DAMPAK ADOPSI BENIH TERONG HIBRIDA
TERHADAP KERAGAMAN PLASMANUTFAH LOKAL
DAN PENDAPATAN PETANI
(Studi Kasus di Jawa Barat Bagian Utara)
NURUL HIDAYATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Dampak Adopsi Benih Terong Hibrida
terhadap Keragaman Plasmanutfah Lokal dan Pendapatan Petani (Studi Kasus di
Jawa Barat Bagian Utara) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Desember
2011
ABSTRACT
NURUL HIDAYATI. Impact of Eggplant Hybrid Seed Adoption to Local
Germplasm Diversity and Farmer’s Income, the Case Study in North-Part of West
Java). Under direction of HARIYADI and SRI MULATSIH.
Eggplant is one of the most importance vegetable crops in Indonesia with high
diversity either in fruit shape, size, color, and other plant characters. Hybrid seed is
one way to increase the productivity to fulfill the need of fresh product with the
chances of increasing or decreasing of diversity in Indonesia. This study was
conducted in Karawang, Indramayu and Cirebon with the purposes: analyze the
impact of the hybrid seed adoption to the local germplasm; analyze factors influenced
the adoption of hybrid; and analyze the economic benefit of hybrid seeds to the
farmer’s income. Identification and characterization of germplasm collected before
and after year 2000 conducted at the research farm of PT East West Seed Indonesia
and farmer’s field. The germplasm diversity in Indramayu and Cirebon are
decreasing, while in Karawang is increasing as the impact of using hybrids seeds with
the coming out of color and shape variation. The local germplasm of round eggplant
is available. Brand image (X
8), high selling price of fresh product (X
10), the easiness
of the fresh product to be sold (X
11) and diseases resistant (X
13) are the factors
influenced the adoption of eggplant hybrid seeds, with the logit function Y = -1.329
+ 2.863X
8– 5.159 X
10+ 3.049 X
11+ 3.026 X
13. Market share of hybrid seeds around
80% on the periods 2004-2011, dominated by hybrids long eggplant type, and 16% of
the total local germplasm (20%) dominated by round type. Hybrid seed increase the
farmer’s income 2.16 times comparing to the using of local germplasm, with 3.85 of
R value on partial budget analysis and 113.9 of Quality Seed Multiplier value.
Keywords: hybrid, eggplant, solanum, adoption, quality seed multiplier, diversity,
partial budget analysis
NURUL HIDAYATI. Dampak Adopsi Benih Terong Hibrida terhadap Keragaman
Plasmanutfah Lokal dan Pendapatan Petani (Studi Kasus di Jawa Barat Bagian
Utara). Dibimbing oleh HARIYADI dan SRI MULATSIH.
Indonesia merupakan salah satu negara terbesar ketiga di Asia setelah India dan
China dalam produksi terong dan keragaman plasmanutfah terong lokal. Sejalan
dengan peningkatan jumlah penduduk, peningkatan kebutuhan terong dan penurunan
luas lahan akibat konversi menjadi bangunan, dibutuhkan teknologi peningkatan
produktivitas. Varietas hibrida merupakan salah satu teknologi pertanian yang dapat
digunakan untuk meningkatkan produksi. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis: dampak adopsi benih terong hibrida terhadap keragaman fenotip
plasmanutfah lokal, faktor-faktor penentu adopsi benih terong hibrida, dan manfaat
ekonomi benih terong hibrida terkait dengan pendapatan petani.
Metode yang digunakan dalam menentukan dampak adopsi terong hibrida
terhadap keragaman plasmanutfah dilakukan dengan melakukan pencirian terhadap
semua koleksi plasmanutfah yang terkumpul sampai tahun 2000 dan plasmanutfah
yang masih ada di wilayah penelitian. Analisis dilakukan secara deskriptif dan
dilakukan dengan cara pengelompokan berdasarkan karakter pokok buah dan
tanaman. Analisis fungsi logit digunakan untuk menentukan faktor-faktor penentu
adopsi benih terong hibrida, sedangkan analisis manfaat ekonomi benih terong
hibrida dilakukan dengan menggunakan pendekatan
Partial Budget Analysis
,
Quality
Seed Multiplier
(
QSM
), dan rasio pendapatan usaha tani teknologi benih hibrida
terhadap benih lokal.
Secara umum lebih dari 80% petani di wilayah penelitian berusaha tani terong
sebagai tanaman tumpang sari dan tumpang gilir, setelah bawang merah, terutama di
Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon, sementara itu petani di Kabupaten
Karawang berusahatani terong setelah padi atau tanaman sayuran lainnya. Terong
dipilih sebagai tanaman tumpang sari atau tumpang gilir karena petani memanfaatkan
sisa waktu sewa lahan pertanaman bawang merah, selain sisa pupuk dan bedengan
yang merupakan salah satu input usaha tani yang terbesar.
Status sosial petani responden meliputi pendidikan, usia, status kepemilikan
lahan, luas lahan serta lama usaha tani terong. Tingkat pendidikan petani reponden
sebesar 78.18% adalah sekolah dasar, usia responden diatas 21 tahun, 60% petani
responden berusaha tani dengan luas lahan antara 0.1-0.5 hektar, 72.73% lahan usaha
tani merupakan lahan sewa, dan lama usaha tani bervariasi antara kurang dari 5 tahun
sampai lebih dari 15 tahun.
Plasmanutfah terong lokal yang dikoleksi sampai tahun 2000 memiliki
keragaman yang tinggi secara fenotipik, dilihat dari bentuk buah, ukuran buah, warna
daging dan kulit buah, serta warna batang dan warna bunga. Jika diklasifikasikan
akan diperoleh kelompok terong panjang ungu dengan variasi ukuran, warna daging
dan kulit buah; terong panjang hijau dengan variasi ukuran dan bentuk (kapol atau
kalapa dan pondoh), warna buah, warna batang dan warna bunga, terong bulat dengan
variasi ukuran buah (asoi atau marukan, kapol dan apel), warna buah, warna batang
dan warna bunga; serta terong oval. Di Karawang terjadi pengayaan plasmanutfah
terong bulat dalam bentuk dan warna yakni terong oval/banci (oval hijau lurik gelap
dan terang, oval ungu, oval putih), apel hijau, apel putih, terong panjang putih dan
terong panjang hijau bergaris, yang diduga sebagai hasil perkawinan silang antara
terong bulat dan terong panjang. Plasmanutfah terong lokal di wilayah Indramayu
terdesak oleh terong hibrida. Plasmanutfah terong lokal di wilayah Cirebon hanya
tersisa terong tipe kalapa dan pondoh. Secara umum plasmanutfah terong bulat
tinggal 67% dari plasmanutfah yang terkoleksi sampai tahun 2000, sementara itu
plasmanutfah terong pondoh dan terong kalapa masing-masing tinggal 20% dari
plasmanutfah total yang terkoleksi pada tahun 2000. Terong panjang ungu (kopek
ungu) dan terong panjang hijau (kopek hijau) koleksi sampai tahun 2000 tidak
ditemukan lagi di ketiga wilayah penelitian, karena terdesak oleh varietas hibrida.
Analisis fungsi logit terhadap faktor-faktor penentu adopsi benih terong hibrida
dilakukan secara serempak terhadap ke-14 peubah bebas/penjelas yang meliputi:
harga benih (x
1), ketersediaan benih sampel (x
2), promosi (x
3), kebanggaan menjadi
adopter awal (x
4), dorongan teman (x
5), bantuan dana uji coba (x
6), peran pemodal
(x
7),
brand image
(x
8),kemudahaan budidaya (x
9), harga jual buah tinggi (x
10),
kemudahan buah dijual (x
11), kualitas buah (x
12), ketahanan terhadap organisme
pengganggu (x
13) dan produktivitas (x
14). Nilai peubah penjelas adalah 1= jika setuju
dan 2= jika tidak setuju. Dari hasil uji
Omnibuss
diperoleh
bahwa secara serempak
keempatbelas peubah bebas berpengaruh nyata pada taraf uji kurang dari 1%. Hasil
uji
Stepwise
diperoleh ada empat peubah yang menjadi penentu keputusan petani
untuk mengadopsi teknologi benih terong hibrida yaitu: ketahanan terhadap OPT
(X
13), kemudahan buah untuk dijual (X
11), harga jual buah tinggi (X
10) dan
brand
image (X
8)
dengan
model logit untuk penentu faktor adopsi teknologi benih hibrida
adalah:
Logit Y = -1.329 + 2.863X
8– 5.159 X
10+ 3.049 X
11+ 3.026 X
13Brand image
merupakan faktor penentu adopsi benih hibrida yang nyata pada
taraf uji kurang dari 5%, artinya pada taraf kepercayaan 95% petani secara loyal
menggunakan benih terong hibrida. Hal ini ditunjang dengan nilai
Odds rasio
sebesar 17.522 yang berarti bahwa petani yang memiliki
brand image
terhadap
perusahan akan mengadopsi benih terong hibrida secara total sebesar 17.522 kali
dibandingkan dengan petani yang mengadopsi benih hibrida tidak total. Hasil
analisis logit ini menunjukkan bahwa
brand image
merupakan penentu dalam adopsi
benih terong hibrida.
Koefisien peubah bernilai negatif, artinya nilai
odds ratio
lebih kecil dari satu
Peubah kemudahan buah terong untuk dijual merupakan faktor yang cenderung
berpengaruh nyata pada taraf uji kurang dari 10% terhadap adopsi benih terong
hibrida dengan nilai
Odds ratio
sebesar 21.087, artinya peluang petani yang setuju
bahwa kemudahan buah terong untuk dijual berpengaruh pada
adopter
total terhadap
adopter
tidak total adalah 21.087 kali dibandingkan petani yang tidak setuju pada
adopter
total terhadap
adopter
tidak total.
Peubah ketahanan terhadap organisme pengganggu (OPT) merupakan faktor
yang berpengaruh nyata pada taraf uji kurang dari 5% terhadap adopsi benih terong
hibrida dengan nilai
Odds ratio
sebesar 20.61, artinya peluang petani yang setuju
bahwa ketahanan terhadap organisme pengganggu tanaman berpengaruh pada
adopter
total terhadap
adopter
tidak total adalah 20.61 kali dibandingkan petani yang
tidak setuju pada
adopter
total terhadap
adopter
tidak total.
Selain keempat peubah di atas, tingkat adopsi benih hibrida dapat dijelaskan
dengan tingkat penguasaan pasar benih terong hibrida. Penguasan pasar benih terong
hibrida dari tahun 2004-2011 lebih dari 80%, artinya hanya 20% pasar benih terong
di Indonesia yang didominasi oleh benih terong lokal.
Nilai R pada
partial budget analysis
pada benih terong hibrida rata-rata sebesar
3.85, artinya R > 1 bahwa benih terong hibrida memiliki manfaat ekonomi bagi
petani. Nilai
Quality Seed Multiplier
(QSM)
rata-rata sebesar 113.9, artinya karena
nilai QSM >25 maka benih terong hibrida memberikan manfaat ekonomi. Sementara
itu rasio nilai pendapatan petani dengan menggunakan benih hibrida dibandingkan
penggunaan benih lokal sebesar 2.16 kali.
Kata kunci : plasmanutfah, hibrida, adopsi, terong, solanum,
partial budget analysis
,
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011
Hak cipta dilindungi
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PENDAPATAN PETANI
(Studi Kasus di Jawa Barat Bagian Utara)
NURUL HIDAYATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis :
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT dengan segala
pertolonganNya saya berhasil menyelesaikan penyusunan karya ilmiah. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini adalah status plasmanutfah terong lokal, dengan judul
Dampak Adopsi Benih Terong Hibrida terhadap Keragaman Plasmanutfah Lokal dan
Pendapatan Petani Indonesia (Studi Kasus di Jawa Barat Bagian Utara). Penelitian
ini dilakukan dari bulan Juli sampai Agustus 2011
Saya menyampaikan rasa terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Hariyadi, M.S,
Ibu Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr. selaku dosen pembimbing. Disamping itu saya
sampaikan penghargaan kepada managemen, rekan-rekan riset dan tim pemasaran
East West Seed Indonesia, serta semua pihak yang telah membantu dalam
pengumpulan data. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, suami
dan anak tercinta atas segala doa dan pengorbanan.
Bogor,
Desember
2011
Penulis dilahirkan di Bangkalan pada tanggal 26 Oktober 1966 dari ayah Drs.
A. Humaidi dan ibu Siti Arfiyah. Penulis merupakan anak ketiga dari enam
bersaudara.
Tahun 1985 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bangkalan dan diterima di
Institut Pertanian Bogor melalui jalur PMDK. Penulis memilih jurusan Budidaya
Pertanian, Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih, dan menyelesaikan program
sarjana strata-1 pada tahun 1990.
Pada tahun ajaran 2009-2010 penulis melanjutkan ke Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor, dengan memilih mayor Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan. Sejak lulus dari program sarjana strata-1 sampai saat ini penulis bekerja
di PT East West Seed Indonesia sebagai pemulia tanaman.
Bogor, Desember 2011
Nurul Hidayati
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...
xv
DAFTAR GAMBAR ...
xvi
DAFTAR LAMPIRAN ...
xviii
BAB I. PENDAHULUAN ...
1
1.1 LatarBelakang ...
1
1.2 Kerangka Pemikiran ...
2
1.3 Rumusan Masalah ...
4
1.4 Tujuan Penelitian ...
5
1.5 Manfaat Penelitian ...
5
1.6 Hipotesis ...
5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ...
6
2.1 Terong (
Solanum melongena
) ...
6
2.2 Keragaman dan Konservasi Plasmanutfah ...
7
2.3 Varietas Hibrida ...
10
2.4 Usaha Tani Komoditas Sayuran ...
13
2.5 Adopsi dan Penetrasi Varietas Hibrida ...
14
BABA III. METODE PENELITIAN ...
17
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ...
17
3.2 Rancangan Penelitian ...
17
3.2.1 Jenis Data dan Cara Pengumpulan Data ...
17
3.2.2 Analisis Data ...
19
3.2.2.1 Analisis Dampak Adopsi Benih Terong Hibrida
terhadap Keragaman Fenotip Plasmanutfah Terong Lokal ...
19
3.2.2.3 Analisis Manfaat Ekonomi Benih Terong Hibrida dan
Dampaknya terhadap Pendapatan Petani ...
24
BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ...
26
4.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian ...
26
4.2 Gambaran Umum Petani Responden ...
29
4.2.1 Karakteristik Petani Responden ...
30
4.2.2 Pola Tanam ...
32
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ...
35
5.1 Dampak Adopsi Benih Terong Hibrida terhadap Keragaman Fenotip
Plasmanutfah Terong Lokal ...
35
5.2 Faktor-faktor Penentu Adopsi Benih Terong Hibrida ...
55
5.3 Manfaat Ekonomi Benih Terong Hibrida terhadap
Pendapatan Petani ...
68
BABA VI. KESIMPULAN DAN SARAN ...
72
6.1 Kesimpulan ...
72
6.2 Saran ...
72
DAFTAR PUSTAKA ... 74
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Varietas-varietas yang mendapatkan SK pelepasan Menteri Pertanian ...
12
2 Rancangan penelitian sesuai tujuan penelitian ...
18
3 Pengelompokan plasmanutfah terong lokal ...
19
4 Pola tanam petani responden ...
34
5 Karakteristik plasmanutfah terong panjang ungu di Jawa Barat
bagian utara tahun 2000 ...
36
6 Karakteristik plasmanutfah terong pondoh di Jawa Barat
bagian utara tahun 2000 ...
39
7 Karakteristik plasmanutfah terong kapol atau kalapa di Jawa Barat
bagian utara tahun 2000 ...
41
8 Karakteristik plasmanutfah terong bulat di Jawa Barat bagian utara
tahun 2000 ...
43
9 Kondisi plasmanutfah terong lokal di Jawa Barat bagian utara
Tahun 2011 ...
51
10 Hasil analisis statistik peubah-peubah penentu adopsi benih terong hibrida .
56
11 Hasil analisis
crosstab
secara terpisah masing-masing peubah penjelas ...
66
12 Analisis manfaat ekonomi penggunaan teknologi benih terong hibrida
dibandingkan benih lokal ...
70
Halaman
1 Diagram alir kerangka pemikiran ...
4
2 Penguasaan pasar terong di Jawa Barat bagian utara dan di wilayah penelitian 17
3 Peta Kabupaten Indramayu ...
26
4 Peta Kabupaten Cirebon ...
27
5 Peta Kabupaten Karawang ...
28
6 Distribusi umur petani responden ...
30
7 Distribusi tingkat pendidikan petani responden ...
30
8 Distribusi pengalaman usaha tani petani responden ...
31
9 Distribusi status kepemilikan lahan petani responden ...
31
10 Distribusi luas lahan usaha tani terong petani responden ...
32
11 Pola tanam petani terong di Karawang, Cirebon dan Indramayu ...
33
12 Analisis klaster plasmanutfah terong sebelum tahun 2000 ...
45
13 Plasmanutfah varian baru di wilayah Karawang sebagai dampak dari adopsi
benih terong hibrida ...
46
14 Dendrogram kekerabatan galur dan varietas terong panjang hibrida ...
48
15 Variasi terong panjang hijau tipe pondoh dan kalapa di Cirebon ...
49
16 Analisis klaster plasmanutfah terong tahun 2011 ...
50
17 Pola segregasi plasmanutfah terong bulat lurik hijau-ungu-putih ...
52
18 Pola segregasi plasmanutfah terong ovoid lurik hijau-ungu-putih ...
53
Halaman
20 Serangan layu bakteri (
Ralstonia solanacearum
) pada pertanaman
terong di Cirebon ...
62
21 Serangan penyakit
Phytophtora capsici
pada buah terong dan
Phomopsis vexans
pada tanaman terong di Indramayu ...
63
22 Serangan geminivirus pada pertanaman terong di Karawang ...
65
Halaman
1 Identifikasi dan karakterisasi plasmanutfah lokal terong tahun 1991 ... 80
2 Analisis klaster plasmanutfah terong sebelum tahun 2000 ...
82
3 Analisis klaster plasmanutfah terong tahun 2011 ...
83
4 Analisis klaster plasmanutfah terong 1990-2011 ...
84
5 Komponen pendapatan petani terong hibrida ...
88
6 Komponen pendapatan petani terong lokal ...
90
7 Hasil pengujian statistika faktor-faktor penentu adopsi dengan pendekatan
regresi logit ...
91
8 Analisa
crosstabs
tiap peubah penjelas terhadap peubah respon ...
94
9 Harapan petani terhadap varietas hibrida ...
108
1
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Terong termasuk genus Solanum dan famili Solanaceae. Keragaman
plasmanutfah terong mudah dilihat secara visual dari bentuk, ukuran dan warna
buah, serta karakter morfologi tanaman (Doganlar et al. 2002; Collonnier et al.
2001; Kasyhap 2003; dan Frary et al. 2007). Keragaman ini semakin tinggi
terkait dengan sifat menyerbuk silang dari beberapa spesies terong serta
interaksinya dengan lingkungan tumbuh (Nothmann 1986; Lawande dan Chavan
1998 dan Kashyap 2003). Indonesia merupakan negara terbesar ketiga di Asia
setelah India dan China dalam keragaman terong (Grubben dan Denton 2004).
Koleksi plasmanutfah terong telah dilakukan sejak tahun 1970. IPBGR (Institute
Plant Breeding and Genetic Resources) dan dilanjutkan oleh IPGRI (Institute
Plant Genetics Resources International telah mengoleksi 3,000 plasmanutfah
terong di India, 1,000 koleksi dari China dan lebih dari 500 koleksi plasmanutfah
terong dikoleksi di Indonesia pada tahun 1990. Bentuk keragaman plasmanutfah
terong salah satunya ditunjukkan dengan adanya nama-nama daerah yang berbeda
untuk menyebut terong. Terong asam atau terong dayak dikenal di Kalimantan,
terong telunjuk atau terong percut di Sumatera, terong belanda di Brastagi,
sedangkan di Jawa Barat dikenal tekokak, leunca, terong asoi, terong marukan,
terong kopek, terong kapol, terong susu, dan terong kalapa (AVGRIS 2010;
Siemonsma dan Piluek 1994). Menurut Hanson (2003), terong mempunyai fungsi
sebagai bahan pangan disamping juga sebagai bahan obat-obatan atau
fitofarmaka, misalnya tekokak (Solanum torvum) dan terong susu (Solanum
mammosum).
Kegiatan pengumpulan plasmanutfah lokal sudah dimulai sejak tahun 1990.
Balai Penelitian Sayuran Lembang dan Wageningen University Research Institute,
Belanda (proyek ATA) melakukan kerjasama selama periode 1988-1992 yang
memfokuskan pada pengembangan varietas sayuran di Indonesia. Salah satu
kegiatannya adalah melakukan pengumpulan plasmanutfah lokal sayuran
(indigenous vegetable). Plasmanutfah tersebut diinventarisasi dalam database dan
dilakukan perbanyakan dan konservasi secara ex situ. Namun karena
ketidaksinergian program pemerintah, menyebabkan konservasi tersebut tidak
berjalan dengan baik. Sebagian besar plasmanutfah yang telah dikonservasi mati
karena kesalahan pengelolaan. Koleksi plasmanutfah terong terbesar ada di India
dan China, sementara lembaga penelitian Asian Vegetable Research and
Development Centre (AVRDC) telah memiliki koleksi sebanyak 12,000 entris
(Engle 2006; Engle 2008; AVGRIS 2010).
Pertambahan jumlah penduduk di Indonesia berakibat pengurangan
ketersediaan lahan pertanian (akibat dikonversi untuk perumahan dan
infrastruktur), serta peningkatan kebutuhan sayuran (Weinberger dan Lumpkin,
2008). Disamping itu globalisasi memberikan peluang bagi ekspor sayuran segar
berkualitas, yang hanya dapat dipenuhi dengan teknologi pertanian. Salah satu
teknologi pertanian tersebut adalah penggunaan varietas unggul atau varietas
hibrida (Evenson dan Gollin 2003).
Menurut Weinberger dan Lumpkin (2008) produksi sayuran di Asia
Tenggara pada tahun 2005 sebesar 30.3 juta ton atau 24.4% dari total produksi di
Asia (setara USD 12.6 milyar). Grubben dan Denton (2004) mengemukakan
bahwa pangsa pasar terong di Indonesia tahun 1998 sebesar 160,000 ton (setara
dengan luas tanam 32,000 hektar), dan meningkat menjadi 600,000 ton pada tahun
2004 (setara dengan kebutuhan benih 8-10 ton atau luas tanaman 80,000-100,000
hektar) (Frontier 2009). Sementara itu produksi terong dunia mencapai 23 juta
ton dari 1.4 juta hektar pada tahun 2001 (Grubben dan Denton 2004).
1.2Kerangka Pemikiran
Sebelum industri benih berbasis pemuliaan tanaman berkembang di
Indonesia, perusahaan benih lebih fokus pada pemurnian kultivar lokal, misalnya
terong kopek dari Bogor, terong marukan hijau dari Sukabumi atau terong pondoh
dari Jawa Tengah. Petani lebih menggunakan kultivar lokal setempat atau
melakukan tukar-menukar dengan sesama petani melalui pedagang pengepul atau
tengkulak. Pada fase tersebut kontaminasi atau hibridisasi secara alami mulai
terjadi, sehingga keragaman terong sudah mulai terbentuk.
Keragaman terong tersebut merupakan modal awal dalam pemuliaan
tanaman bagi industri benih, misalnya PT East West Seed Indonesia dengan
3
Seminis, PT Syngenta dan perusahaan benih lainnya (Groot 2002; Grubben dan
Denton 2004; Gniffke 2006). Plasmanutfah lokal Indonesia diperlukan dalam
program pengembangan varietas hibrida untuk mendapatkan karakter adaptasi
lingkungan dan karakter buah. Masing-masing perusahaan benih ini memiliki
strategi yang berbeda dalam mengkombinasikan plasmanutfah lokal dengan
plasmanutfah hasil introduksi dari luar negeri.
Peraturan pemerintah mewajibkan kepada setiap calon varietas baru yang
akan dikomersialisasikan harus melalui proses pengujian adaptasi dan multilokasi.
Hal ini berarti bahwa potensi kontaminasi terhadap plasmanutfah lokal yang dapat
menimbulkan keragaman plasmanutfah terong dan atau terdesaknya plasmanutfah
lokal telah dimulai sebelum suatu varietas mulai dikomersialisasikan.
Varietas terong hibrida merupakan teknologi yang relatif baru bagi petani di
Indonesia jika dibandingkan dengan varietas hibrida cabai, tomat, semangka dan
melon. Varietas hibrida cabai, tomat, semangka dan melon telah diadopsi sejak
tahun 1988 (Groot 2002). Varietas terong hibrida mulai dikomersialisasi di pasar
Indonesia pada tahun 1992 (Hidayati 2002), namun adopsi dimulai pada tahun
1995 dan diadopsi secara total tahun 2000.
Proses adopsi varietas terong hibrida tersebut relatif lambat dibanding
dengan varietas sayuran lainnya. Cabai, tomat, semangka dan melon,
masing-masing memerlukan waktu 3 tahun mulai dari introduksi sampai adopsi total.
Oleh karena itu perlu diteliti faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi benih
terong hibrida.
Adopsi benih hibrida secara total dapat mendesak plasmanutfah terong lokal
dan menimbulkan keragaman plasmanutfah terong, sehingga dibutuhkan
pengelolaan plasmanutfah. Kesulitan dalam pengelolaan plasmanutfah lokal di
Indonesia diakibatkan oleh sifat sektoral dan tersebarnya plasmanutfah di
beberapa lokasi, yang berimplikasi terjadinya tumpang tindih atau kelalaian dalam
konservasi. Oleh karena itu langkah awal yang harus disamakan adalah
pemahaman terhadap kebijakan-kebijakan perbenihan, sumber daya genetika dan
spesies harus disamakan terlebih dahulu pada semua sektor pemangku
kepentingan. Informasi tentang adopsi benih hibrida dan penguasaan pasar dari
Sebaliknya informasi tentang keberadaan plasmanutfah terong lokal baik yang
berada di institusi pemerintah, sektor industri perlu adanya keterbukaan.
Berdasarkan permasalahan diatas maka kerangka pemikiran dalam
penelitian ini digambarkan dalam diagram seperti pada Gambar 1.
Peningkatan jumlah penduduk
Kesadaran nutrisi dan gizi
Peningkatan kebutuhan Penurunan lahan
produksi, perubahan lingkungan tumbuh
Peningkatan produkivitas
Teknologi benih hibrida
Adopsi Nilai tambah (pendapatan)
Keragaman plasmanutfah
Kontaminasi polen seragam
beragam
Pengelolaan
Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran
1.3Rumusan Masalah
Industri benih mengupayakan varietas hibrida baru yang dihasilkan bisa
diadopsi secara nasional, sehingga memudahkan dalam penanganan produk
tersebut mulai dari penanganan benih induk, produksi serta pemasaran. Hal ini
ditujukan untuk meminimalkan biaya produksi dan mendapatkan keuntungan
yang optimal. Sementara itu, petani berusaha untuk memaksimalkan
produktivitas yang dihasilkan dengan penggunaan teknologi baru, salah satunya
adalah penggunaan benih hibrida. Petani melakukan usaha tani secara intensif,
baik dengan monokultur ataupun tumpangsari, karena nilai tambah yang dimiliki
oleh benih hibrida tersebut, seperti ketahanan penyakit, produktivitas, daya
adaptasi terhadap lingkungan serta nilai jual produk segar. Beberapa pertanyaan
atau masalah yang harus dijawab dalam penelitian ini, yaitu:
a) Bagaimana dampak adopsi varietas hibrida terhadap kondisi plasmanutfah
5
b) Faktor-faktor apa saja yang menentukan adopsi varietas terong hibrida
oleh petani?
c) Berapa besar manfaat ekonomi benih terong hibrida dan dampaknya
terhadap pendapatan petani?
1.4Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, ada 3 tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian ini, yaitu:
a) Menganalisis dampak adopsi benih terong hibrida terhadap keragaman
fenotip plasmanutfah terong lokal.
b) Menganalisis faktor-faktor penentu adopsi teknologi benih terong hibrida.
c) Menganalisis manfaat ekonomi benih terong hibrida dan dampaknya
terhadap pendapatan petani.
1.5Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi beberapa
stakeholder/pemangku kepentingan yaitu:
a) Memberikan informasi tentang kondisi plasmanutfah terong kepada
pemulia tanaman, dan pemangku kepentingan di Indonesia.
b) Memberikan informasi kepada pemulia tanaman dan industri benih tentang
dampak benih terong hibrida dalam usaha tani dan plasmanutfah.
c) Memberikan informasi kepada petani, pedagang dan konsumen tentang
keberadaan serta nilai tambah terong hibrida.
1.6Hipotesis
Dua hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
a) Secara ekologis, adopsi benih terong hibrida diduga menimbulkan dampak
kontaminasi terhadap plasmanutfah lokal yang dapat meningkatkan
keragaman fenotip plasmanutfah lokal dan atau terdesaknya plasmanutfah
lokal.
b) Secara sosial dan ekonomi diduga dapat memberikan manfaat dalam
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Terong (Solanum melongena)
Famili Solanaceae memiliki lebih kurang 90 genera dan diperkirakan
memiliki spesies antara 3,000-4,000 (Knapp et al. 2004). Solanaceae merupakan
famili yang paling mudah beradaptasi dengan lingkungan terutama di daerah
tropik dan subtropik. Solanaceae secara umum terkonsentrasi di daerah Amazon,
dan Andez di Amerika Selatan yang disebut “Dunia Baru” (Daunay et al. 2001;
Knapp et al. 2004), kecuali terong berasal dari Asia dan Afrika yang dikenal
sebagai “Dunia Lama” atau Old World Origin (Daunay et al. 2001, Doganlar et
al. 2002).
Terong merupakan salah satu spesies dalam famili Solanaceae dengan
jumlah kromosom 2n=24, dan termasuk genus Solanum. Terong merupakan
spesies asli India, semula merupakan tanaman liar (Lester 1998, Daunay et al.
2001, Lester dan Daunay 2003; Frary et al. 2007), kemudian mengalami
domistikasi dalam waktu beberapa ratus abad yang lalu. India merupakan negara
yang memiliki keragaman genetika dan spesies terong yang paling tinggi di Asia,
disusul oleh China dan Indonesia (Lawande dan Chavan 1998; Lester 1998;
Doganlar et al. 2002; Economic Research Service, USDA 2006 dan Collonnier et
al. 2001). Terdapat sekitar 1,500 spesies terong yang tersebar di negara tropik
dan subtropik.
Terong seringkali diidentikkan dengan tingkat kemiskinan, karena tanaman
ini banyak ditemukan di daerah-daerah yang penduduknya miskin, misalnya India
dan China (Simmonds 1984), pendapat ini dikuatkan dengan data yang diperoleh
di Afrika (Grubben dan Denton 2004), serta tidak berkembangnya budidaya
terong di negara Eropa dan Amerika Serikat. Terong merupakan salah satu
komoditas yang mudah tumbuh dan mudah perawatannya dibandingkan dengan
komoditas lainnya, serta memiliki toleransi yang cukup tinggi di daerah marginal
sehingga tidak memerlukan biaya tinggi dalam budidaya. Simonsma dan Piluek
(1994) mengemukan bahwa spesies-spesies asli terong yang ditemukan di
Indonesia meliputi Solanum melongena, Solanum macrocarpon, Solanum
7
yang tersebar luas di seluruh kepulauan yang juga ditemukan di daerah asalnya
(Lester 1998, Daunay, et al. 2001). Hal ini dapat dilihat dari nama-nama daerah
yang ada, misalnya: terong atau terung untuk menyebutkan genus Solanum,
terong pipit untuk Solanum torvum (Kalimantan), terong perat (Madura), terong
asam (Dayak), tekokak (Solanum torvum), leunca untuk Solanum americanum
atau Solanum nigrum (Jawa Barat), cung bulu (Sulawesi Selatan). Terong atau
Solanum melongena merupakan spesies yangpaling dikenal dibandingkan dengan
spesies lainnya karena paling banyak dikonsumsi (Lester 1998).
Penggunaan terong di beberapa negara berbeda-beda, misalnya terong asam
di Kalimantan dibuat campuran sayur asam, di Thailand digunakan dalam menu
“nam prek”. Cara mengkonsumsi terong di beberapa wilayah Indonesia
bervariasi, mulai dari dimakan mentah sebagai lalab, atau dimasak dalam
beberapa hidangan, serta diolah menjadi manisan terong. Biji terong secara
tradisional dapat digunakan untuk pengobatan sakit gigi (Grubben dan Denton
2004). Terong dapat juga digunakan sebagai bahan baku farmasi (Hanson 2003).
Kandungan gizi dari 100 gram buah terong terdiri dari 92 gram air, 1.6 gram
protein, 0.2 gram lemak, 4 gram karbohidrat, 1 gram serat, 22 mg kalsium serta
vitamin (Lawande dan Chavan 1998; Collonnier, et al. 2001). Dari potensi
kandungan gizi yang dimiliki oleh terong, beberapa orang menggunakan terong
sebagai diet untuk menurunkan kadar kolesterol darah, diabetes (gula darah),
disurea dan hemoroid disamping untuk kosmetik (Mueller 2005).
Genus Solanum belum teridentifikasi dengan baik. Terdapat keragaman
morfologi yang tinggi baik dalam tingkat interspesifik maupun intraspesifik
(Furini dan Wunder 2004; Karihaloo dan Gottlieb 1995). Keragaman morfologi
ini bisa dengan mudah dibedakan secara individu dalam suatu kultivar ataupun
sebagai spesies liar (Isshiki et al. 1994), namun karena penyebaran yang luas
kontaminasi dengan kultivar lokal serta perbedaan kultivasi tanaman menjadikan
kesulitan dalam klasifikasi (Lester dan Daunay 2003).
2.2Keragaman dan Konservasi Plasmanutfah
Indonesia merupakan salah satu negara terbesar yang memiliki
keanekaragaman hayati atau mega biodiversity karena keragaman genetika,
Indonesia hanya memiliki luas daratan sebesar 1.3% dibandingkan luas total
daratan di dunia, namun tercatat ada 10% spesies berbunga, 12% mamalia, 17%
burung, termasuk 400 spesies palem dan 25,000 jenis tumbuhan berbunga. Selain
itu karena Indonesia merupakan wilayah dengan berbagai “bioekologi spesifik”
yang masing-masing sangat kondusif bagi timbulnya keragaman genetika
tanaman, hewan dan mikroba, disamping peran manusia yang tinggal di wilayah
tersebut (Sutoro 2006).
Sebagai salah satu komoditas tertua di Indonesia, keragaman plasmanutfah
terong dapat dengan mudah dilihat secara visual dari bentuk, ukuran dan warna
buah, selain dari karakter organ tanaman (Doganlar et al. 2002; Collonnier 2001;
Kasyhap 2003; Frary et al. 2007). Keragaman yang tinggi ini terkait dengan sifat
menyerbuk silang dari beberapa spesies terong serta interaksinya dengan
lingkungan tumbuh (Nothmann 1986; Lawande dan Chavan 1998; Kashyap
2003). Namun demikian kekerabatan genetika memerlukan analisis molekuler
dilihat dari peta DNA masing-masing plasmanutfah. Peta keragaman genetika
dan kekerabatan dapat digambarkan secara sistematika dalam klaster dendrogram
atau phylogenicsystematic (Westhead et al. 2002). Keragaman genetika memiliki
bentuk berbeda dengan keragaman genotip, yang terjadi sebagai akibat dari
perubahan struktur genetika dan merupakan potensi yang khas dalam jangka
panjang terkait dengan proses evolusi (Raven et al. 1999). Keragaman komposisi
genetika ini merupakan dasar dalam meningkatkan keberlangsungan kehidupan
individu dan populasi selama seleksi alam. Komponen ini dibentuk oleh DNA dan
protein serta interaksinya dalam klasifikasi (Lie 1997).
Daunay et al. (2001), Grubben dan Denton (2004) mengemukakan bahwa
keragaman genetika (genetic diversity) merupakan modal yang besar dalam
pengembangan varietas baru. Keragaman ini terkait dengan karakter ketahanan
terhadap organisme pengganggu tanaman terutama di daerah tropis yang sangat
tinggi, disamping potensi adaptasi secara geografis. Beberapa perusahaan yang
berbasis pemuliaan tanaman di Asia telah memanfaatkan keragaman genetik pada
terong dalam menghasilkan varietas hibrida yang beradaptasi luas di daerah tropis
dengan ketahanan terhadap layu bakteri yang tinggi. AVRDC sebagai lembaga
9
dari beberapa negara, serta memberikan informasi, teknologi dan menyumbang
materi genetika, mulai dari bentuk plasmanutfah sampai galur-galur hasil
pengembangan sebagai bahan baku pengembangan varietas (Gniffke 2006)
Penelitian dan pengembangan varietas atau galur transgenik juga sudah mulai
dilakukan di beberapa negara terutama untuk ketahanan terhadap serangga,
misalnya penggerek buah dan batang (fruit and shoot borer) dan ketahanan
terhadap kondisi abiotik.
Behera dan Singh (2002) mengemukakan bahwa keragaman genetika pada
terong banyak dimanfaatkan untuk memperbaiki karakter ketahanan terhadap
organisme pengganggu, terutama plasmanutfah dari species liar. Seperti yang
diungkapkan oleh Daunay et al. (2001) penggunaan species liar memerlukan
teknis khusus, yakni dengan perkawinan interspesifik yang dilanjutkan dengan
kultur embrio untuk mendapatkan benih F1. Solanum khasianum sering
digunakan dalam perkawinan interspesifik karena memiliki karakter ketahanan
terhadap organisme pengganggu tanaman. Solanum torvum, yang lebih dikenal
dengan nama lokal tekokak di Jawa Barat atau terong pipit di Kalimantan
disebutkan merupakan plasmanutfah terong liar yang memiliki banyak karakter
positif dalam ketahanan terhadap organisme tanaman, seperti: ketahanan terhadap
bakteri layu Ralstonia solanacearum, Phomopsis vexans, dan Phytopthora
capsici. Species ini memiliki sifat incompatibilitas dalam penyerbukan, sehingga
sulit untuk mendapatkan galur rekombinasi terkait dengan bunga yang mandul
pada setiap keturunannya.
Daunay et al (2001), Grubben dan Denton (2004) mengemukakan bahwa
sumber keragaman genetika pada terong dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu:
• Genepool kultivar terong lokal dan terong modern (Solanum melongena); keragaman ini penting terkait dengan ukuran buah (10 gram sampai 1000
gram), warna buah (putih, hijau, ungu, bergaris atau lurik, coklat, hitam
atau merah muda), dan bentuk buah (dari bulat/globe sampai mengular,
permukaan kulit halus atau bergerigi).
• Genepool dari 20 species yang mudah melakukan kawin silang dengan
terong kelompok pertama dan menghasilkan tanaman fertil, sebagai contoh
• Genepool dari 20 species yang dapat melakukan kawin silang dengan prosedur khusus, baik dengan kultur embrio maupun perlakuan colchicin
dengan interspecific cross, sebagai contoh adalah Solanum macrocarpon.
Usaha pertanian yang intensif serta tuntutan permintaan pasar yang beragam
memicu petani untuk beralih menggunakan varietas hibrida dari varietas
tradisional atau plasmanutfah lokal. Hal ini berimplikasi terhadap kepunahan
plasmanutfah lokal karena sifat seragam dari varietas hibrida dan keragaman
genetika yang rendah, sehingga perlu dilakukan konservasi plasmanutfah (Sutoro
2006; Daunay et al 2001). Selanjutnya dikemukakan bahwa konservasi
plasmanutfah dapat dilakukan baik secara in situ maupun ex situ bergantung pada
sifat dari perbanyakan dari masing-masing komoditas (Sutoro 2006 dan Engle
2008), namun untuk komoditas sayuran lebih diutamakan secara ex situ terkait
dengan segi kemudahan. Konservasi ex situ memerlukan biaya besar di awal
untuk pembangunan infrastruktur serta selama proses penyimpanan. Konservasi
plasmanutfah ini harus dilakukan sejalan dengan ratifikasi Convention on
Biological Diversity (CBD) sebagai pengakuan hak National Sovereignity Right of
Plant Genetics Resources di Indonesia.
2.3Varietas Hibrida
Varietas hibrida dibuat untuk mengambil manfaat dari munculnya
kombinasi yang baik dari tetua-tetua yang dipakai atau sifat heterosis yang
dihasilkan (Groot 2002). Tetua yang digunakan dalam pengembangan varietas
hibrida harus memiliki sifat yang seragam dan homozigot, sehingga varietas yang
dihasilkan memiliki sifat yang seragam dan stabil. Hibrida merupakan turunan
pertama dari persilangan dua tetua induk atau lebih yang memiliki sifat genetika
berbeda dengan tetuanya. Hibrida ini dapat menunjukkan penampilan fisik yang
lebih kuat dan memiliki potensi hasil yang melebihi kedua tetuanya. Gejala ini
dikenal sebagai heterosis (Bos 1999) dan merupakan dasar bagi produksi berbagai
kultivar hibrida, seperti jagung, padi, kelapa sawit, kakao, tomat, terong,
mentimun, dan cabai. Heterosis membuat kultivar hibrida memiliki daya tumbuh
(vigor) yang lebih tinggi, relatif lebih tahan penyakit, dan potensi hasil lebih
11
memiliki latar belakang genetika yang relatif jauh (tidak banyak memiliki
kesamaan alel). Khusus dalam pembuatan kelapa hibrida, gejala heterosis tidak
dimanfaatkan, tetapi lebih memanfaatkan dua sifat baik dari kedua tetua yang
tergabung pada keturunannya.
Varietas hibrida merupakan salah satu teknologi pertanian dalam
meningkatkan produksi tanaman atau program intensifikasi tanaman. Dalam
pengembangan varietas hibrida pemulia berusaha melakukan perbaikan karakter
tanaman baik dari segi produktivitas, ketahanan terhadap penyakit dan cekaman
abiotik. Pengembangan varietas didasarkan pada kebutuhan pasar dan
menggunakan keragaman genetika lokal sehingga memiliki daya adaptasi yang
luas. Untuk mengembangkan galur-galur tetua dibutuhkan variabilitas fenotipik
dan genetika yang cukup luas, serta informasi tentang deskripsi, jarak genetika
yang luas dari plasmanutfah donor, sehingga tetua-tetua yang terbentuk akan
menjadi dua grup besar dengan jarak genetika yang besar dan daya gabung yang
luas (Hadiati et al. 2009).
Pengembangan varietas hibrida sayuran di Indonesia dipelopori oleh industri
benih berbasis breeding, yakni pada tahun 1990. Industri benih melakukan proses
pengembangan varietas hibrida dengan mengumpulkan plasmanutfah lokal dan
introduksi dari luar negeri sebagai bahan mentah. Proses selanjutnya adalah
proses rekombinasi untuk pengembangan galur-galur murni calon tetua dan
hibridisasi dilanjutkan pengujian multi lokasi untuk melihat nilai heterosis dari
hibrida yang dibentuk di lahan petani, serta menguji tingkat penerimaan pasar.
Varietas hibrida hanya dapat diproduksi kembali dengan menggunakan
galur tetua yang sama, sehingga memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut
(Groot 2002):
• Kegenjahan. Secara umum varietas hibrida lebih genjah dibandingkan
dengan varietas lokal, sehingga siklus tanam lebih pendek.
• Vigor sebagai efek dari heterosis. Sifat heterosis berhubungan dengan
produktivitas, ketahanan terhadap penyakit, ketahanan terhadap stres
dan pembentukan buah lebih baik.
• Adaptasi yang lebih luas. Hibrida dikembangkan untuk daya adaptasi
• Keseragaman. Tetua yang dipakai merupakan galur murni yang seragam dan stabil.
• Kualitas. Kualitas produk hibrida disesuaikan dengan permintaan dan
kebutuhan pasar.
Bos (1999) mengemukakan bahwa ketertarikan petani dan pemulia tanaman
terhadap varietas hibrida disebabkan oleh beberapa hal yaitu:
• Peluang dalam mengeksploitasi fenomena heterosis. Sifat heterosis
ini merupakan nilai tambah dari varietas hibrida terkait dengan
penggabungan beberapa sifat dari masing-masing tetua.
• Pengembangan varietas hibrida dengan beberapa ketahananan
terhadap organisme pengganggu tanaman lebih mudah dibandingkan
dengan pengembangan galur murni, terutama yang bersifat dominan.
• Varietas hibrida memiliki mekanisme perlindungan varietas secara
genetika, karena hanya bisa diproduksi ulang dengan menggunakan
tetua yang sama.
Tabel 1 menampilkan jenis, tipe dan nama-nama varietas terong hibrida
dan non hibrida yang sudah dilepas oleh Menteri Pertanian sejak tahun 1992
[image:30.612.104.492.431.677.2]sampai dengan tahun 2010.
Tabel 1. Varietas-varietas yang mendapatkan SK pelepasan Menteri Pertanian
Jenis Tipe Nama
Hibrida Panjang hijau
Fortuna, Milano, Naga Hijau, Gracia, Ratih Hijau 1, Ratih Hijau 2, Orlando Green, OR Fabian, Hijau 06, Hijau JTY
Hibrida Panjang ungu
Benteng, Mustang, Naga Ungu, Sembrani, Lezata, Raos, Ratih Ungu, Violet, OR Valerie, Texas Blue, Ungu 05, Yumi, Olala Ungu, Ungu JTY
Hibrida Panjang ungu-coklat Antaboga-1, antaboga-2, Antaboga-3, Prince, Jelita 568
Hibrida Pondoh ungu Satria
Hibrida Panjang putih San Siro, Ratih Putih1, Kania Non hibrida Bulat lurik Kenari, Gelatik*
Non hibrida Gong
Hibrida C252, Teho 555, Silila 505, SM211, Pesona, SS110
13
2.4Usaha Tani Komoditas Sayuran
AVRDC (2004) mengemukakan bahwa usaha tani sayuran dilakukan
dengan beberapa alasan yaitu: sayuran merupakan diet yang sehat, sayuran
membuat hidup lebih produktif, dan sayuran sangat penting dalam menunjang
perekomian yang kuat. Perekonomian yang kuat terkait dengan peningkatan
pendapatan petani, yang walaupun bervariasi dengan tingkatan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan komoditas pertanian lainnya.
Produksi sayuran total di Asia Tenggara sebesar 30.3 juta ton dari total
produksi di Asia sebesar 124 juta ton pada tahun 2005, yang menurut Weinberger
dan Lumpkin (2008) diperkirakan senilai USD 12.6 milyar. Kenaikan produksi
akan sangat sulit diprediksi pada 25-30 tahun yang akan datang. Usaha tani
sayuran memiliki nilai penting bagi masyarakat pedesaan, sebagai rotasi budidaya
padi. Usaha tani sayuran umumnya dilakukan setelah panen padi di dataran
rendah atau medium, sedangkan di dataran tinggi pada tanah tegalan dilakukan
sepanjang tahun selama ketersediaan air mencukupi. Panca usaha tani merupakan
teknik budidaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan produktivitas, antara
lain penggunaan bibit unggul dan pengendalian hama penyakit tanaman. Kedua
hal tersebut sangat berkaitan, karena varietas-varietas yang beredar dipasar
memiliki ketahanan terhadap organisme pengganggu yang berbeda-beda (Groot
2002). Hal ini berarti pemilihan varietas yang tepat sangat menentukan
keberhasilan usaha tani.
Ameriana (2008) mengemukaan bahwa penggunaan pestisida kimia di
tingkat petani sudah melebihi ambang batas dan sangat membahayakan kesehatan
manusia, terutama untuk petani tomat di dataran tinggi Jawa Barat. Dikatakan
pula bahwa perilaku petani dalam penggunaan pestisida ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu: persepsi tentang resiko kegagalan panen, persepsi tentang
ketahanan varietas terhadap organisme pengganggu dan pengetahuan petani
terhadap pestisida dan bahayanya, sehingga komponen pestisida merupakan biaya
yang tinggi dalam usaha tani sayuran.
Keberhasilan usaha tani sayuran biasanya diukur dari rasio keuntungan
terhadap biaya (benefit and cost ratio). Sukiyono (2005) dan Bachrein (2006)
mengemukakan bahwa usaha tani bunga krisan, petani dapat menentukan pilihan
untuk menghitung nilai keuntungan ekonomi yang diperoleh dengan
pertimbangan biaya transportasi, biaya pemasaran dan selera konsumen.
Pengalaman petani dalam usaha tani juga menentukan nilai B/C rasio.
Groot (2002) merumuskan nilai manfaat ekonomi usaha tani sayuran
dengan menggunakan Quality Seed Multiplier analysis, merupakan rasio nilai
tambah pendapatan yang diperoleh dengan usaha tani suatu produk dibandingkan
dengan nilai penambahan biaya benih produk tersebut terhadap produk
sebelumnya. Atau rasio nilai tambah pendapatan yang diperoleh dengan
mengadopsi varietas baru terhadap peningkatan biaya benih dari varietas baru
tersebut.
2.5 Adopsi dan Penetrasi Varietas Hibrida
Inovasi adalah suatu gagasan, praktek atau obyek yang dirasa baru oleh
seseorang untuk melakukan suatu tindakan dan memerlukan proses untuk diadopsi
(Rogers 1983). Proses adopsi inovasi merupakan proses kejiwaan atau mental
dalam mengambil keputusan untuk menerima atau menolak ide baru dan
menegaskan lebih lanjut tentang penerimaan atau penolakan terhadap ide baru
tersebut. Wahyunindyawati et al. (2002) mengemukakan bahwa adopsi dalam
penyuluhan pertanian dapat diartikan sebagai proses perubahan prilaku baik
berupa pengetahuan, sikap, maupun keterampilan pada diri seseorang setelah
menerima inovasi yang disampaikan penyuluh kepada sasarannya. Penerimaan
disini, mengandung arti bukan sekedar tahu, tetapi dengan benar-benar dapat
dilaksanakan atau diterapkan dengan benar dan dihayati. Selanjutnya dikatakan
bahwa penerimaan suatu inovasi dapat diamati secara langsung maupun tidak
langsung oleh orang lain sebagai suatu cerminan dari adanya perubahan sikap,
pengetahuan dan keterampilannya.
Rogers (2003) mengemukan tentang lima tahapan dalam proses adopsi suatu
inovasi, yaitu: awareness (tahu dan sadar), petama kali mendapat suatu ide dan
praktek baru; interest (minat), mencari rintisan informasi; evaluation (evaluasi),
menilai manfaat inovasi dengan menilai keuntungan dan kerugian bila
melaksanakan suatu ide; trial, mencoba menerapkan suatu inovasi pada skala
kecil; dan adoption (adopsi), penerapan inovasi dalam sekala besar. Tingkat
15
dipengaruhi oleh lima atribut, yaitu: keuntungan relatif, kecocokan, kompleksitas,
dapat dicoba (trialbility) dan dapat diamati (observability).
Dua kemungkinan yang akan dilakukan oleh setiap individu terhadap suatu
inovasi, yaitu : melanjutkan mengadopsi (continued adoption) atau menghentikan
adopsi (discontinued adoption). Pada kelompok kedua, pencarian informasi lebih
lanjut tetap dilakukan sehingga terlambat dalam mengadopsi (late adoption)
bahkan tetap menolak (continued rejection). Sesuai dengan kriteria tersebut
Rogers (1983) melakukan pengelompokan menjadi 5 kategori, yaitu:
a) Innovators, merupakan kelompok kosmopolit yang berani dan senang
dengan pembaharuan.
b) Early adopter, merupakan kelompok yang terdiri dari pemimpin
informal yang menjadi panutan bagi adopter selanjutnya.
c) Early majority, merupakan kelompok dari anggota-anggota yang lebih
dulu mengadopsi dibandingkan dengan kelompok lain.
d) Late majority, merupakan kelompok yang menghindari resiko.
e) Laggards, merupakan kelompok tradisional atau konservatif.
Pengetahuan petani sayur sangat beragam yang berimplikasi terhadap
penerimaan suatu varietas tertentu. Pola adopsi suatu varietas mengikuti pola
adopsi tanaman pangan. Benih unggul yang diintroduksikan harus diikuti dengan
penggunaan input usaha tani lainnya seperti pemupukan, pengendalian hama
terpadu, pengairan, perawatan tanaman yang berbeda-beda serta jalur pemasaran
produk segar yang sangat berhubungan erat dengan kondisi sosial ekonomi
masyarakat (Basuki 2008).
Secara umum adopsi varietas baru memiliki proses dan pola yang sama
dengan teknologi lainnya. Adopsi pertama akan dilakukan oleh kelompok petani
dengan tingkat pengetahuan luas, memiliki posisi yang tinggi dalam kelompok,
selalu memiliki keinginan melakukan uji coba hal-hal yang baru, serta mau
menanggung resiko kegagalan. Kelompok ini biasanya memiliki hubungan yang
dekat dengan penyuluh pertanian baik dari pemerintah maupun dari perusahaan.
Jika varietas baru tersebut memiliki nilai tambah atau menguntungkan akan
mendorong petani-petani disekitarnya untuk melakukan adopsi, sementara
2003). Dikatakan pula bahwa adopter awal memiliki nilai tambah lebih tinggi
dibandingkan dengan adopter berikutnya. Adopsi varietas jagung dan kapas
transgenik memberikan pandangan yang berbeda tentang nilai tambah bagi petani
kecil di negara-negara berkembang (Smale et al. 2006). Petani-petani mulai
17
III.
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di sentra produksi terong di Jawa Barat bagian
utara, yakni Karawang, Indramayu dan Cirebon. Penentuan lokasi penelitian
didasarkan pada data PT East West Seed tentang pangsa pasar benih terong di
Indonesia tahun 2004-2010. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2011
sampai bulan Agustus 2011.
Gambar 2. Penguasaan pasar terong di Jawa Barat bagian utara dan di wilayah penelitian (sumber: Frontier, 2009 dan PT East West Seed Indonesia, 2010a).
3.2 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui percobaan lapang dan wawancara dengan
petani responden. Percobaan lapang dilakukan untuk mengkarakterisasi koleksi
plasmanutfah. Wawancara dengan petani responden dilakukan untuk menggali
data yang terkait dengan faktor-faktor penentu adopsi benih terong hibrida dan
manfaat ekonomi adopsi terong hibrida. Pengambilan sampel petani dilakukan
secara acak sebanyak 55 orang di ketiga lokasi dengan asumsi bahwa petani di
ketiga lokasi penelitian bisa dengan bebas berpindah-pindah. Pada Tabel 2 dapat
dilihat rancangan penelitian untuk memenuhi tujuan dan pertanyaan penelitian.
3.2.1 Jenis Data dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi dua, yaitu: data
primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dengan melakukan
sekunder diperoleh dari instansi terkait, yang secara terperinci dapat dilihat pada
Tabel 2. Karakterisasi koleksi plasmanutfah baik tanaman, buah maupun bunga
dilakukan secara praktis, baik data kuantitatif maupun kualitatif dan dilakukan di
kebun percobaan PT East West Seed Indonesia di Purwakarta.
Tabel 2. Rancangan penelitian sesuai tujuan penelitian
Tujuan Jenis dan
Sumber Data
Teknik Pengumpulan
Data
Teknik
Analisis Data Keluaran
Menganalisis dampak adopsi benih terong hibrida terhadap keragaman plasmanutfah teronglokal
Data primer dari
percobaan lapang
dan petani
responden, data
sekunder dari
instansi terkait
Karakterisasi
tanaman di lapang
dan wawancara
dengan petani.
Penelusuran data
di lingkup Deptan
(Balitbiogen,Balit sa, Petani Aanalisis klaster pengelompokan berdasar karakter pokok (panjang,
warna dan bentuk)
Keragaman plasma nutfah dalam deskripsi Menganalisis faktor-faktor penentu adopsi
Data primer dari
petani tentang faktor penentu adopsi benih hibrida dan sekunder penguasaan pasar
benih hibrida
Wawancara dengan petani sampel yang diambil secara acak, serta pengumpulan data dari toko
[image:36.612.105.511.186.701.2]pertanian dan PT
East West Seed
Indonesia
Analisis regresi
logit untuk faktor
penentu adopsi. Tingkat penguasaan pasar benih hibrida dianalisis secara deskriptif dengan grafik
Model logit faktor
penentu adopsi. Tingkat penguasaan pasar benih terong hibrida Menganalisis manfaat ekonomi benih terong hibrida
Data primer dari
petani
Wawancara
dengan responden
Partial budget
analysis, Quality
seed multiplier
analysis dan rasio
pendapatan
Nilai manfaat
ekonomi varietas
terong hibrida, R,
QSM dan rasio
19
3.2.2 Analisis Data
3.2.2.1 Analisis Dampak Adopsi Benih Terong Hibrida terhadap Keragaman Fenotip Plasmanutfah Terong Lokal
Pengelompokan plasmanutfah berdasarkan karakter fenotip tanaman secara
kualitatif dapat ditunjukkan pada Tabel 3. Pengelompokan tersebut mengacu pada
penelitian Chan dan Lie (1996) dalam mengidentifikasi keragaman plasmanutfah
[image:37.612.107.477.229.706.2]di Taiwan.
Tabel 3. Pengelompokan plasmanutfah terong lokal
Bentuk Warna buah Warna daging
buah
Warna
batang Warna bunga
Panjang
Ungu Putih Ungu Ungu
coklat-hitam Hijau Ungu Ungu
Hijau Hijau Ungu Ungu
Hijau Putih
Putih Putih Ungu Ungu
Hijau Putih
Lurik Putih Ungu Ungu
Hijau Putih
Bulat
lurik hijau Putih Ungu Ungu
Hijau Putih
Putih Putih Ungu Ungu
Hijau Putih Ungu Putih Ungu Ungu Hijau Putih Ungu Ungu
lurik ungu Putih Ungu Ungu
Oval
lurik hijau Putih Ungu Ungu
Hijau Putih
Putih Putih Ungu Ungu
Hijau Putih Ungu Putih Ungu Ungu Hijau Putih Ungu Ungu
lurik ungu Putih Ungu Ungu
Kalapa
Hijau Hijau Ungu Ungu
Hijau Putih Ungu Putih Ungu Ungu
coklat-hitam Hijau Ungu Ungu
Putih Putih Ungu Ungu
Keragaman plasmanutfah terong lokal sebelum dan sesudah adopsi
dianalisis secara deskriptif, disamping menggunakan analisis pengelompokan
(cluster analysis). Klasterisasi tiap plasmanutfah dilakukan berdasarkan karakter
penting tanaman seperti bentuk buah: terong bulat, oval dan panjang; warna buah:
putih, hijau dan ungu; ukuran buah (panjang dan diameter buah), warna batang
dan warna bunga. Warna buah diukur dengan menggunakan color munsell.
Masing-masing klaster disajikan dalam deskripsi dan foto.
3.2.2.2Analisis Faktor-faktor Penentu Adopsi Benih Terong Hibrida
Pendekatan fungsi logit digunakan untuk mengetahui faktor-faktor penentu
adopsi varietas terong hibrida oleh petani. Regresi logit adalah suatu teknik
analisis data yang dapat menjelaskan hubungan antara peubah respon berupa data
kualitatif yang mencerminkan suatu pilihan alternatif dengan peubah-peubah
penjelas berupa data kualitatif atau data kuantitatif. Peubah respon dalam regresi
dapat berbentuk dikhotom (biner) maupun polytomous (ordinal atau nominal).
Dengan kata lain, analisis regresi logit merupakan suatu teknik untuk
menerangkan peluang kejadian tertentu dari kategori peubah respon (Firdaus dan
Farid 2008). Dalam analisis regresi logit, pemodelan peluang kejadian tertentu
dari kategori peubah respon dilakukan melalui transformasi dari regresi linier ke
logit. Rumus transformasi logit tersebut adalah (Firdaus dan Farid 2008):
………... (1) dengan pi adalah peluang munculnya kejadian kategori sukses dari peubah respon
untuk orang ke-i dan loge adalah logaritma dengan basis bilangan e. Kategori
sukses secara umum merupakan kategori yang menjadi perhatian dalam
penelitian. Peubah respon adalah keputusan petani dalam mengadopsi benih
hibrida secara total (1) atau tidak total (0), yang ditransformasikan dari bentuk
kualitatif menjadi kuantitatif, dengan menggunakan fungsi distribusi normal
kumulatif, sehingga nilainya berkisar dari 0 sampai 1 (Gujarati 2003). Dengan
demikian model yang digunakan dalam analisis regresi logit adalah (Firdaus dan
21
Yi : peubah respons (0 = adopter tidak total; 1=adopter total)
pi : peluang petani mengadopsi benih terong hibrida
X1-n : peubah penjelas ke 1-n
β0 : merupakan konstanta intersep model garis regresi β1-n :merupakan koefisien peubah penjelas ke-1 -n
ε :merupakan error term
Dalam menentukan faktor-faktor penentu adopsi benih terong hibrida
digunakan 14 peubah penjelas atau peubah bebas, yaitu:
a) Harga benih murah (x1). Menggambarkan nilai harga benih hibrida
dibandingkan harga benih lokal dan keterjangkauan nilai tersebut. Benih
merupakan input yang sangat menentukan keberhasilan usaha tani. Harga
benih hibrida hasil pemuliaan umumnya lebih mahal dibandingkan dengan
benih hasil perbanyakan lokal, sehingga komponen biaya benih dapat
meningkatkan biaya usaha tani.
b) Ketersediaan benih sampel (x2). Menggambarkan benih hibrida yang
disediakan secara cuma-cuma untuk pengujian atau pengenalan awal
kepada petani. Varietas hibrida sebelum dipasarkan harus melalui tahapan
uji-coba atau pengujian multi lokasi dan adaptasi. Tahapan ini merupakan
langkah awal dalam proses adopsi, untuk memperkenalkan suatu varietas
baru. Ketersediaan benih sampel secara cuma-cuma tidak menambah
biaya usaha tani.
c) Promosi (x3). Menggambarkan peran promosi yang dilakukan oleh
petugas di lapang. Promosi menggambarkan tahapan dalam proses adopsi
yang dilakukan oleh pihak perusahaan yang memiliki varietas yang akan
dikomersialisasikan ataupun dilakukan oleh dinas pertanian. Bentuk
promosi dapat dilakukan dengan melakukan petak percontohan, temu
petani, brosur-brosur atau media elektronik.
d) Kebanggaan menjadi adopter awal (x4). Menggambarkan karakter
emosional petani yakni kebanggaan sebagai pengguna benih hibrida
varietas akan didapatkan sebelum orang lain mendapatkannya. Hal ini
merupakan citra diri dari seorang petani.
e) Dorongan teman (x5). Menggambarkan besar dorongan petani lain dalam
mengadopsi benih terong hibrida. Pemasaran hasil usaha tani sayuran
umumnya dikendalikan oleh pengepul. Selain itu pemilihan benih yang
akan digunakan dalam usaha tani cenderung ditentukan oleh teman atau
petani di sekitarnya. Petani akan mengadopsi varietas baru, jika sudah
melihat langsung hasil yang diperoleh oleh teman atau tetangganya.
f) Bantuan dana uji coba (x6). Menggambarkan adanya bantuan dana bagi
petani untuk melakukan pengujian awal terhadap benih terong hibrida.
Penggunaan benih varietas baru merupakan resiko bagi petani jika belum
pernah menanam atau melihat. Petani cenderung untuk melakukan
uji-coba varietas baru jika ada bantuan biaya peruji-cobaan. Besar bantuan dana
uji coba biasanya ditetapkan berdasarkan sejumlah prosentase biaya usaha
tani dari komoditas tertentu dalam bentuk rupiah atau dalam bentuk natura
(sarana produksi).
g) Peran pemodal (x7). Menggambarkan peran pemodal dalam menentukan
pemilihan benih terong hibrida bagi petani. Pemodal memegang peranan
penting dalam menentukan pemilihan suatu varietas tertentu dalam usaha
tani. Hal ini terkait dengan karakteristik dari kebutuhan pasar.
h) Brand image (x8). Menggambarkan peran citra perusahaaan atau citra
suatu produk yang dapat menentukan loyalitas petani dalam memilih benih
hibrida. Loyalitas terhadap perusahaan ditentukan oleh citra dari produk
yang dihasilkan atau citra dari perusahaan tersebut.
i) Kemudahaan pemeliharaan tanaman (x9). Menggambarkan tingkat
kemudahan dalam budidaya terong hibrida. Pemeliharaan tanaman terkait
dengan penggunaan pupuk dan pestisida serta kegiatan rutin seperti
penyiangan, pembuangan tunas samping, perambatan, penggunaan
penyangga, sangat menentukan dalam biaya usaha tani yang harus
dikeluarkan oleh petani, sehingga penentuan pemilihan suatu varietas
diduga ditentukan oleh kemudahan pemeliharaan tanaman dari varietas ter
23
j) Harga jual produk/buah (x10). Menggambarkan nilai harga jual terong
hibrida dibandingkan dengan terong lokal. Harga jual produk atau buah
segar merupakan salah satu komponen dalam nilai pendapatan dan
keuntungan yang diperoleh dalam usaha tani, sehingga diduga akan
menentukan dalam pemilihan suatu varietas tertentu.
k) Kemudahan produk/buah dijual (x11). Menggambarkan tingkat
kemudahan terong hibrida untuk dijual atau dipasarkan dibandingkan
terong lokal. Sayuran merupakan produk yang memiliki sifat mudah rusak
terkait dengan daya simpan yang dimiliki oleh masing-masing varietas
atau komoditas, yang berimplikasi terhadap nilai pendapatan atau
keuntungan dalam usaha tani.
l) Kualitas buah (x12). Menggambarkan nilai kualitas terong hibrida
terhadap terong lokal yang menentukan petani memilih atau tidak benih
terong hibrida. Kualitas buah diduga merupakan karakter yang harus
dimiliki oleh suatu varietas atau komoditas tertentu agar dapat diterima
oleh pasar atau konsumen sebagai pengguna akhir. Diduga kualitas buah
merupakan penentu dalam penentuan pemilihan suatu varietas tertentu
dalam usaha tani.
m) Ketahanan terhadap organisme pengganggu (x13). Menggambarkan nilai
ketahanan terhadap organisme pengganggu tanaman dari benih terong
hibrida. Organisme pengganggu berhubungan dengan jumlah buah yang
dapat dipanen atau produksi total dalam usaha tani, sehingga menentukan
pendapatan atau keuntungan yang diperoleh petani. Diduga ketahanan
terhadap organisme pengganggu dapat menentukan pemilihan suatu
varietas tertentu.
n) Produktivitas (x14). Menggambarkan nilai produktivitas benih terong
hibrida. Produksi total per satuan luas merupakan salah satu komponen
dalam penentuan pendapatan atau keuntungan yang diperoleh petani dalam
berusaha tani. Diduga produktivitas akan menentukan pilihan petani
Dalam wawancara dengan petani, pengambilan data dari keempat belas
peubah tersebut dilakukan secara kualitatif. Nilai peubah penjelas adalah 1= jika
setuju dan 2= jika tidak setuju.
Ukuran asosiasi diperlukan untuk mengkaji hubungan antar peubah
kategorik, yaitu ukuran keeratan hubungan antar peubah kategorik. Salah satu
ukuran asosiasi yang dapat diperoleh melalui analisis regresi logit adalah odd
ratio (rasio odd). Odd sendiri dapat diartikan sebagai rasio peluang kejadian
sukses dengan kejadian tidak sukses dari peubah respon. Adapun rasio odd
mengindikasikan kemungkinan munculnya kejadian sukses pada suatu kelompok
dibandingkan dengan kelompok lainnya (Firdaus dan Farid 2008).
3.2.2.3Analisis Manfaat Ekonomi Benih Terong Hibrida dan Dampaknya terhadap Pendapatan Petani
Analisis manfaat ekonomi teknologi benih terong hibrida dibandingkan
dengan non hibrida dilakukan dengan menggunakan partial budget analysis
(Horton 1982 dan Soetiarso et al. 2006):
∆NI = ∆TR -∆VC….……….……….………2)
R = ∆ NI/∆VC……….……….….…...………...3)
∆TR = TRH-TRL ……….………..……… 4)
∆VC = VCH-VCL……….….……....……....5)
TRH : Pendapatan total dengan benih hibrida (Rp)
TRL : Pendapatan total dengan benih lokal (Rp)
VCH : Biaya benih hibrida (Rp)
VCL : Biaya benih lokal (Rp)
∆NI : Perubahan pendapatan bersih setelah menggunakan benih hibrida (Rp) R : Rasio perubahan pendapatan bersih terhadap perubahan biaya peubah
penggunaan benih hibrida
Adapun kriteria kelayakan ekonomi adalah:
a. Jika nilai ∆NI < 0, maka teknologi benih terong hibrida tidak memberikan
25
b. Jika nilai ∆NI > 0, ∆VC ≤ 0, maka teknologi benih terong hibrida
memberikan nilai tambah.
c. Jika nilai ∆NI > 0, ∆VC > 0, dan R ≥ 1.0, maka teknologi benih terong
hibrida memberikan nilai tambah.
Groot (2002) menggunakan analisis Quality Seed Multiplier (QSM) untuk
melihat nilai tambah dari teknologi benih hibrida yang didefinisikan sebagai
selisih pendapatan yang diperoleh petani dengan teknologi benih hibrida dan
benih lokal dibandingkan dengan selisih biaya benih hibrida dan benih lokal
dengan formula:
QSM = ∆TR/∆VB………...6)
∆TR = TBH – TBN..………..7)
∆VB = VBH – VBN….……… 8)
QSM : quality seed multiplier
∆TR : selisih pendapatan teknologi benih hibrida dan benih lokal (Rp/ha) TBH : total pendapatan teknologi benih hibrida (Rp/ha)
TBN : total pendapatan dari penggunaan benih lokal (Rp/ha) ∆VB : selisih biaya benih teknologi hibrida dan benih lokal (Rp/ha) VBH : biaya benih hibrida per hektar (Rp/ha)
VBN : biaya benih lokal per hektar (Rp/ha)
a. Jika QSM < 25 maka teknologi benih hibrida tidak memberikan manfaat.
b. Jika QSM >25 maka teknologi benih hibrida memberikan manfaat.
Petani responden terdiri dari adopter total dan adopter tidak total. Adopter
total hanya menggunakan benih terong hibrida dalam usaha tani, sebaliknya petani
adopter tidak tota