1.1 Latar Belakang
1.2 Kerangka Pemikiran
2
ketidaksinergian program pemerintah, menyebabkan konservasi tersebut tidak berjalan dengan baik. Sebagian besar plasmanutfah yang telah dikonservasi mati karena kesalahan pengelolaan. Koleksi plasmanutfah terong terbesar ada di India
dan China, sementara lembaga penelitian Asian Vegetable Research and
Development Centre (AVRDC) telah memiliki koleksi sebanyak 12,000 entris
(Engle 2006; Engle 2008; AVGRIS 2010).
Pertambahan jumlah penduduk di Indonesia berakibat pengurangan ketersediaan lahan pertanian (akibat dikonversi untuk perumahan dan infrastruktur), serta peningkatan kebutuhan sayuran (Weinberger dan Lumpkin, 2008). Disamping itu globalisasi memberikan peluang bagi ekspor sayuran segar berkualitas, yang hanya dapat dipenuhi dengan teknologi pertanian. Salah satu teknologi pertanian tersebut adalah penggunaan varietas unggul atau varietas hibrida (Evenson dan Gollin 2003).
Menurut Weinberger dan Lumpkin (2008) produksi sayuran di Asia Tenggara pada tahun 2005 sebesar 30.3 juta ton atau 24.4% dari total produksi di Asia (setara USD 12.6 milyar). Grubben dan Denton (2004) mengemukakan bahwa pangsa pasar terong di Indonesia tahun 1998 sebesar 160,000 ton (setara dengan luas tanam 32,000 hektar), dan meningkat menjadi 600,000 ton pada tahun 2004 (setara dengan kebutuhan benih 8-10 ton atau luas tanaman 80,000-100,000 hektar) (Frontier 2009). Sementara itu produksi terong dunia mencapai 23 juta ton dari 1.4 juta hektar pada tahun 2001 (Grubben dan Denton 2004).
1.2Kerangka Pemikiran
Sebelum industri benih berbasis pemuliaan tanaman berkembang di Indonesia, perusahaan benih lebih fokus pada pemurnian kultivar lokal, misalnya terong kopek dari Bogor, terong marukan hijau dari Sukabumi atau terong pondoh dari Jawa Tengah. Petani lebih menggunakan kultivar lokal setempat atau melakukan tukar-menukar dengan sesama petani melalui pedagang pengepul atau tengkulak. Pada fase tersebut kontaminasi atau hibridisasi secara alami mulai terjadi, sehingga keragaman terong sudah mulai terbentuk.
Keragaman terong tersebut merupakan modal awal dalam pemuliaan tanaman bagi industri benih, misalnya PT East West Seed Indonesia dengan teknologi Belanda, PT Tani Indo Subur Prima dengan teknologi Thailand, PT
Seminis, PT Syngenta dan perusahaan benih lainnya (Groot 2002; Grubben dan Denton 2004; Gniffke 2006). Plasmanutfah lokal Indonesia diperlukan dalam program pengembangan varietas hibrida untuk mendapatkan karakter adaptasi lingkungan dan karakter buah. Masing-masing perusahaan benih ini memiliki strategi yang berbeda dalam mengkombinasikan plasmanutfah lokal dengan plasmanutfah hasil introduksi dari luar negeri.
Peraturan pemerintah mewajibkan kepada setiap calon varietas baru yang akan dikomersialisasikan harus melalui proses pengujian adaptasi dan multilokasi. Hal ini berarti bahwa potensi kontaminasi terhadap plasmanutfah lokal yang dapat menimbulkan keragaman plasmanutfah terong dan atau terdesaknya plasmanutfah lokal telah dimulai sebelum suatu varietas mulai dikomersialisasikan.
Varietas terong hibrida merupakan teknologi yang relatif baru bagi petani di Indonesia jika dibandingkan dengan varietas hibrida cabai, tomat, semangka dan melon. Varietas hibrida cabai, tomat, semangka dan melon telah diadopsi sejak tahun 1988 (Groot 2002). Varietas terong hibrida mulai dikomersialisasi di pasar Indonesia pada tahun 1992 (Hidayati 2002), namun adopsi dimulai pada tahun 1995 dan diadopsi secara total tahun 2000.
Proses adopsi varietas terong hibrida tersebut relatif lambat dibanding dengan varietas sayuran lainnya. Cabai, tomat, semangka dan melon, masing-masing memerlukan waktu 3 tahun mulai dari introduksi sampai adopsi total. Oleh karena itu perlu diteliti faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi benih terong hibrida.
Adopsi benih hibrida secara total dapat mendesak plasmanutfah terong lokal dan menimbulkan keragaman plasmanutfah terong, sehingga dibutuhkan pengelolaan plasmanutfah. Kesulitan dalam pengelolaan plasmanutfah lokal di Indonesia diakibatkan oleh sifat sektoral dan tersebarnya plasmanutfah di beberapa lokasi, yang berimplikasi terjadinya tumpang tindih atau kelalaian dalam konservasi. Oleh karena itu langkah awal yang harus disamakan adalah pemahaman terhadap kebijakan-kebijakan perbenihan, sumber daya genetika dan spesies harus disamakan terlebih dahulu pada semua sektor pemangku kepentingan. Informasi tentang adopsi benih hibrida dan penguasaan pasar dari benih tersebut harus diketahui oleh masing-masing pemangku kebutuhan.
4
Sebaliknya informasi tentang keberadaan plasmanutfah terong lokal baik yang berada di institusi pemerintah, sektor industri perlu adanya keterbukaan.
Berdasarkan permasalahan diatas maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini digambarkan dalam diagram seperti pada Gambar 1.
Peningkatan jumlah penduduk
Kesadaran nutrisi dan gizi Peningkatan kebutuhan Penurunan lahan produksi, perubahan lingkungan tumbuh Peningkatan produkivitas Teknologi benih hibrida Adopsi Nilai tambah (pendapatan) Keragaman plasmanutfah Kontaminasi polen seragam beragam Pengelolaan
Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran 1.3Rumusan Masalah
Industri benih mengupayakan varietas hibrida baru yang dihasilkan bisa diadopsi secara nasional, sehingga memudahkan dalam penanganan produk tersebut mulai dari penanganan benih induk, produksi serta pemasaran. Hal ini ditujukan untuk meminimalkan biaya produksi dan mendapatkan keuntungan yang optimal. Sementara itu, petani berusaha untuk memaksimalkan produktivitas yang dihasilkan dengan penggunaan teknologi baru, salah satunya adalah penggunaan benih hibrida. Petani melakukan usaha tani secara intensif, baik dengan monokultur ataupun tumpangsari, karena nilai tambah yang dimiliki oleh benih hibrida tersebut, seperti ketahanan penyakit, produktivitas, daya adaptasi terhadap lingkungan serta nilai jual produk segar. Beberapa pertanyaan atau masalah yang harus dijawab dalam penelitian ini, yaitu:
a) Bagaimana dampak adopsi varietas hibrida terhadap kondisi plasmanutfah
b) Faktor-faktor apa saja yang menentukan adopsi varietas terong hibrida oleh petani?
c) Berapa besar manfaat ekonomi benih terong hibrida dan dampaknya
terhadap pendapatan petani? 1.4Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, ada 3 tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu:
a) Menganalisis dampak adopsi benih terong hibrida terhadap keragaman
fenotip plasmanutfah terong lokal.
b) Menganalisis faktor-faktor penentu adopsi teknologi benih terong hibrida.
c) Menganalisis manfaat ekonomi benih terong hibrida dan dampaknya
terhadap pendapatan petani. 1.5Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi beberapa stakeholder/pemangku kepentingan yaitu:
a) Memberikan informasi tentang kondisi plasmanutfah terong kepada
pemulia tanaman, dan pemangku kepentingan di Indonesia.
b) Memberikan informasi kepada pemulia tanaman dan industri benih tentang
dampak benih terong hibrida dalam usaha tani dan plasmanutfah.
c) Memberikan informasi kepada petani, pedagang dan konsumen tentang
keberadaan serta nilai tambah terong hibrida. 1.6Hipotesis
Dua hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
a) Secara ekologis, adopsi benih terong hibrida diduga menimbulkan dampak
kontaminasi terhadap plasmanutfah lokal yang dapat meningkatkan keragaman fenotip plasmanutfah lokal dan atau terdesaknya plasmanutfah lokal.
b) Secara sosial dan ekonomi diduga dapat memberikan manfaat dalam
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1Terong (Solanum melongena)
Famili Solanaceae memiliki lebih kurang 90 genera dan diperkirakan
memiliki spesies antara 3,000-4,000 (Knapp et al. 2004). Solanaceae merupakan
famili yang paling mudah beradaptasi dengan lingkungan terutama di daerah tropik dan subtropik. Solanaceae secara umum terkonsentrasi di daerah Amazon,
dan Andez di Amerika Selatan yang disebut “Dunia Baru” (Daunay et al. 2001;
Knapp et al. 2004), kecuali terong berasal dari Asia dan Afrika yang dikenal
sebagai “Dunia Lama” atau Old World Origin (Daunay et al. 2001, Doganlar et
al. 2002).
Terong merupakan salah satu spesies dalam famili Solanaceae dengan
jumlah kromosom 2n=24, dan termasuk genus Solanum. Terong merupakan
spesies asli India, semula merupakan tanaman liar (Lester 1998, Daunay et al.
2001, Lester dan Daunay 2003; Frary et al. 2007), kemudian mengalami
domistikasi dalam waktu beberapa ratus abad yang lalu. India merupakan negara yang memiliki keragaman genetika dan spesies terong yang paling tinggi di Asia, disusul oleh China dan Indonesia (Lawande dan Chavan 1998; Lester 1998;
Doganlar et al. 2002; Economic Research Service, USDA 2006 dan Collonnier et
al. 2001). Terdapat sekitar 1,500 spesies terong yang tersebar di negara tropik
dan subtropik.
Terong seringkali diidentikkan dengan tingkat kemiskinan, karena tanaman ini banyak ditemukan di daerah-daerah yang penduduknya miskin, misalnya India dan China (Simmonds 1984), pendapat ini dikuatkan dengan data yang diperoleh di Afrika (Grubben dan Denton 2004), serta tidak berkembangnya budidaya terong di negara Eropa dan Amerika Serikat. Terong merupakan salah satu komoditas yang mudah tumbuh dan mudah perawatannya dibandingkan dengan komoditas lainnya, serta memiliki toleransi yang cukup tinggi di daerah marginal sehingga tidak memerlukan biaya tinggi dalam budidaya. Simonsma dan Piluek (1994) mengemukan bahwa spesies-spesies asli terong yang ditemukan di
Indonesia meliputi Solanum melongena, Solanum macrocarpon, Solanum
khasianum (terong perat), Solanum americanum, Solanum torvum, Solanum ferox
yang tersebar luas di seluruh kepulauan yang juga ditemukan di daerah asalnya
(Lester 1998, Daunay, et al. 2001). Hal ini dapat dilihat dari nama-nama daerah
yang ada, misalnya: terong atau terung untuk menyebutkan genus Solanum,
terong pipit untuk Solanum torvum (Kalimantan), terong perat (Madura), terong
asam (Dayak), tekokak (Solanum torvum), leunca untuk Solanum americanum
atau Solanum nigrum (Jawa Barat), cung bulu (Sulawesi Selatan). Terong atau
Solanum melongena merupakan spesies yangpaling dikenal dibandingkan dengan spesies lainnya karena paling banyak dikonsumsi (Lester 1998).
Penggunaan terong di beberapa negara berbeda-beda, misalnya terong asam di Kalimantan dibuat campuran sayur asam, di Thailand digunakan dalam menu “nam prek”. Cara mengkonsumsi terong di beberapa wilayah Indonesia bervariasi, mulai dari dimakan mentah sebagai lalab, atau dimasak dalam beberapa hidangan, serta diolah menjadi manisan terong. Biji terong secara tradisional dapat digunakan untuk pengobatan sakit gigi (Grubben dan Denton 2004). Terong dapat juga digunakan sebagai bahan baku farmasi (Hanson 2003). Kandungan gizi dari 100 gram buah terong terdiri dari 92 gram air, 1.6 gram protein, 0.2 gram lemak, 4 gram karbohidrat, 1 gram serat, 22 mg kalsium serta
vitamin (Lawande dan Chavan 1998; Collonnier, et al. 2001). Dari potensi
kandungan gizi yang dimiliki oleh terong, beberapa orang menggunakan terong sebagai diet untuk menurunkan kadar kolesterol darah, diabetes (gula darah),
disurea dan hemoroid disamping untuk kosmetik (Mueller 2005).
Genus Solanum belum teridentifikasi dengan baik. Terdapat keragaman
morfologi yang tinggi baik dalam tingkat interspesifik maupun intraspesifik (Furini dan Wunder 2004; Karihaloo dan Gottlieb 1995). Keragaman morfologi ini bisa dengan mudah dibedakan secara individu dalam suatu kultivar ataupun
sebagai spesies liar (Isshiki et al. 1994), namun karena penyebaran yang luas
kontaminasi dengan kultivar lokal serta perbedaan kultivasi tanaman menjadikan kesulitan dalam klasifikasi (Lester dan Daunay 2003).
2.2Keragaman dan Konservasi Plasmanutfah
Indonesia merupakan salah satu negara terbesar yang memiliki
keanekaragaman hayati atau mega biodiversity karena keragaman genetika,
8
Indonesia hanya memiliki luas daratan sebesar 1.3% dibandingkan luas total daratan di dunia, namun tercatat ada 10% spesies berbunga, 12% mamalia, 17% burung, termasuk 400 spesies palem dan 25,000 jenis tumbuhan berbunga. Selain itu karena Indonesia merupakan wilayah dengan berbagai “bioekologi spesifik” yang masing-masing sangat kondusif bagi timbulnya keragaman genetika tanaman, hewan dan mikroba, disamping peran manusia yang tinggal di wilayah tersebut (Sutoro 2006).
Sebagai salah satu komoditas tertua di Indonesia, keragaman plasmanutfah terong dapat dengan mudah dilihat secara visual dari bentuk, ukuran dan warna
buah, selain dari karakter organ tanaman (Doganlar et al. 2002; Collonnier 2001;
Kasyhap 2003; Frary et al. 2007). Keragaman yang tinggi ini terkait dengan sifat
menyerbuk silang dari beberapa spesies terong serta interaksinya dengan lingkungan tumbuh (Nothmann 1986; Lawande dan Chavan 1998; Kashyap 2003). Namun demikian kekerabatan genetika memerlukan analisis molekuler dilihat dari peta DNA masing-masing plasmanutfah. Peta keragaman genetika dan kekerabatan dapat digambarkan secara sistematika dalam klaster dendrogram
atau phylogenicsystematic (Westhead et al. 2002). Keragaman genetika memiliki
bentuk berbeda dengan keragaman genotip, yang terjadi sebagai akibat dari perubahan struktur genetika dan merupakan potensi yang khas dalam jangka
panjang terkait dengan proses evolusi (Raven et al. 1999). Keragaman komposisi
genetika ini merupakan dasar dalam meningkatkan keberlangsungan kehidupan individu dan populasi selama seleksi alam. Komponen ini dibentuk oleh DNA dan protein serta interaksinya dalam klasifikasi (Lie 1997).
Daunay et al. (2001), Grubben dan Denton (2004) mengemukakan bahwa
keragaman genetika (genetic diversity) merupakan modal yang besar dalam
pengembangan varietas baru. Keragaman ini terkait dengan karakter ketahanan terhadap organisme pengganggu tanaman terutama di daerah tropis yang sangat tinggi, disamping potensi adaptasi secara geografis. Beberapa perusahaan yang berbasis pemuliaan tanaman di Asia telah memanfaatkan keragaman genetik pada terong dalam menghasilkan varietas hibrida yang beradaptasi luas di daerah tropis dengan ketahanan terhadap layu bakteri yang tinggi. AVRDC sebagai lembaga penelitian dan pengembangan di Asia telah melakukan konservasi plasmanutfah
dari beberapa negara, serta memberikan informasi, teknologi dan menyumbang materi genetika, mulai dari bentuk plasmanutfah sampai galur-galur hasil pengembangan sebagai bahan baku pengembangan varietas (Gniffke 2006) Penelitian dan pengembangan varietas atau galur transgenik juga sudah mulai dilakukan di beberapa negara terutama untuk ketahanan terhadap serangga,
misalnya penggerek buah dan batang (fruit and shoot borer) dan ketahanan
terhadap kondisi abiotik.
Behera dan Singh (2002) mengemukakan bahwa keragaman genetika pada terong banyak dimanfaatkan untuk memperbaiki karakter ketahanan terhadap
organisme pengganggu, terutama plasmanutfah dari species liar. Seperti yang
diungkapkan oleh Daunay et al. (2001) penggunaan species liar memerlukan
teknis khusus, yakni dengan perkawinan interspesifik yang dilanjutkan dengan
kultur embrio untuk mendapatkan benih F1. Solanum khasianum sering
digunakan dalam perkawinan interspesifik karena memiliki karakter ketahanan
terhadap organisme pengganggu tanaman. Solanum torvum, yang lebih dikenal
dengan nama lokal tekokak di Jawa Barat atau terong pipit di Kalimantan disebutkan merupakan plasmanutfah terong liar yang memiliki banyak karakter positif dalam ketahanan terhadap organisme tanaman, seperti: ketahanan terhadap
bakteri layu Ralstonia solanacearum, Phomopsis vexans, dan Phytopthora
capsici. Species ini memiliki sifat incompatibilitas dalam penyerbukan, sehingga sulit untuk mendapatkan galur rekombinasi terkait dengan bunga yang mandul pada setiap keturunannya.
Daunay et al (2001), Grubben dan Denton (2004) mengemukakan bahwa
sumber keragaman genetika pada terong dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu:
• Genepool kultivar terong lokal dan terong modern (Solanum melongena); keragaman ini penting terkait dengan ukuran buah (10 gram sampai 1000 gram), warna buah (putih, hijau, ungu, bergaris atau lurik, coklat, hitam
atau merah muda), dan bentuk buah (dari bulat/globe sampai mengular,
permukaan kulit halus atau bergerigi).
• Genepool dari 20 species yang mudah melakukan kawin silang dengan terong kelompok pertama dan menghasilkan tanaman fertil, sebagai contoh
10
• Genepool dari 20 species yang dapat melakukan kawin silang dengan prosedur khusus, baik dengan kultur embrio maupun perlakuan colchicin
dengan interspecific cross, sebagai contoh adalah Solanum macrocarpon.
Usaha pertanian yang intensif serta tuntutan permintaan pasar yang beragam memicu petani untuk beralih menggunakan varietas hibrida dari varietas tradisional atau plasmanutfah lokal. Hal ini berimplikasi terhadap kepunahan plasmanutfah lokal karena sifat seragam dari varietas hibrida dan keragaman genetika yang rendah, sehingga perlu dilakukan konservasi plasmanutfah (Sutoro
2006; Daunay et al 2001). Selanjutnya dikemukakan bahwa konservasi
plasmanutfah dapat dilakukan baik secara in situ maupun ex situ bergantung pada
sifat dari perbanyakan dari masing-masing komoditas (Sutoro 2006 dan Engle
2008), namun untuk komoditas sayuran lebih diutamakan secara ex situ terkait
dengan segi kemudahan. Konservasi ex situ memerlukan biaya besar di awal
untuk pembangunan infrastruktur serta selama proses penyimpanan. Konservasi
plasmanutfah ini harus dilakukan sejalan dengan ratifikasi Convention on
Biological Diversity (CBD) sebagai pengakuan hak National Sovereignity Right of Plant Genetics Resources di Indonesia.
2.3Varietas Hibrida
Varietas hibrida dibuat untuk mengambil manfaat dari munculnya kombinasi yang baik dari tetua-tetua yang dipakai atau sifat heterosis yang dihasilkan (Groot 2002). Tetua yang digunakan dalam pengembangan varietas hibrida harus memiliki sifat yang seragam dan homozigot, sehingga varietas yang dihasilkan memiliki sifat yang seragam dan stabil. Hibrida merupakan turunan pertama dari persilangan dua tetua induk atau lebih yang memiliki sifat genetika berbeda dengan tetuanya. Hibrida ini dapat menunjukkan penampilan fisik yang lebih kuat dan memiliki potensi hasil yang melebihi kedua tetuanya. Gejala ini dikenal sebagai heterosis (Bos 1999) dan merupakan dasar bagi produksi berbagai kultivar hibrida, seperti jagung, padi, kelapa sawit, kakao, tomat, terong, mentimun, dan cabai. Heterosis membuat kultivar hibrida memiliki daya tumbuh (vigor) yang lebih tinggi, relatif lebih tahan penyakit, dan potensi hasil lebih tinggi. Heterosis akan muncul kuat apabila kedua tetua relatif homozigot dan
memiliki latar belakang genetika yang relatif jauh (tidak banyak memiliki kesamaan alel). Khusus dalam pembuatan kelapa hibrida, gejala heterosis tidak dimanfaatkan, tetapi lebih memanfaatkan dua sifat baik dari kedua tetua yang tergabung pada keturunannya.
Varietas hibrida merupakan salah satu teknologi pertanian dalam meningkatkan produksi tanaman atau program intensifikasi tanaman. Dalam pengembangan varietas hibrida pemulia berusaha melakukan perbaikan karakter tanaman baik dari segi produktivitas, ketahanan terhadap penyakit dan cekaman abiotik. Pengembangan varietas didasarkan pada kebutuhan pasar dan menggunakan keragaman genetika lokal sehingga memiliki daya adaptasi yang luas. Untuk mengembangkan galur-galur tetua dibutuhkan variabilitas fenotipik dan genetika yang cukup luas, serta informasi tentang deskripsi, jarak genetika yang luas dari plasmanutfah donor, sehingga tetua-tetua yang terbentuk akan menjadi dua grup besar dengan jarak genetika yang besar dan daya gabung yang
luas (Hadiati et al. 2009).
Pengembangan varietas hibrida sayuran di Indonesia dipelopori oleh industri
benih berbasis breeding, yakni pada tahun 1990. Industri benih melakukan proses
pengembangan varietas hibrida dengan mengumpulkan plasmanutfah lokal dan introduksi dari luar negeri sebagai bahan mentah. Proses selanjutnya adalah proses rekombinasi untuk pengembangan galur-galur murni calon tetua dan hibridisasi dilanjutkan pengujian multi lokasi untuk melihat nilai heterosis dari hibrida yang dibentuk di lahan petani, serta menguji tingkat penerimaan pasar.
Varietas hibrida hanya dapat diproduksi kembali dengan menggunakan galur tetua yang sama, sehingga memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut (Groot 2002):
• Kegenjahan. Secara umum varietas hibrida lebih genjah dibandingkan
dengan varietas lokal, sehingga siklus tanam lebih pendek.
• Vigor sebagai efek dari heterosis. Sifat heterosis berhubungan dengan
produktivitas, ketahanan terhadap penyakit, ketahanan terhadap stres dan pembentukan buah lebih baik.
• Adaptasi yang lebih luas. Hibrida dikembangkan untuk daya adaptasi
12
• Keseragaman. Tetua yang dipakai merupakan galur murni yang
seragam dan stabil.
• Kualitas. Kualitas produk hibrida disesuaikan dengan permintaan dan
kebutuhan pasar.
Bos (1999) mengemukakan bahwa ketertarikan petani dan pemulia tanaman terhadap varietas hibrida disebabkan oleh beberapa hal yaitu:
• Peluang dalam mengeksploitasi fenomena heterosis. Sifat heterosis
ini merupakan nilai tambah dari varietas hibrida terkait dengan penggabungan beberapa sifat dari masing-masing tetua.
• Pengembangan varietas hibrida dengan beberapa ketahananan
terhadap organisme pengganggu tanaman lebih mudah dibandingkan dengan pengembangan galur murni, terutama yang bersifat dominan.
• Varietas hibrida memiliki mekanisme perlindungan varietas secara
genetika, karena hanya bisa diproduksi ulang dengan menggunakan tetua yang sama.
Tabel 1 menampilkan jenis, tipe dan nama-nama varietas terong hibrida dan non hibrida yang sudah dilepas oleh Menteri Pertanian sejak tahun 1992 sampai dengan tahun 2010.
Tabel 1. Varietas-varietas yang mendapatkan SK pelepasan Menteri Pertanian
Jenis Tipe Nama
Hibrida Panjang hijau
Fortuna, Milano, Naga Hijau, Gracia, Ratih Hijau 1, Ratih Hijau 2, Orlando Green, OR Fabian, Hijau 06, Hijau JTY
Hibrida Panjang ungu
Benteng, Mustang, Naga Ungu, Sembrani, Lezata, Raos, Ratih Ungu, Violet, OR Valerie, Texas Blue, Ungu 05, Yumi, Olala Ungu, Ungu JTY
Hibrida Panjang ungu-coklat Antaboga-1, antaboga-2, Antaboga-3, Prince, Jelita 568
Hibrida Pondoh ungu Satria
Hibrida Panjang putih San Siro, Ratih Putih1, Kania Non hibrida Bulat lurik Kenari, Gelatik*
Non hibrida Gong
Hibrida C252, Teho 555, Silila 505, SM211, Pesona, SS110
Sumber: Direktorat Perbenihan Hortikultura, Dirjen Hortikultura, Kementerian Pertanian. 2011; * tidak dilepas tetapi dikomersialisasikan.
2.4Usaha Tani Komoditas Sayuran
AVRDC (2004) mengemukakan bahwa usaha tani sayuran dilakukan dengan beberapa alasan yaitu: sayuran merupakan diet yang sehat, sayuran membuat hidup lebih produktif, dan sayuran sangat penting dalam menunjang perekomian yang kuat. Perekonomian yang kuat terkait dengan peningkatan pendapatan petani, yang walaupun bervariasi dengan tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan komoditas pertanian lainnya.
Produksi sayuran total di Asia Tenggara sebesar 30.3 juta ton dari total produksi di Asia sebesar 124 juta ton pada tahun 2005, yang menurut Weinberger dan Lumpkin (2008) diperkirakan senilai USD 12.6 milyar. Kenaikan produksi akan sangat sulit diprediksi pada 25-30 tahun yang akan datang. Usaha tani sayuran memiliki nilai penting bagi masyarakat pedesaan, sebagai rotasi budidaya padi. Usaha tani sayuran umumnya dilakukan setelah panen padi di dataran rendah atau medium, sedangkan di dataran tinggi pada tanah tegalan dilakukan sepanjang tahun selama ketersediaan air mencukupi. Panca usaha tani merupakan teknik budidaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan produktivitas, antara lain penggunaan bibit unggul dan pengendalian hama penyakit tanaman. Kedua hal tersebut sangat berkaitan, karena varietas-varietas yang beredar dipasar memiliki ketahanan terhadap organisme pengganggu yang berbeda-beda (Groot 2002). Hal ini berarti pemilihan varietas yang tepat sangat menentukan keberhasilan usaha tani.
Ameriana (2008) mengemukaan bahwa penggunaan pestisida kimia di tingkat petani sudah melebihi ambang batas dan sangat membahayakan kesehatan manusia, terutama untuk petani tomat di dataran tinggi Jawa Barat. Dikatakan pula bahwa perilaku petani dalam penggunaan pestisida ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: persepsi tentang resiko kegagalan panen, persepsi tentang ketahanan varietas terhadap organisme pengganggu dan pengetahuan petani terhadap pestisida dan bahayanya, sehingga komponen pestisida merupakan biaya yang tinggi dalam usaha tani sayuran.
Keberhasilan usaha tani sayuran biasanya diukur dari rasio keuntungan