TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN
DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH
(Studi Kasus Kabupaten/Kota Di Provinsi Banten)
DUDI HERMAWAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Terhadap Pemerataan Kemampuan Keuangan dan Kinerja Pembangunan Daerah (Studi Kasus Kabupaten/Kota di Provinsi Banten) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2007
DUDI HERMAWAN. Analisis Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Terhadap Pemerataan Kemampuan Keuangan dan Kinerja Pembangunan Daerah (Studi Kasus Kabupaten/Kota di Provinsi Banten). Dibimbing oleh SETIA HADI dan NOER AZAM ACHSANI.
Salah satu tujuan pelaksanaan desentralisasi fiskal yang merupakan amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 adalah untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antardaerah (mengoreksi horizontal imbalance), sehingga setiap daerah di Indonesia memiliki kemampuan keuangan yang relatif sama dalam membangun daerahnya. Koreksi horizontal imbalance tersebut dilakukan melalui pengalokasian Dana Alokasi Umum (DAU). Dengan mekanisme DAU, daerah yang miskin akan mendapat proporsi DAU yang lebih tinggi dari daerah yang kaya.
Dalam penelitian ini dianalisis dampak pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap pemerataan kemampuan keuangan dan kinerja pembangunan daerah kabupaten/kota di Provinsi Banten. Pemerataan kemampuan keuangan antardaerah dianalisis dengan Indeks Williamson, sedangkan kinerja pembangunan daerah untuk bagian (1) perekonomian dianalisis dengan LQ, SSA, Entropy; (2) keuangan dianalisis dengan derajat desentralisasi dan kemandirian daerah; (3) kesejahteraan penduduk dianalisis dengan Indeks Williamson, laju pengangguran, Gini Rasio, dan Indeks Pembangunan Manusia; (4) pengaruh desentralisasi fiskal terhadap perkembangan perekonomian dan distribusi pendapatan dianalisis dengan ekonometrika – metode Panel Data.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pengalokasian DAU belum sepenuhnya menunjukkan peranan DAU sebagai mediasi pemerataan kemampuan keuangan antardaerah. Adapun peranan DAU di wilayah Banten selama tahun 2001-2005 adalah (a) meningkatkan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah tercermin pada nilai Indeks Williamson dari 0,45 pada tahun 2000 (pra desentralisasi fiskal) menjadi berkisar 0,23-0,33 pada tahun 2001-2005 (masa desentralisasi fiskal), (b) berdasarkan hasil estimasi panel data, DAU belum mampu mendukung perkembangan perekonomian daerah dan memperburuk distribusi pendapatan.
Daerah Banten secara umum terbagi menjadi dua bagian, yaitu (1) Banten Utara terdiri atas Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kabupaten Serang dan Kota Cilegon, (2) Banten Selatan terdiri atas Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang. Hasil analisis memperlihatkan bahwa kinerja pembangunan daerah Banten Utara lebih baik dari Banten Selatan.
TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN
DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH
(Studi Kasus Kabupaten/Kota Di Provinsi Banten)
DUDI HERMAWAN
Tesis
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Pemerataan Kemampuan Keuangan dan Kinerja Pembangunan Daerah (Studi Kasus Kabupaten/Kota di Provinsi Banten)
Nama : Dudi Hermawan
NIM : A253050034
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Perencanaan Wilayah
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Menjadi laki-laki adalah masalah
kelahiran, tetapi menjadi pria sejati
adalah masalah pilihan
(Edwin Louis Cole)
Pria sejati adalah pria yang dari mulut istrinya keluar
kata-kata….
suamiku aku semakin mencintaimu, aku aman
berada di sampingmu,
dan dari mulut anak-anaknya
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulisan tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis dengan judul Analisis Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Terhadap Pemerataan Kemampuan Keuangan dan Kinerja Pembangunan Daerah (Studi Kasus Kabupaten/Kota di Provinsi Banten), bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan desentralisasi fiskal dan implikasinya terhadap kinerja pembangunan daerah kabupaten/kota di Provinsi Banten.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada:
1. Rika Arlina, Rinaldo Dikaputra dan Geristo Dikaputra yang senantiasa memberikan kekuatan, penghiburan dan merupakan belahan jiwa bagi kehidupan penulis;
2. Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS yang dengan penuh perhatian dalam membimbing dan memberikan pencerahan kepada penulis;
3. Bapak Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan masukkan kepada penulis;
4. Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr beserta segenap staf pengajar dan manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB;
5. Pimpinan dan staf Pusbindiklatren BAPPENAS atas beasiswa yang telah diberikan kepada penulis;
6. Pimpinan dan staf Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasional, Departemen Keuangan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar di Institut Pertanian Bogor;
7. Rekan-rekan Program Studi Perencanaan Wilayah Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor tahun 2005;
8. Semua pihak yang telah berperan dalam penulisan tesis ini.
Penulis berharap tesis ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah di wilayah Provinsi Banten serta kalangan akademisi yang berminat dalam kajian keuangan negara/daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia.
Bogor, Februari 2007
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 8 Oktober 1965 dari Bapak yang bernama Bustari dan Ibu Herlina. Penulis adalah putra keenam dari dari tujuh bersaudara.
Tahun 1990 penulis lulus dari Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran Bandung, pada tahun yang sama penulis bekerja di PT Borsumij Wehry Indonesia Jakarta sampai dengan tahun 1993. Selanjutnya, mulai tahun 1993 sampai dengan saat ini penulis bekerja di Departemen Keuangan Jakarta. Selain itu, pada malam hari penulis menjadi dosen di Akademi Manajemen Kesatuan Bogor, dan STIE Kesatuan Bogor sejak tahun 2002.
Pada tahun 2004 penulis melanjutkan kuliah di Program Magister Manajemen Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2005 penulis menerima beasiswa dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Bappenas untuk melanjutkan pendidikan S2 di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2007.
Halaman
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
DAFTAR ISTILAH ... xiii
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Perumusan Masalah ... 5
Kerangka Pemikiran ... 6
Tujuan Penelitian ... 8
Manfaat Penelitian ... 8
Batasan Penelitian ... 9
TINJAUAN PUSTAKA ... 10
Desentralisasi Fiskal ... 10
Transfer Pusat ... 11
Vertical Equalization Transfer ... 12
Horizontal Equalization Transfer ... 13
Correcting Spatial Externalities ... 15
Redirecting Priorities ... 16
Jenis-Jenis Transfer Pusat ... 16
Unconditional Transfer ... 17
Conditional Transfer ... 20
Sumber-sumber Penerimaan Daerah ... 26
METODOLOGI PENELITIAN... 32
Lokasi dan Waktu Penelitian ... 32
Metode Pengumpulan Data ... 32
Metode Analisis ... 32
Evaluasi Formula DAU... 32
Indeks Williamson (WI) ... 33
Location Quotient (LQ) ... 34
Indeks Entropy ... 35
Shift-Share Analysis (SSA) ... 35
Gini Rasio ... 36
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)) ... 38
Model Ekonometrika-Metode Panel Data ... 39
Kondisi Geografis ... 43
Klimatologi ... 44
Topografi ... 45
Sumber Daya Alam... 45
Kependudukan ... 46
Produk Domestik Regional Bruto ... 49
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah... 51
HASIL DAN PEMBAHASAN... 55
Analisis Formula DAU ... 55
Formula DAU Tahun 2001 ... 57
Formula DAU Tahun 2002 ... 64
Formula DAU Tahun 2003-2005 ... 67
Analisis Pemerataan Kemampuan Keuangan Antardaerah di Provinsi Banten... 70
Analisis Kinerja Pembangunan Daerah ... 77
Kinerja Perekonomian Daerah ... 77
Kinerja Keuangan Daerah... 88
Ketenagakerjaan ... 92
Analisis Kesejahteraan Penduduk ... 94
Pendapatan Per Kapita ... 94
Gini Rasio ... 96
Indeks Pembangunan Manusia ... 99
Analisis Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Perekonomian dan Distribusi Pendapatan: Estimasi dengan Model Panel Data ... 105
Pengaruh desentralisasi fiskal terhadap perkembangan perekonomian ... 107
Pengaruh desentralisasi fiskal terhadap distribusi pendapatan ... 110
Implikasi Strategi Pembangunan Provinsi Banten ... 113
SIMPULAN DAN SARAN ... 117
Simpulan ... 117
Saran ... 119
DAFTAR PUSTAKA ... 120
Halaman
1. Proporsi bagi hasil sumber daya alam sebelum dan setelah UU 25/1999 .. 13
2. Jumlah DAU dan Dana Penyeimbang tahun 2001-2005 ... 19
3. Jumlah Dana Alokasi Khusus tahun 2003-2005 ... 22
4. Sumber-sumber penerimaan daerah sebelum desentralisasi fiskal ... 27
5. Sumber-sumber penerimaan daerah setelah desentralisasi fiskal ... 30
6. Bentuk Panel Data ... 40
7. Matriks masalah, tujuan dan metode analisis ... 41
8. Demografi Provinsi Banten tahun 2001 dan 2005... 47
9. Penduduk berumur 15 tahun ke atas menurut kegiatan seminggu di Provinsi Banten tahun 2002 dan 2005 ... 48
10. PDRB atas harga konstan 2000 menurut lapangan usaha di Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 50
11. Realisasi APBD wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 54
12. Perbandingan perhitungan DAU tahun 2001-2005 ... 68
13. DAU kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 71
14. Pendapatan APBD dan DAU per kapita di wilayah Provinsi Banten tahun 2000 dan tahun 2001-2005 ... 74
15. Indeks Williamson atas Kapasitas Fiskal di wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005... 75
16. Proporsi rata-rata lapangan usaha di wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 79
17. Pertumbuhan rata-rata PDRB atas harga konstan 2000 di wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 82
18. LQ kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 83
19. SSA kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 85
20. Sektor-sektor yang memiliki keunggulan kompetitif di Wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 87
21. Proporsi pos pendapatan terhadap total pendapatan APBD di wilayah Provinsi Banten tahun 2001 dan 2005 ... 90
22. Proporsi PAD dan PDS terhadap belanja daerah di wilayah Provinsi Banten tahun 2001 dan 2005 ... 91
23. Tingkat pengangguran di Wilayah Provinsi Banten tahun 2002-2005 ... 93
24. Pendapatan per kapita di Wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 95
25. Indeks Williamson PDRB per kapita di wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 96
26. Gini rasio dan kemiskinan relatif di Wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 98
27. Indeks Pembangunan Manusia di Wilayah Provinsi Banten tahun 2002-2004 ... 99 28. Ringkasan output hasil estimasi perkembangan perekonomian per daerah
dengan fix effect-cross section specific coefficient-cross section weighting 107 29. Ringkasan output hasil estimasi distribusi pendapatan per daerah
Halaman
1. Diagram alir latar belakang penelitian... 4
2. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian... 7
3. Koreksi spillovers melalui transfer ... 15
4. Efek unconditional grants terhadap pembiayaan daerah ... 18
5. Efek open-ended matching grants terhadap pembiayaan daerah ... 21
6. Efek closed-ended matching grants terhadap pembiayaan daerah ... 24
7. Efek non-matching grants terhadap pembiayaan daerah ... 25
8. Diagram alir kerangka analisis penelitian... 42
9. Peta administrasi Provinsi Banten ... 44
10. Prosedur penyusunan formula DAU... 56
11. Proses penetapan variabel dan formula DAU tahun 2001 ... 60
12. Proses penetapan bobot DAU tahun 2001 ... 63
13. Proses penetapan variabel dan formula DAU tahun 2002 ... 67
14. Perkembangan DAU di Wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 72
15. Perkembangan Indeks Williamson di Wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 76
16. Empat lapangan usaha tertinggi di Wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 78
17. Lokasi lapangan usaha yang paling dominan di Wilayah Provinsi Banten ... 80
18. Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 81
19. Perkembangan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2001-2005 ... 84
20. Proporsi pos pendapatan terhadap total pendapatan APBD di wilayah Provinsi Banten tahun 2001 dan 2005 ... 89
21. Proporsi pos pendapatan terhadap total belanja di wilayah Provinsi Banten tahun 2001 dan 2005 ... 91
22. Rasio rata-rata belanja pegawai terhadap total belanja di wilayah Provinsi Banten tahun 2001- 2005... 92
23. Tingkat pengangguran di wilayah Provinsi Banten tahun 2002-2005 ... 93
24. Pendapatan per kapita di wilayah Provinsi Banten tahun 2001- 2005... 94
25. Perkembangan Gini Rasio di wilayah Provinsi Banten tahun 2001-2005.. 97
26. Angka harapan hidup di wilayah Provinsi Banten tahun 2004... 100
27. Angka melek huruf di wilayah Provinsi Banten tahun 2004 ... 101
28. Rata-rata lama sekolah di wilayah Provinsi Banten tahun 2004... 102
29. Daya beli masyarakat di wilayah Provinsi Banten tahun 2004 ... 103
30. Peringkat IPM di wilayah Provinsi Banten tahun 2002-2004 ... 104
Halaman
1. Hasil perhitungan Indeks Williamson-Pendapatan ... 122 2. Hasil perhitungan Indeks Williamson-DAU ... 123 3. Hasil perhitungan Indeks Williamson-PDRB ... 124 4. Hasil perhitungan Panel Data: Pengaruh DAU, Bagi Hasil, PAD
terhadap perkembangan perekonomian ... 125 5. Hasil perhitungan Panel Data: Pengaruh DAU, Bagi Hasil, PAD
terhadap distribusi pendapatan masyarakat ... 126 6. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Lebak atas dasar
harga konstan tahun 2000 menurut lapangan usaha tahun 2001-2005 ... 127 7. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Pandeglang atas dasar
harga konstan tahun 2000 menurut lapangan usaha tahun 2001-2005 ... 128 8. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Serang atas dasar
harga konstan tahun 2000 menurut lapangan usaha tahun 2001-2005 ... 129 9. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Tangerang atas dasar
harga konstan tahun 2000 menurut lapangan usaha tahun 2001-2005 ... 130 10. Produk Domestik Regional Bruto Kota Cilegon atas dasar
harga konstan tahun 2000 menurut lapangan usaha tahun 2001-2005 ... 131 11. Produk Domestik Regional Bruto Kota Tangerang atas dasar
harga konstan tahun 2000 menurut lapangan usaha tahun 2001-2005 ... 132 12. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota
se-Provinsi Banten tahun 2001 ... 133 13. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota
se-Provinsi Banten tahun 2002 ... 134 14. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota
se-Provinsi Banten tahun 2003 ... 135 15. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota
se-Provinsi Banten tahun 2004 ... 136 16. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota
1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
3. Belanja daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
4. Celah fiskal dihitung berdasarkan selisih antara kebutuhan fiskal Daerah dan kapasitas fiskal Daerah.
5. Daerah adalah daerah otonom, yaitu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
6. Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
7. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
8. Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
9. Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
10.Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
11.Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
12. Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah.
13.Penerimaan Daerah Sendiri (PDS) adalah penjumlahan dari PAD dan Dana Bagi Hasil.
Latar Belakang
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah
membawa dampak negatif yang cukup dalam pada hampir seluruh sektor dan pelaku
ekonomi. Krisis yang bermula dari melemahnya nilai kurs Rupiah tersebut telah
berkembang menjadi krisis multidimensi, sebagai akibat dari adanya krisis kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah dan tidak stabilnya situasi sosial politik dan keamanan,
baik pada tingkat regional maupun pada tingkat nasional. Krisis ekonomi tersebut
kemudian memicu gerakan massa pada Mei 1998 dan kemudian mampu menggulingkan
rezim Orde Baru yang pada dasarnya merupakan puncak penolakan rakyat atas
pelaksanaan sistem pemerintahan yang sentralistik.
Hadi (2001) mengemukakan bahwa kebijakan pembangunan yang sentralistik dan
menekankan kepada pencapaian petumbuhan ekonomi serta penciptaan kondisi politik
dan keamanan yang sangat terkendali secara spasial ternyata telah menambah tingkat
ketimpangan antar wilayah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik tersebut didukung
oleh undang-undang yang mengatur tentang hubungan pemerintahan dan keuangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sejak periode kemerdekaan sampai dengan
masa orde baru telah diterbitkan 6 Undang-undang yang mengatur hubungan
pemerintahan antara pusat dan daerah, yaitu (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945,
(2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957,
(4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, (5) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969,
dan (6) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Sedangkan undang-undang yang
mengatur hubungan keuangan baru diterbitkan 1 undang-undang, yaitu Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 1956.
Di dalam undang-undang itu terkandung otonomi daerah, tetapi dalam
pelaksanaannya berbeda dalam hal pembagian bobot kekuasaan antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah. Bahkan materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
mengakibatkan semakin besarnya peranan pemerintah pusat, karena pusat menguasai dan
mengontrol hampir semua sumber-sumber penerimaan daerah termasuk sumber
minyak bumi dan gas alam, kehutanan, perkebunan dan perikanan. Akibatnya timbul
masalah ketimpangan vertikal (vertikal imbalance) antara pusat dan daerah penghasil
sumber daya alam. Selain itu karena belum terukurnya mekanisme pengalokasian transfer
kepada daerah menyebabkan timbulnya ketimpangan horizontal (horizontal imbalance)
antara satu daerah dengan daerah lain, terutama antara daerah-daerah yang berada di
Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia.
Permasalahan ketimpangan di atas dinilai sebagai pangkal dari timbulnya krisis
multidimensi dan isu disintegrasi bangsa. Dalam upaya meredam masalah ketimpangan
tersebut, pada tahun 1999 pemerintah menerbitkan dua undang-undang yang mengatur
tentang otonomi daerah. Lahirnya dua paket produk undang-undang yang mengatur
mengenai pelaksanaan otonomi daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah yang berlaku efektif
mulai 1 Januari 2001 dipandang sebagai proses awal bangkitnya semangat desentralisasi
pada sistem pemerintahan di Indonesia. Dengan adanya kedua undang-undang tersebut,
terdapat empat hal yang mengalami perubahan cukup fundamental, yaitu (1) konsep
desentralisasi lebih mengemuka dibandingkan dengan konsep dekonsentrasi, (2) masalah
pertanggungjawaban pelaksanaan pemerintahan daerah lebih bersifat horizontal
dibandingkan vertikal, (3) pengaturan yang lebih jelas mengenai hubungan keuangan
antara pusat dan daerah, dan (4) kewenangan pengelolaan keuangan diberikan secara
utuh kepada daerah.
Substansi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah mengatur mengenai
desentralisasi kewenangan, yaitu penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintahan
pusat kepada pemerintahan daerah dalam satu paket P3D (Pembiayaan, Personil,
Peralatan dan Dokumen), artinya urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah
akan disertai dengan pengalihan P3D tersebut. Ini berarti pusat harus memberikan tidak
saja penyerahan keuangan, tetapi juga sumber daya manusia (pegawai pusat) dan
peralatan (bangunan kantor dan isinya) dan dokumentasi pendukung. Di pihak lain,
daerah juga wajib menerima tanggung jawab untuk memelihara semua yang diserahkan
kepada daerah termasuk mendukung pembayaran gaji dan perencanaan karier pegawai
kewenangan ini, maka kantor pusat yang ada di daerah (Kanwil dan Kandep) sebagian
besar diserahkan kepada daerah termasuk pegawai dan assetnya.
Materi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 mengatur mengenai desentralisasi
fiskal, yaitu penyerahan sumber keuangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah disertai dengan hak pengelolaannya. Desentralisasi fiskal pada dasarnya bertujuan
untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah, sehingga pengaturan materi
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1999, transfer dana kepada daerah berbentuk Dana Perimbangan yang terdiri atas (a)
Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber alam (Dana Bagi Hasil), (b) Dana
Alokasi Khusus (DAK), dan (c) Dana Alokasi Umum (DAU). Dana Bagi Hasil dan
DAU merupakan bantuan yang bersifat blok (block grant), artinya penggunaan dari
kedua sumber dana itu ditentukan sendiri oleh daerah berdasarkan prioritas daerah dan
tidak ada intervensi dari pemerintah pusat. Sementara kewenangan pemerintahan daerah
untuk memungut pendapatan asli daerah (PAD) yang bersumber dari bidang pajak dan
retribusi telah diatur di dalam undang-undang tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor
34 Tahun 2000 yang merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997.
Berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, kebijakan
desentralisasi fiskal bertujuan untuk memberdayakan dan meningkatkan kemampuan
perekonomian daerah, menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional,
rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab serta memperkecil perbedaan
pembangunan antardaerah yang maju dengan daerah yang belum berkembang. Dengan
demikian melalui pelaksanaan desentralisasi fiskal diharapkan akan terjadi pemerataan
kemampuan keuangan antar daerah. Dengan bekal kemampuan keuangan yang relatif
sama tersebut diharapkan setiap daerah dapat membangun daerahnya dengan tingkat
perkembangan yang relatif sama pula.
Secara ringkas latar belakang penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Krisis Ekonomi Ketimpangan Pembangunan
Antar Daerah
Kemiskinan Ancaman Disintegrasi
Tuntutan Reformasi Sistem Pemerintahan dan Fiskal (Tahun 1997)
Lahirnya Kebijakan Otonomi Daerah UU 22/1999 dan UU 25/1999
Desentralisasi Fiskal UU 25/1999
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Dana Perimbangan 1. Dana Bagi Hasil 2. DAU
3. DAK Kebijakan Pembangunan Sentralistik
(Rezim Orde Baru)
1. Pemerataan Kemampuan Keuangan Antardaerah
2. Pemerataan Kinerja Pembangunan Daerah
Kabupaten/Kota Di Provinsi Banten
?
Sistem Pemda:
1.Provinsi
2.Kab./Kota
Otonomi Daerah dititikberatkan pada Kab/Kota (UU 22/1999)
Perumusan Masalah
Pelaksanaan otonomi daerah yang diikuti oleh desentralisasi fiskal, yaitu dengan
diberikannya diskresi kepada daerah dalam mengelola sumber-sumber penerimaan daerah
bertujuan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah (mengoreksi vertikal imbalance) serta ketimpangan
kemampuan keuangan antar daerah (mengoreksi horizontal imbalance). Koreksi vertikal
imbalance dilakukan melalui pengalokasian Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam,
dan koreksi horizontal imbalance dilakukan melalui pengalokasian DAU. Artinya bagi
daerah-daerah yang memiliki potensi pajak seperti DKI Jakarta, dan daerah-daerah yang
memiliki potensi sumber daya alam seperti Kalimantan Timur, dan Riau akan
memperoleh penerimaan dari Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam, sehingga
proporsi perolehan dari DAU akan relatif kecil. Sebaliknya bagi daerah-daerah yang tidak
memiliki potensi pajak dan potensi SDA akan mendapatkan proporsi DAU yang relatif
lebih besar daripada daerah yang memiliki potensi pajak dan potensi SDA.
Provinsi Banten merupakan provinsi hasil pemekaran dari Provinsi Jawa Barat
dan dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Provinsi Banten
terdiri atas (1) Kabupaten Serang, (2) Kabupaten Pandeglang, (3) Kabupaten Lebak, (4)
Kabupaten Tangerang, (5) Kota Tangerang, dan (6) Kota Cilegon. Masing-masing
kabupaten/kota memiliki sumber daya, dan aktivitas ekonomi yang berbeda-beda
sehingga mendapatkan DAU, DAK, Dana Bagi Hasil yang berbeda-beda pula. Oleh
karena itu, perlu dilakukan kajian mengenai pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap
pemerataan kemampuan keuangan, dan kinerja pembangunan daerah antar
kabupaten/kota di Provinsi Banten.
Berdasarkan latar belakang seperti diuraikan di atas pelaksanaan desentralisasi
fiskal menghadapi beberapa persoalan penting yang antara lain dalam penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah formula yang dipergunakan dalam mengalokasikan DAU kepada daerah telah
mencerminkan fungsi DAU sebagai alat pemerataan kemampuan keuangan
2. Seberapa jauh dampak pelaksanaan desentralisasi fiskal melalui pengalokasian DAU
akan meningkatkan pemerataan kemampuan keuangan kabupaten/kota di Provinsi
Banten?
3. Bagaimana kinerja pembangunan kabupaten/kota di Provinsi Banten setelah
desentralisasi fiskal dilaksanakan?
Kerangka Pemikiran
Salah satu tujuan pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal adalah untuk
meratakan kemampuan keuangan antardaerah sehingga setiap daerah di Indonesia
memiliki kemampuan yang relatif sama dalam membangun dan memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dilakukan dengan
cara mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah (mengoreksi vertikal imbalance) serta mengurangi ketimpangan
kemampuan keuangan antar daerah (mengoreksi horizontal imbalance). Koreksi vertikal
imbalance dilakukan melalui pengalokasian Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam,
dan koreksi horizontal imbalance dilakukan melalui pengalokasian DAU. Pada kondisi
yang sama, daerah yang memiliki potensi Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam yang
tinggi akan mendapat proporsi DAU yang lebih kecil dari daerah yang tidak memiliki
potensi pajak dan potensi SDA. Selanjutnya guna mendukung berjalannya fungsi suatu
daerah otonom, melalui kebijakan desentralisasi fiskal setiap daerah diberikan
keleluasaan untuk mengelola sumber-sumber penerimaannya sesuai dengan prioritas
daerah.
Untuk mengetahui pemerataan kemampuan keuangan daerah kabupaten/kota di
Provinsi Banten adalah dengan menganalisis penerimaan DAU per kapita dan pendapatan
APBD perkapita. Selanjutnya untuk mengetahui kinerja pembangunan daerah dilakukan
dengan menganalisis perkembangan perekonomian dan tingkat kesejahteraan penduduk
di setiap kabupaten/kota di Provinsi Banten. Secara ringkas kerangka penelitian dapat
Pemerintah Kab/Kota Di Provinsi
Banten
Pemerintah
Pusat
APBD
Desentralisasi
1.Kewenangan (UU 22/1999) 2.Fiskal (UU 25/1999)
Desentralisasi
Dekonsentrasi
Tugas Pembantuan
PAD
Dana Perimbangan
Pinjaman
APBN
APBN
Bagi Hasil
DAU
DAK Pajak Daerah
Retribusi Daerah
BUMD
Lain-lain PAD
Pemerataan Kemampuan Keuangan Antar Kab/Kota Di Provinsi Banten
Kinerja Pembangunan Daerah Kab/Kota Di Provinsi Banten Metode Analisis
?
?
Eksisting Kemampuan Keuangan Antar Kab/Kota di Provinsi Banten
Pencapaian Sasaran Desentralisasi Fiskal
1. Pemerataan Pertumbuhan Perekonomian
2. Pemerataan Kesejahteraan Masyarakat
?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian
ini adalah untuk:
1. Evaluasi atas formula yang dipergunakan dalam pengalokasian DAU.
2. Analisis pelaksanaan desentralisasi fiskal terhadap pemerataan kemampuan keuangan
antar Kabupaten/Kota di Provinsi Banten.
3. Analisis kinerja pembangunan daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan masukan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah atas
pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal di wilayah Provinsi Banten.
2. Memberikan kontribusi kepada para peneliti dan akademisi sebagai bahan bacaan
Batasan Penelitian
Agar penelitian ini berfokus kepada tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka
ditetapkan batasan-batasan penelitian sebagai berikut:
1. Analisis dilakukan pada pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2001 sampai 2005.
2. Pada saat penelitian ini dilakukan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 telah
direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Berdasarkan Ketentuan
Peralihan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, pelaksanaan perubahan aturan
Bagi Hasil Pajak Sumber Daya Alam berlaku efektif mulai tahun 2009 (Pasal 106)
dan perubahan mengenai aturan Dana Alokasi Umum berlaku efektif mulai tahun
2008 (Pasal 107). Dengan demikian bahasan kebijakan desentralisasi fiskal pada
penelitian ini hanya mengacu kepada aturan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999
dan aturan-aturan pelaksanaannya.
3. Obyek penelitian adalah seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Banten yang
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000, yaitu Kabupaten
Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang, Kota
Cilegon, dan Kota Tangerang.
4. Dengan pertimbangan peningkatan kesejahteraan penduduk merupakan sasaran utama
dari fungsi pemerintahan, maka pemerataan kemampuan keuangan dicerminkan
dari meratanya DAU per kapita dan Pendapatan APBD per kapita, sementara
pemerataan kinerja pembangunan daerah dicerminkan dari meratanya
TINJAUAN PUSTAKA
Desentralisasi Fiskal
Dalam sistem pemerintahan yang sentralistik berbagai kebijakan ditentukan
secara nasional oleh pusat. Anggaran belanja pemerintah daerah sangat bergantung pada
alokasi yang diberikan oleh pemerintah pusat termasuk dalam pemanfaatannya.
Keleluasaan dan kewenangan daerah dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan dan
pembangunan sangat terbatas. Secara umum alasan yang mendukung sentralisasi adalah
pemerintah pusat dapat mengalokasikan anggaran yang ada untuk menghasilkan barang
dan jasa yang dapat dimanfaatkan secara nasional (Hamid 2006). Berbeda dengan sistem
sentralistik, pada sistem desentralisasi peran pemerintah daerah dalam menjalankan
fungsi pemerintahan dan pengelolaan anggaran sangat besar. Desentralisasi fiskal adalah
penyerahan kewenangan dan tanggung jawab fiskal dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Dengan desentralisasi fiskal akan diwujudkan dalam penyerahan
kewenangan kepada pemerintah daerah untuk melakukan pembelanjaan, memungut pajak
(taxing power), dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat.
Desentralisasi dalam kaitannya dengan tingkat kemandirian pengambilan
keputusan oleh daerah dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk. Pertama, dekonsentrasi
(deconcentration) yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat yang berada dalam hirarki dengan pemerintah pusat di daerah. Kedua, devolusi
(devolution) yaitu pelimpahan wewenang dalam bidang keuangan atau tugas pemerintahan dari pemerintah pusat kepada tingkat pemerintahan daerah dan pihak
pemerintah daerah mendapat diskresi yang tidak dikontrol oleh pusat. Apabila
pemerintah daerah belum sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya, pemerintah pusat
akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas pelaksanaan tugas tersebut. Ketiga,
pendelegasian (delegation or institutional pluralism) yaitu pelimpahan wewenang untuk
tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar struktur birokrasi reguler yang
dikontrol secara tidak langsung oleh pemerintah pusat. Pendelegasian wewenang ini
biasanya diatur dengan ketentuan perundang-undangan. Pihak yang menerima wewenang
mempunyai diskresi dalam penyelenggaraan pendelegasian tersebut walaupun wewenang
Beberapa argumen yang mendukung desentralisasi adalah (1) pemerintah daerah
sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya, (2) keputusan pemerintah daerah sangat
responsif terhadap kebutuhan masyarakat sehingga mendorong pemerintah daerah untuk
melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat, (3)
persaingan antardaerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan
mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan inovasinya.
Suatu analogi argumen lainnya yang dikenal sebagai The Tiebout Model yang
terkenal dengan ungkapan Love it or leave it. Tiebout menekankan bahwa tingkat dan
kombinasi pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh
masyarakat merupakan kepentingan politisi masyarakat lokal dengan pemerintah daerah.
Masyarakat akan memilih untuk tinggal di lingkungan yang anggaran daerahnya
memenuhi preferensi yang paling tinggi antara pelayanan publik dari pemerintah daerah
dengan pajak yang dibayar oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak senang pada
kebijakan pemerintah daerah dalam pembebanan pajak untuk pembiayaan barang publik
bersifat lokal maka hanya ada dua pilihan bagi masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah
tersebut atau tetap tinggal di wilayah tersebut dengan berusaha mengubah kebijakan
pemerintah daerah melalui DPRD (BPPK, Depkeu 2004).
Transfer Pusat
Dalam konteks desentralisasi fiskal, transfer dana dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Desentralisasi merupakan
penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sejalan dengan
desentralisasi tersebut aspek pembiayaannya juga ikut terdesentralisasi. Implikasinya
daerah dituntut untuk dapat membiayai sendiri dana pembangunannya, tetapi banyak
daerah di berbagai negara belum mampu membiayai seluruh pengeluaran daerah.
Implikasi dari kondisi tersebut transfer dana dari pemerintah pusat (intergovermental
transfer) merupakan sumber penerimaan yang amat dominan bagi pemerintah daerah di banyak negara, terutama negara berkembang seperti Indonesia.
Pada dasarnya transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dapat
dibedakan atas bagi hasil pendapatan (revenue sharing) dan bantuan (grants). Adapun
horizontal (horizontal equalization), mengatasi persoalan efek pelayanan publik (Correcting spatial externalities) mengarahkan prioritas (redirecting priorities), melakukan eksperimen dengan ide-ide baru, stabilisasi dan kewajiban untuk menjaga
tercapainya standar pelayanan minimum (SPM) di setiap daerah.
Vertical Equalization Transfer
Di banyak negara, pemerintah pusat menguasai sebagian besar sumber-sumber
penerimaan (pajak) utama negara yang bersangkutan. Pemerintah daerah hanya
menguasai sebagian kecil sumber penerimaan negara atau hanya berwenang untuk
memungut pajak-pajak yang basis pajaknya bersifat lokal dan mobilitas yang rendah
dengan karakteristik besaran penerimaannya relatif kurang signifikan. Kondisi ini
akhirnya menimbulkan ketimpangan vertikal antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah. Dengan demikian tujuan dari vertical equalization transfer ini adalah untuk
mengoreksi kesenjangan pendapatan yang diperoleh setiap tingkat pemerintahan.
Penerapan vertical equalization transfer di Indonesia berlaku sejak
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999. Latar belakang diberlakukannya
formula vertical equalization ini didasari oleh kebijakan selama Orde Baru dengan
kekuasaan pemerintah pusat yang begitu dominan dalam menguasai sumber-sumber
penerimaan negara. Daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam, seperti Aceh dan
Papua terpaksa harus menjadi daerah miskin karena hasil dari sumber daya alam mereka
diangkut ke Pusat. Kondisi ini berubah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor
25 Tahun 1999, yaitu daerah penghasil mendapat bagian dengan jumlah persentase
tertentu, selain itu kabupaten/kota serta provinsi yang letaknya satu administrasi dengan
kabupaten/kota penghasil (letaknya dalam administrasi provinsi yang sama) juga
mendapat bagian. Besarnya persentase penerimaan dari bagi hasil pajak dan sumber daya
alam untuk daerah penghasil, kabupaten/kota dan provinsi sebelum dan setelah
Tabel 1 Proporsi bagi hasil sumber daya alam sebelum dan setelah UU 25/1999
(Dalam %)
Sebelum UU 25/1999 Setelah UU 25/1999
No. Jenis
Penerimaan Pusat Dati I Dati II Pusat Prov. Kab/Kota
penghasil
Kab/Kota
lainnya
1 PBB 10 16,2 64,8 - 16,2 64,8(+) +
2 BPHTB 20 16 64 - 16 64(+) +
3 IHPH 55 30 15 20 16 64 -
4 PSDH 55 30 15 20 16 32 32
5 Land Rent 20 16 64 20 16 64 -
6 Royalti 20 16 64 20 16 32 32
7 Perikanan 100 - - 20 - - 80
8 Minyak 100 - - 85 3 6 6
9 Gas Alam 100 - - 70 6 12 12
10 Reboisasi 100 - - 60 - 40 -
11 PPh 100 - - 80 8 12 -
Sumber : Departemen Keuangan 2004
Keterangan : (+) alokasi dari 20% bagian Pusat
Horizontal Equalization Transfer
Keseimbangan antara kebutuhan pendapatan dan kemampuan untuk
menghasilkan pendapatan juga memiliki dimensi horizontal, artinya dengan tarif pajak
yang sama seharusnya juga menghasilkan penerimaan yang sama di antara daerah.
Simanjuntak (2002) mengemukakan bahwa kemampuan daerah untuk menghasilkan
pendapatan sangat bervariasi, tergantung kondisi daerah bersangkutan memiliki kekayaan
sumber daya alam atau tidak, ataupun daerah dengan intensitas kegiatan ekonomi yang
tinggi atau rendah. Kondisi ini berimplikasi kepada besarnya basis pajak atau kapasitas
fiskal di daerah-daerah bersangkutan.
Di sisi lain daerah-daerah juga memiliki kebutuhan belanja yang sangat
anak-anak serta remaja yang tinggi proporsinya. Adapula daerah-daerah yang berbentuk
kepulauan luas dengan sarana transportasi dan infrastruktur lainnya masih belum
memadai. Sementara di lain pihak ada daerah-daerah dengan jumlah penduduk yang tidak
terlalu besar, namun memiliki infrastruktur yang lengkap. Ini mencerminkan tinggi
rendahnya kebutuhan fiskal (fiscal need) dari suatu daerah. Membandingkan kebutuhan
fiskal dengan kapasitas fiskal tersebut di atas maka dapat dihitung kesenjangan atau celah
fiskal (fiskal gap) dari masing-masing daerah yang seyogyanya ditutup oleh transfer dari
pemerintah pusat. Dengan kata lain tujuan horizontal equalization transfer adalah untuk
menutup celah fiskal yang dimiliki setiap daerah.
Penerapan horizontal equalization transfer di Indonesia setelah berlakunya
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 adalah dengan Dana Alokasi Umum (DAU).
Secara faktual peran DAU dapat dijadikan counter atas pembagian dana bagian daerah
yang didasarkan atas daerah penghasil (by origin) yang cenderung menimbulkan
ketimpangan antardaerah, karena daerah yang mempunyai potensi pajak dan SDA hanya
terbatas pada daerah-daerah tertentu. Sebagai horizontal equalization DAU dirancang
dengan sebuah formula yang digunakan untuk menghitung potensi kapasitas fiskal dan
kebutuhan fiskal daerah. Sehingga melalui suatu formula dapat dihitung celah fiskal yang
akan ditutup dengan transfer DAU dari pemerintah pusat. Adapun formula yang
dipergunakan untuk perhitungan DAU tahun 2001 adalah sebagai berikut:
1. DAU akan dialokasikan kepada daerah dengan menggunakan bobot daerah. Bobot
daerah harus dirumuskan dengan menggunakan suatu formula yang didasarkan atas
pertimbangan kebutuhan dan potensi penerimaan.
2. Besarnya DAU setelah formula paling tidak sama dengan besarnya bantuan Subsidi
Daerah Otonom (SDO) dan Inpres tahun 2000. Oleh karenanya dalam alokasi DAU
2001 terdapat faktor penyeimbang dan lumpsum. Faktor penyeimbang (Dana
Penyeimbang) adalah suatu mekanisme untuk mencegah penurunan kapasitas daerah
dalam membiayai kewajiban daerah. Faktor penyeimbang juga diarahkan untuk
mengatasi permasalahan pendanaan akibat terjadinya transfer pegawai dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang tentunya membawa konsekuensi pada
untuk membagi habis total DAU yang sudah dianggarkan dalam APBN, yaitu 25
persen dari penerimaan bersih domestik.
3. Formula DAU terdiri dari dua variabel, yaitu potensi penerimaan dan kebutuhan
fiskal. Variabel-variabel yang digunakan untuk menentukan potensi penerimaan
adalah (a) PDRB sektor sumber daya alam (primer), (b) PDRB sektor industri dan
jasa lainnya (nonprimer), dan (c) besarnya angkatan kerja (SDM). Variabel-variabel
yang digunakan untuk menentukan kebutuhan daerah adalah (a) jumlah penduduk, (b)
luas wilayah, (c) indeks harga bangunan, (d) jumlah penduduk miskin.
Correcting Spatial Externalities
Beberapa jenis pelayanan publik di satu wilayah memiliki efek eksternalitas ke
wilayah lain artinya pemanfaatannya tidak bisa dibatasi hanya untuk masyarakat tertentu,
misalnya perguruan tinggi, pemadam kebakaran, jalan raya penghubung antardaerah,
rumah sakit daerah. Apabila tanpa ada balas jasa pendapatan yang menguntungkan,
umumnya daerah kurang tertarik untuk berinvestasi di bidang pelayanan publik tersebut.
Oleh karena itu pemerintah pusat perlu memberikan transfer ataupun menyerahkan
sumber keuangan agar pelayanan publik demikian dapat dipenuhi daerah.
P
MC
PI
PB
PA DT
DA DB
0 QB QT Q
Gambar 3 Koreksi spillovers melalui transfer
Berdasarkan Gambar 3 di atas jika permintaan dari penduduk setempat yang
diperhitungkan, maka jumlah permintaan barang publik relatif kecil sebesar DA dan
harganya (biayanya) relatif murah sebesar PA sehingga pemerintah daerah mampu
menyediakan barang publik tersebut. Tetapi untuk permintaan atas barang publik
(misalkan rumah sakit) yang permintaannya merupakan agregat dari beberapa daerah,
yaitu sebesar DB dengan biaya sebesar PB, maka total permintaan menjadi DT dengan
biaya PI. Kondisi ini menyebabkan daerah yang bersangkutan akan sulit untuk dapat
menyediakan rumah sakit tersebut karena biayanya terlalu mahal. Agar pelayanan rumah
sakit tetap tersedia maka pemerintah pusat memberikan transfer sebesar selisih antara PI
dan PB. Dengan adanya transfer ini maka daerah yang bersangkutan dapat menyediakan
rumah sakit tersebut karena biayanya berada dalam jangkauan anggaran daerah.
Redirecting Priorities
Setiap level pemerintahan memiliki prioritas masing-masing di dalam penyediaan
pelayanan publik kepada masyarakatnya dan prioritas tersebut dapat berbeda, misalnya
pemerintah pusat berkeinginan untuk mengutamakan pembangunan di sektor pendidikan
secara murah dan terjangkau. Ini terkait dengan pemenuhan harapan para konstituen
pemilih ketika pemilihan umum berlangsung, namun keinginan tersebut tidak sinkron
dengan pola kebijakan pemerintah daerah yang menginginkan pembangunan di sektor
kesehatan yang mendapat prioritas karena pertimbangan kondisi masyarakat setempat.
Agar keinginan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat berjalan secara paralel,
seyogyanya pemerintah pusat memberikan transfer kepada pemerintah daerah. Transfer
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah akan membantu mengarahkan kembali
prioritas daerah dan pusat dengan keinginan yang diharapkan oleh masing-masing level
pemerintahan.
Jenis-Jenis Transfer Pusat
Pada dasarnya jenis-jenis transfer dapat dikelompokkan menjadi dua kategori,
yaitu (1) transfer tanpa syarat (unconditional grant, general purpose grant, block grant),
(2) transfer dengan syarat (conditional grant, categorial grant, specific purpose grant)
Transfer Tanpa Syarat (Unconditional Transfer)
Pada umumnya transfer jenis ini ditujukan untuk menjamin adanya pemerataan
dalam kemampuan fiskal antardaerah sehingga setiap daerah dapat melaksanakan urusan
rumah tangganya sendiri pada tingkat yang layak. Tujuan dari transfer ini adalah untuk
mengurangi ketimpangan fiskal yang bersifat horisontal. Ciri utama dari transfer ini
adalah pemerintah daerah memiliki diskresi penuh dalam memanfaatkan dana transfer
sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan atau prioritas daerah. Transfer tanpa syarat
biasanya dibagikan berdasarkan suatu formula tertentu.
Penjelasan efek dari transfer tanpa syarat terhadap pembiayan daerah dapat dilihat
pada Gambar 4. Dengan menggunakan asumsi terdapat dua jenis barang publik, yaitu
barang publik B yang akan dibantu dengan transfer yang digambarkan dengan garis
horisontal dan barang publik A yang tidak dibantu dengan transfer yang digambarkan
dengan garis vertikal. Garis AB adalah garis anggaran (budget line) daerah setempat yang
memperlihatkan kombinasi konsumsi barang A dan barang B. Kurva IC1 dan IC2 adalah
indifference curve yaitu kurva yang menunjukkan berbagai kombinasi konsumsi barang A dan barang B yang memberikan kepuasan yang sama bagi daerah.
Pada kondisi sebelum ada transfer posisi permintaan barang A adalah OC dan
barang B adalah OD sehingga titik keseimbangan awal adalah E, dimana posisi E ini
merupakan posisi tertinggi pada anggaran yang tersedia. Karena tidak ada batasan pada
cara pembelanjaan fasilitas publik manapun maka yang bertambah akibat adanya transfer
adalah jumlah anggaran. Hal ini digambarkan dengan adanya pergeseran (shifting) garis
anggaran yang sejajar dari AB menjadi FG. Jumlah barang yang dapat dipenuhi menjadi
lebih banyak yaitu menjadi OK untuk barang B dan menjadi OH untuk barang A. Dengan
demikian tingkat kepuasan masyarakat pun menjadi lebih besar yaitu dari IC1 menjadi
IC2 dan titik keseimbangan baru menjadi E1. Kondisi inilah yang menyebabkan penerima
(pemerintah daerah) lebih memilih transfer tanpa syarat dibandingkan transfer lainnya,
Barang A
F
A
H E1
E
C IC2
IC1
0 D K B G Barang B
Gambar 4 Efek unconditional grants terhadap pembiayaan daerah
Sumber : BPPK, Departemen Keuangan
DAU merupakan bentuk yang masuk dalam kategori transfer tanpa syarat. DAU
adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan
kemampuan keuangan antardaerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi. Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999
ketentuan mengenai aturan alokasi DAU adalah sebagai berikut:
1. DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25 persen dari Penerimaan Dalam Negeri yang
ditetapkan dalam APBN.
2. DAU untuk daerah provinsi dan untuk kabupaten/kota ditetapkan masing-masing 10
persen dan 90 persen dari total DAU nasional.
3. Dalam hal terjadi perubahan kewenangan di antara provinsi dan kabupaten/kota,
persentase DAU untuk provinsi dan kabupaten/kota disesuaikan dengan perubahan
tersebut.
4. DAU untuk provinsi tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah DAU untuk
seluruh provinsi yang ditetapkan dalam APBN dengan porsi provinsi yang
bersangkutan.
5. Porsi provinsi merupakan proporsi bobot provinsi yang bersangkutan terhadap jumlah
6. DAU untuk suatu kabupaten/kota tertentu ditetapakan berdasarkan perkalian jumlah
DAU untuk seluruh kabupaten/kota yang ditetapkan dalam APBN dengan porsi
kabupaten/kota yang bersangkutan.
7. Porsi kabupaten/kota merupakan proporsi bobot kabupaten/kota yang bersangkutan
terhadap jumlah bobot semua kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
8. Bobot daerah ditetapkan berdasarkan kebutuhan wilayah otonomi daerah dan potensi
ekonomi daerah.
9. Penghitungan DAU berdasarkan rumus di atas dilakukan oleh Sekretariat Bidang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Jumlah DAU dan Dana Penyeimbang (DP) yang telah dialokasikan oleh
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sejak tahun 2001 sampai dengan 2005 dapat
[image:33.612.72.529.0.744.2]dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Jumlah DAU dan dana penyeimbang (DP) tahun 2001-2005
(dalam Rp Miliar)
Tahun DAU DP DAU + DP Jumlah Daerah
2001
2002
2003
2004
2005
Sumber : Departemen Keuangan diolah 60.516,70 Keppres 181/2000 69.114,10 Keppres 131/2001 76.979,00 Keppres 1/2003 82.130,94 Keppres 109/2003 88.765,60 Keppres 3/2004 3.092,3 KMK 382 & 451/2001
Transfer Dengan Syarat (Conditional Transfer)
Transfer ini biasanya digunakan untuk keperluan yang dianggap penting oleh
pemerintah pusat namun kurang dianggap penting oleh pemerintah daerah. Transfer ini
dikelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu transfer pengimbang (matching grants) dan
transfer bukan pengimbang (nonmatching grants). Matching grants adalah transfer yang
diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk menutup sebagian atau
seluruh kekurangan pembiayaan atas jenis urusan tertentu. Di sini pemerintah daerah
telah mengalokasikan sejumlah dana pendapatan daerahnya untuk penyelenggaraan
urusan tersebut, hanya dana tersebut belum cukup untuk menjamin penyelenggaraan
urusan tersebut dengan baik. Transfer dari pemerintah pusat dalam hal ini berfungsi
untuk membantu mengatasi kekurangan dana tersebut. Matching grants dapat dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu transfer pengimbang tidak terbatas (open-ended matching
grants) dan transfer pengimbang terbatas (closed-ended matching grants). Open-ended matching grants adalah transfer yang ditujukan untuk menutup seluruh kekurangan dana. Misalnya sebuah proyek pembangunan universitas membutuhkan dana Rp100 miliar,
daerah hanya mampu menyediakan dana sebesar 10 persen dari total kebutuhan dana atau
Rp10 miliar, maka kekurangan sebesar Rp90 miliar ditanggung sepenuhnya oleh
pemerintah pusat.
Penjelasan efek dari Open-ended matching grants dapat dilihat pada Gambar 5.
Sama dengan kasus sebelumnya, diasumsikan terdapat dua jenis barang publik, yaitu
barang publik B yang akan dibantu dengan transfer dan barang publik A yang tidak
dibantu dengan transfer. Garis AB adalah garis anggaran (budget line) daerah setempat
yang memperlihatkan kombinasi konsumsi barang A dan barang B. Kurva IC1 dan IC2
adalah indifference curve, yaitu kurva yang menunjukkan berbagai kombinasi konsumsi
barang A dan barang B yang memberikan kepuasan yang sama bagi daerah.
Pada kondisi sebelum ada transfer posisi permintaan barang A adalah OC dan
barang B adalah OD sehingga titik keseimbangan awal adalah E, dimana posisi E ini
merupakan posisi tertinggi pada anggaran yang tersedia. Pemerintah pusat dan
pemerintah daerah berniat meningkatkan kuantitas barang B sedangkan barang A tetap.
Untuk tujuan ini pemerintah pusat dan pemerintah daerah sepakat memberikan kontribusi
demikian kurva garis anggaran akan mengalami pergeseran dari AB menjadi AM, yaitu
hanya menggeser kuantitas barang B dari OD menjadi OP sehingga tingkat kepuasan
barang B meningkat dan barang A tetap. Hal itu sebagaimana digambarkan pergeseran
IC1 menjadi IC2 dan titik keseimbangan baru menjadi E1.
Barang A
A
H E1
IC2
C E
IC1
0 D B P M Barang B
Gambar 5 Efek open-ended matching grants terhadap pembiayaan daerah
Sumber : BPPK, Departemen Keuangan
Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan jenis transfer yang masuk dalam
kategori open-ended matching grants. DAK adalah dana yang berasal dari APBN yang
dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, yaitu
kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus DAU, dan/atau
kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. Daerah yang mendapatkan
DAK diwajibkan untuk menyediakan dana pendamping dari APBD sesuai dengan
kemampuan daerah yang bersangkutan. Adapun jumlah DAK yang telah dialokasikan
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah mulai tahun 2003 sampai dengan 2005 dapat
Tabel 3 Jumlah Dana Alokasi Khusus Tahun 2003-2005
Rp Miliar
Bidang 2003 2004 2005
Pendidikan 625,0 652,6 1.221,0
Kesehatan 375,0 456,18 620,0
Infrastruktur 1.181,0 1.196,5 1.533,0
Prasarana Pemerintahan 88,0 228,0 148,0
Kelautan dan Perikanan - 305,47 322,0
Pertanian - - 170,0
Total 2.269,0 2.838,5 4.014,0
Sumber : Departemen Keuangan diolah
Transfer pengimbang terbatas (closed-ended macthing grants) merupakan transfer
yang terdapat batasan jumlah dana maksimum yang dapat digunakan. Transfer ini sangat
disukai oleh pemberi bantuan (pemerintah pusat) karena walaupun dana yang diberikan
sesuai dengan besar proyek namun setelah besarnya biaya proyek melampaui jumlah
tertentu pemberi bantuan dapat mencukupkan bantuannya. Misalnya proyek
pembangunan universitas membutuhkan dana sekitar Rp100 miliar dan pemerintah
daerah hanya mampu menyediakan dana sebesar Rp10 miliar sehingga pemerintah pusat
menanggung Rp90 miliar. Tetapi dalam perjalanan, estimasi biaya ternyata meningkat
menjadi Rp110 miliar atau mengalami kekurangan Rp10 miliar lagi. Mengingat
pemerintah pusat tidak lagi mengucurkan dana maka proyek tersebut harus disesuaikan
dengan jumlah anggaran semula yaitu Rp100 miliar.
Penjelasan efek dari closed-ended matching grants dapat dilihat pada Gambar 6.
Sama dengan kasus sebelumnya, diasumsikan terdapat dua jenis barang publik, yaitu
barang publik B yang akan dibantu dengan transfer dan barang publik A yang tidak
dibantu dengan transfer. Garis AB adalah garis anggaran (budget line) daerah setempat
yang memperlihatkan kombinasi konsumsi barang A dan barang B. Kurva IC1 dan IC2
adalah indifference curve yaitu kurva yang menunjukkan berbagai kombinasi konsumsi
Pada kondisi sebelum ada transfer posisi permintaan barang A adalah OC dan
barang B adalah OD sehingga titik keseimbangan awal adalah E, dimana posisi E ini
merupakan posisi tertinggi pada anggaran yang tersedia. Dalam rencana awal, pemerintah
pusat dan pemerintah daerah berniat meningkatkan kuantitas barang B sedangkan barang
A tetap. Untuk tujuan ini pemerintah pusat dan pemerintah daerah sepakat memberikan
kontribusinya masing-masing pemerintah pusat 90 persen dan pemerintah daerah 10
persen. Dengan demikian kurva garis anggaran akan mengalami pergeseran dari AB
menjadi AM, yaitu hanya menggeser kuantitas barang B dari OD menjadi OP sehingga
tingkat kepuasan barang B meningkat dan barang A tetap. Hal itu sebagaimana
digambarkan pergeseran IC1 menjadi IC2 dan titik keseimbangan baru menjadi E1.
Namun dalam perkembangannya terjadi kenaikan bahan baku sehingga budget
seharusnya dinaikkan menjadi Rp110 miliar. Karena pemerintah pusat tidak mau
mengucurkan tambahan dana dengan sendirinya proyek tersebut harus disesuaikan
dengan anggaran semula (Rp100 miliar). Implikasinya garis anggaran tidak bergeser dari
AB menjadi AM tetapi menjadi AT yang berarti jumlah barang B yang dapat dihasilkan
Barang A
A
H E1
C E IC2
IC1
0 D B P T M Barang B
Gambar 6 Efek closed-ended matching grants terhadap pembiayaan daerah
Sumber : BPPK, Departemen Keuangan
Sementara itu, transfer bukan pengimbang (non-matching grants) adalah transfer
yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk menambah dana
penyelenggaraan suatu jenis urusan tertentu tanpa mempertimbangkan bahwa pemerintah
daerah sendiri akan mengalokasikan dananya dengan jumlah besar atau kecil. Jenis
transfer ini oleh pemerintah pusat untuk menjadi sarana menginternalisasikan limpahan
manfaat (eksternalitas) terutama kepada daerah yang menghasilkan limpahan manfaat
tersebut. Jadi meskipun pemerintah daerah yang bersangkutan telah mengalokasikan
pendapatan daerahnya untuk pembiayaan penyelenggaraan urusan itu, namun karena
pelaksanaannya menghasilkan limpahan manfaat besar kepada daerah-daerah lain,
transfer diberikan oleh pemerintah pusat untuk mendorong pemerintah daerah agar tetap
bersemangat dan mau mengalokasikan pendapatan daerahnya untuk pelaksanaan fungsi
tersebut.
Penjelasan efek dari non-matching grants terhadap pembiayan daerah dapat
dilihat pada Gambar 7. Dengan menggunakan asumsi terdapat dua jenis barang publik,
yaitu barang publik B yang akan dibantu dengan transfer yang digambarkan dengan garis
horisontal dan barang publik A yang tidak dibantu dengan transfer yang digambarkan
memperlihatkan kombinasi konsumsi barang A dan barang B. Kurva IC1 dan IC2 adalah
(indifference curve) yaitu kurva yang menunjukkan berbagai kombinasi konsumsi barang A dan barang B yang memberikan kepuasan yang sama bagi daerah.
Pada kondisi sebelum ada transfer posisi permintaan barang A adalah OC dan
barang B adalah OD sehingga titik keseimbangan awal adalah E, dimana posisi E ini
merupakan posisi tertinggi pada anggaran yang tersedia. Dengan adanya transfer dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk kepeluan khusus tanpa diperlukannya
dana pendamping, maka budget line dari barang publik B mengalami pergeseran namun
tidak mengubah batas maksimum fasilitas publik A.
Barang A
F
A F
H E1
E IC2
C
IC1
0 D K B G Barang B
Gambar 7 Efek non-macthing grants terhadap pembiayaan daerah
Sumber-sumber Penerimaan Daerah
Sebelum desentralisasi fiskal dilaksanakan, sumber-sumber penerimaan daerah
terdiri atas Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan empat jenis transfer, yaitu (1) Subsidi
Daerah Otonom (SDO), (2) Bantuan Inpres, (3) Pinjaman Daerah, dan (4) Daftar Isian
Proyek (DIP). SDO bertujuan untuk mendukung anggaran rutin daerah, hampir 95 persen
dari total SDO digunakan untuk membiayai gaji pegawai pemerintah (PNS) di daerah.
Sebagian kecil lainnya digunakan untuk subsidi bagi pengeluaran rutin di bidang
pendidikan dasar (SBPP-SDN), ganjaran bagi pegawai pedesaan (TPAPD), subsidi untuk
penyelenggaraan rumah sakit di daerah (SBBO-RSUD), dan subsidi untuk pembiayaan
pelatihan pegawai pemerintah daerah. SDO dikategorikan sebagai transfer pusat yang
bersifat khusus (specific grant) karena daerah tidak memiliki kewenangan dalam
menetapkan penggunaan SDO, dan kegunaan dari transfer ini sudah ditetapkan
pemerintah, yaitu membiayai belanja pegawai di daerah. Sifat SDO sebagai alokasi yang
bersifat khusus makin nyata lagi mengingat struktur gaji dan alokasi jumlah pegawai
yang ditempatkan di daerah ditentukan sepenuhnya oleh pusat. Dalam rangka
memperjelas anggaran yang dikelola pusat dan daerah, pada tahun anggaran 1999/2000
istilah SDO direklasifikasi menjadi Dana Rutin Daerah (DRD).
Bantuan Inpres bertujuan untuk memberikan bantuan pembangunan daerah dan
diberikan atas Instruksi Presiden. Program Bantuan Inpres diberikan setiap tahun kepada
daerah tingkat I, daerah tingkat II, dan desa yang jumlahnya didasarkan atas kriteria
tertentu. Namun mengingat kriteria yang dijadikan dasar pengalokasian Bantuan Inpres
belum transparan, maka Bantuan Inpres tersebut menjadi ajang negosiasi antara pusat dan
daerah. Bagi daerah yang memiliki akses dengan pusat kekuasaan akan mendapat dana
yang lebih besar dibandingkan dengan daerah yang jauh dengan pusat kekuasaan
(Pardede 2004). Pada tahun anggaran 1999/2000 istilah Bantuan Inpres direklasifikasi
menjadi Dana Pembangunan Daerah (DPD). Selain kedua jenis transfer di atas, daerah
diperbolehkan melakukan pinjaman terutama untuk membiayai proyek-proyek yang cost
recovery. Sumber pinjaman daerah dapat berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Sumber penerimaan yang terakhir adalah Daftar Isian Proyek (DIP). DIP merupakan
proyek sektoral pemerintah pusat (departemen atau nondepartemen) yang dilaksanakan di
pemerintahan (intergovernmental grants), sedangkan DIP diklasifikasikan sebagai inkind allocation karena walaupun dananya mengalir ke daerah tetapi tidak termasuk ke dalam anggaran daerah (lihat Tabel 4).
Tabel 4 Sumber-sumber penerimaan daerah sebelum desentralisasi fiskal
No. Kelompok Penerimaan Dasar Hukum Rincian Penerimaan
I Pendapatan Asli Daerah
1. Pajak Daerah
2. Retribusi Daerah
3. BUMD
4. Lain-lain PAD
UU 18/1997 1. Pajak Daerah Tk II
a.Hotel dan Restoran (10%)
b.Hiburan (35%)
c.Reklame (25%)
d.Penerangan Jalan (10%0
e.Pengambilan Bahan
Golongan C (20%) f. Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (20%).
2. Pajak Daerah Tk I
a.Kendaraan Bermotor (5%)
b.Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor (10%)
c.Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor (5%) 1. Jasa Umum
a.Pelayanan Kesehatan
b.Pelayanan Persampahan
c.Pelayanan KTP
2. Jasa Usaha
a.Penyewaan Aset Daerah
b.Penyediaan Tempat
Penginapan
c.Usaha Bengkel Kendaraan
d.Tempat Pencucian Mobil
e.Penjualan Bibit
3. Perizinan Tertentu
a.Izin Mendirikan Bangunan
b.Izin Peruntukan
Penggunaan Tanah Penerimaan Dari BUMD:
a.Perolehan Laba Usaha
b.Penjualan Aset BUMD
c.Deviden
d.Penjualan Saham
PAD Lainnya
a.Penjualan Aset Daerah
Lanjutan Tabel 4
II 1. Subsidi Daerah Otonom
(SDO), mulai Tahun Anggaran 1999/2000 digunakan istilah Dana Rutin Daerah (DRD)
2. Bantuan Inpres, mulai
Tahun Anggaran 1999/ 2000 digunakan istilah Dana Pembangunan Daerah (DPD)
UU 5/1974 UU 32/1956 Instruksi Presiden
Sekitar 95 persen dari SDO untuk belanja pegawai, sebagian kecil lainnya untuk:
a. Subsidi bagi pengeluaran rutin di
bidang pendidikan (SBPP-SDN)
b. Ganjaran bagi pegawai pedesaan
(TPAPD)
c. Subsidi untuk penyelenggaraan
rumah sakit di daerah (SBBO-RSUD)
d. Subsidi untuk pembiayaan
pelatihan pegawai pemerintah
Bantuan Inpres bertujuan untuk memberikan bantuan pembangunan daerah, baik yang bersifat umum maupun khusus yang diberikan atas Instruksi Presiden.
a. Inpres Dati I
b. Inpres Dati II
c. Inpres Desa
III Pinjaman Daerah UU 5/1974 a. Pinjaman Dalam Negeri
•Rekening Dana Investasi
(RDI)
•Penyertaan Modal Pemerintah
(PMP)
• Inpres untuk pembangunan
pasar
• Iuran Pembangunan Daerah
(Ipeda)
• Perbankan dan swasta
• Rekening Pembangunan
Daerah (RPD)
b. Pinjaman Luar Negeri
IV Dana Sektoral Pusat (DIP),
Dana ini diklasifikasikan
sebagai in-kind allocation
karena walaupun dananya mengalir ke daerah namun tidak termasuk ke dalam APBD
UU APBN Daftar Isian Proyek (DIP)
a. Dana Dekonsentrasi
b. Dana Tugas Pembantuan
Selanjutnya pada masa desentralisasi fiskal dilaksanakan, sumber-sumber
penerimaan daerah terdiri atas (1) Pendapatan Asli Daerah (PAD), (2) Dana
Perimbangan, (3) Pinjaman Daerah, (4) Dana Darurat, dan (5) Daftar Isian Proyek (DIP).
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, Dana Perimbangan yang terdiri atas (a)
Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber alam (Dana Bagi Hasil), (b) Dana
Alokasi Khusus (DAK), dan (c) Dana Alokasi Umum (DAU). Sumber dana yang berasal
dari PAD, Dana Bagi Hasil, dan DAU merupakan sumber dana yang bersifat block grant
artinya penggunaan ketiga jenis dana tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan daerah
berdasarkan prioritas daerah.
Pengaturan kewenangan pengenaan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. Dalam perkembangannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997
dianggap kurang memberikan peluang kepada daerah untuk mengadakan pungutan baru,
walaupun dalam UU tersebut sebenarnya memberikan kewenangan kepada daerah tetapi
harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sehingga sulit untuk dilakukan. Selain itu
pengaturan agar peraturan daerah (Perda) tentang Pajak Daerah dan Retribusi daerah
harus mendapat pengesahan dari Pusat juga telah mengurangi otonomi daerah seiring
dengan dikeluarkannya UU Nomor 22/1999 dan UU Nomor 25/1999, maka UU nomor
18/1997 diubah menjadi UU Nomor 34 Tahun 2000 (Departemen Keuangan 2004).
Dalam UU Nomor 34 Tahun 2000 dan PP pendukungnya, yaitu PP Nomor 65
Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi
Daerah menjelaskan perbedaan antara jenis pajak yang dipungut oleh provinsi dan oleh
kabupaten/kota. Jenis pajak provinsi bersifat limitatif yang berarti provinsi tidak dapat
memungut pajak lain selain yang telah ditetapkan, dan tarif pajak provinsi ditetapkan
secara seragam di seluruh Indonesia. Jenis pajak kabupaten/kota tidak limitatif artinya
kabupaten/kota diberi peluang untuk menggali potensi sumber-sumber keuangan selain
tujuh jenis pajak tersebut dengan memperhatikan kriteria yang ditetapkan dalam UU
Nomor 34 Tahun 2000. Selain itu, Perda pajak provinsi maupun Perda kabupaten/kota
Tabel 5 Sumber-sumber penerimaan daerah setelah desentralisasi fiskal
No. Kelompok Penerimaan Da