• Tidak ada hasil yang ditemukan

Estimasi curah hujan berdasarkan data CMORPH (CPC MORPHing Technique) wilayah Riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Estimasi curah hujan berdasarkan data CMORPH (CPC MORPHing Technique) wilayah Riau"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

TRI YULI KURNIAWATI. Rainfall Estimation Using CMORPH (CPC MORPHing Technique) Data of Riau. Supervised by HENY SUHARSONO and INDAH PRASASTI.

Rainfall is the most important climate element in Indonesia which has a very large variation compared with other climate elements. High variability will lead to limited rainfall data. The accurate data and information will support the development of rainfall prediction using remote sensing. CMORPH (CPC MORPHing Technique) is one of the new techniques developed by NOAA in predicting the amount of rainfall and global precipitation with high spatial and temporal resolution. Therefore, it is necessary to do a statistical downscaling technique approach based on partial least squares analysis (PLS). This research aims to analyze the potential for rainfall prediction data CMORPH surface.The model development is based on allegations precipitation method Partial Least Squares (PLS) in Pekanbaru, Japura Rengat, Tanjung Pinang, and Dabo Singkep. The research area is divided into five domains; domain 1x1, domain 3x3, domain 5x5, domain 7x7, and domain 9x9. The reliability model is shown by the allegations of the correlation coefficient value, Root Mean Square Error (RMSE), and Pearson test. Rainfall CMORPH is similar to the pattern of surface rainfall variation able to represent 10.7% to 47.5% variability of rainfall. Downscaling using Partial Least Ssquare technique (PLS) is better than downscaling techniques using simple regression, where using PLS can increase the determination coefficient value (R2) from 47.5% by using simple regression to 98.7% by using PLS. Based on model validation, precipitation allegations is similar to the pattern of rainfall area, except in the wet months. If observed from the region it can be seen that for Earth's surface a domain that provides the best result is the domain 5x5. Meanwhile, for the Islands, domain 3x3 offers the best performance. This is due to conditions in the region, where the Islands is influenced by the ocean. Therefore, rainfall CMORPH is better used to predict the precipitation on the continent surface.

(2)

iii   

ABSTRAK

TRI YULI KURNIAWATI. Estimasi Curah Hujan Berdasarkan Data CMORPH (CPC MORPHing Technique) Wilayah Riau. Dibimbing oleh HENY SUHARSONO dan INDAH PRASASTI.

Curah hujan merupakan unsur iklim paling penting di Indonesia yang memiliki variasi sangat besar dibandingkan unsur iklim lainnya. Variabilitas yang tinggi akan menyebabkan terbatasnya ketersediaan data curah hujan. Kebutuhan akan ketersediaan data dan informasi yang akurat mendorong berkembangnya pendugaan curah hujan dengan memanfaatkan data penginderaan jauh. CMORPH (CPC MORPHing Technique) merupakan salah satu teknik baru yang dikembangkan NOAA dalam menduga besarnya curah hujan dan curah hujan global dengan resolusi spasial dan temporal yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan dengan menggunakan teknik statistical downscaling berdasarkan analisis Partial Least Square (PLS). Penelitian ini bertujuan menganalisis potensi data CMORPH dalam menduga curah hujan permukaan. Pembangunan model estimasi curah hujan dilakukan berdasarkan metode Partial Least Square (PLS) meliputi wilayah Pekanbaru, Japura Rengat, Tanjung Pinang, dan Dabo Singkep. Wilayah kajian kemudian dibagi menjadi lima domain, yaitu domain 1x1, domain 3x3, domain 5x5, domain 7x7, dan domain 9x9. Keterandalan model estimasi ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi, Root Mean Square Error (RMSE), dan uji Pearson. Curah hujan CMORPH mampu mengikuti pola dan variasi curah hujan permukaan dan mampu mewakili 10.7% hingga 47.5% keragaman hujan yang terjadi. Teknik downscaling menggunakan Partial Least Ssquare

(PLS) lebih baik dibandingkan teknik downscaling menggunakan regresi sederhana, dimana penggunaan PLS mampu meningkatkan nilai koefisien determinasi (R2) dari 47.5% dengan menggunakan regresi sederhana menjadi 98.7% dengan menggunakan PLS. Berdasarkan validasi model, curah hujan estimasi cukup mampu mengikuti pola curah hujan permukaan, kecuali pada bulan-bulan basah. Jika ditinjau dari kondisi wilayah terlihat bahwa untuk wilayah daratan, domain yang memberikan hasil keluaran terbaik adalah domain 5x5. Sedangkan untuk wilayah kepulauan, domain 3x3 memberikan hasil keluaran yang terbaik. Selain itu, model estimasi curah hujan akan memberikan hasil keluaran yang lebih baik pada wilayah daratan. Hal ini disebabkan oleh kondisi wilayah, dimana wilayah kepulauan akan lebih dipengaruhi oleh faktor lautan. Dengan demikian, curah hujan CMORPH lebih baik digunakan dalam menduga curah hujan permukaan pada wilayah daratan.

(3)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Data iklim seringkali bervariasi baik secara temporal maupun spasial, terutama di wilayah tropis. Curah hujan merupakan unsur iklim paling penting di Indonesia yang memiliki variasi sangat besar dibandingkan unsur iklim lainnya. Secara umum besarnya curah hujan bervariasi menurut ketinggian tempat sebagai pengaruh orografik. Besarnya curah hujan yang turun di wilayah tropis umumnya bervariasi dari tahun ke tahun dan bahkan dari musim ke musim dalam kurun waktu satu tahun (Asdak 1995).

Variabilitas yang tinggi akan menyebabkan terbatasnya ketersediaan data curah hujan, dimana data iklim yang memadai dibutuhkan untuk memperoleh gambaran iklim suatu wilayah. Namun, jaringan stasiun pengamatan di Indonesia yang belum mencakup seluruh wilayah, peralatan yang rusak dan tidak sesuai standar penempatan akan menghasilkan data kosong untuk pencatatan harian (Tejasukmana & Khomarudin 2000). Oleh karena itu, masalah ketersediaan data iklim menjadi hal yang biasa terjadi di Indonesia.

Kebutuhan akan ketersediaan data dan informasi yang akurat mendorong berkembangnya pendugaan curah hujan dengan memanfaatkan data penginderaan jauh. Salah satunya adalah dengan menggunakan radiometer gelombang mikro pasif (passive microwave radiometer – MWR). CMORPH (CPC MORPHing Technique) merupakan salah satu teknik baru yang dikembangkan NOAA dalam menduga besarnya curah hujan. Teknik ini berusaha menggabungkan antara hujan estimasi yang dihasilkan oleh passive microwave dan pergerakan awan dari satelit geostationary

yang berupa infrared 10.7 mikron saat ketinggian awan 4m (Joyce et al. 2004). CMORPH akan menghasilkan curah hujan global dengan resolusi spasial dan temporal yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan dengan menggunakan teknik

downscaling.

Teknik downscaling merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mendapatkan informasi iklim regional yang diperoleh dari informasi global (Sutikno 2008). Teknik

downscaling terbagi menjadi dynamical downscaling dan statistical downscaling.

Pendugaan curah hujan berdasarkan data CMORPH ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan statistical

downscaling berdasarkan analisis kuadrat terkecil parsial (partial least square). Pemanfaatan data CMORPH dalam menduga curah hujan permukaan diharapkan dapat menjadi jalan keluar dalam masalah ketersediaan data iklim.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan menganalisis potensi data CMORPH dalam menduga curah hujan permukaan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keragaman Hujan di Indonesia Curah hujan merupakan unsur cuaca yang paling berpengaruh terhadap berbagai unsur kehidupan. Curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh monsun yang ditimbulkan akibat adanya sel tekanan udara tinggi dan sel tekanan udara rendah di daratan Asia dan Australia secara bergantian. Dalam bulan-bulan Desember, Januari, dan Februari di belahan bumi utara terjadi musim dingin sehingga terdapat sel tekanan tinggi di daratan Asia. Sementara itu, di belahan bumi selatan pada waktu tersebut berlangsung musim panas sehingga terdapat sel tekanan rendah di daratan Australia (Tjasyono 2004).

Perbedaan tekanan di kedua daratan tersebut menyebabkan bertiupnya angin dari sel tekanan tinggi di Asia menuju sel tekanan rendah di Australia pada periode Desember, Januari, dan Februari. Angin ini disebut dengan monsun barat. Sementara itu, sebaliknya pada periode Juni, Juli, dan Agustus terdapat sel tekanan tinggi di daratan Australia dan sel tekanan rendah di daratan Asia. Hal ini mengakibatkan munculnya monsun timur atau monsun tenggara (Asdak 1995).

(4)

1   

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Data iklim seringkali bervariasi baik secara temporal maupun spasial, terutama di wilayah tropis. Curah hujan merupakan unsur iklim paling penting di Indonesia yang memiliki variasi sangat besar dibandingkan unsur iklim lainnya. Secara umum besarnya curah hujan bervariasi menurut ketinggian tempat sebagai pengaruh orografik. Besarnya curah hujan yang turun di wilayah tropis umumnya bervariasi dari tahun ke tahun dan bahkan dari musim ke musim dalam kurun waktu satu tahun (Asdak 1995).

Variabilitas yang tinggi akan menyebabkan terbatasnya ketersediaan data curah hujan, dimana data iklim yang memadai dibutuhkan untuk memperoleh gambaran iklim suatu wilayah. Namun, jaringan stasiun pengamatan di Indonesia yang belum mencakup seluruh wilayah, peralatan yang rusak dan tidak sesuai standar penempatan akan menghasilkan data kosong untuk pencatatan harian (Tejasukmana & Khomarudin 2000). Oleh karena itu, masalah ketersediaan data iklim menjadi hal yang biasa terjadi di Indonesia.

Kebutuhan akan ketersediaan data dan informasi yang akurat mendorong berkembangnya pendugaan curah hujan dengan memanfaatkan data penginderaan jauh. Salah satunya adalah dengan menggunakan radiometer gelombang mikro pasif (passive microwave radiometer – MWR). CMORPH (CPC MORPHing Technique) merupakan salah satu teknik baru yang dikembangkan NOAA dalam menduga besarnya curah hujan. Teknik ini berusaha menggabungkan antara hujan estimasi yang dihasilkan oleh passive microwave dan pergerakan awan dari satelit geostationary

yang berupa infrared 10.7 mikron saat ketinggian awan 4m (Joyce et al. 2004). CMORPH akan menghasilkan curah hujan global dengan resolusi spasial dan temporal yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan dengan menggunakan teknik

downscaling.

Teknik downscaling merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mendapatkan informasi iklim regional yang diperoleh dari informasi global (Sutikno 2008). Teknik

downscaling terbagi menjadi dynamical downscaling dan statistical downscaling.

Pendugaan curah hujan berdasarkan data CMORPH ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan statistical

downscaling berdasarkan analisis kuadrat terkecil parsial (partial least square). Pemanfaatan data CMORPH dalam menduga curah hujan permukaan diharapkan dapat menjadi jalan keluar dalam masalah ketersediaan data iklim.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan menganalisis potensi data CMORPH dalam menduga curah hujan permukaan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keragaman Hujan di Indonesia Curah hujan merupakan unsur cuaca yang paling berpengaruh terhadap berbagai unsur kehidupan. Curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh monsun yang ditimbulkan akibat adanya sel tekanan udara tinggi dan sel tekanan udara rendah di daratan Asia dan Australia secara bergantian. Dalam bulan-bulan Desember, Januari, dan Februari di belahan bumi utara terjadi musim dingin sehingga terdapat sel tekanan tinggi di daratan Asia. Sementara itu, di belahan bumi selatan pada waktu tersebut berlangsung musim panas sehingga terdapat sel tekanan rendah di daratan Australia (Tjasyono 2004).

Perbedaan tekanan di kedua daratan tersebut menyebabkan bertiupnya angin dari sel tekanan tinggi di Asia menuju sel tekanan rendah di Australia pada periode Desember, Januari, dan Februari. Angin ini disebut dengan monsun barat. Sementara itu, sebaliknya pada periode Juni, Juli, dan Agustus terdapat sel tekanan tinggi di daratan Australia dan sel tekanan rendah di daratan Asia. Hal ini mengakibatkan munculnya monsun timur atau monsun tenggara (Asdak 1995).

(5)

dan Oktober. Pola lokal dicirikan oleh bentuk unimodal (satu puncak hujan) namun bentuknya berlawanan dengan pola hujan monsoon (Boerema 1938 dalam Boer 2002).

Gambar 1 Pola Hujan di Indonesia. Sumber :http://kadarsah.wordpress.com/

Pola hujan monsoon mencapai jumlah curah hujan minimum pada bulan Juni, Juli, dan Agustus. Saat monsun barat jumlah curah hujan melimpah, sebaliknya saat monsun timur jumlah curah hujan sangat sedikit (Tjasyono 2004). Pola hujan monsoon dapat dibagi lagi menjadi dua kelompok yaitu tipe A dan tipe B. Kedua tipe memiliki pola yang sama, namun terdapat perbedaan yang cukup jelas antara musim kemarau dan musim hujan. Tipa A memiliki musim kemarau yang lebih panjang (meliputi wilayah timur Indonesia dan kepualuan Nusa Tenggara) dan secara keseluruhan memiliki hujan yang lebih rendah dari tipe B (Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan). Secara umum, keragaman hujan musim kemarau (April – September) lebih besar dibandingkan musim hujan (Oktober – Maret). Pada pola hujan ini pengaruh angin musim Australia selama musim hujan sangat jelas terlihat (Boer 2002).

Pola hujan lokal disebut juga dengan tipe C, dimana umumnya lebih dipengaruhi oleh sifat lokal wilayah (Tjasyono 2004). Wilayah yang memiliki pola hujan ini meliputi bagian timur ekuator Indonesia (Maluku dan Sorong). Musim kemarau pada wilayah ini tidak sekering tipe A maupun tipe B sehingga curah hujan tahunan pada pola hujan ini lebih besar dibandingkan tipe A dan tipe B (Boer 2002).

Pola hujan ekuatorial memiliki dua puncak hujan yang terjadi saat matahari berada dekat ekuator, yaitu sekitar bulan Maret dan Oktober (Tjasyono 2004). Pola ekuatorial dibagi menjadi tipe D dan tipe E. Tipe D mencakup wilayah pantai barat Sumatera Utara, sedangkan tipe E mencakup daerah wilayah pantai barat Sumatera Selatan.

Pada wilayah ini musim kemarau tidak begitu jelas (Boer 2002).

2.2 Permasalahan Data Hujan di Indonesia

Kebutuhan data iklim sangat penting di berbagai sektor kehidupan. Sebagai data yang dibutuhkan oleh sektor yang sangat vital, maka data iklim harus berkualitas tinggi, dapat dipercaya, dan lengkap. Salah satu data iklim yang sangat dibutuhkan misalnya data curah hujan (Tejasukmana & Khomarudin 2000). Curah hujan yang diamati pada stasiun pengamatan meliputi tinggi hujan, jumlah hari hujan, dan intensitas hujan (Handoko 1995).

Data hujan memiliki variasi yang sangat besar dibandingkan unsur-unsur iklim lainnya, baik variasi menurut tempat (spasial) maupun menurut waktu (temporal). Tidak seperti di wilayah beriklim sedang, variabilitas hujan di wilayah tropis cenderung lebih besar. Secara umum besarnya curah hujan bervariasi menurut ketinggian tempat sebagai pengaruh orografik. Besarnya curah hujan yang turun di wilayah tropis umumnya bervariasi dari tahun ke tahun dan bahkan dari musim ke musim dalam kurun waktu satu tahun (Asdak 1995).

Jangka waktu pengamatan yang cukup panjang dan kerapatan jaringan stasiun pengamatan yang memadai sangat diperlukan untuk memperoleh gambaran suatu wilayah tertentu. Kerapatan jaringan stasiun hujan bergantung pada letak, topografi wilayah, dan sebaran hujannya. Daerah yang berbukit-bukit akan memerlukan stasiun yang lebih rapat daripada daerah yang datar (Handoko 1995).

Kualitas jaringan pengamatan yang memadai akan mendorong terciptanya data iklim yang berkualitas baik. Namun, jaringan stasiun pengamatan di Indonesia masih belum mencakup seluruh wilayah Indonesia. Daerah-daerah pegunungan dan Daerah-daerah yang sulit terjangkau biasanya tidak memiliki stasiun pengamatan. Jika tersedia, data yang dihasilkan juga tidak akan sebaik di daerah yang mudah terjangkau. Peralatan yang rusak, kondisi stasiun yang berubah dan tidak sesuai standar penempatan akan menghasilkan data yang kosong untuk pencatatan harian (Tejasukmana & Khomarudin 2000).

(6)

3   

standar sehingga sulit untuk digunakan secara langsung (Balitklimat 2007). Metode yang sedang berkembang untuk mengatasi masalah tersebut diantaranya pengembangan model pembangkit data iklim, model statistical downscaling dan dynamical downscaling dari data GCM (Global Circulation Model) (Oktavariani 2008).

2.3 Pemanfaatan Sistem Penginderaan Jauh Dalam Menduga Curah Hujan Penginderaan jauh merupakan ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat, tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau gejala yang akan dikaji (Lillesand & Kiefer 1997). Komponen dasar dari sistem penginderaan jauh adalah target, sumber energi, jalur transmisi, dan sensor. Keempat komponen tersebut bekerja sama untuk mengukur dan mencatat informasi mengenai target tanpa menyentuh obyek tersebut.

Sensor dalam suatu sistem penginderaan jauh digunakan untuk mendapatkan informasi tentang obyek dari jarak jauh. Sumber energi akan menjadi unsur yang sangat penting sebagai penghantar informasi dalam sistem penginderaan jauh. Berdasarkan bentuk energi tersebut, penginderaan jauh dibedakan menjadi dua bentuk yaitu penginderaan jauh sistem pasif dan penginderaan jauh sistem aktif.

Penginderaan jauh sistem pasif merupakan penginderaan jauh yang menggunakan energi yang berasal dari obyek, berupa pantulan dari sumber lain misalnya matahari. Sementara itu, penginderaan jauh sistem aktif adalah penginderaan jauh yang menggunakan energi yang berasal dari sensor tersebut. Penginderaan jauh aktif dapat dilakukan pada siang ataupun malam hari. Sistem penginderaan jauh aktif tidak tergantung pada adanya sinar matahari, karena energi bersumber dari sensor (Budiyanto 2008).

Pendugaan hujan menggunakan satelit (spaceborne) diawali dengan citra awan dari satelit meteorologi pertama yaitu satelit

Television and Infrared Observation Satellite

(TIROS-1) yang diluncurkan pada April 1960. Perkembangan teknologi pendugaan curah hujan dari luar angkasa saat ini secara umum terbagi atas tiga metode berdasarkan sensor yang digunakan yaitu sensor inframerah (IR)/sinar tampak (VIS), sensor gelombang mikro pasif dan sensor radar satelit (Kidder

1981 dalam Wibowo 2010). Penggunaan sensor IR/VIS akan memberikan data emisi dari puncak awan atau di dekat puncak awan (Rosenfeld et al. 2004 dalam Michaelides 2008). Satelit yang membawa sensor IR ini adalah satelit-satelit dengan orbit

Geostationary Earth Orbit (GEO), yaitu satelit GEO-IR ini antara lain MTSAT, METEOSAT, dan GOES.

Pendugaan hujan juga dilakukan dengan pemanfaatan sensor pasif gelombang mikro. Prinsip dasar penggunaan sensor tersebut adalah menangkap intensitas radiasi gelombang mikro yang diemisikan oleh permukaan bumi, awan dan butir hujan (Hou

et al. 2008 dalam Michaelides 2008). Pendugaan besarnya intensitas hujan yang terbentuk dibutuhkan beberapa kalkulasi berdasarkan prinsip hukum radiasi Plank, dimana besarnya energi radiasi yang dikeluarkan oleh suatu benda menggambarkan suhu benda tersebut (Wibowo 2010).

Pengukuran curah hujan denagn menggunakan radar umumnya dilakukan dengan radar permukaan (ground base radar). Nilai intensitas hujan yang dihasilkan oleh sensor radar merupakan hasil pengukuran yang paling akurat dibanding sensor lainnya. Namun, kelemahan utama dari radar yaitu wilayah jangkauannya sangat terbatas sebesar 215 km (Wibowo 2010).

Keterbatasan kemampuan sensor pengukuran curah hujan satelit memungkinkan penggunaan kombinasi dari berbagai sensor. Salah satunya kombinasi sensor gelombang mikro dan sensor inframerah. Metode ini bertujuan untuk mendapatkan data curah hujan secara near real time. Beberapa proyek pendugaan curah hujan dengan metode kombinasi antara lain GPCP (Global Precipitation Climatology Project), Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP), TRMM TMPA (Tropical Rainfall Measuring Mission Multi-Satellite Precipitation Analysis), CMORPH (CPC MORPHing technique), dan Naval Research Laboratory (Decision Assistance Branch Meteorological Development Laboratory National Weather Service 2008).

2.4 CMORPH (CPC MORPHing

Technique)

(7)

untuk berbagai aplikasi penggunaa. Pendugaan curah hujan menggunakan data satelit dapat menjadi salah satu cara untuk menanggulangi masalah tersebut.

CMORPH (CPC MORPHing technique) merupakan salah satu teknik estimasi hujan dengan resolusi spasial dan temporal yang tinggi. Teknik ini berusaha menggabungkan antara hujan estimasi yang dihasilkan oleh passive microwave dan pergerakan awan dari satelit geostationary

yang berupa infrared 10.7 mikron saat ketinggian awan 4m (Decision Assistance Branch Meteorological Development Laboratory National Weather Service 2008).

Proses penggabungan tersebut menghasilkan keluaran data berupa (1) CMORPH periode 30 menitan dengan resolusi 0.0727o lintang/bujur di atas ekuator dan mencakup 60n-60S (2) CMORPH periode 3 jam-an dengan resolusi 0.25o lintang/bujur dan mencakup skala global (3) CMORPH periode harian dengan resolusi 0.25o lintang/bujur mencakup skala global (Joyce et al. 2004).

2.5 Statistical Downscalling

Downscaling merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mendapatkan informasi iklim regional/lokal yang diperoleh dari informasi global GCM (Global Circulation Model) melalui model hubungan antara iklim lokal/observasi dan iklim global/GCM (Sutikno 2008). Sementara itu, statistical downscalling adalah suatu proses

downscalling yang bersifat statik dimana data pada grid-grid berskala global dalam periode dan jangka waktu tertentu digunakan sebagai dasar untuk menentukan data pada grid berskala lokal (Wigena 2006).

Gambar 2 Ilustrasi downscaling.

Sumber : http://cccsn.ca/

Metode statistical downscalling

didasarkan pada asumsi bahwa iklim regional dikendalikan oleh dua faktor, yaitu kondisi iklim skala besar (resolusi rendah) dan kondisi fisiografik regional (Busuioc et al. 1999 dalam Sutikno 2008). Metode ini mencari informasi skala lokal dari skala global melalui hubungan fungsional antara kedua skala tersebut (Storch et al. 2001 dalam Wigena 2006). Namun untuk keadaan skala global yang sama, keadaan skala lokalnya dapat bervariasi atau adanya regionalisasi.

Statistical downscaling menjelaskan hubungan antara skala global dan lokal dengan lebih emmperhatiakn keakuratan model penduga untuk mempelajari dampak perubahan iklim (Yarnal et al. 2001 dalam Wigena 2006).

Selama ini ada berbagai teknik untuk pemodelan statistical downscaling, antara lain analisis regresi linier berganda, analisis regresi komponen utama, analisis korelasi kanonik, analisis regresi berstruktur pohon,

Multivariate Additive Regression Spline (MARS), Artificial Neural Network (ANN),

metode analog, dan model rantai Markov. Selain itu, ada beberapa metode pre-processing yang digunakan yaitu Single Value Decomposition (SVD) dan analisiskomponen utama. Beberapa metode yang berpotensi untuk pendugaan model statistical downscaling, misalnya model PPR (Projection Pursuit Regression), model aditif terampat (Generalized Additive Model/GAM),

dan metode Bayes (Sutikno 2008).

Menurut Sutikno (2008), beberapa permasalahan yang muncul dalam statistical downscaling antara lain :

a. Menentukan domain (grid) dan reduksi dimensi

b. Mendapatkan peubah penjelas yang mampu menjelaskan keragaman peubah lokal.

c. Mendapatkan metode statistik yang sesuai karakteristik data sehingga dapat menggambarkan hubungan antara peubah prediktan dan peubah penjelas, serta dapat mengakomodasikan kejadian ekstrim.

2.6 Partial Least Square (PLS)

(8)

5   

dengan peubah bebas sangat diperhatikan. Pendugaan yang dilakukan tidak bermakna jika prediktornya saling berkorelasi atau multikolinieritas (Bilfarsah 2005). Multikolinieritas merupakan hubungan linier yang sempurna atau pasti diantara beberapa atau semua peubah bebas dari model regresi berganda. Multikolinieritas yang tinggi akan menyebabkan koefisien regresi yang diperoleh tidak unik (Fitriani 2010).

Salah satu cara untuk mengatasi masalah multikolinieritas yang terjadi adalah dengan menggunakan metode kuadrat terkecil parsial (Partial Least Square/PLS). Metode kuadrat terkecil parsial merupakan soft model yang dapat menjelaskan struktur keragaman data dengan menggeneralisasi dan menggabungkan antara motode analisis faktor,

principal component analysis, dan multiple regression (Abdi 2007). Metode kuadrat terkecil parsial dapat dilihat sebagai dua bentuk yang saling berkaitan antara Canonical Correlation Analysis (CCA) dan Principal Component Analysis (PCA).

Metode ini bertujuan untuk membentuk komponen yang dapat menangkap informasi dari peubah bebas untuk memprediksi peubah respon. PLS terfokus pada kovarians diantara peubah bebas dan peubah tak bebas. Model yang dihasilkan akan mengoptimalkan hubungan prediksi antara dua komponen peubah. Metode ini terdiri dari dua tahapan, yaitu tahap building set

(membangun model) dan prediction set

(validasi) (Fitriani 2010). Proses penentuan model pada metode kuadrat terkecil parsial dapat dilakukan secara iterasi dengan melibatkan keragaman peubah x dan y. Struktur ragam dalam y akan mempengaruhi komponen kombinasi linier dalam x, dan sebaliknya (Bilfarsah 2005).

III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan mulai Maret – November 2010 di Laboratorium Klimatologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor serta CCROM SEAP (Center for Climate Risk Management in Southeast Asia and Pacific) Baranangsiang.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dengan beberapa perangkat lunak (software)

penunjang seperti Microsoft Office 2007,

Minitab 14, dan Arc View 3.3. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan keluaran CMORPH periode tahun 2003 sampai 2008. Data tersebut diperoleh dari http://cpc.ncep.noaa.gov. Data curah hujan observasi harian periode tahun 2003 sampai 2008 untuk Stasiun Simpang Tiga, Pekanbaru dan Stasiun Dabo Singkep. Data tersebut diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Jakarta. Data curah hujan observasi harian periode tahun 2003 sampai 2008 untuk stasiun Kijang, Tanjung Pinang dan Stasiun Japura Rengat. Data tersebut bersumber pada data yang dipertukarkan di bawah WMO yang dipublikasikan oleh NCDC-NOAA-USA.

3.3 Wilayah Kajian

Penelitian dilakukan dengan wilayah kajian meliputi empat titik pengamatan yang mewakili pola hujan ekuatorial, yaitu Pekanbaru dan Japura Rengat di Provinsi Riau serta Tanjung Pinang dan Dabo Singkep di Kepulauan Riau.

Tabel 1. Lokasi wilayah kajian

3.4 Metode Penelitian

3.4.1 Metode Pengumpulan Data dan Ekstraksi Data Satelit

Data satelit yang digunakan untuk pembangunan model statistical downscaling

adalah data CMORPH (CPC MORPHing Technique) dengan periode harian dan memiliki resolusi 0.25o lintang /bujur. Data ini dapat diperoleh dengan mengakses situs CPC NOAA melalui http://cpc.ncep.noaa.gov. Data tersebut tersimpan dalam format .zip sehingga dilakukan proses ekstraksi terlebih dahulu untuk menterjemahkan informasi dari raw

data menjadi informasi numerik sehingga dapat dibaca oleh model numerik. Selanjutnya dilakukan koreksi geometrik terhadap data tersebut sehingga koordinat lintang dan bujurnya sesuai dengan koordinat bumi yang sebenarnya (Oktavariani 2008).

3.4.2 Metode Pengolahan Data

Data CMORPH memberikan gambaran curah hujan estimasi secara global sehingga diperlukan tahap cropping untuk memperoleh data pada beberapa titik tertentu yang sesuai

(9)

dengan peubah bebas sangat diperhatikan. Pendugaan yang dilakukan tidak bermakna jika prediktornya saling berkorelasi atau multikolinieritas (Bilfarsah 2005). Multikolinieritas merupakan hubungan linier yang sempurna atau pasti diantara beberapa atau semua peubah bebas dari model regresi berganda. Multikolinieritas yang tinggi akan menyebabkan koefisien regresi yang diperoleh tidak unik (Fitriani 2010).

Salah satu cara untuk mengatasi masalah multikolinieritas yang terjadi adalah dengan menggunakan metode kuadrat terkecil parsial (Partial Least Square/PLS). Metode kuadrat terkecil parsial merupakan soft model yang dapat menjelaskan struktur keragaman data dengan menggeneralisasi dan menggabungkan antara motode analisis faktor,

principal component analysis, dan multiple regression (Abdi 2007). Metode kuadrat terkecil parsial dapat dilihat sebagai dua bentuk yang saling berkaitan antara Canonical Correlation Analysis (CCA) dan Principal Component Analysis (PCA).

Metode ini bertujuan untuk membentuk komponen yang dapat menangkap informasi dari peubah bebas untuk memprediksi peubah respon. PLS terfokus pada kovarians diantara peubah bebas dan peubah tak bebas. Model yang dihasilkan akan mengoptimalkan hubungan prediksi antara dua komponen peubah. Metode ini terdiri dari dua tahapan, yaitu tahap building set

(membangun model) dan prediction set

(validasi) (Fitriani 2010). Proses penentuan model pada metode kuadrat terkecil parsial dapat dilakukan secara iterasi dengan melibatkan keragaman peubah x dan y. Struktur ragam dalam y akan mempengaruhi komponen kombinasi linier dalam x, dan sebaliknya (Bilfarsah 2005).

III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan mulai Maret – November 2010 di Laboratorium Klimatologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor serta CCROM SEAP (Center for Climate Risk Management in Southeast Asia and Pacific) Baranangsiang.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dengan beberapa perangkat lunak (software)

penunjang seperti Microsoft Office 2007,

Minitab 14, dan Arc View 3.3. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan keluaran CMORPH periode tahun 2003 sampai 2008. Data tersebut diperoleh dari http://cpc.ncep.noaa.gov. Data curah hujan observasi harian periode tahun 2003 sampai 2008 untuk Stasiun Simpang Tiga, Pekanbaru dan Stasiun Dabo Singkep. Data tersebut diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Jakarta. Data curah hujan observasi harian periode tahun 2003 sampai 2008 untuk stasiun Kijang, Tanjung Pinang dan Stasiun Japura Rengat. Data tersebut bersumber pada data yang dipertukarkan di bawah WMO yang dipublikasikan oleh NCDC-NOAA-USA.

3.3 Wilayah Kajian

Penelitian dilakukan dengan wilayah kajian meliputi empat titik pengamatan yang mewakili pola hujan ekuatorial, yaitu Pekanbaru dan Japura Rengat di Provinsi Riau serta Tanjung Pinang dan Dabo Singkep di Kepulauan Riau.

Tabel 1. Lokasi wilayah kajian

3.4 Metode Penelitian

3.4.1 Metode Pengumpulan Data dan Ekstraksi Data Satelit

Data satelit yang digunakan untuk pembangunan model statistical downscaling

adalah data CMORPH (CPC MORPHing Technique) dengan periode harian dan memiliki resolusi 0.25o lintang /bujur. Data ini dapat diperoleh dengan mengakses situs CPC NOAA melalui http://cpc.ncep.noaa.gov. Data tersebut tersimpan dalam format .zip sehingga dilakukan proses ekstraksi terlebih dahulu untuk menterjemahkan informasi dari raw

data menjadi informasi numerik sehingga dapat dibaca oleh model numerik. Selanjutnya dilakukan koreksi geometrik terhadap data tersebut sehingga koordinat lintang dan bujurnya sesuai dengan koordinat bumi yang sebenarnya (Oktavariani 2008).

3.4.2 Metode Pengolahan Data

Data CMORPH memberikan gambaran curah hujan estimasi secara global sehingga diperlukan tahap cropping untuk memperoleh data pada beberapa titik tertentu yang sesuai

(10)

6   

dengan wilayah yang dibutuhkan. Informasi numerik tersebut diperoleh dengan mengkonversi informasi hujan format

shapefile menjadi format text (Lampiran 2) sehingga akan diperoleh nilai curah hujan yang diinginkan.

Keluaran estimasi curah hujan dari CMORPH yang berskala global membuat data ini kurang kompatibel digunakan langsung dalam skala regional untuk menduga hujan lokal. Oleh karena itu, dilakukan teknik

downscalling informasi curah hujan skala global yang meliputi empat domain, yaitu domain 3x3 (9 grid), domain 5x5 (25 grid), domain 7x7 (49 grid), dan domain 9x9 (81 grid) untuk setiap wilayah kajian.

3.4.3 Analisis Pola Hubungan Curah Huajn Observasi dan Curah Hujan CMORPH

Analisis pola hubungan data observasi dan CMORPH dilakukan untuk melihat kemampuan data hujan CMORPH dalam estimasi curah hujan di permukaan. Setelah cukup yakin bahwa data CMORPH dapat mengikuti pola curah hujan observasi, maka dilakukan uji dua regresi untuk meninjau apakah perlu dilakukan pemisahan model estimasi curah hujan musim hujan dan musim kemarau dengan membangun persamaan regresi sederhana dan mengganggap intersep = 0 sehingga persamaannya menjadi Y = bx.

Uji dua regesi dilakukan dengan persamaan :

Jika z < taraf nyata berarti kedua persamaan tidak berbeda nyata, sehingga tidak perlu dilakukan pemisahan antara musim hujan dan musim kemarau. Sebaliknya jika z > taraf nyata berarti kedua persamaan berbeda nyata sehingga perlu dilakukan pemisahan antara musim hujan dan musim kemarau. Taraf nyata yang digunakan pada penelitian ini adalah 5%.

3.4.4 Analisis Regresi Curah Hujan Observasi dan Curah Hujan CMORPH

Regresi linier merupakan salah satu metode statistika yang digunakan untuk membentuk model hubungan antara peubah terikat (peubah respon ; y) dengan satu atau lebih peubah bebas (prediktor ; x) (Kurniawan 2008). Apabila banyaknya peubah bebas

hanya ada satu maka disebut regresi linier sederhana, sedangkan jika terdapat lebih dari satu peubah bebas maka disebut regresi linier berganda. Pembangunan model estimasi berdasarkan regresi sederhana untuk setiap titik pengamatan dibangun dari hubungan antara curah hujan observasi sebagai peubah terikat dan rataan curah hujan CMORPH sebagai peubah bebas sesuai dengan ukuran domainnya.

3.4.5 Analisis Partial Least Square (PLS) Curah Hujan Observasi dan Curah Hujan CMORPH

Model estimasi curah hujan dibangun berdasarkan data CMORPH harian dengan periode Januari 2003 – Desember 2008. Data tersebut kemudian dikonversi menjadi data dasarian (10 harian). Hal ini dilakukan karena fluktuasi dan variabilitas curah hujan terlihat lebih jelas dibandingkan dengan menggunakan data harian.

Pembangunan model estimasi pada penelitian ini dilakukan berdasarkan metode

Partial Least Square (PLS). Metode ini bertujuan untuk mengatasi adanya multikolinieritas dari model regresi sederhana sehingga data tidak menjadi bias. Multikolinieritas dapat diketahui berdasarkan nilai VIF (Variation Inflation Factor), dimana VIF merupakan faktor yang mengukur seberapa besar kenaikan varian dari koefisien regresi dibandingkan dengan peubah bebas lain yang saling orthogonal (Fitriani 2010). VIF dapat dihitung dengan persamaan :

VIF ...(2) dengan Ri2 adalah koefisien determinasi (R2) dari peubah bebas (x) lainnya di dalam model. Model yang dihasilkan oleh PLS mengoptimalkan hubungan prediksi antara dua kelompok peubah. Proses penentuan model pada PLS dilakukan secara iterasi dengan melibatkan keragaman pada peubah x dan y. Struktur ragam dalam y mempengaruhi perhitungan komponen kombinasi linier dalam x dan sebaliknya, struktur ragam dalam x berpengaruh terhadap kombinasi linier dalam Y (Bilfarsah 2005). Persamaan model PLS adalah:

Y = a + b1X1 + b2X2 +...+ bnXn 3.4.6 Validasi Model

(11)

kemampuan untuk mengikuti variasi hujan permukaan. Keterandalan model dapat dilihat dari beberapa parameter, antara lain :

• Koefisien korelasi

Korelasi dinyatakan dengan suatu koefisien yang menunjukkan hubungan (linier) relatif antara dua peubah (Sucahyono

et al. 2009). Persamaan koefisien korelasi adalah :

r ∑ ∑ ∑

∑ ∑ ∑ ∑

... (3)

Jika nilai koefisien korelasi curah hujan estimasi dengan curah hujan observasi semakin besar maka semakin kuat hubungan diantara keduanya sehingga pola nilai estimasi akan semakin mendekati pola data aktualnya. • Root Mean Square Error (RMSE)

Galat atau error didefinisikan sebagai selisih antara curah hujan estimasi dengan curah hujan observasi (Wibowo 2010). RMSE menunjukkan tingkat bias pendugaan yang dilakukan oleh model estimasi curah hujan. RMSE dapat diketahui dengan persamaan sebagai berikut :

RMSE = ∑ ... (4)

Jika nilai RMSE antara curah hujan estimasi dan curah hujan observasi semakin kecil maka semakin kecil perbedaan diantara keduanya sehingga nilai estimasi akan semakin akurat. • Uji Pearson

Uji Pearson merupakan uji non parametrik dalam statistika. Uji ini dilakukan untuk menyatakan ada atau tidaknya hubungan antara peubah x dengan peubah y dan melihat seberapa besar sumbangan suatu peubah terhadap peubah lainnya.

Hipotesis yang digunakan pada penelitian ini, yaitu :

™ Ho : tidak terdapat hubungan yang signifikan antara curah hujan estimasi dan curah hujan observasi.

™ H1 : terdapat hubungan yang signifikan antara curah hujan estimasi dan curah hujan observasi.

Hipotesis diterima berdasarkan nilai P value, jika P value kurang dari selang kepercayaan (α) maka tolak Ho dan kedua data berbeda secara nyata.

IV. PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Klimatologi

Riau merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki wilayah di daratan dan lautan sehingga terbagi menjadi provinsi Riau dan provinsi Kepulauan Riau. Provinsi Riau secara geografis terletak antara 01° 05' 00'' LS - 02° 25' 00'' LU dan antara 100° 00' 00'' - 105° 05' 00'' BT. Provinsi ini terdiri dari 9 kabupaten dan 2 kota dengan luas wilayah 89 150 km2. Secara umum, wilayah Provinsi Riau memiliki topografi dataran rendah dan agak bergelombang dengan ketinggian pada beberapa kota antara 2-91 mdpl (http://www.riau.go.id). 

Provinsi Kepulauan Riau merupakan provinsi baru hasil pemekaran dari Provinsi Riau berdasarkan UU No. 25 tahun 2002. Provinsi ini terletak antara 01o 10' 00'' LS – 5o 10' 00'' LU dan antara 102o 50' 00'' – 109o 20' 00'' BT. Provinsi Kepulauan Riau terdiri dari 4 kabupaten dan 2 kota dengan luas wilayah 252 601 km2, sekitar 95 % berupa lautan dan

sisanya berupa daratan (http://www.kepriprov.go.id). Penelitian ini

mengambil empat titik pengamatan, yaitu Provinsi Riau diwakili oleh stasiun Pekanbaru dan stasiun Japura Rengat. Sementara itu, Kepualuan Riau diwakili oleh stasiun Tanjung Pinang dan Dabo Singkep.

(12)

7   

kemampuan untuk mengikuti variasi hujan permukaan. Keterandalan model dapat dilihat dari beberapa parameter, antara lain :

• Koefisien korelasi

Korelasi dinyatakan dengan suatu koefisien yang menunjukkan hubungan (linier) relatif antara dua peubah (Sucahyono

et al. 2009). Persamaan koefisien korelasi adalah :

r ∑ ∑ ∑

∑ ∑ ∑ ∑

... (3)

Jika nilai koefisien korelasi curah hujan estimasi dengan curah hujan observasi semakin besar maka semakin kuat hubungan diantara keduanya sehingga pola nilai estimasi akan semakin mendekati pola data aktualnya. • Root Mean Square Error (RMSE)

Galat atau error didefinisikan sebagai selisih antara curah hujan estimasi dengan curah hujan observasi (Wibowo 2010). RMSE menunjukkan tingkat bias pendugaan yang dilakukan oleh model estimasi curah hujan. RMSE dapat diketahui dengan persamaan sebagai berikut :

RMSE = ∑ ... (4)

Jika nilai RMSE antara curah hujan estimasi dan curah hujan observasi semakin kecil maka semakin kecil perbedaan diantara keduanya sehingga nilai estimasi akan semakin akurat. • Uji Pearson

Uji Pearson merupakan uji non parametrik dalam statistika. Uji ini dilakukan untuk menyatakan ada atau tidaknya hubungan antara peubah x dengan peubah y dan melihat seberapa besar sumbangan suatu peubah terhadap peubah lainnya.

Hipotesis yang digunakan pada penelitian ini, yaitu :

™ Ho : tidak terdapat hubungan yang signifikan antara curah hujan estimasi dan curah hujan observasi.

™ H1 : terdapat hubungan yang signifikan antara curah hujan estimasi dan curah hujan observasi.

Hipotesis diterima berdasarkan nilai P value, jika P value kurang dari selang kepercayaan (α) maka tolak Ho dan kedua data berbeda secara nyata.

IV. PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Klimatologi

Riau merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki wilayah di daratan dan lautan sehingga terbagi menjadi provinsi Riau dan provinsi Kepulauan Riau. Provinsi Riau secara geografis terletak antara 01° 05' 00'' LS - 02° 25' 00'' LU dan antara 100° 00' 00'' - 105° 05' 00'' BT. Provinsi ini terdiri dari 9 kabupaten dan 2 kota dengan luas wilayah 89 150 km2. Secara umum, wilayah Provinsi Riau memiliki topografi dataran rendah dan agak bergelombang dengan ketinggian pada beberapa kota antara 2-91 mdpl (http://www.riau.go.id). 

Provinsi Kepulauan Riau merupakan provinsi baru hasil pemekaran dari Provinsi Riau berdasarkan UU No. 25 tahun 2002. Provinsi ini terletak antara 01o 10' 00'' LS – 5o 10' 00'' LU dan antara 102o 50' 00'' – 109o 20' 00'' BT. Provinsi Kepulauan Riau terdiri dari 4 kabupaten dan 2 kota dengan luas wilayah 252 601 km2, sekitar 95 % berupa lautan dan

sisanya berupa daratan (http://www.kepriprov.go.id). Penelitian ini

mengambil empat titik pengamatan, yaitu Provinsi Riau diwakili oleh stasiun Pekanbaru dan stasiun Japura Rengat. Sementara itu, Kepualuan Riau diwakili oleh stasiun Tanjung Pinang dan Dabo Singkep.

(13)

Gambar 3 Pola hujan wilayah Riau.

4.2 Analisis Pola Hubungan Curah Hujan Observasi Terhadap Curah Hujan CMORPH

Penggunaan data penginderaan jauh untuk menduga unsur-unsur iklim, misalnya curah hujan diharapkan dapat menanggulangi masalah ketersediaan data. Penelitian ini mencoba mengkaji penggunaan data CMORPH untuk pendugaan curah hujan di wilayah Riau. Umumnya, data penginderaan jauh bersifat global sehingga dalam pemanfaatannya perlu dilakukan tinjauan awal pola hubungannya dengan data observasi di permukaan.

Pola hubungan antara data observasi dan data CMORPH dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan hasil plotting kedua data (Gambar 4) tersebut pada masing-masing wilayah kajian menunjukkan bahwa pola curah hujan CMORPH cukup mampu

mengikuti pola dan variasi curah hujan permukaan. Dengan demikian, data CMORPH memiliki potensi yang cukup baik untuk digunakan dalam menduga curah hujan di permukaan.

(14)

9   

Gambar 4 Pola hubungan curah hujan dasarian observasi dengan data CMORPH pada masing-masing lokasi penelitian.

Pembangunan model estimasi curah hujan perlu memperhitungkan pengaruh musim. Oleh karena itu, penelitian ini terlebih dulu melakukan pemisahan antara musim hujan dan musim kemarau dengan menggunakan uji nyata dua regresi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah perlu dilakukan pemisahan model estimasi untuk musim hujan dan musim kemarau.

Hasil uji dua regresi menunjukkan bahwa nilai α lebih besar daripada taraf nyata sebesar 5% (Lampiran 3-6). Hal ini berarti bahwa persamaan regresi musim hujan dan musim kemarau tidak berbeda nyata, sehingga kedua persamaan tersebut tidak saling berkorelasi. Dengan demikian, dalam penelitian ini selanjutnya tidak diperlukan pemisahan model estimasi antara musim hujan dengan kemarau.

4.3 Analisis Regresi Curah Hujan Observasi dan Curah Hujan CMORPH

Analisis pola hubungan antara data observasi dan CMORPH juga dilakukan dengan regresi linier. Regresi linier

(15)

Tabel 2. Nilai koefisien korelasi (r) dan determinasi (R2) untuk masing-masing stasiun hujan berdasarkan analisis regresi sederhana

Stasiun R

Secara umum, berdasarkan Tabel 2 tampak bahwa korelasi antara data observasi dengan data CMORPH pada masing-masing domain di masing-masing wilayah penelitian cukup tinggi berkisar antara 0.509 hingga 0.728 dengan tingkat keragaman berkisar antara 10.7% hingga 47.5%. Hal ini menunjukkan bahwa data CMORPH cukup baik digunakan sebagai prediktor curah hujan permukaan dan dapat mewakili sekitar 10.7% hingga 47.5% keragaman hujan yang terjadi. Selain itu, berdasarkan Tabel 2 tampak pula bahwa data CMORPH memiliki kemampuan lebih baik dalam mengestimasi curah hujan di wilayah Pekanbaru dan Dabo Singkep dibandingkan dengan di wilayah Japura Rengat dan Tanjung Pinang. Hal ini terlihat dari nilai koefisien korelasi dan determinasi yang dihasilkan relatif lebih kecil dibandingkan dengan Pekanbaru dan Dabo Singkep.

4.4 Analisis Partial Least Square Curah Hujan Observasi dan Curah Hujan CMORPH

Pembangunan model regresi antara data observasi dan data CMORPH dengan melibatkan peubah bebas (x) yang cukup banyak menimbulkan multikolieritas. Multikolinieritas merupakan suatu kondisi dimana terjadi korelasi yang kuat diantara peubah bebas (x) yang diikutsertakan dalam pembentukan model regresi linier (Handoyo 2008). Hal ini akan menghasilkan penduga model regresi yang bias, tidak stabil, dan

mungkin jauh dari nilai sasarannya (Bilfarsah 2005). Multikolinieritas dapat dideteksi dari nilai VIF (Variation Inflation Faktor), dimana jika VIF > 10 maka telah terjadi multikolinieritas.

Berdasarkan hasil perhitungan nilai VIF (Lampiran 7 – 10) diketahui bahwa model regresi pada setiap titik pengamatan di masing-masing domain memiliki nilai VIF yang lebih besar dari 10. Hal ini mengindikasikan adanya multikolinieritas. Multikolinearitas dapat diatasi dengan mereduksi peubah bebas. Salah satu cara untuk mengatasi masalah multikolinearitas adalah melalui metode kuadrat terkecil parsial (partial least square). Metode ini lebih menitikberatkan pada kovarians diantara peubah bebas dan peubah tak bebas.

4.4.1 Keragaman Peubah Bebas

Berdasarkan Metode Partial Least Square (PLS)

(16)

11   

Tabel 3. Keragaman x dan koefisien daterminasi (R2) berdasarkan metode Partial Least Square Stasiun Domain Jumlah PC x variance R2 (%)

Secara umum berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa nilai x variance akan meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah komponen. Domain 3x3 dan 5x5 dengan menggunakan lima buah komponen sudah dapat menggambarkan keragaman curah hujan CMORPH sebesar 90%. Sedangkan domain 7x7, hanya diperlukan tiga komponen untuk dapat mewakili peubah bebas secara keseluruhan. Hal ini dimungkinkan karena pada domain 7x7 distribusi peubah cukup baik sehingga hanya dengan jumlah komponen yang sedikit maka sudah dapat menggambarkan keragaman peubah bebas. Namun, domain 9x9 justru memerlukan jumlah komponen yang relatif lebih banyak, yaitu 12 komponen untuk dapat menggambarkan keragaman curah hujan CMORPH pada wilayah kajian. Hal ini diakibatkan tidak semua peubah bebas dalam domain tersebut dapat mewakili keragaman curah hujan. Dengan demikian, jumlah komponen yang digunakan untuk menggambarkan keragaman yang hujan tidak bergantung pada ukuran domain.

4.4.2 Koefisien Determinasi Berdasarkan Metode Partial Least Square (PLS)

Nilai koefisien determinsi menunjukkan proporsi keragaman atau variasi

total dalam nilai peubah tak bebas yang dapat diterangkan atau diakibatkan oleh hubungan linier dengan nilai peubah bebas (Ulkhaq 2010). Nilai koefisien determinasi (R2) dapat memberikan informasi tambahan mengenai penentuan jumlah komponen yang digunakan dalam pembangunan model estimasi (Kusaeri 2010). Nilai koefisien determinasi untuk masing-masing domain pada setiap titik pengamatan ditunjukkan pada Tabel 3.

(17)

Gambar 5 Perbandingan nilai koefisien determinasi (R2) antara regresi sederhana dan

Partial Least Square (PLS).

Secara umum, nilai koefisien determinasi berdasarkan metode kuadrat terkecil (Partial Least Square) akan mengalami peningkatan dibandingkan dengan menggunakan regresi sederhana. Peningkatan nilai koefisien determinasi rata-rata sebesar 50% seperti terlihat pada Gambar 5, dimana perbandingan antara kedua metode tersebut memiliki hasil akhir yang sangat jauh berbeda. Dengan demikian, penggunaan metode kuadrat terkecil parsial (Partial Least Square) melalui pereduksian peubah bebas data CMORPH terbukti dapat mengatasi masalah multikolinearitas.

4.5 Validasi Model

Suatu model estimasi curah hujan yang dihasilkan masih harus ditinjau keterandalannya untuk melihat apakah data estimasi memilki kemampuan untuk mengikuti variasi hujan permukaan. Keterandalan suatu model dapat dilihat melalui proses validasi antara data estimasi

dengan data observasi. Suatu model estimasi curah hujan dapat dikatakan layak digunakan untuk menduga curah hujan jika hasil validasi modelnya baik.

Tingkat keterandalan model dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi antara curah hujan observasi dan curah hujan estimasi. Jika nilai koefisien korelasi curah hujan estimasi dengan curah hujan observasi semakin besar maka semakin kuat hubungan diantara keduanya sehingga pola nilai estimasi akan semakin mendekati pola data aktualnya. Selain itu, tingkat keterandalan model juga dapat dilihat dari nilai RMSE (Root Mean Square Error). Jika nilai RMSE antara curah hujan estimasi dan curah hujan observasi semakin kecil maka semakin kecil perbedaan diantara keduanya sehingga nilai estimasi akan semakin akurat. Hasil validasi model estimasi untuk masing-masing domain pada setiap titik pengamatan ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Parameter statistik dalam validasi model

Stasiun Verifikasi Validasi Domain Korelasi RMSE P value R2 Prediksi (%)

Japura Rengat 2003-2007 2008

3x3 0.505 35.44 0.002 25.4

5x5 0.551 34.43 0.000 30.3

7x7 0.491 35.88 0.002 24.1

9x9 0.521 34.89 0.001 27.1

Tanjung Pinang 2003-2007 2008

3x3 0.237 61.96 0.165 5.6

5x5 0.136 66.20 0.429 1.8

7x7 0.177 67.33 0.301 3.1

9x9 0.151 73.79 0.379 2.2

Dabo Singkep 2003-2007 2008

3x3 0.663 53.35 0.000 43.9

5x5 0.540 70.80 0.001 29.1

7x7 0.595 64.31 0.000 35.4

(18)

13   

Wilayah Riau dibagi menjadi dua bagian, yaitu wilayah daratan (Provinsi Riau) dan wilayah kepulauan (Kepulauan Riau). Wilayah daratan diwakili oleh Pekanbaru dan Japura Rengat. Sementara wilayah kepulauan diwakili oleh Tanjung Pinang dan Dabo Singkep. Karakteristik hujan kedua wilayah tersebut dipengaruhi oleh kondisi sekitar stasiun pengamatan.

Curah hujan estimasi wilayah Pekanbaru menunjukkan korelasi yang signifikan dengan curah hujan observasi. Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi yang relatif tinggi, yaitu berkisar 0.607 hingga

0.700. Sementara itu, berdasarkan uji Pearson diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara curah hujan estimasi dengan curah hujan observasi sehingga ada korelasi diantara kedua data tersebut. Hasil validasi model estimasi menunjukkan variabilitas curah hujan lebih sering terjadi saat musim hujan, dengan faktor kesalahan atau galat terkecil sebesar 45.20 mm yaitu pada domain 5x5. Dengan demikian, model estimasi curah hujan pada domain 5x5 memberikan hasil keluaran estimasi terbaik dalam mengestimasi curah hujan wilayah Pekanbaru dibandingkan domain lainnya.

Gambar 6 Pola curah hujan observasi dan curah hujan estimasi Pekanbaru.

Perbandingan antara curah hujan observasi dengan curah hujan estimasi ditunjukkan oleh Gambar 6. Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa curah hujan observasi dan curah hujan estimasi memiliki pola yang hampir sama. Namun, secara umum model estimasi curah hujan untuk wilayah

(19)

Gambar 7 Pola curah hujan observasi dan curah hujan estimasi Japura Rengat.

Hasil validasi curah hujan observasi dan curah hujan estimasi wilayah Japura Rengat memiliki korelasi yang signifikan diantara kedua data tersebut. Hal ini terlihat dari nilai koefisien korelasi yang relatif tinggi, yaitu berkisar 0.491 hingga 0.551 seperti ditunjukkan oleh Tabel 4. Berbeda dengan wilayah Pekanbaru, curah hujan estimasi pada wilayah Japura Rengat bersifat under estimate

atau hasil estimasi curah hujan memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan

kondisi sebenarnya seperti terlihat pada Gambar 7. Nilai curah hujan yang bersifat

(20)

15   

Gambar 8 Pola curah hujan observasi dan curah hujan estimasi Tanjung Pinang.

Curah hujan estimasi pada wilayah Tanjung Pinang menunjukkan korelasi yang tidak signifikan dengan curah hujan observasi. Hal ini terlihat dari nilai koefisien korelasi yang relatif rendah. Selain itu, uji Pearson juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara curah hujan estimasi dan curah hujan observasi. Oleh karena itu, curah hujan CMORPH kurang mampu mengestimasi curah hujan permukaan wilayah Tanjung Pinang.

Berdasarkan Gambar 8 diketahui bahwa curah hujan estimasi dan curah hujan observasi memiliki pola yang tidak signifikan. Selain itu, curah hujan hasil estimasi juga bersifat under estimate. Kondisi ini menyebabkan nilai galat menjadi tinggi sehingga menjadikan nilai Root Mean Square Error (RMSE) juga meningkat. Oleh karena itu, model estimasi yang dibangun kurang baik dalam mengestimasi curah hujan permukaan wilayah Tanjung Pinang.

Validasi curah hujan estimasi dengan curah hujan observasi wilayah Dabo Singkep menunjukkan korelasi yang cukup signifikan,

(21)

Gambar 9 Pola curah hujan observasi dan curah hujan estimasi Dabo Singkep.

Secara keseluruhan, curah hujan estimasi cukup mampu mengikuti pola curah hujan permukaan. Namun, untuk bulan Agustus hingga November yang diperkirakan bulan-bulan basah curah hujan estimasi menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan dengan curah hujan observasi. Hal ini dimungkinkan tingginya variabilitas curah hujan yang terjadi pada bulan-bulan tersebut. Jika ditinjau dari kondisi wilayah terlihat bahwa untuk wilayah daratan, domain yang memberikan hasil keluaran terbaik adalah domain 5x5. Sementara itu untuk wilayah kepulauan, domain 3x3 memberikan hasil keluaran yang terbaik. Hal ini disebabkan oleh kondisi wilayah, dimana wilayah kepulauan akan lebih dipengaruhi oleh faktor lautan. Selain itu, model estimasi curah hujan akan memberikan hasil keluaran yang lebih baik pada wilayah daratan. Dengan demikian, curah hujan CMORPH lebih baik digunakan dalam mengestimasi curah hujan permukaan pada wilayah daratan.

V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Curah hujan CMORPH mampu mengikuti pola dan variasi curah hujan permukaan sehingga baik digunakan sebagai prediktor curah hujan permukaan, dimana curah hujan CMORPH mampu mewakili sekitar 10.7% hingga 47.5% keragaman hujan yang terjadi. Teknik downscaling dengan menggunakan partial least square (PLS) lebih baik dibandingkan teknik downscaling dengan menggunakan regresi sederhana, dimana penggunaan PLS dapat meningkatkan nilai koefisien determinasi (R2) dari 47.5% dengan menggunakan regresi sederhana menjadi 98.7% dengan menggunakan PLS. Validasi

model menunjukkan bahwa untuk wilayah daratan, domain yang memberikan hasil keluaran terbaik adalah domain 5x5. Sementara itu untuk wilayah kepulauan, domain 3x3 memberikan hasil keluaran yang terbaik. Dengan demikian, curah hujan CMORPH lebih baik digunakan dalam mengestimasi curah hujan permukaan wilayah daratan.

5.2 Saran

• Kebutuhan periode data yang lebih panjang dan kualitas data yang lebih baik sangat dibutuhkan untuk memberikan hasil estimasi yang lebih akurat.

• Kajian efektifitas penggunaan domain dan bentuk domain masih sangat terbatas sehingga diperlukan kajian lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Abdi H. 2007. Partial Least Square (PLS) Regression. The University of Texas. Dallas, USA.

Asdak C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

[Balitklimat] Balai Penelitian Agroklimat. 2007. Pengembangan Sistem Informasi Spasial Database Iklim Nasional. http://balitklimat.litbang.deptan.go.id/. [30 Agustus 2010].

Bilfarsah A. 2005. Efektifitas Metode Aditif Spline Kuadrat Terkecil Parsial Dalam Pendugaan Model Regresi. Makara Sains Vol 9 No. 1, Page 28-33.

(22)

16   

Gambar 9 Pola curah hujan observasi dan curah hujan estimasi Dabo Singkep.

Secara keseluruhan, curah hujan estimasi cukup mampu mengikuti pola curah hujan permukaan. Namun, untuk bulan Agustus hingga November yang diperkirakan bulan-bulan basah curah hujan estimasi menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan dengan curah hujan observasi. Hal ini dimungkinkan tingginya variabilitas curah hujan yang terjadi pada bulan-bulan tersebut. Jika ditinjau dari kondisi wilayah terlihat bahwa untuk wilayah daratan, domain yang memberikan hasil keluaran terbaik adalah domain 5x5. Sementara itu untuk wilayah kepulauan, domain 3x3 memberikan hasil keluaran yang terbaik. Hal ini disebabkan oleh kondisi wilayah, dimana wilayah kepulauan akan lebih dipengaruhi oleh faktor lautan. Selain itu, model estimasi curah hujan akan memberikan hasil keluaran yang lebih baik pada wilayah daratan. Dengan demikian, curah hujan CMORPH lebih baik digunakan dalam mengestimasi curah hujan permukaan pada wilayah daratan.

V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Curah hujan CMORPH mampu mengikuti pola dan variasi curah hujan permukaan sehingga baik digunakan sebagai prediktor curah hujan permukaan, dimana curah hujan CMORPH mampu mewakili sekitar 10.7% hingga 47.5% keragaman hujan yang terjadi. Teknik downscaling dengan menggunakan partial least square (PLS) lebih baik dibandingkan teknik downscaling dengan menggunakan regresi sederhana, dimana penggunaan PLS dapat meningkatkan nilai koefisien determinasi (R2) dari 47.5% dengan menggunakan regresi sederhana menjadi 98.7% dengan menggunakan PLS. Validasi

model menunjukkan bahwa untuk wilayah daratan, domain yang memberikan hasil keluaran terbaik adalah domain 5x5. Sementara itu untuk wilayah kepulauan, domain 3x3 memberikan hasil keluaran yang terbaik. Dengan demikian, curah hujan CMORPH lebih baik digunakan dalam mengestimasi curah hujan permukaan wilayah daratan.

5.2 Saran

• Kebutuhan periode data yang lebih panjang dan kualitas data yang lebih baik sangat dibutuhkan untuk memberikan hasil estimasi yang lebih akurat.

• Kajian efektifitas penggunaan domain dan bentuk domain masih sangat terbatas sehingga diperlukan kajian lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Abdi H. 2007. Partial Least Square (PLS) Regression. The University of Texas. Dallas, USA.

Asdak C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

[Balitklimat] Balai Penelitian Agroklimat. 2007. Pengembangan Sistem Informasi Spasial Database Iklim Nasional. http://balitklimat.litbang.deptan.go.id/. [30 Agustus 2010].

Bilfarsah A. 2005. Efektifitas Metode Aditif Spline Kuadrat Terkecil Parsial Dalam Pendugaan Model Regresi. Makara Sains Vol 9 No. 1, Page 28-33.

(23)

ESTIMASI CURAH HUJAN BERDASARKAN DATA CMORPH

(

CPC MORPHING TECHNIQUE

) WILAYAH RIAU

TRI YULI KURNIAWATI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(24)

16   

Gambar 9 Pola curah hujan observasi dan curah hujan estimasi Dabo Singkep.

Secara keseluruhan, curah hujan estimasi cukup mampu mengikuti pola curah hujan permukaan. Namun, untuk bulan Agustus hingga November yang diperkirakan bulan-bulan basah curah hujan estimasi menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan dengan curah hujan observasi. Hal ini dimungkinkan tingginya variabilitas curah hujan yang terjadi pada bulan-bulan tersebut. Jika ditinjau dari kondisi wilayah terlihat bahwa untuk wilayah daratan, domain yang memberikan hasil keluaran terbaik adalah domain 5x5. Sementara itu untuk wilayah kepulauan, domain 3x3 memberikan hasil keluaran yang terbaik. Hal ini disebabkan oleh kondisi wilayah, dimana wilayah kepulauan akan lebih dipengaruhi oleh faktor lautan. Selain itu, model estimasi curah hujan akan memberikan hasil keluaran yang lebih baik pada wilayah daratan. Dengan demikian, curah hujan CMORPH lebih baik digunakan dalam mengestimasi curah hujan permukaan pada wilayah daratan.

V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Curah hujan CMORPH mampu mengikuti pola dan variasi curah hujan permukaan sehingga baik digunakan sebagai prediktor curah hujan permukaan, dimana curah hujan CMORPH mampu mewakili sekitar 10.7% hingga 47.5% keragaman hujan yang terjadi. Teknik downscaling dengan menggunakan partial least square (PLS) lebih baik dibandingkan teknik downscaling dengan menggunakan regresi sederhana, dimana penggunaan PLS dapat meningkatkan nilai koefisien determinasi (R2) dari 47.5% dengan menggunakan regresi sederhana menjadi 98.7% dengan menggunakan PLS. Validasi

model menunjukkan bahwa untuk wilayah daratan, domain yang memberikan hasil keluaran terbaik adalah domain 5x5. Sementara itu untuk wilayah kepulauan, domain 3x3 memberikan hasil keluaran yang terbaik. Dengan demikian, curah hujan CMORPH lebih baik digunakan dalam mengestimasi curah hujan permukaan wilayah daratan.

5.2 Saran

• Kebutuhan periode data yang lebih panjang dan kualitas data yang lebih baik sangat dibutuhkan untuk memberikan hasil estimasi yang lebih akurat.

• Kajian efektifitas penggunaan domain dan bentuk domain masih sangat terbatas sehingga diperlukan kajian lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Abdi H. 2007. Partial Least Square (PLS) Regression. The University of Texas. Dallas, USA.

Asdak C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

[Balitklimat] Balai Penelitian Agroklimat. 2007. Pengembangan Sistem Informasi Spasial Database Iklim Nasional. http://balitklimat.litbang.deptan.go.id/. [30 Agustus 2010].

Bilfarsah A. 2005. Efektifitas Metode Aditif Spline Kuadrat Terkecil Parsial Dalam Pendugaan Model Regresi. Makara Sains Vol 9 No. 1, Page 28-33.

(25)

dalm Bidang pemodelan dan Simulasi Pertanian dan Lingkungan, Bogor, 1-13 Juli 2002.

Boer R. 2002. Fenomena ENSO dan Hubungannya Dengan Keragaman Hujan di Indonesia dalam Pelatihan Dosen PT Se-Sumatera-Kalimantan dalm Bidang Pemodelan dan Simulasi Pertanian dan Lingkungan, Bogor, 1-13 Juli 2002.

Budiyanto E. 2008. Penginderaan Jauh Sistem

Aktif dan Pasif. http://www.geounesa.net/. [30 Oktober

2010].

Busuioc A, von Stroch H, Schnur R. 1999. Verification of GCM-Generated Regional Seasonal Precipitation for Current Climate and of Statistical Downscaling Estimates under Changing Climate Conditions. Journal Climate 12:258-272.

Canadian Climate Change Scenarios Network. 2010. Downscaling. http://cccsn.ca/. [30 Agustus 2010].

Decision Assistance Branch Meteorological Development Laboratory National Weather Service. 2008. An Overview of Satellite-Based Rainfall Techniques dalam Sixth NOAA CREST Sysposium, Puerto Rico.

Fitriani A. 2010. Metode Regresi Kuadrat Terkecil Parsial Untuk Pra-Pemrosesan Data Luaran GCM CSIRO Mk-3. [Skripsi]. Jurusan Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh November. Tidak dipublikasikan.

Formayer H. 2005. Statistical Downscaling dalam Agridema Workshop, Vienna, November 2005.

Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Pustaka Jaya. Jakarta.

Handoyo D. 2008. Analisis Korelasi Linier Sederhana. http://ilmustatistik.com. [29 September 2010].

Hou A H, Jackson S, Kummerow, dan Shepherd. 2008. Global Precipitation Measurement. In : Michaelides 2008. Springer, Berlin.

Joyce R J, Janowiak J E, Arkin P A, dan Xie P. 2004. CMORPH : A Method that Produces Global Precipitation Estimates from Passive Microwave and Infrared Data at High Spatial and Temporal Resolution. Journal Hydromet 5, Page 487-503.

Kadarsah. 2007. Tiga Pola Curah Hujan Indonesia.

http://kadarsah.wordpress.com/. [29 September 2010].

Kidder S Q. 1981. The Measurement of Precipitation Frequencies by Passive Microwave Radiometer. In : Precipitation Measurements From Space, Workshop Report. October 1981. NASA Goddard Space Flight Center, Greenbelt.

Kurniawan D. Rgresi Linier. http://ineddeni.wordpress.com. [30 Agustus 2010].

Kusaeri H. 2010. Statistical Downscaling

Data Curah Hujan Luaran GCM (General Circulation Model ) untuk Wilayah DAS Cisadane, Jawa Barat. [Skripsi]. Departemen Meteorologi dan Geofisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Lillesand & Kiefer. 1997. Penginderaan Jauh

dan Interpretasi Citra. Dulbahri (Penerjemah). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Michaelides S. 2008. Precipitation: Advances in Measurement, Estimation and Prediction. Springer: Berlin.

Oktavariani D. 2008. Evaluasi Ketepatan Luaran Data CMORPH Untuk Interpolasi Data Hujan di Indonesia. [Skripsi]. Departemen Meteorologi dan Geofisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. [Pemerintah Provinsi Riau]. 2009. Provinsi

Riau. http://www.riau.go.id/. [30 Agustus 2010].

[Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau]. Profil

Kepulauan Riau. http://www.kepriprov.go.id. [30

Agustus 2010].

Rosenfeld E. Cattani S. Melani, dan Levizzani V. 2004. Considerations on Daylight Operation of 1.6 μm vs 3.7 μm Channel on NOAA and METOP Satellites. B Am Meteorol Soc 85:873– 881.

Storch H von, Hewitson B, Mearns L. 2001. Review of Empirical Downscaling Techniques. http://www.nilu.no/. [30 Agustus 2010].

(26)

18   

dan Geofisika Vol. 10 No. 2, Page 95-107.

Sutikno. 2008. Statistical Downscaling

Luaran GCM dan Pemanfaatannya Untuk Peramalan Produksi Padi. 2008. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.

Tjasyono B . 2004. Klimatologi. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Tejasukamana B & Khomarudin R. 2000. Metode Pembangkit Data Untuk Menduga Unsur Iklim dalam Prosiding Lokakarya Sehari Kebijakan Nasional dan Pemanfaatan Informasi Cuaca dan Iklim di Indonesia, 12 Mei 1999. Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.

Ulkhaq M. 2010. Analisis Korelasi Linier –

Koefisien Determinasi. http://languageaholic.wordpress.com/.

[20 Mei 2010].

Wibowo Y A. 2010. Evaluasi Curah Hujan GSMAP dan TRMM TMPA dengan Curah Hujan Permukaan Wilayah Jakarta – Bogor. [Skripsi]. Departemen Meteorologi dan Geofisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.

Wigena A H. 2006.Pemodelan Statistical Downscaling dengan Regresi Projection Persuit untuk Peramalan Curah Hujan. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.

(27)

ESTIMASI CURAH HUJAN BERDASARKAN DATA CMORPH

(

CPC MORPHING TECHNIQUE

) WILAYAH RIAU

TRI YULI KURNIAWATI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(28)

ii   

ABSTRACT

TRI YULI KURNIAWATI. Rainfall Estimation Using CMORPH (CPC MORPHing Technique) Data of Riau. Supervised by HENY SUHARSONO and INDAH PRASASTI.

Rainfall is the most important climate element in Indonesia which has a very large variation compared with other climate elements. High variability will lead to limited rainfall data. The accurate data and information will support the development of rainfall prediction using remote sensing. CMORPH (CPC MORPHing Technique) is one of the new techniques developed by NOAA in predicting the amount of rainfall and global precipitation with high spatial and temporal resolution. Therefore, it is necessary to do a statistical downscaling technique approach based on partial least squares analysis (PLS). This research aims to analyze the potential for rainfall prediction data CMORPH surface.The model development is based on allegations precipitation method Partial Least Squares (PLS) in Pekanbaru, Japura Rengat, Tanjung Pinang, and Dabo Singkep. The research area is divided into five domains; domain 1x1, domain 3x3, domain 5x5, domain 7x7, and domain 9x9. The reliability model is shown by the allegations of the correlation coefficient value, Root Mean Square Error (RMSE), and Pearson test. Rainfall CMORPH is similar to the pattern of surface rainfall variation able to represent 10.7% to 47.5% variability of rainfall. Downscaling using Partial Least Ssquare technique (PLS) is better than downscaling techniques using simple regression, where using PLS can increase the determination coefficient value (R2) from 47.5% by using simple regression to 98.7% by using PLS. Based on model validation, precipitation allegations is similar to the pattern of rainfall area, except in the wet months. If observed from the region it can be seen that for Earth's surface a domain that provides the best result is the domain 5x5. Meanwhile, for the Islands, domain 3x3 offers the best performance. This is due to conditions in the region, where the Islands is influenced by the ocean. Therefore, rainfall CMORPH is better used to predict the precipitation on the continent surface.

Keywords : rainfall, CMORPH, Partial Least Square, statistical downscaling, correlation coefficient

Gambar

Gambar 1  Pola Hujan di Indonesia.
Gambar 2  Ilustrasi downscaling.
Gambar 3  Pola hujan wilayah Riau.
Gambar 4  Pola hubungan curah hujan dasarian observasi dengan data CMORPH pada  masing-masing lokasi penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada tingkat penggunaan KBMF 60% (R4) menghasilkan pertambahan bobot hidup yang paling rendah dan berbeda nyata (P&lt;0,05) dengan perlakuan lainnya, tetapi nilai konsumsi

yang tidak bagus/buram, PC user tidak ada antivirus, PC user ada antivitus tapi tidak update, Tidak melakukan scan antivirus secara berkala, dokumen hardcopy

Selanjutnya pada pertanyaan “Apa yang ibu ketahui tentang PMT (Pemberian Makanan Tambahan)?”, sebagian besar kader memberikan jawaban yang kurang spesifik yaitu makanan yang

Pak Tung : Nah janji dan sanksi, sanksi tadi maksudnya sanksi yang negatif dan ada yang positif ada reward dan punishmentnya, sekali lagi janji kembali lagi nikmat dan sengsara

Pengenalan suara merupakan salah satu teknik dalam menerapkan sistem keamanan yang membutuhkan autentifikasi user, pengenalan suara telah menjadi bahan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa goal specificity tidak berpengaruh positif signifikan terhadap psychological empowerment, dan goal difficulty berpengaruh positif signifikan

Berdasarkan uraian hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa LKPD biotenologi konvensional Berbasis Ecopreneurship untuk melatihkan berpikir kreatif dan

Untuk menjelaskan apa saja program kerja strategis yang akan dilakukan oleh BPFK Makassar dalam rangka upaya mewujudkan target IKU pada setiap tahun, disusunlah Program