• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh industrialisasi dan pesantern Nahjussalam terhadap budaya politik masyarakat Kampung Panyawungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh industrialisasi dan pesantern Nahjussalam terhadap budaya politik masyarakat Kampung Panyawungan"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

¯2lµƒo

Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

limpahan rahmat dan karunianya kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PENGARUH INDUSTRIALISASI

DAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM TERHADAP BUDAYA

POLITIK MASYARAKAT KAMPUNG PANYAWUNGAN” sebagai bentuk

artikulasi penulis dan bagian dari tugas penulis sebagai akademisi di Fakultas

Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi khususnya di program studi Komunikasi dan

Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tak lupa pula shalawat beserta

salam yang tak henti-henti semoga selalu tercurah limpahkan kehadirat baginda

besar kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya kepada

kebenaran hakiki.

Andai saja orangtua tidak memiliki angan untuk keadaan yang lebih baik

bagi anaknya, penulis tidak akan pernah menjadi pegejar impian. Angan orangtua

dan impian si anak disambut tangan kedermawanan Ardita Retno Caesari hingga

si anak mengecap jenjang pendidikan tinggi.

Skripsi ini merupakan bagian dedikasi dan penghargaan kepada mereka

yang telah banyak melimpah-ruahkan kasih sayangnya. Maka tidak heran jika

skripsi ini banyak mengambil data dari hasil rekaman hidup penulis jauh di masa

lalu.

Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari

berbagai pihak yang selama ini telah banyak sekali membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini sampai akhir. Sebagai bentuk penghargaan yang tak

terhingga kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam

merampungkan skripsi ini, maka izinkanlah penulis mengungkapkan ucapan

terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada :

1. Kepada Bapak Dr. Arief Subhan MA, sebagai Dekan Fakultas Ilmu

Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Drs. Wahidin Saputra MA, sebagai

(2)

Study Rizal, LK. MA, sebagai Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan.

2. Kepada bapak Drs. Jumroni M.Si, sebagai Ketua Jurusan Komunikasi dan

Penyiaran Islam (KPI), dan ibu Umi Musyarofah MA, sebagai sekretaris

Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), yang telah membantu dalam

memberikan informasi akademik dan penyusunan transkip nilai penulis.

Dan kepada ibu Dra. Hj. Asriati Jamil sebagai Dosen Penasihat akademik

KPI C angkatan 2006, yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan

proposal skripsi ini.

3. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Pembimbing,

yaitu bapak Dr. Syihabudin Noor, M.Ag, yang telah banyak meluangkan

waktunya untuk membantu, mengarahkan, membimbing, memberi

masukan, saran serta kritiknya yang membangun dalam penyelesaian

skripsi ini. Terima kasih atas kesabaran bapak dalam memberikan

bimbingan ini.

4. Kepada segenap dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, saya

ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya karena telah membantu

memberi masukan penulis mengenai penelitian ini.

5. Pimpinan dan seluruh Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.

6. Keluarga besar Pondok Pesantren Nahdjussalam yang telah mengijinkan

penulis untuk melakukan penelitian di institusi tersebut. Sifat kooperatif

seluruh keluarga dalam penelitian ini, semoga berbalik manfaat bagi

eksistensi pondok.

7. Terimakasih kepada KH. Athoillah, ustadz Bibin, ustadz Dede Abdul

Kholik, ustadz Tb. Cecep, bapak Dudung, bapak Iin Zainal Abidin, bapak

Iwan M. Fallah, bapak E. Zaenudin, seluruh pemuda Seuweu Putu, Karang

Taruna RW. 03, aparat Desa, serta seluruh masyarakat yang telah

(3)

iv   

8. Untuk teman-teman KPI C angkatan 2006, khususnya Pipit Pitriani. Jika

bukan semangat dan dukungannya skripsi ini bukan di bulan Juli. Semoga

terus menjadi inspirasi untuk meraih kebahagian yang tidak dikotomis.

Akhirnya penulis hanya dapat mengucapkan terimakasih yang

sebesar-besarnya, hanya ucapan inilah yang dapat penulis berikan, semoga Allah SWT

yang akan membalas semua kebaikan kalian. Amin Ya Robbal Alamin.

Ciputat, 23 Juni 2010

(4)

pengaruh terhadap masyarakat sekitar di segala sendi sistem-sistem yang ada di

masyarakat. Sifat ekslusif pesantren Nahdjussalam menjadikan pesantren tidak

lepas dari pengaruh-pengaruh luar seperti dampak-dampak industrialisasi dalam

arti yang seluas-luasnya. Keberadaan pesantren dan industrialisasi di wilayah

Panyawungan tentu akan memberi bentuk baru masyarakat dalam orientasi

makna, nilai dan seperangkat kepercayaan politik masyarakat Panyawungan.

Dari permasalahan dan asumsi di atas, menimbulkan pertanyaan;

Bagaimana sikap, keyakinan, nilai-nilai dan kepercayaan politik masyarakat

kampung panyawungan? Seperti apa budaya politik masyarakat yang dipengaruhi

oleh pesantren dan industrialisasi: dilihat dari aspek doktrin atau isi dan materi,

dan dari apek generik seperti bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik seperti

militan, utopis, terbuka, dan tertutup?

Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dan menggunakan

metode deskriftip kualitatif untuk menyajikan temuan-temuan yang ada di

lapangan.

Industri akan menghasilkan masyarakat yang berorientasi pada materialis,

hubungan fungsional, modern, kompetitif, rasional dan heterogen. Sedangkan kita

ketahui bahwa pesantren (utamanya salafy) adalah lembaga yang memproduksi

nilai-nilai seperti kesederhanaan, kebersamaan, tradisional, religius, homogen,

akhlak dan nilai-nilai luhur. Dari perbedaan kedua kutub dari nilai-nilai, etika,

pemahaman-diri, dan tafsiran kultural tersebut akan mempengaruhi bentuk dari

interaksi intersubjektif dalam masyarakat.

Masyarakat kampung Panyawungan tidak hanya turut pada ketentuan

normatif semata, tapi mereka sudah mulai mempertimbangkan asas fungsional.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada “kaum elit” baik dalam posisi sebagai

subjek maupun objek transformasi, pada akhirnya juga berimplikasi pada proses

transformasi “bawah” masyarakat dan lingkungannya.

(5)

¯2lµƒo

Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

limpahan rahmat dan karunianya kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PENGARUH INDUSTRIALISASI

DAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM TERHADAP BUDAYA

POLITIK MASYARAKAT KAMPUNG PANYAWUNGAN” sebagai bentuk

artikulasi penulis dan bagian dari tugas penulis sebagai akademisi di Fakultas

Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi khususnya di program studi Komunikasi dan

Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tak lupa pula shalawat beserta

salam yang tak henti-henti semoga selalu tercurah limpahkan kehadirat baginda

besar kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya kepada

kebenaran hakiki.

Andai saja orangtua tidak memiliki angan untuk keadaan yang lebih baik

bagi anaknya, penulis tidak akan pernah menjadi pegejar impian. Angan orangtua

dan impian si anak disambut tangan kedermawanan Ardita Retno Caesari hingga

si anak mengecap jenjang pendidikan tinggi.

Skripsi ini merupakan bagian dedikasi dan penghargaan kepada mereka

yang telah banyak melimpah-ruahkan kasih sayangnya. Maka tidak heran jika

skripsi ini banyak mengambil data dari hasil rekaman hidup penulis jauh di masa

lalu.

Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari

berbagai pihak yang selama ini telah banyak sekali membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini sampai akhir. Sebagai bentuk penghargaan yang tak

terhingga kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam

merampungkan skripsi ini, maka izinkanlah penulis mengungkapkan ucapan

terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada :

1. Kepada Bapak Dr. Arief Subhan MA, sebagai Dekan Fakultas Ilmu

Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Drs. Wahidin Saputra MA, sebagai

Pembantu Dekan Bidang Akademik. Drs. Mahmud Djalal MA, sebagai

(6)

2. Kepada bapak Drs. Jumroni M.Si, sebagai Ketua Jurusan Komunikasi dan

Penyiaran Islam (KPI), dan ibu Umi Musyarofah MA, sebagai sekretaris

Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), yang telah membantu dalam

memberikan informasi akademik dan penyusunan transkip nilai penulis.

Dan kepada ibu Dra. Hj. Asriati Jamil sebagai Dosen Penasihat akademik

KPI C angkatan 2006, yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan

proposal skripsi ini.

3. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Pembimbing,

yaitu bapak Dr. Syihabudin Noor, M.Ag, yang telah banyak meluangkan

waktunya untuk membantu, mengarahkan, membimbing, memberi

masukan, saran serta kritiknya yang membangun dalam penyelesaian

skripsi ini. Terima kasih atas kesabaran bapak dalam memberikan

bimbingan ini.

4. Kepada segenap dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, saya

ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya karena telah membantu

memberi masukan penulis mengenai penelitian ini.

5. Pimpinan dan seluruh Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.

6. Keluarga besar Pondok Pesantren Nahdjussalam yang telah mengijinkan

penulis untuk melakukan penelitian di institusi tersebut. Sifat kooperatif

seluruh keluarga dalam penelitian ini, semoga berbalik manfaat bagi

eksistensi pondok.

7. Terimakasih kepada KH. Athoillah, ustadz Bibin, ustadz Dede Abdul

Kholik, ustadz Tb. Cecep, bapak Dudung, bapak Iin Zainal Abidin, bapak

Iwan M. Fallah, bapak E. Zaenudin, seluruh pemuda Seuweu Putu, Karang

Taruna RW. 03, aparat Desa, serta seluruh masyarakat yang telah

(7)

8. Untuk teman-teman KPI C angkatan 2006, khususnya Pipit Pitriani. Jika

bukan semangat dan dukungannya skripsi ini bukan di bulan Juli. Semoga

terus menjadi inspirasi untuk meraih kebahagian yang tidak dikotomis.

Akhirnya penulis hanya dapat mengucapkan terimakasih yang

sebesar-besarnya, hanya ucapan inilah yang dapat penulis berikan, semoga Allah SWT

yang akan membalas semua kebaikan kalian. Amin Ya Robbal Alamin.

Ciputat, 23 Juni 2010

Mohamad Romdoni

(8)

ABSTRAKSI ... i 

KATA PENGANTAR ... ii 

DAFTAR ISI ... v 

DAFTAR DIAGRAM ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x 

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 5

A.1. Sejarah Pesantren ... 12

Dan Unsur-Unsur Pesantren  ... 15 

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Metodologi Penelitian ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II KERANGKA TEORI A. Pengertian dan Sejarah Pesantren ... 12

A.2. Tipelogi A.3. Sistem Nilai Pesantren  ... 17

B. Pengertian Industrialisasi  ... 18

B.1. Pengertian Industrialisasi ... 18

B.2. Industri Mempengaruhi Masyakat ... 20 

B.3. Industri Mempengaruhi Politik ... 23

C. Agama Dan Politik  ... 26

(9)

2. Berdasarkan Orientasi ... 33 2. Kh. Tb. Ahmad Dzajuli ( 1947-1977 ) Pengokohan Spiritual ... 49

3. Kyai Sambas (1977 – 1980) Persentuhan Pesantren dan Politik   ... 52

Athoillah (1980 – Sekarang) Masa Transisi Pesantren ... 53

B. D.2. Tipe-Tipe Budaya Politik ... 31

1. Berdasarkan Pola Otoritas ... 31

3. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukan ... 34

D.3. Komponen-Komponen Budaya Politik ... 36 

angka Konseptual ... 37

ARAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM DAN KP. mbaran Umum Pesantren Nahdjussalam ... 43

A.1. Sejarah dan Sepak Terjang Pondok Pesantren ... 43

1. Kh. Kholil (1916 – 1947) Masa Perintisan dan Perluasan Jaringan ... 46

4. Kh. A.2. Tradisi dan Sistem Nilai Pesantren ... 54

2.1.Tradisi Pesantren ... 54

2.2.Sistem Nilai Pesantren ... 58

A.3. Ekonomi Pesantren ... 60

A.4. Hubungan Pesantren dan Masyarakat ... 62

A.5. Hubungan Pesantren dengan Birokrasi Desa ... 65

Kondisi Georafis dan Demografi Kp. Panyawungan ... 68

(10)

B.3. Kehidupan Ekonomi dan Pendidikan Penduduk ... 72

dan Jaminan Keberlangsungan Industri ... 80

D. Aren

Kam

Antara Kesetiaan Terhadap Rumpun Keluarga VS Kepentingan Pragmatis ... 90

PENUTUP

B.4. Kehidupan Keagamaan Penduduk ... 74 

AN BUDAYA POLITIK PADA MASYARAKAT KAMPUNG UGAN

kulasi Politik Pesantren Nahdjussalam Paska Reformasi ... 76

ha yang Diberikan Industri Terhadap Pesantren: Antara Pemberdayaan

C. Pesantren Dan Industri Dalam Pemilihan Kepala Desa ... 83

a Kerjasama dan Konflik Yang Sedang Terjadi di Masyarakat pung Panyawungan ... 86

D.1. Komite Pembentukan Cileunyi Kidul: Aliansi Kepentingan

Antar Elite yang Sudah Mapan ... 86

D.2. Konflik Antara Ke-RW-an dan Karang Taruna: Tarik Menarik

BAB V

A. Kesimpulan ... 98 B. Rekomendasi ... 100

DAFTAR PUSTAKA ...  

LAMPIRAN-LAMPIRAN ...    

(11)

2. Strategi Silang Perkawinan Oleh KH. Kholil ... 46 

ni Afandi dan Bani Kholil ... 48 

iagram 7. Struktur Komite Pembentukan Desa Cileunyi Kidul ... 89

iagram 8. Hubungan Kekerabatan Elite Komite Cileunyi Kidul ... 90

Diagram Diagram 3. Hubungan Kekerabatan Ba Diagram 4. Hubungan Kekerabatan Bani Syarif dan Bani Kholil ... 48 

Diagram 5. Silang Hubungan Kekerabatan dengan Pesantren Luar ... 49 

Diagram 6. Struktur Organisasi Pondok ... 59

D  

D

(12)

a Pemilik Kontrakan di Kampung Panyawungan ... 71

Tabel 2. Tipologi Pendidikan Pendidikan ... 73 

Tabel 3. Daftar Langgar ... 75 

   

Tabel 1. Daftar Nam

(13)

x  

Gambar 2. Antusiasme Warga Dalam Membangun Masjid ... 63 

Gambar 3. Peta Desa Cileunyi Wetan ... 68 

Gambar 4. KH. Athoillah dan Bapak Deding Ishak (Calon Bupati Bandung)  ... 77

Gambar 5. Aktivitas Di Penyortiran Limbah ... 82 

Gambar 6. Bapak Roky (Tengah) Bersama Tokoh Ulama Setempat ... 93

Gambar 7. Spanduk Dalam Peresmian PT. Global Agro Semesta  ... 97

(14)

ABSTRAKSI ... i 

KATA PENGANTAR ... ii 

DAFTAR ISI ... v 

DAFTAR DIAGRAM ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x 

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 5

A.1. Sejarah Pesantren ... 12

Dan Unsur-Unsur Pesantren  ... 15 

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Metodologi Penelitian ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II KERANGKA TEORI A. Pengertian dan Sejarah Pesantren ... 12

A.2. Tipelogi A.3. Sistem Nilai Pesantren  ... 17

B. Pengertian Industrialisasi  ... 18

B.1. Pengertian Industrialisasi ... 18

B.2. Industri Mempengaruhi Masyakat ... 20 

B.3. Industri Mempengaruhi Politik ... 23

(15)

D.1. Pengertian Umum Budaya Politik ... 28

D.2. Tipe-Tipe Budaya Politik ... 31

1. Berdasarkan Pola Otoritas ... 31

E. Kerangka Konseptual 37 BAB III GAMB PANYAW A. A.1. Sejarah dan Sepak Terjang Pondok Pesantren  ... 49

1.3.Kyai Sambas (1977 – 1980) Persentuhan Pesantren dan Politik ... 52

1.4.Kh. Athoillah (1980 – Sekarang) Masa Transisi Pesantren .. 53

... 54

2.1.Tradisi Pesantren ... 54

B. K 2. Berdasarkan Orientasi ... 33

3. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukan ... 34

D.3. Komponen-Komponen Budaya Politik ... 36 

 ...  ARAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM DAN KP. UNGAN Gambaran Umum Pesantren Nahdjussalam ... 43

 ... 43

1.1.Kh. Kholil (1916 – 1947) Masa Perintisan dan Perluasan Jaringan ... 46

1.2.Kh. Tb. Ahmad Dzajuli ( 1947-1977 ) Pengokohan Spiritual A.2. Tradisi dan Sistem Nilai Pesantren ... 2.2.Sistem Nilai Pesantren ... 58

A.3. Ekonomi Pesantren ... 60

A.4. Hubungan Pesantren dan Masyarakat ... 62

A.5. Hubungan Pesantren dengan Birokrasi Desa ... 65

ondisi Georafis dan Demografi Kp. Panyawungan ... 67

(16)

vii   

B.3. Kehidupan Ekonomi dan Pendidikan Penduduk

B.4. Kehidupan Keagamaan Penduduk ... 74 

BAB IV

D.2. Konflik Antara Ke-RW-an dan Karang Taruna : Tarik Menarik

Pragmatis ... 90

RUH INDUSTRIALISASI PADA KAMPUNG PANYAWUNGAN  olitik Pesantren Nahdjussalam Paska Reformasi ... 76

Usaha yang Diberikan Industri Terhadap Pesantren : Antara Pemberdayaan Jaminan Keberlangsungan Industri ... 80

ntren Dan Industri Dalam Pemilihan Kepala Desa ... 83

D. Arena Kerjasama dan Konflik Yang Sedang Terjadi di Masyarakat

Kampung Panyawungan ... 86

D.1. Komite Pembentukan Cileunyi Kidul : Aliansi Kepentingan

Antara Kesetiaan Terhadap Rumpun Keluarga VS Kepentingan

B. Rekomendasi ... 101

DAFTAR PUSTAKA ...  

(17)

Tabel 1. Daftar Nama Pemilik Kontrakan di Kampung Panyawungan ... 71

Tabel 2. Tipologi Pendidikan Pendidikan ... 73 

Tabel 3. Daftar Langgar ... 75 

   

(18)

Gambar 2. Antusiasme Warga Dalam Membangun Masjid ... 63 

Gambar 3. Peta Desa Cileunyi Wetan ... 68

Gambar 4. Peta Kampung Panyawungan ...  69

Gambar 5. KH. Athoillah dan Bapak Deding Ishak (Calon Bupati Bandung)  ... 78

Gambar 6. Aktivitas Di Penyortiran Limbah ... 83 

Gambar 7. Bapak Roky (Tengah) Bersama Tokoh Ulama Setempat ... 93

Gambar 8. Spanduk Dalam Peresmian PT. Global Agro Semesta  ... 97

 

(19)

Diagram 2. Strategi Silang Perkawinan Oleh KH. Kholil ... 46 

Diagram 3. Hubungan Kekerabatan Bani Afandi dan Bani Kholil ... 48 

Diagram 4. Hubungan Kekerabatan Bani Syarif dan Bani Kholil ... 48 

Diagram 5. Silang Hubungan Kekerabatan dengan Pesantren Luar ... 49 

Diagram 6. Struktur Organisasi Pondok ... 59

Diagram 7. Struktur Komite Pembentukan Desa Cileunyi Kidul ... 89

Diagram 8. Hubungan Kekerabatan Elite Komite Cileunyi Kidul ... 90

(20)

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keberadaan Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua Islam Nusantara

telah diakui memiliki andil dan peran yang besar dalam sejarah perjuangan bangsa

Indonesia. Pesantren Nusantara telah membuktikan eksistensi dan kiprahnya

menjadi dinamisator dalam setiap proses sejarah nation and character building.

Menurut Harry J. Benda, sejarah Islam Indonesia adalah sejarah perluasan

peradaban santri dan pengaruhnya terhadap kehidupan agama, sosial dan politik

Indonesia. Bahkan menurut J. Benda para penguasa yang baru dinobatkan

bersandar diri kepada para ahli agama, karena hanya merekalah yang dapat

men-sah-kan pentasbihan.1 Oleh karenanya keberadaan pesantren tidak bisa dilepaskan

dari sejarah Indonesia, karena sejarah pesantren adalah sejarah Indonesia itu

sendiri.2

Pesantren selain pengemban misi pewaris para Nabi dan penterjemah

wahyu Tuhan terkait dengan peran keagamaan, ia juga memiliki pengaruh

terhadap lingkungan masyarakatnya. Pesantren sebagai bagian dari institusi sosial,

keagamaan, dan kultural tidak dapat dilihat sebagai sub-kultur dalam arti

merupakan gejala yang unik dan terpisah dari dunia luar. Meskipun pesantren

mempunyai penggambaran kultural dengan karakternya yang khas, hal itu bukan

       1

Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit (Jakarta : Pustaka Jaya) 1983, h. 33   2

Hasan Muarif Ambari, Peranan Pesantren dalam Menghadapi Perubahan Sosial di Banten, Makalah Simposium Nasional dan Kongres Pemuda Al-Khairiyah se Indonesia, Serang 1992, h. 2

(21)

berarti bahwa pesantren tertutup kepada pengaruh-pengaruh dari luar. Sebab

pesantren sebagai milik dan bagian dari masyarakat tidak dapat melepaskan diri

dari kehidupan sosial dan komuinitas kemasyarakatan lainnya.3

Hal tersebut juga berlaku pada sejarah berdiri dan keberlangsunganya

pondok pesantren Nahdjussalam yang tidak terlepas dari peran masyarakat.

Menurut masyarakat sekitar, sebelum berdirinya sebuah pesantren dahulunya

kampung tersebut merupakan perkampungan arena judi, seperti sabung ayam, adu

domba, dan lain-lain. Tidak mudah pastinya mendirikan sebuah pesantren dengan

latar belakang seperti disebut. Pendirian pondok pesantren Nahdjussalam yang

mulai dirintis pada tahun 1916 tidak lepas dari empat elemen, yaitu : Bi ilmil

‘ulama atau orang yang berilmu yaitu KH. Kholil, bisshowatil agniya atau

donatur yaitu KH. Syarif dan KH. Afandi, bi adlin ‘Umaro atau pemerintah yang

adil (dalam konteks ini adalah lurah) yaitu Raden Atmajadikarta, dan bidu’ail

fuqoro atau dukungan masyarakat umum.

Banyaknya pihak yang berkontribusi pada pendirian pesantren mejadikan

pesantren ini bersifat inklusif dengan masyarakat sekitar dan saling memberi

pengaruh satu sama lain.

Pondok pesantren Nahdjussalam, sudah satu abad lebih memberikan

pengaruh terhadap masyarakat sekitar di segala sendi sistem-sistem yang ada di

masyarakat dengan mengacu kepada prinsip kesederhanaan, kebersamaan,

tradisional, religius, homogen, akhlak serta nilai-nilai luhur. Pondok pesantren

Nahdjussalam telah berhasil menjadikan masyarakat kampung Panyawungan       

3

(22)

menjadi masyarakat yang agamis, hal itu diketahui tidak hanya oleh masyarakat

sekitar saja, masyarakat luar daerah pun banyak mengetahui hal itu karena luasnya

jejaring pesantren tersebut.

Pengaruh pondok pesantren yang masuk kedalam sendi-sendi norma,

budaya, dan sistem kemasyarakatan di kampung Panyawungan juga membawa

pengaruh besar pada budaya politik masyarakat. Masyarakat kampung

Panyawungan mempunyai tipe tatanan otoritas kharismatis yang menjadikan kyai

serta pesantren sebagai legitimasi gagasan-gagasan, aturan-aturan, dan nilai-nilai

yang berlaku di masyarakat.

Namun, kini pesantren Nahdjussalam mendapatkan tantangan dalam

membina masyarakatnya serta eksistensinya di masyarakat seiring dengan

gempuran arus industrialisasi. Industrialisasi yang merebak di kawasan lingkar

Panyawungan tidak pelak lagi membawa dampak positif yang sangat signifikan,

seperti terbukanya lowongan pekerjaan, kemajuan perekonomian, percepatan

pembangunan, dan lain-lain.

Namun industrialisasi yang berada di kawasan lingkar Panyawungan juga

membawa sisi negatif yang berimbas pada kehidupan masyarakat, seperti

urbanisasi yang tidak terkontrol, pencemaran lingkungan oleh limbah industri, dan

lain-lain.

Urbanisasi yang tidak terkontrol membawa pengaruh besar terhadap

sistem norma yang dianut oleh masyarakat sekitar, hal itu jelas tidak terbantahkan

karena proses persentuhan antara budaya pendatang dan budaya lokal yang sangat

(23)

masyarakat. Selain itu perubahan masyarakat agraris ke masyarakat industrialis

juga berimbas pada perubahan sistem kemasyarakatan yang bersandarkankan pada

orientasi materialis, hubungan fungsional, modern, kompetitif, rasional,

heterogen, dan pemuasan kebutuhan.

Dalam masyarakat modern tentu tipe tatanan otoritas pun berbeda dengan

masyarakat tradisional. Dalam masyarakat modern bentuk tatanan otoritasnya

adalah otoritas rasional atau legal berdasarkan pada sebuah kepercayaan atau

“legalitas”. Aturan-aturan tertentu yang berarti bahwa mereka yang memunculkan

aturan-aturan itu memiliki hak untuk melakukan itu dengan dasar kompetisi.

Sebuah tatanan impersonal yang tidak tergantung pada kualitas-kualitas

individu-individu yang menciptakan aturan-aturan atau pada status mereka sebagai

penjaga-penjaga sebuah tradisi.4

Dari permasalahan tersebut penelitian ini menjadi penting karena

memungkinkan banyaknya permasalahan yang unik. Misalnya, sebagai apakah

pesantren dalam memposisikan dirinya pada perubahan yang didorong oleh

industrialisasi? Apakah ia memposisikan dirinya sebagai makelar budaya (cultural

broker) yang didefinisikan oleh Greetz yang menurutnya, kyai berperan sebagai

alat penyaring atas arus informasi yang masuk ke lingkungannya, menularkan apa

yang menurutnya berguna dan membuang apa yang dianggap merusak bagi

mereka. Atau justru pesantren memposisikan dirinya seperti temuan Hiroko

Hirokoshi, menurutnya, kyai berperan kreatif terhadap perubahan sosial. Bukan

karena sang kyai mencoba meredam akibat perubahan yang terjadi, melainkan

       4

(24)

justru karena mempelopori perubahan sosial dengan caranya sendiri. Ia bukan

melakukan penyaringan informasi, melainkan menawarkan agenda perubahan

yang dianggapnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dipimpinnya.5

Meskipun hal itu tersentral pada seseorang, namun menurut penulis hal itu

cukup relevan untuk dijadikan perbandingan mengingat otoritas kyai dalam

sebuah pesantren hampir mutlak. Namun kebijakan seorang kyai juga tidak

terlepas dari situsi dan kondisi internal yang melingkupi institusi yang

dipimpinya, seperti aturan tertulis (tanbih), struktur kepengurusan, rentang

generasi keluarga, dan lain-lain. Maka dengan alasan itu penulis lebih tertarik

untuk meneliti keseluruhan institusi pesantren.

Selain kemungkinan permasalahan di atas, penelitian ini juga menjadi

penting untuk melihat bentuk baru dari budaya politik masyarakat kampung

Panyawungan yang dipengaruhi oleh budaya industrialisasi dan budaya

tradisional. Pengaruh mana yang lebih dominan dan apakah bentuk baru tersebut

membawa kemajuan atau kemunduran berdasarkan konsep masyarakat madani.

B. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH

Mengingat luasnya dampak perubahan yang di bawa oleh industrialisasi,

sesuai dengan judul penulis hanya membatasi penelitian ini pada budaya politik

masyrakat Panyawungan yang didasarkan pada perubahan orientasi makna, nilai

dan seperangkat kepercayaan politik masyarakat Panyawungan6.

       5

Abdurahman Wahid, “Benarkah Kyai Membawa Perubahan Sosial ?,” dalam Hiroko Hirokoshi, Kyai dan Perubahan sosial, (Jakarta: P3M, 1987), h. XVii 

6

(25)

Kajian budaya politik sama sekali berbeda dengan politik praktis. Dalam

kajian budaya poltik ditelusuri bagaimana sebuah nilai dan orientasi terbentuk,

operasi kekuasaan seperti apa yang berlangsung, dalam situasi apa pula ia

berlangsung dengan proses hegemoni atau dominasi, atau bahkan koersi dalam

proses produksi nilai tersebut, pengetahuan seperti apa yang menopang atau tidak

menopangnya, dan seterusnya.7

Sedangkan untuk perumusan masalahnya adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana sikap, keyakinan, nilai-nilai dan kepercayaan politik

masyarakat kampung Panyawungan ?

2. Seperti apa budaya politik masyarakat yang dipengaruhi oleh pesantren

(tradisional) dan industri (modern); dilihat dari aspek doktrin (isi atau

materi) dan dari aspek generik (bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya

politik, seperti militan, utopis, terbuka atau tertutup) ?

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN

C.1. Tujuan

1. Untuk mengetahui perubahan pandangan politik yang ada di

masyarakat kampung Panyawungan.

2. Untuk mengetahui eksistensi pengaruh pondok pesantren dalam

perubahan masyarakat agraris ke masyarakat industri.

       7

(26)

3. Sebagai bakti anak daerah dalam mengenal fenomena daerahnya serta

menyumbangkan data eksistensi pesantren di kampung Panyawungan

kepada pengguna dan pihak terkait, dalam hal ini pemerintah, pihak

industri, maupun masyarakat umum untuk menjadikan pesantren

sebagai mitra dalam program pembangunan dan pembrdayaan yang

memberikan kontribusi besar pada masyarakat.

C.2. Kegunaan

1. Hasil penelitian ini bermanfaat dalam rangka menghimpun dan

memperluas informasi tentang eksistensi dan dinamika pesantren

yang tetap memberikan warna dalam ranah kehidupan.

2. Hasil penelitian ini juga bermanfaat terutama bagi kalangan pesantren

dalam menyikapi diri lebih terbuka pada perubahan dan menyiapkan

diri agar tetap menjadi simpul jaringan bagi kebutuhan dan

pemberdayaan masyarakat.

3. Menjadi kajian pustaka bagi penelitian lainnya mengenai etos

pesantren.

4. Mengembangkan penelitian bagi sarjana strata satu. Dan memberikan

sumbangsi pada kajian pranata sosial, budaya politik dan komunikasi

(27)

D. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian sosial keagamaan dengan

menggunakan pendekatan sosio - historis. Adapun metode yang digunakan adalah

deskriptif kualitatif. Deskriptif yaitu suatu metode dalam meneliti status kelompok

manusia, suatu obyek, suatu setting kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu

kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari metode penelitian ini untuk

membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat

mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselididki

(M. Nazir, 1988 : 63).

Sedangkan teknik pengumpulan dan analisa data dilakukan dengan cara;

pengamatan dan wawancara untuk mendapatkan data primer. Pertama, Observasi

(pengamatan). Pengamatan dilakukan untuk melihat fenomena dan gejala sosial

yang terjadi pada kehidupan sehari-hari masyarakat, khususnya di lingkungan

pesantren, yang meliputi kyai, santri dan di lingkungan masyarakat sekitar.

Adapun waktu pegamatan sebenarnya telah terjadi begitu lama yaitu semenjak

pemulis tinggal di lingkungan pesantren semasa sekolah SMA dan belajar mengaji

di pesantren yang bersangkutan. Kedua, wawancara terencana-terbuka yang

bertujuan untuk mengumpulkan keterangan yang lebih lengkap untuk

menyempurnakan hasil pengamatan. Adapun sasarannya adalah kyai dan keluarga

pesantren sebagai sumber untuk mendapatkan data primer.

Dalam perjalananya, hasil wawancara yang cukup signifikan untuk dimuat

dalam skripsi ini hanya dari orang-orang tertentu seperti sesepuh pondok yaitu

(28)

banyak diperoleh dari tokoh-tokoh masyarakat seperti bapak Iin Zaenal Muttaqin

selaku Ketua RW, dan bapak Iwan Miftahul Fallah selaku Mantan Kepala Desa

Cileunyi Wetan.

Wawancara dengan pelaku industri dijadikan sebagai data sekunder

(pendukung) yang bisa digunakan untuk menjadi data pendukung dan pelengkap.

Selain itu, data sekunder juga didapat dari Panitia Hari Besar Islam (PHBI)

kampung Panyawungan, Karang Taruna, dan lembaga pemerintah setempat,

seperti desa dan kecamatan.

E. TINJAUAN PUSTAKA

Penulis melakukan tinjauan pustaka dengan maksud memeriksa apakah

fokus penelitian yang akan dikaji telah ada orang terdahulu yang melakukannya.

Dari hasil pencarian, penulis tidak menemukan fokus yang sama persis dengan

fokus penelitian yang akan dikaji. Namun ada penelitian yang ditemukan sedikit

mirip dengan fokus penulis.

Aim Salim dari jurusan Penyiaran dan Penerangan Agama IAIN Sunan

Gunung Djati (sekarang UIN) dalam penelitiannya “Relasi Antara Umara dan

Ulama Di Desa Sukasari Kec. Tanjung Sari Kab. Sumedang (2001)” menemukan

pengaruh seorang kyai yang sangat dominan dalam penentuan seorang kepala

desa. Seorang calon kandidat kepala desa tidak akan diangkat sebelum

mendapatkan izin dan restu dari kyai. Dalam kesimpulan penelitiannya kyai juga

berperan penting dalam pembuatan kebijakan-kebijakan daerah tersebut, dan

seperti menjadi dewan penasihat dalam lembaga-lembaga resmi dengan legitimasi

(29)

Dra. Umdatul Hasanah dalam penelitian yang berjudul “Eksistensi dan

Peran Pondok Pesantren Tradisional Dalam Pembangunan Masyarakat Industri

Cilegon (2008)”, menemukan bahwa pondok pesantren memberikan sumbangsih

yang besar terhadap pembangunan masyarakat Cilegon. Namun sumbangsi yang

diberikan pesantren dalam penelitiannya hanya menyentuh aspek-aspek religius

masyarakat dan seolah pesantren tidak mempunyai andil dalam pembangunan

yang sifatnya real. Namun menurut penulis hal itu wajar saja karena setiap

pesantren mempunyai corak tersendiri yang dipengaruhi oleh berbagai faktor

seperti, sejarah, lingkungan, dan psikologi pesantren dan masyarakatnya.

Penelitian tentang pesantren telah banyak dilakukan oleh para ahli,

Clifford Gerertz misalnya telah memasukan kelompok pesantren (santri) menjadi

salah satu kelas masyarakat, di samping priyayi dan abangan pada masyarakat

Jawa. Tentu saja dengan setting masyarakat pesantren pada awal dasawarsa

1950-an, sudah lebih dari 30 tahun penelitian itu berlalu, tentu potret masa itu tidak bisa

disamakan dengan potret pesantren masa kini. Pesantren bukan lagi lembaga yang

tertutup, esoteris dan ekslusif. Bahkan Zamkhsari Dhofier dalam pengamatannya

terlalu menyederhanakan pesantren ke bentuknya yang paling tradisional, ia

menyebutkan ada lima unsur yang membentuk pesantren yaitu pondok, masjid,

pengajian kitab klasik, santri dan kiyai.8

       8

Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren :Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta : LP3ES),

(30)

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Demi mempermudah pembahasan dalam skripsi ini, penulis membuat

sistematika penulisan berdasarkan kesamaan dan kesesuaian yang ada di dalam

skripsi ini. Skripsi ini terdiri dari lima BAB.

BAB I. Pendahuluan yang mengemukakan latar belakang masalah,

batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,

metodelogi penelitian yang berisi penjelasan metode yang akan

digunakan dalam penelitian, kajian pustaka, serta sistematika

penulisan.

BAB II. Kajian teori yang menjabarkan pengertian pesantren, pengertian

industrialisasi, hubungan agama dan politik, pengetian budaya

politik, serta kerangka konseptual yang dijadikan pedoman

dalam penulisan skripsi ini.

BAB III. Gambaran umum mengenai Pondok Pesantren Nahdjussalam dan

kampung Panyawungan yang mencakup lokasi dan demografi.

BAB IV. Temuan data lapangan yang berkaitan dengan perubahan budaya

politik masyarakat kampung Panyawungan.

BAB V. penutup yang mengemukakan hasil kesimpulan dari penelitian

dan rekomendasi-rekomendasi baik bagi penelitian maupun

tindakan.

(31)

BAB II

KERANGKA TEORI

A. PENGERTIAN DAN SEJARAH PESANTREN A.1. Sejarah Pesantren

Kata pesantren atau santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru

mengaji”. Sumber lain menyebutkan bahwa kata itu berasal dari bahasa India

shastri” dari akar kata “shastra” yang berarti “buku-buku suci”, “buku-buku

agama”, atau “buku-buku tentang ilmu pengetahuan”. Di luar pulau Jawa

lembaga pendidikan ini disebut dengan nama lain, seperti “surau” di Sumatra

Barat, “dayah” di Aceh, dan “pondok” di beberapa daerah lain.1

Menurut Nurcholis Madjid, ada dua pendapat yang bisa dipakai sebagai

acuan untuk melihat asal-usul perkataan santri. Pertama adalah pendapat yang

menyatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa sansakerta yaitu kata “sastri”

yang artinya melek huruf. Dapat dikatan bahwa kaum santri adalah kaum yang

melek huruf, oleh karena pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab.

Atau paling tidak seorang santri dapat membaca al-Qur’an. Pendapat kedua

menyatakan bahwa kata “santri” berasal dari bahasa Jawa “cantrik”, artinya

seorang yang menngabdi kepada guru. Cantrik selalu berada di mana gurunya

tinggal, dengan tujuan dapat belajar darinya tentang suatu keahlian. Pola

hubungan guru-cantrik melalui proses evolusi berubah menjadi guru-santri. Kata

guru diganti dengan kata kyai dengan tujuan lebih mengkeramatkan,

       1

(32)

mensakralkan, dan memberi kharisma. Pada perkembangan selanjutnya di kenal

dengan kyai-santri.2

Sedangkan tentang asal-usul dan munculnya pesantren di Indonesia

terdapat beberapa versi. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa pesantren

berasal dari tradisi islam itu sendiri, yaitu tradisi tarekat. Pesantren memiliki

kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Sebab

Rasulullah sebelum melakukan dakwah secara terang-terangan, beliau membentuk

kelompok pelopor yang melakukan pertemuan-pertemuan di kediaman al-Arqam

Ibn Abi al-Arqam. Barangkali tempat perteuam pertama untuk bermusyawarah

mengenai masalah-masalah agama dalam Islam. Kediaman al-Arqam ini

kemudian menjadi sumber inspirasi bagi pembentukan ribath dan

halaqah-halaqah yang selanjutnya melembaga dalam tradisi tasawuf.

Pendapat pertama ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di

Indonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat yang

melaksanakan amalan amalan zikir dan wirid-wirid tertentu. Pemimpin tarekat ini

disebut kiyai yang mewajibkan pengikut-pengikutnya untuk melaksanakan suluk

selama empat puluh hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama sesama

anggota tarekat dalam sebuah masjid untuk melakukan ibadah-ibadah di bawah

bimbingan kiyai.

Untuk keperluan suluk ini kiyai menyediakan ruangan-ruangan khusus

untuk penginapan dan tempat memasak yang terletak di sekitar masjid. Di

samping mengajarkan amalan-amalan tarekat, para pengikut itu juga diajarkan

       2

(33)

kitab-kitab agama dalam berbagai cabang ilmu pengretahuan agama Islam.

Aktifitas yang dilakukan oleh para pengikut tarekat ini kemudian dinamakan

pengajian. Dalam perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan

berkembang menjadi lembaga pesantren.3

Kedua, Pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan

pengambil-alihan dari sistem pesantren yang diadakan oleh orang-orang Hindu di

Nusantara. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa sebelum datangnya Islam ke

Indonesia lembaga pesantren sudah ada di negeri ini. Pendirian pesantren pada

masa itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu

dan tempat membina kader-kader penyebar Hindu. Tradisi penghormatan murid

kepada guru yang pola hubungan antar keduanya tidak didasarkan kepada hal-hal

yang sifatnya materi juga bersumber dari tradisi Hindu. Fakta lain yang

menunjukkan bahwa pesantren bukan berakar dari tradisi Islam adalah tidak

ditemukannya lembaga pesantren di Negara-negara Islam lainnya. Sementara

lembaga yang serupa dengan pesantren banyak ditemukan di dalam masyarakat

Hindu dan Budha seperti di India, Myanmar dan Thailand.4

Terlepas dari berbagai perbedaan pandangan tentang asal-muasal

pesantren, Wali Songo dipandang sebagai pemrakarsa berdirinya pesantren di

Indonesia, dalam menyebarkan Islam dan mendirikan Ribath dan Halaqah-halaqah

sebagai sarana pendidikan untuk mengajarkan agama Islam. Sebagaimana tersurat

dalam sejarah Indonesia, Wali Songo adalah pelopor dan pemimpin dakwah Islam

       3

Ensiklopedi Islam , Tim Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve) 2003, jilid 4 

4

(34)

yang berhasil merekrut murid untuk kemudian menjalankan dakwah di setiap

penjuru negeri.5

A.2. Tipelogi Dan Unsur-Unsur Pesantren

Dilihat dari tipelogi dan klasifikasi pesanteren, dalam peraturan yang

dikeluarkan oleh menteri agama nomor 3 tahun 1979, mengklasifikasikan pondok

pesantren sebagai berikut :

1. Pondok pesantren tipe A, yaitu di mana para santri belajar dan

bertempat tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren dengan

pengajaran yang berlangsung secara tradisional (sistem wetonan atau

sorogan);

2. Pondok pesantren tipe B, yaitu yang menyelenggarakan pelajaran

secara klasikal dan pengajaran oleh kiyai bersifat aplikasi, diberikan

pada waktu-waktu tertentu, santri tinggal di asrama lingkungan pondok

pesantren;

3. Tipe C, yaitu pondok pesantren yang merupakan asrama, sedangkan

para santrinya belajar di luar (madrasah atau sekolah umum) kiyai

hanya mengawasi dan sebagai Pembina para santri tersebut;

4. Pondok pesantren tipe D, yaitu yang menyelenggarakan sistem pondok

pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau madrasah.6

Dari sekian tipe pondok pesantren dalam menyelenggarakan pendidikan

dan pengajaran bagi para santrinya secara garis besar seringkali diklasifikasikan

       5

Drs. Marwan Saridjo, dkk, Sejarah Pondok Pesantren Di Indonesia, (Jakarta : Dharma Bhakti), 1979, hal. 19 - 21  

6

(35)

dalam dua tipelogi. Pertama, tipe salafiyah, yaitu yang menyelenggarakan

pendidikan dan pengetahuan keislaman, al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya

yang merujuk pada kitab-kitab kalsik (kuning) dengan menggunakan cara-cara

sebagaimana awal pertumbuhannya. Kedua, Tipe Khalafiyah, yaitu pondok

pesantren di samping menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kepesantrenan pada

umumnya juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal (sekolah atau

madrasah).

Sedangkan dilihat dari unsurnya, Zamkhsari Dhofier dalam

pengamatannya terlalu menyederhanakan pesantren ke bentuknya yang paling

tradisional, ia menyebutkan ada lima unsur yang membentuk pesantren yaitu

pondok, masjid, pengajian kitab klasik, santri dan kiyai.7

Namun Saat ini pesantren dari sisi kelembagaan telah mengalami

perkembangan dari yang sederhana sampai yang paling maju, sebagaimana yang

dikemukakan Soedjoko Prasojo et al, ia menyebut setidaknya adanya lima macam

pola pesantren. Pola 1 ialah pesantren yang terdiri hanya dari masjid dan rumah

kiyai. Pola 2 terdiri atas masjid, rumah kiyai dan pondok. Pola 3 terdiri atas

masjid, rumah kiyai, pondok dan madrasah. Pola 4 terdiri atas masjid. Rumah

kiyai, pondok, madrasah dan tempat keterampilan. Pola 5 terdiri atas masjid,

rumah kiyai, pondok, madrasah, tempat keterampilan, gedung pertemuan, sarana

olah raga, dan sekolah umum. Pesantren yang terakhir inilah yang sering disebut

“pesantren moderen”, yang di samping itu juga memiliki fasilitas-fasilitas

penunjang lainya.

       7

(36)

A.3. Sistem Nilai Pesantren

Sistem nilai yang digunakan oleh kalangan pesantren adalah yang berakar

dalam agama Islam. Tetapi tidak semua yang berakar dari agama dipakai oleh

mereka. Kalangan pesantren sendiri menamakan sistem nilai yang dipakainya itu

dengan ungkapan “Ahl-u ‘L-Sunnah wa ‘L-Jama’ah”.8

Menurut Nurcholish Madjid, Ahl-u ‘L-Sunnah wa ‘L-Jama’ah sendiri

mengacu terutama pada golongan Sunni. Maka dalam hal kalam atau ilmu

ketuhanan, pesantren mengikuti madzhab Sunni, sebagaimana dirumuskan oleh

Abu Hassan al- Asy’ari, dan kemudian banyak dipopulerkan melalui karya-kaarya

Imam Ghazali. Mempelajari dan menghafal rumusan tentang dua puluh sifat

Tuhan adalah salah satu inti dari teologi Asy’ari yang diamalkan oleh para santri.

Dalam hal fiqh, kaum santri mengikuti dan mewajibkan mengikuti

salah-satu dari sekurang-kurangnya empat imam madzha fiqh, yaitu Maliki, Syafi’i,

Hanafi, dan Hambali. Di Indonesia sendiri yang umum dianut adalah Imam

Syafi’i. Taqlid adalah ciri utama dari madzhab ini dan beroposisi dengan faham

yang menganjurkan ijtihad.9

Dalam hal fiqh ini sikap-sikap kaum santri (terutama yang pesantrenya di

desa-desa) banyak dipengaruhi oleh kitab Safinat-u ‘l-Najah, sedangkan dalam hal

keagamaan sikap mereka umumnya dibentuk oleh kitab Sullam-u ‘l-Tawfiq.10

Persoalan lain yang membedakan kaum santri dan kaum lainya ialah hal

yang menyangkut masalah adat, khususnya adat Jawa atau lokal. Kaum santri       

8

Dr. Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina), 1997, hal. 31 

9

Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, hal. 33  10

(37)

menolak banyak sekali unsur-unsur adat lokal, tetapi mempertahankan sebagian

lain dan kemudian diberi warna Islam. Salah satu adat yang masih dipertahankan

kaum santri adalah sekitar selamatan. Yang dimaksud selamatan di sini adalah

mendoakan orang yang telah meninggal dan bisaanya diakhiri oleh jamuan

makan-makan oleh keluarga berkabung baik pada saat meninggalnya maupun

setelahnya seperti selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari,

dan haul. Dalam ritual itu bisaanya dibacakan tahlil, suatu ritus dalam bahasa

Arab yang intinya membaca kalimat “La ilah-a illa ‘l-Lah”, dengan maksud

berdoa untuk kebahagian orang yang telah meninggal.

Dalam hal kesenian, sejalan dengan kearaban yang ada dalam kitab-kitab

yang dipelajari, maka kaum santri juga menerima dengan antusias berbagai

kesenian yang berbau Arab. Yang paling umum mereka tampilkan adalah

qasidah-qasidah mengenai kehidupan Nabi seperti karangan Diba’i dan Barzanji.

Segi lain yang membedakan kaum santri dengan kaum lainya adalah

dalam hal berpakaian. Songkok atau tutup kepala secara umum dianggap sebagai

pakaian kaum santri. Sarung juga merupakan pakaian yang dianggap sebagi

simbol kaum santri sehingga tidak jarang kaum santri disebut sebagai “kaum

sarungan”. 11

B. PENGERTIAN INDUSTRIALISASI

B.1. Pengertian Industrialisasi

Menurut Henry Fratt sebagimana dikutip oleh Nurcholish Madjid,

industrialisasi didefinisikan sebagai proses perkembangan teknologi oleh       

11

(38)

penggunaan ilmu pengetahuan terapan. Ditandai dengan ekspansi besar-besaran

dengan menggunakan tenaga permesinan, untuk tujuan pasaran yang luas dari

barang-barang produsen maupun konsumen, melalui angkatan kerja yang

terspesialisasikan dengan pembagian kerja, seluruhnya disertai oleh urbanisasi

yang meningkat.12

Tekanan yang akan digambarkan sebagai acuan untuk penelitian ini adalah

industri yang mempunyai tekanan pada proses perubahan sosial, yaitu perubahan

susunan kemasyarakatan dari suatu sistem pra-industrial (agraris, misalnya) ke

sistem sosial industrial. Masyarakat industrial menuntut dan melahirkan

nilai-nilainya sendiri yang tidak dapat dihindarkan. Dikehendaki atau tidak

industrialisasi pasti melahirkan tata nilai yang kebanyakan tidak dikenal oleh

masyarakat non-industrial. Jock Young menyimpulkan tujuh nilai formal yang

mendasari masyarakat industrial.

1) Kesenangan yang tertunda;

2) Perencanaan kerja atau tindakan masa mendatang;

3) Tunduk terhadap aturan-aturan birokratis;

4) Kepastian, pengawasan yang banyak terhadap kedetailan, dan

sedikit terhadap pengarahan;

5) Rutin dan dapat diramalkan;

6) Sikap instrumental terhadap kerja, dan

7) Kerja keras yang produktif dinilai sebagai kebaikan.13

       12

Nurkholis Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, (Bandung : Mizan), 1987, hal. 140  

13

(39)

Nilai-nilai di atas adalah adalah nilai yang berlaku pada waktu kerja yang

diakui sah oleh masyarakat dan setiap orang diharuskan bertindakdengan

mengikuti ketentuan-ketentuannya. Namun nilai-nilai tersebut menjadikan

manusia menjadi layaknya mesin atau dehumanisasi. Dan dehumanisasi adalah

penderitaan sekalipun sifatnya immaterial. Maka dalam masyarakat industrial selu

ada kecenderungan untuk dapat bebas dari kondisi tersebut. Penyaluran keinginan

tersebut secara resmi seperti hari libur, cuti, atau waktu senggang.

Jadi ada dua nilai yang dianut oleh seseorang dalam masyarakat industrial,

yang resmi selama waktu kerja dan tidak resmi selama waktu senggang. Dapat

pula dikatakan norma-norma resmi adalah publik life dan nilai-nilai waktu

senggang adalah norma dalam private life. Atau ringkasnya, orang taat kepada

aturan publik life untuk dapat menikmati nilai-nilai private life. Adapun perubahan

nilai-nilai waktu senggang kepada nilai-nilai waktu kerja digambarkan secara

sederhana oleh Herbert Marcuse sebagai berikut:

dari (nilai waktu senggang) Ke (nilai waktu kerja)

kepuasan yang segera di dapat

kenikmatan

kesenangan

sikap reseptif

tidak ada tekanan

Kepuasan yang tertunda

Pengekangan kenikmatan

Garapan atau kerja

Sikap produktif

Ketertiban dan keamanan

B.2. Industri Mempengaruhi Masyakat

Industri dalam arti luas, industri yang berkaitan dengan teknologi,

ekonomi, perusahaan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Pengaruh yang

(40)

masyarakat. Berbicara industri adalah berbicara masalah proses mekanisasi yang

berdampak pada skala luas produksi besar-besaran, spesialisasi dan pembagian

kerja dengan merambah berbagai bidang seperti pertanian, energi, komunikasi,

transportasi, dan lain-lain.

Menyertai perubahan di bidang ekonomi terjadi pula perubahan yang

komplek dalam kelompok sosial dan proses sosial. Pada tahap proses

indusstrialisasi bisaanya bergandengan dengan urbanisasi dan peningkatan

mobilitas penduduk. Terdapat pula perubahan yang penting dalam adat kebisaaan

dan moral masyarakat yang mempengaruhi penggolongan primer maupun

sekunder, dimana penggolongan sekunder memainkan peranan yang sangat

besar.yang sangat menonjol adalah pengaruh-pengaruh yang disebabkan oleh

status pekerjaan, keahlian-keahlian para pekerja, terhadap kehidupan keluarga dan

kedudukan wanita, terhadap tradisi-tradisi dan terhadap konsumsi barang.14

Industri member input terhadap masyarakat sehingga membentuk sikap

dan tingkahlaku yang tercermin dalam sikap bekerja. Weber mengatakan bahwa

dengan adanya teknologi baru, diperlukan suatu nilai yang akan mengembangkan

masyarakat menjadi masyarakat kapitalis tradisional; demikian juga jika hendak

membangun masyarakat kapitalis modern diperlukan nilai-nilai tertenu.

Masyarakat pada umumnya harus menerima posisi mereka baik dalam struktur

industri maupun struktur sosial yang lebih luas lagi. Karena tingkat produksi

tergantung pada tingkat konsumsi , masyarakat harus dibujuk untuk membeli

berbagai jenis barang dan jasa yang diproduksi oleh pihak industri.15 Mereka

       14

Nurkholis Madjid, Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan, hal. 140  15

(41)

memiliki fungsi untuk memproduksi berbagai jenis barang dan jasa sekaligus

meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa hasil produksi. Usaha dalam

meningkatkan produksi dan konsumsi melibatkan nilai-nilai dalam tingkat

“masyarakat makro”. Jika ada perubahan nilai-nilai dalam masyarakat, walaupun

hal itu bersifat lokal ia akan melahirkan perubahan dalam industri. Seperti contoh

di kampung Panyawungan, dengan merebaknya industri textile di kampung

tersebut, biaya hidup di kampung tersbut menjadi sangat tinggi, dan hal itu

menyebabkan permintaan kenaikan gaji oleh buruh atau penambahan jam kerja

sebagai alternatif.

Selain itu industri juga memiliki dampak pada perubahan fisik dalam

masyarakat. Akibat yang dirasakan oleh masyarakat dengan adanya industri bisa

dalam bentuk yang berbeda-beda. Hal ini seperti terjadi di wilayah kampung

Panyawungan Kedatangan industri menjadikan kampung ini bukan lagi kampung

yang hanya mengantungkan hidupnya dari bertani yang sifatnya subtantif tapi

telah berevolusi menjadi masyarakat yang mempunyai banyak wilayah lapangan

kerja, seperti menjadi buruh industri, penyedia jasa bagi pihak industri maupun

buruh industri, dan lain-lain. Industri juga telah menjadikan harga tanah di

wilayah ini menjadi sangat mahal. Kampung Panyawungan juga menjadi

kampung sebagai penampung tenga kerja yang jumlahnya sangat fantastis, maka

tidak heran apabila interaksi dengan berbagai macam budaya yang berbeda

menjadikan masyarakat kampung Panyawungan kini tidak lagi bisa disamakan

(42)

B.3. Industri mempengaruhi Politik

Salah satu persoalan kekuasaan yang sangat relevan untuk masyarakat

modern adalah hubungan antara perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

dengan kekuasaan politis. Di dalam sebuah masyarakat yang menjadi modern,

perkembangan ilmu pengetahuan, teknolgi dan juga industri tidak terjadi dalam

lingkungan yang terbatas melainkan meluas kedalam kehidupan yang luas.

Merujuk pada pemikiran Habermas, dalam tanggapan kritisnya terhadap

Aldous Huxley, Habermas setuju bahwa hubungan antara dunia ilmu

pengaetahuan dan dunia kehidupan sosial itu terdapat dalam identitas ilmu

pengetahuan dengan kekuasaan, tetapi Habermas berpendapat bahwa hubungan

kedua dunia itu tidak langsung. Kita tidak dapat begitu saja mempengaruhi dunia

kehidupan sosial dengan membawa hipotesa-hipotesa atau teori-teori ilmiah. Hal

itu karena perbedaan kedua dunia tersebut. Dunia ilmu pengetahuan adalah

sturuktur-struktur hasil rekontruksi yang halus, dunia yang serba teratur dan dapat

di kuantifikasi, dunia yang terbuka bagi pengalaman yang dapat di uji secara

intersubjektif. Sedangkan dunia pengalaman sehari-hari atau disebut “dunia

kehidupan sosial” adalah dunia pengalaman pribadi, dunia tempat manusia lahir,

hidup, mati, dunia tempat mausia mencintai, membenci, kalah, menang, harapan

dan putus asa. Dunia ilmu pengetahuan itu dingin, tenang penuh

abstraksi-abttraksi halus, padat dengan klaim-klaim universal. Sedangkan dunia kehidupan

sosial itu bergoalak, konkrit, padat dengan pengalaman-pengalaman unik.16

       16

(43)

Untuk menyatukan kedua kehidupan berbeda tersebut, menurut Habermas

dibutuhkan sebuah medium, yaitu penrapan teknisnya (teknologi). Ketika

pengetahuan ilmiah menjadi pengetahuan teknolgis, menurut Habermas, sifat

kekuasaan dari ilmu pengetahuan menjadi efektif dalam dunia kehidupan. Dalam

hal ini informasi-imformasi ilmiah ini dipakai untuk memperluas control teknis

kita. Jadi pengetahuan tentang fisika atom, misalnya, tanpa penerapanya menjadi

teknologi atom, tidak memiliki konsekwensi bagi penafsiran atas dunia kehidupan

kita.

Dalam masyarakat industri dewasa ini pengetahuan teknis yang dihasilkan

lewat penerapan ilmu pengetahuan menjadi teknologi telah merasuki apa yang

disebut Habermas sebagai “kesadaran praktis” kita. Yang diacu oleh istilah ini

adalah adalah kesadaran yang muncul melalui interaksi intersubjektif dalam

masyarakat, seperti: nilai-nilai, etika, pemahaman-diri, tafsiran kultural, dan

seterusnya.

Pengetahuan teknis bukan lagi soal teknik-teknik pertukangan tradisional,

melainkan sudah memperoleh bentuk informasi ilmiah yang dapat dipakai untuk

teknologi. Habermas melihat bahwa dalam kemajuan teknis macam ini,

tradisi-tradisi kebudayaan yang semula mengontrol tingkah laku sosial tidak lagi bisa

begitu saja mendifinisikan pemahaman-diri masyarakat modern.17

Seperti dikatakan di atas, bahwa industri erat kaitanya dengan ekonomi,

dan seiring kemajuannya juga tidak lepas dari proses sosial. Berbeda dengan

Habermas yang menilik kontelasi antara industri dan politik dari sisi ilmu terapan,

       17

(44)

Kuntowijoyo melihat konstelasi antara industri dengan politik dengan

menggunakan analisa ekonomi politik. Dalam bukunya “Paradigma Islam:

interpretasi untuk aksi (2001)”, Kuntowijoyo menggambarkan tentang kuatnya

modal swasta timur asing (khususnya Cina) dalam proses industrialisasi kontek

Indonesia sangat menonjol. Bahkan sebagian dari usaha mereka dapat menyaingi

usaha pemerintah. Akibatnya kaum menengah pribumi tergeser posisinya dalam

usaha yang membutuhkan modal besar dan organisasi besar. Organisasi Sarekat

Islam adalah organisasi yang berorientasi ekonomi politik dan mencoba melawan

dominasi swasta asing.

Pasca 1965, pembangunan industri pada khususnya dan ekonomi pada

umumnya, masih juga ditangani oleh pemerintah bersama modal swasta. Namun

terdapat pendatang baru yang memasuki sektor usaha padat modal ini dari

kalangan birokrat dan militer. Tentu saja hal itu disambut baik oleh pihak swasta

dengan harapan mendapatkan jaminan keamanan dari kekuatan sosial macam PKI

atau radikalisme Islam.18 Sebaliknya, pihak pemerintah membutuhkan dana untuk

melakukan kegiatan politik-politiknya yang didukung oleh pihak pemilik modal.

Singkatnya kancah maupun perjalanan politik bangsa kita juga tidak bisa lepas

dari pengaruh industri.

Pandangan Habermas dan Kuntowijoyo di atas, sengaja penulis

kemukakan karena menurut penulis hal ini cukup relevan dengan permasalahan

yang akan diteliti oleh penulis. Industri sebagai konsekuensi kemajuan dari

terapan ilmiah dan industri juga berkaitan langsung dengan hukum ekonomi,

       18

(45)

dengan sendirinya akan membentuk kesadaran interaksi intersubjektif dalam

masyarakat. Masyarakat baik segi-segi nilai maupun fisik, dalam segi nilai,

industri akan menghasilkan masyarakat yang berorientasi pada materialis,

hubungan fungsional, modern, kompetitif, rasional dan heterogen. Sedangkan kita

ketahui bahwa pesantren (utamanya salafy) adalah lembaga yang memproduksi

nilai-nilai seperti kesederhanaan, kebersamaan, tradisional, religius, homogen,

akhlak dan nilai-nilai luhur.19 Dari perbedaan kedua kutub dari nilai-nilai, etika,

pemahaman-diri, dan tafsiran cultural tersebut akan mempengaruhi bentuk dari

interaksi intersubjektif dalam masyarakat.

C. AGAMA DAN POLITIK

Agama sebagai pengatur hubungan antar manusia dan juga hubungannya

dengan Tuhan, pada dasarnya sudah berbekas pada individu, bagaimanapun dalam

masyarakat yang sudah mapan atau belum, agama merupakan salah satu struktur

institusional mempunyai nilai dan norma penting ang melengkapi keseluruhan

sistem sosial.

Agama yang menyangkut kepercayaan beserta ritual-ritualnya yang

menjadi pengalaman dalam masyarakat sehingga menimbulkan pengalaman

tersendiri

Penelaahaan terhadap agama merupakan hal yang mesti dilakukan, karena

pemahaman bagi pemeluknya sangat beragam dan bermacam-macam, menurut

Abdullah, sebagaimana dikutip oleh Imam dan Tobroni, agama merupakan

landasan terbentuknya suatu masyarakat yang kognitif. Artinya, agama

       19

(46)

merupakan awal dari terbentuknya suatu komunitas atau kesatuan hidup yang

diikat oleh keyakinan akan kebenaran hakiki yang sama yang memungkinkan

berlakunya suatu patokan pengetahuan yang sama.20 untuk itu dapat dikatakan

bahwa pada umumnya orang percaya pada agama yang bersifat holistik sebagai

alat untuk mencerna kehidupan. Bahwa agama memberi panduan, nilai, moral,

dan etika perilaku dalam bentuknya yang universal.

Apa yang diungkapakan dalam definsi prilaku, bahwasanya perilaku

tidaklah akan tetap, dan pada suatu saat dapat mengalami pergerakan atau

perubahan akan terlihat seiring dengan sosio-kulturalnya dan perkembangan

seseorang tersebut.

Ada beerapa unsur pokok tujuan politik untuk mendapatkan kekuasaan

yang dapat dijumpai pada interaksi sosial antar manusia ataupun antara kelompok

yaitu adanya unsur takut. adanya unsur rasa cinta, adanya unsur pemujaan dan

adanya unsur kepercayaan.21

Jadi prilaku politik adalah tingkah laku terorganisir dalam upaya mencapai

tujuan politik dengan unsur-unsur yang sistematis, bagi David Easton, perilaku

politik pertama terdri dari alokasi nilai-nilai yang kemudian pengapikasianya

tersebut bersifat mengikat terhadap masarakat secara keseluruhan.

Identifikasi prilaku politik yang menyangkut proses penentuan

tujuan-tujuan adalah sebagai berikut:

       20

Imam Suprayogo dan Tobroni, metodologi penelitian sosial Agama, (bandung: PT. Remaja Rosda Karya), h. 16 

21

(47)

1. Pengambilan keputusan;

2. Skala prioritas dalam menentukan kebijakan-kebijakan umum; dan

3. Pengaturan dan pembagian sumber alokasi yang ada.

Dari ketiga tipe di atas untuk melaksanakanya memerlukan kekuasaan

(power) dan kewenagnan (authority), untuk membina kerjasama maupun untuk

melaksanakan konflik yang mungkin dalam proses itu akan terjadi. Banyak cara

yang dilakukan seseorang dalam menyampaikan tujuannya seperti persuasi dan

paksaan.

Bagaimanapun agama selalu membayang-bayangi proses kehidupan

seseorang. Namun yang menjadi sorotan penting adalah gejala-gejala yang timbul

dalam penguasaan sekelompok orang yang berkuasa terhadap berbagai kelompok

rakyat banyak yang dipandang sebagai usaha penataan umat.

D. PENGERTIAN BUDAYA POLITIK

D.1 Pengertian Umum Budaya Politik

Ada banyak ahli politik yang mengkaji tema budaya politik, sehingga

terdapat banyak konsep tentang budaya politik salah satu sarjana yang

berpengaruh dan banyak memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan

budaya politik adalah Gabriel A. Almond. Dalam karyanya yang ditulis bersama

Sidney Verba berjudul The Civic Culture, Ia menyatakan, Istilah budaya politik

terutama mnegacu pada orientasi politik, sikap terhadap sistem politik dan

bagian-bagianya yang lain serta sikap peranan kita sendiri dalam sistem tersebut. Adpun

(48)

1. Kay Lawson (1989) menyatakan: a political culture, that is, there is a set

of overtly political values, which defines the situation in which political

action takes place (suatu budaya politik, yaitu terdapatnya satu perangkat

yang meliputi seluruh nilai-nilai politik, yang terdapat di seluruh bangsa).

2. Sidney Verba (1995) menyatakan: political culture is the sistem of

empirical beliefs, eksvressive simbol, and values, which define the

situation in political action takes place (budaya politik adalah suatu sistem

kepercayaan empirik, simbol-simbol eskpresif, dan nilai-nilai yang

menegaskan suatu situasi di mana tindakan politik dilakukan).

3. Alan R. Ball (1971) menyatakan: a political culture is composed of the

attitudes, beliefs, emotions and values society that relate to the political

sistem and to political issus (budaya politik adalah suatu susunan yang

terdiri atas sikap, kepercayaan, emosi, dan nilai-nilai masyarakat yang

berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik).22

Budaya politik merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan

cirri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik masalah legitimasi, pengaturan

kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai

politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang

memerintah. Kegiatan politik juga saling memasuki dan mempengaruhi dengan

dunia keagamaan, kegiatan ekonmi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara

luas.

       22

(49)

Gabriel A. Almond berpendapat bahwa budaya politik merupakan dimensi

psikologi dari sistem politik, yang mana budaya politik besumber pada

penalaran-penalaran yang sadar. Konsep budaya politik terdiri atas sikap, keyakinan,

nilai-nilai dan keterampilan yang sedang berlaku pada seluruh anggota masyarakat

termasuk pada kebisaaan yang hidup pada masyarakat.

Yang telah dipaparkan di atas adalah konsep dari budaya politik

sedangkan untuk definisinya adalah sebagai berikut:

1. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas

pengetahuan, adat-istiadat, takhayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan

diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut

memberikan rasional untuk menerima atau menolak nilai-nilai dan norma

lain.

2. Budaya politik dapat diihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang

pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi,

dan nasionalisme. Yang kedua apek generik menganalisis bentuk, peranan,

dan ciri-ciri budaya politik, seperti militant, utopis, terbuka, dan tertutup.

3. Hakikat dari ciri budaya olitik adalah prinsip dasar yang melandasi suatu

pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.

4. Bentuk budaya politk menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka

dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam

pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong

(50)

atau mendorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau

politik).23

Berdasarkan dari definisi tersebut, maka dapat ditarik beberapa batasan

konseptual tentang budaya politik. Pertama, konsep budaya politik lebih

mengedepankan aspek-aspek nonperilaku actual seperti orientasi, sikap,

nilai-nilai, dan kepercayaan-kepercayaan. Kedua, hal-hal yang diorientasikan dalam

budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap berbicara budaya politik maka

tidak akan lepas dari perbicaraan kaum politik. Hal-hal yang diorientasikan dalam

sistem politik, yaitu setiap komponen yang terdiri dari

komponen-komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Ketiga, budaya politik

merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen-komponen

budaya politik dalam tataran massif bukan pada tataran individu.

D.2. Tipe-Tipe Budaya Politik

1. Berdasarkan Pola Otoritas

Gagasan mengenai norma-norma atau tatanan yang legitim mengenai

masyarakat, Weber membuat tiga garis besar untuk tiga tipe ideal tatanan atau

otoritas yang legitim. Pertama, Otoritas tradisional. Otoritas yang didasarkan pada

penerimaan kesucian aturan-aturan karena aturan-aturan tersebut telah lama ada

dan dalam legitimasi mereka yang telah mewariskan hak untuk memerintah

dengan aturan-aturan tersebut. Dalam tatanan tradisional individu merasakan

loyalitas terhadap masa lalu dan mereka yang mewakili masa lalu itu, sebuah

       23

Uwes Fatoni, “Politik Tradisional, Transisi dan Modern”, artikel diakses tanggal 17 Februari 2010 dari http//www.scribd.com/index.php

(51)

loyalitas yang asal-usulnya seringkali berasal dari sebuah kepercayaan akan

kesakralan peristiwa-peristiwa sejarah tertentu.

Kedua, Otoritas kharismatis. Jenis tatanan ini dilegitimasikan dengan

kualitas-kualitas pribadi terkemuka dari individu-individu yang luar bisaa yang

kesuciannya, heroismenya atau keutamaannya memungkinkan mereka untuk

memerintah sejumlah besar orang dalam hubungan-hubungan langsung. Kharisma

dilukiskan sebagai kualitas-kualitas adimanusiawi yang seperti pada para nabi

atau para pahlawan militer yang memungkinkan mereka untuk memaksakan

gagasan-gagasan dan nilai-nilai mereka sendiri pada seluruh kelompok.

Ketiga, otoritas rasional atau legal. Otoritas jenis ini didasarkan pada

sebuah kepercayaan akan ‘legalitas’ aturan-aturan tertentu yang berarti bahwa

mereka yang memunculkan aturan-aturan itu memiliki hak untuk melakukan itu

menurut aturan-aturan yang masih lebih dulu lagi yang mendasari dia sehingga

memiliki hal untuk memerintah. Di dalam tatanan yang rasional memungkinkan

individu mengetahui aturan-aturan mana yang secara formal betul dan telah

dipaksakan dengan sebuah prosedur yang diterima. Sebuah tatanan impersonal

yang tidak tergantung pada kualitas-kualitas individu-individu yang menciptakan

aturan-aturan atau pada status mereka sebagai penjaga-penjaga tradisi.

Distingsi-distingsi di atas dapat menjelaskan bahwa para penguasa dalam

batas-batas tatanan mereka jika ingin mereka tidak ingin kehilangan kekuatannya

untuk memerintah. Dalam otoritas tradisional misalnya, sang penguasa dituntut

untuk mengikuti praktik-praktik yang lazim, seperti para pemimpin tradisi Watu

Telu di Nusa Tenggara Timur yang melakukan puasa pada bulan tertentu; dalam

Gambar

Tabel 2. Tipologi Pendidikan Pendidikan ................................................................... 73 
Gambar 2. Antusiasme Warga Dalam Membangun Masjid ..................................... 63 
GAMBARAN PONDOK PESANTREN NAHDJUSSALAM DAN KP.
Tabel 2. Tipologi Pendidikan Pendidikan ................................................................... 73 
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang telah disepakati, penjual mendapatkan manfaat keuntungan, dan pembeli mendapat manfaat dari benda yang dibeli 26

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pengurus Partai Politik apabila terbukti melakukan jual beli dukungan Partai Politik dan gabungan Partai Politik yang hasil dari

Wilayah Rantau Minangkabau termasuk wilayah Provinsi Jambi, Provinsi Riau, hingga Negeri Sembilan (Malaysia). Jual-beli tanah ulayat disebabkan karena penyimpangan yang

Menurut Tankovic dan Benazic (2018), ketika pengguna merasa sebuah layanan e-commerce memberikan keuntungan ekonomis, menghemat waktu, dan aktifitas jual beli

Pengujian analisis koefisien determinasi diperoleh bahwa persentase besarnya pengaruh Pelayanan Pendaftaran tanah terhadap kepuasan masyarakat Kota Langsa adalah 14.2%

Praktik pengambilan keuntungan jual beli beli pengecer di atas harga eceran tertinggi di Desa Pilang Kecamatan Wonoayu Kabupaten Sidoarjo dilihat dari segi pelaksanaannya

Harga jual adalah harga beli dari produsen (pabrik atau toko) ditambah keuntungan (mark-up). Kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu

Margin (keuntungan) dalam murabahah adalah sejumlah uang yang dibayarkan sebagai keuntungan bank atas terjadinya jual beli dengan nasabah, dimana uang tersebut