• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Betok (Anabas testudineus) pada pH 4, 5, 6 dan 7.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Betok (Anabas testudineus) pada pH 4, 5, 6 dan 7."

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA

IKAN BETOK (

Anabas testudineus

) PADA pH 4, 5, 6 DAN 7

ADI PRIMA VALENTINUS SEMBIRING

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

ABSTRAK

ADI PRIMA VALENTINUS SEMBIRING. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Betok (Anabas testudineus) pada pH 4, 5, 6 dan 7. Dibimbing oleh DADANG SHAFRUDDIN dan TATAG BUDIARDI.

Ikan betok (Anabas testudineus) merupakan jenis spesies blackfish, yaitu ikan yang memiliki ketahanan terhadap tekanan lingkungan. Ikan betok juga merupakan salah satu komoditas ikan air tawar yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Secara umum harga ikan betok di Indonesia berkisar antara Rp 20.000,00 sampai Rp 40.000,00 per kg. Pada saat ini para pembudidaya ikan telah membudidayakan ikan betok di kolam atau keramba. Benih ikan betok untuk usaha budidaya sampai sekarang hanya mengandalkan dari alam. Hal ini kemungkinan dikarenakan daerah pembenihan yang dilakukan masih berada di sekitar rawa yang memiliki tingkat keasaman yang tinggi, yaitu pH pada kisaran 3-5 sehingga menjadikan kondisi lingkungan tidak optimal untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan reproduksi ikan pada umumnya. Untuk mengatasi masalah tersebut maka perlu dilakukan penelitian tentang pertumbuhan larva ikan betok pada pH yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pH yang sesuai untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva ikan betok. Parameter penelitian yang diamati adalah laju penyerapan kuning telur, perkembangan mulut, laju pertumbuhan bobot harian, pertumbuhan panjang, derajat kelangsungan hidup, dan kualitas air selama pemeliharaan. Media uji yang digunakan adalah air dengan derajat keasaman (pH) 4, 5, 6 dan 7. Hasil penelitian menunjukkan laju penyerapan kuning telur, perkembangan mulut, pertumbuhan panjang dan derajat kelangsungan hidup larva ikan betok terbaik terdapat pada perlakuan pH 6 dan pH 7. Laju pertumbuhan bobot harian tidak berbeda nyata antar perlakuan.

Kata kunci: Ikan betok, pH, pertumbuhan dan kelangsungan hidup

ABSTRACT

ADI PRIMA VALENTINUS SEMBIRING. Growth and Survival Rate of Climbing Perch Larvae (Anabas testudineus) in pH 4, 5, 6,and 7. Supervised by DADANG SHAFRUDDIN and TATAG BUDIARDI.

(3)

living, growing, and reproduction of fish properly. It is needed the research about the growth of climbing perch larvae on certain acidity to solve this problem. The purpose of this research was to determine appropiate acidity for culturing and growing of climbing perch larvae. The parameters of this research were rate of yolk absorption, mouth development, growth of daily weight, growth of length, survival rate, and water quality. The experiment medium used was water with different acidity that are pH 4, pH 5, pH 6, pH 7. The result of this research showed the best treatment of all parameters were in treatment of pH 6 and pH 7. Growth of daily weight was similar in all treatments.

(4)

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA

IKAN BETOK (

Anabas testudineus

) PADA pH 4, 5, 6 DAN 7

ADI PRIMA VALENTINUS SEMBIRING

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya

Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA IKAN BETOK (Anabas testudineus) PADA pH 4, 5, 6 DAN 7

adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2011

(6)

Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Betok

(Anabas testudineus) pada pH 4, 5, 6 dan 7.

PENGESAHAN

Judul :

Nama : Adi Prima Valentinus Sembiring

NIM : C14070041

Departemen : Budidaya Perairan

Disetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Dadang Shafruddin, M.Si. Dr. Ir. Tatag Budiardi, M.Si.

NIP. 19551015 198003 1 004 NIP.19631002 199702 1 001

Diketahui,

Ketua Departemen Budidaya Perairan

Dr. Ir. Odang Carman, M.Sc. NIP. 19591222 198601 1 001

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan segenap

rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan penyusunan

skripsi ini yang berjudul “Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Larva Ikan

Betok (Anabas testudineus) pada pH 4, 5, 6 dan 7” pada tanggal 29 April - 14 Mei 2011, bertempat di Laboratorium Teknik Industri dan Manajemen Akuakultur,

Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut

Pertanian Bogor.

Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi dalam

penyelesaian skripsi ini, diantaranya :

1. Kedua orang tua penulis, Sadar Sembiring dan Etti Rosety Br Pinem,

S.Pd., Iting tercinta, kakak tersayang Angelina Br Sembiring, SE., serta

adik terkasih Agnes Diana Br Sembiring dan keluarga besar Sembiring

Mergana dan Pinem Mergana, atas doa dan dukungan yang sangat berarti

bagi perjalanan hidup penulis.

2. Ir. Dadang Shafruddin, M.Si. dan Dr. Ir. Tatag Budiardi, M.Si. selaku

dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dalam proses

pembuatan skripsi ini, juga Dr. Dinamella Wahjuningrum selaku dosen

pembimbing akademik dan penguji sidang penulis.

3. Intan Putriana atas segenap perhatian, dukungan dan pengorbanan

sehingga memotivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan

penuh semangat.

4. Rekan-rekan satu angkatan (COMB44T), SISTEKers 44, HIMAKUA, bu

Yulientin, pak Aam, mas Dama, JOGLOers (bang Tegar, Dimas, Septi),

PF FPIK, IMKA dan KEMAKI.

Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain

yang membutuhkan.

Bogor, September 2011

(8)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Juhar, pada tanggal 22 Oktober 1989 sebagai anak

kedua dari tiga bersaudara dari Ayah Sadar Sembiring dan Ibu Etti Rosety Br

Pinem.

Pendidikan formal yang telah ditempuh oleh penulis adalah SDN 2 Juhar

pada tahun 2001, SMPN 1 Juhar pada tahun 2004 dan SMAN 1 Kabanjahe pada

tahun 2007. Dalam tahun yang sama penulis berhasil masuk Institut Pertanian

Bogor pada program studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya,

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk

(USMI) IPB.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah magang mandiri di Balai

Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara. Penulis juga pernah

mengikuti Praktik Lapang Akuakultur di Balai Budidaya Laut (BBL) Lombok.

Selain itu penulis juga aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Akuakultur

(HIMAKUA) priode 2008 s.d 2010. Penulis juga menjadi wakil ketua

Persekutuan Fakultas (PF) FPIK periode 2009/2010, staf pengurus Unit Kegiatan

Mahasiswa (UKM) Keluarga Mahasiswa Katolik IPB (KEMAKI) periode

2008/2009 dan merupakan anggota klub tenis meja FPIK 2008 s.d 2010.

Penulis adalah penerima beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM)

2010/2011 dan mendapatkan pendanaan DIKTI pada Program Kreativitas

Mahasiswa Artikel Ilmiah (PKM-AI) 2011 dengan judul artikel “Peningkatan

Efisiensi Kegiatan Pendederan Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus) Berbasis “Trophic Level Aquaculture” Melalui Pemanfaatan Limbah Ikan Lele (Clarias

sp.)”.

Tugas akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan dengan menulis skripsi

(9)

DAFTAR ISI

2.3.4 Pengukuran Kualitas Air ... 4

(10)

DAFTAR TABEL

1. Pengukuran kualitas air ... 5

2. Laju penyerapan kuning telur selama 72 jam ... 9

3. Nilai parameter kualitas air selama masa pemeliharaan ... 13

(11)

DAFTAR GAMBAR

1. Penyerapan kuning telur larva ikan betok pada setiap perlakuan ... 8

2. Perkembangan mulut larva ikan betok pada setiap perlakuan ... 10

3. Rata-rata derajat kelangsungan hidup (%) larva ikan betok pada setiap perlakuan selama pemeliharaan ... 10

4. Rata-rata pertumbuhan panjang (mm) larva ikan betok pada setiap perlakuan selama pemeliharaan ... 11

5. Rata-rata derajat kelangsungan hidup (%) larva ikan betok pada setiap perlakuan selama pemeliharaan ... 12

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Volume kuning telur rata-rata (mm3) selama 72 jam ... 22

2. Laju penyerapan kuning telur rata-rata (mm3/jam) selama 72 jam... 23

3. Bukaan mulut rata-rata (mm) selama 72 jam ... 23

4. Hasil perhitungan statistik laju pertumbuhan bobot harian larva ikan betok (Anabas testudineus) dengan menggunakan SPSS 16.0 ... 24 5. Hasil perhitungan statistik pertumbuhan panjang larva ikan betok

(Anabas testudineus) dengan menggunakan SPSS 16.0 ... 24 6. Hasil perhitungan statistik kelangsungan hidup larva ikan betok (Anabas

testudineus) dengan menggunakan SPSS 16.0 ... 26 7. Beberapa kondisi larva selama pemeliharaan ... 27

(13)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan betok (Anabas testudineus) merupakan jenis ikan ekonomis penting di perairan umum. Secara umum harga ikan betok di Indonesia berkisar antara Rp

20.000,00 sampai Rp 40.000,00 per kg (Trobos, 2008). Ikan betok merupakan

ikan konsumsi di pasaran Asia dan umumnya dijual dalam bentuk hidup

(Pellokila, 2009). Selain itu, ikan ini juga dimanfaatkan sebagai target pancingan

dan ikan hias di Eropa (Kuncoro, 2009).

Ikan betok merupakan jenis spesies blackfish, yaitu ikan yang memiliki ketahanan terhadap tekanan lingkungan (de Graaf, 2003). Ikan ini hidup dan

berkembang biak secara alami terutama di rawa lebak di Pulau Sumatera dan

Kalimantan (Burnawi, 2007). Potensi ikan betok menjadi ikan konsumsi dan ikan

hias diiringi dengan meningkatnya permintaan konsumen. Namun demikian

nelayan lebih mengandalkan hasil tangkapan dari alam sehingga pengadaannya di

pasar-pasar ikan tidak memungkinkan berlangsung secara berkesinambungan

(Andrijana, 1995) dan dapat menimbulkan kekhawatiran terhadap penurunan

populasi ikan dikemudian hari (Isriansyah dan Sukarti, 2007). Produksi tangkapan

ikan betok mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2004 sebesar 91

ton dan mengalami peningkatan yang cukup besar pada tahun 2005 dengan

produksi tangkapnya mencapai 1.505 ton (DKP, 2008).

Pada saat ini para pembudidaya ikan telah membudidayakan ikan betok di

kolam atau keramba ikan (Slamat, 2009). Benih ikan betok untuk usaha budidaya

sampai sekarang hanya mengandalkan dari alam bergantung pada musim,

sedangkan musim pemijahan ikan betok di alam terjadi pada awal musim

penghujan. Usaha pembenihan (budidaya) merupakan salah satu cara dalam upaya

pelestarian plasma nutfah khususnya ikan betok agar dapat mengurangi

ketergantungan terhadap benih ikan di alam (Pellokila, 2009).

Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Mandiangin, Kalimantan Selatan telah

mengembangkan budidaya betok sejak 1997, yang meliputi pembenihan dan

pembesaran di kolam (Trobos, 2008). Namun kebutuhan benih belum dapat

(14)

2 (Pellokila, 2009). Hal ini kemungkinan dikarenakan daerah pembenihan yang

dilakukan masih berada di sekitar rawa yang memiliki tingkat keasaman yang

tinggi, dimana pH pada kisaran 3-5 sehingga menjadikan kondisi lingkungan tidak

optimal untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan reproduksi ikan pada

umumnya (Ath-thar et al., 2010). Menurut Effendi (2000) pH yang optimal untuk kehidupan ikan pada umumnya berkisar antara 7-8,5. Untuk mengatasi masalah

tersebut maka perlu dilakukan penelitian tentang pertumbuhan larva ikan betok

pada pH yang berbeda.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pH yang sesuai untuk

(15)

3

II.

BAHAN DAN METODE

2.1 Bahan Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada tanggal 29 April – 14 Mei 2011,

bertempat di Laboratorium Teknik Produksi dan Manajemen Akuakultur,

Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut

Pertanian Bogor. Penelitian ini menggunakan akuarium berukuran 35 x 30 x 30

cm dengan volume air 10 liter. Setiap akuarium diberi aerasi dan suhu air dalam

kisaran 28-30°C. Ikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva ikan

betok dengan padat tebar 50 ekor/liter sehingga terdapat 500 ekor/akuarium.

Induk ikan betok berasal dari Kalimantan.

Media uji yang digunakan adalah air dengan derajat keasaman (pH) 4, 5, 6

dan 7. Media uji dibuat dengan cara penambahan larutan asam (HCl) pada media

pemeliharaan sesuai dengan pH yang akan digunakan pada perlakuan media uji.

Media uji yang digunakan dibuat dengan penambahan HCl 1 N sedikit demi

sedikit sampai diperoleh nilai pH yang diinginkan. Air tandon terlebih dahulu

diukur derajat keasamannya untuk kemudian diberi HCl sesuai dengan pH

perlakuan yang diinginkan (Ayuningtias, 2010).

2.2 Metode Penelitian

Rancangan penelitian yang akan digunakan adalah Rancangan Acak

Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan masing-masing tiga kali ulangan,

yaitu:

- Perlakuan A dengan pH awal media 4.

- Perlakuan B dengan pH awal media 5.

- Perlakuan C dengan pH awal media 6.

- Perlakuan D dengan pH awal media 7.

Model percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

(16)

4 Keterangan:

Yij = data pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ = nilai tengah data

τi = pengaruh perlakuan ke-i

εij = galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Parameter penelitian yang diamati adalah laju penyerapan kuning telur,

perkembangan mulut, laju pertumbuhan bobot harian, pertumbuhan panjang,

derajat kelangsungan hidup, dan kualitas air selama pemeliharaan.

2.3 Prosedur Penelitian

2.3.1 Persiapan Wadah

Persiapan yang dilakukan antara lain adalah persiapan wadah dengan cara

sterilisasi menggunakan larutan kaporit 30 ppm kemudian dilakukan pembilasan

dan pengisian air. Selanjutnya di dalam akuarium dipasang instalasi aerasi.

2.3.2 Pengadaan Telur dan Sperma

Telur dan sperma diperoleh dengan melakukan pemijahan ikan betok secara

buatan. Pemijahan dilakukan dengan bantuan ovaprim dengan dosis 0,03 ml/ekor untuk betina dan 0,01 ml/ekor untuk jantan. Induk betok betina yang digunakan

sebanyak dua ekor dengan bobot induk rata-rata 128 g, sedangkan induk jantan

yang digunakan sebanyak 6 ekor dengan bobot induk rata-rata 12 g. Setelah

dilakukan penyuntikan maka induk akan di-stripping 12 jam kemudian dan telur yang dihasilkan menetas dalam 10-11 jam setelah pembuahan.

2.3.3 Pemeliharaan Larva

Larva dipelihara di Laboratorium Teknik Produksi dan Manajemen

Akuakultur. Akuarium yang digunakan sebanyak 12 akuarium dengan padat tebar

ikan 50 ekor/liter selama 16 hari. Larva diberi pakan berupa rotifer pada pagi,

siang, dan sore hari pada hari ketiga sampai hari kesepuluh. Selanjutnya larva

mulai diberi pakan Artemia pada pagi, siang, dan sore hari mulai hari kesebelas sampai akhir pemeliharaan. Pada hari kedelapan sampai hari kesepuluh pakan

yang diberikan berupa kombinasi rotifer dan Artemia (Amornsakun et al., 2005).

2.3.4 Pengukuran Kualitas Air

(17)

5 Tabel 1. Pengukuran kualitas air

Parameter kualitas air Satuan Alat/metode pengukuran

DO mg/l DO-meter

pH pH-meter

TAN mg/l Spektofotometer

CO2

Pengumpulan dan pengolahan data dilakukan terhadap parameter

penyerapan kuning telur, perkembangan mulut, panjang dan bobot, jumlah ikan

yang hidup di akhir perlakuan, serta kualitas air pada awal, di tengah, dan di akhir

pemeliharaan.

2.4.1 Laju Penyerapan Kuning Telur

Pengukuran laju penyerapan kuning telur dilakukan dengan pengambilan 5

ekor ikan dari setiap akuarium setiap 6 jam sekali dan dilanjutkan dengan

pengamatan kuning telur pada mikroskop. Volume kuning telur dihitung

menggunakan rumus Kendall et al. (1984):

V = 4/3 × L × H × W

Keterangan: V = volume kuning telur (mm3)

L = panjang kuning telur (mm)

H = tinggi kuning telur (mm)

W = lebar kuning telur (mm)

Laju penyerapan kuning telur dihitung dengan menggunakan rumus:

(18)

6

2.4.2 Perkembangan Mulut

Perkembangan mulut diketahui dengan mengukur perkembangan bukaan

mulut dengan mengambil 5 ekor dari setiap akuarium setiap 6 jam sekali dan

dilanjutkan dengan pengamatan menggunakan mikroskop. Perkembangan bukaan

mulut larva dihitung menggunakan rumus Shirota (1970):

M = U × 2

Keterangan: M = bukaan mulut (mm)

U = panjang rahang atas (mm)

2.4.3 Laju Pertumbuhan Bobot Harian

Untuk mengetahui bobot ikan dilakukan dengan pengambilan 10 ekor ikan

dari setiap akuarium dan dilanjutkan dengan pengukuran bobot kering

menggunakan kertas saring, oven dan timbangan digital. Laju pertumbuhan bobot

harian dihitung menggunakan rumus:

�= [ln Wt−ln Wo]

t x 100%

Keterangan: α = laju pertumbuhan bobot harian

Wt = bobot rata-rata ikan di akhir pemeliharaan (gram)

Wo = bobot rata-rata ikan di awal pemeliharaan (gram)

t = lama pemeliharan (hari)

2.4.4 Pertumbuhan Panjang

Pengukuran panjang dilakukan selang waktu 4 hari sampai akhir perlakuan

dengan menggunakan jangka sorong dengan pengambilan ikan sebanyak 10

ekor/akuarium. Pengukuran pertumbuhan panjang dilakukan dengan

menggunakan rumus Effendie (1979):

P = Lt - Lo

Keterangan: P = pertumbuhan panjang (mm)

Lt = panjang rata-rata ikan di akhir pemeliharaan (mm)

(19)

7

2.4.5 Derajat Kelangsungan Hidup

Untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup (survival rate/SR) digunakan persamaan:

% 100  

No Nt SR

Keterangan: SR = kelangsungan hidup/survival rate (%) Nt = jumlah benih ikan akhir/panen (ekor)

No = jumlah benih ikan awal/penebaran (ekor).

2.5 Analisis Data

Data yang telah diperoleh kemudian ditabulasi dan dianalisis menggunakan

program MS. Excel 2007 dan SPSS 16.0, yang meliputi:

1) Analisis Ragam (ANOVA) dengan uji F pada selang kepercayaan 95%,

digunakan untuk menentukan apakah perlakuan berpengaruh nyata terhadap

laju pertumbuhan, derajat kelangsungan hidup dan koefisien keragaman

panjang. Apabila berpengaruh nyata, untuk melihat perbedaan antar perlakuan

akan diuji lanjut dengan menggunakan uji Tukey.

2) Analisis deskriptif digunakan untuk melihat laju penyerapan kuning telur dan

(20)

8

III.

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

3.1.1 Laju Penyerapan Kuning Telur

Penyerapan kuning telur larva ikan betok yang diamati selama 72 jam

menunjukkan bahwa volume kuning telur pada awal penelitian adalah

0,1257±0,0084 mm³ pada pH 4; 0,1227±0.0017 mm³ pada pH 5; 0,1235±0,0021

mm³ pada pH 6 dan 0,1218±0,0069 mm³ pada pH 7. Dari analisis deskriptif

diperoleh hasil bahwa perlakuan pH 7 memiliki penyerapan kuning telur paling

cepat dengan volume kuning telur akhir rata-rata sebesar 0,0302 mm³ sedangkan

perlakuan pH 4 memiliki penyerapan kuning telur paling lambat dengan volume

kuning telur akhir rata-rata sebesar 0,0450 mm³. Berdasarkan Gambar 1

menunjukkan bahwa semakin rendah pH maka penyerapan kuning telur semakin

lambat.

Gambar 1. Penyerapan kuning telur larva ikan betok pada setiap perlakuan

(21)

9 Tabel 2. Laju penyerapan kuning telur larva ikan betok selama 72 jam

Perlakuan Volume rata-rata

pH 4 0,1257±0,0069 0,0450±0,0013 0,0011210

pH 5 0,1227±0,0017 0,0447±0,0011 0,0010848

pH 6 0,1235±0,0021 0,0320±0,0023 0,0012705

pH 7 0,1218±0,0069 0,0302±0,0006 0,0012708

Laju penyerapan kuning telur larva ikan betok yang diamati selama 72 jam

menunjukkan bahwa laju penyerapan kuning telur tertinggi terdapat pada pH 7

yaitu 0,0012708 mm3/jam, sedangkan laju penyerapan kuning telur terendah

terdapat pada perlakuan pH 5 yaitu 0,0010848 mm3/jam.

3.1.2 Perkembangan Mulut

diperoleh hasil bahwa perlakuan pH 7 memiliki perkembangan mulut yang paling

cepat dengan ukuran bukaan mulut akhir rata-rata sebesar 0,7212 mm, sedangkan

perlakuan pH 4 memiliki perkembangan mulut paling lambat dengan ukuran

bukaan mulut akhir rata-rata sebesar 0,6623 mm. Gambar 2 menunjukkan bahwa

(22)

10 Gambar 2. Perkembangan mulut larva ikan betok pada setiap perlakuan

3.1.3 Laju Pertumbuhan Bobot Harian

Laju pertumbuhan bobot harian larva ikan betok yang dipelihara selama 16

hari berkisar antara 8,70-9,32% (Gambar 4). Dari analisis ragam, diperoleh hasil

bahwa laju pertumbuhan bobot harian pH 7 dan perlakuan (pH 4, pH 5 dan pH 6)

tidak menunjukkan perbedaan nyata (p>0,05).

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05)

Gambar 3. Rata-rata laju pertumbuhan bobot harian (%) larva ikan betok pada setiap perlakuan selama pemeliharaan

(23)

11

3.1.4 Pertumbuhan Panjang

Pertumbuhan panjang larva ikan betok yang dipelihara selama 16 hari

berkisar antara 6,95-7,63 mm (Gambar 5). Nilai tertinggi dicapai pada perlakuan

pH 7 sebesar 7,63±0,12 mm sedangkan nilai terendah dicapai pada perlakuan pH

4 sebesar 6,96±0,25 mm. Hasil analisis menunjukkan bahwa pertumbuhan

panjang larva ikan betok pH 7 dan perlakuan berbeda nyata (p<0,05) terkait

dengan.

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05)

Gambar 4. Rata-rata pertumbuhan panjang (mm) larva ikan betok pada setiap perlakuan selama pemeliharaan.

Dari hasil uji Tukey, diperoleh hasil bahwa perlakuan kontrol pH 7 berbeda

nyata (p<0,05) dengan perlakuan pH 4 dan pH 5, tetapi tidak berbeda nyata

(p>0,05) dengan perlakuan pH 6. Perlakuan pH 4 tidak berbeda nyata dengan

perlakuan pH 5, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan pH 6 dan pH 7.

3.1.5 Derajat Kelangsungan Hidup

Derajat kelangsungan hidup (SR) larva ikan betok yang dipelihara selama

16 hari berkisar antara 23,80-30,33% (Gambar 3). Nilai tertinggi diperoleh pada

perlakuan pH 6 sebesar 30,33±0,95% dan nilai terendah pada perlakuan pH 5

sebesar 23,80±0,72%. Dari hasil analisis ragam, menunjukkan bahwa derajat

kelangsungan hidup larva ikan betok pH 7 dan perlakuan memberikan hasil yang

(24)

12

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05)

Gambar 5. Rata-rata derajat kelangsungan hidup (%) larva ikan betok pada setiap perlakuan selama pemeliharaan

Dari hasil uji Tukey, diperoleh hasil bahwa perlakuan kontrol pH 7 berbeda

nyata (p<0,05) dengan perlakuan pH 4 dan pH 5, tetapi tidak berbeda nyata

(p>0,05) dengan perlakuan pH 6. Perlakuan pH 4 tidak berbeda nyata dengan

perlakuan pH 5, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan pH 6 dan pH 7.

3.1.6 Pengukuran Kualitas Air

Kualitas air menurut kamus istilah lingkungan (Ismoyo et al., 1994) diuraikan sebagai keadaan dan sifat-sifat fisik, kimia, dan biologis suatu perairan

yang dibandingkan dengan persyaratan untuk keperluan tertentu, misalnya untuk

keperluan rumah tangga, air minum, pertanian, perikanan atau industri. Parameter

kualitas air yang diamati meliputi DO (Dissolved Oxygen), pH, TAN (Total Ammonia Nitrogen), CO2, kesadahan, dan alkalinitas pada media pemeliharaan larva ikan betok selama 16 hari dapat dilihat pada Tabel 3.

(25)

13 Tabel 3. Data kisaran nilai parameter kualitas air selama masa pemeliharaan larva

ikan betok di akuarium

Hasil penelitian menunjukkan bahwa volume kuning telur larva pada pH 4

dan pH 5 lebih lambat habis dibandingkan larva yang dipelihara pada pH 6 dan

pH 7. Hasil ini didukung dengan laju penyerapan kuning telur larva ikan betok

yang diamati selama 72 jam yang menunjukkan laju penyerapan kuning telur

tertinggi terdapat pada pH 7 yaitu 1,9341%, sedangkan laju penyerapan kuning

telur terendah terdapat pada perlakuan pH 5 yaitu 1,4046%. Hal ini diduga terjadi

karena pH asam mampu menggangu aktivitas enzim pada epitel insang sehingga

laju respirasi menjadi terhambat dan mengakibatkan proses metabolisme yang

membutuhkan oksigen menjadi tidak optimal. Proses metabolisme yang tidak

optimal ditunjukkan oleh adanya perkembangan yang abnormal pada larva ikan

betok pada pH 4 dan pH 5 saat dilakukan pengamatan setiap 6 jam dan 4 hari

sekali dengan menggunakan mikroskop (Lampiran 7). Pada pH 6 dan pH 7 tidak

ditemukan larva abnormal, menunjukkan bahwa pH 6 dan pH 7 sudah mendekati

batas toleransi bagi penyerapan kuning telur. Berdasarkan Gambar 1 dapat

diketahui bahwa pada jam ke-72 kuning telur larva hampir habis sepenuhnya.

(26)

14 ikan betok yang baru menetas akan habis pada hari ke-3 sampai hari ke-4 setelah

menetas. Hal ini sering ditemukan sama dengan ikan lainnya, baik pada ikan air

laut maupun ikan air tawar.

Perkembangan mulut ikan betok semakin meningkat seiring dengan waktu.

Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa bukaan mulut larva mulai terbentuk

pada jam ke-24 sampai jam ke-30. Hal ini sesuai dengan Bagarinao (1986) yang

menyatakan bukaan mulut larva mulai teramati pada jam ke-30 setelah menetas

sebelum kuning telur larva habis yang memungkinkan larva untuk makan sebelum

kuning telur terserap secara sempurna. Amornsakun et al. (2005) mengamati bahwa setelah jam ke-28 kuning telur tersisa sekitar 68,58% dan mulut pada larva

ikan betok telah terbuka namun belum dapat berfungsi. Pada pH yang mendekati

netral (pH 6 dan pH 7) pertumbuhan bukaan mulut lebih cepat dibandingkan

dengan pH yang cenderung asam (pH 4 dan pH 5). Hal tersebut didukung oleh

proses penyerapan kuning telur yang lebih cepat terserap pada pH yang mendekati

netral sehingga energi yang diperoleh dari kuning telur dapat digunakan untuk

melengkapi organ tubuh, salah satunya yaitu bukaan mulut. Hal ini sesuai dengan

Effendi (2004) yang menyatakan larva memanfaatkan cadangan energi berupa

kuning telur (endogenous feeding) untuk keperluan pemangsaan perkembangan organ tubuh, terutama mata, mulut, sirip, dan saluran pencernaan. Saat

penyerapan kuning telur terganggu maka proses perkembangan organ tubuh pun

menjadi terhambat.

Laju pertumbuhan bobot harian larva ikan betok yang dipelihara selama 16

hari berkisar antara 8,70-9,32%. Dari hasil analisis data diperoleh hasil bahwa laju

pertumbuhan bobot harian tidak berbeda nyata antar perlakuan (p>0,05). Hal ini

diduga karena pada stadia larva, larva menggunakan energinya untuk

perkembangan organ-organ tubuhnya terlebih dahulu sebelum menggunakan

energi tersebut untuk pertumbuhannya sehingga pada semua perlakuan

pertumbuhan bobot larva tidak berbeda nyata. Effendi (2004) menyatakan larva

masih dalam proses perkembangan menuju bentuk definitif sehingga belum

memiliki organ tubuh yang lengkap, bahkan organ yang ada pun masih bersifat

(27)

15 penimbangan larva tidak ditemukan perbedaan bobot yang signifikan antar

perlakuan.

Pertumbuhan panjang larva ikan betok berkisar antara 8,21-9,35%. Analisis

data menunjukkan bahwa pertumbuhan panjang larva pada pH 7 berbeda nyata

dengan perlakuan pH 4 dan pH 5, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan pH

6. Hal ini diduga karena pada pH 6 dan pH 7 yang mendekati netral penyerapan

kuning telur terjadi dengan lebih baik sehingga energi yang diperoleh dari kuning

telur dapat dimanfaatkan dengan lebih baik untuk melengkapi organ tubuh larva.

Hal ini juga didukung oleh perkembangan mulut larva yang lebih cepat pada

pH 6 dan pH 7. Dengan demikian pada saat kuning telur larva telah habis, larva

sudah dapat memakan makanan dari luar lebih dahulu dibandingkan pada

perlakuan pH 4 dan pH 5. Binoy dan Thomas (2008) mengungkapkan bahwa ikan

betok memiliki cara makan yang unik, yaitu larva mengumpulkan pakan di dalam

mulut dan pergi menjauh dari tempat larva mendapatkan makanan untuk

kemudian dimakan di tempat lain. Oleh karena kebiasaan makan seperti itu maka

larva dengan bukaan mulut yang lebih besar (pH 6 dan pH 7) dapat

mengkonsumsi pakan lebih banyak dibandingkan larva dengan bukaan mulut

yang lebih kecil (pH 4 dan pH 5) sehingga pertumbuhannya menjadi lebih baik.

Menurut Shirota (1970) larva dengan mulut yang lebih kecil tumbuh lebih lambat

daripada larva dengan mulut yang lebih besar. Ukuran mulut menjadi faktor

pembatas untuk memakan pakan alami maupun pakan buatan (Hyatt, 1979).

Derajat kelangsungan hidup adalah persentase ikan yang hidup di akhir

pemeliharaan. Derajat kelangsungan hidup larva ikan betok pada penelitian ini

berkisar antara 23,80-30,33%. Pada pH 4 dan pH 5 derajat kelangsungan hidup

larva lebih rendah dibandingkan dengan pH 6 dan pH 7. Hal ini diduga karena

ketidakmampuan larva beradaptasi dengan baik pada suasana air yang asam. Air

dengan pH yang sangat rendah dapat mematikan bagi ikan (Mesner dan Geiger,

2010). Disamping itu, pertumbuhan yang terhambat pada perlakuan pH 4 dan pH

5 mengakibatkan ukuran larva menjadi tidak seragam dan mengalami

abnormalitas. Ketidakseragaman ukuran larva dapat memicu terjadinya

(28)

16 berlindung, dan kondisi pencahayaan. Derajat kelangsungan hidup larva yang

rendah pada pH 4 dan pH 5 juga dapat disebabkan penyerapan kuning telur yang

tidak optimal sehingga menyebabkan perkembangan organ tubuh tidak berjalan

dengan baik. Salah satu konsekuensi hal tersebut adalah keterlambatan

perkembangan bukaan mulut larva sehingga pada saat kuning telur larva telah

habis dan larva memerlukan pakan dari luar, larva tidak dapat memanfaatkan

pakan tersebut dengan baik.

Berdasarkan hasil analisis kualitas air (Tabel 3) yang dilakukan pada awal,

tengah, dan akhir pemeliharaan didapat hasil kesadahan, TAN, dan suhu masih

berada pada kisaran normal, sedangkan untuk CO2 berada diatas kisaran normal

pada setiap perlakuan. Kisaran nilai alkalinitas juga berada di bawah kisaran

normal pada perlakuan pH 4 dan pH 5. Konsentrasi oksigen terlarut pada pH 4

dan pH 5 berada dibawah normal. Konsentasi CO2 berada pada 15,98-63,12 mg/l.

Nilai ini jauh lebih tinggi dibandingkan kisaran normal yaitu < 5 mg/l (Boyd,

1982). Semakin asam suatu perairan, maka semakin tinggi nilai

karbondioksidanya karena semakin banyak H2CO3 yang terbentuk sehingga

kondisi perairan semakin asam (Ayuningtias, 2010). Menurut Boyd (1982)

perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan sebaiknya mengandung

kadar CO2 bebas < 5 mg/l. Kadar CO2 bebas sebesar 10 mg/l masih dapat ditolerir

oleh organisme akuatik, asal disertai dengan kadar oksigen yang cukup yaitu > 5

ppm (Boyd, 1989). Sebagian besar organisme akuatik masih dapat bertahan hidup

hingga kadar CO2 bebas mencapai sebesar 60 mg/l. Kadar CO2 yang tinggi pada

pH 4 dan pH 5 diduga turut menyebabkan derajat kelangsungan hidup yang

rendah.

Oleh karena nilai CO2 yang tinggi pada pH 4 dan pH 5, maka akan

menyebabkan kadar oksigen terlarut menjadi rendah. Kadar oksigen pH 4 dan pH

5 yaitu 3,30-3,52 dan 3,42-3,53 mg/l. Konsentrasi oksigen terlarut yang terlalu

rendah akan mengakibatkan ikan-ikan dan binatang air lainnya yang

membutuhkan oksigen akan mati (Hardjojo, 2005). Walaupun ikan betok

(29)

17 oksigen terlarut sebesar 1,0 sampai 5,0 mg/l menyebabkan pertumbuhan ikan

terganggu namun masih dapat bertahan hidup, sedangkan kadar oksigen >5,0 mg/l

merupakan kondisi optimal bagi hewan akuatik. Nilai tingkat konsumsi oksigen

berbeda-beda bergantung pada spesies, ukuran, aktivitas, jenis kelamin, tingkat

konsumsi pakan, suhu, dan konsentrasi oksigen terlarut. Organisme kecil

mengkonsumsi oksigen lebih banyak persatuan waktu dan bobot daripada ikan

berukuran besar. Hal ini disebabkan karena pada ikan berukuran kecil lebih

memerlukan energi untuk pertumbuhan. Spotte (1970) menyatakan bahwa laju

metabolisme tubuh organisme berukuran kecil lebih tinggi daripada yang

berukuran besar.

Mackereth et al. (1989) menyatakan bahwa pH berkaitan erat dengan

alkalinitas. Alkalinitas secara umum menunjukkan konsentrasi basa atau bahan

yang mampu menetralisir kemasaman dalam air. Nilai alkalinitas pada pH 4

berkisar antara 12-20 ppm CaCO3, sedangkan alkalinitas pada pH 5 berkisar

antara 20-32 ppm CaCO3. Untuk pH 6 dan pH 7 nilai alkalinitas masing-masing

berkisar antara 28-45 dan 36-56 ppm CaCO3. Menurut Effendi (2000) alkalinitas

yang baik berkisar antara 30-500 mg/l. Nilai alkalinitas berkaitan erat dengan

korosivitas logam dan dapat menimbulkan permasalahan kesehatan, terutama

yang berhubungan dengan iritasi dengan sistem pencernaan (gastro intestinal).

Oleh karena sistem pencernaan yang terganggu maka larva tidak dapat

memanfaatkan energi dari pakan secara optimal sehingga mengganggu

(30)

18

IV.

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Penggunaan pH yang berbeda (4, 5, 6 dan 7) menghasilkan laju

penyerapan kuning telur dan perkembangan mulut terbaik terdapat pada perlakuan

pH 6 dan pH 7. Perlakuan pH tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata

terhadap laju pertumbuhan bobot harian, namun memberikan pengaruh yang

berbeda nyata terhadap pertumbuhan panjang dan derajat kelangsungan hidup

larva ikan betok. Pertumbuhan panjang dan derajat kelangsungan hidup larva

terbaik terdapat pada perlakuan pH 6 dan pH 7.

4.2 Saran

Dilakukan penelitian lanjutan berupa aplikasi untuk pemeliharaan ikan

(31)

19

DAFTAR PUSTAKA

Adrijana, E. 1995. Pengaruh Dosis Kotoran Ayam Terhadap Kualitas Media

Pemeliharaan Ikan Betok (Anabas testudineus Bloch) [Skripsi]. Program

Studi Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Amornsakun, T., Sriwatana, W. dan Promkaew, P. 2005. Some Aspects in Early

Life Stage of Climbing Perch, Anabas testudineus Larvae. Vol. 27 (Suppl.

1). Songklanakarin J. Sci. Technol. Aquatic Science. Thailand.

Ath-thar, M. H. F., Prakoso, V. A., Arifin, O. Z., Gustiano, R. 2010. Performa Pertumbuhan Ikan Nila BEST pada Berbagai Media pH. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar. Bogor

Ayuningtias, A. 2010. Kinerja Pertumbuhan Ikan Nila Oreochromis niloticus

Strain BEST pada Media Pemeliharaan dengan Derajat Kemasaman Berbeda. [Skripsi]. Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Bagarinao, T. 1986. Yolk resorption, onset of feeding and survival potential of larvae of three tropical marine fish species reared in the hatchery. Mar. Biol., 91: 449-459.

Bailey, M & Sandford, G. 1998. The New Guide to Aquarium Fish. Annes

Publishing. London.

Binoy, V. V. & Thomas, K. J. 2008. The Influence of Hunger on Food-Stoking

Behaviour of Climbing Perch Anabas testudineus. Journal of Fish Biology,

1053-1057. Animal Behaviour and Wetland Research Laboratory. Department of Zoology. Christ College. Irinjalakuda. Kera Pin - 680 125. India.

Boyd, C. E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Science Publishing Company Inc. New York.

Burnawi. 2007. Teknik Menghitung Fekunditas Telur Ikan Papuyu (Anabas

testudineus) di Danau Panggang Daerah Aliran Sungai Barito, Kalimantan Selatan. Balai Riset Perikanan Perairan Umum. Mariana-Palembang. Palembang.

de Graaf, G. J. 2003. Water Management and the Drift of Larval Fish in the Floodplains of Bangladesh. Practical Experiences of the

Compartmentalization Pilot Project with “Fish Friendly” Regulators.

Ecological Research, 36: 100-106.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Sistem Informasi Perhitungan Statistik Kelautan dan Perikanan. [terhubung berkala]. http://www.dkp.go.id/. [20 Mei 2011].

Effendie, M. I. 1979. Metode Boiligi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor.

(32)

20 Effendi, H. 2000. Telaah Kualitas Air. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.

Bogor.

Hardjojo, B. 2005. Pengukuran dan Analisis Kualitas Air. Cet.1. Universitas Terbuka. Jakarta.

Hughes GM, Munshi JSD, Ojha J (1986) Post-embryonic development of water- and air-breathing organs of Anabas testudineus (Bloch). J. Fish. Biol., 29:443–450

Hyatt, K.D. 1979. Feeding strategy. In Hoar, W.S., Randall, D.J. and Brett, J.R. (eds) Fish Physiology, Vol. VIII. London: Academic Press. pp. 71-119.

Ismoyo, Imama, H., Rijalluzzaman. 1994. Kamus Istilah Lingkungan. Bina Reka Pariwara. Jakarta.

Isriansyah & Sukarti, K. 2007. Efektivitas Suplementasi L-Askorbil-2-Monofosfat Magnesium dalam Ransum Terhadap Proses Rematurasi dan Kualitas Telur Ikan Pepuyu (Anabas testudineus Bloch). [laporan penelitian]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Mulawarman. Samarinda. Hlm. 1-3.

Kendall, A. W. Jr., Ahlstrom, E. M., Moser, H. G. 1984. Early Life History Stages of Fishes and Their Chatacters. Otogeny and Systematics of Fishes. Am Soc Ichthyol Herpetol Spec Publ No. 1. Allen Press. Lawrence. pp11-22.

Kuncoro, E.B. 2009. Ensiklopedia Populer Ikan Air Tawar. Lily Publisher. Yogyakarta. hlm. 134 : 27-28.

Mackereth, F. J. H., Heron, J. and Tailling, J. F. 1989. Water Analysis. Fresh-water Biological Association, Cumbria, UK. 120p.

Mesner, N. & Geiger, J. 2010. Understanding Your Watershed. Utah State University Water Quality Extension. Utah

Morioka, S., Ito, S., Kitamura, S., Vongvichith, B. 2008. Growth and Morphological Development of Laboratory-Reared Larval and Juvenile Climbing Perch Anabas testudineus. Ichthyol Res. The Ichthyological Society of Japan. Japan.

Pellokila, N. A. Y. 2009. Biologi Reproduksi Ikan Betok (Anabas testudineus

Bloch, 1792) di Rawa Banjiran Das Mahakam , Kalimantan Timur. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Slamat. 2009. Keanekaragaman Genetik Ikian Betok (Anabas testudineus Bloch) pada Tiga Tipe Ekosistem Perairan Rawa di Provinsi Kalimantan Selatan. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Shirota, A. 1970. Studies on the mouth size of fish larvae. Bull. Jap. Soc. Sci. Fish., 36(4): 353-368.

Spotte, S. 1970. Fish and Invertebrate Culture Management in Closed System. Second Edition. New York : John Willey and Sons.

(33)
(34)

Lampiran 1. Volume kuning telur rata-rata (mm3) selama 72 jam

perlakuan jam ke-

0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 akuarium 1 ph 4 0,1259 0,1097 0,1024 0,0986 0,0928 0,0831 0,0790 0,0707 0,0656 0,0587 0,0555 0,0472 0,0442 akuarium 2 ph 4 0,1340 0,1097 0,1010 0,0986 0,0914 0,0829 0,0799 0,0700 0,0630 0,0547 0,0547 0,0464 0,0443 akuarium 3 ph 4 0,1173 0,1108 0,1007 0,0962 0,0938 0,0842 0,0808 0,0709 0,0648 0,0596 0,0596 0,0444 0,0465

akuarium 5 ph 5 0,1227 0,1070 0,1024 0,0986 0,0918 0,0838 0,0798 0,0701 0,0610 0,0579 0,0523 0,0449 0,0459 akuarium 6 ph 5 0,1211 0,1095 0,1037 0,0999 0,0904 0,0828 0,0796 0,0700 0,0621 0,0605 0,0572 0,0443 0,0437 akuarium 7 ph 5 0,1244 0,1139 0,0986 0,0952 0,0952 0,0829 0,0799 0,0730 0,0648 0,0621 0,0580 0,0444 0,0444 akuarium 9 ph 6 0,1240 0,1034 0,0952 0,0918 0,0884 0,0800 0,0740 0,0605 0,0592 0,0478 0,0430 0,0389 0,0308

akuarium 10 ph 6 0,1212 0,1074 0,0952 0,0918 0,0894 0,0820 0,0749 0,0603 0,0584 0,0455 0,0421 0,0379 0,0346 akuarium 11 ph 6 0,1253 0,1108 0,0986 0,0918 0,0871 0,0820 0,0769 0,0621 0,0595 0,0449 0,0458 0,0385 0,0306 akuarium 13 ph 7 0,1265 0,1159 0,0973 0,0904 0,0820 0,0809 0,0730 0,0603 0,0576 0,0403 0,0397 0,0366 0,0302 akuarium 14 ph 7 0,1138 0,1007 0,0928 0,0914 0,0864 0,0800 0,0740 0,0610 0,0595 0,0423 0,0416 0,0365 0,0308

akuarium 15 ph 7 0,1250 0,1011 0,0952 0,0918 0,0884 0,0817 0,0759 0,0603 0,0595 0,0442 0,0435 0,0390 0,0297

2222

(35)

Lampiran 2. Laju penyerapan kuning telur larva ikan betok (mm3/jam) selama 72 jam

Perlakuan Volume rata-rata kuning telur awal (mm3) Volume rata-rata kuning telur akhir (mm3) Laju penyerapan kuning telur selama 72 jam (mm3/jam)

pH 4 0,1257±0,0069 0,0450±0,0013 0,0011210

pH 5 0,1227±0,0017 0,0447±0,0011 0,0010848

pH 6 0,1235±0,0021 0,0320±0,0023 0,0012705

pH 7 0,1218±0,0069 0,0302±0,0006 0,0012708

Lampiran 3. Bukaan mulut (mm) selama 72 jam

perlakuan jam

ke-0 6 12 18 24 3ke-0 36 42 48 54 6ke-0 66 72

akuarium 1 ph 4 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,297 0,417 0,516 0,580 0,608 0,629 0,651 0,665 akuarium 2 ph 4 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,304 0,431 0,502 0,552 0,608 0,622 0,643 0,658 akuarium 3 ph 4 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,304 0,424 0,509 0,559 0,601 0,658 0,665 0,665 akuarium 5 ph 5 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,311 0,431 0,509 0,573 0,615 0,643 0,679 0,679 akuarium 6 ph 5 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,297 0,431 0,516 0,573 0,622 0,651 0,672 0,679 akuarium 7 ph 5 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,304 0,431 0,509 0,566 0,622 0,622 0,672 0,679 akuarium 9 ph 6 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,311 0,502 0,587 0,608 0,636 0,651 0,686 0,707 akuarium 10 ph 6 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,318 0,488 0,608 0,615 0,651 0,658 0,679 0,707 akuarium 11 ph 6 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,311 0,509 0,601 0,622 0,643 0,665 0,686 0,707 akuarium 13 ph 7 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,318 0,509 0,608 0,622 0,658 0,672 0,686 0,721 akuarium 14 ph 7 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,304 0,495 0,601 0,629 0,651 0,679 0,700 0,721 akuarium 15 ph 7 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,311 0,502 0,594 0,615 0,658 0,679 0,686 0,721

23

(36)

Lampiran 4. Hasil perhitungan statistik laju pertumbuhan bobot harian larva ikan

betok (Anabas testudineus) dengan menggunakan SPSS 16.0

a. Deskripsi

Keterangan : huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05)

b. ANOVA

Kesimpulan : P > 0,05, berarti perlakuan perbedaan pH tidak berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan bobot harian larva ikan betok.

Lampiran 5. Hasil perhitungan statistik pertumbuhan panjang larva ikan betok (Anabas testudineus) dengan menggunakan SPSS 16.0

a. Deskripsi

Keterangan : huruf yang tidak sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05)

(37)

b. ANOVA

SK JK DB KT F hitung P.

Perlakuan 6,737 3 2,246 22,563 0,000

Galat 0,796 8 0,100 *. Nilai beda nyata (p<0,05)

(38)

Lampiran 6. Hasil perhitungan statistik kelangsungan hidup larva ikan betok (Anabas testudineus) dengan menggunakan SPSS 16.0

a. Deskripsi

Ulangan pH 4 pH 5 pH 6 pH 7

1 25,8 24,4 31,4 29,6

2 24,8 23,0 29,6 26,0

3 22,0 24,0 30,0 29,8

Rata-rata 24,20a±1,97 23,80a±0,72 30,33b±0,95 28,47b±2,14

Keterangan : Huruf yang tidak sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05)

b. ANOVA

SK JK DB KT F Hitung P

Perlakuan 92,947 3 30,982 12,560 0,002

Galat 19,733 8 2,467 *. Nilai beda nyata (p<0,05)

(39)

Lampiran 7. Beberapa kondisi larva selama pemeliharaan

a. Larva sehat b. Larva luka

c. Larva yang cacat d. Perut kosong/bukaan mulut kecil

Gambar

Tabel 1. Pengukuran kualitas air
Gambar 1. Penyerapan kuning telur larva ikan betok pada setiap perlakuan
Tabel 2. Laju penyerapan kuning telur larva ikan betok  selama 72 jam
Gambar 2. Perkembangan mulut larva ikan betok pada setiap perlakuan
+3

Referensi

Dokumen terkait

• Dengan melewatkan gas buang (flue gas) melalui suatu medan listrik yang terbentuk antara discharge electrode dengan collector plate, flue gas yang mengandung butiran debu pada

Sistem perlu dikembangkan dengan menggunakan algortima lain seperti A-Star atau Semut untuk mengetahui algoritma mana yang lebih efektif dan efisien dalam melakukan pencarian

Meskipun penelitian yang berkaitan dengan penggunaan teknik sosiodrama sebagai salah satu perlakuan untuk meningkatkan komunikasi interpersonal siswa masih belum banyak

Fokus penelitian yang diambil oleh peneliti adalah guna mengetahui pelaksanaan koperasi yang ada dilembaga militer dengan mengunakan tinjauan atau prespektif dengan

Dengan demikian terbukti bahwa variabel-variabel bebas yang terdiri dari luas lahan, benih, pupuk, modal, tenaga kerja, harga jual, produksi beras hitam

Operasi ekstraksi padat cair terdiri atas dua langkah, yaitu kontak antara padatan dan pelarut untuk mendapatkan perpindahan solute ke dalam pelarut kemudian

• Iaitu lahirnya sebuah bangsa Malaysia yang terdiri daripada pelbagai etnik dengan nilai agama, kepercayaan, nilai, adat dan cara hidup yang berbeza (Shamsul Amri et al.,

Sistem Informasi Perencanaan Pengadaan Obat dengan menggunakan pendekatan metode perhitungan gabungan antara metode konsumsi dengan metode epidemiologi di Dinas Kesehatan