• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis potensi gas rumah kaca (CH4 dan CO2) pada usaha tambak udang intensif dan persepsi masyarakat dalam pengelolaannya di Kabupaten Tulang Bawang, Propinsi Lampung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis potensi gas rumah kaca (CH4 dan CO2) pada usaha tambak udang intensif dan persepsi masyarakat dalam pengelolaannya di Kabupaten Tulang Bawang, Propinsi Lampung"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

   

ANALISIS POTENSI GAS RUMAH KACA (CH4 DAN CO2) PADA USAHA TAMBAK

UDANG INTENSIF DAN PERSEPSI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAANNYA DI KABUPATEN TULANG BAWANG, PROVINSI LAMPUNG

AGUNG PANDU DEWATA

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

   

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Potensi Gas Rumah Kaca (CH4 dan CO2) pada Usaha Tambak Udang Intensif dan Persepsi Masyarakat dalam pengelolaannya di Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

(4)

   

RINGKASAN

AGUNG PANDU DEWATA. Analisis Potensi Gas Rumah Kaca (CH4 dan CO2) pada Usaha Tambak Udang Intensif dan Persepsi Masyarakat dalam pengelolaannya di Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung. Dibimbing oleh HARIYADI dan BAMBANG WIDIGDO.

Kegiatan budidaya perairan termasuk budidaya udang menimbulkan limbah yang dapat mengganggu kestabilan lingkungan. Pakan udang yang tinggi dalam nitrogen (N) dan retensi oleh udang sering kurang dari 25% dari masukan N (Briggs dan Funge 1994; Boyd dan Tucker 1998; Burford et al. 2003). Nitrogen yang tersisa di kolam umumnya tercuci ke perairan di sekitarnya, baik secara berkala untuk mengurangi stres udang, atau pada saat panen. Kelebihan N dapat menyebabkan eutrofikasi pada perairan. Eutrofikasi pada perairan tambak mengakibatkan perubahan kimia dalam air, blooming alga, kekeruhan meningkat, oksigen terlarut yang rendah, serta perubahan rantai makanan (Ryther dan Dunstan 1971; Paerl 1988; Kennish 1992; Nixon 1995; Smith et al. 1999). Dekomposisi bahan-bahan organik dari mikroba di dasar perairan mengakibatkan keluarnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, CH4, dan N2O dimana N2O merupakan produk intermediate dari proses denitrifikasi. Selain itu, permasalahan lain yang dihadapi pada sektor budidaya adalah penggunaan energi secara tidak langsung dalam jumlah besar dapat menimbulkan potensi gas rumah kaca (CO2).

Tujuan penelitian 1) Menganalisis besarnya potensi gas rumah kaca (CH4) dari limbah tambak udang intensif, 2) Menganalisis besarnya potensi gas rumah kaca (CO2) pada penggunaan energi pada tambak udang intensif, 3)Menganalisis persepsi masyarakat terhadap pemanasan global. Penelitian dilakukan pada tambak udang intensif fase persiapan air (02.60 AW dan 02.60. AK) serta pada tambak udang intensif fase hampir panen (02.55.AW dan 02.55.AK) milik PT. Central Pertiwi Bahari, Kecamatan Dente Teladas, Kabupaten Tulang Bawang, Propinsi Lampung pada bulan Januari 2011 – April 2011. Analisis potensi gas metana (CH4) dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jaken, Pati, Jawa Tengah.

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa potensi gas rumah kaca (CH4) dari limbah tambak intensif pada SO.02.55 (fase hampir panen) adalah 0,45 – 1,08 mg/kg limbah/tahun (FCR 1,3) dan 0,42 – 1,00 mg/kg limbah/tahun (FCR 1,4). Sementara itu, potensi gas rumah kaca (CH4) dari limbah tambak udang intensif pada SO.02.60 (persiapan air) adalah 1,26 – 64,61 mg/kg limbah/tahun (FCR 1,3) dan 1,17 – 60,00 mg/kg limbah/tahun (FCR 1,4). Tingginya produksi metana limbah tambak udang pada SO.02.60 (AW dan AK) dipengaruhi oleh nilai pH yaitu pada kisaran 6,61 – 7,06. Nilai pH pada kisaran tersebut sangat mempengaruhi bakteri penghasil metana untuk menghasilkan gas metana. Potensi gas rumah kaca (CO2) pada penggunaan energi di tambak udang intensif SO.02.55 (fase hampir panen) adalah 715,87 kg.CO2/hari dan pada SO.02.60 (fase persiapan air) adalah 89,48 kg.CO2/hari. Penggunaan energi berupa penggunaan kincir mempengaruhi potensi gas rumah kaca (CO2). Dari 39 responden, sebanyak 58,97 % pernah mendengar istilah pemanasan global. Sedangkan, 41,03 % tidak pernah mendengar istilah pemanasan glonal. Tingkat pendidikan tidak berpengaruh nyata terhadap persepsi masyarakat mengenai pengelolaan limbah tambak udang dan pemanasan global.

(5)

   

SUMMARY

AGUNG PANDU DEWATA. Analysis of The Potential Greenhouse Gas (CO2 and CH4) in Intensive Shrimp Ponds Business and Public Perception in Its Management in Kabupaten Tulang Bawang, Lampung Province. Supervised by HARIYADI and BAMBANG WIDIGDO.

Aquaculture activities including shrimp aquaculture gives rise to waste that can disrupt the stability of the environment. The high of shrimp feeds in Nitrogen (N) and the retention of shrimps often are less than 25% of the input (N Briggs and Funge 1994; Boyd and Tucker 1998; Burford et al. 2003). Nitrogen that is left in the pond, generally, leached into the surrounding waters, either periodically to reduce the stress of shrimp, or at the time of harvest. Excess N can cause eutrophication of waters. Eutrophication in the pond waters resulted chemical change in a water, blooming algae, increasing of turbidity, lack of Dissolved Oxygen, as well as changes in the food chain (Ryther and Dunstan 1971; Paerl 1988; Kennish, 1992; Nixon 1995; Smith et al. 1999). The decomposition of organic substances of microbe in the bottom waters resulted in the release of greenhouse gases such as CO2, CH4, and N2O, whereas N2O is an intermediate product of denitrification process. In addition, another problems faced by the aquaculture is the indirectly energy use in large quantities could result in the potential of greenhouse gases ( CO2 ).

Research purposes 1 ) Analyze the magnitude of the potential greenhouse gas (CH4) of intensive shrimp ponds wastes 2) Analyze the magnitude of the potential greenhouse gas (CO2) on the use of energy on intensive shrimp ponds 3) Analyze the perception of people about global warming. Research is done at water-preaparation phase of intensive shrimp ponds ( 02.60 AW and 02.60.AK), and nearly-harvested phase of intensive shrimp ponds ( 02.55.AW and 02.55.AK ) owned by PT. Central Pertiwi Bahari, Kecamatan Dente Teladas, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung Province in January 2011 - April 2011. The analysis of potential methane (CH4 ) was done in Laboratorium Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jaken, Pati, Central Java.

The results show that the potential greenhouse gas (CH4) from intensive shrimp ponds waste on SO 02.55. (nearly-harvested phase) was 0.45 – 1,08 mg/kg waste/year (FCR-1.3) and 0.42 - 1.00 mg/kg waste/year (FCR 1.4). Meanwhile, the potential greenhouse gas (CH4) from intensive shrimp ponds waste at SO.02.60 (water-preparation phase) was 1.26 - 64,61 mg/kg waste/year (FCR 1.3) and 1.17 - 60.00 mg/kg waste/year (FCR 1.4). High methane production of shrimp ponds waste on SO. 02.60 (AW and AK) is affected by the pH values i.e. 6,61 - 7.06. The range of pH values greatly affects the methane-producing bacteria to produce methane gas. The potential of greenhouse gases (CO2) on the energy use at intensive shrimp ponds SO.02.55 (nearly-harvested phase) was 715,87 kg.CO2/day and on SO.02.60 ( water-preparation phase) was 89,48 kg.CO2 /day. The energy use in the form of the pinwheel use gave an effect of the potential greenhouse gases ( CO2 ). From 39 respondents, as many as 58,97 % have heard a term of global warming. Meanwhile, 41,03 % never heard a term global warming. The level of education did not give a tangible affect against perception of the public about shrmp ponds waste management and global warming.

(6)

   

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

   

ANALISIS POTENSI GAS RUMAH KACA (CH4 DAN CO2) PADA USAHA TAMBAK UDANG INTENSIF DAN PERSEPSI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAANNYA

DI KABUPATEN TULANG BAWANG, PROVINSI LAMPUNG

AGUNG PANDU DEWATA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

   

(9)
(10)

   

Judul Penelitian : Analisis Potensi Gas Rumah Kaca (CH4 dan CO2) pada Usaha Tambak Udang Intensif dan Persepsi Masyarakat dalam pengelolaannya di Kabupaten Tulang Bawang, Propinsi Lampung Nama : Agung Pandu Dewata

NIM : P052090081

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Hariyadi, MS Ketua

Dr. Bambang Widigdo Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS

Tanggal Ujian:

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.ScAgr

(11)

   

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2011 ini ialah potensi gas rumah kaca, dengan judul Analisis Potensi Gas Rumah Kaca (CH4 dan CO2) pada Usaha Tambak Udang Intensif dan Persepsi Masyarakat dalam pengelolaannya di Kabupaten Tulang Bawang, Propinsi Lampung.

Penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Hariyadi MS dan Bapak Dr Bambang Widigdo selaku pembimbing, serta Bapak Dr Sukarman yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penulis sampaikan penghargaan kepada Bapak Dr. Ir. Dedi Nursyamsi, M.Agr dari Laboratorium Balai Penelitian Lingkungan Pertanian beserta staf Laboratorium Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, serta Bapak Chandra beserta staf Manajemen Lingkungan PT. Central Pertiwi Bahari, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu, Adik, Istri, serta seluruh keluarga dan teman-teman PSL 2009 dan teman-teman PT. Indoconsult Cipta Prestatama, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

Agung Pandu Dewata  

(12)

 

Manfaat Penelitian ... 5

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Siklus Karbon pada Perairan ... 5

Emisi Gas Rumah Kaca pada Kolam Budidaya ... 7

Proses Anaerobik pada Limbah Organik ... 7

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Anaerobik ... 9

Proses Terjadinya Emisi Gas Metana dari Tanah Menuju Atmosfer ... 10

Produktifitas Primer ... 12

Pengertian Persepsi ... 12

3 BAHAN DAN METODE ... 13

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 13

Jenis dan Sumber Data ... 13

Alat dan Bahan ... 14

Alat ... 14

Bahan ... 14

Rancangan Penelitian ... 14

Penentuan dan Pembuatan Plot Penelitian ... 14

Pengambilan Sampel Lumpur Tambak ... 14

Penghitungan Potensi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Energi ... 17

Produktifitas Primer di Tambak Udang ... 18

Persepsi Masyarakat terhadap Limbah Tambak Udang Intensif ... 18

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

(13)

   

Limbah Tambak Udang ... 22

Potensi Produksi Gas Karbondioksida ... 24

Produktifitas Perairan ... 24

Persepsi Masyarakat terhadap Limbah Tambak Udang ... 25

Persepsi Masyarakat terhadap Pengelolaan Limbah Tambak Udang ... 26

Persepsi Masyarakat terhadap Pemanasan Global ... 27

5 SIMPULAN DAN SARAN ... 29

Simpulan ... 29

Saran ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 29

LAMPIRAN ... 33

RIWAYAT HIDUP ... 43

 

(14)

   

DAFTAR TABEL

1 Senyawa organik dan enzim pengurainya ... 8

2 Pengaruh temperatur terhadap daya tahan hidup bakteri ... 9

3 Hasil pengukuran potensi produksi metana pada 2 limbah suboutlet tambak udang ... 19

4 Kadar air pada setiap limbah suboutlet tambak udang ... 20

5 Potensi produksi metana (CH4) berdasarkan nilai FCR (1,3 – 1,4) ... 22

6 Penggunaan energi pada tambak siklus budidaya persiapan air dan setelah panen ... 24

7 Produktifitas primer pada tambak fase persiapan air dan hampir panen 25

DAFTAR GAMBAR

1 Grafik volume ekspor udang Indonesia dari tahun 2007 – 2011 ... 1

2 Grafik nilai ekspor udang Indonesia dari tahun 2007 – 2011 ... 2

3 Kerangka pemikiran ... 4

4 Siklus karbon pada perairan ... 6

5 Skema produksi dan emisi metana ... 10

6 Skema pelepasan CH4 dalam bentuk gelembung-gelembung udara .... 11

7 Pendugaan sederhana transport CH4 dengan mekanisme difusi ... 11

8 Persepsi sebagai proses kognitif ... 13

9 Plot pengambilan sampel pada tambak udang intensif ... 15

10 Pengukuran dengan pH meter ... 17

11 Potensi produksi metana dari dua titik sampel di setiap pengamatan pada SO 02.55 ... 21

12 Potensi Produksi Metana dari dua titik sampel (AW dan AK) pada SO 02.60 ... 21

13 Nilai pH di setiap pengamatan pada SO 02.55 ... 23

14 Nilai pH di setiap pengamatan pada SO 02.60 ... 23

15 Persepsi masyarakat berdasarkan tingkat pendidikan yang mengetahui adanya limbah tambak udang ... 26

16 Persepsi masyarakat berdasarkan tingkat pendidikan yang mengetahui adanya limbah tambak udang ... 26

17 Persepsi masyarakat yang mengetahui adanya pengarahan dari pengelola tambak untuk pengelolaan limbah tambak udang ... 27

18 Pemanfaatan limbah tambak udang oleh para petambak ... 27

19 Persepsi masyarakat berdasarkan tingkat pendidikan yang PERNAH mendengar mengenai istilah pemanasan global ... 28

(15)

   

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil pengujian gas CH4 dan nilai pH di setiap pengamatan ... 33 2 Hasil pengukuran DO dan produktivitas primer di setiap tambak

(16)

1

2007 2008 2009 2010 2011

To

Industri perikanan internasional telah mengalami peningkatan signifikan beberapa tahun terakhir. Kementerian Kelautan dan Perikanan (2012) menyebutkan bahwa pada selama periode 2003 sampai 2010 telah terjadi peningkatan nilai ekspor komoditas perikanan hingga mencapai nilai lebih dari US$ 103 milyar.. Cina merupakan negara pengekspor perikanan yang menduduki peringkat pertama dengan nilai US$ 13,5 milyar. Posisi berikutnya adalah Norwegia, Thailand, Amerika Serikat, Vietnam, dan Kanada. Indonesia menempati urutan 12 dengan nilai ekspor perikanan sekitar US$ 2,6 milyar.

Negara tujuan ekspor produk perikanan Indonesia pada periode 2007 - 2011 antara lain jepang, Amerika Serikat, Eropa dan Negara lainnya. Nilai kenaikan rata-rata ekspor perikanan Indonesia di Jepang pada periode pertahun sebesar 5,66 %. Selanjutnya, nilai kenaikan rata-rata ekspor perikanan di Amerika pada periode 2007 – 2011 sebesar 7,09 %. Pasar potensial bagi produk perikanan Indonesia selanjutnya adalah Eropa dengan persentase kenaikan rata-rata ekspor perikanan pada periode 2001 – 2011 sebesar 11,27 % (Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam angka, 2011).

Salah satu produk unggulan dari produk perikanan Indonesia adalah udang. Komoditas makanan laut ini merupakan salah satu komoditas makanan yang paling berharga di dunia. Volume produksi udang dari Indonesia pada tahun 2007 mencapai 157.545 ton dengan nilai ekspor US$ 1.029.935.000 dolar. (Kementerian Kelautan dan Perikanan Dalam Angka, 2011). Volume ekspor tersebut meningkat pada tahun 2008. Nilai volume ekspor udang pada tahun 2008 sebesar 170.583 ton dengan nilai US$ 1.165.293.000. Pada Tahun 2009, volume dan nilai ekspor udang Indonesia menurun, Namun, pada tahun 2010, nilai ekspor udang Indonesia mengalami peningkatan walaupun volume ekspor udang menurun. Pada Tahun 2011, volume dan nilai ekspor udang Indonesia meningkat . masing-masing sebesar 152.053 ton dan US$ 1.211.547.000. Fluktuasi volume ekspor udang Indonesia periode 2007 - 2011 ditunjukkan pada Gambar 1., dan fluktuasi nilai ekspor udang Indonesia pada periode 2007 – 2011 ditunjukkan pada Gambar 2.

Sumber : (Kementerian Kelautan dan Perikanan Dalam Angka, 2011)

(17)

2

Sumber : (Kementerian Kelautan dan Perikanan Dalam Angka, 2011)

Gambar 2 Grafik nilai ekspor udang Indonesia periode 2007 – 2011

Daerah di Indonesia yang menjadi tulang punggung produksi udang adalah Provinsi Lampung. Pada tahun 2009, total produksi udang nasional tahun 2009 yang mencapai 348.100 ton, sebanyak 40% dihasilkan dari wilayah Lampung (Direktori Bisnis Lampung, 2010). Kualitas air di pesisir timur Provinsi Lampung sangat cocok untuk budidaya udang. Air yang bebas dari bahan polusi dan banyak mengandung plankton, yaitu tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan renik, dibutuhkan oleh udang-udang yang berada di dalam tambak. Usaha pertambakan udang dilaksanakan di setiap kabupaten pesisir di Provinsi Lampung, kecuali di Lampung Barat yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia karena pantainya memiliki ombak yang sangat besar (Wiryawan et al. 1999).

Namun, seperti halnya dengan kegiatan pertanian lainnya, kegiatan budidaya perairan termasuk budidaya udang menyisakan berbagai permasalahan. Pakan udang yang tinggi dalam nitrogen (N) dan retensi oleh udang sering kurang dari 25% dari masukan N (Briggs dan Funge 1994; Boyd dan Tucker 1998; Burford et al. 2003). Nitrogen yang tersisa di kolam umumnya tercuci ke perairan di sekitarnya, baik secara berkala untuk mengurangi stres udang, atau pada saat panen. Kelebihan N dapat menyebabkan eutrofikasi pada perairan. Eutrofikasi pada perairan tambak mengakibatkan perubahan kimia dalam air, blooming alga, kekeruhan meningkat, oksigen terlarut yang rendah, serta perubahan rantai makanan (Ryther dan Dunstan 1971; Paerl 1988; Kennish 1992; Nixon 1995; Smith et al. 1999). Selain itu, dekomposisi bahan-bahan organik dari mikroba di dasar perairan mengakibatkan keluarnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, CH4,

dan N2O. Gas rumah kaca adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan

untuk dapat menyerap radiasai matahari yang dipantulkan oleh bumi, sehingga menyebabkan suhu di permukaan bumi menjadi hangat (Kristanto, 2013).

Menurut konferensi PBB mengenai perubahan iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change-UNFCCC), ada 6 jenis gas yang digolongkan menjadi GRK yaitu : karbondioksida (CO2), dinitrooksida (N2O),

metana (CH4), sulfurheksaflorida (SF6), perflorokarbon (PFCs), dan

hidroflorocarbon (HFCs) (Trismidianto et al., 2008). Gas rumah kaca yang terakumulasi di atmosfer menyebabkan terjadinya efek rumah kaca. Gas rumah kaca memiliki kemampuan untuk menangkap radiasi gelombang pendek dari matahari dan meneruskannya ke bumi. Namun, gas rumah kaca juga dapat memantulkan radiasi gelombang panjang dari bumi, sehingga bumi seakan-akan mendapatkan pemanasan dua kali. Hal ini yang menyebabkan peningkatan suhu rata-rata di permukaan bumi atau dikenal dengan istilah pemanasan global

1.000

2007 2008 2009 2010 2011

(18)

3

(Kristanto, 2013). Waktu tinggal gas rumah kaca di atmosfer relatif lama sehingga dapat menjaga suhu dipermukaan bumi tetap hangat. Akan tetapi, jika konsentrasi GRK mengalami peningkatan terus menerus dikhawatirkan iklim bumi dan keseimbangan ekosistem akan terganggu (Trismidianto et al., 2008).

Permasalahan lain yang dihadapi pada sektor budidaya adalah penggunaan energi secara tidak langsung dalam jumlah besar yang dapat menjadi ancaman potensial terhadap potensi gas rumah kaca, Konsumsi energi tidak langsung ini berkaitan dengan energi yang digunakan dalam produksi budidaya antara lain pengembangan tempat dan konstruksi, produksi, akuisisi dan pasokan input, limbah dan pembuangan, perawatan produk, pemasaran dan distribusi Bunting dan Pretty (2007). Menurut Bunting dan Pretty (2007), penggunaan energi 1 GJ setara dengan 277.8 kWh. Dimana, 1 kWh dari bahan bakar yang dipergunakan setara dengan 0.25 kg. CO2 atau 0.068 kg .C.

Saat ini, sedikitnya tiga negara utama tujuan ekspor udang yakni Amerika, Eropa, dan Jepang kian menekankan sertifikasi sebagai standar internasional yang harus dipenuhi untuk masuk ke negara-negara itu. Negara-negara tersebut membutuhkan jaminan bahwa udang yang masuk ke negaranya adalah produk yang telah sesuai standar yang ditetapkan. Negara-negara pengimpor ingin meyakinkan konsumen dan klien bahwa udang dihasilkan secara sehat dan tidak merusak lingkungan. Oleh sebab itu, diperlukan penghitungan tentang potensi gas rumah kaca yang dihasilkan dari limbah tambak udang intensif dan penggunaan energi dalam proses produksi udang.

Kerangka Pemikiran

PT. CPB telah membangun sebanyak 3.419 petak tambak yang teridiri dari 3.119 tambak milik petambak (plasma) dan 300 tambak milik perusahaan (inti) yang seluruhnya telah beroperasi. Setiap petak tambak berukuran 70 m x 70 m atau seluas 4.900 m2 dengan kedalaman 1,5 m. Dengan demikian, luas seluruh tambak adalah 1.655,31 ha. Dalam proses pembuatan tambak, tanah galian tambak digunakan menjadi pematang (galengan) tambak sehingga tidak ada tanah yang terbuang atau terbawa aliran air masuk ke perairan umum. Setelah tambak selesai dibangun, tambak dan pematang dilapisi dengan plastik. Dengan kondisi ini air tambak dan udang berada di atas lapisan plastik. Plastik ini diperkirakan dapat digunakan selama 10 – 12 tahun. Lapisan plastik tersebut berfungsi untuk mencegah kehilangan air akibat meresapnya air ke dalam tanah, juga sekaligus mencegah terjadinya erosi tanah selama tambak beroperasi.

Pada masa budidaya dilakukan pergantian air, yaitu pada hari ke-30. Air pengganti berasal dari kolam perlakuan yang telah terbebas dari crustaceae carrier dan ikan-ikan liar. Di kolam perlakuan selanjutnya dilakukan beberapa proses rekondisi, seperti pengendapan, perlakuan biologis, dan pemberian oksigen, sehingga kualitas air tetap baik dan dapat digunakan kembali untuk media pemeliharaan udang. Sementara itu, limbah yang berasal dari tambak akan dibuang melalui saluran pengeluaran,

(19)

4

tambahan unsur hara dari proses pemupukan dan pemberian pakan. Pupuk yang diaplikasikan untuk meningkatkan produksi fitoplankton dalam tambak biasanya mengandung unsur nitrogen dan fosfor. Kemudian pakan juga dapat menjadi penyumbang unsur hara ke dalam tambak apabila pemberiannya terlalu tinggi (terutama pada tambak udang intensif), sehingga ada sebagian pakan yang tidak termakan ikut terurai menjadi unsur hara bersama sisa metabolisme udang. Akumulasi sedimen di dasar perairan menyebabkan kondisi anaerobk pada peralihan lapisan permukaan sedimen dengan air. Hal tersebut berpotensi terhadap pelepasan Potensi gas rumah kaca seperti CO2, N2O, dan CH4 (Bunting

dan Pretty 2007).

Potensi gas rumah kaca tidak hanya dari akumulasi sedimen di dasar perairan, melainkan juga datang dari penggunaan energi di tambak udang intensif. Penggunaan energi fosil dalam proses budidaya udang menghasilkan Potensi gas rumah kaca yang mengancam pemanasan global. Oleh sebab itu diperlukan suatu analisis pendugaan Potensi gas rumah kaca dari penggunaan energi dan limbah tambak udang intensif. Hasil analisis dari pendugaan Potensi gas rumah kaca ini dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk pengelolaan tambak udang intensif yang berkelanjutan.

Gambar 3 Kerangka Pemikiran

Perumusan Masalah

Kegiatan budidaya perairan termasuk budidaya udang menghasilkan limbah dengan volume yang cukup besar. Keberadaan limbah tambak udang yang mengandung bahan-bahan organik di dalam perairan dapat nenyebabkan kondisi anaerob pada limbah tersebut. Kondisi anaerob pada limbah tersebut berpotensi

Tambak Udang Intensif

Limbah Tambak Udang

Pendugaan Potensi Gas Rumah Kaca Penggunaan Energi

(solar)

Potensi Gas Rumah Kaca

(20)

5

menimbulkan gas-gas rumah kaca seperti CH4 dan N2O dimana N2O merupakan

produk intermediate dari proses denitrifikasi. Metana (CH4) berpotensi memiliki potensi 20-30 kali lebih kuat dari CO2.

Permasalahan lain yang dihadapi pada sektor budidaya adalah penggunaan energi secara tidak langsung dalam jumlah besar yang dapat menjadi ancaman potensial terhadap potensi gas rumah kaca, Konsumsi energi tidak langsung ini berkaitan dengan energi yang digunakan dalam produksi budidaya antara lain pengembangan tempat dan konstruksi, produksi, akuisisi dan pasokan input, limbah dan pembuangan, perawatan produk, pemasaran dan distribusi Bunting dan Pretty (2007). Menurut Bunting dan Pretty (2007), penggunaan energi 1 GJ setara dengan 277.8 kWh. Dimana, 1 kWh dari bahan bakar yang dipergunakan setara dengan 0.25 kg. CO2 atau 0.068 kg .C.

Untuk mengetahui potensi gas rumah kaca dari usaha tambak udang intensif ini, maka perdlu diidentifikasi permasalahan di dalam penelitian ini, yaitu:

1. Berapa besarnya potensi gas rumah kaca (CH4 dan CO2) pada limbah

tambak udang intensif?

2. Bagaimana perbedaan potensi gas rumah kaca pada limbah tambak udang intensif dengan Potensi gas rumah kaca dari penggunaan energi? 3. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap pemanasan global?

Tujuan

1. Menganalisis besarnya potensi gas rumah kaca (CH4) dari limbah

tambak udang intensif.

2. Menganalisis besarnya potensi gas rumah kaca (CO2) pada

penggunaan energi pada tambak udang intensif.

3. Menganalisis persepsi masyarakat terhadap pemanasan global.

Manfaat Penelitian

Memberikan informasi secara kuantitatif mengenai potensi gas rumah kaca pada tambak udang intensif sehingga menjadi bahan pertimbangan untuk pengelolaan tambak udang yang berkelanjutan.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Siklus Karbon pada Perairan

Sumber karbonyang berada di perairan berasal dari udara dan dari perairan itu sendiri. Pada lapisan atmosfer, karbon ditemukan pada CO2 yang berasal dari

respirasi manusia dan hewan, erupsi vulkanik, asap kendaraan bermotor dan asap pabrik. Karbon dioksida (CO2) tersebut akan masuk ke dalam perairan melalui

(21)

6

dari buffer alami yang mencegah air menjadi terlalu asam atau terlalu basa. Karbondioksida dalam bentuk ion bikarbonat ini akan terendapkan pada dasar perairan dalam bentuk batuan atau limbah. Proses ini akan butuh waktu lama sebelum karbon dioksida akan larut kembali ke kolom perairan melalui pelapukan batuan atau proses geologi yang membawa limbah ke permukaan air. Ketika matahari menghangatkan perairan, makan ion karbonat dan bikarbonat akan kembali ke atmosfer sebagai karbon dioksida. Sementara itu, karbondioksida dalamn bentuk ion-ion karbonat dan bikarbonat tersebut juga digunakan oleh organisme fitoplankton untuk menghasilkan karbohidrat dan oksigen dengan bantuan sinar matahari. Proses pembentukan karbohidrat dan oksigen oleh tumbuhan (fitoplankton) dengan bantuan sinar matahari dinamakan proses fotosintesis. Secara keseluruhan reaksi fotosintesis adalah :

6 CO2 + 6 H2O + energi matahari  C6H12O6 + 6 O2

Oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis akan digunakan oleh binatang-binatang air dan mikroorganisme. Respirasi yang dihasilkan dari binatang-binatang air dan mikroorganisme tersebut berupa karbondioksida. Karbondioksida dilepaskan ke atmosfer selama respirasi konsumen. Diagram alir siklus karbon ditunjukkan pada Gambar 4.

(http://www.lenntech.com/carbon-cycle.htm, 2012)

(22)

7

Emisi Gas Rumah Kaca pada Kolam Budidaya

Pengelolaan limbah yang kurang baik pada sistem budidaya berbasis kolam dapat menimbulkan dampak yang signifikan terhadap akumulasi karbon dan pelepasan gas rumah kaca. Limbah cenderung menumpuk di bagian-bagian yang lebih dalam pada kolam, mengurangi volume air yang tersedia untuk budidaya dan mempengaruhi kualitas air. Akumulasi karbon organik pada limbah di kolam menimbulkan kondisi anaerobik pada peralihan antara limbah dan air. Hal ini mengakibatkan pada evolusi metabolit mikroba yang beracun. Paparan limbah pada kolam dapat menyebabkan hilangnya karbon tanah melalui proses mikroba seperti karbon dioksida, akan tetapi, kesalahan pengelolaan limbah dapat mengakibatkan emisi gas rumah kaca yang lebih merusak, khususnya metana (Xinglong dan Boyd 2006).

Proses Anaerobik pada Limbah Organik

Penguraian senyawa organik seperti karbohidrat, lemak dan protein yang terdapat dalam limbah cair dengan proses anaerobik akan menghasilkan biogas yang mengandung metana (50-70%), CO2 (25-45%) dan sejumlah kecil nitrogen, hidrogen dan hidrogen sulfida.

Reaksi sederhana penguraian senyawa organik secara aerob :

anaerob

Bahan organik CH4 + CO2 + H2 + N2 + H2O

Mikroorganisme

Penguraian bahan organik dengan proses anaerobik mempunyai reaksi yang begitu kompleks dan mungkin terdiri dari ratusan reaksi yang masing-masing mempunyai mikroorganisme dan enzim aktif yang berbeda.

Penguraian dengan proses anaerobik secara umum dapat disederhanakan menjadi 2 tahap:

 Tahap pembentukan asam

 Tahap pembentukan metana

(23)

8

Tabel 1 Senyawa organik dan enzim pengurainya

Enzim Substrat Produk

Esterase :

Gliserol + Asam lemak

Choline + H3PO4 + fat

Methanol + asam poligalakturonat

Frukosa + Glukosa Glukosa

Glukosa

Galaktos + Galaktosa

Maltosa/glukosa +

maltooligo-Asam aspartat + NH3

Sumber : Bailey dan Olis (1987)

Pembentukan asam dari senyawa-senyawa organik sederhana (monomer) dilakukan oleh bakteri-bakteri penghasil asam yang terdiri dari sub divisi acids/farming bacteria dan acetogenic bacteria. Asam propionat dan butirat diuraikan oleh acetogenic bacteria menjadi asam asetat.

Pembentukan metana dilakukan oleh bakteri penghasil metana yang terdiri dari sub divisi acetocalstic methane bacteria yang menguraikan asam asetat menaji metana dan karbon dioksida. Karbon dioksida dan hidrogen yang terbentuk dari reaksi penguraian di atas, disintesa oleh bakteri pembentuk metana menjadi metana dan air.

Proses pembentukan asam dan gas metana dari suatu senyawa organik sederhana melibatkan banyak reaksi percabangan. Mosey (1983) yang menggunakan glukosa sebagai sampel untuk menjelaskan bagaimana peranan keempat kelompok bekteri tersebut menguraikan senyawa ini menjadi gas metana dan karbon tlioksida sebagai berikut :

(24)

9

2. Acetogenic bacteria menguraikan asam propionat dan asam butirat menjadi :

d. CH3CH2COOH CH3COOH + CO2 + 3H2

(asam asetat) e. CH3CH2CH2COOH 2CH3COOH + 2H2

(asam asetat)

3. Acetoclastic methane menguraikan asam asetat menjadi : f. CH3COOH CH4 + CO2

(metana)

4. Methane bacteria mensintesa hidrogen dan karbondioksida menjadi : g. 2H2 + CO2 CH4 + 2H2O

(metana)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Anaerobik

Lingkungan besar pengaruhnya pada laju pertumbuhan mikroorganisme baik pada proses aerobik maupun anaerobik. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses anaerobik antara lain: temperatur, pH, konsentrasi substrat dan zat beracun.

Temperatur

Gas dapat dihasilkan jika suhu antara 4 - 60°C dan suhu dijaga konstan. Bakteri akan menghasilkan enzim yang lebih banyak pada temperatur optimum. Semakin tinggi temperatur reaksi juga akan semakin cepat tetapi bakteri akan semakin berkurang.

Beberapa jenis bakteri dapat bertahan pada rentang temperatur tertentu dapat dillihat pada tabel berikut :

Tabel 2 Pengaruh temperatur terhadap daya tahan hidup bakteri

Jenis Bakteri Rentang Temperatur (oC) Temperatur Optimum (oC)

a. Cryophilic Sumber : Bailey dan Olis (1987)

(25)

10

suhu 49°C, perubahan suhu yang dizinkan ± 0,8°C dan pada temperatur 52°C perubahan temperatur yang dizinkan ± O,3°C.

pH

Bakteri penghasil metana sangat sensitif terhadap perubahan pH. Rentang pH optimum untuk jenis bakteri penghasil metana antara 6,4 - 7,4. Bakteri yang tidak menghasilkan metana tidak begitu sensitif terhadap perubahan pH, dan dapat bekerja pada pH antara 5 hingga 8,5. Karena proses anaerobik terdiri dari dua tahap yaitu tahap pembentukan asam dan tahap pembentukan metana, maka pengaturan pH awal proses sangat penting. Tahap pembentukan asam akan menurunkan pH awal. Jika penurunan ini cukup besar akan dapat menghambat aktivitas mikroorganisme penghasil metana. Untuk meningkatkat pH dapat dilakukan dengan penambahan kapur (Renita, 2004).

Proses Terjadinya Emisi Gas Metana dari Tanah Menuju Atmosfer

Gas CH4 dibentuk selama proses dekomposisi bahan organik secara

anaerob. Dengan demikian, tanah-tanah yang tergenang atau tanah yang terhalang sistem drainasenya merupakan sumber potensial metana (Bouwman, 1989). Emisi CH4 dari tanah menuju atmosfer terjadi berdasarkan tiga proses yaitu :

(a) Pelepasan CH4 dalam bentuk gelembung-gelembung udara (ebulisi).

Mekanisme ini dapat menyebabkan emisi gas metana sekitar 49 – 70 % dari total fluks. (Bartlett et al., 1988).

(b) Proses Difusi yang ditentukan oleh perbedaan konsentrasi metana dalam air, laju suplai metana pada menuju permukaan air.

(c) Pelepasan metana melalui aerenchyma pada tanaman yang dapat mencapai sekitar 90 % (Holzapfel-Pschorn et al., 1986).

Sumber : Neue dan Roger (1993)

(26)

11

Terbentuknya CH4 jika kondisi tanah dalam keadaan anaerob sehingga

tanah mengalami proses reduksi yakni proses perombakan bahan organic yang berasal dari eksudat dan degradasi akar menjadi asetat dan reaksi CO2 dengan H2

akan menghasilkan CH4 yang akan dilepaskan melalui proses difusi, ebulisi dan

aerenchyma.

Pada proses ebulisi, Nouchi et al. (1984) menyatakan bahwa gas metana dilepaskan melalui gelembung-gelembung udara dari saluran epidermis bawah dan epidermis atas dekat culm pada pelepah daun bagian bawah. Ukuran gelembung-gelembung yang relative kecil dilepaskan melalui epidermis bawah dan sebaliknya gelembung-gelembung dengan ukuran relatif besar akan dilepaskan melalui batas node yang berdekatan dengan epidermis atas.

Sumber : Nouchi et al. (1994)

Gambar 6 Skema pelepasan CH4 dalam bentuk gelembung-gelembung udara

Pada proses pelepasan CH4 dengan cara difusi terdiri dari dua fase, yaitu :

1) larutan CH4 dalam air tanah di sekitar perakaran akan berdifusi masuk ke

permukaan air di dalam akar dan melewati sel pembatas pada akar korteks yang dikontrol oleh perbedaan konsentrasi antara air tanah di sekitar akar dengan ruang intersellular lysigenous di dalam akar.

Metana di dalam akar korteks akan dialirkan keluar melalui ruang intersellular lysigenous dan aerenchyma. Banyaknya CH4 yang dialirkan pada

korteks akar seiring dengan serapan air ke atas melalui xylem pada akar. Pada akhirnya, CH4 yang dilepaskan melalui ruang microphore dari pelepah daun

dengan posisi pada daun paling bawah.

Sumber : Nouchi et al. (1994)

(27)

12

Menurut Seiler et al. (1984), sekitar 90 % dari total metana dilepaskan melalui aerenchyma, sebaliknya hanya sedikit melalui proses difusi dan ebulisi. Aerenchyma ialah ruang udara yang terdapat pada pelepah daun, helai daun, batang dan akar tanaman padi yang saling berhubungan satu sama lain sehingga seolah-olah merupakan pipa kapiler yang berhubungan satu sama lain. Proses pelepasan CH4 meningkat selama pertumbuhan vegetatif kemudian menurun saat

memasuki fase generative dan meningkat lagi pada pematangan.

Produktifitas Primer

Nybakken (1982) mengatakan, produktivitas primer ialah laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya energi dari senyawa-senyawa anorganik. Produktivitas primer merupakan persediaan makanan untuk organisme heterotrof yaitu bakteri, jamur dan hewan. Produktivitas primer suatu komunitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : cahaya, air, temperatur, kecepatan berkembang biak. Produktivitas primer kotor adalah jumlah total fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan produktivitas primer bersih adalah besarnya sintesis senyawa karbon organik selama proses fotosintesis dikurangi besarnya aktivitas total respirasi pada terang dan gelap dalam jangka waktu tertentu (Folkowski dan Raven 1997). Besarnya produktivitas primer suatu perairan mengindikasikan besarnya ketersediaan nutrien terlarut (Krismono dan Kartamihardja 1995).

Cahaya merupakan komponen utama dalam proses fotosintesis dan secara langsung bertanggung jawab terhadap nilai produktivitas primer perairan (Folkowski dan Raven 1997). Penetrasi cahaya menembus kolom air akan mengalami pelemahan oleh proses refleksi dan difraksi karena adanya partikel-partikel terlarut, sehingga kurva intensitas cahaya menunjukkan grafik penurunan secara eksponensial dalam arah vertikal ke bawah. Hal ini mengakibatkan fotosintesis tereksploitasi di permukaan perairan. Titik yang menunjukkan keseimbangan antara proses fotosintesis dan respirasi sering disebut titik kompensasi (Barnes dan Mann 1994; Folkowski dan Raven 1997; McNaughton dan Wolf 1990). Di daerah tropis yang beriklim lembab, produktivitas primer tinggi karena intensitas cahaya matahari tinggi dan merata sepanjang tahun (Susanto 2000). Tingginya intensitas cahaya menyebabkan meningkatnya kecepatan fotosintesis. Adanya pengaruh intensitas cahaya terhadap kecepatan fotosintesis menyebabkan produsen primer di lingkungan perairan dalam semakin rendah.

Pengertian Persepsi

(28)

13

subjektif. Persepsi ini pada gilirannya juga akan mempengaruhi penilaian mengenai status peringkat yang terkait pada suatu isu. Persepsi mempunyai peran penting dalam pengambilan keputusan.

Persepsi sebagai proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan proses yang berarti dan merupakan proses integral dalam diri individu (Boedojo 1986). Persepsi mencakup penafsiran objek, tanda, dan orang dari sudut pengalaman yang bersangkutan. Persepsi mencakup penerimaan stimulus, pengorganisasian stimulus dan penterjemahan atau penafsiran stimulus yang telah diorganisir yang akhirnya mempengaruhi perilaku dan pembentukan sikap. Sebagai proses kognitif, proses persepsi dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 8 Persepsi sebagai proses kognitif

3

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada tambak udang intensif PT. Central Pertiwi Bahari, Kecamatan Dente Teladas, Kabupaten Tulang Bawang, Propinsi Lampung pada bulan Januari 2011 – April 2011. Pada tambak udang intensif ini terdapat dua kampung yang berada di bawah wilayah kerja PT CPB, yaitu Kampung Bratasena Adiwarna dan Kampung Bratasena Mandiri. Di kedua kampung tersebut penduduknya merupakan petambak plasma yang kesehariannya melakukan aktivitas budidaya udang sesuai dengan aturan yang diberlakukan oleh PT CPB (Central Pertiwi Bahari). Analisis potensi gas metana (CH4) dilakukan di

Laboratorium Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jaken, pati, Jawa Tengah.

Jenis dan Sumber Data

(29)

14

intensif, wawancara langsung kepada responden, data pengukuran produktivitas perairan serta data pengukuran potensi gas rumah kaca.dengan menggunakan gas kromatografi. Pengumpulan data sekunder meliputi studi literatur dan data-data dari instansi terkait.

Alat dan bahan Alat

Peralatan tersebut antara lain botol winkler, tabung vial, tali rafia serta gas kromatografi.

a. Botol BOD terang dan gelap b. Inkubator

c. Tali Rafia d. pH meter e. Water sampler f. Gas Kromatografi

Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah :

a. Sampel limbah tambak udang intensif pada saluran pembuangan

(suboutlet) tambak udang intensif.

b. Sampel air yang diambil dari perairan tambak.

Rancangan Penelitian

Penentuan dan Pembuatan Plot Penelitian

Plot yang digunakan pada penelitian ini adalah plot pada saluran pembuangan limbah tambak udang dan kolam tambak udang (Gambar 9). Penentuan plot penelitian dilakukan pada dua saluran pembuangan limbah tambak pada tahapan persiapan tambak (awal) dan pada tahapan DOC 120 (panen). Setiap saluran pembuangan limbah dilakukan pengambilan dua titik sampel yaitu pada titik awal dan titik akhir saluran pembuangan limbah. Pengukuran produktivitas perairan dilakukan pada kolam tambak dengan metode botol terang dan botol gelap.

Pengambilan Sampel Lumpur Tambak

(30)

15

Gambar 9 Plot Pengambilan Sampel pada Tambak Udang Intensif

Metode Inkubasi

Sampel lumpur dimasukkan ke dalam tabung inkubasi sampai pada volume 60 ml. Kemudian, tabung inkubasi ditutup dengan karet penutup yang dilengkapi dengan inlet dan outlet untuk gas N2, lubang untuk pengambilan contoh gas CH4

dan lubang untuk pengukuran pH. Tabung inkubasi lalu dimasukkan ke dalam inkubator dengan suhu 30,1 oC.

Pengambilan Sampel Gas CH4

Pengambilan sampel gas CH4 dilakukan dua kali, yaitu pada saat T0 (waktu

pada saat sampel lumpur sebelum diinkubasi) dan pada saat T24 (waktu pada saat

sampel lumpur setelah diinkubasi selama 24 jam). Langkah-langkah pengambilan sampel gas CH4 pada saat T0 yaitu:

a. Gas N2 dialirkan dengan kecepatan 250 ml per menit melalui selang inlet

dengan kondisi selang outlet tetap terbuka

b. Selama proses pengaliran gas N2, tabung inkubasi juga dilakukan

pengocokan dengan magnetic stirrer selama 2 menit

c. Setelah 2 menit, aliran gas N2 dihentikan, inlet dan outlet ditutup, lalu

contoh gas diambil dengan menggunakan jarum suntik.

Tabung inkubasi dimasukkan kembali ke dalam inkubator selama 24 jam. Pada saat T24, tabung inkubasi mengalami perlakuan yang sama seperti pada saat

T0. Proses pengambilan sampel gas CH4 dilakukan setiap 5 hari selama 30 hari.

(31)

16

Pengukuran dan Perhitungan Data Produksi CH4

Mekanisme pengukuran gas CH4 dilakukan dengan menggunakan

kromatografi gas Shimadzu model GC-8A yang dilengkapi dengan 2 FID. Sampel gas CH4 pada saat T0 dan T24 disuntikkan ke dalam septum. Kemudian, contoh

gas tersebut dialirkan dan masuk ke dalam sampling valve. Setelah itu, contoh gas difiltrasi dan dibawa oleh gas N2 dan H2, lalu masuk ke dalam kromatografi

gas dan dideteksi oleh FID. Data analisis yang dihasilkan dari kromatografi gas berupa peak dan diinterpretasikan dalam bentuk area. Bentuk area dikonversi menjadi konsentrasi CH4 dengan rumus sebagai berikut (Lantin et al. 1995):

C = 10,7 ppm x

Kemudian, untuk penghitungan produksi CH4 sesuai dengan rumus :

Epot = (C24 – C0) x

Vh : Volume headspace pada tabung inkubasi (ml) W tan : Berat tanah yang digunakan dalam inkubasi (gr)

BM : Berat molekul CH4

VM : Volume Molekul pada kondisi STP (22,4 l) T : Suhu di dalam inkubator (30,1oC)

Pengukuran pH Limbah

Pengukuran pH dilakukan pada saat T24 dengan menggunakan pH meter.

(32)

17

Gambar 10 Pengukuran dengan pH meter

Pengukuran Kadar Air

Masing-masing sampel limbah dari ke empat titik dianalisis kadar airnya dengan penghitungan sebagai berikut (Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005).

Kadar air = %

Penghitungan Potensi Gas Rumah Kaca dari Penggunaan Energi

Penghitungan emisi gas rumah kaca dari penggunaan energi solar menurut Jekayinfa dan Bamgboye (2007) adalah :

f . k

= Energi Bahan Bakar Solar (Joule)

f = Jumlah konsumsi bahan bakar pada operasi ke-i (liter) k = Nilai pemanasan dari bahan bakar solar (J/liter atau J/kg)

(33)

18

Produktivitas Primer di Tambak Udang

Pengukuran produktivitas primer dilakukan dengan metodebotol terang-botol gelap. Prinsip kerja metode ini adalah mengukur perubahan kandungan oksigen dalam botol terang dan botol gelap yang berisi contoh air setelah diinkubasikan pada perairan yang mendapat sinar matahari. Produktivitas primer bersih dengan nilai oksigen terlarut dikonversi ke dalam satuan mg C/m3/jam (Umaly dan Cuvin 1988) sebagai berikut :

GPP =

NPP : Produktivitas Primer bersih (mgC/m3/jam) GPP : Produkktivitas Primer Kotor (mgC/m3/jam) R : Respirasi (mgC/m3/jam)

O2BT : Oksigen pada Botol Terang (BT) setelah diinkubasi (mg/l)

O2BA : Oksigen pada botol inisial (Bi) (mg/l)

PQ : Photosinthetic quotient = 1,2 dengan asumsi bahwa hasil metabolisme sebagian besar didominasi oleh fitoplankton T : Waktu inkubasi (jam)

1000 : Konversi liter menjadi m3

0,375 : Koefesien konversi oksigen menjadi karbon (=12/32)

Catatan : PQ merupakan perbandingan O2yang dihasilkan dengan CO2 yang

digunakan melalui proses fotosintesis. Nilai PQ berkisar 1,1 – 1,3 (Ryther 1965 in Parsons et al. 1984; Lalli dan Parsons 1993)

Persepsi Masyarakat terhadap Limbah Tambak Udang Intensif

Pengumpulan data dilakukan dengan cara kuisioner dan wawancara. Data primer yang diperlukan adalah karakteristik responden meliputi umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, lama bekerja, serta persepsi terhadap emisi gas rumah kaca dari limbah tambak udang intensif. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait seperti PT CPB, pemerintah desa dan kecamatan. Persepsi masyarakat terhadap limbah tambak udang intensif dianalisis dengan menggunakan metode Chi Kuadrat.

(34)

19 O. . = jumlah total seluruh frekuensi

Pengujian Hipotesis

H0 = dua variabel kategori tidak berhubungan satu sama lain

H1 = dua variabel kategori saling berhubungan satu sama lain

jika 2 > 2tabel maka tolak H0, dimana 2tabel = 2(α ; dB)dengan taraf nyata α= 0,05

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Potensi Produksi Metana dari Limbah Tambak Udang

Pengambilan sampel limbah tambak udang untuk pengukuran potensi produksi metana dilakukan pada dua saluran (suboutlet) limbah tambak udang. Pada pengambilan sampel di kedua suboutlet ini dilakukan berdasarkan pada suboulet tambak yang mengalami persiapan air (02.60) dan suboutlet tambak pada fase hampir panen (02.55). Titik pengambilan sampel dilakukan di awal (AW) dan di akhir (AK) pada masing-masing suboutlet. Pengukuran potensi produksi metana pada kedua suboutlet dilakukan dengan proses inkubasi selama 30 hari. Pengamatan sampel dilakukan setiap lima hari selama masa inkubasi. Selama proses inkubasi, tabung inkubasi yang berisi limbah tambak udang mengalami penggenangan selama 30 hari. Tujuan dari proses penggenangan ini untuk mendapatkan potensi produksi CH4 yang optimal dari sampel limbah. Hasil

pengukuran potensi produksi metana pada dua suboutlet (SO) tambak udang ditunjukkan pada Tabel 3.

(35)

20

Sumber : Data primer, diolah

Potensi produksi CH4 selama tujuh kali pengamatan menunjukkan variasi

yang berbeda-beda di kedua suboutlet. Potensi produksi metana bervariasi antara 18,51 – 2.645,84 mg/kg/hari. Potensi produksi metana terendah terdapat pada limbah suboutlet 02.55.AW yaitu sebesar 18,51 mg/kg/hari. Potensi produksi metana tertinggi terdapat pada limbah suboutlet 02.60.AW yaitu sebesar 2.645,84 mg/kg/hari. Pada tabel tersebut, nilai potensi produksi metana pada limbah suboutlet 02.60 lebih besar dibandingkan potensi produksi metana pada limbah suboutlet 02.55. Limbah suboutlet 02.60 adalah limbah tambak persiapan air yang mengalami proses pergantian air. Proses pergantian air dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi limbah di tambak yang disebabkan oleh adanya pemupukan, sisa pakan, ekskresi organisme budidaya dalam bentuk feses dan urine, dan organisme mati di tambak tersebut. Selain itu, pergantian air ini juga berfungsi untuk menjaga kestabilan kualitas air di tambak agar tetap dalam kisaran yang optimal untuk pertumbuhan udang. Pergantian air dilakukan dengan cara mengeluarkan air melalui pipa suboutlet. Kemudian, air yang berasal dari pengolahan air baku (treatment pond) dialirkan melalui supply canal ke dalam tambak dengan membuka pipa yang telah dipasang saringan strimin dengan ukuran 300 mikron. Hal ini dilakukan untuk mencegah masuknya kotoran dan hama ke dalam tambak.

Limbah yang dikeluarkan dari pipa suboutlet akan mengendap dan terakumulasi di dasar suboutlet. Hal ini dapat menyebabkan kondisi anaerob di dasar tambak yang dapat menyebabkan meningkatnya jumlah gas-gas beracun di dasar tambak yang dapat menyebabkan meningkatnya jumlah gas-gas beracun seperti nitrit, H2S, amoniak dan gas metana (CH4). Sementara itu, limbah

suboutlet 02.55 merupakan suboutlet dari tambak pada fase hampir panen dimana pada fase tersebut siklus budidaya udang mencapai DOC 90-120 hari.

Potensi produksi metana dari dua titik sampel di setiap pengamatan pada SO 02.55 ditunjukkan pada Gambar 11. Potensi produksi metana tertinggi pada Suboutlet 02.55.AK sebesar 194,32 mg/kg/hari pada hari inkubasi ke-1. Nilai tersebut semakin menurun pada setiap hari inkubasi. Pada saat hari inkubasi ke 31, produksi metana pada suboutlet 02.55.AK menjadi 10,46 mg/kg/hari. Sementara itu, pada suboutlet 02.55.AW, potensi produksi metana sebesar 30,90 mg/kg/hari pada hari inkubasi ke-1.Nilai produksi metana tersebut semakin menurun hingga pada hari inkubasi ke 31 menjadi 9,18 mg/kg/hari. Perbedaan nilai produksi metana tersebut dipengaruhi oleh kadar air pada limbah. Hasil pengukuran kadar air pada suboutlet 02.55.AK sebesar 76,55 %. Sementara itu, hasil pengukuran kadar air pada suboutlet 02.55.AW sebesar 70,10 %. Kadar air pada limbah suboutlet 02.55 AW lebih besar dibandingkan pada limbah suboutlet 02.55 AK. Kadar air yang semakin tinggi mengakibatkan laju produksi metana akan semakin tinggi (Nesbit dan Breitenbeck, 1992).

Tabel 4 Kadar air pada setiap limbah suboutlet tambak udang

Limbah Suboutlet Kadar Air (%)

02.60.AW 70,88 02.60.AK 52,05 02.55.AW 70,10

(36)

21

Gambar 11 Potensi Produksi Metana dari dua titik sampel di setiap pengamatan pada SO 02.55

(37)

22

Produksi CH4 ini dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya suhu, kondisi

anaerob, kualitas substrat dan kandungan mikroba (Moore dan Dalva 1997). Suhu juga memegang peranan penting dalam aktivitas mikroorganisme, khususnya metanogen. Pada penelitian ini, suhu dalam inkubator yaitu 30,1oC, menurut Neue dan Roger (1994), sebagian besar metanogen dapat bekerja pada suhu optimum 30oC – 35oC.

Kemudian, potensi produksi CH4 dari limbah tambak udang dihitung

berdasarkan konversi pakan untuk udang putih dan presentase limbah yang dihasilkan dari pakan udang tersebut. Konversi pakan atau feed conversion ratio (FCR) udang putih 1,3- 1,4 (Boyd dan Clay,2002). Nilai FCR 1,3, - 1,4 memiliki arti yaitu dalam menghasilkan bobot 1 kg udang membutuhkan pakan sebanyak 1,3 kg – 1,4 kg. Menurut Primavera dan Apud (1994) menyatakan, dalam proses budidaya intensif, 35 % dari input pakan akan menjadi limbah berupa padatan tersuspensi dan limbah yang akan memasuki perairan pesisir disekitarnya. Siklus budidaya udang dari tambak persiapan air sampai tambak hampir panen yaitu 120 hari. Pada tambak tahap persiapan air umumnya selama 30 hari (DOC 0 – 30). Hal yang sama umumnya terjadi pada tambak hampir panen (DOC 90 – 120) yaitu selama 30 hari. Sehingga dalam satu tahun, tambak persiapan air mengalami tiga kali siklus (90 hari). Hal yang sama umunya terjadi pada saat tambak hampir panen yang mengalami tiga kali siklus (90 hari) dalam satu tahun. Hasil perhitungan potensi produksi metana (CH4) berdasarkan presentase limbah dari

feed conversion ratio (FCR) disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Potensi produksi metana (CH4) berdasarkan nilai FCR (1,3 – 1,4)

Suboutlet (SO) Potensi CH4

Nilai pH dan Keterkaitannya dengan Produksi Metana (CH4) dari Limbah

Tambak Udang

Pengukuran pH dilakukan pada setiap pengamatan. Hasil pengukuran dilakukan pada titik sampel yang sama. Pada SO 02.55 AW, pH terendah sebesar 6,19 dan pH tertinggi sebesar 6,60. Sedangkan, pada SO 02.55.AK, pH terendah sebesar 6,64 dan pH tertinggi sebesar 6,88. Nilai kisaran pH pada SO 02.55 yaitu 6,19 – 6,88. Grafik fluktuasi nilai pH pada SO 02.55 ditunjukkan pada Gambar 13.

(38)

23

Gambar 13 Nilai pH di setiap pengamatan pada SO 02.55

Sementara itu, pada SO 02.60.AW, pH terendah sebesar 6,932 dan pH tertinggi sebesar 7,06. Sedangkan, pada SO 02.60.AK, pH terendah sebesar 6,61 dan pH tertinggi sebesar 6,95. Nilai kisaran pH pada SO 02.60 yaitu 6,61 – 7,06. Grafik fluktuasi nilai pH pada SO 02.60 ditunjukkan pada Gambar 14.

Gambar 14 Nilai pH di setiap pengamatan pada SO 02.60

Nilai kisaran pH pada SO 02.55 lebih rendah dibandingkan dengan nilai kisaran pH pada SO 02.60. Nilai kisaran pH pada SO 02.60 adalah 6,61 – 7,06. Kisaran tersebut mempengaruhi nilai potensi produksi metana pada SO.02.60 (AW dan AK) yaitu 1,26 – 64,61 mg/kg limbah/tahun (FCR 1,3) dan 1,17 – 60,00 mg/kg limbah/tahun (FCR 1,4). Bakteri penghasil metana sangat sensitif terhadap perubahan pH. Rentang pH optimum untuk jenis bakteri penghasil metana antara 6,4 - 7,4. Bakteri yang tidak menghasilkan metana tidak begitu sensitif terhadap perubahan pH, dan dapat bekerja pada pH antara 5 hingga 8,5. Karena proses anaerobik terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pambentukan asam dan tahap pembentukan metana, maka pengaturan pH awal proses sangat penting. Tahap pembentukan asam akan menurunkan pH awal. Jika penurunan ini cukup besar akan dapat menghambat aktivitas mikroorganisme penghasil metana. Untuk meningkatkan pH dapat dilakukan dengan penambahan kapur.

(39)

24

Potensi Produksi Gas Karbondioksida

Penghitungan potensi gas karbondioksida diperoleh dari hasil konversi penggunaan energi pada proses produksi tambak udang intensif. Pada penelitian ini, proses produksi hanya dibatasi pada tambak siklus budidaya persiapan air dan hampir panen.Jumlah dan lamanya penggunaan kincir diperhitungkan sebagai faktor penggunaan energi pada kedua silklus budidaya tersebut. Penggunaan energi pada tambak yang mengalami siklus bubidaya persiapan air dan setelah panen ditunjukkan pada Tabel 6.

Tabel 6 Penggunaan Energi pada tambak siklus budidaya persiapan air dan setelah panen

Pada Tabel 6 di atas, potensi karbondioksida yang terkonversi ada tambak fase persiapan air sebesar 89,48 kg.CO2/hari. Sedangkan, pada tambak fase

hampir panen, potensi karbondioksida sebesar 715,87 kg.CO2/hari. Potensi

karbondioksida yang terkonversi pada tambak persiapan air lebih kecil daripada tambak hampir panen. Hal ini disebabkan populasi udang pada fase tambak hampir panen memiliki ukuran yang lebih besar. Ukuran udang yang lebih besar mengakibatkan metabolisme udang lebih tinggi dibandingkan dengan udang yang masih kecil pada fase persiapan air. Udang berukuran besar membutuhkan oksigen terlarut yang cukup besar untuk keberlanjutan hidup udang. Sehingga, kincir air yang digunakan untuk menyuplai oksigen ke dalam tambak fase hampir panen harus lebih banyak dibandingkan pada tambak fase persiapan air.

Produktifitas Perairan

Produktifitas perairan pada tambak diukur untuk mengetahui jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kuadrat kolom air per hari. Tabel 7. menunjukkan produktifitas primer pada tambak persiapan air dan hampir panen.

(40)

25

Produktivitas primer sering diestimasi sebagai jumlah karbon yang terdapat di dalam material hidup dan secara umum dinyatakan sebagai jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kuadrat kolom per hari ( g C/m2/hari) atau jumlah karbon yang dihasilkan dalam satu meter kubik per hari ( g C/m3/hari) (Levinton, 1992).

Tabel 7 Produktifitas Primer pada tambak fase persiapan air dan hampir panen

Fase Petak

Persepsi masyarakat terhadap limbah tambak udang

Pengetahuan masyarakat terhadap limbah tambak udang dilakukan dengan mengajukan pertanyaan tentang apakah mereka mengetahui tentang keberadaan limbah tambak udang di lingkungan mereka. Berdasarkan pertanyaan tersebut diperoleh bahwa 34 responden (87.18 %) menjawab tahu dan 5 responden (12,82 %) menjawab tidak tahu. Pengetahuan tentang keberadaan limbah tambak udang juga berdasarkan tingkat pendidikan mereka. Responden yang menjawab tahu dengan tingkat pendidikan tamat SD sebanyak 9 orang, tamat SLTP sebanyak 8 orang, dan tamat SLTA sebanyak 22 orang. Berdasarkan pertanyaan yang diajukan diperoleh bahwa responden dengan pendidikan tamat SD sebanyak delapan orang menjawab tahu, sedangkan satu orang menjawab tidak tahu. Sementara itu, responden dengan pendidikan tamat SLTP sebanyak 6 orang menjawab tahu, sedangkan, dua orang menjawab tidak tahu. Kemudian, responden dengan tingkat pendidikan tamat SLTA sebanyak 20 orang menjawab tahu, dan 2 orang menjawab tidak tahu. Pengujian antara jenjang pendidikan para responden dengan pengetahuan mereka terhadap limbah tambak udang diuji dengan metode Chi Kuadrat. Berdasarkan uji Chi Kuadrat diperoleh bahwa χ

2

hitung = 1,0298, sedangkan χ2tabel = 5,99 dengan taraf nyata α = 0,05. Jika nilai

χ2hitung < χ2tabel = 5,99 maka gagal menolak H0. Berdasarkan uji tersebut

dapat disimpulkan bahwa tidak ada interaksi antara jenjang pendidikan dengan persepsi masyarakat terhadap keberadaan limbah tambak udang. Persepsi masyarakat terhadap limbah tambak udang tidak tergantung kepada jenjang pendidikan dari responden. Selain itu, responden juga diberikan pertanyaan apakah mereka tahu dampak negatif dari limbah tambak udang tersebut. Berdasarkan pertanyaan yang diajukan, 28 responden (71,79 %) menjawab tahu, sedangkan 11 responden (28,21 %) menjawab tidak tahu. Dampak negatif yang dirasakan dari 28 responden tersebut dominan kepada bau yang menyengat dan gangguan pernapasan pada anak Balita.

(41)
(42)
(43)
(44)

29

5

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Potensi gas rumah kaca (CH4) dari limbah tambak udang intensif pada

SO.02.55 (fase hampir panen) adalah 0,45 – 1,08 mg/kg limbah/tahun (FCR 1,3) dan 0,42 – 1,00 mg/kg limbah/tahun (FCR 1,4). Sementara itu, potensi gas rumah kaca (CH4) dari limbah tambak udang intensif pada SO.02.60

(persiapan air) adalah 1,26 – 64,61 mg/kg limbah/tahun (FCR 1,3) dan 1,17 – 60,00 mg/kg limbah/tahun (FCR 1,4). Tingginya produksi metana limbah tambak udang pada SO.02.60 (AW dan AK) dipengaruhi oleh nilai pH yaitu pada kisaran 6,61 – 7,06. Nilai pH pada kisaran tersebut sangat mempengaruhi bakteri penghasil metana untuk menghasilkan gas metana. 2. Potensi gas rumah kaca (CO2) pada penggunaan energi di tambak udang

intensif SO.02.55 (fase hampir panen) adalah 715,87 kg.CO2/hari dan pada

SO.02.60 (fase persiapan air) adalah 89,48 kg.CO2/hari. Penggunaan energi

berupa penggunaan kincir mempengaruhi potensi gas rumah kaca (CO2).

3. Terdapat 58,97 % dari 39 responden, pernah mendengar istilah pemanasan global. Sedangkan, 41,03 % tidak pernah mendengar istilah pemanasan glonal. Tingkat pendidikan tidak berpengaruh nyata terhadap persepsi masyarakat mengenai pengelolaan limbah tambak udang dan pemanasan global.

Saran

1. Analisis bakteri metanogen pada sampel limbah perlu dilakukan untuk mengetahui peranan bakteri tersebut pada pembentukan gas metana

2. Analisis kandungan nutrien pada limbah tambak udang perlu dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kandungan nutrien pada limbah tersebut dengan potensi produksi gas rumah kaca.

3. Agar dilakukan sosialisasi mengenai pengelolaan limbah tambak udang terhadap petambak untuk pengelolaan tambak udang secara berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2005. Analisis kimia tanah, tanaman, air dan pupuk. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanah Departemen Pertanian.

Bailey JE, Ollis DF. 1987. Biochemical Engineering Fundamental. Ed ke-2. Sydney (AU): Mc Graw Hill Book Co, International Edition. Hlm 161 – 163, 943 – 957.

(45)

30

Bartlett K, Cril P, Sebacher D, Harriss R, Wilson J, Melack J. 1988. Methane flux from the central Amazonian floodplain. Journal of Geophysical Research. Bouwman AF. 1989. Soils and the Greenhouse Effect. New York (US): John

Wiley & Sons.

Boyd CE, Green BW. 2002. Coastal Water Quality Monitoring in Shrimp Farming Areas, An Example from Honduras. Bangkok (TH): The Consortium. 29 hlm.

Boyd CE, Tucker CS. 1998. Pond aquaculture water quality management. Boston (US); Kluwer Academic Publishers.

Boyd, C.E., Clay, J.W. 2002. Evaluation of Belize Aquaculture LTD, A Superintensive Shrimp Aquaculture System. Bangkok (TH): The Consortium. 17 hlm.

Briggs M., Smith SF, Subasinghe R, Phillips M. 2004. Introduction and Movement of Penaeus vannamei and Penaeus stylirostris in Asia and The Pacific. Bangkok (TH): RAP Publication.

Boedojo P. 1986. Arsitektur, manusia dan pengamatannya. (ID): Penerbit Djambatan.

Bunting SW, Pretty J.. 2007. Aquaculture development and global carbon budgets: emissions, sequestration and management options. Centre for Environment and Society Occasional Paper 2007-1. University of Essex, UK.

Burford MA, Costanzo SD, Dennison WC, Jackson CJ, Jones AB, McKinnon AD, Preston NP, Trott LA. 2003. A synthesis of dominant ecological processes in intensive shrimp ponds and adjacent coastal environments in NE Australia. Marine Pollution Bulletin. 46: pp 1456–1469.

Direktori Bisnis Lampung. 2010. http://direktori.lampung.cc/kabar-ekonomi-

lampung/lampung-jadi-lumbung-produk-budidaya-perikanan-di-indonesia.html. [4 Desember 2010 ]

FAO. 2009. Fisheries commodities production and trade 1976-2007. FISHSTAT Plus, Universal software for statistical time series. Geneva (CH): Food and Agriculture Organization of the United Nations.

Folkowski PG, Raven AJ. 1997. Aquatic Photosynthesis. New York (US): Blacwell Science.

Holzapfel-Pschorn A, Conrad R, Seiler W. 1986. Effects of vegetation on the emission of methane from submerged paddy soil. Plant and Soil 92. Hlm 223-233.

http://www.lenntech.com/carbon-cycle.htm. [12 Desember 2010]

Jekayinfa SO, Bamgboye AI. 2007. Development of equations for estimating energy requirements in palm-kernel oil processing operations. Journal Food Eng. 79. Hlm. 322-329.

Kementerian Kelautan dan perikanan. 2011. Kelautan dan perikanan dalam angka 2011.

Kementerian Kelautan dan perikanan. 2012. Kebijakan industrialisasi kelautan dan perikanan.

(46)

31

Krismono ASN, Kartamihardja S. 1995. Statustrofik perairan Waduk Kedungombo, Jawa Tengah, sebagai dasar pengelolaan perikanannya. Jurnal Perikanan Indonesia 1 (3): 26 – 35.

Kristanto P. 2013. Ekologi industri (edisi ke-2). Yogyakarta (ID): CV. ANDI OFFSET.

Lalli CM, Parsons TR. 1993. Biological Oceanography An Introduction. Oxford (GB). Pergamon Press Ltd.

Lantin RS, Aduna JB, Javellana AMJ. 1995. Methane measurements in rice fields. Instruction manual and methodologies, maintenance and troubleshooting guide. A joint undertaking by International Rice Research Institute (IRRI), (US): United State Environmental Protection Agency (US-EPA) and United Nation Development Program (UNDP).

Levinton, JS. 1982. Marine ecology. N.J. (US): Prentice-Hall.

McNaughton, S.J. dan L.L. Wolf. 1990. Ekologi Umum (Terjemahan).

Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

Mosey FE. 1983. Mathematical modeling of the anaerobic digestion process: regulatory mechanisms for the formation of short-chain volatile acid from glucose. Wat. Sci. Tech. Vol 15, hal 209 – 232.

Nesbit SP, Breitenbeck GA. 1992. A laboratory study of factors influencing methane uptake by soils. Agriculture, Ecosystems and Environment 41. Hlm 39-54.

Neue HU, Roger P. 1994. Potential of methane emission in major rice ecologies. Di dalam: Zepp RG, editor. Climate Biosphere Interaction. New York (US): Wiley and Sons. Hlm 55-63.

Nixon SW. 1995. Coastal marine eutrophication: a definition, social causes, and future concerns. Ophelia 41, 199–219N.

Nouchi I, Hasono T, Aoki K, Minami K. 1994. Seasonal variation in methane flux from rice paddies associated with methane flux rice paddies associated with methane concentration in soil water, rice biomass and temperature and its modelling. Plant Soil 161. Hlm 195 – 208.

Nybakken JW. 1982. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta (ID): PT Gramedia.

Paerl HW. 1988. Nuisance phytoplankton blooms in coastal, estuarine, and inland waters. Limnology and Oceanography 33. Hlm 823-47.

Parsons TR, Maita Y, Lalli CM. 1984. A manual of chemical and biological methods for seawater analysis. Oxford (GB). Pergamon Press.

Primavera JH, Apud FF. 1994. Pond culture of Sugpo (Penaeus monodon Fabricus). Philipp J. Fish 18 (5) : hlm 142 – 176.

Renita M. 2004. Proses anaerobik sebagai alternatif untuk mengolah limbah sawit [Skipsi]. Sumatera Utara (ID): Fakultas Teknik Program Studi Kimia Universitas Sumatera Utara.

Ryther JH, Dunstan WN. 1971. Nitrogen, phosphorus, and eutrophication in the coastal marine environment. Science 171. 1008-1013.

Seiler W, Holzapfel-Pschorn A, Conrad R, Scharffe D. 1984. Methane emission from rice paddies. J. Atmos. Chem. 1. Hlm 241-268.

(47)

32

Susanto P. 2000. Pengantar Ekologi Hewan. Jakarta (ID): Departemen Pendidikan Nasional.

Trismidianto, Eddy H., Toni S., Martono, Mugni H., Asri I., Romdhon H. 2008. Studi Konversi CO2 dan Gas Rumah Kaca (GRK) Lainnya di Wilayah Indonesia. Bandung (ID).

Umaly RC, Cuvin MALA. 1988. Limnology. Manila (PH). National Book Store Publisher. Manila.

Walpole R.E. 1995. Pengantar statistika. edisi ke-3. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama.

Wiryawan B, Marsden B, Susanto HA, Mahi AK, Ahmad M, Poespitasari H. (Editor). 1999. Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung. Bandar Lampung (ID): Kerjasama PEMDA Propinsi Lampung dengan Proyek Pesisir (Coastal Resources Center, University of Rhode Island dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor). 109 halaman.

(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)

43

RIWAYAT HIDUP

(59)

   

 

     

Lampiran 1 Hasil pengujian gas CH4 dan nilai pH di setiap pengamatan

Pengamatan 1

Kode contoh Kode distribusi Area, T0 Konsentrasi Gas CH4 (ppm), T0 berat tanah Epot epot rata2 sd rata2

2,55 AW

1 023.1.001 9814,80 6,46 6,54 5,23 30,90 24,90

2 023.1.002 12567,00 8,27 5,46 54,94

3 023.1.003 7737,90 5,09 5,55 32,53

2,55 AK

1 023.1.004 86674,20 11,02 5,48 216,04 194,32 25,53

2 023.1.005 101411,60 10,13 7,25 200,72

3 023.1.006 85959,50 11,98 6,90 166,21

2.60 AW

1 023.1.007 1881,40 1,24 6,65 3964,89 4590,43 1252,30

2 023.1.008 2105,90 1,39 7,20 3774,14

3 023.1.009 3438,60 2,26 6,83 6032,26

2.60 AK

1 023.1.010 1528,40 1,01 5,68 95,53 212,08 211,81

2 023.1.011 1800,90 1,18 6,71 456,57

3 023.1.012 1915,50 1,26 8,52 84,15

Kode contoh Kode distribusi Area, T24 Konsentrasi Gas CH4 (ppm), T24 berat tanah

2,55 AW 1 023.1.013 11836,20 7,79 6,54

2 023.1.014 30304,00 19,94 5,46

3 023.1.015 18412,90 12,11 5,55

2,55 AK 1 023.1.016 16756,00 57,02 5,48

2 023.1.017 15399,80 66,71 7,25

3 023.1.018 18208,50 56,55 6,90

2.60 AW 1 023.1.019 1560579,00 1026,63 6,65

2 023.1.020 1608859,00 1058,39 7,20

3 023.1.021 2436680,00 1602,97 6,83

2.60 AK 1 023.1.022 33605,90 22,11 5,68

2 023.1.023 182950,10 120,35 6,71

Gambar

Grafik volume ekspor udang Indonesia dari tahun 2007 – 2011 .........
Gambar 1  Grafik volume ekspor udang Indonesia periode 2007 – 2011
Gambar 2  Grafik nilai ekspor udang Indonesia periode 2007 – 2011
Gambar 3  Kerangka Pemikiran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompetensi sumber daya manusia, teknologi informasi, rekonsiliasi dan sistem pengendalian intern berpengaruh signifikan terhadap

Sehingga pada penelitian ini akan memberikan Model Reegineering Ekonomi berbasis Koperasi Berkelanjutan melalui pemberdayaan Sumber Daya Masyarakat Pesisir sebagai salah

Untuk memperoleh kadar etanol tertinggi, dilakukan penelitian variasi jumlah kolom fraksinasi menggunakan tiga serutan alumunium tiap kolom (Agustin dkk, 2010; Setyono dkk.,

Sedangkan KAMMI, lebih cenderung menampung masa dari kader-kader yang su- dah sejak di SMA mengikuti organisasi Rohis (Rohani Islam), meskipun tidak punya kesepa- katan

Sehingga Esmaket bagi masyarakat Buru Selatan ialah sumpah adat atau janji.. dalam hal ini berkaitan dengan seseorang yang memangku jabatan

Parameter gempa bumi untuk simulasi kejadian artificial (Global CMT).. Jejak rekam hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar 5. Hasil simulasi tersebut memperlihatkan tiga hal uta-

iFrames and REST APIs can provide in-application analytics, but only some BI solutions or custom development can provide in-page analytics. This enables users to act upon

Benda yang tidak dapat menghantarkan panas dengan baik dinamakan ...b. Perpindahan panas tanpa melalui zat perantara