• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan penggunaan lahan DAS Citarum dan dampaknya terhadap suplai air irigasi (studi kasus : periode tahun 2002-2009)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perubahan penggunaan lahan DAS Citarum dan dampaknya terhadap suplai air irigasi (studi kasus : periode tahun 2002-2009)"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAS CITARUM DAN

DAMPAKNYA TERHADAP SUPLAI AIR IRIGASI

(Studi Kasus: Periode Tahun 2002-2009)

RUDOLF KRISTIAN TUKAYO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perubahan Penggunaan Lahan DAS Citarum dan Dampaknya terhadap Suplai Air Irigasi (Studi Kasus: Periode Tahun 2002-2009) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

Rudolf Kristian Tukayo

(3)

iii

ABSTRACT

RUDOLF KRISTIAN TUKAYO. Land Use Changes in Citarum Watersheed and Their Impact of Irrigation Water Supply (case study: the year period of 2002-2009). Under direction of SURIA DARMA TARIGAN and DWI PUTRO TEJO BASKORO.

The research used secondary data between 2002 to 2009 in PJT II Jatiluhur and Citarum-Ciliwung watershed Management Agency. Generally, this research was done in Citarum watershed area, West Java province, from August to October 2010.The research aims to investigate: 1). Land use change in Citarum watershed area; 2). Effect of land use change on water yield; 3). Changes in water yield and its impact on irrigation needs; and 4). Effect of irrigation water supply to changes in rice acreage. According to the digital citra analysis, Citarum watershed area that located above Jatiluhur dams has changed land use (450.649 ha) between 2002 and 2008. In agriculture areas land use change significantly increased from 59.76% in 2002 to 70.52% in 2008. Changes in water results continue to demonstrate the value decreases with increasing area of agriculture following the equation ym = 2987.74-0.00766887x2 (x2 is an extensive

agricultural area in ha; ym is the result of water in million m3/th). Decrease in

water yield has not been an adverse impact on irrigation needs, seen from an index value of the use of water in the reservoir continues to decline, resulting in increased efficiency of reservoirs. Index decreased use of water reservoirs affected by the increase in annual precipitation, so as to reduce the effects of the decline that occurred in the water. Changes in area of rice fields terjadididuga because of land conversion to non-agricultural activities that are not triggered by lack of water.

(4)

iv

RINGKASAN

RUDOLF KRISTIAN TUKAYO. Perubahan Penggunaan Lahan DAS Citarum dan Dampaknya terhadap Suplai Air Irigasi (Studi Kasus: Periode Tahun 2002-2009). Dibimbing oleh SURIA DARMA TARIGAN dan DWI PUTRO TEJO BASKORO.

Daerah aliran sungai yang tidak mempunyai waduk atau danau buatan untuk menampung aliran permukaan menunjukkan pengaruh yang nyata antara perubahan tata guna lahan pada daerah hulu dengan debit banjir pada daerah hilir maupun kondisi hidrologi pada saat musim kemarau. Hal ini tentu berbeda dengan DAS Citarum yang memiliki 3 waduk besar dan disusun secara seri dari hulu ke hilir. tujuan dari penelitian ini yaitu melakukan evaluasi terhadap: 1). Perubahan penggunaan lahan DAS Citarum dari tahun 2002 sampai tahun 2008; 2). Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap hasil air (water yield) DAS Citarum; 3). Perubahan hasil air dan pengaruhnya terhadap pemenuhan kebutuhan irigasi untuk areal persawahan yang berada pada wilayah otorita Perum Jasa Tirta II Jatiluhur. 4). Pengaruh penyediaan air irigasi terhadap perubahan luas areal persawahan.

Penelitian ini memanfaatkan data sekunder yang tersedia pada Perum Jasa Tirta II Jatiluhur dan BPDAS Citarum-Ciliwung untuk data seri dari tahun 2002 s/d 2009.Secara umum penelitian ini dipusatkan pada DAS Citarum Provinsi Jawa Barat dan dilaksanakan dari bulan Agustus sampai Oktober 2010.

Perubahan penggunaan lahan dari tahun 2002 sampai tahun 2008 dianalisis dengan cara overlay kedua peta tersebut menggunakan program Arcview 3.3

menghasilkan matriks perubahan tiap tipe penggunaan lahan, Curah Hujan Wilayah DAS Citarum Analisis Curah Hujan wilayah DAS dilakukan dengan Metode Poligon Thiessen. Hasil air DAS diperoleh dari data tercatat pada inlet waduk Jatiluhur. Hubungan yang terjadi antara curah hujan dan hasil air dievaluasi menggunakan pendekatan analisis korelasi dan uji t-student. dan disajikan dalam persamaan regresi linier sederhana. Analisis regresi linier berganda dilakukan untukj melihat pengaruh perubahan penggunaan lahan DAS terhadap hasil air. Evaluasi Kemampuan DAS Citarum dalam Memenuhi Kebutuhan Air Irigasi menggunakan Indeks Penggunaan Air (IPA)., dan Kemampuan waduk dijelaskan dalam nilai efisiensi yang diperoleh dengan persamaan: E= 1-(defisit waduk/defisit DAS).

Analisis citra digital menunjukkan bahwa DAS Citarum di atas waduk jatiluhur yang memiliki luas 450,649 hektar telah terjadi perubahan penggunaan lahan sejak tahun 2002-2008 dengan nilai perubahan yang terjadi untuk tiap kawasan masing-masing: kawasan hutan pada tahun 2002 sebesar 26.94% namun mengalami penurunan menjadi 18.29% pada tahun 2006 (berkurang 8.65%), kawasan pertanian mendominasi penggunaan lahan pada tahun 2002 sebesar 59.76% dan terus meningkat menjadi 70.52% pada tahun 2006.

(5)

v

Perubahan hasil air terus menunjukkan nilai yag menurun dengan bertambahnya luas kawasan pertanian mengikuti persamaan ym

=2987.74-0.00766887x2 (x2 merupakan luas kawasan pertanian dalam ha; ym adalah hasil

air dalam juta m3/th).

Penurunan hasil air belum berdampak buruk terhadap pemenuhan kebutuhan irigasi, terlihat dari nilai IPA waduk yang terus menurun sehingga mengakibatkan efisiensi waduk meningkat. Penurunan IPA waduk dipengaruhi oleh peningkatan curah hujan tahunan, sehingga dapat mengurangi efek penurunan yang terjadi pada hasil air.

Perubahan luas areal persawahan yang terjadi pada Tarum timur wilayah otorita Perum Jasa Tirta II Jatiluhur, diduga karena alihfungsi lahan untuk kegiatan non pertanian yang tidak dipicu oleh kekurangan air.

Hal-hal penting lainnya yang perlu dilakukan dalam pengelolaan DAS Citarum berkaitan dengan ketersediaan air adalah usaha tani berasaskan konservasi tanah dan air, rehabilitasi lahan-lahan kritis, memperbanyak bangunan-bangunan penyimpan air, meningkatkan kapasitas bendung-bendung yang sudah ada agar dapat menyimpan air dari sumber lokal, dan pengawasan terhadap jaringan irigasi yang ada agar tidak terjadi kebocoran.

(6)

vi

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

vii

PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAS CITARUM DAN

DAMPAKNYA TERHADAP SUPLAI AIR IRIGASI

(Studi Kasus: Periode Tahun 2002-2009)

RUDOLF KRISTIAN TUKAYO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

ix

Judul Tesis : Perubahan Penggunaan Lahan DAS Citarum dan Dampaknya terhadap Suplai Air Irigasi (Studi Kasus: Periode Tahun 2002-2009)

Nama : Rudolf Kristian Tukayo NRP : A252030011

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc. Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Daerah Alilran Sungai Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.sc.Agr.

(10)

x

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada TUHAN, Allah yang Maha Esa atas segala kasih dan kemurahan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah dengan judul Perubahan Penggunaan Lahan DAS Citarum dan Dampaknya terhadap Suplai Air Irigasi (Studi Kasus: Periode Tahun 2002-2009).

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih serta penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc., selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS beserta seluruh staf pengajar pada Program Studi Pengelolaan DAS, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

2. Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. dan Dr.Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc. selaku komisi pembimbing yang telah memberikan motivasi dan arahan dalam pelaksanaan penelitian sampai penulisan karya ilmiah ini.

3. Dr. Ir. Enni Dwi Wahyunie, M.Si., selaku penguji luar komisi pada ujian tesis atas saran-saran guna perbaikan penulisan tesis.

4. Bapak Andri Sewoko ST, MT yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama pelaksanaan penelitian.

5. Pimpinan dan Staf Perum Jasa Tirta II Jatiluhur dan BPDAS Citarum-Ciliwung yang telah memberikan data-data yang sangat diperlukan dalam penelitian ini.

6. Komunitas Intelektual Biak Numfor, Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB asal Papua, Ikatan Mahasiswa Papua Bogor dan Forum Mahasiswa DAS IPB atas dukungan morilnya.

7. Anak-anak dan istriku, keluargaku dan teman-teman atas doa, kesabaran, kasih sayang, dan dukungannya selama ini.

Kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Juli 2011

(11)

xi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ayapo pada tanggal 6 Mei 1975 dari ayah bernama Demianus Tukayo dan ibu bernama Suzana Pulanda.

(12)

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

1. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 3

1.3. Tujuan ... 5

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Daerah Aliran Sungai ... 7

2.2. Penggunaan Lahan ... 8

2.3. Monitoring dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai ... 11

2.3.1. Monitoring dan Evaluasi Penggunaan Lahan DAS ... 12

2.3.2. Monev tata air DAS ... 13

2.4. Gambaran Umum DAS Citarum ... 14

2.4.1. Letak Geografis dan Luas ... 15

2.4.2. Morfologi ... 16

2.5. Fungsi Hutan dalam Daur Hidrologi ... 18

2.6. Kebutuhan Air ... 20

2.7. Irigasi ... 21

3. METODOLOGI PENELITIAN ... 23

3.1. Tempat dan Waktu ... 23

3.2. Bahan dan Alat ... 23

3.3. Metode Penelitian ... 24

3.4. Pelaksanaan penelitian ... 24

3.4.1. Tahap Pra Survei ... 24

3.4.2. Tahap Survei ... 24

3.4.3. Analisis data ... 25

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

4.1. Penutupan Lahan dan Penggunaan Lahan ... 31

(13)

xi

4.2.1. Curah hujan ... 34

4.2.2. Curah Hujan dan hasil Air ... 36

4.2.3. Trend Perubahan Hasil Air Tahunan ... 39

4.3. Hubungan antara Hasil Air dan Suplai Air Irigasi ... 42

4.4. Perubahan Luas Areal Persawahan ... 52

4.5. Evaluasi umum ... 53

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 55

5.1. Kesimpulan ... 55

5.2. Saran ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 57

(14)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Luas Sub DAS pada DAS Citarum ... 15 2. Indeks Ratio Kebulatan DAS (circularity ratio) setiap sub

DAS di DAS Citarum ... 16 3. Summary Karakteristik Kelerengan DAS Citarum ... 17 4. Panjang Sungai dan Kepadatan Aliran tiap Wilayah DAS/sub

DAS dalam DAS Citarum ... 18 5. Klasifikasi nilai Indeks Penggunaan Air (IPA) ... 28 6. Hasil Analisis Penggunaan Lahan DAS Citarum di atas

Waduk Jatiluhur, tahun 2002 dantahun 2008 ... 33 7. Perubahan hasil air DAS Citarum dari tahun 2002-2009 ... 40 8. Nilai-nilai penting untuk analisis hubungan penggunaan

lahan dan parameter hasil air, tahun 2002-2008 ... 41 9. Kebutuhan Irigasi untuk Areal persawahan yang termasuk

dalam wilayah Otorita Perum jasa Tirta II Jatiluhur, tahun

2002-2009 ... 43 10. Persentase Pemenuhan kebutuhan air dari sungai-sungai

lokal ... 44 11. Permintaan air untuk kebutuhan irigasi dari waduk Jatiluhur ... 45 12. Indeks Penggunaan Air (IPA) irigasi dengan sumber air

langsung dari DAS Citarum, tahun 2002-2009 ... 46 13. Surplus Air DAS Citarum, tahun 2002-2009 ... 46 14. Defisit air DAS Citarum, tahun 2002-2009 ... 47 15. Indeks Penggunaan Air (IPA) Irigasi dari Waduk Jatiluhur,

(15)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Logika Kinerja Pengelolaan DAS ... 12 2. Peta Wilayah Penelitian, DAS Citarum Jawa Barat ... 23 3. Peta wilayah DAS Citarum di atas waduk Jatiluhur ... 25 4. Peta Penggunaan Lahan DAS Citarum di atas Waduk

Jatiluhur, Tahun 2002 ... 31 5. Peta Penggunaan Lahan DAS Citarum di atas Waduk

Jatiluhur, Tahun 2008 ... 32 6. Rata-rata curah hujan wilayah (juta m3/bln) dan hasil air

bulanan (juta m3/bln) dari tahun 2002-2009 ... 37 7. Curah hujan dan hasil air tahunan DAS Citarum dari tahun

2002-2009 ... 38 8. Koefisien varian curah hujan dan hasil air dari tahun

2002-2009 ... 39 9. Grafik kebutuhan air irigasi aktual dan ketersediaan air

pada DAS Citarum, tahun 2002-2009 ... 51 10. Total luas areal persawahan (ha) yang berada pada

wilayah otorita Perum Jasa Tirta II dari tahun 2002 sampai

(16)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Tipe dan luas Penutupan Lahan DAS Citarum tahun 2002 dan

tahun 2008 ... 61 2. Matriks Perubahan Penggunaan Lahan DAS Citarum, tahun

2002 dan tahun 2006 ... 62 3. Rerata bulanan Curah Hujan (mm) Wilayah DAS Citarum di

atas Waduk Jatiluhur, Tahun 2002-2009 ... 63 4. Rerata debit Air Bulanan (m3/detik) DAS Citarum dari Tahun

1994 sampai Tahun 2009 ... 64 5. Hasil Air Bulanan (m3/bulan) DAS Citarum dari Tahun 1994

sampai Tahun 2009 ... 65 7. Ketersediaan Air Irigasi pada Sumber setempat (sungai-sungai

lokal) ... 66 8. Pemenuhan Kebutuhan Irigasi dari Waduk Jatiluhur, tahun

2002-2009 ... 67 8. Perubahan Luas Areal Persawahan dari Tahun 2002 sampai

(17)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali mengarah pada kondisi yang kurang diinginkan, yaitu peningkatan erosi dan sedimentasi, penurunan produktivitas lahan, dan percepatan degradasi lahan (Dirjen RLPS, 2009). Hasil akhir perubahan ini tidak hanya berdampak nyata secara biofisik berupa peningkatan luas lahan kritis dan penurunan daya dukung lahan, namun juga secara sosial ekonomi menyebabkan masyarakat menjadi semakin kehilangan kemampuan untuk berusaha di lahannya. Oleh karena itu, peningkatan fungsi kawasan budidaya memerlukan perencanaan terpadu agar beberapa tujuan dan sasaran pengelolaan DAS tercapai, seperti erosi tanah terkendali, hasil air optimal, dan produktivitas dan daya dukung lahan terjaga, dengan demikian degradasi lahan dapat terkendali dan kesejahteraan masyarakat dapat terjamin.

Menurut Asdak (2004) Pengelolaan DAS adalah suatu formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di daerah aliran sungai untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah. Ia mempunyai arti sebagai pengelolaan dan alokasi sumberdaya alam di daerah aliran sungai termasuk pencegahan banjir dan erosi, serta perlindungan nilai keindahan yang berkaitan dengan sumberdaya alam. Termasuk dalam pengelolaan DAS adalah identifikasi keterkaitan antara daerah hulu dan hilir suatu DAS. Pengelolaan DAS perlu mempertimbangkan aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya, dan kelembagaan yang beroperasi di dalam dan di luar daerah aliran sungai yang bersangkutan.

(18)

melalui industri, peningkatan sarana jalan untuk transportasi, mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan hutan ke lahan pertanian dan non pertanian.

Perubahan penggunaan lahan akan memberikan dampak penting terhadap berbagai aktivitas kehidupan manusia tidak hanya kelestarian lingkungan hidup tetapi juga terhadap daya dukung alam dalam menopang pertambahan penduduk dan peningkatan produksi pangan. Penggunaan lahan erat kaitannya dengan luas penutupan lahan sehingga perubahan yang terjadi akan memberikan pengaruh yang nyata terhadap keadaan hidrologis suatu DAS..

Irianto (2003) mengatakan bahwa laju pertumbuhan penduduk yang masih tinggi dan terkonsentrasi pada wilayah tertentu menyebabkan alih fungsi lahan pertanian (cultivated land) ke lahan bukan pertanian (non cultivated land) seperti permukaan jalan sulit sekali dikendalikan, bahkan banyak ditemukan penggunaan lahan melampaui daya dukungnya. Pembabatan hutan, budidaya tanaman pangan pada lahan berlereng terjal tanpa konservasi tanah dan air yang memadai merupakan beberapa ilustrasi penyebab rusaknya sistem hidrologi DAS. Kerusakan tersebut ditandai dengan menurunnya kemampuan DAS dalam menyerap, menyimpan, dan mendistribusikan air hujan pada musim hujan. Akibatnya, tambahan cadangan air tanah (recharging) pada musim hujan sangat terbatas sehingga pasokan air pada musim kemarau menjadi rendah.

Berdasarkankan penelitian, alih fungsi lahan pertanian/betonisasi berdampak terhadap, 1) penurunan volume air hujan yang dapat diserap tanah dari 15 persen sampai dibawah 9 persen, 2) peningkatan volume aliran permukaan dari sekitar 30 persen menjadi 40-60 persen, 3) kecepatan aliran permukaan dari kurang 0,7 meter per detik menjadi lebih dari 1,2 meter per detik (Irianto, 2003). Rendahnya penambahan air tanah (recharge) melalui infiltrasi pada musim hujan akan menyebabkan menurunnya pasokan air di musim kemarau, sementara itu kebutuhan air irigasi pada musim kemarau justru meningkat. Dampaknya, selain menurunnya luas daerah layanan irigasi, juga menurunnya intensitas tanam bahkan sering diikuti meningkatnya risiko kekeringan. Kondisi demikian akan berdampak terhadap penurunan produksi pangan secara nasional.

(19)

tangkapan waduk, DAS Citarum dapat dikelompokkan menjadi 4 sub DAS, yaitu: 1) Citarum Hulu, terletak di sekitar Pacet, yang merupakan daerah tangkapan waduk Saguling, 2). Daerah tangkapan dari waduk Cirata yang terletak di wilayah Cianjur dan sekitarnya, 3). Daerah tangkapan waduk Jatiluhur di wilayah Purwakarta dan sekitarnya, dan 4). Sub DAS Citarum Hilir yang merupakan areal terluas terletak di bagian utara meliputi sebagian besar Kabupaten Karawang hingga Pantura (LPPM IPB, 2006).

Menurut Perum Jasa Tirta II Jatiluhur (2001), Potensi sungai Citarum mempunyai aliran rata-rata 5,5 miliar m3/tahun dengan debit rata-rata tahunan 175 m3/detik. Proyek pengairan Jatiluhur didasarkan pada pertimbangan bahwa salah satu daerah produksi utama hasil agraris khususnya pangan untuk kota-kota di provinsi Jawa Barat adalah dataran alluvial pantai utara Jawa Barat yang terbentang dari Banten sampai Cirebon, maka timbullah gagasan untuk mengendalikan dan memanfaatkan aliran Citarum untuk penyempurnaan irigasi dan memperluas daerah pengairan pada dataran aluvial tersebut dalam rangka peningkatan produksi pertanian khususnya pangan. Proyek Pengairan Jatiluhur dibangun atas dasar rencana untuk memberi pengairan teknis pada sawah seluas 240.000 Ha (Direktorat Pengairan Perum Otorita Jatiluhur, 1985).

1.2. Permasalahan

Tekanan penduduk mengakibatkan terjadinya konversi lahan dari hutan ke pertanian maupun non pertanian. Konversi lahan tersebut akan berdampak pada menurunnya infiltrasi dan resapan air, sehingga aliran permukaan meningkat yang berakibat pada terjadinya banjir, pada DAS yang tidak mempunyai waduk pengaruh perubahan lahan sangat terasa pada musim kemarau ketika simpanan air berkurang sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan air untuk pertanian maupun kebutuhan rumah tangga lainnya. Hal ini berbeda pada daerah yang memiliki Waduk atau danau-danau buatan. Waduk berperan untuk mencegah banjir dengan cara menampung aliran permukaan yang memiliki jumlah air sangat besar terutama pada daerah yang telah mengalami konversi lahan secara besar-besaran dari tahun ke tahun.

(20)

kondisi hidrologis suatu DAS, suatu saat akan berpengaruh terhadap penurunan suplai air irigasi sehingga akan berdampak pula pada berkurangnya luas areal persawahan yang diairi.

Perubahan penggunaan lahan suatu DAS merupakan permasalahan didalam pengelolaan DAS. Perubahan dalam tata guna lahan seperti berkurangnya lahan hutan atau peningkatan lahan pemukiman di suatu DAS akan mengakibatkan berkurangnya sumberdaya air pada DAS tersebut. Satu kenyataan yang menarik dalam melihat fenomena alam pada suatu DAS adalah bahwa setiap perubahan pada daerah hulu akan memberikan dampak secara nyata pada bagian hilir.

Daerah aliran sungai yang tidak mempunyai waduk atau danau buatan untuk menampung aliran permukaan menunjukkan pengaruh yang nyata antara perubahan tata guna lahan pada daerah hulu dengan debit banjir pada daerah hilir maupun kondisi hidrologi pada saat musim kemarau. Hal ini tentu berbeda dengan DAS Citarum yang memiliki 3 waduk besar dan disusun secara seri dari hulu ke hilir masing-masing: Waduk Saguling, waduk Cirata, dan Waduk Jatiluhur. Waduk Saguling dan Cirata ditujukan terutama untuk pembangkit tenaga listrik sedangkan waduk Jatiluhur merupakan waduk serba guna untuk memenuhi berbagai keperluan di bagian hilir dengan salah satu manfaatnya adalah sebagai penyedia air irigasi untuk areal persawahan seluas ± 240.000 ha yang berada pada wilayah otorita Perum Jasa Tirta II Jatiluhur, tersebar dari Bekasi sampai Indramayu (Perum Jasa Tirta II, 2001).

Peningkatan produksi pertanian terutama padi sawah sangat bergantung pada ketersediaan air selain faktor pendukung lainnya. Daerah Jawa Barat bagian utara diharapkan dapat menjadi lumbung beras terutama dalam menjaga kestabilan persediaan pangan nasional dan swasembada beras. Hal ini memberikan suatu motivasi untuk terus memproduksi beras pada musim kemarau, dengan demikian keberadaan air irigasi untuk mengairi areal persawahan sangat dibutuhkan. Peranan DAS Citarum sangat besar untuk menunjang ketersediaaan air irigasi guna mewujudkan tujuan ini.

(21)

1.3. Tujuan

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas maka ditetapkan tujuan dari penelitian ini yaitu melakukan evaluasi terhadap:

1. Perubahan penggunaan lahan DAS Citarum dari tahun 2002 sampai tahun 2008.

2. Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap hasil air (water yield) DAS Citarum.

3. Perubahan hasil air dan pengaruhnya terhadap pemenuhan kebutuhan irigasi untuk areal persawahan yang berada pada wilayah otorita Perum Jasa Tirta II Jatiluhur.

(22)
(23)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Daerah Aliran Sungai

Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) menurut Suripin (2002) adalah suatu wilayah, yang dibatasi oleh batas alam, seperti punggung bukit-bukit atau gunung, maupun batas buatan, seperti jalan atau tanggul, dimana air hujan yang turun di wilayah tersebut memberi kontribusi aliran ke titik kontrol (outlet). Menurut kamus Webster, DAS adalah suatu daerah yang dibatasi oleh pemisah topografi, yang menerima hujan, menampung, menyimpan dan mengalirkan ke sungai dan seterusnya ke danau atau laut.

Apapun definisi yang dianut DAS merupakan suatu ekosistem dimana di dalamnya terjadi suatu proses interaksi antara faktor-faktor biotik, non biotik, dan manusia. Sebagai suatu ekosistem, maka setiap ada masukan (input) ke dalamnya, proses yang terjadi dan berlangsung di dalamnya dapat dievaluasi berdasarkan keluaran (output) dari ekosistem tersebut. Komponen masukan dalam ekosistem DAS adalah curah hujan, sedangkan keluaran terdiri dari debit air dan muatan sedimen. Komponen-komponen DAS yang berupa vegetasi, tanah, dan saluran/sungai dalam hal ini bertindak sebagai prosessor.

(24)

2.2. Penggunaan Lahan

FAO (1976) yang dikutip oleh Arsyad (2006) menyatakan bahwa Lahan (land) diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air, dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap potensi penggunaan lahan, termasuk di dalamnya juga hasil kegiatan manusia dimasa lalu dan sekarang seperti hasil reklamasi laut, pembersihan vegetasi dan juga hasil yang merugikan seperti tanah yang tersalinisasi.

Penggunaan lahan secara umum (major kinds of lan use) adalah penggolongan penggunaan lahan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan, atau daerah rekreasi (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2006). Penggunaan lahan secara umum biasanya digunakan untuk evaluasi lahan secara kualitatif atau dalam survey tinjau (reconnaissance). Tipe penggunaan lahan (land utilization type) atau penggunaan lahan secara terperinci adalah tipe penggunaan lahan yang diperinci sesuai dengan syarat-syarat teknis untuk suatu daerah dengan keadaan fisik dan sosial ekonomi tertentu.

Penggunaan lahan secara terperinci (tipe penggunaan lahan) dapat terdiri dari: (1) hanya satu jenis tanaman, dan (2) lebih dari satu jenis tanaman. Tipe penggunaan lahan yang kedua ini dibedakan lagi menjadi: (a) tipe penggunaan lahan ganda (multiple land utilization type), dan (b) tipe penggunaan lahan majemuk (compound land utilization type).

Tipe penggunaan lahan dengan lebih dari satu jenis sekaligus, dimana masing-masing jenis memerlukan input, syarat-syarat dan memberikan hasil yang berbeda. Sebagai contoh, daerah hutan produksi yang sekaligus digunakan untuk daerah rekreasi. Tipe penggunaan lahan majemuk adalah penggunaan lahan dengan lebih dari satu jenis, tetapi untuk tujuan evaluasi dianggap sebagai satu satuan.

(25)

citra satelit, oleh karena itu evaluasi pemanfaatan ruang aktual biasanya dilakukan dengan bantuan analisis citra satelit dan Sistem Informasi Geografis (SIG).

Citra satelit dapat berasal dari berbagai sumber institusi. Interpretasi citra satelit dapat dilakukan secara manual (visual) dan digital. Interpretasi secara manual/visual dilakukan dengan delineasi citra hardcopy (citra yang tercetak) atau delineasi secara langsung kenampakan citra yang ada di monitor computer (screen digitizing). Sedangkan interpretasi secara digital dilakukan dengan klasifikasi citra digital berdasarkan kecerahan nilai pixel, interpretasi dilakukan guna mendapat peta tematik yang memberikan informasi mengenai batas wilayah perencanaan, penggunaan lahan, ekosistem perairan, serta kondisi fisik perairan.

Perubahan penggunaan lahan yang sifatnya negatif akan berdampak pada degradasi lahan. Menurut Sinukaban (2008) bahwa degradasi lahan akan mengakibatkan rusaknya fungsi hidrologis DAS yang terlihat dari penurunan kapasitas infiltrasi DAS dan meningkatnya koefisien aliran permukaan. Terjadinya degradasi lahan dan rusaknya fungsi hidrologis DAS tersebut kemungkinan disebabkan beberapa faktor:

Pertama, penggunaan dan peruntukan lahan menyimpang dari Rencana Tata Ruang Wilayah atau Rencana Tata Ruang Daerah. Misalnya, daerah yang diperuntukkan sebagai hutan lindung dialihfungsikan menjadi pertanian, hutan produksi dialihfungsikan menjadi permukiman, lahan budi daya pertanian dialihfungsikan menjadi permukiman atau industri, dan sebagainya.

Kedua penggunaan lahan di DAS tidak sesuai dengan kemampuan lahan. Banyak lahan yang semestinya hanya untuk cagar alam, tetapi sudah diolah menjadi pertanian, atau lahan yang hanya cocok untuk hutan dijadikan lahan pertanian, bahkan permukiman. Banyak lahan yang kemiringan lerengnya lebih dari 30 persen bahkan 45 persen masih dijadikan pertanian yang intensif atau jadi permukiman.

(26)

belum tentu memadai di lahan yang lain. Pemilihan teknik konservasi yang memadai di suatu bidang lahan sangat dipengaruhi oleh faktor bio-fisik (tanah, topografi, penggunaan lahan, hujan/iklim) lahan yang bersangkutan. Jenis teknik konservasi tanah dan air yang tersedia untuk dipilih dan diterapkan mulai dari yang paling ringan sampai berat, antara lain, penggunaan mulsa, penanaman mengikuti kontur, pengolahan mengikuti kontur, pengolahan tanah konservasi (tanpa olah tanah, pengolahan tanah minimum), pengaturan jarak tanam, penanaman dalam strip (strip cropping), dan penanaman berurutan (rotasi).

Keempat, tidak adanya Undang-undang Konservasi Tanah dan Air yang mengharuskan masyarakat menerapkan teknik konservasi tanah dan air secara memadai di setiap penggunaan lahan. Dengan tidak adanya UU ini maka masyarakat tidak merasa berkewajiban untuk melaksanakan teknik konservasi tanah dan air, sehingga degradasi lahan terus meningkat.

Faktor kelima, kurang memadainya kesungguhan pemerintah mencegah degradasi lahan.Hal ini terindikasi dari tidak jelasnya program pencegahan degradasi lahan atau penerapan teknik konservasi tanah dan air di setiap tipe penggunaan lahan. Departemen yang berkaitan dengan penggunaan lahan, seperti Departemen Pertanian, Departemen PU, dan Departemen Dalam Negeri, kurang memprioritaskan program pencegahan degradasi lahan dan penerapan teknologi konservasi tanah dan air.

Hal ini pun terindikasi dalam rancangan awal Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005 – 2025. Dalam rancangan awal RPJPN tidak diindikasikan bahwa pencegahan degradasi lahan sebagai prioritas penting. Apabila hal ini berjalan terus maka minat generasi muda untuk mempelajari dan mendalami pencegahan degradasi sumber daya lahan akan memudar yang pada gilirannya dapat mengakibatkan tidak ada lagi orang yang mengetahui teknologi pencegahan degradasi lahan. Apabila ini terjadi maka malapetaka banjir, seperti yang dialami oleh masyarakat Indonesia akhir-akhir ini, akan semakin sering terjadi.

(27)

sumber daya lahan harus diklasifikasikan berdasarkan kemampuannya. Keempat, penggunaan lahan harus didasarkan pada kemampuan lahan. Kelima, teknologi konservasi tanah dan air yang memadai harus diterapkan di setiap tipe penggunaan lahan. Keenam, penyusunan UU konservasi tanah dan air perlu dipercepat.Ketujuh, departemen terkait harus memprogramkan pencegahan degradasi lahan sebagai prioritas utama. Kedelapan, pemerintah perlu memasukkan materi pencegahan degradasi lahan/penerapan teknologi konservasi tanah dan air dalam kurikulum pendidikan.

2.3. Monitoring dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai

Menurut acuan dari Dirjen RLPS (2009) Identifikasi berbagai komponen biofisik hidrologis, sosial ekonomi dan kelembagaan DAS merupakan kunci dalam program monitoring dan evaluasi (monev) kinerja DAS, yaitu dalam upaya mengumpulkan dan menghimpun data dan informasi yang dibutuhkan untuk tujuan evaluasi dalam rangka menjamin tercapainya tujuan dan sasaran pengelolaan DAS. Pengumpulan data dan informasi tersebut harus dilakukan secara berkala, dengan memanfaatkan perkembangan teknologi instrumentasi, informasi, dan komunikasi yang ada, misalnya dengan automatic data acquisition system, logger, sistem telemetri, teknik penginderaan jauh terkini, dan internet sedangkan untuk pengolahan dan analisis data secara spatial (keruangan) dan temporal (waktu) serta penyajian hasil dari monev kinerja DAS maka teknologi sistem informasi geografis (SIG) dapat dimanfaatkan untuk keperluan ini.

(28)

Prinsip

Kriteria

Indikator

Gambar 1. Kerangka Logika Kinerja Pengelolaan DAS

Monev kinerja DAS adalah kegiatan pengamatan dan analisis data dan fakta yang dilakukan secara sederhana, praktis, terukur, dan mudah dipahami terhadap kriteria dan indikator kinerja DAS dari aspek/kriteria pengelolaan lahan, tata air, sosial, ekonomi, dan kelembagaan, sehingga “status” atau “tingkat

kesehatan” suatu DAS dapat ditentukan.

2.3.1. Monitoring dan Evaluasi Penggunaan Lahan DAS

Monev penggunaan lahan dimaksudkan untuk memperoleh gambaran mengenai perubahan jenis, pengunaan, pengelolaan lahan, tingkat kesesuaian penggunaan lahan dan erosi pada suatu DAS/Sub DAS, yang bertujuan untuk mengetahui perubahan kondisi lahan terutama menyangkut kecenderungan degradasi lahan.

Pada awal kegiatan, monev penggunaan lahan dilakukan pada seluruh parameter lahan, baik yang alami maupun parameter yang mudah dikelola.Namun untuk tahap selanjutnya, monitoring parameter alami, seperti topografi/fisiografi lahan, tidak perlu dilakukan setiap waktu karena bersifat relatif

Tujuan: Kelestarian Pengelolaan

Kelestarian Lingkungan Kelestarian Sosial ekonomi Kelembagaan

Penggunaan Lahan Tata Air Sosial Ekonomi Kelembagaan

- Penutupan vegetasi

- Kesesuaian Penggunaan lahan

- Indeks Erosi

- Tanah Longsor

- Debit air sungai

- Kandungan sedimen

- Kandungan pencemar

- Koefisien limpasan

- Kepedulian individu

- Partisipasi terhadap lahan masyarakat

- Tekanan penduduk

- Ketergantungan penduduk terhadap lahan

- Tingkat pendapatan

- Produk lahan

- Jasa lingkungan

- KISS

- Ketergantungan masyarakat pada memerintah

- Keberdayaan lembaga lokal/adat

(29)

tidak banyak berubah. Sedangkan monev parameter-parameter yang dinamis dan dapat dikelola pada suatu DAS/Sub DAS, meliputi: indeks penutupan lahan oleh vegetasi (IPL), kesesuaian penggunaan lahan (KPL), indeks erosi (IE), pengelolaan lahan (PL) dan kerentanan tanah longsor (KTL) perlu dilakukan secara periodik. Data yang dikumpulkan dalam monev penggunaan lahan adalah data dari hasil observasi di lapangan yang ditunjang dengan data dari sistim penginderaan jauh dan data sekunder. Tujuan monev penggunaan lahan adalah untuk mengetahui perubahan kondisi lahan di DAS terkait ada tidak adanya kecenderungan lahan tersebut terdegradasi dari waktu ke waktu.

Monev penggunaan lahan terhadap indikator bentuk erosi yang lain yang berupa gerak masa tanah, seperti tanah longsor, perlu dilakukan tersendiri karena dari pengamatan lapangan menunjukkan bahwa tanah longsor memiliki dampak baik di tempat kejadiannya (on site) maupun di hilirnya (off site), yang dapat menyebabkan kerugian yang cukup besar baik materiil maupun jiwa. Ancaman bencana gerak masa tanah berupa tingkat kerentanan tanah longsor (KTL) di DAS harus dideteksi/dimonitor secara dini, sehingga kemungkinan kerugian akibat bencana yang ditimbulkan dapat ditekan sekecil mungkin.

Data yang diperlukan untuk mendukung monitoring kriteria penggunaan lahan DAS meliputi indikator-indikator:

a. Indeks penutupan lahan oleh vegetasi (IPL) b. Kesesuaian penggunaan lahan (KPL) c. Tingkat Erosi-Indeks Erosi (IE)

d. Pengelolaan lahan (PL)

e. Kerawanan tanah longsor (KTL).

2.3.2. Monev tata air DAS

Monitoring tata air DAS dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi tentang aliran air (hasil air) yang keluar dari daerah tangkapan air (DTA) secara terukur, baik kuantitas, kualitas dan kontinuitas aliran airnya.Untuk mengetahui hubungan antara masukan dan luaran di DAS perlu juga dilakukan monitoring data hujan yang berada di dalam dan di luar DTA atau DAS/Sub DAS bersangkutan.

(30)

dilaksanakan di dalam DAS, yaitu kondisi kuantitas, kualitas, dan kontinuitas hasil air dari DAS/Sub DAS bersangkutan.

a. Indikator terkait kuantitas hasil air, yaitu debit air sungai (Q) dengan parameter nilai koefisien rejim sungai (KRS), indeks penggunaan air (IPA), dan koefisien limpasan (C).

b. Indikator terkait kontinuitas hasil air berupa nilai variasi debit tahunan (CV). c. Indikator terkait kualitas hasil air yaitu tingkat muatan bahan yang terkandung

dalam aliran air, baik yang terlarut maupuan tersuspensi, nilai SDR (nisbah hantar sedimen), dan kandungan pencemar (polutan).

Analisis terhadap kuantitas hasil air dilakukan melalui parameter jumlah air mengalir yang keluar dari DAS/Sub DAS pada setiap periode waktu tertentu.Muatan sedimen (sediment load) pada aliran sungai merupakan refleksi hasil erosi yang terjadi di DTA-nya. Demikian juga bahan pencemar yang terlarut dalam aliran air dapat digunakan sebagai indikator asal sumber pencemarnya, apakah dampak dari penggunaan pupuk, obat-obatan pertanian, dan atau dari limbah rumah tangga dan pabrik/industri.

Selanjutnya kondisi hasil air dari DAS yang bersangkutan dapat diketahui secara time series melalui evaluasi nilai perubahan/kecenderungan parameter-parameternya dari tahun ke tahun. Pengumpulan data dilakukan untuk mendapatkan data dan fakta tentang gambaran kondisi tata air DAS sesuai indikator-indikator yang ada pada SK Menteri Kehutanan No 52 /Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan DAS, yaitu:

a. Kuantitas air - debit aliran air sungai (Q, KRS=Qmaks/Qmin, IPA, dan koefisien limpasan C)

b. Kontinuitas air (nilai CV)

c. Kualitas air - kandungan sedimen, SDR dan kandungan pencemar (fisik: warna, TDS/total dissolved solid, kekeruhan; kimia: pH, DHL/daya hantar listrik, nitrat, sulfat, phospat, potasium, natrium, calsium; dan biologi: BOD/biological oxygen demand, COD/chemical oxygen demand).

2.4. Gambaran Umum DAS Citarum

(31)

dan Juanda (Jatiluhur). Dalam bentang perjalanannya sungai Citarum yang berhulu di Gunung Wayang Kabupaten Bandung dan bermuara di laut Jawa, melewati 7 kabupaten yakni Bandung, Sumedang, Cianjur, Bogor, Bekasi, Purwakarta, dan Karawang, serta 2 kotamadya yakni Bandung dan Cimahi yang kesemuanya berada dalam Provinsi Jawa Barat. Kartiwa B., dkk (2007) menambahkan bahwa DAS Citarum memainkan peranan penting dalam memenuhi kebutuhan air untuk pertanian, aktivitas industri, pembangkit listrik, serta kebutuhan domestik di beberapa daerah di Jawa Barat.

Uraian mengenai karakteristik wilayah DAS Citarum, terbagi dalam 2 pokok uraian yang meliputi:1). Letak geografis dan Luas; dan 2). Morfologi- informasi ini diperoleh dari kantor BPDAS Citarum-Ciliwung.

2.4.1. Letak Geografis dan Luas

[image:31.595.206.417.500.674.2]

Wilayah DAS Citarum berada pada koordinat 106051′36′′ – 107051′BT dan 7019′-6024′LS memanjang dari bagian hulu di selatan Kabupaten Bandung ke hilir menuju utara pantai Jakarta. Luas keseluruhan wilayah DAS Citarum adalah 718,269 hektar, dari luas tersebut seluas 454,340 ha berada di atas Waduk Jatiluhur yang kedudukannya sangat strategis dalam rangka pengamanan proyek-proyek besar seperti Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Luas per Sub DAS disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Luas Sub DAS pada DAS Citarum No. SUB DAS LUAS (Ha)

(32)

2.4.2. Morfologi a. Bentuk DAS

Bentuk tiap sub DAS dalam DAS Citarum diukur dengan Index Circularity Ratio menurut metode MILLER. Index ini menggambarkan seberapa bulat bentuk fisik unit DAS. Secara matematis bentuk DAS dengan indeks = 1.0 berarti bulat seperti sebuah lingkaran. Hasil perhitungan seperti pada Tabel 2.

Tabel 2. Indeks Ratio Kebulatan DAS (circularity ratio) setiap sub DAS di DAS Citarum

No. Sub DAS Luas Sub DAS Luas Lingkaran Index Circularit y Ratio 1. Cibeet 106,372.31 153,654.00 0.7

2. Cikapundung 40,491.79 120,908.25 0.3 3. Cikaso 51,531.83 323,738.60 0.2 4. Cikundul 26,325.38 137,385.32 0.2 5. Cimeta 37,951.56 223,365.55 0.2 6. Ciminyak 32,459.65 117,691.52 0.3 7. Cirasea 38,004.43 95,276.71 0.4 8. Cisangkuy 31,009.94 93,632.69 0.3 9. Cisokan 118,160.61 228,374.09 0.5 10. Citarik 46,793.67 108,801.03 0.4 11. Citarum Hilir 161,704.71 264,915.04 0.6 12. Ciwidey 27,462.65 94,828.62 0.3 Jumlah 718,263.53 1,962,571.42 0.4

Berdasarkan perhitungan ICR untuk DAS Citarum diperoleh nilai 0.4 bentuk memanjang. Dari 13 sub DAS tidak ada satupun yang indeksnya 1 (bulat), 10 sub DAS bentuk DAS memanjang dengan indeks di bawah 0.5, 1 sub DAS (sub DAS Cibeet) dengan indeks 0.7 bentuk membulat.

b. Kelerengan Wilayah DAS

Kelerengan lapangan sub DAS dalam DAS Citarum, dan kabupaten/kota dianalisa dan hasilnya sebagaimana disajikan pada Tabel 3.

[image:32.595.66.482.270.525.2]
(33)

kelerengan datar-landai (0-15%) dan kelerangan curam-sangat curam (>25%), dengan kriteria sebagai berikut:

1. Sub DAS yang >50% luas lahannya berlereng >25%, dikategorikan dalam tipe morfologi lereng berat;

2. Sub DAS yang luas lahannya 35-50% berlereng >25% dikategorikan dalam tipe morfologi lereng sedang: dan

3. Sub DAS yang luas lahannya 35-50 % berlereng <25% dikategorikan dalam tipe morfologi lereng landai.

Identifikasi menghasilkan pengelompokkan sub DAS dalam DAS Citarum sebagai berikut:

1. Sub DAS Cikaso, Cimeta, Ciminyak dan Ciwidey: tipe morfologi lereng berat. 2. Sub DAS Cibeet, Cicalengka, Cikundul, Cirasea, Cisangkuy, Cisokan, Citarik,

dan Citarum Hulu: tipe morfologi lereng sedang.

3. Sub DAS Cikapundung dan Citarum Hilir: tipe morfologi lereng landai.

Secara keseluruhan DAS Citarum bertipe morfologi lereng sedang, seluas 33,28% dari luas lahannya kelerengannya <25% dan 39.49% dari luas lahannya berlereng di atas 25%.

Tabel 3. Summary Karakteristik Kelerengan DAS Citarum

No. Sub DAS % Luas lereng

Datar-Landai

% Luas lereng curam-sangat curam

Luas sub DAS (ha)

Tipe morfologi

DAS 1. Cibeet 29.97 41.74 106,372.31 Sedang 2. Cikapundung 20.28 33.48 40,491.79 Landai 3. Cikaso 18.47 57.42 51,531.83 Berat 4. Cikundul 22.50 58.52 26,325.38 Sedang 5. Cimeta 14.22 53.02 37,951.56 Berat 6. Ciminyak 17.04 78.37 32,459.65 Berat 7. Cirasea 15.19 48.25 38,004.43 Sedang 8. Cisangkuy 13.81 46.64 31,009.94 Sedang 9. Cisokan 22.06 49.71 118,160.61 Sedang 10. Citarik 33.38 36.84 46,793.67 Sedang 11. Citarum hilir 77.72 7.34 161,704.71 Landai 12. Ciwidey 16.88 56.01 27,462.65 Berat

c. Karakteristik Sungai

(34)

Tabel 4. Panjang Sungai dan Kepadatan Aliran tiap Wilayah DAS/sub DAS dalam DAS Citarum

No Sub DAS Panjang Sungai (km)

Luas DAS (km2)

Kerapatan sungai (km/km2) 1. Cibeet 1,044.27 1,063.72 0.98 2. Cikapundung 975.49 404.91 2.41

3. Cikaso 2,600.19 515.32 5.05

4. Cikundul 652.81 263.25 2.48

5. Cimeta 796.94 379.51 2.10

6. Ciminyak 957.18 324.60 2.95

7. Cirasea 682.38 380.04 1.80

8. Cisangkuy 313.49 310.10 1.01 9. Cisokan 1,823.75 1,181.60 1.54

10. Citarik 93.27 467.93 0.20

11. Citarum hilir 2,974.49 1,617.04 1.84

12. Ciwidey 329.30 274.63 1.20

Total 13.243,56 7,182.68 1.84

2.5. Fungsi Hutan dalam Daur Hidrologi

Hutan memegang peranan penting dalam meredusir volume aliran air dan besarnya debit sungai pada saat banjir. Menurut Arif (2001) Ada tiga pengaruh hutan yang penting, yakni sebagai berikut:

1. Hutan menahan tanah ditempatnya.

Akar-akar dan perdu berfungsi sebagai pengikat tanah pada tanah-tanah yang miring dan mencegah longsor sesudah terjadi hujan lebat atau kebakaran besar.

2. Tanah hutan menyimpan air tanah lebih banyak.

Evapotranspirasi hutan cukup besar, terutama pada tipe-tipe tumbuhan penutup tanah sehingga lapisan tanah (soil mantle) dibawah tegakannya hutan acapkali mengandung air lebih sedikit. Bila terjadi hujan lebat, maka bagian terbesar dari aliran permukaan akan ditahan dalam bentuk air tanah sehingga volume aliran langsung mengalir di bawah tegakan hutan akan berkurang. Akibatnya, tinggi air banjir di hilir sungai akan jauh berkurang. 3. Hutan menyebabkan tingginya laju infiltrasi.

[image:34.595.65.486.110.822.2]
(35)

Keberadaan hutan di suatu Daerah Aliran Sungai mempunyai fungsi dan peranan yang sangat penting, baik secara ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis, pengaruh keberadaan hutan yang dikelola dengan baik terhadap siklus hidrologi dan erosi/degradasi tanah, antara lain sebagai berikut:

1. Hutan barangkali tidak berpengaruh terhadap total presipitasi, tetapi jumlah air hujan yang mencapai permukaan tanah sangat dikurangi oleh proses intersepsi vegetasi hutan. Daya erosi hujan pada umumnya tidak terlalu banyak diturunkan oleh vegetasi pepohonan, bahkan dalam beberapa hal tertentu mengalami penurunan.

2. Hutan umumnya tidak mampu mempengaruhi kapasitas cadangan air bumi dan tampaknya tidak banyak perpengaruh terhadap perkolasi air dalam dan aliran air bumi. Faktor-faktor yang sangat penting bagi aliran sungai semata-mata ditentukan oleh faktor fisik tanah, batuan induk, dan geologi.

3. Hutan berpengaruh terhadap eksesibilitas cadangan air bumi karena hutan mampu menyebabkan tanah mempunyai kondisi hidrologi yang lebih baik sehingga memungkinkan infiltrasi lebih banyak dan juga perkolasi air dalam tanah. Oleh karena itu, daerah hutan biasanya menyediakan aliran sungai yang berkesinambungan dari sumber air bumi, terutama selama musim kemarau.

4. Kondisi hidrologi yang baik pada tanah-tanah hutan yang ditandai oleh kapasitas infiltrasi yang besar dan kapasitas simpanan depresi yang cukup besar mampu menghambat terjadinya banjir di daerah yang tidak berhutan. Akan tetapi, aliran permukaan di daerah yang tidak berhutan dapat menimbulkan aliran air yang cukup besar pada musim hujan.

5. Meskipun hutan mampu menyebabkan tanah mempunyai karateristik hidrologi yang baik, namun hutan tidak mampu mengubah sifat hidrologi yang buruk, seperti solum yang dangkal/tipis. Disamping itu, hutan dapat kehilangan sifat hidrologis yang baik apabila periode hujannya panjang dan lebat, serta kondisi tanahnya tidak stabil. Tetapi, pada tanah-tanah yang berkarakteristik hidrologi kurang bagus ternyata hutan dapat memperbaiki situasu lebih besar dibandingkan dengan tanah-tanah yang kondisinya telah baik.

(36)

memiliki curah hujan rendah, dimana debit air sungai minim, dapat turun lagi karena tingginya evapotranspirasi, sehingga berdampak buruk.

7. Dampak yang baik dari hutan terhadap kondisi hidrologi disebabkan oleh hubungan yang baik antara hutan dan faktor-faktor tanah. Hal ini terlihat pada pengaruh yang baik terhadap erosi karena vegetasi hutan menyediakan serasah lantai hutan yang mampu mengurangi erosi.

2.6. Kebutuhan Air

Menurut Kodoatie dan Roestam S. (2008) kebutuhan air yang dimaksud adalah kebutuhan air yang digunakan untuk menunjang segala kegiatan manusia, meliputi air bersih domestik dan non domestik, air irigasi baik pertanian maupun perikanan, dan air untuk penggelontoran kota. Air bersih digunakan untuk memenuhi kebutuhan:

a. Kebutuhan air tujuan sosial: keperluan rumah tangga.

b. Kebutuhan air non sosial: pariwisata, tempat ibadah, serta tempat-tempat komersil atau tempat umum lainnya.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air memberikan gambaran bahwa penyediaan air untuk kebutuhan masyarakat sangat penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menunjang peningkatan pembangunan suatu daerah. Kekurangan air dapat mengakibatkan suatu daerah tidak dapat berkembang karena pembangunan tidak dapat ditingkatkan bila tidak tersedianya air pada daerah tersebut. Penyediaan air sangat terkait erat dengan berapa sebenarnya potensi/ketersediaan sumberdaya air yang tersedia pada suatu daerah.

(37)

kebutuhan, maka perlu adanya tampungan tambahan misalnya dengan membangun bendungan atau embung.

2.7. Irigasi

Irigasi adalah pemberian air ke dalam tanah untuk menunjang curah hujan yang tidak cukup agar tersedia lengas bagi pertumbuhan tanaman (Linsley R.K., dan Joseph B. Franzini, 1995). Maryono (2005) mengemukakan bahwa dalam perencanaan bangunan irigasi teknis, sungai yang ada dapat dipakai sebagai saluran irigasi teknis, jika dari segi teknis memungkinkan.Kehilangan air di saluran dengan menggunakan sungai kecil lebih kecil daripada menggunakan saluran tanah buatan, karena pada umumnya porositas sungai relatif rendah mengingat adanya kandungan lumpur dan sedimen gradasi kecil yang relatif tinggi.

Kaitannya dengan ekologi, perlu dipertimbangkan besarnya debit suplai air sungai. Sejauh mungkin tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan flora dan fauna sungai yang bersangkutan. Jika pada pengambilan air dengan menggunakan bendung harus diperhitungkan jumlah debit air minimum yang harus tersedia di sungai bagian hilir bendung agar kehidupan ekologi sungai masih dapat berlangsung, demikian pula pada penggunaan sungai untuk saluran irigasi harus dipertimbangkan besarnya debit tambahan maksimum yang masih dapat ditolerir, baik bagi hidraulik maupun ekologi sungai tersebut.

(38)
(39)

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu

[image:39.595.110.515.127.773.2]

Penelitian ini memanfaatkan data sekunder yang tersedia pada Perum Jasa Tirta II Jatiluhur dan BPDAS Citarum-Ciliwung untuk data seri dari tahun 2002 s/d 2009. Penelitian dilaksanakan pada DAS Citarum Provinsi Jawa Barat, berlangsung dari Bulan Agustus sampai Oktober 2010. Secara geografis, DAS Citarum terletak pada 106051’36’’–107051 BT dan 7019’– 6024’ LS. Wilayah DAS memanjang dari bagian hulu di selatan Kabupaten Bandung ke hilir menuju utara pantai Jakarta. Peta Lokasi Penelitian seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Peta Wilayah Penelitian, DAS Citarum Jawa Barat.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi:

(40)

Alat yang digunakan meliputi perangkat computer jenis PC dengan software Arcview 3.3 untuk digitasi dan pengolahan peta, serta Microsoft Excel 2007 untuk pengolahan data statistik.

3.3. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini metode survei dengan pendekatan pemanfaatan data sekunder untuk mengetahui nilai keberadaaan dari setiap variabel yang diteliti yakni analisis peta penggunaan lahan tahun 2002 dan 2008, serta deskripsi data debit air dan areal tanam.

3.4. Pelaksanaan penelitian

Penelitian dilakukan dalam 3 dua tahap: 1. Tahap pra survei.

2. Tahap Survei. 3. Tahap analisis data.

3.4.1. Tahap Pra Survei

Tahapan ini ditujukan untuk pengumpulan informasi mengenai penggunaan lahan pada DAS Citarum Hulu pada tahun 2002 dan 2008. Data yang diperlukan merupakan data sekunder diperoleh dari BPDAS Citarum-Ciliwung.

3.4.2. Tahap Survei

Survei dilakukan untuk melihat keadaan sumberdaya air yang ada pada DAS Citarum. Berkaitan dengan maksud ini maka penelitian dipusatkan pada salah satu sumberdaya air yang ada pada DAS Citarum yakni Waduk Jatiluhur. Data yang akan dikumpulkan merupakan data bulanan, meliputi:

a. Rerata debit bulanan hasil air DAS Citarum ke Waduk Jatiluhur, dari tahun 2002 sampai 2009 diperoleh dari Perum Jasa Tirta II Jatiluhur (berdasarkan neraca air pada inlet waduk Jatiluhur).

b. Curah hujan Tahunan DAS Citarum untuk tahun 2002 sampai tahun 2009 dari 8 stasiun hujan pada DAS Citarum, yakni stasiun Cicalengka, Paseh, Montaya, Cisondari, Dago, Darangdan, Purwakarta, dan Wanayasa.

(41)

d. kebutuhan air irigasi 15 harian dari aral persawahan yang berada pada wilayah otorita Perum Jasa Tirta II Jatiluhur.

e. Suplai air irigasi yang berasal dari sumber setempat (sungai-sungai lokal) yang diperoleh dari Bendung-bendung pada wilayah Tarum Timur, dan Tarum Barat.

f. Suplai irigasi yang berasal dari waduk Jatiluhur.

3.4.3. Analisis data

a. Penutupan lahan dan penggunaan lahan DAS Citarum

Analisis luas penutupan lahan dilakukan dengan bantuan program Arcview

3.3. Peta wilayah kajian diperoleh dengan menggabungkan peta dasar dari 10 sub DAS yang berada di atas waduk Jatiluhur, yakni sub DAS Cikaso, sub DAS Cikundul, sub DAS Cimeta, sub DAS Cisokan, sub DAS Cikapundung, sub DAS Ciminyak, sub DAS Ciwidey, sub DAS Cisangkuy, sub DAS Citarik, dan sub DAS Cirasea. Peta penutupan lahan DAS Citarum dan peta wilayah tiap sub DAS diperoleh dari BPDAS Citarum-Ciliwung. Peta Wilayah kajian seperti pada Gambar 3.

(42)

Setelah pemotongan peta penutupan lahan untuk wilayah penelitian, dengan bantuan program Arcview 3.3 dilakukan operasi tumpang tindih antara peta tahun 2002 dan tahun 2008 untuk melihat perubahan yang terjadi. Pengaruh waktu pengambilan citra akan menpengaruhi keberadaan dari penutupan lahan yang ada, sehingga hasil indentifikasi tersebut dikelompokkan menjadi 4 kawasan penggunaan lahan berkaitan dengan penutupan vegetasi dan kemungkinan alihfungsi lahan karena pengaruh kekurangan air, keempat kawasan tersebut yaitu:

1. Kawasan bervetasi permanen, meliputi: hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan tanaman, dan perkebunan.

2. Kawasan Pertanian, meliputi: pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campuran, dan sawah.

3. Kawasan terbangun, berupa perumahan.

4. Kawasan terbuka, meliputi: semak/belukar, tanah terbuka, dan lain-lain.

b. Pengaruh Perubahan penggunaan Lahan terhadap Hasil Air DAS

Curah hujan merupakan pemasok utama air pada DAS yang akan mengikuti siklus hidrologi pada sistem DAS dan secara cepat atau lambat akan keluar pada bagian hilir sebagai hasil air yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Sebelum melihat pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap hasil air, terlebih dahulu dilakukan analisis untuk mengetahui hubungan antara curah hujan dan hasil air. Analisis Curah Hujan wilayah DAS dilakukan dengan Metode

Poligon Thiessen. Data curah hujan yang digunakan adalah curah hujan dari tahun 2002 sampai tahun 2009 dari 8 stasiun yang berada pada DAS Citarum yakni stasiun stasiun Wanayasa, stasiun Darangdan, stasiun Purwakarta, stasiun Dago, stasiun Cisondari, stasiun Montaya, stasiun Paseh, dan stasiun Cicalengka. Hasil air DAS diperoleh dari data tercatat pada inlet waduk Jatiluhur. Data yang diperoleh adalah data rerata bulanan debit air masuk ke Waduk Jatiluhur dalam satuan m3/detik. Berdasarkan data tersebut, maka diperoleh nilai hasil air bulanan (m3/bulan) dan hasil air tahunan (m3/tahun).

(43)

Vbln = ^Qbln x nh x 86400

Vth = Vbln(Jan + Feb + Mar +…..+ Des)

Keterangan:

Vbln = Hasil air Bulanan (m3/bln); Vtahun = hasil air tahunan (m3/tahun) Qbln = Volume bulanan (juta m3/bln); ^Qbln = Rerata debit bulanan (m3/detik)

nh = jumlah hari dalam bulan yang bersangkutan; Qth =Volume air Tahunan

(juta m3/tahun).

Hubungan yang terjadi antara curah hujan dan hasil air dievaluasi menggunakan pendekatan analisis korelasi dan uji t-student. Parameter yang dievaluasi adalah total air tahunan dan koefisen variansi. Setelah diketahui hubungan antara curah hujan dan hasil air dilakukan tabulasi sederhana untuk memperoleh nilai perubahan hasil air. Langkah-langkah yang dilakukan untuk menentukan perubahan hasil air adalah:

1. Hasil curah hujan dikurangi hasil air tahunan untuk memperoleh nilai selisih H-A. data pertama nilai H-A yakni untuk tahun 2002 ditetapkan sebagai nilai normal, diharapkan bahwa pada kondisi penggunaan lahan yang tetap atau tidak berbuah, nilai C-A akan selalu tetap dan jika terjadi penyimpangan maka nilai ini disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan.

2. Trend perubahan hasil air dilakukan menggunakan asumsi bahwa terjadi perubahan secara linier.

Berdasarkan analisis trend untuk hasil air kemudian dilakukan analisis regresi linier berganda untuk melihat pengaruh perubahan penggunaan lahan DAS terhadap hasil air.

c. Pengaruh perubahan hasil air terhadap suplai air irigasi

Irigasi Jatiluhur dimaksudkan untuk mengairi areal persawahan seluas ± 242.000 ha di bagian Utara Jawa Barat. Berkaitan dengan luasan tersebut, telah dilakukan perencanaan kebutuhan air irigasi. Pemenuhan air untuk kebutuhan irigasi berasal dari 2 sumber yaitu air dari DAS Citarum dan air dari sumber Lokal, sehingga untuk memperoleh nilai kebutuhan irigasi yang harus dipenuhi dari waduk Jatiluhur, kebutuhan irigasi dikurangi dahulu dengan pemenuhan dari sumber setempat.

(44)

hasil air terhadap pemenuhan kebutuhan air irigasi adalah berdasarkan nilai Indeks Penggunaan Air (IPA). Klasifikasi Indeks Penggunaan Air (IPA) suatu DAS disajikan pada Tabel 5, sedangkan persamaan untuk menghitung IPA adalah sebagai berikut:

IPA tahunan = Kebutuhan tahunan Persediaan tahunan

Keterangan:

Kebutuhan air ( m3) = Rencana kebutuhan air irigasi dikurangi jumlah air yang telah dipenuhi dari sumber setempat

Persediaan air (m3) = suplai air irigasi dari Waduk Jatiluhur.

Tabel 5. Klasifikasi nilai Indeks Penggunaan Air (IPA)

No Nilai IPA Kelas

1. ≤ 0,5 Baik

2 . 0,6 – 0,9 Sedang

3 . ≥ 1,0 Jelek

Nilai IPA suatu DAS dikatakan baik jika jumlah air yang digunakan di DAS masih lebih sedikit dari pada potensinya sehingga DAS masih menghasilkan air yang keluar dari DAS untuk wilayah hilirnya, sebaliknya dikatakan jelek jika jumlah air yang digunakan lebih besar dari potensinya sehingga volume air yang dihasilkan dari DAS untuk wilayah hilirnya sedikit atau tidak ada. Indikator IPA dalam pengelolaan tata air DAS sangat penting kaitannya dengan mitigasi bencana kekeringan tahunan di DAS.

Kemampuan waduk dalam mengatasi perubahan hasil air dijelaskan dengan nilai efisiensi waduk yang diperoleh dengan persamaan:

E= 1-(defisit waduk/defisit DAS)

(45)

berkaitan dengan fluktuasi saat musim hujan dan musim kemarau yang cukup tinggi.

d. Perubahan luas Areal persawahan

(46)
(47)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Penutupan Lahan dan Penggunaan Lahan

Berkaitan dengan evaluasi karakteristik hidrologi DAS yang mendukung suplai air untuk irigasi maka wilayah DAS Citarum dibagi menjadi 2 bagian, yaitu: 1). wilayah di atas Waduk Jatiluhur, merupakan daerah perlindungan yang berperan terhadap hasil air (water yield) DAS, dan 2). Daerah hilir yang termasuk dalam wilayah otorita Perum Jasa Tirta II Jatuluhur dan berperan terhadap penyediaan lahan pertanian terutama untuk areal persawahan. Evaluasi penggunaan lahan dan penutupan lahan DAS Citarum diarahkan untuk melihat kondisi pada bagian pertama yakni wilayah DAS di atas waduk Jatiluhur (yang selanjutnya akan disebut DAS Citarum). Berdasarkan interpretasi citra digital menggunakan bantuan program Arcview 3.3 diperoleh hasil untuk penutupan lahan pada Tahun 2002 dan 2008 yang disajikan pada lampiran 1, matriks perubahannya tiap tipe penutupan lahan disajikan pada lampiran 2, sedangkan Peta penutupan lahan DAS Citarum pada Tahun 2002 disajikan pada Gambar 4 dan tahun 2008 pada Gambar 5.

[image:47.595.109.510.390.751.2]
(48)

Gambar 5. Peta Penutupan Lahan DAS Citarum di atas Waduk Jatiluhur, Tahun 2008

Penutupan Lahan DAS Citarum berdasarkan klasifikasi yang dilakukan oleh BPDAS Citarum-Ciliwung terbagi atas 11 tipe penggunaan yaitu hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan tanaman, perkebunan, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campuran, sawah, semak/belukar, lahan terbuka, perumahan, dan lain-lain.

Budiyanto (2001) memberikan gambaran bahwa kemampuan sistem informasi geografis dalam melakukan analisis dapat dimanfaatkan sebagai alat bantu sistem informasi dan pemantauan penggunaan lahan. Sesuai dengan fungsinya sebagai alat bantu, maka dalam sistem informasi geografis perlu disusun sebuah model yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan tertentu. Analisis pada dasarnya merupakan proses pemberian makna dari sekumpulan data. Analisis dalam sistem informasi geografis dapat dilakukan melalui suatu perhitungan, komputasi statistik, pembentukan model pada serangkaian nilai data atau proses operasi lainnya.

[image:48.595.46.483.52.822.2]
(49)

Perubahan penggunaan lahan dari Tahun 2002 sampai 2008 berdasarkan tabulasi sederhana yang dilakukan terhadap hasil analisis penutupan lahan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil Analisis Penggunaan Lahan DAS Citarum di atas Waduk Jatiluhur, tahun 2002 dan tahun 2008.

Kawasan Luas Tahun 2002 Luas tahun 2008 Selisih luas

2008-2002

Ha % Ha % Ha %

Vegetasi Permanen 121,418 26.94 82,420 18.29 -38,998 -8.65

Pertanian 269,308 59.76 317,808 70.52 48,500 10.76

Terbuka 11,083 2.46 6,107 1.36 -4,977 -1.10

Kawasan terbangun 48,839 10.84 44,314 9.83 -4,525 -1.00

Total 450.649 100.00 450,649 100.00

Keterangan: - = penurunan luas

Hasil tabulasi luas penggunaan lahan seperti pada Tabel 6 menunjukkan bahwa penggunaan lahan untuk kawasan hutan pada tahun 2002 sebesar 26.94% namun mengalami penurunan menjadi 18.29% pada tahun 2008 (berkurang 8.65%), kondisi ini secara teoritis menandakan bahwa DAS Citarum di atas waduk Jatiluhur berada pada kondisi rusak. Kawasan pertanian (pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campuran, dan sawah) mendominasi penggunaan lahan pada tahun 2002 sebesar 59.76% dan terus meningkat menjadi 70.52% pada tahun 2008. Penggunaan lahan lainnya (semak/belukar, tanah terbuka, pemukiman, dan lain-lain) menjadi bagian terkecil dalam penggunaan DAS yaitu sebesar 13.30% pada tahun 2002 kemudian berkurang menjadi 11.19% pada tahun 2008.

Wilayah hutan dari tahun 2002 sampai tahun 2008 lebih banyak dikonversi menjadi kawasan pertanian dengan luas perubahan 59,693 hektar atau 13.23% dari luas DAS, sedangkan yang dikonversi menjadi kawasan terbuka/terbangun seluas 1,660 ha atau 0.37% dari luas DAS. Pertambahan penduduk telah mengakibatkan peningkatan kebutuhan akan pangan yang diiringi pula oleh desakan ekonomi rumah tangga sehingga konversi lahan hutan menjadi areal pertanian tidak dapat diatasi lagi. Informasi yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Indonesia bahwa penduduk Jawa barat pada tahun 2000 sebanyak 35,724.1 ribu meningkat menjadi 43,021.8 pada tahun 2010 atau mengalami peningkatan sebesar 7297.7 ribu jiwa dengan laju peningkatan 729,77 ribu per tahun selama sepuluh tahun terakhir.

(50)

sudah dijadikan kawasan lindung. Gejala perubahan penggunaan lahan dan kondisinya sampai tahun 2008 memberikan pemahaman bahwa konversi lahan menjadi kawasan terbangun dan areal budidaya pertanian tidak dapat lagi dilakukan dalam luasan yang besar karena hutan yang tersisa sangat sedikit dan berada pada kelerengan >45%.

4.2. Pengaruh Perubahan penggunaan lahan terhadap hasil air

Hasil air suatu DAS sangat ditentukan oleh curah hujan yang jatuh di atasnya dan penggunaan lahan pada DAS tersebut dalam kaitannya dengan siklus hidrologi DAS sehingga perlu kajian secara seksama mengenai keberadaan dari ketiga faktor ini. Curah hujan dan hasil air biasanya sejalan dalam pengertian bahwa jika terjadi peningkatan curah hujan maka hasil airpun akan meningkat, demikian pula sebaliknya.

4.2.1. Curah Hujan

Hasil analisis curah hujan wilayah berdasarkan olah data program Arcview

3.3 disajikan pada lampiran 3 dengan gambaran umum rerata tahunan curah hujan wilayah DAS Citarum adalah 2176 mm/th yang sesuai dengan ciri curah hujan di wilayah Jawa Barat antara 2000–3000 mm/th. Berkaitan dengan penyediaan air irigasi maka perlu dipahami dampak iklim global terhadap curah hujan di Indonesia khususnya di DAS Citarum berupa anomali iklim El Nino dan La Nina.

Irawan (2006) menyatakan bahwa kejadian El Nino biasanya diikuti dengan penurunan curah hujan dan peningkatan suhu udara, sedangkan kejadian La Nina merangsang kenaikan curah hujan di atas curah hujan normal. Kedua Anomali iklim tersebut tidak menguntungkan bagi produksi pertanian karena penurunan drastis curah hujan akibat El Nino dapat menimbulkan kegagalan panen akibat kekeringan, sedangkan kenaikan curah hujan akibat La Nina dapat menimbulkan banjir dan merangsang peningkatan gangguan organism pengganggu tanaman. Umur tanaman pangan umumnya relatif pendek, maka kedua anomali iklim tersebut biasanya menimbulkan dampak lebih besar terhadap produksi tanaman pangan daripada produksi tanaman tahunan seperti perkebunan.

(51)

berturut-turut) dan menyisahkan 2 bulan basah, mengakibatkan sebagian petani di daerah hulu tidak dapat mengusahakan sawahnya sehingga areal persawahan dialihfungsikan sementara untuk tanaman pertanian lahan kering lainnya. Anomali La Nina terakhir di Indonesia pada tahun 1999.

Adanya anomali iklim tersebut memberikan suatu peringatan agar pengelolaan DAS Citarum harus dilakukan secara teratur dan berkesinambungan karena kondisi saat ini yang lebih didominasi oleh kawasan pertanian akan sangat mudah mengalami degradasi apalgi jika kegiatan pertanian dilakukan tanpa memperhatikan kaidah konservasi tanah dan air. Wilayah DAS yang telah mengalami degradasi akan sangat peka terhadap penyimpangan iklim yang terjadi pada wilayah tersebut.

Curah hujan bulanan terendah yang terjadi pada DAS Citarum adalah 0 mm sedangkan curah hujan tertinggi 554 mm, sedangkan berdasarkan rerata bulanan dari tahun 2002-2009, curah hujan terendah pada bulan agustus sebesar 26 mm dan tertinggi pada bulan maret sebesar 308 mm. Hasil ini menunjukkan ciri umum dari gejala curah hujan di Indonesia yang termasuk dalam Zona Iklim tropis dengan ciri variasi musiman dimana curah hujan sangat tinggi saat musim hujan dan sangat rendah saat musim kemarau. Nilai Koefisien varian dari rerata bulanan curah hujan DAS Citarum adalah 62.74 dengan nilai rata-ratanya sebesar 181.25 mm.

Menurut Metode Oldeman (1975) dalam Tjasyono (2004) bulan basah didefinisikan sebagai bulan yang mempunyai jumlah curah hujan sekurang-kurangnya 200 mm, sedangkan bulan kering didefinisikan sebagai bulan yang mempunyai jumlah curah hujan kurang dari 100 mm. Pembagian bulan basah dan bulan kering menurut Oldeman (1975) didasarkan pada asumsi bahwa untuk pertumbuhan tanaman palawija diperlukan curah hujan sekurang-kurangnya 100 mm tiap bulan sedangkan jumlah curah hujan sebesar 200 mm tiap bulan dipandang cukup untuk membudidayakan padi sawah.

(52)

rata-rata curah hujan untuk seluruh bulan sebesar 181 mm/bln. Selain itu, untuk mengatasi kekeringan yang panjang dapat puladitempuh dengan alternatif hujan buatan namun memerlukan biaya yang tinggi.

Irawan (2006) mengemukakan bahwa dalam rangka mengantisipasi fenomena iklim terutama El Nino, diperlukan kebijakan penanggulangan yang bersifat menyeluruh dan melibatkan banyak pihak yang relevan mengingat fenomena anomali iklim dan konsekwensinya meliputi berbagai spek yang luas. Pada intinya kebijakan penanggulangan anomali iklim perlu menempuh beberapa upaya yaitu: (1) mengembangkan system deteksi dini anomali iklim yang meliputi waktu kejadian, lama kejadian, tingkat anomali, potensi dampak terhadap ketersediaan air dan produksi pangan, dan sebaran wilayah rawan, (2) mengembangkan sistem diseminasi informasi anomali iklim secara cepat dengan jangkauan yang luas kepada petani dan berbagai pihak serta instansi terkait, dan (3) mengembangkan, mendiseminasikan dan memfasilitasi petani untuk dapat menerapkan teknik budidaya tanaman yang adaptif terhadap situasi kekeringan, misalnya dengan mengatur pola tanam padi-padi-padi untuk kasus La Nina dan pola tanam palawija-padi-palawija untuk kasus El Nino. Disamping itu perlu ditingkatkan pembangunan dan pemeliharaan jaringan irigasi serta mengembangkan teknik pemanenan curah hujan misalnya melalui pembuatan embung air.

4.2.2. Curah hujan dan hasil air

Curah hujan merupakan suatu fenomena alam yang sulit dikendalikan sehingga dikategorikan sebagai suatu variabel bebas, sedangkan hasil air merupakan variabel tidak bebas yang ditentukan oleh curah hujan dan siklus hidrologi yang terjadi pada suatu DAS yang ditentukan oleh karakteristik DAS tersebut. Penggunaan lahan merupakan karakteristik DAS yang selalu berubah dalam jangka waktu yang cepat sedangkan karakte

Gambar

Tabel 1. Luas Sub DAS pada DAS Citarum
Tabel 2.  Indeks Ratio Kebulatan DAS (circularity ratio) setiap sub DAS di DAS
Tabel 4.  Panjang Sungai dan Kepadatan Aliran tiap Wilayah DAS/sub DAS dalam DAS Citarum
Gambar 2. Peta Wilayah Penelitian, DAS Citarum Jawa Barat.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Implikasi hasil model keterkaitan kualitas air terhadap proporsi jenis tata guna lahan di Sub DAS Ciliwung hulu menunjukkan bahwa wilayah ini lebih dipengaruhi

Berdasarkan hasil kalibrasi antara prediksi model dengan hasil pengukuran pada series hujan dan debit pengukuran yang digunakan dapat disimpulkan bahwa model HEC-HMS cukup akurat

Besar rata-rata debit andalan untuk curah hujan lebih besar dibandingkan rata-rata debit andalan pos duga air, dimana tingkat kebutuhan air pada daerah

Selanjutnya, pada bulan Juli – Desember curah hujan selalu lebih rendah dari ETP sehingga terjadi APWL yang menyebabkan defisit air tanah untuk lahan selama enam

Berdasarkan hasil kalibrasi antara prediksi model dengan hasil pengukuran pada series hujan dan debit pengukuran yang digunakan dapat disimpulkan bahwa model HEC-HMS cukup akurat

Selanjutnya, untuk mengetahui hasil air dan debit puncak dilakukan simulasi pada model HEC- HMS berdasarkan data curah hujan dan debit sungai Cicatih tahun 2016, yang

Berdasarkan hasil kalibrasi antara prediksi model dengan hasil pengukuran pada series hujan dan debit pengukuran yang digunakan dapat disimpulkan bahwa model HEC-HMS cukup akurat dan

sumber air tanah untuk irigasi lahan tadah hujan di musim kemarau secara berkelanjutan; 2 Meningkatkan produktivitas lahan selama 1 satu tahun penuh; 3 Melakukan pengembangan budidaya