HADI PRANOTO
Disertasi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Arifin and Edi Santosa, as a member of the advisory community.a
A research was conducted to analyze agroecologycal characteristic of agroforestry system in Cianjur Watershed landscape. Observation and interviews were held to 30 samples of agroforestry field and respondents in the upper stream, the middle stream and the down stream of Cianjur Watershed, respectively. The results showed, that the communities in the three zones of Cianjur Watershed have been conducting agroforestry practice in order to manage their dry land. It’s found the differences characteristic of plantation. In the community lands the number of trees found 20 species and 12 species of plant. In the down stream area, agroforestry were practiced in community lands and the flat area. The number of trees is 23 species and 11 species of plants. The middle stream agroforestry system characteristic was known as a transition condition between the upper and the down streams. The characteristic of biophisic and agroclimate have affected to total individual number and species of trees and cash crop. Planting index of cash crops is 2.93, 2.53 and 1.43 in the upper, middle and down stream, respectively. The average annual income from cash crops in the three zones are 15.866.250, 4.771.643 and 735.918 (IDR/ha/yr) from the upper, the middle to the down streams, respectively. The productivity of cash crops in the three zones of Cianjur watershed area, in the generally also lower ratio in the three zones of watersheds Cianjur worth more than 1. The B/C ratio in the upper stream 1:09, in the middle stream 2.89 and the downstream 1:02. The sustainability of agroforestry systems in every zone, was defined for aspects of productivity, economic, social and culture and ecologycal. For the aspect of environmental sustainability, in the upper stream more lower than in the middle and the down stream.The aspects of the use of chemical fertilizers and pesticides, in the downstream is lowest of use of fertilizers and chemical pesticides for the management of agroforestry systems. There are differences of sustainability indexs in the three zones area in ianjur watershed. The average of indexs sustainability is 12.12 (moderat suatainability).in scale 11-15
dan EDI SANTOSA
Sistem agroforestri untuk pengelolaan lahan kering pada kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) diyakini oleh beberapa peneliti mampu menjaga kelestarian lingkungan dan mempunyai manfaat dari segi keragaman jenis (biodiversity), unsur hara, sifat fisik tanah serta meningkatkan pendapatan masyarakat. Daerah Aliran Sungai yang berdasarkan tempatnya meliputi kawasan dari hulu sampai ke hilir, secara umum memiliki keragaman agroekologi yang disebabkan oleh perbedaan ketinggian tempat. Perbedaan wilayah yang ditentukan berdasarkan ketinggian tempat ini sering dianggap sebagai zona DAS. Masyarakat di wilayah DAS Cianjur secara umum memanfaatkan lahan keringnya dengan sistem agroforestri. Sistem agroforestri di daerah ini berupa pekarangan (home gardens), kebun campuran (mixed gardens) dan kebun hutan (forest gardens). Sistem agroforestri ini berlangsung sudah cukup lama dan sudah menjadi budaya masyarakat secara turun-temurun. Pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri sebagai suatu sistem tersebut dipengaruhi oleh kondisi zona agroekologi yang berarti bahwa keadaan topografi dan iklim yang berbeda akan memberi pengaruh yang berbeda terhadap pola pengelolaan sistem agroforestri sebagai sistem pertaniannya.
Serangkaian penelitian dilakukan untuk menganalisis karakteristik sistem agroforestri berdasarkan kajian agroekologi di tiga zona DAS Cianjur yang dikhususkan dengan tujuan 1) analisis biofisik dan agroklimat sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur, 2) analisis pola tanam dan produktivitas tanaman semusim pada sistem agroforestri di DAS Cianjur dan 3) analisis sosial ekonomi dan keberlanjutan sistem agroforestri di DAS Cianjur. Penelitian dilaksanakan sejak Bulan Agustus 2007 sampai dengan Desember 2008 di tiga zona Daerah Aliran Sungai Cianjur Kabupaten Cianjur Propinsi Jawa Barat. Secara geografis zona hulu terletak pada S 60 46’ 23” – 60 47’ 15” ; E 1060 59’ 7” – 1070 3’ 16” pada ketinggian > 900 m dpl, tengah 107003` 11” - 107005` 08” BT dan 6048` 14” LS (300-900 m dpl), dan hilir 107003` 11” - 107005` 08” BT dan 6048` 14” LS pada ±300 m dpl.
Penelitian menggunakan metode survei dengan pengamatan langsung sistem agroforestri masyarakat. Jumlah sampel agroforestri dan petani pada setiap zona sebanyak 30. Penentuan lokasi sampel dan responden didasarkan pada data kepemilikan dan penggunaan lahan secara acak dan atau terstruktur yang mengacu pada peta topografi, penggunaan lahan dan peta kesesuaian lahan DAS Cianjur.
tanaman, biaya yang rendah, kemudahan mendapatkan bibit/benih dan kesesuaian dengan kebijakan. Selanjutnya dilakukan Uji Chi Square untuk menguji hubungan pada masing-masing kriteria pada setiap zona.
Data produktivitas tanaman dikumpulkan dari hasil wawancara dan pengamatan pertumbuhan dan produksi tanaman di pertanaman petani sampel. Wawancara berupa pertanyaan mengenai persiapan tanam sampai pemanenan hasil, produksi, biaya serta nilai jual produksi tanaman pada setiap periode tanam. Sedangkan pengamatan pertumbuhan dan produksi, dilakukan pada petak pengamatan berukuran 5m x 5m yang ditempatkan pada lahan-lahan petani yang mewakili kondisi pertanaman pada lokasi penelitian. Pengamatan ini dilakukan terhadap 10 tanaman contoh dari setiap petak pengamatan untuk setiap jenis tanaman, dan setiap petak pengamatan diulang sebanyak tiga kali. Petak pengamatan untuk setiap jenis tanaman juga dibuat pada pertanaman monokultur sebagai pembanding.
Analisis ekonomi dilakukan dengan menghitung pemasukan, pengeluaran dan pendapatan dari lahan yang dikelola petani pada saat penelitian berlangsung (2007-2008), dengan analisis arus uang tunai (cash flow analysis). Sedangkan tingkat keberlanjutan sistem agroforestri ditentukan dengan analisis Benefit/Cost Ratio (B/C ratio). Analisis keberlanjutan juga didasarkan pada aspek keberlanjutan agronomi, aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek ekologi, dimana Sustainabilitas Agroforestri (ST) = KA + KE + KSB + KEK. Pembobotan untuk setiap aspek dianggap setara. Semakin tinggi nilai ST, maka sistem agroforestri yang diterapkan oleh masing-masing petani tingkat keberlanjutannya semakin tinggi. Nilai akhir setiap zona DAS merupakan rata-rata dari setiap responden pada zona yang bersangkutan. Nilai ST = 4-10 berarti tidak berkelanjutan (Not Sustainable), ST = 11-15 berarti keberlanjutan sedang (moderat sustainable) dan ST = 16-20 berarti sangat berkelanjutan (very sustainable).
Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan karakteristik agroklimat dan biofisik di tiga zona DAS Cianjur, yang berpengaruh terhadap karakteristik penyusun sistem agroforestri pada setiap zona DAS. Di hulu ditemukan pohon sebanyak 5 spesies, di tengah 20 spesies dan di hilir 23 spesies. Berdasarkan fungsinya, di hulu 80% penghasil kayu dan 20% pohon buah, di tengah 60% penghasil kayu, 30% pohon buah 10% penghasil bunga sedangkan di hilir 56.52% penghasil kayu, 30.43% penghasil buah, 8.70% penghasil bunga dan 4.40% penghasil obat.
ketinggian tempat merupakan faktor pembatas pertumbuhan tanaman, sehingga jenis tanaman yang diusahakan hanya terbatas pada tanaman sayuran dataran tinggi seperti cabe, tomat, wortel, kobis, sawi, bawang daun dan brokoli.
Pola tanam di tiga zona DAS Cianjur juga berbeda. Di hulu dan tengah pola tanam lorong (alley cropping) dengan tata letak tanaman teratur dalam barisan atau blok-blok baik tunggal maupun tumpang sari, sedangkan di hilir sistem agroforestri umumnya berupa kebun campuran. Intensifikasi pengelolaan tanaman di tiga zona DAS Cianjur juga berbeda, dimana di hulu intensifikasi pengelolaan tanamannya sangat intensif, di tengah intensif sedangkan di hilir kurang intensif. Adapun indeks pertanaman di hulu adalah 2.93, di tengah 2.53 sedangkan di hilir 1.43. Penentuan pola tanam petani belum didasarkan pada data iklim. Waktu tanam masih mengacu pada pola musim penghujan (Oktober-Maret) dan kemarau (April-September). Hal ini menyebabkan tanaman yang ditanam cenderung jenis yang sama pada setiap musim tanam (bahkan setiap tahun).
Produktivitas tanaman semusim di tiga zona DAS Cianjur juga berbeda. Tingginya produktivitas tanaman semusim (tanaman sayuran) di hulu dan tengah selain karena kesesuaian faktor iklim juga karena faktor agronomis. Faktor iklim terutama suhu berpengaruh terhadap kecepatan reaksi, peningkatan fungsi enzim, kondisi lingkungan tanah serta meningkatkan aktivitas fisiologi tanaman. Terdapat perbedaan produktivitas tanaman pada data survei, pengamatan sampel pada petak pengamatan, rataan dari Dinas Pertanian Kab Cianjur dan potensi hasil. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan metode pengumpulan data. Survei wawancara menggunakan data dari petani, sedangkan data produktivitas pada petak pengamatan yang diambil dengan cara mengamati dan menghitung secara langsung produktivitas sampel tanaman pada petak yang telah ditentukan. Adapun data Dinas Pertanian Kab Cianjur, merupakan data produktivitas rataan yang tidak membedakan kondisi agroforestri atau non agroforestri maupun lahan kering atau lahan basah (sawah). Produktivitas agroforestri masih jauh di bawah nilai potensi hasil. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor pengelolaan tanaman dan faktor lingkungan yang tidak sepenuhnya dapat memenuhi persyaratan tumbuh dari beberapa jenis tanaman tersebut.
735 918 /ha/tahun, sedangkan keberlanjutan yang dihitung dari nilai B/C ratio menunjukkan bahwa B/C ratio di hulu 1.09, di tengah 2.89 dan di hilir 1.02. Sedangkan nilai keberlanjutan yang dihitung berdasarkan nilai Keberlanjutan Agronomi (KA), Keberlanjutan Ekonomi (KE), Keberlanjutan Sosial Budaya (KSB) dan Keberlanjutan Ekologi (KEK), menunjukkan bahwa nilai keberlanjutan sistem agroforestri di DAS Cianjur adalah 12.12 pada interval 11 – 15, yang berarti nilai keberlanjutanya adalah moderat (moderat sustainability).
HADI PRANOTO
Disertasi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MSc 2. Dr. Ir. Ade Wachjar, MSc
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. M.A. Chozin, M. Agr Ketua
Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, MS Dr. Edi Santosa, SP. MSi Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Prof. Dr. Ir. Munif Gulamahdi, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MAgr Sc NIP. 195905051985031004 NIP. 196508141990021001
Analisis Agroekologi Sistem Agroforestri di Daerah Aliran Sungai Cianjur
adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir disertasi ini.
Bogor , Desember 2011
atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
ketiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak Martosaidi dan Ibu Sunarti (Alm). Menikah
dengan Daru Purbaningtyas Kusumo, ST MT dan dikarunia empat orang anak yaitu
Bagus Fadhilurosyid, Bagus Prasetyonurosyid (Alm), Dimas Farhan Nurahmad dan
Adiningtyas Prameswari Pranoto.
Penulis menamatkan kuliah S1 dengan gelar (SP) di Fakultas Pertanian
Universitas Muhammadiyah Malang Jurusan Agronomi lulus tahun 1994, dan
melanjutkan kuliah S2 di Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Samarinda, lulus
tahun 2001. Tahun 2005 penulis melanjutkan pendidikan doktor pada Program Studi
Agronomi dan Hortikultura pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penulis pada saat ini adalah staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas
Mulawarman Samarinda Kalimantan Timur.
ilmiah saya di Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Disertasi dengan judul Kajian Agroekologi Sistem Agroforestri di
Daerah Aliran Sungai Cianjur, merupakan tugas akhir studi doktor di SPs IPB.
Kajian agroekologi sistem agroforestri di kawasan DAS ini dipandang perlu dan
penting diangkat dalam sebuah tulisan akademik. Agroforestri merupakan sistem
pertanian yang telah dilakukan masyarakat dalam pengelolaan lahan kering
secara turun-temurun dan masih terus berlangsung sampai saat ini. Sedangkan
kajian agroekologi, juga dipandang perlu untuk mengetahui sejauh mana sistem
agroforestri dapat dilaksanakan di kawasan DAS dengan karakteristik
agroekologi yang berbeda (dari hulu ke hilir).
Terima kasih dan penghormatan yang sebesar-besarnya secara khusus
penulis sampaikan kepada Ketua Komisi Pembimbing : Prof. Dr. Ir. M A Chozin,
MAgr. Bimbingan yang intensif, cermat, terarah serta ketulusan hati beliau
sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Semoga Alloh SWT
memberikan kebahagiaan dan keberkahan kepada Bapak dan Keluarga.
Terimakasih dan penghormatan juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Hadi
Susilo Arifin, MS dan Dr. Edi Santosa, MSi selaku anggota komisi pembimbing,
beliau juga telah memberikan bimbingan yang intensif, motivasi, informasi dan
tak kenal lelah banyak menyediakan waktu untuk diskusi dalam rangka
penyelesaian disertasi ini.
Terimakasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto
dan Dr. Ir. Maya Melati, MSc atas masukan dan saran serta kesediaanya sebagai
dosen penguji pada ujian prakualifikasi. Kepada Tim Hibah Pascasarjana (HPTP)
DP2M DIKTI angkatan IV tahun 2006-2008 dengan tema “Harmonisasi
Pembangunan Pertanian Berbasis DAS pada Lanskap Desa-Kota Kawasan
Pak Ujang, Pak Ade, Mang Mamang, Pak Udin yang setia menemani saya di
lapangan selama penelitian, dan para petani di Galudra, Mangun Kerta dan
Selajambe yang dengan ramah menerima saya. Dan juga teman seperjuangan dan
sahabat saya Ibu Selvie Diana Anis yang sejak awal kuliah, penelitian sampai
penulisan disertasi menjadi sahabat diskusi. Mas Haris, Bu Eva dan Pak Dwi juga
saya ucapkan terima kasih.
Kepada kedua orang tua saya Ibu Sunarti (Alm) dan Bapak Martosaidi
dan mertua saya Bapak Ir. Tejo Mantrisutejo, MSc (Alm) dan Ibu Darmastuti,
terimakasih atas doa, kasih sayang, jasa dan pengorbanan kepada saya. Kepada
istriku Daru Purbaningtyas, ST, MT dan anak-anaku tercinta Bagus, Prasetyo,
Dimas dan Ajeng terimakasih atas kesabaran, doa, keiklasan, dorongan, cinta
kasih kalian. Kepada kakaku Ir. Sukaryanto, MS dan Suwarno dan keponakanku
Jati, Joko, Ayu dan Yayun terimaksih atas dorongan, doa dan kasih sayangnya.
Semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Amien. Terimakasih.
Bogor, Desember 2011
DAFTAR GAMBAR ... xvi
ANALISIS KARAKTERISTIK BIOFISIK DAN AGROKLIMAT SISTEM AGROFORESTRI DI DAS CIANJUR... 24
Abstrak... 24
ANALISIS POLA TANAM DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN PADA SISTEM AGROFORESTRI DI DAS CIANJUR ... 48
Abstrak... 48 KEBERLANJUTAN SISTEM AGROFORESTRI DI DAS CIANJUR ... 68 Abstrak... 68
PEMBAHASAN UMUM ... 87
SIMPULAN DAN SARAN ... 98
Simpulan ... 98
Saran... 99
DAFTAR PUSTAKA ... 100
negara ... 2 Pendapatan dan total pendapatan tahunan tanaman tahunan pada pertanaman vanili di Desa Padasari, dibandingkan dengan intercropping dengan cash crops di Desa Bugel dan pisang di Cijeunjing pada hutan jati di Sumedang Jawa
Barat... 17 3.1 Kelas kemiringan lereng wilayah DAS Cianjur beserta
luasannya ... 30 3.2 Data iklim DAS Cianjur tahun 2005 – 2007... 31 3.3 Pola penggunaan lahan dan luasan di lokasi penelitian ... 33 3.4 Luasan lahan dan struktur kepemilikannya di lokasi
penelitian ... 34 3.5 Keadaan tanaman sayuran tahun 2002 dan 2003 ... 35 3.6 Deskripsi wilayah penelitian di Daerah Aliran Sungai
Cianjur... 36 3.6 Spesies pohon dan tanaman semusim (berdasarkan fungsinya)
pada sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur ... 42 3.7 Pola kepemilikan lahan di tiga zona DAS Cianjur... 44 3.8 Rata-rata luas lahan garapan pada sistem agroforestri
masyarakat di DAS Cianjur ... 45 3.9 Status garapan dan sistem bagi hasil agroforestri di tiga zona
DAS Cianjur ... 45 3.10 Jumlah spesies fauna (serangga) pada sistem agroforestri di
DAS Cianjur ... 47 4.1 Karakteristik pola tanam pada sistem agroforestri di DAS
Cianjur ... 51 4.2 Keadaan iklim dan topografi di tiga zona DAS Cianjur ... 54 4.3 Jenis tanaman semusim dan pola tanam pada sistem
agroforestri masyarakat di DAS Cianjur ... 56 4.4 Rotasi tanaman pada sistem agroforestri di DAS Cianjur ... 57 4.5 Frekuensi petani melakukan pola tanam untuk berbagai jenis
tanaman pada sistem agroforestri masyarakat di DAS
Cianjur ... . 58 4.6 Pertimbangan petani dalam menentukan jenis tanaman yang
akan ditanam ... 59 5.1 Karakteristik sosial ekonomi masyarakat di DAS Cianjur ... 74 5.2 Rata-rata penggunaan pupuk dan kapur (ton/ha/tahun) pada
sistem agroforestri di DAS Cianjur... 83 5.3 Rata-rata penggunaan pestisida pada sistem agroforestri di
3.1 Peta lokasi penelitian sepanjang DAS Cianjur ... 26
3.2 Lokasi penelitian DAS Cianjur ... 28
3.3 Peta kelas lereng DAS Cia jur... 30
3.4 Peta curah hujan DAS Cianjur ... 31
3.5 Peta jenis tanah di DAS Cianjur... 33
3.6 Peta tutupan lahan DAS Cianjur... 34
3.7 Peta penggunaan lahan wilayah hulu ... 37
3.8 Peta penggunaan lahan wilayah tengah ... 38
3.9 Peta penggunaan lahan wilaya hilir... 39
4.1 Peta lokasi penelitian sepanjang DAS Cianjur ... 51
4.2 Contoh alley cropping di hulu ……… 57
4.3 Contoh alley cropping di tengah ... 57
4.4 Contoh alley cropping di hilir………. 57
4.5 Pertimbangan petani dalam memilih jenis tanaman pada sistem agroforestri di DAS Cianjur ……… 60
4.6 Kalender tanam sistem agroforestri di DAS Cianjur ... 62
4.7 Rata-rata produktivitas (ton/ha/musim tanam)beberapa tanaman semusim di tiga zona hulu ... 63 4.8 Rata-rata produktivitas (ton/ha/musim tanam)beberapa tanaman semusim di tiga zona tengah ... 64 4.9 Rata-rata produktivitas (ton/ha/musim tanam)beberapa tanaman semusim di tiga zona hilir ... 64 4.10 Rata-rata produktivitaas wortel di zona hulu dan tengah ... 65 4.11 Rata-rata produktivitaas cabe keriting di zona tengah dan
hilir ...
65
4.12 Rata-rata produktivitaas tomat di zona hulu, tengah dan hilir 66 5.1 Urutan analisis berkelanjutan sistem agroforestri. Skor
makin tinggi berarti makin berlanjut. Data dari non
agroforestri dijadikaan standar dengan skor 3 (sedang) ...
73
5.3 Dendrogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Agronomi (KA) sistem agroforestri di DAS Cianjur ...
77
5.4 Dendrogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Ekonomi (KE) sistem agroforestri di DAS Cianjur ...
79
5.5 Dendrogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Sosial Budaya (KSB) sistem agroforestri di DAS Cianjur ...
80
5.6 Dendrogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Ekologi (KEK) sistem agroforestri di DAS Cianjur ...
82
5.7 Dendrogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Agronomi (KA) sistem agroforestri di DAS Cianjur ...
Glossari
Adaptabilitas: Kemampuan menyesuaikan suatu sistem pertanian untuk
mengatasi kondisi yang berubah.
Agroekologi: Kajian menyeluruh mengenai agroekosistem, termasuk semua
unsur lingkungan dan manusia, hubungan unsur-unsur dan proses-proses yang
melibatkan semua unsur tersebut, misalnya simbiosis, persaingan, perubahan
secara berurutan.
Agroekosistem: Suatu sistem agroekologi yang dimodifikasi oleh manusia untuk
menghasilkan pangan, serat dan produk-produk lain yang bermanfaat bagi
manusia.
Agroforestri merupakan suatu sistem penggunaan lahan yang berorientasi sosial
dan ekologi dengan mengintegrasikan pepohonan dengan tanaman pertanian dan
atau ternak secara simultan atau berurutan untuk mendapatkan total produksi
tanaman dan hewan secara berkelanjutan dari suatu unit lahan dengan input
teknologi yang sederhana pada lahan-lahan marginal (Nair 1989).
Agroforestri juga didefinisikan sebagai suatu sistem manajemen lahan yang
berkelanjutan untuk meningkatkan variasi hasil lahan dengan mengkombinasikan
antara tanaman pertanian dengan pohon dan atau hewan secara simultan atau
berurutan dalam unit lahan yang sama dan dengan aplikasi pengelolaan yang
sesuai dengan budaya masyarakat setempat.
Agroforestri merupakan suatu istilah atau nama kolektif untuk sistem pengelolaan
lahan dengan teknologi yang sepadan, dimana pohon dengan sengaja diusahakan
dalam unit yang sama dengan tanaman pertanian dan atau ternak pada saat yang
sama atau berurutan. Dalam sistem agroforestri ini terintegrasi sekaligus aspek
ekologis dan aspek ekonomis.
Andosol/Andisols: Tanah yang terbentuk dari bahan volkanik muda (pasir dan
atau abu volkanik), terasa ringan dan licin jika dipirid, mengandung >60% debu,
pasir dan kerikil volkanik.
Bedengan: Gundukan tanah dengan panjang dan lebar tertentu yang dibuat untuk
pertanaman tanaman semusim.
Budidaya lorong (alley cropping): Sistem pertanaman dimana tanaman semusim
terhadap tanaman, tanah, air, dan input-input pertanian dengan tujuan untuk
menghasilkan suatu produk pertanian
Degradasi lahan: Proses penurunan produktivitas lahan, baik bersifat sementara
maupun tetap.
Ekologi: Ilmu pengetahuan tentang hubungan antara organisme dan lingkungan.
Ekosistem: Komunitas tanaman dan hewan (termasuk manusia) yang hidup di
suatu wilayah dan lingkungan fisik serta kimia mereka (misalnya udara, air, tanah)
termasuk interaksi antara mereka dengan lingkungan.
Erodibilitas tanah (kepekaan tanah terhadap erosi): Mudah tidaknya tanah
dihancurkan oleh kekuatan hujan dan atau oleh kekuatan aliran permukaan.
Erosi: Hilang atau terkikisnya tanah atau bagian-bagian tanah oleh media alami
(air atau angin) dari suatu tempat ke tempat lain.
Konservasi tanah: Cara penggunaan tanah yang sesuai dengan kemampuan tanah
tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar
tidak terjadi kerusakan. Usaha konservasi tanah adalah usaha yang ditujukan
untuk (1) mencegah kerusakan tanah oleh erosi, (2) memperbaiki tanah yang
rusak, dan (3) memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar dapat
digunakan secara lestari.
Nematisida: Jenis pestisida untuk pengendalian hama yang berupa ulat yang
banyak ditemukan pada lapisan atas tanah yang basah, yang biasanya bersifat
parasit terhadap tanaman dan hewan.
Parasit: Suatu organisme yang hidup dalam atau pada organisme lainnya (inang),
tempat organisme itu mendapatkan bahan makanan.
Pengetahuan indigenous: sekumpulan pengetahuan yang diciptakan oleh
sekelompok masyarakat dari generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras
dengan alam.
Pengetahuan lokal: pengetahuan kolektif suatu masyarakat yang hidup di suatu
wilayah dalam jangka waktu lama dan selaras dengan lingkungannya.
Penyuluhan: disini mengacu pada penyuluhan pertanian: kegiatan penyebaran
hasil-hasil penelitian dan saran-saran kepada petani tentang praktek-praktek
Pertanian berkelanjutan: Pengelolaan sumberdaya pertanian untuk memenuhi
perubahan kebutuhan manusia sambil mempertahankan atau meningkatkan
kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam.
Pestisida: Jenis substansi untuk menghancurkan atau mengendalikan hama,
termasuk insektisida, herbisida, fungisida, akarisida dan sebagainya.
Produktivitas: Hubungan antara jumlah barang atau jasa yang dihasilkan dan
faktor-faktor yang dipakai untuk memproduksinya; produktivitas pertanian dapat
diungkapkan sebagai output/keluaran per unit lahan, modal curahan tenaga kerja,
energi, air, unsur hara dan sebagainya.
Tanaman: tanaman semusim dan atau tahunan yang dibudidayakan untuk
memberikan hasil yang dikehendaki untuk konsumsi manusia atau untuk diproses,
misalnya gabah, sayuran (umbi-umbian, tandan atau daun yang dapat dimakan),
bunga, buah, serat dan bahan bakar.
Tanaman tahunan (perennial crops): Tanaman yang daur hidupnya lebih dari
satu tahun. Tanaman tahunan dapat dibagi menjadi tanaman tahunan tegakan tetap
dan tegakan temporer.
Tumpangsari: Menanam dua atau lebih tanaman pada saat yang sama atau pada
pertanian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan, peningkatan pendapatan
masyarakat pedesaan serta mengatasi urbanisasi. Di sisi lain juga dihadapkan
pada perbaikan lingkungan akibat adanya kerusakan hutan, banjir, penurunan
kesuburan tanah, polusi udara dan air akibat penggunaan pupuk maupun pestisida
yang berlebihan dalam produksi pertanian.
Pada awal millennium ini berdasarkan data BPS (2010), jumlah penduduk
Indonesia telah mencapai 235 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan 1.5%
pertahun pada tahun 2000-2010, pertumbuhan laju populasi melebihi laju
pertumbuhan produksi pertanian, yang diperkirakan 1.3% pertahun pada periode
tahun 1995-2010. Kondisi ini menyebabkan tujuan untuk dapat memenuhi
kebutuhan pangan sendiri tidak sebanding dengan laju pertumbuhan penduduk.
Impor beras, jagung, kedelai, gula dan beberapa komoditas lain semakin
meningkat. Dari sisi kelestarian lingkungan program intensifikasi pertanian yang
gencar digalakkan terutama untuk pengelolaan lahan sawah (padi) juga tidak
dapat memenuhi kebutuhan penduduk dan bahkan cenderung menurunkan
kualitas lingkungan terutama kesuburan tanah, sehingga produktivitas tanah
semakin menurun.
Pemerintah juga dihadapkan pada pencapaian ketahanan pangan yang
menurut Undang Undang Nomor: 7 Tahun 1996 tentang Pangan, yang mengartikan ketahanan pangan sebagai: “Kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”. Pengertian ini mencakup aspek makro, yaitu tersedianya pangan yang cukup, dan sekaligus aspek mikro yaitu
terpenuhinya kebutuhan pangan setiap rumah tangga untuk menjalani hidup yang
sehat dan aktif.
Pengertian tersebut, idealnya kemampuan dalam menyediakan pangan
impor pangan dilakukan hanya untuk memenuhi kekurangan, karena jika jumlah
yang diimpor lebih besar dibanding yang diproduksi oleh petani, selain akan
menguras devisa negara dalam jumlah banyak, ketahanan pangan di dalam
negeripun akan terganggu, karena ketersediaan pangan dunia sangat terbatas dan
harga jualnya selalu berfluktuasi (Apriantono 2008).
Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan rekayasa
eko-fisiologi melalui sistem pertanaman ganda seperti tumpang sari, tanaman sela
setahun, penanaman sela bersisipan, penanaman beruntun dan agroforestri.
Sistem ini selain meningkatkan produktivitas lahan juga diyakini dapat
mengendalikan cekaman biotik terutama hama dan penyakit tanaman, serta
mengurangi resiko gagal panen. Namun yang perlu diingat bahwa dalam
peningkatan produktivitas pertanian ini harus mempertimbangkan empat prinsip
yaitu prinsip keseimbangan ekologi agar produksi pertanian dapat lestari, prinsip
capaian optimum karena adanya keragaman lingkungan yang besar, prinsip
kehati-hatian untuk menghindari kerusakan lingkungan dan menurunnya
keragaman genetik serta prinsip kearifan lokal agar pengetahuan yang baik
(endogenus knowledge) yang telah ada dapat dipertahankan dan dikembangkan
(Chozin 2006). Selain itu juga diharapkan dapat melaksanakan ekstensifikasi
pertanian terutama pada lahan-lahan kering yang masih cukup luas dan memiliki
potensi yang besar.
Menurut Deptan (2002), terdapat 57.38 juta ha lahan potensial untuk
perluasan areal pertanian. Di luar Pulau Jawa saja terdapat sekitar 37 juta ha
(Sumatera 14.43 juta ha, Kalimantan 12.76 juta ha, Sulawesi 8.83 juta ha dan
Papua 2.01 juta ha). Lebih dari 40% areal ini berkemiringan 0-3% dan sisanya
berkemiringan 3-15%, dan sekitar 60% (21 juta ha) didominasi oleh jenis tanah
Podsolik Merah Kuning (PKM) atau Ultisol. Sebagian lahan ini telah dibuka
untuk pertanian dan pemukiman melalui program transmigrasi.
Departemen kehutanan juga melakukan revitalisasi sektor kehutanan
dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi secara
efektif mengelola kawasan hutan, khususnya kawasan hutan produksi yang tidak
masyarakat untuk ditanami, dipelihara dan diatur panennya pada masa mendatang,
berdasarkan kaidah-kaidah Pengelolaan Hutan Lestari (PHL), yang sistem
pengelolaannya disebut sebagai sistem agroforestri.
Salah satu tantangan pengembangan pertanian lahan kering adalah
rendahnya produktivitas tanaman. Rendahnya produktivitas tanaman disebabkan
oleh faktor fisik dan sosial ekonomi masyarakat. Masalah fisik antara lain
kesuburan tanah, kemiringan, ketinggian tempat, iklim dan ketersediaan air, sedangkan masalah sosial ekonomi adalah kebutuhan yang mendesak pada “cash” kurangnya jiwa wiraswasta, tingkat pengetahuan dan tingkat pendapatan yang
rendah (Hadipoernomo 1983; Kusmana 1988).
Menurut Irawan dan Pranadji (2002) masalah lain yang juga penting adalah: 1) biofisik lahan kering yang tidak sebaik lahan sawah, tingkat kesuburan
rendah dan sumber pengairan yang mengandalkan curah hujan yang distribusinya
terkadang tidak merata, 2) topografi yang tajam, sehingga laju aliran permukaan
(run off) dan erosi tanah cukup tinggi, 3) masih terbatasnya dukungan paket
teknologi, tingkat adopsi teknologi dan asosiasi paket teknologi pada proses
produksi, 4) lokasi pengembangan yang tersebar, terpencil dengan skala usaha
umumnya tidak mencapai titik minimum skala ekonomi, dan 5) dalam
pengembangan DAS, para pengambil keputusan masih belum mempertimbangkan
dampak negatif pada lingkungan, sehingga pembangunan pertanian yang
berkelanjutan sulit terwujud.
Selain itu Keeney (1990), menyatakan bahwa pengembangan usaha
pertanian di lahan kering umumnya berhubungan dengan kerusakan lingkungan
yang menyebabkan lahan-lahan menjadi tandus, ketersediaan air yang terbatas dan
erosi. Keadaan ini mendorong perlunya perencanaan dan evaluasi yang baik,
sehingga dapat meminimalkan kerusakan lingkungan dan membantu
meningkatkan produksi terutama pangan bagi masyarakat. Menurut Sinukaban
(2003), pembangunan dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) seyogyanya
dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi nasional,
pembangunan daerah atau wilayah serta meningkatkan kualitas lingkungan dan
dari tersedianya air yang cukup sepanjang waktu baik secara kuantitas maupun
kualitas. Selain itu, dalam memperlakukan DAS sebagai suatu sistem
keberkelanjutan, dalam pengembangannya perlu memenuhi persyaratan sebagai
berikut: 1) dapat memberikan produktivitas lahan yang tinggi, 2) dapat menjamin
kelestarian DAS, 3) menjamin pemerataan pendapatan petani (equity), dan 4)
mampu mempertahankan kelenturan DAS terhadap goncangan yang terjadi
(resilient).
Salah satu alternatif pengembangan pertanian yang berkelanjutan di DAS
adalah pengembangan agroforestri. Agroforestri diartikan secara luas sebagai
suatu sistem usaha tani atau penggunaan lahan yang mengintegrasikan secara
spatial dan temporal tanaman pohon dan tanaman semusim pada sebidang lahan.
Agroforestri merupakan bentuk penggunaan lahan yang dapat mempertahankan
dan meningkatkan produktivitas lahan secara keseluruhan yang merupakan
kegiatan campuran antara kegiatan kehutanan dan pertanian baik secara
bersama-sama atau secara bergilir yang disesuaikan dengan pola budidaya masyarakat
setempat (King dan Chandler 1978); Wijayanto (2002). Pengelolaan lahan kering,
khususnya di DAS dengan sistem agroforestri sangat diperlukan sebagai
sumberdaya pembangunan yang memiliki potensi strategis antara lain : 1) lahan
kering merupakan luasan terbesar dari wilayah budidaya, 2) lahan kering dapat
memasok sebagian besar komoditas andalan, 3) lahan kering mempunyai
keragaman komoditas untuk pengembangan agroindustri (Widaningsih 1991;
Suhara 1991; Badrun 1998).
Secara umum, banyak kendala dalam pengembangan agroforestri. Salah
satunya adalah rendahnya produktivitas tanaman. Rendahnya produktivitas ini
antara lain disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dalam pemilihan jenis
tanaman dan pengaturan pola tanam. Menurut Beets (1982), dalam pola tanam
campuran (mixed cropping) seperti halnya pada sistem agroforestri, akan terjadi
kompetisi baik antar tanaman maupun dengan pohon terutama kompetisi dalam
penyerapan unsur hara sehingga sering berdampak negatif terhadap produktivitas
tanaman. Untuk itu dalam pemilihan jenis tanaman dan pengaturan pola tanam
peluang yang ada, adanya pelibatan petani dalam perancangan dan pengkajian
pola tanam dalam rangka memperlancar proses adopsi teknologi. Sedangkan
dalam penentuan jenis tanaman (cash crops) yang akan dikembangkan, menurut
Thakur et al. (2005), petani sebaiknya memilih tanaman semusim yang memiliki
nilai ekonomi tinggi, baik berupa tanaman pangan, obat, bumbu dan bahkan pakan
ternak. Selain itu, rendahnya produktivitas juga dapat disebabkan oleh cekaman
intensitas radiasi surya akibat penutupan tajuk (naungan). Beberapa studi tentang
ekofisiologi tanaman di bawah naungan telah dilakukan pada padi gogo (Chozin
et al. 2000), kedelai (Sopandie et al. 2004), talas (Djukri 2003) dan lada (Wahid
1984). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa dampak dari cekaman intensitas
cahaya adalah terganggunya laju fotosintesis yang menyebabkan menurunnya
proses metabolisme tanaman.
Menurut Kusmana (1998) dan Kartasubrata (1992), bahwa penekanan
pengembangan agroforestri di DAS diarahkan agar mempunyai pengaruh ganda
terhadap keberlanjutan lingkungan, perbaikan lahan kritis dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana yang terjadi di DAS Cianjur jenis
tanaman yang diusahakan petani beragam dan pola tanam yang dikembangkan
belum optimal, sehingga diperlukan bentuk pengembangan yang mengarah pada
peningkatkan produktivitas tanaman. Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk
membangun agroforestri yang baik, produktivitas tinggi serta layak secara
sosial-ekonomi dan ekologi yang lestari.
Perumusan Masalah
Pengelolaan lahan yang kurang tepat di suatu DAS dapat menimbulkan
kerusakan ekosistem. Kerusakan ekosistem ini menyebabkan menurunnya kualitas
air, bahan organik tanah, erosi, sedimentasi, dan akhirnya terjadi degradasi lahan
yang merugikan secara ekologi.
Degradasi lahan dapat menurunkan produktivitas lahan, oleh karena itu
diperlukan kajian pemanfaatan lahan secara terintegrasi dengan memperhatikan
aspek sumberdaya manusia, teknologi, sumberdaya tanah dan air serta sosial
DAS adalah sistem agroforestri. Sistem ini dianggap memiliki keunggulan,
karena mengintegrasikan teknologi budidaya tanaman semusim dan pohon, yang
diharapkan mampu meningkatkan produktivitas lahan, tingkat sosial ekonomi
masyarakat serta meningkatkan kualitas lingkungan.
Sistem agroforestri banyak dikembangkan termasuk di DAS Cianjur, baik
dalam bentuk agroforestri sederhana maupun kompleks. Sistem agroforestri yang
dikembangkan di kawasan ini bersifat lokal dan produktivitasnya rendah,
sehingga perlu perbaikan dan optimalisasi dengan pengaturan pola tanam serta
pemilihan jenis tanaman terutama tanaman semusim. Pengaturan pola tanam dan
pemilihan jenis tanaman semusim merupakan kunci keberhasilan sistem
agroforestri. Hal ini disebabkan pola tanam dan pemilihan jenis tanaman yang
tepat dapat mengurangi kompetisi baik kompetisi antar tanaman maupun antara
pohon dengan tanaman semusim.
Salah satu bentuk pola tanam yang banyak diterapkan masyarakat adalah
pola tanam lorong (alley cropping). Pola tanam lorong (alley cropping)
dilaksanakan dengan memanfaatkan lahan-lahan kosong (lorong) di antara barisan
pohon, sehingga dianggap sebagai bentuk intensifikasi pemanfaatan lahan.
Menurut Workman (2007), alley cropping dapat meningkatkan intensivitas
pemanfaatan lahan, meningkatkan keragaman hasil/pendapatan, keragaman waktu
panen, mengurangi erosi serta memperbaiki siklus hara dalam tanah. Sedangkan
menurut Suryanto et al. (2005) alley cropping juga mempunyai karakteristik yang
dinamis dan dapat memadukan dua tujuan pengelolaan secara bersamaan yaitu
produksi dan konservasi, dan pola tersebut cocok untuk daerah-daerah lereng/
miring.
Serangkaian penelitian akan dilakukan untuk mengkaji karakteristik
agroekologi sistem agroforestri dengan penekanan pada pengaturan pola tanam,
pemilihan jenis tanaman, aspek sosial ekonomi dan kelestarian lingkungan di
wilayah tersebut. Penelitian akan dilakukan di tiga zona DAS Cianjur (hulu,
tengah dan hilir) dengan memperhatikan karakteristik wilayah masing-masing.
Keluaran dari penelitian ini adalah menghasilkan bentuk pola tanam dan jenis
setempat menuju pengelolaan sistem agroforestri yang produktif, layak secara
sosial, ekonomi dan ekologis, serta dapat menggambarkan bentuk pengelolaan
lanskap agroforestri di DAS Cianjur. Penelitian ini sangat strategis karena
menyangkut keberlanjutan sistem pengelolaan lahan di DAS secara terintegrasi.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis karakteristik agroekologi
sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur yang dikhususkan dengan beberapa
tujuan, yaitu:
1. Menganalisis karakter biofisik dan agroklimat sistem agroforestri di DAS
Cianjur.
2. Menganalisis karakteristik pola tanam dan produktivitas tanaman semusim
pada sistem agroforestri di DAS Cianjur.
3. Menganalisis karakteristik sosial ekonomi masyarakat pada sistem agroforestri
di DAS Cianjur
4. Menganalisis prospek dan tingkat keberlanjutan sistem agroforestri di DAS
Cianjur.
Hipotesis
1. Terdapat perbedaan karakteristik biofisik dan agroklimat pada setiap zona
DAS yang berpengaruh terhadap karakteristik sistem agroforestri baik jumlah
spesies baik tegakan maupun tanaman semusim, penyebaran serta tujuan
pemanfaatannya.
2. Terdapat perbedaan pola tanam dan produktivitas sistem agroforestri di tiga
zona DAS Cianjur, yang diduga disebabkan oleh perbedaan intensifikasi
lahan, tujuan penanaman tanaman semusim oleh petani, kebiasaan/
pengalaman serta kesesuaian pemilihan jenis tanaman dengan faktor
agroklimat.
3. Terdapat perbedaan karakteristik sosial ekonomi masyarakat yang
berpengaruh terhadap sistem agroforestri, pola tanam dan produktivitas
4. Sistem agroforestri di DAS Cianjur berlanjut (sustainable), terutama dilihat
dari produksi yang konstan setiap tahun, peningkatan sosial ekonomi dengan
meningkatnya pendapatan petani, dan sistem agroforestri telah berlangsung
lama dan menjadi budaya masyarakat di DAS Cianjur dalam pengelolaan
lahan kering.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
1. Sebagai pedoman dalam penerapan sistem agroforestri dengan berbagai
kombinasi tanaman semusim dan tahunan pada beberapa karakter wilayah
DAS Cianjur.
2. Sebagai pedoman untuk penentuan jenis tanaman dan pola tanam sistem
agroforestri dengan memperhatikan pemanfaatan lahan, status hara tanaman,
analisis usaha tani dan konservasi lahan pada beberapa karakteristik wilayah
DAS Cianjur.
3. Menghasilkan sistem pengelolaan yang tepat dengan memperhatikan aspek
pemanfaatan lahan, produktivitas, sosial ekonomi dan lingkungan.
4. Menjadi model/contoh dalam perencanaan usaha tani agroforestri yang
optimal pada beberapa wilayah yang memiliki karakteristik yang sama atau
Daerah Aliran Sungai
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu hamparan wilayah yang
dibatasi oleh pembatas topografi yang menerima, mengumpulkan air hujan,
sedimen, unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai (sub-DAS)
dan keluar melalui satu titik (outlet). DAS merupakan suatu ekosistem yang terdiri
dari berbagai komponen dan unsur, yang mana unsur utamanya adalah vegetasi,
tanah, air dan manusia dengan segala apa yang dilakukan di daerah tersebut.
Komponen vegetasi, tanah dan air membentuk subsistem biofisik, sedangkan
komponen manusia dengan perilakunya membentuk subsistem sosial, kedua
subsistem ini berinteraksi dalam bentuk ekosistem DAS (Syarief 1997; Arsyad
2000; Sinukaban 2003).
Pengelolaan DAS pada dasarnya adalah usaha-usaha penggunaan
sumberdaya alam di suatu DAS secara rasional untuk mencapai tujuan produksi
yang maksimum dalam waktu yang tidak terbatas (lestari), disertai usaha menekan
kerusakan seminimal mungkin sehingga distribusi aliran sungai, pengembangan
sosial-ekonomi dan pengaturan tata ruang wilayah dapat berjalan sepanjang tahun.
Pengelolaan DAS juga ditujukan untuk produksi dan perlindungan sumberdaya air
termasuk di dalamnya pengendalian erosi dan banjir (Sinukaban 2003).
Terdapat tiga unsur pokok dalam pengelolaan DAS yaitu lahan, air dan
pengelolaan. Lahan meliputi semua komponen dari suatu unit geografis dan
atmosfer tertentu seperti tanah, air, batuan, vegetasi, kehidupan mahluk hidup
serta perkembangannya. Untuk itu pengelolaan DAS dapat diartikan sebagai
pengelolaan lahan untuk produksi air dengan kuantitas optimum, pengaturan
produk air dan stabilitas tanah yang maksimum (Arsyad 2000).
Salah satu faktor yang mempengaruhi pengelolaan DAS adalah faktor
iklim terutama hujan. Intensitas, jumlah dan penyebarannya menentukan
dalam satu periode kemungkinan tidak akan menyebabkan aliran permukaan jika
intensitasnya rendah dan perkolasinya tinggi. Demikian pula jika hujan
intensitasnya tinggi tetapi dalam waktu atau periode singkat, kemungkinan tidak
akan menyebabkan banjir atau erosi tanah (Haryati et al. 1993; Arsyad 2000).
Adapun tujuan yang lebih besar dari setiap kegiatan pembangunan dalam
suatu DAS seharusnya sama, yaitu untuk memberikan kontribusi pada
pembangunan ekonomi nasional, pembangunan daerah atau wilayah dan usaha
memperbaiki dan meningkatkan kualitas lingkungan (Sinukaban 2003). Hal ini
dapat diukur dari kondisi tata air tersebut yaitu tersedianya air yang cukup
sepanjang waktu baik kuantitas maupun kualitas. Untuk menciptakan tata air
tersebut, diperlukan suatu tata kelola air yang diperoleh dari air hujan maupun dari
sumber-sumber air yang terjadi karena interaksi antara vegetasi permanen yang
terdapat dalam kawasan tersebut, terutama oleh pohon-pohon yang rimbun
(Sukmana et al. 1990).
Pemanfaatan Lahan Kering di DAS
Lahan kering adalah lahan yang dalam keadaan alamiah, bagian atas dan
bawah tubuh tanah tidak jenuh air atau tidak tergenang dan sepanjang tahun di
bawah kapasitas lapang. Kekeringan tanah tersebut dipengaruhi oleh kondisi
cuaca, fisiografis dan faktor edafis. Diperkirakan dari hampir 200 juta hektar luas
daratan di Indonesia, sekitar 124 juta hektar berupa lahan kering (Satari et al.
1991; Kartono 1998). Kondisi fisik lahan kering umumnya lahan tadah hujan
berciri khas agroekologi lahan yang sangat beragam karena ketersediaan air,
tingkat erosi, tingkat adopsi teknologi yang masih rendah dan ketersediaan yang
sangat terbatas serta peka terhadap erosi. Penggunaan airnya sampai saat ini
masih mengandalkan air yang bersumber dari curah hujan.
Menurut Prasad dan Power (1997), lahan kering di Indonesia menurut
sifatnya merupakan areal yang dibatasi oleh kendala-kendala berupa: topografi
yang tajam dengan penutupan vegetasi jarang sehingga laju infiltrasi dan erosi
tanah cukup tinggi, hujan yang tidak merata dan kemampuan tanah untuk
lahan kering antara kemiringan 0-15%. Secara ideal lahan kering untuk budidaya
tanaman pangan terbatas pada daerah yang relatif datar hingga berombak
(kemiringan < 8%). Sedangkan pada kemiringan lebih dari 8% perlu
persyaratan-persyaratan penanggulangan erosi jika akan digunakan sebagai areal budidaya
(Kusmana 1998; Sitorus 2001).
Pengelolaan lahan kering harus bertujuan untuk memantapkan dan
melestarikan produktivitas serta mempertahankan keragaman alami masyarakat
biotik dalam batas-batas daya dukung lingkungan, konservasi tanah dan air serta
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bentuk pola tanam yang banyak
diusahakan adalah sistem agroforestri dengan pola lorong (alley cropping), pohon
pembatas (trees along border), pola campuran (mixed cropping) atau pola baris
(alternate rows). Pola ini terlihat lebih dinamis terutama dalam berbagi
sumberdaya (resources sharing) baik antar pohon dengan tanaman semusim
maupun antar tanaman semusim, terutama dalam penangkapan cahaya matahari
(Suryanto et al. 2005).
Menurut Irawan dan Pranadji (2002), bahwa pengelolaan lahan kering juga
memiliki keragaman agroekologi yang lebih tinggi dibandingkan lahan sawah.
Keragaman tersebut mengakibatkan pelibatan jumlah rumah tangga tani pengguna
lahan kering jauh lebih besar daripada sawah. Pada tahun 1993 tercatat sekitar 17
juta rumah tangga tani menggunakan lahan kering untuk menjalankan usaha
pertaniannya, sedangkan pada lahan sawah hanya sekitar 10 juta rumah tangga
tani. Hal ini menunjukkan bahwa lahan kering mampu menyediakan lapangan
usaha pertanian yang lebih tinggi dibandingkan lahan sawah. Dari 19.7 juta
(1993) rumah tangga tani pengguna lahan pertanian, sekitar 87% menggunakan
lahan kering sedangkan yang menggunakan lahan sawah hanya 49%.
Untuk wilayah DAS Cianjur pemanfaatan lahan kering umumnya dengan
sistem agroforestri. Sistem agroforestri di daerah ini berupa pekarangan (home
gardens), kebun campuran (mixed gardens) dan kebun hutan (forest gardens).
Sistem agroforestri ini berlangsung sudah cukup lama dalam bentuk tumpang sari
dan kebun campuran yang memiliki beberapa keuntungan yaitu pemanfaatan
keragaman komponen ekosistem (biodeversity). Dengan karakteristik sistem
semacam ini maka sistem agroforestri dapat meningkatkan produktivitas,
stabilitas, kelestarian lahan dan pendapatan petani. Adapun tanaman-tanaman
dalam sistem agroforestri ini berupa tanaman buah, sayuran, bumbu,
semak/rumput, tanaman penghasil biji-bijian, industri, kayu bakar, bahan
bangunan dan tanaman hias (Arifin et al. 2002).
Agroforestri
Agroforestri merupakan suatu sistem penggunaan lahan yang berorientasi
sosial dan ekologi dengan mengintegrasikan pepohonan dengan tanaman
pertanian dan atau ternak secara simultan atau berurutan untuk mendapatkan total
produksi tanaman dan hewan secara berkelanjutan dari suatu unit lahan dengan
input teknologi yang sederhana pada lahan-lahan marginal (Nair 1989).
Agroforestri juga didefinisikan sebagai suatu sistem manajemen lahan
yang berkelanjutan untuk meningkatkan variasi hasil lahan dengan
mengkombinasikan antara tanaman pertanian dengan pohon dan atau hewan
secara simultan atau berurutan dalam unit lahan yang sama dan dengan aplikasi
pengelolaan yang sesuai dengan budaya masyarakat setempat. Definisi ini
dipertegas kembali bahwa agroforestri merupakan suatu istilah atau nama kolektif
untuk sistem pengelolaan lahan dengan teknologi yang sepadan, dimana pohon
dengan sengaja diusahakan dalam unit yang sama dengan tanaman pertanian dan
atau ternak pada saat yang sama atau berurutan. Dalam sistem agroforestri ini
terintegrasi sekaligus aspek ekologis dan aspek ekonomis.
King dan Chandler (1978) dan Wijayanto (2002), juga memberikan
definisi yang hampir sama, bahwa agroforestri secara luas merupakan suatu sistem
usaha tani atau penggunaan lahan yang mengintegrasikan secara spatial, temporal
tanaman pohon dan tanaman semusim pada sebidang lahan yang sama.
Agroforestri juga merupakan bentuk penggunaan lahan yang dapat
mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan secara keseluruhan yang
merupakan kegiatan campuran antara kegiatan kehutanan dan pertanian baik
praktis yang disesuaikan dengan pola budaya masyarakat setempat. Sistem
agroforestri ini mencakup bentuk atau cara pemanfaatan lahan seperti yang umum
dilakukan oleh masyarakat Indonesia seperti kebun talun, pekarangan dan kebun
campuran.
Pengembangan agroforestri juga merupakan salah satu jawaban dalam
mengatasi masalah degradasi lahan dan penurunan produktivitas. Menurut Cruz
dan Vegera (1987), penerapan agroforestri dapat bermanfaat pada aspek
perlindungan yaitu menekan erosi, tanah longsor, run off dan kehilangan hara;
aspek rehabilitasi yaitu status hara, bahan organik, pH tanah, dan pada periode
jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas tanaman, sosial ekonomi, gizi
dan kesehatan. Sedangkan Lai (1995) menyatakan bahwa agroforestri telah
menjadi suatu yang penting dalam usaha pengembangan pedesaan sebagai strategi
mengurangi kemiskinan di desa dan memperbaki kondisi lingkungan.
Salah satu bentuk pola tanam yang banyak digunakan pada sistem
agroforestri khususnya di daerah dataran tinggi adalah pola lorong (Alley
cropping). Alley cropping merupakan pola agroforestri yang menyisipkan
tanaman semusim di antara tanaman pohon. Penanaman ini bertujuan untuk
merubah dan meningkatkan keragaman tanaman, mengurangi erosi air dan angin,
memperbaiki pertumbuhan tanaman, meningkatkan pemanfaatan unsur hara
(nutrient) dan menambah stabilitas ekonomi dalam sistem pertanian. Selain itu
alley cropping juga dirancang untuk memadukan dua tujuan secara bersamaan
yaitu tujuan produksi dan konservasi. Karakter pola lorong ini adalah jarak baris
pohon antar lorong dan pola ini baik digunakan pada lahan yang miring.
Agroforestri juga dapat meningkatkan produktivitas lahan. Peningkatan
produktivitas sistem agroforestri dapat dilakukan melalui peningkatan dan/atau
diversifikasi hasil dari komponen yang bermanfaat, dan menurunkan jumlah
masukan atau biaya produksi. Contoh upaya penurunan masukan dan biaya
produksi yang dapat diterapkan dalam sistem agroforestri yaitu penggunaan pupuk
nitrogen dapat dikurangi dengan pemberian pupuk hijau dari tanaman pengikat
nitrogen pada sistem agroforestri berbasis pohon ternyata memerlukan jumlah
dibandingkan sistem perkebunan monokultur. Diversifikasi ini bisa dilakukan
pada sistem pertanian dataran tinggi dengan sistem agroforestri yang sesuai
dengan daerah tersebut. Misalnya seperti yang dilaksanakan di India yang 65%
berupa lahan kering, miring dan merupakan lahan tadah hujan, sistem
pertaniannya dirubah dari sistem tradisional yang semula mengandalkan tanaman
pangan, kayu dan rumput menjadi tanaman kayu dengan tanaman-tanaman
semusim yang memiliki nilai ekonomis tinggi (High Value Cash Crop / HVCC),
yang dapat memberikan keuntungan yang lebih besar bagi petani (Shrotriya et al.
2002).
Pemilihan jenis tanaman sangat menentukan produktivitas tanaman pada
sistem agroforestri. Dalam menentukan jenis tanaman yang akan ditanam pada
sebidang lahan haruslah diketahui sifat-sifat jenis tanaman dalam hubungannya
dengan faktor iklim, tanah dan kecepatan tumbuhnya (Arsyad 2000 dan Sitorus
2001). Adapun menurut Nair (1989), sifat tanaman yang digunakan dalam pola
agroforestri harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Tanaman semusim yang digunakan harus tidak lebih tinggi dari tanaman
pokok serta dalam pengambilan zat hara tidak pada tempat yang sama di
dalam horizon tanah.
2) Tanaman semusim yang digunakan tahan terhadap hama penyakit dibanding
dengan tanaman pohon
3) Dalam penanaman, pemeliharaan dan pemanenan tanaman semusim tidak
merusak tanaman pohon.
4) Tanaman semusim yang diusahakan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi.
5) Tidak menimbulkan erosi serta merusak struktur tanah setelah tanaman
semusim dipanen.
Menurut Kusmana (1998), bahwa sistem agroforestri memberikan
optimalisasi dalam penggunaan lahan dan penerapan sistem ini memberikan
manfaat sebagai berikut:
1) Di dalam sistem agroforestri didapat tanaman yang heterogen dan tidak
seumur yang terdiri dari dua strata atau lebih. Bentuk pola tanam seperti itu,
produktivitas tanah dapat dipertahankan serta pemanfaatan energi surya oleh
tanaman dapat maksimal.
2) Pada sistem agroforestri akan didapat bentuk hutan serba guna atau usaha tani
terpadu di luar kawasan hutan yang dapat memenuhi kebutuhan majemuk
seperti hijauan makanan ternak, kayu dan lingkungan sehat. Dengan demikian
sistem ini dapat meningkatkan produktivitas lahan.
Di beberapa negara sistem agroforestri secara umum lebih menguntungkan
dari pada monokultur (Tabel 1). Keuntungan ini didapat dari keragaman hasil dari
pola yang dikembangkan pada masing-masing negara.
Tabel 1. Keuntungan dari sistem agroforestri di beberapa negara
Negara Sistem Agroforestri NPV dalam US$/Ha Penghasilan dibandingkan non
Nepal Tanaman kayu Rata-rata penerimaan/tahun US$ 1 582 atau US$ 2 796
Vietnam Tephosia condida sebagai tanaman pagar dengan
US$ 853 setelah 30 tahun Diasumsikan memiliki peluang 0.
Sumber : Swallow B dan S Ochola (2006)
Begitu juga di Indonesia, total pendapatan tahunan dari sistem agroforestri juga
lebih tinggi dibandingkan dengan monokultur seperti di laporkan Santosa (2005)
Tabel 2. Pendapatan dan total pendapatan tahunan pada pertanaman vanili di Desa Padasari, dibandingkan intercropping dengan cash crops di Desa Bugel dan pisang di Cijeunjing pada hutan jati di Sumedang Jawa Barat (Santosa 2005).
Lokasi Kontribusi terhadap pendapatan (%) Total
pendapatan
= Pendapatan dari gaji/upah, dari dagang dll.
Agroforestri dikenal dengan istilah wanatani yang arti sederhananya
adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Menurut De Foresta dan Michon
(1997), agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu sistem agroforestri
sederhanadan sistem agroforestri kompleks. Sistem agroforestri sederhana adalah
suatu sistem pertanian dimana pepohonan ditanam secara tumpangsari dengan
satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar
mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau
dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk
lorong/pagar. Jenis-jenis pohon yang ditanam juga sangat beragam, bisa yang
bernilai ekonomi tinggi misalnya kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao, nangka,
melinjo, petai, jati dan mahoni atau yang bernilai ekonomi rendah seperti dadap,
lamtoro dan kaliandra. Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman
pangan yaitu padi (gogo), jagung, kedelai, kacang-kacangan, ubi kayu,
sayur-mayur dan rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya.
Sistem agroforestri sederhana yang paling banyak diterapkan di Jawa
adalah tumpangsari. Sistem ini juga dikenal dengan “taungya” dan sistem ini
terutama dikembangkan di areal hutan jati di Jawa dalam rangka program
perhutanan sosial dari Perum Perhutani. Pada lahan tersebut petani diijinkan untuk
menanam tanaman semusim di antara pohon-pohon jati muda. Hasil tanaman
semusim dipanen oleh petani, namun petani tidak diperbolehkan menebang atau
Sistem ini berakhir ketika pohon jati telah dewasa dan tajuk telah menutup
sempurna.
Bentuk agroforestri sederhana ini juga bisa dijumpai pada sistem
pertanian tradisional. Pada daerah yang kurang padat penduduknya, bentuk ini
timbul sebagai salah satu upaya petani dalam mengintensifkan penggunaan lahan
karena adanya kendala alam, misalnya pada tanah-tanah rawa. Sebagai contoh,
kelapa ditanam secara tumpangsari dengan padi sawah di tanah rawa di Sumatra.
Perpaduan pohon dengan tanaman semusim ini juga banyak ditemui di daerah
berpenduduk padat, seperti pohon-pohon randu yang ditanam pada
pematang-pematang sawah di daerah Pandaan (Pasuruan, Jawa Timur), kelapa atau siwalan
dengan tembakau di Sumenep Madura. Contoh lain, tanah-tanah yang dangkal dan
berbatu seperti di Malang Selatan ditanami jagung dan ubikayu di antara gamal
atau kelorwono (Gliricidiasepium).
Sistem agroforestri kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang
melibatkan banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon) baik sengaja ditanam
maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani serta
mengikuti pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Di dalam sistem ini,
selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat
(liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak. Penciri utama
dari sistem agroforestri kompleks ini adalah kenampakan fisik dan dinamika di
dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun
hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai Agroforest.
Berdasarkan jaraknya terhadap tempat tinggal, sistem agroforestri kompleks ini
dibedakan menjadi dua, yaitu kebun atau pekarangan berbasis pohon (home
garden) yang letaknya di sekitar tempat tinggal dan “agroforest”, yang biasanya
Kebaikan dan kelemahan sistem agroforestri
Kebaikan sistem agroforestri dapat dilihat dari keuntungan secara ekologis
atau lingkungan, secara ekonomis dan keuntungan sosial. Keuntungan secara
ekologis dapat berupa: a) pengurangan tekanan terhadap hutan, terutama hutan
lindung dan suaka alam, b) lebih efisien dalam siklus hara, terutama pemindahan
hara dari solum tanah yang lebih dalam ke lapisan permukaan oleh sistem
perakaran pohon yang dalam, c) penurunan dan pengendalian aliran permukaan,
pencucian hara dan erosi tanah, d) pemeliharaan iklim mikro seperti terkendalinya
temperatur lapisan tanah atas, pengurangan evavorasi dan terpeliharanya
kelembaban tanah oleh pengaruh tajuk dan mulsa sisa tanaman, e) adanya
perbaikan aktivitas mikroorganisme tanah, f) penambahan hara tanah melalui
dekomposisi bahan organik sisa tanaman dan atau hewan dan g) terpeliharanya
struktur tanah akibat siklus yang konstan dari bahan organik sisa tanaman dan
hewan.
Secara ekonomis, sistem agroforestri sangat menguntungkan terutama
dalam hal: a) lebih bervariasinya produk yang diperoleh yaitu berupa pangan,
papan, serat, kayu, bahan bakar, pupuk hijau dan atau pupuk kandang, b)
memperkecil resiko kegagalan panen karena gagal atau menurunnya panen dari
salah satu komponen, masih dapat ditutupi oleh hasil dari komponen lain, c)
meningkatkan pendapatan petani karena input yang diberikan akan menghasilkan
output yang berkelanjutan.
Sedangkan secara sosial sistem agroforestri memiliki keuntungan yaitu: a)
terpeliharanya standar kehidupan masyarakat pedesaan dengan keberlanjutan
pekerjaan dan pendapatan, b) terpeliharanya sumber pangan dan tingkat kesehatan
masyarakat karena peningkatan kualitas dan keragaman produk agroforestri, dan
c) terjaminnya stabilitas komunitas petani dan pertanian lahan kering, sehingga
dapat mengurangi dampak negatif urbanisasi (Lai 1995).
Adapun kelemahan-kelemahan sistem agroforestri secara ekologis adalah:
a) kemungkinan terjadinya persaingan mendapatkan sinar matahari, air tanah dan
pada saat pemanenan pohon, c) tanaman pohon berpotensi menjadi inang bagi
hama dan penyakit tanaman, d) relatif lamanya regenerasi pohon menyebabkan
penyempitan lahan untuk tanaman pertanian sejalan dengan semakin besarnya
tanaman pohon.
Kelemahan dari segi sosial ekonomi antara lain: a) terbatasnya tenaga
kerja yang yang berminat di bidang pertanian, khususnya dalam membangun
sistem agroforestri, b) terjadinya persaingan antara pohon dan tanaman semusim
yang dapat menurunkan hasil, c) waktu yang cukup panjang untuk menunggu
panen pohon dapat mengurangi keuntungan sistem agroforestri, d) sistem
agroforestri diakui lebih kompleks sehingga lebih sulit diterapkan, apalagi dengan
pengetahuan petani yang terbatas dibandingkan dengan sistem pertanian
monokultur dan e) keengganan sebagian besar petani untuk menggantikan
tanaman pertanian/pangan dengan pohon dan atau sebaliknya yang lebih bernilai
ekonomis.
Dengan tingkat pengetahuan yang memadai, sebenarnya
kelemahan-kelemahan ini dapat dikendalikan sebagian dan atau seluruhnya dengan jalan: a)
penggunaan pohon kacang-kacangan atau tanaman berbuah polong yang relatif
sedikit menghambat sinar matahari, sehingga kebutuhan cahaya untuk tanaman
dapat terpenuhi, b) memilih pohon yang memiliki perakaran yang dalam, untuk
mengurangi persaingan penyerapan hara dan air dengan tanaman pertanian di
sekitar permukaan atau tanah lapisan atas, dan c) jarak tanam pohon yang lebih
lebar, sehingga mengurangi persaingan cahaya matahari, hara dan air tanah
dengan tanaman pertanian.
Agroekologi
Agroekologi merupakan studi agroekosistem yang holistik, termasuk
semua elemen lingkungan dan manusia, dengan penekanan pada bentuk, dinamika
dan fungsi hubungan timbal balik antar unsur-unsur tersebut serta proses dimana
mereka terlibat. Adapun yang tampak secara implisit dalam pekerjaan
agroekologi adalah gagasan bahwa dengan memahami hubungan-hubungan dan
produksi dan berproduksi secara lebih berkelanjutan dengan dampak negatif yang
lebih sedikit terhadap lingkungan dan masyarakat serta input dari luar yang lebih
rendah (Reijntjes 2004).
Agroekologi juga mengarah pada pendekatan yang menekankan terjadinya
keseimbangan dalam sistem pertanian atau biasa disebut keseimbangan
agroekosistem. Agroekosistem menekankan pada analisis yang mengadopsi
konsep sistem dengan tujuan mengidentifikasi berbagai faktor yang
mempengaruhi keragaman sistem usahatani sehingga antara satu tempat dengan
tempat yang lain terjadi perbedaan terhadap: produktivitas (productivity),
stabilitas produksi (stability), keberlanjutan produksi (sustainability) dan
pemerataan distribusi produksi atau pendapatan (equilibilty) (Bey dan Las 1991).
Sedangkan menurut Keeney (1990), pemahaman tentang konsep agroekosistem
ini diharapkan mampu menciptakan suatu sistem budidaya yang berkelanjutan
(sustainable agriculture) dan perbaikan lingkungan, termasuk perlindungan dan
perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan tersebut.
Agroekosistem juga merupakan kesatuan komunitas tumbuhan dan hewan
serta lingkungan kimia dan fisiknya yang telah dimodifikasi oleh manusia untuk
menghasilkan makanan, bahan bakar dan produk lainnya bagi konsumsi manusia.
Sedangkan dalam budidaya tanaman modifikasi ini diharapkan dapat menciptakan
dan mempertahankan kondisi-konsisi tanah sebagai berikut:
1) Ketersediaan air, udara dan unsur hara tepat waktu dalam jumlah seimbang
dan mencukupi.
2) Struktur tanah yang gembur yang dapat meningkatkan pertumbuhan akar,
pertukaran unsur-unsur gas, ketersediaan air dan kapasitas penyimpanan.
3) Suhu tanah yang dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah dan
pertumbuhan tanaman.
4) Tidak ada unsur-unsur toksik (racun) yang menghambat pertumbuhan
tanaman.
Pada agroekosistem terdapat konsep zona agroekologi (agroecological
zones). Konsep ini merupakan pendekatan membagi wilayah ke dalam zona-zona