• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Model DO BOD Dalam Pengelolaan Kualitas Air Sungai Ciliwung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Model DO BOD Dalam Pengelolaan Kualitas Air Sungai Ciliwung"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

DRAFT DISERTASI

PENGEMBANGAN MODEL DO-BOD DALAM PENGELOLAAN

KUALITAS AIR SUNGAI CILIWUNG

Oleh :

Widyo Astono P02601071

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

J

udul Peneitian : Pengembangan Model DO-BOD Dalam Pengelolaan Kwalitas Air Sungai Ciliwung

Nama : Widyo Astono

Nrp : P026010171

Program Studi : Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Lingkungan/PSL

Program : S3/Doktor

Menyetujui

1. Komisi Pembimbing

(Prof.Dr.Ir. M Sri Saeni, MS

Ketua

Prof.Dr. Bibiana W.Lay, MSc Prof Dr.Ir.Soepangat Soemarto, MSc Anggota Anggota

Mengetahui

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Pengelolaan Sumber Daya

Alam Dan Lingkungan

(3)

ii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Konsep Pengelolaan Kualitas Air ... 6

Parameterisasi Model ... 19

Distribusi Debit (Q) ... 36

Model Streeter-Phelps ... 36

Penerapan Model ... 37

Eksistensi Mikrobiologi di Perairan ... 39

Karakteristik Sungai ... 42

Percampuran Lateral ... 53

Pengaturan Aliran ... 54

Analisis Aliran Rendah ... 56

Kolam Stabilisasis ... 57

KEADAAN UMUM DAERAH ALIRAN SUNGAI CILIWUNG ... 62

Hidrogeometri Sungai ... 62

Iklim ... 65

Penduduk ... 65

Industri ... 67

Sumber Pencemaran Organik ... 68

Kualitas Air Sungai Ciliwung ... 69

Analisis Aliran Rendah ... 72

Peraturan dan Perundangan ... 72

METODE PENELITIAN ... 73

Tempat Penelitian ... 73

Pengumpulan Data Primer ... 73

Pengumpulan Data Sekunder ... 76

Analisis Data ... 77

Penerapan Model dan Studi Perbandingan ... 79

Simulasi Model ... 79

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 81

DO-BOD Observasi ... 81

(4)

iii

Perbandingan Respon DO-BOD ( Observasi dan Model ) ... 91

Strategi Pengelolaan Kualitas Air ... 92

Respon DO-BOD Pada Qmin, Qrt, Qmaks ... 101

Pendekatan Pengelolaan Lingkungan ... 108

KESIMPULAN DAN SARAN ... 110

DAFTAR PUSTAKA ... 111

(5)

iv

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kriteria mutu air berdasarkan kelas ... 9

2. Laju reaksi BOD, kd dari air limbah ... 18

3 Tipikal beban buangan domestik ... 26

4. Perkiraan beban emisi BOD5 dari buangan domestik ... 26

5. Karakteritik emisi buangan rumah tangga ... 26

6. Karakteritik emisi buangan industri ... 26

7. Rentang nilai H dan v ... 28

8. Kebutuhan SOD = Sb untuk jensi-jenis lumpur ... 31

9. Sungai sungai di Indonesia ... 42

10. Interval pengukuran kedalaman air ... 48

11. Nilai rata-rata dan interval exponen dalam hubungan hidrometrinya ... 52

12. Pembebanan BOD untuk kolam stabilisasi fakultatif ... 61

13. Efek suhu, waktu detensi dan kedalaman terhadap penyisihan BOD .... 62

14. Jumlah penduduk Kab. Bogor yang berada dalam DAS Ciliwung ... 65

15. Jumlah penduduk Kota Bogor yang berada dalam DAS Ciliwung ... 66

16. Jumlah penduduk Kota Depok yang berada dalam DAS Ciliwung ... 66

17. Jumlah penduduk DKI-Jakarta yang berada dalam DAS Ciliwung ... 67

18. Jenis Industri di Kab.Bogor yang termasuk dalam DAS Ciliwung ... 68

19. Jenis Industri di Kota Depok yang termasuk dalam DAS Ciliwung ... 68

20. Jenis Industri di Kota Jakarta yang termasuk dalam DAS Ciliwung ... 68

21. Kandungan beberapa sifat kimia air di perairan DAS Ciliwung ... 69

22. Kandungan beberapa sifat kimia dan debit hasil observasi ... 70

23. Perhitungan defisit oksigen berdasarkan data bulan Maret 2006 ... 89

24. Perhitungan defisit oksigen berdasarkan data bulan April 2006 ... 90

25. Perkiraan beban buangan organik domestik ... 93

26. Perkiraan beban buangan organik industri dan tota buangan organik ... 93

27. Rasio debit hulu dan hilir Sungai Ciliwung ... 95

28. Perhitungan defisit oksigen pada Qmin ... 96

29. Perhitungan defisit oksigen pada Qrt ... 97

30. Perhitungan defisit oksigen pada Qmaks ... 98

31. Klasifikasi response DO-BOD menurut PP NO 28 Th 2001 pada Qmin .. 100

32. Kasifikasi response DO-BOD menurut PP NO 28 Th 2001 pada Qrt ... 100

33. Kasifikasi response DO-BOD menurut PP NO 28 Th 2001 pada Qmaks 100 34. Kasifikasi berdasarkan Qmin dan reduksi beban ... 102

35. Kasifikasi berdasarkan Qrt dan reduksi beban ... 103

(6)

v

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Konsep pengembangan model kwalitas air Sungai Ciliwung ... 7

2. Ilustrasi system pengolahan air dan air limbah di perkotaan ... 15

3. Hubungan antara BOD terpakai dengan BOD tertinggal ... 20

4. Ilustrasi variasi nili kr pada perairan dalam dan dangkal ... 24

5. Kurva NBOD dan CBOD ... 31

6. Beban dan response BOD dari sumber menyebar ... 33

7. Kurva oksigen sag dari sumber pencemar titik ... 34

8. Response distribusi BOD dan oksigen ... 35

9. Variasi nilai BOD5, DO, dan kekeruhan di Sungai Ciliwung ... 39

9a. Skema dari proses sintesis dan laju pertumbuhan spesifik yang tergantung pada konsentrasi substrat ... 41

10. Tipe DAS ... 43

11. Kurva lengkung debit ... 50

12. Hubungan antara √Q dan permukaan air ... 50

13. Kedalaman rata-rata pada ruas sungai ... 51

14. Sistem waduk di sebuah sungai ... 51

15. Kurva durasi debit harian ... 56

16. Skema proses dalam kolam stabilisasi aerobik ... 58

17. Skema proses dalam kolam stabilisasi fakultatif ... 60

18. Titik-titik ketinggian lahan di DAS Ciliwung ... 62

19. Peta DAS Ciliwung ... 64

20. Skema lokasi sumber pencemar Sungai Ciliwung ... 71

21. Peta lokasi pengambilan contoh air di Sungai Ciliwung ... 74

22. Response DO-BOD hasil observasi ... 82

23. Perbandingan kurva DO-BOD (observasi dan model) ... 91

24. Skema beban limbah organik di Sungai Ciliwung ... ... 94

25. Kemiringan pertambahan debit (q) Sungai Ciliwung ... 95

26. Response COBD pada Qmin. Qrt, dan Qmaks ... 99

27. Response DO pada Qmin. Qrt, dan Qmaks ... 99

28. Reduksi beban BOD5 pada Qmin ... 104

29. Reduksi beban BOD5 pada Qrt ... 104

(7)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Tabel Halaman

1. Data hidrometri Sungai Ciliwung (Maret 2006) ... 116

2. Data hidrometri Sungai Ciliwung (April 2006) ... 116

3. Data CBOD dan NBOD Sungai Ciliwung (Maret 2006) ... 117

4. Data CBOD dan NBOD Sungai Ciliwung (April 2006) ... 118

5. Data DO (insitu) Sungai Ciliwung (Maret 2006) ... 119

6. Data DO (insitu) Sungai Ciliwung (April 2006) ... 119

7. Data nilai kd dan Lo hasil perhitungan (Maret 2006) ... 121

8. Data nilai kd dan Lo hasil perhitungan (Aprill 2006) ... 121

9. Data nilai kn dan Lno hasil perhitungan (Maret 2006) ... 122

10. Data nilai kn dan Lno hasil perhitungan (Aprill 2006) ... 122

11. Perhitungan ka rata-rata ruas sungai (Maret 2006) ... 123

12. Perhitungan ka rata-rata ruas sungai (April 2006) ... 123

13. Perhitungan kr rata-rata ruas sungai (Maret 2006) ... 124

14. Perhitungan kr rata-rata ruas sungai (April 2006) ... 124

15. Rekapitulasi data hidrometri Sungai Ciliwung (Maret 2006) ... 125

16. Rekapitulasi data hidrometri Sungai Ciliwung (April 2006) ... 125

17. Rekapitulasi data kwalitas air dan angka konstanta (Maret 2006) ... 126

18. Rekapitulasi data kwalitas air dan angka konstanta (Apri 2006) ... 126

19. Nilai photosintesis dan respirasi Sungai Ciliwung (Maret 2006) ... 128

20. Niai photosintesis dan respirasi Sungai Ciiwung (April 2006) ... 128

21. Hasil perhitungan SOD atau Sb (Maret 2006) ... 130

22. Hasil perhitungan SOD atau Sb (April 2006) ... 130

23. Hasil perhitungan CBOD distribusi (SL) (Maret 2006) ... 131

24. Hasil perhitungan CBOD distribusi (SL) (April 2006) ... 131

25. Hasil perhitungan NBOD distribusi (SL)n (Maret 2006) ... 132

26. Hasil perhitungan NBOD distribusi (SL)n (April 2006) ... 132

27. Rasio debit (Q), kec (V), kedalaman (H) hilir-hulu (Maret 2006) ... 137

28. Perhitungan Ka pada Qmin (10% bersarana-90% tanpa sarana) ... 138

29. Perhitungan Ka pada Qrata-rata (10% bersarana-90% tanpa sarana) ... 138

30. Debit harian rata – rata (Vdt) 1/2 bulanan di bendungan (1983-1996) .. 139

31. Frekwensi kejadian debit aliran ... 140

32. Debit minimum yang pernah terjadi di Bendung Katulampa ... 140

33. Konsentrasi DO dan BOD anak Sungai Ciliwung ... 142

34. Kerlarutan oksigen jenuh ... 143

(8)

PENDAHULUAN

Sungai Ciliwung adalah salah satu sungai penting di Jawa Barat yang melintasi wilayah Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok dan DKI-Jakarta. Sungai Ciliwung merupakan sumber daya air yang setiap tahun bermasalah oleh banjir dan pencemaran. Masalah banjir disebabkan oleh kelebihan debit limpasan permukaan air hujan yang tidak dapat ditampung oleh penampang sungai yang kian menyempit. Masalah pencemaran terutama disebabkan oleh adanya limbah organik dari kegiatan komersial dan industi yang dibuang langsung ke dalam sungai tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu. Pencemaran ini sudah dimulai sejak dari hulu di daerah Cisarua hingga ke hilir di daerah Pejompongan. Penurunan kualitas air akibat pencemaran tersebut telah terjadi di sepanjang aliran yang disertai dengan meningkatnya nilai BOD dan menurunnya nilai DO ke arah hilir. Kondisi ini juga menyebabkan terganggunya peruntukan air yang tidak sesuai dengan standar baku mutu air yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001. Persyaratan konsentrasi DO sebesar 6 mg/l untuk air baku air bersih yang harus dipenuhi oleh Instalasi Pengolahan Air Minum Pejompongan tidak dapat dicapai, karena konsentrasi DO di tempat ini hanya berfluktuasi kurang dari 1 mg/l. Kondisi tersebut merupakan kasus ekstrem yang berlangsung hingga kini.

(9)

2

1979 mengungkapkan, bahwa ruas Gadog-Pintu Air Manggarai kandungan BOTnya mencapai kisaran 25,2 – 28,98 ppm dan DO antara 5-1,6 ppm. Peneliti lain Saeni (1986), juga mengungkapkan bahwa rata-rata dalam setahun, nilai BOT antara 48,9 – 66,34 ppm, BOD antara 8,19 – 21,61 ppm dan DO antara 7,61 – 2,36 ppm. Limnologi-LIPI (2001), ruas Cimandala - Bojong Gede, nilai BOT antara 0,42 – 2,32 ppm musim kemarau dan 3,10 – 2,22 ppm musim hujan, DO antara 7,82-7,17 ppm musim kemarau dan 7,82-7,78 ppm musim hujan. Dilihat kencenderungan nilai konsentrasinya, masing-masing parameter telah terdistribusi mengikuti model spesifik yaitu pola kenaikan BOD, BOT dan penurunan DO ke arah hilir. Hasil observasi terakhir yang dilakukan oleh Widyo (2006) menunjukkan adanya pola yang sama terhadap kenaikan nilai BOD dan penurunan nilai DO ke arah hilir.

Dari pengamatan hidrogeometri, sungai ini juga mempunyai sifat aliran yang khas di antara ruas-ruasnya. Terdapat 4 (empat) karakteristik hidrodinamika di sepanjang alirannya yaitu ruas Cisarua-Bendung Katulampa deras dan dangkal, ruas Bendung Katulampa- Jembatan Depok sedang dan agak dalam, ruas Jembatan Depok-Manggarai lambat dan dalam, ruas Manggarai-Pejompongan tenang dan dalam. Hal ini disebabkan oleh kondisi topografi Sungai Ciliwung yang curam di bagian hulu, melandai ke arah Depok dan mendatar ke arah Pejompongan. Aliran deras dan dangkal mempercepat reoksigenasi dari proses transfer oksigen atmosfer ke perairan, sedang aliran tenang dan dalam menyebabkan proses reoksigenasi berlangsung lambat.

(10)

3

kimia dan biologi. Proses fisik menyangkut transportasi pencemar yang dikembangkan melalui hidrodinamika dari parameter debit (Q), kecepatan aliran (v), kedalaman sungai (H), dan waktu tempuh (t). Proses kimia dikembangkan melalui reaksi kimia, dan proses biologi dikembangkan melalui proses dekomposisi oleh mikroorganisme dalam perairan. Salah satu model kualitas air yang telah dikenal adalah lengkung oksigen dari Streeter- Phelps (1925). Model ini telah diterapkan pada Sungai Ohio di Amerika Serikat (Thomann, 1987) dan di Sungai Chao Phraya di Bangkok oleh Lohani (1980). Rekomendasi hasil penerapan model tersebut antara lain pemberlakuan stream standard yang dapat diterima semua pihak (Chapra, 1997).

Penelitian ini bertujuan untuk membagun model kualitas air parameter DO-BOD di Sungai Ciliwung sejauh 71 km pada ruas Cisarua-Pejompongan yang dikembangkan secara matematis dari angka-angka konstanta kecepatan oksigen reaerasi (ka), konstanta kecepatan dekomposisi organik karbon/nitrogen (kd,kn ),

konstanta kecepatan pengendapan partikel (ks), konstanta kebutuhan oksigen

sediment (Sb), Fotosintesis (P), dan Respirasi (R) yang dihasilkan dari uji laboratorium dan insitu dari parameter debit (Q), kecepatan (v), suhu, dan pH. Dengan mengetahui respon DO-BOD diketahui pula alokasi beban buangan organik yang boleh masuk yang dapat menjamin kualitas air pada musim kemarau sesuai dengan standar mutu air menurut PP No 82 Tahun 2001.

(11)

4

(12)

TINJAUAN PUSTAKA

Penjelasan atas PP No 82 Tahun 2001 menyebutkan bahwa, air merupakan sumberdaya alam yang digunakan untuk memenuhi hajat hidup orang banyak, sehingga perlu dilindungi agar tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya. Untuk menjaga atau mencapai kualitas air sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan sesuai dengan mutu air yang diinginkan, maka perlu upaya pelestarian dan pengendalian.

Selanjutnya, pelestarian kualitas air merupakan upaya untuk memelihara fungsi air agar kualitasnya tetap pada kondisi alamiahnya. Pelestarian air dilakukan pada sumber air yang terdapat di hutan lindung. Sedangkan pengelolaan kualitas air pada sumber di luar hutan lindung dilakukan dengan upaya pengendalian pencemaran air, yaitu upaya memelihara fungsi air, sehingga kualitas air memenuhi baku mutu air.

Dengan demikian, air sebagai komponen lingkungan hidup akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh komponen lainnya. Air yang kualitasnya buruk akan mengakibatkan kondisi lingkungan hidup menjadi buruk, sehingga mempengaruhi kondisi kesehatan dan keselamatan manusia serta kehidupan makhluk hidup lainnya. Penurunan kualitas air akan menurunkan daya guna, hasil guna, produktivitas, daya dukung dan daya tampung dari sumber daya air yang pada akhirnya akan menurunkan kekayaan sumber daya alam (natural resources depletion).

(13)

6

manusia serta makhluk hidup lainnya agar tetap berfungsi secara ekologis, guna menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Di satu pihak usaha atau kegiatan manusia memerlukan air yang berdaya guna, tetapi di lain pihak berpotensi menimbulkan dampak negatif, antara lain berupa pencemaran yang dapat mengancam ketersediaan air, daya guna, daya dukung, daya tampung, dan produktivitasnya. Agar air dapat lestari dan pembangunan dapat berkelanjutan. maka dalam pelaksanaan pembangunan perlu dilakukan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

Konsep Pengelolaan Kualitas Air

Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air ini harus diselenggarakan secara terpadu dengan pendekatan ekositem. Mengingat sifat air yang dinamis dan pada umumnya berada dan mengalir melintasi batas wilayah administrasi pemerintahan, maka pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri (partial) oleh satu pemerintah daerah. Dengan demikian harus dilakukan secara terpadu antar wilayah administrasi dan didasarkan pada karakter ekosistemnya, sehingga tercapai pengelolaan yang efisien dan efektif.

(14)
(15)

8

sistem DAS, evaluasi beban pencemar, penyusunan model kualitas air, dan strategi pengelolaan kualitas air.

Penetapan Peruntukan Air

Klasifikasi peruntukan air menurut PP Nomor 82 Tahun 2001, yaitu :

1) Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

2) Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana dan sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

3) Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. 4) Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi

pertanamandan peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

Klasifikasi ini ditetapkan sebagai upaya pendayagunaan menurut potensi pemanfaatan atau penggunaan airnya, pencadangan air berdasarkan ketersediaannya, baik kualitas maupun kuantitasnya, serta pendayagunaan menurut fungsi ekologis. Penetapan kelas air seperti yang dimaksud adalah :

1) Sumber air yang berada dalam dua atau lebih wilayah propinsi dan merupakan lintas batas wilayah negara ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

2) Sumber air yang berada dalam dua atau lebih wilayah kabupaten atau kota dapat diatur dengan Peraturan Daerah Propinsi

(16)

9

Pembagian kelas ini didasarkan pada peringkat (gradasi) tingkatan baiknya mutu air, dan kemungkinan kegunaannya. Tingkatan kelas satu merupakan tingkatan terbaik. Secara relatif tingkatan mutu kelas satu lebih baik dari kelas dua dan selanjutnya. Penetapan kelas air diajukan berdasarkan pada hasil pengkajian yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten.atau Kota berdasarkan wewenangnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah dapat menugaskan Pemerintah Propinsi yang bersangkutan untuk melakukan pengkajian lebih lanjut. Pedoman pengkajian untuk menetapkan kelas air ditetapkan oleh Menteri.

Penetapan Baku Mutu air

Baku mutu air ditetapkan berdasarkan hasil pengkajian kelas air dan kriteria mutu air. Baku mutu air ini dapat dinyatakan dalam status mutu air yaitu kondisi tercemar apabila mutu air tidak memenuhi baku mutu air dan kondisi tidak tercemar apabila mutu air memenuhi baku mutu air. Baku mutu air parameter DO dan BOD untuk peruntukan air kelas I-IV disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria mutu air berdasarkan kelas

Parameter Satuan Kelas

I II III IV Keterangan

pH

6-9 6-9 6-9 5-9

Apabila secara alamiah di luar rentang tersebut, maka ditentukan

BOD mg/l 2 3 6 12

DO mg/l 6 4 3 0 Angka batas minimum

NO3-

sebagai N mg/l 10 10 20 20

NH3-N mg/l 0,5 (-) (-) (-) Perikanan ≤ 0.02 mg/l

Nitrit

sebagai N mg/l 0,6 0,0 0,6 (-)

Pengolahan air minum NO2-N ≤ 1 mg/l

Sumber : Lampiran PP No 28 Tahun 2001.

(17)

10

kelas air mempersyaratkan mutu air yang dinilai masih layak untuk dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu.

Pengendalian Pencemaran Air

Pengendalian pencemaran air bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran air serta pemulihan kualitas airnya yang dapat menjamin kualitas air tersebut sesuai dengan baku mutu air. Baku mutu yang dimaksud adalah kondisi kualitas air yang diukur dan diuji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metoda tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian upaya pengendalian pencemaran air antara lain dilakukan dengan membatasi beban pencemaran yang dapat ditenggang masuknya ke dalam badan air, sebatas tidak akan menyebabkan air menjadi tercemar (sebatas masih memenuhi baku mutu air).

Sumber pencemar organik karbon (BOD), pada umumnya disebabkan oleh limbah rumahtangga dan industri. Beberapa contoh industri yang membuang air limbah organik karbon antara lain industri kertas, tekstil dan kulit. Secara teknis pengolahan air limbah industri lebih sulit dibandingkan air limbah rumahtangga, karena limbah industri sangat luas ragamnya dan fluktuasinya cukup tinggi. Beban pencemaran yang dibuang oleh suatu industri tergantung pada bahan baku yang digunakan, kapasitas dan proses produksi serta cara penyaluran air buangannya. Sedang beban pencemaran dari rumahtangga biasanya ditentukan oleh beberapa faktor antara lain; komposisi masyarakat, jenis dan sistem penyalurannya, standar hidup, geografi, dan ada tidaknya buangan sampah.

Menurut Metcalf and Eddy (1991), usaha pengendalian pencemaran air secara garis besar dibagi dalam tiga cara yaitu :

(18)

11

dengan zat-zat kimia yang berdaya cemar rendah, mengefektifkan pemakaian zat-zat kimia dan lainnya.

2) Meningkatkan efisiensi pengolahan air buangan yang pada dasarnya meliputi metode fisis kimia, biolgis dan kombinasinya. Efisiensi dari pengolahan tersebut berbeda-beda tergantung pada cara atau metode pengolahan yang digunakan. Pengolahan secara fisis dapat digunakan dengan penyaringan (screening) atau sedimenasi (pengendapan). Cara ini cukup ekonomis, namun efisiensinya sangat kecil terutama hanya efektif untuk menghilangkan atau mengurangi kandungan padatan tersuspensi. Pengolahan secara kimia dapat dilakukan dengan penambahan kimia yang bersifat koagulan, sehingga terjadi koagulasi (penggumpalan). Adapun pengolahan biologis dimaksudkan untuk memberi oksigen yang cukup untuk mengoksidasi bahan organik yang ada atau yang tersisa sampai pada tingkat yang diinginkan. Cara pengolahan biologis ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya dengan proses lumpur aktif, kolam stabilisasi atau kolam oksidasi.

3) Penyaluran air buangan :

a) Penyaluran bahan buangan cair harus memperhatikan lingkungan di sekitarnya, yaitu menyangkut pemukiman penduduk, pertanian, peternakan, perikanan dan lain-lain.

b) Penyaluran air buangan yang telah diolah harus memenuhi ketentuan atau standar kualitas buangan (efluen standar) dari instansi berwenang. c) Sistem penyaluran buangan melalui daerah pemukiman harus diusahakan

dengan konstruksi permanen yang tidak mengganggu kesehatan dan keselamatan penduduk.

d) Pemilihan tempat penampungan buangan padat dan penyaluran buangan cair harus melalui perizinan.

(19)

12

Evaluasi penanganan limbah bertujuan untuk mengetahui secara rinci faktor-faktor yang menyebabkan persoalan dan kendala teknis maupun non teknis di lapangan. Dengan teridentifikasinya faktor-faktor penyebabnya maka keberhasilan penanganan limbah secara terstruktur diharapkan dapat memaksimalkan pencapaian tujuan pengelolaan secara keseluruhan. Adapun factor-faktor yang perlu dievaluasi antara lain meliputi :

1) Daerah aliran sungai (DAS)

a) Teridentifikasi batas-batas DAS yang tercakup dalam peta DAS Ciliwung skala 1 : 25.000.

b) Teridentifikasinya anak-anak sungai, tataguna lahan, dan kontur lahan yang tercakup dalam peta DAS Ciliwung skala 1 : 25.000

c) Teridentifikasiya luas dan panjang DAS Ciliwung dalam peta skala 1 : 25.000

2) Sumber pencemar

a) Teridentifikasinya lokasi sumber air limbah dan sampah dari sumber-sumber domestik dan industri yang tercakup dalam peta DAS Ciliwung skala 1 :25.000

b) Teridentifikasinya kuantitas beban air limbah dan limbah padat saat ini dan perkembangannya dari sumber-sumber domestik dan industri yang tercakup dalam DAS Ciliwung

c) Teridentifikasinya lokasi buangan air limbah ke dalam SungaiCiliwung skala 1 : 25.000

d) Teridentifikasinya beban air limbah sumber titik maupun menyebar saat ini dan perkembangannya yang dipikul Sungai Ciliwung ruas Puncak Bogor sampai Pejomongan DKI- Jakarta dalam bentuk peta skala 1 : 5000

(20)

13

f) Teridentifikasinya batas beban pencemar yang diperbolehkan masuk ke dalam Sungai Ciliwung ruas Puncak Bogor sampai Pejompongan DKI-Jakarta dalam bentuk peta skala 1 : 5000

g) Teridentifikasinya alternatif konsep dan strategi penanggulangan Sungai Ciliwung ruas Puncak Bogor sampai Pejompongan DKI-Jakarta ditinjau dari aspek teknis.

3) Geografi dan topografi

a) Teridentifikasinya satuan wilayah administrasi (kecamatan) yang tercakup dalam wilayah DAS Ciliwung

b) Teridetifikasinya topografi wilayah perencanaan dalam peta skala 1 : 25.000

c) Teridentifikasinya sistem penyaluran air limbah sumber titik (domestik, industri, komersial, rumah sakit) dalam peta skala 1 : 25.000

d) Teridentifikasinya jaringan jalan di wilayah DAS Ciliwung dalam peta skala 1 : 25.000

4) Iklim dan hidrologi

a) Teridentifikasinya karakter iklim wilayah DAS Ciliwung

b) Teridentifikasinya dimensi saluran dari sistem jaringan pengatusan air hujan maupun buangan air limbah dalam peta skala 1 : 25.000

c) Teridentifikasinya fluktuasi debit aliran dan debit aliran banjir yang masuk Sungai Ciliwung

d) Teridentifikasinya pengaturan debit aliran Sungai Ciliwung di pintu air Katulampa atau Manggarai

(21)

14

5) Kependudukan dan tataguna lahan

a) Teridentifikasinya kepadatan dan jumlah penduduk dan perkembangannya tiap satuan wilayah administrasi (kecamatan) di wilayah DAS Ciliwung dalam peta tematik skala 1 : 25.000

b) Teridentifikasinya tataguna lahan, saat ini dan perkembangannya di wilayah DAS Ciliwung dalam peta tematik skala 1 : 25.000

6) Sosial, ekonomi, dan budaya

a) Teridentifikasinya kendala sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat dalam penanggulangan pencemaran Sungai Ciliwung

b) Teridentifikasinya tatanan sosial, ekonomi, budaya masyarakat yang menunjang dan dapat dikembangkan dalam penanggulangan pencemaran Sungai Ciliwung ruas Puncak Bogor sampai Pejompongan DKI- Jakarta 7) Kelembagaan, peraturan, dan perundangan

a) Teridentifikasinya lembaga-lembaga formal dan non formal yang berpotensi menunjang dalam pengelolaan kualitas air Sungai Ciliwung ruas Puncak Bogor sampai Pejompongan DKI- Jakarta

b) Teridentifikasinya peraturan dan perundangan-udangan yang menunjang pengelolaan kualitas air Sungai Ciliwung.

c) Teridentifikasinya peruntukan Sungai Ciliwung ruas Puncak Bogor sampai ke Pejompongan DKI- Jakarta

d) Teridentifikasinya alternatif-alternatif penanggulangan pencemaran Sungai Ciliwung ruas Puncak Bogor sampai Pejompongan DKI-Jakarta. 8) Daya dukung Sungai Ciliwung

a) Teridentifikasinya hidrodinamika Sungai Ciliwung menyangkut kecepatan aliran, debit, kedalaman air (maksimum, rata-rata, dan minimum), ruas Puncak Bogor sampai Pejompongan DKI-Jakarta.

(22)

15

c) Teridentifikasinya daya purifikasi Sungai Ciliwung ruas Puncak Bogor sampai Pejompongan DKI- Jakarta.

Beban Pencemaran

Beban pencemar bisa berasal dari sumber pencemar titik dan sumber pencemar menyebar. Beban dari sumber pencemar titik biasanya ditunjukkan dalam satuan massa/waktu atau kg/hari, sumber pencemar menyebar ditunjukkan dalam satuan ton/km2.hari, atau g/m2.hari. Sumber pencemar menyebar jauh lebih sulit untuk dikendalikan dan dipantau, sedang sumber pencemar titik dapat dimonitor dengan peraturan-peraturan yang berlaku dalam standar kualitas air seperti efluen standar. Sumber pencemar titik umumnya terlokalisir dan dapat berasal dari pipa efluen dari instalasi pengolahan air buangan, saluran-saluran, atau sumber–sumber pencemar yang terkurung yang dibuang ke dalam sungai. Sumber pencemar meyebar tidak terlokalisir sebagai contoh limpasan permukaan dari daerah pemukiman yang mengandung limbah domestik, limpasan permukaan dari daerah pertanian membawa endapan lumpur yang mengandung pestisida, hara, zat organik

Gambar 2. Ilustrasi sumber pencemar titik dan menyebar dalam sungai.

IPAL

Danau

Limpasan

Pertanian Pembangunan lahan

Pedesaan Efluen

Sumber menyebar Sumber titik

s ungai

(23)

16

Penyusunan Model

Menurut The American Heritage Dictionary (1987), model adalah sebuah obyek kecil yang menjelaskan obyek besar dan rumit menjadi lebih sederhana dan dapat dipertanggung jawabkan. Model yang dimaksud adalah model matematika yang diperlukan untuk menghitung kualitas (response) di badan air penerima

(sistem) sebagai fungsi dari efluen air limbah (stimuli). Bentuk persamaan umumnya

adalah

.c = f(w; fisika, kimia, biologi) (1)

Hubungan antara beban (w) dan konsentrasi (c) berbanding lurus (linier) yaitu : w

a

c=1 (2)

Keterangan :

a = faktor asimilasi (liter/hari), c = konsentrasi (mg/l)

w = beban buangan limbah (kg/hari)

Ada tiga cara dalam perenapan model kualitas air yaitu :

1) Model simulasi dipakai untuk mensimulasi response (c) sebagai fungsi stimulus (w) dan karakteristik (a), seperti yang dinyatakan dalam persamaan 2. 2) Desain kapasitas asimilasi dipakai untuk memperkirakan beban W yang sesuai

dengan stream standard agar (c) perairan dapat dicapai yang dinyatakan dalam persamaan

W =ac (3)

3) Modifikasi lingkungan, dipakai untuk memodifikasi kapasitas asimilasi, a bila badan air belum mampu memikul upaya penurunan (reduksi) beban, w. Bentuk modifikasi ini misal pengerukan dasar sedimen, aerasi buatan, dan penambahan debit

(4)

(24)

17

Strategi Pengelolaan Kualitas Air

Mengacu pada KEP-05/MENKLH/6/1987 tentang Pedoman Rencana Pengelolaan Llingkungan (RKL), pengelolaan kualitas air biasa dilakukan melalui beberapa pendekatan, antara lain :

1) Pendekatan Teknologi

a) Penanggulangan limbah bahan berbahaya dan beracun b) Membatasi atau mengisolasi limbah

c) Stabilisasi limbah dengan menambah zat kimia tertentu supaya tidak membahayakan manusia dan makhluk hidup lainnya.

d) Mengubah proses untuk mencegah dan mengurangi volume limbah e) Sistem daur ulang limbah, yaitu penggunaan bahan baku maupun bahan

lainnya yang kurang atau tidak menghasilkan limbah bahan beracun. f) Mencegah, mengurangi, memperbaiki kerusakan dan menanggulangi

pemborosan sumberdaya alam, berupa :

1) Pencegahan erosi sistem terasiring atau tanaman penutup tanah 2) Reklamasi lahan rusak atau konversi untuk pembangunan lainnya. 3) Meningkatkan pendayagunaan bahan baku.

2) Pendekatan Ekonomi

a) Permintaan bantuan kepada pemerintah untuk turut menanggulangi dampak lingkungan karena keterbatasan kemampuan pemrakarsa.

b) Kemudahan prosedur pengadaan peralatan, terutama bila peralatan tersebut dibeli dari luar negeri

c) Keringanan bea masuk peralatan pengendali pencemaran

d) Kemudahan dan keringanan kredit bank untuk pembelian peralatan maupun biaya lainnya untuk pengelolaan lingkungan

e) Penanggulangan masalah sosial ekonomi dan sosial budaya antara lain : 1) Sistem imbalan atau ganti kerugian bagi penduduk yang terpaksa

(25)

18

taraf hidup masyarakat atau paling tidak sama dengan taraf hidup pada keadaan kondisi awal

2) Bagi kelompok masyarakat yang terkena dampak negatif diberikan prioritas utama untuk mengembangkan kemampuan mengatasi perubahan yang timbul, antara lain dengan jalan memberikan pendidikan dan ketrampilan

3) Mengendalikan masalah sosial yang telah ada dan yang akan timbul akibat kegiatan tersebut

3) Pendekatan Institusional

a) Pengembangan kerjasama antar instansi yang berkepentingan dan berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup

b) Pengembangan peraturan perundang-undangan yang menunjang pengelolaan lingkungan

c) Pengembangan pengawasan baik intern maupun ekstern yang meliputi pengawasan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat

d) Pengembangan kerja sama antar negara dalam pengendalian dampak lingkungan.

Parameterisasi Model

BOD Uji Laboratorium

BOD merupakan indikator pencemaran organik yang diukur berdasarkan jumlah oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme selama perombakan bahan organik. Pengujian BOD adalah rangkaian penetapan kadar oksigen terlarut dari sebuah contoh air pada hari ke 0 dan hari ke 5 setelah melalui masa inkubasi pada suhu 20oC yang selanjutnya dinyatakan sebagai BOD5,20. Pengambilan suhu 20oC

(26)

60-19

70%. Sedang oksidasi sempurna (95-99%) dibutuhkan ± 29 hari (Metcalf dan Eddy, 1991)

Thomann, (1987) menyatakan, reaksi biokinetik dari perombakan tersebut sangat kompleks. Penyederhanaan dalam menjelaskan reaksi biokinetik BOD dalam botol diterapkan model reaksi kinetik tingkat pertama. Pada model ini, laju penyisihan BOD hanya tergantung pada jumlah bahan organik yang masih tersisa pada saat t

(5)

Keterangan :

kd = konstanta deoksigenasi atau laju pemakaian oksigen ordo pertama (1/hari)

L = jumlah bahan organik yang tersisa saat t hari dinyatakan dalam BOD (mg/l).

Jumlah bahan organik yang tersisa dalam waktu t dapat dicari dengan mempertimbangkan bentuk integrasi dari persamaan 5,

t kd

e Lo

L = . − . (6)

Bila oksigen yang dikonsumsi selama proses dekomposisi

L Lo

y= − , (7)

maka jumlah oksigen yang telah digunakan pada saat t adalah )

kd = konstanta dekomposisi BOD ordo pertama (1/hari)

Untuk BOD5

Penjelasannya dapat dilihat pada gambar ilustrasi kurva jumlah BOD terpakai dan BOD tertinggal dalam botol BOD sebagai berikut :

(27)

20

Gambar 3. Hubungan antara BOD terpakai dengan BOD tertinggal

Dari Metcalf dan Eddy (1991), nilai kd dihitung dengan metode kuadrat

terkecil :

y = nilai BOD laboratorium masa inkubasi hari ke n pada 20oC (mg/l)

t

a,b = angka konstanta n = jumlah data ∆t = selisih waktu

Reaksi BOD dilakukan oleh bakteri dan mikroorganisme lainnya seperti protozoa

dan rotifera. Menurut vant Hoff-Arrhenius dalam Davis and Cornwell (1991), bahwa

(28)

21

20 20

) ( )

(kd T = kd θT− (13)

Keterangan :

(kd)T = laju oksidasi pada suhu toC

(kd)20 = laju oksidasi pada suhu 20oC

Θ = faktor konversi = 1,056

Namun demikian dengan adanya kenaikan suhu yang berlanjut hingga melampaui suhu optimum, laju reaksi biokimia akan turun seiring dengan kenaikan suhunya. Nilai kd dalam praktek sangat tergantung dari resistensi bahan organik

karbon yang ada. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh tim HidroQual (1983) pada air buangan domestik, nilai kd tergantung pada derajat penyisihan BOD dalam

perjalanannya. Untuk derajat penyisihan yang tinggi akan menaikkan sisa bahan yang resisten dan akan menurunkan laju kd, seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Laju reaksi BOD, kd dari air limbah

Derajat penyisihan (kd)20

Rentang Rata-rata Tidak terdapat penyisihan

Pengolahan primer atau sekunder Efluen lumpur aktif

0,30-0,40 0,10-0,30 0,05-0,10

0,35 0,20 0,075 Sumber : Thomann (1987).

Menurut Krenkel (1980), faktor-faktor lain yang mempengaruhi oksidasi bahan organik karbon dalam padanan BOD adalah :

1) pH. Mikroorganisme yang merombak bahan organik akan menyesuaikan diri pada kisaran pH yang sempit, biasanya antara pH 6,5 – 8,3.

2) Nutrien. Dalam merombak bahan organik kabon bakteri memerlukan nutrien, baik yang berasal dari organik maupun anorganik untuk metebolisme sel secara optimum.

(29)

22

sesuai dengan beban bahan organik karbonnya, maka mikroba kemungkinan akan mati dan aktivitasnya akan menurun.

4) Zat beracun. Berbagai macam unsur kimiawi bersifat racun terhadap mikroorganisme. Pada konsentrasi tinggi, beberapa zat kimia akan membunuh mikroba, dan pada kondisi sedikit kurang (sub lethal) dapat menurunkan kegiatan mikroba.

BOD Perairan

Seperti halnya BOD uji laboratorium, nilai BOD di perairan juga mengalami penurunan seiring dengan waktu perjalanannya. Peluruhan BOD di perairan sungai dianggap mengikuti peluruhan ordo pertama. Pada kondisi tertentu peluruhan BOD yang berasal dari efluen sumber titik akan terdistribusi ke arah hilir sungai disertai dengan proses pengendapan.

Pada kondisi tunak (stabil), persamaan 6 akan berubah mengilkuti persamaan 14 berikut,

Pada x = 0, L = Lo, dan Lo adalah BODpuncak campuran antara sungai dan efluen dari sumber titik dinyatakan dalam

r

sehingga konstanta reaksi BOD dalam perairan kr adalah

s d r k k

k = + (17)

Aliran dan penampang sungai tetap ( =0)

(30)

23

Nilai kr juga dapat diperoleh secara grafis, adalah kemiringan garis lurus dari

nilai BOD pada suatu ruas sungai ln L terhadap t

t k Lo

L ln r.

ln = − (19)

Dalam persamaan 17, kr dalam suatu perairan merupakan parameter yang harus

ditentukan terlebih dahulu karena nilai tersebut tidak serta merta dapat disamakan dengan nilai kd uji laboratorium dari BOD terlarut. Nilai ks yang menyertai adalah

konstanta BOD dari akumulasi BOD partikulat dalam dasar sungai yang dikenal dengan "sediment oxygen demand" (SOD) yang tidak ikut dalam proses biokimia di dalam air. Pengertian ini dapat diilustrasikan ke dalam sebuah pemisalan dari suatu bejana tertutup dari atmosfer (berarti tidak terjadi aerasi) dengan volume V terisi limbah organik yang dibiarkan selama t hari. Limbah organik diukur ekivalen dengan BOD. Selang t hari nilai BOD ini akan turun yang disebabkan oleh adanya pengendapan partikulat dalam kolom air. Jika Lp = BOD partikulat dan Ld = BOD

dari larutan, maka L = Lp + Ld

Jika Lp hanya mengendap tanpa oksidasi dan Ld hanya teroksidasi maka,

L

vs = kecepatan mengendap BOD partikulat di dalam bejana

kd = laju deoksigenasi BOD terlarut, dan jika

(31)

24

sehingga penyelesaian persamaan 18 menjadi

)

Gambar 4. Ilustrasi variasi nilai kr pada perairan dalam dan dangkal

Dengan demikian perkiraan terhadap oksigen terlarut yang tersisa dalam bejana, hanya memperhitungkan penurunan bahan organik dalam padanan BOD yang disebabkan adanya oksidasi, yaitu,

L

Dengan menggunakan persamaan 20, maka besarnya oksigen, c yang tertinggal di dalam bejana dapat dihitung sebagai,

(32)

25

Bahan organik karbon yang tergandung dalam air limbah dengan konsentrasi padatan yang tinggi (> 100 mg/l), BOD partikulat dapat tinggi. Sedang untuk penyisihan tingkat sekunder yang mempunyai padatan tersuspensi kurang dari 30 mg/l, ks dapat diabaikan. Estimasi perenapan kd dari uji laboratorium ke perairan

sungai sebaiknya mempertimbangkan fenomena lain yang tidak ada dalam BOD uji laboratorium, misalnya adanya biosorption dari Lumpur biologis di dasar sungai, turbulensi, kekasaran penampang sungai, dan kepadatan mikroorganisme yang melekat serta derajat penyisihan BOD. Untuk itu perlu diperhatikan korelasinya terhadap hidrometri sungai menyangkut kedalaman, debit aliran dan keliling basah penampang. Sebagai pedoman kd mempunyai rentang antara 0,1 sampai 0,5/hari untuk badan air dalam (> 1,5 m), dan 0,5 sampai 3,0 /hari untuk badan air dangkal (< 1,5 m) (Thomann, 1987). Menurut Weight and Mc Donnel (1979) rentang kd antara 0,08- 4,24/hari untuk debit antara 0,13 – 243 m3/dt dan kedalaman sungai antara 0,3 – 10 m. Dari data tersebut juga telah dikembangkan hubungan kd pada 20oC dengan

debit alirannya seperti pada persamaan 22, dan pada Tabel 3 dan 4 tertera tipikal beban buangannya.

kd =10Q−0,49 (22)

Weight and McDonnel, (1979) juga mengemukakan, bahwa pada debit aliran lebih dari 23 m3/dt, kd akan konsisten dengan laju oksidasi kd dari uji laboratorium.

(33)

26

dibandingkan negara berkembang atau daerah yang tidak memiliki sarana. Hal ini karena fungsi sarana adalah alat pengumpul yang dapat mengisolasi limbah dalam jumlah besar.

Tabel 3. Tipikal emisi beban buangan domestik Negara Air buangan / orang

(m3/orang.hari)

Negara.berkembang 0,19 60 320

Sumber : Chapra (1997)

Tabel 4. Perkiraan beban emisi BOD5 dari buangan domestik

Industri dan proses Volume air limbah (m3/orang.tahun)

BOD5 (kg/orang.tahun) Daerah yang mempunyai

saluran pembuangan limbah 73 19,7

Daerah tanpa sarana

pembuangan limbah 7,3 6,9

Sumber : Djajadiningrat (1982).

Tabel 5. Karakteristik emisi buangan rumahtangga

Variabel Satuan Rerata Irnterval Debit rerata harian Galon/orang.hari 125 100-200

BOD mg/l 180 100-450

NBOD mg/l 220 -

Total Nitrogen mg/l N 50 15-100

Organik Nitrogen mg/l N 20 5-35

Sumber : Thomann (1972)

Tabel 6. Karakteristik emisi buangan industri Industri Satuan Q rerata

(gal/unit)

(34)

27

Oksigen terlarut (DO) jenuh

Perairan yang jernih oksigen terlarutnya bisa mendekati jenuh. Nilai kejenuhan oksigen di dalam air tergantung pada suhu, salinitas, dan terkanan udara. Namun karena adanya limbah organik yang masuk dan teroksidasi oleh miroorganisme maka konsentrasi oksigen di dalamnya akan mengalami penurunan sebesar oksigen yang digunakan untuk proses dekomposisi organik tersebut. Oleh karena itu terjadinya keseimbangan oksigen terlarut sangat ditentukan oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya. Daya serap oksigen oleh badan air lebih kecil dari kebutuhan oksigen untuk proses dekomposisi, perairan akan mengalami kondisi anaerobik, sebaliknya bila daya serap oksigen sama atau lebih besar dari kebutuhan oksigen untuk proses dekomposisi, perairan akan terjaga dalam kondisi aerobik. Dekomposisi organik pada kondisi anaerobik akan mengalami pembusukan dan menimbulkan bau dan gas oleh karenanya proses ini tidak disukai.

Sumber oksigen dalam perairan sungai antara lain berasal dari, 1) reoksigenasi dari atmosfeer

2) fotosintesis dari pitoplankton dan tumbuhan akuatik lainnya

3) DO dari anak sungai atau efluen lain yang masuk ke dalam sungai penerima Kehilangan oksigen (sink) antara lain berasal dari

1) proses dekomposisi organik di dalam perairan sungai 2) kebutuhan oksigen sedimen (SOD)

3) respirasi tanaman 4) nitrifikasi

Reoksigenasi

(35)

28

Dalam Chapra (1997), persamaan ini dikembangkan dan dipakai dasar perhitungan di perairan sungai pada suhu 20oC oleh :

O'Connor's & Dobbins (1956)

5

Untuk suhu lain, harga ka mengikuti perasamaan vant Hoff-Arrhenius,

20

Tabel 7. Rentang nilai H dan v untuk formula O'Connor-Dobbins, Churchill, serta Owens and Gibbs

Sumber : Chapra (1997). Fotosintesis dan Respirasi

Fotosintesis dan respirasi tanaman sangat berarti dalam mengatur jumlah oksigen di perairan dengan perantara sinar matahari. Secara sederhana proses tersebut dapat dijelaskan melalui reaksi :

fotosintesis

6CO2 + 6H2O 6CH2O+6O2 (28)

respirasi

Parameter O'Connor-obbins Churchill Owens and Gibbs

H (m) 0,30-9,14 0,61-3,35 0,12-0,73

(36)

29

Namun tahapan reaksi yang sangat rumit akan terlibat dalam proses berikutnya. Proses ini melibatkan karbon dioksida dan oksigen atmosfer yang larut dalam perairan. Fotosintesis tumbuhan ganggang dengan bantuan sinar matahari memetabolisme karbon dioksida menghasilkan oksigen. Kehadiran hara dan sinar matahari yang berlimpah merangsang metabolisme ganggang untuk memproduksi banyak oksigen, sehingga perairan kelewat jenuh, c > cs. Namun demikian kondisi ini tidak selalu baik untuk perairan, sebab kerugian akibat melimpahnya pertumbuhan ganggang sering lebih berat daripada manfaat oksigen yang dihasilkan. Hal ini mengingat, ganggang selalu melibatkan produk metabolisme bakteri yang membutuhkan oksigen (Cornell and Miller, 1995).

Bila tidak ada sinar matahari, ganggang memperoleh energinya dari proses katabolisme secara mandiri, sehingga reaksi berbalik arah. Reaksi ini cenderung mengkontribusi kebutuhan oksigen dibandingkan menyediakan oksigen. Perbedaan katabolisme ganggang selama hari terang dan hari gelap menghasilkan variasi diurnal oksigen terlarut dan diikuti pertumbuhan ganggang yang lebat. Konsentrasi oksigen mencapai puncaknya pada jam 2-4 sore kemudian menurun hingga ketingkat paling rendah sebelum matahari terbit. Sayangnya oksigen yang dihasilkan pada siang hari tidak dapat dimanfaatkan pada malam hari karena segera dilepas ke atmosfer untuk menjaga keseimbangan. Produk oksigen dari proses fotosintesis dan oksigen yang dilepas untuk proses respirasi dinyatakan dalam persamaan 29 & 30 berikut ;

Fotosintesis :

t O O

P = lfli (29)

Keterangan :

Olf = konsentrasi oksigen botol terang akhir (mg/l)

Oli = konsentrasi oksigen botol terang awal (mg/l)

(37)

30

Respirasi :

t O O

R = didf (30)

Keterangan :

Odi = konsentrasi oksigen dark botol gelap awal (mg/l)

Odf = konsentrasi oksigen dark botol gelap akhir (mg/l)

Kebutuhan Oksigen Sedimen (SOD atau Sb)

Buangan limbah terendapkan dapat menghasilkan formasi endapan lumpur.

Endapan ini terjadi pada kondisi aliran rendah, kecepatan rendah, sehingga tidak ada gerusan sedimen. Bila endapan ini terjadi pada perairan yang dalam, kondisi anaerobik akan terjadi. Dekomposisi anaerobik tersebut menghasilkan gas CO2, CH4,

dan H2S. Bila produksi gas dalam jumlah besar, dapat mengapungkan lumpur dasar

sungai.

Kejadian ini disamping merusak estetika sungai juga dapat mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam badan air. Pengurangan oksigen terlarut di badan air juga dapat terjadi karena adanya dekomposisi aerobik pada lapisan sedimen dasar sungai. Pada sungai proses ini terjadi saat permukaan air rendah. Sebaliknya pada saat air tinggi, penggerusan endapan akan terjadi sehingga dasar sungai akan bersih kembali. Kebutuhan oksigen sedimen tidak selalu terjadi secara langsung, karena adanya buangan domestik maupun industri. Limbah organik kadang-kadang dapat menumbuhkan bakteri filamentous yang melekat misalnya

sphaerlitus yang membutuhkan oksigen. Disamping itu dapat juga terjadi dengan

adanya kematian tumbuhan akuatik berakar, detritus dari limpasan yang mengandung sedimen organik.

Menurut rumus Streeter-Phelps besarnya Sb dapat diperoleh melalui persamaan w

w sH L

k

Sb=1,3 (31)

Keterangan :

ks = konstanta kecepatan pengendapan partikel (1/hari)

(38)

31

Lw = BOD partikulat puncak (mg/l), vs organik karbon =0.2 m/hari (Chapra, 1997).

Tabel 8. Kebutuhan SOD=Sb untuk jenis-jenis lumpur

Tipe dasar sungai SOD (g O2/m

2

.hari) 20oC

Rentang Rata-rata

Sphaerolitus (10g bobot kering /m2) 7 -

Lumpur efluen pemukiman 2-10 4

Lumpur muara 1-2 1,5

Dasar sungai berpasir 0,2-1,0 0,5

Dasar sungai bermineral 0,05-1 0,07

Sumber : Chapra (1997). Kebutuhan Osigen Nitrifikasi

Reaksi tahap pertama dari BOD karbon bila diteruskan hingga pada tahap kedua akan mengalami proses nitrifikasi yaitu adanya oksidasi dari gugus nitrogen organik di dalam air sebagai BOD nitrogen, seperti pada Gambar 5.

Gambar 5. Kurva NBOD DAN CBOD

Produk dekomposisi antara dari protein adalah asam amino, amida, dan amin juga hadir beberapa tingkat. Protein dihancurkan dengan proses hidrolisis menjadi asam amino. Amonia mempunyai kelarutan tinggi, kombinasi dengan ion hidrogen akan membentuk ion ammonium dan mempunyai kecenderungan untuk menaikkan pH air. Dalam rentang pH netral semua amonia hadir dalam bentuk ammonium dan dalam pH tinggi dalam bentuk gas. Dekomposisi bakteri heterotropik adalah tipe reaksi pada tahap ke dua dari deoksigenasi biologis dalam perairan alam. Perubahan amonia menjadi nitrat dikenal dengan istilah nitrifikasi (Gaudy and Gaudy, 1980).

(39)

32

Tahap pertama, bakteri nitrosomonas mengubah ion ammonium (NH4+) menjadi nitrit.

NH4+ + 1,5O2 2H+ + H2O + NO2- (32)

Di dalam reaksi ini diperlukan 3,43 g oksigen untuk oksidasi 1 g nitrogen menjadi nitrit (NO2-). Pada tahap kedua bakteri Nitrobacter mengubah nitrit menjadi

nitrat

NO2- + 0,5gO2 NO3- (33)

Kecepatan pertumbuhan kedua bakteri ini umumnya lebih lambat dari bakteri heterotropik. Konversi dari nitrit ke nitrat lebih cepat dibandingkan konversi dari ammonium ke nitrit. Akibatnya konsumsi substrat pada tahap ke dua hampir 3 kali dari konsumsi tahap pertama.

Jumlah konsumsi O2 yang diperlukan setiap tahap adalah ;

Konsumsi oksigen nitrifikasi dari ammonium (roa)

roa = 1,5(32) = 3,43 g O/g N (34)

14 Konsumsi oksigen nitrifikasi dari nitrit (roi))

roi = 0,5(32) = 1,14 g O/g N (35)

14

Dengan demikian oksigen total yang diperlukan dalam proses nitrifikasi adalah 4,57 g oksigen per nitrogen amonia yang dioksidasi menjadi nitrat. Oleh karena oksidasi nitrogen amonia membutuhkan 4,57 g oksigen, maka nilai NBOD dapat diestimasikan dengan persamaan ;

LN= 4,57 TKN (36)

Berlangsungnya nitrifikasi tergantung pada beberapa faktor disamping keberadaan amonium. Faktor penting yang mempengaruhi adalah ;

(40)

33

1) keberadaan bakteri nitrifikasi dalam jumlah cukup. Pada sungai dangkal dan berbatu memberi cukup substrat untuk tumbuh efektif.

2) pH optimum (sekitar 8) cenderung menetralisir asam yang diproduksi 3) oksigen terlarut di atas 1-2 mg/l

BOD Perairan

Distribusi BOD di sepanjang aliran sungai bisa berasal dari sumber pencemar titik dan sumber pencemar menyebar pada aliran seragam (uniform-flow) atau aliran tidak seragam (non uniform-flow). Distribusi BOD dari sumber pencemar titik pada aliran seragam telah dibahas dalam persamaan 20. Distribusi BOD dari sumber menyebar bisa berasal dari limpasan permukaan, sedimen, pitoplankton, air lindi. Nilai BOD pada ruas sejauh x dinyatakan dalam persamaan

(37)

Jadi total nilai BOD pada ruas sejauh x dari sumber titik dan meyebar (SL) adalah;

0 . (1 kr.t)

Keterangan : SL fotosintesis, respirasi, dan sedimen (mg/l.hari) )

(41)

34

Defisit Oksigen (D)

Defisit oksigen (D) di sepanjang aliran sungai bisa berasal dari sumber pencemar titik dan sumber pencemar menyebar di dalam aliran seragam ( uniform-flow) atau aliran tidak seragam (non uniform-flow). Distribusi defisit oksigen dapat dijelaskan dari lengkung oksigen terlarut Streeter-Phelps(Gambar 7 dan 9.)

1) Defisit oksigen sumber pencemar titik

Defisit oksigen awal (Do) terjadi pada lokasi efluen sumber pencemar titik akibat beban buangan bahan organik yang berlebihan. Defisit oksigen ini berlanjut ke arah hilir mengikuti proses biokimia ordo pertama. Selama kebutuhan oksigen dalam proses dekomposisi bahan organik tidak melebihi kapasitas asimilasinya, keberadaan oksigen terlarut di dalam air tetap tinggi sehingga sejumlah populasi dari tumbuhan akuatik maupun ikan masih bisa ditemukan. Jika pertambahan limbah organik tetap berlanjut, kapasitas asimilasi sungai terlampaui sehingga sungai kehilangan kemampuan asimilasinya dan oksigen terlarut dalam air turun bahkan mencapai titik kritis, tc (Gambar 7). Jika DO sungai habis, perairan dalam kondisi anaerobik.

Pesamaan defisit oksigen :

) Defisit awal (Do)

DO saturasi, DOs

Defisit, D

titik kritis

tc

Sumber pencemar titik

(42)

35

Keterangan :

D0 = defisit oksigen awal (mg/l)

ka = konstanta kecepatan reoksigenasi (1/hari)

t = x/v = waktu aliran (hari)

2) Defisir Oksigen Dari Sumber Pencemar Menyebar

Defisit oksigen dari sumber pencemar menyebar dijelaskan pada Gambar 8. Persamaan defisit oksigennya adalah

)

Sumber pencemar meyebar dari efek fotosintesis, respirasi, sedimen dikenal sebagai no flow sources yaitu sumber pencemar tidak berdebit dan tidak signifikan menambah debit campuran sungai. Persamaan defisit oksigen akibat efek ini dinyatakan dalam persamaan 41

saturasi

(43)

36

P = kecepatan fotosintesis fitoplankton (mg/l.hari) R = kecepatan respirasi fitoplankton (mg/l.hari)

Sb= kecepatan penggunaan oksigen sedimen (g/m2.hari)

H = kedalaman air (m)

Distribusi Debit (Q)

Rumus O'Connor (1976), untuk debit yang semakin meningkat adalah ;

Q=Q0 +qx (42)

Distribusi BOD (SL) pada aliran tak seragam

Persamaan untuk SL rerata pada debit meningkat adalah ::

)

Model Streeter-Phelps

(44)

37

Persamaan Defisit Oksigen (D) :

(a) defisit oksigen titik

Hidrogeometri

Terdapat 4 ruas sungai yang mempunyai sifat hidrogeometri yang berbeda yaitu ruas1-3 (Cisarua – Bendung Air Katulampa), ruas3-6 (Bendung Katulampa –

Depok), ruas6-8 (Depok – Manggarai), dan ruas 8-9 (Manggarai-Pejompongan).

Ruas1-3 berciri :

a) Kemiringan dasar saluran curam, beraliran deras dan dangkal b) Penampang sungai melebar secara gradual ke arah hilir.

c) Kecepatan air relatif konstan meskipun terjadi peningkatan debit ke hilir. Ruas3-6 berciri :

a) Kemiringan dasar saluran landai, beraliran sedang dan agak dalam b) Penampang sungai bervariasi dan berkelok secara perlahan ke arah hilir. c) Kecepatan aliran konstan meskipun terjadi peningkatan debit ke arah hilir. Ruas6-8 berciri :

a) Kemiringan dasar saluran mendatar, beraliran lambat dan dalam b) Penampang sungai relatif konstan ke arah hilir.

(45)

38

Ruas8-9 berciri

a) Kemiringan dasar saluran mendatar, beraliran tenang dan dalam b) Penampang sungai relatif konstan ke arah hilir.

c) Kecepatan aliran konstan meskipun terjadi peningkatan debit ke arah hilir. Kualitas Air

Terdapat kecenderungan pola distribusi peningkatan konsentrasi BOD disertai penurunan konsentrasi DO ke arah hilir (PPA, 1979, dan Saeni, 1986) (Gambar 9). Berdasarkan karakteristik kuantitas dan kualitas ini, maka perenapan model distribusi BOD dan DO yang sesuai adalah model kualitas air aliran tidak seragam.

Beberapa asumsi yang digunakan untuk aliran tidak seragam adalah ;

1) nilai v, t, H, dan k adalah rata-rata dari nilai observasi setiap titik pengukuran masing-masing ruas sungai

2) nilai q, dan SL dihitung berdasarkan pers 21 & 22 untuk setiap ruas sungai.

3) nilai BOD (L) model di setiap titik mengikuti persamaan 29, dari hasil perhitungan parameter sebelumnya.

4) nilai Defisit Oksigen (D) model setiap titik mengikuti persamaan 30, dari hasil perhitungan parameter sebelumnya.

5) parameter-perameter model tersebut disusun dalam sebuah tabel sedemikian dan menghasilkan nilai BOD dan defisit oksigen (D) setiap titik secara

reciprocal.

(46)

39

Gambar 9. Variasi nilai BOD dan DO di Sungai Ciliwung (PPA, 1979 dan Saeni, 1986).

Eksistensi Mikrobiologi di Perairan

Menurut Rittmann (2001), spesies bakteri di dalam ekosotem perairan memilki peran penting dalam mentransformasi bebrbagai jenis polutan anorganik dan organik ke dalam bentuk mineral yang tidak berbahaya untuk dimanfaatkan kembali. Kemampuan bakteri untuk mengoksidasi bahan kimia organik hasil sintesis industri maupun dari produk alami dapat dilakukan melalui proses biologis atau normal atau melalui proses pengolahan air limbah. Konversi bahan organik melalui proses anaerobic menghasilkan gas metan yang dapat dimanfaatkan sebagai energi sedang melalui proses aerobic menghasilkan gas karbon dioksida untuk proses fotosintesis tanaman air. Konversi bahan organik seperti amoniak atau nitrat menghasilkan gas nitrogen sebagai unsur penting udara. Namun demikian tidak semua fungsi bakteri bermanfaat bagi manusia, karena sebagian besar diantaranya berupa bakteri pathogen. Oleh karena itu, diperlukan kombinasi antara upaya perlindungan penyakit dan pemanfaatannya untuk membersihkan polutan di dalam badan air dan tanah.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan bakteri antara lain suhu, pH, tekanan parsial oksigen dan tekanan osmosis. Klasifikasi bakteri berdasarkan suhu dibedakan kedalaman empat kelompok yaitu; Psychrophile (-5 – 20oC), Mesophile

(8-45oC), Thermophile (40-70oC), Hyperthermophile (65-110oC). Pada selang suhu yang lebih tinggi, laju pertumbuhan maksimum lebih tinggi dibandingkan dengan

BOD5

0 5 10 15 20 25

Gadog Satuduit Manggarai

Lo kasi

(47)

40

spesies bakteri dengan selang suhu rendah. Apabila selang suhu ini dilampaui maka laju pertumbuhan akan turun cepat sebagai akibat dari terjadinya denaturasi protein bakteri. Menurut Odum (1971), kebanyakan spesies bakteri tumbuh optimum pada kisaran pH 6-8. Kinetika laju pertumbuhan bakteri menjadi hal yang sangat esensiil bagi keperluan dasar teknologi sistem pengolahan air limbah maupun bagi pemahaman perilaku bakteri itu sendiri di alam. Dalam Eckenfeder (1986), pemahaman tersebut dipelopori oleh Michaelis-Menten (1913) dalam teori reaksi enzim. Untuk menjelaskan laju pertumbuhan dan pemakaian substrat oleh mikroorganisme dapat dilihat dalam Rittmann (2001) yang dikemukakan oleh Monod (1940). Hubungan antara laju pertumbuhan bakteri pada konsentrasi substrat terbatas di jelaskan dalam persamaan 48

µsyn = (1/xa.dxa/dt)syn = µ^ .S/(K+S) (48)

Keterangan :

µ = laju pertumbuhan spesific akibat proses sintesis(1/hari). xa = konsentrasi biomassa aktif (mg/l)

t = waktu (hari)

S = konsentrasi substrat pada laju pemakian substrat terbatas (mg/l) µ^ = laju pertumbuhan spesifik maksimum (1/hari)

K = konsentrasi subtrat pada saat ½ laju pertumbuhan maksimum (vm)

(48)

41

Gambar 9a. Skema proses sintesis dan laju pertumbuhan spesifik

tergantung pada konsentrasi substrat. Pada S = 20 K, µsyn = 0,95µ^

Gambar 9a juga menunjukkan hubungan v terhadap S dan µ dapat bernilai negatif apabila S tidak mencukupi. Pada teknologi lingkungan persamaan 48 ini dikembangkan untuk tujuan menghitung penyisihan substrat (BOD) melalui persamaan hubungan laju pertumbuhan biomassa terhadap laju pemakaian substrat yang dinyatakan dalam persamaan 49 berikut.

.rut = qS.xa/(K+S) (49)

Keterangan :

rut = laju pemakaian substrat atau penyisihan BOD (mg/l.hari)

q = laju pemakaian substrat spesifik maksimum (mgsubtrat/(mgbiomass/hari)

Hubungan pemakaian substrat dan pertumbuhan biomassa adalah :

µ^ =q^Y (50)

Keterangan :

(49)

KEADAAN UMUM DAERAH ALIRAN SUNGAI CILIWUNG

Hidrogeometri Sungai

Topografi DAS Ciliwung pada bagian hulu merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian puncak yang berlokasi di daerah Telaga Warna sekitar 1.275 m di atas permukaan laut (dpl). Ke arah hilir topografi ini menurun pada ruas-ruas sungainya dengan kemiringan masing-masing sekitar 15% sampai di Katulampa, 5% sampai di Depok dan 0,3% sampai ke Pejompongan.

Menurut tingkat ketinggian dari Mohr, DAS Ciliwung dibagi menjadi : 1) Daerah pegunungan dengan ketinggian 1.000-1.800 m dpl

2) Daerah berbukit dengan ketinggian 200-1.000 m dpl 3) Daerah dataran rendah, dengan ketinggian 0-200 m dpl .

Gambar 18. Titik-titik ketinggian DAS Ciliwung (PUSDI PSL, 1979)

Pada ruas Kebun Teh-Katulampa mengalir beberapa anak Sungai Ciliwung antara lain Cipalayang, Cijambe, dan Ciesek. Pada ruas Katulampa-Depok mengalir anak sungai Cipakancilan, Ciparigi dan Cikumpa. Sedang pada ruas Depok-Pejompongan mengalir anak sungai Condet, Manggarai, dan Minangkabau.

(50)

63

Panjang keseluruhan Sungai Ciliwung lebih kurang 130 km, mengalir melalui Kabupaten Bogor, Kotamadya Bogor, Kota Depok, dan DKI-Jakarta. Sungai ini berhulu di Gunung Mandalawangi dan bermuara di Laut Jawa dan dilengkapi dengan Bendung Katulampa yang megalirkan air Ciliwung ke Timur untuk mengairi tanah pertanian di Kecamatan Kedunghalang, Cibinong dan Cimanggis (Gambar 19). DAS ini mempunyai pengaruh besar terhadap daerah pertanian, perindustrian, dan kebutuhan rumahtangga bagi daerah-daerah yang dilaluinya (Saeni, 1986).

Debit bulanan minimum, rata-rata, dan maksimum di Bendung Katulampa yang tercatat dari tahun 1983-1996 berturut turut 2,29 m3/dt (Agustus 1987), 13,84 m3/dt , dan 100 m3/dt (Januari 1996). Luas Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung 61.140 ha meliputi empat wilayah administrasi (Saeni, 1986) yaitu ;

1) Kabupaten Bogor, yang terdiri dari Kecamatan-Kecamatan Cisarua, Ciawi, Bojong Gede, Cibinong

2) Kotamadya Bogor, yang terdiri dari Kecamatan-kecamatan Bogor Utara, Timur,

Selatan, dan Barat.

3) Kota Administrasi Depok

4) DKI-Jakarta, yang terdiri dari wialayah Jakarta Timur, 1akarta Selatan, Jakarta Pusat, dan Jakarta Utara.

Menurut administrasi kehutanan, DAS ini terletak dalam Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Bogor-Jakarta dengan batas-batasnya sebagai berikut :

1) Sebelah Barat dengan DAS Cisedane 2) Sebelah Timur dengan DAS Cimandiri 3) Sebelah Utara dengan Laut Jawa

(51)

64

(52)

65

Iklim

Berdasarkan klasifikasi Schmidt & Ferguson (1951), DAS Ciliwung termasuk tipe hujan A,B,C, dan D. Tipe hujan terdapat di daerah pegunungan dan perbukitan di daerah hulu. Sedangkan tipe B, C, dan D terdapat di daerah tengah dan hilir yang merupakan dataran rendah. Curah hujan di daerah hilir berkisar antara 1500-3000 mm dan di bagian Utara Kabupaten Bogor berkisar antara 3.000-3.500 mm. Di daerah tengah cutah hujan berkisar antara 3.500-7.000 mm per tahun. Bulan-bulan kering di daerah hilir terjadi pada bulan Juni sampai September, sedangkan di daerah tengah dan hulu tidak terdapat bulan kering.

Curah hujan ini ditampung oleh anak-anak sungai Ciliwung. Keadaan pola hujan umumnya mengikuti pola musim yang dapat dibedakan jelas antara musim hujan dan musim kemarau. Musim kemarau terjadi antara bulan Oktober-Mei, sedang musim kemarau antara bulan Juni-September. Perbedaan antara jumlah curah hujan di musim hujan dan musim kemarau tidak terlampaui besar. Dibagian tengah curah hujan pada musim kemarau relatif (Direktorat PPA, 1979)..

Penduduk

Ditinjau dari jumlah dan kepadatan rata-rata penduduk di wilayah DAS Ciliwung sangat beragam. Penduduk Kabupaten Bogor berjumlah 3.945.000 jiwa, dengan kepadatan 3.440 jiwa/km2 (2005). Perincian jumlah penduduk di wilayah DAS Ciliwung dan termasuk dalam Kabupaten Bogor dan tertera pada Tabel 14. Tabel 14. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor yang berada dalam DAS Ciliwung

Kecamatan Luas

(km2)

Jumlah Penduduk (jiwa)

Kepadatan rata-rata per km2

Cisarua 63,72 90.014 1.426

Ciawi 23,18 78.792 3.129

Bojong Gede 55,61 199.544 3.588

Cibinong 42,49 207.763 4.889

(53)

66

Penduduk Kotamadya Bogor berjumlah 834.000 jiwa (2005), dengan kepadatan 38.661 jiwa/km2 perincian seperti tertera pada Tabel 15, sedang penduduk Kota Depok berjumlah 1.313.495 jiwa (2005) dengan perincian seperti tertera pada Tabel 16.

Tabel 15. Jumlah penduduk Kota Bogor yang berada dalam DAS Ciliwung

Kecamatan Luas

(km2)

Jumlah Penduduk (jiwa)

Kepadatan rata-rata per km2

Bogor Utara 17,72 149.578 8.441

Bogor Tengah 6.13 83.176 13.569

Bogor Barat 12.85 105.421 8.204

Bogor Timur 10.15 86.978 8.569

Sumber : BPS Kota Bogor, 2005 dan analisis peneliti.

Kota Depok adalah satu daerah pemekaran wilayah administrasi Kabupaten Bogor yang berkembang pesat seiring dengan masuknya institusi pendidikan tinggi seperti Universitas Indonesia dan fungsi utamanya sebagai kota penyangga ke dalam wilayah Depok. Berbagai infrastruktur dibangun untuk mengimbangi laju pertumbuhan penduduk yang sangat pesat. Kepadatan penduduk sangat beragam, mulai dari 699 jiwa/km2 sampai lebih dari 2.623 jiwa/km2. Perincian jumlah penduduk yang berada di wilayah DAS Ciliwung tertera pada Tabel 16

Tabel 16. Jumlah penduduk Kota Depok yang berada dalam DAS Ciliwung

Kecamatan Luas

(km2)

Jumlah Penduduk (jiwa)

Kepadatan rata-rata per km2

Pancoran Mas 19,7 247.426 1.256

Beji 16,3 427.581 2.623

Sukmajaya 32,7 293.386 897

Cimanggis 51,1 357.204 699

Sumber : BPS Kota Depok, 2005

(54)

67

dan lainnya yang bersifat permanen. Perubahan fungsi tersebut telah mengakibatkan persoalan banjir dan pencemaran lingkungan yang melanda hampir setiap tahun. Kerugian finansial sekitar Rp 7 triliun akibat banjir bandang pada tahun 2007 telah membawa dampak sosial ekonomi yang sangat besar. Perincian jumlah dan kepadatan penduduk tertera pada Tabel 17.

Tabel 17. Jumlah penduduk DKI-Jakarta yang berada dalam DAS Ciliwung

Kotamadya Luas

(km2)

Jumlah Penduduk (jiwa)

Kepadatan rata-rata per km2

Jakarta Pusat 48,15 879.397 18.300

Jakarta Utara 137,39 1.187.761 8.600

Jakarta Selatan 145,730 1.732.401 11.900

Jakarta Timur 197,41 2.145.910 10.900

Sumber : BPS DKI-Jakarta, 2005

Industri

Jenis industri yang berada di DAS Ciliwung dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan, yaitu :

a) Industri pengolahan hasil pertanian. Jenis industri ini meliputi penggilingan padi, penggilingan tebu, penggilingan tapioca, penggilingan karet dan industri kayu.

b) Kerajinan rakyat, meliputi pembuatan anyam-anyaman, kerajinan tanah liat, pande besi, dan lain-lain

c) Industri makanan dan minuman

d) Industri berat, meliputi perakitan mobil, pengecoran logam, perakitan mesin jahit, motor, elektronik dan lain-lain

(55)

68

Tabel 18. Jenis Industri di Kabupaten Bogor yang termasuk dalam DAS Ciliwung Kecamatan

Jenis Industri Makanan/

Minumam Tekstil Obat Anyaman Batako Pertu- kangan

Kedung.Halang 35 8 4 26 8 26

Cibinong 13 6 4 230 10 30

Ciawi 4 5 2 87 23 40

Cisarua 4 0 0 40 5 13

Sumber : BPS dan Kantor Dinas Perindustrian Kabupaten Bogor, 2005 Tabel 19. Jenis Industri di Kota Depok yang termasuk dalam DAS Ciliwung

Kecamatan

Jenis Industri Makanan/

Minuman Tekstil Obat Anyaman Pertukangan

Pancoran Mas 4 0 0- 50 9

Beji 4 0 0 67 15

Sukmajaya 6 0 0 70 8

Cimanggis 8 7 3 90 43

Sumber : BPS dan kantor Dinas Perindustrian Kota Depok, 2005

Tabel 20. Jenis Industri di Kota Jakarta yang termasuk dalam DAS Ciliwung

Jenis Industri Penyebaran

Jak.Utara Jak. Barat Jak. Selatan Jak. Timur

Makanan, Minuman 56 154 45 50

Tekstil, kulit, pakaian 30 187 190 20

Kayu 12 56 22 20

Kertas, percetakan 16 94 16 15

Kimia, karet, plastic 77 151 27 32

Barang bukan logam 4 55 48 23

Logam, mesin 50 109 21 21

Dasar dan logam 9 13 9 2

Sumber : BPS dan kantor Dinas Perindustrian Kota Jakarta, 2005

Sumber Pencemaran Organik

(56)

69

2% buangan organik sedang 98% lainnya berasal dari buangan domestik. Lokasi beban buangan organik hasil observasi disajikan secara skematis seperti terlihat pada Gambar 20.

Kualitas Air Sungai Ciliwung

Rangkuman hasil penelitian Direktorat PPA 1979, Saeni 1982, dan Limnologi Lipi 2001, derajat kemasaman air (pH) DAS Ciliwung cenderung naik ke arah hilir. Kenaikan ini diperkirakan oleh kenaikan pengguna air di ke arah hilir oleh penduduk di sekitarnya seperti buangan sabun/detergen, limbah penduduk dan industri yang mengeluarkan basa-basa. Berdasarkan nilai-nilai oksigen terlarut, BOD5 dan NH3 (Tabel 16) perairan DAS Ciliwung di wilayah hulu tergolong belum

tercemar, wilayah

tengah tercemar ringan dan wilayah hilir tercemar berat. Dilihat dari kadar nitritnya pada umumnya DAS Ciliwung masih layak untuk air baku air minum.

Tingginya kadar nitrit di lokasi Sempur (Bogor) diperkirakan disebabkan oleh buangan industri kulit dan buangan penduduk yang padat. Kadar nitrit di perairan ini telah melebihi batas aman untuk air baku air minum (1 ppm).

Tabel 21. Kandungan beberapa sifat kimia air di perairan DAS Ciliwung

Lokasi pH DO

(mg/l)

BOD (mg/l)

NO2-

(mg/l)

Gunung Mas Sigit 6 4,8; 7 3,26 0,07

Gunung Mas 6; 7** 5,0 1,30 0,23; 0,025**

Gadog 7,61* 8,19* 0,0089*

Katulampa 7,78** 8,28** 0,033**

Jembatan Sempur 6,5 3,6 3,97 1,67

Jembatan Satuduit 6,5 3,6; 6,79* 5,06; 12,43* 0,45; ,0832*

Bojong Gede 7,42** 7,51** 0,071**

Jembatan Depok 6 4,8 4,35 0,15

Gambar

Tabel 1. Kriteria mutu air berdasarkan kelas
Gambar 2.  Ilustrasi sumber pencemar titik dan menyebar dalam sungai.
Gambar 3.  Hubungan antara BOD terpakai dengan BOD tertinggal
Tabel 2. Laju reaksi BOD, kd dari air limbah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, penulis membuat sebuah karya musik dan menyusunnya menjadi sebuah karya ilmiah berupa skripsi yang berjudul “Pembuatan Aransemen Lagu

ARUS KAS DARI AKTIVITAS PENDANAAN

3.5.1 Pemohon daftar masuk ke dalam sistem ePermit dan melengkapkan semua maklumat permohonan yang diperlukan. 3.5.2 Pemohon memilih item yang hendak

Pengupasan overburden tanpa digaru terlebih dahulu dengan menggunakan ripper menyebabkan &#34;cycle time&#34; alat gali muat lebih besar terutama pada saat menggali dan kapasitas

Mendapatkan hasil pencarian yang sesuai dengan kebutuhan dalam suatu koleksi dokumen yang besar merupakan hal sulit.. Usaha pengguna secara manual untuk

Hasil tersebut sejalan dengan hasil pengamatan langsung yang dilakukan oleh peneliti, terlihat bahwa pegawai tetap bekerja meskipun tanpa pengawasan pimpinan,

Jika CoO tidak teroksidasi, seharusnya jika ZnO dan CoO tidak membentuk larutan padat minimal puncak tambahan yang berasal dari CoO muncul pada sudut 28 sekitar