MELALUI KOMBINASI PENGATURAN AIR IRIGASI
DAN
PEMANGKASAN DAUN BAWAH PADA LAHAN KERING
BERIKLIM KERING
HARUNA G251090021
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Efisiensi Pemanfaatan Air dan Radiasi Surya untuk Peningkatan Produktivitas Jagung Melalui Kombinasi Pengaturan Air Irigasi dan Pemangkasan Daun Bawah pada Lahan Kering Beriklim Kering adalah benar-benar hasil karya saya melalui penelitian yang di dukung oleh bimbingan dan arahan dari komisi pembimbing. Hasil penelitian bukan jiplakan dan belum pernah dilakukan oleh perguruan tinggi manapun. Sumber informasi sebagai pendukung diperoleh dari beberapa karya tulis yang telah diterbitkan maupun yang belum diterbitkan dan terinci dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Desember 2011
Haruna
HARUNA. The Efficiency of Water Used and Solar Radiation to Enhancing Corn Productivity through the Combination of Water Irrigation Management and Below Leaf Pruning on the Dry Climate Area. The supervisions are YONNY KOESMARYONO and BUDI KARTIWA.
The research of the influence of dose management on water irrigation and Corn’s below leaf prune to the Lamuru productivity in the dry climate area has been done. This research was conducted on the Naibonat Expriment Farm, East Kupang Sub District, Kupang, Nusa Tenggara Timur, from June to October 2011. The area has been used is 72 m x 32 m using Split Plot Design Methods. This research was using two treatments; the first treatment is conducted on the main plot with water irrigation dose given 100%, 80%, 60%, and the dose control is appropriate with the Farmer’s custom. The second is conducted to the Corn’s leaf at the generative phase through with and without leaf pruning on the determined sub main plot. The result has showed that water irrigation dose treatment between 80% and 60% is significant to the Corn’s productivity that is 7.7 ton/ha and 5.3 ton/ha, but not significant to the control (7.0 ton/ha). On the other hand, the treatment with and without leaf prune are not significant to the growth component because the prune is conducted at the generative phase. The Anova test result has not showed the significance between the treatment of with and without leaf prune to the Corn’s productivity. The 80% dose of water irrigation could thrift the water until 842 m3or 20% per one planting season in one hectare. Meanwhile, the farmer’s custom has lavished of the water until 2.105 m3 or 50% per one planting season in one hectare. Based on the analysis, the optimizing of water irrigation interval is seven times along one planting period which is more efficient than Farmer’s used with fourteen times along one planting period.
Produktivitas Jagung Melalui Kombinasi Pengaturan Air Irigasi dan Pemangkasan Daun Bawah pada Lahan Kering Beriklim Kering. Dibimbing oleh YONNY KOESMARYONO dan BUDI KARTIWA.
Keterbatasan air pada musim kemarau menjadi faktor pembatas dalam peningkatan produktivitas hasil pertanian di lahan kering beriklim kering. Tanaman jagung merupakan komoditas yang cocok pada lahan kering beriklim kering karena selain tahan terhadap intensitas cahaya yang tinggi juga resisten terhadap kekeringan. Tingginya penguapan melalui evapotranspirasi pada musim kemarau dapat mempercepat berkurangnya ketersedian air. Pengaturan sistim irigasi yang dikombinasikan dengan pemangkasan daun bagian bawah tanaman jagung merupakan salah satu cara dalam mengefisienkan penggunaan air baik secara teknis maupun secara fisiologi tanaman. Tujuan penelitian untuk menganalisis pengaruh pengaturan pemberian air irigasi dengan pemangkasan daun bagian bawah terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman jagung.
Penelitian ini dilakukan di Kebun Percobaan Naibonat, Balai Pengakajian Teknologi Nusa Tenggara Timur (BPTP NTT). Benih jagung yang digunakan adalah varietas Lamuru. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok terpisah (Split plot disegn). Petak utama percobaan menggunakan 3 taraf perlakuan dosis pemberian irigasi (100%, 80%, 60%) serta perlakuan kontrol (kebiasaan petani) sebagai pembanding. Sedangkan anak petak percobaan menggunakan 2 perlakuan yaitu pemangkasan daun bawah tanaman dan tanpa pemangkasan. Untuk menghasilkan efisiensi penggunaan air digunakan teknik irigasi beralur (furrow). Sedangkan penentuan interval pemberian irigasi berdasarkan evapotranspirasi kumulatif tanaman perfase pertumbuhan tanaman setiap harinya. Pengujian data kuantitatif dilakukan dengan model linear, dengan hasil produksi jagung sebagai variabel terikat serta perlakuan pemberian dosis irigasi dan pemangkasan daun sebagai variabel bebas. Data yang dihasilkan dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak SAS.
pemborosan air sebesar 2.105 m atau 50% air per satu musim tanam dalam 1 ha. Interval irigasi yang optimal berdasarkan analisis adalah 7 kali irigasi selama 1 periode penanaman dan lebih efesien jika dibandingkan kebiasan petani dengan 14 kali irigasi selama 1 periode penanaman.
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar di IPB.
DAUN BAWAH PADA LAHAN KERING BERIKLIM KERING
HARUNA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Klimatologi Terapan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Haruna
NIM : G 251090021
Disetujui
Komisi Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS Dr. Ir. Budi Kartiwa, CESA
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Klimatologi Terapan,
Prof. Dr. Ir. Handoko, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha Kuasa atas
Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Judul penelitian
ini adalah Efisiensi Pemanfaatan Air dan Radiasi Surya serta Peningkatan
Produktivitas Jagung Melalui Kombinasi Pengaturan Air Irigasi dan Pemangkasan
Daun Bawah pada Lahan Kering Beriklim Kering.
Penulis menyampaikan penghargaan dan terimah kasih Kepala Badan Litbang
Pertanian periode 2009 (Bapak Dr. Gatot Irianto dan (Bapak Dr. Haryono periode
2011 sampai sekarang) yang telah memberikan kesempatan dan biaya studi Magister
saya di IPB sampai selesai. Terima kasih juga kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Yonny
Koesmaryono, MS selaku Ketua Komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Budi
Kartiwa, CESA selaku anggota komisi pembimbing dan Dr. Ir. Impron, M.Agr,Sc
yang telah membantu membimbing dan mengarahkan sehingga penelitian ini dapat
diselesaikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala BPTP NTT dan
Kepala Kebun Percobaan (KP) Naibonat yang telah menfasilitasi tempat penelitian
dan sarana pendukung lainnya. Dan terima kasih pada teman-teman mahasiswa
Program Studi Klimatologi Terapan (Alimatul Rahim, Mamenum), dan teman-teman
pasca lintas jurusan (Ir. Awaludin Hipi, M.Si, Muh. Qadar Hasani, Joni) yang telah
memberikan masukan dan dukungan. Rasa hormat yang setinggi-tingginya penulis
sampaikan kepada kedua orang tua (Hj. Ginggang) dan Beddu (alm) dan kedua
mertua (Budi Sutikno dan Suhartatik) dan lebih khusus Istri tercinta (Sri Lestari) dan
putra-putriku (Muh. Nur Rhohmat, A. Nadhif Zuvar dan Syifa Aulia).
Penulis menyadari bahwa laporan hasil penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan, sehingga penulis berbesar hati untuk selalu menerima saran dan
masukan yang sifatnya membangun untuk menyempurnakan hasil penelitian ini. Atas
segala saran dan masukan, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga laporan ini
senantiasa bermanfaat.
Penulis dilahirkan di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan pada tanggal 15 Maret 1973 sebagai anak ke delapan dari delapan bersaudara dari pasangan Bapak Beddu (alm) dan ibu Hj. Ginggang.
i
Mekanisme Toleransi Tanaman Terhadap Cekaman Air ..…………. 11
Pengaturan Air Irigasi Bagi Tanaman ………..… 12
Defisit Air dan Pemangkasan ……….... 12
PemangkasanDaun ………..……….. 13
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ……… 17
Tempat dan Waktu ……… 17
Bahan dan Alat ……… 17
Rancangan Penelitian ……… 22
Pelaksanaan Penelitian ………. 22
A. Tahap Persiapan ………...………. 22
1. Penentuan / Pemilihan Lokasi……….. 22
2. Penanaman……….……….. 25
3. Pemupukan………... 26
4. Pemeliharaan Tanaman……… 26
B. Tahap Pengamatan dan Pengukuran……….…… 27
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……….…… 34
A. Keadaan Umum Lokasi ……… 34
B. Sistim Pengairan ……… 38
C. Variabel Tanaman ……… 44
D. Intersepsi Radiasi ... ……… 47
E. Efisiensi Radiasi…...……… 49
F. Komponen Hasil ………. 51
KESIMPULAN DAN SARAN..……… 63
ii
Halaman
1. Kandungan Kalium dan Fotosintesis daun Jagung……… 14
2. Sifat Fisik Tanah di Lokasi Penelitian ……… 35
3. Tingkat Kemiringan Lahan di Lokasi Penelitian ……… 36
4. Perhitungan Kebutuhan Irigasi ……… 39
5. Pemberian Dosis Irigasi ……… 40
6. Interval Pemberian Irigasi ……… 41
7. Tabel Rektangular untuk Menentukann Debit Air ……… 42
8. Berat Tongkol dengan Perlakuan Dosis Irigasi……… 52
9. Berat Tongkol dengan Perlakuan Daun …….………. 53
10. Panjang Tongkol dengan Perlakuan Dosis Irigasi……… 54
11. Panjang Tongkol dengan Perlakuan Daun……… 55
12. Diameter Tongkol dengan Perlakuan Dosis Irigasi……… 56
13. Diameter Tongkol dengan Perlakuan Daun……… 57
14. Jumlah Biji dengan Perlakuan Dosis Irigasi……… 58
15. Jumlah Biji dalam 1 Baris dengan Perlakuan Daun .……… 58
16. Produksi Biji Pipilan dengan Perlakuan Dosis Irigasi……… 59
17. Produksi Biji Pipilan dengan Perlakuan Daun……… 60
iii
Halaman
1. Alur Pikir Pemberian Dosis Air Irigasi……… 20
2.Alur Pikir Interval Pemberian Dosis Irigasi ……… 21
3. Lokasi Penelitian ……… 22
4. Pengolahan Lahan ……… 23
5. Pembuatan Ajir ……… 23
6. Pembuatan Furrow ……… 24
7. Pemasangan Pintu Air ……… 24
8. Pengairan dan Penjenuhan Lahan ……… 25
9. Pemagaran Lahan ……… 25
10. Penanaman ……… 25
11. Pengukuran Tinggi Muka Air ……… 27
12. Stasiun Klimatologi ……… 28
13. PengukuranTinggi Tanaman ……… 31
14. Kadar Air Tanah Sehari Sebelum Irigasi……… 36
15. Kadar Air Tanah Sehari Setelah Irigasi……… 37
16. Kadar Air Tanah Tujuh Hari Setelah Irigasi ……….... 38
17. Bentuk Pintu Air Primer dan Cara Pengukuran ……… 43
18. Pendistribusian Air Melalui Pintu Air Sekunder ……… 43
19. Perkembangan Jumlah Daun ……….. 44
20. Luas Daun Berdasarkan Waktu Setelah Tanam …………..……… 45
21. Rata-rata Indeks LuasDaun ……….. 46
22. Tinggi Tanaman Berdasarkan Waktu Setelah Tanam ……….. 47
23. Intersepsi Radiasi Matahari pada Daun Tanpa Pangkas……… 48
24. Intersepsi Radiasi Matahari pada Daun yang di Pangkas ………. 49
25. Hubungan Efesiensi Radiasi dengan Biomass ………. 51
26. Berat Tongkol dengan Perlakuan Dosis Irigasi ……… 53
27. Berat Tongkol dengan Perlakuan Daun …………..……….. 53
28. Panjang Tongkol dengan Perlakuan Dosis Irigasi ……… 54
iv
32. Jumlah Biji Perbaris dengan Perlakuan Dosis Irigasi ……… 58
33. Jumlah Biji Perbaris dengan Perlakuan Daun ……… 59
34. Berat Pipilan dengan Perlakuan Dosis Irigasi .……….…. 60
v
Halaman
1. Deskripsi Varietas Jagung Lamuru ………...…… 70
2. AnalisisKomponen Hasil ….. ………. 71
3. Outlet Rancangan Percobaan ……….. 75
4.Fase Pertumbuhan Jagung ……….……….. 76
5. Gambar Pertumbuhan Tanaman Jagung per 2 MST ……… 78
6. Data Klimatologi Lokasi Penelitian ……… 79
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberadaan lahan kering di Indonesia masih cukup luas yakni 143 juta ha (Hidayat dan Mulyani, 2005) dan 76,3 juta ha yang sesuai untuk lahan pertanian
(Puslibangtanak, 2001; Admihardja et al., 2005). Lahan kering Indonesia dibedakan atas lahan kering basah dan lahan kering beriklim kering. Lahan kering beriklim kering dicirikan curah hujan tahunan < 2000 mm/tahun (Las et al., 1991), sedangkan menurut Iriantoet al.,(1998) curah hujannya < 1500 mm/tahun
dalam masa yang pendek, 3–5 bulan.
Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu wilayah yang dikategorikan sebagai lahan kering beriklim kering. Keberadan lahan kering NTT masih cukup potensial karena luasannya mencapai 3.35 juta hektar dan baru 34% yang dikelola oleh masyarakat (Irham, 2008 dalam Kartiwa et al., 2009). Distribusi curah hujan yang tidak pasti merupakan faktor dominan yang
mempengaruhi produktivitas lahan kering, oleh karena itu diperlukan upaya khusus dalam pengaturan air irigasi. Pengaturan dalam pemberian irigasi di daerah tropika sering menguntungkan produksi tanaman (Bakkeret al., 1999; Renault et al., 2001).
Hasil analisis neraca air (Kedanget al., 2008) menyatakan bahwa surplus
air di wilayah NTT terjadi pada bulan Februari – April, sedangkan defisit air terjadi pada bulan Mei–Nopember, dengan demikian air merupakan sesuatu yang langka bagi masyarakat NTT. Praktek pertanian lahan kering dapat ditingkatkan dengan meningkatkan indeks pertanaman dari 200 menjadi 300% (Sutono et al., 2001; Soelaemanet al., 2001; Talao’hu et al., 2003). Namun pelaksanaan irigasi
tersebut belum efisien sehingga terjadi pemborosan sebesar 10.5 mm/hari (Sutono, et al., 2001). Secara umum diperlukan tindakan nyata untuk mengurangi penggunaan air air irigasi menjadi 65– 75% dengan cara menekan kehilangan air dan meningkatkan efisiensi pengairan (Partowijoyo, 2002).
Peranan lahan kering semakin penting artinya pada saat sekarang ini dan
lahan produktif sudah semakin sempit akibat adanya konversi lahan pertanian menjadi lahan industri dan perumahan, namun pemanfaatan lahan kering belum maksimal, sehingga tidak representatif antara luasan tanah yang ada dengan upaya pemanfaataan atau lebih banyak dibiarkan menjadi lahan tidur (tidak produktif), sehingga produktivitas pertanian lahan kering semakin rendah.
Upaya peningkatan hasil pertanian lahan kering beriklim kering perlu
tindakan secara selektif dan memilih komoditas yang adaptif terhadap kondisi lahan kering. Komoditas jagung sangat cocok dikembangkan di lahan kering karena efisien dalam pengggunaan air juga resisten terhadap suhu yang tinggi dan secara fisiologi, efisiensi air juga dapat dilakukan dengan mengurangi tingkat
transpirasi tanaman melalui pemangkasan daun pada bagian tertentu yang tidak produktif (Kadekoh, 2003), lebih lanjut dinyatakan (Muhadjiret al.,1977) bahwa tanaman jagung digolongkan sebagai tanamam C4, yang dicirikan tidak jenuh
dengan cahaya, resisten terhadap suhu yang tinggi dan efisien dalam penggunaan air.
Kebiasaan petani pada lahan kering dalam memulai pengolahan lahan
pertanian masih bersifat tradisional dan kurang konservatif disebabkan karena proses transfer informasi dan teknologi tidak berjalan dengan baik (Haryantiet al., 2003), sehingga memicu munculnya kebiasaan yang kurang bagus seperti membakar lahan sebelum menanam. Kebiasaan tersebut dijadikan pilihan alternatif karena dianggap lebih mudah, praktis serta biaya rendah akan tetapi
dampaknya dapat merusak lingkungan dan kesuburan tanah sehingga mudah mengalami degradasi lahan seperti erosi ketika hujan.
Upaya mengatasi masalah kekurangan air pada lahan kering beriklim kering dalam meningkatkan produktivitas pertanian adalah perlunya teknologi pengelolaan irigasi yang sederhana dengan cara mengatur penggunaan air
berdasarkan kebutuhan tanaman. Pemberian air pada tanaman tidak perlu berlebihan akan tetapi disesuaikan dengan kebutuhan tanaman pada setiap fasenya (Sosrodarsono dan Tekeda, 1987).
Secara fisiologi pengurangan air bagi tanaman juga dapat dilakukan dengan mengurangi tingkat transpirasi tanaman melalui pemangkasan daun pada
direduksi. Memangkas daun pada bagian tertentu yang sedikit menerima cahaya berarti memutuskan aliran asimilasi pada daun yang tidak produktif, dan berpindah ke bagian komponen hasil. Daun bagian atas lebih produktif karena cukup banyak cahaya yang diterima, sedangkan daun bagian bawah cenderung agak ternaungi sehingga sedikit terkena cahaya. Tingginya penerimaan cahaya mencerminkan proses fotosintesis yang terjadi cukup besar. Sehingga perlu
pemangkasan daun yang tidak produktif (Kadekoh, 2003).
Pengaturan sistim pemberian air irigasi dengan pola beralur (furrow) yang dikombinasikan dengan pemangkasan daun bagian bawah pada tanam jagung diharapkan dapat menghasilkan efisiensi air sesuai kebutuhan tanaman dan
efisiensi energi radiasi pada lahan kering beriklim kering sehingga produktivitas hasil dapat tercapai secara optimum.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengaturan pemberian air irigasi dengan pemangkasan daun bagian bawah terhadap
pertumbuhan dan produktivitas tanaman jagung.
Hipotesis
1. Pengaturan pemberian air irigasi akan mengifisienkan penggunaan air untuk kebutuhan air pada tanaman jagung pada periode musim kemarau.
2. Pemangkasan daun bagian bawah tanaman jagung akan mengifisienkan aliran energi radiasi dan akan berpengaruh pada produktivitas jagung.
3. Interaksi pengaturan pemberian air irigasi dengan pemangkasan daun bawah tanaman jagung akan berpengaruh pada produktivitas.
Keluaran yang diharapkan
BAB II
TINJAUN PUSTAKA
Pertanian Lahan Kering
Pertanian lahan kering pada umumnya terletak di bagian hulu dan tengah suatu daerah aliran sungai (DAS). Sumber air diperoleh dari air hujan (rainfed)
baik berupa sawah (lowland, wetland) maupun secara tegal atau ladang (upland) (Notohadiprawiro, 1988, dalam Suyana, 2003). Biasanya menempati areal marginal dengan keterbatasan ketersediaan air. Erosi lahan kering telah mencapai tingkat yang menghawatirkan, bahkan di beberapa daerah karena sangat menurun
kesuburannya akibat erosi dapat dikategorikan sebagai lahan kritis (Suyana, 2003).
Potensi lahan kering di Indonesia masih cukup luas yakni 33,7 juta ha (Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan 1993, dalam Suyana, 2003), hal ini menjadi dasar pertimbangan untuk pengembangan usaha tani pada sektor pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura, maupun tanaman
tahunan/perkebunan. Pengembangan komoditas pangan dan yang sudah diusahakan antara lain padi gogo, jagung, kedelai, sorghum dan palawija lainnya (Mulyani, 2006). Berdasarkan data Pusat Penelitan dan Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbangkan) ada 7 provinsi yang memiliki potensi pengembangan tanaman lahan kering seperti padi gogo dan palawija yaitu Riau (291.077 ha)
Sumatera Selatan (1.437.075 ha), Lampung (802.341 ha), Jawa Barat (184.160 ha), Banten (36.632 ha), NTT (550.750 ha) dan Kalbar (2.211.632 ha) (Direktorat Perluasan Areal, 2009).
Komoditas yang adaptif pada lahan kering adalah jagung, hanya saja produktivitas rendah. Secara umum produktivias tanaman jagung senantiasa
mengalami penurunan seperti yang terjadi pada tahun 1990 – 2000, dengan persentase penurunan rata-rata sebesar 7,21 persen pertahun. Disisi lain terjadi peningkatan khsususnya pada sektor bahan pakan ternak. Kebutuhan jagung sebagai bahan pangan cenderung mengalami penurunan. Konsumsi jagung yang semakin meningkat namun belum diikuti oleh peningkatan produksi. Laju
pertahun sehingga sampai dengan tahun 2000 Indonesia masih harus impor lebih kurang 3,2 juta ton dari negara produsen.
Syarat Tumbuh
Perkembangan dan pertumbuhan tanaman jagung juga ditentukan oleh proses fisiologi yang berlangsung didalamnya seperti evapotranspirasi. Besarnya
evapotranspirasi di dipengaruhi oleh berbagai faktor (Mather, 1974), yaitu (a) iklim (radiasi neto, kecepatan angin, dan kelembaban tanah), (b) tipe tanah, (c). (d) tipe vegetasi dan kedalaman perakaran, dan (e) praktek pengolahan tanah. Dengan demikian produksi jagung merupakan konversi energi akhir biomas yang
bernilai ekonomi (Oldeman, 1977). Salah satu unsur iklim yang berpengaruh terhadap transfer energi adalah radiasi matahari. Tingginya radiasi matahari pada lahan kering beriklim kering akan mempercepat hilangnya air pada permukaan daun dan tanah sebagai bentuk evapotranspirasi. Besarnya uap air yang ditranspirasikan dipengaruhi faktor dari dalam tumbuhan (jumlah daun, luas daun, dan jumlah stomata) dan faktor luar (suhu, cahaya, kelembaban, dan angin)
(Salisbury, 1992). Lebatnnya daun pada tanaman jagung menggambarkan tingginya transpirasi. Ketidak berimbangan ketersedian air dengan tingginya transpirasi daun menyebabkan penyerapan air hanya 1% yang digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman dan sisanya 99% yang terbuang melalui transpirasi kembali ke atmosfir.
Jagung merupakan tanaman yang dapat beradaptasi baik dengan lingkungannya, dan dapat tumbuh pada kondisi iklim sedang hingga subtropik/tropis basah, dan daerah berlintang 00 – 500Lintang Utara hingga 00– 400Lintang Selatan (Anonimous, 2006). Suhu minimum untuk pertumbuhan 8 – 10 0C dan maksimun 40oC, sedangkan untuk pertumbuhan yang baik diperlukan
suhu rata – rata 24 – 29,5 oC selama periode tumbuh (Muhadjir, Sibma dan Keulen, 1977). Jika suhu diatas 290c maka air tanah akan cepat menguap sehingga mengganggu penyerapan unsur hara oleh akar tanaman, sedangkan suhu dibawah 160C akan mengurangi respirasi tanaman (Irfan, 1999).
Menurut Franke, (1981) bahwa tanaman jagung memerlukan suhu siang
stadia pertumbuhannya. Selama perkecambahan membutuhkan panas antara 150– 250 kal cm-2, Tasseling 970 – 1900 kal cm-2, Silking 1200 – 1800 kal cm-2, dan stadia pemasakan diperlukan panas 2500–3000 kal cm-2.
Jagung termasuk golongan tanaman C4, oleh phospoenol Piruvat (PEP)
dalam sel mesofil adalah senyawa dengan empat atom karbon (Bidwell, 1977). Laju fotosintesis tanaman C4 seperti tanaman jagung adalah tinggi. Oleh karena
itu jagung lebih efisien dalam pemakaian CO2. CO2 yang diserap tanaman juga
sedikit sekali yang dilepas kembali atmosfer, karena terperangkap dalam mesofil oleh enzim karboksilase atau PEP (Noggle dan Fritz, 1977). Cahaya yang datang banyak dimanfaatkan oleh tanaman jagung karena tingginya kandungan
klorofilnya yang terdapat dalam mesofil dan sel seludang pembuluh. Oleh karena itu tanaman jagung tidak mengalami kejenuhan cahaya meskipun radiasinya cukup tinggi (Hesketh dan Musgrave, 1962, dalam Hatfield, 1977). Pada konsentrasi CO2 sangat rendah (40 ppm) daun jagung memperlihatkan jenuh
cahaya.
Curah hujan yang ideal pada tanaman jagung berkisar antara 100 – 200
mm perbulan dengan distribusi yang merata, artinya kisaran tersebut jagung masih dapat tumbuh meskipun dalam kondisi beriklim kering (Rukmana, 1997).
Pertumbuhan tanaman jagung sangat respon terhadap sinar matahari (Irfan, 1999). Intensitas sinar matahari sangat penting bagi tanaman, terutama dalam masa pertumbuhan. Tanaman jagung yang ternaungi akan memperlambat
pertumbuhannya sehingga biji yang dihasilkan juga kurang baik, bahkan tidak dapat berbentuk buah (Rukmana, 1997).
Iklim Mikro di Sekitar Tanaman
Iklim mikro merupakan keadaan fisik dari udara di dekat sebuah luasan
yang kecil di permukaan bumi dan sering dihubungkan dengan kehidupan tanaman dan hewan. Iklim mikro yaitu keadaan atmosfer di dekat sebuah permukaan terbatas yang masih dipengaruhi oleh permukaan yang bersangkutan (Rozari 1987).
Faktor lingkungan yang secara langsung berpengaruh pada proses
adalah daerah yang dibatasi oleh aras yang dicapai tanaman tertinggi dan bagian bawah oleh tanah atau bagian terbawah dari tanah yang masih dicapai oleh infiltrasi udara. Pengkajian keadaan fisik udara di dekat sebuah luasan kecil permukaan bumi dan sering dilakukan dalam hubungan antara tanaman dan hewan, dan biasanya menyangkut waktu yang pendek (Mc Instosh 1972 dalam Hans 1999).
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman merupakan dua buah proses yang saling berkaitan. Pertumbuhan maupun perkembangan tanaman ditentukan oleh unsur unsur cuaca terutama keadaan sekitar tanaman. Menurut Handoko (1994) pada proses perkembangan tanaman, unsur cuaca yang paling berpengaruh
adalah suhu dan panjang hari, sedangkan pada proses pertumbuhan hampir semua unsur cuaca sangat mempengaruhinya. Beberapa unsur iklim yang berbengaruh pada tanaman antara lain:
a. Cahaya Matahari
Cahaya merupakan faktor esensial pertumbuhan dan perkembangan
tanaman karena memegang peranan penting dalam proses fisiologis tanaman, terutama fotosintesis, respirasi, dan transpirasi. Fotosintesis merupakan sumber energi bagi reaksi cahaya, fotolisis air menghasilkan daya asimilasi (ATP dan NADPH2). (Mendes et al., 2001).
Cahaya matahari ditangkap daun sebagai foton namun tidak semua radiasi
matahari mampu diserap tanaman. Cahaya tampak memiliki panjang gelombang 400 s/d 700 nm dan sangat efesien dimanfaatkan oleh tumbuhan dalam berfotosintesis. Besarnya cahaya yang dapat diserap daun yakni 1 - 5% yang digunakan untuk fotosintesis, dan 75 - 85% untuk menguapkan air melalui pemanasan daun dan transpirasi, 5– 10% sebagai cadangan bahang dalam tanah,
5– 10% menjadi bahan pertukaran bahang dengan atmosfer bumi melalui proses konveksi (Franklinet al.,dalam Herawati 2008).
Peranan cahaya dalam dalam tumbuhan digunakan untu respirasi, fotorespirasi, menaikkan suhu. Kebutuhan intensitas cahaya berbeda untuk setiap jenis tanaman, dikenal tiga tipe tanaman C3, C4, CAM. C3 memiliki titik
memiliki titik kompensasi cahaya tinggi, sampai cahaya terik, tidak dibatasi oleh fotorespirasi. (Wilsie, 1962).
Dinyatakan bahwa intensitas cahaya yang tinggi akan menghambat biosintesis klorofil, khususnya pada biosintesis 5-aminolevulinat sebagai prekursor klorofil. Menurut Johnston dan Onwueme (1998) dengan semakin tinggi tingkat naungan yang diberikan, tanaman akan melakukan adaptasi dengan
meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya tiap unit area fotosintetik. Adaptasi yang dilakukan tanaman adalah dengan meningkatkan jumlah klorofil per unit luas daun. Semakin meningkatnya laju fotosintesis maka semakin banyak karbohidrat yang terbentuk. Karbohidrat dalam bentuk gula digunakan untuk
sintesis klorofil. Karbohidrat yang tersedia dalam jumlah banyak akan meningkatkan sintesis klorofil sehingga kadar klorofil lebih tinggi pada daun yang ternaungi, Mendeset al.,(2001)
b. Suhu
Suhu merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan perkembangan tanaman, suhu berkorelasi positif dengan radiasi matahari baik pada tanah maupun di udara disekitar tajuk tanaman. Tinggi rendahnya suhu disekitar tanaman ditentukan oleh radiasi matahari, kerapatan tanaman, distribusi cahaya dalam tajuk tanaman, kandungan lengas tanah.
Suhu mempengaruhi beberapa proses fisiologis penting seperti bukaan
stomata, laju transpirasi, laju penyerapan air dan nutrisi, fotosintesis, dan respirasi. Peningkatan suhu sampai titik optimum akan diikuti oleh peningkatan proses di atas setelah melewati titik optimum, proses tersebut mulai dihambat baik secara fisik maupun kimia sehingga dapat menurunkan aktifitas enzim (enzim terdegradasi).
Peningkatan suhu disekitar iklim mikro tanaman akan menyebabkan cepat hilangnya kandungan lengas tanah. Peranan suhu sangat erat kaitannya dengan kehilangan lengas tanah melewati mekanisme transpirasi dan evaporasi. Peningkatan suhu terutama suhu tanah dan iklim mikro di sekitar tajuk tanaman akan mempercepat kehilangan lengas tanah terutama pada musim kemarau.
terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman terutama pada daerah yang lengas tanahnya terbatas. Pengaruh negatif suhu terhadap lengas tanah dapat diatasi melalui perlakuan pemulsaan (mengurangi evaporasi dan transpirasi).
Radiasi Matahari dan Tanaman Efisiensi radiasi matahari
Efisiensi pemanfaatan radiasi surya oleh tanaman, menurut Monteith (1970) adalah perbandingan antara energi“output” (penumpukan snyawa organic) terhadap energi yang terpakai atau diistilahkan “input” (radiasi surya yang diterima tanaman). Untuk menghitung energi yang terpakai dalam penumpukan
senyawa organik, Monteth (1970) memperkirakan setiap 5,4 mg bahan kering sama dengan 1 kilo joule energi surya yang terpakai.
Efisiensi tanaman menyimpang energi surya selain dipengaruhi oleh faktor tanaman itu sendiri, seperti; (a) posisi dan susunan daun, (b) indeks luas daun, (c) struktur/jenis pigmen daun, (d) Ketersedian air dan hara. Selain itu dipengaruhi pula oleh faktor klimatis, seperti (a) lintang dan musim, (b) keawanan dan
kandungan aerosol atmosfer, (c) komposisi spectral radiasi surya, (d) konsentrasi CO2 dilingkungan tanaman, dan (e) kuantum cahaya yang dibutuhkan dalam
proses fotokimia (Monteith, 1973; Wareing dan Cooper, 1971).
Tetapan matahari adalah 200 kal.cm-2.min-1 (1395 W.m-2). Ini merupakan jumlah energi yang diterima oleh suatu permukaan datar yang tegak lurus dengan
sinar matahari dan tepat diluar atmosfer bumi. Tingkat radiasi matahari makin menurun setelah melewati bumi karena adanya penyerapan dan pemancaran. Radiasi matahari pada bumi dalam posisi tegak lurus maka akan berkurang kalorinya dari 2.0 kalori menjadi antara 1.4 dan 1.7 kal.cm-2pada hari yang cerah (Franklin et.al dalam Herawati 2008).
Kebutuhan Air tanaman Jagung
Air merupakan substrak fotosintesis, tetapi hanya sekitar 0.1% dari jumlah air total digunakan oleh tumbuhan untuk fotosintesis. Transpirasi meliputi 99% dari seluruh air yang digunakan oleh tumbuhan; kira-kira 1% digunakan untuk
Air bagi tanaman jagung merupakan salah satu faktor pembatas karena apabila tidak tercukupi sesuai kebutuhan maka mempengaruhi pertumbuhan jagung. Bertambahnya jumlah dan luas daun berkorelasi positif terhadap kebutuhan air, hal ini tercermin dari besar kecilnya daun artinya ketika air tidak tercukupi untuk pertumbuhan maka daun cenderung mengecil atau tanaman mengalami kekurangan air (stress air), sehingga dapat menurunkan hasil sebesar
15% (Muhadjir, 1988).
Air merupakan komponen utama pada tanaman. Menurut (Fitter dan Hay 1994) kandungan air pada tanaman dapar mencapai 70 – 90 % dari bobot segar jaringan dan organ tanaman, dan sebagian besar dikandung dalam sel. Air
berfungsi untuk menjamin kelangsungan proses fisiologi dan biologi tanaman, serta menjaga kelembaban tanah (Arsyadet al., 1980).
Monneveux dan Belhassen (1996) mengatakan bahwa air adalah molokul bipolar dengan ikatan hidrogen diantara sel molekul air yang berdekatan. Struktur air ini menyebabkan fungsi mekanik dan fisiologi di dalam tanaman. Fungsi mekanik air adalah tekanan air pada dinding sel yang bertanggung jawab terhadap
turgiditas dan rigiditas tanaman. Pada tingkat jaringan, air berfungsi sebagai penghubung diantara sel tanaman secara berkesinambungan dari akar ke daun melalui xilem dan ditranspirasikan melalui stomata dan kutikula.
Noggle dan Fritz (1983) menjelaskan fungsi air bagi tanaman yaitu: (1) sebagai senyawa utama pembentuk protoplasma, (2) sebagai pelarut bagi
masuknya mineral-mineral dari larutan tanah ke tanaman dan sebagai pelarut mineral nutrisi yang akan diangkut dari suatu bagian sel ke bagian sel yang lain, (3) sebagai media terjadinya reaksi-reaksi metabolik, (4) menjaga turgiditas sel dan berperan sebagai tenaga mekanik pembesaran sel. Dari peran tersebut, maka konsukwensi langsung atau tidak langsung bila air tidak cukup tersedia maka akan
mempengaruhi semua proses metabolik tanaman, sehingga menurunkan pertumbuhan dan produksi tanaman.
Ketersedian air dalam tubuh tanaman diperoleh melalui proses fisiologis dan hilangnya air dari permukaan bagian tanaman melalui proses evaporasi dan evapotranspirasi. Tanaman dengan luas daun yang besar akan mengalami
tingkat yang normal maka akan menjamin kestabilan tekanan turgor yang berkaitan dengan proses membukanya stomata, sebaliknya bila tanaman mengalami kekurangan suplai air dan sementara proses transpirasi terus berlangsung dengan cepat maka akan terjadi kekurangan air dalam tanaman.
Kebutuhan air semakin meningkat dimulai pada awal pertumbuhan hingga mencapai maksimun pada fase pembungaan dan pengisian biji, selanjutnya
menurun hingga pada fase masak fisiologi. Tanaman jagung dengan berat kering 454 gram menyerap air kira-kira 205 liter, tetapi yang digunakan hanya sekitar 5% atau sebesar 10,25 liter saja dan selebihnya hilang melalui stomata (Kramer, 1959). Menurut Aguset al., (2000) kebutuhan air pada tanaman jagung
berbeda-beda pada tiap fase pertumbuhan, dimana pada fase perkecambahan atau awal pertumbuhan membutuhkan 56 mm, fase vegetatif sebesar 167 mm, fase pembungaan membutuhkan air sebesar 115 mm, dan fase pembentukan biji sebesar 250 mm dan fase pemasakan sebesar 62 mm
Menurut monneveuxet al., (2005) kebutuhan air yang paling banyak pada tanaman jagung adalah periode tasseling (keluarnya bunga jantan) sampai dua
minggu setelah silking (keluarnya bunga betina). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan air pada saat tasseling dan sesudah silking menyebabkan penurunan produksi.
Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan
Ketersediaan air dalam tanah bagi tanaman umumnya pada kapasitas lapang dengan potensial air tanah -0,03 Mpa dan layu permanen -1,5 Mpa. Ketersediaan air tanah yang dapat diserap oleh tanaman adalah pada potensial air -0,03 sampai -0,5 MPa dan pada kondisi tersebut tanaman mengabsorbsi air sekitar 55–65% dari yang tersedia. Pada kondisi potensial air tanah sekitar 0,5 sampai
-1,5 Mpa tanaman menunjukkan gejala kelayuan walaupun tanaman dapat mengabsorbsi air
Menurut Smirnoff (1993) kekeringan dapat didefenisikan secara terpisah yaitu sebagai defisit air dan desikasi (desiccation);
1. Defisit air dapat didefenisikan sebagai kehilangan air yang moderat,
membatasi pertukaran gas. Pada kondisi tersebut tanaman memiliki kandungan air yang relatif berkisar 60 – 70% dan menyebabkan stomata menutup sehingga pertukaran CO2terganggu.
2. Desikasi didefiniskan sebagai kehilangan air yang sangat besar dan berpotensi mengganggu proses metabolisme dan struktur sel serta terhentinya reaksi yang dikatalis oleh aktivitas enzim.
Pengaturan Air Irigasi bagi Tanaman
Perlakuan irigasi dilakukan untuk memenuhi kebutuhan air tanaman (Stren, 1980). Banyaknya air irigasi yang diperlukan sangat bergantung pada jenis
tanaman, cara pemberian air irigasi, jenis tanah, cara pemeliharaan dan pengelolaan saluran-saluran, banyaknya turun hujan dan keadaan klimat (Wiramihardja, 1979). Pemakaian air irigasi yang efisien adalah pemberian air yang cukup untuk membuat perakaran dalam keadaan kapasitas lapang dan pegaturan pemberian air yang sesuai dengan jumlah air yang dibutuhkan setiap fase pertumbuhan (Harjadi, 1979). Selang waktu untuk pemberian air irigasi
bervariasi, tergantung pada tipe atau jenis tanah, curah hujan efektif dan karakteristik perakaran (Wang dan Hagan, 1981).
Pengaturan skenario air irigasi pada musim-musim tertentu seperti pada musim kemarau sangat penting dilakukan karena dapat mempengaruhi tingkat produksi tanaman, seperti pada hasil penelitian (Kartiwa et al., 2009), bahwa
pemberian irigasi dengan dosis 80% kebutuhan air pada tanaman jagung, telah memberikan produktivitas yang relatif sama dengan produktivitas jagung pada pemberian irigasi dengan dosis 100% kebutuhan air tanaman (lebih kurang 3 ton/ha). Sehingga efisiensi 20% akan dapat menekan biaya operasional.
Defisit Air dan Pemangkasan
Daun dari suatu tanaman merupakan bagian terpenting dalam fotosintesis. Semakin luas permukaan suatu daun, maka cahaya matahari akan lebih banyak dimanfaatkan, demikian pula CO2 di udara, sehingga hasil fotosintesis pun
semakin meningkat. Peningkatan laju fotosintesis tersebut mempunyai pengaruh
Dalam proses perkembangan daun yang ketika mengalami defisit air maka ukurannya akan mengecil sehingga akan menyerap cahaya lebih sedikit dibandingkan yang berukuran normal pada akhirnya berpengaruh pada pertumbuhan menjadi terhambat (Kramer, 1980).
Effendi (1985), menyatakan bahwa jumlah daun juga sangat berperan dalam menentukan produksi tanaman yang dihasilkan. Produksi klorofil pada
suatu tanaman sangat erat kaitannya dengan keberadaan dari daun tanaman berdasarkan luas dan jumlahnya (Dwidjoseputro, 1983).
Menurut Aditiameri dan Agustina (1991), bahwa tanaman jagung akan lebih efisien daun berproduksi klorofil ketika di dukung oleh intensitas cahaya dan
suhu yang tinggi, demikian pula sebaliknya akan terjadi penurunan produksi klorofil apabila kondisi suhu dan intensitas cahaya yang diterima lebih rendah.
Pemangkasan Daun
Pemangkasan daun jagung dapat memberi pengaruh positif dan negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman jagung, tergantung pada cara
pemangkasan, bagian yang daun dipangkas dan stadia dimana dipangkas. Pemangkasan yang dilakukan pada daun pertama sampai daun kesembilan pada saat rambut jagung belum keluar meningkatkan produksi sebesar 37%, serta menekan serangan hama dan penyakit (Lamberton dalam Crookstan dan Hick, 1977). Kemudian dinyatakan juga Harper (1977) bahwa tindakan pemangkasan
dapat berpengaruh positif, karena lapisan daun yang tadinya tidak berfungsi akibat ternaungi dapat kembali aktif melalukan fotosintesis dan meningkatkan efisiensi daun yang tersisa.
Dampak negatif dari pemangkasan daun yang dinyatakan dalam hasil penelitian Kisselberger (1954) bahwa pemangkasan daun pada malai jagung akan
menurunkan hasil sebanyak 2% dibanding dengan tidak dipangkas, selanjutnya pemangkasan satu, dua dan tiga helai daun dibawah malai, masing-masing menurunkan pipilan kering 3.5%, 5.9% dan 13%. Hal ini disebabkan karena daun-daun dekat malai lebih efektif melakukan fostosintesis daripada daun-daun dibawahnya. Pemangkasan daun jagung lebih menguntungkan pada bagian bawah bila
lebih tinggi pada bagian atas karena efesiensi fotosintesis lebih tinggi pada bagian atas, sehingga daun bawah akan lebih cepat tua seperti pada Tabel 1. Laju fotosintesis lebih rendah pada daun-daun yang lebih bawah (Pealsee dan Moss 1996 dalam Herawati 2008).
Tabel 1. Kandungan Kalium dan Fotosintesis daun jagung
Nomor Daun
Sumber : Dari Peaslee dan Moss, 1996
Efisiensi fotosintesis daun tanaman jagung akan menurun dari bagian atas kebagian bawah tanaman. Apabila salah satu bagian tanaman dipangkas, maka efisiensi daun tertinggi akan meningkat (Allison dan Watson, 1966). Menurut Pendleton dan Hammond (1969), bahwa transportasi assimilate dari daun bagian
atas lebih cepat daripada daun bagian bawah. Potensial fotosintesis relative (PFR) daun bagian atas hampir dua kali lipat lebih besar daripada daun bagian tengah, dan lima kali lebih besar daripada daun bagian bawah.
Berdasarkan fase dan waktu pemangkasan yang terbaik dan menguntungkan adalah pada saat setelah berbunga karena dapat meningkatkan berat pipilan kering. Hal ini disebabkan karena pada fase tersebut dapat
saat bunga jantan keluar, hasilnya lebih rendah jika dibandingkan dengan pemangkasan yang dilakukan sebelum dan sesudah fase tersebut. Dampak lain dari hasil pemangkasan daun dapat menjadi hijauan pakan ternak dan juga sebagai bahan mulsa pengganti jerami padi. Hasil penelitian (Fathan et al., 1988) menunjukkan bahwa penggunaan jerami jagung (seluruh bagian tanaman) sebagai mulsa atau dibenamkan, maka kehilangan hara dalam tanah dapat menyusutkan
19,8 kg Mg 395 gr, Mn dan Zn 230 gr perhektar.
Pemangkasan daun pada saat pertumbuhan akan mempengaruhi akumulasi senyawa organic sebagai cadangan makanan bagi tanaman tersebut. Pada keadaan stress air atau ketersedian airnya rendah maka akan menekan sintesis karbohidrat
melalui fotosintesis. Pada umumnya pemangkasan yang dilakukan pada keadaan stress air maka akan mengurangi translokasi meskipun tidak terlalu nyata perbedaan dengan tanaman tanpa dipangkas. Contohnya transport unsure P, apabila dalam kondisi stress air maka pada daun yang dipangkas maka kandungannya sebesar 4.33 Cpm x 10-4 , sedangkan yang tidak dipangkas transport P nya sebesar 5.17 Cpm x 10-4(Sosebee dan Wiek, 1971).
Hasil penelitian Johnson (1987) pada jagung varietas Dekalb 1976 dan Dekalb 1977 menunjukkan bahwa pemangkasan yang dilakukan saat 5 helai daun telah muncul menyebabkan menurunnya hasil sebesar 11,2 % dibandingkan dengan penanaman control. Penelitian lain oleh (Cloninger et al., 1974) membuktikan bahwa pemangkasan pada saat 4, 6 dan 8 helai daun telah muncul
mengakibatkan penurunan hasil berturut-turut 11,38 dan 46%.
Penelitian Dungan dan Gausman (1951) pada tanaman jagung tentang tinggi pemangkasan, ditunjukkan bahwa pemangkasan yang dilakukan pada saat mendekati pertumbuhan tassel akan menyebabkan penurunan hasil yang lebih besar dibandingkan dengan pemangkasan pada awal pertumbuhan misalnya
pemangkasan yang dilakukan berutut-turut dari batas tanah 6.35 cm, 12.70 cm dan 10.48 cm, maka menurunkan hasil sebesar 5, 8.7, 13.9 dan 24 %.
kembali setelah periode tassel, disamping pematangan tertunda, demikian sebalikanya pemangkasan setelah tassel akan mempercepat proses pematangan.
Ginting (1988) menyatakan pemangkasan daun sebelum terbentuk rambut jagung mengakibatkan penurunan hasil yang sangat drastis, sebaliknya pemangkasan daun setelah terbentuknya rambut (stadia lebih lambat) penurunan hasil sangat sedikit.
Banowati (1984) menganjurkan pemangkasan jagung diarahkan untuk tujuan ganda yakni (pangan dan pakan) sehingga dipangkas pada ketinggian tassel + 3 helai daun, dan hijauan yang dihasilkan adalah 2.36 ton/ha.
Menurut Hanway dalam yusuf (1987) penurunan bobot pipilan kering
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Kebun Percobaan (KP) Naibonat pada Balai Pengkajia Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Timur dengan ketinggian
tempat 20 m diatas permukaan laut (dpl). Penelitian dilakukan dari bulan Juni – Okober 2011.
Bahan dan Alat Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah bibit jagung varietas Lamuru, pupuk urea, SP-36 dan KCL. Disamping itu digunakan pula pupuk kandang, pestisida (Dithane M-45, Ridomil 35–SD, Decis 2,5 EC), kantong plastic, tali plastik.
Alat
Alat utama
1. Tube Solarimeter 2 (dua buah) 2. Termometer untuk pengukuran suhu. 3. Termometer tanah portable
4. Watermark
6. Timbangan Digital
7. Oven 8. Avometer
Alat bantu
Cangkul, tugal, meteran, oven, pisau, amplop, plakat nama, karung goni, garuk, Sprayer, gunting, gembor, tali plastik, mistar, komputer, alat tulis dan alat
lainnya.
Rancangan Penelitian
maka rancangan yang akan digunakan adalah Rancangan Faktorial Acak Kelompok Terpisah (Split Plot Design).
Petak Utama (PU) : Dosis Pemberian Air irigasi terdiri 4 taraf yaitu : Kontrol oleh petani
Dosis I : 100 % Dosis II : 80 %
Dosis III : 60 %
Anak Petak (AP) terdiri 2 taraf
1. Pemangkasan daun bawah tanaman
2. Tanpa pemangkasan daun Rancangan Percobaan
- Ulangan (R, pada petak utama) : 3 kali
- Kombinasi = PU x AP x R = 3 x 2 x 3 = 18 (anak petak)
- Tiap AP terdiri dari 4 lajur tanam sepanjang 16 m (1/2 furrow x 4)
- 2 lajur tanaman pinggir (kiri + kanan) dengan perlakuan sama dengan AP
Kebutuhan Lahan
- Jarak antar furrow x jumlah baris = 0.8 m x 6 = 4.8 m - Jarak antar blok = 1.2, maka lebar per PU = 4.8 + 1.2 = 6.0 m - Dengan ulangan 3, maka jumlah blok = 12 blok
- Total lebar blok = 12 x 6 = 72 m
- Total panjang blok = 32 m
- Total luas lahan percobaan = 72 x 32 = 2.304 m2 Pengambilan Contoh Tanaman
- Populasi per AP (dengan jarak tanam 0.8 m x 0.2 m = 300 tanaman - Sampling tiap 14 hari (per dua mingguan)
- Perkiraan umur tanaman 110 hari
- Perkiraan sampling destruktif = 7 x saat belum panen + 1 x saat panen = total 8 x sampling
- Per AP sampling ambil 2 atau 3 tanaman secara acak
- Buat 1 baris tanaman (150 tanaman) sebagai pengganti tanaman yang diambil sebagai sampling destruktif
- Atau tanam tanaman pengganti di polibag sampai sampling ke 4. Bila per sampling per AP 2 tanaman = 4 x 4 x 8 = 128 polibag) ; bila per sampling per AP 3 tanaman = 4 x 6 x 8 = 192 polibag
Pemangkasan daun dilakukan dengan ditandai bunga jantan (tasseling)
80% sudah muncul atau 21 hari setelah bunga betina (silking) keluar.
Model linear yang dipakai dalam rancangan ini adalah sebagai berikut :
Yijk= + i+ Dj+ Eij + Pk+ (DP)jk+ Eijk
i = 1, 2, 3 j = 1, 2, 3, 4 k = 1, 2
dimana :
Yijk = Nilai pengamatan pada kelompok ke– i dengan dosis irigasi
ke–j dan pemangkasan daun ke–k
= Rata–rata umum
i = Pengaruh kelompok ke–i
Dj = Pengaruh dosis irigasi ke - j
Eij = Pengaruh galat petak utama
Pk = Pengaruh perlakuan daun ke–k
JPjk= Pengaruh interaksi dosis irigasi ke–j dengan perlakuan daun
ke–k
Gambar 1. Alur Pikir Pemberian Dosis Air Irigasi
Air Tersedian (ltr/m3) Kebutuhan Irigasi (m
3
/ha) (C X D)
D
Kebutuhan Irigasi Netto (m3/ha) (E x 2/3 x B)
Fase Pembungaan (8–10 MST)
Fase Pembentukan biji (11–15)
Dosis Irigasi (%)
Luas lahan, Debit Irigasi, Waktu Inisiasi Awal
Pelaksanaan Penelitian A. Tahap Persiapan
Kegiatan pada tahap pesiapan ini dibedakan atas beberapa bagian antara lain:
1. Penentuan / pemilihan lokasi
Pemilihan dan penentuan lokasi penelitian (Gbr 3), sudah dilakukan dari bulan April yang diawali koordinasi dengan instansi terkait (BPTP NTT).
Penentuan Lokasi didasari beberapa hal penting antara lain dekat dengan sumber air, berada pada hamparan terbuka. Luas lahan yang dibutuhkan adalah 2.304 meter2.
Gambar 3. Lokasi Penelitian (Kebun Percobaan Naibonat di BPTP NTT)
Pengolahan Lahan
Lahan penelitian diawali dengan mengolah tanah dengan menggunakan
mesin pembajak berupa tractor dengan kedalam 15– 20 cm (Gbr 4). Pengolahan lahan dimulai sejak bulan Mei 2011, kondisi tanah saat itu sudah mulai kering, sehingga memudahkan traktor untuk mengolahnya. Pengolahan lahan dilakukan selama + 1 bulan karena fasilitas kendaraan traktor sangat terbatas dan kondisinya sudah tua sehingga sering mengalami kerusakan. Pengolahan lahan dilakukan
- Membalikkan tanah - Menghancurkan tanah
- Menggusur tanah untuk mendapatkan kemiringan lahan yang baik - Merotari atau mencincang ulang tanah yang sudah digusur.
Gambar 4. Pengolahan lahan dengan traktor
Penentuan titik ajiran dan saluran irigasi
Pembuatan titik ajir (Gbr 5) sangat penting dilakukan agar supaya ukuran masing-masing furrow setiap bloknya lebih akurat. Setelah titik ajiran dibuat
kemudian dilanjutkan pembuatan saluran irigasi tersier (furrow) (Gbr 6) sepanjang 32 meter pada masing-masing blok perlakuan. Jumlah furrow setiap bloknya berjumlah 6 furrow, dan masing-masing blok perlakuan yang dibuat berjumlah 12 blok perlakuan, ukuran blok perlakuan seluas 4,5 meter dengan dibatasi jarak antara blok 1,2 meter.
Setelah penentuan titik ajir kemudian dilanjutkan alur atau furrow sebagai saluran irigasi pada masing-masing blok perlakuan
Gambar 6. Pembuatan alur (furrow)
Kemudian dilanjutkan pembuatan saluran irigasi induk (primer) sepanjang 32 m (Gbr 7) yang dilengkapi pintu air terbuat dari kayu papan untuk dijadikan ukuran debit air yang melewati pintu air tersebut. Masing-masing pintu air dibuat sebanyak 10 buah untuk 11 blok irigasi dengan ukurn pintu air tersebut adalah tinggi 15 cm dan lebar 25 cm. Sebelum dipasang pintu airnya terlebih dahulu di
timbang dengan menggunakan water pas dari selang air, agar supaya air yang melewati blok-blok perlakuan selalu dalam keadaan seimbang, sehingga air yang masuk dalam setiap furrow merata volumenya.
Gambar 7. Pemasangan pintu air dan pembuatan saluran primer
Pengujian saluran irigasi dan penjenuhan lahan
digunakan lebih efisien ketika melakukan penanam. Penjenuhan lahan hanya dilakukan satu kali secara merata melewati furrow yang sudah dibuat (Gbr 8).
Gambar 8. Pengairan dan penjenuhan lahan
Pemagaran Lahan
Pemagaran lahan merupakan hal yang sangat penting karena kondisi lahan penelitian sangat mudah terganggu oleh hewan ternak khususnya kambing. Bahan yang digunakan adalah kayu local (pohon gamal). Kegiatan pemagaran (Gbr 9)
dimulai setelah dilakukan penanaman dengan membutuhkan waktu selama 4 – 5 hari.
Gambar 9. Kegiatan pemagaran
2. Penanaman
Kegiatan penanam dilakukan sehari setelah penjenuhan/pengairan (Gbr 10). Jarak tanam yang digunakan adalah 80 x 20 meter dengan populasi perlubang
digunakan adalah jagung Lamuru. Benih tanaman yang akan ditanam terlebih dahulu direndam selama 2 jam, kemudian dilanjutkan penugalan untuk lubang tanam sedalam 3 – 5 cm. benih jagung ditanam searah dengan arah datangnya sinar matahari
Gambar 10. Penanaman benih jagung
3. Pemupukan
Pupuk yang akan diberikan adalah N dosis 90–120 kg/ha. P2O5sebanyak
30 – 45 kg/ha. Dan K2O sebanyak 0 – 25 kg/ha. Kebutuhan dan dosis pupuk
tersebut dapat dikonversikan dengan pupuk Urea 30 kg/ha. SP-36 100 kg/ha, dan KCL 100 kg/hakan. Pemupukan dilakukan sebanyak 3 tahap yaitu: SP-36, KCL dan Urea diberikan sebanyak 100 kg sebagai pupuk dasar. Pemupukan susulan pertama yaitu pemberian pupuk urea, dilakukan pada minggu ke – 4 sambil melakukan pembumbunan. Pemupukan susulan kedua yaitu pupuk urea diberikan
pada minggu ke – 6. Pemupukan dilakukan dengan cara menabur pada lubang yang dibuat sedalam 10 cm dengan jarak 10 cm dari lubang tanaman lalu ditutup dengan tanah (Rukmana, 1997).
4. Pemeliharaan Tanaman
Penyiangan dilakukan sebanyak 2 – 3 kali. Tahap setelah 7 hari setelah tanam, tahap kedua 30 hari setelah tanam. Penyiangan dilakukan secara merata. Gulma yang disiangi dibuang dari areal pertanaman. Dalam waktu bersamaan penyiangan juga dilakukan pembumbunan tanah, kemudian dilakukan pemupukan.
Untuk mendapat petak-petak percobaan bebas dari tanaman pengganggu
(gulma) dilakukan penyiangan pada waktu waktu tertentu, sesuai kebutuhan. Sedangkan untuk menjaga supaya tanaman terhindar dari serangan hama dan penyakit dilakukan pemberian furadan 3 G, penyemprotan insektisida sevin 85 SP dan dithane M 45 . Penyemprotan dimulai pada saat tanaman berumur dua minggu
setelah tanam (MST) dan penyemprotan selanjutnya dilakukan dengan selang 15 hari. Penyemprotan dihentikan 15 hari sebelum panen.
B. Tahap Pengamatan dan Pengamatan dan Pengukuran
Kegiatan pengambilan data dibedakan atas beberapa bagian antara lain:
a. Pengukuran Irigasi
Pengukuran data irigasi (Gbr 11) dilakukan pada tahap awal penjenuhan sebagai dasar atau pembanding dengan pengukuran berikutnya. Sistim pengukuran yang dilakukan yakni dengan mengukur ketinggian debit air pada pintu irigasi utama dan mengukur waktu pendistribusian air pada masing-masing furrow.
b. Pengurukuran Unsur Iklim
Pada tahap ini pengukuran unsur iklim (Gbr 12) dilakukan dengan menggunakan data stasiun klimatologi di BPTP NTT, yang berada dalam lokasi kantor dengan ketinggian 20 mtr dpl. yang ada di sekitar lokasi penelitian. Kondisi iklim mikro yang terjadi masih menggambar secara global atau bersifat umum karena populasi tanaman masih kecil, sehingga kondisi iklim yang terjadi
sekitar tanaman masih seragam. Nilai keseragaman tersebut dapat terukur secara otomatis oleh stasiun klimatologi disekitar lokasi.
Gambar 12. Stasiun Klimatologi dan Data Hasil Olahan
Pengukuran unsur iklim selain dilakukan secara automatis juga dengan cara manual dengan menggunakan alat portable. Dengan mengikuti tahapan – tahapan yang sudah ditentukan dengan formulasi, namun pada dasarnya sebagai
pembanding. Adapun point atau inti data variable pengamatan antara lain ata curah hujan, dan unsur iklim lainnya (suhu, kelembaban, radiasi matahari, kecepatan angin) selama penelitian berlangsung diambil dari
Dalam pengambilan data pengamatan dilapangan dibedakan atas 3 bagian pengamatan antara lain :
a. Unsur Iklim
1. Curah hujan (mm)
2. Intensitas radiasi surya (kal cm-2) 3. Suhu udara (0C)
4. Kelembaban udara (%)
Pengamatan pada unsur iklim mikro dalam pertanaman, setiap petak percobaan diamati parameter berikut:
1. Pengukuran intersepsi radiasi surya pada minggu ke 10 dan 11 setelah tanam dengan menggunakan Tube solarimeter yang diletakkan di atas dan di bawah tajuk tanaman. Jumlah energi radiasi surya yang diintersepsi (Int) dihitung dengan (Handoko 1995):
Qint= (1-τ) Qs……….. (2)
dengan,
τ = e-k Lai
QInt = Radiasi intersepsi (MJ m-2)
Qs = Radiasi surya diatas tajuk tanaman atau terukur di stasiun
klimatologi (MJ m-2)
τ = Proporsi radiasi surya yang ditransmisi oleh tajuk tanaman k = Koefisien pemadaman
Lai = Luas Indeks Daun
2. Pengukuran suhu udara rata-rata harian pada setiap petak perlakuan pada
jam 11.00, pengamatan dilakukan pada minggu ke 10 dan 11. dengan menggunakan sensor termokopel di lakukan di dalam tajuk tanaman dan di atas tajuk tanaman. Pengukuran suhu udara di dalam tajuk dilakukan pada ketinggian 20 cm dari tanah. Pengukuran suhu udara di alas tajuk dilakukan 20 cm di atas tajuk tanaman. Suhu rata rata harian dihitung
dengan rumus (Handoko 1995) :
Trataan= ((2 xT pagi) Tsiang + Tsore +T.)/4 ………(3)
3. Kelembaban udara rata-rata harian diukur dengan menggunakan termometer bola bawah dan bola kering (sensor termokapel) dilakukan
tajuk dilakukan pada ketinggian 20 cm dari tanah. Pengukuran kelembaban di atas tajuk dilakukan 20 cm di atas tajuk tanaman. Kelembaban rata-rata harian dihitung dengan rumus :
RHrataan= ((2 X RHpagi+ RHsiang+ RHsore)/4 ……… (4)
4. Pengukuran suhu tanah dilakukan pada setiap petak perlakuan pada minggu ke 10 dan 11 dengan menggunakan sensor termokopel pada
kedalaman 0 cm, 5 cm, 20 cm dan 30 cm. Suhu tanah rata-rata harian dihitung dengan rumus ;
Trataan= ((2 x Tpagi+ Tsiang+ Tsore)/4 ……… (5)
Efisiensi Pemanfaatan Radiasi Surya
Efisiensi pemanfaatan radiasi surya yaitu perbandingan total radiasi surya yang menghasilkan bahan kering (senyawa organik) dengan total radiasi yang diterima tanaman, yang dirumuskan sebagai berikut:
Biomass
ε =--- ……….. (6)
Qintersepsi (Handoko)
Dimana :
ε = Efisiensi radiasi surya (gram/MJ) Biomass = Bahan kering (senyawa organik)
Qintersepsi= Total radiasi yang diintersepsi oleh tanaman
Ketersedian data yang terbatas akan dikembangkan/dibangkitkan dengan
mengjeneral data yang tersedia dengan menggunakan persamaan regresi polynomial.
b. Agronomi Tinggi Tanaman
Tinggi tanaman diukur mulai dari leher akar hingga ujung daun tertinggi (Gbr
Gambar 13. Pengukuran tinggi tanaman
Jumlah Daun
Jumlah daun dihitung daun yang telah terbuka sempurna. Perhitungan pertama dilakukan 4 MST dengan interval dua minggu sekali sampai populasi tanaman jagung telah berbunga sebanyak 75% (8 MST)
Luas Daun
Luas daun dapat diperoleh dengan menggunakan formulasi perhitungan yang
dikemumkan oleh Pearce dan Bailey (1975) yaitu:
A = p x l x k……….……… (6)
Dimana A = Luas daun (cm2) L = Lebar daun (cm) P = Panjang daun (cm) K = Konstanta (0,75)
Pengukuran dilakukan pada daun tanaman jagung yang telah mengalami masa pembungaan (8 MST). Daun yang diukur luasnya adalah 3 daun paling tengah (daun ke-7, ke-8, dank e–9) lalu dihitung rata-ratanya.
Umur berbunga
Panen
Pemanenan tanaman dilakukan dengan menggunakan kriteria masak fisiologis, dimana panen tanaman dilakukan jika daun luar sudah berwarna kuning kering yang ditandai biji dalam tanam jagung mengeras. Kemudian diukur secara bertahap sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan.
Produksi pertanaman
Produksi pipilan kering pertanaman dihitung dengan membagikan produksi per plot dengan jumlah tanaman per plot tanpa mengikutsertakan tanaman dan hasil tanaman jagung pada barisan terluar dengan kadar air 13% - 14%.
Produksi Plot
Produksi pipilan kering dihitung dengan menimbang bobot pipilan kering dari plot tersebut tanpa mengikutsertakan hasil tanaman jagung pada barisan terluar dengan kadar air 13% - 14%.
Produksi per Hektar
Produksi pipilan kering per hektar merupakan proyeksi dari produksi pipilan kering pertanaman yaitu dengan mengalikan produksi pertanaman dengan populasi tanaman jagung per hektar.
c. Skenario Pemberian Air Irigasi
Pemberian air irigasi pada tanaman jagung diatur dalam beberapa tahap berdasarkan fase perkembangan tanaman yaitu :
- Fase I tanaman berada pada fase vegertatif pertama (umur tanaman 1 – 3
MST) maka pemberian air irigasi berdasarkan Et crop kumulatif tanaman perharinya yang didukung oleh nilai NID (Net Irigasi Dept).
- Fase Vegetatif Kedua, tanaman berumur antara 4 – 7 minggu, dengan
mengikuti nilai Etc dan NID
- Fase pembentukan biji, tanaman berumur antara 11 – 15 minggu dengan
mengikuti nilai Etc dan NID
Untuk memberikan irigasi dengan debit relatif stabil serta volumenya dapat dikuantifikasi, air yang dipompa dari sungai sebelum masuk ke lahan
pertanian dialirkan melalui saluran tanah. Pada ujung saluran, telah terpasang bendungan terbuat dari kayu yang memiliki lebar 40 cm. Dasar saluran pada bagian hulu bendungan lebih tinggi 5 cm dari pada dasar saluran di bagian hilir. Pada mulut bendungan terdapat skala ketinggian untuk menduga debit.
Dari saluran pendistribusian, air disalurkan ke setiap blok perlakuan secara
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Keadaan Umum Lokasi 1. Iklim
Secara umum lokasi penelitian berada pada ketinggian 20 meter diatas
permukaan laut, dengan posisi 105° 14' 12" BT dan 123° 50' 533" LS. Menurut Olde-man (1975) dalam Sitaniapessy (1994) lokasi tersebut termasuk tipe iklim D dengan jumlah bulan basah berkisar antara 3 4 bulan dan bulan kering antara 7 -8 bulan. Kondisi iklim secara umum adalah suhu udara rata-rata 26.4 oC,
kecepatan angin rata-rata 0.92 m/detik, radiasi matahari rata-rata 19.07 MJ, kelembaban relatif rata-rata 90.01%, curah hujan maksimum rata-rata 437.2 mm/tahun dan curah hujan minimum rata-rata 0.0 mm/tahun, dan rata-rata curah hujan tahunan 1288.8 mm
2. Pengamatan visual unsur klimatologi
Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, kondisi iklim dilokasi penelitian selama kegiatan berlangsung sampai selesai (Juni – Oktober), antara lain curah hujan rata-rata 0.0 mm (tidak pernah terjadi hujan), suhu rata-rata selama penelitian 26.08 oC, kelembaban rata-rata 88.34%, kecepatan angin rata 1.32 m/detik, radiasi matahari rata-rata 19.35 MJ.
2. Sifat Fisik Tanah
Terjadinya defisit air tanah sangat dipengaruhi oleh kondisi tekstur tanah dan evaporasi (Wu, Y. et al., 2011), Oleh karena itu perlu dilakukan analisis tekstur tanah di laboratorium tanah. Berdasarkan analisis tekstur tanah di lokasi
penelitian bahwa antara lapisan permukan (0 30 cm) dengan lapisan bawah (30 -60 cm) berbeda retensi airnya. Pada lapisan permukaan lebih cepat meloloskan air, sedangkan pada lapisan bawah, tanah lebih dapat meretensi air. hal ini disebabkan karena tanah pada lapisan atas/permukaan bertekstur lempung liat berpasir, dengan kandungan pasir yang relative tinggi, sedangkan tanah di lapisan
tanah tersebut memiliki nilai pF yang berbeda-beda setiap bertambahnya kedalam tanah pada (Tabel 2). Kadar air kadar air dilokasi penelitian rata-rata pada pF 2.54 adalah 36.7 % volume, pF 4.2 adalah 25.1 % volume, pF 1 sebesar 47.5 % volume dan pada pF 2 adalah 41.6 % volume. Kadar air tersedia antara titik kapasitas lapang dan titik layu permanen rata-rata adalah 11.6 % volume.
Tabel 2. Sifat fisik tanah
(sebelum percobaan) di lokasi penelitian KP
NaibonatSifat Fisik
Kedalaman (0-30) Kedalaman (30–60)
Nilai Kategori Nilai Kategori
Air tersedia (% vol) 10.4 Rendah 10.3 Rendah
Permeabilitas (cm/jam) 1.74 Sangat rendah 1.29 Sangat rendah Keterangan : Dianalisis di Laboratorium Fisika Tanah, Balai Penelitian Tanah Bogor
PD =partikel density;BD =bulk density; RPT =ruang pori tanah
Kemiringan lahan
Pengukuran kemiringan lahan merupakan salah satu dasar dalam sistim irigasi teknik furrow karena berpengaruh pada kecepatan aliran air dari hulu sampai ke hilir dan juga mempengaruhi tingkat peresapan air kedalam tanah.
Tabel 3. Tingkat kemiringan lahan dalam teknik furrow
Letak Lahan Kemiringan Lahan dalam furrow (%)
Hulu Tengah Hilir
Pinggir Kiri 0.92 0.45 0.23
Tengah 0.64 0.38 0.51
Pinggir Kanan 0.58 0.50 0.54
Menentukan kadar air tanah pada berbagai kedalaman (0, 30, 60 cm) merupakan data dasar mendukung dalam menjawab permasalahan perlakuan pengairan. Penentuan kadar air dilakukan secara spasial berdasarkan kedalaman
tanah dan waktu pengirigasian yakni 1 hari sebelum irigasi, 1 setelah irigasi dan 7 hari setelah irigasi (Gbr 14, 15, 16). Hasil pengukuran kadar air dilokasi penelitian, memperlihatkan nilai yang berbeda pada setiap waktu dan kedalaman tanah.
Gambar 14. Rata–rata kadar air tanah pada kedalaman tanah 0, 30, 60 cm sehari sebelum irigasi di bagian hulu yang mendapatkan perlakuan dosis irigasi 100%, 80 %, 60%
Perbedaan kedaman tanah (0, 30, 60 cm) pada (Gbr 14), dapat mempengaruhi kadar tanah yang tersimpan di dalamnya. Pada perlakuan dosis air
irigasi 100%, 80%, 60% dan kontrol, kandungan kadar air tanah 1 hari sebelum irigasi berkisar 0.22 – 0.29%. Kadar air terendah pada perlakuan dosis irigasi 60%, sedangkan kadar air tertinggi terdapat pada dosis irigasi 80% dengan kedalaman 30 cm.
Gambar 15. Rata–rata kadar air tanah pada kedalaman tanah 0, 30, 60 cm sehari sebelum irigasi di bagian tengah yang mendapatkan perlakuan dosis irigasi 100%, 80 %, 60%
Kondisi kadar air tanah pada kedaman tanah 0, 30, 60 cm pada (Gbr 15), setelah mendapatkan pengairan (1 hari setelah irigasi) menunjukkan bahwa
perlakuan dosis air irigasi 100%, 80%, 60% dan kontrol, mampu menyimpang air dalam tanah dengan kadar air tanah berkisar 0.25 – 0.35%. Kadar air terendah pada perlakuan control yakni 0.25%, sedangkan kadar air tertinggi terdapat pada dosis irigasi 100% dengan kedalaman 60 cm.
Gambar 16. Rata–rata kadar air tanah pada kedalaman tanah 0, 30, 60 cm sehari sebelum irigasi di bagian hilir yang mendapatkan perlakuan dosis irigasi 100%, 80 %, 60%
Perubahan kadar air tanah sangat jelas terlihat (Gbr 16) pada masing-masing kedalaman (0, 30, 60 cm) yang telah mendapatkan pengairan 7 hari setelah irigasi. Perbedaan tersebut terjadi pada masing-masing perlakuan dosis
irigasi. Nilai kadar air terendah pada dosis irigasi 60% 0.12% (kedalaman 60 cm), sedangkan tertinggi pada dosis irigasi 100% kedalaman 60 cm yaitu 0.46%.
B. Sistim Pengairan
1. Analisis Dosis dan Interval Irigasi Tanaman
Pengairan dilakukan dari fase awal pertumbuhan tanaman sampai fase akhir dengan dosis yang berbeda-beda berdasarkan fase pertumbuhan tanaman. Penentuan dosis irigasi senantiasa mengacu pada referensi metode FAO (Doorenbos and Pruit, 1975). Metode ini mempertimbangkan berbagai komonen fisik lapangan seperti karakteristik tanah termasuk kepadatan tanah, kapasitas
lapang dll, dan komponen tanaman, seperti kedalaman perakaran setiap fase tanaman. Sehingga dibutuhkan hasil analisis tanah sebelum dilakukan penananam. Berdasarkan hasil analisis tersebut maka metode FAO akan menghitung
kebutuhan air irigasi dari awal sampai fase akhir. Adapun kebutuhan air irigasi di lokasi penelitian sebesar 20–68 mm (Tabel 4).
Tabel 4. Perhitungan kebutuhan irigasi pada berbagai fase pertumbuhan jagung sesuai informasi karakteristik tanah dan tanaman di lokasi penelitian
Fase
(1-3 MST) 0.41 0.24 1.19 0.15 0.17 0.026 0.020 20
Vegetatif II
(4-7 MST) 0.41 0.24 1.19 0.30 0.17 0.051 0.041 41
Pembungaan
(8-10 MST) 0.41 0.24 1.19 0.45 0.17 0.077 0.061 61
Pembentukan biji
(11-15 MST)
0.41 0.24 1.19 0.50 0.17 0.086 0.068 68
Berdasarkan tabel 3 diatas bahwa perbedaan panjang perakaran pada setiap
fase pertumbuhan dapat mempengaruhi kebutuhan air irigasi pada setiap fasenya. Besarnya nilai kebutuhan air irigasi pada lokasi penelitian dalam 1 periode penanaman yakni 20 – 68 mm atau diistilakan dalam Net Irigation Depth (NID). Nilai NID tersebut menjadi dasar untuk menentukan dosis air irigasi sesuai taraf
perlakuan yang diujikan yakni dosis air irigasi 100%, 80%, dan 60%. Nilai NID tersebut kemudian akan dikonversi kedalam waktu (jam ke menit) dengan volume debit irigasi yang disalurkan pada masing-masing blok perlakuan seperti pada (Tabel 5). Besarnya waktu yang dibutuhkan setiap pengairan sangat tergantung pada (a) volume irigasi atau NID, (b) luas petak perlakuan, (b) debit irigasi, (c) waktu pengirigasian awal. Hasil perhitungan waktu akan berbeda setiap dosisnya.
Perhitungan waktu irigasi melewati beberapa tahap antara lain:
b. Hasil perhitungan tersebut diatas kemudian dibagi dalam perjam, namun terlebih dahulu dikonversi ke menit
c. Hasil dari tahap kedua (b) ditambahkan dengan waktu inisiasi awal yang dikonversi ke dalam detik, maka didapatlah hasil lama waktu pengairan dalam jam.
d. Untuk mendapatkan hitungan dalam menit maka hasil dari tahap (c)
dikonversi ke dalam menit.
Lahan yang akan diirigasi pada masing-masing petak adalah seluas 144 m2 dengan debit irigasi yang digunakan sebesar 11.5 liter perdetik . Namun sebelumnya lahan tersebut telah dijenuhkan dengan air dan memperhitungan
waktu pengirigasian awal (inisiasi awal) selama 10 menit, artinya dengan waktu 10 menit cukup untuk mengairi lahan seluas 144 m2.
Tabel 5. Pemberian dosis air irigasi yang dikonversi dalam waktu pada tanaman jagung
Jam Menit Jam Menit Jam Menit Jam Menit
Tanam 0 21-Jun-11 29.0 4.2 0 20 0 18 0 16 0 30
Keterangan: Blok 1 Pemberian irigasi 100% kebutuhan tanaman Blok 2 Pemberian irigasi 80% kebutuhan tanaman Blok 3 Pemberian irigasi 60% kebutuhan tanaman Blok kontorl Pemberian irigasi berdasarkan kebiasaan petani