• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model of Ciliwung Riverbank with the Ecohydraulics Approach in Kelurahan Sempur, Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model of Ciliwung Riverbank with the Ecohydraulics Approach in Kelurahan Sempur, Bogor"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL BANTARAN SUNGAI CILIWUNG DENGAN PENDEKATAN EKOHIDRAULIKA DI LOKASI KELURAHAN SEMPUR

KOTA BOGOR

Oleh :

SUCI NUR AINI ZAIDA F152080021

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Model Bantaran Sungai Ciliwung dengan Pendekatan Ekohidraulika di Lokasi Kelurahan Sempur, Kota Bogor adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing akademik dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari hanya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam tesis dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2012

(3)

ABSTRACT

SUCI NUR AINI ZAIDA. Model of Ciliwung Riverbank with the Ecohydraulics Approach in Kelurahan Sempur, Bogor. Supervised by ERIZAL, M. YANUAR, dan PRASTOWO.

The effort to control and flood prevention can be started with managing and structuring the area of the river, as known river restoration. River restoration is an attempt to restore the functions of the river physically, ecologically, socially and economically so that it becomes a natural stream (nature-like river) and resemble the initial conditions in order to reduce the danger of flooding and damage the river. The purpose of this study are : 1) Identifyied the damage along the riverbanks of the Ciliwung River in Kelurahan Sempur, 2) Made the river restoration concept with ecohydraulics approach.

The result of this research was design of riverbank restoration with eco-hydraulics approach using plants. From the research, it is found that Ciliwung River which passing Kelurahan Sempur have a significant function for flooding retention. Based on the research, there is some damage to the river in this section, for example the erosion and sedimentation in the downstream. This is because the slope of the riverbed is very small. The design of river management is by adding vegetation on the riverbanks and flood plain areas.

(4)

RINGKASAN

SUCI NUR AINI ZAIDA. Model Bantaran Sungai Ciliwung dengan Pendekatan Ekohidraulika di Lokasi Kelurahan Sempur, Kota Bogor. Dibimbing oleh ERIZAL, M. YANUAR, dan PRASTOWO.

Upaya pengendalian dan pencegahan banjir dapat dimulai dengan pengelolaan dan penataan kawasan sungai atau yang dikenal dengan istilah restorasi sungai. Restorasi sungai adalah upaya mengembalikan fungsi-fungsi sungai baik secara fisik, ekologi, sosial maupun ekonomi sehingga menjadi sungai yang alami (nature-like river) dan menyerupai kondisi awalnya dalam rangka mengurangi bahaya banjir dan kerusakan sungai yang lebih parah. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Mengidentifikasi kerusakan sepanjang bantaran Sungai Ciliwung yang melintas di lokasi Kelurahan Sempur Kota Bogor, 2) Membuat konsep perencanaan restorasi bantaran Sungai dengan pendekatan Ekohidraulika.

Pengelolaan sungai secara berkelanjutan yang berbasis konsep ekohidraulika dapat dilaksanakan dengan memperhitungkan kondisi eksisting sungai yaitu kondisi hidraulika dan ekologi. Kondisi hidraulika terkait dengan profil sungai, muka air banjir dan luas genangan. Sedang kondisi ekologi terkait dengan vegetasi pada tebing dan bantaran sungai. Konsep pengelolaan sungai diterapkan dengan melakukan rekayasa hidraulika pada sungai yaitu dengan memperbesar penampangnya dan memperkecil kecepatan air serta melakukan penataan pada bantaran sungai.

Penelitian ini dilakukan di Sungai Ciliwung yang melewati Kelurahan Sempur, Bogor sepanjang ± 1 Km. Penelitian dilakukan dengan pengukuran langsung di lapang. Pengambilan data di lapangan antara lain untuk pengambilan sampel tanah, pembuatan profil hidraulik sungai dan pengukuran faktor friksi tanaman. Profil hidraulik sungai dianalisis dengan tujuan untuk memperoleh gambaran tentang luas penampang sungai pada potongan tertentu, kecepatan air dan debit. Hasil perhitungan profil tersebut dapat dijadikan dasar dalam penentuan luas areal banjir dan muka air banjir pada sungai. Hasil akhir dari penelitian ini yaitu berupa konsep restorasi bantaran sungai dengan pendekatan ekohidraulika dan penggunaan tanaman.

Untuk penentuan bantaran sungai di Kota Bogor didasarkan pada Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Yang dimaksud dengan bantaran atau sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk pada sungai buatan/kanal/saluran/irigasi yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Lebar bantaran sungai di lokasi penelitian seharusnya atau sekurang-kurangnya 15 meter dihitung dari tepi sungai. Dan untuk sungai dengan kedalaman lebih dari 3 meter maka seharusnya memiliki bantaran atau sempadan sungai sekurang-kurangnya 20 meter. Namun kondisi di lapangan menunjukkan bahwa sempadan sungai tidak sesuai dengan peraturan daerah tersebut.

(5)

Kelurahan Sempur tersebut. Adapun keempat segmen tersebut adalah Segmen 1, yaitu wilayah antara Jembatan Jl. Jalak Harupat sampai dengan Jembatan Lebak Kantin; Segmen 2, yaitu wilayah antara Jembatan Lebak Kantin sampai dengan Jembatan Sempur Kidul; Segmen 3, yaitu wilayah antara Jembatan Sempur Kidul sampai dengan Jembatan Sempur Kaler; dan Segmen 4, yaitu wilayah antara Jembatan Sempur Kaler sampai dengan Lebak Pilar. Selanjutnya pada bantaran sungai yang melintas di Kelurahan Sempur dapat dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan tutupan vegetasi yang berbeda yaitu Tipe A merupakan hamparan atau bantaran yang bervegetasi riparian masih utuh; Tipe B merupakan hamparan atau bantaran dengan vegetasi riparian yang telah terokupasi oleh penduduk 21-54% dan Tipe C merupakan hamparan atau bantaran dengan vegetasi riparian yang terokupasi oleh penduduk lebih dari 70%. Bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur termasuk bantaran dengan Tipe B dan Tipe C.

Analisis hidraulika dilakukan untuk memperoleh seberapa besar debit yang dapat ditampung oleh sungai sebelum terjadi banjir. Dengan diketahui kecepatan aliran dan luas penampang sungai pada kedua lokasi pengukuran tersebut, dapat diketahui debit pada masing-masing titik pengamatan. Kondisi tebing Sungai Ciliwung di lokasi penelitian dideskripsikan dengan kejadian erosi atau tidak erosi. Gambaran kejadian erosi tebing di Segmen 3 dan Segmen 4 terjadi di sisi kiri dan kanan sungai. Kondisi morfologi sungai pada wilayah pengukuran sepanjang 1 km terdapat 33% dari panjang sungai yang dasarnya dibentuk oleh batuan besar dengan ukuran 5 – 20 mm. Nilai koefisien kekasaran di sepanjang sungai bervariasi. Hal ini tergantung pada beberapa faktor diantaranya ketidakteraturan sungai, perubahan tata guna lahan, urbanisasi, erosi dan sedimentasi.

Kondisi Sungai Ciliwung menuntut adanya tindakan pengelolaan. Konsep pengelolaan sungai secara ekohidraulik dapat dilakukan dengan melakukan pengaturan tataguna lahan di bantaran sungai yang dapat memperkecil kecepatan air.Selanjutnya berdasarkan hasil analisis hidraulika maka dibuat desain pengelolaan sungai pada setiap lokasi. Desain pengelolaan sungai dengan konsep ekohidraulik adalah mendesain vegetasi tanaman pada bantaran sungai. Adapun pengaruh vegetasi pada bantaran dan dataran banjir sungai tergantung pada tingkat kekasarannya. Desain pengelolaan sungai yang dibuat dengan menambahkan vegetasi pada bantaran sungai dan tebing sungai untuk menurunkan kecepatan aliran pada saat banjir. Sebagai bahan pertimbangan dalam hal biaya dan adaptasi dengan lingkungan lokal lebih cepat, maka disarankan menggunakan vegetasi yang ada saat ini di lokasi.

(6)

©Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

MODEL BANTARAN SUNGAI CILIWUNG DENGAN PENDEKATAN EKOHIDRAULIKA DI LOKASI KELURAHAN SEMPUR, KOTA BOGOR

SUCI NUR AINI ZAIDA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Penelitian : Model Bantaran Sungai Ciliwung Dengan Pendekatan Ekohidraulika Di Lokasi Kelurahan Sempur,

Kota Bogor

Nama : Suci Nur Aini Zaida

NRP : F152080021

Mayor : Teknik Sipil dan Lingkungan

Disetujui Komisi Pembimbing,

Dr. Ir. Erizal, M. Agr Ketua

Dr. Ir. Prastowo, M. Eng Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS

Anggota Anggota

Mengetahui,

Ketua Mayor Teknik Sipil dan Lingkungan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Nora H. Panjaitan, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(10)

PRAKATA

Puji syukur diucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya hingga penulisan tesis: MODEL BANTARAN SUNGAI CILIWUNG DENGAN PENDEKATAN EKOHIDRAULIKA DI LOKASI KELURAHAN SEMPUR KOTA BOGOR dapat diselesaikan. Tesis ini disusun guna memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan Program Magister di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian dan tesis ini dapat terlaksana dan terwujud melalui proses arahan, bimbingan, bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Komisi Pembimbing selalu memberikan dorongan, arahan, dan saran selama proses penelitian dan penyusunan tesis ini berlangsung. Berbagai pihak juga telah banyak membantu mulai dari saat proses penelitian berlangsung hingga tersusunnya tesis ini. Dengan ketulusan hati disampaikan terima kasih dan penghargaan kepada : 1. Dr. Ir. Erizal, M.Agr, selaku Ketua Komisi Pembimbing akademik atas

bimbingan, arahan, dan nasehatnya.

2. Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS dan Dr. Ir. Prastowo, M.Eng sebagai anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan dan arahannya.

3. Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA sebagai Ketua Program Studi SIL yang dengan penuh perhatian dan dedikasi tinggi senantiasa mendorong para mahasiswa untuk dapat menyelesaikan studi dengan baik.

4. Dr. Ir. Yuli Suharnoto, M.Eng selaku dosen penguji di luar komisi atas segala masukan dan perbaikan yang diberikan.

5. Ir. Izhar Chaidir, MA selaku Kepala Bidang Perencanaan Ruang Kota Dinas Tata Ruang Provinsi DKI Jakarta yang senantiasa memberi perhatian dan motivasi demi selesainya tesis ini.

6. Teman-teman SIL Angkatan 2008, Pak Tusi, Pak Taufik, Mba Donna, Titin dan Wahid, terimakasih atas inspirasi, dan semangat yang telah diberikan. 7. Teman-teman Bidang Perencanaan Ruang Kota, Dinas Tata Ruang Provinsi

(11)

Kepada Ibunda (almarhumah) Sri Daryati dan ayahanda Sjamsul Hadi dipersembahkan rasa hormat dan cinta yang mendalam. Juga kepada kakak-kakak Susi Nur Era Badia, SE, Hadzik Muhanik Prabowo, Amd. dan Muhammad Wahyu Hendra Maysuri, SE atas segala perhatian dan motivasinya. Suami tercinta Alim Setiawan S, STP, M.Si dan ananda Ayesha Humaira Majid, yang merupakan inspirator dan pendorong bagi selesainya tesis ini.

Disadari masih banyak yang harus disempurnakan dalam tesis ini. Untuk itu, diharapkan kritik dan saran yang membangun dalam penyempurnaannya. Semoga tesis ini dapat bermanfaat khususnya bagi perkembangan pengetahuan restorasi sungai.

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara dari orang tua tercinta Bapak Sjamsul Hadi dan Almarhumah Ibu Sri Daryati. Penulis dilahirkan pada tanggal 30 Maret 1983 di Kota Boyolali, Jawa Tengah.

Pada tahun 1994, penulis menamatkan pendidikan dasar di SD Negeri Mojo 1 Boyolali. Pada tahun 1997 penulis menamatkan pendidikan menengah di SMP Negeri 1 Andong dan pada tahun 2000 lulus dari SMU Batik 1 Surakarta. Melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), penulis diterima untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2000 dan belajar di Fakultas Pertanian, jurusan Arsitektur Lanskap hingga lulus pada tahun 2005. Selanjutnya pada tahun 2008 penulis melanjutkan program master di program studi Teknik Sipil dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Saat ini penulis bertugas di Dinas Tata Ruang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Permasalahan ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.4. Hipotesis ... 5

1.5. Manfaat Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Sungai Ciliwung ... 6

2.2. Longsoran Tebing ... 7

2.3. Stabilisasi Tebing ... 8

2.4. Restorasi Sungai ... 9

2.5. Vegetasi riparian dan floodplain dan pengaruhnya terhadap hidrologi aliran ... 11

2.6. Ekohidraulika Sungai ... 18

METODE PENELITIAN ... 24

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 24

3.2. Metode Penelitian ... 25

3.2.1. Survey Sungai ... 25

3.2.2. Survey Tanaman ... 26

3.2.3. Studi Literatur ... 26

3.2.4. Analisis dan Strategi Restorasi ... 26

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 28

4.1. Gambaran Umum DAS Ciliwung ... 28

4.1.1. Bentuk dan Wilayah DAS Ciliwung ... 28

4.1.2. Pembagian DAS Ciliwung ... 29

(14)

4.2. Sungai Ciliwung di KelurahanSempur ... 33

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

5.1. Batas Sempadan atau Bantaran Sungai ... 35

5.2. Penentuan Tipe Bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur ... 37

5.3. AnalisisKondisi Tebing Sungai, DasarSungai Dan Tata Guna Lahan Pada Bantaran Sungai ... 41

5.3.1. Kondisi Tebing Sungai ... 41

5.3.2. Kondisi Dasar Sungai ... 43

5.3.3. Tata Guna Lahan Pada Bantaran Sungai ... 44

5.3.4. Vegetasi di Bantaran Sungai ... 45

5.4. Analisa Hidraulika Sungai ... 46

5.5. Perhitungan Koefisien Kekasaran ... 55

5.6. Desain Pengelolaan Sungai Berbasis Konsep Ekohidraulika ... 62

KESIMPULAN DAN SARAN ... 70

6.1. Kesimpulan ... 70

6.2. Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 72

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Pengaruh jenis vegetasi di bantaran sungai terhadap run

off ... 12

2. Karakteristik tanaman penguat tebing berdasarkan umur ... 17

3. Penentuan tipe bantaran ... 39

4. Jenis-jenis vegetasi pada bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur ... 45

5. Profil hidraulik Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur ... 46

6. Kedalaman Sungai Ciliwung ... 47

7. Kecepatan aliran sungai pada saat pengukuran ... 48

8. Kecepatan Aliran di lokasi penelitian ... 49

9. Nilai koefisien kekasaran pada kondisi tidak banjir ... 55

10.Nilai koefisien kekasaran berdasarkan jenis kekasaran permukaan ... 57

11.Nilai koefisien kekasaran kumulatif ... 57

12.Simulasi debit banjir di Segmen 1 ... 58

13.Simulasi debit banjir di Segmen 2 ... 58

14.Simulasi debit banjir di Segmen 3 ... 58

15.Simulasi debit banjir di Segmen 4 ... 59

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Bagan perumusan masalah ... 4

2. Desain kanal dua tingkat ... 10

3. Bagian-bagian dari sebuah sistem akar tanaman ... 16

4. Bentuk atau morfologi suatu sistem akar ... 16

5. Kuat tarik dari beberapa jenis tanaman ... 17

6. Integralisasi komponen ekologi-hidraulik (profil sungai) ... 22

7. Peta lokasi penelitian ... 24

8. Tahapan analisis hidraulika ... 25

9. Opsi desain kanal sungai ... 26

10.Penutupan lahan di DAS Ciliwung Tahun 2001 ... 38

11.Tata guna lahan di DAS Ciliwung Tahun 1996 ... 31

12.Tata guna lahan di DAS Ciliwung Tahun 2001 – 2002 ... 31

13.Prosentase tutupan vegetasi dan bangunan ... 39

14.Lokasi Segmen 1 merupakan Tipe C bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur ... 40

15.Lokasi Segmen 2 yang merupakan Tipe B bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur dan Lokasi Segmen 3 yang merupakan Tipe C bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur ... 40

16.Lokasi Segmen 4 yang termasuk dalam Tipe C bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur ... 41

17.Kejadian erosi tebing di Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur ... 42

18.Variasi kondisi dasar sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur ... 43

19.Distribusi tata guna lahan pada bantaran sungai ... 44

20.Sungai Ciliwung di Lokasi Segmen 1 ... 49

21.Sungai Ciliwung di Lokasi Segmen 2 ... 50

22.Sungai Ciliwung di Lokasi Segmen 3 ... 50

23.Sungai Ciliwung di Lokasi Segmen 4 ... 50

24.Penampang melintang Sungai Ciliwung di Segmen 1 ... 51

(17)

26.Penampang melintang Sungai Ciliwung di Segmen 3 ... 53 27.Penampang melintang Sungai Ciliwung di Segmen 4 ... 54 28.Hubungan antara tinggi muka air dengan debit sungai ... 60 29.Hubungan antara koefisien kekasaran eksisting dengan

debit sungai ... 61 30.Desain pengelolaan sungai dengan konsep

ekohidraulika pada bantaran Sungai Ciliwung di

Kelurahan Sempur ... 64 31.Desain pengelolaan sungai dengan konsep

ekohidraulika di lokasi Segmen 1 ... 65 32.Desain pengelolaan sungai dengan konsep

ekohidraulika di lokasi Segmen 2 ... 66 33.Desain pengelolaan sungai dengan konsep

ekohidraulika di lokasi Segmen 3 ... 67 34.Desain pengelolaan sungai dengan konsep

ekohidraulika di lokasi Segmen 4 ... 68 35.Contoh desain pengelolaan sungai dengan konsep

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Debit sungai pada lokasi penelitian ... 76

2. Simulasi debit banjir di Segmen 1 ... 77

3. Simulasi debit banjir di Segmen 2 ... 79

4. Simulasi debit benjir di Segmen 3 ... 81

(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Pemanfaatan sumber daya alam yang semakin meningkat tanpa memperhitungkan kemampuan lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah. Salah satu masalah lingkungan di Indonesia adalah degradasi fungsi ekosistem daerah aliran sungai. Dalam Undang Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air diuraikan bahwa daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

Fungsi ekosistem tersebut sangat penting terhadap ketersediaan sumber daya air. Namun demikian, fungsi ini menurun akibat kegiatan manusia. Peningkatan jumlah DAS kritis yaitu data pada tahun 1984 tercatat 22 DAS yang mencapai status kritis, tahun 1992 meningkat menjadi 39, dan tahun 1998 menjadi 59 DAS. Pada 2005, jumlah DAS yang kritis di Indonesia mencapai 62 DAS dan pada tahun 2008 tercatat sebanyak 291 DAS kritis yaitu di Pulau Jawa sebanyak 116 DAS dari 141 DAS, sedang di luar Pulau Jawa terdapat 175 DAS yang rusak dari 326 DAS (Murtilaksono, 2009).

(20)

dilakukan tindakan koreksi. Fenomena DAS kritis pun menuntut adanya pengelolaan sungai yang tepat sehingga dampak kerusakan lingkungan terhadap kehidupan manusia dapat diperkecil.

Hasil penelitian beberapa kejadian banjir menunjukkan bahwa banjir terjadi apabila lebih dari 60 persen curah hujan tidak dapat disimpan oleh DAS dengan kecepatan aliran permukaan lebih dari 1.2 meter/detik. Penurunan besaran banjir secara bertahap kecepatan aliran permukaan harus diturunkan menjadi lebih kecil dari 0.7 meter/detik agar cukup waktu bagi tanah dan vegetasi untuk menyerap air hujan. Apabila kecepatan limpasan dapat diturunkan menjadi kurang dari 0.1 meter/detik maka air hujan akan menjadi aliran bawah permukaan. Bahkan jika dapat diturunkan lagi menjadi kurang dari 0.01 meter/detik dapat menjadi penyumbang terbentuknya mata air tanah. Untuk menurunkan kecepatan aliran permukaan dan volume limpasan harus dilakukan pemanenan aliran permukaan (run off harvesting) baik secara sipil teknis maupun vegetatif. Supaya penurunan kecepatan aliran permukaan pemanen dan aliran permukaan efektif, maka lahan di zona prioritas harus bervegetasi, sehingga penanaman di zona ini menjadi agenda utama.

Pembangunan sungai dengan konsep hidraulik murni berupa pembetonan dinding dan pengerasan tampang sungai banyak dijumpai di sungai-sungai yang melalui Bogor. Sebagai contoh Sungai Ciliwung yang melewati Kebun Raya Bogor -sungai yang dianggap penyebab banjir di Jakarta- juga tidak luput dari kanalisasi di sepanjang alur sungai. Pola penanganan banjir yang dilakukan dengan mengusahakan air banjir secepat-cepatnya dikuras kehilir, tanpa memperhitungkan banjir yang akan terjadi di hilir, merupakan kesalahan pembangunan alur sungai yang harus dilakukan koreksi.

(21)

penanganan banjir dengan pendekatan Ekohidraulika untuk mengatasi longsoran dapat diterapkan di Sungai Ciliwung, yaitu melihat permasalahan sungai sebagai suatu sistem yang terdiri dari komponen fisik dan non fisik, biotic maupun abiotik, dari hulu sampai hilir sungai.

Setiap kali Jakarta dilanda banjir, Kota Bogor selalu dicap sebagai penyebabnya. Pembangungan hotel dan lapangan golf serta Rumah Potong Hewan di bantaran sungai adalah beberapa kasus perubahan fisik DAS di Kota Bogor. Belum lagi banyaknya perumahan di bantaran dan tebing sungai. Hal ini menyebabkan retensi DAS tersebut berkurang secara drastis. Seluruh air hujan akan dilepaskan DAS ke arah hilir yang pada akhirnya menyebabkan banjir di daerah hilir (Maryono, 2002). Selain itu, kebiasaan warga perumahan di bantaran dan tebing sungai membuang sampah ke sungai menyebabkan pendangkalan sungai. Banjir menyebabkan kerugian materiil yang tidak sedikit sehingga perlu dilakukan tindakan pengelolaan sungai. Sehubungan dengan upaya pengendalian dan pencegahan banjir ini dapat dimulai dengan pengelolaan dan penataan kawasan sungai atau yang dikenal dengan istilah restorasi sungai. Restorasi sungai adalah upaya mengembalikan fungsi-fungsi sungai baik secara fisik, ekologi, sosial maupun ekonomi sehingga menjadi sungai yang alami (nature-like river) dan menyerupai kondisi awalnya dalam rangka mengurangi bahaya banjir dan kerusakan sungai yang lebih parah.

1.2. Rumusan Permasalahan

(22)

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah penelitian adalah : 1. Bagaimana kondisi bantaran sungai yang ada?

2. Seberapa besar muka air banjir, luas genangan yang terjadi serta tata guna lahan pada bantaran sungai?

3. Bagaimana model restorasi bantaran sungai dengan pendekatan konsep ekohidraulika?

Gambaran tentang rumusan masalah dalam penelitian ini secara detail diuraikan pada Gambar 1 :

Gambar 1. Bagan perumusan masalah

1.3.Tujuan Penelitian

a. Mengidentifikasi kerusakan sepanjang bantaran Sungai Ciliwung yang melintas di lokasi Kelurahan Sempur Kota Bogor.

b. Membuat konsep pengelolaan bantaran Sungai dengan pendekatan Ekohidraulika.

TGL pada bantaran sungai Profil hidrolik sungai

Kedalaman, lebar, kemiringan lereng, kemiringan sungai , lebar

genangan

Restorasi sungai dengan konsep ekohidraulika

Model restorasi sungai dengan konsep ekohidraulika

(23)

1.4.Hipotesis

a. Pembangunan Sungai Ciliwung dengan konsep hidraulika murni menyebabkan menurunnya fungsi retensi banjir

b. Ekohidraulika dan eko-engineering dapat diterapkan untuk mengatasi erosi dinding sungai.

c. Kompilasi data fisik dan biologi sungai dapat digunakan untuk membuat perencanaan restorasi Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur

1.5.Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat antara lain sebagai berikut :

a. Manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, sebagai bahan rujukan dan pengkajian lebih lanjut terhadap model restorasi bantaran sungai yang mengintegrasikan aspek sosial ekonomi, ekologi dan teknologi.

b. Sebagai masukan bagi pemerintah daerah untuk landasan pengelolaan sungai secara berkelanjutan.

c. Memberikan data-data yang dibutuhkan untuk melakukan restorasi Sungai Ciliwung di lokasi KelurahanSempur, Bogor

d. Membantu masyarakat Kelurahan Sempur mengatasi erosi dinding Sungai Ciliwung dengan dana yang terjangkau

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sungai Ciliwung

Berdasarkan pemantauan terhadap kualitas air sungai di Indonesia pada tahun 2004 oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup menunjukkan air sungai telah tercampuri dengan limbah domestik, limbah industri, limbah pertanian, dan limbah peternakan. Dari seluruh sungai yang dipantau, hilir Sungai Ciliwung mendapatkan tekanan polusi terberat. Bagian hulu sungai tercemari dengan fecal coli dan total coliform yang melebihi baku mutu yang ditetapkan. Bakteri tersebut berpengaruh sangat besar terhadap status mutu air sungai.Bila parameter itu dapat dikendalikan, status mutu air sungai dapat meningkat menjadi lebih baik. Berdasar parameter biologi (fecal coli dan total coliform), DO (dissolfed oxygen), BOD (biochemical oxygen demand), dan COD (chemical oxygen demand), tidak ada segmen Sungai Ciliwung yang mutu airnya memenuhi kriteria kelas I, yang layak digunakan sebagai air baku untuk air minum.

Sungai Ciliwung dibagi dalam lima segmen menurut wilayah administratif yang dilintasi, yakni segmen 1 (Kabupaten Bogor), segmen 2 (Kota Bogor), segmen 3 (Kabupaten Bogor), segmen 4 (Kota Depok), dan segmen 5 (DKI Jakarta). Pada segmen 1 di titik pemantauan Cisarua (Kabupaten Bogor), air Sungai Ciliwung masuk kriteria kelas II yaitu kualitas airnya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, perikanan, peternakan, dan pertamanan. Pada Segmen 2 (Ciawi, Kota Bogor) dan 4 (Cimanggis, Kota Depok), kondisi kualitas airnya termasuk kelas IV yang pemanfaatannya hanya layak untuk mengairi pertamanan. Segmen 3 di Cibinong (Kabupaten Bogor) berkualitas kelas III, bisa untuk perikanan, peternakan, dan pertamanan. Sedangkan segmen 5 di wilayah DKI Jakarta, tidak termasuk dalam kelas mana pun sehingga tidak layak dimanfaatkan untuk kegiatan apa pun. Dengan teknologi tinggi, kualitas air dapat ditingkatkan.

(25)

di Indonesia yang kondisinya kritis. Proyek percontohan untuk sekitar 19 sungai kritis itu dilakukan pada Sungai Ciliwung, dan sebanyak 12 institusi terkait telah menyepakati sebuah program terpadu peningkatan kualitas air Sungai Ciliwung. Fokus utamanya adalah mengatasi beban pencemaran serta memulihkan dan meluaskan daerah konservasi.

Dalam jangka panjang, menurut rencana induk (master plan) yang disepakati, seluruh segmen Sungai Ciliwung akan menjadi kelas I, yang artinya dapat digunakan sebagai air baku air minum. Namun, dalam 15 tahun ke depan diperkirakan kualitas air kelas I hanya bisa tercapai sampai pada segmen 4 (Kota Depok), dan pada saat itu segmen 5 (DKI Jakarta) baru sampai pada kelas II, baru layak digunakan untuk sarana rekreasi air dan perikanan.

Perlu tambahan sedikitnya lima tahun lagi untuk meningkatkan kualitas air Sungai Ciliwung di Jakarta menjadi kelas I. Itu pun bila pemerintah daerah berhasil membenahi tata ruang, membebaskan bantaran sungai dari permukiman, dan yang lebih penting adalah kesadaran warga untuk tidak membuang sampah ke sungai.

2.2. Longsoran tebing

(26)

2.3. Stabilisasi tebing

Stabilisasi tebing sungai merupakan salah satu cara untuk melihat campur tangan manusia terhadap sungai. Meskipun erosi bersifat alami, tingkat erosi dapat dipercepat oleh kegiatan manusia misalkan dengan menghilangkan tanaman riparian, stabilisasi tebing, atau dengan manipulasi kanal sungai di bagian hulu.Pengukuran untuk menstabilkan tebing dapat diklasifikasikan menjadi 3 kategori; armor, struktur kanal, dan metode vegetasi.

a. Armor

Ada dua bentuk yaitu bank armor dan levees.Bank armor adalah selimut bahan resisten yang ditempatkan sepanjang tebing sungai.Riprap merupakan bentuk yang umum dari bank armor. Jika air menerjang permukaan keras riprap

maka air tersebut tidak dapat membersihkan tebing sungai sehingga erosi tebing ditekan. Levees adalah struktur yang terdiri dari batuan atau material yang dibangun di dataran banjir.Levees mencegah dan menekan erosive force dari aliran banjir.

b. Struktur kanal

Adalah dinding yang dibangun pada sisi aktif dari kanal sungai.Tujuannya untuk menghindarkan sungai dari longsoran tebing. Yang termasuk struktur ini antara lainbarbs, jetties, vanes, dan weirs. Sepintas struktur ini mirip bank armor

karena menggunakan sedikit batuan, tidak terlalu merusak fungsi alami sungai dan habitat riparian, dan lebih banyak dataran banjir yang berfungsi menopang sungai.Akan tetapi efek kanalisasi memberikan dampak yang lebih serius daripada bank armor.

(27)

Kissimmee, Florida yang semula bermeander sepanjang 150Km diluruskan menjadi 70Km menyebabkan kepunahan satwa hingga 75%. Akibat lain yaitu menurunnya kualitas air di Danau Okeechoobee. Pelurusan Sungai Rhine di Eropa menyebabkan hilangnya ikan Salmon.Untuk kasus Indonesia, pelurusan Bengawan Solo di Kab.Sukoharjo telah menyebabkan hancurnya flora dan fauna di riparian sungai, sungai yang terputus menjadi sungai mati tempat bersarangnya nyamuk.Sehingga dalam pengelolaan DAS terpadu yang berwawasan lingkungan hal tersebut tidak sustainable.

c. Metode vegetasi

Yaitu menggunakan batang pohon yang dipasang membentuk sudut sehingga dapat mengalihkan arus sungai menjauh dari tebing. Metode ini juga menstabilkan tebing yang meliputi: rootwads, tree revetments, dan live vegetation. Meskipun rootwads dan tree revetments “lebih halus” dari riprap atau struktur kanal, metode tersebut berprinsip sama yaitu mengganggu fungsi alami sungai untuk mengurangi erosi tebing. Penanaman vegetasi alami riparian adalah tolak ukur terbaik yang selaras dengan fungsi alami sungai.

2.4. Restorasi sungai

Aliran air dalam sistem hidrologi fluvial berperan dalam 4 hal: longitudinal, lateral, vertikal dan temporal. Kanalisasi sungai banyak diterapkan untuk membuat kanal lebih dalam dan lurus untuk memaksimumkan aliran air, mengurangi koneksi lateral antara floodplain/riparian sistem dengan sungai (Huang et al., 2009). Dalam konsep ekohidrologi, pertukaran air antara sungai dan riparian merupakan faktor kunci untuk menjamin fungsi sungai dan ekosistem riparian.Sehingga restorasi yang berlangsung selama ini berusaha untuk membuka dinamika fisik yang selama ini dibeton atau diberi penguat tebing lainya untuk menghubungkan kembali sungai dengan riparian.

(28)

bangunan struktur pada sungai seperti kanalisasi dengan beton, riprap dan sejenisnya.

Huang et al. (2009) melakukan restorasi sungai di GraveCreek, Ohio State University sepanjang 0.8 Km dengan dua tahapan yaitu restorasi kanal sungai (stream restoration) dan restorasi riparian.

a. Restorasi kanal sungai Tahapan restorasi yaitu;

Desain kanal dua tingkat (Gambar 2) untuk restorasi proses alluvial

alami dan menciptakan sistem yang berkelanjutan. Sistem ini dapat memperbaiki fungsi drainase dan fungsi ekologis sekaligus.

Gambar 2.Desain kanal dua tingkat.

Opsi desain kanal yang tergantung pada dimensi sungai dan dimensi area

floodplain. Opsi desain terdiri dari self design dan desain perluasan

floodplain (floodplain expansion design). Maksud dari self design yaitu

floodplain dan kanal sungai terbentuk secara alami tanpa campur tangan manusia. Sedangkan desain yang kedua ada peran manusia untuk merencanakan luasan area floodplain dan kanal.

Desain pola aliran sungai yaitu pemilihan area dimana pola aliran dirancang meandering dan straight pattern

(29)

b. Restorasi riparian

Untuk restorasi riparian diperlukan data historis penggunaan lahan.Selanjutnya survey dilakukan untuk mengetahui tipe tanah, bulk density, dan prosentase bahan organik tanah.

2.5. Vegetasi riparian dan floodplain dan pengaruhnya terhadap hidrologi aliran

Pada bantaran sungai, penutupan vegetasinya spesifik “riparian”,

membentuk satuan ekologik terkecil (Swol, 1986), dipengaruhi oleh bentuk fisiografi dan jenis batuannya (Sandy, 1976).Menurut Hough (1978) bantaran sungai merupakan jalur koridor hijau, di samping merupakan ekoton antara ekosistem daratan dan perairan, juga merupakan ekoton antara ekosistem riparian dengan ekosistem daratan (Hough, 1978; dan Swol 1986).Bantaran sungai dalam lansekap ekologi perkotaan, merupakan elemen struktur lansekap dalam bentuk koridor hijau (vegetasi riparian), selain memberikan manfaat kesejukan dan keindahan (Hough, 1978), juga memainkan pernanan fungsinya atas jasa bio-eko-hidrologis di wilayah perkotaan (Hough, 1978; Forman dan Gordon, 1986).

(30)

Tabel 1. Pengaruh jenis vegetasi di bantaran sungai terhadap run off

Riparian Zone Pengurangan : 100 x (Input - Output)/Input Lebar (m) Vegetasi Sedimen (%) Nitrogen (%) Phosphorus

(%)

4.6*a Herbs 61.0 4.0 28.5

9.2*a Herbs 74.6 22.7 24.2

19.0*b Trees 89.8 74.3 70.0

23.6*a Herbs + tress*c 96.0 75.3 78.5

28.2*a Herbs + Tress*d 97.4 80.1 77.2

Catatan : a) input : sediment 7.3mg/L, nitrogen 14.1 mg/L, phosphorus 11.3 mg/L

b) input : sediment 6.5 mg/L, nitrogen 27.6 mg/L, phosphorus 5.0 mg/L

c) lebar herbs 4.6 m dan poho/tree 19 m

d) lebar herbs 9.2 m dan pohon/tree 19 m

Sumber : Modifikasi dari Lowrance et al. 1995

Vegetasi riparian yang berada di bantaran sungai kian berkurang baik dari jumlah maupun jenisnya akibat berbagai aktivitas manusia.Kegiatan mengendalikan arus sungai seringkali menghilangkan vegetasi riparian ini.Upaya memindahkan arus sungai yang berkelok-kelok hingga menjadi arus lurus telah menyebabkan deforestasi vegetasi riparian (Johnson et al., 1995). Aktivitas lain yang menghancurkan vegetasi riparian yaitu pertambangan, jalan, pembuangan sampah, urbanisasi dan kehutanan (Johnson et al., 1995; Petts, 1996; Salinas et al., 2000;). Upaya menghilangkan rawa banjir untuk mencegah banjir dan pemanfaatan tanah di rawa banjir untuk pertanian turut menghilangkan vegetasi riparian (Sparks, 1995).

(31)

Vegetasi riparian adalah vegetasi yang tumbuh di tepian sungai. Vegetasi ini memiliki banyak fungsi antara lain menjaga kualitas air sungai, habitat kehidupan liar, menjaga longsor dan mengatur pertumbuhan flora akuatik baik tingkat tinggi maupun tingkat rendah. Fungsi vegetasi riparian dalam menjaga kualitas air sungai telah banyak dilaporkan (Bayley, 1995; Binkley et al., 1999; Jones et al., 1999; Loomis et al., 2000; Sparks, 1995). Air yang masuk ke sungai yang berasal dari pertanian dan pemukiman penuh dengan bahan-bahan pencemar misalnya pestisida, pupuk dan minyak. Pencemar tersebut sebelum memasuki sungai akan diserap oleh vegetasi riparian dan diubah menjadi bahan-bahan yang tidak berbahaya. Hal tersebut membantu meningkatkan kualitas air sungai. Dalam hal ini, vegetasi riparian berperan dalam purifikasi alamiah air sungai.

Sayangnya, vegetasi riparian telah hilang sehingga fungsinya sebagai pengendali kualitas air sungai juga turut hilang. Penurunan kualitas air sungai di Indonesia terus terjadi seiring dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan industri. Peningkatan konsentrasi di sungai-sungai juga dapat disebabkan oleh hilangnya tumbuhan yang dapat menyaring pencemar tersebut. Jika vegetasi riparian di bantaran sungai dipertahankan maka kualitas air sungai juga dapat dipertahankan. Kualitas air sungai akan meningkat jika vegetasi riparian juga meningkat. Peningkatan konsentrasi N dan P akibat pupuk dari kegiatan pertanian dan pemukiman terjadi di sungai yang tidak memiliki vegetasi riparian. Kandungan nitrat yang terlalu banyak di air sungai akan membahayakan kesehatan manusia yang meminumnya (Binkley et al., 1999).

Vegetasi riparian juga mengendalikan erosi tebing sungai.Akar tumbuhan yang hidup di tepian sungai mencengkeram tanah di tepian sungai.Vegetasi riparian juga mengendalikan air permukaan. Mekanisme tersebut dapat mencegah longsoran tebing sungai yang sangat sering terjadi saat turun hujan (Jones et al., 1999; Loomis et al., 2000)

(32)

sedimentasi di sungai. Hal ini sangat menguntungkan hewan-hewan seperti ikan yang menyukai dasar sungai tidak berlumpur (Jones et al., 1999; Loomis et al.,2000).

Vegetasi riparian sangat bermanfaat dalam mengatur suhu air dan mengendalikan masuknya cahaya matahari ke sungai (Loomis et al., 2000; Mitsch & Gosselink, 1993). Cahaya yang masuk akan meingkatkan suhu permukaan air sungai. Hal ini sangat membahayakan kehidupan akuatik yang telah beradaptasi dengan suhu rendah.Jika suhu air sungai meningkat maka hanya beberapa hewan saja yang dapat hidup. Peningkatan suhu air akan mengurangi keanekaragaman jenis biota akuatik.

Cahaya matahari sangat dibutuhkan oleh tumbuhan akuatik dan alga untuk kegiatan fotosintesis.Kehadiran vegetasi riparian dapat mengurangi cahaya yang masuk ke sungai.Cahaya menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan organism fotosintetik tersebut.Jika cahaya kurang akibat kehadiran vegetasi riparian maka pertumbuhan organisme fotosintetik dapat dikendalikan. Namun, jika cahaya terlalu banyak maka pertumbuhan organisme tersebut akan sangat cepat (Loomis

et al., 2000). Peningkatan organisme fotosintetik yang berlebihan akan membahayakan kehidupan hewan-hewan akuatik. Organisme fotosintetik akan menghabiskanoksigen terlarut dalam air saat melakukan respirasi. Penurunan oksigen akan merugikan hewan-hewan akuatik seperti ikan yang membutuhkan oksigen dalam melakukan kegiatan metabolisme. Selain itu, oksigen terlarut dengan jumlah sedikit akan mengurangi laju dekomposisi materi organik (Bayley, 1995). Jika hal ini terjadi maka pencemar organik akan sulit diuraikan sehingga akan menurunkan kualitas air sungai.

(33)

1995). Vegetasi riparian juga sangat dibutuhkan hewan-hewan sebagai tempat mencari perlindungan, kawin dan memijah (Jones et al., 1999; Loomis et al., 2000; Mitsch & Gosselink, 1993; Salinas et al., 2000; Sparks, 1995).

Tanaman di daerah riparian berfungsi untuk: memperkaya keragaman hayati, nutrient enrichment (akan menyaring contaminant), mengurangi kecepatan aliran, menciptakan daur makanan dan menyediakan tempat lindung bagi biota

riparian. Akar tanaman di tebing dapat berfungsi sebagai „buttressing’ bagi tanah sehingga partikel tanah dapat tertahan.Mulatsih dan Kirno (2007) menyatakan struktur akar vegetasi dapat berpengaruh pada stabilitas tanah terutama dengan meningkatkan kuat geser tanah melalui perkuatan akar. Kekuatan akar ini tergantung dari jenis akar dan kondisi tanah.

Tanaman sebagai pelindung tebing sungai yang tahan terhadap serangan arus aliran air tergantung salah satunya adalah dari bentuk akar tanaman. Bentuk akar serabut yang berkembang ke dalam akan lebih kuat dari pada akar serabut yang berkembang mengambang di lapisan tanah bagian atas. Bentuk akar tunjang yang berkembang ke dalam akan lebih kuat dari pada akar tunjang yang berkembang yang mengambang di lapisan tanah bagian atas. Jenis tanaman dan bentuk akar tersebut dikriteriakan sbb (Mulatsih dan Kirno, 2007):

a) Rumput Gajah (Pennisetum purpureum), bentuk akar serabut berkembang kedalam

b) Rumput Alang-alang, (Imperata cylindrical), bentuk akar serabut, putih kotor berkembang dan mengambang di lapisan tanah bagian atas

c) Karangkungan (Ipomoea crassicaulis), bentuk akar tunjang berkembang mengambang di lapisan tanah bagian atas

d) Rumput Glagah (Saccharum spontaneum), bentuk akar serabut berkembang kedalam

e) Akar Wangi (Andropogon zizanioides), bentuk akar serabut tumbuh lebat menancap kebawah dapat mencapai ± 3 meter

f) Pandan berduri (Pandanus furcatus), bentuk akar serabut, coklat berkembang mengambang di lapisan tanah bagian atas

(34)

Beberapa istilah khusus telah diambil untuk menjelaskan bagian-bagian dari sebuah sistim akar tanaman. Tap root (akar pokok vertikal) merupakan bagian akar utama vertikal yang letaknya tepat dibawah batang tanaman,

lateral root (akar pokok horisontal) merupakan bagian akar utama dibawah batang namun arahnya horisontal, sedangkan sinker root merupakan bagian akar vertikal yang merupakan percabangan dari akar batang atau akar lateral (Gambar 3). Secara umum akar yang kuat adalah akar yang menerobos dalam ke arah vertikal atau sinker roots yang menembus permukaan geser adalah meningkatkan tingkat stabilitas tanah terhadap sliding. Secara keseluruhan bentuk atau morfologi suatu sistim akar dapat pula dikelompokkan kedalam tiga bentuk dasar akar yaitu bentuk dasar taproot, heartroot dan plateroot (Gambar 4).

Gambar 3. Bagian-bagian dari sebuah sistem akar tanaman (Mulatsih dan Kirno, 2007)

Gambar 4. Bentuk atau morpologi suatu sistem akar (Mulatsih dan Kirno, 2007)

(35)

dipertahankan untuk kesejahteraan manusia.Juga untuk mempertahankan kelestarian hidupan liar yang sangat tergantung pada vegetasi riparian.

Table 2. Karakteristik tanaman penguat tebing berdasarkan umur (Mulatsih dan Kirno, 2007)

No Jenis Tanaman

Umur Tanaman

1 Bulan 3 Bulan 6 Bulan 12 Bulan

Tunas Akar Kuat

Tarik Tunas Akar Kuat

Tarik Tunas Akar Kuat

Tarik Tunas Akar Kuat Tarik (cm) (cm) (kg) (cm) (cm) (kg) (cm) (cm) (kg) (cm) (cm) (kg)

1 Rumput gajah 15 10 24 50 20 75 100 38 100 130 55 115

2 Alang - alang 5 3 3 15 10 7 30 15 14 50 25 21

3 Karangkungan 2 5 4 20 30 13 100 50 20 95 75 32

4 Glagah 1 3 15 35 21 54 100 20 93 115 55 107

5 Akar Wangi 4 7 5 20 30 25 50 55 37 90 76 56

6 Pandan Berduri 6 16 4 19 45 29 50 53 35 83 70 48

7 Pandan Wangi 5 14 4 11 17 12 48 38 28 76 60 42

Mulatsih dan Kirno (2007) telah mengidentifikasi jenis-jenis tanaman penguat tebing berdasarkan kekuatan tarik tanaman.Rumput gajah dan gelagah direkomendasikan sebagai tanaman penguat tebing.Tabel 2 menyajikan karekteristik tanaman dimaksud dan Gambar 5 menyajikan grafik kekuatan tarik tanaman.

[image:35.595.124.504.503.705.2]
(36)

Dataran banjir sungai identik dengan vegetasi riparian. Dataran banjir berikut vegetasi yang kompleks didalamnya berfungsi untuk:

a. Mengurangi tinggi banjir dengan mengurangi, menyimpan, dan melepas perlahan air banjir.

b. Menurunkan kecepatan aliran sungai dan erosi tanah

c. Memperbaiki kualitas air dengan cara menyaring dan mengurangi nutrien, pestisida, garam, sedimen, sampah organik, dan polutan lainnya yang bergerak ke sungai.

d. Menyediakan tempat ikan dan habitat liar yang paling baik

Informasi kecepatan sungai diperlukan untuk menentukan jenis tanaman yang akanditanam di area dataran banjir. Adanya tanaman akan mengurangi kecepatan aliran sungai pada saat aliran tinggi (banjir) sehingga daya rusak banjir dapat dikurangi. Vegetasi pada floodplain dapat menurunkan kecepatan aliran pada kasus aliran tinggi dan memperbaiki pertukaran antara sungai dengan riparian (Huang et al., 2009). Selain bermanfaat untuk memperkuat tebing, tanaman tersebut punya nilai ekonomi antara lain: sebagai pakan ternak (rumput gajah, alang-alang), kayu bakar (Krangkungan), kerajinan tangan (pandan berduri, akar wangi), bahan bumbu masak (pandan wangi).

2.6. Ekohidraulika Sungai

(37)

Paradigma pembangunan sungai pada saat ini belum memperhatikan faktor-faktor lingkungan sebagai masukan yang diperlukan dalam rekayasa strukturnya.Rekayasa pembangunan sungai dirancang hanya berdasarkan kajian-kajian fisik hidraulik tanpa memperhatikan aspek-aspek ekosistem yang berlaku pada sebuah sistem perairan sungai (Maryono, 2005).Kondisi yang ada menunjukkan bahwa upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air sering memberikan dampak berubahnya kondisi fisik sungai dari kondisi alamiahnya.misalnya untuk tujuan pengendalian banjir, alur sungai mungkin harus dipindah atau diluruskan atau diubah slope dasarnya dan dibuat dengan konstruksi beton atau batu kali pada tebing atau dasar sungai.

Dengan adanya permasalahan tersebut di atas, maka dalam pengembangan dan pemanfaatan sumber daya air yang disertai dengan pendirian bangunan-bangunan air pada sungai, perlu dipikirkan upaya-upaya pelestarian alam guna mendukung kelestarian populasi ikan dan organisme perairan lainnya. Dengan laju perkembangan kesadaran lingkungan dan kesadaran berfikir holistik dunia internasional dewasa ini serta ditemukannya berbagai dampak negatif yang sangat besar dari rekayasa hidraulik murni.Maka pola pikir rekayasa hidraulik secara parsial mulai ditinggalkan.Kemudian berkembang pola rekayasa interdisipliner baru dengan memadukan antara rekayasa hidraulik dan pertimbangan ekologi/lingkungan pada setiap penyelesaian masalah keairan. Teknologi atau rekayasa bangunan air yang ramah lingkungan yang mendasarkan pada konsep-konsep eko-hidraulik (eco hydraulics) perlu dikembangkan tanpa mengurangi tujuan pengembangan atau pemanfaatan sumber daya air yang bersangkutan.Untuk tujuan tersebut perlu diupayakan sosialisasi atau pengenalan konsep design bangunan air yang ramah lingkungan kepada masyarakat dan pemerintah, baik daerah maupun pusat, terutama instansi pengelola sungai dan instansi terkait lainnya

(38)

eko-hidraulik ini dipandang sebagai suatu pola pendekatan yang bisa diterima dan serta memiliki efek kelanjutan yang tinggi, karena memasukan faktor ekologi.

Dalam konsep eko-hidraulik tidak ada satu faktor apapun yang tidak penting.Maka diperlukan banyak data pendukung seperti data social, fisik hidraulik, ekologi.Pada konsep hidraulik murni hanya memperhatikan dua unsur yaitu aliran air dan aliran sedimen.Sedangkan pada konsep eko-hidraulik disamping dua itu juga memperhatikan pula komponen vegetasi.Dalam perkembanganya eko-hidraulik, telah menghasilkan rekayasa-rekayasa baru yang dapat digunakan dalam penyelesaian masalah keairan dengan memanfaatkan faktor ekologi yang ada. Penerapan eko-engineering dengan konsep ekohidraulik dapat diterapkan misalnya penanganan longsoran tebing dengan melakukan penanaman bambu, rumput dan karangkungan atau perlindungan tebing dengan menggunakan ikatan batang atau dengan batu tanah yang ada. Dan bisa juga dengan menggunakan bending rendah pada dasar sungai dengan kayu mati yang akan membuat menurunnya tingkat erosi di dasar sungai.

Dalam kaitan dengan eko-hidraulik, konservasi atau pemeliharaan sungai didefinisikan sebagai upaya untuk menjaga keberlangsungan mekanisme ekosistem sungai (perpaduan antara habitat dan organisme sungai) secara mikro maupun secara makro dari hulu hingga hilir, sehingga sungai dapat bermanfaat dan dimanfaatkan secara berkelanjutan. Komponen yang menjadi dasar dalam pemeliharaan sungai terdiri dari:

1. Komponen hidraulik, meliputi berbagai hal yang berhubungan dengan aliran air dan sedimen. Misalnya yang paling dominan adalah debit aliran, kecepatan aliran, tinggi permukaan, tekanan air, turbulensi makro, distribusi kecepatan mikro pada lokasi tertentu dan lain-lain. Dalam konsep eko hidraulik aliran bukan hanya berhububungan energi potensial tetapi juga dengan flora dan fauna di sekitar sungai dan juga mata air di sekitar sungai

2. Komponen sedimen dan morfologi sungai semua sedimen yang ada di sungai termasuk sedimen organik dan anorganik

(39)

4. Komponen sosial, yaitu persepsi masyarakat yang ada disekitar bantaran sungai terhadap komponen-komponen di atas pemeliharaan sungai intergratif.

(40)
[image:40.595.56.517.83.527.2]

Gambar 6. Integralisasi komponen ekohidraulika (profil sungai)

Gambaran berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa restorasi sungai dengan pendekatan ekohidraulika dapat diterapkan dengan penanaman vegetasi pada bantaran sungai. Hal ini akan mempengaruhi fungsi ekologi sungai, sebagaimana diuraikan oleh Newson (2002) menguraikan bahwa hidromorfologi ekosistem sungai merupakan unsur dinamis. Dinamika dari kondisi fisik habitat fluktuatif mempengaruhi kawasan bantaran sungai (river bed and bank), hidrolika saluran, aliran permukaan, aliran dasar dan angkutan sedimen. Peningkatan dan restorasi habitat pada bantaran sungai akan meningkatkan stabilitas sungai dan

Integralistik

Ekologi dan

Hidraulik

Kimia Fisik Hidraulik

Biologi

Sosial

1. Karakteristik fisik sungai dan perubahannya

2. Profil melintang dan memanjang

3. Topografi alur dan dasar sungai

4. Fluktuasi debit, muka air, sedimen

5. Sempadan sungai (bantaran banjir, longsor,

ekologi, dan bantaran keamanan)

6. Karakteristik hujan – aliran

1. BOD, COD, pH, CT, Fe, Mn, dll

2. Sumber limbah cair dan padat

3. Frekuensi debit limbah cair dan volume limbah

padat

1. Jenis, formasi dan jumlah flora atau vegetasi

2. Jenis dan jumlah fauna pada sempadan sungai

3. Jenis dan jumlah fauna pada badan sungai

1. Permukiman dan aktivitas terkait dengan sungai

2. Sosial, ekonomi dan budaya masyarakat

(41)

pola meandering. Sehingga kontribusi geomorfologis dalam pengelolaan sungai akan mempengaruhi pola aliran dan angkutan aliran.

(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

[image:42.595.111.520.301.652.2]

Penelitian terdiri dua bagian; survey lapangan dan pengukuran. Survey lapang dilakukan di Sungai Ciliwung yang melewati Kelurahan Sempur, Bogor sepanjang ± 1 km. Pengambilan data di lapangan antara lain untuk pengambilan sampel tanah, pengukuran kecepatan aliran sungai, pengukuran kedalaman sungai, pengukuran lebar sungai untuk pembuatan profil hidraulik sungai dan perhitungan faktor friksi tanaman.

(43)

3.2.Metode Penelitian 3.2.1. Survey sungai

Profil hidraulik sungai dianalisis dengan tujuan untuk memperoleh gambaran tentang luas penampang sungai pada potongan tertentu, kecepatan air dan debit.Hasil perhitungan profil tersebut dapat dijadikan dasar dalam penentuan luas areal banjir dan muka air banjir pada sungai.

Potongan melintang sungai diukur dengan menggunakan theodolith dan water pass, sedang kecepatan air diukur dengan menggunakan current meter

sebanyak tiga kali pada setiap lokasi. Informasi tinggi muka air secara cepat dapat diamati dari bekas genangan yang terjadi.

[image:43.595.114.537.379.691.2]

Analisis hidraulika dilakukan untuk memperoleh muka air banjir untuk berbagai periode di setiap lokasi penelitian.Adapun tahapan yang dilakukan pada analisis disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Tahapan analisis hidraulika

Perhitungan Luas Penampang

Sungai

Data :

 Lebar sungai

 Kedalaman sungai

Sungai  Tinggi tanggul

Perhitungan geometri Luas Penampang sungai (A) (Rumus Manning)

Nilai koefisien kekasaran untuk setiap titik

pembacaan Simulasi

kapasitas banjir Perhitungan kecepatan air (V)

Pengukuran kecepatan air aktual menggunakan current meter

Perhitungan kapasitas sungai

(44)

3.2.2. Survey tanaman

Survey dilakukan untuk mendapatkan informasi jenis tumbuhan lokal yang hidup di daerah riparian dan floodplain Sungai Ciliwung. Jenis vegetasi pelindung tebing yang dipilih dapat memenuhi kriteria yang disebutkan oleh Mulatsih dan Kirno (2007) yaitu: ada manfaat ekonomi, kemudahan mencari bibit, tingkat ketahanan hidup, dan fisik tanaman termasuk bentuk akar yang terkait dengan kuat tarik terhadap serangan arus sungai.

3.2.3. Studi literatur

Dilakukan untuk mengetahui kekuatan tarik tanaman tertentu.Mulatsih dan Kirno (2007) merekomendasikan rumput gajah dan gelagah untuk penguat tebing di Kali Andong Bengawan Solo. Informasi tentang flow resistance akan dikompilasi dari publikasi ilmiah terutama untuk kasus Indonesia.

3.2.4. Analisis dan strategi restorasi Opsi desain kanal

Gambar 9 menyajikan opsi pilihan desain kanal yang akan direkomendasikan.

Gambar 9. Opsi desain kanal sungai

Pemilihan vegetasi

(45)

pengembangan daerah Kelurahan Sempur, tanaman non-lokal yang bernilai ekonomi tinggi juga dapat dikembangkan dengan syarat menyesuaikan karakter lokal seperti dinamika aliran, iklim mikro dan jenis tanah. Tanaman yang dipilih harus dapat mengurangi kecepatan arus pada saat banjir.

(46)

BAB IV

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum DAS Ciliwung 4.1.1. Bentuk dan Wilayah DAS Ciliwung

[image:46.595.157.475.398.697.2]

DAS Ciliwung dari mulai hulu sampai titik patusan di Teluk Jakarta meliputi areal seluas 347 km2. Panjang sungai utamanya adalah 117 km. Menurut toposekuensnya DAS Ciliwung dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: hulu, tengah dan hilir, masing-masing dengan stasiun pengamatan arus sungai di Bendung Katulampa Bogor, Ratujaya Depok, dan Pintu Air Manggarai Jakarta Selatan (Pawitan, 2002). Masing-masing bagian tersebut mempunyai karakteristik fisik, penggunaan lahan, dan sosial ekonomi masyarakat yang sedikit banyak berbeda. Distribusi penutupan lahan di DAS Ciliwung dapat dilihat pada Gambar 10 yang diperoleh berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat ETM tahun 2001 oleh Fakultas Kehutanan IPB.

(47)

Berdasarkan wilayah administrasi, DAS Ciliwung (dari hulu sampai hilir) melingkupi Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, dan Propinsi DKI Jakarta dengan deliniasi wilayah sebagai berikut :

a. Bagian hulu DAS Ciliwung sebagian besar termasuk wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan Megamendung, Cisarua dan Ciawi) dan sebagian kecil Kota Bogor (Kecamatan Kota Bogor Timur dan Kota Bogor Selatan).

b. Bagian tengah DAS Ciliwung termasuk wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan Sukaraja, Cibinong, Bojonggede dan Cimanggis), Kota Bogor (Kecamatan Kota Bogor Timur, Kecamatan Bogor Tengah, Kecamatan Bogor Utara, dan Tanah Sareal) dan Kota Administratif Depok (Kecamatan Pancoran Mas, Sukmajaya dan Beji).

c. Bagian hilir sampai dengan Pintu Air Manggarai termasuk wilayah administrasi Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat, lebih ke hilir dari Pintu Air Manggarai, termasuk saluran buatan Kanal Barat, Sungai Ciliwung ini melintasi wilayah administrasi Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Utara.

4.1.2. Pembagian DAS Ciliwung 1. Bagian Hulu DAS Ciliwung

Bagian hulu DAS Ciliwung mencakup areal seluas 146 km2 yang merupakan daerah pegunungan dengan elevasi antara 300 m sampai 3.000 m dpl. Di bagian hulu paling sedikit terdapat 7 Sub DAS, yaitu: Tugu, Cisarua, Cibogo, Cisukabirus, Ciesek, Ciseuseupan, danKatulampa. Bagian hulu dicirikan oleh sungai pegunungan yang berarus deras, variasi kemiringan lereng yang tinggi, dengan kemiringan lereng 2-15% (70,5 km2 ), 15-45% (52,9km2), dan sisanya lebih dari 45%. Di bagian hulu masih banyak dijumpai mata air yang bergantung pada komposisi litografi dan kelulusan batuan.

2. Bagian Tengah DAS Ciliwung

(48)

Cikumpay dan Ciluar, yang keduanya bermuara di sungai Ciliwung. Bagian tengah Ciliwung didominasi area dengan kemiringan lereng 2-15%.

3. Bagian Hilir DAS Ciliwung

Bagian hilir sampai stasiun pengamatan Kebon Baru/Manggarai mencakup areal seluas 82 km2 merupakan dataran rendah bertopografi landai dengan elevasi antara 0 m sampai 100 m dpl. Bagian hilir didominasi area dengan kemiringan lereng 0-2 %, dengan arus sungai yang tenang. Bagian lebih hilir dari Manggarai dicirikan oleh jaringan drainase, yang sudah dilengkapi dengan Kanal Barat sebagai penangkal banjir berupa saluran kolektor. Dalam kondisi demikian batas DAS menjadi tidak tegas.

4.1.3. Penggunaan Lahan

Kondisi penggunaan lahan, dalam hal ini tingkat penutupan lahan merupakan indikator penting dalam mengenali kondisi keseluruhan DAS. Hal ini berkaitan dengan terpeliharanya daerah resapan air, pengurangan aliran permukaan serta pengendalian erosi saat musim penghujan dan mencegah kekeringan saat musim kemarau.

(49)

Gambar 11. Tata guna lahan di DAS Ciliwung Tahun 1996

Sedangkan berdasarkan penggunaan lahan tahun 2001-2002, jenis pemanfaatan lahannya semakin bertambah yaitu antara lain sawah, tegalan, perkebunan, kebun campuran, hutan, pemukiman, dan kawasan industri. Pada tahun 2001, daerah pemukiman masih merupakan penggunaan lahan terluas dari DAS Ciliwung namun prosentasenya meningkat drastis yaitu menjadi 64%, sedangkan luasan hutan menurun secara drastis yaitu menjadi hanya 0,17%. Prosentase penggunaan lahan pada tahun 2001-2002 dapat dilihat dalam Gambar 12 berikut.

(50)

Karena setiap tipe penggunaan lahan mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menginfiltrasikan (meresapkan) air hujan ke dalam tanah, maka jumlah air hujan yang meresap ke dalam tanah dan yang mengalir di atas permukaan tanah akan berbeda pada setiap tipe penggunaan lahan. Proporsi air hujan yang mengalir di atas permukaan tanah pada setiap penggunaan lahan dikenal dengan istilah koefisien aliran permukaan atau koefisien limpasan.Besarnya koefisien aliran permukaan itu memang masih dipengaruhi oleh tipe tanah dan pengelolaan (manajemen) lahan. Perbedaan manajemen lahan dan permukaan lahan, menyebabkan nilai koefisien limpasan di daerah permukiman berkisar dari 25-40 % di pinggiran kota dan pedesaan, 35-70 % di perkotaan, 50-90 % di daerah industri, 50-95 % di daerah perkotaan dan perdagangan. Di daerah pertanian besarnya koefisien limpasan berkisar 21-65 %, daerah penggembalaan 17-23 %, dan di daerah hutan adalah 2-15 %.Berdasarkan luas dan nilai koefisien limpasan daerah permukiman adalah yang terbesar, maka kontribusi daerah permukiman adalah yang terbesar mengakibatkan banjir Ciliwung, disusul oleh daerah pertanian (tegalan dan kebun campuran).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh mahasiswa PS DAS IPB melalui simulasi model, dengan data penggunaan lahan tahun 1996 dan curah hujan 88 mm pada 11 Februari 1996, maka debit Stasiun Katulampa hanya 205 m3 debit di Stasiun Ratujaya 320 m3dan debit diStasiunManggarai383m3.Data tersebut menunjukkan bahwa kontribusi bagian hulu sekitar 33 %, tengah 35 %, dan hilir 32 %.

Proyeksi penggunaan lahan sampai tahun 2012 yang didasarkan pada kecenderungan perubahan 1990-1996 menunjukkan bahwa daerah permukiman akan meningkat menjadi 48 %, tetapi kebun campuran dan tegalan menurun menjadi hanya 12 % dan 17 %. Hal ini akan meningkatkan koefisien limpasan meningkat menjadi 48 % di bagian hulu, 60 % di bagian tengah, dan 65 % di bagian hilir.

(51)

akan mengakibatkan kontribusi bagian tengah DAS terhadap banjir Jakarta semakin besar. Apabila tidak ada inisiatif mengatasi perubahan itu, maka aliran Ciliwung akan menjadi lebih tidak terkendali. Jakarta dapat terhindar dari amukan banjir yang lebih dahsyat dengan cara Sungai Ciliwung harus diatur dengan debit aliran di Stasiun Ratujaya Depok tidak melebihi 350 m3.

4.2. Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur

Kelurahan Sempur merupakan salah satu wilayah yang yang dilalui oleh Sungai Ciliwung.Pada beberapa kejadian banjir Sungai Ciliwung, Kelurahan Sempur termasuk wilayah yang memiliki dampak yang paling parah karena melintasi perkampungan, perumahan padat, dan pemukiman-pemukiman kumuh.Sepanjang kanan kiri Sungai Ciliwung yang melintas di Sempur sebagian besar adalah pemukiman padat penduduk.Dari masa ke masa, jumlah penduduk yang bermukim dan berusaha di sepanjang tepian Ciliwung tersebut terus tumbuh dan berkembang.Kini, daya dukung Ciliwung bagi kehidupan manusia yang hidup di sepanjang tepiannya tampaknya sudah melampaui ambang batas.Okupasi lahan bahkan sampai ke badan sungai yang dipastikan bakal dibanjiri air kala sungai meluap pada musim hujan.

Sungai Ciliwung yang melintas di Kelurahan Sempur sudah tidak memiliki bantaran sungai yang ideal.Bantaran sungai di sebelah sisi timur Sungai Ciliwung ini telah penuh dengan perumahan padat penduduk. Sedangkan bantaran sebelah barat Sungai Ciliwung hanya sekitar 1 meter. Hasil survey yang dilakukan menunjukkan sungai Ciliwung ini pun telah mengalami banyak yang mengalami penyempitan dan pendangkalan yang mengakibatkan Sungai Ciliwung memiliki potensi terbesar penyebab banjir.Dinding atau tebing sungaipun banyak yang telah mengalami penggerusan dikarenakan aliran yang deras. Dari sisi kualitas air, air sungai itu bahkan tak layak lagi dipakai untuk konsumsi sehari-hari (mandi, cuci dan sanitasi) .

(52)
(53)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Batas Sempadan atau Bantaran Sungai

Dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dinyatakan bahwa sungai merupakan salah satu bentuk alur air permukaan yang harus dikelola secara menyeluruh, terpadu berwawasan lingkungan hidup dengan mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian sungai harus dilindungi dan dijaga kelestariannya, ditingkatkan fungsi dan kemanfaatannya, dan dikendalikan dampak negatif terhadap lingkungannya. Dalam rangka mewujudkan kemanfaatan sungai serta mengendalikan kerusakan sungai, perlu ditetapkan garis sempadan sungai, yaitu garis batas perlindungan sungai. Garis sempadan sungai ini selanjutnya akan menjadi acuan pokok dalam kegiatan pemanfaatan dan perlindungan sungai serta sebagai batas permukiman di wilayah sepanjang sungai.

Lebar sempadan sungai, dapat ditentukan berdasarkan hitungan banjir rencana dan berdasarkan kajian fisik ekologi, hidraulik dan morphologi sungai langsung di lapangan. Penentuan lebar sempadan sungai dengan metode banjir rencana pada umumnya mengalami kesulitan implementasi di masyarakat, karena masyarakat kesulitan dalam memahami arti hitungan banjir rencana. Sementara di era otonomi, pihak yang berwenang tidak dapat mengimplementasikan segala sesuatu tanpa persetujuan masyarakat. Penentuan berdasarkan data ekologi, morphologi dan hidraulik, dapat lebih mudah dimengerti oleh masyarakat, karena batasan morphologi, ekologi dan hidraulik dapat dilihat secara langsung di lapangan.

(54)

penertiban terutama akibat keberadaan pengembangan bangunan-bangunan yang dapat berakibat terganggunya daerah aliran air dalam saluran. Perlindungan terhadap sempadan sungai dilakukan untuk melindungi fungsi sungai darikegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kondisi sungai serta mengamankan aliran sungai.

Dalam peraturan tersebut, pada Bagian Kedua tentang Kawasan Perlindungan Setempat Paragraf 2 tentang Sepadan Sungai Pasal 14 menyatakan bahwa kriteria sempadan sungai untuk wilayah Provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut :

1. Sekurang-kurangnya 5 meter diukur dari sebelah luar sepanjang kaki tanggul pada sungai bertanggul di kawasan perdesaan dan sekurang-kurangnya 3 meter diukur dari sebelah luar sepanjang kaki tanggul pada sungai bertanggul di kawasan perkotaan;

2. Sekurang-kurangnya 10 meter dihitung dari tepi sungai untuk sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan yang mempunyai kedalaman tidak lebih besar dari 3 meter;

3. Sekurang-kurangnya 15 meter dihitung dari tepi sungai untuk sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan yang mempunyai kedalaman lebih besar dari 3 meter sampai dengan 20 meter;

4. Sekurang-kurangnya 30 meter dihitung dari tepi sungai untuk sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan yang mempunyai kedalaman maksimum lebih dari 20 meter;

5. Sekurang-kurangnya 100 meter dari tepi sungai untuk sungai yang terpengaruh pasang surut air laut;

6. Garis sempadan sungai tidak bertanggul yang berbatasan dengan jalan, adalah tepi bahu jalan yang bersangkutan.

(55)

sempadan sebelah kiri sungai, pada daerah ini sudah tidak memiliki sempadan sungai karena bangunan berdiri secara langsung di tepi sungai. Sedangkan sempadan di sebelah kanan meskipun masih memiliki sempadan sungai sekitar 2 meter sampai dengan 3 meter, namun tetap tidak memenuhi kriteria sempadan menurut peraturan tersebut.

5.2. Penentuan Tipe Bantaran Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur

Sempadan sungai atau bantaran sungai merupakan kawasan (buffer) penyangga daerah pengelolaan air berfungsi sebagai tanggul sungai, berada pada kanan dan kiri badan sungai. Penutupan vegetasinya spesifik riparian, membentuk satuan ekologik terkecil (Swol, 1986), dipengaruhi oleh bentuk fisiografi dan jenis batuannya. Bantaran sungai merupakan jalur koridor hijau, di samping merupakan ekoton antara ekosistem daratan dan perairan, juga merupakan ekoton antara ekosistem riparian dengan ekosistem daratan (Swol 1986).

Terganggunya ekositem bantaran sungai menyebabkan peranan fungsinya terganggu, pada hal seperti halnya hutan, komunitas vegetasi riparian secara teoritis berfungsi sebagai pusat terjadinya keanekaragaman genetik, dan tempat berlangsungnya evolusi secara alamiah. Lebih jauh bahwa dampak penting pengembangan wilayah terhadap kondisi fisik bantaran sungai menyebabkan perubahan-perubahan terhadap habitat dan proses-proses yang terjadi di dalamnya. Perubahan yang terjadi dicirikan oleh bentuk-bentuk degradasi habitat, akibat okupasi penduduk seperti yang terjadi di bantaran sungai.

Dalam penelitian ini, daerah penelitian yaitu Sungai Ciliwung yang mengalir melewati Kelurahan Sempur sepanjang 1 km dibagi menjadi 4 segmen wilayah penelitian. Pembagian ini didasarkan pada wilayah yang lebih hulu sampai ke hilir dari Sungai Ciliwung yang mengalir di Kelurahan Sempur. Adapaun keempat segmen tersebut adalah :

1. Segmen 1, yaitu wilayah antara Jembatan Jl. Jalak Harupat sampai dengan Jembatan Lebak Kantin;

(56)

3. Segmen 3, yaitu wilayah antara Jembatan Sempur Kidul sampai dengan Jembatan Sempur Kaler;

4. Segmen 4, yaitu wilayah antara Jembatan Sempur Kaler sampai dengan Lebak Pilar.

Selanjutnya pada bantaran Sungai Cilliwung yang melintas di Kelurahan Sempur dapat dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan penutupan vegetasi yang berbeda. Hal ini didasarkan pada pendapat yang menyebutkan bahwa terkendalinya neraca keseimbangan air sangat ditentuk

Gambar

Table 2. Karakteristik tanaman penguat tebing berdasarkan umur (Mulatsih dan
Gambar 6. Integralisasi komponen ekohidraulika (profil sungai)
Gambar 7. Peta lokasi penelitian
Gambar 8. Tahapan analisis hidraulika
+7

Referensi

Dokumen terkait

DAFTAR NAMA GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM KABUPATEN SAROLANGUN DI LINGKUNGAN KANWIL KEMENTERIAN AGAMA PROVINSI JAMBI.. SEMESTER

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan P5 (Vermikompos berbahan aditif campuran daun mimba + daun papaya dengan cara dibenamkan dalam tanah dengan dosis 100

Hau da, Estatu mailan kooperatiben kopuru absolutua, eta hauek enpresari kopuruarekiko (oroko- rrean, eta pertsona juridikoak diren enpresariekiko) suposatzen duten por-

Selain itu, mendata titik mata air sekitar bantaran Sungai Ciliwung, mengedukasi masyarakat sekitar bantaran sungai tentang pentingnya menjaga Sungai Ciliwung hingga di

1. Mendeskripsikan penerapan pendekatan realistik mata pelajaran matematika materi pokok menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan KPK dan FPB siswa kelas V MI

fasciculatum terhadap pertumbuhan tanaman Euphorbia milii (tinggi tanaman, berat kering tanaman serta pembentukan bunga) yang ditumbuhkan pada media mengandung logam Pb

Gagasan John Rawls tentang keadilan sebagai fairness memuat persoalan kesempatan yang adil sekaligus membatasi ketidakadilan ekonomi dan sosial bagi anggota masyarakat yang