• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analysis characteristic agroecology of agroforestry system in Cianjur watershed

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analysis characteristic agroecology of agroforestry system in Cianjur watershed"

Copied!
242
0
0

Teks penuh

(1)

HADI PRANOTO

Disertasi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Arifin and Edi Santosa, as a member of the advisory community.a

A research was conducted to analyze agroecologycal characteristic of agroforestry system in Cianjur Watershed landscape. Observation and interviews were held to 30 samples of agroforestry field and respondents in the upper stream, the middle stream and the down stream of Cianjur Watershed, respectively. The results showed, that the communities in the three zones of Cianjur Watershed have been conducting agroforestry practice in order to manage their dry land. It’s found the differences characteristic of plantation. In the community lands the number of trees found 20 species and 12 species of plant. In the down stream area, agroforestry were practiced in community lands and the flat area. The number of trees is 23 species and 11 species of plants. The middle stream agroforestry system characteristic was known as a transition condition between the upper and the down streams. The characteristic of biophisic and agroclimate have affected to total individual number and species of trees and cash crop. Planting index of cash crops is 2.93, 2.53 and 1.43 in the upper, middle and down stream, respectively. The average annual income from cash crops in the three zones are 15.866.250, 4.771.643 and 735.918 (IDR/ha/yr) from the upper, the middle to the down streams, respectively. The productivity of cash crops in the three zones of Cianjur watershed area, in the generally also lower ratio in the three zones of watersheds Cianjur worth more than 1. The B/C ratio in the upper stream 1:09, in the middle stream 2.89 and the downstream 1:02. The sustainability of agroforestry systems in every zone, was defined for aspects of productivity, economic, social and culture and ecologycal. For the aspect of environmental sustainability, in the upper stream more lower than in the middle and the down stream.The aspects of the use of chemical fertilizers and pesticides, in the downstream is lowest of use of fertilizers and chemical pesticides for the management of agroforestry systems. There are differences of sustainability indexs in the three zones area in ianjur watershed. The average of indexs sustainability is 12.12 (moderat suatainability).in scale 11-15

(3)

dan EDI SANTOSA

Sistem agroforestri untuk pengelolaan lahan kering pada kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) diyakini oleh beberapa peneliti mampu menjaga kelestarian lingkungan dan mempunyai manfaat dari segi keragaman jenis (biodiversity), unsur hara, sifat fisik tanah serta meningkatkan pendapatan masyarakat. Daerah Aliran Sungai yang berdasarkan tempatnya meliputi kawasan dari hulu sampai ke hilir, secara umum memiliki keragaman agroekologi yang disebabkan oleh perbedaan ketinggian tempat. Perbedaan wilayah yang ditentukan berdasarkan ketinggian tempat ini sering dianggap sebagai zona DAS. Masyarakat di wilayah DAS Cianjur secara umum memanfaatkan lahan keringnya dengan sistem agroforestri. Sistem agroforestri di daerah ini berupa pekarangan (home gardens), kebun campuran (mixed gardens) dan kebun hutan (forest gardens). Sistem agroforestri ini berlangsung sudah cukup lama dan sudah menjadi budaya masyarakat secara turun-temurun. Pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri sebagai suatu sistem tersebut dipengaruhi oleh kondisi zona agroekologi yang berarti bahwa keadaan topografi dan iklim yang berbeda akan memberi pengaruh yang berbeda terhadap pola pengelolaan sistem agroforestri sebagai sistem pertaniannya.

Serangkaian penelitian dilakukan untuk menganalisis karakteristik sistem agroforestri berdasarkan kajian agroekologi di tiga zona DAS Cianjur yang dikhususkan dengan tujuan 1) analisis biofisik dan agroklimat sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur, 2) analisis pola tanam dan produktivitas tanaman semusim pada sistem agroforestri di DAS Cianjur dan 3) analisis sosial ekonomi dan keberlanjutan sistem agroforestri di DAS Cianjur. Penelitian dilaksanakan sejak Bulan Agustus 2007 sampai dengan Desember 2008 di tiga zona Daerah Aliran Sungai Cianjur Kabupaten Cianjur Propinsi Jawa Barat. Secara geografis zona hulu terletak pada S 60 46’ 23” – 60 47’ 15” ; E 1060 59’ 7” – 1070 3’ 16” pada ketinggian > 900 m dpl, tengah 107003` 11” - 107005` 08” BT dan 6048` 14” LS (300-900 m dpl), dan hilir 107003` 11” - 107005` 08” BT dan 6048` 14” LS pada ±300 m dpl.

Penelitian menggunakan metode survei dengan pengamatan langsung sistem agroforestri masyarakat. Jumlah sampel agroforestri dan petani pada setiap zona sebanyak 30. Penentuan lokasi sampel dan responden didasarkan pada data kepemilikan dan penggunaan lahan secara acak dan atau terstruktur yang mengacu pada peta topografi, penggunaan lahan dan peta kesesuaian lahan DAS Cianjur.

(4)

tanaman, biaya yang rendah, kemudahan mendapatkan bibit/benih dan kesesuaian dengan kebijakan. Selanjutnya dilakukan Uji Chi Square untuk menguji hubungan pada masing-masing kriteria pada setiap zona.

Data produktivitas tanaman dikumpulkan dari hasil wawancara dan pengamatan pertumbuhan dan produksi tanaman di pertanaman petani sampel. Wawancara berupa pertanyaan mengenai persiapan tanam sampai pemanenan hasil, produksi, biaya serta nilai jual produksi tanaman pada setiap periode tanam. Sedangkan pengamatan pertumbuhan dan produksi, dilakukan pada petak pengamatan berukuran 5m x 5m yang ditempatkan pada lahan-lahan petani yang mewakili kondisi pertanaman pada lokasi penelitian. Pengamatan ini dilakukan terhadap 10 tanaman contoh dari setiap petak pengamatan untuk setiap jenis tanaman, dan setiap petak pengamatan diulang sebanyak tiga kali. Petak pengamatan untuk setiap jenis tanaman juga dibuat pada pertanaman monokultur sebagai pembanding.

Analisis ekonomi dilakukan dengan menghitung pemasukan, pengeluaran dan pendapatan dari lahan yang dikelola petani pada saat penelitian berlangsung (2007-2008), dengan analisis arus uang tunai (cash flow analysis). Sedangkan tingkat keberlanjutan sistem agroforestri ditentukan dengan analisis Benefit/Cost Ratio (B/C ratio). Analisis keberlanjutan juga didasarkan pada aspek keberlanjutan agronomi, aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek ekologi, dimana Sustainabilitas Agroforestri (ST) = KA + KE + KSB + KEK. Pembobotan untuk setiap aspek dianggap setara. Semakin tinggi nilai ST, maka sistem agroforestri yang diterapkan oleh masing-masing petani tingkat keberlanjutannya semakin tinggi. Nilai akhir setiap zona DAS merupakan rata-rata dari setiap responden pada zona yang bersangkutan. Nilai ST = 4-10 berarti tidak berkelanjutan (Not Sustainable), ST = 11-15 berarti keberlanjutan sedang (moderat sustainable) dan ST = 16-20 berarti sangat berkelanjutan (very sustainable).

Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan karakteristik agroklimat dan biofisik di tiga zona DAS Cianjur, yang berpengaruh terhadap karakteristik penyusun sistem agroforestri pada setiap zona DAS. Di hulu ditemukan pohon sebanyak 5 spesies, di tengah 20 spesies dan di hilir 23 spesies. Berdasarkan fungsinya, di hulu 80% penghasil kayu dan 20% pohon buah, di tengah 60% penghasil kayu, 30% pohon buah 10% penghasil bunga sedangkan di hilir 56.52% penghasil kayu, 30.43% penghasil buah, 8.70% penghasil bunga dan 4.40% penghasil obat.

(5)

ketinggian tempat merupakan faktor pembatas pertumbuhan tanaman, sehingga jenis tanaman yang diusahakan hanya terbatas pada tanaman sayuran dataran tinggi seperti cabe, tomat, wortel, kobis, sawi, bawang daun dan brokoli.

Pola tanam di tiga zona DAS Cianjur juga berbeda. Di hulu dan tengah pola tanam lorong (alley cropping) dengan tata letak tanaman teratur dalam barisan atau blok-blok baik tunggal maupun tumpang sari, sedangkan di hilir sistem agroforestri umumnya berupa kebun campuran. Intensifikasi pengelolaan tanaman di tiga zona DAS Cianjur juga berbeda, dimana di hulu intensifikasi pengelolaan tanamannya sangat intensif, di tengah intensif sedangkan di hilir kurang intensif. Adapun indeks pertanaman di hulu adalah 2.93, di tengah 2.53 sedangkan di hilir 1.43. Penentuan pola tanam petani belum didasarkan pada data iklim. Waktu tanam masih mengacu pada pola musim penghujan (Oktober-Maret) dan kemarau (April-September). Hal ini menyebabkan tanaman yang ditanam cenderung jenis yang sama pada setiap musim tanam (bahkan setiap tahun).

Produktivitas tanaman semusim di tiga zona DAS Cianjur juga berbeda. Tingginya produktivitas tanaman semusim (tanaman sayuran) di hulu dan tengah selain karena kesesuaian faktor iklim juga karena faktor agronomis. Faktor iklim terutama suhu berpengaruh terhadap kecepatan reaksi, peningkatan fungsi enzim, kondisi lingkungan tanah serta meningkatkan aktivitas fisiologi tanaman. Terdapat perbedaan produktivitas tanaman pada data survei, pengamatan sampel pada petak pengamatan, rataan dari Dinas Pertanian Kab Cianjur dan potensi hasil. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan metode pengumpulan data. Survei wawancara menggunakan data dari petani, sedangkan data produktivitas pada petak pengamatan yang diambil dengan cara mengamati dan menghitung secara langsung produktivitas sampel tanaman pada petak yang telah ditentukan. Adapun data Dinas Pertanian Kab Cianjur, merupakan data produktivitas rataan yang tidak membedakan kondisi agroforestri atau non agroforestri maupun lahan kering atau lahan basah (sawah). Produktivitas agroforestri masih jauh di bawah nilai potensi hasil. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor pengelolaan tanaman dan faktor lingkungan yang tidak sepenuhnya dapat memenuhi persyaratan tumbuh dari beberapa jenis tanaman tersebut.

(6)

735 918 /ha/tahun, sedangkan keberlanjutan yang dihitung dari nilai B/C ratio menunjukkan bahwa B/C ratio di hulu 1.09, di tengah 2.89 dan di hilir 1.02. Sedangkan nilai keberlanjutan yang dihitung berdasarkan nilai Keberlanjutan Agronomi (KA), Keberlanjutan Ekonomi (KE), Keberlanjutan Sosial Budaya (KSB) dan Keberlanjutan Ekologi (KEK), menunjukkan bahwa nilai keberlanjutan sistem agroforestri di DAS Cianjur adalah 12.12 pada interval 11 – 15, yang berarti nilai keberlanjutanya adalah moderat (moderat sustainability).

(7)

HADI PRANOTO

Disertasi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MSc 2. Dr. Ir. Ade Wachjar, MSc

(9)

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. M.A. Chozin, M. Agr Ketua

Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, MS Dr. Edi Santosa, SP. MSi Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Prof. Dr. Ir. Munif Gulamahdi, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MAgr Sc NIP. 195905051985031004 NIP. 196508141990021001

(10)

Analisis Agroekologi Sistem Agroforestri di Daerah Aliran Sungai Cianjur

adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir disertasi ini.

Bogor , Desember 2011

(11)

atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(12)

ketiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak Martosaidi dan Ibu Sunarti (Alm). Menikah

dengan Daru Purbaningtyas Kusumo, ST MT dan dikarunia empat orang anak yaitu

Bagus Fadhilurosyid, Bagus Prasetyonurosyid (Alm), Dimas Farhan Nurahmad dan

Adiningtyas Prameswari Pranoto.

Penulis menamatkan kuliah S1 dengan gelar (SP) di Fakultas Pertanian

Universitas Muhammadiyah Malang Jurusan Agronomi lulus tahun 1994, dan

melanjutkan kuliah S2 di Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Samarinda, lulus

tahun 2001. Tahun 2005 penulis melanjutkan pendidikan doktor pada Program Studi

Agronomi dan Hortikultura pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis pada saat ini adalah staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas

Mulawarman Samarinda Kalimantan Timur.

(13)

ilmiah saya di Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Disertasi dengan judul Kajian Agroekologi Sistem Agroforestri di

Daerah Aliran Sungai Cianjur, merupakan tugas akhir studi doktor di SPs IPB.

Kajian agroekologi sistem agroforestri di kawasan DAS ini dipandang perlu dan

penting diangkat dalam sebuah tulisan akademik. Agroforestri merupakan sistem

pertanian yang telah dilakukan masyarakat dalam pengelolaan lahan kering

secara turun-temurun dan masih terus berlangsung sampai saat ini. Sedangkan

kajian agroekologi, juga dipandang perlu untuk mengetahui sejauh mana sistem

agroforestri dapat dilaksanakan di kawasan DAS dengan karakteristik

agroekologi yang berbeda (dari hulu ke hilir).

Terima kasih dan penghormatan yang sebesar-besarnya secara khusus

penulis sampaikan kepada Ketua Komisi Pembimbing : Prof. Dr. Ir. M A Chozin,

MAgr. Bimbingan yang intensif, cermat, terarah serta ketulusan hati beliau

sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Semoga Alloh SWT

memberikan kebahagiaan dan keberkahan kepada Bapak dan Keluarga.

Terimakasih dan penghormatan juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Hadi

Susilo Arifin, MS dan Dr. Edi Santosa, MSi selaku anggota komisi pembimbing,

beliau juga telah memberikan bimbingan yang intensif, motivasi, informasi dan

tak kenal lelah banyak menyediakan waktu untuk diskusi dalam rangka

penyelesaian disertasi ini.

Terimakasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto

dan Dr. Ir. Maya Melati, MSc atas masukan dan saran serta kesediaanya sebagai

dosen penguji pada ujian prakualifikasi. Kepada Tim Hibah Pascasarjana (HPTP)

DP2M DIKTI angkatan IV tahun 2006-2008 dengan tema “Harmonisasi

Pembangunan Pertanian Berbasis DAS pada Lanskap Desa-Kota Kawasan

(14)

Pak Ujang, Pak Ade, Mang Mamang, Pak Udin yang setia menemani saya di

lapangan selama penelitian, dan para petani di Galudra, Mangun Kerta dan

Selajambe yang dengan ramah menerima saya. Dan juga teman seperjuangan dan

sahabat saya Ibu Selvie Diana Anis yang sejak awal kuliah, penelitian sampai

penulisan disertasi menjadi sahabat diskusi. Mas Haris, Bu Eva dan Pak Dwi juga

saya ucapkan terima kasih.

Kepada kedua orang tua saya Ibu Sunarti (Alm) dan Bapak Martosaidi

dan mertua saya Bapak Ir. Tejo Mantrisutejo, MSc (Alm) dan Ibu Darmastuti,

terimakasih atas doa, kasih sayang, jasa dan pengorbanan kepada saya. Kepada

istriku Daru Purbaningtyas, ST, MT dan anak-anaku tercinta Bagus, Prasetyo,

Dimas dan Ajeng terimakasih atas kesabaran, doa, keiklasan, dorongan, cinta

kasih kalian. Kepada kakaku Ir. Sukaryanto, MS dan Suwarno dan keponakanku

Jati, Joko, Ayu dan Yayun terimaksih atas dorongan, doa dan kasih sayangnya.

Semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan

pengembangan ilmu pengetahuan. Amien. Terimakasih.

Bogor, Desember 2011

(15)

DAFTAR GAMBAR ... xvi

ANALISIS KARAKTERISTIK BIOFISIK DAN AGROKLIMAT SISTEM AGROFORESTRI DI DAS CIANJUR... 24

Abstrak... 24

ANALISIS POLA TANAM DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN PADA SISTEM AGROFORESTRI DI DAS CIANJUR ... 48

Abstrak... 48 KEBERLANJUTAN SISTEM AGROFORESTRI DI DAS CIANJUR ... 68 Abstrak... 68

(16)

PEMBAHASAN UMUM ... 87

SIMPULAN DAN SARAN ... 98

Simpulan ... 98

Saran... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 100

(17)

negara ... 2 Pendapatan dan total pendapatan tahunan tanaman tahunan pada pertanaman vanili di Desa Padasari, dibandingkan dengan intercropping dengan cash crops di Desa Bugel dan pisang di Cijeunjing pada hutan jati di Sumedang Jawa

Barat... 17 3.1 Kelas kemiringan lereng wilayah DAS Cianjur beserta

luasannya ... 30 3.2 Data iklim DAS Cianjur tahun 2005 – 2007... 31 3.3 Pola penggunaan lahan dan luasan di lokasi penelitian ... 33 3.4 Luasan lahan dan struktur kepemilikannya di lokasi

penelitian ... 34 3.5 Keadaan tanaman sayuran tahun 2002 dan 2003 ... 35 3.6 Deskripsi wilayah penelitian di Daerah Aliran Sungai

Cianjur... 36 3.6 Spesies pohon dan tanaman semusim (berdasarkan fungsinya)

pada sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur ... 42 3.7 Pola kepemilikan lahan di tiga zona DAS Cianjur... 44 3.8 Rata-rata luas lahan garapan pada sistem agroforestri

masyarakat di DAS Cianjur ... 45 3.9 Status garapan dan sistem bagi hasil agroforestri di tiga zona

DAS Cianjur ... 45 3.10 Jumlah spesies fauna (serangga) pada sistem agroforestri di

DAS Cianjur ... 47 4.1 Karakteristik pola tanam pada sistem agroforestri di DAS

Cianjur ... 51 4.2 Keadaan iklim dan topografi di tiga zona DAS Cianjur ... 54 4.3 Jenis tanaman semusim dan pola tanam pada sistem

agroforestri masyarakat di DAS Cianjur ... 56 4.4 Rotasi tanaman pada sistem agroforestri di DAS Cianjur ... 57 4.5 Frekuensi petani melakukan pola tanam untuk berbagai jenis

tanaman pada sistem agroforestri masyarakat di DAS

Cianjur ... . 58 4.6 Pertimbangan petani dalam menentukan jenis tanaman yang

akan ditanam ... 59 5.1 Karakteristik sosial ekonomi masyarakat di DAS Cianjur ... 74 5.2 Rata-rata penggunaan pupuk dan kapur (ton/ha/tahun) pada

sistem agroforestri di DAS Cianjur... 83 5.3 Rata-rata penggunaan pestisida pada sistem agroforestri di

(18)

3.1 Peta lokasi penelitian sepanjang DAS Cianjur ... 26

3.2 Lokasi penelitian DAS Cianjur ... 28

3.3 Peta kelas lereng DAS Cia jur... 30

3.4 Peta curah hujan DAS Cianjur ... 31

3.5 Peta jenis tanah di DAS Cianjur... 33

3.6 Peta tutupan lahan DAS Cianjur... 34

3.7 Peta penggunaan lahan wilayah hulu ... 37

3.8 Peta penggunaan lahan wilayah tengah ... 38

3.9 Peta penggunaan lahan wilaya hilir... 39

4.1 Peta lokasi penelitian sepanjang DAS Cianjur ... 51

4.2 Contoh alley cropping di hulu ……… 57

4.3 Contoh alley cropping di tengah ... 57

4.4 Contoh alley cropping di hilir………. 57

4.5 Pertimbangan petani dalam memilih jenis tanaman pada sistem agroforestri di DAS Cianjur ……… 60

4.6 Kalender tanam sistem agroforestri di DAS Cianjur ... 62

4.7 Rata-rata produktivitas (ton/ha/musim tanam)beberapa tanaman semusim di tiga zona hulu ... 63 4.8 Rata-rata produktivitas (ton/ha/musim tanam)beberapa tanaman semusim di tiga zona tengah ... 64 4.9 Rata-rata produktivitas (ton/ha/musim tanam)beberapa tanaman semusim di tiga zona hilir ... 64 4.10 Rata-rata produktivitaas wortel di zona hulu dan tengah ... 65 4.11 Rata-rata produktivitaas cabe keriting di zona tengah dan

hilir ...

65

4.12 Rata-rata produktivitaas tomat di zona hulu, tengah dan hilir 66 5.1 Urutan analisis berkelanjutan sistem agroforestri. Skor

makin tinggi berarti makin berlanjut. Data dari non

agroforestri dijadikaan standar dengan skor 3 (sedang) ...

73

5.3 Dendrogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Agronomi (KA) sistem agroforestri di DAS Cianjur ...

77

5.4 Dendrogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Ekonomi (KE) sistem agroforestri di DAS Cianjur ...

79

5.5 Dendrogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Sosial Budaya (KSB) sistem agroforestri di DAS Cianjur ...

80

5.6 Dendrogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Ekologi (KEK) sistem agroforestri di DAS Cianjur ...

82

5.7 Dendrogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Agronomi (KA) sistem agroforestri di DAS Cianjur ...

(19)

Glossari

Adaptabilitas: Kemampuan menyesuaikan suatu sistem pertanian untuk

mengatasi kondisi yang berubah.

Agroekologi: Kajian menyeluruh mengenai agroekosistem, termasuk semua

unsur lingkungan dan manusia, hubungan unsur-unsur dan proses-proses yang

melibatkan semua unsur tersebut, misalnya simbiosis, persaingan, perubahan

secara berurutan.

Agroekosistem: Suatu sistem agroekologi yang dimodifikasi oleh manusia untuk

menghasilkan pangan, serat dan produk-produk lain yang bermanfaat bagi

manusia.

Agroforestri merupakan suatu sistem penggunaan lahan yang berorientasi sosial

dan ekologi dengan mengintegrasikan pepohonan dengan tanaman pertanian dan

atau ternak secara simultan atau berurutan untuk mendapatkan total produksi

tanaman dan hewan secara berkelanjutan dari suatu unit lahan dengan input

teknologi yang sederhana pada lahan-lahan marginal (Nair 1989).

Agroforestri juga didefinisikan sebagai suatu sistem manajemen lahan yang

berkelanjutan untuk meningkatkan variasi hasil lahan dengan mengkombinasikan

antara tanaman pertanian dengan pohon dan atau hewan secara simultan atau

berurutan dalam unit lahan yang sama dan dengan aplikasi pengelolaan yang

sesuai dengan budaya masyarakat setempat.

Agroforestri merupakan suatu istilah atau nama kolektif untuk sistem pengelolaan

lahan dengan teknologi yang sepadan, dimana pohon dengan sengaja diusahakan

dalam unit yang sama dengan tanaman pertanian dan atau ternak pada saat yang

sama atau berurutan. Dalam sistem agroforestri ini terintegrasi sekaligus aspek

ekologis dan aspek ekonomis.

Andosol/Andisols: Tanah yang terbentuk dari bahan volkanik muda (pasir dan

atau abu volkanik), terasa ringan dan licin jika dipirid, mengandung >60% debu,

pasir dan kerikil volkanik.

Bedengan: Gundukan tanah dengan panjang dan lebar tertentu yang dibuat untuk

pertanaman tanaman semusim.

Budidaya lorong (alley cropping): Sistem pertanaman dimana tanaman semusim

(20)

terhadap tanaman, tanah, air, dan input-input pertanian dengan tujuan untuk

menghasilkan suatu produk pertanian

Degradasi lahan: Proses penurunan produktivitas lahan, baik bersifat sementara

maupun tetap.

Ekologi: Ilmu pengetahuan tentang hubungan antara organisme dan lingkungan.

Ekosistem: Komunitas tanaman dan hewan (termasuk manusia) yang hidup di

suatu wilayah dan lingkungan fisik serta kimia mereka (misalnya udara, air, tanah)

termasuk interaksi antara mereka dengan lingkungan.

Erodibilitas tanah (kepekaan tanah terhadap erosi): Mudah tidaknya tanah

dihancurkan oleh kekuatan hujan dan atau oleh kekuatan aliran permukaan.

Erosi: Hilang atau terkikisnya tanah atau bagian-bagian tanah oleh media alami

(air atau angin) dari suatu tempat ke tempat lain.

Konservasi tanah: Cara penggunaan tanah yang sesuai dengan kemampuan tanah

tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar

tidak terjadi kerusakan. Usaha konservasi tanah adalah usaha yang ditujukan

untuk (1) mencegah kerusakan tanah oleh erosi, (2) memperbaiki tanah yang

rusak, dan (3) memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar dapat

digunakan secara lestari.

Nematisida: Jenis pestisida untuk pengendalian hama yang berupa ulat yang

banyak ditemukan pada lapisan atas tanah yang basah, yang biasanya bersifat

parasit terhadap tanaman dan hewan.

Parasit: Suatu organisme yang hidup dalam atau pada organisme lainnya (inang),

tempat organisme itu mendapatkan bahan makanan.

Pengetahuan indigenous: sekumpulan pengetahuan yang diciptakan oleh

sekelompok masyarakat dari generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras

dengan alam.

Pengetahuan lokal: pengetahuan kolektif suatu masyarakat yang hidup di suatu

wilayah dalam jangka waktu lama dan selaras dengan lingkungannya.

Penyuluhan: disini mengacu pada penyuluhan pertanian: kegiatan penyebaran

hasil-hasil penelitian dan saran-saran kepada petani tentang praktek-praktek

(21)

Pertanian berkelanjutan: Pengelolaan sumberdaya pertanian untuk memenuhi

perubahan kebutuhan manusia sambil mempertahankan atau meningkatkan

kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam.

Pestisida: Jenis substansi untuk menghancurkan atau mengendalikan hama,

termasuk insektisida, herbisida, fungisida, akarisida dan sebagainya.

Produktivitas: Hubungan antara jumlah barang atau jasa yang dihasilkan dan

faktor-faktor yang dipakai untuk memproduksinya; produktivitas pertanian dapat

diungkapkan sebagai output/keluaran per unit lahan, modal curahan tenaga kerja,

energi, air, unsur hara dan sebagainya.

Tanaman: tanaman semusim dan atau tahunan yang dibudidayakan untuk

memberikan hasil yang dikehendaki untuk konsumsi manusia atau untuk diproses,

misalnya gabah, sayuran (umbi-umbian, tandan atau daun yang dapat dimakan),

bunga, buah, serat dan bahan bakar.

Tanaman tahunan (perennial crops): Tanaman yang daur hidupnya lebih dari

satu tahun. Tanaman tahunan dapat dibagi menjadi tanaman tahunan tegakan tetap

dan tegakan temporer.

Tumpangsari: Menanam dua atau lebih tanaman pada saat yang sama atau pada

(22)

pertanian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan, peningkatan pendapatan

masyarakat pedesaan serta mengatasi urbanisasi. Di sisi lain juga dihadapkan

pada perbaikan lingkungan akibat adanya kerusakan hutan, banjir, penurunan

kesuburan tanah, polusi udara dan air akibat penggunaan pupuk maupun pestisida

yang berlebihan dalam produksi pertanian.

Pada awal millennium ini berdasarkan data BPS (2010), jumlah penduduk

Indonesia telah mencapai 235 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan 1.5%

pertahun pada tahun 2000-2010, pertumbuhan laju populasi melebihi laju

pertumbuhan produksi pertanian, yang diperkirakan 1.3% pertahun pada periode

tahun 1995-2010. Kondisi ini menyebabkan tujuan untuk dapat memenuhi

kebutuhan pangan sendiri tidak sebanding dengan laju pertumbuhan penduduk.

Impor beras, jagung, kedelai, gula dan beberapa komoditas lain semakin

meningkat. Dari sisi kelestarian lingkungan program intensifikasi pertanian yang

gencar digalakkan terutama untuk pengelolaan lahan sawah (padi) juga tidak

dapat memenuhi kebutuhan penduduk dan bahkan cenderung menurunkan

kualitas lingkungan terutama kesuburan tanah, sehingga produktivitas tanah

semakin menurun.

Pemerintah juga dihadapkan pada pencapaian ketahanan pangan yang

menurut Undang Undang Nomor: 7 Tahun 1996 tentang Pangan, yang mengartikan ketahanan pangan sebagai: “Kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”. Pengertian ini mencakup aspek makro, yaitu tersedianya pangan yang cukup, dan sekaligus aspek mikro yaitu

terpenuhinya kebutuhan pangan setiap rumah tangga untuk menjalani hidup yang

sehat dan aktif.

Pengertian tersebut, idealnya kemampuan dalam menyediakan pangan

(23)

impor pangan dilakukan hanya untuk memenuhi kekurangan, karena jika jumlah

yang diimpor lebih besar dibanding yang diproduksi oleh petani, selain akan

menguras devisa negara dalam jumlah banyak, ketahanan pangan di dalam

negeripun akan terganggu, karena ketersediaan pangan dunia sangat terbatas dan

harga jualnya selalu berfluktuasi (Apriantono 2008).

Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan rekayasa

eko-fisiologi melalui sistem pertanaman ganda seperti tumpang sari, tanaman sela

setahun, penanaman sela bersisipan, penanaman beruntun dan agroforestri.

Sistem ini selain meningkatkan produktivitas lahan juga diyakini dapat

mengendalikan cekaman biotik terutama hama dan penyakit tanaman, serta

mengurangi resiko gagal panen. Namun yang perlu diingat bahwa dalam

peningkatan produktivitas pertanian ini harus mempertimbangkan empat prinsip

yaitu prinsip keseimbangan ekologi agar produksi pertanian dapat lestari, prinsip

capaian optimum karena adanya keragaman lingkungan yang besar, prinsip

kehati-hatian untuk menghindari kerusakan lingkungan dan menurunnya

keragaman genetik serta prinsip kearifan lokal agar pengetahuan yang baik

(endogenus knowledge) yang telah ada dapat dipertahankan dan dikembangkan

(Chozin 2006). Selain itu juga diharapkan dapat melaksanakan ekstensifikasi

pertanian terutama pada lahan-lahan kering yang masih cukup luas dan memiliki

potensi yang besar.

Menurut Deptan (2002), terdapat 57.38 juta ha lahan potensial untuk

perluasan areal pertanian. Di luar Pulau Jawa saja terdapat sekitar 37 juta ha

(Sumatera 14.43 juta ha, Kalimantan 12.76 juta ha, Sulawesi 8.83 juta ha dan

Papua 2.01 juta ha). Lebih dari 40% areal ini berkemiringan 0-3% dan sisanya

berkemiringan 3-15%, dan sekitar 60% (21 juta ha) didominasi oleh jenis tanah

Podsolik Merah Kuning (PKM) atau Ultisol. Sebagian lahan ini telah dibuka

untuk pertanian dan pemukiman melalui program transmigrasi.

Departemen kehutanan juga melakukan revitalisasi sektor kehutanan

dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi secara

efektif mengelola kawasan hutan, khususnya kawasan hutan produksi yang tidak

(24)

masyarakat untuk ditanami, dipelihara dan diatur panennya pada masa mendatang,

berdasarkan kaidah-kaidah Pengelolaan Hutan Lestari (PHL), yang sistem

pengelolaannya disebut sebagai sistem agroforestri.

Salah satu tantangan pengembangan pertanian lahan kering adalah

rendahnya produktivitas tanaman. Rendahnya produktivitas tanaman disebabkan

oleh faktor fisik dan sosial ekonomi masyarakat. Masalah fisik antara lain

kesuburan tanah, kemiringan, ketinggian tempat, iklim dan ketersediaan air, sedangkan masalah sosial ekonomi adalah kebutuhan yang mendesak pada “cash” kurangnya jiwa wiraswasta, tingkat pengetahuan dan tingkat pendapatan yang

rendah (Hadipoernomo 1983; Kusmana 1988).

Menurut Irawan dan Pranadji (2002) masalah lain yang juga penting adalah: 1) biofisik lahan kering yang tidak sebaik lahan sawah, tingkat kesuburan

rendah dan sumber pengairan yang mengandalkan curah hujan yang distribusinya

terkadang tidak merata, 2) topografi yang tajam, sehingga laju aliran permukaan

(run off) dan erosi tanah cukup tinggi, 3) masih terbatasnya dukungan paket

teknologi, tingkat adopsi teknologi dan asosiasi paket teknologi pada proses

produksi, 4) lokasi pengembangan yang tersebar, terpencil dengan skala usaha

umumnya tidak mencapai titik minimum skala ekonomi, dan 5) dalam

pengembangan DAS, para pengambil keputusan masih belum mempertimbangkan

dampak negatif pada lingkungan, sehingga pembangunan pertanian yang

berkelanjutan sulit terwujud.

Selain itu Keeney (1990), menyatakan bahwa pengembangan usaha

pertanian di lahan kering umumnya berhubungan dengan kerusakan lingkungan

yang menyebabkan lahan-lahan menjadi tandus, ketersediaan air yang terbatas dan

erosi. Keadaan ini mendorong perlunya perencanaan dan evaluasi yang baik,

sehingga dapat meminimalkan kerusakan lingkungan dan membantu

meningkatkan produksi terutama pangan bagi masyarakat. Menurut Sinukaban

(2003), pembangunan dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) seyogyanya

dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi nasional,

pembangunan daerah atau wilayah serta meningkatkan kualitas lingkungan dan

(25)

dari tersedianya air yang cukup sepanjang waktu baik secara kuantitas maupun

kualitas. Selain itu, dalam memperlakukan DAS sebagai suatu sistem

keberkelanjutan, dalam pengembangannya perlu memenuhi persyaratan sebagai

berikut: 1) dapat memberikan produktivitas lahan yang tinggi, 2) dapat menjamin

kelestarian DAS, 3) menjamin pemerataan pendapatan petani (equity), dan 4)

mampu mempertahankan kelenturan DAS terhadap goncangan yang terjadi

(resilient).

Salah satu alternatif pengembangan pertanian yang berkelanjutan di DAS

adalah pengembangan agroforestri. Agroforestri diartikan secara luas sebagai

suatu sistem usaha tani atau penggunaan lahan yang mengintegrasikan secara

spatial dan temporal tanaman pohon dan tanaman semusim pada sebidang lahan.

Agroforestri merupakan bentuk penggunaan lahan yang dapat mempertahankan

dan meningkatkan produktivitas lahan secara keseluruhan yang merupakan

kegiatan campuran antara kegiatan kehutanan dan pertanian baik secara

bersama-sama atau secara bergilir yang disesuaikan dengan pola budidaya masyarakat

setempat (King dan Chandler 1978); Wijayanto (2002). Pengelolaan lahan kering,

khususnya di DAS dengan sistem agroforestri sangat diperlukan sebagai

sumberdaya pembangunan yang memiliki potensi strategis antara lain : 1) lahan

kering merupakan luasan terbesar dari wilayah budidaya, 2) lahan kering dapat

memasok sebagian besar komoditas andalan, 3) lahan kering mempunyai

keragaman komoditas untuk pengembangan agroindustri (Widaningsih 1991;

Suhara 1991; Badrun 1998).

Secara umum, banyak kendala dalam pengembangan agroforestri. Salah

satunya adalah rendahnya produktivitas tanaman. Rendahnya produktivitas ini

antara lain disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dalam pemilihan jenis

tanaman dan pengaturan pola tanam. Menurut Beets (1982), dalam pola tanam

campuran (mixed cropping) seperti halnya pada sistem agroforestri, akan terjadi

kompetisi baik antar tanaman maupun dengan pohon terutama kompetisi dalam

penyerapan unsur hara sehingga sering berdampak negatif terhadap produktivitas

tanaman. Untuk itu dalam pemilihan jenis tanaman dan pengaturan pola tanam

(26)

peluang yang ada, adanya pelibatan petani dalam perancangan dan pengkajian

pola tanam dalam rangka memperlancar proses adopsi teknologi. Sedangkan

dalam penentuan jenis tanaman (cash crops) yang akan dikembangkan, menurut

Thakur et al. (2005), petani sebaiknya memilih tanaman semusim yang memiliki

nilai ekonomi tinggi, baik berupa tanaman pangan, obat, bumbu dan bahkan pakan

ternak. Selain itu, rendahnya produktivitas juga dapat disebabkan oleh cekaman

intensitas radiasi surya akibat penutupan tajuk (naungan). Beberapa studi tentang

ekofisiologi tanaman di bawah naungan telah dilakukan pada padi gogo (Chozin

et al. 2000), kedelai (Sopandie et al. 2004), talas (Djukri 2003) dan lada (Wahid

1984). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa dampak dari cekaman intensitas

cahaya adalah terganggunya laju fotosintesis yang menyebabkan menurunnya

proses metabolisme tanaman.

Menurut Kusmana (1998) dan Kartasubrata (1992), bahwa penekanan

pengembangan agroforestri di DAS diarahkan agar mempunyai pengaruh ganda

terhadap keberlanjutan lingkungan, perbaikan lahan kritis dan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana yang terjadi di DAS Cianjur jenis

tanaman yang diusahakan petani beragam dan pola tanam yang dikembangkan

belum optimal, sehingga diperlukan bentuk pengembangan yang mengarah pada

peningkatkan produktivitas tanaman. Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk

membangun agroforestri yang baik, produktivitas tinggi serta layak secara

sosial-ekonomi dan ekologi yang lestari.

Perumusan Masalah

Pengelolaan lahan yang kurang tepat di suatu DAS dapat menimbulkan

kerusakan ekosistem. Kerusakan ekosistem ini menyebabkan menurunnya kualitas

air, bahan organik tanah, erosi, sedimentasi, dan akhirnya terjadi degradasi lahan

yang merugikan secara ekologi.

Degradasi lahan dapat menurunkan produktivitas lahan, oleh karena itu

diperlukan kajian pemanfaatan lahan secara terintegrasi dengan memperhatikan

aspek sumberdaya manusia, teknologi, sumberdaya tanah dan air serta sosial

(27)

DAS adalah sistem agroforestri. Sistem ini dianggap memiliki keunggulan,

karena mengintegrasikan teknologi budidaya tanaman semusim dan pohon, yang

diharapkan mampu meningkatkan produktivitas lahan, tingkat sosial ekonomi

masyarakat serta meningkatkan kualitas lingkungan.

Sistem agroforestri banyak dikembangkan termasuk di DAS Cianjur, baik

dalam bentuk agroforestri sederhana maupun kompleks. Sistem agroforestri yang

dikembangkan di kawasan ini bersifat lokal dan produktivitasnya rendah,

sehingga perlu perbaikan dan optimalisasi dengan pengaturan pola tanam serta

pemilihan jenis tanaman terutama tanaman semusim. Pengaturan pola tanam dan

pemilihan jenis tanaman semusim merupakan kunci keberhasilan sistem

agroforestri. Hal ini disebabkan pola tanam dan pemilihan jenis tanaman yang

tepat dapat mengurangi kompetisi baik kompetisi antar tanaman maupun antara

pohon dengan tanaman semusim.

Salah satu bentuk pola tanam yang banyak diterapkan masyarakat adalah

pola tanam lorong (alley cropping). Pola tanam lorong (alley cropping)

dilaksanakan dengan memanfaatkan lahan-lahan kosong (lorong) di antara barisan

pohon, sehingga dianggap sebagai bentuk intensifikasi pemanfaatan lahan.

Menurut Workman (2007), alley cropping dapat meningkatkan intensivitas

pemanfaatan lahan, meningkatkan keragaman hasil/pendapatan, keragaman waktu

panen, mengurangi erosi serta memperbaiki siklus hara dalam tanah. Sedangkan

menurut Suryanto et al. (2005) alley cropping juga mempunyai karakteristik yang

dinamis dan dapat memadukan dua tujuan pengelolaan secara bersamaan yaitu

produksi dan konservasi, dan pola tersebut cocok untuk daerah-daerah lereng/

miring.

Serangkaian penelitian akan dilakukan untuk mengkaji karakteristik

agroekologi sistem agroforestri dengan penekanan pada pengaturan pola tanam,

pemilihan jenis tanaman, aspek sosial ekonomi dan kelestarian lingkungan di

wilayah tersebut. Penelitian akan dilakukan di tiga zona DAS Cianjur (hulu,

tengah dan hilir) dengan memperhatikan karakteristik wilayah masing-masing.

Keluaran dari penelitian ini adalah menghasilkan bentuk pola tanam dan jenis

(28)

setempat menuju pengelolaan sistem agroforestri yang produktif, layak secara

sosial, ekonomi dan ekologis, serta dapat menggambarkan bentuk pengelolaan

lanskap agroforestri di DAS Cianjur. Penelitian ini sangat strategis karena

menyangkut keberlanjutan sistem pengelolaan lahan di DAS secara terintegrasi.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis karakteristik agroekologi

sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur yang dikhususkan dengan beberapa

tujuan, yaitu:

1. Menganalisis karakter biofisik dan agroklimat sistem agroforestri di DAS

Cianjur.

2. Menganalisis karakteristik pola tanam dan produktivitas tanaman semusim

pada sistem agroforestri di DAS Cianjur.

3. Menganalisis karakteristik sosial ekonomi masyarakat pada sistem agroforestri

di DAS Cianjur

4. Menganalisis prospek dan tingkat keberlanjutan sistem agroforestri di DAS

Cianjur.

Hipotesis

1. Terdapat perbedaan karakteristik biofisik dan agroklimat pada setiap zona

DAS yang berpengaruh terhadap karakteristik sistem agroforestri baik jumlah

spesies baik tegakan maupun tanaman semusim, penyebaran serta tujuan

pemanfaatannya.

2. Terdapat perbedaan pola tanam dan produktivitas sistem agroforestri di tiga

zona DAS Cianjur, yang diduga disebabkan oleh perbedaan intensifikasi

lahan, tujuan penanaman tanaman semusim oleh petani, kebiasaan/

pengalaman serta kesesuaian pemilihan jenis tanaman dengan faktor

agroklimat.

3. Terdapat perbedaan karakteristik sosial ekonomi masyarakat yang

berpengaruh terhadap sistem agroforestri, pola tanam dan produktivitas

(29)

4. Sistem agroforestri di DAS Cianjur berlanjut (sustainable), terutama dilihat

dari produksi yang konstan setiap tahun, peningkatan sosial ekonomi dengan

meningkatnya pendapatan petani, dan sistem agroforestri telah berlangsung

lama dan menjadi budaya masyarakat di DAS Cianjur dalam pengelolaan

lahan kering.

Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:

1. Sebagai pedoman dalam penerapan sistem agroforestri dengan berbagai

kombinasi tanaman semusim dan tahunan pada beberapa karakter wilayah

DAS Cianjur.

2. Sebagai pedoman untuk penentuan jenis tanaman dan pola tanam sistem

agroforestri dengan memperhatikan pemanfaatan lahan, status hara tanaman,

analisis usaha tani dan konservasi lahan pada beberapa karakteristik wilayah

DAS Cianjur.

3. Menghasilkan sistem pengelolaan yang tepat dengan memperhatikan aspek

pemanfaatan lahan, produktivitas, sosial ekonomi dan lingkungan.

4. Menjadi model/contoh dalam perencanaan usaha tani agroforestri yang

optimal pada beberapa wilayah yang memiliki karakteristik yang sama atau

(30)

Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu hamparan wilayah yang

dibatasi oleh pembatas topografi yang menerima, mengumpulkan air hujan,

sedimen, unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai (sub-DAS)

dan keluar melalui satu titik (outlet). DAS merupakan suatu ekosistem yang terdiri

dari berbagai komponen dan unsur, yang mana unsur utamanya adalah vegetasi,

tanah, air dan manusia dengan segala apa yang dilakukan di daerah tersebut.

Komponen vegetasi, tanah dan air membentuk subsistem biofisik, sedangkan

komponen manusia dengan perilakunya membentuk subsistem sosial, kedua

subsistem ini berinteraksi dalam bentuk ekosistem DAS (Syarief 1997; Arsyad

2000; Sinukaban 2003).

Pengelolaan DAS pada dasarnya adalah usaha-usaha penggunaan

sumberdaya alam di suatu DAS secara rasional untuk mencapai tujuan produksi

yang maksimum dalam waktu yang tidak terbatas (lestari), disertai usaha menekan

kerusakan seminimal mungkin sehingga distribusi aliran sungai, pengembangan

sosial-ekonomi dan pengaturan tata ruang wilayah dapat berjalan sepanjang tahun.

Pengelolaan DAS juga ditujukan untuk produksi dan perlindungan sumberdaya air

termasuk di dalamnya pengendalian erosi dan banjir (Sinukaban 2003).

Terdapat tiga unsur pokok dalam pengelolaan DAS yaitu lahan, air dan

pengelolaan. Lahan meliputi semua komponen dari suatu unit geografis dan

atmosfer tertentu seperti tanah, air, batuan, vegetasi, kehidupan mahluk hidup

serta perkembangannya. Untuk itu pengelolaan DAS dapat diartikan sebagai

pengelolaan lahan untuk produksi air dengan kuantitas optimum, pengaturan

produk air dan stabilitas tanah yang maksimum (Arsyad 2000).

Salah satu faktor yang mempengaruhi pengelolaan DAS adalah faktor

iklim terutama hujan. Intensitas, jumlah dan penyebarannya menentukan

(31)

dalam satu periode kemungkinan tidak akan menyebabkan aliran permukaan jika

intensitasnya rendah dan perkolasinya tinggi. Demikian pula jika hujan

intensitasnya tinggi tetapi dalam waktu atau periode singkat, kemungkinan tidak

akan menyebabkan banjir atau erosi tanah (Haryati et al. 1993; Arsyad 2000).

Adapun tujuan yang lebih besar dari setiap kegiatan pembangunan dalam

suatu DAS seharusnya sama, yaitu untuk memberikan kontribusi pada

pembangunan ekonomi nasional, pembangunan daerah atau wilayah dan usaha

memperbaiki dan meningkatkan kualitas lingkungan (Sinukaban 2003). Hal ini

dapat diukur dari kondisi tata air tersebut yaitu tersedianya air yang cukup

sepanjang waktu baik kuantitas maupun kualitas. Untuk menciptakan tata air

tersebut, diperlukan suatu tata kelola air yang diperoleh dari air hujan maupun dari

sumber-sumber air yang terjadi karena interaksi antara vegetasi permanen yang

terdapat dalam kawasan tersebut, terutama oleh pohon-pohon yang rimbun

(Sukmana et al. 1990).

Pemanfaatan Lahan Kering di DAS

Lahan kering adalah lahan yang dalam keadaan alamiah, bagian atas dan

bawah tubuh tanah tidak jenuh air atau tidak tergenang dan sepanjang tahun di

bawah kapasitas lapang. Kekeringan tanah tersebut dipengaruhi oleh kondisi

cuaca, fisiografis dan faktor edafis. Diperkirakan dari hampir 200 juta hektar luas

daratan di Indonesia, sekitar 124 juta hektar berupa lahan kering (Satari et al.

1991; Kartono 1998). Kondisi fisik lahan kering umumnya lahan tadah hujan

berciri khas agroekologi lahan yang sangat beragam karena ketersediaan air,

tingkat erosi, tingkat adopsi teknologi yang masih rendah dan ketersediaan yang

sangat terbatas serta peka terhadap erosi. Penggunaan airnya sampai saat ini

masih mengandalkan air yang bersumber dari curah hujan.

Menurut Prasad dan Power (1997), lahan kering di Indonesia menurut

sifatnya merupakan areal yang dibatasi oleh kendala-kendala berupa: topografi

yang tajam dengan penutupan vegetasi jarang sehingga laju infiltrasi dan erosi

tanah cukup tinggi, hujan yang tidak merata dan kemampuan tanah untuk

(32)

lahan kering antara kemiringan 0-15%. Secara ideal lahan kering untuk budidaya

tanaman pangan terbatas pada daerah yang relatif datar hingga berombak

(kemiringan < 8%). Sedangkan pada kemiringan lebih dari 8% perlu

persyaratan-persyaratan penanggulangan erosi jika akan digunakan sebagai areal budidaya

(Kusmana 1998; Sitorus 2001).

Pengelolaan lahan kering harus bertujuan untuk memantapkan dan

melestarikan produktivitas serta mempertahankan keragaman alami masyarakat

biotik dalam batas-batas daya dukung lingkungan, konservasi tanah dan air serta

peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bentuk pola tanam yang banyak

diusahakan adalah sistem agroforestri dengan pola lorong (alley cropping), pohon

pembatas (trees along border), pola campuran (mixed cropping) atau pola baris

(alternate rows). Pola ini terlihat lebih dinamis terutama dalam berbagi

sumberdaya (resources sharing) baik antar pohon dengan tanaman semusim

maupun antar tanaman semusim, terutama dalam penangkapan cahaya matahari

(Suryanto et al. 2005).

Menurut Irawan dan Pranadji (2002), bahwa pengelolaan lahan kering juga

memiliki keragaman agroekologi yang lebih tinggi dibandingkan lahan sawah.

Keragaman tersebut mengakibatkan pelibatan jumlah rumah tangga tani pengguna

lahan kering jauh lebih besar daripada sawah. Pada tahun 1993 tercatat sekitar 17

juta rumah tangga tani menggunakan lahan kering untuk menjalankan usaha

pertaniannya, sedangkan pada lahan sawah hanya sekitar 10 juta rumah tangga

tani. Hal ini menunjukkan bahwa lahan kering mampu menyediakan lapangan

usaha pertanian yang lebih tinggi dibandingkan lahan sawah. Dari 19.7 juta

(1993) rumah tangga tani pengguna lahan pertanian, sekitar 87% menggunakan

lahan kering sedangkan yang menggunakan lahan sawah hanya 49%.

Untuk wilayah DAS Cianjur pemanfaatan lahan kering umumnya dengan

sistem agroforestri. Sistem agroforestri di daerah ini berupa pekarangan (home

gardens), kebun campuran (mixed gardens) dan kebun hutan (forest gardens).

Sistem agroforestri ini berlangsung sudah cukup lama dalam bentuk tumpang sari

dan kebun campuran yang memiliki beberapa keuntungan yaitu pemanfaatan

(33)

keragaman komponen ekosistem (biodeversity). Dengan karakteristik sistem

semacam ini maka sistem agroforestri dapat meningkatkan produktivitas,

stabilitas, kelestarian lahan dan pendapatan petani. Adapun tanaman-tanaman

dalam sistem agroforestri ini berupa tanaman buah, sayuran, bumbu,

semak/rumput, tanaman penghasil biji-bijian, industri, kayu bakar, bahan

bangunan dan tanaman hias (Arifin et al. 2002).

Agroforestri

Agroforestri merupakan suatu sistem penggunaan lahan yang berorientasi

sosial dan ekologi dengan mengintegrasikan pepohonan dengan tanaman

pertanian dan atau ternak secara simultan atau berurutan untuk mendapatkan total

produksi tanaman dan hewan secara berkelanjutan dari suatu unit lahan dengan

input teknologi yang sederhana pada lahan-lahan marginal (Nair 1989).

Agroforestri juga didefinisikan sebagai suatu sistem manajemen lahan

yang berkelanjutan untuk meningkatkan variasi hasil lahan dengan

mengkombinasikan antara tanaman pertanian dengan pohon dan atau hewan

secara simultan atau berurutan dalam unit lahan yang sama dan dengan aplikasi

pengelolaan yang sesuai dengan budaya masyarakat setempat. Definisi ini

dipertegas kembali bahwa agroforestri merupakan suatu istilah atau nama kolektif

untuk sistem pengelolaan lahan dengan teknologi yang sepadan, dimana pohon

dengan sengaja diusahakan dalam unit yang sama dengan tanaman pertanian dan

atau ternak pada saat yang sama atau berurutan. Dalam sistem agroforestri ini

terintegrasi sekaligus aspek ekologis dan aspek ekonomis.

King dan Chandler (1978) dan Wijayanto (2002), juga memberikan

definisi yang hampir sama, bahwa agroforestri secara luas merupakan suatu sistem

usaha tani atau penggunaan lahan yang mengintegrasikan secara spatial, temporal

tanaman pohon dan tanaman semusim pada sebidang lahan yang sama.

Agroforestri juga merupakan bentuk penggunaan lahan yang dapat

mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan secara keseluruhan yang

merupakan kegiatan campuran antara kegiatan kehutanan dan pertanian baik

(34)

praktis yang disesuaikan dengan pola budaya masyarakat setempat. Sistem

agroforestri ini mencakup bentuk atau cara pemanfaatan lahan seperti yang umum

dilakukan oleh masyarakat Indonesia seperti kebun talun, pekarangan dan kebun

campuran.

Pengembangan agroforestri juga merupakan salah satu jawaban dalam

mengatasi masalah degradasi lahan dan penurunan produktivitas. Menurut Cruz

dan Vegera (1987), penerapan agroforestri dapat bermanfaat pada aspek

perlindungan yaitu menekan erosi, tanah longsor, run off dan kehilangan hara;

aspek rehabilitasi yaitu status hara, bahan organik, pH tanah, dan pada periode

jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas tanaman, sosial ekonomi, gizi

dan kesehatan. Sedangkan Lai (1995) menyatakan bahwa agroforestri telah

menjadi suatu yang penting dalam usaha pengembangan pedesaan sebagai strategi

mengurangi kemiskinan di desa dan memperbaki kondisi lingkungan.

Salah satu bentuk pola tanam yang banyak digunakan pada sistem

agroforestri khususnya di daerah dataran tinggi adalah pola lorong (Alley

cropping). Alley cropping merupakan pola agroforestri yang menyisipkan

tanaman semusim di antara tanaman pohon. Penanaman ini bertujuan untuk

merubah dan meningkatkan keragaman tanaman, mengurangi erosi air dan angin,

memperbaiki pertumbuhan tanaman, meningkatkan pemanfaatan unsur hara

(nutrient) dan menambah stabilitas ekonomi dalam sistem pertanian. Selain itu

alley cropping juga dirancang untuk memadukan dua tujuan secara bersamaan

yaitu tujuan produksi dan konservasi. Karakter pola lorong ini adalah jarak baris

pohon antar lorong dan pola ini baik digunakan pada lahan yang miring.

Agroforestri juga dapat meningkatkan produktivitas lahan. Peningkatan

produktivitas sistem agroforestri dapat dilakukan melalui peningkatan dan/atau

diversifikasi hasil dari komponen yang bermanfaat, dan menurunkan jumlah

masukan atau biaya produksi. Contoh upaya penurunan masukan dan biaya

produksi yang dapat diterapkan dalam sistem agroforestri yaitu penggunaan pupuk

nitrogen dapat dikurangi dengan pemberian pupuk hijau dari tanaman pengikat

nitrogen pada sistem agroforestri berbasis pohon ternyata memerlukan jumlah

(35)

dibandingkan sistem perkebunan monokultur. Diversifikasi ini bisa dilakukan

pada sistem pertanian dataran tinggi dengan sistem agroforestri yang sesuai

dengan daerah tersebut. Misalnya seperti yang dilaksanakan di India yang 65%

berupa lahan kering, miring dan merupakan lahan tadah hujan, sistem

pertaniannya dirubah dari sistem tradisional yang semula mengandalkan tanaman

pangan, kayu dan rumput menjadi tanaman kayu dengan tanaman-tanaman

semusim yang memiliki nilai ekonomis tinggi (High Value Cash Crop / HVCC),

yang dapat memberikan keuntungan yang lebih besar bagi petani (Shrotriya et al.

2002).

Pemilihan jenis tanaman sangat menentukan produktivitas tanaman pada

sistem agroforestri. Dalam menentukan jenis tanaman yang akan ditanam pada

sebidang lahan haruslah diketahui sifat-sifat jenis tanaman dalam hubungannya

dengan faktor iklim, tanah dan kecepatan tumbuhnya (Arsyad 2000 dan Sitorus

2001). Adapun menurut Nair (1989), sifat tanaman yang digunakan dalam pola

agroforestri harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1) Tanaman semusim yang digunakan harus tidak lebih tinggi dari tanaman

pokok serta dalam pengambilan zat hara tidak pada tempat yang sama di

dalam horizon tanah.

2) Tanaman semusim yang digunakan tahan terhadap hama penyakit dibanding

dengan tanaman pohon

3) Dalam penanaman, pemeliharaan dan pemanenan tanaman semusim tidak

merusak tanaman pohon.

4) Tanaman semusim yang diusahakan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi.

5) Tidak menimbulkan erosi serta merusak struktur tanah setelah tanaman

semusim dipanen.

Menurut Kusmana (1998), bahwa sistem agroforestri memberikan

optimalisasi dalam penggunaan lahan dan penerapan sistem ini memberikan

manfaat sebagai berikut:

1) Di dalam sistem agroforestri didapat tanaman yang heterogen dan tidak

seumur yang terdiri dari dua strata atau lebih. Bentuk pola tanam seperti itu,

(36)

produktivitas tanah dapat dipertahankan serta pemanfaatan energi surya oleh

tanaman dapat maksimal.

2) Pada sistem agroforestri akan didapat bentuk hutan serba guna atau usaha tani

terpadu di luar kawasan hutan yang dapat memenuhi kebutuhan majemuk

seperti hijauan makanan ternak, kayu dan lingkungan sehat. Dengan demikian

sistem ini dapat meningkatkan produktivitas lahan.

Di beberapa negara sistem agroforestri secara umum lebih menguntungkan

dari pada monokultur (Tabel 1). Keuntungan ini didapat dari keragaman hasil dari

pola yang dikembangkan pada masing-masing negara.

Tabel 1. Keuntungan dari sistem agroforestri di beberapa negara

Negara Sistem Agroforestri NPV dalam US$/Ha Penghasilan dibandingkan non

Nepal Tanaman kayu Rata-rata penerimaan/tahun US$ 1 582 atau US$ 2 796

Vietnam Tephosia condida sebagai tanaman pagar dengan

US$ 853 setelah 30 tahun Diasumsikan memiliki peluang 0.

Sumber : Swallow B dan S Ochola (2006)

Begitu juga di Indonesia, total pendapatan tahunan dari sistem agroforestri juga

lebih tinggi dibandingkan dengan monokultur seperti di laporkan Santosa (2005)

(37)

Tabel 2. Pendapatan dan total pendapatan tahunan pada pertanaman vanili di Desa Padasari, dibandingkan intercropping dengan cash crops di Desa Bugel dan pisang di Cijeunjing pada hutan jati di Sumedang Jawa Barat (Santosa 2005).

Lokasi Kontribusi terhadap pendapatan (%) Total

pendapatan

= Pendapatan dari gaji/upah, dari dagang dll.

Agroforestri dikenal dengan istilah wanatani yang arti sederhananya

adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Menurut De Foresta dan Michon

(1997), agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu sistem agroforestri

sederhanadan sistem agroforestri kompleks. Sistem agroforestri sederhana adalah

suatu sistem pertanian dimana pepohonan ditanam secara tumpangsari dengan

satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar

mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau

dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk

lorong/pagar. Jenis-jenis pohon yang ditanam juga sangat beragam, bisa yang

bernilai ekonomi tinggi misalnya kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao, nangka,

melinjo, petai, jati dan mahoni atau yang bernilai ekonomi rendah seperti dadap,

lamtoro dan kaliandra. Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman

pangan yaitu padi (gogo), jagung, kedelai, kacang-kacangan, ubi kayu,

sayur-mayur dan rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya.

Sistem agroforestri sederhana yang paling banyak diterapkan di Jawa

adalah tumpangsari. Sistem ini juga dikenal dengan “taungya” dan sistem ini

terutama dikembangkan di areal hutan jati di Jawa dalam rangka program

perhutanan sosial dari Perum Perhutani. Pada lahan tersebut petani diijinkan untuk

menanam tanaman semusim di antara pohon-pohon jati muda. Hasil tanaman

semusim dipanen oleh petani, namun petani tidak diperbolehkan menebang atau

(38)

Sistem ini berakhir ketika pohon jati telah dewasa dan tajuk telah menutup

sempurna.

Bentuk agroforestri sederhana ini juga bisa dijumpai pada sistem

pertanian tradisional. Pada daerah yang kurang padat penduduknya, bentuk ini

timbul sebagai salah satu upaya petani dalam mengintensifkan penggunaan lahan

karena adanya kendala alam, misalnya pada tanah-tanah rawa. Sebagai contoh,

kelapa ditanam secara tumpangsari dengan padi sawah di tanah rawa di Sumatra.

Perpaduan pohon dengan tanaman semusim ini juga banyak ditemui di daerah

berpenduduk padat, seperti pohon-pohon randu yang ditanam pada

pematang-pematang sawah di daerah Pandaan (Pasuruan, Jawa Timur), kelapa atau siwalan

dengan tembakau di Sumenep Madura. Contoh lain, tanah-tanah yang dangkal dan

berbatu seperti di Malang Selatan ditanami jagung dan ubikayu di antara gamal

atau kelorwono (Gliricidiasepium).

Sistem agroforestri kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang

melibatkan banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon) baik sengaja ditanam

maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani serta

mengikuti pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Di dalam sistem ini,

selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat

(liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak. Penciri utama

dari sistem agroforestri kompleks ini adalah kenampakan fisik dan dinamika di

dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun

hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai Agroforest.

Berdasarkan jaraknya terhadap tempat tinggal, sistem agroforestri kompleks ini

dibedakan menjadi dua, yaitu kebun atau pekarangan berbasis pohon (home

garden) yang letaknya di sekitar tempat tinggal dan “agroforest”, yang biasanya

(39)

Kebaikan dan kelemahan sistem agroforestri

Kebaikan sistem agroforestri dapat dilihat dari keuntungan secara ekologis

atau lingkungan, secara ekonomis dan keuntungan sosial. Keuntungan secara

ekologis dapat berupa: a) pengurangan tekanan terhadap hutan, terutama hutan

lindung dan suaka alam, b) lebih efisien dalam siklus hara, terutama pemindahan

hara dari solum tanah yang lebih dalam ke lapisan permukaan oleh sistem

perakaran pohon yang dalam, c) penurunan dan pengendalian aliran permukaan,

pencucian hara dan erosi tanah, d) pemeliharaan iklim mikro seperti terkendalinya

temperatur lapisan tanah atas, pengurangan evavorasi dan terpeliharanya

kelembaban tanah oleh pengaruh tajuk dan mulsa sisa tanaman, e) adanya

perbaikan aktivitas mikroorganisme tanah, f) penambahan hara tanah melalui

dekomposisi bahan organik sisa tanaman dan atau hewan dan g) terpeliharanya

struktur tanah akibat siklus yang konstan dari bahan organik sisa tanaman dan

hewan.

Secara ekonomis, sistem agroforestri sangat menguntungkan terutama

dalam hal: a) lebih bervariasinya produk yang diperoleh yaitu berupa pangan,

papan, serat, kayu, bahan bakar, pupuk hijau dan atau pupuk kandang, b)

memperkecil resiko kegagalan panen karena gagal atau menurunnya panen dari

salah satu komponen, masih dapat ditutupi oleh hasil dari komponen lain, c)

meningkatkan pendapatan petani karena input yang diberikan akan menghasilkan

output yang berkelanjutan.

Sedangkan secara sosial sistem agroforestri memiliki keuntungan yaitu: a)

terpeliharanya standar kehidupan masyarakat pedesaan dengan keberlanjutan

pekerjaan dan pendapatan, b) terpeliharanya sumber pangan dan tingkat kesehatan

masyarakat karena peningkatan kualitas dan keragaman produk agroforestri, dan

c) terjaminnya stabilitas komunitas petani dan pertanian lahan kering, sehingga

dapat mengurangi dampak negatif urbanisasi (Lai 1995).

Adapun kelemahan-kelemahan sistem agroforestri secara ekologis adalah:

a) kemungkinan terjadinya persaingan mendapatkan sinar matahari, air tanah dan

(40)

pada saat pemanenan pohon, c) tanaman pohon berpotensi menjadi inang bagi

hama dan penyakit tanaman, d) relatif lamanya regenerasi pohon menyebabkan

penyempitan lahan untuk tanaman pertanian sejalan dengan semakin besarnya

tanaman pohon.

Kelemahan dari segi sosial ekonomi antara lain: a) terbatasnya tenaga

kerja yang yang berminat di bidang pertanian, khususnya dalam membangun

sistem agroforestri, b) terjadinya persaingan antara pohon dan tanaman semusim

yang dapat menurunkan hasil, c) waktu yang cukup panjang untuk menunggu

panen pohon dapat mengurangi keuntungan sistem agroforestri, d) sistem

agroforestri diakui lebih kompleks sehingga lebih sulit diterapkan, apalagi dengan

pengetahuan petani yang terbatas dibandingkan dengan sistem pertanian

monokultur dan e) keengganan sebagian besar petani untuk menggantikan

tanaman pertanian/pangan dengan pohon dan atau sebaliknya yang lebih bernilai

ekonomis.

Dengan tingkat pengetahuan yang memadai, sebenarnya

kelemahan-kelemahan ini dapat dikendalikan sebagian dan atau seluruhnya dengan jalan: a)

penggunaan pohon kacang-kacangan atau tanaman berbuah polong yang relatif

sedikit menghambat sinar matahari, sehingga kebutuhan cahaya untuk tanaman

dapat terpenuhi, b) memilih pohon yang memiliki perakaran yang dalam, untuk

mengurangi persaingan penyerapan hara dan air dengan tanaman pertanian di

sekitar permukaan atau tanah lapisan atas, dan c) jarak tanam pohon yang lebih

lebar, sehingga mengurangi persaingan cahaya matahari, hara dan air tanah

dengan tanaman pertanian.

Agroekologi

Agroekologi merupakan studi agroekosistem yang holistik, termasuk

semua elemen lingkungan dan manusia, dengan penekanan pada bentuk, dinamika

dan fungsi hubungan timbal balik antar unsur-unsur tersebut serta proses dimana

mereka terlibat. Adapun yang tampak secara implisit dalam pekerjaan

agroekologi adalah gagasan bahwa dengan memahami hubungan-hubungan dan

(41)

produksi dan berproduksi secara lebih berkelanjutan dengan dampak negatif yang

lebih sedikit terhadap lingkungan dan masyarakat serta input dari luar yang lebih

rendah (Reijntjes 2004).

Agroekologi juga mengarah pada pendekatan yang menekankan terjadinya

keseimbangan dalam sistem pertanian atau biasa disebut keseimbangan

agroekosistem. Agroekosistem menekankan pada analisis yang mengadopsi

konsep sistem dengan tujuan mengidentifikasi berbagai faktor yang

mempengaruhi keragaman sistem usahatani sehingga antara satu tempat dengan

tempat yang lain terjadi perbedaan terhadap: produktivitas (productivity),

stabilitas produksi (stability), keberlanjutan produksi (sustainability) dan

pemerataan distribusi produksi atau pendapatan (equilibilty) (Bey dan Las 1991).

Sedangkan menurut Keeney (1990), pemahaman tentang konsep agroekosistem

ini diharapkan mampu menciptakan suatu sistem budidaya yang berkelanjutan

(sustainable agriculture) dan perbaikan lingkungan, termasuk perlindungan dan

perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan tersebut.

Agroekosistem juga merupakan kesatuan komunitas tumbuhan dan hewan

serta lingkungan kimia dan fisiknya yang telah dimodifikasi oleh manusia untuk

menghasilkan makanan, bahan bakar dan produk lainnya bagi konsumsi manusia.

Sedangkan dalam budidaya tanaman modifikasi ini diharapkan dapat menciptakan

dan mempertahankan kondisi-konsisi tanah sebagai berikut:

1) Ketersediaan air, udara dan unsur hara tepat waktu dalam jumlah seimbang

dan mencukupi.

2) Struktur tanah yang gembur yang dapat meningkatkan pertumbuhan akar,

pertukaran unsur-unsur gas, ketersediaan air dan kapasitas penyimpanan.

3) Suhu tanah yang dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah dan

pertumbuhan tanaman.

4) Tidak ada unsur-unsur toksik (racun) yang menghambat pertumbuhan

tanaman.

Pada agroekosistem terdapat konsep zona agroekologi (agroecological

zones). Konsep ini merupakan pendekatan membagi wilayah ke dalam zona-zona

Gambar

Tabel 1. Keuntungan dari sistem agroforestri di beberapa negara
Gambar 3.1.  Peta lokasi penelitian sepanjang Daerah Aliran Sungai Cianjur
Tabel  3.1.  Kelas kemiringan lereng wilayah DAS Cianjur beserta luasannya
Tabel  3.4.  Luasan lahan dan struktur kepemilikannya di lokasi penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

DAFTAR HADIR UGD RAWAT JALAN PUSKESMAS SUMBER WARAS.

Judul skripsi : Penggunaan Media Benda Manipulatif Untuk Meningkatkan Hasil belajar Matematika Materi Penjumlahan Bilangan Pecahan (PTK Pada Siswa Kelas IV SD

Dengan didapatinya temuan dugaan pelanggaran pemilu legislatif tahun 2009 di TPS 7 Desa Talang, yang berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan kepada KPPS dan Anggotanya,

Seni patung adalah karya seni yang dibuat dengan proses membentuk sebuah benda, yang biasanya terbuat dari kayu, batu, semen, tembaga dan bahan sejenis lain yang dapat

juga menekankan pada peran dari relasi sosial yang bisa membuat sumber daya yang tidak. tersedia

Teristimewa untuk bapak saya, Ibu saya yang selalu memberikan kasih sayang, doa, perhatian semangat serta dukungan selama saya menyelesaikan studi S1 Manajemen

Of course, it’s trivial to create your own event aggregator in Backbone, and there are some key things that we need to keep in mind when using an event aggregator, to keep our

Pengumpulan data kelompok perlakuan: dirumah sakit ibu nifas BBLR didampingi dan diberikan pendidikan kesehatan menggunakan modul selama 3 kali materi tentang perawatan