PEMANFAATAN KULIT UBI KAYU FERMENTASI DENGAN
METODE TAKAKURA DALAM PAKAN TERHADAP
PERTUMBUHAN KELINCI NEW ZEALAND WHITE
JANTAN LEPAS SAPIH
SKRIPSI
EDI SAHPUTRA GURUSINGA 080306030
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PEMANFAATAN KULIT UBI KAYU FERMENTASI DENGAN
METODE TAKAKURA DALAM PAKAN TERHADAP
PERTUMBUHAN KELINCI NEW ZEALAND WHITE
JANTAN LEPAS SAPIH
SKRIPSI
Oleh :
EDI SAHPUTRA GURUSINGA 080306030/PETERNAKAN
Skripsi sebagai Salah Satu Syarat untuk dapat Melaksanakan Penelitian di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
Judul : Pemanfaatan Kulit Ubi Kayu Fermentasi dengan Metode Takakura dalam Pakan terhadap Pertumbuhan Kelinci New Zealand White Jantan Lepas Sapih
Nama : Edi Sahputra Gurusinga NIM : 080306030
Program studi : Peternakan
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hasnudi, MS Hamdan, S.Pt, M.Si
Ketua Anggota
Mengetahui,
A.n Ketua Program Studi
Usman Budi, S.Pt., M.Si Sekretaris Program Studi Peternakan
ABSTRAK
EDI SAHPUTRA GURUSINGA: “Pemanfaatan Kulit Ubi Kayu Fermentasi
dengan Metode Takakura dalam Pakan terhadap Pertumbuhan Kelinci New Zealand White Jantan Lepas Sapih”, dibawah bimbingan HASNUDI danHAMDAN.
Kulit ubi fermentasi dengan metode takakura dapat meningkatkan kandungan protein pakan yang berimplikasi pada peningkatan kualitas pakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kulit ubi kayu fermentasi dengan metode takakura dalam pakan terhadap pertumbuhan kelinci New Zealand White jantan lepas sapih
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan dimulai bulan September sampai November 2012. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan. Perlakuan terdiri atas P0 (0% kulit ubi fermentasi); P1 (10% kulit ubi fermentasi); P2 (20% kulit ubi fermentasi) dan P3 (30% kulit ubi fermentasi).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian berbagai level kulit ubi fermentasi dengan metode takakura sangat berbeda nyata (P<0,01) terhadap penurunan konsumsi, penurunan pertambahan bobot badan dan peningkatan nilai konversi.
ABSTRACT
EDI SAHPUTRA GURUSINGA: “Utilization of Fermented Cassava Peel with Takakura Methode In Feed On The Growth Of New Zealand White Rabbit Offa Weaning”, supervised by HASNUDI and HAMDAN.
Fermented cassava peel with takakura methode can increase the protein content of feed implications for improving the quality of feed. This study aims to determine the effect offermented cassava peel fermented with takakura methode in feed on the growth of New Zealand white rabbit offa weaning. The experiment was conducted in the Laboratory of Animal Biology, Faculty of Agriculture, University of North Sumatera, Medan. Research carried out for 2 months starting from September to November 2012. The research design was used in this study was completely randomized design (CRD) with 4 treatments. Treatment consists of P0 (0% fermented cassava peel), P1 (10% fermented cassava peel), P2 (20% fermented cassava peel) and P3 (30% fermented cassava peel).
The results showed that administration of a variety of fermented cassava peel levels of takakura method were significantly different (P <0.01) for decreasing of consumption, decreasing of body weight gainnand increasing of convertion.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Langkat pada tanggal 27 November 1990 dari ayah
Dalan Muli Gurusinga dan ibu Mikde br Tobing. Penulis merupakan anak pertama
dari 3 bersaudara.
Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Santo Thomas 3 Medan dan pada
tahun 2008 masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur Ujian Masuk Bersama
(UMB). Penulis memilih Program Studi Peternakan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Ikatan
Mahasiswa Peternakan (IMAPET), anggota Ikatan Mahasiswa Kristen Peternakan
(IMAKRIP), dan anggota Ikatan Mahasiswa Karo (IMKA). Penulis melaksanakan
Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Desa Manuk Mulia, Kecamatan Tiga Panah
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat serta karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Adapun judul skripsi saya adalah “Pemanfaatan Kulit Ubi Kayu
Fermentasi dengan Metode Takakura dalam Pakan terhadap Pertumbuhan Kelinci
New Zealand White Jantan Lepas Sapih”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua atas doa,
semangat dan pengorbanan materil maupun moril yang telah diberikan selama ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir.Hasnudi, MS
sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Hamdan S.Pt, M.Si selaku anggota
komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan mulai dari
penulis mengajukan proposal penelitian sampai menyelesaikan penulisan skripsi
ini. Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua civitas
akademika di Program Studi Peternakan, serta semua rekan mahasiswa yang tidak
dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat membantu memberikan informasi dan
bermanfaat bagi penelitian dan ilmu pengetahuan untuk kita semua.
ABSTRAK
EDI SAHPUTRA GURUSINGA: “Pemanfaatan Kulit Ubi Kayu Fermentasi
dengan Metode Takakura dalam Pakan terhadap Pertumbuhan Kelinci New Zealand White Jantan Lepas Sapih”, dibawah bimbingan HASNUDI danHAMDAN.
Kulit ubi fermentasi dengan metode takakura dapat meningkatkan kandungan protein pakan yang berimplikasi pada peningkatan kualitas pakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kulit ubi kayu fermentasi dengan metode takakura dalam pakan terhadap pertumbuhan kelinci New Zealand White jantan lepas sapih
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan dimulai bulan September sampai November 2012. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan. Perlakuan terdiri atas P0 (0% kulit ubi fermentasi); P1 (10% kulit ubi fermentasi); P2 (20% kulit ubi fermentasi) dan P3 (30% kulit ubi fermentasi).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian berbagai level kulit ubi fermentasi dengan metode takakura sangat berbeda nyata (P<0,01) terhadap penurunan konsumsi, penurunan pertambahan bobot badan dan peningkatan nilai konversi.
ABSTRACT
EDI SAHPUTRA GURUSINGA: “Utilization of Fermented Cassava Peel with Takakura Methode In Feed On The Growth Of New Zealand White Rabbit Offa Weaning”, supervised by HASNUDI and HAMDAN.
Fermented cassava peel with takakura methode can increase the protein content of feed implications for improving the quality of feed. This study aims to determine the effect offermented cassava peel fermented with takakura methode in feed on the growth of New Zealand white rabbit offa weaning. The experiment was conducted in the Laboratory of Animal Biology, Faculty of Agriculture, University of North Sumatera, Medan. Research carried out for 2 months starting from September to November 2012. The research design was used in this study was completely randomized design (CRD) with 4 treatments. Treatment consists of P0 (0% fermented cassava peel), P1 (10% fermented cassava peel), P2 (20% fermented cassava peel) and P3 (30% fermented cassava peel).
The results showed that administration of a variety of fermented cassava peel levels of takakura method were significantly different (P <0.01) for decreasing of consumption, decreasing of body weight gainnand increasing of convertion.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jumlah penduduk Indonesia terus saja bertambah, mengakibatkan
kebutuhan akan permintaan pangan juga terus meningkat, terutama yang berasal
dari hewani seperti daging, telur dan susu, tetapi dalam usaha pemenuhannya
tidak sebanding besarnya, akibatnya banyak permintaan yang tidak terpenuhi
dengan baik. Konsumsi protein hewani kerap kali dijadikan sebagai parameter
dari kualitas sumber daya manusia suatu bangsa.
Kelinci merupakan salah satu komoditas ternak penghasil daging yang
memiliki potensi besar untuk dikembangkan karena memiliki sifat-sifat dan
kemampuan yang menguntungkan yaitu kemampuannya untuk tumbuh dan
berkembang biak yang cepat serta kadar lemak dan kolestrol dalam daging kelinci
relatif lebih rendah dibandingkan ternak-ternak lain.
Seekor kelinci menghasilkan daging 50 – 60% dari berat hidupnya.
Daging kelinci mengandung lemak dan kolestrol jauh lebih rendah, tetapi
kandungan proteinnya lebih tinggi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam pengelolaan
ternak adalah faktor makanan (Tillman, 1987), dimana makanan ini berasal dari
rumput potong, padang pengembalaan dan hasil liputan pertanian dan perkebunan.
Faktor makanan ini juga bergantung terhadap faktor iklim, karena pada masa
musim hujan makan melimpah dan waktu musim kemarau kekurangan makan,
dan untuk mengatasi hal ini perlu dilakukan pengawetan pakan dan pemanfaatan
merupakan bahan pakan yang berpotensi untuk dimanfaatkan karena jumlahnya
yang melimpah, harga murah dan nilai gizinya baik.
Pengembangan penggunaan limbah yang berasal dari agoindustri dan
bahan pakan non konvensional sangat penting dilakukan (Devendra, 1987). Salah
satu bahan pakan alternatif yang dapat digunakan sebagai bahan pakan untuk
ternak adalah kulit ubi kayu. Kulit ubi kayu yang diperoleh dari produk tanaman
ubi kayu merupakan limbah industri yang menggunakan bahan dasar ubi kayu.
Pada umumnya dalam proses industri tersebut kulit ubi kayu ini dibuang sebagai
limbah. Dimana semakin luas areal tanaman ubi kayu diharapkan produksi ubi
kayu semakin tinggi sehingga semakin tinggi pula limbah kulit ubi kayu. Setiap
kilogram ubi kayu dapat menghasilkan 15 – 20 % kulit umbi.
Kulit ubi memiliki kandungan nutrisi yang cukup baik, tetapi tetap perlu
ada usaha untuk menaikkan nilai nutrisi yang dikandung kulit ubi agar dapat
memenuhi nutrisi yang dibutuhkan oleh ternak kelinci. Salah satu usaha yang
dapat dilakukan untuk menaikkan nilai nutrisinya yaitu dengan fermentasi.
Fermentasi adalah proses penguraian unsur-unsur kelompok organik
terutama karbohidrat untuk menghasilkan energi melalui reaksi enzim yang
dilakukan oleh mikroorganisme. Proses fermentasi dapat dikatakan sebagai
proses protein enrichment yang berarti proses pengayaan bahan protein dengan menggunakan mikroorganisme tertentu. Pada saat ini teknologi fermentasi yang
sangat sederhana serta biayanya murah adalah fermentasi dengan metode takakura
yaitu dengan menggunakan mikroorganisme Lactobacillus sp, Rhizopus sp, dan
mudah didapat sehingga dapaat menghemat biaya dan mudah dalam
penerapannya.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk mengetahui sejauh
mana pengaruh pemberian pelet sebagai pakan kelinci berbahan tepung kulit ubi
yang difermentasi dengan metode takakura dalam pakan terhadap pertumbuhan
kelinci New Zealand White jantan lepas sapih.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian kulit ubi yang
difermentasi dengan metode takakura dalam pakan terhadap pertumbuhan kelinci
New Zealand White jantan lepas sapih.
Hipotesis Penelitian
Pemberian kulit ubi fermentasi berpengaruh positif terhadap konsumsi
ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum ternak kelinci.
Kegunaan Penelitian
Sebagai bahan informasi bagi peternak kelinci dalam upaya
pengembangan usaha ternak kelinci, sebagai bahan informasi bagi para peneliti
dan kalangan akademis atau instansi yang berhubungan dengan peternakan dan
sebagai bahan penulisan skripsi yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar
sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik dan Potensi Ternak Kelinci
Kelinci mudah sekali memasyarakat, sebab sebagai ternak ada
faktor-faktor tertententu yang membuat masyarakat memeliharanya. Pertambahan
penduduk meningkat sehingga kebutuhan protein hewani meningkat pula,
sementara kelinci mempunyai daging yang memenuhi persyaratan gizi cukup.
Kemudian, ternak kelinci dapat dilaksanakn oleh golongan lemah modal sampai
padat modal. Kelinci dapat dipelihara dimana-mana tergantung tujuan dan modal
yang dimiliki oleh seseorang serta dapat hidup pada cuaca dan iklim apa pun.
Pakan kelinci pun sederhana. Kelinci dapat berkembang biak dengan baik dan
cepat, lalu jenis kelinci sudah banyak pula. Dengan demikian, peternak dapat
memilih jenis kelinci yang disukai sesuai dengan modalnya. Lebih lanjut,
penyakit kelinci relatif lebih sedikit dan mudah diatasi dibandingkan penyakit
ternak lain. Masalah dalam pemeliharaan kelinci sekarang sudah dapat diatasi
terutama yang berhubungan dengan penyakit (Ermawati, 2011).
Taksonomi kelinci yaitu, kingdom: Animalia, filum: Chordata, subfilum:
Vertebrata, kelas: Mamalia, ordo: Lagomorpha, famili: Leporidae, subfamili:
Leporine, genus: Lepus, Oritolagus, spesies: Lepus spp, Orictolagus spp,
Cuniculus (Susilorini, 2008).
Memelihara kelinci banyak sekali mamfaatnya, antara lain sebagai pet
(hewan kesayangan) misalnya Lop, Nederland Dwarf, Polish, Angora, Blanc de
Hotot, Ducth, Chinchilla, Silver Martin, New Zealand White, Flemish Giant dan
penghasil daging dan kulit, yaitu New Zealand White, Caroline, Flemish dan
Chinchilla (Ermawati, 2011).
Salah satu jenis kelinci yang berpotensi besar untuk dikembangkan
menjadi kelinci pedaging yaitu jenis New Zealand. Ada beberapa jenis New
Zealand, yakni New Zealand White, Red, dan Black. New Zealand White paling
banyak diternak karena terkenal sebagai penghasil daging yang baik. Hal itu
karena pertumbuhannya relatif cepat. Pada umur 58 hari bobotnya dapat mencapai
1,8 kg dan pada saat dewasa dapat mencapai 3,6 kg (Mansyur, 2009).
Seekor kelinci bisa menghasilkan anak dengan kisaran 48-74 ekor dalam
setahun, lebih banyak dibandingkan dengan sapi (0,9), domba (1,5), kambing
(1,5), seperti tertera dalam table 1. Kelinci mempunyai konversi daging yang
cukup tinggi dibandingkan ternak lain yaitu 29%.
Tabel 1. Perbandingan Hasil Daging Beberapa Hewan Ternak
Jenis ternak Bobot induk dewasa (kg)
Jika dibandingkan dengan daging ayam, daging sapi, daging domba dan
daging babi, daging kelinci mengandung lemak dan kolestrol jauh lebih rendah,
tetapi proteinnya lebih tinggi. Kandungan lemak kelinci hanya sebesar 8%,
sedangkan daging ayam 12%, daging sapi 24%, daging domba atau kambing
14%, dan daging babi 21%. Kadar kolestrol daging kelinci sekitar 164 mg/100 g,
220-250 mg/g daging. Kandungan protein daging kelinci mencapai 21%
sementara ternak lain hanya 17-20% (Masanto dan Agus, 2010).
Pakan kelinci pada umumnya berupa umbi-umbian dan sayur-mayur serta
tumbuhan lain. Kelinci merupakan hewan herbivora yang rakus. Hewan yang satu
ini tidak mengenal kata kenyang. Pasalnya, setiap makanan yang diberikan seperti
sayuran, rumput, umbi, biji-bijian, dan pelet pasti segera dilahapnya. Meskipun
demikian, tetap harus memberi makanan kelinci secara teratur sesuai pola
pemberian pakan. Pakan yang diberikan pun harus dipilih dan diperhitungkan agar
kelinci tidak mengalami gangguan pencernaan (Priyatna, 2011).
Kandang dalam peternakan kelinci memiliki peran penting dalam
melakukan budi daya kelinci secara baik dan benar, sehingga mendapatkan hasil
yang memuaskan. Kandang kelinci merupakan tempat berkembang biak kelinci.
Sementara itu, syarat kandang yang baik adalah suhu ideal 21 0C, sirkulasi udara
lancar, lama pencahayaan ideal 12 jam, serta melindungi ternak dari predator
(Ernawati, 2011).
Pencernaan Kelinci
Kelinci termasuk ternak herbivora yang tidak dapat mencerna serat kasar
secara baik, sehingga pakan kelinci hendaknya dipilih dari dedaunan atau hijauan
yang berserat halus. Pakan kelinci terdiri dari rumput atau hijauan, sayuran
termasuk biji-bijian dan konsentrat. Pakan hijauan yang diberikan seperti daun
kol, daun sawi, kangkung, lobak, caisim, daun turi, daun kacang tanah, kacang
panjang. Demikian pula rumput yang relatif lunak dan batangnya halus yaitu
rumput lapangan, rumput gajah. Sebelum diberikan harus dipotong-potong
dan pakan penguat meliputi dedak halus atau bekatul, jagung, ampas tahu,
kacang hijau, kacang tanah dan bungkil-bungkilan serta mineral dan garam.
Pakan penguat terutama diperuntukkan bagi ternak kelinci yang sedang
dalam fase pertumbuhan, bunting, menyusui dan pejantan pemacek
(Departemen Pertanian, 2011).
Kelinci termasuk jenis ternak pseudo-ruminant, yaitu herbivora yang tidak
dapat mencerna serat kasar dengan baik. Kelinci memfermentasi pakan di usus
belakangnya. Fermentasi hanya terjadi di caecum (bagian pertama usus besar),
yang kurang lebih merupakan 50% dari seluruh kapasitas saluran pencernaannya.
Sekitar umur tiga minggu kelinci mulai mencerna kembali kotoran lunaknya,
langsung dari anus (proses ini disebut caecotrophy) tanpa pengunyahaan. Kotoran ini terdiri atas konsentrat bakteri yang dibungkus oleh mukus. Walaupun memiliki
caecum yang besar, kelinci ternyata tidak mampu mencerna bahan-bahan organik
dan serat kasar dari hijauan sebanyak yang dapat dicerna oleh ternak ruminansia
murni. Daya cerna mengonsumsi hijauan daun mungkin hanya 10%
(Sarwono, 2007).
Asam-asam lemak terbang (VFA=Volatile Fatty Acids) hasil fermentasi oleh mikroba dalam caecum diperkirakan menyumbang 30% dari kebutuhan
energi untuk pemeliharaan tubuh. Selanjutnya, kelinci mampu mencerna protein
pada tingkat lebih tinggi daripada herbivora lain. Hal ini mungkin berhubungan
dengan sifat-sifat caecotrophy (memakan kotoran sendiri) yang dimiliki oleh kelinci. Kemampuan kelinci mencerna serat kasar (ADF= Acid Detergent Fiber) dan lemak semakin bertambah setelah kelinci berumur 5-12 minggu. Pencegahan
pertumbuhan dan penurunan kemampuan daya cerna protein dari 77% menjadi
60%. Pembuangan caecum melalui pembelahan menghasilkan pembesaran colon
(usus besar). Ternyata kelinci tanpa caecum tidak melakukan caecotrophy.
Komposisi kotoron lunak yang dikeluarkan sangat berbeda dari kotoran keras
yang dikeluarkan. Kotoran lunak tetapi tinggi dalam protein (28,5%) kalau
dibandingkan dengan kotoran keras yang mengandung 53% bahan kering dan
9,2% protein. Kotoran lunak juga mengandung banyak vitamin B (Parker, 1976).
Menurut Kautson et al., (1977), populasi mikroba yang terdapat dalam caecum sangat aktif dalam memanfaatkan nitrogen dari urea darah yang
memasuki caecum. Protein mikroba ini banyak menyumbang tingginya kadar
protein dalam kotoran lunak.
Belum ada alasan yang pasti mengapa kelinci memiliki kemampuan
rendah untuk mencerna serat kasar. Salah satu penyebabnya kemungkinan
berhubungan dengan waktu transit bahan-bahan berserat dalam saluran
pencernaan yang relatif cepat. Hal ini berbeda dengan proses pencernaan pada
ternak ruminansia. Pada ternak ruminansia serat kasar hijaun justru
memperpanjang waktu penahanan pakan dalam saluran pencernaan. Penahanan
tersebut tidak terjadi pada kelinci karena kelinci tidak memiliki rumen
(Masanto dan Agus, 2011).
Pakan Kelinci
Pakan bagi ternak sangat besar peranannya. Pemberian pakan yang
seimbang diharapkan dapat memberikan produksi yang tinggi. Pakan yang
protein, karbohidrat, mineral, vitamin, digemari ternak dan mudah dicerna
(Anggorodi, 1990).
Faktor makanan merupakan salah satu faktor utama dalam mengendalikan
ternak kelinci. Oleh karena itu berhasilnya usaha ternak kelinci juga sangat
tergantung pada perhatian peternak pada penyajian mutu makanan beserta
volumenya. Makanan harus mencukupi jumlah zat gizi yang dibutuhkan kelinci
sesuai fase pertumbuhannya. Ada pun zat-zat yang harus dipenuhi adalah vitamin,
mineral, hidrat arang, protein, lemak dan air (AAK, 1983)
Menurut Komposisi Pakan Kelinci Komplit Bervitamin. Kandungan
zat makanan atau nutrisi yang dibutuhkan adalah:
Tabel 2. Kandungan zat makanan atau nutrisi kelinci.
Sumber : (Ernawati, 2011).
Energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kelinci 2500-2900 kkal
(AAK, 1980). Untuk peningkatan bobot kelinci pedaging dapat sesuai dengan
yang diinginkan, pemberian pakan harus diatur agar seimbang pakan hijauan dan
konsentrat. Biasanya, pada peternakn kelinci intensif, hijauan diberikan sebanyak
60-80%, sedangkan konsentrat sebanyak 20-40% dari total jumlah pakan yang
diberikan (Priyatna, 2011).
Di daerah tropis, penyedian bahan pakan ternak dalam jumlah dan kualitas
yang cukup pada sepanjang tahun tidak memungkinkan apabila tidak diatasi
dengan sistem pengaturan penyimpanan atau pengawetan hijauan. Saat ini upaya
No Nutrisi Jumlah
untuk mengatasi kekurangan penyedian pakan ternak berupa hijauan oleh ternak
masih dalam jumlah yang terbatas. Adanya kekurangan persediaan pakan ternak
akan mengakibatkan kerugian bagi para peternak pada setiap musim atau setiap
tahunnya. Hal ini dapat membuktikan diakhir musim kemarau, pada umumnya
ternak menjadi kurus karena kekurangan pakan. Selama musim kemarau daya
cerna hijauan menjadi berkurang hai ini disebabkan oleh proses hilangnya energi,
mineral, dan protein pada saat tanaman berespirasi yang sulit diganti akibat
kekurangan air. Berkurangnya daya cerna pakan tentu saja akan mengurangi
jumlah pakan yang dimakan. Sebab volume dan nilai makanan tanaman berada
dibawah nilai kebutuhan pokok, akibatnya pertumbuhan ternak menjadi lambat
dan pada ternak dewasa kehilangan bobot badan, sehingga pemotongan ternak
tertunda, kemampuan perkembangbiakan menjadi mundur dikarenakan fertilitas
menurun, yang berarti penurunan produksi dan persentase karkas menjadi sangat
rendah (AAK, 1983).
Dilihat dari sumbernya ada 2 macam protein yang biasa dikomsumsi.
Pertama, protein nabati yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Kedua, protein
hewani yang berasal dari hewan ternak dan hasil perikanan. Dari sudut pandang
gizi dan ekonomi, 2 macam protein tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Protein nabati harganya lebih murah, namun asam amino esensial
yang dikandung kurang lengkap sementara protein hewani relatif mahal,
kandungan asam amino esensialnya lebih lengkap. Dengan demikian jika dilihat
dari kualitasnya, protein hewani lebih bermutu dibandingkan dengan protein
nabati, tetapi harganya mahal. Sedangkan protein nabati harganya murah tapi
Kelinci sangat memerlukan sayuran untuk mempermudah pencernaan dan
mengurangi kadar serat berlebih. Berikan 3-7 lembar per hari sayuran layu pada
siang hari sebagai makanan siang. Sayuran yang baik adalah soisin atau caisim
(sayuran untuk mi ayam) dan wortel. Sementara untuk kangkung dan kubis,
usahakan tidak diberikan karena kadar airnya berlebihan dan mengkibatkan air
kencing berbau pesing (Ernawati, 2011).
Kulit Ubi Kayu
Kulit ubi kayu yang diperoleh dari produk tanaman ubi kayu merupakan
limbah industri pembuatan tepung tapioka dan produk lain dengan menggunakan
bahan dasar umbi ubi kayu. Pada umumnya dalam proses industri tersebut kulit
ubi kayu ini dibuang sebagai limbah. Dimana semakin luas areal tanaman ubi
kayu diharapkan produksi umbi ubi kayu semakin tinggi sehingga semakin tinggi
pula limbah kulit ubi kayu. Setiap kilogram ubi kayu dapat menghasilkan 15 – 20
% kulit ubi kayu (Nurhayani dkk, 2000).
Kulit ubi yang segar bisa digunakan untuk makanan binatang ternak tetapi
tidak boleh terlalu banyak karena kulit ubi kayu mengandung sianida. Ubi kayu
segar memiliki kandungan protein yang sedikit maka perlu peningkatan
kandungan nutrisinya sehingga sesuai untuk makanan ternak (Rukmana, 1997).
Salah satu sumber daya lokal potensial yang belum dimanfaatkan sebagai
bahan pakan ternak dan tidak bersaing dengan manusia yaitu limbah kulit ubi
kayu yang merupakan limbah dari mata rantai proses produksi pembuatan produk
yang berbahan dasar ubi kayu. Limbah tersebut sebaiknya dalam keadaan kering
(dijemur) atau ditumbuk dijadikan tepung tetapi salah satu faktor penghambat
yang merupakan faktor anti nutrisi. Kandungan HCN yang ada pada ubi kayu
tergantung pada musim. Curah hujan yang rendah akan meningkatkan kandungan
HCN pada ubi kayu. Zat anti nutrisi tersebut dapat dihilangkan dengan
pengolahan bahan yang benar. Pengolahan bahan pakan dapat dilakukan secara
mekanis atau fisik, kimia, biologis atau kombinasi dari ketiga pengolahan
tersebut. Pengolahan secara fisik pada kulit ubi kayu dapat menghilangkan
kandungan HCN sehingga dapat digunakan sebagai pakan ternak (Suyatno, 2011).
Limbah ubi kayu termasuk salah satu bahan pakan ternak yang
mempunyai energi (Total Digestible Nutrient = TDN) tinggi dan kandungan nutrisi dalam jumlah memadai. Protein dalam ubi kayu juga mengandung berbagai
macam asam amino seperti leusin, isoleusin, lysin dan beberapa asam amino
lainnya. Asam amino tersebut juga masih terkandung dalam kulit ubi kayu
karena dalam pengelupasan kulit ubi kayu masih tertinggal isi dari ubi kayu
(Suyatno, 2011).
Pengolahan ubi kayu untuk menghilangan HCN pada umumnya dilakukan
secara fisik. Kadar HCN yang merupakan faktor anti nutrisi pada kulit ubi kayu
dapat dilakukan penekanan dengan berbagai cara dan dengan tingkat penekanan
HCN yang berbeda-beda sesuai dengan perlakuan. Perlakuan fisik pada ubi kayu
dapat dilakukan dengan empat cara yaitu :
1. Kulit ubi kayu dicuci
2. Kulit ubi kayu dikukus (suhu 1000C)
3. Kulit ubi kayu dikeringkan dalam oven dengan suhu 1000C selama 12 jam.
Keempat metode tersebut menghasilkan penekanan yang berbeda terhadap
kandungan HCN dalam kulit ubi kayu yang telah diproses. Hasil dari kempat
perlakuan tersebut adalah :
Tabel 3. Rata-rata Nilai HCN Kulit ubi kayu dengan berbagai perlakuan
Parameter Perlakuan (mg/100g)
Kadar HCN Pencucian Pengukusan (1000C)
Sumber : Purwati (2005)
Peningkatan jumlah protein pada variabel perbedaan penambahan sumber
vitamin pada waktu yang optimal fementasi kulit ubi kayu (5 hari) yaitu pada B1
jumlah protein 4.03 %, B6 jumlah protein 4.38 %, B12 jumlah protein 4.20 %, B
Complek jumlah protein 4.81 % dan sedangkan pada peningkatan protein pada
variabel perbedaan penambahan jenis sumber nitrogen pada waktu yang optimal
fementasi kulit ubi kayu (5 hari) yaitu pada urea jumlah protein 9.63 %, dedak
jumlah protein 4.46 %, NH4NO3 jumlah protein 8.49 %, (NH4)2SO4 jumlah
protein 10.5 %, (NH4)2HPO4 jumlah protein 10.41 %. Pada variabel penambahan
jenis vitamin yang paling optimal adalah B complek sedangkan pada jenis sumber
nitrogen yang paling optimal adalah (NH4)2SO4 dan diikuti dengan
(NH4)2HPO4 (Renilail, 2011).
Fermentasi Menggunakan Mikroorganisme Lokal
Fermentasi adalah proses penguraian unsur-unsur organik kelompok
terutama karbohidrat untuk menghasilkan energi melalui reaksi enzim yang
”protein enrichment” yang berarti proses pengkayaan protein bahan dengan
menggunakan mikroorganisme tertentu (Sarwono, 1996).
Selama proses fermentasi, terjadi bermacam-macam perubahan komposisi
kimia. Kandungan asam amino, karbohidrat, pH, kelembaban, aroma serta
perubahan nilai gizi yang mencakup terjadinya peningkatan protein dan
penurunan serat kasar. Semuanya mengalami perubahan akibat aktivitas dan
perkembangbiakan mikroorganisme selama fermentasi. Melalui fermentasi terjadi
pemecahan substrat oleh enzim – enzim tertentu terhadap bahan yang tidak dapat
dicerna, misalnya selulosa dan hemiselulosa menjadi gula sederhana. Selama
proses fermentasi terjadi pertumbuhan kapang, selain dihasilkan enzim juga
dihasilkan protein ekstraselluler dan protein hasil metabolisme kapang sehingga
terjadi peningkatan kadar protein (Sembiring, 2006).
Inokulan Cair
Inokulan cair adalah suatu wadah untuk membiakkan mikroorganisme
yang akan mampu mendegradasi sampah organik. Mikroorganisme dasar adalah
Saccharomyces sp yang berasal dari ragi tape, Rhizopus sp dari ragi tempe dan
Lactobacillus sp dari yoghurt. Mikroorganisme ini mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
a. Sifat amilolitik, mikroorganisme yaitu Saccharomyces sp akan menghasilkan enzim amylase yang berperan dalam mengubah
karbohidarat menjadi volatile fatty acids dan keto acids yang kemudian akan menjadi asam amino.
polipeptida-polipeptida, lalu menjadi peptide sederhana, dan akhirnya menjadi asam
amino bebas, CO2 dan air.
c. Sifat lipolitik, mikroorganisme yaitu Lactobacillus sp akan menghasilkan enzim lipase yang berperan dalam perombakan lemak
(Ginting, 2010).
Saccharomyces sp merupakan genus khamir atau ragi yang memiliki kemampuan mengubah glukosa menjadi alkohol dan CO2. Saccharomyces sp merupakan mikroorganisme bersel satu tidak berklorofil, termasuk termasuk
kelompok Eumycetes. Tumbuh baik pada suhu 30oCdan pH 4,8. Beberapa kelebihan saccharomyces dalam proses fermentasi yaitu mikroorganisme ini cepat
berkembang biak, tahan terhadap kadar alkohol yang tinggi, tahan terhadap
suhu yang tinggi, mempunyai sifat stabil dan cepat mengadakan adaptasi
(Wikipedia, 2012).
Rhizopus sp yaitu koloni berwarna putih berangsur-angsur menjadi abu-abu; stolon halus atau sedikit kasar dan tidak berwarna hingga kuning kecoklatan;
sporangiofora tumbuh dari stolon dan mengarah ke udara, baik tunggal atau dalam
kelompok (hingga 5 sporangiofora); rhizoid tumbuh berlawanan dan terletak pada
posisi yang sama dengan sporangiofora; sporangia globus atau sub globus dengan
dinding berspinulosa (duri-duri pendek), yang berwarna coklat gelap sampai
hitam bila telah masak; kolumela oval hingga bulat, dengan dinding halus atau
sedikit kasar; spora bulat, oval atau berbentuk elips atau silinder; suhu optimal
untuk pertumbuhan 35 0C, minimal 5-7 0C dan maksimal 44 0C. Berdasarkan
Jamur Rhizopus oryzae merupakan jamur yang sering digunakan dalam pembuatan tempe (Soetrisno, 1996). Jamur Rhizopus oryzae aman dikonsumsi karena tidak menghasilkan toksin dan mampu menghasilkan asam laktat
(Purwoko dan Pamudyanti, 2004). Jamur Rhizopus oryzae mempunyai kemampuan mengurai lemak kompleks menjadi trigliserida dan asam amino
(Septiani, 2004). Selain itu jamur Rhizopus oryzae mampu menghasilkan protease (Margiono, 1992). Menurut Sorenson dan Hesseltine (1986), Rhizopus sp tumbuh baik pada kisaran pH 3,4-6. Pada penelitian semakin lama waktu fermentasi, pH
tempe semakin meningkat sampai pH 8,4, sehingga jamur semakin menurun
karena pH tinggi kurang sesuai untuk pertumbuhan jamur. Secara umum jamur
juga membutuhkan air untuk pertumbuhannya, tetapi kebutuhan air jamur lebih
sedikit dibandingkan dengan bakteri. Selain pH dan kadar air yang kurang sesuai
untuk pertumbuhan jamur, jumlah nutrien dalam bahan, juga dibutuhkan oleh
jamur.
Lactobacillus adalah genus bakteri gram-positif, anaerobik fakultatif atau mikroaerofilik. Genus bakteri ini membentuk sebagian besar dari kelompok
bakteri asam laktat, dinamakan demikian karena kebanyakan anggotanya dapat
mengubah laktosa dan gula lainnya menjadi asam laktat. Kebanyakan dari bakteri
ini umum dan tidak berbahaya bagi kesehatan. Dalam manusia, bakteri ini dapat
ditemukan di dalam vagina dan sistem pencernaan, dimana mereka bersimbiosis
dan merupakan sebagian kecil dari flora usus. Banyak spesies dari Lactobacillus
memiliki kemampuan membusukkan materi tanaman yang sangat baik. Produksi
pertumbuhan beberapa bakteri merugikan. Beberapa anggota genus ini telah
memiliki genom sendiri.
Teknologi pengolahan Pakan Berbentuk Pelet
Berbagai teknik pembuatan pakan digunakan dalam penyiapan bahan
makanan ternak. Perlakuan terhadap bahan pakan dapat secara nyata mengubah
nilai gizi dari bahan-bahan tersebut. Panas akan merubah beberapa kandungan gizi
atau sebaliknya, beberapa zat gizi yang lain menjadi naik nilai kegunaannya.
Pembentukan pelet dapat meningkatkan konsumsi sedangkan penggilingan dapat
mempengaruhi daya cerna dari protein dan karbohidrat. Sangatlah penting bagi
pemberi makan untuk berhati-hati terhadap bahan pakan yang mengalami
perlakuan baik untuk pengawetan, pemurnian, pengkonsentrasian atau untuk
menaikkan nilai gizinya. Jadi, diperlukan penjelasan-penjelasan dari hasil bahan
pakan, metode pembuatan, seperti: pengawetan, pemisahan, pengurangan ukuran
dan perlakuan-perlakuan panas (Hartadi, 2005).
Untuk membuat pakan bentuk crumble atau pellet dari pakan bentuk tepung maka harus dilakukan proses lebih lanjut. Selain itu juga perlu dilakukan
pengujian kepadatan atau kerekatannya jika mau dibuat pakan bentuk pelet.
Caranya, ambil pakan yang berbentuk secukupnya lalu dijemur. Setelah kering,
Pertumbuhan Ternak Kelinci
Konsumsi
Konsumsi adalah kemampuan untuk menhabiskan sejumlah ransum yang
diberikan. Konsumsi ransum dapat dihitung dengan pengurangan jumlah ransum
yang diberikan dengan sisa dan hamburan. Konsumsi ransum dipengaruhi oleh
kesehatan ternak, palatabilitas, mutu ransum dan tata cara pemberian
(Anggorodi, 1995).
Pemenuhan pakan kelinci dihitung berdasarkan konsumsi bahan kering
(Herman, 2000). Kebutuhan bahan kering menurut NRC (1977) yaitu untuk hidup
pokok 3-4% dari bobot badan dan untuk pertumbuhan normal 5-8% dari bobot
badan.
Perbedaan konsumsi ransum dipengaruhi beberapa faktor, antara lain:
bobot badan, umur dan kondisi yaitu normal atau sakit, stress yang diakibatkan
lingkungan dan tingkat kecernaan ransum (Parakkasi, 1983). Faktor makanan
yang mempengaruhi pertumbuhan adalah kandungan zat makanan serta daya
cerna bahan makanan tersebut (Sihombing, 1997).
Konsumsi ransum dipengaruhi beberapa faktor diantaranya adalah
palatabilitas ransum, bentuk fisik ransum, bobot badan, jenis kelamin, temperatur
lingkungan, keseimbangan hormonal dan fase pertumbuhan (Piliang, 2000).
Dari penelitian Aritonang (2004) yang menggunakan objek kelinci anakan
jenis rex diberi ransum dengan beberapa level kandungan protein dan energi
biovet diperoleh konsumsi ransum antar perlakuan berkisar antara 202,96
Pertambahan Bobot Badan
Pertambahan bobot badan harian kelinci dipengaruhi oleh perlakuan
pakan. Menurut Tilman et al. (1998), faktor pakan sangat menentukan pertumbuhan, bila kualitasnya baik dan diberikan dalam jumlah yang cukup, maka
pertumbuhannya akan makin cepat.
Bobot badan dapat menentukan penampilan ternak tersebut serta
keturunannya, bobot badan dapat bervariasi karena dipengaruhi oleh bangsa,
umur, genetik, pakan, suhu, lingkungan dan sebagainya (Ensminger, 1991).
Menurut Thalib et al., (2001) pertambahan bobot tubuh ternak sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pakan, maksudnya penilaian pertambahan bobot tubuh
ternak sebanding dengan ransum yang dikonsumsi.
Sanforrd dan Woodgate (1981) menjelaskan bahwa apabila proporsi serat
kasar dalam ransum naik, maka daya cerna zat gizi pakan secara total turun.
Menurut Cheeke (1987) bahwa kelinci memerlukan serat di dalam pakannya,
bukan karena nilai gizinya, tetapi untuk mencegah enteritis. Pertambahan bobot
badan sesuai umur dapat dilihat pada tabel
Tabel 4. Pertambahan bobot kelinci
No. Umur Bobot badan (g) Pertambahan bobot
Konversi ransum adalah jumlah ransum yang habis dikonsumsi ternak
tertentu). Semakin baik mutu ransum, semakin kecil pula konversi pakannya
(Rasyaf, 1997).
Konversi ransum tergantung kepada : (1) kemampuan ternak untuk
mencerna zat makanan, (2) kebutuhan ternak akan energi dan protein untuk
pertumbuhan, hidup pokok dan fungsi tubuh lainnya, (3) jumlah makanan yang
hilang melalui metabolisme dan kerja yang tidak produktif dan (4) tipe makanan
yang dikonsumsi, sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi ransum
adalah genetik, umur, berat badan, tingkat konsumsi makanan, pertambahan bobot
badan perhari, palatabilitas dan hormon (Campbell dan Lasley, 1985).
Angka konversi ransum menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan
ransum, yaitu angka konversi ransum semakin besar maka penggunaan ransum
kurang ekonomis. Angka konversi ransum dipengaruhi oleh factor lingkungan
(Lestari, 1992). Konversi ransum merupakan satuan ukuran yang dapat
memperlihatkan sampai sejauh mana efisiensi usaha ternak dapat menemukan
besar kecilnya keuntungan yang diterima peternak (Rasyaf, 1989).
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak, Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian dilaksanakan selama 8
minggu dimulai bulan September sampai November 2012.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua puluh ekor ternak
kelinci New Zealand White jantan lepas sapih dengan bobot 683,7 ± 21,2 gram
sebagai objek yang akan diteliti, kulit ubi, dedak padi, bungkil inti sawit, tepung
jagung, bungkil kedele, kapur, molases dan mineral mix sebagai bahan pakan. Air
tebu, ragi tempe, ragi tape, youghurt dan starbio sebagai bahan fermentator
pembuatan inoculan cair serta obat-obatan seperti obat cacing (Kalbazen),
Vitamin B-Kompleks dan air minum.
Alat
Kandang individual dua puluh unit dengan ukuran 50x50x50 cm
Tempat pakan dan tempat minum
Timbangan untuk menimbang bobot hidup berkapasitas 10 Kg dengan
kepekaan 10 g dan timbangan berkapasitas 5 Kg dengan kepekaan 5 g
untuk menimbang pakan
Alat kebersihan (ember, sapu lidi, beko, sekop), alat tulis, kalkulator dan
Mesin penggiling (grinder)
Terpal plastik untuk menjemur bahan pakan
pencatat data selama penelitian, kereta sorong sebagai alat pengangkut
bahan pakan dan lampu sebagai alat untuk penerang kandang.
Pencetak pelet
Termometer untuk mengetahui suhu saat fermentasi dan suhu kandang
Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan adalah experimental dengan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan 5 ulangan. Perlakuan yang
diteliti adalah:
Ulangan yang didapat berasal dari rumus:
t(n-1)≥15
4(n-1) ≥15
4n-4≥15
4n≥19
n≥4, 75
n≈5
P0 = Kulit Ubi Fermentasi 0% + Rumput Lapangan (adlibitum)
P1 = Kulit Ubi Fermentasi 10% + Rumput Lapangan (adlibitum)
P2 = Kulit Ubi Fermentasi 20% + Rumput Lapangan (adlibitum)
Sehingga kombinasi perlakuan yang dihasilkan adalah sebagai berikut :
P01 P13 P24 P34 P44
P12 P02 P33 P21 P42
P43 P32 P14 P03 P22
P31 P23 P04 P41 P11
Model matematika percobaan yang digunakan adalah:
Yij = µ +
γ
i +
ε
ij
Dimana:
i = 1, 2, 3,...i = perlakuan l = 1, 2, 3,...i = ulangan
Yij = nilai pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke- j µ = nilai tengah umum
γi = pengaruh perlakuan ke-i
εij = efek galat percobaan pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j (Hanafiah, 2003)
Parameter Penelitian
1. Konsumsi Ransum
Konsumsi ransum dihitung berdasarkan jumlah ransum yang diberikan pada hari
awal dikurangi sisa ransum pada hari berikutnya dalam satuan g/ekor/hari.
2. Pertambahan Bobot Badan
Pertambahan bobot badan dihitung berdasarkan bobot akhir minggu dikurangi
dengan bobot awal minggu yang dihitung tiap minggunya, dalam satuan
3. Konversi Ransum
Konversi ransum dihitung berdasarkan perbandingan antara konsumsi ransum
dengan pertambahan bobot badan tiap minggunya.
Pengambilan Data
Pengambilan data untuk konsumsi ransum dilakukan dalam sehari dan
pertambahan bobot badan dilakukan sekali seminggu (g/ekor/minggu) selama 8
minggu. Sedangkan untuk mencari konversi ransum dihitung setelah didapatkan
kedua parameter tersebut.
Analisis Data
Analisis data dilakukan berdasarkan analisis ragam. Bila hasilnya berbeda
nyata perakuan maka akan dilakukan uji lanjut. Pengujian lanjut berdasarkan pada
koefisien ragamannya.
Pelaksanaan Penelitian
1. Persiapan Kandang dan Peralatan
Kandang dipersiapkan seminggu sebelum kelinci masuk dalam kandang agar
kandang bebas dari hama dan bibit penyakit. Kandang beserta peralatan seperti
tempat pakan dan minum dibersihkan dan didesinfektan dengan menggunakan
radalon.
2. Pemilihan Ternak
Penyeleksian ternak kelinci yang akan digunakan sebagai objek penelitian
melalui beberapa syarat sebagai berikut: ternak kelinci dalam keadaan sehat,
lincah, tidak cacat dilihat dari bentuk kaki yang lurus dan lincah, ekor
telinga lurus keatas dan telinga tidak terasa dingin, mata jernih dan bulu
mengkilat. Sebelum kelinci dimasukkan ke dalam kandang, dilakukan
penimbangan untuk mengetahui bobot badan awal dari masing-masing kelinci
kemudian dilakukan random (pengacakan) yang bertujaun untuk memperkecil
nilai keragaman. Lalu kelinci dimasukkan ke dalam kandang sebanyak satu per
unit penelitian.
3. Pengololahan kulit ubi
Pengolahan kulit ubi menjadi tepung diawali dari memfermentasi kulit ubi
yaitu dimulai dari kulit ubi dicacah menggunnakan coper lalu dicuci dengan air
mengalir selanjutnya dikukus hingga suhu 90-100 0C. Kemudian kulit ubi dijemur
di bawah matahari selama 12 jam. Kulit ubi yang telah dijemur kemudian
difermentasi menggunakan mikroorganisme lokal
4. Penyusunan pakan dalam bentuk pelet
Bahan penyusun konsentrat yang digunakan terdiri atas tepung jagung halus,
bungkil kelapa, dedak halus, tepung ikan, bungkil kacang kedele, ampas tahu,
minyak nabati, dan ultra mineral. Bahan yang digunakan ditimbamg terlebih
dahulu sesuai dengan formulasi pelet yang telah ditentukan sesuai dengen level
perlakuan. Untuk menghindari ketengikan, pencampuran konsentrat dilakukan
satu kali dalam dua minggu dan pencampuran dilakukan dengan pengayakan.
5. Pemeliharaan Kelinci
Sebelum kelinci diberi perlakuan, dilakukan penimbangan bobot badan awal
kelinci kemudian penimbangan kelinci dilakukan seminggu sekali. Pakan dan air
seperti Wornectin untuk obat cacing dan mencret dengan dosis 1 cc untuk 8 ekor
kelinci, pemberiannya dengan cara menyuntikkan dibagian subkutan, b-complex
sebagai vitamin dengan dosis 0,25 cc untuk 1 ekor anak kelinci, disuntikkan
secara intramuskuler dibagian paha kelinci, dan anti bloat untuk obat mencret dan
kembung dengan dosis 1 sendok teh untuk 1-3 ekor, pemberiannya melalui mulut.
Kandang, tempat pakan dan minum dibersihkan setiap hari pada pagi hari. Pakan
pellet diberikan pada jam 08.00 wib dan 14.00 wib serta pemberian rumput
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi pakan
Konsumsi pakan dihitung setiap hari berdasarkan selisih antara jumlah
pakan yang diberikan dengan jumlah sisa pakan. Pakan yang diberikan selama
penelitian ini adalah pakan hasil formulasi yang disesuaikan dengan perlakuan,
pakan diberikan secara berkala dan air minum diberikan secara ad-libitum. Rataan konsumsi pakan dalam bahan kering dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 5. Rataan Konsumsi Pakan dalam Bahan Kering (gram/ekor/hari)
Perlakuan Ulangan TOTAL RATAAN±sd 1 2 3 4 5
P0 109.01 107.87 105.86 103.20 103.67 529.61 105.92±2.54c P1 100.59 99.28 99.57 96.73 97.93 494.11 98.82±1.51b P2 97.92 96.84 94.68 95.94 96.44 481.82 96.36±1.19ab P3 93.88 95.37 91.50 92.79 93.33 466.86 93.37±1.42a TOTAL 401.40 399.37 391.60 388.66 391.37 1972.40
RATAAN 100.35 99.84 97.90 97.16 97.84 98.62±1.39 Keterangan: Notasi huruf yang berbeda pada kolom rataan menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01)
Tabel 5 menunjukkan rata-rata konsumsi pakan kelinci (gram/ekor/hari)
dari masing-masing perlakuan selama penelitian adalah P0 = 105,92, P1 = 98,82,
P2 = 96,36 dan P3 = 93,37. Konsumsi pakan tertinggi secara kuantitatif dicapai
pada perlakuan P0 (Kulit Ubi Fermentasi 0% + Rumput Lapangan) dan yang
terendah pada perlakuan P3 (Kulit Ubi Fermentasi 30% + Rumput Lapangan).
Berdasarkan hasil analisis ragam dapat diketahui bahwa penggunaan kulit ubi
kayu fermentasi dalam pakan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata
(P<0,01) terhadap konsumsi pakan.
Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan maka dilakukan
memberikan nilai rataan yang berbeda terhadap perlakuan P1, P2, dan P3.
Konsumsi bahan kering pakan cenderung menurun dan lebih rendah dari pada
perlakuan P0 (Kulit Ubi Fermentasi 0% + Rumput Lapangan).
Tabel 5 diatas menunjukkan bahwa rataan umum konsumsi pakan adalah
sebesar 98,62 gram/ekor/hari. Angka tersebut lebih rendah daripada angka
rata-rata konsumsi pakan yang diharapkan pada pemeliharaan kelinci menurut
Herman (2000) yang menyatakan bahwa pemenuhan pakan kelinci dihitung
berdasarkan konsumsi bahan kering. Kebutuhan bahan kering menurut NRC
(1977) yaitu untuk hidup pokok 3-4% dari bobot badan dan untuk pertumbuhan
normal 5-8% dari bobot badan. Berat rataan kelinci yaitu 2068,4 gram, maka
berdasarkan data NRC kebutuhan bahan kering untuk pertumbuhan yaitu 5-8%
dari berat badan kelinci yaitu sekitar 103,42-165,47 gram/ekor/hari. Hal ini
mungkin disebabkan karena tingkat palatabilitas terhadap ransum rendah dan
perbedaan bobot badan kelinci. Hal ini sesuai dengan pernyataan Piliang (2000)
yang menyatakan bahwa konsumsi ransum dipengaruhi beberapa faktor
diantaranya adalah palatabilitas ransum, bentuk fisik ransum, bobot badan, jenis
kelamin, temperatur lingkungan, keseimbangan hormonal dan fase pertumbuhan.
Pertambahan Bobot Badan
Pertambahan bobot badan dihitung setiap minggunya berdasarkan selisih
antara penimbangan bobot badan akhir dengan penimbangan bobot badan awal
per satuan waktu dalam satuan gram/ekor/hari. Rataan pertambahan bobot badan
Table 6. Rataan Pertambahan Bobot Badan Kelinci New Zealand White (gram/ekor/hari)
Perlakuan Ulangan TOTAL RATAAN±sd
1 2 3 4 5
P0 29.84 28.13 28.33 28.77 28.39 143.46 28,69±0,68d P1 26.73 26.04 26.76 26.16 26.37 132.06 26,41±0,35c P2 24.37 25.28 24.47 25.08 25.55 124.75 24,95±0,51b P3 23.22 23.18 23.14 23.18 23.08 115.81 23,16±0.05a TOTAL 104.16 102.64 102.69 103.20 103.39 516.09
RATAAN 26.04 25.66 25.67 25.80 25.85 25,80±0,18
Keterangan: Notasi huruf yang berbeda pada kolom rataan menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01)
Tabel 6 menunjukkan rata-rata pertambahan bobot badan kelinci
(gram/ekor/hari) dari masing-masing perlakuan selama penelitian adalah
P0 = 28,69, P1 = 26,41, P2 = 24,95 dan P3 = 23,16. Pertambahan bobot badan
kelinci tertinggi secara kuantitatif dicapai pada perlakuan P0 (Kulit Ubi
Fermentasi 0% + Rumput Lapangan) dan yang terendah pada perlakuan P3 (Kulit
Ubi Fermentasi 30% + Rumput Lapangan). Berdasarkan hasil analisis ragam
dapat diketahui bahwa penggunaan kulit ubi kayu fermentasi dalam pakan
memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap pertambahan bobot
badan kelinci.
Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan maka dilakukan
Uji Tukey. Dari hasil uji Tukey didapat rataan bobot badan pada perlakuan P0
(Kulit Ubi Fermentasi 0% + Rumput Lapangan) memberikan nilai rataan yang
berbeda terhadap perlakuan P1, P2, dan P3. Pertambahan bobot badan kelinci
cenderung menurun dan lebih rendah dari pada perlakuan P0 (Kulit Ubi
Fermentasi 0% + Rumput Lapangan).
Hal ini berbanding lurus dengan tabel konsumsi. Pada perlakuan P0
menghasilkan pertambahan bobot badan yang lebih besar juga dibandingkan
perlakuan lain. Thalib et al., (2001) menyatakan bahwa pertambahan bobot tubuh ternak sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pakan, maksudnya penilaian
pertambahan bobot tubuh ternak sebanding dengan ransum yang dikonsumsi.
Tabel 6 diatas menunjukkan bahwa rataan umum pertambahan bobot
badan adalah sebesar 25,8 gram/ekor/hari. Angka tersebut lebih rendah daripada
angka rata-rata pertambahan bobot badan yang diharapkan pada pemeliharaan
kelinci menurut Reksohadiprojo (1984) untuk periode 8-14 minggu yaitu
33,2 gram/ekor/hari. Penurunan pertumbuhan bobot badan dipengaruhi oleh
penurunan tingkat konsumsi. Ensminger (1991) mengatakan bobot badan dapat
menentukan penampilan ternak tersebut serta keturunannya, bobot badan dapat
bervariasi karena dipengaruhi oleh bangsa, umur, genetik, pakan, suhu,
lingkungan dan sebagainya.
Konversi Pakan
Konversi pakan dihitung dengan cara membandingkan banyak jumlah
pakan yang dikonsumsi, dengan pertambahan bobot badan yang dicapai setiap
minggunya berdasarkan pengukuran dikandang dan nilai yang diperoleh. Rataan
konversi pakan kelinci new Zealand white yang diperoleh selama penelitian dapat
Tabel 7. Rataan Konversi Pakan Kelinci New Zealand White
Perlakuan Ulangan TOTAL RATAAN±sd 1 2 3 4 5
P0 3.65 3.83 3.74 3.59 3.65 18,46 3,69±0,10a
P1 3.76 3.81 3.72 3.69 3.71 18,71 3,74±0,05ab
P2 4.02 3.83 3.87 3.82 3.77 19,31 3,86±0,09b
P3 4.04 4.11 3.95 4.00 4.04 20,16 4,03±0,06c
TOTAL 15,48 15,59 15,28 15,11 15,18
RATAAN 3,87 3,70 3,82 3,78 3,79 3,86±0,15
Tabel 7 menunjukkan rata-rata konversi pakan kelinci dari
masing-masing perlakuan selama penelitian adalah P0 = 3,69, P1 = 3,74, P2 = 3,86 dan
P3 = 4,03. Konversi pakan kelinci terendah secara kuantitatif dicapai pada
perlakuan P0 (Kulit Ubi Fermentasi 0% + Rumput Lapangan) dan P1 (Kulit Ubi
Fermentasi 10% + Rumput Lapangan) serta konversi pakan yang tertinggi dicapai
pada perlakuan P3 (Kulit Ubi Fermentasi 30% + Rumput Lapangan). Berdasarkan
hasil analisis ragam dapat diketahui bahwa penggunaan kulit ubi kayu fermentasi
dalam pakan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap
pertambahan konversi pakan kelinci.
Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan maka dilakukan
Uji Tukey. Dari hasil uji Tukey didapat rataan konversi pakan kelinci pada
perlakuan P0 (Kulit Ubi Fermentasi 0% + Rumput Lapangan) memberikan nilai
rataan yang tidak berbeda terhadap perlakuan P1, namun memberikan nilai rataan
yang berbeda dengan perlakuan P2 dan P3. Konversi pakan kelinci cenderung
meningkat dan lebih tinggi dari pada perlakuan P0 (Kulit Ubi Fermentasi 0% +
Rumput Lapangan).
Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa penambahan kulit ubi fermentasi dalam
ransum tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap konversi ransum
Perbedaan nilai konversi ransum kelinci yang diberi perlakuan P3
dibandingkan dengan perlakuan lainnya dapat disebabkan antara lain oleh tingkat
palatabilitas kelinci untuk mengomsumsi ransum yang akan menghasilkan
pertambahan bobot badan. Campbell dan Lasley (1985) mengatakan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi konversi ransum adalah genetik, umur, berat
badan, tingkat konsumsi makanan, pertambahan bobot badan perhari, palatabilitas
dan hormon.
Rekapitulasi Hasil Penelitian
Data hasil penelitian yang dilakukan selama penelitian maka dapat
digambarkan pada Tabel 8 berikut ini.
Tabel 8. Rekapitulasi hasil penelitian
Perlakuan Konsumsi Ransum Pertambahan
Bobot Badan Konversi Ransum P0
Keterangan : Notasi huruf yang berbeda pada kolom rataan menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01)
Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa tingkat konsumsi pakan, pertambahan
bobot badan dan konversi ransum antara perlakuan terdapat perbedaan yang
sangat nyata.
Ini menunjukkan bahwa kelinci new Zealand white yang diberi perlakuan
penambahan kulit ubi yang difermentasi Rhizopus sp, Saccharomyces sp dan
Lactobacillus sp dalam ransum menurunkan tingkat konsumsi dan tingkat pertambahan bobot badan, juga memiliki tingkat efisiensi dalam pakan yang
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penambahan kulit ubi fermentasi Rhizopus sp, Saccharomyces sp dan
Lactobacillus sp dalam ransum cenderung mempengaruhi penurunan tingkat konsumsi, penurunan pertambahan bobot badan serta meningkatkan nilai konversi
ransum kelinci New Zealand White yang diteliti.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian penggunaan kulit ubi fermentasi masih dapat
digunakan sampai level 20% karena memiliki nilai konversi yang hampir sama
DAFTAR PUSTAKA
AAK, 1980. Pemeliharaan Kelinci. Kanisius. Yogyakarta. AAK, 1983. Hijauan Makanan Ternak. Kanisius. Yogyakarta.
Anggorodi, R. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia. Jakarta.
Anggorodi, R. 1995. Ilmu Ternak Unggas. Gramedia. Jakarta.
Aritonang, D., Harahap, M.A., Raharjo, Y.C. Pengaruh Penambahan Biovet dalam Ransum dengan Berbagai Kandungan Protein dan Energi Terhadap Pertumbuhan Anak Kelinci Rex. Media Peternakan IPB. http://Journal.ipb.ac.id/index.php/mediapeternakan/article/676 [12 april 2011]
Birch,G.G., K.J.Parker and J.T.Worgan. 1976. Food from Waste AppiedScience Publishers, Ltd. London.
Campbell, J.R. dan J.F. Lasley. 1985. The Science of Animal that Serve Humanity. 2nd Ed., Tata McGraw-Hill Publishing Co. Ltd., New Delhi. Cheeke, P.R., Gobner and Patton, N.M. 1986. Fiber Utilization in Rabbit. J of
Appl. Rabbit.
Departemen Pertanian. 2011. Pakan Kelinci. http:///cybex.deptan.go.id/penyuluhan/ pakan-kelinci
Devendra, C. 1987. Expanding the Utilization of Agro-industrial by Product and non Conventional Feed Resource In Asia. Symposium on Animal Feed Resources, Asian Productivity Organization, 24-29 August 1987, Tokyo, Japan.
Ensminger, M. E. 1991. Feeds and Nutrition. Second Edition. The Ensminger Publising Company. USA.
Ernawati, D. 2011. Untung Menggiurkan dari Budi Daya Kelinci. CV Andi Offset. Yogyakarta.
Fardiaz. 1989. Fisiologi Fermentasi. PAU IPB dan LSI IPB. Bogor.
Ginting, N. 2010. Pembuatan Kompos. USU Press. Medan
Hanafiah, K.A. 2003. Rancangan Percobaan. Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya. Palembang.
Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo dan A.D. Tillman. 2005. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Gajah Mada University Press, Yokyakarta.
Kuswanto, R. K., Sudarmadji, Slamet. 1989. Mikrobiologi Pangan. UGM. Yogyakarta.
Lestari. 1992. Menentukan Bibit Broiler. Peternakan Indonesia.
Manshur, F. 2009. Kelinci Pemeliharaan Kelinci Secara Ilmiah, Tepat dan Terpadu. Nuansa. Bandung.
Margiono, S., Rahayu, Sutriswati Endang. 1992. Molekuler Genetika Mikroba. UGM Press. Yogyakarta.
National Reseach Council. 1977. Nutrient Requirement of Rabbit. National Academic
of Science, Washington.
Nurhayani, H., Nuryati, J., I Nyoman, P. 2000. Peningkatan Kandungan Protein Kulit Umbi Ubi Kayu Melalui Proses Fermentasi . Departemen Biologi
Fak. MIPA ITB. Bandung. http://journal.fmipa.itb.ac.id/jms/article/viewFile/63/57 JMS Vol. 6 No. 1,
hal. 1 – 12 April 2001
Parakkasi, A. 1983. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. UI Press.
Jakarta.
Piliang WG. 2000. Fisiologi Nutrisi. Volume I. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Priyatna, N. 2011. Beternak dan Bisnis Kelinci Pedaging. PT Agromedia Pustaka. Jakarta.
Purwati, 2005. Retensi Protein Pada Domba Lokal Jantan yang Mendapat Pakan Penguat Pollrd pada Aras Berbeda. Undip press. Semarang.
Purwoko, T. dan I. R. Pramudyanti. 2004. Pengaruh CaCO3 pada Fermentasi Asam Laktat oleh Rhizopus oryzae. Jurnal Mikrobiologi Indonesia 9: 19-22
Rasidi. 2002. 302 Formulasi Pakan Lokal Alternatif untuk Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta.
Rasyaf, M. 1989. Memelihara Ayam Buras. Kanisius. Yogyakarta.
Rasyaf, M. 1997. Penyajian Makanan Ayam Petelur. Kanisius. Yogyakarta. Reksohadiprojo, S. 1984. Pengantar Ilmu Peternakan Tropik. BPFE. Yogyakarta. Sanford, J.C. and F.G. Woodgate. 1980. The Domestic Rabbit. Thid edition.
Granada. Lonon-Totonto-Sydney-New York.
Sarwono, B. 2007. Kelinci Potong dan Kelinci Hias. Agromedia Pustaka. Jakarta. Sembiring, P., 2006. Biokonversi Limbah Pabrik Minyak Inti Sawit dengan
Phanerochaete chrysosporium dan Implikasinya Terhadap Performans Ayam Broiler. Disertasi Doktor. Universitas Padjajaran, Bandung.
Septiani, Y. 2004. Studi Karbohidrat, Lemak dan Protein pada Kecap dari Tempe. Skripsi. F. MIPA UNS. Surakarta.
Setiawan, N. 2009. Daging dan Telur Ayam Sumber Protein Murah. Unpad. Bandung.
Sihombing, D. T. H. 1997. Ilmu Ternak Babi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Sorenson dan Hesseltine. 1986. Validatian of An in Development Toxicity Screen in The Mouse. Teratol Mutagen. 6: 361-374
Susilorini, T.E., et al. 2008. Budidaya Ternak Potensial. Penebar Swadaya. Jakarta.
Suyatno. 2011. Pengolahan Fisik Kulit Ubi Kayu Sebagai Pakan Ternak. http://suyat-reproter.blogspot.com/2011/05/pengolahan-fisik-kulit-ubi-kayu-sebagai.html
Renilaili. 2011. Pengaruh Vitamin B dan Nitrogen dalam Peningkatan Kandungan Protein Kulit Ubi Kayu Melalui Fermentasi. Universitas Bina Darma. Palembang.
Rukmana, R. 1997. Ubi Kayu Budidaya dan Pascapanen. Kanisius. Yogyakarta. Thalib, A., B. Haryanto, H. Hanid, D. Suherman & Mulyani. 2001. Pengaruh
kombinasi defaunatior dan probiotik terhadap ekosistem rumen dan performan ternak domba. J. Ilmu Ternak dan Veteriner, 6 (2):83-88.
Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1981. Ilmu Makanan Ternak Dasar. UGM Press. Yogyakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Skema pengolahan kulit ubi untuk mengurangi kadar HCN
Kulit Ubi
Dicacah
Dikukus sampai suhu 100 0C
Lampiran 2. Skema pengolahan inokulan cair
Dimasukkan air sumur sebanyak 10 liter ke dalam galon air mineral
Dimasukkan air tebu sebanyak 1,5 liter
Dimasukkan ragi tempe sebanyak 60 gram
Dimasukkan ragi tape sebanyak 60 gram
Dimasukkan yougurt sebanyak tiga sendok teh
Diaduk bahan sampai merata
Lampiran 3. Skema pengolahan kulit ubi fermentasi menggunakan
mikroorganisme lokal
Kulit Ubi yang telah dikurangi kadar HCN
Ditambahkan air untuk menambah kelembaban
Ditambahkan inokulan cair yang mengandung mikroorganisme lokal dan ditambah vitamin b-complex
Diingkubasi selama 5 hari
Dikeringkan/ diangin-anginkan
Lampiran 4. Skema pembuatan pakan dalam bentuk pelet
Bahan baku
Bahan baku digiling hingga menjadi tepung
Ditimbang menurut formulasi yang sudah ditetapkan
Diaduk hingga rata di tempat pengadukan
Penambahan bahan baku cairan (kalau dibutuhkan)
Diaduk kembali hingga bahan cair tersebut tercampur rata keseluruhan bagian
Bahan baku berbentuk adonan
Adonan dimasukkan ke alat pencetak pelet
Dihasilkan pelet dengan ukuran 3-5 mm
Lampiran Analis Ragam Konsumsi
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 3,040.
Lampiran Analis Ragam Pertambahan Bobot Badan
SK DB JK KT Fhitung F0,05 F0,01
Perlakuan 3 82,151 27,384 130.71 3.24 5.29
Galat 16 3,352 0,209
Total 19 85,503
Lampiran Uji Tukey
Lampiran Analis Ragam Konversi
SK DB JK KT Fhitung F0,05 F0,01
Perlakuan 3 0.34 0.11 19.11 3.24 5.29
Galat 16 0.09 0.006
Total 19 0.43
Hasil
Tukey HSD
perlakuan N
Subset
1 2 3 4
P3 5 23.16
P2 5 24.95
P1 5 26.41
P0 5 28.69
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
Lampiran Uji Tukey
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .006.