DALAM KASUS POLIGAMI
( Analisis Putusan Nomor 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi )
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Yayah Lutfiyah
NIM : 107044100480
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
(Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi)
SkripsiDiajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk memenuhi persyaratan memperoleh
gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
oleh:
Yayah Lutfiyah
NIM: 107044100480
Dibawah bimbingan
Prof. Dr. H. M. Atho’ Mudzhar, MSPD. NIP:150077526
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
Nama mahasiswa : Yayah Lutfiyah
NIM : 107044100480
Fakultas : Syariah dan Hukum
Jurusan/ Konsentrasi : Ahwal Syakhsiyyah
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri yang
merupakan hasil penelitian, pengolahan, dan analisis saya sendiri serta bukan
merupakan plagiat maupun saduran dari hasil kaya atau penelitian orang lain.
Apabila terbukti skripsi ini merupakan plagiat maka skripsi ini dianggap gugur
dan harus melakukan penelitian ulang untuk menyusun skripsi baru dan kelulusan
serta gelarnya dibatalkan.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala akibat yang timbul di kemudian
hari menjadi tanggung jawab saya.
Jakarta, 1 Juni 2011
iv
Segala puji dan syukur hanya milik Allah SWT yang senantiasa melimpahkan
kemudahan, petunjuk, rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis dalam menyusun dan
menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam selalu tercurah
kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, yang telah mengantarkan umatnya
menuju zaman yang beradab dan penuh pencerahan.
Skripsi dengan judul Pembatalan Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas
Dalam Kasus Poligami (Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi)
disusun guna memenuhi syarat dalam meraih gelar Sarjana Syariah pada Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi
ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan
skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
skripsi dan juga telah membimbing penulis yaitu kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhamad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Drs., H. A. Basiq Djalil, SH, MA selaku Ketua Jurusan dan ibu Hj. Rosdiana,
MA., sebagai Sekertaris Jurusan Program Studi Ahwal Al-Syakhsyiah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
3. Prof. Dr. H. M. Atho’ Mudzhar, MSPD, selaku dosen pembimbing yang sudah meluangkan waktunya untuk membimbing skripsi penulis untuk
menjadi lebih baik.
4. Pansek Pengadilan Agama Bekasi beserta jajaran pegawai Pengadilan Agama
yang telah membantu penulis dalam memperoleh data-data yang diperlukan
dalam penelitian.
5. Seluruh Dosen dan civitas akademik Fakultas Syariah dan Hukum, terima
kasih atas ilmu dan bimbinganya. Seluruh Staf Akademik, Jurusan, Kasubag
Keuangan dan Perpustakaan terima kasih atas bantuan dalam upaya
membantu mempelancar penyelesaian skripsi ini.
6. Ayahanda H. Abdul Hamid (Alm) dan Ibunda tercinta Hj. Rodemah atas
pengorbanan dan cinta kasihnya baik moril dan materill, serta doa yang tak
terhingga sepanjang masa untuk keberhasilan studi Penulis. Segala hormat
Penulis sembahkan.
7. Kakak dan adik-adikku tersayang, Robiatul Adawiyah, Humaidah, Ahmad
Syatirudin, Sulasatul Milati dan Ahmad Thantowi yang memberikan semangat
dan kehangatan di dalam keluarga serta Muhammad Syambuzi, terimakasih
atas pengorbanan baik moril maupun materil dan selalu setia menemani
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga kalian semua di berikan
kesehatan dan kesuksesan.
8. Teman-teman seperjuangan kelas Pengadilan Agama 2007 Laila Wahdah,
Syadhali, Riki Dian Saputra, dan lain-lain yang tidak penulis sebutkan
satu-persatu, yang telah banyak sedikitnya membantu, baik moril maupun materil,
dan semangat, semoga kesuksesan dan keberhasilan selalu menaungi dan
menyertai kita.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam
penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang dapat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Harapan Penulis, semoga
skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi semua pihak yang
membacanya, Amin.
Ciputat, 13 Juni 2011
vii DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN LEMBAR PERSETUJUAN
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah... 6
C. Manfaat dan Tujuan Penelitian ... 8
D. Studi Review Terdahulu ... 9
E. Metodologi Penelitian ... 10
F. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II : PEMBATALAN PERKAWINAN A. Pengertian Pembatalan Perkawinan ... 15
B. Sebab Jatuhnya Pembatalan Perkawinan ... 21
C. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan ... 34
BAB III : DESKRIPSI PENGADILAN AGAMA BEKASI DAN DESKRIPSI KASUS PERKARA NO. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. BEKASI
A. Sejarah dan Letak Geografis Pengadilan Agama Bekasi ... 41
B. Visi Dan Misi Pengadilan Agama Bekasi ... 43
C. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Bekasi ... 44
D. Daftar Jumlah Pejabat Pengadilan Agama Bekasi ... 44
E. Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Bekasi ... 45
F. Daftar Jumlah Perkara Yang Di Putus Pengadilan Agama Bekasi ... 46
G. Deskripsi Kasus Perkara No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi 48 BAB IV : ANALISIS PUTUSAN NO. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi PERSPEKTIF HUKUM POSITIF A. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi Menurut Perspektif Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ... 60
B. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi Menurut Hukum Perdata Indonesia ... 68
BAB V : ANALISIS PUTUSAN NO. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi PERSPEKTIF HUKUM FIQH
A. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi
Menurut Madzhab Syafi’iyah ... 76 B. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi
Menurut Madzhab Hanafiyah ... 78
C. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi
Menurut Madzhab Malikiyah ... 80
D. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi
Menurut Madzhab Hanibalah ... 81
BAB VI : PENUTUP
A. Kesimpulan ... 84
B. Saran-Saran ... 88
DAFTAR PUSTAKA ... 90
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam hukum Islam dikenal istilah nikah. Menurut ajaran Islam
melangsungkan pernikahan berarti melaksanakan ibadah. Melakukan perbuatan
ibadah berarti juga melaksankan ajaran agama, seperti hadits yang diriwayatkan
oleh Sunan Ibnu Madjah yang berbunyi:
“ barang siapa yang melaksanakan nikah berarti ia melaksanakan
separuh ajaran agamanya, yang separuh lagi hendaklah ia takwa kepada
Allah“.1
Demikian sunnah Qauliyah (sunnah dalam bentuk perkataan) Rasulullah.
Rasulullah memerintahkan orang-orang yang telah mempunyai kesanggupan,
menikah dan hidup berumah tangga karena perkawinan atau memeliharanya dari
melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah.2
Perkawinan memang merupakan salah satu subsistem dari kehidupan
beragama dan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat
1
Ali bin Ahmad bin Muhammad Al-Azizi, Al-Siraj Al-Munir Syarah Al-Jami’u Al-Shagir,
(Beirut: Dar Al-Fikr, 1405), Juz. 3, h. 347.
2
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta : Raja Grafindo
manusia. Dengan adanya perkawinan, rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina
sesuai dengan norma dalam tata kehidupan masyarakat. Melalui media
perkawinan yang merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri, esensi dan tujuan hidup berkeluarga ( rumah tangga )
barulah akan tercapai yaitu membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga yang
penuh barokah, tentram, damai, rukun bahagia dan kekal.3
Masalah perkawinan merupakan permasalahan yang sangat penting dalam
sudut pandang agama maupun negara. Oleh karena itu, meskipun masalah
perkawinan telah diatur secara komprehensif dalam agama Islam namun pada
tataran pelaksanaan kehidupan bernegara perlu adanya Undang-undang yang
mengcover kebutuhan ini supaya tidak terjadi kesalahan mekanisme dalam
pelaksanaan perkawinan dan perangkat-perangkat lainnya.
Apabila dilihat dari sudut pandang agama, perkawinan mengandung unsur
perbuatan ibadah yang pada dasarnya merupakan sunnah Allah dan Rasul Nya.
Jika melihat pada tujuan perkawinan yang membentuk keluarga bahagia yang
kekal, tujuan ini dapat dielaborasikan menjadi tiga hal :
1. Suami isteri saling membantu dan saling melengkapi
2. Masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan untuk
pengembangan tersebut suami isteri harus saling membantu
3
Chandra Sabtian Irawan, Perkawinan dalam Islam : Monogami atau Poligami ?, (
3. Tujuan terakhir yang ingin dicapai adalah keluarga bahagia yang sejahtera
spiritual dan material.4
Mengingat perkawinan bukan hanya sekedar hubungan antar individu
melainkan dapat merupakan perbuatan yang melibatkan orang lain yang pada
gilirannya akan menimbulkan hak dan kewajiban, maka pemerintah mencoba
mengakomodir dan mengatur pernikahan itu dengan lahirnya Undang-undang No.
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam Undang-undang tersebut dinyatakan
bahwa “ perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dan wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga )
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5
Pada prinsipnya, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
berasaskan monogami yaitu suatu perkawinan dimana seorang pria hanya boleh
mempunyai satu orang isteri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang
suami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum agama
dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristri lebih dari
seorang dan meskipun hal ini dikehendaki oleh yang bersangkutan, hanya dapat
dilakukan apabila dipenuhinya berbagai persyaratan tertentu dan atas putusan izin
Pengadilan.6
4
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1 Tahun 1974 Sampai KHI, ( Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006 ), Cet Ke-3, h. 57.
5
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Himpunan Peraturan
Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, ( Jakarta : 2001 ), h. 131.
6
www.Legalitas.co.id, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pustaka
Meskipun pada prinsipnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan berasaskan monogami, akan tetapi Undang-Undang No. 1 tahun 1974
Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991)
sebenarnya menganut kebolehan Poligami walaupun terbatas hanya sampai empat
orang isteri saja. Kebolehan berpoligami tersebut memang tidaklah terlepas dari
berbagai persyaratan. Persyaratan-persyaratan seseorang dapat berpoligami yang
tercantum dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam memanglah sangat berat, sehingga menyebabkan orang
seringkali mengambil jalan pintas dengan melanggar Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku. Banyak cara yang dilakukan seseorang agar dapat
berpoligami, salah satunya yaitu dengan cara memalsukan identitas dirinya.
Apabila persyaratan-persyaratan bagi seorang suami untuk beristeri lebih
dari seorang tidak terpenuhi, maka perkawinan yang baru dapat diajukan
pembatalannya ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
berlangsungnya perkawinan atau tempat tinggal kedua suami isteri, ditempat
suami atau isteri. Hal ini telah dijelaskan dalam Undang-undang No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan (Pasal 24) yaitu bahwa diantara sebab-sebab
dilakukannya pembatalan perkawinan jika terdapat suami atau isteri yang masih
mempunyai ikatan perkawinan melakukan perkawinan tanpa seizin dan
sepengetahuan pihak lainnya. Pemikiran tersebut juga terdapat dalam Kompilasi
suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama ( Pasal 71 ).7 Alasan
tersebut dapat menjadi sebuah landasan hukum untuk melakukan tindakan hukum
yang berupa permohonan pembatalan perkawinan oleh isteri yang mengetahui
suaminya telah menikah dengan orang lain tanpa sepengetahuan dan izin darinya
pada Pengadilan Agama yang berwenang.
Poligami memang merupakan salah satu polemik dalam perkawinan yang
paling banyak dibicarakan sekaligus kontroversial. Satu sisi poligami ditolak
dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis
bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan gender. Akan tetapi, pada sisi lain
poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normatif yang tegas
dan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena
selingkuh dan prostitusi.
Perjalanan kehidupan berumah tangga memang tidaklah selalu berjalan
mulus dan sesuai dengan apa yang diharapkan. Berbagai alasan seseorang untuk
beristri lebih dari seorang diantaranya yaitu kurangnya perhatian dari pasangan
hidupnya, adanya indikasi perselingkuhan dan adakalanya hanya untuk
melampiaskan hawa nafsu semata. Kebanyakan dari orang yang melakukan
poligami tanpa izin dari pihak lain (pihak isteri) dikarenakan isteri mengetahui
bahwa tidak terdapat indikasi persyaratan seorang suami dapat melakukan
poligami yang terdapat dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Dengan demikian, tidak ada peluang bagi seorang suami untuk
7
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Reneka Cipta 1991 dan Inpres Ri No.1 Th 1991
melakukan poligami. Di Pengadilan Agama Bekasi terdapat kasus pembatalan
perkawinan poligami karena suami memalsukan identitas. Kajian pembatalan
perkawinan karena pemalsuan identitas dalam kasus poligami merupakan
fenomena yang menarik untuk dikaji.
Oleh karena itu, penulis mencoba melakukan penelitian terhadap
pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Bekasi dalam bentuk skripsi
dengan judul “PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA PEMALSUAN
IDENTITAS DALAM KASUS POLIGAMI ( Analisis Putusan Nomor 1513 / Pdt. G / 2009 / PA. BEKASI )”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat
diidentifikasikan sejumlah masalah sebagai berikut:
a. Pada dasarnya beberapa persyaratan bagi seseorang dapat melakukan
poligami sudah di jelaskan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam ( KHI ), akan tetapi
pada kenyataannya masih banyak orang yang melakukan poligami tidak
memenuhi persyaratan dalam Undang-undang tersebut.
b. Banyaknya cara yang dilakukan seseorang dalam melakukan poligami
agar dapat diakui keabsahan hukumnya, salah satunya yaitu dengan
2. Perumusan Masalah
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa untuk beristeri lebih dari seorang,
maka seseorang harus mendapatkan izin dari isteri pada umumnya dan izin
dari pengadilan pada khususnya, sehingga bagi seorang suami yang
melakukan poligami tanpa mengikuti aturan hukum yang ada maka
perkawinan yang baru dapat diajukan permohonan pembatalan perkawinan ke
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya
perkawinan.
Sehubungan dengan permasalahan diatas dan untuk memudahkan
penulis dalam penulisan skripsi ini, maka rincian rumusan masalah skripsi ini
adalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dan KHI yang mengatur hukum pembatalan perkawinan karena pemalsuan
identitas dalam kasus poligami, di terapkan oleh hakim Pengadilan Agama
Bekasi dalam putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi?
b. Apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara
pembatalan perkawinan tersebut dan bagaimana akibat hukum dari
pembatalan perkawinan itu?
c. Bagaimana kekuatan dan kelemahan pertimbangan hakim dalam putusan
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini antara lain :
a. Untuk memberikan penerangan kepada masyarakat banyak bahwa
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI sudah
memberikan kejelasan hukum tentang seseorang yang beristeri lebih dari
satu orang yang tidak mematuhi aturan perundang-undangan.
b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara
pembatalan perkawinan tersebut dan akibat hukumnya
c. Untuk lebih memahami kekuatan dan kelemahan pertimbangan hakim
dalam masalah pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas di
tinjau dari hukum positif dan hukum fikih
2. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini antara lain :
a. Manfaat Teoritis : untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang
hukum Islam, baik materiil maupun formil.
b. Manfaat Praktis : sebagai referensi bagi pencari keadilan serta
memberikan kejelasan pada masyarakat umunya tentang ketentuan hukum
Perkara No. 416/ Pdt. G/
Kajian penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan
menggunakan metode deskriptif analitis yaitu metode yang menggambarkan
dan memberikan analisa terhadap kenyataan dilapangan, sedangkan yang
dimaksud penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif yaitu
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu adalah
penelitian hukum yang dilakukan untuk mengkaji aturan hukum yang bersifat
mengutus baik tertulis maupun tak tertulis. Dalam hal ini objeknya ialah
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan sebuah putusan
a. Data Penelitian
1) Data Primer
Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan hakim Pengadilan
Agama Bekasi yang memutus perkara No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA.
Bekasi.
2) Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari hasil-hasil kajian hukum terhadap
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) terhadap putusan hakim Pengadilan
Agama Bekasi dalam perkara No. 1513 / Pdt. G / 2009 / PA. Bekasi
b. Teknik Pengumpulan Data
1) Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi terdiri dari bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder. Bahan hukum primer dalam skripsi ini adalah data
hasil wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Bekasi yang
memutus perkara No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi. Sedangkan
bahan hukum sekundernya adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, KHI dan amar putusan Pengadilan Agama
Bekasi yang telah berkekuatan hukum tetap serta buku-buku hukum
2) Interview atau Wawancara
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data yang
dibutuhkan untuk menjawab semua permasalahan penelitian. Data
yang diperoleh dari wawancara ini akan disinergikan dengan data-data
yang diperoleh dari studi dokumentasi.
c. Teknik Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul diolah, dianalisis, dan diinterpretasikan
untuk dapat menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dengan
langkah-langkah sebagai berikut :
1) Seleksi Data : setelah memperoleh data dan bahan-bahan penelitian
baik melalui studi dokumentasi, maupun wawancara, lalu diperiksa
kembali satu persatu agar tidak terjadi kekeliruan.
2) Klasifikasi Data : setelah data dan bahan diperiksa lalu di
klasifikasikan dalam bentuk dan jenis tertentu, kemudian diambil
kesimpulan.
d. Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan adalah content analysist dan
analisis wacana. Dalam hal ini, setiap data akan dianalisis dari beberapa
sudut pandang. Data yang dianalisis merupakan data yang bersumber dari
sumber data, baik yang didapat melalui wawancara maupun studi
F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran secara garis besar dan menyeluruh skripsi
ini disusun atas enam bab dan tiap-tiap bab dibagi menjadi beberapa sub bab
meliputi:
Bab pertama tentang Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang
Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Metodologi penelitian, Studi Review Terdahulu dan Sistematika Penulisan.
Bab kedua berisi tinjauan umum tentang Pembatalan Perkawinan karena
pemalsuan identitas, yang didalamnya membahas pengertian pembatalan
perkawinan, sebab-sebab terjadinya pembatalan dalam perkawinan menurut
perspektif fiqih, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan,
Kompilasi Hukum Islam serta akibat hukum pembatalan perkawinan.
Bab ketiga berisi tentang deskripsi Pengadilan Agama Bekasidan deskripsi
putusan Pengadilan Agama Bekasi No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi. Bab ini
terdiri atas dua bagian. Bagian pertama membahas sejarah dan letak geografis
Pengadilan Agama Bekasi, Visi dan Misi, struktur organisasi Pengadilan Agama
Bekasi, Jumlah perkara yang di putus Pengadilan Agama dri tahun 2009-2011
serta wilayah yuridiksi Pengadilan Agama Bekasi. Bagian kedua berisi deskripsi
kasus yang hendak di bahas dalam skripsi ini.
Bab keempat merupakan Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA.
Bekasi menurut Perspektif Hukum Positif. Didalam bab ini penulis mengawalinya
Tentang Perkawinan, yang kedua penulis menganalisa putusan menurut Hukum
Perdata Indonesia (BW), kemudian yang terakhir penulis menganalisa putusan
menurut Kompilasi Hukum Islam.
Bab kelima berisi Analisis Pututsan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi
Menurut Perspektif Hukum Fiqih. Di dalam bab lima ini penulis mengalisis
menurut pendapat imam-imam Madzhab, diantaranya yaitu: Madzhab
Syafi’iyyah, Madzhab Hanafiyyah, Madzhab Malikiyyah dan Madzhab
Hanabalah.
Bab keenam merupakan bab terahir dalam skripsi ini yang berisi
kesimpulan serta saran-saran. Dalam bab penutup ini penulis menyimpulkan
15
PEMBATALAN PERKAWINAN
A. Pengertian Pembatalan Perkawinan
Pengertian fasakh secara umum dapat dipahami sebagai memutuskan atau
membubarkan suatu ikatan pernikahan disebabkan suatu alasan yang telah di
tentukan oleh syara. Arti fasakh ialah merusak atau membatalkan ini berarti
bahwa perkawinan itu diputuskan atau dirusak atas permintaan salah satu pihak
oleh Pengadilan Agama.
Di dalam fikih, batalnya perkawinan disebut juga dengan fasakh. Yang
dimaksud fasakh, secara etimologi atau menurut bahasa adalah:
"Fasakhadalah merusak pekerjaan atau akad”1
Sedangkan secara terminology atau istilah syar’i, fasakh adalah
pembatalan akad perkawinan dan memutuskan tali perhubungan yang mengikat
antara suami dan istri.2
Menurut Ali Hasabillah, secara terminology fasakh adalah suatu yang
merusak akad (perkawinan) dan dia tidak dinamakan talaq.3
1
Firdaweri, hukum Islam Tentang Fasakh, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1989), Cet
Ke-1, hal. 52
2
Sayyid Sabiq menyatakan bahwa memfasakh akad nikah adalah
membatalkan dan melepaskan ikatan pertalian antara suami istri, fasakh dapat
terjadi karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada akad nikah atau karena
hal-hal lain yang datang membatalkan kelangsungan perkawinan.4
Adapun contoh fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi dalam
akad perkawinan adalah:
1. Setelah akad nikah ternyata istri adalah saudara susuan,
2. Suami istri masih kecil diakadkan setelah dewasa, ia berhak untuk
meneruskan ikatan perkawinanya dahulu itu atau mengakhirinya. Khiyar ini
disebut dengan khiyar baliq. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri,
hal ini disebut dengan fasakh akad.
Para ulama telah sepakat bahwa apabila salah satu pihak dari pasangan
suami istri mengetahui ada aib pada pihak lainnya sebelum aqad nikah dan ia
menerima secara tegas atau ada tanda yang menunjukan kerelaannya, maka hak
untuk meminta fasakh dengan alasan aib tersebut hilang.
Terdapat 8 (delapan) aib atau cacat yang membolehkan khiyar, yaitu:
Ali Hasabillah, al-furqan Baina Zaujani,( Kairo : Daarul fikr, 1949), cet ke 1, hal. 169.
4
menghalangi persetubuhan, dan tumbuh daging dalam kemaluan, atau basah
karena penyakit (keputihan) yang menyebabkan hilangnya kenikmatan
bersetubuh.5
Menurut ketentuan hukum Islam, siapa yang mengetahui dan melihat
akan adanya seseorang yang berkehendak untuk melangsungkan pernikahan,
padahal diketahui bahwa penikahan tersebut cacat hukum karena kurang syarat
dan rukun yang ditentukan, maka perkawinan tersebut wajib dicegah. Jika
pasangan suami istri mengetahuinya setelah akad nikah, maka pihak yang di
rugikan wajib mengajukan pembatalan perkawinan kepada instansi yang
berwenang.
Dalam literatur fikih tidak di kenal lembaga pencegah perkawinan akan
tetapi fikih Islam mengenal dua istilah yang berbeda walaupun hukumnya sama
yaitu nikah fasid dan nikah batil. Menurut Al-Jaziry6, nikah fasid adalah nikah
yang tidak memenuhi salah satu syarat dari syarat-syaratnya, sedangkan fasakh
atau nikah batil ialah nikah yang tidak memenuhi rukun nikah yang telah di
tetapkan oleh syara’. Hukum nikah dari kedua bentuk pernikahan itu adalah
sama-sama tidak sah dan harus di batalkan. Meskipun kedua hal tersebut menjadi
ikhtilaf para ulama dan para ahli hukum Islam, tetapi kedua hal ini nuansanya
tidak bisa di pisahkan dan sangat sulit di bedakan di antara keduanya.
5
Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Madzhab, ( Lentera Basretama, 1999 ), h. 351.
6
Ash Shan’ani7
mengemukakan bahwa nikah fasid itu tidak ada dalam
Al-Qur’an dan Al-Hadis, akan tetapi Ash Shan’ani mengemukakan bahwa pada
dasarnya dalam Syari’at Islam hanya ada nikah yang sah dan nikah yang bathil
saja, tidak ada nikah yang terletak di antara nikah sah dan nikah yang bathil itu.
Di kalangan mazhab Syafi’iyyah nikah fasid itu adalah akad nikah yang
di lakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi kurang salah satu
syarat yang di tentukan oleh syara’, sedangkan nikah batil adalah pernikahan
yang di laksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi
kurang salah satu rukun syara’. Menurut ahli hukum Islam mazhab Syafi’iyyah,
nikah fasid dapat terjadi dalam bentuk:
(1) pernikahan yang di laksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang
perempuan tetapi wanita tersebut dalam masa iddah laki-laki lain
(2) pernikahan yang dilaksanakan dalam masa istibro’ karena wathi syubhat
(3) pernikahan yang di laksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang wanita
tetapi perempuan tersebut di ragukan iddahnya karena ada tanda-tanda
kehamilan
Meskipun Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 hanya mengatur menyangkut
pembatalan saja, tetapi dalam praktik pelaksanaan undang-undang tersebut yang
7
Al-Imam Muhammad Ibn Ismail Al-Kahlani Ash Shan’ani, Subulus Salam, terjemahan Abu
menyangkut hal pembatalan perkawinan mencakup substansi dalam nikahul fasid
dan nikahul bathil
Apabila nikah fasid dan nikah batil di kaitkan dengan dengan fasakh,
maka fasakh adalah sesuatu yang dapat menyebabkan hubungan suami istri
berhenti, baik di hentikan oleh hakim maupun di hentikan dengan sendirinya di
karenakan di ketahui tidak terpenuhinya rukun dan syarat perkawinan. Dengan
demikian putusnya perkawinan dalam bentuk fasakh dapat terjadi karena adanya
kesalahan yang terjadi waktu akad atau adanya sesuatu yang terjadi kemudian
yang mencegah kelangsungan hubungan perkawinan itu.8
Bentuk kesalahan yang terjadi waktu akad:
a. Di ketahui kemudian bahwa suami istri itu ternyata mempunyai hubungan
nasab atau sepersusuan
b. ketika di kawinkan umurnya masih kecil (belum dewasa) dan tidak punya hak
pilih, tetapi setelah dewasa dia menyatakan pilihan untuk membatalkan
perkawinan
c. ketika akad nikah berlangsung suatu kewajaran, kemudian ternyata ada
penipuan, baik dari segi mahar atau pihak yang melangsungkan perkawinan
Bentuk kesalahan terjadi setelah berlangsungnya akad perkawinan:
a. Salah seorang murtad dan tidak mau di ajak kembali kepada Islam
b. Salah seorang mengalami cacat fisik yang tidak memungkinkan melakukan
hubungan suami istri
8
c. Suami terputus sumber nafkahnya dan si istri tidak sabar menunggu pulihnya
kehidupan ekonomi si suami.9
Menurut Al-Jaziri jika perkawinan yang telah dilaksanakan oleh
seseorang tidak sah karena kekhilafan dan ketidaktahuan atau tidak sengaja dan
belum terjadi persetubuhan, maka perkawinan tersebut perlu dibatalkan, yang
melakukan perkawinan tersebut tidak berdosa, jika terjadi persetubuhan maka itu
dipandang sebagai wathi’syubhat, tidak dipandang sebagai perzinahan. Jika
perkawinan yang di lakukan oleh seseorang sehingga perkawinan itu menjadi
tidak sah karena sengaja melakukan kesalahan memberikan keterangan palsu,
persaksian palsu, surat-surat palsu atau hal lain yang tidak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, maka perkawinan yang demikian itu wajib di batalkan. 10
Jadi, ada dua jenis pembatalan dari segi kapan berlakunya yaitu:
a. Berlaku surut
Apabila pada waktu di langsungkannya akad telah di ketahui sebab
yang dapat menyebabkan aqad tidak sah atau perkawinan yang di langsungkan
tidak memenuhi syarat atau rukun perkawinan yang telah di tentukan oleh
syara.
b. Tidak berlaku surut
Pembatalan yang tidak berlaku surut yaitu apabila sebab yang dapat
membatalkan aqad di ketahui setelah berlangsungnya perkawinan, dengan
9
Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqh, Cet Ke-2, h. 134.
10
begitu aqadnya tetap di anggap sah. Seperti contoh setelah perkawinan telah
berlangsung, salah satu dari pasangan suami istri keluar dari Islam atau
murtad, dengan begitu akadnya tetap di anggap sah.
B.Sebab Jatuhnya Pembatalan Perkawinan 1. Perspektif fiqh
Fiqh Islam mengenal dua istilah yang berbeda kendati hukumnya sama,
yaitu nikah al-fasid dan nikah al-batil. Nikah fasid adalah nikah yang tidak
memenuhi salah satu syarat dari syarat-syaratnya, sedangkan nikah batil,
apabila tidak terpenuhi rukun-rukunnya. Hukum nikah fasid dan batil adalah
sama-sama tidak sah. Batalnya perkawinan menurut fiqih Islam antara lain
disebabkan oleh 2 (dua) hal, yaitu: pertama, karena tidak terpenuhi rukun
perkawinan dan atau karena tidak terpenuhi syarat perkawinan dan kedua,
karena adanya sebab lain setelah perkawinan berlangsung. Pembatalan
dimaksud dikenal dengan istilah “fasakh”.11
Menurut pendapat kalangan madzhab Syafi’iyyah diantara perceraian di
sebabkan fasakh yaitu di sebabkan seorang suami berat memberikan maskawin
( sebelum di pergauli ), nafkah, tempat tinggal, dan pakaian, seorang istri
terdapat cacat ( dari kemaluannya), di sebabkan akad nikah yang fasid, dan
tidak sekufu. Kalangan madzhab Malikiyyah berpendapat bahwa di antara sebab
11
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Kencana, 2006), Cet
yang dapat di fasakh yaitu di sebabkan akad nikah yang fasid, nikah sirri,
menikah tanpa wali, putusan hakim dengan talaq ba’in dalam perceraian ) baik
di ceraikan atas putusan hakim atau atas perintah Istri). Menurut kalangan
madzhab Hanafiyyah di antara sebab yang dapat mengakibatkan fasakh yaitu
salah satu dari suami atau istri meninggalkan tempat peperangan ke Negara
Islam yang aman, karena fakta yang menyebabkan akad nikah fasid, dan salah
satu dari suami atau istri kafir, sedangkan menurut kalangan mazdhab
Hanabilah di antara sebab yang dapat menyebabkan fasakh yaitu seorang suami
tidak sanggup memberikan maskawin (sebelum di pergauli), nafkah, tempat
tinggal, dan pakaian, dan salah satu dari suami atau istri kafir.12
Adapun dalam hal fasakhnya suatu pernikahan di sebabkan karena
adanya cacat pada wanita yang di nikahi, dalam hal ini istri tetap berhak
mendapatkan mahar. Hal tersebut sesuai dengan hadis Sayyidina Umar yang
berbunyi:13
Umar bin Khattab berkata “laki-laki mana saja yang mengawini seorang
perempuan dan bergaul dengannya, lalu menemukan pada istrinya itu mengidap
12
Lihat Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Juz IV ( Beirut : Dar al-Fikr ), h. 372.
13
penyakit sopak, gila atau kusta, maka berikanlah maharnya karena telah bergaul
dengannya )artinya setelah keduanya dipisahkan(”.
Penjelasan dari hadis tersebut bahwa laki-laki yang telah memfasakh
perkawinannya karena terdapat cacat pada istrinya tetap wajib membayar mahar
karena suami tersebut harus bertanggung jawab terhadap walinya, meskipun
sudah tertipu di dalam pernikahannya dan pernikahannya dapat di fasakh sesuai
dengan apa yang di tetapkan dalam aturan fasakh.14
Akan tetapi apabila seorang suami tertipu dengan sifat wanita yang
dinikahinya tersebut, seperti tertipu karena keperawanannya, ternyata wanita
tersebut tidak perawan, wanita tersebut mengaku muslim, ternyata wanita
tersebut bukan muslim, mengaku merdeka, dan mengaku bukan senasab tetapi
ternyata berbeda dengan kenyataannya, maka para ahli fiqih berbeda pendapat
dalam hal tersebut kecuali madzhab Hanafiyyah. Menurut pendapat Madzhab
Syafi’iyyah yaitu jika seorang laki-laki akan menikahi seorang perempuan, di
syaratkan sebelum atau di saat akad meneliti sifat wanita tersebut, seperti jelas
keislamannya, atau jelas nasabnya, dan jelas status kemerdekaannya. Apabila
setelah akad ternyata diketahui berbeda dengan kenyataannya, menurut qaul
yang lebih sahih pernikahannya tetap di anggap sah. Begitu pula menurut
Madzhab Hanabilah yaitu apabila seorang laki-laki menipu seorang wanita
dengan sesuatu yang merusak akad, seperti perkara sekufu, kemerdekaannya,
14
keturunannya, maka bagi istri berhak untuk memilih antara fasakh atau tetap
berlangsung. Menurut pendapat Madzhab Hanafiyah yaitu tidak di bolehkan
adanya perceraian karena salah satu dari kedua suami istri tertipu oleh sifat dari
salah satu kedua suami istri tersebut kecuali terdapat cacat yang dapat
menyebabkan suami istri susah untuk bersenggama.15
Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa putusnya akad meliputi fasakh
dan infisakh, hanya saja munculnya fasakh terkadang bersumber dari kehendak
sendiri, keridhaan dan terkadang berasal dari putusan hakim, sedangkan
infisakh muncul karena adanya peristiwa alamiah yang tidak memungkinkan
berlangsungnya akad.16
Sedangkan Sayyid Sabiq17 menggunakan istilah mem-fasakhakad nikah
yang berarti membatal-kannya dan melepaskan ikatan pertalian antara suami
isteri. Fasakh dapat terjadi karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada akad
nikah atau karena hal lain yang datang kemudian dan dapat membatalkan
kelangsungan perkawinan. Sayid Sabiq menambahkan bahwa fasakh itu terbagi
kepada dua macam, yaitu: pertama, fasakh yang berkehendak kepada keputusan
hakim, jika kondisi penyebab fasakh masih samar-samar dan kedua, fasakh
yang tidak berkehendak kepada keputusan hakim, jika kondisi penyebab
fasakh-nya jelas.
Berdasarkan pendapat Sayyid Sabiq tersebut, maka pembatalan
perkawinan (fasakh) dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Dilihat dari sisi sebab pembatalannya, terdiri dari:
1) Sebab yang telah ada pada saat perkawinan dilangsungkan, contohnya
perkawinan dilangsungkan tidak memenuhi rukun dan/atau syarat
perkawinan.
2) Sebab yang terjadi setelah akad perkawinan berlangsung, contohnya
setelah perkawinan berlangsung, salah satu dari suami atau isteri murtad.
b. Dilihat dari kewenangan pembatalannya, terdiri dari:
1) Pembatalan perkawinan melalui keputusan hakim, berarti suami isteri
tidak dibolehkan membatalkannya tanpa ada keputusan hakim, hal ini
dilakukan jika alasan yang dapat membatalkan perkawinan masih
samar-samar, contohnya karena isteri masih belum memeluk agama Islam,
sedangkan suaminya sudah. Ada kemungkinan, setelah perkara dibawa ke
pengadilan, isterinya mau memeluk agama Islam.
2) Pembatalan perkawinan yang tidak harus melalui keputusan hakim,
berarti suami isteri dapat langsung membatalkannya tanpa harus
menunggu keputusan hakim, hal ini dilakukan jika alasan yang
membatalkan perkawinan sudah jelas, seperti karena terdapat halangan
perkawinan di antara mereka disebabkan hubungan nasab atau sesusuan,
Dasar hukum Putusnya hubungan perkawinan dengan cara fasakh ini,
antara lain adalah:
a. Firman Allah SWT dalam surah An-Nisa Ayat 23 yang berbunyi :
yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak-anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
b. Dalam hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud,
yang berbunyi:
Artinya: “Dan dari Abdurraman bin Hurmuz Al-A’raj sesungguhnya Abbas bin Abdullah bin Abbas tela mengawinkan Abdurahmnan bin Hakam dengan anak putrinya dan sebaliknya Abdurahman mengawinkan Abbas dengan anak putrinya dan mereka berdua menjadikan tukar menukar itu sebagai maharnya kemudian Muawiyah bin Abi Sufyan mengirim surat kepada Marwan bin Hakam yang isinya menyuruh Marwan agar menceraikan antara mereka berdua, seraya berkata dalam suratnya itu inilah nikah syigar yang di
larang oleh Rasulullah SAW.” (HR ahmad dan abu daud).18
c. Dalam Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Hakim, yang berbunyi:
دْي ْنع
Artinya: “ Hadits dari Zaid bin Ka’ab bin „Ujrah dari bapaknya dia berkata:
Rasulullah SAW mengawini seorang wanita dari bani Ghafar. Ketika Rasul hendak bersetubuh dengannya, wanita itu membuka pakaiannya. Rasul melihat warna putih di rusuknya. Lantas Rasul berkata: Pakailah pakaianmu dan pergilah kerumah orang tuamu, dan Rasul memberinya mahar.” (HR. Hakim).19
2. Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Di dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tidak secara tegas dinyatakan
adanya lembaga nikahul fasid dalam hukum perkawinan di Indonesia. Akan
tetapi dalam praktik pelaksanaan undang-undang tersebut yang menyangkut hal
pembatalan perkawinan mencakup substansi dalam nikahul fasid dan nikahul
bathil. Dalam pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
18
Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad, Juz. 34, h. 216, Hadis Ke-16253
19
Perkawinan dinyatakan bahwa pernikahan dapat dibatalkan apabila para pihak
tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Dalam penjelasannya kata “ dapat “ dalam pasal ini adalah bisa batal
bilamana menurut ketentuan hukum agamanya tidak menentukan lain.20
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa suatu perkawinan yang dilaksanakan
oleh seseorang dapat menjadi batal demi hukum dan dapat dibatalkan oleh
hakim apabila cacat hukum dalam pelaksanaannya. Pengadilan Agama dapat
membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang
berkepentingan.
Istilah dapat dibatalkan dalam Undang-Undang ini berarti dapat
difasidkan, sehingga bersifat relative neitig. Dengan demikian perkawinan
dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan
karena adanya pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu.21
Menurut M. Yahya Harahap,22 secara teoritis Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut prinsip bahwa tidak ada suatu
perkawinan yang dianggap sendirinya batal menurut hukum ( van
rechtswegwnietif ) sampai ikut campur tangan Pengadilan. Hal ini dapat
20
Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Kencana, 2004), Cet Ke-1,
h. 106.
21
Martiman Prodjohamidjodjo, Hukum Perkawinan Indonesia, ( Jakarta : Indonesia Legal
Center Publishing, 2002 ), h. 25.
22
diketahui dalam pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, dimana
dikatakan bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputus oleh
Pengadilan.
Secara sederhana ada dua sebab terjadinya pembatalan perkawinan.
Pertama, pelanggaran prosedural perkawinan. Kedua, pelanggaran terhadap
materi perkawinan. Misalnya perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman,
terjadi salah sangka mengenai calon suami dan isteri.23
Pihak-pihak yang berhak melakukan pembatalan perkawinan dalam
Undang-Undang Perkawinan yaitu:
1. Keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke bawah dari masing-masing pihak
(Pasal 23 huruf a)
2. Suami istri itu sendiri (Pasal 23 huruf b)
3. Jaksa (Pasal 23 huruf c ayat (1) jo. Pasal 16)
4. Pejabat tertentu (Pasal 23 huruf d jo Pasal 16)
5. Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap
perkawinan tersebut (Pasal 23 huruf c)
3. Perspektif Hukum Perdata Indonesia
Didalam hal seseorang tidak mengindahkan akan ketentuan-ketentuan
undang-undang tentang perkawinan dan pelangsungan perkawinan, dengan
23
Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Prenada Media, 2004 ), h.
begitu adanya dua macam akibat hukum yaitu kebatalan karena hukum atau
kemungkinan pernyataannya batal oleh hakim atas permohonan pihak-pihak
yang bersangkutan.24
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) dengan jelas
disebutkan pada pasal 85 yaitu:
Kebatalan suatu perkawinan hanya dapat dinyatakan oleh hakim.
Mengenai pembatalan dalam perkawinan yang terdapat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yaitu di jelaskan dalam pasal 85-99.25 Adapun
bunyi dari pasal 85-99 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Suatu
perkawinan dapat di batalkan dengan alasan-alasan sebagai berikut:26
1. Karena adanya perkawinan rangkap (poligami)
2. karena tidak ada persetujuan yang bebas di antara para pihak
3. karena salah satu pihak di anggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum
4. karena salah satu pihak atau masing-masing pihak belum mencapai umur
yang di tentukan menurut Undang-Undang dan belum mendapat izin
5. karena adanya larangan perkawinan
6. karena perkawinan yang di langsungkan akibat dari suatu hubungan zina
(overspell)
24
H.F.A. Volmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, ( Jakarta: Rajawali, 1992 ), Cet Ke-3, h.
60.
25
Lihat, Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 22.
26
Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta
7. karena tidak adanya izin dari pihak yang berkepentingan, antara lain orang
tua dan wali.
Dalam hal perkawinan rangkap (poligami), pihak yang berwenang
melakukan permohonan pembatalan perkawinan adalah:
1. Suami atau istri dari perkawinan yang pertama
2. Suami atau istri dari perkawinan yang kedua
3. Jaksa
Dalam hal perkawinan yang dilangsungkan oleh pihak-pihak yang di
anggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum, permohonan pembatalan
perkawinan dapat di lakukan oleh:
1. Orang tua
2. Keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke samping
3. Curator
Untuk melakukan pembatalan perkawinan harus dilakukan dengan
mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negri yang daerah hukumnya
meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan tersebut. Pembatalan
perkawinan tersebut baru terjadi setelah dinyatakan dalam putusan Pengadilan
yang telah in Kracht van gewijsde.27
27
4. Perspektif kompilasi Hukum Islam
Mengenai sebab batalnya perkawinan dan permohonan pembatalan
perkawinan di Indonesia, Kompilasi Hukum Islam secara rinci menjelaskan
sebagai berikut :
Dalam pasal 70 dijelaskan bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan
apabila :
a. Suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad
nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun satu dari
keempat isterinya itu dalam iddah talak raj’i
b. Seseorang menikahi isterinya yang telah dili’annya
c. Seseorang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak
olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain
yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis
masa iddahnya.
d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah,
semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan
menurut pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, yaitu :
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas.
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah
tirinya.
4) Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara
sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.
e. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri
atau isteri-isterinya.28
Sedangkan pasal 71 KHI menjelaskan tentang aturan dimana suatu
perkawinan dapat dibatalkan apabila seorang suami melakukan poligami tidak
mendapatkan izin dari Pengadilan Agama.
Di dalam pasal 72 KHI dijelaskan bahwa perkawinan dapat dibatalkan
apabila:
1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang
melanggar hukum
2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan perkawinan apabila
pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka
salah sangka mengenai calon suami atau istri.
Selanjutnya berkenaan dengan pihak-pihak yang dapat membatalkan
perkawinan diatur dalam pasal 73, yaitu :
28
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah dari suami
atau isteri,
b. Suami atau isteri,
c. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun
dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan
perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.
C.Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan
Pembicaraan pembatalan perkawinan bahwa perkawinan itu sebelumnya
telah berlangsung dan akibat dari perkawinan tersebut menghasilkan anak dan
harta bersama.29
Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal
28 ayat (2) dinyatakan :
Keputusan tidak berlaku surut terhadap :
1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
2. Suami atau isteri yang bertindak dengan beritikad baik, kecuali terhadap harta
bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan adanya perkawinan lain yang
lebih dahulu.
29
Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Prenada Media, 2004 ), h.
3. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam huruf a dan b sepanjang
mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang
pembatalan mempunyai kekuatan hokum tetap.
Sedangkan menurut KHI seperti yang terdapat pada pasal 75, dijelaskan
keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap :30
1. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami isteri murtad;
2. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
3. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik,
sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum
yang tetap.
Sedangkan dalam pasal 76 KHI dinyatakan :
“Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak
dengan orang tuanya.”
Dalam fiqih dijelaskan akibat hukum dari pembatalan perkawinan di
antaranya yaitu yang dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili, yakni:
1. Apabila telah sempat bersenggama, maka senggama itu tidak di anggap zina
selama benar-benar tidak mengetahui bahwa perbuatan itu haram baginya, dan
oleh karena itu tidak dikenakan hukum dera seratus kali bagi yang masih
belum pernah menikah dan tidak pula hukuman rajam bagi yang sudah pernah
menikah
30
2. Wajib membayar mahar wanita seperti yang di sepakati, dan kalau belum ada
kesepakatan tentang jumlahnya maka harus membayar jumlah yang layak
baginya
3. Ibu wanita haram bagi laki-laki menikahinya karena sudah di anggap sebagai
mertuanya,
4. Jika senggama itu menghasilkan anak, maka anak itu di akui sebagai anak
ayahnya, baik hal yang menyebabkan batalnya itu di sepakati maupun di
perselisihkan.31
Dari penjelasan pasal-pasal diatas dapat ditarik suatu kesimpulan tentang
akibat hukum dari pembatalan perkawinan adalah sebagai berikut :
1. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang dibatalkan adalah anak sah dan
merupakan tanggung jawab orang tua dalam pemeliharaannya, kecuali
pembatalan perkawinan atas dasar kesengajaan para pihak, karena perkawinan
yang tidak sah karena unsur kesengajaan anak hanya mempunyai hubungan
nasab dengan ibunya.
2. Penyelesaian terhadap harta bersama yang didapat dalam perkawinan yang
dibatalkan atas dasar adanya ikatan perkawinan yang lebih dahulu atau
poligami aturan hukumnya belum jelas. Sedangkan terhadap harta bersama
yang didapat dalam perkawinan diselesaikan menurut hukumnya
masing-masing, baik menurut hukum agama, hukum adat atau hukum lainnya.
31
Satria Efendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, ( Jakarta: Kencana,
D.Pembatalan Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas
Pemalsuan identitas atau biasa disebut dengan manipulasi identitas terdiri
dari dua suku kata yakni manipulasi dan identitas. Manipulasi merupakan kata
serapan yang berasal dari bahasa Inggris yaitu manipulation yang berarti “
penyalahgunaan atau penyelewengan “.32
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahsa
Indonesia, manipulasi diartikan sebagai “ upaya kelompok atau perseorangn untuk
mempengaruhi perilaku sikap dan pendapat orang lain tanpa orang itu
menyadarinya. “33
Definisi identitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung arti
ciri-ciri, keadaan khusus seseoroang, jati diri. Definisi lain dari identitas yakni
persamaan, tanda-tanda, ciri-ciri.34
Jadi, dapat disimpulkan manipulasi identitas dalam perkawinan adalah
suatu upaya penyelewengan atau penyimpangan yang dilakukan seseorang untuk
memalsukan data-data baik berupa status, tanda-tanda, ciri-ciri maupun keadaan
khusus seseorang atau jati diri yang dinilai sebagai suatu tindak pidana berupa
kebohongan kepada pejabat negara yang tujuannya untuk bisa melangsungkan
perkawinan.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 712.
34
Manipulasi identitas terdiri dari berbagai macam diantaranya adalah
manipulasi nama, usia, alamat, agama bahkan status.
Ada beberapa penyebab terjadinya manipulasi identitas dalam perkawinan,
yaitu:
1. Sikap mental buruk pelaku yang pada dasarnya ingin mengeruk keuntungan
sebanyak-banyaknya hanya unuk kepentingan diri sendiri
2. Masih kurangnya pengetahuan sebagian anggota masyarakat tentang
perkawinan berikut peraturan pelaksanaannya dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang berlaku serta hukum munakahat.
3. Masih kurangnya tertib pelaksanaan administrasi NTCR, akibat kurangnya
pengetahuan dan kemampuan teknis para petugas atau Pegawai Pencatat Nikah
(PPN) dan wakilnya.
4. Kurang mantapnya koordinasi diantara pejabat/petugas pelaksana NTCR yang
berwenang menanganinya.
5. Belum sepenuhnya diterapkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya, termasuk hukum munakahat belum
merata dikalangan masyarakat dan instansi-instansi yang mengakibatkan
kurangnya hukum.35
35
6. Adanya keinginan untuk berpoligami tanpa harus diketahui oleh isterinya dan
untuk memudahkannya tanpa harus meminta izin dari Pengadilan Agama.36
Salah satu faktor perkawinan itu dapat dibatalkan apabila terjadi adanya
pemalsuan identitas terhadap diri suami atau istri yang melangsungkan
perkawinan. Pemalsuan identitas tersebut dapat berupa pemalsuan status, usia
maupun agama. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
mengatur pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas yaitu pada pasal 27
yang berbunyi:
1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang
melanggar hukum
2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah
sangka mengenai diri suami atau istri.
Sedangkan dalam Hukum Perdata Indonesia (BW) mengingat perkawinan
merupakan suatu perikatan, maka suatu perikatan dapat di batalkan apabila salah
satu dari para pihak yang melakukan perikatan tersebut melakukan penipuan maka
perikatan tersebut dapat dibatalkan. Hal ini sesuai dengan pasal 1449 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi:
“perikatan-perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan atau
penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya.”
36
Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur tentang pembatalan
perkawinan karena pemalsuan identitas, yaitu sesuai dengan pasal 72 yang
berbunyi:
1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang
melanggar hukum
2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila
pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka
41
DESKRIPSI PENGADILAN AGAMA BEKASI DAN KASUS PERKARA NO. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. BEKASI
A.Sejarah Dan Letak Geografis Pengadilan Agama Bekasi1
Pengadilan Agama Bekasi sesuai dengan tugas dan kewenangannya yaitu
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan,
warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodaqoh dan ekonomi syari’ah
dan tugas dan kewenangan lain yang diberikan oleh atau berdasarkan
Undang-undang. Sebagai salah satu lembaga yang melaksanakan amanat Undang-Undang
No. 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam
melaksanakan tugasnya guna menegakkan hukum dan keadilan harus memenuhi
harapan dari para pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang
sederhana, cepat, tepat, dan biaya ringan, hal mana Pengadilan Agama Bekasi
sebagai pelaksana Visi dan Misi Mahkamah Agung RI yang menjabarkan oleh
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, yaitu: Visi “Terwujudnya putusan
yang adil dan berwibawa, sehingga kehidupan masyarakat menjadi tenang, tertib
dan damai di bawah lindungan Allah SWT” dan Misi : “Menerima, memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh umat Islam.
1
Indonesia di bidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah,
shodaqoh dan ekonomi syari’ah, secara cepat, sederhana dan biaya ringan”.
Institusi Pengadilan agama Bekasi terbentuk pada tahun 1950 yang
berkantor di Jl. Is Sirait Kampung Melayu Jatinegara dengan ketua Rd. H. Abu
Bakar kemudian terjadi pemekaran yaitu terbentuk Kabupaten Bekasi juga wilayah
hukumnya di pindah ke Kabupaten Bekasi. Seiring waktu wilayah Walikotamadya
Dati II Bekasi dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 9 tahun 1996 tanggal 19
Desember 1996 yang sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Bekasi, pada
tahun 1998 berdasarkan KEPRES No. 145 tahun 1998di bentuk Pengadilan
Agama Kabupaten Bekasi yang dikenal Pengadilan Agama Cikarang sebagai
konsekuensi atas pembentukan Walikotamadya tersebut, dimana wilayah hukum
Pengadilan Agama Bekasi yang semula meliputi Kabupaten dan Kotamadya sejak
diresmikannya Pengadilan Agama Cikarang hanya meliputi wilayah Kotamadya
Bekasi saja. Gedung Pengadilan Agama Bekasi saat ini terletak di Jl. Ahmad Yani
No. 10 Bekasi Telp. (021) 8841880 Kode Pos 17141 dengan Letak Geografis
Posisi antara 106°55' - Bujur Timur dan antara 6°7 - 6° 15' Lintang Selatan dengan
memiliki markaz Kiblat 64° 51' 29° 87'' dari Utara ke Barat atau 25° 08' 30 13''
dari Barat ke Utara. Kota Bekasi memiliki area seluas ± 16.175.21 HA dengan
batas-batas :
1. Sebelah Barat dengan Wilayah DKI Jakarta.
2. Sebelah Utara dengan Kec. Tarumajaya dan Babelan.
4. Sebelah Selatan dengan Wilayah Kab. Bogor.
B.Visi Dan Misi Pengadilan Agama Bekasi2
Visi : “ Adalah berusaha menciptakan dan menghadirkan Pengadilan Agama Bekasi sebagai salah satu Judicial Power dalam melaksanakan tugas pokok dan kewenangannya sebagai Peradilan Negara yang sejajar dengan Peradilan lainnya serta bermartabat dan dihormati demi tegasnya hukum dan keadilan, ketertiban dan kepastian hukum ditengah masyarakat yang religius menuju terlaksananya
Syari’at Islam yang efektif.”
Misi : “ adalah optimalisasi peran, kedudukan dan kewenangan Pengadilan Agama
sebagai lembaga Peradilan resmi agar lebih mampu dalam memberikan pelayanan hukum dan keadilan terhadap masyarakat melalui putusan yang mencitrakan asas keadilan, kepastian hukum dan manfaat. Menghadirkan Pengadilan Agama sebagai Institusi Negara yang keberadaannya diterima sebagai milik masyarakat melalui pelayanan hukum aparatur yang berkualitas dalam penyelenggaran Peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan dan meningkatkan pemahaman kepada masyarakat fungsi dan tugas Pengadilan Agama sebagai salah satunya lembaga resmi dalam penyelesaian sengketa antara ummat Islam terutama dalam hal kasus rumah tangga sehingga masyarakat terhindar dari upaya proses penyelesaian perceraian secara dibawah tangan.”
2
C. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Bekasi Gambar 3.1
Struktur organisasi Pengadilan Agama Bekasi
Sumber: Subbag Umum Pengadilan Agama Bekasi
D.Daftar Jumlah Pejabat Pengadilan Agama Bekasi3
1. Daftar Jumlah Hakim Pengadilan Agama Bekasi
Jumlah Hakim Pengadilan Agama Bekasi yang telah memutus semua
perkara yang masuk pada Pengadilan Agama Bekasi dari tahun 2009-2011
yaitu sebanyak 15 (lima belas) hakim yang terdiri dari ketua, wakil, hakim
pratama utama serta hakim madya pratama.
3
Subbag Kepegawaian Pengadilan Agama Bekasi
HAKIM-HAKIM
KEPANITERAAN/KESEKRETARIATAN
WAKIL PANITERA WAKIL SEKRETARIAT
2. Daftar Jumlah Pegawai Pengadilan Agama Bekasi
Jumlah pegawai Pengadilan Agama Bekasi dari tahun 2009-2011 yaitu
sebanyak 27 pegawai yang terdiri dari Panitera / Sekretaris, Panitera Muda
Permohonan, Panitera Muda Gugatan, Panitera Muda Hukum, Kepala Sub
Bagian Kepegawaian, Kepala Sub Bagian Keuangan, Panitera Pengganti.
E.Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Bekasi4
Beberapa wilayah yang masuk ke dalam wilayah Yuridiksi Pengadilan
Agama Bekasi adalah sebagai berikut:
1. Kecamatan Pondok Gede,
2. Kecamatan Jati Sampurna,
3. Kecamatan Pondok Melati,
4. Kecamatan Jati Asih,
5. Kecamatan Bantar Gebang,
6. Kecamatan Mustika Jaya,
7. Kecamatan Bekasi Timur,
8. Kecamatan Rawa Lumbu,
9. Kecamatan Bekasi Selatan,
10. Kecamatan Bekasi Barat,
11. Kecamatan Medan Satria, dan
4
12. Kecamatan Bekasi Utara.
F. Daftar Jumlah Perkara Yang Di Putus Dari Tahun 2009-2011
Jumlah perkara yang telah di putus Pengadilan Agama Bekasi dari tahun
2009-2011 yaitu sebanyak 4.887. Perkara yang telah di putus terdiri atas:
Tabel 3.1
Jenis dan Jumlah Perkara Yang Di Putus Pengadilan Agama Bekasi 2009-2011
No. Jenis Perkara Jumlah
01 Perkawinan
Izin Poligami 10
Pencegahan perkawinan -
Penolakan Perkawinan -
Pembatalan Perkawinan 3
Kelalaian atas Kewajiban Suami -
Perceraian 3.322
Harta Bersama 27
Penguasaan Anak 4
Nafkah Anak Oleh Ibu -
Hak-Hak Bekas Istri -
Pengesahan Anak 3
Perwalian 13
Penolakan Kawin Campur -
Isbat Nikah 136
Izin Kawin -
Dispensasi Kawin 1
Wali Adhol 9
02 Kewarisan 30
03 Wasiat 1
04 Hibah -
05 Wakaf -
06 Shodaqoh -
07 Lain-Lain 120
Jumlah 4.887
Dari semua perkara yang telah di putus oleh Pengadilan Agama Bekasi dari
tahun 2009-2011, di antaranya terdapat perkara banding yaitu berjumlah 27
perkara. Adapun perkara banding tersebut terdiri atas: Penguasaan Anak, harta
bersama, dan kewarisan. Di lihat dari perkara yang telah di putus Pengadilan
Agama Bekasi bahwa perkara perceraian adalah yang paling banyak di terima dan