IZNILLAH FADHOLI ARHAM
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
KAJIAN LANSKAP BUDAYA LINGKAR DANAU MANINJAU KABUPATEN AGAM, SUMETERA BARAT
adalah benar merupakan hasil karya saya dengan arahan pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber
data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan pada Daftar Pustaka skripsi ini.
Bogor, April 2012
RINGKASAN
IZNILLAH FADHOLI ARHAM. Kajian Lanskap Budaya Lingkar Danau Maninjau Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Dibimbing oleh NURHAYATI HS ARIFIN.
Asal-muasal masyarakat Maninjau berasal dari perantau yang turun dari puncak Gunung Marapi. Masyarakat ini merupakan sebagian dari suku Minang yang sampai ke Puncak Lawang di atas Maninjau. Sebelum memanfaatkan kekayaan alam dan memulai hidup di sekitar Danau Maninjau, mereka meninjau kelayakan kekayaan alam dengan hati-hati dan sangat bijak. Interaksi masyarakat dengan lanskap alami lingkar Danau Maninjau semakin tinggi dari masa ke masa. Faktor pendorongnya yaitu, laju konversi penggunaan lahan, pembangunan fisik yang tidak seimbang, dan penurunan kualitas budaya masyarakat semakin cepat. Hal ini mengakibatkan degradasi kualitas lingkungan (alam dan budaya). Kualitas lingkungan yang menurun ini terkait erat dengan pola aktivitas budaya masyarakat yang berkembang saat ini.
Masyarakat di lingkar Danau Maninjau saat ini sudah jauh meninggalkan akar
budaya „meninjau alam‟ yang dulu dilakukan oleh para pendahulu, contohnya budidaya ikan dengan sistem karamba jala apung. Budidaya dengan sistem karamba jala apung menjadi trend karena komoditasnya menjanjikan secara ekonomis dalam jangka pendek tetapi dapat mengancam dan menyaingi keberlanjutan ekosistem spesies endemik di Danau Maninjau. Permasalahan tersebut sangat mempengaruhi pola sosial dan ekonomi masyarakat. Alam sebagai tempat hidup dan berpijak bagi manusia akan semakin sempit. Daya dukung lingkungan alam semakin menurun, jika tidak ada kesadaran, kontrol, dan perhatian pada aspek-aspek yang mempengaruhi keberlanjutannya. Kekhawatiran terhadap keberlanjutan lanskap budaya di masa yang akan datang adalah latar belakang kajian lanskap budaya di wilayah lingkar Danau Maninjau ini.
Penelitian dilaksanakan selama sembilan minggu, mulai akhir bulan Februari 2011 sampai dengan April 2011, di kawasan nagari lingkar Danau Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Penelitian ini dilakukan dengan tahap-tahap berupa inventarisasi data, analisis, dan sintesis (rekomendasi). Inventarisasi data dilakukan dengan metode observasi lapangan, pengamatan, kuisioner, dan wawancara kepada elemen pemerintahan nagari serta tetua atau pemerhati adat budaya setempat. Analisis dilakukan baik secara deskriptif maupun spasial. Analisis spasial bertujuan untuk menghasilkan deskripsi karekteristik lanskap budaya lingkar Danau Maninjau dan mengetahui karakter interaksi manusia dan lanskap alami tersebut dengan unit analisis setiap nagari di dalamnya. Analisis deskriptif dilakukan dengan metode analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat). Metode SWOT bertujuan untuk menganalisis keberlanjutan dan merumuskan strategi pengembangan dan pelestarian lanskap budaya di Lingkar Danau Maninjau tersebut.
kabupaten kelas-III. Kecamatan Tanjung Raya termasuk dalam daerah yang terletak di ketinggian 461,5 meter di atas permukaan laut dengan suhu rata-rata antara 23°C - 31°C, kelembaban nisbi sebesar 95%, kecepatan angin 23 km/jam, dan curah hujan rata-rata mencapai 2.500-3.500 mm/tahun dengan bulan kering selama 1-2 bulan berturut-turut. Danau Maninjau juga termasuk ke dalam satuan morfologi Gunung Api Strato. Pada morfologi ini bagian puncak dan lereng bagian atas merupakan aliran permukaan atau resapan, sedangkan pada bagian kaki gunung ditafsirkan sebagai daerah akumulasi air tanah. Daerah Danau Maninjau merupakan bagian dari Sistem Patahan Besar Sumatera (The Great Sumatran Fault Sistem). Pada bagian tengah merupakan patahan utama yang aktif. Secara visual, tampak dari atas morfologi landform Gunung Maninjau tidak memperlihatkan bentuk sebuah gunungapi yang lengkap, tetapi berbentuk sebuah kerucut terpancung. Puncak-puncak bukit yang tinggi-tinggi hampir-hampir mengelilingi kaldera Maninjau, terutama di utara dan Selatan dengan ketingian mencapai 1500 m pada Puncak Gunung Rangkian di Utara dan 1252 m pada puncak Gunung Tanjung Balit di selatan. Secara ekosistem, Kawasan Danau Maninjau merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Antokan dan juga termasuk Satuan Wilayah Sungai (SWS) Anai Sualang. Fenomena hidrologi rutinan di Danau Maninjau adalah tubo balerang atau racun belerang. Endapan belerang dari dasar danau secara rutin akan naik ke permukaan disebabkan oleh pola angin darat yang juga rutin melewati Danau Maninjau. Penggunaan lahan terbaru dalam dokumen RTRW Kabupaten Agam 2010-2030 menunjukkan bahwa data penggunaan lahan di lingkar Danau Maninjau tahun 2010 sangat berubah, dengan konversi hutan atau lanskap alami menjadi lahan budidaya intensif, dibanding data tahun 2002 hutan yang masih cukup mendominasi. Pemanfaatan sumber daya alami yang berlebihan ini juga menyebabkan semakin banyaknya endapan dari buangan limbah pemukiman dan tren budidaya perikanan jala apung atau karamba yang semakin tidak terkontrol.
Jumlah penduduk Kawasan Danau Maninjau pada tahun 2013 diperkirakan mencapai 30.961 jiwa atau meningkat sekitar 4,38% dari tahun 2001. Secara keseluruhan jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari pada laki-laki dan didominasi oleh kelompok umur kategori pra-produktif yang mencapai 44,4% total penduduk. Kawasan Danau Maninjau merupakan bagian yang memegang peranan penting dalam perekonomian Kabupaten Agam. Kegiatan perekonomian unggulan di kecamatan ini terletak pada sektor dan sub sektor pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan, serta pariwisata. Sistem lembaga kemasyarakatan di kawasan lingkar Danau Maninjau berbeda dari wilayah lainnya di Indonesia, dengan sistem Nagari yang secara hierarki administratif berada di bawah Kecamatan. Masyarakat lingkar Danau Maninjau merupakan masyarakat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau secara tradisional telah memiliki prinsip filosofis yang mengatur konsepsi hidup dan kehidupan masyarakatnya. Filosofi adat Minang tersebut adalah Alam Takambang Jadi Guru atau filosofi ekologis. Sistem adat yang berlaku di masyarakat lingkar Danau Maninjau adalah Adat Minangkabau. Secara mendasar sistem ini tidak berbeda dengan masyarakat Minangkabau di daerah lainnya, yang membedakan hanya pada tataran metodologis dan praktis dalam kehidupan sehari-hari.
dan PARIWISATA, berbasis Mitigasi Bencana serta Konservasi‟. Secara umum kebijakan ini sudah cukup baik, tetapi pada spesifik aturan tertentu perlu dikaji ulang terkait dampaknya terhadap keberlanjutan lanskap budaya setempat. Aktivitas wisata yang berkembang dianggap sebagai ancaman bagi pemerhati budaya lokal. Maka perlu ada interaksi dan komunikasi yang terbuka dari berbagai pihak terkait untuk memajukan potensi industri pariwisata Danau Maninjau tanpa harus mengurangi atau merusak nilai-nilai budaya lokal.
Secara ekologis, kawasan lingkar Danau Maninjau ini dapat diklasifikasikan melalui pendekatan derajat pengubahan manusia terhadap lanskap alami. Semakin besar pengubahan lanskap alaminya maka semakin rendah pula nilai ekologisnya. Setelah dihitung luasan masing-masing kelompok pengubahan penggunaan lanskap alami pada setiap nagari, diketahui bahwa Nagari Maninjau, Bayua, dan Duo Koto merupakan nagari-nagari yang didominasi oleh kelompok pengubahan lanskap alami intensif (nilai ekologis rendah); Nagari Tanjung Sani didominasi oleh kelompok lanskap alami transisi (nilai ekologis sedang); dan Nagari Sungai Batang, Koto Kaciak, Koto Gadang, Koto Malintang, dan Paninjauan merupakan nagari-nagari yang didominasi oleh kelompok pengubahan lanskap alami rendah (nilai ekologis tinggi). Indikator dari aspek sosial ekonomi dalam studi ini ditinjau dari segi kepadatan penduduk. Klasifikasi kepadatan penduduk per-nagari di Kecamatan Tanjung Raya dari data sensus tahun 2007 adalah sebagai berikut: Maninjau dan Duo Koto sangat padat; Bayua, Koto Kaciak, Paninjauan cukup padat; Koto Gadang, Tanjung Sani, Sungai Batang, Koto Malintang kurang padat. Hasil penilaian aspek sejarah spiritual budaya menunjukkan bahwa Nagari Sungai Batang adalah satu-satunya nagari yang termasuk dalam kriteria nagari dengan nilai sejarah, spiritual, dan budaya tinggi, dengan jumlah situs sejarah budaya mencapai sembilan titik dan kegiatan lembaga adat kemasyarakatan cukup baik. Nagari yang termasuk dalam kelompok nilai sejarah, spiritual, dan budaya rendah adalah Nagari Koto Gadang dan Koto Malintang dengan jumlah situs sejarah budaya dan kegiatan lembaga adat kemasyarakatan yang terdata kurang dari tiga. Enam nagari lainnya termasuk dalam kelompok nilai sedang. Setelah menilai setiap komponen aspek analisis dalam analisis karakteristik lanskap budaya (ekologi, sosial ekonomi, dan sejarah spiritual budaya), total akumulasi nilai setiap nagari tersebut yaitu Nagari Sungai Batang dengan nilai karakteristik lanskap budaya tertinggi, Maninjau dan Duo Koto dengan nilai rendah, sedangkan enam nagari lainnya dengan nilai sedang.
® Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB.
KAJIAN LANSKAP BUDAYA LINGKAR DANAU MANINJAU
KABUPATEN AGAM, SUMATERA BARAT
IZNILLAH FADHOLI ARHAM
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian pada
Departemen Arsitektur Lanskap,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Kajian Lanskap Budaya Lingkar Danau Maninjau Kabupaten Agam, Sumatera Barat
Nama Mahasiswa : Iznillah Fadholi Arham
NRP : A44070054
Departemen : Arsitektur Lanskap
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Nurhayati HS Arifin, M.Sc NIP. 1962 0121 1986 01 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Arsitektur Lanskap
Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA NIP. 1948 0912 1974 12 2 001
RIWAYAT HIDUP
Penulis, Iznillah Fadholi Arham, dilahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat,
pada tanggal 14 November 1990. Penulis merupakan anak pertama dari dua
bersaudara dari keluarga Bapak Suratmin dan Ibu Dewi Marianti. Penulis memulai
pendidikannya pada tahun 1995 di TK An-Nur Pekanbaru dan lulus pada tahun
1996. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikannya di SD Negeri 036 Pandau
Jaya sampai kelas dua dan melanjutkan di SD Negeri 005 Sail Pekanbaru sampai
lulus 2002. Kemudian pada tahun 2002, penulis melanjutkan studi di MTs Pondok
Pesantren Modern Islam Assalaam Surakarta dan menyelesaikannya di tahun 2004.
Pada tahun 2007, penulis lulus dari SMA Pondok Pesantren Modern Islam
Assalaam Surakarta. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Departemen
Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk Institut (USMI). Dalam masa pendidikan di Institut
Pertanian Bogor penulis juga mengambil bidang ilmu pendukung dari minor
Pengelolaan Wisata Alam dan Jasa Lingkungan, Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.
Selama menjalankan studi di Institut Pertanian Bogor, penulis juga mengikuti
kegiatan-kegiatan di luar akademik, seperti menjadi pengurus Himpunan Profesi
Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP) divisi Pemberdayaan Sumberdaya
Manusia pada kepengurusan tahun 2009, Wakil Ketua urusan internal Himpunan
Profesi Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP) pada kepengurusan tahun
2010, pembentuk dan anggota Komunitas Pecinta Alam HIMASKAP (KOALA)
sejak tahun 2010, pembentuk dan anggota Komunitas Fotografi HIMASKAP atau
HIMASKAP Photo Club (HPC) sejak tahun 2010, pembentuk dan anggota komunitas Environmental Art (ENVO) HIMASKAP pada tahun 2010, dan menjadi asisten Mata Kuliah Analisis Tapak (ARL-310) pada Departemen Arsitektur
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas rahmat dan karunia yang
diberikan Allah SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
baik. Skripsi dengan judul “Kajian Lanskap Budaya Lingkar Danau Maninjau,
Kabupaten Agam, Sumatera Barat” disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian dengan Mayor Arsitektur Lanskap dari
Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulisan skripsi ini didasari oleh keinginan untuk ikut dalam upaya
pelestarian kawasan dan budaya masyarakat lingkar Danau Maninjau di Kabupaten
Agam, Provinsi Sumatera Barat. Selain itu, juga untuk meningkatkan rasa
kepedulian dan penghargaan diri sendiri dan masyarakat terhadap keberlanjutan
lanskap budaya lingkar Danau Maninjau.
Pada kesempatam kali ini penulis menyampaikan apresiasi, penghargaan, dan
ucapan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah terlibat dan berkontribusi
dalam proses penelitian serta penyelesaian penulisan skripsi ini, yaitu kepada:
1. Dewi Marianti, SPd. dan Suratmin selaku kedua orang tua, serta keluarga
besar yang amat dicintai atas doa, dukungan, kepercayaan, semangat, dan
bantuan yang diberikan kepada penulis sampai saat ini.
2. Dr. Ir. Nurhayati HS Arifin, MSc. selaku dosen pembimbing skripsi atas
bimbingan, masukan dan arahannya selama penyusunan skripsi ini.
3. Dr. Ir. Setia Hadi, MS. sebagai pembimbing akademik atas arahan dan
bimbingan selama penulis menjalani kuliah.
4. Ir. Qodarian Pramukanto, MS. dan Dr. Ir. Tati Budiarti, MS. selaku dosen
penguji atas masukan, kritik, dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini.
5. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten
Agam, Kecamatan Tanjung Raya, dan seluruh Kenagarian (Maninjau,
Bayur, Duo Koto, Koto Kaciak, Koto Gadang, Koto Malintang, Tanjung
Sani, Sungai Batang, dan Paninjauan) selingkar Danau Maninjau atas
bantuannya dalam pengumpulan data selama penelitian.
6. Sahabat seperjuangan Arsitektur Lanskap IPB angkatan 44 atas
7. Keluarga besar di Departemen Arsitektur Lanskap IPB angkatan 40, 41, 42,
43, 45, 46,47 dan seluruh civitas akademik atas sukacita bersama dan
motivasinya.
8. Seluruh pihak yang telah memberikan motivasi, saran dan nasehat yang
membantu penulis selama proses penyusunan laporan penelitian ini.
Penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat
lingkar Danau Maninjau, pemerintah setempat, dan seluruh pihak terkait, serta
dapat berguna sebagai referensi bagi penelitian lain yang dilaksanakan pada masa
yang akan datang.
Bogor, April 2012
DAFTAR ISI
2.3. Sistem Adat Budaya Minangkabau ... 8
2.4. Keberlanjutan Lanskap Budaya ... 9
III. METODOLOGI ... 19
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 19
3.2. Batasan Penelitian ... 20
3.3. Tahapan dan Metode Penelitian ... 20
3.3.1. Inventarisasi ... 20
3.3.2. Analisis ... 22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25
4.1. Aspek Fisik dan Biofisik ... 25
4.1.1. Wilayah Administrasi Lingkar Danau Maninjau ... 25
4.1.2. Aksesibilitas dan Sirkulasi ... 25
4.1.3. Iklim ... 27
4.1.4. Geologi, Tanah, dan Topografi ... 28
4.1.5. Hidrologi ... 32
4.1.6. Penutupan dan Penggunaan Lahan ... 35
4.1.7. Visual ... 39
4.2. Aspek Sosial Budaya ... 42
4.2.1. Demografi ... 42
4.2.3. Filosofi dan Nilai-Nilai ... 48
4.2.4. Sistem Adat dan Budaya ... 49
4.3. Pengaruh Eksternal ... 50
4.3.1. Kebijakan dan Peraturan Pemerintah - RTRW ... 50
4.3.2. Aktivitas Wisata ... 70
4.4. Analisis Karakteristik Keberlanjutan Lanskap Budaya ... 71
4.4.1. Ekologi ... 71
4.4.2. Sosial Ekonomi ... 74
4.4.3. Sejarah Spiritual Budaya... 75
4.4.4. Total Nilai Karakteristik Keberlanjutan Lanskap Budaya ... 77
4.5. Analisis Keberlanjutan ... 78
4.5.1. SWOT ... 78
4.5.2. Rekomendasi Keberlanjutan ... 83
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 85
5.1. Simpulan ... 85
5.2. Saran ... 86
DAFTAR PUSTAKA ... 87
DAFTAR TABEL
1 Formulir Tingkat Kepentingan Faktor Internal ...14
2 Formulir Tingkat Kepentingan Faktor Eksternal ...14
3 Formulir Pembobotan Faktor Internal dan Eksternal ...15
4 Formulir Matriks IFE ...16
5 Formulir Matriks EFE ...16
6 Formulir Matriks SWOT ...18
7 Formulir Penentuan Peringkat Alternatif Strategi ...18
8 Jenis dan Sumber Data ...21
9 Data Sensus Penduduk Kecamatan Tanjung Raya (BPS, 2007) ...43
10 Perbedaan Konsepsi Nagari dan Desa ...46
11 Penilaian Karakteristik Keberlanjutan Lanskap Budaya ...77
12 Tingkat Kepentingan Faktor Internal ...79
13 Tingkat Kepentingan Faktor Eksternal ...80
14 Pembobotan Faktor Internal ...80
15 Pembobotan Faktor Eksternal ...80
16 Skor Pembobotan Faktor Internal ...81
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka Pikir Penelitian ... 4
2 Sistem Adat Minangkabau ... 9
3 Kuadran Strategi ...17
4 Lokasi Penelitian ...19
5 Tahapan Penelitian ...20
6 Peta Aksesibilitas ...26
7 Peta Iklim Tipe Oldeman ...28
8 Peta Geologi dan Tanah ...30
9 Peta Topografi dan Kemiringan Lahan ...31
10 Peta Daerah Aliran Sungai ...34
11 Perubahan Tutupan Lahan ...37
12 Peta Penggunaan Lahan tahun 2010 ...38
13 Lanskap Danau Maninjau dari Kelok-44 ...40
14 Lanskap Bagian Utara Danau Maninjau ...40
15 Lanskap Bagian Tenggara Danau Maninjau ...41
16 Lanskap Bagian Selatan Danau Maninjau ...42
17 Lanskap Bibir Pantai dan Tebing Danau Maninjau ...42
18 Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Maninjau ...61
19 Persentase Persepsi Masyarakat tentang Aktivitas Wisata ...71
20 Klasifikasi Ekologis ...72
21 Ilustrasi Penampang Danau ...74
DAFTAR LAMPIRAN
1 Surat Rekomendasi Permohonan Data Penelitian ...89
2 Surat Rekomendasi Izin Penelitian / Observasi ...90
3 Kuisioner Persepsi dan Preferensi Masyarakat ...91
4 Draft Wawancara Sejarah Asal-usul Kampung ...92
Budaya dan lanskap Indonesia saat ini adalah gabungan dari berbagai
interaksi warisan alam, budaya, dan sejarah yang sangat beragam. Pembentuk
keragaman ini tidak hanya dari akar budaya lokal atau nasional, tetapi juga dari
dinamisnya intrusi beragam etnis pendatang dari berbagai negara yang membawa
trend budayanya masing-masing. Kekayaan ini menyumbangkan berbagai karakter dari berbagai aspek khususnya nilai karakter lanskap budaya. Suatu
kebudayaan dari masyarakat atau komunitas lokal akan semakin sulit
diidentifikasi karakternya apabila terjadi penurunan nilai budaya atau sejarah dan
juga nilai fisik alami yang terkandung, mengingat interaksi antar beragam
kelompok manusia dan lanskap semakin intensif dan beragam bentuknya. Oleh
karena hal di atas, penting untuk dilakukan kajian mengenai interaksi manusia dan
lanskap, yang selanjutnya disebut sebagai lanskap budaya, sebagai bahan dasar
pengembangan berkelanjutan dan upaya pelestarian dari berbagai nilai yang
terkandung didalamnya.
Danau Maninjau di Sumatera Barat merupakan danau vulkanik yang berada
di ketinggian 461,5 meter di atas permukaan laut. Luas Danau Maninjau sekitar
99,5 km² atau 9950 Ha, dengan kedalaman rata-rata 157 m, volume air 10.4 km³,
dan keliling 66 km. Danau Maninjau berbentuk cekungan yang dikelilingi oleh
bukit-bukit yang tersusun seperti dinding. Kekayaan yang tersimpan di alam
Maninjau beserta danaunya membuat hubungan antara manusia dan alam semakin
dekat. Lahan subur, iklim yang nyaman, sumber makanan dan air yang berlimpah,
serta banyak kekayaan lainnya. Kebutuhan akan sumber daya alam di sini pada
awalnya terbentuk hanya atas alasan bertahan hidup, tetapi perkembangan zaman
membuat pola hidup terus berkembang dan membentuk beragam alasan lainnya.
Hal tersebut membentuk beragam karakter lanskap budaya yang tumbuh dan
berkembang di lingkar Danau Maninjau hingga saat ini.
Asal-muasal masyarakat Maninjau berasal dari perantau yang turun dari
puncak Gunung Marapi. Masyarakat ini merupakan sebagian dari suku Minang
yang sampai ke Puncak Lawang di atas Maninjau. Sebelum memanfaatkan
kelayakan kekayaan alam dengan hati-hati dan sangat bijak. Filosofi dasar „Alam takambang jadi guru‟ dipegang dan diaplikasikan dengan baik dalam bertindak. Mereka meninjau cukup lama dari bukit-bukit yang tinggi di batas luar Maninjau,
meninjau alam di bawah apakah akan layak dihuni dan tidak membahayakan
kehidupannya. Hanya lahan-lahan yang cukup datar dipilih sebagai lahan
budidaya. Hutan primer di bukit-bukit terjal yang mengelilingi danau dijaga agar
tidak terjadi longsor. Sumber protein dari danau telah cukup melimpah dengan
beragam spesies endemik akan meledak populasinya pada waktu-waktu tertentu,
sehingga dapat dengan mudah dipanen tanpa perlu budidaya atau interaksi intensif
pada danau, sehingga kejernihan danau tetap terjaga. Ekosistem darat dan danau
saling mendukung.
Pola budaya yang sangat berbeda terasa saat ini. Masyakat di lingkar Danau
Maninjau saat ini tampaknya sudah jauh meninggalkan akar budaya „meninjau
alam‟ yang dulu dilakukan oleh para pendahulu. Intensitas interaksi (derajat pengubahan lanskap alami) oleh masyarakat terhadap lanskap lingkar Danau
Maninjau semakin tinggi dari masa ke masa. Pemukiman dan lahan-lahan
budidaya dikembangkan pada lahan-lahan curam bekas hutan yang menyangga
tebing dan pada bibir danau. Interaksi langsung tidak hanya dilakukan di daratan
tetapi juga pada danau, dengan budidaya sistem jala apung atau keramba yang
semakin intensif dilakukan. Hal ini mengakibatkan akumulasi unsur hara
berlebihan pada air danau dan menyaingi populasi spesies endemik Danau
Maninjau. Inilah potret lanskap budaya di lingkar Danau Maninjau saat ini dan
keberlanjutannya sangat mengkhawatirkan. Permasalahan tersebut sangat
mempengaruhi pola sosial dan ekonomi masyarakat. Alam sebagai tempat hidup
dan bepijak bagi manusia akan semakin sempit. Daya dukung lingkungan alam
semakin menurun, jika tidak ada kesadaran, kontrol, dan perhatian pada
aspek-aspek yang mempengaruhi keberlanjutannya.
Kekhawatiran terhadap keberlanjutan lanskap budaya di masa yang akan
datang adalah latar belakang kajian lanskap budaya di wilayah lingkar Danau
Maninjau ini. Sangat penting untuk mengetahui berbagai karakter dan menilai
keberlanjutan lanskap budaya yang terbentuk dan berkembang sebagai dasar
dalam menentukan arah perencanaan dan pengembangan lanskap lingkar Danau
Maninjau secara berkelanjutan.
1.2. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi unit lanskap budaya di lingkar Danau Maninjau,
2. Menganalisis keberlanjutan lanskap budaya tersebut,
3. Menyusun rekomendasi pengembangan dan pelestarian lanskap di lingkar
Danau Maninjau yang berkelanjutan.
1.3. Manfaat
Adapun manfaat dari hasil penelitian ini adalah:
1. Menjadi bahan masukan dan rekomendasi bagi Pemerintah Kabupaten
Agam, atau pemerintah setempat, beserta pihak-pihak yang terkait dalam
merencanakan, mengembangkan, dan mengelola lanskap Danau Maninjau
2. Sebagai informasi yang melengkapi pengetahuan dan menambah wawasan
tentang lanskap badaya Danau Maninjau dan membuka kesadaran untuk
menjaga atau memelihara keberlanjutannya.
1.4. Kerangka Pikir
Lanskap alami Danau Maninjau, suatu dasar ekologis suatu ekosistem yang
akan berkembang didalamnya, tidak akan pernah lepas dari sentuhan-sentuhan
manusia dengan aspek-aspek sosial ekonomi dan budaya spiritual yang
dibawanya. Aspek ekologis, sosial-ekonomi, dan spiritual budaya merupakan tiga
pilar keberlanjutan yang juga dijadikan dasar oleh Global Ecovillage Network (GEN) sebagai acuan dalam metode Penilaian Keberlanjutan Masyarakat yang umumnya dikenal dengan Community Sustainability Assessment (CSA). Hasil interaksi antara manusia dan alam ini disebut sebagai lanskap budaya. Lanskap
budaya Danau Maninjau seiring perkembangan zaman dan pertumbuhannya akan
terus membawa dampak terhadap keberlanjutannya. Dampak yang paling
berpengaruh dalam hal ini adalah penurunan kualitas budaya dan juga kualitas
fisik lanskapnya. Hal tersebut akan menjadi dasar kajian pada penelitian ini. Hasil
pelestarian, dan juga pengelolaan lanskap budaya lingkar Danau Maninjau yang
berkelanjutan (Gambar 1).
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Budaya
Lanskap merupakan suatu bentang alam dengan berbagai karakteristik yang
terdefinisi secara harmoni menurut seluruh indra manusia (Simonds,2006).
Definisi umum ini membuat pengertian lanskap dapat terdiferensiasi menurut
skala tertentu, mulai dari skala mikro sebatas taman kantong sampai skala makro
dalam tataran regional dan universal.
Budaya merupakan kesatuan makna dari hasil cipta, karya, dan karsa, yang
dalam hal ini, manusia. Budaya pasti bersifat dinamis karena pada dasarnya
kebudayaan merupakan hasil peradaban dari setiap masa. Hal ini tersimpulkan
dari tulisan Kluckhohn dalam Koentjaraningrat (1986) yang isinya sebagai
berikut, soal-soal yang paling tinggi nilainya dalam hidup manusia dan yang
secara universal ada dalam tiap kebudayaan di dunia paling sedikit menyangkut
lima hal, yaitu:
1. hakekat dari hidup manusia
2. hakekat dari karya manusia
3. hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu
4. hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya
5. hakekat dari hubungan manusia dengan sesama manusia.
Lanskap budaya sering diartikan sebagai sinonim dari lanskap buatan atau
lanskap hasil rancangan, seperti taman, boulevard, kampus, rekayasa tapak,
penanaman dan sebagainya. Lanskap budaya, menurut Plantcher dan Rossler
(1995), merupakan sebuah model interaksi antara manusia, sistem sosial, dan cara
mereka mengorganisasi ruang. Beberapa definisi lain mendefinisikan lanskap
budaya sebagai wujud fisik dari setting perkotaan atau kawasan yang diciptakan
oleh suatu etnis atau ras tertentu. Menurut Longstreth (2008) ketepatan dasar arti
dari konsep lanskap budaya adalah perbedaan atau pembeda dari suatu tempat
yang tidak cukup dinilai hanya dari lingkup kecil skala halaman rumah. Thisler
(dalam Nurisjah dan Pramukanto, 2001) mendefinisikan lanskap budaya sebagai
suatu kawasan geografis yang menampilkan ekspresi lanskap alami oleh suatu
Identitas atau karakter lanskap budaya dapat dijabarkan melalui tiga
kelompok komponen, yaitu konteks, organisasi, dan elemen (Melnick, 1983).
Penjabaran dari masing-masing kelompok komponen tersebut antara lain sebagai
berikut:
1. lanskap budaya dalam kelompok konteks
a. sistem organisasi lanskap budaya
b. kategori penggunaan lahan secara umum
c. aktivitas khusus dari penggunaan lahan
2. lanskap budaya dalam kelompok organisasi
a. hubungan bentuk bangunan dangan elemen mayor alami
b. sirkulasi jaringan kerja dan polanya
c. batas pengendalian elemen
d. penataan tapak
3. lanskap budaya dalam kelompok elemen
a. hubungan pola vegetasi dengan penggunaan lahan
b. tipe bangunan dan fungsinya
c. bahan dan teknik konstruksi
d. skala kecil dari elemen
e. makam atau situs simbolik sejenisnya
f. pandangan sejarah dan kualitas persepsi.
Lanskap sejarah budaya memiliki nilai yang penting sebagai jatidiri dan
kebanggaan suatu bangsa. Menurut Goodchild (1990), lanskap sejarah harus
dikonservasi karena :
1. sesuatu yang penting dan merupakan bagian integral dari warisan budaya
2. menyediakan fakta fisik dan arkeologi dari warisan sejarah dan budaya
3. memberi kontribusi untuk kesinambungan perkembangan budaya
4. memberi kontribusi pada keragaman yang ada
5. memberikan kenyamanan bagi masyarakat, beristirahat, bersenang-senang,
menyegarkan jiwa, atau menemukan inspirasi
6. mermanfaat untuk kepentingan ekonomi dan kenyamanan masyarakat
2.2. Lanskap Danau Maninjau
Danau merupakan suatu istilah untuk salah satu jenis ekosistem perairan
darat. Menurut Suwigno (dalam Ubaidillah dan Maryanto,2003) perairan
dikatakan bertipe danau, apabila perairan tersebut dalam dengan tepian curam.
Danau cenderung memiliki kejernihan air yang lebih baik dibanding rawa dan
sungai. Tumbuhan air pada danau terbatas hanya pada tepian. Pada umumnya
danau bercirikan sebagai berikut: memiliki kecuraman tinggi atau terjal,
kedalaman lebih dari 100 m, fluktuasi permukaan air + 1-2 m, daerah tangkap
hujan sempit, jumlah teluk sedikit, garis pantai pendek, masa simpan air lama, dan
pengeluaran (outlet) air dari atas. Ciri-ciri tersebut membedakan kondisi ekologis
danau dan sekelilingnya dengan kondisi ekologis perairan tergenang di darat
lainnya seperti rawa, situ, dan waduk.
Salim (1968) menggambarkan Danau Maninjau sebagai nikmat yang tak
ternilai dan tergantikan, karena tak ada tempat lain yang menyamainya. Semburan
kilat cahaya matahari berpadu dengan biru lagit tampak pada permukaan danau,
refleksi yang membuat seolah-olah daratan dan bukit-bukit di lingkar danau ini
melayang. Sebelum memasuki Nagari Maninjau, akses utama yang dilalui adalah
kelok 44 dari setiap tikungan atau kelok yang dilalui akan terlihat pemandangan jernihnya air danau yang membiru. Dilihat dari dekat, semakin jelas jernihnya air
danau pada dasar yang dangkal terlihat jelas.Bunyi riak air dan angin membentuk
buih-buih ombak yang seolah menghibur masyarakat di sekitarnya. Seniman dan
para pujangga akan banyak mendapat bahan inspirasi dari pemandangan Danau
Maninjau ini, bahkan mungkin akan kehabisan warna untuk melukiskan
keindahannya. Berbagai keindahan tersebut disampaikan sebagai gambaran umum
kondisi Danau Maninjau pada masa lampau.
Kondisi Danau Maninjau akhir-akhir ini, menurut Badjoeri (dalam
Setyawan, 2004), telah mengalami berbagai macam degradasi dan gejala-gejala
penurunan kualitas alaminya. Hasil analisis Badjoeri menunjukkan bahwa Danau
Maninjau telah mengalami eutrofikasi, telah terjadi penumpukan bahan organik
dan ketidakseimbangan proses dalam siklus karbon pada dasar danau, dan terjadi
perputaran arus atau turbulensi pada sistem perairan yang menyebabkan oksigen
Penurunan kualitas air Danau Maninjau ini juga disebabkan oleh pembuatan
bendungan PLTA di Batang Antokan sebagai outlet Danau Maninjau yang
menyebabkan pembalikan massa air dari kolom air bagian bawah yang anaerobik
dan mengandung gas beracun, pembuatan karamba budidaya ikan, dan
peningkatan aktivitas-aktivitas berlimbah domestik disekitar danau, seperti
pertokoan, hotel, cafe, rumah makan, rekreasi masal, pasar, dan sebagainya.
Penurunan kualitas jasa lingkungan ini merupakan akibat dari semakin intensifnya
tekanan aktivitas sosial ekonomi masyarakat saat ini.
2.3. Sistem Adat Budaya Minangkabau
Menurut Ismael dalam Rasyid (2008), Minangkabau memiliki hierarki
sistem adat yang terdiri dari unsur inti (core element) dan unsur turunan (peripheral element). Masing-masing unsur ini terbagi lagi menjadi dua tingkatan. Unsur inti (core element) adat terbagi menjadi adat nan sabana adat (adat yang benar-benar adat) pada tingkat filosofis dan adat nan diadatkan (adat yang diadatkan) pada tingkat teoritis. Unsur inti (core element) dari adat ini tidak dapat diubah dalam kondisi apapun karena merupakan dasar atau acuan dari sistem adat
tersebut. Tataran di bawahnya, elemen adat turunan (peripheral element) terbagi menjadi adat nan teradat (adat yang teradat) pada tingkat metodologis dan adat istiadat (adat yang terlihat) pada tingkat praktis. Elemen turunan ini dapat disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan aktual masyarakat dan umumnya
berfungsi praktis dalam menjaga hubungan antar masyarakat, kekeluargaan
internal, momen-momen atau kejadian penting, dan kehidupan sehari-hari. Skema
sistem adat ini digambarkan dalam diagram di bawah (Gambar 2).
Unsur inti dari piramida sistem adat Minangkabau bersifat tetap dan mutlak.
mencakupi tataran filosofis dan metodologis, adat nan sabana adat dan adat nan diadatkan. Adat nan sabana adat adalah filosofi kepastian alami, acuan terhadap ketentuan-ketentuan alam, yang berlaku sepanjang waktu. Masyarakat
Minangkabau dituntut menjadikan alam sebagai guru yang menyiratkan ilmu
pengetahuan. Adat nan diadatkan pada tataran teoritis merupakan adat yang disusun dan diwariskan oleh nenek moyang pendahulu Datuk Katumanggungan
adat dari dua keselarasan induk suku Bodi Caniago dan Koto Piliang yang berupa
sistem garis keturunan matrilineal.
Gambar 2. Sistem Adat Minangkabau (Ismael dalam Rasyid, 2008)
Unsur turunan dari tataran filosofis dan teoritis pada sistem adat
Minangkabau ini adalah tataran metodologis dan praktis, adat nan teradat dan adat istiadat. Adat nan teradat adalah peraturan kesepakatan dari para penghulu pemimpin suku atau kaum dari setiap nagari. Bentuk dari adat nan teradat ini adalah kata-kata adat, adat salingka nagari, harato salingka kaum (adat berlaku dalam nagari, harta pusaka berlaku selingkar kaum). Segmen metodologis ini
berlaku pada skala nagari, sehingga kesepakatan dari masing-masing internal
nagari tidak mutlak sama, disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan, dan hak
otonomi setiap nagari. Adat istiadat merupakan kebiasaan dan ciri khusus dalam aspek-aspek praktis kehidupan sehari-hari, kesenian, permainan rakyat, bentuk
pakaian, tatacara dalam pembangunan rumah, penggunaan rumah adat,
upacara-upacara adat, dan sebagainya.
2.4. Keberlanjutan Lanskap Budaya
Suatu keberlanjutan dapat dijelaskan dari sisi kualitatif secara deskriptif
yang berwujud kenaikan secara eksponensial dari kehidupan seseorang atau
organisme dalam suatu sistem (Wikipedia 2010). Pembangunan berkelanjutan
pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa harus
berkompromi dengan kemampuan generasi masa depan agar tetap terpenuhi
kebutuhannya. Menurut Basyir (2008), konsep keberlanjutan berkaitan dengan
ekosistem, penggunaan sumber daya lingkungan, serta pertumbuhan populasi.
Analisis ekosistem dan penilaian siklus hidup perlu dilakukan dalam upaya
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam. Kebijakan-kebijakan pemerintah
mengenai pertumbuhan populasi penduduk dan kebutuhannya pun harus
mengusung konsep keberlanjutan.
Newman dan Jennings (2008) menyebutkan bahwa, keberlanjutan adalah
tujuan bersama. Tujuan bersama harus diwujudkan dengan terintegrasi dan jangka
panjang. Visi jangka panjang adalah titik awal pemicu perubahan positif ke arah
keberlanjutan. Beberapa kata kunci yang harus diperhatikan dan terintegrasi untuk
mencapai keberlanjutan antara lain, intergenerasi, sosial, keseimbangan politik,
dan setiap individu. Tujuan ini seharusnya mengekpresikan aspirasi bersama dari
semua pihak agar dapat dicapai keseimbangan atau keadilan. Akses seimbang
untuk setiap sumberdaya baik manusia dan alam, sebaik mungkin berbagi dalam
tanggung jawab bersama menjaga nilai-nilai untuk generasi mendatang. Visi
keberlanjutan akan memotivasi masyarakat, pemerintah, pelaku bisnis, dan semua
yang memiliki tujuan bersama. Landasan untuk strategi pengembangan, program
aksi, dan semua proses untuk mewujudkan tujuan tersebut akan terbentuk dengan
sendirinya jika memiliki visi yang sama.
Keberlanjutan merupakan istilah sebagai representasi dari suatu roda
kehidupan yang terkait dengan dimensi waktu. Keberlanjutan dapat dikaitkan
dengan suatu lanskap atau bentang alam (ekologis), sosial-ekonomi, dan spiritual
budaya masyarakat. Keberlanjutan dapat dipahami sebagai kata sifat yaitu
berkelanjutan. Lanskap yang berkelanjutan tidak dapat dipisahkan dari
masyarakatnya yang juga menjunjung nilai-nilai keberlanjutan. Keberlanjutan
lanskap budaya dapat disimpulkan sebagai tingkat atau nilai hasil dari interaksi
sosial ekonomi budaya masyarakat dan lanskapnya. Lanskap budaya yang
berkelanjutan seharusnya dapat memenuhi berbagai kebutuhannya dan
dengan tetap menjaga kelestarian pendukung kehidupan masa depannya yaitu
lanskap sebagai wadah ekosistem.
Penilaian keberlanjutan masyarakat telah berkembang di negara-negara
yang tergabung dalam jaringan global desa berkelanjutan atau dikenal dengan
Global Ecovillage Network (GEN). Penilaian keberlanjutan masyarakat yang dikenal dengan Community Sustainability Assessment (CSA) ini merupakan suatu cara atau alat untuk mengevaluasi tingkat keberlanjutan lanskap budaya melalui
pendekatan yang dimulai dari penggalian pemahaman masyarakat terhadap
masing-masing parameter keberlanjutan dari tiga pilar atau aspek keberlanjutan.
Tingkat keberlanjutan masyarakat dilihat dari tiga pilar ecovillage menurut GEN
yaitu aspek ekologis, sosial-ekonomi, dan spiritual budaya. Kriteria-kriteria untuk
setiap aspek telah ditetapkan oleh GEN sebagai parameter tingkat keberlanjutan
masyarakat yang akan diteliti.
Berdasarkan GEN, parameter keberlanjutan yang digunakan untuk setiap
aspek antara lain sebagai berikut:
1. Aspek Ekologis, yakni kehidupan masyarakat seimbang jika:
a. Masyarakat memiliki ikatan mendalam dengan tempat tinggal mereka,
batas-batas, kekuatan, kelemahan, dan irama kehidupan yang selaras
menjadi bagian dari total ekosistem
b. Kehidupan alami beserta proses dan sistemnya dihormati, termasuk
margasatwa dan habitat tumbuhan
c. Gaya hidup manusia yang lebih meningkatkan integritas lingkungan
dan tidak mengurangi atau merusaknya
d. Pangan utama diperoleh dari sumber lokal dan kawasan alami, organik,
bebas zat pencemar, dan memberi keseimbangan gizi
e. Struktur-struktur dirancang dengan memadukan dan untuk melengkapi
lingkungan alami, material, bahan, dan metode yang ramah lingkungan,
konsep bioregional dan ekologis (dapat diperbaharui dan tidak beracun)
f. Konservasi dipraktikan dalam berbagai metode dan sistem transportasi
g. Konsumsi dan penghasil limbah diminimalkan
h. Tersedia air bersih yang dapat diperbaharui, dengan masyarakat yang
i. Limbah manusia dan air limbah didaur ulang untuk manfaat lingkungan
j. Sumber energi yang tidak beracun dan dapat diperbaharui dimanfaatkan
sebaik mungkin, teknologi inovatif tidak dieksploitasi atau dibiarkan
tetapi digunakan untuk kebaikan bersama.
2. Aspek Sosial-Ekonomi, yakni kehidupan masyarakat seimbang jika:
a. Terdapat suatu kestabilitasan sosial dalam dinamika kehidupan
bermasyarakat, aman dan bebas dalam mengekspresikan diri untuk
kepentingan bersama
b. Tersedia ruang dan sistem yang mendukung dan memaksimalkan
komunikasi, relasi, dan produktivitas
c. Terdapat peluang atau teknologi yang cukup untuk berkomunikasi
dengan masyarakat luas secara tepat
d. Bakat, keterampilan, dan sumber daya masyarakat lainnya
dipertukarkan secara bebas dan ditawarkan sebagai daya jual dan
pelayanan terhadap masyarakat luar
e. Keragaman dihormati sebagai sumber kesehatan mental, vitalitas, dan
kreativitas di lingkungan alam dan hubungan-hubungan masyarakat
f. Penerimaan, kerakyatan, dan keterbukaan sebagai pemahaman terhadap
pentingnya keragaman yang memperkaya pengalaman sosial dan
lingkungan serta meningkatkan rasa keadilan
g. Pertumbuhan individu, pembelajaran, dan kreativitas dihargai dan
dipelihara sebagai peluang untuk belajar dan mengajarkan yang luas
dan bervariasi
h. Pilihan-pilihan untuk memperbaiki, memelihara, dan meningkatkan
kesehatan (fisik, mental, emosi, dan spiritual) tersedia dan terjangkau
masyarakat
i. Aliran sumber daya dalam arti memberi dan menerima modal, barang,
atau jasa dapat mengimbangi kebutuhan dan keinginan masyarakat, jika
kelebihan hasil saling berbagi.
3. Aspek Spiritual Budaya, yakni kehidupan masyarakat seimbang jika:
a. Kekuatan budaya dilestarikan melalui aktivitas seni, seremoni ritual
b. Kreativitas dan seni dilihat sebagai ungkapan kesatuan hubungan timbal
balik dengan alam semesta
c. Menghargai waktu luang
d. Terdapat rasa hormat dan dukungan terhadap manifestasi kespiritualan
dalam berbagai cara
e. Tersedia peluang-peluang untuk pengembangan jati diri
f. Gembira dan memiliki ekspresi yang dikembangkan melalui ritual atau
perayaan
g. Kualitas kebersamaan dalam hati masyarakat memberikan kesatuan dan
integritas dalam kehidupannya, hal ini merupakan suatu persetujuan dan
visi bersama tentang komitmen saling berbagi
h. Adanya kapasitas dan fleksibilitas cepat tanggap dalam menghadapi
suatu masalah
i. Pemahaman menyeluruh tentang keberadaan dan hubungannya dengan
elemen di luar lingkungannya
j. Secara sadar masyarakat memilih berperan untuk menciptakan dunia
yang damai, penuh cinta, dan lestari.
Analisis keberlanjutan dapat dilakukan secara deskriptif dengan metode
analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) dan dilakukan untuk mengetahui keberlanjutan lanskap budaya lingkar Danau Maninjau. Metode
SWOT digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dari segi
internal, dan mengidentifikasi peluang dan ancaman dari segi eksternal. Langkah
kerja dalam melakukan analisis SWOT, antara lain:
a. Identifikasi Faktor Internal dan Faktor Eksternal,
Tahap identifikasi faktor internal digunakan untuk mengetahui kekuatan dan
kelemahan yang dimiliki dengan cara mendaftarkan semua kekuatan dan
kelemahan yang sesuai dengan dasar studi. untuk mengidentifikasi dan
mengevaluasi hubungan antara area-area tersebut. Tahap identifikasi faktor
eksternal digunakan untuk mengetahui ancaman dan peluang yang dimiliki
Tabel 1. Formulir Tingkat Kepentingan Faktor Internal
Simbol Faktor Internal Tingkat Kepentingan Kekuatan (Strengths)
S1
S2
Sn
Kelemahan (Weaknesses) W1
W2
Wn
Sumber: David (2005)
Tabel 2. Formulir Tingkat Kepentingan Faktor Eksternal
Simbol Faktor Eksternal Tingkat Kepentingan Peluang (Opportunitiess)
O1
O2
On
Ancaman (Threats) T1
T2
Tn
Sumber: David (2005)
b. Penilaian Faktor Internal dan Eksternal,
Tahap ini dilakukan pemberian simbol terhadap faktor-faktor yang telah
diidentifikasi. Setelah melakukan penentuan tingkat kepentingan selanjutnya
adalah penentuan bobot. Menurut David (2005), penentuan bobot setiap variabel
menggunakan skala 1-4, yaitu sebagai berikut.
Nilai 1 jika indikator faktor horizontal kurang penting daripada
indikator vertikal,
Nilai 2 jika indikator faktor horizontal sama penting dengan indikator
Nilai 3 jika indikator faktor horizontal lebih penting daripada indikator
faktor vertikal,
Nilai 4 jika indikator faktor horizontal sangat penting daripada indikator faktor vertikal.
Tabel 3. Formulir Pembobotan Faktor Internal dan Eksternal
Faktor Internal/Eksternal A B C D Total Bobot
Langkah selanjutnya setelah penentuan bobot adalah menentukan bobot
akhir masing-masing variabel dapat ditentukan dengan menggunakan rumus
(Kinnear dan Taylor, 1991):
Dengan: αi =bobot variabel ke-I, xi = nilai variabel ke-I, i = 1, 2, 3,..., n, n = jumlah variabel.
c. Pembuatan Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation (EFE),
Menurut Rangkuti (1997), nilai peringkat pada faktor positif (kekuatan dan
peluang) berbanding terbalik dengan faktor negatif (kelemahan dan ancaman).
Pada faktor positif, nilai 4 berarti faktor tersebut memiliki tingkat kepentingan
yang sangat penting, nilai 3 berarti faktor tersebut memiliki tingkat kepentingan
yang penting, nilai 2 berarti faktor tersebut memiliki tingkat kepentingan yang
cukup penting, dan nilai 1 berarti faktor tersebut memiliki tingkat kepentingan
yang tidak penting. Penilaian faktor negatif adalah sebaliknya. Kemudian,
peringkat dan bobot dari masing-masing faktor dikalikan untuk memperoleh skor
pembobotan (Tabel 4 dan Tabel 5).
x
i∑
nx
i i=1Tabel 4. Formulir Matriks IFE
Simbol Faktor Internal Bobot Peringkat Skor
Kekuatan (Strengths)
Simbol Faktor Eksternal Bobot Peringkat Skor
Peluang (Opportunities)
kelemahannya melalui matriks internal-eksternal (IE) (Gambar 3). Menurut David
(2005), matriks IE memiliki sembilan kuadran yang dapat dibagi menjadi tiga
bagian sebagai berikut:
1. Grow and build strategy (Kuadran I, II, dan III)
Diperlukan strategi yang bersifat intensif dan agresif. Fokus dari
strategi ini adalah penetrasi pasar, pengembangan pasar, dan
IV V VI
Fokus strategi ini adalah penetrasi pasar dan pengembangan produk.
3. Harvest and divest strategy (Kuadran VII, VIII, dan IX)
Fokus strategi ini adalah perlu dilakukan manajemen biaya yang agresif
saat biaya peremajaan bisnis untuk merevitalisasi bisnis tergolong
rendah.
Gambar 3. Kuadran Strategi
d. Matriks SWOT
Faktor internal dan eksternal yang telah diidentifikasi dapat dimasukkan ke
dalam tabel yang sesuai dengan matriks SWOT (Tabel 6). Matriks ini
menggambarkan hubungan antara kekuatan dan kelemahan dengan peluang dan
ancaman. Menurut David (2005), hasil dari matriks SWOT ini adalah alternatif
strategi manajemen lanskap yang dapat meningkatkan kekuatan dan peluang serta
mengatasi kelemahan dan ancaman dengan empat alternatif strategi sebagai
berikut.
1. Strategi SO (Strengths-Opportunities)
Strategi ini memanfaatkan kekuatan internal perusahaan untuk menarik
keuntungan dari peluang eksternal
2. Strategi ST (Strengths-Threats)
Strategi ini menggunakan kekuatan internal perusahaan untuk
menghindari atau mengurangi dampak ancaman eksternal
3. Strategi WO (Weaknesses-Opportunities)
Strategi ini bertujuan memperbaiki kelemahan internal dengan cara
mengambil keuntungan dari peluang eksternal
II III
VII VIII IX
4. Strategi WT (Weaknesses-Threats)
Strategi ini bertujuan mengurangi kelemahan internal serta menghindari
ancaman eksternal.
Tabel 6. Formulir Matriks SWOT Eksternal
Internal Opportunities (Peluang) Threats (Ancaman)
Strengths (Kekuatan) SO ST
Weaknesses (Kelemahan) WO WT
Sumber: David (2005)
e. Pembuatan Tabel Peringkat Alternatif Strategi
Penentuan prioritas dilakukan kepada beberapa alternatif strategi yang
diperoleh dari matriks SWOT. Tahap ini dilakukan dengan cara menjumlahkan
skor dari faktor-faktor penyusunnya (Tabel 7). Strategi yang memiliki skor
tertinggi merupakan strategi yang menjadi prioritas utama.
Tabel 7. Formulir Penentuan Peringkat Alternatif Strategi
Alternatif Strategi Keterkaitan dengan Unsur SWOT Skor Peringkat
SO1
SO2
SOn
ST1
ST2
STn
WO1
WO2
WOn
WT1
WT2
WTn
III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Kegiatan penelitian dilaksanakan selama sembilan minggu, mulai akhir
bulan Februari 2011 sampai dengan April 2011.Kegiatan penelitian ini dilakukan
di kawasan nagari-nagari Lingkar Danau Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya,
Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Secara geografis Kabupaten Agam Propinsi
Sumatera Barat terletak antara 00°21' sampai dengan 00°29' Lintang Selatan dan
99°52' sampai 100°33' Bujur 'I'imur (Gambar 4).
3.2. Batasan Penelitian
Penelitian ini merupakan kajian lanskap budaya yang merupakan
karakteristik lanskap hasil interaksi antara budaya manusia dan lanskap alaminya.
Penelitian dilakukan dengan batasan lokasi pada nagari-nagari di wilayah lingkar
Danau Maninjau yang termasuk dalam kesatuan Kecamatan Tanjung Raya. Kajian
yang dilakukan mencakup karakteristik fisik lanskap alami, aspek sosial-budaya,
dan aspek eksternal yang terkait dengan lanskap Danau Maninjau.
3.3. Tahapan dan Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tahap-tahap berupa inventarisasi, analisis,
dan sintesis (Gambar 5).
Gambar 5. Tahapan Penelitian
3.3.1. Inventarisasi
Tahap ini merupakan tahap pengumpulan data. Data terkait dikelompokkan
sesuai jenis dan sumbernya yaitu Fisik dan Biofisik, Sosial-Ekonomi dan Spiritual
Budaya Masyarakat, serta Pengaruh Eksternal yang mempengaruhi keberlanjutan
lanskap budaya lingkar Danau Maninjau (Tabel 8). Data awal untuk memulai
Bappeda Kabupaten Agam dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kabupaten Agam 2010-2030 dan Pemerintah Kecamatan dan
Nagari-Nagari setempat. Selanjutnya dilakukan observasi lapangan dan verivikasi data
sekunder yang telah didapatkan dengan kondisi aktual.
Tabel 8. Jenis dan Sumber Data
Jenis Data Sumber
1.Data Fisik dan Biofisik
- Wilayah Administrasi - Dok. RTRW Kab. Agam + pengamatan - Dok. RTRW Kab. Agam + pengamatan - Dok. RTRW Kab. Agam + pengamatan - Dok. RTRW Kab. Agam + pengamatan - Dok. RTRW Kab. Agam + pengamatan - Dok. RTRW Kab. Agam + pengamatan
2.Sosial –Ekonomi dan Spiritual
Budaya Masyarakat - Demografi
- Lembaga Kemasyarakatan - Sistem Adat dan Budaya
- Sejarah, Filosofi, dan Nilai-nilai Spiritual Budaya
Camat, Wali Nagari, dan Tetua Adat
-BPS Kecamatan, Wali Nagari -Wali Nagari + pengamatan -Literatur, Tetua Adat, Wali Nagari -Tetua Adat, Wali Nagari+ pengamatan
3.Pengaruh Eksternal
Data Sosial-Ekonomi dan Spiritual Budaya Masyarakat merupakan
gabungan dari data primer dan sekunder. Data Demografi (kependudukan) dan
Lembaga Kemasyarakatan didapat secara sekunder dari pemerintah kecamatan
dan nagari-nagari setempat. Data Sistem Adat dan Budaya dan Sejarah, Filosofi,
dan Nilai-nilai Spiritual Budaya didominasi data primer yang didapatkan dari
hasil wawancara dan diskusi kepada tetua serta pemerhati adat budaya setempat,
dan data sekunder dari literatur terkait.
Data Pengaruh Eksternal mencakup aspek-aspek yang mempengaruhi
keberlanjutan lanskap budaya di lingkar Danau Maninjau dari luar. Termasuk di
dalamnya yaitu Kebijakan dan Peraturan Pemerintah
Kabupaten-Provinsi-Nasional, dan Kegiatan Pariwisata. Data Kebijakan dan Peraturan Pemerintah
Kabupaten-Provinsi-Nasional merupakan data sekunder yang didapat dari
(RTRW) Kabupaten Agam 2010-2030. Data Pengaruh Kegiatan Pariwisata
didapat melalui kuisioner pendapat dari 100 orang masyarakat di lingkar Danau
Maninjau yang dipilih secara acak.
3.3.2. Analisis
Data yang telah dikumpulkan pada tahap inventarisasi yang dijabarkan di
atas akan menjadi bahan analisis. Analisis dilakukan dengan dua metode yaitu,
spasial dan deskriptif. Analisis spasial bertujuan untuk menghasilkan deskripsi
karekteristik lanskap budaya lingkar Danau Maninjau, mengetahui karakter
interaksi manusia dan lanskap alami tersebut. Analisis deskriptif dilakukan dengan
metode analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat). Metode SWOT bertujuan untuk menganalisis keberlanjutan dan merumuskan strategi
pengembangan dan pelestarian lanskap budaya di Lingkar Danau Maninjau
tersebut.
Analisis Karakteristik Keberlanjutan Lanskap Budaya
Kawasan lingkar Danau Maninjau ini tersatukan dalam satu Kecamatan
Tanjung Raya yang terdiri dari sembilan nagari, oleh karena itu maka unit analisis
spasial yang digunakan adalah unit nagari. Unit nagari merupakan satuan batas
administrasi yang terukur secara spasial dan juga diakui sebagai satuan unit
kontrol sosial budaya masyarakat. Komponen aspek analisis dalam analisis
karakteristik lanskap budaya yaitu: ekologi, sosial ekonomi, dan sejarah spiritual
budaya.
Kriteria yang digunakan dalam aspek ekologi adalah pola penggunaan lahan
dan danau. Pola penggunaan lahan dan danau diklasifikasikan menurut nilai
intensitas interaksinya (derajat pengubahan manusia terhadap lanskap alami).
Intensitas interaksi ini terbagi menjadi tiga kelompok yaitu: alami (hutan), transisi
(kebun campuran dan semak belukar), intensif (sawah dan pemukiman). Luas dari
masing-masing kelompok intensitas interaksi setiap nagari dipersentasikan,
kemudian kelompok intensitas interaksi yang mendominasi mewakili nilai
ekologisnya, semakin besar pengubahan (gangguan) lanskap alaminya maka
untuk nagari dengan dominasi kelompok alami (hutan), 2 untuk nagari dengan
dominasi kelompok transisi (kebun campuran dan semak belukar), dan 1 untuk
nagari dengan dominasi kelompok intensif (sawah dan pemukiman).
Aspek sosial ekonomi dianalisis dengan menilai hubungan kriteria
kepadatan penduduk per-nagari dengan kecenderungan kebutuhan lahannya.
Kepadatan penduduk yang tinggi akan berdampak pada aktivitas ekonomi
cenderung tinggi, dan kebutuhan terhadap lahan juga semakin tinggi. Oleh karena
itu semakin tinggi kepadatan penduduknya semakin mengancam keberlanjutannya
atau nilai keberlanjutannya akan semakin rendah. Menurut Undang-undang no. 56
/ PRP / 1960, kepadatan penduduk dapat diklasifikasikan menjadi empat kelas,
masing-masing adalah: tidak padat (1-50 jiwa/ km²), kurang padat (51-250 jiwa/
km²), cukup padat (251-400 jiwa/ km²), dan sangat padat (lebih dari 400 jiwa/
km²). Kepadatan penduduk setiap nagari dinilai berdasarkan klasifikasi tersebut
dengan kriteria penilaian, 3 untuk nagari dengan kelas tidak padat sampai kurang
padat (1-250 jiwa/ km²), 2 untuk nagari dengan kelas cukup padat (251-400 jiwa/
km²), dan 1 untuk nagari dengan kelas sangat padat (lebih dari 400 jiwa/ km²).
Kriteria yang menentukan klasifikasi nilai sejarah, spiritual, dan budaya
adalah dari nilai sejarah perkembangan dan regenerasi budaya dan nilai
pergeseran adat istiadat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat masing-masing
nagari. Mengacu dari piramida sistem adat Minangkabau (Ismael dalam Rasyid,
2008) yang terbagi menjadi elemen inti (adat nan sabana adat– filosofis dan adat nan diadatkan– teotiris) dan elemen turunan (adat nan teradat– metodologis dan adat istiadat – praktis), klasifikasi karakteristik budaya dapat dinilai dari signifikansi perubahan adat istiadat pada tataran metodologis dan praktis. Semakin signifikan perubahan tersebut maka semakin rendah nilai budayanya.
Hal tersebut mencakup nilai-nilai tata cara kehidupan sehari-hari baik yang
terlihat secara fisik (tangible) seperti peninggalan fisik bangunan atau situs yang memiliki muatan sejarah dan budaya dan juga yang tidak terlihat (intangible) seperti peran lembaga adat kemasyarakatan dalam pelestarian nilai-nilai budaya.
Parameter yang digunakan dalam analisis ini adalah jumlah situs sejarah budaya
dan peran lembaga adat kemasyarakat dalam pelestarian kegiatan adat
kelompok parameter tersebut dinilai berdasarkan jumlah masing-masing elemen
dari parameter tersebut dengan kelas nilai, 3 (baik) untuk nagari yang memiliki
lebih dari lima (>5) elemen, 2 (cukup) untuk nagari yang memiliki tiga sampai
lima (3-5) elemen, dan 1 (kurang) untuk nagari yang memiliki kurang dari tiga
(<3) elemen. Oleh karena penilaian pada aspek ini menggunakan dua kelompok
parameter maka, penilaian total dilakukan dengan konversi rentang nilai menjadi
tiga kelas yaitu, 3 (tinggi) untuk nagari yang memiliki total nilai lebih dari empat
(>4), 2 (sedang) untuk nagari yang memiliki total nilai tiga sampai empat (3-4),
dan 1 (rendah) untuk nagari yang memiliki total nilai kurang dari tiga (<3)
elemen.
Tahap selanjutnya adalah penjumlahan total nilai dari ketiga aspek untuk
setiap nagari. Nilai total dikonversi menjadi tiga kelas nilai dengan rentang nilai
yaitu, 3 (tinggi) untuk nagari yang memiliki total nilai lebih dari tujuh (>7), 2
(sedang) untuk nagari yang memiliki total nilai lima sampai tujuh (5-7), dan 1
(rendah) untuk nagari yang memiliki total nilai kurang dari lima (<5) elemen.
Analisis Keberlanjutan
Analisis keberlanjutan dilakukan secara deskriptif dengan metode analisis
SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) dan dilakukan untuk mengetahui aspek yang mempengaruhi serta merumuskan upaya rekomendasi
keberlanjutan lanskap budaya lingkar Danau Maninjau. Metode SWOT digunakan
untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dari segi internal, dan
mengidentifikasi peluang dan ancaman dari segi eksternal.
Faktor internal yaitu kekuatan dan kelemahan, diidentifikasi dari data pada
aspek fisik-biofisik dan aspek sosial-budaya masyarakat kawasan lingkar Danau
Maninjau. Faktor eksternal, peluang dan ancaman, diidentifikasi dari data pada
aspek kebijakan dan peraturan pemerintah di atas tingkat kecamatan dan aspek
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Aspek Fisik dan Biofisik
4.1.1. Wilayah Administrasi Lingkar Danau Maninjau
Wilayah lingkar Danau Maninjau secara administrasi merupakan kesatuan
dari Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumetera Barat.
Kecamatan Tanjung Raya terletak pada 100°05‟-100°16‟ Bujur Timur. Luas kecamatan ini 150,76 Km², mencakup sembilan Nagari, yaitu Maninjau, Bayur,
Duo Koto, Paninjauan, Koto Kaciak, Koto Gadang, Koto Malintang, Tanjung
Sani, dan Sungai Batang (Gambar 6).
Pusat pelayanan administrasi kecamatan terletak di Nagari Maninjau.
Menurut hierarkhi formal administrasi pemerintahan di bawah kecamatan adalah
nagari yang dipimpin oleh Wali Nagari. Setiap nagari di kecamatan ini memiliki
struktur tersebut. Konsep sistem pemerintahan nagari ini memiliki keunikan dan
kompleksitas lebih dibandingkan sistem pemerintaan formal kelurahan atau desa
pada umumnya di Indonesia.
Secara administratif, batas-batas Kecamatan Tanjung Raya adalah sebagai
berikut:
1. Utara : Kecamatan Palembayan
2. Timur : Kecamatan Matur dan Kecamatan IV Koto
3. Selatan : Kabupaten Padang Pariaman dan Kecamatan Lubuk Basung
4. Barat : Kecamatan Lubuk Basung
4.1.2. Aksesibilitas dan Sirkulasi
Pusat Kecamatan Tanjung Raya, Nagari Maninjau, berjarak tempuh sekitar
143 kilometer dari Kota Padang, ibukota Sumatera Barat, 36 kilometer dari Kota
Bukittinggi, dan 27 kilometer dari Lubuk Basung, pusat pemerintahan Kabupaten
Agam. Aksesibilitas di kawasan Danau Maninjau atau Kecamatan Tanjung Raya
Gambar 6. Peta Aksesibilitas (BAPPEDA, 2010)
Jalan provinsi tersebut, jika diakses dari arah timur atau kota Bukittinggi,
melewati Kelok-44, suatu atraksi lanskap yang sekaligus menunjukkan perbatasan administrasi Kecamatan Tanjung Raya dan Matur. Jalan Provinsi ini melewati
nagari-nagari di bagian utara Danau Maninjau antara lain Nagari Maninjau,
yang berbatasan langsung dengan pusat Kabupaten Agam, Kecamatan Lubuk
Basung (Gambar 6). Secara fisik dampak dari nagari-nagari yang dilewati jalan
provinsi ini adalah kecenderungan orientasi bagunan menjadi ke arah jalan, dan
semakin modern atau terurbanisasi. Sedangkan akses sekunder di lingkar Danau
Maninjau ini adalah jalan kabupaten yang mengelilingi bagian selatan danau.
Karena intensitas pergerakan atau sirkulasi yang tidak terlalu intensif, maka
nagari-nagari yang dilewati jalur sekunder ini cenderung lebih terkonservasi.
4.1.3. Iklim
Wilayah Kabupaten Agam memiliki pola curah hujan yang sangat
dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan topografinya, karena sebagian besar
Kabupaten Agam terletak pada daerah pegunungan dan sebagian lagi terletak
tidak jauh dari pantai Barat Sumatera. Keadaan ini membuat Kabupaten Agam
sangat dipengaruhi oleh angin pegunungan dan angin laut. Kecamatan Tanjung
Raya termasuk dalam daerah yang terletak di ketinggian 461,5 meter di atas
permukaan laut. Hal ini membuat wilayah lingkar Danau Maninjau memiliki suhu
rata-rata antara 23°C - 31°C, dengan kelembaban nisbi sebesar 95%, kecepatan
angin 23 km/jam, dan curah hujan rata-rata wilayah lingkar Danau maninjau
mencapai 2.500-3.500 mm/tahun dengan bulan kering selama 1-2 bulan
berturut-turut.
Berdasarkan peta iklim oleh Oldeman (1979) dan hidroklimat dasar oleh
Bakosurtanal (1987), Kabupaten Agam dibagi ke dalam 4 kelas curah hujan
(Laporan Akhir Kegiatan Pengkajian Geografik Spesifik Produk Kabupaten Agam
Tahun 2001). Klasifikasi iklim oldeman pada kecamatan Tanjung Raya terbagi
tiga yaitu, Oldeman B1, B2, dan C1 (Gambar 7). Wilayah Oldeman B1 adalah
wilayah yang sesuai untuk padi terus menerus dengan perencanaan awal musim
tanam yang baik, dan produksi tinggi bila panen pada kemarau. Oldeman B2
dapat tanam padi dua kali setahun dengan varietas umur pendek dan musim kering
yang pendek cukup untuk tanaman palawija. Oldeman C1 adalah wilayah yang
Gambar 7. Peta Iklim Tipe Oldeman (BAPPEDA, 2010)
4.1.4. Geologi, Tanah, dan Topografi
Berdasarkan aspek geomorfologi, Kabupaten Agam merupakan bagian
rangkaian Bukit Barisan yang memanjang dari barat laut ke tenggara dan selatan.
Morfologi dataran pembentuk Danau Maninjau berupa endapan allluvium sungai
kerakal, serta endapan kipas alluvium (Gambar 8). Batuan tertua di areal wilayah
Maninjau adalah batuan filit, batu gamping, granodiorit, dan diabas yang berasal
dari era geologi Palaeozoik Tersier atau kurang lebih 542 sampai 251 juta tahun yang lalu. Dari singkapan-singkapan batuan di dasar sungai-sungai di sepanjang
Lembah Antokan, diperoleh urut-urutan batuan vulkanik Maninjau sebagai
berikut: basalt, breksi tufaan, piroksen andesit, breksi lahar dan tufa batu apung.
Selain satuan morfologi pedataran, daerah Danau Maninjau juga termasuk
ke dalam satuan morfologi Gunungapi Strato, dari daerah dengan kemiringan
cukup terjal hingga melandai ke arah barat sekitar Lubuk Basung dan Sungai
Limau. Pada morfologi ini bagian puncak dan lereng bagian atas merupakan
aliran permukaan atau resapan, sedangkan pada bagian kaki gunung ditafsirkan
sebagai daerah akumulasi air tanah. Daerah Danau Maninjau merupakan bagian
dari Sistem Patahan Besar Sumatera (The Great Sumatran Fault Sistem). Pada bagian tengah merupakan patahan utama yang aktif.
Sesuai dengan jenis morfologinya, Danau Maninjau juga termasuk ke dalam
satuan morfologi Gunung Api Strato. Data dalam Laporan Peninjauan Danau
Maninjau, Kanwil Deptamben Propinsi Sumatera Barat, DGTL, 1997,
menyebutkan bahwa bagian tengah Gunung Maninjau ditempati oleh kaldera
dengan ukuran panjang + 20 Km dan lebar + 8 Km. Luas Danau Maninjau + 100
Km2 dihitung dari bagian bawah kaldera.
Secara umum, fisiografis dan jenis tanah Kawasan Danau Maninjau, dalam
hal ini dipresentasikan oleh Kecamatan Tanjung Raya, termasuk satuan wilayah
yang berbukit. Bahan induk tanahnya terdiri dari tuff vulkanik, ada yang sedang
melapuk atau belum melapuk sama sekali. Tanah yang terbentuk adalah kelompok
inceptiol, entisol, dan oxisol, atau yang dikenal sebagai andosol dan latosol.
Pemanfaatan lahan saat ini dominan budidaya tanaman semusim. Berdasarkan
Data Pokok Pembangunan Daerah Tahun 2000 (dalam, Rencana Tata Ruang
Kawasan Maninjau), jenis tanah di Kecamatan Tanjung Raya antara lain adalah :
Latosol (15,432 Ha), Andosol (4,863 Ha), Latosol dan Regosol (7,708 Ha),
Organiosol (1,308 Ha), dan Lain-lain (5,560 Ha). Khusus untuk kawasan Danau
dari kaldera Maninjau. Sebagian kecil diantaranya adalah tanah jenis alluvium
(Gambar 8).
Gambar 8. Peta Geologi (BAPPEDA, 2010)
Di danau Maninjau ini terdapat beberapa buah pulau kecil. Semakin ke arah
bagian selatan danau, mempunyai kedalaman yang semakin tinggi dengan lereng
bagian selatan. Sedangkan daerah bagian barat Danau Maninjau memiliki
kedalaman lebih dari 20 meter, dengan lereng (slope) pada dasar danau yang terjal. Dinding kaldera secara keseluruhan hampir berupa tangga (undak-undak),
khususnya di bagian selatan dan tenggara. Di bagian utara relatif terbuka dan
landai, merupakan areal persawahan penduduk, sebaliknya di bagian selatan dan
tenggara.