan
tinggi 160
0.3 Stabil dan kekentalan
tinggi 750
0.5 Stabil dan kekentalan
tinggi 1500
Penggumpalan pada pektin A dengan konsentrasi 0.1 dan 0.3 %B/B disebabkan konsentrasi pektin tidak dapat menstabilkan sistem protein dalam produk fruitmilk. Terlihat dari Tabel 13 untuk pektin A konsentrasi
untuk bias menstabilkan sistem protein bisa dicapai pada
konsentrasi 0.5% B/B. Pada Tabel 13 dapat dilihat bahwa pektin A dan B bisa menstabilkan protein dalam produk dengan konsentrasi yang berbeda yaitu 0.5 %B/B untuk pektin A dan 0.1 %B/B untuk pektin B. Pektin B menghasilkan produk dengan kekentalan yang lebih rendah (sebesar 160 cps) dibandingkan pektin A (dengan kekentalan 350 cps). Sehingga untuk selanjutnya digunakan pektin B dengan konsentrasi 0.1 %B/B.
Produk fruitmilk memiliki kandungan protein tinggi dan mempunyai
itu proses pemanasan juga mempertinggi risiko denaturasi protein. Laju denaturasi tergantung pada suhu dan untuk protein lajunya meningkat 600
kali dengan peningkatan suhu sebesar 10 oC (Fox dan Sweeney, 1998).
Proses denaturasi menghasilkan produk dengan tekstur kurang bagus yang terlihat dengan adanya pemisahan whey protein. Sehingga perlu ditambahkan stabilizer untuk menghasilkan produk fruitmilk yang stabil.
Stabilizer berfungsi untuk meningkatkan kestabilan pada produk
makanan. Macam-macam stabilizer adalah gum arab, pektin, agar-agar, karagenan, dan metil selulosa. Stabilizer yang digunakan pada produk fruitmilk adalah pektin. Menurut Burrington (2000), pektin bisa menstabilisasi whey protein pada produk RTD ber-pH rendah yaitu 3.0-5.5. Aplikasi pektin dalam industri pangan dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Jenis-jenis Pektin dan Aplikasi Penggunaannya Jenis Pektin
dan Derajat Esteri-fikasi
(%)
Klasifikasi Aplikasi penggunaan
High Ester
Slow set (a) Jellies,Rerotian, Konfeksionary
Special use (a) Jelly (industri rumah) Low Ester
Rendah (b) Reduced sugar product
Rendah (b) Reduced sugar product
Sedang (b) Low sugar/low acid product
Tinggi (b) Low sugar/low acid product
Tinggi (b) Low sugar/low acid product
Pektat Non acid food, clarifying agent
Sumber: Nussinovitch, 1997.
Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa jenis pektin yang cocok untuk
produk fruitmilk adalah High Ester Pectin (HE pektin) dengan derajat
esterifikasi sekitar 70-80 %. Low Ester Pectin (LE pektin) merupakan pektin yang diperoleh dari proses lanjutan dari HE pektin yang mengalami perlakuan asam, alkali atau enzim.
HE Pektin cocok digunakan untuk produk dengan kisaran pH 3.6-4.5. Mekanisme stabilisasinya adalah stabilisasi sterik, dimana terjadi interaksi elektrostatik antara stabilizer dengan protein (Danischo, 2005). Stabilisasi sterik mencegah protein dari agregasi dengan pelepasan flavor yang cepat den kesan mouthfeel yang bagus.
Selain jenis stabilizer, konsentrasi stabilizer yang digunakan juga
penting dalam pembuatan produk fruitmilk. Keefektifan konsentrasi
stabilizer dapat dilihat setelah proses pemanasan. Konsentrasi stabilizer
dikatakan efektif bila setelah proses pemanasan produk yang dihasilkan stabil tidak terjadi penggumpalan protein dan pemisahan whey protein yang
dapat diamati secara visual. Kestabilan sistem protein pada produk sangat
penting, hal itu dapat terlihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Perbandingan Produk Fruitmilk yang Stabil dan Tidak Stabil Karakteristik Produk Stabil Produk Tidak
Stabil
Kualitas produk tinggi rendah
Cemaran mikroba pembusuk
risiko rendah risiko tinggi
Penampakan tidak ada pemisahan
lapisan
pemisahan lapisan
Kesan mouthfeel lembut berpasir
kekentalan konsisten tidak terkontrol
Sumber: Danischo, 2005.