• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi Kemometrik Untuk Kendali Mutu Simplisia Kumis Kucing (Orthosiphon Aristatus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aplikasi Kemometrik Untuk Kendali Mutu Simplisia Kumis Kucing (Orthosiphon Aristatus)"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

i

APLIKASI KEMOMETRIK UNTUK KENDALI MUTU

SIMPLISIA KUMIS KUCING (

Orthosiphon aristatus

)

ELIN MARLINA

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aplikasi Kemometrik untuk Kendali Mutu Simplisia Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

ABSTRAK

ELIN MARLINA. Aplikasi Kemometrik untuk Kendali Mutu Simplisia Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus). Dibimbing oleh LATIFAH K DARUSMAN dan RUDI HERYANTO.

Kumis kucing (Orthosiphon aristatus) adalah tanaman yang banyak digunakan sebagai obat herbal. Mutu tanaman obat dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah daerah asal tanaman. Penelitian ini mengelompokkan spektra FTIR kumis kucing dari 5 daerah berbeda menggunakan principle component analysis (PCA) dan partial least square discriminant analysis (PLSDA) serta membuat model prediksi flavonoid total menggunakan partial least square (PLS). Sampel dari daerah Nagrak memiliki mutu yang lebih baik daripada 4 daerah lainnya berdasarkan analisis kadar air, kadar abu, rendemen ekstrak, fenol total, flavonoid total, dan kadar sinensetin. Sampel dari 5 daerah memiliki pola kromatogram KLT yang cukup berbeda, tetapi memiliki aktivitas antibakteri yang sama. PCA dengan total keragaman 73% mampu mengelompokkan sampel bermutu tinggi dan rendah. Model PLSDA berhasil memprediksi sampel uji berdasarkan kelompok mutu dan daerah asal sampel. Pembuatan model prediksi flavonoid total dengan PLS menghasilkan R2 kalibrasi, R2 prediksi, RMSEC, dan RMSEP masing-masing sebesar 0.7765, 0.5066, 0.4003, dan 0.6157. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa spektra FTIR dan kemometrik dapat digunakan untuk kendali mutu kumis kucing.

Kata kunci : fenolik, flavonoid, kemometrik, kendali mutu, kumis kucing

ABSTRACT

ELIN MARLINA. Application of Chemometrics for Quality Control of Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus) Herbs. Supervised by LATIFAH K DARUSMAN and RUDI HERYANTO.

Kumis kucing (Orthosiphon aristatus) is a plant widely used as a medicinal herb. The quality of medicinal plants is affected by various factors; one of them is of plant origin. This study attempted to classify FTIR spectra of kumis kucing herbs from 5 different origins using principle component analysis (PCA) and partial least square discriminant analysis (PLSDA) as well as making model predictions of total flavonoids using partial least square (PLS). Samples from Nagrak showed better quality than 4 other origins based on analysis on moisture content, ash content, extract yield, total phenolic, total flavonoids, and sinensetin levels. Samples from 5 origins showed different TLC chromatogram patterns but gave the same antibacterial activity. PCA with a total variation of 73 % was able to classify the samples of high quality or low. PLSDA model was successfully predict the sample based on groups of the quality and origin of samples. Prediction model of total flavonoids with PLS generate R2 calibration, R2 prediction, RMSEC, and RMSEP of 0.7765, 0.5066, 0.4003, and 0.6157, respectively. The results indicate that FTIR spectra and chemometrics can be used to control the quality of kumis kucing herbs.

(6)
(7)
(8)

APLIKASI KEMOMETRIK UNTUK KENDALI MUTU

SIMPLISIA KUMIS KUCING (

Orthosiphon aristatus

)

ELIN MARLINA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, karunia, dan nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Skripsi yang berjudul Aplikasi Kemometrik untuk Kendali Mutu Simplisia Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus) ini disusun berdasarkan penelitian yang dilaksanakan dari bulan Februari sampai Agustus 2013 di Laboratorium Kimia Analitik IPB dan Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof Dr Ir Latifah K Darusman, MS sebagai pembimbing I dan Bapak Rudi Heryanto, SSi, MSi sebagai pembimbing II atas bimbingan dan ilmu yang telah diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pusat Studi Biofarmaka IPB yang telah memungkinkan penulis untuk menelaah data aspek metabolomik dan bantuan pendanaannya. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh staf di Laboratorium Kimia Analitik dan Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka atas fasilitas dan bantuan yang telah diberikan. Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada keluarga atas saran yang telah diberikan.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

(11)

v

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 2

BAHAN DAN METODE 2

Bahan dan Alat 2

Metode 2

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Kadar Air, Kadar Abu, dan Rendemen Ekstrak 5 Pola Kromatogram KLT Ekstrak 6 Kandungan Senyawa Kimia dan Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kumis Kucing 8 Spektrum FTIR Ekstrak Kumis Kucing 10 Pengelompokkan Spektra FTIR dengan PCA dan PLSDA 10 Model Prediksi Kadar Flavonoid dengan PLS 13

SIMPULAN DAN SARAN 14

Simpulan 14

Saran 14

DAFTAR PUSTAKA 14

LAMPIRAN 16

(12)

DAFTAR TABEL

1 Analisis korelasi Pearson 9 2 Evaluasi mutu ekstrak setiap daerah 11 3 Kriteria kebaikan model PLSDA berdasarkan mutu 12 4 Prediksi sampel dengan model PLSDA berdasarkan mutu 12 5 Kriteria kebaikan model PLSDA berdasarkan daerah 12 6 Prediksi sampel dengan model PLSDA berdasarkan daerah 13

DAFTAR GAMBAR

1 Kadar air, kadar abu, dan rendemen ekstrak 6 2 Pola kromatogram hasi uji KLT dengan pengamatan di bawah sinar UV 6 3 Hasil pengolahan gambar KLT (366 nm) menggunakan Image J 7 4 Kadar (a) fenol total (b) flavonoid total dan (c) sinensetin ekstrak sampel 8 dari 5 daerah

5 Spektra FTIR 25 sampel dari 5 daerah berbeda 10 6 Score plot PCA (a) spektra tanpa prapemrosesan (b) spektra dengan 11 prapemrosesan

7 Model kalibrasi dan prediksi menggunakan PLS 13

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data perkebunan dan kondisi geografis 16 2 Diagram alir penelitian 17 3 Kadar air serbuk kering kumis kucing 18 4 Kadar abu serbuk kering kumis kucing 18 5 Rendemen ekstrak etanol 40% kumis kucing 19 6 Hasil pengujian kadar fenol total 20 7 Hasil pengujian kadar flavonoid total 21 8 Hasil pengujian kadar sinensetin 22

9 Analisis ragam 22

(13)
(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kumis kucing (Orthosiphon aristatus) adalah tanaman obat yang termasuk ke dalam famili Lamiaceae dan telah diketahui dapat digunakan sebagai obat batu ginjal, antiinflamasi, analgesik, antimikroba, antioksidan, hepatoprotektif, hipoglikemik, antiangiogenik, dan penyeimbang konsentrasi nitrogen monoksida dalam tubuh. Kumis kucing di Indonesia kebanyakan diperdagangkan sebagai simplisia kering. Produk lainnya dalam bentuk kapsul, tablet, minuman, dan ekstrak. Bagian tanaman kumis kucing yang biasa dijadikan obat adalah daun. Hal tersebut berkaitan kandungan kimia seperti flavon, polifenol, glikosida, minyak atsiri, dan kalium dengan kadar yang tinggi dalam daun kumis kucing (Ahamed dan Abdul 2010).

Pemanfaatan kumis kucing sebagai obat herbal merupakan potensi yang cukup bagus dalam dunia farmasi. Sekarang ini obat herbal banyak digunakan oleh masyarakat karena efek samping yang ditimbulkan jarang terjadi dan biaya yang lebih murah dibandingkan obat sintetik. Namun, terdapat beberapa masalah dalam produksi obat herbal, diantaranya: ketersediaan dan mutu bahan baku, standardisasi, stabilitas, dan kendali mutu yang tidak mudah (Bandaranayake 2006). Kandungan komponen bioaktif tumbuhan obat sangat bervariasi bergantung kepada spesies, varietas, asal daerah, budidaya, metode pemanenan, dan proses pasca panen. Variasi ini dapat menyebabkan inkonsistensi dalam hal khasiat, mutu, dan keamanan produk herbal. Oleh karena itu, perlu penanganan serius dalam penentuan spesifikasi dan parameter simplisia sebagai bahan baku (Komarawinata 2008).

Metode kualitatif yang sering digunakan untuk menganalisis kandungan senyawa aktif adalah spektroskopi FTIR (fourier transform infrared) yang memberikan informasi mengenai keberadaan gugus fungsi dan melihat sidik jari sampel. Pengolahan data spektrum FTIR menggunakan kemometrik dapat dimanfaatkan untuk melihat konsistensi respon suatu standardisasi mutu bahan baku. Metode lain yang sering digunakan untuk kendali mutu bahan baku tanaman obat diantaranya KCKT, kromatografi gas, dan KLT, tetapi metode-metode ini memerlukan preparasi sampel dan waktu pengujian yang lama (Sim et al. 2004).

Analisis tanaman obat menggunakan spektrofotometer FTIR menghasilkan spektrum FTIR yang sangat rumit karena merupakan hasil interaksi antara senyawa kimia dalam matrik sampel yang sangat kompleks. Spektrum ini sulit untuk diamati secara langsung, sehingga memerlukan metode kemometrik untuk mendapatkan informasi kualitatif maupun kuantitatif dari spektrum tersebut. Penggabungan teknik spektrometri inframerah dengan kemometrik telah banyak digunakan sebagai metode kendali mutu yang cepat dari tanaman herbal dengan varietas yang luas (Sim et al. 2004).

(15)

2

untuk data multivariat yang dapat digunakan untuk memprediksi konsentrasi senyawa dalam spektrum campuran (Brereton 2003).

Tujuan

Penelitian ini bertujuan melakukan kendali mutu simplisia kumis kucing dari beberapa daerah yang memiliki kondisi geografis yang cukup berbeda dengan mengelompokkan dan membuat model prediksi yang ditujukan untuk mengaitkan karakteristik spektrum FTIR dengan mutu simplisia kumis kucing. Mutu simplisia dan ekstrak yang diujikan adalah kadar abu, kadar air, pola kromatogram KLT, kadar sinensetin, fenol total, flavonoid total, dan aktivitas antibakteri.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah sampel daun kumis kucing bunga putih yang diperoleh dari 5 daerah (Nagrak, Cimanggu, Pacet, Cigombong, dan Leuwiliang), kertas saring, etanol, kloroform, etil asetat, sinensetin, silika gel 60 F254, reagen

Follin-Ciocalteu, asam galat, serbuk Na2CO3, heksametilenatetraamina, aseton,

HCl, AlCl3, asam asetat glasial, metanol, tetrahidrofuran (THF), KBr, inokulum

Staphylococcus aureus, inokulum Escherichia coli, medium steril, tetrasiklin, dan DMSO.

Alat yang digunakan adalah oven, water bath shaker, cawan porselin, eksikator, bejana kromatografi, seperangkat alat refluks, uji antibakteri metode dilusi, alat KCKT Hitachi, spektrofotometer Uv-Tampak, spektrofotometer FTIR Tensor 37, dan 1 unit komputer. Perangkat lunak yang digunakan adalah The UnscramblerX 10.3 dan Image J 4.5.

Metode

Lingkup Penelitian

(16)

adalah PCA, PLSDA, dan PLS. Analisis PLS menggunakan data konsentrasi flavonoid total sebagai matriks Y. Hasil pengolahan data secara kemometrik dan data mutu dari analisis mutu menghasilkan model klasifikasi tanaman kumis kucing dari 5 daerah berbeda.

Preparasi Sampel (Abdullah et al. 2011, Chew 2011)

Daun kumis kucing berbunga putih dari 5 daerah berbeda dipanen pada sore hari. Pengeringan daun kumis kucing dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 50C selama 24 jam. Serbuk sampel dibuat dan diayak 40 mesh. Sampel sebanyak 10 g diekstraksi 5 kali ulangan untuk setiap daerah menggunakan 100 mL etanol 40%. Campuran dimasukkan ke dalam water bath shaker selama 120 menit dengan suhu 65C. Filtrat disaring menggunakan kertas saring. Ekstrak dipekatkan dengan penguap putar lalu disimpan dalam botol dan lemari pendingin.

Penetapan Kadar Abu Total (Depkes 2008)

Sampel ditimbang sebanyak 2 g kemudian dimasukkan ke dalam krus silikat yang telah dipijar dan ditara. Bahan uji dipijar perlahan hingga arang habis, dilanjutkan dengan pengabuan di dalam tanur pada suhu 600C sampai pengabuan sempurna, didinginkan, dan ditimbang. Tahap pembakaran dalam tanur diulang hingga didapatkan berat konstan. Kadar abu total dihitung terhadap berat bahan uji dan dinyatakan dalam % b/b.

Penetapan Kadar Air (AOAC 2005)

Cawan porselen dikeringkan dalam oven pada 105C selama 3 jam dan

Analisis dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) (FHI 2008)

Analisis secara kualitatif dengan KLT diawali dengan menyiapkan eluen kloroform:etil asetat (60:40) dalam bejana kromatografi. Sebanyak 10 L ekstrak kumis kucing 10% dan 5 L standar sinensetin 0.05% dalam etanol ditotolkan pada pelat KLT silika gel 60 F254 kemudian dielusi dengan eluen yang telah

dijenuhkan. Pelat KLT diangkat dan dikeringkan. Bercak dianalisis dengan menggunakan sinar UV pada panjang gelombang 254 dan 366 nm. Nilai Rf dihitung. Gambar pelat KLT diolah menggunakan perangkat lunak Image J. Penetapan Kadar Fenol Total (Santoso et al. 2012)

(17)

4

dalam kondisi gelap selama 1 jam. Nilai absorbans diukur dengan spektrofotometer UV-Tampakpada panjang gelombang 725 nm.

Penetapan Kadar Sinensetin (Akowuah et al. 2004)

Sebanyak 1 mL ekstrak metanol (1% b/v) dilarutkan dengan 5 mL metanol: H2O (6:4) dan sampel disaring dengan penyaring membran 0.45 m untuk analisis

KCKT. Kondisi KCKT yang digunakan, yaitu kolom C18 (4.6x250 mm), suhu kolom 25C, fase gerak metanol:H2O (pH 3.0):THF (45:50:5), laju alir 1

mL/menit, volume injeksi 20 L, dan panjang gelombang detektor UV 340 nm. Konsentrasi standar sinensetin yang digunakan sebesar 21.58 ppm.

Penetapan Kadar Flavonoid (Depkes RI) tera. Analisis spektrofotometri diawali dengan memindahkan 10 mL larutan fraksi etil asetat ke dalam labu ukur 25 mL, kemudian ditambahkan 1 mL larutan AlCl3

2% dalam asam asetat glasial 5% (dalam metanol). Larutan asam asetat glasial 5% v/v ditambahkan sampai 25 mL lalu diukur pada panjang gelombang 425 nm. Larutan kuersetin murni dalam etil asetat digunakan sebagai standar.

Pengujian Aktivitas Antibakteri Metode Dilusi (Batubara et al. 2009)

(18)

Analisis FTIR

Sebanyak 2 mg ekstrak etanol dicampur dengan 200 mg KBr untuk dijadikan pelet. Pelet dibuat menggunakan hand press dengan tekanan sebesar 80 kN selama 10 menit. Pengukuran spektrum dilakukan menggunakan spektrofotometer FTIR pada kisaran daerah 4000-400 cm-1. Data spektrum dinormalisasi sehingga absorbans terkecil diset menjadi 0, sedangkan absorbans tertinggi menjadi 2. Hasil normalisasi diberikan koreksi garis dasar untuk membuat garis dasar spektrum berada pada absorbans 0, dilanjutkan dengan derivatisasi pertama dan penghalusan metode Savitsky Golay.

Analisis Data secara Kemometrik

Spektrum FTIR disimpan dalam format OPUS. Pengelompokkan sampel dilakukan dengan metode PCA dan PLSDA. Pembuatan model prediksi total flavonoid dilakukan dengan PLS. Analisis kemometrik PCA, PLSDA dan PLS dari spektrum FTIR yang dihasilkan dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak The UnscramblerX 10.3.

Analisis Data Statistik

Data hasil uji kadar air, kadar abu, rendemen ekstrak, fenol total, flavonoid total, dan sinensetin masing-masing dihitung rataan dan standar deviasinya. Selain itu, dilakukan analisis ragam, uji lanjut Duncan, dan analisis korelasi Pearson.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Air, Kadar Abu, dan Rendemen Ekstrak

Penetepan kadar air dan kadar abu pada penelitian ini dilakukan dengan metode gravimetri. Kadar air dan abu hasil pengeringan sampel dari kelima daerah telah memenuhi syarat maksimum yang ditetapkan dalam FHI (Farmakope Herbal Indonesia) 2008, yaitu kurang dari 10%. Kadar air ini menunjukkan kandungan air yang terkandung dalam bahan. Penetapan kadar air dapat membantu menentukan bobot aktual bahan dan digunakan dalam perhitungan rendemen ekstrak. Semakin rendah kadar air, stabilitas bahan semakin tinggi, dan kerusakan bahan semakin rendah (Kunle et al. 2012). Kadar abu menunjukkan kandungan mineral internal dan eksternal dalam bahan serta terkait dengan kemurnian serta kontaminasi bahan (Emilan et al. 2011).

(19)

6

terbedakan dengan sampel Leuwiliang. Rendemen ekstrak tertinggi dimiliki oleh sampel Nagrak dan tidak berbeda nyata dengan sampel Cigombong (Gambar 1).

Gambar 1 Kadar air, kadar abu, dan rendemen ekstrak (Nilai ditampilkan dalam rataan  sd. Huruf a-d menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05). Data lengkap pada Lampiran 3,4,5, dan 9)

Pola Kromatogram KLT Ekstrak

KLT (kromatografi lapis tipis) merupakan salah satu metode kendali mutu tanaman obat yang menghasilkan karakteristik sidik jari dari tanaman tersebut. Metode ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu sederhana, cepat, sensitif, dan preparasi sampel yang mudah. Metode ini juga dapat menentukan mutu dan kemungkinan pemalsuan terhadap produk herbal (Liang et al. 2004). Penggunaan KLT pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan senyawa sinensetin pada ekstrak kumis kucing dan mendapatkan pola kromatogram atau sidik jari KLT sampel dari lima daerah berbeda.

a b c d e

f g h i j

(20)

Gambar 3 Pengolahan gambar KLT (366 nm) menggunakan Image J (G: Cigombong, C: Cimanggu, P: Pacet, L: Leuwiliang, N: Nagrak, S: standar)

Sinensetin yang merupakan senyawa penciri kumis kucing terdapat pada keseluruhan ekstrak dari kelima daerah berdasarkan hasil uji KLT dengan nilai Rf sekitar 0.60. Spot untuk senyawa ini terlihat jelas ketika diamati di bawah lampu UV 366 nm (Gambar 2). Nilai Rf sinensetin ini sedikit berbeda dengan yang tercantum dalam FHI 2008 yaitu 0.5. Hal ini dikarenakan pengaruh kejenuhan eluen, penguapan eluen, dan derajat aktivitas silika gel.

Pola kromatogram sampel dari kelima daerah dapat dilihat pada Gambar 2. Spot teramati pada daerah UV 254 nm lebih sedikit dibandingkan pada panjang gelombang 366 nm. Pola kromatogram hasil pengamatan KLT dibawah UV 366 nm dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 3. Hasil konversi gambar menggunakan Image J tersebut memperlihatkan koordinat jarak spot (x) dan intensitas puncak (y). Koordinat jarak spot merupakan jarak relatif spot terhadap awal penotolan sampel pada pelat KLT. Puncak tertinggi dalam gambar tersebut adalah senyawa sinensetin dalam ekstrak.

Spot berwarna merah atau puncak kecil sebelum puncak sinensetin (Gambar 3) yang teramati di bawah lampu UV 366 nm dengan koordinat jarak kurang dari sinensetin tidak terpisah sempurna dan memiliki intensitas yang cukup berbeda antar daerah. Spot-spot itu diduga sebagai komponen polar yang terekstrak oleh etanol, seperti senyawaan golongan flavonoid hidrofilik atau turunan asam kafeat. Sebaliknya, spot yang teramati di atas standar sinensetin diduga sebagai senyawa golongan flavonoid lipofilik. Hal ini dikarenakan kumis kucing memiliki beberapa polimetoksiflavon dengan sedikit perbedaan kepolaran (Hossain dan Ismail 2012). Secara keseluruhan sampel memiliki puncak-puncak yang sama, tetapi intensitas setiap puncak antar daerah sampel cukup berbeda. Hal ini menunjukkan kandungan senyawa kimia yang terdapat dalam ekstrak etanol seluruh sampel hampir sama, tetapi berbeda kadarnya. Puncak sebelum puncak sinensetin memiliki intensitas yang berbeda untuk setiap daerah walaupun intensitas puncak sinensetin hampir sama. Pola kromatogram pada Gambar 3 cukup membedakan sampel satu daerah dengan daerah lainnya.

(21)

8

Kandungan Senyawa Kimia dan Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kumis Kucing

Analisis kandungan senyawa kimia dalam ekstrak Kumis Kucing dilakukan terhadap kandungan fenol total, flavonoid total, dan senyawa sinensetin. Fenolik merupakan senyawaan penting dalam Kumis Kucing karena memiliki peranan penting sebagai antioksidan. Terdapat 20 jenis senyawaan fenolik dalam Kumis Kucing, yaitu 9 lipofilik flavon, 2 flavonol glikosida, dan 9 turunan asam kafeat (Akowuah et al. 2004). Flavonoid merupakan senyawaan fenolik utama pada tanaman dan sinensetin merupakan kelompok metoksi flavon atau kelompok flavonoid lipofilik. Sinensetin ini berperan penting sebagai antibakteri, antifungi, antitumor, antikanker, pengikatan prostaglandin, dan antifeedan (Hossain dan Ismail 2012).

(a)

(b)

(c)

Gambar 4 Kadar (a) total fenol (b) total flavonoid dan (c) sinensetin ekstrak sampel dari 5 daerah (Data lengkap pada Lampiran 6,7,8, dan 9) Sampel Nagrak berdasarkan hasil penelitian memiliki kandungan fenol total dan sinensetin tertinggi serta keduanya berbeda nyata dengan sampel daerah lainnya (Gambar 4), sedangkan untuk flavonoid total kadar tertinggi dimiliki sampel Cimanggu, tetapi tidak berbeda nyata dengan sampel Nagrak. Secara

(22)

umum, sampel Nagrak dan Cimanggu memiliki mutu kandungan kimia lebih tinggi dari sampel lain dan mutu terendah adalah sampel Pacet.

Hasil analisis kandungan senyawa kimia sesuai dengan karakteristik geografis masing-masing daerah. Kumis Kucing tumbuh dengan baik pada ketinggian 100-1000 mdpl, iklim tropis, curah hujan rata-rata 3000 mm/tahun, dan disinari matahari penuh (Sembiring et al. 2012). Daerah Nagrak dan Cimanggu memenuhi syarat pertumbuhan Kumis Kucing. Daerah Cigombong memiliki curah hujan lebih rendah, Leuwiliang bersuhu lebih rendah, sedangkan Pacet selain suhu lebih rendah, ketinggian juga mencapai 1100 mdpl (Lampiran 1). Selain itu, pola tanam daerah Pacet dan Leuwiliang adalah polikultur, sedangkan yang lain monokultur. Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi mutu tanaman herbal menurut Kunle et al. (2012) seperti variasi spesies, waktu panen, bagian tanaman yang digunakan, dan perlakuan pasca panen dianggap tidak berpengaruh karena pada penelitian ini sama untuk setiap daerah.

Hubungan linier antara kadar fenol total, flavonoid total, dan sinensetin dalam sampel dapat dilihat dari hasil uji korelasi pearson. Koefisien korelasi antara fenol total dan flavonoid total bernilai 0.744 menunjukkan bahwa kandungan fenol total dan flavonoid total berkorelasi positif dan cukup kuat. Kandungan fenol total dalam sampel tinggi, flavonoid total pun tinggi. Hal yang sama juga terjadi pada hubungan antara fenol total dengan sinensetin, dan flavonoid total dengan sinensetin (Tabel 1).

Tabel 1 Analisis korelasi Pearson

Fenol total Flavonoid total Sinensetin

Fenol total 1

Flavonoid total 0.744 1

Sinensetin 0.717 0.784 1

Nilai korelasi antara flavonoid total dengan sinensetin tergolong kuat karena sinensetin termasuk flavonoid lipofilik terbanyak dalam kumis kucing (Hossain dan Ismail 2012). Nilai korelasi antara fenol dan flavonoid cukup kuat. Hal itu dikarenakan sebagian besar flavonoid termasuk senyawaan fenolik, tetapi terdapat juga turunan asam kafeat, tanin, dan senyawa lain dalam sampel yang termasuk senyawaan fenolik. Sinensetin bukan termasuk senyawaan fenolik, tetapi memiliki korelasi positif yang cukup kuat. Abdullah et al. (2011) juga melaporkan bahwa konsentrasi sinensetin berkaitan dengan total fenol. Hal ini mungkin berkaitan dengan kestabilan senyawa dan faktor lainnya.

(23)

10

Spektrum FTIR Ekstrak Kumis Kucing

Setiap senyawa dalam tanaman obat memiliki peranan penting dalam suatu sistem campuran yang rumit karena berpengaruh terhadap khasiat yang dihasilkan tanaman tersebut. Spektrum FTIR yang dihasilkan merupakan serapan dari berbagai komponen kimia yang terdapat dalam ekstrak kumis kucing. Spektrum FTIR sampel dari kelima daerah tidak berbeda secara visual yang menunjukkan bahwa kandungan komponen kimia secara umum adalah sama.

Gambar 5 Spektra FTIR 25 sampel dari 5 daerah berbeda

Serapan kuat dan lebar teramati pada bilangan gelombang sekitar 3400 cm-1 menunjukkan keberadaan gugus hidroksil seperti pada senyawa polifenol, pada 2962 cm-1 dan 2872 cm-1 menunjukkan C-H aldehida, pada 1600 cm-1-1700 cm-1 menunjukkan C=O, 1600-1420 cm-1 fenil, 1456 cm-1 dan 1382 cm-1 menunjukkan C-H pada CH3, dan 1270-1150 cm-1 ester (C-O) (Gambar 5) (Pavia et al. 2001).

Pengelompokkan Spektra FTIR dengan PCA dan PLSDA

Pengelompokkan spektra FTIR ekstrak kumis kucing dari kelima daerah dilakukan dengan metode PCA. Metode ini belum dapat mengelompokkan spektra sampel awal atau tanpa prapemrosesan (Gambar 6a). Hal ini dikarenakan pada spektra awal masih dipengaruhi oleh pergeseran garis dasar, perbedaan jumlah sampel yang dianalisis, dan derau yang dihasilkan detektor. Pengaruh yang timbul tersebut dapat diatasi dengan melakukan prapemrosesan spektrum yang meliputi koreksi garis dasar, normalisasi, dan derivatisasi. Teknik prapemrosesan ini dapat meningkatkan kemampuan PCA untuk mengelompokkan sampel tanpa kehilangan informasi yang besar dengan total variasi yang diperoleh adalah 73%.

Gambar 6b menunjukkan pengelompokkan sampel dari kelima daerah dan setiap daerah ditandai dengan warna yang berbeda. Sampel Pacet (P) menempati kuadran I, sampel Cigombong (G) menempati kuadran II dan III, sampel Leuwiliang (L) dan Cimanggu (C) berada antara kuadran I dan IV, sedangkan sampel Nagrak (N) menempati kuadran IV. Sampel Cigombong menunjukkan pemisahan yang sangat jelas dari keempat kelompok sampel daerah lainnya. Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan bahwa sampel Cigombong memiliki karakteristik mutu yang cukup berbeda dari sampel daerah lain.

A

(24)

(a) (b)

Gambar 6 Score plot PCA (a) spektra tanpa prapemrosesan (b) spektra dengan prapemrosesan

Tabel 2 Evaluasi mutu ekstrak setiap daerah

Kelompok mutu

Kelompok sampela berdasarkan uji beda nyata data mutu

Kadar

G: Cigombong, C: Cimanggu, P: Pacet, L: Leuwiliang, N: Nagrak

Pengelompokan mutu pada Tabel 2 bertujuan mempermudah evaluasi mutu sampel tiap daerah. Kelompok mutu 1 adalah kelompok sampel dengan kriteria terbaik dibandingkan sampel lainnya berdasarkan uji beda nyata dan mutu yang diujikan. Mutu sampel terbaik adalah sampel dari daerah Nagrak karena semua hasil uji termasuk kelompok mutu 1 kecuali kadar abu (Tabel 2). Sampel dengan mutu terbaik tersebut jika dilihat dalam score plot PCA berada pada kuadran IV. Sampel Cigombong memiliki mutu fisik yang baik, tetapi mutu kandungan kimianya rendah berada di antara kuadran II dan III. Sampel lainnya bermutu sedang berkelompok di antara kuadran I dan IV (Gambar 6).

Pengelompokkan sampel dengan PLSDA dilakukan terhadap 2 matriks, yaitu data absorbans hasil analisis FTIR sebagai matriks X dan matriks respon untuk setiap daerah sampel sebagai matriks Y. Respon 1 untuk sampel anggota kelompok dan 0 untuk sampel bukan anggota kelompok. Model PLSDA dibangun berdasarkan kelompok mutu hasil PCA dan berdasarkan kelompok masing-masing daerah asal sampel.

(25)

12

Cigombong ke dalam mutu II, dan yang lainnya ke dalam mutu III. Sampel dikatakan berhasil diprediksi ketika nilai prediksi sampel mendekati nilai 1 pada kelompok mutunya dan 0 pada kelompok mutu lain (Tabel 4).

Tabel 3 Kriteria kebaikan model PLSDA berdasarkan mutu

Model Kalibrasi Prediksi

R2 RMSEC R2 RMSEP

I 0.9861 0.0472 0.8488 0.1667

II 0.9790 0.0580 0.9144 0.1254

III 0.9679 0.0879 0.7976 0.2362

Tabel 4 Prediksi sampel dengan model PLSDA berdasarkan mutu

Sampel Ulangan Nilai prediksi pada model PLSDA

I II III

Model PLSDA berdasarkan daerah sampel terdiri atas 5 model, yaitu model Cigombong, Cimanggu, Pacet, Leuwiliang, dan Nagrak. Model kalibrasi sangat baik untuk keseluruhan kelompok model. Model prediksi sampel Cimanggu dan Pacet cukup baik dibandingkan 3 daerah lain (Tabel 5). Hasil prediksi 2 sampel yang dipilih secara acak dari masing-masing daerah dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil prediksi tidak cukup baik untuk sampel Leuwiliang dan Nagrak ulangan 1. Hal ini dapat disebabkan karena kemampuan prediksi model yang rendah dan perbedaan karakteristik spektrum FTIR sampel yang diujikan.

Tabel 5 Kriteria kebaikan model PLSDA berdasarkan daerah

Model Kalibrasi Prediksi

R2 RMSEC R2 RMSEP

Cigombong 0.9739 0.0646 0.9061 0.1313 Cimanggu 0.9792 0.0577 0.7578 0.2109

Pacet 0.9948 0.0289 0.9304 0.1131

(26)

Tabel 6 Prediksi sampel dengan model PLSDA berdasarkan daerah

Sampel Ulangan Nilai prediksi pada model PLSDA

Cigombong Cimanggu Pacet Leuwiliang Nagrak

Cigombong 1 0.9029 0.3485 -0.0291 -0.1930 -0.0292

2 0.7750 0.1535 0.0521 -0.0327 0.0521

Cimanggu 1 -0.0290 1.2399 -0.0320 -0.1168 -0.0621

2 0.0853 0.7219 -0.1987 0.1798 0.2117

Pacet 1 0.0319 -0.4598 0.7702 0.2986 0.3590

2 0.0395 0.1823 1.0255 -0.2018 -0.0455

Leuwiliang 1 0.1085 0.2847 0.0624 0.5712 -0.0268

2 -0.0823 0.0820 -0.0722 1.0709 0.0016

Nagrak 1 -0.1232 0.3936 0.1720 -0.1053 0.6628

2 0.0446 0.1379 -0.0059 -0.0807 0.9041

Model Prediksi Kadar Flavonoid dengan PLS

Model prediksi kadar flavonoid dibuat dengan PLS yang merupakan teknik regresi yang umum untuk data multivariat. Teknik ini dapat menggantikan metode spektrofotometri UV-Tampak yang membutuhkan preparasi yang lama dengan metode spektroskopi FTIR yang cepat. Data absorbans hasil analisis FTIR digunakan sebagai variabel X dan data kadar total flavonoid sebagai variabel Y. Kebaikan model regresi dapat dilihat dari nilai R2, RMSE, dan kemiringan garis regresi pada hasil kalibrasi dan prediksi. Model regresi semakin bagus jika nilai R2 besar, RMSE kecil, dan kemiringan garis mendekati 1 (45) (Naes et al. 2002).

Gambar 7 Model kalibrasi dan prediksi menggunakan PLS

(27)

14

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Sampel ekstrak kumis kucing dari 5 daerah berbeda berhasil dikelompokkan berdasarkan hasil analisis spektra FTIR menggunakan PCA dan data mutu fisikokimia sampel. Sampel daerah Nagrak memiliki mutu terbaik dan berada pada kuadran IV dalam score plot PCA. Mutu sedang berada antara kuadran IV dan I, yaitu untuk sampel Cimanggu, Pacet, dan Leuwiliang. Sampel Cigombong berbeda dari sampel lainnya, yaitu berada antara kuadran II dan III memiliki mutu fisik yang baik, tetapi kandungan kimianya rendah. Pengamatan mutu menggunakan KLT menghasilkan pola kromatogram yang cukup berbeda untuk sampel masing-masing daerah, sedangkan aktivitas antibakteri tidak cukup membedakan sampel antar daerah. Selain PCA, pengelompokkan juga dilakukan dengan PLSDA dan seluruh sampel uji dapat diprediksi, baik berdasarkan mutu maupun daerah asalnya. Pembuatan model prediksi total flavonoid dengan PLS menghasilkan model yang tidak terlalu baik karena menghasilkan R2 yang tidak characteristics and herbal metabolites composition of misai kucing (Orthosiphon stamineus Benth.) leaves. International Conference on Food Engineering and Biotechnology. 9: 305-309.

Ahamed BM, Abdul MA. 2010. Medicinal potentials of Orthosiphon stamineus Benth. Webmed Central. 1(12):2-7.

Akowuah GA, Zhari I, Norhayati I, Sadikun A, Khamsah SM. 2004. Sinensetin, eupatorin, 3’-hydroxy-5, 6, 7, 4’-tetramethoxyflavone and rosmarinic acid contents and antioxidative effect of Orthosiphon stamineus from Malaysia. Food Chemistry. 87: 559-566.doi:10.1016/j.foodchem.2004.01.008.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemistry. 2005. Official Method of Analysis. Arlington: The Association of Official Analytical Chemist. Inc. Bandaranayake WM. 2006. Modern Phytomedicine. Turning Medicinal Plants

into Drugs. Weinheim: WILEY-VCH Verlag Gmbh & Co. KGaA.

(28)

activities. Journal Wood Science. 55:230-235.doi:10.1007/s10086-008-1021-1.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Kabupaten Bogor dalam Angka. Bogor (ID): BPS Kabupaten Bogor

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Kecamatan Pacet dalam Angka. Cianjur (ID): BPS Kabupaten Bogor

[BPTP] Balai Penelitian Teknologi Pembenihan. 2012. Nagrak. http://bptpbogor.litbang.dephut.go.id/index.php/pages/nagrak (2 Februari 2013)

Brereton RG. 2003. Chemometric: Data Analysis for the Laboratory and Chemical Plant. England (UK): John Wiley & Sons. Ltd.

Chew KK, Khoo MZ, Ng SY, Thoo YY, Wan Aida, WM, Ho CW. 2011. Effect of ethanol concentration, extraction time and extraction temperature on the recovery of phenolic compounds and antioxidant capacity of Orthosiphon stamineus extracts. International Food Research Journal. 18(4): 1427-1435. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2008. Farmakope Herbal Indonesia. Edisi 1.

Jakarta (ID): Depkes.

Emilan T, Kurnia A, Utami B, Diyani LN, Maulana A. 2011. Konsep Herbal Indonesia: Pemastian Mutu Produk Herbal [bibliografi]. Depok (ID): UI. Ho CH, Noryati I, Sulaiman SF, Rosma A. 2010. In vitro antibacterial and

antioxidant activities of Orthosiphon stamineus Benth. Extracts against food-borne bacteria. Food Chemistry. 122:1168-1172.doi:10.1016/j.foodchem.2010. 03.110.

Hossain MA, Ismail Z. 2012. Quantification and enrichment of sinensetin in the leaves of Orthosiphon stamineus. Arabian Journal of Chemistry, siap terbit. Komarawinata HD. 2008. Budidaya dan pasca panen tanaman obat untuk

meningkatkan kadar bahan aktif. Unit Riset dan Pengembangan, PT Kimia Farma (Persero) Tbk.

Kunle OF, Egharevba HO, Ahmadu PO. 2012. Standardization of herbal medicine

–a review. International Journal of Biodiversity and Conservation. 4(3):101-112.doi:10.5897/IJBC11.163.

Liang YZ, Xie P, Chan K. 2004. Quality control of herbal medicines. Journal of Chromatography B. 812: 53-70.

Naes T, Isaksson T, Fearn T, Davies T. 2002. A User-Friendly Guide to Multivariate Calibration and Classification. Chichester (UK): NIR Publications.

Pavia DL, Lampman GM, Kriz GZ. 2001. Introduction to Spectroscopy. Washington (US): Thomson Learning Inc.

Santoso J, Anwariyah S, Rumiantin RO, Putri AP, Ukhty N, Stark YY. Phenol content, antioxidant aktivity and fibers profil of four tropical seagrasses from Indonesia. Journal of Coastal Development. 15(2): 189-196.

Sembiring BS, Rizal M, Suhirman S. 2012. Budidaya dan Pascapanen Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth).Leaflet. Balai Penelitian dan Pengembangn Pertanian, Pusat Penelitian dan Perkebunan, Balittro.

(29)

16

LAMPIRAN

Lampiran 1 Data perkebunan dan kondisi geografis

No Nama Kebun Kecamatan Keterangan Kondisi Geografis 1 Kebun Tanaman

Cimanggu Jl Tentara Pelajar Ketinggian 240 mdpl, curah hujan 3.000 - 4.000 mm/tahun, suhu sekitar 27C, kelembapan 77% 4 Kebun Balithi Pacet Jl

Ciherang-Sagunung, Kab

Nagrak Desa Kalaparea Ketinggian 400 mdpl, curah hujan 241mm/bulan, kelembapan 82.3%, suhu udara 26-28C

(30)

Lampiran 2 Diagram alir penelitian

Uji kadar air dan kadar abu

(31)

18

Lampiran 3 Kadar air serbuk kering kumis kucing

Sampel Ulangan

Lampiran 4 Kadar abu serbuk kering kumis kucing

(32)

Contoh perhitungan:

Lampiran 5 Rendemen ekstrak etanol 40% kumis kucing

(33)

20

Lampiran 6 Hasil pengujian kadar total fenol

(34)

Lampiran 7 Hasil pengujian kadar flavonoid

Keterangan: * = data dianggap sebagai pencilan (=0.05)

(35)

22

Lampiran 8 Hasil pengujian kadar sinensetin

Nama

Lampiran 9 Analisis ragam

(36)

Kadar abu

Leuwiliang 3 0.535333

Pacet 3 0.577100

Cigombong 3 0.882733

Cimanggu 3 1.110267

Nagrak 3 1.297133

(37)

24

Cigombong 3 206.718972

Leuwiliang 3 231.831158

Cimanggu 3 246.871446

Nagrak 3 266.500179

Leuwiliang 5 2.943980

Nagrak 5 3.819680

Cimanggu 5 4.362820

Sig. 0.060 0.084

Lampiran 10 Uji korelasi Pearson

Fenol total Flavonoid total Sinensetin

Fenol total Pearson Correlation 1 0.744 0.717**

Sig. (2-tailed) 0.002 0.004

N 14 14 14

Flavonoid total Pearson Correlation 0.744 1 0.784

Sig. (2-tailed) 0.002 0.001

N 14 14 14

Sinensetin Pearson Correlation 0.717 0.784 1

Sig. (2-tailed) 0.004 0.001

(38)

Lampiran 11 Hasil analisis PCA terhadap spektra FTIR

a b

c d

e f

Score plot PCA (a) spektra tanpa prapemrosesan (b) spektra dengan prapemrosesan B (c) spektra dengan prapemrosesan B dan N, (d) spektra dengan prapemrosesan B, N, dan D, (e) spektra dengan prapemrosesan B, N, D, dan S3, (f) spektra dengan prapemrosesan B, N, D, dan S5

Keterangan: B = koreksi garis dasar N = normalisasi

D = derivatisasi S = penghalusan

(39)

26

(40)
(41)

28

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kuningan pada tanggal 6 September 1990 dari Ayah Raspan dan Ibu Utin. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Penulis memiliki 2 orang kakak bernama Eeng Sudianto dan Meli Nurhidayati serta 1 orang adik bernama Samsul Taupik Hidayat. Tahun 2009 penulis lulus dari SMAN 1 Kuningan dan pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI. Penulis tercatat sebagai mahasiswa Departemen Kimia, FMIPA, IPB.

Gambar

Gambar 1  Kadar air, kadar abu, dan rendemen ekstrak (Nilai ditampilkan dalam
Gambar 4  Kadar (a) total fenol (b) total flavonoid dan (c) sinensetin ekstrak
Gambar 6  Score plot PCA (a) spektra tanpa prapemrosesan (b) spektra dengan
Tabel 3  Kriteria kebaikan model PLSDA berdasarkan mutu
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pertimbangan yang telah dikemukakan di atas, maka pada Tugas Akhir ini direncanakan gedung RUSUNAWA 6 lantai (+ 1basemant) di Surakarta dengan sistem

Dalam analisis data ini digunakan teknik yang sesuai dengan jenis data yang ada serta tujuan penelitian, sehingga peneliti menggunakan metode induktif yaitu cara

(Kami rakyat Perserikatan Bangsa-Bangsa bertekad, menyelamatkan generasi- generasi yang akan datang dari perang, yang terjadi sudah dua kali dalam hidup kita yang

Dalam perjalanan sejarah sepak bola Indonesia, terdapat beberapa peristiwa yang penting untuk dicatat yaitu berdirinya asosiasi sepak bola Indonesia yang bertugas menaungi klub

Kendala yang dihadapi oleh PT Sintang Raya di Kabupaten Kubu Raya yaitu kesulitan dalam proses pendataan hasil panen dan hasil penjualan yang.. masih

Sebagai suatu ideologi bangsa dan negara Indonesia maka Pancasila pada hakikatnya bukan hanya merupakan suatu hasil perenungan atau pemikiran seseorang atau

Sebelum proses penyampaian pesan komunikasi dapat dilakukan pengirim pesan harus menyiapkan ide atau gagasan yang ingin disampaikan kepada pihak lain atau pendengar. Idea

Persen dari masing masing variabel dapat kita ketahui dari tabel di atas yang pertama nilai initial eigenvalues pada nilai % of Variance dari komponen Rajin dalam