• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

5.2 Faktor-faktor Penentu Adopsi Benih Terong Hibrida

55  

(Gambar 13). Varian-varian baru yang ditemukan di Karawang adalah buah bentuk oval, berwarna hijau muda merata, buah bentuk oval bergaris hijau lurik dengan intensitas warna berbeda, buah bentuk oval berwarna ungu muda merata, buah bentuk oval berwarna putih merata, buah bentuk bulat tipe apel berwarna putih merata, buah bentuk oval dengan beberapa warna dan buah bentuk panjang tipe telunjuk berwarna putih merata. Walaupun tipe-tipe baru ini tidak memiliki nilai jual yang tinggi di pasar, masyarakat Karawang masih memelihara di halaman rumah sebagai tanaman pekarangan untuk keperluan konsumsi internal rumah tangga. Plasmanutfah di wilayah Cirebon dan Indramayu dikategorikan hampir punah, karena mayoritas petani menggunakan varietas hibrida tipe terong panjang ungu dan hijau, dan hampir tidak ada yang bertanam terong bulat, sementara itu plasmanutfah lokal yang dapat ditemukan di Cirebon adalah terong pondoh dan terong kapol atau kalapa (Gambar 15), yang berdasarkan analisis klaster plasmanutfah tahun 2011 (Gambar 16) menunjukkan satu klaster, berbeda dengan hasil analisis klaster plasmanutfah sebelum tahun 2000. Petani responden menyebutkan bahwa plasmanutfah terong lokal tipe pondoh dan kapol atau kalapa umumnya diperoleh dari Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon dan dibawa oleh pedagang atau petani ke wilayah lain, termasuk wilayah Lelea Indramayu. Jika dibandingkan dengan jumlah varietas-varietas terong yang telah dilepas oleh Menteri Pertanian, maka jumlah plasmanutfah lokal terong panjang saat ini sangat kecil jumlahnya.

5.2 Faktor-faktor Penentu Adopsi Benih Terong Hibrida

Model logit yang digunakan dalam penelitian ini bersifat binary dengan peubah respon atau tidak bebas bernilai satu (1) untuk peluang petani mengadopsi benih hibrida secara total, dan bernilai nol (0) untuk peluang petani mengadopsi benih hibrida secara tidak total. Hasil terbaik dalam menentukan faktor-faktor penentu adopsi benih terong hibrida dilakukan dengan beberapa tahapan sampai diperoleh model terbaik. Hasil uji Omnibuss terhadap ke-14 peubah penjelas menunjukkan secara serempak berpengaruh nyata terhadap adopsi benih terong hibrida dengan taraf uji kurang dari 1%. Tabel 10 menunjukkan hasil pengujian Stepwise terhadap faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap adopsi benih hibrida.

 

Tabel 10. Hasil analisis statistik peubah-peubah penentu adopsi benih terong hibrida Peubah DF Β Wald Odds rasio P hitung Exp (β) Ketahanan terhadap organisme pengganggu(X13) 1 3.026 5.927 20.61 0.015* Kemudahan buah untuk dijual (X11) 1 3.049 2.904 21.087 0.088 +

Harga jual buah tinggi

(X10) 1 -5.159 10.592 0.006 0.001** Brand image (X8) 1 2.863 5.389 17.522 0.02* Konstanta -1.329 0.468 0.265 0.494 Chi square (df=4) 30.189 Probabilitas 0.000 Nagelkerke R square 0.623 Count R Square (percentage correct) 89.100

**sangat nyata pada taraf uji < 1%, * nyata pada taraf uji < 5%, + cenderung nyata pada taraf uji 10%

Dari uji Stepwise diperoleh ada empat peubah yang menjadi penentu

keputusan petani untuk mengadopsi teknologi benih terong hibrida yaitu: ketahanan terhadap OPT (X13), kemudahan buah untuk dijual (X11), harga jual buah tinggi (X10) dan brand image (X8) dengan nilai probabilitas dari masing-masing peubah penjelas kurang dari 0.1. Model logit untuk penentu faktor adopsi teknologi benih hibrida adalah:

Logit Y = -1.329 + 2.863X8 – 5.159 X10 + 3.049 X11 + 3.026 X13

Nilai probabilitas (p = 0.000) lebih kecil dari 0.01, artinya model tersebut cukup baik yang mengestimasi pengaruh nyata terhadap peluang petani mengadopsi benih terong hibrida secara total. Selain itu, nilai p <0.01 juga memberikan indikasi bahwa paling sedikit ada satu koefisien parameter yang tidak sama dengan nol, artinya berpengaruh nyata terhadap peluang petani untuk mengadopsi benih terong hibrida secara total. Model ini juga menjelaskan bahwa peubah-peubah penjelas atau peubah-peubah bebas cukup baik untuk menjelaskan peubah-peubah tak

  57  

bebas atau peubah respon. Hal ini dapat dilihat dari nilai count R2 (percentage correct), artinya peluang peubah penjelas (peubah bebas) dapat menjelaskan peubah respon (peubah tak bebas) sebesar 89.100 persen.

Brand Image

Peubah brand image mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi

benih hibrida secara nyata pada taraf uji kurang dari 5% dengan nilai Odds ratio sebesar 17.522, yang berarti bahwa petani yang memiliki brand image atau petani yang loyal memiliki peluang untuk mengadopsi benih hibrida sebesar 17.522 kali lebih besar dibandingkan dengan petani yang tidak memiliki brand image atau tidak loyal. Koefisien (β) brand image bersifat positif, artinya memiliki nilai Odds ratio lebih besar dari satu. Sebagai implikasinya, bahwa peluang seorang

petani yang setuju bahwa brand image merupakan faktor penentu untuk

mengadopsi secara total terhadap adopsi tidak total lebih besar dibandingkan dengan peluang petani yang tidak setuju untuk mengadopsi secara total terhadap adopsi tidak total.

Rogers (1983) mengemukakan bahwa ada 5 langkah yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan terhadap suatu inovasi yaitu: (1) pengenalan (knowledge), yakni pemahaman baru terhadap suatu inovasi, (2) persuasi (persuation), sikap terhadap suatu inovasi, (3) keputusan (decision) untuk menerima atau menolak inovasi, (4) implementasi (implementation) terhadap

inovasi dan (5) konfirmasi (confirmation) yang merupakan penguatan dari

keputusan yang telah dibuat.

Adopsi teknologi benih terong hibrida, sebagaimana benih hibrida komoditas sayuran lainnya, petani cenderung melakukan pengenalan dengan mempelajari dan melihat secara langsung pada tanaman yang ditanam oleh petani lain atau mendapat informasi dari pasar. Petani dan pedagang memiliki hubungan komunikasi dan tukar pengalaman terkait dengan benih hibrida atau komoditas baru yang diintroduksikan sebagai langkah supply chain. Petani yang sudah berpengalaman dan mengenal dekat produsen atau brand/perusahaan cenderung untuk melakukan uji coba menggunakan benih hibrida yang diintroduksi, tanpa mempedulikan resiko kerugian yang akan diperoleh. Dalam penelitian ini nilai resiko digambarkan dari peubah bantuan dana uji coba (atau biaya pengujian yang

 

disediakan oleh perusahaan untuk demonstrasi plot di lahan petani), dan ketersediaan benih sampel untuk pengujian awal. Kedua peubah tersebut mempunyai nilai signifikansi lebih dari 10%, sehingga tidak mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi benih terong hibrida, yang berimplikasi bahwa petani tidak mempedulikan resiko dalam mengadopsi teknologi benih hibrida.

Brand image adalah sekumpulan asosiasi merk yang terbentuk dan melekat di benak konsumen. Rangkuty (2004) mengemukakan bahwa citra merk terdiri

dari 3 komponen pendukung yaitu: citra pembuat (corporate image), citra

pemakai (user image) dan citra produk (product image). Citra merk yang kuat akan membuat asumsi positif bagi konsumen terhadap suatu produk tertentu, sehingga konsumen tidak akan ragu untuk mengadopsi suatu produk tertentu. Brand image dapat menimbulkan nilai emosional bagi konsumen, yang selanjutnya akan membangun perasaan positif ketika mengadopsi suatu produk tertentu (Kartajaya 2006). Dalam teknologi benih hibrida brand image dapat terbentuk ketika petani yakin bahwa teknologi benih hibrida yang telah dipasarkan oleh suatu perusahaan tertentu benar-benar memiliki nilai manfaat bagi petani, atau suatu varietas hibrida tertentu menguasai pasar. Teknologi benih hibrida sayuran di Indonesia mulai ada pada tahun 1988, yakni tomat Precious, cabai Hot Beauty, Terong Farmers Long dari Known You, Taiwan. Adopsi benih terong hibrida yang telah dikomersialisasi sejak tahun 1992, secara nyata baru dapat diadopsi secara nyata pada tahun 2000, yakni terong Mustang (East West Seed Indonesia 2010). Hal ini terjadi karena petani mulai memiliki brand image yang dibangun dari penguasaan pasar nasional benih hibrida tomat Arthaloka, tomat Permata, paria Giok.

Harga Jual Buah Tinggi

Peubah harga jual buah tinggi merupakan faktor yang berpengaruh sangat nyata pada taraf uji kurang dari 1% terhadap adopsi benih terong hibrida dengan nilai Odds ratio sebesar 0.006, artinya peluang petani yang setuju bahwa harga jual buah tinggi berpengaruh pada adopter total terhadap adopter tidak total adalah 0.006 kali dibandingkan petani yang tidak setuju pada adopter total terhadap adopter tidak total. Koefisien pada harga jual produk bersifat negatif,

  59  

artinya memiliki nilai Odds ratio lebih kecil dari satu. Hal ini berindikasi bahwa petani yang setuju bahwa harga jual produk segar tinggi berpengaruh terhadap adopter total dibanding adopter tidak total memiliki peluang lebih kecil dibandingkan petani yang tidak setuju bahwa harga jual produk segar yang tinggi berpengaruh terhadap adopter total dibanding tidak total. Terong, sebagaimana produk sayuran lainnya memiliki harga yang berfluktuasi di pasar, yang dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan.

Menurut petani di wilayah penelitian permintaan buah terong sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sayuran lain yang bersifat substitusi terkait dengan pola konsumsi masyarakat terhadap terong. Umumnya harga buah terong rendah pada bulan Ramadhan dan Idul Fitri karena permintaan terong cenderung rendah. Pada saat harga tinggi petani memilih untuk menggunakan benih hibrida dan benih lokal seperti halnya terong bulat. Harga jual terong bulat di wilayah Karawang cenderung lebih tinggi yakni 36% dibanding terong hibrida yang menjadi salah satu alasan bagi petani untuk tetap menggunakan benih lokal dan hibrida. Berdasarkan wawancara lebih lanjut dengan petani responden, didapatkan bahwa sepanjang tahun 2011 harga jual buah terong relatif tinggi dengan kisaran harga terendah Rp. 400.00 selama bulan Agustus 2011, dan harga di bulan-bulan lainnya berkisar antara Rp.1,500.00, namun harga jual terong bulat relatif stabil di atas Rp.1,000.00.

Kemudahan Buah Terong untuk Dijual

Peubah kemudahan buah terong untuk dijual merupakan faktor yang cenderung berpengaruh nyata pada taraf uji kurang dari 10% terhadap adopsi benih terong hibrida dengan nilai Odds ratio sebesar 21.087, artinya peluang petani yang setuju bahwa harga jual buah tinggi berpengaruh pada adopter total terhadap adopter tidak total adalah 21.087 kali dibandingkan petani yang tidak setuju pada adopter total terhadap adopter tidak total. Nilai koefisien pada peubah ini bersifat positif, artinya nilai Odds ratio lebih besar dari satu. Hal ini berindikasi bahwa peluang petani yang setuju bahwa kemudahan buah terong untuk dijual pada adopter total terhadap adopter tidak total lebih besar dibandingkan peluang petani yang tidak setuju pada adopter total terhadap tidak total.

 

Gambar 19. Kualitas buah terong setelah penyimpanan 3 hari pada suhu ruang

Produk sayuran bersifat mudah rusak karena kandungan air yang tinggi terkait dengan karakter morfologi yakni adanya stomata yang berperan dalam penguapan. Resiko kerusakan ini akan semakin tinggi di wilayah tropik, dengan tanpa dukungan infrastruktur penyimpanan, yakni terjadi peningkatan penguapan air dari dalam buah yang menyebabkan buah menjadi kisut (Gambar 19). Grubben dan Denton (2004) mengemukakan bahwa buah terong sangat peka terhadap dehidrasi yang cepat setelah panen, yang dapat memudarkan warna kulit buah, buah menjadi kisut dan kusam. Umumnya terong dengan ukuran lebih panjang dan muda lebih cepat tingkat dehidrasinya dibandingkan dengan terong bulat sehingga daya simpan buah terong berkisar antara 2-4 hari pada kondisi suhu ruang. Pada saat panen, petani harus memilih stadia yang tepat dan segera membawa ke tempat yang teduh dan dingin untuk menghindari dehidrasi buah terong, dan segera dijual untuk menghindari resiko kerugian pasca panen (Chen et al. 2003). Petani cenderung memilih produk yang mudah dijual untuk mengurangi resiko penyimpanan, karena biaya infrastruktur penyimpanan sangat tinggi. Varietas terong hibrida di wilayah penelitian umumnya sudah lebih dari 15 tahun dipasarkan, sehingga baik petani maupun konsumen sudah memiliki pengetahuan yang cukup terhadap nilai jual atau nilai tambah dari terong hibrida tersebut. Kemudahan buah terong untuk dijual tentunya sangat erat dengan penerimaan pasar atau brand image dari terong hibrida tersebut, baik bagipetani, pedagang maupun konsumen.

  61  

Ketahanan terhadap Organisme Pengganggu

Peubah ketahanan terhadap organisme pengganggu (OPT) merupakan faktor yang berpengaruh nyata pada taraf uji kurang dari 5% terhadap adopsi benih terong hibrida dengan nilai Odds ratio sebesar 20.61, artinya peluang petani yang setuju bahwa ketahanan terhadap organisme pengganggu tanaman berpengaruh pada adopter total terhadap adopter tidak total adalah 20.61 kali dibandingkan petani yang tidak setuju pada adopter total terhadap adopter tidak total. Nilai koefisien pada peubah ini bersifat positif, artinya nilai Odds ratio lebih besar dari satu. Koefisien yang positif memberikan implikasi bahwa peluang petani yang setuju untuk mengadopsi teknologi benih hibrida pada adopter total terhadap adopter tidak total lebih tinggi dibandingkan dengan peluang petani yang tidak setuju pada adopter total terhadap adopter tidak total.

Salah satu kendala dalam usaha tani terong adalah serangan organisme pengganggu tanaman atau OPT. Pengaruh gangguan OPT ini dapat menurunkan produksi sampai ke titik 0, yakni jika serangan terjadi pada fase vegetative (Groot 2002). Beberapa organisme pengganggu tanaman terong yang sangat penting adalah bakteri layu (Ralstonia solanacearum) yang dikenal sebagai penyakit mati bujang, layu Phomopsis vexan, Phytoptora capsici dan geminivirus. Ketiga OPT ini dapat menyerang tanaman terong di semua musim mulai dari fase vegetatif sampai fase panen, terutama di lahan-lahan yang terkontaminasi atau memiliki virulensi yang tinggi (Grubben dan Denton 2004, Daunay et al. 2001).

Menurut Hanson (2003) bakteri layu merupakan organisme pengganggu tanaman yang paling penting pada usaha tani kelompok Solanaceae, sehingga diperlukan pengembangan varietas yang mempunyai ketahanan tinggi terhadap pathogen tersebut. Disebutkan pula bahwa tingkat virulensi atau perkembangan bakteri layu sangat cepat dan pathogen ini dapat tinggal di tanah dalam kurun waktu yang sangat lama, sementara sifat penularan selain soil borne juga bisa dengan mekanik melalui peralatan atau pun aliran air. Fegan dan Prior (2004) mengemukakan bahwa phylotype bakteri layu di Indonesia mempunyai klaster tersendiri, yakni phylotype IV, yang sangat berbeda dengan Asia (phyloype I), Amerika (II) dan Afrika (III). Selanjutnya dikemukakan bahwa kehilangan hasil pada budidaya sayuran lainnya seperti tomat maupun cabai akibat serangan layu

 

bakteri bisa mencapai 100% di negara Asia. Inang dari Ralstonia solanacearum ini sangat luas, yakni seluruh famili solanaceae (terong-terongan), cucurbitaceae maupun keluarga kacang-kacangan. Ralstonia solanacearum bersifat soilborne, sehingga dapat tinggal lama di dalam tanah dalam waktu lama, sementara media penyebaran inokulum bisa melalui air irigasi, maupun peralatan budidaya tanaman. Sifat soilborne dan cara penyebaran mekanik menuntut petani untuk melakukan sanitasi dan rotasi untuk meminimalkan resiko kegagalan yang disebabkan oleh bakteri layu. Kendala bakteri layu dalam usaha tani terong sangat tinggi di dataran rendah tropis, dibandingkan di dataran tinggi lebih dari 1,000 meter di atas permukaan laut. Umumnya usaha tani terong dilakukan di dataran rendah, sehingga resiko kegagalan panen akibat serangan bakteri layu juga sangat tinggi (Hanson 2004, Grubben dan Denton 2004)

Gambar 20. Serangan layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada pertanaman terong di Cirebon

Grubben dan Denton (2004) mengemukakan bahwa baik di Asia maupun di Eropa, pengembangan varietas hibrida pada terong berfokus pada peningkatan ketahanan terhadap bakteri layu, dengan melakukan identifikasi dan karakterisasi plasmanutfah terong dengan ketahanan yang tinggi. Hal ini terkait dengan peningkatan serangan bakteri layu yang bersifat soilborne, tingkat ketahanan yang bervariasi pada letak geografis yang berbeda terkait dengan ras atau strain dan biovar yang berbeda. Wawancara lebih lanjut dengan petani responden

  63  

didapatkan bahwa ketahanan terhadap bakteri layu dari varietas-varietas hibrida merupakan salah satu harapan petani untuk dilakukan peningkatan, terkait dengan penurunan tingkat ketahanan dari varietas-varietas yang telah dipasarkan, jika dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya. Gambar 20 menunjukkan serangan bakteri layu pada plasmanutfah terong dengan tingkat ketahanan yang rendah dan dapat menyebabkan kegagalan panen.

Grubben dan Denton (2004) mengemukakan bahwa varietas hibrida “Kalenda” yang dikembangkan oleh INRA-IRAT pada tahun 1975 dan merupakan varietas hibrida pertama yang memiliki ketahanan terhadap bakteri layu untuk daerah tropis, mendominasi pasar lebih dari 20 tahun di Afrika karena ketahanan terhadap bakteri layu, produksi tinggi dan mudah untuk dijual terkait dengan karakter yang diinginkan oleh pasar atau konsumen dan petani, yakni buah ukuran besar, warna kulit buah hitam dan keras. Namun ketahanan bakteri layu dan adaptasi secara geografis varietas ini tidak sesuai dengan kondisi Indonesia dengan tingkat virulensi bakteri yang tinggi.

Gambar 21. Serangan penyakit Phytophtora capsici pada buah terong dan Phomopsis vexans pada tanaman terong di Indramayu

Chen et al. (2003) mengemukakan bahwa seperti halnya bakteri layu, Phomopsis vexans dan Phytoptora capsici (Gambar 21) jugatermasuk organisme pengganggu yang dapat tinggal lama dalam tanah dan plant debris (sampah sisa

 

tanaman). Sifat tersebut menuntut petani untuk melakukan rotasi dan sanitasi, terutama jika tidak menggunakan varietas yang tahan. Saat ini belum ada varietas komersial yang memiliki ketahanan terhadap kedua organisme tersebut.

Pengembangan varietas hibrida di Indonesia dan di Asia umumnya memperbaiki tingkat ketahanan terhadap OPT dan peningkatan produktivitas. Namun karena produktivitas dipengaruhi oleh ketahanan OPT, maka pemuliaan ke arah ketahanan bakteri layu menjadi prioritas utama terkait dengan permintaan pasar. Varietas-varietas yang memiliki ketahanan OPT tinggi cenderung memiliki daya saing yang lebih tinggi dibandingkan varietas yang memiliki ketahanan terhadap OPT yang rendah (Groot 2002). Intensitas penanaman atau penggunaan lahan di wilayah penelitian tergolong tinggi, walaupun rotasi tanaman tetap dilakukan, yang dapat dilihat pada pola tanam petani. Dengan kondisi lahan seperti itu, maka diperlukan teknologi pertanian, misalnya menggunakan varietas hibrida yang memiliki karakter sesuai dengan kondisi tanah dan iklim yang ada.

Selain bakteri dan fungi yang menjadi penyebab gangguan organisme pengganggu tanaman, saat ini petani responden memiliki kendala serangan virus kuning (geminivirus) dalam usaha tani terong. Virus ini (Gambar 22) disebarkan

oleh kutu putih (Bemisia tabaci) dan menyerang hampir seluruh tanaman

Solanaceae, Cucurbitaceae, Legumenaceae dan beberapa gulma. Kerugian akibat serangan virus ini bisa mencapai 100% jika terjadi pada fase vegetatif. (Jones 2003; de la Pena 2006; Mutscheler et al. 2011)

Petani menggunakan pestisida sebagai alternatif dalam pengendalian organisme pengganggu tanaman, atau dikategorikan sebagai risk reducing input, karena merupakan input yang dapat meningkatkan nilai harapan dari suatu probabilitas hasil (Ameriana 2008). Penggunaan pestisida dapat meningkatkan biaya produksi, namun pengurangan penggunaan pestisida dapat meningkatkan resiko gagal panen. Bertolak dari risk reducing input tersebut, petani terdorong untuk menggunakan atau memilih varietas yang memiliki ketahanan terhadap organisme pengganggu tanaman. Shepherd (2006) mengemukakan bahwa penggunaan pestisida kimia akan mempengaruhi kualitas dan keamanan komoditas sayuran, sebaliknya serangan organisme pengganggu tanaman juga akan mempengaruhi kualitas komoditas hortikultura. Dicontohkan pada kasus

  65  

serangan 500 serangga pada pohon mangga di India yang menyebabkan petani harus menambah biaya pestisida kimia sebesar 45% dari total biaya usaha tani.

Gambar 22. Serangan geminivirus pada pertanaman terong di Karawang

Petani responden di ketiga wilayah penelitian juga berpendapat bahwa walaupun benih terong hibrida dipilih dalam usaha tani karena memiliki ketahanan terhadap organisme pengganggu, namun tingkat ketahanan tersebut berbeda-beda, dan bervariasi dari waktu ke waktu, tergantung pada besar serangan di wilayah masing-masing. Hal ini sesuai dengan pendapat Chen et al. (2003) bahwa varietas-varietas terong yang dipilih dalam usaha tani harus sesuai dengan kondisi serangan organisme pengganggu di masing-masing wilayah sejalan dengan peningkatan tingkat serangan atau virulensi dari organisme tersebut. Harapan yang diinginkan oleh petani terhadap varietas-varietas terong hibrida adalah ketahanan terhadap organisme pengganggu yang saat ini sangat besar yakni geminivirus dan layu Phomopsis vexans. Hal yang sama dikemukakan Ameriana (2008) bahwa ada 5 tingkatan petani dalam persepsi kultivar tomat di wilayah Pengalengan dan Lembang, mulai dari kurang tahan sampai tahan, sehingga petani tetap berharap untuk mendapatkan varietas yang lebih tahan terhadap serangan organisme pengganggu, baik bakteri, jamur maupun virus.

 

Benih merupakan salah satu input dalam usaha tani terong hibrida. Biaya benih dalam usaha tani terong hibrida hanya 1% dibandingkan dengan biaya input lainnya, sehingga petani tidak pernah mempertimbangkan harga benih dalam berusaha tani. Biaya benih dalam usaha tani terong lokal berkisar antara Rp.50,000.00 - Rp.200,000.00 per hektar, sementara itu biaya benih terong hibrida berkisar antara Rp.300,000.00 – Rp. 450,000.00 per hektar. Harga benih hibrida mencapai 300% dibandingkan dengan benih lokal. Dalam penelitian ini biaya benih bukan merupakan faktor penentu adopsi benih hibrida.

Tabel 11. Hasil analisis crosstab secara terpisah masing-masing peubah penjelas

Peubah Adopsi tidak Total (%) Adopsi Total (%) P hitung Tidak setuju Setuju Tidak setuju Setuju

Harga benih murah 16.4 9.1 61.8 12.7 0.145

Produktivitas 3.6 21.8 9.1 65.5 0.839

Ketahanan terhadap OPT 16.4 9.1 41.8 32.7 0.592

Kualitas buah 1.8 23.6 14.5 60 0.280

Kemudahan buah untuk

dijual 1.8 23.6 3.6 70.9 0.747

Harga jual produk/buah

tinggi 1.8 23.6 49.1 25.5 0.000

Kemudahan pemeliharaan

tanaman 3.6 21.8 7.3 67.3 0.639

Peran pemodal 20.0 5.5 69.1 5.5 0.144

Ketersediaan benih sampel 21.8 3.6 61.8 12.7 0.808

Promosi 16.4 9.1 34.5 40.0 0.246

Kebanggaan adopter awal 14.5 10.9 18.2 56.4 0.024

Dorongan teman 9.1 16.4 54.5 20.0 0.012

Bantuan dana uji coba 21.8 3.6 63.6 10.9 0.975

Brand image 12.7 12.7 14.5 72.7 0.027

Produktivitas merupakan salah satu komponen penentu keuntungan usaha tani, namun produktivitas ini sangat tergantung terhadap ketahanan terhadap OPT. Hal ini berhubungan dengan jumlah tanaman hidup yang dapat dipanen sampai akhir pertanaman. Dalam penelitian ini produktivitas juga bukan merupakan faktor penentu dalam adopsi benih terong hibrida.

  67  

Chen et al (2003) mengemukakan bahwa dalam usaha tani terong, pemilihan varietas harus tepat sesuai dengan permintaan pasar, karena terong memiliki keragaman yang tinggi dalam bentuk, ukuran dan warna buah. Permintaan pasar untuk masing-masing daerah di Indonesia cenderung berbeda. Selain itu bagi petani sendiri, pemilihan varietas harus disesuaikan dengan kecocokan lahan yang digunakan terkait dengan ketahanan penyakit, produktivitas dan vigor tanaman.

Selain melakukan pengujian secara serempak terhadap ke-14 peubah penjelas, untuk mendeskripsikan hubungan antara masing-masing peubah penjelas terhadap peubah respon dilakukan analisis crosstab (tabulasi silang) seperti terlihat pada Tabel 11. Dari ke-14 peubah diperoleh 4 peubah yang nyata pada

Dokumen terkait