• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh kematangan emosi dan usia saat menikah terhadap kepuasan penukahan pada dewasa awal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh kematangan emosi dan usia saat menikah terhadap kepuasan penukahan pada dewasa awal"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KEMATANGAN EMOSI DAN USIA SAAT

MENIKAH TERHADAP KEPUASAN PERNIKAHAN

PADA DEWASA AWAL

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Oleh :

AULIA NURPRATIWI

NIM. 106070002219

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

ABSTRAKSI

(A) Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (B) Oktober 2010

(C) Aulia Nurpratiwi

(D) Pengaruh Kematangan Emosi Dan Usia Saat Menikah Terhadap Kepuasan Pernikahan Pada Dewasa Awal

(E) Halaman : 70 halaman + lampiran

(F) Pernikahan merupakan tahapan dari kehidupan yang merupakan suatu usaha untuk membina hubungan dengan orang lain dalam menyatukan segala aspek dari masing-masing untuk membentuk kehidupan rumah tangga. Dalam pernikahan pasti terdapat tujuan yang ingin dicapai oleh setiap pasangan yaitu kepuasan dalam pernikahan tersebut. Latar belakang penelitian ini dilakukan karena banyaknya fenomena perceraian yang terjadi di dalam kehidupan rumah tangga. Yang salah satunya merupakan permasalahan kematangan emosi dan usia saat menikah yang kerap kali menimbulkan konflik atau permasalahan, sehingga berdampak terhadap kepuasan pernikahan di dalam kehidupan rumah tangga.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kematangan emosi dan usia saat menikah terhadap kepuasan pernikahan serta ingin mengetahui besarnya sumbangan kematangan emosi dan usia saat menikah terhadap kepuasan pernikahan.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif dengan metode regresi. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah RT.012/04 Jakarta Timur dengan jumlah sampel sebanyak 100 orang dewasa awal yang menikah sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh peneliti yakni; dewasa awal laki-laki atau perempuan yang menikah, berusia 20 sampai 40 tahun, tinggal di wilayah RT. 012/04 Jakarta Timur. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Instrumen pengumpul data yang digunakan adalah skala model likert. Teknik pengolahan dan analisa dilakukan dengan analisa statistik regresi ganda.

Jumlah item valid untuk skala kematangan emosi adalah 31 item dengan reliabilitas sebesar 0.842, untuk skala kepuasan pernikahan jumlah item yang valid adalah 24 item dengan reliabilitas sebesar 0.835. Berdasarkan hasil penelitian menggunakan teknik statistik diperoleh F hitung sebesar 21.382 dan signifikansi p=0.000 ini berarti hipotesis nihil (Ho) ditolak dan Ha diterima, maka dapat disimpulkan terdapat pengaruh yang signifikan dengan arah positif antara kematangan emosi dan usia saat menikah secara bersama terhadap kepuasan pernikahan. Dari hasil uji regresi variabel kematangan emosi dan usia saat menikah secara

(3)

iii

bersama-sama memberikan kontribusi sebesar 30,6% terhadap kepuasan pernikahan. Saran praktis penelitian ini adalah pentingnya meningkatkan kematangan emosi dan memperhatikan usia sebelum melangkah dalam pernikahan. Hal ini terkait dengan harapan individu yang ingin mencapai kepuasan dalam pernikahan yang akan mereka jalani.

(4)

vii

DAFTAR ISI

Cover

Pengesahan Oleh Panitia Ujian Lembar Pengesahan Pembimbing

Motto dan Persembahan...i

Abstrak ...ii

Kata Pengantar ...iv

Pernyataan Bukan Plagiat ...vi

Daftar Isi ...vii

Daftar Tabel ...xi

Daftar Gambar...xii

Daftar Lampiran ...xiii

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Pembatasan Masalah dan Prumusan Masalah...8

1.2.1 Pembatasan Masalah...8

12.2 Perumusan Masalah ...10

1.3 Tujuan Penelitian ...10

1.4 Manfaat Penelitian...10

(5)

viii

BAB II KAJIAN PUSTAKA...12

2.1 Pernikahan...12

2.1.1 Pengertian Pernikahan... 12

2.1.2 Tujuan Pernikahan... 14

2.1.3 Kesiapan-Kesiapan Menikah... 17

2.1.4 Pengertian Kepuasan Pernikahan... 19

2.1.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan ...20

2.1.6 Komponen-Komponen Kepuasan Pernikahan... 23

2.2 Kematangan Emosi... 25

2.2.1 Pengertian Kematangan Emosi... 25

2.2.2 Karakteristik Kematangan Emosi... 27

2.2.3 Ciri-Ciri Orang yang Matang Emosi... 29

2.3 Dewasa Awal... 30

2.3.1 Pengertian Dewasa Awal... 30

2.3.2 Tahap Perkembangan Dewasa Awal... 31

2.3.3 Karakteristik Dewasa Awal... 32

2.3.4 Kematangan Emosi Pada Dewasa Awal... 33

2.4 Kerangka Berpikir... 35

2.5 Hipotesis... 38

BAB III METODE PENELITIAN...39

(6)

ix

3.2 Variabel Penelitian... 39

3.2.1 Definisi Konseptual Variabel Penelitian... 39

3.2.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian... 40

3.3 Populasi dan Sampel... 41

3.3.1 Teknik Pengambilan Sampel... 41

3.4 Teknik Pengambilan Data... 42

3.4.1 Instrumen Pengambilan Data... 43

3.5 Teknik Analisis Data... 46

3.5.1 Uji Reliabilitas... 46

3.5.2 Uji Validitas... 47

3.5.3 Regresi Berganda... 47

3.6 Prosedur Penelitian... 47

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN ...53

4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian... 53

4.2 Presentasi Data... 55

4.2.1 Deskriptif Statistik... 55

4.3 Uji Hipotesis... 56

4.4 Hasil Analisis Tambahan... 59

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ...63

5.1 Kesimpulan ...63

5.2 Diskusi ...63

(7)

x

(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Surat permohonan izin penelitian

Lampiran 2 : Surat keterangan benar mengadakan penelitian

Lampiran 3 : Kuesioner penelitian skala kematangan emosi dan kepuasan pernikahan

Lampiran 4 : Skor penelitian penilaian kepuasan pernikahan dan kematangan emosi

Lampiran 5 : Hasil uji reliabilitas dan validitas skala kematangan emosi Lampiran 6 : Hasil uji reliabilitas dan validitas skala kepuasan pernikahan Lampiran 7 : Hasil uji hipotesis

Lampiran 8 : Hasil analisis tambahan

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Format Skoring Skala Kematangan Emosi Tabel 3.2 Format Skoring Skala Kepuasan Pernikahan Tabel 3.3 Blueprint Skala Kepuasan Pernikahan Tabel 3.4 Bluprrint Skala Kematangan Emosi

Tabel 3.5 Hasil Uji Validitas Skala Kepuasan Pernikahan Tabel 3.6 Hasil Uji Validitas Skala Kematangan Emosi

Tabel 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 4.2 Gambaran Umum Subjek Penelitian Berdasarkan Usia Saat

Menikah

Tabel 4.3 Gambaran Umum Subjek Penelitian Berdasarkan Usia Pernikahan Tabel 4.4 Tabel Descriptive Statistik

Tabel 4.5 ANOVA Tabel 4.6 Model Summary

Tabel 4.7 Variabel Removed (Metode Stepwise) Tabel 4.8 Model Summary (Hasil Stepwise)

Tabel 4.9 Independent Samples Test Kematangan Emosi antar Jenis Kelamin Tabel 5.0 One–Way Anova Kematangan Emosi antar Usia Pernikahan

Tabel 5.1 Independent Samples Test Kepuasan Pernikahan antar Jenis Kelamin

Tabel 5.2 One-Way Anova Kepuasan Pernikahan antar Usia Pernikahan

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial, yang tidak bisa hidup sendiri, saling membutuhkan dan saling tergantung terhadap manusia lainnya. Dengan sifat dan hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya. Diantara kebutuhan tersebut adalah kebutuhan sosial. Untuk memenuhi kebutuhan sosialnya, maka mereka biasanya akan melakukan pernikahan. Blood (1969) mengatakan bahwa pernikahan merupakan satu dari tiga kejadian besar dalam hidup, seiring dengan kelahiran dan kematian.

Sebagian orang pada suatu saat dalam hidupnya memutuskan untuk membentuk lembaga keluarga melalui pernikahan. Dengan melakukan pernikahan, manusia memenuhi kebutuhan psikologis, kebutuhan seksual, kebutuhan material dan kebutuhan spiritual. Dari sisi psikologis, yang penting adalah terpenuhinya kebutuhan akan cinta, rasa aman, pengakuan, dan persahabatan. Dengan kata lain, tujuan seseorang menikah adalah untuk mendapatkan kebahagiaan dan kepuasan dari hubungan pernikahan tersebut.

Duvall & Miller (1985) mengatakan bahwa kepuasan pernikahan adalah suatu perasaan yang subjektif akan kebahagiaan, kepuasan dan pengalaman menyenangkan yang dialami oleh masing-masing pasangan suami istri dengan mempertimbangkan keseluruhan aspek dalam pernikahan.

(12)

Setiap orang yang memasuki kehidupan berkeluarga melalui pernikahan tentu menginginkan terciptanya keluarga yang bahagia, sejahtera lahir dan batin. Hal ini telah menjadi keinginan dan harapan mereka jauh sebelum dipertemukan dalam ikatan pernikahan yang sah. Penelitian yang dilakukan dari tahun 1950-1970 telah membuktikan bahwa seseorang yang menikah lebih bahagia daripada orang yang hidup sendiri. Penelitian pada 2000 orang dewasa menemukan bahwa laki-laki dan wanita segala usia yang menikah melaporkan lebih puas atau bahagia daripada yang masih sendiri, bercerai maupun yang duda atau janda (Paplia & Olds, 1994). Bahkan, orang yang menikah lebih sehat baik secara fisik maupun psikis dari pada orang yang bercerai, duda atau janda, dan yang tidak pernah menikah. Ini sangat berpengaruh baik bagi laki-laki maupun perempuan (Ross, et al., dalam Papalia & Olds,1994).

Dalam faktanya, meskipun pernikahan membawa kebahagiaan tapi banyak juga orang yang mengakhiri pernikahannya dengan perceraian. Misalnya, pada tahun 2002 di Amerika serikat ada delapan dari setiap 1000 orang dewasa yang menikah, sementara empat dari setiap 1000 bercerai (Papalia & Olds, 1994). Faktanya, di Indonesia pun terjadi peningkatan angka perceraian, data yang ada pada Data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Makamah Agung, angka perceraian pada tahun 2007 perceraian di DKI Jakarta mencapai 6.218 kasus. Pada tahun 2008 tercatat 5.193 kasus. Walaupun ada penurunan dibandingkan tahun 2007 lalu, tetapi angka tersebut masih terbilang cukup tinggi.

Perceraian tentunya tidak terjadi begitu saja, pasti ada faktor yang mendasarinya. Berdasarkan data yang didapatkan peneliti dari Direktorat Jenderal

(13)

Badan Peradilan Agama Makamah Agung yang mengungkapkan bahwa faktor penyebab perceraian yang paling banyak adalah perselisihan yang terus menerus yang disebabkan oleh ketidakharmonisan dalam pernikahan.

Fenomena ketidakharmonisan keluarga berdasarkan data tahun 2008, wilayah Jakarta Selatan cukup tinggi 481 pasangan atau berkisar 45% bercerai. Kemudian wilayah Jakarta Pusat, sebanyak 94 pasangan bercerai. Wilayah Jakarta Utara sebanyak 45 pasangan bercerai. Wilayah Jakarta Barat, sebanyak 116 pasangan bercerai. Wilayah Jakarta Timur, sebanyak 123 pasangan bercerai (Maryadie, 2009).

Berdasarkan data tersebut, peneliti mengasumsikan bahwa ketidakharmonisan dalam pernikahan disebabkan oleh ketidakserasian atau ketidakcocokan pasangan. Perasaan tidak cocok ini sebenarnya merupakan sinyal bahwa adanya ketidakpuasan seseorang dengan hubungan yang ia bina bersama pasangannya.

Menurut Veroff dkk (dalam Atwater, 1985) peningkatan kecenderungan ketidakpuasan pernikahan pasangan berdampak pada perceraian. Banyak pasangan yang menghadapi kesulitan dan merasa tidak puas dengan pernikahannya. Verof juga mengungkapkan bahwa bagaimanapun kebahagian pasangan secara langsung tergantung pada kepuasan pasangan dalam aspek-aspek pernikahan. Jadi, ketika seseorang puas atau bahagia dengan pernikahannya maka ia pasti akan merasa puas atau bahagia, meskipun setiap harinya ia kecewa dengan keadaan sekitarnya. Tapi, jika seseorang tidak puas dengan pernikahannya, maka

(14)

ia akan cenderung mencari kepuasan lebih pada anak, pekerjaan atau sesuatu yang materiil.

Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kepuasan dalam pernikahan untuk menciptakan kebahagiaan secara keseluruhan dalam kehidupan rumah tangga. Pentingnya kepuasan pernikahan ini juga dipertegas oleh Lavenson dan kawan-kawan (dalam Lavenson dkk, 1994) dalam penelitiannya menunjukan bahwa kepuasan pernikahan bisa mempengaruhi kesehatan mental dan fisik. Dengan kata lain, pasangan dari pernikahan yang puas memiliki tingkat kesehatan mental dan fisik lebih baik dari pasangan yang merasa tidak puas dengan pernikahannya.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa idealnya pasangan suami istri akan mengharapkan keharmonisan dan kepuasan dalam pernikahan dengan saling mencintai, menghargai, dan dapat bertoleransi terhadap perbedaan-perbedaan diantara keduanya. Namun, pada kenyataannya tidak semua pasangan mampu merasakan kepuasan dalam pernikahannya seperti yang diharapkan pada awal pernikahan.

Begitu banyak faktor yang dihubungkan dengan kepuasan pernikahan, tergantung pada apa yang menjadi fokus peneliti dalam studinya. Beberapa peneliti ada yang memfokuskan pada karakteristik individual (seperti kepribadiaan, atribusi, afek). Sementara peneliti yang lain menitikberatkan pada dinamika hubungan (seperti, komunikasi, kepuasan seksual, konflik) dan ada juga peneliti yang mempertimbangkan pada konteks yang lebih luas dari hubungan pernikahan (seperti peran anak). Dalam penelitian ini, peneliti akan memfokuskan penelitian pada karakteristik individual, yaitu aspek kepribadian dalam

(15)

pernikahan. Penelitian-penelitian terdahulu telah mengidentifikasi bahwa kepribadian yang matang sebagai komponen utama pada kepuasan pernikahan (dalam Karney & Bradbury, 2000). Beberapa peneliti yang meneliti mengenai kepuasan pernikahan. Diantaranya, telah dilakukan oleh Rismawati (1992) mengenai kematangan emosi dan kepuasan perkawinan (studi kelompok pada kelompok istri bekerja dan kelompok istri tidak bekerja). Hasilnya menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kepuasan perkawinan dengan kematangan emosi. Hal ini berarti bahwa semakin matang secara emosional maka kepuasan perkawinannya akan semakin meningkat.

Adhim (2002) menyebutkan kematangan emosi merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk menjaga kelangsungan pernikahan di usia muda. Mereka yang memiliki kematangan emosi ketika memasuki pernikahan cenderung lebih mampu mengelola perbedaan yang ada diantara mereka. Seseorang yang memiliki kematangan emosi yang baik lebih siap menghadapi perbedaan yang ada dalam rumah tangga. Kematangan emosi juga amat diperlukan dalam menumbuhkan kemesraan pernikahan maupun kelak dalam mendidik anak.

Dalam kehidupan pernikahan, kematangan emosi juga mempengaruhi bagaimana cara pasangan mengekspresikan emosinya melalui tingkah laku yang tepat sehingga tidak mengganggu kebahagiaan. Jadi dapat dikatakan bahwa emosi mempengaruhi pembentukkan suatu tingkah laku atau respon dalam diri seseorang. Grasha dan Kirschenbaum dalam Rismawati (1992) menjelaskan bahwa emosi adalah suatu bentuk perasaan (afek) yang dipergunakan untuk menentukan respon terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari

(16)

luar diri individu. Emosi juga merupakan hal yang dapat merangsang tingkah laku menuju pada suatu tujuan dan berhubungan dengan proses-proses fisiologis, kognitif, dan gerakan tubuh yang terlihat.

Sebagai suatu pola respon afektif terhadap stimulus, dapatlah dikatakan bahwa emosi juga merupakan suatu hal yang bersifat situasional, yaitu sesuatu yang dipengaruhi oleh keadaan individu pada saat itu. Smitson dan Garlow (1976) mengatakan bahwa individu memiliki pengalaman yang berfluktuasi dalam bidang emosional. Pada situasi tertentu mereka dapat bereaksi secara matang sedang pada situasi lainnya mereka bereaksi dengan cara kurang matang. Meskipun demikian reaksi emosional seseorang tetap memiliki kecenderungan tertentu, dalam hal ini, menurut Smitson didasari oleh suatu hal yang disebut sebagai tingkat reaksi emosi.

Emosi yang matang dapat menjadikan individu tersebut lebih dapat menempatkan dirinya sesuai dengan keadaan. Kematangan emosi sangat diperlukan untuk pendewasaan diri. Individu yang telah mencapai kematangan dalam hal emosi dapat diidentifikasikan sebagai individu yang dapat menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bertindak, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti anak-anak atau orang yang tidak matang (Hurlock, 1980).

Beberapa peneliti telah melakukan penelitiannya dalam menganalisis kematangan emosi. Salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Riyawati (2006) dalam menganalisis perbedaan kematangan emosi pada wanita usia 25-35 tahun ditinjau dari tingkat pendidikan dan usia memasuki pernikahan. Hasil

(17)

penelitiannya menunjukkan ada perbedaan kematangan emosi ditinjau dari tingkat pendidikan pada ibu-ibu rumah tangga. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu diikuti tingginya tingkat kematangan emosi. Dan Tidak ada perbedaan kematangan emosi di tinjau dari usia memasuki perkawinan pada ibu-ibu rumah tangga.

Penelitian lain mengenai kematangan emosi oleh Khairani dan Putri (2009) mengenai perbedaan kematangan emosi pada pria dan wanita yang menikah muda. Hasil penelitiannya menunjukkan terdapat perbedaan kematangan emosi yang sangat signifikan pada pria dan wanita yang menikah muda, dimana ditemukan bahwa pria memiliki kematangan emosi lebih tinggi dibandingkan wanita.

Selain faktor kematangan emosi, usia pada saat menikah juga merupakan faktor yang berperan dalam stabilitas pernikahan. Semakin muda usia waktu menikah semakin besar kemungkinan akan terjadinya perceraian. sebenarnya bukan hanya usia itu sendiri yang mempengaruhi pernikahan tetapi tingkat pendidikan, pendapatan, rendahnya tingkat sosial ekonomi adanya kehamilan di luar nikah dan ketidak matangan emosional pasangan usia muda yang mempersulit kehidupan pernikahannya (Stinnet dan Kaye,1984).

Dari uraian diatas keberhasilan rumah tangga ditentukan oleh kematangan emosi dan usia memasuki pernikahan yang matang, baik suami mapun istri. Penekanan pada segi kematangan emosi dan usia saat menikah ini menimbulkan suatu pertanyaan seberapa jauh perannya terhadap kepuasan pernikahan, adalah merupakan hal yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Seseorang yang terbiasa

(18)

berhadapan dengan banyak orang cenderung memiliki kematangan emosi yang lebih tinggi. Demikian juga mereka yang telah bertanggung jawab penuh atas dirinya sendiri dan lebih-lebih jika sekaligus memikul tanggung jawab atas keluarganya. Usia yang sangat muda menimbulkan kekurangmatangan emosi sehingga banyak dewasa awal yang mengalami kesulitan dalam mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam pernikahannya.

Kematangan emosi dan usia memasuki pernikahan yang matang yang telah diulas dimuka, kiranya dipandang sebagai faktor yang cukup penting dalam kepuasan pernikahan. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengajukan pertanyaan penelitian “Apakah ada pengaruh kematangan emosi dan usia saat menikah terhadap kepuasan pernikahan pada dewasa awal.

Dengan bertitik tolak pada pemamparan di atas, maka penulis sangat tertarik untuk mengkaji lebih mendalam mengenai “PENGARUH KEMATANGAN EMOSI DAN USIA SAAT MENIKAH TERHADAP KEPUASAN

PERNIKAHAN PADA DEWASA AWAL”.

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.2.1 Pembatasan Masalah

1. Pernikahan yang berhasil biasanya didefinisikan sebagai “stabilitas pernikahan” atau “kepuasan pernikahan”. Banyak istilah yang digunakan untuk mendefinisikan kepuasan pernikahan diantaranya kebahagiaan pernikahan (marital happiness), kualitas pernikahan (marital quality) dan penyesuaian pernikahan (marital adjustment). Untuk selanjutnya istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepuasan pernikahan (marital satisfaction).

(19)

Kepuasan pernikahan, merupakan suatu perasaan yang subjektif akan kebahagiaan, kepuasan dan pengalaman menyenangkan yang dialami oleh masing-masing pasangan suami-istri dengan mempertimbangkan keseluruhan komponen dalam pernikahan. Komponen-komponen tersebut adalah dyadic satisfaction, dyadic cohetion, dyadic consensus, dan affectional expression. 2. Kematangan emosi menurut Katkovsky, W & Garlow (1976) adalah suatu

proses dimana kepribadian secara berkesinambungan mencapai kematangan emosi yang sehat, baik secara intrafisik maupun interpersonal. Kematangan emosi dicapai dengan kriteria yaitu berkembang kearah kemandirian (toward independent), mampu menerima kenyataan (ability to accept reality), mampu beradaptasi (adaptability), mampu merespon dengan tepat (readiness to responed), kapasitas untuk seimbang (capacity to balance), mampu berempati (empatic understanding), mampu menguasai amarah (controlling anger). 3. Usia saat menikah

Menurut Papalia Olds (dalam Adhim, 2002) memasuki pernikahan berarti memasuki dunia rumah tangga. Usia 20 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki adalah usia seseorang telah dikatakan matang secara fisiologis. Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa usia memasuki pernikahan adalah usia dimana seseorang telah matang dalam memasuki dunia rumah tangga yaitu sekitar 20-25 tahun.

4. Dewasa awal menurut Suntrock adalah dewasa awal yang berusia 20-40 tahun.

(20)

1.2.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Apakah ada pengaruh yang signifikan kematangan emosi dan usia saat menikah terhadap kepuasan pernikahan pada dewasa awal?

2. Seberapa besar kontribusi kematangan emosi dan usia saat menikah terhadap kepuasan pernikahan pada dewasa awal?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan yang telah diuraikan, yaitu mengungkap ada atau tidaknya pengaruh yang signifikan kematangan emosi dan usia saat menikah terhadap kepuasan pernikahan pada dewasa awal serta mengetahui seberapa besar kontribusi kematangan emosi dan usia saat menikah terhadap kepuasan pernikahan.

1.4 Manfaat Penelitian

1) Dari sisi teoritis diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan ilmiah pada ilmu bidang psikologi, khususnya psikologi perkembangan, mengenai

kematangan emosi dan usia saat menikah kaitannya terhadap kepuasan

pernikahan pada dewasa awal.

2) Secara praktis, diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan berpikir para pasangan suami istri akan pentingnya pencapaian kepuasan pernikahan bagi

kesehatan mental dan keharmonisan kehidupan rumah tangga, sehingga mereka

dapat melakukan antisipasi atau cara-cara yang tepat untuk menghindari

terjadinya ketidakharmonisan dalam suatu pernikahan. Penelitian ini bermanfaat

(21)

11

pula bagi para psikolog, hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan

pertimbangan dalam proses konseling keluarga dan perkawinan

1.5Sistematika Penulisan

Peneliti menggunakan teknik penulisan American Psychological Association (APA) style. Dan secara garis besar sistematika penulisan penelitian ini adalah: 1) BAB 1 Pendahuluan, yang meliputi : latar belakang masalah, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan. 2) BAB 2 Kajian Pustaka, yang meliputi : kematangan emosi, pernikahan, dan

dewasa awal. Pada pernikahan akan dipaparkan : definisi pernikahan, tujuan pernikahan, kesiapan dalam menikah, pengertian kepuasan pernikahan, faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan, komponen-komponen kepuasan pernikahan. Pada kematangan emosi akan dipaparkan : definisi kematangan emosi, karakteristik kematangan emosi, ciri-ciri orang yang matang emosinya. Pada dewasa awal akan dipaparkan : pengertian dewasa awal, tahap perkembangan pada dewasa awal, karakteristik dewasa awal, kematangan emosi pada dewasa awal, kerangka berpikir dan hipotesis.

3) BAB 3 Metodologi Penelitian, yang meliputi : jenis penelitian (pendekatan dan metode penelitian), variabel konseptual dan variabel operasional, pengambilan sampel (populasi dan sampel, teknik pengambilan sampel), pengumpulan data (metode dan instrumen dan teknik uji instrumen penelitian), dan teknik analisa data serta prosedur penelitian.

(22)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pernikahan

2.1.1 Pengertian Pernikahan

Sudarsono (dalam Lidia, 2010) menyatakan bahwa istilah “Nikah” berasal dari bahasa arab yang berarti berhimpun, sedangkan menurut bahasa Indonesia adalah “Kawin”. Istilah “Nikah” dan “Kawin” dewasa ini kerap kali dibedakan, akan tetapi prinsipnya sama. Apabila ditinjau dari segi hukum, pernikahan adalah suatu akad suci dan luhur antara pria dan wanita yang menjadi sebab sahnya adalah statusnya sebagai suami istri dan dihalalkannya seksual dengan tujuan mencapai keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah, penuh kasih sayang, kebijakan, dan saling menyantuni.

Hanafy (2008) menyatakan bahwa menikah adalah sunnah Rasulullah Saw untuk dilaksanakan oleh umatnya. Menikah adalah jalan kemuliaan yang diridhai dan dimudahkan pengaturannya dalam Islam. Dengan menikah pula, banyak kebaikan dan barakah yang bisa dinikmati oleh seseorang. Sebagaimana Allah Swt berfirman :

(23)

“Hendaklah kalian menikahkan orang-orang sendirian (belum menikah) di antara kalian dan orang-orang yang saleh di antara hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kekayaan kepada mereka dengan karuania-Nya. Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S an-Nur:32)

Sementara menurut Dariyo (2003) mendefinisikan pernikahan sebagai : “....ikatan kudus (suci atau sakral) antara pasangan dari seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah menginjak atau dianggap telah memiliki umur cukup dewasa.”

Pernikahan dianggap sebagai ikatan suci karena hubungan secara sah dalam hukum agama agar keduanya tidak melanggar ajaran agama, dan hal ini terutama berlaku di Indonesia. Dengan demikian ikatan tersebut, artinya mereka juga sepakat untuk berkeluarga serta memiliki konsekuensi hak dan kewajiban yang harus ditanggung bersama.

Di dalam bab 1 pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan (UUP), merumuskan pengertian perkawinan atau pernikahan yaitu sebagai “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Departemen Agama, 2010).

Sedangkan definisi pernikahan menurut Duvall&Miller (1985):

(24)

“Socially recognized relationship between a man and woman that provides for sexual relationship, legitimates chilbearing and establishes a division of labour between spouses” .

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pernikahan bukan semata-mata legalisasi dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi lebih dari itu. Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dalam membina kehidupan keluarga. Dalam menjalankan kehidupan berkeluarga diharapkan kedua individu itu dapat memenuhi kebutuhannya dan mengembangkan dirinya. Pernikahan sifatnya kekal dan bertujuan menciptakan kebahagiaan bagi individu yang terlibat di dalamnya.

2.1.2 Tujuan Pernikahan

Tujuan menikah menurut Hanafy (2008) ada empat, yaitu : 1. Menikah Bagian dari Ibadah

Dengan menikah maka kita akan mendapatkan pahala. Ibadah adalah dasar dari hubungan suami istri. Ketika dua hati berpaut dalam akad nikah, maka seketika ibadah akan dilaksanakan. Sebagaimana Allah Swt berfirman :

“Dan barangsiapa melakukan amal kebajikan walaupun seberat zarahpun niscaya ia akan melihat balasannya, dan barangsiapa mengerjakan

(25)

kejahatan seberat zarah pun niscaya dia akan melihat balasannya pula”. (QS. Al-Zalzalah:7-8)

2. Jalan untuk Melestarikan Keturunan

Menikah adalah salah satu bentuk karunia yang diberikan Allah Swt kepada manusia agar mereka dapat meneruskan keturunannya. Dengan demikian, maka persaudaraan di antara dua keluarga dapat terbentuk, sehingga memperluas persaudaraan diantara manusia. Firman Allah Swt:

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah Swt menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak dan bertakwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan namanya kamu saling meminta satu sama lain, dan

(26)

peliharalah hubungan silaturrahim, sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi.” (QS. An-Nisaa:1)

3. Terbentuknya Ketenteraman Hidup

Dengan menikah maka seseorang akan mendapatkan ketenteraman di dalam hidupnya. Secara fitrah manusia tidak akan mendapatkan ketenangan dan ketenteraman di dalam hidupnya jika mereka hidup sendirian tanpa didampingi oleh seseorang lawan jenisnya dan dari jenisnya sendiri. Allah Swt berfirman :

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum: 21)

4. Jalan Terhindarnya Kemaksiatan

(27)

Menikah merupakan salah satu jalan yang diberikan Allah Swt untuk menyalurkan dan mengendalikan syahwat, yaitu sebagai sarana bagi kita untuk menghindarkan diri jatuh ke dalam kemaksiatan. Karena dengan nikah, seseorang dapat menjaga pandangan, kehormatan, dan kesucian dirinya. Sebagaimana Allah Swt berfirman :

“Janganlah kalian mendekati perbuatan zina, sebab sesungguhnya zina itu merupakan kekejian dan seburuk buruknya jalan.” (QS. Al-Isra: 32)

2.1.3 Kesiapan-Kesiapan Dalam Menikah

Hubungan dalam pernikahan tidaklah selalu berjalan ideal, terkadang timbul pertengkaran atau kesalahpahaman. Ini membuat pasangan sadar bahwa masing-masing pasangan adalah manusia biasa yang memiliki perbedaan dan kelemahan. Oleh karena itu, diperlukan kesiapan-kesiapan dalam menikah antara lain :

1. Kematangan secara emosi

Orang yang matang secara emosi memiliki nilai-nilai yang tetap stabil dan tahu apa yang mereka inginkan, sehingga mereka mampu untuk membina dan mempertahankan hubungan intim. Kedewasaan melibatkan kemampuan untuk mencintai dan dicintai. Jika dihadapkan pada frustasi, mereka melakukan yang terbaik untuk dapat beradaptasi dengan situasi yang terjadi. Karena dalam pernikahan dituntut tanggung jawab akan komitmen seumur hidup maka orang

(28)

tersebut harus berani dan mampu menghadapi situasi-situasi sulit yang akan dihadapi.

2. Kematangan secara sosial

Orang yang matang secara sosial adalah orang yang telah mempunyai banyak pengalaman dalam kehidupan sosial. Semasa remaja, manis dan pahit yang dialami dari hubungan-hubungan yang dijalin semasa remaja, membuat orang tersebut matang secara sosial. Selain itu kehidupan sebagai single sebelum menikah juga membentuk orang menjadi matang. Sebagai single, orang menjalani hidup mandiri, mempunyai waktu luang untuk diri sendiri, bersama teman-teman, memiliki kesempatan untuk mencoba berbagai pekerjaan. Orang yang telah menikmati kebebasan sebagai single, kelak akan siap menjalani pernikahan (Blood, 1969).

3. Usia matang untuk menikah

Faktor utama dalam meramalkan suksesnya suatu pernikahan adalah faktor usia. Pernikahan muda mempengaruhi ambisi dalam pendidikan atau karir, membatasi potensi kedua pasangan, dan mengikat pasangan dalam hubungan yang keduanya belum cukup dewasa menjalankannya (Papalia, 1994). Orang yang menikah pada usia 30an, umumnya membutuhkan waktu yang lebih lama untuk penyesuaian, dan hasilnya tidak sebaik dibandingkan orang yang menikah pada usia yang lebih muda. Namun, mereka yang menikah di awal 20an cenderung melakukan penyesuaian yang sangat buruk sebagaimana yang ditunjukkan oleh tingginya angka perceraian orang yang menikah pada usia 20an ini.

(29)

4. Kesiapan penunjang (circumtantial readness)

Faktor yang turut mempengaruhi suksesnya suatu pernikahan adalah ekonomi rumah tangga tersebut, dan aspek-aspek lain yang sifatnya materi, misalnya tempat tinggal, jumlah anggaran yang dibutuhkan bersifat relatif, tergantung kebutuhan dari masing-masing pasangan. Pasangan yang telah mempunyai pekerjaan tetap atau karir, akan mampu menjalani kehidupan rumah tangga tanpa tergantung pada orang tua atau teman. Namun, pasangan yang menikah pada usia muda, dimana penghasilan masih rendah, kemungkinan untuk tergantung pada orang tua lebih besar. Terutama jika pasangan yang menikah baru menyelesaikan pendidikan, dan baru memiliki pekerjaan. Pasangan ini belum mandiri sepenuhnya dalam mengurus rumah tangga, yang memungkinkan akan menghadapi masalah yang lebih banyak.

2.1.4 Pengertian Kepuasan Pernikahan

Banyak istilah yang digunakan untuk mendefinisikan kepuasan pernikahan diantaranya kebahagiaan pernikahan (marital happiness), kualitas pernikahan (marital quality), dan penyesuaian diri pernikahan (marital adjustment). Untuk selanjutnya istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepuasan pernikahan (marital satisfaction).

Kepuasan pernikahan berasal dari dua kata yaitu kepuasan dan pernikahan. Dalam Kamus Lengkap Psikologi (Chaplin, 2008), kepuasan (satisfaction) diartikan sebagai satu keadaan kesenangan dan kesejahteraan, disebabkan karena orang telah mencapai satu tujuan atau sasaran.

(30)

Sedangkan menurut Fitzpatrick (dalam Bird&Melville, 1994) mengatakan bahwa pernikahan yang berhasil biasanya didefinisikan sebagai “stabilitas pernikahan” atau “kepuasan pernikahan”. Stabilitas pernikahan diartikan bahwa pasangan dalam pernikahan tersebut mempertahankan untuk bersama, daripada berpisah atau bercerai. Sedangkan definisi kepuasan pernikahan itu bagaimana pasangan yang menikah mengevaluasi kualitas pernikahan mereka. Pernikahan merupakan gambaran yang subyektif yang diarasakan oleh pasangan tersebut, apakah individu merasa baik, bahagia, ataupun puas dengan pernikahan yang dijalaninya.

Bradbury, dkk (2000) mendefinisikan kepuasan pernikahan ialah:

“ …reflects an evaluation in which positive features are salient and negative features are relatively absent.”

Kepuasan pernikahan menggambarkan evaluasi yang mana ciri-ciri positif menonjol dan ciri-ciri negatif relatif tidak ada. Sebaliknya, ketidakpuasan pernikahan menggambarkan evaluasi yang mana ciri-ciri negatif menonjol dan ciri-ciri positif relatif tidak ada.

Menurut Spanier (1976) kepuasan pernikahan didefinisikan sebagai proses yang terus berubah secara dimensi kualitatif yang dapat dievaluasi pada setiap dimensi waktu dengan membandingkan antara penyesuain diri yang baik dengan penyesuaian diri yang tidak baik.

(31)

Dari berbagai definisi yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan merupakan suatu perasaan yang subjektif akan kebahagiaan, kepuasan dan pengalaman menyenangkan yang dialami oleh masing-masing pasangan suami-istri.

2.1.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan

Menurut Duvall & Miller (1985) terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan, faktor tersebut terdiri dari masa lalu dan masa kini, yaitu:

Faktor Masa Lalu

1. Orang tua Kebahagiaan pernikahan orang tua

2. Masa kanak-kanak Tingkat kebahagiaan yang tinggi pada masa kanak-kanak

3. Disiplin Disiplin yang cukup tetapi dengan hukuman yang moderat

4. Pendidikan seks Pendidikan seks yang memadai dari orang tua 5. Pendidikan Minimal lulus sekolah lanjutan

6. Pergaulan Cukup waktu untuk bergaul sebelum menikah

Faktor Masa Kini

1. Afeksi Ekspresi afeksi yang terbuka satu sama lain 2. Kepercayaan Saling percaya satu sama lain

3. Equalitarian (keseimbangan)

Tidak ada pasangan yang mendominasi pasangan lainnya, keputusan-keputusan diambil bersama

4. Komunikasi Komunikasi yang bebas dan terbuka

(32)

5. Seks Saling menikmati hubungan seks

6. Kehidupan sosial Berpartisipasi bersama dalam kegiatan diluar rumah, memiliki teman bersama

7. Tempat tinggal Relatif menetap

8. Keuangan keluarga Penghasilan yang memadai

Faktor selama pernikahan adalah faktor masa kini, yaitu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tercapainya kepuasan pernikahan setelah terjadinya pernikahan. Kedua faktor tersebut merupakan faktor yang penting, tetapi karena faktor masa lalu tidak bisa diubah, dan masing-masing individu hanya bisa menerima kondisi pasangannya, faktor masa inilah yang merupakan dasar yang kuat bagi kepuasan pernikahan.

Dafidoff (1991) mengutarakan faktor penunjang kebahagiaan pernikahan yaitu: a. Taraf sosial ekonomi yang relatif tinggi. Dengan taraf sosial ekonomi yang relatif tinggi orang tidak terlalu sering harus menghadapi frustasi. Bila salah satu menghadapi stres maka hal ini dapat menjadikan beban dalam pernikahan b. Mempunyai orang tua yang bahagia. Bila mempunyai orang tua yang bahagia

berarti dia telah memperoleh guru yang baik. Anak-anak dengan orang tua bahagia akan lebih mementingkan kedamaian.

c. Kebahagiaan pribadi. Orang yang selalu hidup dengan senang dan ceria barangkali akan dapat hidup bersama dengan siapapun. Sedangkan orang yang sudah cukup puas lebih menekankan pada aspek positif meskipun pernikahannya dihadang dengan berbagai kesulitan.

(33)

d. Jalinan kasih mesra yang lama dengan kedamaian. Hal ini bisa menandakan bahwa masing-masing pihak saling mengenal satu sama lain dengan baik, dan selalu siap mengambil keputusan yang rasional serta bertanggung jawab tentang seluruh masalah yang dihadapi.

e. Pernikahan yang tidak terlalu muda. Orang yang sudah dewasa biasanya tidak akan terlalu gegabah dalam mengambil keputusan yang atas satu permasalahan, dan pernikahan yang tidak terlalu muda biasanya diiringi keadaan sosial ekonomi yang sudah lebih baik. Papalia Olds (dalam Adhim, 2002) mengemukakan usia terbaik untuk menikah bagi perempuan adalah 20 tahun, sedangkan bagi laki-laki usia 25 tahun diharapkan sudah menikah. Ini adalah usia terbaik untuk menikah, baik untuk memulai kehidupan rumah tangga maupun untuk mengasuh anak pertama (the first time parenting)

Dalam penelitian ini, faktor yang akan dilihat untuk memprediksi kepuasan pernikahan pasangan adalah pernikahan yang tidak terlalu muda, yang berkaitan dengan usia yang matang serta pola atau gaya pengungkapan emosi oleh pasangan yang cenderung berbeda.

2.1.6 Komponen-Komponen Kepuasan Pernikahan

Fizpatrick (dalam Bird & Melville, 1994) menjelaskan bahwa penelitian kepuasan pernikahan secara umum memberikan pertanyaan mengenai :

a. Jumlah konflik pasangan.

b. Tingkat kecocokan pasangan mengenai pentingnya sebuah keyakinan tertentu, pandangan-pandangan, dan nilai-nilai.

c. Berapa sering pasangan melakukan sesuatu bersama-sama.

(34)

d. Seberapa bahagia pasangan menilai pernikahan mereka. e. Apakah mereka berfikir pernikahan mereka akan bertahan.

Menurut Sternberg (dalam Dariyo, 2003) adanya kepuasan pernikahan adalah adanya rasa cinta dalam individu tersebut. Sternberg menjelaskan dalam teori segitiga cinta (triangular theory of love), unsur cinta terdiri dari tiga jenis, yaitu : a. Intimacy (elemen emosional: keakraban,keinginan untuk mendekat, memahami

kehangatan, menghargai, kepercayaan). Intimacy mengandung pengertian sebagai elemen afeksi yang mendorong individu untuk selalu melakukan kedekatan emosional dengan orang yang dicintainya.

b. Passion (elemen fisiologis:dorongan nafsu biologis atau seksual). Passion merupakan elemen fisologis yang menyebabkan seseorang merasa ingin dekat secara fisik, menikmati/merasakan sentuhanfisik, ataupun melakukan hubungan seksual dengan pasangan hidupnya.

c. Commitment (elemen kognitif: tekad untuk mempertahankan keutuhan hubungan cinta dengan orang lain yang dicintainya). Komitmen adalah elemen kognitif yang mendorong individu tetap mempertahankan keutuhan hubungan cinta dengan pasangan hidup yang dicintainya.

Sedangkan Spainer (1976) mendefinisikan kepuasan pernikahan dengan empat komponen, diantaranya :

a. Dyadic Consensus (kesepakatan)

Kesepakatan berhubungan dengan persepsi pasangan mengenai berapa banyak persetujuan yang mereka bagi pada 15 masalah penting mengenai pernikahan diantaranya keuangan keluarga, rekreasi, agama, teman, karier,

(35)

tugas rumah tangga, menghabiskan waktu bersama filosofi kehidupan dan membesarkan anak.

b. Dyadic Cohesion (perpaduan atau kekompakkan)

Merujuk pada bagaimana pasangan bekerja sama dalam setiap pekerjaan atau mempunyai waktu yang tepat untuk bersama.

c. Affectional Expression (ekspresi kasih sayang)

Berhubungan dengan apakah pasangan itu pernah tidak setuju tentang sex atau ekspresi kasih sayang lainnya.

d. Dyadic Satisfaction (kepuasan)

Meliputi perkiraan seberapa sering pasangan memiliki ketidakpuasan yang serius dalam sebuah ikatan pernikahan serta bagaimana komitmen masing-masing pasangan dalam mempertahankan pernikahan.

Peneliti menggunakan komponen-komponen kepuasan menurut teori Spainer (1976) untuk mengukur kepuasan pernikahan pada dewasa awal, karena komponen-komponen ini yang sesuai dengan tujuan penelitian dari kepuasan pernikahan, yaitu Dyadic Consensus (kesepakatan), Dyadic Cohesion (perpaduan atau kekompakkan), Dyadic, Affectional Expression (ekspresi kasih sayang), Dyadic Satisfaction (kepuasan)

2.2 Kematangan Emosi

2.2.1 Pengertian Kematangan Emosi

(36)

Smitson (dalam Katkovsky dan Garlow, 1976) mendefinisikan kematangan emosi sebagai suatu proses dimana kepribadian secara berkesinambungan berupaya mencapai kematangan emosi yang sehat serta lebih besar baik secara intrafisik maupun interpersonal.

Sebagai suatu proses yang berkesinambungan kematangan emosi sulit ditentukan batas akhirnya. Hal ini disebabkan oleh karakteristik manusia yang tidak pernah puas sehingga proses pencapaian kematangan emosi yang lebih besar dan lebih besar lagi dapat dikatakan tidak pernah terhenti. Adapun yang dimaksud dengan mencapai kematangan emosi secara intrafisik adalah mencapai kematanagn emosi sedemikian rupa sehingga perangkat emosi yang bersifat ketubuhan atau fisik seperti jantung, pembuluh darah dan lain-lainnya mencapai kesehatan. Sementara yang dimaksud dengan mencapai kematangan emosi secara interpersonal adalah mencapai kematangan emosi dengan jalan membina keharmonisan hubungan pribadi yakni antara individu dengan orang lain semakin baik.

Hurlock (1980) mengemukakan bahwa petunjuk kematangan emosi pada diri individu adalah kemampuan individu untuk menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti anak-anak atau orang yang tidak matang, sehingga akan menimbulkan reaksi emosional yang stabil dan tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke emosi atau suasana hati yang lain. Individu dikatakan telah mencapai kematangan emosi apabila mampu mengontrol dan mengendalikan emosinya sesuai dengan taraf perkembangan emosinya.

(37)

Sedangkan kematangan emosi menurut Rice (dalam jurnal ISSN, 2009) menyatakan suatu keadaan untuk menjalani kehidupan secara damai dalam situasi yang tidak dapat diubah, tetapi dengan keberanian individu mampu mengubah hal-hal yang sebaiknya diubah, serta adanya kebijaksanaan untuk menghargai perbedaan.

Dari definisi-definisi yang telah disebutkan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kematangan emosi adalah suatu proses dimana individu mampu untuk mengontrol dan mengendalikan emosinya dalam menghadapi berbagai situasi, sehingga dapat mencapai tingkat dimana individu tersebut mampu menguasai emosinya dengan lebih baik. Hal ini ditunjukkan dengan berkembang kearah kemandirian, mampu menerima kenyataan, mampu beradaptasi, mampu merespon dengan tepat, kapasitas untuk seimbang, mampu berempati dan mampu menguasai amarah.

2.2.2 Karakteristik Kematangan Emosi

Individu yang matang emosinya akan menunjukkan pola tingkah laku tertentu yang berbeda dengan individu-individu yang tidak matang emosinya. Kesimpulan mengenai kematangan emosi seseorang dapat dibuat berdasarkan tingkah laku yang ditampilkan dan berdasarkan seberapa sering seseorang menampilkan tingkah laku tersebut.

Tingkah laku sering ditampilkan dapat dijadikan ciri atau karakteristik kematangan emosi seseorang. Adapun beberapa ahli yang berusaha menjabarkan karakteristik kematangan emosi adalah Smitson seperti dikutip Kataskovsky, W dan Garlow, L (1976) mengemukakan tujuh kriteria kematangan emosi:

(38)

a. Berkembang kearah kemandirian (toward independent)

kemandirian merupakan kapasitas seseorang untuk mengatur kehidupannya sendiri, individu lahir kedunia dalam keadaan tergantung pada orang lain namun dalam perkembangannya mereka belajar untuk mandiri dan mengendalikan dorongan yang bersifat pleasure-oriented artinya mereka mampu memutuskan apa yang dikehendaki dan bertanggung jawb terhadap keputusan tersebut

b. Mampu menerima kenyataan (ability to accept reality)

Seorang yang matang bisa menerima kenyataan hidup baik yang positif maupun yang negatif tidak menyangkal atau lari darinya. Ia menggunakan apa yang ada pada dirinya untuk menghadapi kenyatan tersebut dan secara efektif mengembangkan pola tingkah laku dan pola hubungan dengan orang lain. c. Mampu beradaptasi (adaptability)

Menurut Smitson (1976) aspek ini merupakan yang terpenting dalam kematangan emosi, yang matang emosinya mampu beradaptasi dan menerima beragam karakteristik orang serta mampu menghadapi situasi apapun maksudnya, ia dapat dengan fleksibel berhubungan dengan orang atau situasi tertentu secara produktif. Namun bagi mereka yang tidak matang lebih kaku (rigid), mudah menjatuhkan penilaian (judmental), defensif dan menolak (rejecting). Keadaan ini dapat disebabkan karena mereka terlalu sibuk dengan diri sendiri atau adanya konflik internal maupun eksternal yang berkepanjangan.

d. Mampu merespon dengan tepat (readiness to responed)

(39)

Individu yang matang emosinya memiliki kepekaan untuk berespon terhadap kebutuhan emosi orang lain, baik yang diekspresikan maupun yang tidak diekspresikan. Hal ini melibatkan kesadaran bahwa setiap individu unik, memiliki hak dan perasaan.

e. Kapasitas untuk seimbang (capacity to balance)

Seseorang yang kurang matang memandang segala sesuatu dengan pertimbangan apa yang akan ia dapatkan dari situasi atau orang, sedangkan pada individu yang matang emosinya mereka akan menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan sendiri dan orang lain. Mereka mempertimbangkan pula hal-hal apa yang mampu mereka berikan orang yang tingkat kematangan emosi yang cukup tinggi menyadari bahwa sebagai makhluk sosial ia memiliki ketergantungan pada orang lain.

f. Mampu berempati (empatic understanding)

Empati adalah kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain dan memahami apa yang mereka pikir atau rasakan. Dengan kemampuan ini, individu tidak hanya mengetahui apa yang dirasakan orang lain tetapi juga memahami hal-hal dibalik munculnya perasaan tersebut. Empati dapat dikembangkan jika individu tidak lagi perhatian pada diri sendiri.

g. Mampu menguasai amarah (controlling anger)

Menerima rasa marah serta kesadaran akan adanya perasaan-perasaan lain yang mendasari kemarahan tersebut akan membantu mengetahui rasa marah dan menyalurkannya dengan cara yang konstruktif. Individu yang matang

(40)

emosinya dapat mengetahui hal-hal apa saja yang dapat membuatnya marah maka ia dapat mengendalikan perasaan marahnya.

2.2.3 Ciri-ciri Orang yang Matang Emosi

Menurut Hollingwort seperti yang dikutip oleh Jersild (1965), ciri-ciri orang yang matang emosinya adalah:

a. Mampu memberikan reaksi emosional secara bertahap

b. Individu yang matang emosinya dapat mengendalikan emosi bila menghadapi situasi tertentu, dan menunggu waktu yang tepat untuk memberi respon yang tepat sesuai dengan situasi yang dihadapi

c. Tidak menunjukkan kekecewaan yang berlebihan. Ini terlihat pada caranya memberikan atau mengatasi rasa kasihan pada diri sendiri.

Menurut Maslow dalam Dariyo (2003) bahwa individu yang mengalami kematangan emosi memperlihatkan beberapa ciri:

a. Tak ada sindrom atau gangguan psikoneurotik, seperti rasa takut, khawatir dan cemas yang tidak beralasan

b. Mampu memandang hidup dan kehidupan pribadinya secara positif yaitu memiliki insting atau pemahaman dan penerimaan yang baik

c. Mempunyai spontanitas, mampu bertingkah laku yang wajar dan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan yang berlangsung

d. Mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi secara objektif e. Tidak tergantung pada orang lain secara berlebihan

2.3 Dewasa Awal

2.3.1 Pengertian Dewasa Awal

(41)

Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adults yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa. Oleh karena itu orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya (Hurlock, 1999).

Sebagai seorang individu yang sudah tergolong dewasa peran dan tanggung jawabnya tentu makin bertambah besar. Ia tak lagi harus bergantung secara ekonomis, sosiologis maupun psikologis pada orang tuanya (Dariyo, 2003).

Hurlock (1999) mengatakan bahwa masa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun, saat pertumbuhan-pertumbuhan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif. Sementara itu, Santrock (dalam Dariyo, 2003) mengatakan bahwa secara umum mereka yang tergolong dewasa awal (young adulthood) ialah mereka yang berusia 20-40 tahun. Valliant (dalam Papalia, dkk 1998) membagi tiga masa dewasa awal yaitu masa pembentukkan, masa konsolidasi dan masa transisi. Masa pembentukkan dimulai pada usia 20 hingga 30 tahun dengan tugas perkembangan mulai memisahkan diri dari orang tua, membentuk keluarga baru dengan pernikahan dan mengembangkan persahabatan. Masa konsolidasi (usia 30-40 tahun) merupakan masa konsolidasi karir dan memperkuat ikatan pernikahan, sedangkan masa transisi (sekitar usia 40-tahun) merupakan masa meninggalkan kesibukan pekerjaan dan melakukan evaluasi terhadap hal yang telah diperoleh.

Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa dewasa awal adalah individu yang menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam

(42)

masyarakat, pertumbuhan aspek-aspek fisiologis telah mencapai posisi puncak dan berusia antara 20 hingga 40 tahun.

2.3.2 Tahap Perkembangan Dewasa Awal

Menurut Hurlock (1999), dewasa awal dimulai pada usia 18 tahun sampai kira-kira usia 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif. Tugas perkembangan utama dari periode dewasa awal antara lain meninggalkan rumah, memilih dan mulai mempersiapkan karir, membangun hubungan dekat seperti pesahabatan dan pernikahan, dan mulai membentuk keluarga sendiri (Duffy & Atwater, 2005) .

Masa dewasa awal terkadang juga menjadi penanda bahwa seseorang sudah cukup layak untuk memasuki kehidupan rumah tangga dan membentuk keluarga baru. Hal ini memang didukung oleh perkembangan fisik yang dialami oleh dewasa awal karena setelah melewati masa remaja, golongan dewasa awal semakin memiliki kematangan fisiologis (seksual) sehingga mereka siap melakukan tugas reproduksi yaitu mampu melakukan hubungan seksual dengan lawan jenisnya, asalkan memenuhi persyaratan yang sah (pernikahan resmi). Oleh karena itu, mereka akan berupaya mencari calon teman hidup yang cocok untuk dijadikan pasangan dalam pernikahan atau membentuk kehidupan rumah tangga berikutnya ( Dariyo, 2003).

2.3.3 Karakteristik Dewasa Awal

Setiap tahap perkembangan mempunyai karakteristik tersendiri. Seperti halnya tahap perkembangan lain, masa dewasa awal ditandai dengan berbagai karakteristik khas. Dariyo (2003) mengatakan bahwa secara fisik, seorang dewasa

(43)

awal (young adulthood) menampilkan profil yang sempurna dalam arti bahwa pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek fisiologis telah mencapai posisi puncak. Mereka memiliki daya tahan dan taraf kesehatan yang prima sehingga dalam melakukan berbagai kegiatan tampak inisiatif, kreatif, energik, cepat dan proaktif.

Dalam perkembangan psikososial masa dewasa awal terdapat krisis intimacy versus isolation (Erickson dalam Papalia, dkk: 1998) pada dewasa awal inilah individu membuat komitmen personal yang dalam dengan orang lain, yakni dengan membentuk keluarga. Apabila individu dewasa awal tidak mampu melakukannya, maka akan merasa kesepian dan krisis keterasingan (isolation).

Valliant (dalam Papalia. dkk, 1998) mengatakan bahwa masa dewasa awal ini merupakan masa adaptasi dengan kehidupan. Sekitar usia duapuluhan hingga tiga puluh individu dewasa awal mulai membangun apa yang ada pada dirinya, mencapai kemandirian, menikah, mempunyai anak, dan membangun persahabatan yang erat. Valliant (dalam Papalia, olds, & Feldmen, 1998) mengidentifikasi empat karakter dari masa dewasa awal sebagai mekanisme adaptasi yaitu menjadi matang, tidak matang, psikosis, neurosis. Individu yang matang, secara fisik dan mental lebih sehat, lebih bahagia, dan lebih puas dalam kehidupan pribadinya.

Sementara itu menurut Havighurst (dalam Dariyo,2003) menjelaskan beberapa tugas perkembangan pada masa dewasa awal, diantaranya mencari dan menemukan calon pasangan hidup, membina kehidupan rumah tangga, meniti karier dalam rangka memantapkan kehidupan ekonomi rumah tangga dan menjadi warga negara yang bertanggung jawab.

(44)

2.3.4 Kematangan Emosi Pada Dewasa Awal

Tahapan dewasa awal dimulai umur 18 tahun sampai kira-kira 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif (Hurlock, 1999). Lebih lanjut Hurlock menekankan untuk mencapai kematangan emosi harus belajar memperoleh gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional. Adapun caranya dengan membicarakan berbagai masalah pribadi dengan orang lain. Hurlock juga mengungkapkan bahwa pada dewasa awal sebagai masa ketegangan emosional dimana seseorang bingung dan mengalami keresahan emosional.

Pada masa dewasa awal, perkembangan dan pembentukan sikap dapat terjadi secara maksimum dan diharapkan pada periode ini individu dapat mencapai tingkat kematangan. Menurut Allport (dalam Duane Schultz, 2005) ada enam dimensi kematangan pada masa dewasa awal. Enam dimensi ini mencakup : 1. Perluasan diri

Individu secara bertahap memperluas pemahaman mereka yang meliputi berbagai segi atau unsur lingkungan pada awalnya keterlibatan individu terbatas dalam keluarga, tapi dengan berjalannya waktu maka keterlibatannya berkembang dengan kelompok teman sebaya dalam kegiatan sekolah dan sebagainya.

2. Berhubungan hangat dengan Orang Lain

Kapasitas intiminasi kearah ingin menyenangkan hati orang lain. Intiminasi diartikan sebagai memahami, penerimaan, dan empati terhadap orang lain. 3. Rasa Aman Emosional

(45)

Ada 4 hal penting dalam hal ini, yaitu: (1) penerimaan diri adalah kemampuan untuk mengakui diri kita seutuhnya dalam kekurangan atau ketidaksempurnaan kita, (2) penerimaan emosi yang matang, orang menerima emosinya sebagai bagian yang wajar, (3) toleransi terhadap frustasi adalah kapasitas untuk tetap berfungsi meskipun dalam keadaan stres sejauhmana keyakinan kita dalam pengungkapan diri kita itu diperhatikan, (4) percaya diri, orang yang sadar akan emosinya sendiri tidak merasa takut diperhatikan memiliki kontrol dalam pengungkapan diri mereka

4. Persepsi yang realistik

Dalam hal ini, kematangan diartikan sebagai tetap berhubungan dengan realita tanpa mengubah lingkungan untuk melihat tujuan dan kebutuhan individu. 5. Keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki

Seseorang yang memiliki beberapa keterampilan dasar, sebenarnya tidak memungkinkan untuk memelihara kenyamanan yang penting untuk berkembangnya kematangan orang yang memiliki kemampuan atau orang yang terampil di dirinya oleh kebutuhan untuk menunjukkan kemampuan melalui berbagai jenis kegiatan

6. Pengetahuan atau pemahaman diri

Menurut Allport, pengetahuan akan diri mencakup tiga kapasitas: mengetahui apa yang dapat dilakukan, tidak dapat dilakukan dan yang harus dilakukan.

2.4Kerangka Berpikir

(46)

Pernikahan adalah dasar pertama bagi pertahanan suatu rumah tangga dalam masyarakat. Pasangan suami istri yang bersangkutan tentu menginginkan pernikahan yang langgeng seumur hidup dan memperoleh kepuasan dalam pernikahan mereka. Kepuasan dalam pernikahan tidak akan muncul dengan sendirinya, tetapi harus diusahakan dan diciptakan oleh kedua individu tersebut. Di dalam suatu pernikahan setiap pasangan suami istri akan berusaha untuk mencapai kepuasan pernikahan, diantara berbagai macam faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan diantaranya adalah kematangan emosi dan usia pada saat memasuki pernikahan.

Kematangan emosi merupakan salah satu faktor yang cukup penting untuk menjaga kelangsungan pernikahan. Jika terjadi konflik dalam kehidupan rumah tangga akan sulit untuk diselesaikan, jika salah satu pasangan atau kedua pasangan tidak memiliki kematangan emosi yang baik dalam menyelesaikan masalah tersebut. Bahkan banyak pasangan yang memutuskan untuk pisah ranjang atau bahkan memilih untuk bercerai. Salah satu ciri dari individu yang matang emosinya menurut Katkovsky&Garlow (1976) adalah mampu berkembang kearah kemandirian, dimana individu mampu memutuskan apa yang dikehendaki dan bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambilnya tanpa bergantung pada orang lain. Mampu menerima kenyataan, seorang yang matang emosinya mampu menerima kenyataan dalam hidupnya baik yang positif maupun yang negatif. Mampu beradaptasi, dimana seorang yang telah matang emosinya mampu menempatkan dirinya pada situasi apapun. Memiliki kapasitas untuk seimbang, seseorang yang matang emosinya maka akan mampu menyeimbangkan

(47)

pemenuhan kebutuhan dirinya sendiri dan pasangannya. Mampu berempati dan merespon dengan tepat, dengan memilik kemampuan ini individu dapat merasakan apa yang dirasakan oleh pasangan dan kemudian dapat merasakan kepekaan terhadap emosi pasangan. Serta mampu menguasai amarah, seorang yang matang emosinya maka akan mampu menempatkan dirinya pada saat menyalurkan rasa marahnya serta ia akan mampu untuk dapat mengendalikan perasaan amarahnya.

Oleh karena itu, mereka yang memiliki kematangan emosi ketika memasuki pernikahan cenderung lebih mampu mengelola perbedaan yang ada diantara mereka jika terjadi konflik dalam rumah tangganya. Jadi dengan demikian dapat diasumsikan bahwa orang yang matang secara emosional memiliki kepuasan dalam pernikahannya dibandingkan dengan orang yang tidak matang secara emosional.

Faktor lain dalam kepuasan pernikahan adalah usia yang matang. Usia yang matang memasuki pernikahan merupakan salah satu aspek yang berpengaruh terhadap kepuasan pernikahan. Karena dengan usia yang matang, seorang individu dapat berpikir positif dan memiliki kedewasaan berpikir dalam menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi. Selain itu, dengan matangnya usia seseorang maka mereka akan mampu mengambil keputusan atau pertimbangan-pertimbangan yang sehat dan berdasar dalam memutuskan suatu masalah, dapat menimbang baik dan buruk dengan ilmu yang memadai, serta dapat bersikap mandiri. Bila kematangan emosi dan usia telah matang, dan didukung dengan cara berpikir yang baik sehingga akan dengan mudah menyelesaikan masalah-masalah

(48)

yang terjadi dalam kehidupannya maka akan menciptakan kepuasan dalam pernikahannya.

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

Usia Saat Menikah

Kepuasan Pernikahan Kematangan Emosi

1. Berkembang kearah kemandirian 2. Mampu menerima

kenyataan 3. Mampu

beradaptasi 4. Mampu merespon

dengan tepat 5. Kapasitas untuk

seimbang

6. Mampu berempati 7. Mampu menguasi

amarah Dewasa awal

yang menikah

(49)

39 2.5Hipotesis

Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Ha : Ada pengaruh positif yang signifikan kematangan emosi dan usia saat

menikah secara bersama terhadap kepuasan pernikahan

(50)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Dalam bab ini peneliti akan menjelaskan mengenai metode dan hal-hal yang menentukan penelitian, sebagai berikut: pendekatan penelitian, variabel penelitian, populasi dan sampel, metode dan instrumen pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat ukur dan teknik analisa data.

3.1Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Menurut Sugiyono (2009) penelitian kuantitatif adalah penelitian yang datanya berbentuk angka-angka dan dianalisis menggunakan statistik. Pendekatan ini dipilih karena peneliti mengolah data dalam bentuk angka-angka ke dalam analisis statistik. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian non-eksperimental dengan melakukan pengukuran pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat tanpa memberikan perlakuan-perlakuan khusus terhadap variabel terikat. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh kematangan emosi dan usia saat menikah terhadap kepuasan pernikahan pada dewasa awal di wilayah RT.012 / 04 susukan ciracas Jakarta Timur.

3.2 Variabel Penelitian

3.2.1 Definisi Konseptual Variabel Penelitian

1. Kematangan emosi adalah suatu proses dimana individu mampu untuk mengontrol dan mengendalikan emosinya dalam menghadapi berbagai situasi, sehingga dapat mencapai tingkat dimana individu tersebut mampu menguasai emosinya dengan lebih baik.

(51)

2. Kepuasan pernikahan merupakan suatu perasaan yang subjektif akan kebahagiaan, kepuasan dan pengalaman menyenangkan yang dialami oleh masing-masing pasangan suami istri dengan mempertimbangkan keseluruhan komponen dalam pernikahan.

3. Usia memasuki pernikahan adalah usia dimana seseorang itu telah cukup untuk melangkah kejenjang pernikahan. Usia pernikahan ditunjukkan oleh data yang diperoleh dari pertanyaan singkat sekitar pernikahannya terutama usianya saat melakukan pernikahan. Sampel yang diambil dalam penelitian ini usia 20-40 tahun namun setelah penelitian, ditemukan usia menikah paling cepat 20 tahun dan usia 30 tahun adalah usia maksimal menikah.

3.2.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Kematangan emosi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah skor yang diperoleh dari hasil pengukuran kematangan emosi yang dialami oleh dewasa awal dimana di dalamnya mencakup aspek-aspek penilaian dalam hal: Berkembang kearah kemandirian (toward independent), mampu menerima kenyataan (ability to accept reality), mampu beradaptasi (adaptability), mampu merespon dengan tepat (readiness to responed), kapasitas untuk seimbang (capacity to balance), mampu berempati (empatic understanding), mampu menguasai amarah (controlling anger) dengan menggunakan skala likert.

2. Kepuasan pernikahan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah skor yang diperoleh dari hasil pengukuran kepuasan pernikahan yang dialami dewasa awal dimana didalamnya mencakup komponen-komponen penilaian dalam

(52)

3. Usia memasuki pernikahan adalah usia dimana seseorang itu telah cukup untuk melangkah kejenjang pernikahan. Usia pernikahan ditunjukkan oleh data yang diperoleh dari pertanyaan singkat sekitar pernikahannya terutama usianya saat melakukan pernikahan.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah dewasa awal laki-laki ataupun perempuan yang menikah yang tinggal di wilayah RT. 012 / 04 susukan ciracas Jakarta Timur. Dalam penelitian ini, jumlah sampel penelitian sebanyak 100 orang sampel dari jumlah populasi 100 orang.

3.3.1 Teknik Pengambilan Sampel

Adapun teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Dimana peneliti menentukan sampel berdasarkan individu yang sesuai dengan kriteria sampel yang telah ditentukan oleh peneliti. Yang menjadi karakteristik sampel dalam peneltian ini adalah sebagai berikut:

1. Dewasa awal laki-laki atau perempuan yang menikah, 2. Berusia 20 sampai 40 tahun,

3. Tinggal di wilayah RT 012 / 04 susukan ciracas Jakarta Timur 4. Usia pernikahan 1 - 15 tahun dan tidak pernah bercerai

(53)

3.4 Teknik Pengambilan Data

Untuk mengumpulkan data, instrumen yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah skala. Skala yang digunakan adalah skala kematangan emosi dan skala kepuasan pernikahan yang disajikan dalam bentuk tabel yang telah berisi pernyataan-pernyataan sesuai dengan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Kedua skala disusun dalam model skala likert, pada penelitian ini peneliti hanya menggunakan empat pilihan jawaban dengan meniadakan kategori jawaban di tengah atau netral, karena dapat menimbulkan kecenderungan subjek untuk menjawab di tengah terutama bagi subjek yang ragu-ragu atas arah jawabannya dan mendorong subjek untuk memutuskan sendiri apakah positif atau negatif (Sevilla, 1993).

Peneliti membagi dua kategori item pernyataan, favourable dan unfavourable dan menentukan bobot nilai.

Tabel 3.1

Format Skoring Skala Kematangan Emosi

Pilihan Jawaban Favorable Unfavorable

SS (Sangat Setuju) 4 1

S (Setuju) 3 2

TS (Tidak Setuju) 2 3

STS (Sangat Tidak Setuju) 1 4

(54)

Tabel 3.2

Format Skoring Skala Kepuasan Pernikahan

Pilihan Jawaban Favorable Unfavorable

SS (Sangat Setuju) 4 1

S (Setuju) 3 2

TS (Tidak Setuju) 2 3

STS (Sangat Tidak Setuju) 1 4

Pilihan Jawaban Favorable Unfavorable

SL (Selalu) 4 1

SR (Sering) 3 2

KD (Kadang-Kadang) 2 3

TP (Tidak Pernah) 1 4

3.4.1 Instrumen Pengambilan Data

Sedangkan pengukurannya, peneliti menggunakan skala psikologi berupa angket yang dibuat berdasarkan indikator dari masing-masing variabel. Untuk skala kepuasan pernikahan disusun berdasarkan teori Spainer (1976) yang telah dimodifikasi sebelumnya oleh peneliti. Sedangkan skala kematangan emosi peneliti mengacu pada teori Smitson dan Katkovsky (1976).

1.Skala Kepuasan Pernikahan

Untuk mengukur kepuasan pernikahan pada penelitian ini menggunakan skala model Likert, berdasarkan teori yang dipaparkan Spainer (1976). Adapun tabel distribusi penyebaran item kepuasan pernikahan sebagai berikut :

(55)

Tabel 3.3

Blue Print Skala Kepuasan Pernikahan No Item

4 Affectional Expression

(ekspresi kasih sayang)

4,6 16,17 4

Jumlah 26 14 40

2. Skala Kematangan Emosi

Untuk mengukur kematangan emosi pada penelitian ini menggunakan skala model Likert, berdasarkan teori Smitson dan Katkovsky (1976) mengenai kematangan emosi. Adapun tabel distribusi penyebaran item skala kematangan emosi sebagai berikut :

(56)

Tabel 3.4

Blue-print Skala Kematangan Emosi

(57)

5 Kapasitas untuk

3.5Teknik Analisis Data

3.5.1 Uji Reliabilitas

Untuk mencari nilai estivasi reliabilitas dari instrumen yang digunakan, peneliti menggunakan teknik Alpha Cronbach, yang dilakukan dengan membelah

(58)

item menjadi dua belahan yang jumlahnya sama. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan software SPSS.versi. 16.00

3.5.2 Uji Validitas

Pengujian validitas dilakukan untuk mengetahui apakah alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini benar-benar mengukur apa yang hendak diukur. Pengujian validitas item alat ukur dalam penelitian ini dilakukan dengan korelasi product moment.

3.5.3 Regresi Berganda

Peneliti menggunakan analisis regresi berganda, sebab dalam penelitian ini terdapat dua variabel prediktor dan satu variabel kriterium. Dalam penelitian ini untuk mendapatkan hasil analisis regresi berganda, peneliti menggunakan software SPSS versi 16.00

3.6 Prosedur Penelitian

Prosedur dalam penelitian ini dilakukan melalui empat tahapan umum, yakni sebagai berikut:

1. Persiapan Penelitian

- Dimulai dengan perumusan masalah. - Menentukan variabel yang akan diteliti.

- Melakukan studi pustaka untuk mendapatkan gambaran dan landasan teori yang tepat mengenai variabel penelitian.

- Menentukan, menyusun dan menyiapkan alat ukur yang digunakan dalam penelitian, skala kepuasan pernikahan dan kematangan emosi

- Menentukan lokasi dan menyelesaikan administrasi perizinan.

(59)

2. Pengujian Alat Ukur

Setelah alat ukur kematangan emosi dan kepuasan pernikahan dibuat, peneliti melakukan uji coba skala. Uji coba skala dilakukan untuk melihat tingkat validitas dan reliabilitas alat ukur. Uji coba dilakukan pada tanggal 10 Agustus 2010 pada dewasa awal wilayah RT. 010 / 07 Jakarta Timur, yang memiliki karakteristik mirip dengan responden penelitian.

Uji coba dilakukan dengan menyebarkan angket skala kematangan emosi dan kepuasan pernikahan kepada 38 orang responden. Setelah uji coba dilakukan, peneliti melakukan uji validitas dan reliabilitas. Uji validitas skala dilakukan dengan memilih item-item dari skala yang valid dan penghitungannya menggunakan software SPSS versi 16.00. Dari uji reliabilitas diperoleh reliabilitas skala kematangan emosi sebesar 0,842 dan skala kepuasan pernikahan 0.835. Kedua alat ukur ini dapat disimpulkan memiliki reliabilitas yang baik karena suatu konstruk atau variabel dikatakan reliabel jika memberikan nilai cronbach alpha > 0.60.(Sunyoto: 2009)

Adapun distribusi item setelah dilakukan uji validitas pada skala kematangan emosi dan kepuasan pernikahan adalah sebagi berikut:

Gambar

Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Tabel 3.1 Format Skoring Skala Kematangan Emosi
Tabel 3.2
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adapun Faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapan menikah pada wanita usia dewasa awal yaitu meliputi sifat individu yang terlalu idealis mengenai pria, kurang percaya diri

Variabel yang dikaji dalam penelitian ini adalah pengaruh kematangan emosi terhadap penyesuaian perkawinan pada rumah tangga usia dini. Variabel terikat adalah

Kematangan emosi adalah hal yang harus dimiliki oleh seorang yang telah menikah, termasuk juga untuk mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang sudah menikah agar bisa

Dinamika Pengaruh Kematangan Emosi dengan Penyesuaian Diri Remaja Putri Yang Menikah Muda. Masa remaja ditandai oleh perubahan fisik dan psikologis,

Menurut keseluruhan mahasiswa, faktor kesiapan menikah yang penting bagi perempuan adalah kesiapan emosi, kesiapan peran, kesiapan finansial, kesiapan fisik, kesiapan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasangan yang menikah muda baik suami maupun istri memiliki kematangan emosi dan komunikasi interpersonal yang tinggi.. Hal

Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara kematangan emosi dengan kepuasan pernikahan pada istri yang bekerja.. Namun, kontribusi kematangan

Kematangan emosi yang tinggi diindikasikan bahwa mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro berada dalam perkembangan emosional yang sudah mencapai tingkat