• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Tertinggal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Tertinggal"

Copied!
268
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan dalam

melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran

utama keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari

perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode berikutnya.

Kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat,

yang disebabkan oleh faktor-faktor produksi yang selalu mengalami pertambahan

dalam jumlah dan kualitasnya. Menurut Sukirno (2004) dalam analisis makro,

tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh suatu negara diukur dari

perkembangan pendapatan nasional riil yang dicapai suatu negara/daerah.

Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan

nasional yang dilaksanakan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kemajuan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan di setiap daerah

menjadi perhatian pemerintah karena pada dasarnya pertumbuhan ekonomi

nasional merupakan agregasi pertumbuhan ekonomi daerah. Pertumbuhan

ekonomi antardaerah di Indonesia sangat beragam. Keragaman tersebut menjadi

salah satu faktor yang memunculkan konsepsi daerah maju-tertinggal.

Pemberlakuan UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan

UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

(2)

2

dengan UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004, memberikan kewenangan yang

lebih besar kepada pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan dan

keuangan daerah. Otonomi daerah mempunyai tujuan dalam rangka mencapai

kemandirian daerah dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan. Hal

tersebut dimaksudkan bahwa daerah lebih mengerti kondisi daerahnya sehingga

pembangunan daerah akan dapat difokuskan pada prioritas kebutuhan dan potensi

yang dimiliki daerah masing-masing.

Selama sepuluh tahun pelaksanaan otonomi daerah, masih banyak daerah

yang dikategorikan sebagai daerah tertinggal (36,82 persen dari 497

kabupaten/kota se-Indonesia). Informasi tersebut berdasarkan SK Menteri

Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor 44/KEP-M-PDT/2010. Pada Gambar 1.1

dapat dilihat bahwa Pulau Sumatra memiliki paling banyak daerah tertinggal

(25,14 persen), diikuti oleh Pulau Sulawesi dan Papua masing-masing 19,13

persen dan 18,58 persen.

Sumber: Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, 2010 (diolah)

Gambar 1.1. Persentase Jumlah Daerah Tertinggal Menurut Pulau

(3)

3

Masih banyaknya kabupaten di Pulau Sumatra yang tergolong sebagai

daerah tertinggal patut menjadi perhatian. Daftar 22 daerah tertinggal di Pulau

Sumatra yang menjadi fokus penelitian pada Lampiran 1. Kondisi perekonomian

22 daerah tertinggal di Sumatra jika dibandingkan dengan angka nasional relatif

kecil. Rata-rata Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga

konstan (ADHK) 22 daerah tertinggal sangat kecil, bahkan hanya sekitar 33

persen dari rata-rata daerah secara nasional. Pertumbuhan ekonominya juga relatif

lebih kecil dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Pada tahun

2007, pertumbuhan ekonomi daerah tertinggal sebesar 6,2 persen, lebih rendah

dibandingkan pertumbuhan nasional yang sebesar 6,28 persen. Perbedaan ini

mengindikasikan bahwa masih terjadi ketimpangan pembangunan ekonomi yang

cukup besar antardaerah.

Tabel 1.1. Perbandingan Rata-rata PDRB ADHK dan Pertumbuhan Ekonomi di 22 Kabupaten Tertinggal dengan Nasional Tahun 2007-2009

Tahun

Rata-rata PDRB ADHK (Miliar Rp)

Pertumbuhan Ekonomi (persen)

Tertinggal Nasional Tertinggal Nasional

2007 1.352,45 4.281,21 6,20 6,28

2008 1.429,45 4.591,57 5,69 6,43

2009 1.508,31 4.794,41 5,52 4,74

Sumber: BPS, 2007-2009 (diolah)

Menurut hasil studi Bappenas (2007), perbedaan kondisi karakteristik

daerah tertinggal dengan daerah maju merupakan penyebab bervariasinya

keberhasilan pembangunan antar daerah. Pada umumnya kabupaten tertinggal

(4)

4

alam dan sumber daya manusia yang terbatas, keterbatasan sarana dan prasarana,

serta merupakan daerah rawan bencana atau konflik.

Pada Gambar 1.2 memperlihatkan keragaman karakteristik di antara 22

kabupaten tertinggal. Daerah tertinggal yang akses dari dan menuju daerah

tersebut tergolong masih sulit masih sebesar 45,45 persen, Separuh kabupaten

merupakan daerah rawan bencana sehingga menghambat pembangunan bahkan

merusak fasilitas yang telah dibangun. Sejumlah 72,73 persen kabupaten

mempunyai Sumber Daya Alam (SDA) yang minimal dan belum dikelola dengan

baik. Kualitas SDM di 21 kabupaten (95,45 persen) masih di bawah angka Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) nasional.

Sumber: BPS (2008 dan 2010), diolah

Gambar 1.2. Persentase Daerah Berdasarkan Karakteristik di 22 Kabupaten Tertinggal

Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, salah satu cara yang dapat

dilakukan daerah tertinggal adalah dengan meningkatkan belanja pemerintah

daerah. Sodik (2007) mengemukakan bahwa belanja pemerintah daerah (baik

belanja rutin maupun pembangunan) berpengaruh signifikan terhadap

(5)

5

pertumbuhan ekonomi. Belanja pemerintah daerah merupakan bentuk

rangsangan/stimulus yang dilakukan untuk memacu perkembangan perekonomian

daerah.

Kontribusi belanja pemerintah daerah terhadap PDRB berkisar antara

20-25 persen, berbeda dengan nasional yang hanya sembilan persen terhadap PDB.

Campur tangan pemerintah daerah yang masih besar sesuai dengan tahap

perkembangan pengeluaran pemerintah oleh Musgrave, yang masih berada di

tahap awal perkembangan. Pengelolaan keuangan pemerintah daerah tidak saja

mencerminkan arah dan pencapaian kebijakan fiskal dalam mendorong

pembangunan di daerah secara umum, tetapi juga menggambarkan sejauh mana

tugas dan kewajiban yang diembankan pada pemerintah daerah dalam konteks

desentralisasi fiskal itu dilaksanakan. Hasil pertumbuhan ekonomi diarahkan agar

dapat dinikmati masyarakat sampai di lapisan paling bawah, baik dengan

sendirinya maupun dengan campur tangan pemerintah.

Belanja pemerintah daerah masih didominasi dengan belanja

rutin/pegawai sebesar 45 persen, sedangkan belanja modal hanya 22 persen dari

total belanja. Oleh karena itu, peningkatan volume keuangan daerah belum

optimal digunakan untuk pembangunan. Menurut alokasi fungsi belanja tahun

2010 pada Gambar 1.3, yang terbesar adalah belanja fungsi pelayanan umum

yaitu 36 persen, yang terendah sebesar 8 persen merupakan belanja fungsi

kesehatan. Belanja pemerintah daerah untuk fungsi pendidikan sudah cukup tinggi

sebesar 26 persen, sedang untuk fungsi ekonomi masih 10 persen dari total

(6)

6

Sumber: Kementrian Keuangan, 2010 (diolah)

Gambar 1.3. Rata-rata Alokasi Belanja Daerah Menurut Fungsi Tahun 2010

1.2. Perumusan Masalah

Pemerintah merumuskan kegiatan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dalam rangka mempercepat pembangunan daerah (PP Nomor 32/2011). Hal tersebut bertujuan memberikan akselerasi positif bagi pelaksanaan pembangunan di setiap wilayah, terutama implikasinya bagi daerah tertinggal. Daerah tertinggal memerlukan program-program yang sesuai dengan karakteristik wilayah dan masyarakatnya. Program

yang dicanangkan diharapkan dapat langsung mencapai sasaran permasalahan

yang ada di daerah tersebut.

Perkembangan desentralisasi di Indonesia berimplikasi pada keleluasaan

pemerintah daerah dalam mengelola keuangannya, baik sisi penerimaan maupun

pengeluaran. Menurut Dumairy (1996), anggaran belanja merupakan salah satu

instrumen kebijakan fiskal yang dapat memengaruhi perekonomian melalui fungsi

anggaran dalam alokasi, distribusi, dan stabilisasi.

pelayanan um um 36

pendidikan 26 kesehat an

8 ekonom i

10

(7)

7

Berdasarkan pendekatan Keynes yang mengasumsikan bahwa hubungan

sebab akibat berlangsung dari pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan

ekonomi. Selain itu, penelitian Rahayu (2004) menunjukkan bahwa investasi

pemerintah (yang didekati dari belanja modal/pembangunan) memengaruhi

pertumbuhan ekonomi, sedangkan konsumsi pemerintah tidak berpengaruh

signifikan. Oleh karena itu, kondisi keragaman alokasi pengeluaran/belanja

antardaerah diasumsikan akan memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap

pertumbuhan ekonomi daerah. Berdasarkan hal tersebut, diidentifikasikan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran umum kondisi karakteristik dan perkembangan kinerja

perekonomian di 22 daerah tertinggal.

2. Bagaimana pengaruh belanja per fungsi (sebagai proksi terhadap belanja

maupun investasi pemerintah daerah) terhadap kinerja pembangunan

(pertumbuhan ekonomi) di 22 daerah tertinggal.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan, maka ditetapkan

tujuan penulisan sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan kondisi karakteristik dan perkembangan kinerja

perekonomian 22 daerah tertinggal di Pulau Sumatra.

2. Menganalisis pengaruh belanja pemerintah daerah per fungsi (sebagai proksi

(8)

8

kinerja pembangunan daerah (pertumbuhan ekonomi) pada 22 daerah

tertinggal di Pulau Sumatra.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai

pihak terutama pemerintah daerah tertinggal, dalam mengambil kebijakan yang

dapat memberikan kemajuan pembangunan dalam rangka percepatan dan

pengentasan daerahnya. Pengalokasian belanja daerah lebih mendasarkan pada

pengembangan ekonomi lokal dan infrastruktur sebagai modal untuk dapat

(9)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teori

2.1.1. Pembangunan Ekonomi

Pembangunan dapat dimaknai sebagai sesuatu yang berubah menjadi lebih

baik. Pembangunan ekonomi menurut Todaro dan Smith (2006) adalah suatu

proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan

memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan

fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara dan pemerataan pendapatan

bagi penduduk suatu negara.

Selanjutnya pembangunan ekonomi diartikan sebagai suatu proses yang

menyebabkan pendapatan perkapita penduduk meningkat dalam jangka panjang.

Terdapat tiga elemen penting yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi,

yaitu:

a. Pembangunan sebagai suatu proses. Pembangunan sebagai suatu proses,

artinya bahwa pembangunan merupakan suatu tahap yang harus dijalani oleh

setiap masyarakat atau bangsa. Setiap bangsa harus menjalani tahap-tahap

perkembangan untuk menuju kondisi yang adil, makmur, dan sejahtera.

b. Pembangunan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan pendapatan perkapita.

Sebagai suatu usaha, pembangunan merupakan tindakan aktif yang harus

dilakukan oleh suatu negara dalam rangka meningkatkan pendapatan

(10)

10

pemerintah, dan semua elemen untuk berpartisipasi aktif dalam proses

pembangunan. Hal ini dilakukan karena kenaikan pendapatan perkapita

mencerminkan perbaikan dalam kesejahteraan masyarakat.

c. Peningkatan pendapatan perkapita harus berlangsung dalam jangka panjang.

Suatu perekonomian dapat dinyatakan dalam keadaan berkembang apabila

pendapatan perkapita dalam jangka panjang cenderung meningkat. Akan

tetapi, hal ini bukan berarti bahwa pendapatan perkapita harus mengalami

kenaikan terus-menerus.

Ada beberapa faktor yang memengaruhi pertumbuhan dan pembangunan

ekonomi. Menurut Jhingan (2000), pada hakikatnya faktor-faktor tersebut dapat

dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor ekonomi dan faktor nonekonomi. Faktor

ekonomi yang memengaruhi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi

diantaranya adalah sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya modal,

dan keahlian atau kewirausahaan. Faktor nonekonomi mencakup kondisi sosial

kultur yang ada di masyarakat, keadaan politik, kelembagaan, dan sistem yang

berkembang dan berlaku

Sumber daya alam, yang meliputi tanah dan kekayaan alam seperti

kesuburan tanah, keadaan iklim/cuaca, hasil hutan, tambang, dan hasil laut, sangat

memengaruhi pertumbuhan industri suatu negara, terutama dalam hal penyediaan

bahan baku produksi. Sementara itu, keahlian dan kewirausahaan dibutuhkan

untuk mengolah bahan mentah dari alam, menjadi sesuatu yang memiliki nilai

(11)

11

Sumber daya manusia juga menentukan keberhasilan pembangunan

nasional melalui jumlah dan kualitas penduduk. Jumlah penduduk yang besar

merupakan pasar potensial untuk memasarkan hasil-hasil produksi, sementara

kualitas penduduk menentukan seberapa besar produktivitas yang ada.

Sementara itu, sumber daya modal dibutuhkan manusia untuk mengolah

bahan mentah tersebut. Pembentukan modal dan investasi ditujukan untuk

menggali dan mengolah kekayaan. Sumber daya modal berupa barang-barang

modal sangat penting bagi perkembangan dan kelancaran pembangunan ekonomi

karena barang-barang modal juga dapat meningkatkan produktivitas.

Pembangunan ekonomi yang berlangsung di suatu negara membawa

dampak positif, yaitu bahwa melalui pembangunan ekonomi, pelaksanaan

kegiatan perekonomian akan berjalan lebih lancar dan mampu mempercepat

proses pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi memungkinkan terciptanya

lapangan pekerjaan yang dibutuhkan oleh masyarakat, dengan demikian akan

mengurangi pengangguran.

2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi

Pembangunan ekonomi tidak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi

(economic growth): pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi,

maupun sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan

ekonomi. Yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan

kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan

(12)

12

apabila terjadi peningkatan GNP riil di negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi

merupakan salah satu indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam

perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam

masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Masalah

pertumbuhan ekonomi dapatdipandang sebagai masalah makroekonomi dalam

jangka panjang. Kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa

akan meningkat dari satu periode ke periode berikutnya.

Menurut Kuznets dalam Jhingan (2000), pertumbuhan ekonomi

didefinisikan sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara

untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada

penduduknya. Kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, dan

penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukannya.

Definisi pertumbuhan ekonomi Kuznets mempunyai tiga komponen, yaitu:

pertama bahwa pertumbuhan ekonomi suatu bangsa terlihat dari meningkatnya

persediaan barang secara terus-menerus; kedua teknologi maju merupakan faktor

dalam pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat pertumbuhan kemampuan

dalam penyediaan aneka macam barang kepada penduduk; dan ketiga penggunaan

teknologi secara luas dan efisien memerlukan adanya penyesuaian di bidang

kelembagaan dan idiologi sehingga inovasi yang dihasilkan oleh ilmu

pengetahuan umat manusia dapat dimanfaatkan secara tepat.

Produk Domestik Bruto (PDB) pada dasarnya merupakan jumlah nilai

(13)

13

merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit

ekonomi. PDB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan

jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku setiap tahun, sedang PDB

atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang

dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar

penghitungan.

Untuk menghitung angka PDB digunakan tiga pendekatan yaitu :

a. Pendekatan Produksi. PDB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa

yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam

jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam

penyajiannya dikelompokkan menjadi 9 lapangan usaha (sektor) yaitu:

pertanian, pertambangan, industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih,

bangunan, pengangkutan, keuangan dan jasa.

b. Pendekatan Pendapatan. PDB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh

faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu negara

dalam jangka waktu tertentu. Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah

upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan; semuanya sebelum

dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi PDB

mencakup juga penyusutan dan pajak tidak langsung netto (pajak tak langsung

dikurangi subsidi).

c. Pendekatan Pengeluaran. PDB adalah semua komponen permintaan akhir

(14)

14

nirlaba, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto,

perubahan stok dan ekspor netto (ekspor dikurangi impor).

2.1.3. Pengeluaran/Belanja Pemerintah

Keynes berpendapat tingkat kegiatan dalam perekonomian ditentukan oleh

pengeluaran agregat. Pada umumnya pengeluaran agregat dalam suatu periode

tertentu adalah kurang dari pengeluaran agregat yang diperlukan untuk mencapai

tingkat full employment. Keadaan ini disebabkan karena investasi yang dilakukan

para pengusaha biasanya lebih rendah dari tabungan yang akan dilakukan dalam

perekonomian full employment. Keynes berpendapat sistem pasar bebas tidak

akan dapat membuat penyesuaian-penyesuaian yang akan menciptakan full

employment.

Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi Neo Klasik Solow, fungsi

produksi sederhana dari teori ini adalah (Mankiw, 2006):

Y = a K

dimana Y adalah output, a adalah konstanta yang mengukur jumlah output yang

diproduksi untuk setiap unit modal, sedangkan K adalah persediaan modal. Fungsi

produksi ini berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi.

Modifikasi fungsi produksi Cobb-Douglas dalam Barro dan Sala-i-Martin

(1995) dinyatakan sebagai berikut:

Y = a L1-α Gα, dimana 0 < α < 1

persamaan ini menunjukkan bahwa produksi yang dilakukan pada constant return

to scale pada input L dan K . Asumsinya adalah angkatan kerja agregat (L) adalah

(15)

15

diminishing return untuk modal agregat (K). Oleh karena itu, perekonomian

berada pada kondisi pertumbuhan ekonomi endogen.

Salah satu komponen dalam permintaan agregat (aggregate demand [AD])

adalah pengeluaran pemerintah. Pada Mankiw (2006) dinyatakan bahwa jika

pengeluaran pemerintah meningkat maka AD akan meningkat. Selain itu, peranan

pengeluaran pemerintah (G) di negara berkembang sangat signifikan mengingat

kemampuan sektor swasta untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masih sangat

terbatas. Oleh karena itu, peranan pemerintah sangatlah penting. Peningkatan AD

berarti terjadi pertumbuhan ekonomi, karena pertumbuhan ekonomi diukur dari

PDB maka peningkatan pertumbuhan berarti peningkatan pendapatan.

2.1.3.1. Teori Pengeluaran Pemerintah

1. Model perkembangan pengeluaran pemerintah oleh Rostow-Musgrave.

Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang

menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap

pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada

tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap

total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan

prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap

menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk

meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap

ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar

(16)

16

menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus

menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak.

Musgrave dalam Norista (2010) berpendapat bahwa dalam suatu proses

pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin besar

dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada

tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah

dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke

pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan

pelayanan kesehatan masyarakat.

2. Hukum Wagner

Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran

pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap PDB. Wagner

mengemukakan bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan perkapita

meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat.

Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State Expenditure”.

Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negara-negara maju

(Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa

peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena

pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Wagner

mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organis

mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah

sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya.

(17)

17

pemerintah mempunyai bentuk ekponensial. Hukum Wagner diformulasikan

sebagai berikut:

dimana PkPP : pengeluaran pemerintah per kapita

PPK : pendapatan per kapita

1,2,…,n : jangka waktu (tahun)

0 waktu

Sumber: Dumairy (1996)

Gambar 2.1. Grafik Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Menurut Wagner

2.1.3.2. Hubungan Kausalitas Pengeluaran Pemerintah dan PDB

a. PDB memengaruhi pengeluaran pemerintah. Hal ini berarti bahwa produk

domestik bruto memengaruhi pengeluaran pemerintah. Teori perkembangan

pengeluaran pemerintah yang telah diuraikan sebelumnya menunjukkan

bahwa produk domestik bruto (PDB) akan memengaruhi besarnya

pengeluaran pemerintah.

(18)

18

b. Pengeluaran pemerintah mempengaruhi PDB. Pemerintah dapat

mempengaruhi tingkat PDB nyata dengan mengubah persediaan berbagai

faktor yang dapat dipakai dalam produksi melalui program-program

pengeluaran pemerintah seperti pendidikan. Rahayu (2004) mengatakan

bahwa kegiatan yang dilakukan pemerintah yang mendorong besaran jumlah

pengeluaran negara mempunyai pengaruh terhadap perekonomian masyarakat.

Landau (1986) membuktikan bahwa pengeluaran pemerintah di bidang militer

dan pendidikan berkorelasi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, sementara

untuk pendidikan sendiri berkorelasi kuat dan investasi pemerintah berkorelasi

positif tetapi tidak signifikan. Lin (1994) mengatakan bahwa pengeluaran

pemerintah akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (peningkatan PDB)

dengan laju yang semakin mengecil.

2.1.3.3. Jenis Pengeluaran/Belanja Pemerintah

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB), baik Negara maupun

daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota), pengeluaran dibedakan menjadi:

1. Belanja Operasi. Rincian kegiatan belanja operasi antara lain digunakan untuk

belanja pegawai, belanja barang dan jasa, pemeliharaan, perjalanan dinas,

pinjaman, subsidi, hibah, dan belanja opeasional lainnya.

2. Belanja Modal. Belanja Modal digunakan untuk pembelian/pembentukan aset

tetap seperti gedung, jalan (infrastruktur) dan aset tetap lainnya

3. Belanja Tak Terduga/Tersangka. Merupakan belanja tidak terduga yang

(19)

19

Untuk mempermudah mengevaluasi penggunaan belanja/pengeluaran,

mulai tahun 2007 sistem penganggaran mulai diperjelas rinciannya menurut

fungsi/sektor, yaitu:

1. Fungsi pelayanan umum. Pengeluaran yang ditujukan dalam rangka

peningkatan pelayanan umum pemerintah terhadap masyarakat maupun pihak

swasta seperti untuk pembayaran gaji, akses layanan/perijinan, kemudahan

informasi, dan belanja operasi kebutuhan perkantoran sehari-hari.

2. Fungsi ekonomi. Pengeluaran ini digunakan untuk menciptakan lapangan kerja,

pembangunan sarana dan prasarana umum, serta memicu peningkatan kegiatan

perekonomian masyarakat. Pengeluaran ini ditujukan agar mempunyai

pengaruh langsung terhadap kesejahteraan masyarakat sekaligus mempunyai

multiplier effect yang besar.

3. Fungsi kesehatan. Merupakan pengeluaran yang ditujukan dalam rangka

peningkatan kualitas kesehatan dan pelayanannya seperti pembelian obat,

fasilitas kesehatan (alat medis maupun penujang), dan gedung kesehatan.

4. Fungsi pendidikan. Merupakan pengeluaran yang ditujukan dalam rangka

peningkatan kualitas pendidikan seperti pembelian buku, fasilitas jaringan

internet sekolah, maupun gedung sekolah.

5. Fungsi ketertiban dan keamanan. Merupakan pengeluaran yang ditujukan untuk

menambah kekuatan dan ketahanan dalam mendukung ketahanan dan

(20)

20

6. Fungsi pariwisata dan lingkungan hidup. Merupakan pengeluaran untuk

peningkatan kegembiraan/hiburan bagi masyarakat seperti promosi dan

pemeliharaan tempat wisata sekaligus dalam mempertahankan kelestaian dan

kualitas lingkuangan hidup agar tercipta kenyamanan.

7. Fungsi perlindungan/jaminan sosial. Merupakan pengeluaran untuk jaminan

perlindungan masyarakat seperti penanganan bencana, permasalahan sosial dan

lingkungan (panti dan perlindungan orang terlantar).

2.1.4. Daerah Tertinggal

Daerah tertinggal adalah daerah Kabupaten yang relatif kurang

berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional, dan berpenduduk

yang relatif tertinggal. Pembangunan daerah tertinggal merupakan upaya

terencana untuk mengubah suatu daerah yang dihuni oleh komunitas dengan

berbagai permasalahan sosial ekonomi dan keterbatasan fisik, menjadi daerah

yang maju dengan komunitas yang kualitas hidupnya sama atau tidak jauh

tertinggal dibandingkan dengan masyarakat Indonesia lainnya.

Pembangunan daerah tertinggal ini berbeda dengan penanggulangan

kemiskinan dalam hal cakupan pembangunannya. Pembangunan daerah tertinggal

tidak hanya meliputi aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial, budaya, dan

keamanan (bahkan menyangkut hubungan antara daerah tertinggal dengan daerah

maju). Di samping itu kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di daerah

(21)

21

Berdasarkan hal tersebut di atas, diperlukan program pembangunan daerah

tertinggal yang lebih difokuskan pada percepatan pembangunan di daerah yang

kondisi sosial, budaya, ekonomi, keuangan daerah, aksesibilitas, serta

ketersediaan infrastruktur masih tertinggal dibanding dengan daerah lainnya.

Kondisi tersebut pada umumnya terdapat pada daerah yang secara geografis

terisolir dan terpencil seperti daerah perbatasan antarnegara, daerah pulau-pulau

kecil, daerah pedalaman, serta daerah rawan bencana. Di samping itu, perlu

perhatian khusus pada daerah yang secara ekonomi mempunyai potensi untuk

maju namun mengalami ketertinggalan sebagai akibat terjadinya konflik sosial

maupun politik.

Suatu daerah dikategorikan sebagai daerah tertinggal, karena beberapa

faktor penyebab, antara lain :

a. Geografis. Umumnya secara geografis daerah tertinggal relatif sulit dijangkau karena letaknya yang jauh di pedalaman, perbukitan/pegunungan, kepulauan,

pesisir, dan pulau-pulau terpencil atau karena faktor geomorfologis lainnya

sehingga sulit dijangkau oleh jaringan baik transportasi maupun media

komunikasi.

b. Sumber Daya Alam. Beberapa daerah tertinggal tidak memiliki potensi

sumber daya alam, daerah yang memiliki sumber daya alam yang besar namun

lingkungan sekitarnya merupakan daerah yang dilindungi atau tidak dapat

dieksploitasi, dan daerah tertinggal akibat pemanfaatan sumber daya alam

(22)

22

c. Sumber Daya Manusia. Pada umumnya masyarakat di daerah tertinggal

mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan yang relatif

rendah serta kelembagaan adat yang belum berkembang.

d. Prasarana dan Sarana. Keterbatasan prasarana dan sarana komunikasi,

transportasi, air bersih, irigasi, kesehatan, pendidikan, dan pelayanan lainnya

yang menyebabkan masyarakat di daerah tertinggal tersebut mengalami

kesulitan untuk melakukan aktivitas ekonomi dan sosial.

e. Daerah Rawan Bencana dan Konflik Sosial. Seringnya suatu daerah

mengalami bencana alam dan konflik sosial dapat menyebabkan terganggunya

kegiatan pembangunan.

f. Kebijakan Pembangunan. Suatu daerah menjadi tertinggal dapat disebabkan

oleh beberapa kebijakan yang tidak tepat seperti kurang memihak pada

pembangunan daerah tertinggal, kesalahan pendekatan dan prioritas

pembangunan, serta tidak dilibatkannya kelembagaan masyarakat adat dalam

perencanaan dan pembangunan.

2.2. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan Makrifah (2009) di kabupaten/kota se-Jawa

Timur bertujuan menganalisis pengaruh pengelolaan keuangan daerah terhadap

pembangunan ekonomi (pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan IPM).

Pengelolaan keuangan yang bijak, mengedepankan kepentingan publik

mempunyai dampak meningkatkan PDRB (terdapat pertumbuhan ekonomi) dan

(23)

23

terhadap pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk miskin, dan IPM digunakan

model Vector Auto Reggressive (VAR) dalam data time series.

Rahayu (2004) meneliti peranan sektor publik lokal dalam pertumbuhan

ekonomi regional. Sampel yang diteliti adalah 7 Kabupaten/Kota di

Eks-Karesidenan Surakarta selama periode 1987-2000. Penelitian mengidentifikasi

pengaruh investasi pemerintah daerah, laju pertumbuhan angkatan kerja,

pengeluaran (konsumsi) pemerintah daerah, dan penerimaan daerah terhadap

pertumbuhan ekonomi regional dengan menggunakan teknik data panel. Metode

yang digunakan dalam penelitian adalah Pooled Least Square. Garis besar hasil

estimasi persamaan menunjukkan bahwa selama periode pengamatan, peranan

sektor publik lokal (investasi pemerintah dan PAD) mempunyai pengaruh yang

signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional.

Sodik (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Pengeluaran Pemerintah

dan Pertumbuhan Ekonomi Regional: Studi Kasus Data Panel di Indonesia,

dengan mengambil sampel di 26 provinsi di Indonesia selama periode 1993-2003.

Penelitian ini mengidentifikasi pengaruh investasi swasta, investasi pemerintah,

konsumsi pemerintah, tenaga kerja, dan tingkat keterbukaan ekonomi provinsi

terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Teknik analisis data yang digunakan

adalah fixed effect model General Least Square (GLS). Hasilnya untuk semua

variabel memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional kecuali

untuk variabel investasi swasta yang tidak memiliki pengaruh terhadap

(24)

24

Studi yang dilakukan Nurudeen dan Usman (2010) menganalisis pengaruh

belanja rutin dan pembangunan per sektor terhadap pertumbuhan ekonomi di

Nigeria. Analisis dilakukan terhadap data time series dari tahun 1970 sampai

dengan 2008 dengan menggunakan model Error Cointegration Model (ECM),

Berdasarkan analisis menunjukkan bahwa belanja rutin dan belanja sektor

pendidikan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan

belanja modal dan di sektor kesehatan berpengaruh signifikan positif terhadap

pertumbuhan ekonomi.

Norista (2011) dalam penelitian tentang Pengaruh Belanja Modal dan

Belanja Operasi terhadap Laju Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Tengah

menggunakan data panel. Peneliti menggunakan model fixed effect dalam

menganalisis pengaruh belanja modal dan operasi/rutin terhadap pertumbuhan.

Kajian tersebut menghasilkan bahwa kedua variabel yaitu rasio belanja modal

maupun rasio belanja operasi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

2.3. Kerangka Pemikiran

Pemberlakuan UU Otonomi Daerah berikut perubahannya (UU Nomor

22/1999 dirubah dengan UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan

UU Nomor 23/1999 dirubah dengan UU Nomor 33/2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah) membawa dampak

terhadap pemerintahan dan tata kelola keuangan di Indonesia. Perubahan pola

pemerintahan daerah yang sentralistik menjadi desentralistik juga memberikan

(25)

25

Berdasarkan alur pemikiran tersebut, penelitian ini difokuskan dalam hal

sebagai berikut yang tergambar pada diagram kerangka pemikiran (Gambar 2.2):

Keterangan: Fokus kerangka pemikiran Gambar 2.2. Kerangka Pikir Penelitian

Pert um buhan Ekonom i

Fungsi Lainnya Fungsi Pelayanan

Umum Fungsi

Kesehat an Fungsi

Pendidikan Fungsi

Ekonom i Pendapat an

Pem erint ah

Alokasi Belanja Pem erint ah Daerah

(26)

26

2.4. Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah:

1. Belanja pemerintah daerah (sebagai proksi konsumsi maupun investasi/modal

pemerintah) per fungsi diduga memengaruhi pertumbuhan ekonomi di 22

kabupaten tertinggal

(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang

diambil dari publikasi resmi pemerintah. Data yang digunakan adalah data panel

yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementrian Keuangan. Data

dari BPS berasal dari data Potensi Desa (Podes) 2005 dan 2008, publikasi PDRB

Kabupaten/Kota, serta Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) dari tahun

2007 sampai dengan 2009. Data pengeluaran pemerintah daerah diperoleh dari

laporan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pemerintah

daerah yang diterbitkan Kementrian Keuangan.

Tabel 3.1. Jenis dan Sumber Data yang Digunakan sebagai Variabel yang Digunakan dalam Analisis Regresi

Nomor Variabel Penelitian Sumber Data Satuan

1 Pertumbuhan Ekonomi

tahun 2007-2009 juta rupiah 3 Belanja Fungsi

Ekonomi

Kemenkeu (Realisasi APBD),

tahun 2007-2009 juta rupiah 4 Belanja Fungsi

Kesehatan

Kemenkeu (Realisasi APBD),

tahun 2007-2009 juta rupiah

5 Belanja Fungsi Pendidikan

Kemenkeu (Realisasi APBD),

tahun 2007-2009 juta rupiah

6 Belanja Fungsi Lainnya

Kemenkeu (Realisasi APBD),

tahun 2007-2009 juta rupiah

7 Angkatan Kerja BPS (SAKERNAS),

(28)

28

3.2. Definisi Operasional

Definisi operasional yang digunakan untuk menjelaskan variabel dalam

penelitian ini antara lain:

a. Pertumbuhan Ekonomi (GRW) adalah nilai kenaikan output/perubahan nilai

riil berdasarkan PDRB ADHK dari tahun 2007-2009, dalam satuan persen.

b. Jumlah Angkatan Kerja (AK) adalah jumlah dari penduduk usia kerja (15

tahun keatas) yang bekerja maupun mencari pekerjaan, dalam satuan orang.

c. Alokasi Belanja Pemerintah Daerah menurut Fungsi adalah realisasi anggaran

belanja menurut kategori jenis belanja/pengeluaran pemerintah daerah

berdasarkan fungsi penggunaan, meliputi fungsi pelayanan umum (BLU),

ekonomi (BE), pendidikan (BP), kesehatan (BS), dan lainnya (seperti

ketertiban, pariwisata, lingkungan hidup dan perlindungan sosial (BL), dalam

satuan juta rupiah.

3.3. Metode Analisis 3.3.1. Analisis Deskriptif

Metode analisis deskriptif merupakan suatu metode analisis yang

sederhana yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi suatu observasi

dengan menyajikannya dalam bentuk tabel, grafik maupun narasi dengan tujuan

untuk memudahkan pembaca dalam menafsirkan hasil observasi.

Metode analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk

menggambarkan secara umum keragaan belanja daerah, pertumbuhan ekonomi

(29)

29

22 kabupaten tertinggal di Pulau Sumatra periode 2007-2009. Penggambaran

keragaan pertumbuhan ekonomi antardaerah dilihat apakah perkembangannya

semakin konvergen atau timpang. Keragaan alokasi belanja pemerintah daerah

menurut fungsi dilihat proporsi struktur alokasi serta keragaman an prioritas

alokasi belanja pemerintah daerahnya.

3.3.2. Analisis Pengaruh Belanja Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Sesuai dengan tinjauan literatur, hal yang akan diteliti dalam penelitian ini

adalah pengaruh belanja pemerintah (sebagai proksi konsumsi dan investasi

pemerintah) terhadap pertumbuhan ekonomi 22 kabupaten tertinggal di Sumatra.

Pendekatan yang dilakukan untuk mengestimasi model ini adalah pendekatan

ekonometrika dengan metode analisis data panel (pooled data). Menurut Baltagi

(2005), keunggulan penggunaan analisis data panel antara lain sebagai berikut:

a. Analisis data panel memiliki kontrol terhadap heterogenitas data individual

dalam suatu periode waktu.

b. Analisis data panel menyajikan data yang lebih informatif, lebih bervariasi,

memiliki kolinearitas antar variabel yang kecil, memiliki derajat kebebasan

yang lebih besar, dan lebih efisien.

c. Analisis data panel lebih tepat dalam mempelajari dinamika penyesuaian

(dynamics of change).

d. Analisis data panel dapat lebih baik mengidentifikasi dan mengukur

pengaruh-pengaruh yang secara sederhana tidak dapat terdeteksi dalam data cross

(30)

30

e. Model analisis data panel dapat digunakan untuk membuat dan menguji model

perilaku yang lebih kompleks dibandingkan analisis data cross section murni

atau time series murni.

f. Analisis data panel pada level mikro dapat meminimisasi atau menghilangkan

bias yang terjadi akibat agregasi data ke level makro.

g. Analisis data panel pada level makro memiliki time series yang lebih panjang

tidak seperti masalah jenis distribusi yang tidak standar dari unit root tests

dalam analisis data time series.

Walaupun demikian, analisis data panel juga memiliki keterbatasan dalam

penggunaannya, khususnya apabila data panel dikumpulkan atau diperoleh

dengan metode survei. Menurut Baltagi (2005), keterbatasan penggunaan analisis

data panel antara lain sebagai berikut:

a. Analisis data panel menimbulkan masalah dalam rancangan dan pengumpulan

data penelitian yang mencakup coverage, nonresponse, kemampuan daya

ingat responden (recall), frekuensi, dan waktu wawancara akibat penggunaan

data yang relatif besar dengan melibatkan komponen cross section dan time

series.

b. Analisis data panel dapat menimbulkan distorsi dalam kesalahan pengamatan.

c. Analisis data panel dapat menimbulkan masalah selektivitas seperti self

selectivity, nonresponse, dan attrition (jumlah responden yang terus berkurang

pada survei lanjutan)

(31)

31

e. Analisis data panel dapat menimbulkan masalah ketergantungan cross section

yang dapat mengakibatkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak tepat

(missleading inference).

Analisis data panel dapat diestimasi mengunakan metode Ordinary Least

Square (OLS) jika memenuhi syarat BLUE (Best Linear Unbiased Estimator)

atau dengan menggunakan metode Generalized Least Square (GLS) jika syarat

BLUE tidak dipenuhi. Menurut Gujarati (2003), terdapat 3 macam pendekatan

analisis data panel, antara lain:

1. Pooled Least Square

Metode pendekatan kuadrat terkecil ini pada dasarnya sama dengan

metode Ordinary Least Square (OLS) hanya saja data yang digunakan bukan data

time series saja atau cross section saja tetapi merupakan data panel (gabungan

antara time series dan cross section). Sesuai dengan namanya yaitu pooled yang

berarti dalam metode ini digunakan data panel dan least squares yang berarti

metode ini meminimumkan jumlah error kuadrat. Meminimumkan error kuadrat

dikarenakan error kuadrat kemungkinan besar jika dijumlahkan akan bernilai nol

dan jika error hanya dijumlahkan saja tanpa dikuadratkan maka terjadi

“ketidakadilan” karena nilai error yang besar dan yang kecil disamaratakan.

Persamaan pada estimasi menggunakan pooled least square dapat dituliskan

dalam bentuk sebagai berikut:

Yit = α + βj xjit + µit

dimana i = 1, 2, …N (jumlah observasi populasi)

(32)

32

Dengan menggunakan metode Pooled Least Square, maka dapat dilakukan proses

estimasi secara terpisah untuk setiap individu cross section pada waktu tertentu

atau sebaliknya. Hal ini akan mengakibatkan akan didapatkan hasil dimana

terdapat T persamaan yang sama (individu sama, waktu berbeda) dan terdapat N

persamaan yang sama untuk setiap T observasi (periode waktu sama, individu

berbeda). Ini diakibatkan karena metode Pooled Least Square ini memiliki asumsi

bahwa baik intercept dan slope dari persamaan regresi dianggap konstan untuk

antar daerah dan antar waktu.

2. Fixed Effects Model

Untuk membuat agar estimasi berbeda-beda baik antar cross section dan

time series maka digunakanlah bentuk estimasi fixed effects model. Estimasi pada

data panel bergantung kepada asumsi yang diberikan pada intercept, koefisien

slope, dan error term. Beberapa kemungkinan asumsi adalah sebagai berikut:

a. Diasumsikan bahwa intercept dan koefisien slope konstan antar waktu dan

individu dan error term melingkupi perbedaan baik dalam waktu maupun

individu. Pendekatan yang paling sederhana adalah asumsi ini karena dengan

diberikan asumsi bahwa intercept dan slope konstan antar waktu dan individu

dan error term maka dimensi ruang dan waktu diabaikan dan bentuk

estimasinya seperti OLS.

b. Diasumsikan bahwa koefisien slope konstan tetapi intercept berbeda untuk

setiap individu.

c. Diasumsikan bahwa koefisien slope konstan tetapi intercept berbeda untuk

(33)

33

d. Diasumsikan bahwa semua koefisien baik intercept dan koefisien slope

berbeda untuk setiap individu.

e. Diasumsikan bahwa semua koefisien baik intercept dan koefisien slope

berbeda untuk setiap individu antar waktu.

Spesifikasi model yang akan dibahas di sini mengikuti asumsi poin (b), yaitu:

Yit= β1i+ β2X2it+ β3X3it+ uit

di mana i di sini menggambarkan bahwa intercept dari individu berbeda-beda,

tetapi model masih memiliki koefisien slope sama. Di dalam literatur, model di

atas dikenal sebagai Fixed Effects Model. Maksud Fixed Effects Model ini adalah

walaupun intercept dapat berbeda-beda antarindividu tetapi setiap intercept

individu tersebut tidak berbeda pada setiap waktu.

Untuk menjelaskan Fixed Effects ini digunakan variabel Dummy, yaitu

dengan differential intercept dummies. Penulisan model adalah sebagai berikut:

Yit= α1+ α2D2i+ α3D3i+ α4D4i+ β2X2it+ β3X3it+ uit

Variabel Dummy yang ditambahkan di model ini sama banyaknya dengan jumlah

data dari cross section yang dikurangi satu untuk menghindari adanya

dummy-variable trap (perfect collinearity). Model ini sering disebut juga sebagai

Least-Square Dummy Variable Model (LSDV). Kelemahan dari Fixed Effects Model

adalah terkadang variabel dummy yang ditambahkan tersebut tidak memiliki

(34)

34

3. Random Effects Model

Jika variabel dummy ternyata kurang memberikan informasi tentang model,

maka digunakanlah error term. Model ini sering disebut sebagai Error

Components Model (ECM) dengan ide dasar:

Yit= β1i+ β2X2it+ β3X3it+ uit

β1i = β1+ εi i = 1, 2, . . . ,N

Yit = β1 + β2X2it+ β3X3it+ εi+ uit= β1+ β2X2it+ β3X3it+ wit

wit= εi+ uit

i~ N(0, 2) = komponen cross section error

uit ~ N(0, u2) = komponen time series error

E(εiuit) = 0 E(εiεj) =0 ( ≠ j )

E(uituis) = E(uitujt) = E(uitujs) =0 ( ≠ j ; t ≠ )

Error secara individual dan error secara kombinasi diasumsikan tidak berkolerasi.

Tetapi dalam random effects juga terdapat kelemahan, yaitu adanya korelasi

antara error term dengan variabel independen.

3.3.2.1. Pengujian untuk Memilih Model Terbaik

Pengujian yang dapat dilakukan untuk memilih model yang paling tepat

dalam pengolahan data panel, antara lain:

1. Chow Test adalah pengujian untuk memilih apakah model yang digunakan

Pooled Least Square atau Fixed Effect. Dalam pengujian ini dilakukan

dengan hipotesis sebagai berikut:

(35)

35

H1: Model Fixed Effect (Unrestricted)

Dasar penolakan terhadap hipotesis nol tersebut adalah dengan

menggunakan F-statistik seperti yang dirumuskan oleh Chow:

Chow = ( – )/ ( )

/ ( – – )

dimana:

RRSS = Restricted Residual Sum Square (Sum Square Residual PLS)

URSS = Unrestricted Residual Sum Square (Sum Square Residual Fixed)

N= Jumlah data cross section

T= Jumlah data time series

K=Jumlah variabel penjelas

Dimana pengujian ini mengikuti distribusi F-statistik yaitu F(N-1, NT-N-K). Jika

nilai Chow Statistics (F Stat) hasil pengujian lebih besar dari F tabel, maka

cukup bukti untuk penolakan terhadap H0 sehingga model yang kita

gunakan adalah model fixed effect, begitu juga sebaliknya.

2. Haussman Test adalah pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan kita

dalam memilih antara menggunakan model fixed effect atau model random

effect. Pengujian ini dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut:

H0: Random Effects Model

H1: Fixed Effects Model

Sebagai dasar penolakan H0 tersebut digunakan dengan menggunakan

(36)

36

3.3.2.2. Pengujian Validitas Model

1. Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi menunjukkan seberapa besar persentase variasi

variabel bebas dapat menjelaskan variasi variabel terikatnya. Nilai R2

berkisar antara nol dan satu. Nilai R2 yang kecil atau mendekati nol berarti

kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan variasi variabel terikat amat

terbatas. Sebaliknya, jika nilai R2 mendekati satu berarti variabel independen

memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi

variasi variabel terikat (Gujarati, 2003).

2. F-Statistic dan Probability

Untuk metode ordinary least squares nilai F-statistik dihitung dengan

formula:

F = / ( )

( ) / ( – )

Nilai F statistik yang besar lebih baik dibandingkan dengan nilai F statistik

yang rendah. Sedangkan nilai probabiltas F merupakan tingkat signifikansi

marginal dari F statistik.

Dengan menggunakan hipotesis :

H0: semua parameter yang kita duga sama dengan nol (tidak ada variabel

bebas yang berpengaruh terhadap variabel terikat)

H1 : minimal ada satu parameter yang kita duga tidak sama dengan nol

(minimal ada satu variabel bebas yang memengaruhi variabel terikat)

(37)

37

Jika nilai prob F kurang dari nilai alpha (α), maka dengan tingkat keyakinan

(1-α) kita dapat menyimpulkan bahwa minimal ada parameter yang kita

duga (tidak termasuk konstanta) adalah berbeda dengan nol.

3. Uji t (Partial test)

Pada uji t dilakukan pengujian kofisien regresi secara individu

(masing-masing variabel) untuk melihat pengaruh variabel bebas terhadap variabel

terikat. Hipotesis yang digunakan untuk pengujian ini adalah:

H0 : semua parameter yang kita duga sama dengan nol

H1 : semua parameter yang kita duga tidak sama dengan nol

Berdasarkan hasil perhitungan dalam uji t, maka akan dipilih variabel bebas

yang signifikan secara statistik dimana probability value- nya kurang dari α.

3.3.2.3. Pengujian Asumsi Klasik

1. Multikolinearitas

Istilah multikolinearitas berarti terdapat hubungan linier antara variabel

independennya. Setiap variabel dipastikan memiliki nilai korelasi. Uji masalah

multikolinier ini dilakukan dengan metode melihat hasil estimasi OLS, jika hasil

estimasi memiliki nilai R squared dan Adjusted R squared yang tinggi dan

memiliki nilai t yang signifikan maka model diabaikan dari masalah

multikolinear.Tetapi jika hasil estimasi memiliki nilai R squared dan Adjusted R

squared yang tinggi tetapi memiliki nilai t yang tidak signifikan maka model

(38)

38

nilai korelasi antar semua variabel bebas. Jika nilai korelasi kurang dari 0,8 maka

variabel tersebut bebas dari multikolinearitas.

2. Heteroskedastisitas

Pengujian asumsi heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan tiga metode, yakni:

a. Metode Grafik. Metode grafik dilakukan dengan membuat grafik garis dari

kuadrat residual. Apabila tidak terdapat pola khusus pada grafik tersebut maka

model adalah homoskedastik, namun apabila terdapat pola tertentu pada grafik

residual maka model adalah heteroskedastik.

b. White Test. White test dilakukan untuk menguji apakah model terbebas dari

asumsi heteroskedastisitas. Pengujian dilakukan dengan hipotesis sebagai

berikut:

H0 : Model Homoskedastik

H1 : Model Heteroskedastik

Kemudian dilakukan penghitungan statistik White, yang dirumuskan sebagai:

WHITE = n x R2

Dasar penolakan Ho apabila nilai statistik White lebih besar dari χ tabel dengan

derajat bebas adalah jumlah variabel independen.

c. Membandingkan nilai R squared weighted dengan unweighted. Jika nilai R

squared weighted lebih besar dibandingkan dengan nilai R squared unweighted

maka model mengalami heteroskedastik. Model homoskedastik apabila nilai R

squared weighted sama atau lebih kecil dibandingkan dengan nilai R squared

(39)

39

3. Autokorelasi

Untuk masalah autokorelasi pengujiannya dilakukan dengan melihat

Durbin-Watson statistic (DW) yang nilainya telah disediakan dalam program

Eviews. Nilai DW berkisar pada angka 1,8 hingga 2,1 dan model dikatakan tidak

mengalami masalah autokorelasi jika nilai DW stat berkisar di angka 2. Masalah

autokorelasi sendiri dapat diatasi dengan 3 cara yaitu first differences, auto

regressive (AR), atau dengan menggunakan lag dari variabel dependen atau

variabel independen. Pada data panel, cara yang pertama dan kedua tidak dapat

langsung dilakukan di dalam Eviews, oleh karena itu ini dapat dilakukan dengan

menambah variabel lag pada model dan kemudian meregresinya.

3.4. Spesifikasi model

Rancangan model yang akan diajukan adalah model regresi linear berganda

dengan enam variabel bebas (belanja pemerintah daerah berdasarkan fungsi

pelayanan umum, ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan lainnya, serta variabel

angkatan kerja), dengan variabel terikatnya adalah pertumbuhan ekonomi.

Variabel belanja fungsi pelayanan umum dan fungsi lainnya dikembangkan dari

hasil penelitian Rahayu (2004) dan Sodik (2007) sebagai pendekatan dari variabel

konsumsi/belanja pemerintah. Investasi pemerintah didekati dari belanja fungsi

ekonomi, kesehatan, dan pendidikan yang diadopsi dari hasil penelitian Nurudeen

dan Usman (2010).

Adapun data yang diperoleh pada variabel-variabel tersebut berbeda satuan

(40)

40

regresi yang diperoleh akan lebih efisien dan mudah untuk diinterprestasikan.

Model yang disusun dalam penelitian adalah sebagai berikut:

GRWit= α + β1ln(AKit) + β2ln(BLUit) + β3ln(BEit) + β4ln(BSit) + β5ln(BPit)

+ β6ln(BLit) +

dimana :

α = intercept

β1,2,3,4,5,6 = konstanta masing-masing variabel bebas

= error term/derajat kesalahanmodel

GRWit = Laju Pertumbuhan Ekonomi Tahunan (dalam persen)

AKit = Jumlah angkatan kerja (dalam orang/jiwa)

BLUit = belanja fungsi pelayanan umum (dalam juta rupiah)

BEit = belanja fungsi ekonomi (dalam juta rupiah)

BSit = belanja fungsi kesehatan (dalam juta rupiah)

BPit = belanja fungsi pendidikan (dalam juta rupiah)

BLit = belanja fungsi lainnya seperti perlindungan sosial dan lingkungan

hidup (dalam juta rupiah)

i = data cross section, yaitu 22 kabupaten tertinggal

(41)

BAB IV

ANALISIS KERAGAAN 22 KABUPATEN TERTINGGAL

4.1. Karakteristik Daerah/Wilayah

Kajian mengenai karakteristik kondisi masing-masing wilayah diperlukan

untuk mengetahui program pembangunan yang tepat dalam memajukan suatu

daerah. Karakteristik yang perlu dilihat lebih lanjut adalah kondisi aksesibilitas,

sumber daya alam (baik masih potensi maupun yang sudah dikembangkan),

sumber daya manusia (kuantitas maupun kualitasnya), dan perkembangan sarana

prasarana.

4.1.1. Aksesibilitas

Aksesibilitas sebuah daerah berperan penting dalam menyalurkan sumber

daya input produksi sekaligus sebagai jalur pemasaran/pendistribusian hasil

produksi tersebut. Kemudahan akses untuk keluar masuk barang jasa dalam suatu

daerah mampu mempercepat kinerja perekonomian. Mobilitas perpindahan

sumber daya akan mengalir ke tempat sumber daya tersebut lebih dibutuhkan.

Sulitnya akses dari dan menuju suatu wilayah menyebabkan harga barang dan jasa

menjadi relatif lebih mahal dikarenakan adanya tambahan biaya transport.

Kondisi geografis dari sebagian besar 22 kabupaten tertinggal terletak di

kepulauan dan pegunungan/perbukitan yang sulit diakses, daerah pesisir dan

daerah yang rawan bencana. Pada umumnya kabupaten tertinggal merupakan

(42)

42

kepulauan antara lain Kabupaten Simeuleu, Nias Selatan, dan Nias. Untuk

kesulitan akses dengan kondisi perbukitan atau belum terbukanya akses jalan di

sebagian besar wilayah desanya adalah Kabupaten Simeuleu, Aceh Jaya, Pakpak

Bharat, Nias Selatan, Padang Pariaman, dan Way Kanan.

Sebagian besar daerah mempunyai kondisi rawan bencana (banjir, gempa,

tsunami, dan longsor) terutama yang terletak di wilayah Pantai Barat Sumatra

antara lain Kabupaten Simeuleu, Aceh Besar, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya,

Nias, Nias Selatan, Padang Pariaman, Pasaman Barat, dan Mukomuko. Kondisi

daerah yang rawan bencana bukan hanya dapat menyebabkan pembangunan

terhambat, bahkan merusakkan pembangunan yang sudah terlaksana. Kerusakan

fasilitas, terutama jalan sebagai jalur transportasi, dapat menyebabkan sebuah

daerah terisolir.

Sumber: BPS, Podes 2008 (diolah)

Gambar 4.1. Persentase Desa dengan Jalan yang Dapat Dilalui Mobil dan Desa dengan Jalan yang Sudah Diaspal Tahun 2008

0

(43)

43

Kondisi jalan sebagai jalur transportasi di 22 kabupaten tertinggal masih

cukup memprihatinkan. Walaupun sebagian besar desa sudah dapat dilalui oleh

kendaraan roda empat (mobil), akan tetapi, hanya sekitar 61 persen yang sudah

diaspal, lebih banyak jalan yang kondisinya terbatas. Kondisi jalan yang diaspal

masih banyak yang berada di bawah rata-rata desa secara nasional (64 persen).

Kabupaten Aceh Jaya, Banyuasin, dan Way Kanan merupakan daerah yang

mempunyai persentase desa dengan jalan aspal yang paling rendah.

4.1.2. Sumber Daya Alam

Sumber daya alam merupakan salah satu faktor dalam pembangunan

ekonomi. Daerah tertinggal diindikasikan memiliki sumber daya alam yang

terbatas maupun berpotensi namun belum dikembangkan/dikelola dengan baik.

Potensi sumber daya alam kabupaten tertinggal biasanya bergantung pada sektor

primer. Beberapa daerah bahkan tidak memiliki potensi sumber daya alam, yang

sangat menggantungkan pembangunan daerahnya dari pajak dan dana

perimbangan, seperti Kabupaten Solok Selatan dan Lebong.

Daerah yang mempunyai potensi dari subsektor petanian pangan dan

palawija (berupa produk padi, jagung, cabai, dan singkong) adalah Kabupaten

Aceh Selatan, Aceh Besar, Pakpak Bharat, Padang Pariaman, Lahat, Banyuasin,

dan Lampung Utara. Di antara daerah tersebut, yang dapat dikatakan lebih mampu

mengelola potensinya adalah Lahat. Dengan program pertanian yang terpadu

(44)

44

pertanian. Hal tersebut sangat dibutuhkan dalam pembentukan daerah penyangga

(dari OKU Timur) dalam kerangka ketahanan pangan nasional.

Sebagian besar daerah yang berpotensi pada produk perikanan masih

belum bisa mengelola sumberdaya perikanannya dengan baik (masih perikanan

tangkap, bukan budidaya). Daerah dengan produk perikanan seperti Nias dan Nias

Selatan sangat tergantung musim dan perairan. Daerah yang sudah mulai

mengembangkan pola budidaya dengan keramba dan tambak adalah Lampung

Barat. Dengan pengembangan budidaya maka akan relatif dapat memastikan

pasokan produk ke pasaran.

Adapun daerah yang memproduksi tanaman perkebunan seperti kopi dan

kelapa sawit belum bisa mengembangkan produksinya dengan maksimal

dikarenakan belum adanya industri lanjutan. Kabupaten Aceh Besar dan Aceh

Barat Daya merupakan penghasil Kopi Aceh (Kopi Gayo) yang terkenal,

meskipun produksinya belum massive. Kabupaten lain yang juga sebagai

produsen kopi antara lain Solok dan Lampung Barat. Kabupaten yang sedang

mengembangkan perkebunan kelapa sawit adalah Kaur dan Mukomuko.

4.1.3. Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia juga perlu diperhatikan, selain sumber daya alam,

sebagai faktor pembangunan. Hal itu dikarenakan sumber daya manusia

merupakan motor penggerak sekaligus sebagai objek pembangunan itu sendiri.

Kuantitas dan kualitas sumber daya manusia daerah tertinggal mengalami

(45)

45

relatif kecil dibandingkan angka nasional. Sehingga dapat disimpulkan percepatan

pembangunan sumber daya manusia masih kurang progesif.

Sumber: BPS (diolah)

Gambar 4.2. Plot Kondisi TPAK dan IPM dari 22 Kabupaten Tertinggal Tahun 2007

Perkembangan kuantitas dan pembangunan kualitas sumber daya manusia

tahun 2007-2009 dapat dilihat dari Gambar 4.2 dan 4.3. Seluruh kabupaten

mengalami peningkatan IPM pada 2009 dibandingkan dengan tahun 2007. Akan

tetapi, peningkatan kualitas 21 kabupaten masih berada di bawah IPM nasional

(2007 sebesar 70,59 dan pada 2009 menjadi sebesar 71,67), hanya Kabupaten

Aceh Besar yang berada di atas nilai IPM nasional. Kabupaten Nias Selatan

memiliki nilai IPM yang jauh tertinggal dibandingkan kabupaten lain.

Sebagian besar kabupaten juga mengalami peningkatan jumlah angkatan

kerja sejalan penambahan jumlah penduduk. Kabupaten yang memiliki Tingkat

(46)

46

Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) lebih tinggi dari nasional antara lain Aceh

Selatan, Lebong, Lahat, Ogan Ilir, dan Kaur. TPAK nasional tahun 2007 sebesar

66,99 persen dan meningkat di tahun 2009 menjadi 67,23 persen.

Sumber: BPS (diolah)

Gambar 4.3. Plot Kondisi TPAK dan IPM dari 22 Kabupaten Tertinggal Tahun 2009

4.1.4. Sarana dan Prasarana

Pembangunan sarana dan prasarana ekonomi maupun sosial suatu daerah

merupakan investasi masa depan bagi daerah itu sendiri. Ketersediaan fasilitas

fisik yang memadai dan berkualitas mendorong pengembangan sumber daya

dengan efektif yang pada akhirnya bermanfaat bagi masyarakat. Begitu halnya

dengan ketersediaan infrastruktur energi (listrik) sangat perlu diperhatikan. Pengembangan kegiatan ekonomi daerah berbasis industri kurang dapat menyebar ke daerah tertinggal jika kapasitas produksi masih belum mencukupi kebutuhan.

(47)

47

Pada Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa kabupaten tertinggal cukup memfokuskan pada pembangunan sarana sosial maupun ekonomi. Perkembangan jumlah sarana kesehatan dan pendidikan yang meningkat, serta penambahan daya listrik terpasang merupakan indikasi adanya pembangunan sarana yang krusial.

Tabel 4.1. Perkembangan Ketersediaan Sarana dan Prasarana di antara 22 Kabupaten Tertinggal Tahun 2005 dan 2008

Kabupaten

Sumber: BPS, Podes (2005 dan 2008)

Badan Standar Pendidikan Nasional (BSPN) mencanangkan bahwa satu

(48)

48

30 anak dalam satu kelas. Menurut Kementrian Kesehatan, sarana kesehatan yang

dibangun seyogyanya mampu melayani 30.000 penduduk di sekitarnya atau

dengan rasio sekitar 30. Kabupaten tertinggal memiliki rasio yang lebih rendah

dibandingkan nasional berdasarkan Tabel 4.1. Hal ini menunjukkan kapasitas

fasilitas kesehatan melebihi kapasitas ideal yang diharapkan.

4.2. Struktur Belanja Pemerintah Kabupaten Tertinggal

Keterbatasan potensi dan PAD dari daerah tertinggal menyebabkan

terbatasnya kemampuan daerah dalam mengalokasikan anggaran yang ada.

Anggaran sebagai instrumen fiskal dalam fungsi alokasi disesuaikan kebutuhan

dan prioritas masing-masing daerah. Keterpaduan alokasi yang tepat bertujuan

meningkatkan efisiensi dan efektivitas belanja daerah sehingga bermanfaat bagi

perekonomian kabupaten.

Sumber: Kemenkeu, 2009 (diolah)

(49)

49

Gambar 4.4 memperlihatkan bahwa struktur alokasi belanja pemerintah

daerah tertinggal hampir sama. Alokasi belanja terbesar masih didominasi belanja

fungsi pelayanan umum kemudian baru fungsi pendidikan. Alokasi belanja fungsi

pelayanan umum berkisar antara 22-40 persen dari total belanja. Belanja fungsi

kesehatan, ekonomi, dan lainnya relatif kecil, antara 5 persen sampai dengan 20

persen.

4.2.1. Belanja Fungsi Pelayanan Umum

Perkembangan belanja fungsi pelayanan umum dari tahun 2007-2009

bervariasi antardaerah, sebagian besar mengalami kenaikan. Kenaikan belanja

fungsi ini sangat dipengaruhi oleh kenaikan gaji pegawai (baik dari segi nominal

maupun jumlah pegawai). Rekrutmen pegawai baru juga semakin memberikan

beban tersendiri karena semakin memperbesar pengalokasian.

Pada tahun 2009 Kabupaten Lahat mempunyai pengeluaran untuk fungsi

belanja pelayanan umum terbesar dibandingkan dengan kabupaten lainnya untuk

kebutuhan yaitu sebesar 250.055,65 miliar rupiah atau 64,91 persen lebih tinggi

dari rata-rata belanja pelayanan umum seluruh kabupaten yang ada yaitu

151.628,10 miliar rupiah. Belanja untuk kebutuhan pelayanan umum terkecil

adalah Kabupaten Pakpak Bharat yang hanya 34.444,74 miliar rupiah atau 77,28

% lebih kecil dari rata-rata belanja pelayanan umum seluruh kabupaten.

Pada Gambar 4.5 memperlihatkan bahwa terdapat sepuluh kabupaten yang

mengalokasikan belanja fungsi alokasi yang lebih besar dibandingkan rata-rata

(50)

50

Barat Daya, Pakpak Bharat, Nias Selatan, Solok, Kaur, Lampung Barat, Lampung

Utara, dan Way Kanan.

Sumber: Kemenkeu, 2009 (diolah)

Gambar 4.5. Alokasi Belanja Fungsi Pelayanan Umum Tahun 2009

4.2.2. Belanja Fungsi Ekonomi

Kenaikan belanja fungsi ekonomi antara lain digunakan untuk

pengembangan pelatihan kerja, peningkatan kegiatan perekonomian masyarakat,

dan promosi potensi wilayah. Kabupaten Lahat memiliki belanja fungsi ekonomi

tertinggi dibandingkan daerah lain, dimana sedang memprioritaskan

(51)

51

Sumber: Kemenkeu, 2009 (diolah)

Gambar 4.6. Alokasi Belanja Fungsi Ekonomi Menurut Kabupaten Tahun 2009

Rata-rata belanja pemerintah daerah untuk fungsi ekonomi adalah sebesar

9,5 persen. Alokasi fungsi ini relatif kecil untuk pengembangan ekonomi

masyarakat, dimana kebutuhan pembangunan infrastruktur/fasilitas umum

membutuhkan dana yang besar. Alokasi fungsi ekonomi antarkabupaten cukup

beragam, Nias Selatan merupakan kabupaten dengan alokasi terendah sebesar 6

persen, sedangkan Nias tertinggi sebesar 12 persen. Walaupun bersebelahan,

alokasi fungsi ekonomi memang berbeda dimana Nias Selatan masih lebih

berfokus kepada pemulihan terhadap kondisi setelah bencana.

Gambar

Gambar 4.2. Plot Kondisi TPAK dan IPM dari 22 Kabupaten Tertinggal
Gambar 4.3. Plot Kondisi TPAK dan IPM dari 22 Kabupaten Tertinggal
Tabel 4.1.  Perkembangan Ketersediaan Sarana dan Prasarana di antara 22
Gambar 4.4. Struktur Alokasi Belanja Pemerintah Kabupaten Tertinggal
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses mikroenkapsulasi dan perlakuan pH yang berbeda berpengaruh (P &lt; 0,05) terhadap stabilitas fikosianin dalam S.. platensis

Sementara katalis padat asam, seperti zeolit memiliki keuntungan yang unik dalam reaksi esterifikasi dan transesterifikasi yang dapat meningkatkan penggunaan minyak dengan nilai

Kelompok Pendidikan, Rekreasi dan Olahraga pada bulan September 2017 mengalami kenaikan nilai indeks sebesar 0.23 persen atau nilai indeks dari 118,94 pada Agustus 207

Nuitja, Dedi Soedharma, Matheus Halim, dan kawan- kawan , Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,

Penulis akan membuat sebuah pembangkit listrik yang bersifat mengubah gerakan menjadi tenaga listrik, seperti kincir air tetapi akan memakai gaya gravitasi sebagai

Blok B dengan pusat Periuk Jaya dengan fungsi utama zona industri dan perumahan kepadatan tinggi dengan fungsi penunjang adalah perdagangan dan jasa skala eceran dan Ruang