• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manfaat keanggotaan indonesia dalam indian ocean tuna commission (IOTC)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Manfaat keanggotaan indonesia dalam indian ocean tuna commission (IOTC)"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

MANFAAT KEANGGOTAAN INDONESIA DALAM

INDIAN

OCEAN TUNA COMMISSION

(IOTC)

MARDIA

MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

ix   

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Manfaat Keanggotaan Indonesia dalam Indian Ocean Tuna Comission (IOTC) adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk karya apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor,23 April 2011

Mardia

(3)

ABSTRAK

MARDIA, C44060243. Manfaat Keanggotaan Indonesia dalam Indian Ocean Tuna Comission (IOTC). Dibimbing oleh M. FEDI A. SONDITA dan MOCHAMMAD RIYANTO.

Indian Ocean Tuna Comission (IOTC) adalah salah satu organisasi perikanan regional atau Regional Fisheries Management Organization (RFMO) untuk sumber daya ikan tuna di dalam wilayah pengelolaan yang mencakup Samudera Hindia. Anggota IOTC tidak terbatas pada negara-negara yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, seperti Indonesia, tetapi juga negara-negara lain yang memiliki kepentingan terhadap tuna yang ada di perairan tersebut. Indonesia menjadi anggota penuh IOTC pada tanggal 9 Juli 2007, sehingga organisasi ini memiliki anggota sebanyak 27 negara. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi manfaat yang diperoleh Indonesia dari organisasi tersebut, dilihat dari segi politik perikanan, ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. Data diperoleh melalui wawancara terhadap tujuh orang narasumber, browsing internet terhadap situs resmi, dan analisis terhadap dokumen resmi IOTC. Manfaat bergabungnya Indonesia di IOTC adalah sebagai berikut: (1) aspek politik, keanggotaan di IOTC dapat memperkokoh posisi Indonesia sebagai negara pelaku utama penangkapan ikan major fishing player yang memperhatikan sustainable fisheries development, (2) segi ekonomi, Indonesia memiliki akses terhadap jaringan pemasaran tuna yang mudah sehingga peluang usaha dapat dimanfaatkan secara lebih stabil oleh para pengusaha dengan dampak berupa devisa yang meningkat, (3) segi sosial, nelayan samudera (high seas) Indonesia tidak dikucilkan mereka dapat diterima dan mendapat pelayanan di negara lain karena mematuhi tata nilai yang dibangun dunia atau RFMO, (4) dari sisi budaya, nelayan Indonesia menjadi semakin memiliki wawasan ke luar (outward looking), tidak hanya terfokus pada perairan pedalaman atau perairan teritorial saja, (5) segi lingkungan, pembangunan perikanan Indonesia dijalankan dengan memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan (sustainable development).

(4)

xi   

©Hak cipta IPB, Tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber:

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan, karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(5)

MANFAAT KEANGGOTAAN INDONESIA DALAM

INDIAN

OCEAN TUNA COMISSION

(IOTC)

MARDIA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

xiii   

Judul Skripsi : Manfaat Keanggotaan Indonesia dalam Indian Ocean Tuna Commission (IOTC)

Nama mahasiswa : Mardia

NRP : C44060243

Departemen : Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr.Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc Mochammad Riyanto, SPi., M.Si NIP. 19630315 198703 1 003 NIP. 19821025 200701 1 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc NIP. 19621223 198703 1 001

(7)

KATA PENGANTAR

Skripsi disusun untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berjudul “Manfaat Keanggotaan Indonesia dalam Indian Ocean Tuna Comission (IOTC) ”. Materi dalam skripsi ini merupakan hasil dari kegiatan penelitian yang dilaksanakan mulai dari Juli 2010 hingga Oktober 2010.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada:

1) Bapak Dr Ir M. Fedi A. Sondita, M.Sc dan Bapak Mochammad Riyanto, S.Pi, M.Si selaku Komisi Pembimbing dalam penulisan tugas akhir ini;

2) Vita Rumanti Kurniawati S.Pi., MH. selaku komisi pendidikan dan Akhmad Solihin S.Pi. M.H selaku dosen penguji;

3) Para narasumber yang telah meluangkan waktu dan memberikan informasi penting untuk penelitian ini, yaitu Bapak Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS, Bapak Ir. Agus Budiman, MAq, Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto, MSc, Bapak Prof. Dr. Daniel Monintja, Bapak Drs. Soetomo, HP.BSc, Bapak Dr Suseno

dan Bapak Abdulah Habibi.

4) Mama dan Papaku tercinta atas semangat dan dorongan dalam menyelesaikan tugas akhir ini serta kakak dan adikku tersayang.

5) Teman-teman PSP angkatan 43, Umi Lailatul, Patmawati.

6) Keluarga Besar Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan yang selalu di hati atas doa dan semangatnya kepada penulis dalam menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor;

7) Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi seluruh pihak. Semoga Allah SWT memberikan balasan atas bimbingan dan bantuan yang telah diberikan. Amien.

(8)

viii   

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 11 November 1987 dari Bapak Ismail Rais dan ibu Rita Ningsih. Penulis merupakan putri ketiga dari lima bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bukittinggi pada tahun 2006 dan pada tahun yang sama diterima menjadi mahasiswi IPB melalui jalur UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Penulis memilih mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 3

1.3 Manfaat Penelitian ... 4

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Organisasi Internasional ... 5

2.2 Dasar Hukum Internasional ... 7

2.2.1 UNCLOS 1982………. 10

2.2.2 FAO Compliance Agreement 1993………... 12

2.2.3 UN Fish Stock Agreement 1995……… 13

2.3 RFMO (Regional Fisheries Management Organization) ... 15

2.4 Peraturan mengenai Laut Lepas ... 18

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 20

3.2 Alat Penelitian ... 20

3.3 Pengumpulan Data ... 22

3.4 Analisis Data ... 23

4. INDIAN OCEAN TUNA COMISSION (IOTC 4.1 Visi dan Misi IOTC ... 24

4.2 Keanggotaan IOTC ... 25

4.3 Species yang Dikelola ... 28

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil ... 29

5.1.1 Produksi tuna Indonesia di Samudera Hindia ... 29

5.1.2 Kegiatan dilakukan Indonesia sebagai anggota IOTC ... 35

5.1.3 Strategi Indonesia sebagai anggota IOTC ... 36

5.1.4 Pendapat ahli perikanan mengenai IOTC ... 37

5.2 Pembahasan ... 39

6. KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan ... 44

(10)

ix   

DAFTAR PUSTAKA ... 45 LAMPIRAN ... 46

 

 

 

 

 

 

 

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Situs Internet empat RFMO ... 10

2 Parameter kondisi perikanan Indonesia sebelum dan sesudah bergabung dengan IOTC ... 21

3 Daftar nama narasumber yang diwawancarai ... 23

4 Daftar negara anggota IOTC ... 26

5 Jumlah produksi tuna dan sejenisnya di Samudera Hindia ... 30

6 Produksi dan ekspor tuna ATLI ... 32

7 Volume ekspor komoditi perikanan jenis tuna di Indonesia ... 35

8 Pernyataan ahli perikanan manfaat bergabungnya Indonesia di IOTC ... 38

(12)

xi   

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Peta lokasi RFMO ... 16

2 Cakupan wilayah pengelolaan IOTC ... 24

3 Jenis tuna yang dikelola oleh IOTC ... 28

4 Perkembangan produksi tuna dan sejenisnya Indonesia di wilyah IOTC ... 31

5 Kapal tuna longline bersandar di pelabuhan Nizam Zachman,, Jakarta ... 33

6 Bongkar muat di atas kapal tuna longline ... 33

7 Penanganan di atas kapal dengan pemberian es curah ... 33

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

(14)

 

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumberdaya ikan tuna selalu berpindah tempat dalam kehidupannya tanpa mengenal batas negara. Oleh karena itu, pengelolaan perikanan yang dilakukan oleh suatu negara belum tentu efektif jika negara lain yang menangkap sumberdaya yang sama tidak peduli dengan upaya pengelolaan yang sedang

diterapkannya. Kerjasama pengelolaan perikanan di antara negara-negara tersebut sangat diperlukan. Kepentingan bersama antar negara dalam pengelolaan perikanan mendorong terbentuknya organisasi perikanan regional yang lebih dikenal dengan istilah Regional Fisheries Management Organization (RFMO). Salah satu contoh RFMO adalah North Atlantic Fisheries Organization (NAFO) yang merupakan institusi kerjasama perikanan antara Kanada dan Amerika Serikat.

Bagi ikan-ikan yang bermigrasi jauh seperti tuna, organisasi semacam itu mencakup daerah yang lebih luas dan melibatkan banyak negara. Misalnya, untuk perikanan tuna di Samudera Atlantik terdapat ICCAT (International Comission for the Conservation of Atlantic Tuna) di samping negara-negara yang berbatasan dengan Samudera Atlantik, dua negara lain yaitu Jepang dan Korea Selatan juga sebagai anggota karena armadanya ikut menangkap ikan tuna di sana. Sementara itu di samudera Pasifik kawasan timur terdapat IATTC (Inter-American Tropical

Tuna Commission) yang memiliki anggota terdiri atas Amerika Serikat (United States of America) dan beberapa negara Amerika Latin yang menangkap ikan di sana termasuk anggotanya. Di samudera Pasifik kawasan tengah dan barat yang berbatasan langsung dengan Indonesia, negara-negara di daerah ini sepakat untuk membentuk Western and Central Pasific Fisheries Commission (WCPFC). Begitu juga dengan kawasan samudera Hindia, dimana Indonesia terlibat di dalamnya,

yaitu IOTC (Indian Ocean Tuna Comission).

(15)

setelah ada kesadaran bahwa kegiatan penangkapan ikan di suatu negara akan dapat mempengaruhi status sumber daya ikan dan kinerja armada perikanan tangkap di negara lain yang memanfaatkan sumber daya ikan yang sama. Jika setiap negara berlomba meningkatkan produksi perikanannya, baik dengan cara meningkatkan upaya penangkapan ikan maupun cara lainnya, maka sumber daya ikan tersebut secara keseluruhan dapat terancam sehingga keberlanjutan usaha perikanan juga menjadi terancam. Faktor lain yang mendorong pembentukan

RFMO adalah munculnya sejumlah konflik internasional di bidang perikanan pada tahun 1990-an. Konflik tersebut diantaranya adalah konflik di antara Amerika Serikat, Uni Soviet dan negara-negara yang melakukan penangkapan ikan di luar perairan wilayah Alaska di sekitar laut Bering, dan konflik antara Kanada dan Uni Eropa di bagian barat laut samudera Atlantik (de Fontaubert dan Luchman, 2003)

Saat ini di setiap samudera sudah ada sejumlah RFMO. Aturan-aturan yang ada di dalam setiap RFMO tersebut menuntut konsistensi dan komitmen setiap negara anggota untuk mematuhi kesepakatan atau peraturan-peraturan yang dibuat. Posisi geografi negara anggota suatu RFMO umumnya tidak selalu berdekatan dengan kawasan pengelolaan RFMO. Hal ini terjadi mengingat bukan kedekatan geografis yang diutamakan tetapi lokasi dari aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan nelayan dari negara tersebut. Bagi negara yang tidak atau belum menjadi anggota suatu RFMO, saat ini sebaiknya sudah mulai mengikuti perkembangan peraturan-peraturan perdagangan internasional (Satria, 2009). Peraturan-peraturan tersebut dirancang sedemikian rupa dengan berbagai tujuan, namun yang terutama adalah kelestarian sumber daya ikan dan perlindungan konsumen. Tarafsofsky (2007) mengungkapkan bahwa beberapa RFMO menetapkan sanksi perdagangan, khususnya terhadap kapal-kapal yang melakukan praktek-praktek IUU fishing.

(16)

3   

perdebatan antar masing-masing anggota RFMO. Perdebatan itu muncul karena setiap negara memperjuangkan kepentingan ekonomi untuk memperoleh kuota tangkapan yang dianggap wajar bagi masing-masing negara. Perjuangan untuk mendapatkan kuota dalam suatu RFMO merupakan perjuangan politik tingkat tinggi yang harus dilakukan melalui negosiasi intensif dengan negara-negara lain sesama anggota. Peraturan-peraturan diperlukan agar terjadi ketertiban di kawasan dan terbangun keharmonisan di antara peraturan-peraturan regional dan

negara-negara. Peraturan-peraturan tersebut mencakup penggunaan alat penangkapan ikan, metode penangkapan ikan, musim yang terbuka untuk penangkapan ikan, musim tidak boleh menangkap ikan, moratorium, serta pembatasan ukuran ikan yang ditangkap.

IOTC merupakan salah satu RFMO yang mengelola sumber daya ikan yang berada tepat berdampingan dengan perairan Indonesia. Sejak diterbitkannya Perpres No.9 Tahun 2007 tentang Persetujuan Pembentukan Komisi Tuna Samudra Hindia, dan pelaksanaan sidang tahunan IOTC ke-11 pada tanggal 13-18 Mei 2007 di Mauritius, Indonesia resmi menjadi anggota IOTC yang ke 27. Bergabungnya Indonesia di organisasi ini tentu dilakukan setelah melihat peluang manfaat yang akan muncul dari keanggotaan di IOTC. Selain itu, desakan dari pengusaha sebagai pelaku utama perikanan tuna yang menuntut pemerintah untuk menyegerakan peresmian Indonesia menjadi anggota tetap IOTC. Hal inilah yang menjadi alasan utama dilakukannya penelitian ini.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji manfaat yang diperoleh Indonesia setelah bergabung menjadi anggota Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) pada tahun 2007.

1.3 Manfaat

(17)

namun yang lebih penting lagi sebenarnya apa saja yang sudah dimanfaatkan Indonesia dari partisipasinya sebagai anggota IOTC.

Keterangan atau informasi ini merupakan salah satu dasar yang perlu dipertimbangkan untuk mengatur strategi pengelolaan perikanan tuna Indonesia dikaitkan dengan perkembangan bisnis global perikanan tangkap. Informasi ini penting bagi para pengambil kebijakan, para akademisi yang akan terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan perikanan serta masyarakat

(18)

 

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Organisasi Internasional

Kebijakan umum Pemerintah Republik Indonesia pada organisasi-organisasi internasional didasarkan pada Peraturan Presiden No.7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009, Bab 8 tentang Pemantapan Politik Luar Negeri dan Peningkatan Kerjasama

Internasional. Melalui penetapan RJPM, Pemerintah berusaha meningkatkan peranan Indonesia dalam hubungan internasional dan dalam menciptakan perdamaian dunia serta mendorong terciptanya tatanan dan kerjasama ekonomi regional dan internasional yang lebih baik dalam mendukung pembangunan nasional.

Prioritas politik luar negeri Indonesia dalam 5 tahun ke depan dituangkan dalam 3 program utama, yaitu: (1) program pemantapan politik luar negeri dan optimalisasi diplomasi Indonesia, (2) program peningkatan kerjasama internasional yang bertujuan untuk memanfaatkan secara optimal berbagai potensi positif yang ada pada forum-forum kerjasama internasional dan (3) program penegasan komitmen terhadap perdamaian dunia.

Keanggotaan Indonesia pada organisasi internasional diamanatkan untuk memperoleh manfaat yang maksimal bagi kepentingan nasional, didasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku dan memperhatikan efisiensi penggunaan anggaran dan kemampuan keuangan negara (Keppres No. 64 tahun 1999).

Keanggotaan Indonesia pada organisasi internasional diharapkan dapat memberikan manfaat berupa:

1. Manfaat politik, secara umum manfaat politik yang diperoleh suatu negara dalam hubungan internasional adalah yang dapat mendukung proses demokratisasi, memperkokoh persatuan dan kesatuan, mendukung

(19)

organisasi internasional pada umumnya. Secara politik organisasi perikanan internasional dapat memperkokoh hubungan antar suatu negara anggota organisasi perikanan tersebut;

2. Manfaat ekonomi dan keuangan, dapat mendorong pertumbuhan dan stabilitas ekonomi yang berkelanjutan, meningkatkan daya saing, meningkatkan kemampuan iptek, meningkatkan kapasitas nasional dalam upaya pencapaian pembangunan nasional, mendorong peningkatan

produktivitas nasional, mendatangkan bantuan teknis, hibah (grant) dan bantuan lain yang tidak mengikat;

3. Manfaat sosial budaya, dapat menciptakan saling pengertian antar bangsa, meningkatkan derajat kesehatan, pendidikan, mendorong pelestarian budaya lokal dan nasional, mendorong upaya perlindungan dan hak-hak pekerja migran; menciptakan stabilitas nasional, regional dan internasional; dan

4. Manfaat kemanusiaan, mengembangkan early warning system di wilayah rawan bencana, meningkatkan capacity building di bidang penanganan bencana, membantu proses rekonstruksi dan rehabilitasi daerah bencana; mewujudkan citra positif Indonesia di masyarakat internasional, dan mendorong pelestarian lingkungan hidup dan mendorong keterlibatan berbagai pihak dalam usaha-usaha pelestarian lingkungan hidup (www.deplu.go.id).

Melihat harapan-harapan tersebut, kiranya perlu diketahui dengan jelas apa saja manfaat dari bergabungnya Indonesia pada organisasi internasional di bidang perikanan tangkap. Belum diketahui dengan pasti jenis manfaat apa yang paling menonjol yang merupakan sumbangan sektor perikanan kepada negara Indonesia.

Pengusulan Indonesia untuk menjadi anggota dari suatu organisasi

(20)

7   

internasional, usulan tersebut disampaikan secara tertulis kepada Menteri Luar Negeri disertai dengan penjelasan mengenai dasar usulan serta hak dan kewajiban yang timbul dari keanggotaan itu. Pengusulan tersebut kemudian akan dibahas oleh Kelompok Kerja Pengkaji Keanggotaan Indonesia dan Kontribusi Pemerintah Indonesia pada Organisasi-Organisasi Internasional. Pembahasan mengenai usulan tersebut memperhatikan beberapa hal berikut (Satria et al., 2009):

1. Manfaat yang dapat diperoleh dari keanggotaan pada organisasi internasional yang bersangkutan;

2. Kontribusi yang dibayar sebagaimana yang disepakati bersama dan diatur dalam ketentuan organisasi yang bersangkutan serta formula penghitungannya;

3. Keanggotaan Indonesia pada suatu organisasi internasional yang mempunyai lingkup dan kegiatan sejenis; dan

4. Kemampuan keuangan negara dan kemampuan keuangan lembaga non pemerintah.

2.2 Dasar Hukum Internasional

Konvensi PBB tentang hukum Laut 1982 (United Nations Convention on

the Law of the Sea/ UNCLOS) banyak memberikan arahan mengenai bagaimana sebaiknya lautan dikelola. Salah satu klausul dalam upaya pemanfaatan sumberdaya hayati, negara pantai memiliki kewajiban hukum untuk menjamin bahwa sumberdaya hayati di ZEE-nya dilindungi dari kegiatan eksploitasi berlebih, akan tetapi tetap dapat dioptimalkan pemanfaatannya. Dalam rangka menciptakan kelestarian sumberdaya ikan di zona ekonomi ekslusif, maka setiap negara pantai perlu menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) yang dihasilkan dari kajian ilmiah terbaik.

Sementara itu, meskipun laut lepas (high seas) memiliki rezim kebebasan

(21)

(freedom of overflight), kebebasan memasang kabel atau pipa bawah laut (freedom

to lay submarine cables and pipelines), kebebasan membangun pulau buatan dan instalasi lain (freedom to construct artificial island and other installations

permitted under international law), kebebasan menangkap ikan (freedom of fishing), dan kebebasan melakukan riset ilmiah (freedom of scientific research).

Asas kebebasan di laut lepas tersebut harus memperhatikan kepentingan negara lain dalam melaksanakan hak yang sama dan ketentuan internasional yang

berlaku di atasnya. Khusus untuk kegiatan penangkapan ikan, diperkuat lagi hak dari suatu negara untuk mengirimkan armada perikanan nasionalnya ke laut bebas (Pasal 116 UNCLOS 1982). Akan tetapi, pelaksanaan kebebasan ini harus diiringi dengan ketentuan mengenai langkah-langkah konservasi sumberdaya hayati di laut lepas. Langkah ini dapat dilakukan secara unilateral maupun bekerjasama dengan negara lain. Dorongan adanya kerjasama antara negara-negara yang memanfaatkan sumberdaya hayati di laut lepas ditekankan di dalam pasal 118 UNCLOS 1982, yaitu negara-negara harus mengatur pengelolaan dan konservasi tersebut, apabila memungkinkan dapat membentuk “subregional or regional fisheries organization(Djalal, 2004).

Meskipun pengelolaan perikanan sudah diatur dalam UNCLOS 1982, masih saja terjadi konflik atau perbedaan pendapat mengenai kegiatan penangkapan ikan di antara negara pantai (coastal state) dengan negara-negara yang memiliki armada perikanan jarak jauh (distant fishing fleets) yang disertai dengan terjadinya penurunan potensi sumberdaya ikan. Untuk menyelesaikan masalah ini, maka dicarilah konsep-konsep bagaimana menerapkan konservasi dan pengelolaan stok yang lestari sepanjang jalur migrasi jenis ikan tersebut, tetapi tidak mengurangi ataupun melanggar hak-hak berdaulat negara pantai (Djalal, 2004).

Selain UNCLOS 1982, ada beberapa kesepakatan-kesepakatan khusus

lainnya yang mengatur tentang pengelolaan perikanan di laut lepas dan berkenaan dengan jenis ikan bermigrasi jauh dan bermigrasi terbatas, yaitu:

1. Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessel on the High Seas (FAO

(22)

9   

2. Agreement for the Implementation of the provision of the UNCLOS of 19

December 1982 relating to Conservation and Management of Straddling

Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stock 1995 (UNIA 1995);

3. The Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF 1995); dan

4. International Plan of Action (IPOA) dari FAO yang meliputi IPOA for

Management of Fishing Capacity, IPOA for Conservation and Management of Shark, IPOA for Reducing Incidental Catch of Seabird in Long-Line Fisheries, dan IPOA for Illegal, Unreported and Unregulated Fishing.

Selain itu, terkait dengan pengelolalaan perikanan terdapat beberapa organisasi-organisasi sub-regional dan regional perikanan yang terbentuk di wilayah laut lepas yang berdampingan dengan perairan Indonesia, diantaranya adalah Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC), dan Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) (Satria et al., 2009). Sebagai bagian dari anggota masyarakat internasional, Indonesia juga berupaya mengikuti ketentuan hukum internasional yang berlaku, termasuk peraturan-peraturan penangkapan ikan di laut lepas, seperti kelayakan kapal-kapal penangkapan dan ketaatan kapal-kapal tersebut pada ketentuan pengelolaan dan konservasi yang ada akan tetapi terdapat hal yang menjadi kendala, yaitu Indonesia baru meratifikasi UNCLOS 1982 dan sedang mempertimbangkan untuk ikut serta dalam beberapa hukum internasional lain, khususnya UNIA 1995.

Indonesia juga belum ikut serta dalam pengelolaan dan konservasi perikanan regional seperti WCPFC. Dengan demikian, untuk menyiapkan kemungkinan peningkatan pemanfaatan perikanan di laut lepas serta dalam rangka meningkatkan strategi diplomasi atau posisi tawar (bargaining position) Indonesia terhadap organisasi-organisasi perikanan regional yang wilayah pengaturannya

berdampingan dengan Indonesia (Djalal, 2004).

(23)

Tabel 1. Situs internet empat regional fisheries management organization

Ikan beruaya jauh www.wcpfc.int

3 CCSBT (Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna)

Tuna sirip biru www.ccsbt.org

4 NAFO (North Atlantic Fisheries Organization)

Salmon, tuna dan hiu www.nafo.int

2.2.1 UNCLOS 1982

Konvensi PBB tentang hukum laut 1982 atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) merupakan hasil kerja keras masyarakat internasional dalam menyusun perangkat hukum yang mengatur segala bentuk penggunaan laut dan pemanfaatan kekayaan yang terkandung didalamnya (Agoes, 1991). UNCLOS 1982 adalah karya hukum masyarakat internasional terbesar di abad ke 20, karena diikuti oleh sekitar 160 negara, dimana delegasinya berasal dari berbagai macam latar belakang disiplin keilmuan seperti diplomat, ahli hukum, pertambangan, perikanan, perkapalan, aktivis lingkungan hidup dan berbagai profesi lain. Selain itu UNCLOS 1982 juga dapat dikatakan sebagai Konvensi terpanjang karena melalui 11 sesi antara tahun 1973 hingga 1984 (Brown, 1994).

UNCLOS 1982 ini berhasil diadopsi pada tanggal 30 April 1982, namun baru berlaku efektif secara umum pada tanggal 16 November 1994. Hal ini sesuai dengan pasal 308 ayat (1) UNCLOS 1982, bahwa konvensi ini berlaku 12 bulan setelah tanggal pendepositan piagam ratifikasi atau aksesi yang ke-60, yaitu Guyana pada tanggal 16 November 1993 (Brown, 1994).

(24)

11   

mengenai “Ketentuan-ketentuan Umum” (Pasal 86-115) dan bagian 2 mengenai “Konservasi dan Pengelolaan sumber-sumber kekayaan hayati di laut lepas” (pasal 116-120). Menurut Pasal 86, ketentuan mengenai laut lepas berlaku bagi semua bagian yang tidak termasuk dalam Zona Ekonomi Ekslusif, dalam laut teritorial atau dalam perairan suatu negara kepulauan. Dengan kata lain, laut lepas adalah suatu rezim hukum yang berlaku di luar laut territorial suatu negara yang status kewenangannya adalah kedaulatan (sovereignty) dan ZEE yang status

kewenangannya adalah hak berdaulat (sovereignty rights) (Djalal, 2004).

Menurut pasal 116, semua negara mempunyai hak atas sumberdaya ikan di laut lepas, namun kebebasan di laut lepas tersebut dibatasi oleh : (1) kewajiban berdasarkan perjanjian internasional, (2) kewajiban ketetapan pengaturan spesifik spesies yang bermigrasi sebagaimana yang dituangkan pada Pasal 63 ayat (2), dan Pasal 64 sampai pasal 67, serta (3) ketetapan pada bagian ini untuk perikanan laut lepas.

Pelaksanaan hak kebebasan untuk melakukan penangkapan ikan ini harus disertai dengan diindahkannya kewajiban untuk melaksanakan tindakan konservasi sumberdaya laut hayati di laut lepas (Pasal 117). Tindakan konservasi tersebut dapat dilakukan secara unilateral maupun bekerjasama dengan negara lain. Menurut pasal 118, negara-negara harus mengatur pengelolaan dan konservasi tersebut, apabila memungkinkan dengan membentuk organisasi-organisasi pengelolaan perikanan regional (Regional Fisheries Management

Organizations/RFMO) di berbagai kawasan yang mempunyai aturan sendiri dalam mengelola kegiatan perikanan. Pasal 119 ayat (1), UNCLOS 1982 memberikan persyaratan khusus untuk konservasi sumberdaya ikan di laut lepas, yaitu dalam menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan menetapkan tindakan konservasi sumberdaya kekayaan hayati lainnya di laut lepas, negara-negara harus mengambil tindakan yang direncanakan berdasarkan bukti ilmiah

(25)

stok jenis ikan dan standar minimum internasional, secara umum direkomendasikan pada taraf sub-regional, regional dan global (Satria et al., 2009).

2.2.2 FAO Compliance Agreement 1993

Menurut Xue (2004), meskipun UNCLOS 1982 telah mengatur pengelolaan perikanan di laut lepas, pengaturan tersebut dihadapkan pada tidak adanya

kerangka kelembagaan yang efektif yang memiliki kewenangan dalam menerapkan tindakan pemaksaan terhadap setiap negara untuk melaksanakan langkah-langkah pengelolaan. Oleh karena itu, dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut serta dalam rangka mewujudkan kelestarian, sumberdaya ikan di laut lepas, maka perlu dibentuk RFMO, sesuai dengan Agreement to Promote Compliance with Fishing Vessel on the High Seas 1993 (FAO

Compliance Agreement 1993), yang ditetapkan pada tanggal 24 November 1993. FAO Compliance Agreement 1993 merupakan hukum internasional yang mengikat (legally binding). Adapun tujuan meletakkan dasar-dasar praktik penangkapan ikan di laut lepas dan menerapkan tindakan-tindakan pengelolaan dan konservasi sumberdaya hayati laut. Hal ini sesuai dengan pembukaan FAO

Compliance Agreement 1993, yaitu “mindful that the practice of flagging or reflagging fishing vessels as a means of avoiding compliance with international

conservation and management measures for living marine resources, and the

failure of flag States to fulfil their responsibilities with respect to fishing vessel

entitled to flay their flag, are among the factors that seriously undermine the

effectiveness of such measures”. Dengan kata lain, pengaturan mengenai tanggung jawab negara bendera untuk menyiapkan pengaturan, termasuk perizinan pengoperasian kapal di laut lepas, untuk memastikan kapal-kapal mereka tidak mengancam efektivitas pengaturan pengelolaan dan konservasi internasional

(Satria et al., 2009).

Sebagai ketentuan hukum yang mengikat, FAO Compliance Agreement

(26)

13   

1993 mempunyai dua unsur utama, yaitu: pertama, meningkatkan tanggung jawab negara bendera. Menurut Pasal III, setiap negara bendera harus menjamin kapal-kapal perikananannya tidak melakukan kegiatan yang bertentangan dengan efektifitas pengelolaan dan konservasi. Selain itu, tidak ada satu negara pihak manapun yang memperbolehkan kapal ikannya digunakan untuk menangkap ikan di laut lepas kecuali telah diberi izin untuk itu oleh otorita yang tepat dari negara tersebut. Lebih lanjut, setiap negara pihak tidak boleh memberi izin kepada kapal

ikan manapun yang mengibarkan benderanya untuk menangkap ikan di laut lepas kecuali jika negara tersebut mampu melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan FAO Compliance Agreement 1993.

Kedua, pertukaran informasi tentang aktivitas penangkapan ikan di laut lepas. Menurut pasal 4 negara-negara disyaratkan untuk membuat catatan untuk kapal-kapal ikan yang telah diberi izin untuk menangkap ikan di laut lepas. Dalam tukar menukar informasi termasuk bahan bukti yang terkait dengan kegiatan kapal-kapal ikan suatu negara bendera, para pihak harus melakukan kerjasama. Tujuan kerjasama tersebut untuk memudahkan identifikasi pencatatan kapal-kapal ikan dalam rangka mencegah kegiatan yang dapat mengurangi tindakan pengelolaan dan konservasi (Djalal, 2004).

2.2.3 UN Fish Stock Agreement 1995

United Nations for the Implementation of the Provision of the UNCLOS of

19 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling

Fish Stocks atau yang dikenal dengan sebutan UNIA atau UN Fish Stock Agreement 1995 ditetapkan pada tanggal 4 Desember 1995. Perjanjian ini merinci asas dasar yang ditetapkan dalam UNCLOS 1982, bahwa negara-negara harus bekerjasama untuk menjamin pelaksanaan konservasi serta menggalakkan tujuan pemanfaatan sumberdaya ikan yang optimal baik yang terdapat di dalam maupun

di luar Zona Ekonomi Ekslusif.

(27)

Compliance Agreement 1993. Perbedaannya yaitu, UN Fish Stock Agreement

1995 hanya mengatur stok ikan yang bermigrasi jauh dan bermigrasi terbatas, sementara FAO Compliance Agreemet 1993 mengatur semua kegiatan perikanan tangkap di laut lepas (Kuemlangan, 2001 dalam Satria et al., 2009).

Pengelolaan jenis ikan, baik yang bermigrasi jauh maupun bermigrasi terbatas dilaksanakan berdasarkan prinsip kehati-hatian (precautionary approach). Pelaksanaan pendekatan kehati hatian merupakan bentuk perlindungan

sumberdaya hayati laut dan konservasi lingkungan lautnya. Persyaratan pelaksanaan pendekatan kehati-hatian yang dituangkan pada UN Fish Stock Agreement 1995 merupakan alternatif lain dari ketentuan UNCLOS 1982, yang mensyaratkan “best scientific evidence available” dalam pengelolaan dan konservasi sumberdaya ikan.

UN Fish Stock Agreemet 1995 juga mengamanatkan akan pentingnya kerjasama dalam pengelolaan ikan yang bermigrasi jauh dan bermigrasi terbatas. Berdasarkan pasal 8, kerjasama antara negara-negara pantai dan negara-negara yang melakukan penangkapan di laut lepas bisa dilakukan secara langsung atau melalui organisasi pengelolaan perikanan sub regional atau regional, dengan mempertimbangkan karakter khusus dari subregion atau region tersebut untuk memastikan pengelolaan dan konservasi stok ikan secara efektif.

Sementara itu, berdasarkan Pasal 21, pada wilayah laut lepas yang termasuk dalam wilayah pengelolaan RFMO atau pengaturan subregional atau regional, inspektur yang berwenang dari suatu negara pihak pada perjanjian ini atau anggota dari RFMO tersebut dapat menaiki kapal dan memeriksa kapal-kapal perikanan yang mengibarkan negara pihak lain pada perjanjian ini, tanpa memperhatikan apakah negara tersebut juga menjadi anggota RFMO atau menjadi peserta pada pengaturan tersebut. Apabila suatu kapal terbukti melakukan kegiatan yang bertentangan dengan langkah-langkah pengelolaan dan konservasi,

(28)

15   

1. Melakukan penangkapan ikan tanpa lisensi yang sah, otorisasi atau izin yang dikeluarkan oleh negara bendera berdasarkan Pasal 18 ayat 3 (a);

2. Gagal untuk memelihara catatan yang akurat mengenai hasil tangkapan dan data yang berkaitan dengan tangkapan, sebagaimana disyaratkan oleh RFMO atau pengaturan pengelolaan perikanan sub-regional atau regional yang terkait atau memberi laporan tangkap yang tidak benar, bertentangan dengan persyaratan-persyaratan pelaporan dari organisasi atau pengaturan tersebut;

3. Melakukan penangkapan ikan pada suatu wilayah yang tertutup, selama musim yang tertutup atau setelah pencapaian dari suatu kuota yang ditetapkan oleh organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan subregional atau regional;

4. Mengarahkan penangkapan ikan suatu stok yang tunduk pada moratorium atau pelarangan terhadap kegiatan penangkapan ikan;

5. Menggunakan alat tangkap yang dilarang;

6. Memalsukan atau menyembunyikan tanda-tanda, identitas atau pendaftaran dari kapal perikanan;

7. Menyembunyikan atau merusak atau membuang bukti-bukti yang berkaitan dengan suatu penyelidikan;

8. Melakukan pelanggaran yang berulang-ulang yang bersama-sama membentuk suatu pelanggaran yang serius terhadap tindakan pengelolaan dan konservasi; dan

9. Pelanggaran-pelanggaran lainnya yang mungkin ditetapkan dalam prosedur yang ditentukan oleh organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan subregional atau regional terkait.

2.3 RFMO (Regional Fisheries Management Organization)

(29)

Hingga saat ini, di dunia internasional telah terdapat berbagai bentuk organisasi regional maupun internasional yang menunjukkan perhatiannya pada perlunya pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Dapat kita lihat pada Gambar 1, bahwa hampir semua wilayah perairan di dunia telah diatur oleh organisasi tersebut. Aturan-aturan itu jelas mengikat para anggota di dalamnya yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah perairan tersebut.

Umumnya keanggotaan RFMO tidak terlalu terkait dengan pertimbangan

geografis negara yang bersangkutan, namun lebih pada di wilayah perairan mana suatu negara melakukan aktivitas penangkapan ikan. Bagi negara yang tidak menjadi anggota dan melakukan aktivitas penangkapan ikan di wilayah perairan tertentu, saat ini sudah mulai dipikirkan adanya sanksi perdagangan internasional.

Gambar 1 Peta kawasan pengelolaan sejumlah regional fisheries managaement organization (RFMO). Sumber: FAO (2002)

RFMO yang terbentuk di laut lepas dan berdampingan dengan perairan Indonesia, sebagai berikut:

1. Indian Ocean Tuna Comission (IOTC)

(30)

17   

Di luar wilayah perairan Indonesia yang berdampingan dengan kawan Pasifik terdapat CCSBT (Gambar 2). Pembentukan CCSBT didasari oleh menurunnya jumlah ikan tuna sirip biru (southern bluefin tuna) dewasa, dan tangkapan tahunan mulai jatuh secara cepat pada awal tahun 1960-an. Penurunan hasil tangkapan semakin meningkat, dimana pada pertengahan tahun 1980-an diperlukan pembatasan tangkapan. Hal inilah yang menuntut Australia, Jepang dan Selandia Baru melakukan tindakan pengelolaan dan konservasi untuk

meningkatkan stok ikan SBT pada tahun 1985, dengan cara membatasi kuota hasil tangkapan kapal ikannya.

Pada tanggal 10 Mei 1993, Australia, Jepang dan Selandia Baru menandatangani Convention for The Conservation of Souhtern Bluefin Tuna, namun Konvensi ini baru efektif berlaku pada tanggal 20 Mei 1994 setelah ketiga negara tersebut melakukan formalisasi pembentukan Commission for The Conservation of Southern Bluefin Tuna. Efektifitas pelaksanaan Konvensi ini dihadapkan pada beberapa negara yang melakukan penangkapan tuna sirip biru, namun belum menjadi anggota seperti Korea, Taiwan dan Indonesia.

3. Commission for the Conservation and Management of Highly Migratory Fish

Stock in the Western and Central Pasific Ocean (WCPFC)

Negara-negara pantai di Pasifik Barat dan Pasifik Tengah dan negara-negara yang menangkap ikan di sekitarnya melakukan negosiasi selama empat tahun dan berhasil menyepakati Convention on the Conservation and Management of Highly

Migratory fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean yang ditandatangani pada tanggal 5 September 2000 di Honolulu, Amerika Serikat. Namun demikian konvensi ini baru berlaku efektif pada tanggal 19 Juni 2004. Negara yang sudah meratifikasi atau menyepakati konvensi ini, yaitu Australia, Cook Islands, Federated States of Micronesia, Fiji Islands, Kiribati, Marshall

Island, Tonga dan Tuvalu. Sedangkan negara yang yang berstatus sebagai non-cooperating parties adalah Belize dan Indonesia.

Indonesia belum menetapkan status sebagai non-cooperating parties.

(31)

1. Aspek politik domestik, akan mendukung kebijakan nasional bagi upaya konservasi dan pengelolaan perikanan yang bermigrsi jauh di wilayah Samudera Pasifik Bagian Barat dan Tengah;

2. Aspek politik luar negeri, akan memperkuat posisi Indonesia dalam forum organisasi perikanan regional dan internasional, serta menegaskan komitmen Indonesia sebagai negara pihak pada UNCLOS 1982 bagi kerjasama internasional dalam kegiatan konservasi dan pemanfaatan

sumberdaya ikan;

3. Aspek teknis ekonomi, akan memberikan peluang bagi Indonesia dalam mengakses bantuan teknis dan finansial dari WCPFC, serta untuk menghindari adanya embargo ekspor produk perikanan Indonesia oleh negara-negara anggota WCPFC seperti yang sudah diberlakukan sebelumnya oleh CCSBT untuk ekspor tuna sirip biru Indonesia sejak 1 Juli 2005. Hal ini dimaksudkan demi mempertahankan akses pasar global yang sudah ada selama ini; dan

4. Dengan menjadi anggota WCPFC, akan memudahkan proses pertukaran informasi dan data perikanan yang tepat dan akurat diantara negara anggota dan adanya alih teknologi untuk Indonesia sebagai negara berkembang dalam kegiatan konservasi sumberdaya ikan di wilayah Samudera Pasifik bagian Barat dan Tengah.

2.4 Peraturan mengenai Laut Lepas

Laut lepas merupakan semua bagian laut yang tidak termasuk dalam laut teritorial atau perairan pedalaman sesuatu negara. Laut lepas terbuka bagi semua bangsa, tidak satu negarapun boleh mengatakan secara sah bahwa sesuatu bagian dari laut itu termasuk dalam daerah kekuasaannya (UU nomor 61 tahun 1961).

Kebebasan pada laut lepas, dilakukan atas syarat-syarat yaitu kebebasan

(32)

19   

Setiap kapal yang akan mengadakan perjalanan laut harus mengibarkan bendera satu negaranya. Sebuah kapal yang berlayar memakai bendera dari dua negara atau lebih dianggap sebagai kapal tanpa kebangsaan. Jika terjadi sesuatu pelanggaran atau sesuatu kecelakaan navigasi atas sebuah kapal di laut lepas maka tidak boleh diadakan tuntutan hukuman atau hukuman disiplin lebih dahulu terhadap orang-orang itu kecuali di hadapan para hakim atau pejabat yang diberi tugas dari negara kapal tersebut atau negara orang-orang tersebut (UU Nomor 61

Tahun 1961).

Sebuah kapal perang dari suatu negara yang bertemu dengan kapal dagang asing di laut lepas, tidak dapat dibenarkan menarik kapal asing tersebut kecuali bila kapal asing tersebut dicurigai terlibat dalam pembajakan atau terlibat dalam perdagangan budak. Apabila kapal asing itu telah melanggar peraturan-peraturan negara tersebut maka boleh dilakukan pengejaran (UU Nomor 61 Tahun 1961).

(33)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Juli hingga bulan Oktober 2010 dalam bentuk kegiatan pengambilan data dari instansi terkait dan browsing

internet, kunjungan ke perusahaan perikanan, serta wawancara dengan tokoh-tokoh yang terkait isu keanggotaan Indonesia di dalam organisasi IOTC, yaitu

pejabat dan mantan pejabat Pemerintah, peneliti dan akademisi. Pengambilan data dilaksanakan di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Luar Negeri di Jakarta, dan sebuah perusahaan perikanan tuna di Muara Baru, Jakarta.

3.2 Alat Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu komputer untuk mengakses situs resmi IOTC dan institusi-institusi yang terkait dengan perikanan, baik nasional maupan internasional, untuk pengolahan data dan penulisan skripsi, kamera digital untuk dokumentasi lapangan dan alat tulis.

Instrumen penelitian adalah sejumlah pertanyaan kunci yang mencakup: 1. Pertimbangan atau justifikasi Indonesia untuk menjadi anggota IOTC di

antaranya adalah harapan-harapan manfaat yang akan diperoleh; 2. Fakta tentang perkembangan perikanan tuna; dan

3. Fakta manfaat nyata dari keanggotaan.

Pertanyaan-pertanyaan kunci untuk tiga cakupan tersebut dibuat dengan memperhatikan pertimbangan atau justifikasi niat Indonesia untuk bergabung di IOTC, yaitu mengacu pada manfaat politik, manfaat ekonomi dan keuangan, manfaat sosial budaya, manfaat kemanusiaan. Berikut adalah daftar pertanyaan kunci tersebut:

1. Apakah manfaat bergabungnya Indonesia di organisasi perikanan regional

IOTC secara politik?;

2. Apakah manfaat bergabungnya Indonesia di organisasi perikanan regional IOTC secara ekonomi?;

(34)

21   

4. Apakah manfaat bergabungnya Indonesia di organisasi perikanan regional IOTC secara kemanusiaan?;

5. Kenapa Indonesia baru bergabung pada tahun 2007?;

6. Bagaimanakah kondisi perikanan tangkap Indonesia, khususnya perikanan tuna, pra dan pasca Indonesia bergabung di IOTC; dan

7. Pasca bergabung dengan IOTC, apakah kontribusi Indonesia terhadap perkembangan perikanan tuna antar negara anggota IOTC.

Tabel 2 Parameter kondisi perikanan Indonesia sebelum dan sesudah bergabung dengan IOTC

No Parameter Sebelum bergabung

di IOTC

Sesudah bergabung di IOTC

1 Ekspor tuna Indonesia. 2 Kesejahteraan nelayan

Indonesia, khususnya nelayan tuna.

3 Tingkat kemudahan dalam melakukan negosiasi. 4 Persaingan harga ikan tuna

Indonesia di pasar Internasional.

5 Jumlah investor terhadap usaha perikanan tuna.

6 Kesejahteraan hak karyawan industri perikanan tuna. 7 Teknologi alat penangkapan

tuna lebih maju.

Deskripsi perkembangan perikanan tuna merupakan rekaman sejarah sejak

(35)

Pengukuran manfaat juga dilakukan dengan membandingkan akibat dari Indonesia tidak bergabung terhadap akibat jika Indonesia bergabung menjadi anggota IOTC. Pengukuran ini tidak dibatasi untuk kondisi terakhir perikanan tuna sekarang, tetapi juga untuk perkiraan kondisi perikanan tuna di masa yang akan datang, misalnya 5-10 tahun ke depan.

3.3 Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode penelitian survei. Data dikumpulkan dengan menggunakan alat penelitian yang berupa daftar pertanyaan. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan diperoleh dari: (1) penjelajahan internet, (2) studi pustaka, (3) wawancara kepada para pelaku proses pengajuan keanggotaan Indonesia di IOTC, (4) wawancara dan kunjungan pada perusahaan-perusahaan penangkap tuna yang berkantor di Jakarta. Pelaku-pelaku proses pengajuan keanggotaan mungkin sudah tidak lagi berdinas atau aktif dalam bisnis, namun mereka tetap diwawancarai. Dokumen resmi dipelajari pada instansi-instansi yang terkait dan wawancara dilakukan kepada para pejabat-pejabat yang berwenang saat ini.

(36)

23   

Tabel 3 Daftar narasumber yang diwawancarai

No Nama Profesi/Jabatan

1. Prof.Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

Mantan Menteri Perikanan dan Kelautan Kabinet Gotong Royong 2. Ir. Agus Budiman, MAq Direktur Sumberdaya Ikan, KKP 3. Abdulah Habibi Capture Fisheries Coordinator, WWF

Indonesia

4. Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Wakil Kepala PKSPL IPB Anggota Komisi Tuna Indonesia 5. Prof. Dr. Daniel Monintja Guru Besar FPIK, IPB

6. Drs. Soetomo, HP,BSc Direktur Eksekutif Asosiasi Tuna

Longline Indonesia (ATLI)

7. Dr. Suseno Ketua Delegasi Indonesia/Staf Ahli MKP Bidang Sosial, Ekonomi dan Budaya DKP

3.4 Analisis Data

(37)

4 INDIAN OCEAN TUNA COMISSION

Indian Ocean Tuna Comission (IOTC) merupakan organisasi pemerintahan yang dibentuk oleh FAO. Organisasi ini mempunyai mandat mengatur pengelolaan perikanan tuna di Samudera Hindia dan daerah yang berbatasan dengan Samudera Hindia tersebut. IOTC disahkan oleh FAO pada sesi ke 26 tahun 1994. Agreement IOTC mulai berlaku efektif setelah ada aksesi ke-9 pada

bulan Maret 1996. IOTC merupakan institusi regional yang berwenang mengatur kegiatan penangkapan tuna dan sejenisnya di perairan Samudera Hindia (Gambar 2).

(38)

25   

4.1 Visi dan Misi IOTC

Sebagaimana layaknya organisasi pada umumnya, IOTC juga memiliki visi dan misi. IOTC memiliki visi untuk menciptakan perikanan yang berkelanjutan, khususnya di Samudera Hindia, dan menjaga pelestarian perikanan tuna dan sejenisnya dengan melakukan pengelolaan yang tepat, konservasi dan pemanfaatan sumberdaya dengan optimal (www.iotc.org).

Misi yang dilakukan oleh IOTC, di antaranya adalah:

1. Melakukan peninjauan terhadap kondisi sumberdaya perikanan tuna dan sejenisnya di Samudera Hindia, mengumpulkan, menganalisis dan menyebarkan informasi ilmiah dan data yang berkaitan dengan konservasi dan pengelolaan sumberdaya perikanan tuna di kawasan pengelolaan IOTC. 2. Mendorong, merekomendasikan, dan mengkoordinasikan penelitian dan

kegiatan pembangunan yang berkaitan dengan konservasi sumberdaya perikanan tuna dan sejenisnya, pengembangan teknologi baru, pelatihan dan peningkatan pengelolaan sumberdaya yang dilakukan secara adil dan merata terhadap negara anggota IOTC dengan memperhatikan kebutuhan khusus dari negara berkembang untuk pengelolaan sumberdaya perikanan tuna di wilayah IOTC tersebut.

3. Memelihara dengan dasar ilmiah bukti konservasi dan kegiatan pengelolaan dan konservasi sumberdaya perikanan tuna dan sejenisnya di kawasan pengelolaan IOTC sebagai bahan promosi kegiatan yang dilakukan oleh IOTC

4. Selalu meninjau aspek ekonomi dan sosial dari perikanan berdasarkan saham yang tercakup dalam konvensi ini, khususnya pengembangan negara-negara pesisir.(www.iotc.org)

4.2 Keanggotaan di IOTC

(39)

Status keanggotaan di IOTC terdiri dari dua yaitu member country yang berjumlah 28 negara dan cooperating non-contracting party yang berjumlah 3 negara. Member country merupakan anggota penuh IOTC mempunyai kewajiban membayar iuran anggota dan memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat di pertemuan IOTC serta mendapatkan kuota penangkapan. Cooperating

non-contracting party merupakan negara yang kooperatif dengan IOTC. negara ini tidak membayar iuran, namun datang ke pertemuan IOTC dan mendapatkan

kuota penangkapan namun jumlahnya tentu lebih sedikit dengan member country. Daftar negara anggota IOTC disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Daftar negara anggota tanggal mereka bergabung menjadi anggota Indian Ocean Tuna Comission (IOTC)

No. Tahun (tanggal) Negara Kedekatan

Tidak Negara pengekspor

7 3 Desember 1996

Perancis Tidak Negara pengekspor

tuna beku dan

(40)

27 

Kenya Ya, berbatasan

langsung

Melakukan penangkapan dan ekspor tuna. 13 27 Maret 1996 Korea Tidak Ekspor tuna. 14 10 Januari 1996 Madagaskar Ya berbatasan

langsung

Mauritius Ya berbatasan langsung

19 9 Januari 2004 Pilipina Tidak Negara pengekspor tuna.

20 26 Juli 1995 Seychelles Ya, berbatasan langsung

Sudan Tidak Negara pengekspor

tuna.

27 25 Oktober 2002 Vanuatu Tidak Negara pengekspor tuna.

(41)

(42)

29 

 

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil

5.1.1 Produksi tuna Indonesia di Samudera Hindia

IOTC memfokuskan pengelolaan perikanan tuna di Samudera Hindia. Jenis tuna yang dikelola adalah tuna albakora (albacore), tuna mata besar (bigeye),

tongkol (frigate dan bullet tuna), tongkol como/kawakawa (eastern little tuna),

cakalang (skipjack tuna), tuna sirip biru (southern bluefin tuna), tongkol abu-abu

(longtail tuna), tuna sirip kuning (yellowfin tuna). Selain itu jenis billfish yang terbagi lagi menjadi tujuh spesies yaitu billfish nei, setuhuk hitam/black marlin, setuhuk biru/blue marlin, tenggiri/Indo-Pacific sailfish, short-billed spearfish,

setuhuk loreng/stripped marlin dan swordfish. Jenis ikan lainnya yaitu seerfish

yang terbagi menjadi empat spesies yaitu tongkol Indo-Pasifik/Indo-Pacific king mackerel, narrow-barred Spanish mackerel dan wahoo. Berikut adalah penjelasan singkat tentang jumlah produksi Indonesia dari masing masing spesies yang dikelola di perairan IOTC.

Ikan jenis tuna merupakan produksi Indonesia paling banyak ditangkap di Samudera Hindia. Jenis tuna yang paling banyak diproduksi adalah kawakawa atau eastern little tuna yang setiap tahunnya menempati posisi teratas (Tabel 4). Sementara itu produksi yang jumlahnya stabil adalah jenis skipjack tuna atau cakalang (Katsuwonus pelamis) yang merupakan jenis tuna spesies kosmopolitan (Tabel 4). Sementara itu, jumlah produksi yang semakin menurun adalah jenis tuna sirip biru (southern bluefin tuna).

(43)

Tabel 4 Jumlah produksi tuna dan sejenisnya di Samudera Hindia (Area 57), 2002-2008

Total Per

Spesies Grand Total

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 232 536 270 625 297 934 296 540 264 853 272 914 337 900 Tunas Tunas Total 176 441 204 042 230 687 236 168 204 670 219 798 274 363 Albacore 11 646 10 902 2 383 12 893 8 838 Bigeye Tuna 24 132 13 337 14 247 19 733 16 615 Frigate and bullet tunas 14 970 43 012 34 810 35 848 50 526 Kawakawa / Eastern little tuna 93 023 95 080 48 866 30 311 38 576 42 553 71 835 Skipjack Tuna 41 271 50 398 50 843 48 668 50 519 51 314 56 147 Southern bluefin Tuna 665 1 831 747 1 079 891 Longtail tuna 36 703 30 779 32 804 24 053 21 743 Yellowfin Tuna 42 147 58 564 42 862 57 328 30 584 32 326 47 769 Tunas nei 1 - Billfish Billfish Total - - 6 690 5 817 4 851 5 363 14 957 Billfish nei 723 464 Black Marlin 1 102 691 1 207 298 7 429 Blue Marlin 1 512 1 389 101 39 64 Indo Pacific Sailfish 1 422 1 060 1 395 1 994 1 328 Short-billed spearfish - 4 5 Striped Marlin 1 181 396 466 3 177 Swordfish 2 653 2 496 1 752 1 839 2 491 Seerfish Seerfish Total 29 918 35 533 33 301 33 956 33 963 25 605 34 688 Indo-Pacific king mackerel 9 498 12 598 9 781 9 454 9 560 10 155 9 337

Narrow-barred Spanish

Mackerel 20 420 22 935 23 520 24 502 24 403 15 445 25 348 Wahoo 5 2 Other Others Total 26 176 31 049 27 256 20 599 21 369 22 149 13 892 Sharks Various nei 26 176 31 049 27 256 20 599 21 369 20 688 13 125    Non targeted                1461       767 

(44)

31   

Gambar 4. Perkembangan produksi tuna dan sejenisnya Indonesia di wilayah IOTC

Ikan jenis tuna adalah komoditas utama yang diproduksi Indonesia di Samudera Hindia (Gambar 4). Produksi tuna terbesar terjadi pada tahun 2008 sebesar 337.900 ton mengalami kenaikan sebesar 19,89%. Produksi ikan jenis tuna terendah terjadi pada tahun 2002, yaitu sebesar 232.536 ton.

Ikan jenis tuna terbagi lagi menjadi albacore, bigeye, frigate dan bullet tuna, kawakawa/ eastern little tuna, skipjack tuna, southern bluefin tuna, longtail tuna, yellowfin tuna, tunas nei. Produksi ikan jenis tuna merupakan target utama penangkapan di Samudera Hindia yang dikelola oleh IOTC. Data tertinggi menunjukkan, tuna jenis kawakawa/Eastern little tuna merupakan spesies tuna dengan jumlah terbesar yang dihasilkan oleh Indonesia di perairan Samudera Hindia.

Produksi jenis tuna terkecil dari tahun 2002-2008 adalah jenis southern

bluefin tuna atau tuna sirip biru. Ikan tuna sirip biru (Thunnus thynnus) adalah jenis ikan tuna yang memiliki nilai yang paling tinggi dan ditangkap dengan menggunakan rawai tuna di Samudera Hindia. Perairan Samudera Hindia di sebelah selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara merupakan daerah pemijahan dari

(45)

Produksi tuna terbesar terjadi pada tahun 2009, yaitu sebesar 19.476 ton, sedangkan ekspor terbesar juga pada tahun yang sama, yaitu 13.049 ton (Tabel 5). Produksi terendah terjadi pada tahun 2007 yaitu 10.091 ton, dengan nilai ekspor yang juga rendah, yaitu 6.865 ton.

Tabel 5 Produksi dan ekspor tuna yang dilakukan oleh perusahaan anggota Asosiasi Tuna Longline Indonesia

Tahun Produksi (ton) Ekspor (ton)

2005 13.686 9.776

2006 10.865 7.761

2007 10.091 6.865

2008 16.286 11.620

2009 19.476 13.049

Sumber: ATLI (2009)

Ikan tuna dapat ditangkap dengan berbagai alat penangkap ikan, kecuali dengan alat penangkap ikan dasar. Cara penangkapan yang paling efektif dan efisien adalah dengan menggunakan alat tangkap longline, purse seine dan pole

and line. Alat penangkap lainnya ialah dengan tonda (trolling) dan pancing (hand line).

Saat ini jumlah kapal penangkap ikan Indonesia yang sudah didaftarkan di IOTC berjumlah 1193 kapal (Lampiran 2). Sebagian besar kapal tersebut (95%)

(46)

33   

Gambar 5. Kapal tuna longline bersandar di Pelabuhan Nizam Zachman, Jakarta

Gambar 6 Bongkar muat di atas kapal tuna longline di Pelabuhan Nizam Zachman, Jakarta

Gambar 7 Penanganan ikan dengan pemberian es curah di atas kapal tuna

(47)

Gambar 8 Penyimpanan ikan tuna di ruang pendingin di Pelabuhan Nizam Zachman, Jakarta

Pasar tuna bersifat monopsoni, yaitu jumlah penjual lebih banyak daripada jumlah pembeli. Penjualan tuna internasional perlu diatur, salah satunya dengan pembentukan organisasi perikanan regional seperti IOTC. Tujuan ekspor tuna Indonesia adalah negara Jepang dan Amerika.

(48)

35   

Tabel 6 Volume ekspor komoditi perikanan jenis tuna di Indonesia.

Tahun Volume Ekspor (ton)

2002 92797

2003 117092

2004 94221

2005 91631

2006 91822

2007 121316 2008 130056 2009 131550 Sumber: KKP (2010)

5.1.2 Kegiatan yang telah dilakukan Indonesia sebagai anggota IOTC

Keikutsertaan Indonesia di IOTC juga merupakan bentuk komitmen Indonesia untuk berperan secara aktif dalam kerjasama dengan negara-negara lain melaksanakan konservasi dan pemanfaatan sumberdaya ikan, khususnya tuna di laut lepas Samudera Hindia. Sebagai salah satu RFMO (Regional Fisheries

Management Organization), yaitu organisasi pengelolaan perikanan regional di bawah FAO, IOTC diberi mandat untuk melakukan pengelolaan sumberdaya ikan tuna di wilayah laut lepas Samudera Hindia.

Saat ini IOTC memiliki anggota sebanyak 28 negara full member dan 3

negara cooperating non contracting parties, dimana setiap anggota berkewajiban untuk menerapkan keputusan-keputusan IOTC dalam berbagai resolusi dengan sistem hukum nasional. Sebagai anggota yang ke-27, Indonesia telah melaksanakan beberapa kegiatan antara lain:

1. Program revitalisasi perikanan tuna;

2. Penyampaian informasi kepada sekretariat IOTC tentang Authorized Vessel dan

Active Vessel atau kapal yang resmi melakukan penangkapan tuna;

3. Penyusunan Peraturan menteri No PER.03/MEN/2009 tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pengangkutan Ikan di Laut Lepas;

4. Persiapan penerapan logbook Perikanan;

5. Program outer fishing Port atau pelabuhan perikanan terluar; dan

6. Bersama Australia menyusun Regional Plan of Action (RPOA) to Promote

(49)

region, yakni rencana aksi dua negara untuk mewujudkan pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab termasuk pemberantasan illegal fishing. (www.iotc.org)

Ketika masih sebagai contracting parties IOTC, Indonesia mempunyai peluang dalam memanfaatkan sumberdaya ikan di laut lepas (high seas). Kewajiban Indonesia adalah melakukan kontrol yang efektif terhadap kapal perikanan yang melakukan kegiatan di laut lepas.

5.1.3 Strategi Indonesia sebagai Anggota IOTC

Terdaftarnya Indonesia sebagai anggota IOTC memberikan banyak peluang

kepada Indonesia untuk memajukan perikanan tuna Indonesia khususnya di

Samudera Hindia. IOTC merupakan suatu wadah bagi Indonesia untuk

memajukan perikanan tuna Indonesia di Samudera Hindia, yaitu dengan cara

berinteraksi langsung dengan negara-negara pelaku penangkapan ikan tuna dan

negara-negara lain yang berkepentingan dengan ikan tuna.

Indonesia memiliki akses langsung terhadap Samudera Hindia dalam

memanfaatkan sumberdaya ikan tuna di perairan tersebut. Dalam Satria et al.

(2009), Kajian Biro Hukum dan organisasi DKP (2008) menerangkan bahwa,

keuntungan bagi Indonesia menjadi anggota penuh dalam IOTC antara lain:

1. Ikut serta dalam menjaga kelestarian sumberdaya ikan tuna melalui penetapan peraturan-peraturan;

2. Turut menentukan kuota atas jumlah hasil tangkapan ikan tuna maupun ekspor tuna;

3. Dapat turut aktif melakukan kegiatan penangkapan tuna di wilayah statistik FAO;

4. Merupakan media kerjasama penelitian dan pengumpulan data perikanan, TAC (total allowable catch), MCS (monitoring, controlling, surveilance) dan

(50)

37   

5. Pengumpulan data perikanan di samudera Hindia dan laut lepas lebih mudah dan murah dilakukan, karena dilakukan secara bersama-sama dengan negara lain melalui organisasi IOTC;

6. Terhindar dari embargo atas ekspor tuna dari Indonesia;

7. Dapat ikut serta mengatur pengelolaan sumberdaya ikan tuna di perairan samudera Hindia.;

8. Menanggulangi IUU Fishing; dan

9. Pengembangan armada perikanan Indonesia akan lebih terbuka untuk berpartisipasi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di laut lepas samudera Hindia.

5.1.4 Pendapat ahli perikanan terhadap keanggotaan Indonesia di IOTC Para ahli perikanan berpendapat ada sejumlah manfaat yang diperoleh oleh Indonesia dengan bergabungnya Indonesia sebagai anggota penuh IOTC. Pernyataan mereka tersebut disajikan pada Tabel 7.

Paling sedikit ada 13 jenis manfaat yang diperoleh Indonesia dengan bergabung pada IOTC (Tabel 7). Hal ini dinyatakan oleh setiap narasumber sebagai pernyataan yang saling melengkapi. Narasumber SS (Dr. Suseno) memberikan jawaban terlengkap, yaitu sebanyak 9 manfaat. Manfaat itu antara lain terhidar dari praktek IUU, ikut menentukan kebijakan perikanan, khususnya di samudera Hindia, melegalkan kegiatan penangkapan tuna di samudera Hindia, Indonesia memiliki bargaining position yang kuat, banyaknya kerjasama teknik lingkup IOTC Indonesia, memperkuat status posisi Indonesia sebagai major

fishing player berbasis sustainable fisheries development, nelayan high sea

Indonesia lebih dapat diterima di negara lain, dan pro sustainable development.

Prof Dr. Rokhmin Dahuri, MS, selaku mantan Menteri dan Kelautan dan Perikanan, menyatakan ada sejumlah manfaat yang diperoleh Indonesia dengan

bergabungnya Indonesia di IOTC, manfaat itu antara lain, kemudahan dalam pemasaran tuna, ikut menentukan kebijakan perikanan, khususnya di Samudera Hindia, memiliki hak suara dalam pertemuan IOTC, melegalkan kegiatan penangkapan tuna di Samudera Hindia, Indonesia memiliki bargaining position

(51)

Narasumber lainnya, Prof. Dr. Daniel Monintjaselaku guru besar FPIK IPB (Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan) IPB, mengutarakan sejumlah manfaat yang diperoleh Indonesia, antara lain kemudahan pemasaran tuna, terhindar dari praktek IUU, memiliki hak suara dalam pertemuan IOTC, melegalkan kegiatan penangkapan tuna di Samudera Hindia, banyaknya kerjasama teknik lingkup IOTC Indonesia, memperkuat posisi Indonesia sebagai major fishing player

berbasis sustainable fisheries development, program pelestarian perikanan tuna di

Samudera Hindia dan Indonesia masuk dalam white list sebagai negara eksportir tuna.

Manfaat Indonesia dalam memasuki organisasi internasional dapat dilihat dari empat segi (politik, ekonomi, sosial budaya dan kemanusiaan) (Deplu, 2009). Begitu juga dengan manfaat yang diperoleh oleh Indonesia sebagai anggota penuh IOTC. Indonesia memperoleh manfaat dari segi politik, ekonomi sosial budaya dan kemanusiaan. Manfaat tersebut dijabarkan pada sub Bab 5.2.3.

Tabel 7 Pernyataan ahli perikanan manfaat bergabungnya Indonesia di IOTC

Manfaat yang diperoleh Indonesia RD SS AB DM AH ST LA

1. Kemudahan pemasaran tuna √ √ √ √

5. Terhindar dari praktek IUU √ √ √

3. Ikut menentukan kebijakan perikanan, khususnya di Samudera Hindia

√ √ √

5. Memiliki hak suara dalam pertemuan

IOTC

√ √

6. Melegalkan kegiatan penangkapan tuna

di Samudera Hindia

√ √ √ √

7. Indonesia memiliki bargaining position

yang kuat.

√ √ √

8. Banyaknya kerjasama teknik lingkup

IOTC Indonesia

√ √

9. Memperkuat posisi Indonesia sebagai

major fishing player berbasis

sustainable fisheries development

√ √

10. NNelayan high sea Indonesia lebih

dapat diterima di negara lain

11. Membangun budaya outward looking di

high sea

12. Pro sustainable development

13. Program pelestarian perikanan tuna di Samudera Hindia

√ √ √ √

14. Indonesia mendapatkan white list

sebagai negara eksportir tuna

(52)

39   

Keterangan:

RD: Prof. Dr Rokhmin Dahuri, MS (Mantan Mentri Kelautan dan Perikanan Kabinet Gotong Royong)

SS: Dr. Suseno (Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Sosial Ekonomi dan Budaya)

AB: Ir. Agus Budiman MAq (Direktur Sumberdaya Ikan KKP) DM: Prof Daniel Monintja (Guru Besar FPIK IPB)

AH: Abdullah Habibi (Capture Fisheries WWF)

ST: Drs. Soetomo, HP.BSc (Direktur Eksekutif ATLI/ Asosiasi Tuna Longline Indonesia) LA: Dr. Luky Adrianto (Anggota Komisi Tuna Indonesia)

5.2 Pembahasan

Manfaat ekonomi dari keanggotaan Indonesia dapat dilihat dari produksi dan ekspor tuna Indonesia. Manfaat keanggotaan dapat dilihat dari jumlah ekspor tuna Indonesia sejak Indonesia bergabung di IOTC. Data dari Asosiasi Tuna

Longline Indonesia (ATLI) menunjukan selama tahun 2008 dan 2009 merupakan ekspor terbesar yakni sebesar 11.620 ton pada tahun 2008 dan 13.049 ton pada tahun 2009. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya jumlah kapal Indonesia yang

didaftarkan di IOTC, sehingga upaya penangkapan optimal. Selain itu pada tahun 2007 Indonesia bergabung menjadi anggota tetap IOTC otomatis Indonesia memiliki akses pasar yang resmi dalam pemasaran tuna yang bersifat monopsoni (jumlah pembeli lebih sedikit daripada jumlah penjual).

Volume produksi perikanan merupakan salah satu parameter untuk mengukur keberhasilan suatu kebijakan perikanan yang diterapkan. Bergabungnya Indonesia di dalam IOTC merupakan sebuah keputusan politik perikanan dimana jumlah produksi merupakan salah satu yang perlu diperhatikan.

Penyebaran tuna terbesar di laut Indonesia terdapat di Samudera Hindia, hal ini jugalah yang menjadi faktor bergabungnya Indonesia di IOTC, suatu organisasi perikanan regional. Produksi tuna secara keseluruhan terbesar terjadi pada tahun 2008 sebesar 337.900 ton mengalami kenaikan sebesar hampir 20% (Tabel 3).

(53)

IOTC yang membahas mengenai tagging tuna, membahas mengenai data statistic

temperature tuna dan hal-hal lainnya yang memang difokuskan terhadap peningkatan produksi tuna (www.iotc.org). Hal ini memberikan kontribusi pada peningkatan produksi.

Kenaikan produksi tuna di Indonesia khususnya di Samudera Hindia disebabkan oleh banyak faktor antara lain bargaining position yang lebih kuat pada tahun 2007 di IOTC. Selain itu, musim penangkapan tuna yang lebih baik

pada tahun 2007-2008. Semenjak Indonesia bergabung dengan IOTC, manajeman penangkapan ikan tuna di Indonesia lebih terkoordinir seperti pengisian logbook

perikanan.

Salah satu kewajiban setiap anggota IOTC adalah membayar iuran wajib sebesar 2 milyar/ tahun. Jika dibandingkan dengan nilai ekspor atau penjualan tuna Indonesia, angka ini menguntungkan. Berikut contoh perhitungannya:

Besar iuran (US$ 200.000) : Rp 2.000.000.000/ tahun Volume ekspor tuna/ tahun di Samudera Hindia : 95.000 ton=95.000.000 kg Harga 1 kg tuna segar : 1000 yen=Rp 90.000,- Devisa = 95.000.000 kg X Rp 90.000,-/kg = RP 8.550.000.000.000,-

Perhitungan di atas menunjukkan bahwa dengan iuran hanya sebesar 0,02% dari pendapatan total ekspor, diperoleh devisa yang sangat signifikan.

Selain itu, manfaat ekonomi dapat dilihat dari akses pasar. Sifat pasar dari perikanan tuna merupakan pasar monopsoni, yaitu jumlah pembeli lebih banyak dari jumlah penjual. Untuk itu pemasarannya diatur oleh IOTC, hanya negara yang menjadi anggota IOTC saja yang dapat mengekspor tuna. jika negara tersebut tidak terdaftar, maka produknya akan di black list di pasar Internasional. Sebagai anggota resmi IOTC, maka produk tuna Indonesia legal di pasar internasional. Sebagai anggota penuh IOTC Indonesia dapat menjual tuna di pasar Internasional.

(54)

41   

menunjukkan, tuna jenis kawakawa/eastern little tuna merupakan spesies tuna dengan jumlah terbesar yang dihasilkan oleh Indonesia di perairan Samudera Hindia. Ikan jenis ini merupakan tuna kecil yang hidup bergerombolan. Tuna jenis kawakawa/Eastern little tuna memiliki jumlah yang cukup banyak tersebar di Samudera Hindia. Penangkapannya juga tidak sesulit tuna jenis lainnya. Alat tangkap yang digunakan dapat beragam antara lain jaring insang hanyut dan purse

seine. Sehingga jumlah produksi ikan jenis ini cukup besar di Samudera Hindia.

Cakupan jenis tuna yang dikelola IOTC cukup banyak, hampir seluruh jenis yang ada di samudera Hindia. Namun ada satu jenis yang mendapat perhatian khusus walaupun volume produksinya kecil, yaitu southern bluefin tuna. Produksi jenis tuna terkecil dari tahun 2002-2008 adalah jenis Southern bluefin tuna atau tuna sirip biru. Ikan tuna sirip biru (Thunnus thynnus) adalah jenis ikan tuna yang memiliki nilai yang paling tinggi dan ditangkap dengan menggunakan rawai tuna di Samudera Hindia. Perairan Samudera Hindia di sebelah Selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara merupakan daerah pemijahan dari jenis tuna ini. Ikan ini biasanya bermigrasi ke perairan Selatan Jawa dan Bali. (BRPT, 2002). Kecilnya produksi tuna sirip biru (Thunnus thynnus) disebabkan oleh jumlah tuna spesies ini yang sangat terbatas di samudera Hindia, sedangkan banyak pengusaha perikanan tuna yang menjadikan tuna sirip biru sebagai target utama penangkapan, karena harganya yang sangat tinggi, terutama oleh pengusaha tuna yang berasal dari Taiwan, Jepang, Korea, Selandia Baru, dan Australia. Oleh sebab itu, dibentuklah suatu komisi yang disebut Convention of Southern Bluefin Tuna untuk mengelola secara bersama-sama sumberdaya yang sangat penting dan populasinya sudah sangat menurun (BRPT, 2002)

Sejak Indonesia secara resmi menjadi anggota penuh (full member) IOTC ke 27 pada tanggal 9 Juli 2007, maka keanggotaan tesebut memberikan manfaat politik. Terdaftarnya Indonesia sebagai full member IOTC merupakan

Gambar

Tabel 3 Daftar narasumber yang diwawancarai
Gambar 2 Cakupan Kawasan Pengelolaan IOTC.  Sumber: FAO (2002)
Tabel 4 Daftar negara anggota tanggal mereka bergabung menjadi anggota Indian Ocean Tuna Comission (IOTC)
Tabel 4. (Lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Korporasi asing sebagai pelaku tindak pidana illegal fishing belum diatur dalam Undang-Undang perikanan di Indonesia, dalam hal kapal asing melakukan pencurian ikan di

Nelayan sebagai pelaku utama dalam kegiatan penangkapan ikan yang tumbuh dan berkembang di wilayah pesisir di seluruh Indonesia, namun demikian pertumbuhan aktivitas usaha

Memahami betapa peliknya posisi partai politik dalam pelaksanaan pemerintahan, terutama di kabinet pemerintahan Indonesia Bersatu jilid II saat ini, maka membangun karakter

1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan

Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkap ikan, dan anak buah kapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan

Angela Hutabarat, 130906090, Kebijakan Indonesia dalam Mengatasi Imigran Gelap Di Indonesia, di bawah bimbingan Heri Kusmanto, MA, Ph.D sebagai Dosen Pembimbing.. Jurusan

Posisi Indonesia juga cukup strategis dalam perdagangan kopi dunia, karena Indonesia menempati posisi ke 4 di tahun 2016, sebagai negara produsen dan pengekspor kopi terbesar di dunia,

Satgas bertugas mengembangkan dan melaksanakan operasi penegakan hukum dalam upaya pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal di wilayah laut yurisdiksi Indonesia secara efektif dan