• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Kulit Ubi Kayu Fermentasi dengan Metode Takakura dalam Pakan terhadap Pertumbuhan Kelinci New Zealand White Jantan Lepas Sapih

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemanfaatan Kulit Ubi Kayu Fermentasi dengan Metode Takakura dalam Pakan terhadap Pertumbuhan Kelinci New Zealand White Jantan Lepas Sapih"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN KULIT UBI KAYU FERMENTASI DENGAN

METODE TAKAKURA DALAM PAKAN TERHADAP

PERTUMBUHAN KELINCI NEW ZEALAND WHITE

JANTAN LEPAS SAPIH

SKRIPSI

EDI SAHPUTRA GURUSINGA 080306030

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PEMANFAATAN KULIT UBI KAYU FERMENTASI DENGAN

METODE TAKAKURA DALAM PAKAN TERHADAP

PERTUMBUHAN KELINCI NEW ZEALAND WHITE

JANTAN LEPAS SAPIH

SKRIPSI

Oleh :

EDI SAHPUTRA GURUSINGA 080306030/PETERNAKAN

Skripsi sebagai Salah Satu Syarat untuk dapat Melaksanakan Penelitian di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

FAKULTAS PERTANIAN

(3)

Judul : Pemanfaatan Kulit Ubi Kayu Fermentasi dengan Metode Takakura dalam Pakan terhadap Pertumbuhan Kelinci New Zealand White Jantan Lepas Sapih

Nama : Edi Sahputra Gurusinga NIM : 080306030

Program studi : Peternakan

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hasnudi, MS Hamdan, S.Pt, M.Si

Ketua Anggota

Mengetahui,

A.n Ketua Program Studi

Usman Budi, S.Pt., M.Si Sekretaris Program Studi Peternakan

(4)

ABSTRAK

EDI SAHPUTRA GURUSINGA: “Pemanfaatan Kulit Ubi Kayu Fermentasi

dengan Metode Takakura dalam Pakan terhadap Pertumbuhan Kelinci New Zealand White Jantan Lepas Sapih”, dibawah bimbingan HASNUDI dan

HAMDAN.

Kulit ubi fermentasi dengan metode takakura dapat meningkatkan kandungan protein pakan yang berimplikasi pada peningkatan kualitas pakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kulit ubi kayu fermentasi dengan metode takakura dalam pakan terhadap pertumbuhan kelinci New Zealand White jantan lepas sapih

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan dimulai bulan September sampai November 2012. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan. Perlakuan terdiri atas P0 (0% kulit ubi fermentasi); P1 (10% kulit ubi fermentasi); P2 (20% kulit ubi fermentasi) dan P3 (30% kulit ubi fermentasi).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian berbagai level kulit ubi fermentasi dengan metode takakura sangat berbeda nyata (P<0,01) terhadap penurunan konsumsi, penurunan pertambahan bobot badan dan peningkatan nilai konversi.

(5)

ABSTRACT

EDI SAHPUTRA GURUSINGA: “Utilization of Fermented Cassava Peel with Takakura Methode In Feed On The Growth Of New Zealand White Rabbit Offa Weaning”, supervised by HASNUDI and HAMDAN.

Fermented cassava peel with takakura methode can increase the protein content of feed implications for improving the quality of feed. This study aims to determine the effect offermented cassava peel fermented with takakura methode in feed on the growth of New Zealand white rabbit offa weaning. The experiment was conducted in the Laboratory of Animal Biology, Faculty of Agriculture, University of North Sumatera, Medan. Research carried out for 2 months starting from September to November 2012. The research design was used in this study was completely randomized design (CRD) with 4 treatments. Treatment consists of P0 (0% fermented cassava peel), P1 (10% fermented cassava peel), P2 (20% fermented cassava peel) and P3 (30% fermented cassava peel).

The results showed that administration of a variety of fermented cassava peel levels of takakura method were significantly different (P <0.01) for decreasing of consumption, decreasing of body weight gainnand increasing of convertion.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Langkat pada tanggal 27 November 1990 dari ayah

Dalan Muli Gurusinga dan ibu Mikde br Tobing. Penulis merupakan anak pertama

dari 3 bersaudara.

Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Santo Thomas 3 Medan dan pada

tahun 2008 masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur Ujian Masuk Bersama

(UMB). Penulis memilih Program Studi Peternakan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Ikatan

Mahasiswa Peternakan (IMAPET), anggota Ikatan Mahasiswa Kristen Peternakan

(IMAKRIP), dan anggota Ikatan Mahasiswa Karo (IMKA). Penulis melaksanakan

Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Desa Manuk Mulia, Kecamatan Tiga Panah

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang

telah memberikan rahmat serta karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini. Adapun judul skripsi saya adalah “Pemanfaatan Kulit Ubi Kayu

Fermentasi dengan Metode Takakura dalam Pakan terhadap Pertumbuhan Kelinci

New Zealand White Jantan Lepas Sapih”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua atas doa,

semangat dan pengorbanan materil maupun moril yang telah diberikan selama ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir.Hasnudi, MS

sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Hamdan S.Pt, M.Si selaku anggota

komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan mulai dari

penulis mengajukan proposal penelitian sampai menyelesaikan penulisan skripsi

ini. Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua civitas

akademika di Program Studi Peternakan, serta semua rekan mahasiswa yang tidak

dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat membantu memberikan informasi dan

bermanfaat bagi penelitian dan ilmu pengetahuan untuk kita semua.

(8)

ABSTRAK

EDI SAHPUTRA GURUSINGA: “Pemanfaatan Kulit Ubi Kayu Fermentasi

dengan Metode Takakura dalam Pakan terhadap Pertumbuhan Kelinci New Zealand White Jantan Lepas Sapih”, dibawah bimbingan HASNUDI dan

HAMDAN.

Kulit ubi fermentasi dengan metode takakura dapat meningkatkan kandungan protein pakan yang berimplikasi pada peningkatan kualitas pakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kulit ubi kayu fermentasi dengan metode takakura dalam pakan terhadap pertumbuhan kelinci New Zealand White jantan lepas sapih

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan dimulai bulan September sampai November 2012. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan. Perlakuan terdiri atas P0 (0% kulit ubi fermentasi); P1 (10% kulit ubi fermentasi); P2 (20% kulit ubi fermentasi) dan P3 (30% kulit ubi fermentasi).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian berbagai level kulit ubi fermentasi dengan metode takakura sangat berbeda nyata (P<0,01) terhadap penurunan konsumsi, penurunan pertambahan bobot badan dan peningkatan nilai konversi.

(9)

ABSTRACT

EDI SAHPUTRA GURUSINGA: “Utilization of Fermented Cassava Peel with Takakura Methode In Feed On The Growth Of New Zealand White Rabbit Offa Weaning”, supervised by HASNUDI and HAMDAN.

Fermented cassava peel with takakura methode can increase the protein content of feed implications for improving the quality of feed. This study aims to determine the effect offermented cassava peel fermented with takakura methode in feed on the growth of New Zealand white rabbit offa weaning. The experiment was conducted in the Laboratory of Animal Biology, Faculty of Agriculture, University of North Sumatera, Medan. Research carried out for 2 months starting from September to November 2012. The research design was used in this study was completely randomized design (CRD) with 4 treatments. Treatment consists of P0 (0% fermented cassava peel), P1 (10% fermented cassava peel), P2 (20% fermented cassava peel) and P3 (30% fermented cassava peel).

The results showed that administration of a variety of fermented cassava peel levels of takakura method were significantly different (P <0.01) for decreasing of consumption, decreasing of body weight gainnand increasing of convertion.

(10)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jumlah penduduk Indonesia terus saja bertambah, mengakibatkan

kebutuhan akan permintaan pangan juga terus meningkat, terutama yang berasal

dari hewani seperti daging, telur dan susu, tetapi dalam usaha pemenuhannya

tidak sebanding besarnya, akibatnya banyak permintaan yang tidak terpenuhi

dengan baik. Konsumsi protein hewani kerap kali dijadikan sebagai parameter

dari kualitas sumber daya manusia suatu bangsa.

Kelinci merupakan salah satu komoditas ternak penghasil daging yang

memiliki potensi besar untuk dikembangkan karena memiliki sifat-sifat dan

kemampuan yang menguntungkan yaitu kemampuannya untuk tumbuh dan

berkembang biak yang cepat serta kadar lemak dan kolestrol dalam daging kelinci

relatif lebih rendah dibandingkan ternak-ternak lain.

Seekor kelinci menghasilkan daging 50 – 60% dari berat hidupnya.

Daging kelinci mengandung lemak dan kolestrol jauh lebih rendah, tetapi

kandungan proteinnya lebih tinggi.

Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam pengelolaan

ternak adalah faktor makanan (Tillman, 1987), dimana makanan ini berasal dari

rumput potong, padang pengembalaan dan hasil liputan pertanian dan perkebunan.

Faktor makanan ini juga bergantung terhadap faktor iklim, karena pada masa

musim hujan makan melimpah dan waktu musim kemarau kekurangan makan,

dan untuk mengatasi hal ini perlu dilakukan pengawetan pakan dan pemanfaatan

(11)

merupakan bahan pakan yang berpotensi untuk dimanfaatkan karena jumlahnya

yang melimpah, harga murah dan nilai gizinya baik.

Pengembangan penggunaan limbah yang berasal dari agoindustri dan

bahan pakan non konvensional sangat penting dilakukan (Devendra, 1987). Salah

satu bahan pakan alternatif yang dapat digunakan sebagai bahan pakan untuk

ternak adalah kulit ubi kayu. Kulit ubi kayu yang diperoleh dari produk tanaman

ubi kayu merupakan limbah industri yang menggunakan bahan dasar ubi kayu.

Pada umumnya dalam proses industri tersebut kulit ubi kayu ini dibuang sebagai

limbah. Dimana semakin luas areal tanaman ubi kayu diharapkan produksi ubi

kayu semakin tinggi sehingga semakin tinggi pula limbah kulit ubi kayu. Setiap

kilogram ubi kayu dapat menghasilkan 15 – 20 % kulit umbi.

Kulit ubi memiliki kandungan nutrisi yang cukup baik, tetapi tetap perlu

ada usaha untuk menaikkan nilai nutrisi yang dikandung kulit ubi agar dapat

memenuhi nutrisi yang dibutuhkan oleh ternak kelinci. Salah satu usaha yang

dapat dilakukan untuk menaikkan nilai nutrisinya yaitu dengan fermentasi.

Fermentasi adalah proses penguraian unsur-unsur kelompok organik

terutama karbohidrat untuk menghasilkan energi melalui reaksi enzim yang

dilakukan oleh mikroorganisme. Proses fermentasi dapat dikatakan sebagai

proses protein enrichment yang berarti proses pengayaan bahan protein dengan menggunakan mikroorganisme tertentu. Pada saat ini teknologi fermentasi yang

sangat sederhana serta biayanya murah adalah fermentasi dengan metode takakura

yaitu dengan menggunakan mikroorganisme Lactobacillus sp, Rhizopus sp, dan

(12)

mudah didapat sehingga dapaat menghemat biaya dan mudah dalam

penerapannya.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk mengetahui sejauh

mana pengaruh pemberian pelet sebagai pakan kelinci berbahan tepung kulit ubi

yang difermentasi dengan metode takakura dalam pakan terhadap pertumbuhan

kelinci New Zealand White jantan lepas sapih.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian kulit ubi yang

difermentasi dengan metode takakura dalam pakan terhadap pertumbuhan kelinci

New Zealand White jantan lepas sapih.

Hipotesis Penelitian

Pemberian kulit ubi fermentasi berpengaruh positif terhadap konsumsi

ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum ternak kelinci.

Kegunaan Penelitian

Sebagai bahan informasi bagi peternak kelinci dalam upaya

pengembangan usaha ternak kelinci, sebagai bahan informasi bagi para peneliti

dan kalangan akademis atau instansi yang berhubungan dengan peternakan dan

sebagai bahan penulisan skripsi yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar

sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera

(13)

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik dan Potensi Ternak Kelinci

Kelinci mudah sekali memasyarakat, sebab sebagai ternak ada

faktor-faktor tertententu yang membuat masyarakat memeliharanya. Pertambahan

penduduk meningkat sehingga kebutuhan protein hewani meningkat pula,

sementara kelinci mempunyai daging yang memenuhi persyaratan gizi cukup.

Kemudian, ternak kelinci dapat dilaksanakn oleh golongan lemah modal sampai

padat modal. Kelinci dapat dipelihara dimana-mana tergantung tujuan dan modal

yang dimiliki oleh seseorang serta dapat hidup pada cuaca dan iklim apa pun.

Pakan kelinci pun sederhana. Kelinci dapat berkembang biak dengan baik dan

cepat, lalu jenis kelinci sudah banyak pula. Dengan demikian, peternak dapat

memilih jenis kelinci yang disukai sesuai dengan modalnya. Lebih lanjut,

penyakit kelinci relatif lebih sedikit dan mudah diatasi dibandingkan penyakit

ternak lain. Masalah dalam pemeliharaan kelinci sekarang sudah dapat diatasi

terutama yang berhubungan dengan penyakit (Ermawati, 2011).

Taksonomi kelinci yaitu, kingdom: Animalia, filum: Chordata, subfilum:

Vertebrata, kelas: Mamalia, ordo: Lagomorpha, famili: Leporidae, subfamili:

Leporine, genus: Lepus, Oritolagus, spesies: Lepus spp, Orictolagus spp,

Cuniculus (Susilorini, 2008).

Memelihara kelinci banyak sekali mamfaatnya, antara lain sebagai pet

(hewan kesayangan) misalnya Lop, Nederland Dwarf, Polish, Angora, Blanc de

Hotot, Ducth, Chinchilla, Silver Martin, New Zealand White, Flemish Giant dan

(14)

penghasil daging dan kulit, yaitu New Zealand White, Caroline, Flemish dan

Chinchilla (Ermawati, 2011).

Salah satu jenis kelinci yang berpotensi besar untuk dikembangkan

menjadi kelinci pedaging yaitu jenis New Zealand. Ada beberapa jenis New

Zealand, yakni New Zealand White, Red, dan Black. New Zealand White paling

banyak diternak karena terkenal sebagai penghasil daging yang baik. Hal itu

karena pertumbuhannya relatif cepat. Pada umur 58 hari bobotnya dapat mencapai

1,8 kg dan pada saat dewasa dapat mencapai 3,6 kg (Mansyur, 2009).

Seekor kelinci bisa menghasilkan anak dengan kisaran 48-74 ekor dalam

setahun, lebih banyak dibandingkan dengan sapi (0,9), domba (1,5), kambing

(1,5), seperti tertera dalam table 1. Kelinci mempunyai konversi daging yang

cukup tinggi dibandingkan ternak lain yaitu 29%.

Tabel 1. Perbandingan Hasil Daging Beberapa Hewan Ternak

Jenis ternak Bobot induk dewasa (kg)

Jika dibandingkan dengan daging ayam, daging sapi, daging domba dan

daging babi, daging kelinci mengandung lemak dan kolestrol jauh lebih rendah,

tetapi proteinnya lebih tinggi. Kandungan lemak kelinci hanya sebesar 8%,

sedangkan daging ayam 12%, daging sapi 24%, daging domba atau kambing

14%, dan daging babi 21%. Kadar kolestrol daging kelinci sekitar 164 mg/100 g,

(15)

220-250 mg/g daging. Kandungan protein daging kelinci mencapai 21%

sementara ternak lain hanya 17-20% (Masanto dan Agus, 2010).

Pakan kelinci pada umumnya berupa umbi-umbian dan sayur-mayur serta

tumbuhan lain. Kelinci merupakan hewan herbivora yang rakus. Hewan yang satu

ini tidak mengenal kata kenyang. Pasalnya, setiap makanan yang diberikan seperti

sayuran, rumput, umbi, biji-bijian, dan pelet pasti segera dilahapnya. Meskipun

demikian, tetap harus memberi makanan kelinci secara teratur sesuai pola

pemberian pakan. Pakan yang diberikan pun harus dipilih dan diperhitungkan agar

kelinci tidak mengalami gangguan pencernaan (Priyatna, 2011).

Kandang dalam peternakan kelinci memiliki peran penting dalam

melakukan budi daya kelinci secara baik dan benar, sehingga mendapatkan hasil

yang memuaskan. Kandang kelinci merupakan tempat berkembang biak kelinci.

Sementara itu, syarat kandang yang baik adalah suhu ideal 21 0C, sirkulasi udara

lancar, lama pencahayaan ideal 12 jam, serta melindungi ternak dari predator

(Ernawati, 2011).

Pencernaan Kelinci

Kelinci termasuk ternak herbivora yang tidak dapat mencerna serat kasar

secara baik, sehingga pakan kelinci hendaknya dipilih dari dedaunan atau hijauan

yang berserat halus. Pakan kelinci terdiri dari rumput atau hijauan, sayuran

termasuk biji-bijian dan konsentrat. Pakan hijauan yang diberikan seperti daun

kol, daun sawi, kangkung, lobak, caisim, daun turi, daun kacang tanah, kacang

panjang. Demikian pula rumput yang relatif lunak dan batangnya halus yaitu

rumput lapangan, rumput gajah. Sebelum diberikan harus dipotong-potong

(16)

dan pakan penguat meliputi dedak halus atau bekatul, jagung, ampas tahu,

kacang hijau, kacang tanah dan bungkil-bungkilan serta mineral dan garam.

Pakan penguat terutama diperuntukkan bagi ternak kelinci yang sedang

dalam fase pertumbuhan, bunting, menyusui dan pejantan pemacek

(Departemen Pertanian, 2011).

Kelinci termasuk jenis ternak pseudo-ruminant, yaitu herbivora yang tidak

dapat mencerna serat kasar dengan baik. Kelinci memfermentasi pakan di usus

belakangnya. Fermentasi hanya terjadi di caecum (bagian pertama usus besar),

yang kurang lebih merupakan 50% dari seluruh kapasitas saluran pencernaannya.

Sekitar umur tiga minggu kelinci mulai mencerna kembali kotoran lunaknya,

langsung dari anus (proses ini disebut caecotrophy) tanpa pengunyahaan. Kotoran ini terdiri atas konsentrat bakteri yang dibungkus oleh mukus. Walaupun memiliki

caecum yang besar, kelinci ternyata tidak mampu mencerna bahan-bahan organik

dan serat kasar dari hijauan sebanyak yang dapat dicerna oleh ternak ruminansia

murni. Daya cerna mengonsumsi hijauan daun mungkin hanya 10%

(Sarwono, 2007).

Asam-asam lemak terbang (VFA=Volatile Fatty Acids) hasil fermentasi oleh mikroba dalam caecum diperkirakan menyumbang 30% dari kebutuhan

energi untuk pemeliharaan tubuh. Selanjutnya, kelinci mampu mencerna protein

pada tingkat lebih tinggi daripada herbivora lain. Hal ini mungkin berhubungan

dengan sifat-sifat caecotrophy (memakan kotoran sendiri) yang dimiliki oleh kelinci. Kemampuan kelinci mencerna serat kasar (ADF= Acid Detergent Fiber) dan lemak semakin bertambah setelah kelinci berumur 5-12 minggu. Pencegahan

(17)

pertumbuhan dan penurunan kemampuan daya cerna protein dari 77% menjadi

60%. Pembuangan caecum melalui pembelahan menghasilkan pembesaran colon

(usus besar). Ternyata kelinci tanpa caecum tidak melakukan caecotrophy.

Komposisi kotoron lunak yang dikeluarkan sangat berbeda dari kotoran keras

yang dikeluarkan. Kotoran lunak tetapi tinggi dalam protein (28,5%) kalau

dibandingkan dengan kotoran keras yang mengandung 53% bahan kering dan

9,2% protein. Kotoran lunak juga mengandung banyak vitamin B (Parker, 1976).

Menurut Kautson et al., (1977), populasi mikroba yang terdapat dalam caecum sangat aktif dalam memanfaatkan nitrogen dari urea darah yang

memasuki caecum. Protein mikroba ini banyak menyumbang tingginya kadar

protein dalam kotoran lunak.

Belum ada alasan yang pasti mengapa kelinci memiliki kemampuan

rendah untuk mencerna serat kasar. Salah satu penyebabnya kemungkinan

berhubungan dengan waktu transit bahan-bahan berserat dalam saluran

pencernaan yang relatif cepat. Hal ini berbeda dengan proses pencernaan pada

ternak ruminansia. Pada ternak ruminansia serat kasar hijaun justru

memperpanjang waktu penahanan pakan dalam saluran pencernaan. Penahanan

tersebut tidak terjadi pada kelinci karena kelinci tidak memiliki rumen

(Masanto dan Agus, 2011).

Pakan Kelinci

Pakan bagi ternak sangat besar peranannya. Pemberian pakan yang

seimbang diharapkan dapat memberikan produksi yang tinggi. Pakan yang

(18)

protein, karbohidrat, mineral, vitamin, digemari ternak dan mudah dicerna

(Anggorodi, 1990).

Faktor makanan merupakan salah satu faktor utama dalam mengendalikan

ternak kelinci. Oleh karena itu berhasilnya usaha ternak kelinci juga sangat

tergantung pada perhatian peternak pada penyajian mutu makanan beserta

volumenya. Makanan harus mencukupi jumlah zat gizi yang dibutuhkan kelinci

sesuai fase pertumbuhannya. Ada pun zat-zat yang harus dipenuhi adalah vitamin,

mineral, hidrat arang, protein, lemak dan air (AAK, 1983)

Menurut Komposisi Pakan Kelinci Komplit Bervitamin. Kandungan

zat makanan atau nutrisi yang dibutuhkan adalah:

Tabel 2. Kandungan zat makanan atau nutrisi kelinci.

Sumber : (Ernawati, 2011).

Energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kelinci 2500-2900 kkal

(AAK, 1980). Untuk peningkatan bobot kelinci pedaging dapat sesuai dengan

yang diinginkan, pemberian pakan harus diatur agar seimbang pakan hijauan dan

konsentrat. Biasanya, pada peternakn kelinci intensif, hijauan diberikan sebanyak

60-80%, sedangkan konsentrat sebanyak 20-40% dari total jumlah pakan yang

diberikan (Priyatna, 2011).

Di daerah tropis, penyedian bahan pakan ternak dalam jumlah dan kualitas

yang cukup pada sepanjang tahun tidak memungkinkan apabila tidak diatasi

dengan sistem pengaturan penyimpanan atau pengawetan hijauan. Saat ini upaya

No Nutrisi Jumlah

(19)

untuk mengatasi kekurangan penyedian pakan ternak berupa hijauan oleh ternak

masih dalam jumlah yang terbatas. Adanya kekurangan persediaan pakan ternak

akan mengakibatkan kerugian bagi para peternak pada setiap musim atau setiap

tahunnya. Hal ini dapat membuktikan diakhir musim kemarau, pada umumnya

ternak menjadi kurus karena kekurangan pakan. Selama musim kemarau daya

cerna hijauan menjadi berkurang hai ini disebabkan oleh proses hilangnya energi,

mineral, dan protein pada saat tanaman berespirasi yang sulit diganti akibat

kekurangan air. Berkurangnya daya cerna pakan tentu saja akan mengurangi

jumlah pakan yang dimakan. Sebab volume dan nilai makanan tanaman berada

dibawah nilai kebutuhan pokok, akibatnya pertumbuhan ternak menjadi lambat

dan pada ternak dewasa kehilangan bobot badan, sehingga pemotongan ternak

tertunda, kemampuan perkembangbiakan menjadi mundur dikarenakan fertilitas

menurun, yang berarti penurunan produksi dan persentase karkas menjadi sangat

rendah (AAK, 1983).

Dilihat dari sumbernya ada 2 macam protein yang biasa dikomsumsi.

Pertama, protein nabati yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Kedua, protein

hewani yang berasal dari hewan ternak dan hasil perikanan. Dari sudut pandang

gizi dan ekonomi, 2 macam protein tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan

masing-masing. Protein nabati harganya lebih murah, namun asam amino esensial

yang dikandung kurang lengkap sementara protein hewani relatif mahal,

kandungan asam amino esensialnya lebih lengkap. Dengan demikian jika dilihat

dari kualitasnya, protein hewani lebih bermutu dibandingkan dengan protein

nabati, tetapi harganya mahal. Sedangkan protein nabati harganya murah tapi

(20)

Kelinci sangat memerlukan sayuran untuk mempermudah pencernaan dan

mengurangi kadar serat berlebih. Berikan 3-7 lembar per hari sayuran layu pada

siang hari sebagai makanan siang. Sayuran yang baik adalah soisin atau caisim

(sayuran untuk mi ayam) dan wortel. Sementara untuk kangkung dan kubis,

usahakan tidak diberikan karena kadar airnya berlebihan dan mengkibatkan air

kencing berbau pesing (Ernawati, 2011).

Kulit Ubi Kayu

Kulit ubi kayu yang diperoleh dari produk tanaman ubi kayu merupakan

limbah industri pembuatan tepung tapioka dan produk lain dengan menggunakan

bahan dasar umbi ubi kayu. Pada umumnya dalam proses industri tersebut kulit

ubi kayu ini dibuang sebagai limbah. Dimana semakin luas areal tanaman ubi

kayu diharapkan produksi umbi ubi kayu semakin tinggi sehingga semakin tinggi

pula limbah kulit ubi kayu. Setiap kilogram ubi kayu dapat menghasilkan 15 – 20

% kulit ubi kayu (Nurhayani dkk, 2000).

Kulit ubi yang segar bisa digunakan untuk makanan binatang ternak tetapi

tidak boleh terlalu banyak karena kulit ubi kayu mengandung sianida. Ubi kayu

segar memiliki kandungan protein yang sedikit maka perlu peningkatan

kandungan nutrisinya sehingga sesuai untuk makanan ternak (Rukmana, 1997).

Salah satu sumber daya lokal potensial yang belum dimanfaatkan sebagai

bahan pakan ternak dan tidak bersaing dengan manusia yaitu limbah kulit ubi

kayu yang merupakan limbah dari mata rantai proses produksi pembuatan produk

yang berbahan dasar ubi kayu. Limbah tersebut sebaiknya dalam keadaan kering

(dijemur) atau ditumbuk dijadikan tepung tetapi salah satu faktor penghambat

(21)

yang merupakan faktor anti nutrisi. Kandungan HCN yang ada pada ubi kayu

tergantung pada musim. Curah hujan yang rendah akan meningkatkan kandungan

HCN pada ubi kayu. Zat anti nutrisi tersebut dapat dihilangkan dengan

pengolahan bahan yang benar. Pengolahan bahan pakan dapat dilakukan secara

mekanis atau fisik, kimia, biologis atau kombinasi dari ketiga pengolahan

tersebut. Pengolahan secara fisik pada kulit ubi kayu dapat menghilangkan

kandungan HCN sehingga dapat digunakan sebagai pakan ternak (Suyatno, 2011).

Limbah ubi kayu termasuk salah satu bahan pakan ternak yang

mempunyai energi (Total Digestible Nutrient = TDN) tinggi dan kandungan nutrisi dalam jumlah memadai. Protein dalam ubi kayu juga mengandung berbagai

macam asam amino seperti leusin, isoleusin, lysin dan beberapa asam amino

lainnya. Asam amino tersebut juga masih terkandung dalam kulit ubi kayu

karena dalam pengelupasan kulit ubi kayu masih tertinggal isi dari ubi kayu

(Suyatno, 2011).

Pengolahan ubi kayu untuk menghilangan HCN pada umumnya dilakukan

secara fisik. Kadar HCN yang merupakan faktor anti nutrisi pada kulit ubi kayu

dapat dilakukan penekanan dengan berbagai cara dan dengan tingkat penekanan

HCN yang berbeda-beda sesuai dengan perlakuan. Perlakuan fisik pada ubi kayu

dapat dilakukan dengan empat cara yaitu :

1. Kulit ubi kayu dicuci

2. Kulit ubi kayu dikukus (suhu 1000C)

3. Kulit ubi kayu dikeringkan dalam oven dengan suhu 1000C selama 12 jam.

(22)

Keempat metode tersebut menghasilkan penekanan yang berbeda terhadap

kandungan HCN dalam kulit ubi kayu yang telah diproses. Hasil dari kempat

perlakuan tersebut adalah :

Tabel 3. Rata-rata Nilai HCN Kulit ubi kayu dengan berbagai perlakuan

Parameter Perlakuan (mg/100g)

Kadar HCN Pencucian Pengukusan (1000C)

Sumber : Purwati (2005)

Peningkatan jumlah protein pada variabel perbedaan penambahan sumber

vitamin pada waktu yang optimal fementasi kulit ubi kayu (5 hari) yaitu pada B1

jumlah protein 4.03 %, B6 jumlah protein 4.38 %, B12 jumlah protein 4.20 %, B

Complek jumlah protein 4.81 % dan sedangkan pada peningkatan protein pada

variabel perbedaan penambahan jenis sumber nitrogen pada waktu yang optimal

fementasi kulit ubi kayu (5 hari) yaitu pada urea jumlah protein 9.63 %, dedak

jumlah protein 4.46 %, NH4NO3 jumlah protein 8.49 %, (NH4)2SO4 jumlah

protein 10.5 %, (NH4)2HPO4 jumlah protein 10.41 %. Pada variabel penambahan

jenis vitamin yang paling optimal adalah B complek sedangkan pada jenis sumber

nitrogen yang paling optimal adalah (NH4)2SO4 dan diikuti dengan

(NH4)2HPO4 (Renilail, 2011).

Fermentasi Menggunakan Mikroorganisme Lokal

Fermentasi adalah proses penguraian unsur-unsur organik kelompok

terutama karbohidrat untuk menghasilkan energi melalui reaksi enzim yang

(23)

”protein enrichment” yang berarti proses pengkayaan protein bahan dengan

menggunakan mikroorganisme tertentu (Sarwono, 1996).

Selama proses fermentasi, terjadi bermacam-macam perubahan komposisi

kimia. Kandungan asam amino, karbohidrat, pH, kelembaban, aroma serta

perubahan nilai gizi yang mencakup terjadinya peningkatan protein dan

penurunan serat kasar. Semuanya mengalami perubahan akibat aktivitas dan

perkembangbiakan mikroorganisme selama fermentasi. Melalui fermentasi terjadi

pemecahan substrat oleh enzim – enzim tertentu terhadap bahan yang tidak dapat

dicerna, misalnya selulosa dan hemiselulosa menjadi gula sederhana. Selama

proses fermentasi terjadi pertumbuhan kapang, selain dihasilkan enzim juga

dihasilkan protein ekstraselluler dan protein hasil metabolisme kapang sehingga

terjadi peningkatan kadar protein (Sembiring, 2006).

Inokulan Cair

Inokulan cair adalah suatu wadah untuk membiakkan mikroorganisme

yang akan mampu mendegradasi sampah organik. Mikroorganisme dasar adalah

Saccharomyces sp yang berasal dari ragi tape, Rhizopus sp dari ragi tempe dan

Lactobacillus sp dari yoghurt. Mikroorganisme ini mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:

a. Sifat amilolitik, mikroorganisme yaitu Saccharomyces sp akan menghasilkan enzim amylase yang berperan dalam mengubah

karbohidarat menjadi volatile fatty acids dan keto acids yang kemudian akan menjadi asam amino.

(24)

polipeptida-polipeptida, lalu menjadi peptide sederhana, dan akhirnya menjadi asam

amino bebas, CO2 dan air.

c. Sifat lipolitik, mikroorganisme yaitu Lactobacillus sp akan menghasilkan enzim lipase yang berperan dalam perombakan lemak

(Ginting, 2010).

Saccharomyces sp merupakan genus khamir atau ragi yang memiliki kemampuan mengubah glukosa menjadi alkohol dan CO2. Saccharomyces sp merupakan mikroorganisme bersel satu tidak berklorofil, termasuk termasuk

kelompok Eumycetes. Tumbuh baik pada suhu 30oCdan pH 4,8. Beberapa kelebihan saccharomyces dalam proses fermentasi yaitu mikroorganisme ini cepat

berkembang biak, tahan terhadap kadar alkohol yang tinggi, tahan terhadap

suhu yang tinggi, mempunyai sifat stabil dan cepat mengadakan adaptasi

(Wikipedia, 2012).

Rhizopus sp yaitu koloni berwarna putih berangsur-angsur menjadi abu-abu; stolon halus atau sedikit kasar dan tidak berwarna hingga kuning kecoklatan;

sporangiofora tumbuh dari stolon dan mengarah ke udara, baik tunggal atau dalam

kelompok (hingga 5 sporangiofora); rhizoid tumbuh berlawanan dan terletak pada

posisi yang sama dengan sporangiofora; sporangia globus atau sub globus dengan

dinding berspinulosa (duri-duri pendek), yang berwarna coklat gelap sampai

hitam bila telah masak; kolumela oval hingga bulat, dengan dinding halus atau

sedikit kasar; spora bulat, oval atau berbentuk elips atau silinder; suhu optimal

untuk pertumbuhan 35 0C, minimal 5-7 0C dan maksimal 44 0C. Berdasarkan

(25)

Jamur Rhizopus oryzae merupakan jamur yang sering digunakan dalam pembuatan tempe (Soetrisno, 1996). Jamur Rhizopus oryzae aman dikonsumsi karena tidak menghasilkan toksin dan mampu menghasilkan asam laktat

(Purwoko dan Pamudyanti, 2004). Jamur Rhizopus oryzae mempunyai kemampuan mengurai lemak kompleks menjadi trigliserida dan asam amino

(Septiani, 2004). Selain itu jamur Rhizopus oryzae mampu menghasilkan protease (Margiono, 1992). Menurut Sorenson dan Hesseltine (1986), Rhizopus sp tumbuh baik pada kisaran pH 3,4-6. Pada penelitian semakin lama waktu fermentasi, pH

tempe semakin meningkat sampai pH 8,4, sehingga jamur semakin menurun

karena pH tinggi kurang sesuai untuk pertumbuhan jamur. Secara umum jamur

juga membutuhkan air untuk pertumbuhannya, tetapi kebutuhan air jamur lebih

sedikit dibandingkan dengan bakteri. Selain pH dan kadar air yang kurang sesuai

untuk pertumbuhan jamur, jumlah nutrien dalam bahan, juga dibutuhkan oleh

jamur.

Lactobacillus adalah genus bakteri gram-positif, anaerobik fakultatif atau mikroaerofilik. Genus bakteri ini membentuk sebagian besar dari kelompok

bakteri asam laktat, dinamakan demikian karena kebanyakan anggotanya dapat

mengubah laktosa dan gula lainnya menjadi asam laktat. Kebanyakan dari bakteri

ini umum dan tidak berbahaya bagi kesehatan. Dalam manusia, bakteri ini dapat

ditemukan di dalam vagina dan sistem pencernaan, dimana mereka bersimbiosis

dan merupakan sebagian kecil dari flora usus. Banyak spesies dari Lactobacillus

memiliki kemampuan membusukkan materi tanaman yang sangat baik. Produksi

(26)

pertumbuhan beberapa bakteri merugikan. Beberapa anggota genus ini telah

memiliki genom sendiri.

Teknologi pengolahan Pakan Berbentuk Pelet

Berbagai teknik pembuatan pakan digunakan dalam penyiapan bahan

makanan ternak. Perlakuan terhadap bahan pakan dapat secara nyata mengubah

nilai gizi dari bahan-bahan tersebut. Panas akan merubah beberapa kandungan gizi

atau sebaliknya, beberapa zat gizi yang lain menjadi naik nilai kegunaannya.

Pembentukan pelet dapat meningkatkan konsumsi sedangkan penggilingan dapat

mempengaruhi daya cerna dari protein dan karbohidrat. Sangatlah penting bagi

pemberi makan untuk berhati-hati terhadap bahan pakan yang mengalami

perlakuan baik untuk pengawetan, pemurnian, pengkonsentrasian atau untuk

menaikkan nilai gizinya. Jadi, diperlukan penjelasan-penjelasan dari hasil bahan

pakan, metode pembuatan, seperti: pengawetan, pemisahan, pengurangan ukuran

dan perlakuan-perlakuan panas (Hartadi, 2005).

Untuk membuat pakan bentuk crumble atau pellet dari pakan bentuk tepung maka harus dilakukan proses lebih lanjut. Selain itu juga perlu dilakukan

pengujian kepadatan atau kerekatannya jika mau dibuat pakan bentuk pelet.

Caranya, ambil pakan yang berbentuk secukupnya lalu dijemur. Setelah kering,

(27)

Pertumbuhan Ternak Kelinci

Konsumsi

Konsumsi adalah kemampuan untuk menhabiskan sejumlah ransum yang

diberikan. Konsumsi ransum dapat dihitung dengan pengurangan jumlah ransum

yang diberikan dengan sisa dan hamburan. Konsumsi ransum dipengaruhi oleh

kesehatan ternak, palatabilitas, mutu ransum dan tata cara pemberian

(Anggorodi, 1995).

Pemenuhan pakan kelinci dihitung berdasarkan konsumsi bahan kering

(Herman, 2000). Kebutuhan bahan kering menurut NRC (1977) yaitu untuk hidup

pokok 3-4% dari bobot badan dan untuk pertumbuhan normal 5-8% dari bobot

badan.

Perbedaan konsumsi ransum dipengaruhi beberapa faktor, antara lain:

bobot badan, umur dan kondisi yaitu normal atau sakit, stress yang diakibatkan

lingkungan dan tingkat kecernaan ransum (Parakkasi, 1983). Faktor makanan

yang mempengaruhi pertumbuhan adalah kandungan zat makanan serta daya

cerna bahan makanan tersebut (Sihombing, 1997).

Konsumsi ransum dipengaruhi beberapa faktor diantaranya adalah

palatabilitas ransum, bentuk fisik ransum, bobot badan, jenis kelamin, temperatur

lingkungan, keseimbangan hormonal dan fase pertumbuhan (Piliang, 2000).

Dari penelitian Aritonang (2004) yang menggunakan objek kelinci anakan

jenis rex diberi ransum dengan beberapa level kandungan protein dan energi

biovet diperoleh konsumsi ransum antar perlakuan berkisar antara 202,96

(28)

Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan harian kelinci dipengaruhi oleh perlakuan

pakan. Menurut Tilman et al. (1998), faktor pakan sangat menentukan pertumbuhan, bila kualitasnya baik dan diberikan dalam jumlah yang cukup, maka

pertumbuhannya akan makin cepat.

Bobot badan dapat menentukan penampilan ternak tersebut serta

keturunannya, bobot badan dapat bervariasi karena dipengaruhi oleh bangsa,

umur, genetik, pakan, suhu, lingkungan dan sebagainya (Ensminger, 1991).

Menurut Thalib et al., (2001) pertambahan bobot tubuh ternak sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pakan, maksudnya penilaian pertambahan bobot tubuh

ternak sebanding dengan ransum yang dikonsumsi.

Sanforrd dan Woodgate (1981) menjelaskan bahwa apabila proporsi serat

kasar dalam ransum naik, maka daya cerna zat gizi pakan secara total turun.

Menurut Cheeke (1987) bahwa kelinci memerlukan serat di dalam pakannya,

bukan karena nilai gizinya, tetapi untuk mencegah enteritis. Pertambahan bobot

badan sesuai umur dapat dilihat pada tabel

Tabel 4. Pertambahan bobot kelinci

No. Umur Bobot badan (g) Pertambahan bobot

Konversi ransum adalah jumlah ransum yang habis dikonsumsi ternak

(29)

tertentu). Semakin baik mutu ransum, semakin kecil pula konversi pakannya

(Rasyaf, 1997).

Konversi ransum tergantung kepada : (1) kemampuan ternak untuk

mencerna zat makanan, (2) kebutuhan ternak akan energi dan protein untuk

pertumbuhan, hidup pokok dan fungsi tubuh lainnya, (3) jumlah makanan yang

hilang melalui metabolisme dan kerja yang tidak produktif dan (4) tipe makanan

yang dikonsumsi, sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi ransum

adalah genetik, umur, berat badan, tingkat konsumsi makanan, pertambahan bobot

badan perhari, palatabilitas dan hormon (Campbell dan Lasley, 1985).

Angka konversi ransum menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan

ransum, yaitu angka konversi ransum semakin besar maka penggunaan ransum

kurang ekonomis. Angka konversi ransum dipengaruhi oleh factor lingkungan

(Lestari, 1992). Konversi ransum merupakan satuan ukuran yang dapat

memperlihatkan sampai sejauh mana efisiensi usaha ternak dapat menemukan

besar kecilnya keuntungan yang diterima peternak (Rasyaf, 1989).

(30)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak, Fakultas

Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian dilaksanakan selama 8

minggu dimulai bulan September sampai November 2012.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua puluh ekor ternak

kelinci New Zealand White jantan lepas sapih dengan bobot 683,7 ± 21,2 gram

sebagai objek yang akan diteliti, kulit ubi, dedak padi, bungkil inti sawit, tepung

jagung, bungkil kedele, kapur, molases dan mineral mix sebagai bahan pakan. Air

tebu, ragi tempe, ragi tape, youghurt dan starbio sebagai bahan fermentator

pembuatan inoculan cair serta obat-obatan seperti obat cacing (Kalbazen),

Vitamin B-Kompleks dan air minum.

Alat

 Kandang individual dua puluh unit dengan ukuran 50x50x50 cm

 Tempat pakan dan tempat minum

 Timbangan untuk menimbang bobot hidup berkapasitas 10 Kg dengan

kepekaan 10 g dan timbangan berkapasitas 5 Kg dengan kepekaan 5 g

untuk menimbang pakan

 Alat kebersihan (ember, sapu lidi, beko, sekop), alat tulis, kalkulator dan

(31)

 Mesin penggiling (grinder)

 Terpal plastik untuk menjemur bahan pakan

 pencatat data selama penelitian, kereta sorong sebagai alat pengangkut

bahan pakan dan lampu sebagai alat untuk penerang kandang.

 Pencetak pelet

 Termometer untuk mengetahui suhu saat fermentasi dan suhu kandang

Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan adalah experimental dengan

Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan 5 ulangan. Perlakuan yang

diteliti adalah:

Ulangan yang didapat berasal dari rumus:

t(n-1)≥15

4(n-1) ≥15

4n-4≥15

4n≥19

n≥4, 75

n≈5

P0 = Kulit Ubi Fermentasi 0% + Rumput Lapangan (adlibitum)

P1 = Kulit Ubi Fermentasi 10% + Rumput Lapangan (adlibitum)

P2 = Kulit Ubi Fermentasi 20% + Rumput Lapangan (adlibitum)

(32)

Sehingga kombinasi perlakuan yang dihasilkan adalah sebagai berikut :

P01 P13 P24 P34 P44

P12 P02 P33 P21 P42

P43 P32 P14 P03 P22

P31 P23 P04 P41 P11

Model matematika percobaan yang digunakan adalah:

Yij = µ +

γ

i +

ε

ij

Dimana:

i = 1, 2, 3,...i = perlakuan l = 1, 2, 3,...i = ulangan

Yij = nilai pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke- j µ = nilai tengah umum

γi = pengaruh perlakuan ke-i

εij = efek galat percobaan pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j (Hanafiah, 2003)

Parameter Penelitian

1. Konsumsi Ransum

Konsumsi ransum dihitung berdasarkan jumlah ransum yang diberikan pada hari

awal dikurangi sisa ransum pada hari berikutnya dalam satuan g/ekor/hari.

2. Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan dihitung berdasarkan bobot akhir minggu dikurangi

dengan bobot awal minggu yang dihitung tiap minggunya, dalam satuan

(33)

3. Konversi Ransum

Konversi ransum dihitung berdasarkan perbandingan antara konsumsi ransum

dengan pertambahan bobot badan tiap minggunya.

Pengambilan Data

Pengambilan data untuk konsumsi ransum dilakukan dalam sehari dan

pertambahan bobot badan dilakukan sekali seminggu (g/ekor/minggu) selama 8

minggu. Sedangkan untuk mencari konversi ransum dihitung setelah didapatkan

kedua parameter tersebut.

Analisis Data

Analisis data dilakukan berdasarkan analisis ragam. Bila hasilnya berbeda

nyata perakuan maka akan dilakukan uji lanjut. Pengujian lanjut berdasarkan pada

koefisien ragamannya.

Pelaksanaan Penelitian

1. Persiapan Kandang dan Peralatan

Kandang dipersiapkan seminggu sebelum kelinci masuk dalam kandang agar

kandang bebas dari hama dan bibit penyakit. Kandang beserta peralatan seperti

tempat pakan dan minum dibersihkan dan didesinfektan dengan menggunakan

radalon.

2. Pemilihan Ternak

Penyeleksian ternak kelinci yang akan digunakan sebagai objek penelitian

melalui beberapa syarat sebagai berikut: ternak kelinci dalam keadaan sehat,

lincah, tidak cacat dilihat dari bentuk kaki yang lurus dan lincah, ekor

(34)

telinga lurus keatas dan telinga tidak terasa dingin, mata jernih dan bulu

mengkilat. Sebelum kelinci dimasukkan ke dalam kandang, dilakukan

penimbangan untuk mengetahui bobot badan awal dari masing-masing kelinci

kemudian dilakukan random (pengacakan) yang bertujaun untuk memperkecil

nilai keragaman. Lalu kelinci dimasukkan ke dalam kandang sebanyak satu per

unit penelitian.

3. Pengololahan kulit ubi

Pengolahan kulit ubi menjadi tepung diawali dari memfermentasi kulit ubi

yaitu dimulai dari kulit ubi dicacah menggunnakan coper lalu dicuci dengan air

mengalir selanjutnya dikukus hingga suhu 90-100 0C. Kemudian kulit ubi dijemur

di bawah matahari selama 12 jam. Kulit ubi yang telah dijemur kemudian

difermentasi menggunakan mikroorganisme lokal

4. Penyusunan pakan dalam bentuk pelet

Bahan penyusun konsentrat yang digunakan terdiri atas tepung jagung halus,

bungkil kelapa, dedak halus, tepung ikan, bungkil kacang kedele, ampas tahu,

minyak nabati, dan ultra mineral. Bahan yang digunakan ditimbamg terlebih

dahulu sesuai dengan formulasi pelet yang telah ditentukan sesuai dengen level

perlakuan. Untuk menghindari ketengikan, pencampuran konsentrat dilakukan

satu kali dalam dua minggu dan pencampuran dilakukan dengan pengayakan.

5. Pemeliharaan Kelinci

Sebelum kelinci diberi perlakuan, dilakukan penimbangan bobot badan awal

kelinci kemudian penimbangan kelinci dilakukan seminggu sekali. Pakan dan air

(35)

seperti Wornectin untuk obat cacing dan mencret dengan dosis 1 cc untuk 8 ekor

kelinci, pemberiannya dengan cara menyuntikkan dibagian subkutan, b-complex

sebagai vitamin dengan dosis 0,25 cc untuk 1 ekor anak kelinci, disuntikkan

secara intramuskuler dibagian paha kelinci, dan anti bloat untuk obat mencret dan

kembung dengan dosis 1 sendok teh untuk 1-3 ekor, pemberiannya melalui mulut.

Kandang, tempat pakan dan minum dibersihkan setiap hari pada pagi hari. Pakan

pellet diberikan pada jam 08.00 wib dan 14.00 wib serta pemberian rumput

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi pakan

Konsumsi pakan dihitung setiap hari berdasarkan selisih antara jumlah

pakan yang diberikan dengan jumlah sisa pakan. Pakan yang diberikan selama

penelitian ini adalah pakan hasil formulasi yang disesuaikan dengan perlakuan,

pakan diberikan secara berkala dan air minum diberikan secara ad-libitum. Rataan konsumsi pakan dalam bahan kering dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 5. Rataan Konsumsi Pakan dalam Bahan Kering (gram/ekor/hari)

Perlakuan Ulangan TOTAL RATAAN±sd 1 2 3 4 5

P0 109.01 107.87 105.86 103.20 103.67 529.61 105.92±2.54c P1 100.59 99.28 99.57 96.73 97.93 494.11 98.82±1.51b P2 97.92 96.84 94.68 95.94 96.44 481.82 96.36±1.19ab P3 93.88 95.37 91.50 92.79 93.33 466.86 93.37±1.42a TOTAL 401.40 399.37 391.60 388.66 391.37 1972.40

RATAAN 100.35 99.84 97.90 97.16 97.84 98.62±1.39 Keterangan: Notasi huruf yang berbeda pada kolom rataan menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01)

Tabel 5 menunjukkan rata-rata konsumsi pakan kelinci (gram/ekor/hari)

dari masing-masing perlakuan selama penelitian adalah P0 = 105,92, P1 = 98,82,

P2 = 96,36 dan P3 = 93,37. Konsumsi pakan tertinggi secara kuantitatif dicapai

pada perlakuan P0 (Kulit Ubi Fermentasi 0% + Rumput Lapangan) dan yang

terendah pada perlakuan P3 (Kulit Ubi Fermentasi 30% + Rumput Lapangan).

Berdasarkan hasil analisis ragam dapat diketahui bahwa penggunaan kulit ubi

kayu fermentasi dalam pakan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata

(P<0,01) terhadap konsumsi pakan.

Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan maka dilakukan

(37)

memberikan nilai rataan yang berbeda terhadap perlakuan P1, P2, dan P3.

Konsumsi bahan kering pakan cenderung menurun dan lebih rendah dari pada

perlakuan P0 (Kulit Ubi Fermentasi 0% + Rumput Lapangan).

Tabel 5 diatas menunjukkan bahwa rataan umum konsumsi pakan adalah

sebesar 98,62 gram/ekor/hari. Angka tersebut lebih rendah daripada angka

rata-rata konsumsi pakan yang diharapkan pada pemeliharaan kelinci menurut

Herman (2000) yang menyatakan bahwa pemenuhan pakan kelinci dihitung

berdasarkan konsumsi bahan kering. Kebutuhan bahan kering menurut NRC

(1977) yaitu untuk hidup pokok 3-4% dari bobot badan dan untuk pertumbuhan

normal 5-8% dari bobot badan. Berat rataan kelinci yaitu 2068,4 gram, maka

berdasarkan data NRC kebutuhan bahan kering untuk pertumbuhan yaitu 5-8%

dari berat badan kelinci yaitu sekitar 103,42-165,47 gram/ekor/hari. Hal ini

mungkin disebabkan karena tingkat palatabilitas terhadap ransum rendah dan

perbedaan bobot badan kelinci. Hal ini sesuai dengan pernyataan Piliang (2000)

yang menyatakan bahwa konsumsi ransum dipengaruhi beberapa faktor

diantaranya adalah palatabilitas ransum, bentuk fisik ransum, bobot badan, jenis

kelamin, temperatur lingkungan, keseimbangan hormonal dan fase pertumbuhan.

Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan dihitung setiap minggunya berdasarkan selisih

antara penimbangan bobot badan akhir dengan penimbangan bobot badan awal

per satuan waktu dalam satuan gram/ekor/hari. Rataan pertambahan bobot badan

(38)

Table 6. Rataan Pertambahan Bobot Badan Kelinci New Zealand White (gram/ekor/hari)

Perlakuan Ulangan TOTAL RATAAN±sd

1 2 3 4 5

P0 29.84 28.13 28.33 28.77 28.39 143.46 28,69±0,68d P1 26.73 26.04 26.76 26.16 26.37 132.06 26,41±0,35c P2 24.37 25.28 24.47 25.08 25.55 124.75 24,95±0,51b P3 23.22 23.18 23.14 23.18 23.08 115.81 23,16±0.05a TOTAL 104.16 102.64 102.69 103.20 103.39 516.09

RATAAN 26.04 25.66 25.67 25.80 25.85 25,80±0,18

Keterangan: Notasi huruf yang berbeda pada kolom rataan menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01)

Tabel 6 menunjukkan rata-rata pertambahan bobot badan kelinci

(gram/ekor/hari) dari masing-masing perlakuan selama penelitian adalah

P0 = 28,69, P1 = 26,41, P2 = 24,95 dan P3 = 23,16. Pertambahan bobot badan

kelinci tertinggi secara kuantitatif dicapai pada perlakuan P0 (Kulit Ubi

Fermentasi 0% + Rumput Lapangan) dan yang terendah pada perlakuan P3 (Kulit

Ubi Fermentasi 30% + Rumput Lapangan). Berdasarkan hasil analisis ragam

dapat diketahui bahwa penggunaan kulit ubi kayu fermentasi dalam pakan

memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap pertambahan bobot

badan kelinci.

Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan maka dilakukan

Uji Tukey. Dari hasil uji Tukey didapat rataan bobot badan pada perlakuan P0

(Kulit Ubi Fermentasi 0% + Rumput Lapangan) memberikan nilai rataan yang

berbeda terhadap perlakuan P1, P2, dan P3. Pertambahan bobot badan kelinci

cenderung menurun dan lebih rendah dari pada perlakuan P0 (Kulit Ubi

Fermentasi 0% + Rumput Lapangan).

Hal ini berbanding lurus dengan tabel konsumsi. Pada perlakuan P0

(39)

menghasilkan pertambahan bobot badan yang lebih besar juga dibandingkan

perlakuan lain. Thalib et al., (2001) menyatakan bahwa pertambahan bobot tubuh ternak sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pakan, maksudnya penilaian

pertambahan bobot tubuh ternak sebanding dengan ransum yang dikonsumsi.

Tabel 6 diatas menunjukkan bahwa rataan umum pertambahan bobot

badan adalah sebesar 25,8 gram/ekor/hari. Angka tersebut lebih rendah daripada

angka rata-rata pertambahan bobot badan yang diharapkan pada pemeliharaan

kelinci menurut Reksohadiprojo (1984) untuk periode 8-14 minggu yaitu

33,2 gram/ekor/hari. Penurunan pertumbuhan bobot badan dipengaruhi oleh

penurunan tingkat konsumsi. Ensminger (1991) mengatakan bobot badan dapat

menentukan penampilan ternak tersebut serta keturunannya, bobot badan dapat

bervariasi karena dipengaruhi oleh bangsa, umur, genetik, pakan, suhu,

lingkungan dan sebagainya.

Konversi Pakan

Konversi pakan dihitung dengan cara membandingkan banyak jumlah

pakan yang dikonsumsi, dengan pertambahan bobot badan yang dicapai setiap

minggunya berdasarkan pengukuran dikandang dan nilai yang diperoleh. Rataan

konversi pakan kelinci new Zealand white yang diperoleh selama penelitian dapat

(40)

Tabel 7. Rataan Konversi Pakan Kelinci New Zealand White

Perlakuan Ulangan TOTAL RATAAN±sd 1 2 3 4 5

P0 3.65 3.83 3.74 3.59 3.65 18,46 3,69±0,10a

P1 3.76 3.81 3.72 3.69 3.71 18,71 3,74±0,05ab

P2 4.02 3.83 3.87 3.82 3.77 19,31 3,86±0,09b

P3 4.04 4.11 3.95 4.00 4.04 20,16 4,03±0,06c

TOTAL 15,48 15,59 15,28 15,11 15,18

RATAAN 3,87 3,70 3,82 3,78 3,79 3,86±0,15

Tabel 7 menunjukkan rata-rata konversi pakan kelinci dari

masing-masing perlakuan selama penelitian adalah P0 = 3,69, P1 = 3,74, P2 = 3,86 dan

P3 = 4,03. Konversi pakan kelinci terendah secara kuantitatif dicapai pada

perlakuan P0 (Kulit Ubi Fermentasi 0% + Rumput Lapangan) dan P1 (Kulit Ubi

Fermentasi 10% + Rumput Lapangan) serta konversi pakan yang tertinggi dicapai

pada perlakuan P3 (Kulit Ubi Fermentasi 30% + Rumput Lapangan). Berdasarkan

hasil analisis ragam dapat diketahui bahwa penggunaan kulit ubi kayu fermentasi

dalam pakan memberikan pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap

pertambahan konversi pakan kelinci.

Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan maka dilakukan

Uji Tukey. Dari hasil uji Tukey didapat rataan konversi pakan kelinci pada

perlakuan P0 (Kulit Ubi Fermentasi 0% + Rumput Lapangan) memberikan nilai

rataan yang tidak berbeda terhadap perlakuan P1, namun memberikan nilai rataan

yang berbeda dengan perlakuan P2 dan P3. Konversi pakan kelinci cenderung

meningkat dan lebih tinggi dari pada perlakuan P0 (Kulit Ubi Fermentasi 0% +

Rumput Lapangan).

Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa penambahan kulit ubi fermentasi dalam

ransum tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap konversi ransum

(41)

Perbedaan nilai konversi ransum kelinci yang diberi perlakuan P3

dibandingkan dengan perlakuan lainnya dapat disebabkan antara lain oleh tingkat

palatabilitas kelinci untuk mengomsumsi ransum yang akan menghasilkan

pertambahan bobot badan. Campbell dan Lasley (1985) mengatakan bahwa

faktor-faktor yang mempengaruhi konversi ransum adalah genetik, umur, berat

badan, tingkat konsumsi makanan, pertambahan bobot badan perhari, palatabilitas

dan hormon.

Rekapitulasi Hasil Penelitian

Data hasil penelitian yang dilakukan selama penelitian maka dapat

digambarkan pada Tabel 8 berikut ini.

Tabel 8. Rekapitulasi hasil penelitian

Perlakuan Konsumsi Ransum Pertambahan

Bobot Badan Konversi Ransum P0

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda pada kolom rataan menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01)

Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa tingkat konsumsi pakan, pertambahan

bobot badan dan konversi ransum antara perlakuan terdapat perbedaan yang

sangat nyata.

Ini menunjukkan bahwa kelinci new Zealand white yang diberi perlakuan

penambahan kulit ubi yang difermentasi Rhizopus sp, Saccharomyces sp dan

Lactobacillus sp dalam ransum menurunkan tingkat konsumsi dan tingkat pertambahan bobot badan, juga memiliki tingkat efisiensi dalam pakan yang

(42)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penambahan kulit ubi fermentasi Rhizopus sp, Saccharomyces sp dan

Lactobacillus sp dalam ransum cenderung mempengaruhi penurunan tingkat konsumsi, penurunan pertambahan bobot badan serta meningkatkan nilai konversi

ransum kelinci New Zealand White yang diteliti.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian penggunaan kulit ubi fermentasi masih dapat

digunakan sampai level 20% karena memiliki nilai konversi yang hampir sama

(43)

DAFTAR PUSTAKA

AAK, 1980. Pemeliharaan Kelinci. Kanisius. Yogyakarta. AAK, 1983. Hijauan Makanan Ternak. Kanisius. Yogyakarta.

Anggorodi, R. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia. Jakarta.

Anggorodi, R. 1995. Ilmu Ternak Unggas. Gramedia. Jakarta.

Aritonang, D., Harahap, M.A., Raharjo, Y.C. Pengaruh Penambahan Biovet dalam Ransum dengan Berbagai Kandungan Protein dan Energi Terhadap Pertumbuhan Anak Kelinci Rex. Media Peternakan IPB. http://Journal.ipb.ac.id/index.php/mediapeternakan/article/676 [12 april 2011]

Birch,G.G., K.J.Parker and J.T.Worgan. 1976. Food from Waste AppiedScience Publishers, Ltd. London.

Campbell, J.R. dan J.F. Lasley. 1985. The Science of Animal that Serve Humanity. 2nd Ed., Tata McGraw-Hill Publishing Co. Ltd., New Delhi. Cheeke, P.R., Gobner and Patton, N.M. 1986. Fiber Utilization in Rabbit. J of

Appl. Rabbit.

Departemen Pertanian. 2011. Pakan Kelinci. http:///cybex.deptan.go.id/penyuluhan/ pakan-kelinci

Devendra, C. 1987. Expanding the Utilization of Agro-industrial by Product and non Conventional Feed Resource In Asia. Symposium on Animal Feed Resources, Asian Productivity Organization, 24-29 August 1987, Tokyo, Japan.

Ensminger, M. E. 1991. Feeds and Nutrition. Second Edition. The Ensminger Publising Company. USA.

Ernawati, D. 2011. Untung Menggiurkan dari Budi Daya Kelinci. CV Andi Offset. Yogyakarta.

Fardiaz. 1989. Fisiologi Fermentasi. PAU IPB dan LSI IPB. Bogor.

Ginting, N. 2010. Pembuatan Kompos. USU Press. Medan

Hanafiah, K.A. 2003. Rancangan Percobaan. Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya. Palembang.

Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo dan A.D. Tillman. 2005. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Gajah Mada University Press, Yokyakarta.

Kuswanto, R. K., Sudarmadji, Slamet. 1989. Mikrobiologi Pangan. UGM. Yogyakarta.

Lestari. 1992. Menentukan Bibit Broiler. Peternakan Indonesia.

Manshur, F. 2009. Kelinci Pemeliharaan Kelinci Secara Ilmiah, Tepat dan Terpadu. Nuansa. Bandung.

Margiono, S., Rahayu, Sutriswati Endang. 1992. Molekuler Genetika Mikroba. UGM Press. Yogyakarta.

(44)

National Reseach Council. 1977. Nutrient Requirement of Rabbit. National Academic

of Science, Washington.

Nurhayani, H., Nuryati, J., I Nyoman, P. 2000. Peningkatan Kandungan Protein Kulit Umbi Ubi Kayu Melalui Proses Fermentasi . Departemen Biologi

Fak. MIPA ITB. Bandung. http://journal.fmipa.itb.ac.id/jms/article/viewFile/63/57 JMS Vol. 6 No. 1,

hal. 1 – 12 April 2001

Parakkasi, A. 1983. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. UI Press.

Jakarta.

Piliang WG. 2000. Fisiologi Nutrisi. Volume I. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Priyatna, N. 2011. Beternak dan Bisnis Kelinci Pedaging. PT Agromedia Pustaka. Jakarta.

Purwati, 2005. Retensi Protein Pada Domba Lokal Jantan yang Mendapat Pakan Penguat Pollrd pada Aras Berbeda. Undip press. Semarang.

Purwoko, T. dan I. R. Pramudyanti. 2004. Pengaruh CaCO3 pada Fermentasi Asam Laktat oleh Rhizopus oryzae. Jurnal Mikrobiologi Indonesia 9: 19-22

Rasidi. 2002. 302 Formulasi Pakan Lokal Alternatif untuk Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta.

Rasyaf, M. 1989. Memelihara Ayam Buras. Kanisius. Yogyakarta.

Rasyaf, M. 1997. Penyajian Makanan Ayam Petelur. Kanisius. Yogyakarta. Reksohadiprojo, S. 1984. Pengantar Ilmu Peternakan Tropik. BPFE. Yogyakarta. Sanford, J.C. and F.G. Woodgate. 1980. The Domestic Rabbit. Thid edition.

Granada. Lonon-Totonto-Sydney-New York.

Sarwono, B. 2007. Kelinci Potong dan Kelinci Hias. Agromedia Pustaka. Jakarta. Sembiring, P., 2006. Biokonversi Limbah Pabrik Minyak Inti Sawit dengan

Phanerochaete chrysosporium dan Implikasinya Terhadap Performans Ayam Broiler. Disertasi Doktor. Universitas Padjajaran, Bandung.

Septiani, Y. 2004. Studi Karbohidrat, Lemak dan Protein pada Kecap dari Tempe. Skripsi. F. MIPA UNS. Surakarta.

Setiawan, N. 2009. Daging dan Telur Ayam Sumber Protein Murah. Unpad. Bandung.

Sihombing, D. T. H. 1997. Ilmu Ternak Babi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

(45)

Sorenson dan Hesseltine. 1986. Validatian of An in Development Toxicity Screen in The Mouse. Teratol Mutagen. 6: 361-374

Susilorini, T.E., et al. 2008. Budidaya Ternak Potensial. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suyatno. 2011. Pengolahan Fisik Kulit Ubi Kayu Sebagai Pakan Ternak. http://suyat-reproter.blogspot.com/2011/05/pengolahan-fisik-kulit-ubi-kayu-sebagai.html

Renilaili. 2011. Pengaruh Vitamin B dan Nitrogen dalam Peningkatan Kandungan Protein Kulit Ubi Kayu Melalui Fermentasi. Universitas Bina Darma. Palembang.

Rukmana, R. 1997. Ubi Kayu Budidaya dan Pascapanen. Kanisius. Yogyakarta. Thalib, A., B. Haryanto, H. Hanid, D. Suherman & Mulyani. 2001. Pengaruh

kombinasi defaunatior dan probiotik terhadap ekosistem rumen dan performan ternak domba. J. Ilmu Ternak dan Veteriner, 6 (2):83-88.

Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1981. Ilmu Makanan Ternak Dasar. UGM Press. Yogyakarta.

(46)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Skema pengolahan kulit ubi untuk mengurangi kadar HCN

Kulit Ubi

Dicacah

Dikukus sampai suhu 100 0C

(47)

Lampiran 2. Skema pengolahan inokulan cair

Dimasukkan air sumur sebanyak 10 liter ke dalam galon air mineral

Dimasukkan air tebu sebanyak 1,5 liter

Dimasukkan ragi tempe sebanyak 60 gram

Dimasukkan ragi tape sebanyak 60 gram

Dimasukkan yougurt sebanyak tiga sendok teh

Diaduk bahan sampai merata

(48)

Lampiran 3. Skema pengolahan kulit ubi fermentasi menggunakan

mikroorganisme lokal

Kulit Ubi yang telah dikurangi kadar HCN

Ditambahkan air untuk menambah kelembaban

Ditambahkan inokulan cair yang mengandung mikroorganisme lokal dan ditambah vitamin b-complex

Diingkubasi selama 5 hari

Dikeringkan/ diangin-anginkan

(49)

Lampiran 4. Skema pembuatan pakan dalam bentuk pelet

Bahan baku

Bahan baku digiling hingga menjadi tepung

Ditimbang menurut formulasi yang sudah ditetapkan

Diaduk hingga rata di tempat pengadukan

Penambahan bahan baku cairan (kalau dibutuhkan)

Diaduk kembali hingga bahan cair tersebut tercampur rata keseluruhan bagian

Bahan baku berbentuk adonan

Adonan dimasukkan ke alat pencetak pelet

Dihasilkan pelet dengan ukuran 3-5 mm

(50)

Lampiran Analis Ragam Konsumsi

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 3,040.

(51)

Lampiran Analis Ragam Pertambahan Bobot Badan

SK DB JK KT Fhitung F0,05 F0,01

Perlakuan 3 82,151 27,384 130.71 3.24 5.29

Galat 16 3,352 0,209

Total 19 85,503

Lampiran Uji Tukey

Lampiran Analis Ragam Konversi

SK DB JK KT Fhitung F0,05 F0,01

Perlakuan 3 0.34 0.11 19.11 3.24 5.29

Galat 16 0.09 0.006

Total 19 0.43

Hasil

Tukey HSD

perlakuan N

Subset

1 2 3 4

P3 5 23.16

P2 5 24.95

P1 5 26.41

P0 5 28.69

Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.

(52)

Lampiran Uji Tukey

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = .006.

Gambar

Tabel 1. Perbandingan Hasil Daging Beberapa Hewan Ternak
Tabel 2. Kandungan zat makanan atau nutrisi kelinci.
Tabel 3. Rata-rata Nilai HCN Kulit ubi kayu dengan berbagai perlakuan
Tabel 4. Pertambahan bobot kelinci
+4

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, pemrakarsa usaha dan/ atau kegiatan

Produk yang memiliki citra merek yang baik, kuat dan positif cinderung lebih mudah di terima oleh masyarakat atau konsumen serta dapat memenuhi kebutuhan dan

The researcher concludes that: 1) T alk Show technique improves students‟ participation in speaking. It can be seen from the percentage 47 % and 85% on the

Berdasarkan paparan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “ Efektivitas Pendidikan Kesehatan dengan Media Kalender oleh

Ada hubungan antara kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, kebiasaan makan di luar rumah, frekuensi makan, dan kepemilikan tempat sampah dengan kejadian demam

effective if they are personalised.” It is assumed that when the students write their own vocabulary by themselves, they will remember those words for a long

Fais (2009: 127) menetapkan masalah mutu layanan kesehatan dapat dikenali dengan berbagai cara antara lain: Melalui pengamatan langsung terhadap petugas kesehatan

efektivitas pemberian umpan balik ( feedback ) tes hasil belajar siswa kelas XI IPS pada mata pelajaran ekonomi yang dilakukan di SMA Islam Bawari Pontianak dapat