• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA PEMALSUAN IDENTITAS DALAM KASUS POLIGAMI (Analisis Putusan Nomor 1513/Pdt.G/2009/PA.BEKASI/

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA PEMALSUAN IDENTITAS DALAM KASUS POLIGAMI (Analisis Putusan Nomor 1513/Pdt.G/2009/PA.BEKASI/"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM KASUS POLIGAMI

( Analisis Putusan Nomor 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi )

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Yayah Lutfiyah

NIM : 107044100480

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGRI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)

(Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

untuk memenuhi persyaratan memperoleh

gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

oleh:

Yayah Lutfiyah

NIM: 107044100480

Dibawah bimbingan

Prof. Dr. H. M. Atho’ Mudzhar, MSPD. NIP:150077526

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(3)
(4)

Nama mahasiswa : Yayah Lutfiyah

NIM : 107044100480

Fakultas : Syariah dan Hukum

Jurusan/ Konsentrasi : Ahwal Syakhsiyyah

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri yang

merupakan hasil penelitian, pengolahan, dan analisis saya sendiri serta bukan

merupakan plagiat maupun saduran dari hasil kaya atau penelitian orang lain.

Apabila terbukti skripsi ini merupakan plagiat maka skripsi ini dianggap gugur

dan harus melakukan penelitian ulang untuk menyusun skripsi baru dan kelulusan

serta gelarnya dibatalkan.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala akibat yang timbul di kemudian

hari menjadi tanggung jawab saya.

Jakarta, 1 Juni 2011

(5)

iv

Segala puji dan syukur hanya milik Allah SWT yang senantiasa melimpahkan

kemudahan, petunjuk, rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis dalam menyusun dan

menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam selalu tercurah

kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, yang telah mengantarkan umatnya

menuju zaman yang beradab dan penuh pencerahan.

Skripsi dengan judul Pembatalan Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas

Dalam Kasus Poligami (Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi)

disusun guna memenuhi syarat dalam meraih gelar Sarjana Syariah pada Fakultas

Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi

ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan

skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan

skripsi dan juga telah membimbing penulis yaitu kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhamad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Drs., H. A. Basiq Djalil, SH, MA selaku Ketua Jurusan dan ibu Hj. Rosdiana,

MA., sebagai Sekertaris Jurusan Program Studi Ahwal Al-Syakhsyiah

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

(6)

3. Prof. Dr. H. M. Atho’ Mudzhar, MSPD, selaku dosen pembimbing yang sudah meluangkan waktunya untuk membimbing skripsi penulis untuk

menjadi lebih baik.

4. Pansek Pengadilan Agama Bekasi beserta jajaran pegawai Pengadilan Agama

yang telah membantu penulis dalam memperoleh data-data yang diperlukan

dalam penelitian.

5. Seluruh Dosen dan civitas akademik Fakultas Syariah dan Hukum, terima

kasih atas ilmu dan bimbinganya. Seluruh Staf Akademik, Jurusan, Kasubag

Keuangan dan Perpustakaan terima kasih atas bantuan dalam upaya

membantu mempelancar penyelesaian skripsi ini.

6. Ayahanda H. Abdul Hamid (Alm) dan Ibunda tercinta Hj. Rodemah atas

pengorbanan dan cinta kasihnya baik moril dan materill, serta doa yang tak

terhingga sepanjang masa untuk keberhasilan studi Penulis. Segala hormat

Penulis sembahkan.

7. Kakak dan adik-adikku tersayang, Robiatul Adawiyah, Humaidah, Ahmad

Syatirudin, Sulasatul Milati dan Ahmad Thantowi yang memberikan semangat

dan kehangatan di dalam keluarga serta Muhammad Syambuzi, terimakasih

atas pengorbanan baik moril maupun materil dan selalu setia menemani

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga kalian semua di berikan

kesehatan dan kesuksesan.

8. Teman-teman seperjuangan kelas Pengadilan Agama 2007 Laila Wahdah,

(7)

Syadhali, Riki Dian Saputra, dan lain-lain yang tidak penulis sebutkan

satu-persatu, yang telah banyak sedikitnya membantu, baik moril maupun materil,

dan semangat, semoga kesuksesan dan keberhasilan selalu menaungi dan

menyertai kita.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam

penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran

yang dapat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Harapan Penulis, semoga

skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi semua pihak yang

membacanya, Amin.

Ciputat, 13 Juni 2011

(8)

vii DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN LEMBAR PERSETUJUAN

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah... 6

C. Manfaat dan Tujuan Penelitian ... 8

D. Studi Review Terdahulu ... 9

E. Metodologi Penelitian ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II : PEMBATALAN PERKAWINAN A. Pengertian Pembatalan Perkawinan ... 15

B. Sebab Jatuhnya Pembatalan Perkawinan ... 21

C. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan ... 34

(9)

BAB III : DESKRIPSI PENGADILAN AGAMA BEKASI DAN DESKRIPSI KASUS PERKARA NO. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. BEKASI

A. Sejarah dan Letak Geografis Pengadilan Agama Bekasi ... 41

B. Visi Dan Misi Pengadilan Agama Bekasi ... 43

C. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Bekasi ... 44

D. Daftar Jumlah Pejabat Pengadilan Agama Bekasi ... 44

E. Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Bekasi ... 45

F. Daftar Jumlah Perkara Yang Di Putus Pengadilan Agama Bekasi ... 46

G. Deskripsi Kasus Perkara No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi 48 BAB IV : ANALISIS PUTUSAN NO. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi PERSPEKTIF HUKUM POSITIF A. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi Menurut Perspektif Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ... 60

B. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi Menurut Hukum Perdata Indonesia ... 68

(10)

BAB V : ANALISIS PUTUSAN NO. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi PERSPEKTIF HUKUM FIQH

A. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi

Menurut Madzhab Syafi’iyah ... 76 B. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi

Menurut Madzhab Hanafiyah ... 78

C. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi

Menurut Madzhab Malikiyah ... 80

D. Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi

Menurut Madzhab Hanibalah ... 81

BAB VI : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 84

B. Saran-Saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 90

(11)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam hukum Islam dikenal istilah nikah. Menurut ajaran Islam

melangsungkan pernikahan berarti melaksanakan ibadah. Melakukan perbuatan

ibadah berarti juga melaksankan ajaran agama, seperti hadits yang diriwayatkan

oleh Sunan Ibnu Madjah yang berbunyi:

“ barang siapa yang melaksanakan nikah berarti ia melaksanakan

separuh ajaran agamanya, yang separuh lagi hendaklah ia takwa kepada

Allah“.1

Demikian sunnah Qauliyah (sunnah dalam bentuk perkataan) Rasulullah.

Rasulullah memerintahkan orang-orang yang telah mempunyai kesanggupan,

menikah dan hidup berumah tangga karena perkawinan atau memeliharanya dari

melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah.2

Perkawinan memang merupakan salah satu subsistem dari kehidupan

beragama dan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat

1

Ali bin Ahmad bin Muhammad Al-Azizi, Al-Siraj Al-Munir Syarah Al-Jami’u Al-Shagir,

(Beirut: Dar Al-Fikr, 1405), Juz. 3, h. 347.

2

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta : Raja Grafindo

(12)

manusia. Dengan adanya perkawinan, rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina

sesuai dengan norma dalam tata kehidupan masyarakat. Melalui media

perkawinan yang merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang

wanita sebagai suami istri, esensi dan tujuan hidup berkeluarga ( rumah tangga )

barulah akan tercapai yaitu membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga yang

penuh barokah, tentram, damai, rukun bahagia dan kekal.3

Masalah perkawinan merupakan permasalahan yang sangat penting dalam

sudut pandang agama maupun negara. Oleh karena itu, meskipun masalah

perkawinan telah diatur secara komprehensif dalam agama Islam namun pada

tataran pelaksanaan kehidupan bernegara perlu adanya Undang-undang yang

mengcover kebutuhan ini supaya tidak terjadi kesalahan mekanisme dalam

pelaksanaan perkawinan dan perangkat-perangkat lainnya.

Apabila dilihat dari sudut pandang agama, perkawinan mengandung unsur

perbuatan ibadah yang pada dasarnya merupakan sunnah Allah dan Rasul Nya.

Jika melihat pada tujuan perkawinan yang membentuk keluarga bahagia yang

kekal, tujuan ini dapat dielaborasikan menjadi tiga hal :

1. Suami isteri saling membantu dan saling melengkapi

2. Masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan untuk

pengembangan tersebut suami isteri harus saling membantu

3

Chandra Sabtian Irawan, Perkawinan dalam Islam : Monogami atau Poligami ?, (

(13)

3. Tujuan terakhir yang ingin dicapai adalah keluarga bahagia yang sejahtera

spiritual dan material.4

Mengingat perkawinan bukan hanya sekedar hubungan antar individu

melainkan dapat merupakan perbuatan yang melibatkan orang lain yang pada

gilirannya akan menimbulkan hak dan kewajiban, maka pemerintah mencoba

mengakomodir dan mengatur pernikahan itu dengan lahirnya Undang-undang No.

1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam Undang-undang tersebut dinyatakan

bahwa “ perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dan wanita

sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga )

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5

Pada prinsipnya, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

berasaskan monogami yaitu suatu perkawinan dimana seorang pria hanya boleh

mempunyai satu orang isteri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang

suami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum agama

dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristri lebih dari

seorang dan meskipun hal ini dikehendaki oleh yang bersangkutan, hanya dapat

dilakukan apabila dipenuhinya berbagai persyaratan tertentu dan atas putusan izin

Pengadilan.6

4

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi

Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1 Tahun 1974 Sampai KHI, ( Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006 ), Cet Ke-3, h. 57.

5

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Himpunan Peraturan

Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, ( Jakarta : 2001 ), h. 131.

6

www.Legalitas.co.id, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pustaka

(14)

Meskipun pada prinsipnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan berasaskan monogami, akan tetapi Undang-Undang No. 1 tahun 1974

Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991)

sebenarnya menganut kebolehan Poligami walaupun terbatas hanya sampai empat

orang isteri saja. Kebolehan berpoligami tersebut memang tidaklah terlepas dari

berbagai persyaratan. Persyaratan-persyaratan seseorang dapat berpoligami yang

tercantum dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan

Kompilasi Hukum Islam memanglah sangat berat, sehingga menyebabkan orang

seringkali mengambil jalan pintas dengan melanggar Peraturan

Perundang-undangan yang berlaku. Banyak cara yang dilakukan seseorang agar dapat

berpoligami, salah satunya yaitu dengan cara memalsukan identitas dirinya.

Apabila persyaratan-persyaratan bagi seorang suami untuk beristeri lebih

dari seorang tidak terpenuhi, maka perkawinan yang baru dapat diajukan

pembatalannya ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat

berlangsungnya perkawinan atau tempat tinggal kedua suami isteri, ditempat

suami atau isteri. Hal ini telah dijelaskan dalam Undang-undang No. 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan (Pasal 24) yaitu bahwa diantara sebab-sebab

dilakukannya pembatalan perkawinan jika terdapat suami atau isteri yang masih

mempunyai ikatan perkawinan melakukan perkawinan tanpa seizin dan

sepengetahuan pihak lainnya. Pemikiran tersebut juga terdapat dalam Kompilasi

(15)

suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama ( Pasal 71 ).7 Alasan

tersebut dapat menjadi sebuah landasan hukum untuk melakukan tindakan hukum

yang berupa permohonan pembatalan perkawinan oleh isteri yang mengetahui

suaminya telah menikah dengan orang lain tanpa sepengetahuan dan izin darinya

pada Pengadilan Agama yang berwenang.

Poligami memang merupakan salah satu polemik dalam perkawinan yang

paling banyak dibicarakan sekaligus kontroversial. Satu sisi poligami ditolak

dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis

bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan gender. Akan tetapi, pada sisi lain

poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normatif yang tegas

dan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena

selingkuh dan prostitusi.

Perjalanan kehidupan berumah tangga memang tidaklah selalu berjalan

mulus dan sesuai dengan apa yang diharapkan. Berbagai alasan seseorang untuk

beristri lebih dari seorang diantaranya yaitu kurangnya perhatian dari pasangan

hidupnya, adanya indikasi perselingkuhan dan adakalanya hanya untuk

melampiaskan hawa nafsu semata. Kebanyakan dari orang yang melakukan

poligami tanpa izin dari pihak lain (pihak isteri) dikarenakan isteri mengetahui

bahwa tidak terdapat indikasi persyaratan seorang suami dapat melakukan

poligami yang terdapat dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan. Dengan demikian, tidak ada peluang bagi seorang suami untuk

7

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Reneka Cipta 1991 dan Inpres Ri No.1 Th 1991

(16)

melakukan poligami. Di Pengadilan Agama Bekasi terdapat kasus pembatalan

perkawinan poligami karena suami memalsukan identitas. Kajian pembatalan

perkawinan karena pemalsuan identitas dalam kasus poligami merupakan

fenomena yang menarik untuk dikaji.

Oleh karena itu, penulis mencoba melakukan penelitian terhadap

pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Bekasi dalam bentuk skripsi

dengan judul “PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA PEMALSUAN

IDENTITAS DALAM KASUS POLIGAMI ( Analisis Putusan Nomor 1513 / Pdt. G / 2009 / PA. BEKASI )”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat

diidentifikasikan sejumlah masalah sebagai berikut:

a. Pada dasarnya beberapa persyaratan bagi seseorang dapat melakukan

poligami sudah di jelaskan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam ( KHI ), akan tetapi

pada kenyataannya masih banyak orang yang melakukan poligami tidak

memenuhi persyaratan dalam Undang-undang tersebut.

b. Banyaknya cara yang dilakukan seseorang dalam melakukan poligami

agar dapat diakui keabsahan hukumnya, salah satunya yaitu dengan

(17)

2. Perumusan Masalah

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan

Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa untuk beristeri lebih dari seorang,

maka seseorang harus mendapatkan izin dari isteri pada umumnya dan izin

dari pengadilan pada khususnya, sehingga bagi seorang suami yang

melakukan poligami tanpa mengikuti aturan hukum yang ada maka

perkawinan yang baru dapat diajukan permohonan pembatalan perkawinan ke

Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya

perkawinan.

Sehubungan dengan permasalahan diatas dan untuk memudahkan

penulis dalam penulisan skripsi ini, maka rincian rumusan masalah skripsi ini

adalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

dan KHI yang mengatur hukum pembatalan perkawinan karena pemalsuan

identitas dalam kasus poligami, di terapkan oleh hakim Pengadilan Agama

Bekasi dalam putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi?

b. Apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara

pembatalan perkawinan tersebut dan bagaimana akibat hukum dari

pembatalan perkawinan itu?

c. Bagaimana kekuatan dan kelemahan pertimbangan hakim dalam putusan

(18)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini antara lain :

a. Untuk memberikan penerangan kepada masyarakat banyak bahwa

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI sudah

memberikan kejelasan hukum tentang seseorang yang beristeri lebih dari

satu orang yang tidak mematuhi aturan perundang-undangan.

b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara

pembatalan perkawinan tersebut dan akibat hukumnya

c. Untuk lebih memahami kekuatan dan kelemahan pertimbangan hakim

dalam masalah pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas di

tinjau dari hukum positif dan hukum fikih

2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini antara lain :

a. Manfaat Teoritis : untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang

hukum Islam, baik materiil maupun formil.

b. Manfaat Praktis : sebagai referensi bagi pencari keadilan serta

memberikan kejelasan pada masyarakat umunya tentang ketentuan hukum

(19)
(20)

Perkara No. 416/ Pdt. G/

Kajian penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan

menggunakan metode deskriptif analitis yaitu metode yang menggambarkan

dan memberikan analisa terhadap kenyataan dilapangan, sedangkan yang

dimaksud penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif yaitu

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu adalah

penelitian hukum yang dilakukan untuk mengkaji aturan hukum yang bersifat

mengutus baik tertulis maupun tak tertulis. Dalam hal ini objeknya ialah

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan sebuah putusan

(21)

a. Data Penelitian

1) Data Primer

Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan hakim Pengadilan

Agama Bekasi yang memutus perkara No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA.

Bekasi.

2) Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari hasil-hasil kajian hukum terhadap

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan

Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) terhadap putusan hakim Pengadilan

Agama Bekasi dalam perkara No. 1513 / Pdt. G / 2009 / PA. Bekasi

b. Teknik Pengumpulan Data

1) Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi terdiri dari bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder. Bahan hukum primer dalam skripsi ini adalah data

hasil wawancara dengan hakim Pengadilan Agama Bekasi yang

memutus perkara No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi. Sedangkan

bahan hukum sekundernya adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan, KHI dan amar putusan Pengadilan Agama

Bekasi yang telah berkekuatan hukum tetap serta buku-buku hukum

(22)

2) Interview atau Wawancara

Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data yang

dibutuhkan untuk menjawab semua permasalahan penelitian. Data

yang diperoleh dari wawancara ini akan disinergikan dengan data-data

yang diperoleh dari studi dokumentasi.

c. Teknik Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul diolah, dianalisis, dan diinterpretasikan

untuk dapat menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dengan

langkah-langkah sebagai berikut :

1) Seleksi Data : setelah memperoleh data dan bahan-bahan penelitian

baik melalui studi dokumentasi, maupun wawancara, lalu diperiksa

kembali satu persatu agar tidak terjadi kekeliruan.

2) Klasifikasi Data : setelah data dan bahan diperiksa lalu di

klasifikasikan dalam bentuk dan jenis tertentu, kemudian diambil

kesimpulan.

d. Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan adalah content analysist dan

analisis wacana. Dalam hal ini, setiap data akan dianalisis dari beberapa

sudut pandang. Data yang dianalisis merupakan data yang bersumber dari

sumber data, baik yang didapat melalui wawancara maupun studi

(23)

F. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran secara garis besar dan menyeluruh skripsi

ini disusun atas enam bab dan tiap-tiap bab dibagi menjadi beberapa sub bab

meliputi:

Bab pertama tentang Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang

Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,

Metodologi penelitian, Studi Review Terdahulu dan Sistematika Penulisan.

Bab kedua berisi tinjauan umum tentang Pembatalan Perkawinan karena

pemalsuan identitas, yang didalamnya membahas pengertian pembatalan

perkawinan, sebab-sebab terjadinya pembatalan dalam perkawinan menurut

perspektif fiqih, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan,

Kompilasi Hukum Islam serta akibat hukum pembatalan perkawinan.

Bab ketiga berisi tentang deskripsi Pengadilan Agama Bekasidan deskripsi

putusan Pengadilan Agama Bekasi No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi. Bab ini

terdiri atas dua bagian. Bagian pertama membahas sejarah dan letak geografis

Pengadilan Agama Bekasi, Visi dan Misi, struktur organisasi Pengadilan Agama

Bekasi, Jumlah perkara yang di putus Pengadilan Agama dri tahun 2009-2011

serta wilayah yuridiksi Pengadilan Agama Bekasi. Bagian kedua berisi deskripsi

kasus yang hendak di bahas dalam skripsi ini.

Bab keempat merupakan Analisis Putusan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA.

Bekasi menurut Perspektif Hukum Positif. Didalam bab ini penulis mengawalinya

(24)

Tentang Perkawinan, yang kedua penulis menganalisa putusan menurut Hukum

Perdata Indonesia (BW), kemudian yang terakhir penulis menganalisa putusan

menurut Kompilasi Hukum Islam.

Bab kelima berisi Analisis Pututsan No. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. Bekasi

Menurut Perspektif Hukum Fiqih. Di dalam bab lima ini penulis mengalisis

menurut pendapat imam-imam Madzhab, diantaranya yaitu: Madzhab

Syafi’iyyah, Madzhab Hanafiyyah, Madzhab Malikiyyah dan Madzhab

Hanabalah.

Bab keenam merupakan bab terahir dalam skripsi ini yang berisi

kesimpulan serta saran-saran. Dalam bab penutup ini penulis menyimpulkan

(25)

15

PEMBATALAN PERKAWINAN

A. Pengertian Pembatalan Perkawinan

Pengertian fasakh secara umum dapat dipahami sebagai memutuskan atau

membubarkan suatu ikatan pernikahan disebabkan suatu alasan yang telah di

tentukan oleh syara. Arti fasakh ialah merusak atau membatalkan ini berarti

bahwa perkawinan itu diputuskan atau dirusak atas permintaan salah satu pihak

oleh Pengadilan Agama.

Di dalam fikih, batalnya perkawinan disebut juga dengan fasakh. Yang

dimaksud fasakh, secara etimologi atau menurut bahasa adalah:

"Fasakhadalah merusak pekerjaan atau akad”1

Sedangkan secara terminology atau istilah syar’i, fasakh adalah

pembatalan akad perkawinan dan memutuskan tali perhubungan yang mengikat

antara suami dan istri.2

Menurut Ali Hasabillah, secara terminology fasakh adalah suatu yang

merusak akad (perkawinan) dan dia tidak dinamakan talaq.3

1

Firdaweri, hukum Islam Tentang Fasakh, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1989), Cet

Ke-1, hal. 52

2

(26)

Sayyid Sabiq menyatakan bahwa memfasakh akad nikah adalah

membatalkan dan melepaskan ikatan pertalian antara suami istri, fasakh dapat

terjadi karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada akad nikah atau karena

hal-hal lain yang datang membatalkan kelangsungan perkawinan.4

Adapun contoh fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi dalam

akad perkawinan adalah:

1. Setelah akad nikah ternyata istri adalah saudara susuan,

2. Suami istri masih kecil diakadkan setelah dewasa, ia berhak untuk

meneruskan ikatan perkawinanya dahulu itu atau mengakhirinya. Khiyar ini

disebut dengan khiyar baliq. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri,

hal ini disebut dengan fasakh akad.

Para ulama telah sepakat bahwa apabila salah satu pihak dari pasangan

suami istri mengetahui ada aib pada pihak lainnya sebelum aqad nikah dan ia

menerima secara tegas atau ada tanda yang menunjukan kerelaannya, maka hak

untuk meminta fasakh dengan alasan aib tersebut hilang.

Terdapat 8 (delapan) aib atau cacat yang membolehkan khiyar, yaitu:

Ali Hasabillah, al-furqan Baina Zaujani,( Kairo : Daarul fikr, 1949), cet ke 1, hal. 169.

4

(27)

menghalangi persetubuhan, dan tumbuh daging dalam kemaluan, atau basah

karena penyakit (keputihan) yang menyebabkan hilangnya kenikmatan

bersetubuh.5

Menurut ketentuan hukum Islam, siapa yang mengetahui dan melihat

akan adanya seseorang yang berkehendak untuk melangsungkan pernikahan,

padahal diketahui bahwa penikahan tersebut cacat hukum karena kurang syarat

dan rukun yang ditentukan, maka perkawinan tersebut wajib dicegah. Jika

pasangan suami istri mengetahuinya setelah akad nikah, maka pihak yang di

rugikan wajib mengajukan pembatalan perkawinan kepada instansi yang

berwenang.

Dalam literatur fikih tidak di kenal lembaga pencegah perkawinan akan

tetapi fikih Islam mengenal dua istilah yang berbeda walaupun hukumnya sama

yaitu nikah fasid dan nikah batil. Menurut Al-Jaziry6, nikah fasid adalah nikah

yang tidak memenuhi salah satu syarat dari syarat-syaratnya, sedangkan fasakh

atau nikah batil ialah nikah yang tidak memenuhi rukun nikah yang telah di

tetapkan oleh syara’. Hukum nikah dari kedua bentuk pernikahan itu adalah

sama-sama tidak sah dan harus di batalkan. Meskipun kedua hal tersebut menjadi

ikhtilaf para ulama dan para ahli hukum Islam, tetapi kedua hal ini nuansanya

tidak bisa di pisahkan dan sangat sulit di bedakan di antara keduanya.

5

Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Madzhab, ( Lentera Basretama, 1999 ), h. 351.

6

(28)

Ash Shan’ani7

mengemukakan bahwa nikah fasid itu tidak ada dalam

Al-Qur’an dan Al-Hadis, akan tetapi Ash Shan’ani mengemukakan bahwa pada

dasarnya dalam Syari’at Islam hanya ada nikah yang sah dan nikah yang bathil

saja, tidak ada nikah yang terletak di antara nikah sah dan nikah yang bathil itu.

Di kalangan mazhab Syafi’iyyah nikah fasid itu adalah akad nikah yang

di lakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi kurang salah satu

syarat yang di tentukan oleh syara’, sedangkan nikah batil adalah pernikahan

yang di laksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi

kurang salah satu rukun syara’. Menurut ahli hukum Islam mazhab Syafi’iyyah,

nikah fasid dapat terjadi dalam bentuk:

(1) pernikahan yang di laksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang

perempuan tetapi wanita tersebut dalam masa iddah laki-laki lain

(2) pernikahan yang dilaksanakan dalam masa istibro’ karena wathi syubhat

(3) pernikahan yang di laksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang wanita

tetapi perempuan tersebut di ragukan iddahnya karena ada tanda-tanda

kehamilan

Meskipun Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 hanya mengatur menyangkut

pembatalan saja, tetapi dalam praktik pelaksanaan undang-undang tersebut yang

7

Al-Imam Muhammad Ibn Ismail Al-Kahlani Ash Shan’ani, Subulus Salam, terjemahan Abu

(29)

menyangkut hal pembatalan perkawinan mencakup substansi dalam nikahul fasid

dan nikahul bathil

Apabila nikah fasid dan nikah batil di kaitkan dengan dengan fasakh,

maka fasakh adalah sesuatu yang dapat menyebabkan hubungan suami istri

berhenti, baik di hentikan oleh hakim maupun di hentikan dengan sendirinya di

karenakan di ketahui tidak terpenuhinya rukun dan syarat perkawinan. Dengan

demikian putusnya perkawinan dalam bentuk fasakh dapat terjadi karena adanya

kesalahan yang terjadi waktu akad atau adanya sesuatu yang terjadi kemudian

yang mencegah kelangsungan hubungan perkawinan itu.8

Bentuk kesalahan yang terjadi waktu akad:

a. Di ketahui kemudian bahwa suami istri itu ternyata mempunyai hubungan

nasab atau sepersusuan

b. ketika di kawinkan umurnya masih kecil (belum dewasa) dan tidak punya hak

pilih, tetapi setelah dewasa dia menyatakan pilihan untuk membatalkan

perkawinan

c. ketika akad nikah berlangsung suatu kewajaran, kemudian ternyata ada

penipuan, baik dari segi mahar atau pihak yang melangsungkan perkawinan

Bentuk kesalahan terjadi setelah berlangsungnya akad perkawinan:

a. Salah seorang murtad dan tidak mau di ajak kembali kepada Islam

b. Salah seorang mengalami cacat fisik yang tidak memungkinkan melakukan

hubungan suami istri

8

(30)

c. Suami terputus sumber nafkahnya dan si istri tidak sabar menunggu pulihnya

kehidupan ekonomi si suami.9

Menurut Al-Jaziri jika perkawinan yang telah dilaksanakan oleh

seseorang tidak sah karena kekhilafan dan ketidaktahuan atau tidak sengaja dan

belum terjadi persetubuhan, maka perkawinan tersebut perlu dibatalkan, yang

melakukan perkawinan tersebut tidak berdosa, jika terjadi persetubuhan maka itu

dipandang sebagai wathi’syubhat, tidak dipandang sebagai perzinahan. Jika

perkawinan yang di lakukan oleh seseorang sehingga perkawinan itu menjadi

tidak sah karena sengaja melakukan kesalahan memberikan keterangan palsu,

persaksian palsu, surat-surat palsu atau hal lain yang tidak sesuai dengan

ketentuan yang berlaku, maka perkawinan yang demikian itu wajib di batalkan. 10

Jadi, ada dua jenis pembatalan dari segi kapan berlakunya yaitu:

a. Berlaku surut

Apabila pada waktu di langsungkannya akad telah di ketahui sebab

yang dapat menyebabkan aqad tidak sah atau perkawinan yang di langsungkan

tidak memenuhi syarat atau rukun perkawinan yang telah di tentukan oleh

syara.

b. Tidak berlaku surut

Pembatalan yang tidak berlaku surut yaitu apabila sebab yang dapat

membatalkan aqad di ketahui setelah berlangsungnya perkawinan, dengan

9

Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqh, Cet Ke-2, h. 134.

10

(31)

begitu aqadnya tetap di anggap sah. Seperti contoh setelah perkawinan telah

berlangsung, salah satu dari pasangan suami istri keluar dari Islam atau

murtad, dengan begitu akadnya tetap di anggap sah.

B.Sebab Jatuhnya Pembatalan Perkawinan 1. Perspektif fiqh

Fiqh Islam mengenal dua istilah yang berbeda kendati hukumnya sama,

yaitu nikah al-fasid dan nikah al-batil. Nikah fasid adalah nikah yang tidak

memenuhi salah satu syarat dari syarat-syaratnya, sedangkan nikah batil,

apabila tidak terpenuhi rukun-rukunnya. Hukum nikah fasid dan batil adalah

sama-sama tidak sah. Batalnya perkawinan menurut fiqih Islam antara lain

disebabkan oleh 2 (dua) hal, yaitu: pertama, karena tidak terpenuhi rukun

perkawinan dan atau karena tidak terpenuhi syarat perkawinan dan kedua,

karena adanya sebab lain setelah perkawinan berlangsung. Pembatalan

dimaksud dikenal dengan istilah “fasakh”.11

Menurut pendapat kalangan madzhab Syafi’iyyah diantara perceraian di

sebabkan fasakh yaitu di sebabkan seorang suami berat memberikan maskawin

( sebelum di pergauli ), nafkah, tempat tinggal, dan pakaian, seorang istri

terdapat cacat ( dari kemaluannya), di sebabkan akad nikah yang fasid, dan

tidak sekufu. Kalangan madzhab Malikiyyah berpendapat bahwa di antara sebab

11

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Kencana, 2006), Cet

(32)

yang dapat di fasakh yaitu di sebabkan akad nikah yang fasid, nikah sirri,

menikah tanpa wali, putusan hakim dengan talaq ba’in dalam perceraian ) baik

di ceraikan atas putusan hakim atau atas perintah Istri). Menurut kalangan

madzhab Hanafiyyah di antara sebab yang dapat mengakibatkan fasakh yaitu

salah satu dari suami atau istri meninggalkan tempat peperangan ke Negara

Islam yang aman, karena fakta yang menyebabkan akad nikah fasid, dan salah

satu dari suami atau istri kafir, sedangkan menurut kalangan mazdhab

Hanabilah di antara sebab yang dapat menyebabkan fasakh yaitu seorang suami

tidak sanggup memberikan maskawin (sebelum di pergauli), nafkah, tempat

tinggal, dan pakaian, dan salah satu dari suami atau istri kafir.12

Adapun dalam hal fasakhnya suatu pernikahan di sebabkan karena

adanya cacat pada wanita yang di nikahi, dalam hal ini istri tetap berhak

mendapatkan mahar. Hal tersebut sesuai dengan hadis Sayyidina Umar yang

berbunyi:13

Umar bin Khattab berkata “laki-laki mana saja yang mengawini seorang

perempuan dan bergaul dengannya, lalu menemukan pada istrinya itu mengidap

12

Lihat Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Juz IV ( Beirut : Dar al-Fikr ), h. 372.

13

(33)

penyakit sopak, gila atau kusta, maka berikanlah maharnya karena telah bergaul

dengannya )artinya setelah keduanya dipisahkan(”.

Penjelasan dari hadis tersebut bahwa laki-laki yang telah memfasakh

perkawinannya karena terdapat cacat pada istrinya tetap wajib membayar mahar

karena suami tersebut harus bertanggung jawab terhadap walinya, meskipun

sudah tertipu di dalam pernikahannya dan pernikahannya dapat di fasakh sesuai

dengan apa yang di tetapkan dalam aturan fasakh.14

Akan tetapi apabila seorang suami tertipu dengan sifat wanita yang

dinikahinya tersebut, seperti tertipu karena keperawanannya, ternyata wanita

tersebut tidak perawan, wanita tersebut mengaku muslim, ternyata wanita

tersebut bukan muslim, mengaku merdeka, dan mengaku bukan senasab tetapi

ternyata berbeda dengan kenyataannya, maka para ahli fiqih berbeda pendapat

dalam hal tersebut kecuali madzhab Hanafiyyah. Menurut pendapat Madzhab

Syafi’iyyah yaitu jika seorang laki-laki akan menikahi seorang perempuan, di

syaratkan sebelum atau di saat akad meneliti sifat wanita tersebut, seperti jelas

keislamannya, atau jelas nasabnya, dan jelas status kemerdekaannya. Apabila

setelah akad ternyata diketahui berbeda dengan kenyataannya, menurut qaul

yang lebih sahih pernikahannya tetap di anggap sah. Begitu pula menurut

Madzhab Hanabilah yaitu apabila seorang laki-laki menipu seorang wanita

dengan sesuatu yang merusak akad, seperti perkara sekufu, kemerdekaannya,

14

(34)

keturunannya, maka bagi istri berhak untuk memilih antara fasakh atau tetap

berlangsung. Menurut pendapat Madzhab Hanafiyah yaitu tidak di bolehkan

adanya perceraian karena salah satu dari kedua suami istri tertipu oleh sifat dari

salah satu kedua suami istri tersebut kecuali terdapat cacat yang dapat

menyebabkan suami istri susah untuk bersenggama.15

Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa putusnya akad meliputi fasakh

dan infisakh, hanya saja munculnya fasakh terkadang bersumber dari kehendak

sendiri, keridhaan dan terkadang berasal dari putusan hakim, sedangkan

infisakh muncul karena adanya peristiwa alamiah yang tidak memungkinkan

berlangsungnya akad.16

Sedangkan Sayyid Sabiq17 menggunakan istilah mem-fasakhakad nikah

yang berarti membatal-kannya dan melepaskan ikatan pertalian antara suami

isteri. Fasakh dapat terjadi karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi pada akad

nikah atau karena hal lain yang datang kemudian dan dapat membatalkan

kelangsungan perkawinan. Sayid Sabiq menambahkan bahwa fasakh itu terbagi

kepada dua macam, yaitu: pertama, fasakh yang berkehendak kepada keputusan

hakim, jika kondisi penyebab fasakh masih samar-samar dan kedua, fasakh

yang tidak berkehendak kepada keputusan hakim, jika kondisi penyebab

fasakh-nya jelas.

(35)

Berdasarkan pendapat Sayyid Sabiq tersebut, maka pembatalan

perkawinan (fasakh) dapat dibedakan sebagai berikut:

a. Dilihat dari sisi sebab pembatalannya, terdiri dari:

1) Sebab yang telah ada pada saat perkawinan dilangsungkan, contohnya

perkawinan dilangsungkan tidak memenuhi rukun dan/atau syarat

perkawinan.

2) Sebab yang terjadi setelah akad perkawinan berlangsung, contohnya

setelah perkawinan berlangsung, salah satu dari suami atau isteri murtad.

b. Dilihat dari kewenangan pembatalannya, terdiri dari:

1) Pembatalan perkawinan melalui keputusan hakim, berarti suami isteri

tidak dibolehkan membatalkannya tanpa ada keputusan hakim, hal ini

dilakukan jika alasan yang dapat membatalkan perkawinan masih

samar-samar, contohnya karena isteri masih belum memeluk agama Islam,

sedangkan suaminya sudah. Ada kemungkinan, setelah perkara dibawa ke

pengadilan, isterinya mau memeluk agama Islam.

2) Pembatalan perkawinan yang tidak harus melalui keputusan hakim,

berarti suami isteri dapat langsung membatalkannya tanpa harus

menunggu keputusan hakim, hal ini dilakukan jika alasan yang

membatalkan perkawinan sudah jelas, seperti karena terdapat halangan

perkawinan di antara mereka disebabkan hubungan nasab atau sesusuan,

(36)

Dasar hukum Putusnya hubungan perkawinan dengan cara fasakh ini,

antara lain adalah:

a. Firman Allah SWT dalam surah An-Nisa Ayat 23 yang berbunyi :

yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak-anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

b. Dalam hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud,

yang berbunyi:

(37)

Artinya: “Dan dari Abdurraman bin Hurmuz Al-A’raj sesungguhnya Abbas bin Abdullah bin Abbas tela mengawinkan Abdurahmnan bin Hakam dengan anak putrinya dan sebaliknya Abdurahman mengawinkan Abbas dengan anak putrinya dan mereka berdua menjadikan tukar menukar itu sebagai maharnya kemudian Muawiyah bin Abi Sufyan mengirim surat kepada Marwan bin Hakam yang isinya menyuruh Marwan agar menceraikan antara mereka berdua, seraya berkata dalam suratnya itu inilah nikah syigar yang di

larang oleh Rasulullah SAW.” (HR ahmad dan abu daud).18

c. Dalam Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Hakim, yang berbunyi:

دْي ْنع

Artinya: “ Hadits dari Zaid bin Ka’ab bin „Ujrah dari bapaknya dia berkata:

Rasulullah SAW mengawini seorang wanita dari bani Ghafar. Ketika Rasul hendak bersetubuh dengannya, wanita itu membuka pakaiannya. Rasul melihat warna putih di rusuknya. Lantas Rasul berkata: Pakailah pakaianmu dan pergilah kerumah orang tuamu, dan Rasul memberinya mahar.” (HR. Hakim).19

2. Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Di dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tidak secara tegas dinyatakan

adanya lembaga nikahul fasid dalam hukum perkawinan di Indonesia. Akan

tetapi dalam praktik pelaksanaan undang-undang tersebut yang menyangkut hal

pembatalan perkawinan mencakup substansi dalam nikahul fasid dan nikahul

bathil. Dalam pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

18

Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad, Juz. 34, h. 216, Hadis Ke-16253

19

(38)

Perkawinan dinyatakan bahwa pernikahan dapat dibatalkan apabila para pihak

tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Dalam penjelasannya kata “ dapat “ dalam pasal ini adalah bisa batal

bilamana menurut ketentuan hukum agamanya tidak menentukan lain.20

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa suatu perkawinan yang dilaksanakan

oleh seseorang dapat menjadi batal demi hukum dan dapat dibatalkan oleh

hakim apabila cacat hukum dalam pelaksanaannya. Pengadilan Agama dapat

membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang

berkepentingan.

Istilah dapat dibatalkan dalam Undang-Undang ini berarti dapat

difasidkan, sehingga bersifat relative neitig. Dengan demikian perkawinan

dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan

karena adanya pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu.21

Menurut M. Yahya Harahap,22 secara teoritis Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut prinsip bahwa tidak ada suatu

perkawinan yang dianggap sendirinya batal menurut hukum ( van

rechtswegwnietif ) sampai ikut campur tangan Pengadilan. Hal ini dapat

20

Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Kencana, 2004), Cet Ke-1,

h. 106.

21

Martiman Prodjohamidjodjo, Hukum Perkawinan Indonesia, ( Jakarta : Indonesia Legal

Center Publishing, 2002 ), h. 25.

22

(39)

diketahui dalam pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, dimana

dikatakan bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputus oleh

Pengadilan.

Secara sederhana ada dua sebab terjadinya pembatalan perkawinan.

Pertama, pelanggaran prosedural perkawinan. Kedua, pelanggaran terhadap

materi perkawinan. Misalnya perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman,

terjadi salah sangka mengenai calon suami dan isteri.23

Pihak-pihak yang berhak melakukan pembatalan perkawinan dalam

Undang-Undang Perkawinan yaitu:

1. Keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke bawah dari masing-masing pihak

(Pasal 23 huruf a)

2. Suami istri itu sendiri (Pasal 23 huruf b)

3. Jaksa (Pasal 23 huruf c ayat (1) jo. Pasal 16)

4. Pejabat tertentu (Pasal 23 huruf d jo Pasal 16)

5. Setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap

perkawinan tersebut (Pasal 23 huruf c)

3. Perspektif Hukum Perdata Indonesia

Didalam hal seseorang tidak mengindahkan akan ketentuan-ketentuan

undang-undang tentang perkawinan dan pelangsungan perkawinan, dengan

23

Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Prenada Media, 2004 ), h.

(40)

begitu adanya dua macam akibat hukum yaitu kebatalan karena hukum atau

kemungkinan pernyataannya batal oleh hakim atas permohonan pihak-pihak

yang bersangkutan.24

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) dengan jelas

disebutkan pada pasal 85 yaitu:

Kebatalan suatu perkawinan hanya dapat dinyatakan oleh hakim.

Mengenai pembatalan dalam perkawinan yang terdapat dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata yaitu di jelaskan dalam pasal 85-99.25 Adapun

bunyi dari pasal 85-99 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Suatu

perkawinan dapat di batalkan dengan alasan-alasan sebagai berikut:26

1. Karena adanya perkawinan rangkap (poligami)

2. karena tidak ada persetujuan yang bebas di antara para pihak

3. karena salah satu pihak di anggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum

4. karena salah satu pihak atau masing-masing pihak belum mencapai umur

yang di tentukan menurut Undang-Undang dan belum mendapat izin

5. karena adanya larangan perkawinan

6. karena perkawinan yang di langsungkan akibat dari suatu hubungan zina

(overspell)

24

H.F.A. Volmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, ( Jakarta: Rajawali, 1992 ), Cet Ke-3, h.

60.

25

Lihat, Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 22.

26

Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta

(41)

7. karena tidak adanya izin dari pihak yang berkepentingan, antara lain orang

tua dan wali.

Dalam hal perkawinan rangkap (poligami), pihak yang berwenang

melakukan permohonan pembatalan perkawinan adalah:

1. Suami atau istri dari perkawinan yang pertama

2. Suami atau istri dari perkawinan yang kedua

3. Jaksa

Dalam hal perkawinan yang dilangsungkan oleh pihak-pihak yang di

anggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum, permohonan pembatalan

perkawinan dapat di lakukan oleh:

1. Orang tua

2. Keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke samping

3. Curator

Untuk melakukan pembatalan perkawinan harus dilakukan dengan

mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negri yang daerah hukumnya

meliputi tempat dilangsungkannya perkawinan tersebut. Pembatalan

perkawinan tersebut baru terjadi setelah dinyatakan dalam putusan Pengadilan

yang telah in Kracht van gewijsde.27

27

(42)

4. Perspektif kompilasi Hukum Islam

Mengenai sebab batalnya perkawinan dan permohonan pembatalan

perkawinan di Indonesia, Kompilasi Hukum Islam secara rinci menjelaskan

sebagai berikut :

Dalam pasal 70 dijelaskan bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan

apabila :

a. Suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad

nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun satu dari

keempat isterinya itu dalam iddah talak raj’i

b. Seseorang menikahi isterinya yang telah dili’annya

c. Seseorang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak

olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain

yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis

masa iddahnya.

d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah,

semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan

menurut pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, yaitu :

1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas.

2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara

saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang

(43)

3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah

tirinya.

4) Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara

sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.

e. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri

atau isteri-isterinya.28

Sedangkan pasal 71 KHI menjelaskan tentang aturan dimana suatu

perkawinan dapat dibatalkan apabila seorang suami melakukan poligami tidak

mendapatkan izin dari Pengadilan Agama.

Di dalam pasal 72 KHI dijelaskan bahwa perkawinan dapat dibatalkan

apabila:

1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan

perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang

melanggar hukum

2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan perkawinan apabila

pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka

salah sangka mengenai calon suami atau istri.

Selanjutnya berkenaan dengan pihak-pihak yang dapat membatalkan

perkawinan diatur dalam pasal 73, yaitu :

28

(44)

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah dari suami

atau isteri,

b. Suami atau isteri,

c. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun

dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan

perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.

C.Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan

Pembicaraan pembatalan perkawinan bahwa perkawinan itu sebelumnya

telah berlangsung dan akibat dari perkawinan tersebut menghasilkan anak dan

harta bersama.29

Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal

28 ayat (2) dinyatakan :

Keputusan tidak berlaku surut terhadap :

1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

2. Suami atau isteri yang bertindak dengan beritikad baik, kecuali terhadap harta

bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan adanya perkawinan lain yang

lebih dahulu.

29

Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, ( Jakarta: Prenada Media, 2004 ), h.

(45)

3. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam huruf a dan b sepanjang

mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang

pembatalan mempunyai kekuatan hokum tetap.

Sedangkan menurut KHI seperti yang terdapat pada pasal 75, dijelaskan

keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap :30

1. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami isteri murtad;

2. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

3. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik,

sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum

yang tetap.

Sedangkan dalam pasal 76 KHI dinyatakan :

“Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak

dengan orang tuanya.”

Dalam fiqih dijelaskan akibat hukum dari pembatalan perkawinan di

antaranya yaitu yang dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili, yakni:

1. Apabila telah sempat bersenggama, maka senggama itu tidak di anggap zina

selama benar-benar tidak mengetahui bahwa perbuatan itu haram baginya, dan

oleh karena itu tidak dikenakan hukum dera seratus kali bagi yang masih

belum pernah menikah dan tidak pula hukuman rajam bagi yang sudah pernah

menikah

30

(46)

2. Wajib membayar mahar wanita seperti yang di sepakati, dan kalau belum ada

kesepakatan tentang jumlahnya maka harus membayar jumlah yang layak

baginya

3. Ibu wanita haram bagi laki-laki menikahinya karena sudah di anggap sebagai

mertuanya,

4. Jika senggama itu menghasilkan anak, maka anak itu di akui sebagai anak

ayahnya, baik hal yang menyebabkan batalnya itu di sepakati maupun di

perselisihkan.31

Dari penjelasan pasal-pasal diatas dapat ditarik suatu kesimpulan tentang

akibat hukum dari pembatalan perkawinan adalah sebagai berikut :

1. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang dibatalkan adalah anak sah dan

merupakan tanggung jawab orang tua dalam pemeliharaannya, kecuali

pembatalan perkawinan atas dasar kesengajaan para pihak, karena perkawinan

yang tidak sah karena unsur kesengajaan anak hanya mempunyai hubungan

nasab dengan ibunya.

2. Penyelesaian terhadap harta bersama yang didapat dalam perkawinan yang

dibatalkan atas dasar adanya ikatan perkawinan yang lebih dahulu atau

poligami aturan hukumnya belum jelas. Sedangkan terhadap harta bersama

yang didapat dalam perkawinan diselesaikan menurut hukumnya

masing-masing, baik menurut hukum agama, hukum adat atau hukum lainnya.

31

Satria Efendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, ( Jakarta: Kencana,

(47)

D.Pembatalan Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas

Pemalsuan identitas atau biasa disebut dengan manipulasi identitas terdiri

dari dua suku kata yakni manipulasi dan identitas. Manipulasi merupakan kata

serapan yang berasal dari bahasa Inggris yaitu manipulation yang berarti “

penyalahgunaan atau penyelewengan “.32

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahsa

Indonesia, manipulasi diartikan sebagai “ upaya kelompok atau perseorangn untuk

mempengaruhi perilaku sikap dan pendapat orang lain tanpa orang itu

menyadarinya. “33

Definisi identitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung arti

ciri-ciri, keadaan khusus seseoroang, jati diri. Definisi lain dari identitas yakni

persamaan, tanda-tanda, ciri-ciri.34

Jadi, dapat disimpulkan manipulasi identitas dalam perkawinan adalah

suatu upaya penyelewengan atau penyimpangan yang dilakukan seseorang untuk

memalsukan data-data baik berupa status, tanda-tanda, ciri-ciri maupun keadaan

khusus seseorang atau jati diri yang dinilai sebagai suatu tindak pidana berupa

kebohongan kepada pejabat negara yang tujuannya untuk bisa melangsungkan

perkawinan.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 712.

34

(48)

Manipulasi identitas terdiri dari berbagai macam diantaranya adalah

manipulasi nama, usia, alamat, agama bahkan status.

Ada beberapa penyebab terjadinya manipulasi identitas dalam perkawinan,

yaitu:

1. Sikap mental buruk pelaku yang pada dasarnya ingin mengeruk keuntungan

sebanyak-banyaknya hanya unuk kepentingan diri sendiri

2. Masih kurangnya pengetahuan sebagian anggota masyarakat tentang

perkawinan berikut peraturan pelaksanaannya dan peraturan

perundang-undangan lainnya yang berlaku serta hukum munakahat.

3. Masih kurangnya tertib pelaksanaan administrasi NTCR, akibat kurangnya

pengetahuan dan kemampuan teknis para petugas atau Pegawai Pencatat Nikah

(PPN) dan wakilnya.

4. Kurang mantapnya koordinasi diantara pejabat/petugas pelaksana NTCR yang

berwenang menanganinya.

5. Belum sepenuhnya diterapkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya, termasuk hukum munakahat belum

merata dikalangan masyarakat dan instansi-instansi yang mengakibatkan

kurangnya hukum.35

35

(49)

6. Adanya keinginan untuk berpoligami tanpa harus diketahui oleh isterinya dan

untuk memudahkannya tanpa harus meminta izin dari Pengadilan Agama.36

Salah satu faktor perkawinan itu dapat dibatalkan apabila terjadi adanya

pemalsuan identitas terhadap diri suami atau istri yang melangsungkan

perkawinan. Pemalsuan identitas tersebut dapat berupa pemalsuan status, usia

maupun agama. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

mengatur pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas yaitu pada pasal 27

yang berbunyi:

1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan

perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang

melanggar hukum

2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan

perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah

sangka mengenai diri suami atau istri.

Sedangkan dalam Hukum Perdata Indonesia (BW) mengingat perkawinan

merupakan suatu perikatan, maka suatu perikatan dapat di batalkan apabila salah

satu dari para pihak yang melakukan perikatan tersebut melakukan penipuan maka

perikatan tersebut dapat dibatalkan. Hal ini sesuai dengan pasal 1449 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi:

“perikatan-perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan atau

penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya.”

36

(50)

Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur tentang pembatalan

perkawinan karena pemalsuan identitas, yaitu sesuai dengan pasal 72 yang

berbunyi:

1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan

perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang

melanggar hukum

2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila

pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka

(51)

41

DESKRIPSI PENGADILAN AGAMA BEKASI DAN KASUS PERKARA NO. 1513/ Pdt. G/ 2009/ PA. BEKASI

A.Sejarah Dan Letak Geografis Pengadilan Agama Bekasi1

Pengadilan Agama Bekasi sesuai dengan tugas dan kewenangannya yaitu

bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di

tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan,

warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodaqoh dan ekonomi syari’ah

dan tugas dan kewenangan lain yang diberikan oleh atau berdasarkan

Undang-undang. Sebagai salah satu lembaga yang melaksanakan amanat Undang-Undang

No. 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam

melaksanakan tugasnya guna menegakkan hukum dan keadilan harus memenuhi

harapan dari para pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang

sederhana, cepat, tepat, dan biaya ringan, hal mana Pengadilan Agama Bekasi

sebagai pelaksana Visi dan Misi Mahkamah Agung RI yang menjabarkan oleh

Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, yaitu: Visi “Terwujudnya putusan

yang adil dan berwibawa, sehingga kehidupan masyarakat menjadi tenang, tertib

dan damai di bawah lindungan Allah SWT” dan Misi : “Menerima, memeriksa,

mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh umat Islam.

1

(52)

Indonesia di bidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah,

shodaqoh dan ekonomi syari’ah, secara cepat, sederhana dan biaya ringan”.

Institusi Pengadilan agama Bekasi terbentuk pada tahun 1950 yang

berkantor di Jl. Is Sirait Kampung Melayu Jatinegara dengan ketua Rd. H. Abu

Bakar kemudian terjadi pemekaran yaitu terbentuk Kabupaten Bekasi juga wilayah

hukumnya di pindah ke Kabupaten Bekasi. Seiring waktu wilayah Walikotamadya

Dati II Bekasi dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 9 tahun 1996 tanggal 19

Desember 1996 yang sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Bekasi, pada

tahun 1998 berdasarkan KEPRES No. 145 tahun 1998di bentuk Pengadilan

Agama Kabupaten Bekasi yang dikenal Pengadilan Agama Cikarang sebagai

konsekuensi atas pembentukan Walikotamadya tersebut, dimana wilayah hukum

Pengadilan Agama Bekasi yang semula meliputi Kabupaten dan Kotamadya sejak

diresmikannya Pengadilan Agama Cikarang hanya meliputi wilayah Kotamadya

Bekasi saja. Gedung Pengadilan Agama Bekasi saat ini terletak di Jl. Ahmad Yani

No. 10 Bekasi Telp. (021) 8841880 Kode Pos 17141 dengan Letak Geografis

Posisi antara 106°55' - Bujur Timur dan antara 6°7 - 6° 15' Lintang Selatan dengan

memiliki markaz Kiblat 64° 51' 29° 87'' dari Utara ke Barat atau 25° 08' 30 13''

dari Barat ke Utara. Kota Bekasi memiliki area seluas ± 16.175.21 HA dengan

batas-batas :

1. Sebelah Barat dengan Wilayah DKI Jakarta.

2. Sebelah Utara dengan Kec. Tarumajaya dan Babelan.

(53)

4. Sebelah Selatan dengan Wilayah Kab. Bogor.

B.Visi Dan Misi Pengadilan Agama Bekasi2

Visi : “ Adalah berusaha menciptakan dan menghadirkan Pengadilan Agama Bekasi sebagai salah satu Judicial Power dalam melaksanakan tugas pokok dan kewenangannya sebagai Peradilan Negara yang sejajar dengan Peradilan lainnya serta bermartabat dan dihormati demi tegasnya hukum dan keadilan, ketertiban dan kepastian hukum ditengah masyarakat yang religius menuju terlaksananya

Syari’at Islam yang efektif.”

Misi : “ adalah optimalisasi peran, kedudukan dan kewenangan Pengadilan Agama

sebagai lembaga Peradilan resmi agar lebih mampu dalam memberikan pelayanan hukum dan keadilan terhadap masyarakat melalui putusan yang mencitrakan asas keadilan, kepastian hukum dan manfaat. Menghadirkan Pengadilan Agama sebagai Institusi Negara yang keberadaannya diterima sebagai milik masyarakat melalui pelayanan hukum aparatur yang berkualitas dalam penyelenggaran Peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan dan meningkatkan pemahaman kepada masyarakat fungsi dan tugas Pengadilan Agama sebagai salah satunya lembaga resmi dalam penyelesaian sengketa antara ummat Islam terutama dalam hal kasus rumah tangga sehingga masyarakat terhindar dari upaya proses penyelesaian perceraian secara dibawah tangan.”

2

(54)

C. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Bekasi Gambar 3.1

Struktur organisasi Pengadilan Agama Bekasi

Sumber: Subbag Umum Pengadilan Agama Bekasi

D.Daftar Jumlah Pejabat Pengadilan Agama Bekasi3

1. Daftar Jumlah Hakim Pengadilan Agama Bekasi

Jumlah Hakim Pengadilan Agama Bekasi yang telah memutus semua

perkara yang masuk pada Pengadilan Agama Bekasi dari tahun 2009-2011

yaitu sebanyak 15 (lima belas) hakim yang terdiri dari ketua, wakil, hakim

pratama utama serta hakim madya pratama.

3

Subbag Kepegawaian Pengadilan Agama Bekasi

HAKIM-HAKIM

KEPANITERAAN/KESEKRETARIATAN

WAKIL PANITERA WAKIL SEKRETARIAT

(55)

2. Daftar Jumlah Pegawai Pengadilan Agama Bekasi

Jumlah pegawai Pengadilan Agama Bekasi dari tahun 2009-2011 yaitu

sebanyak 27 pegawai yang terdiri dari Panitera / Sekretaris, Panitera Muda

Permohonan, Panitera Muda Gugatan, Panitera Muda Hukum, Kepala Sub

Bagian Kepegawaian, Kepala Sub Bagian Keuangan, Panitera Pengganti.

E.Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Bekasi4

Beberapa wilayah yang masuk ke dalam wilayah Yuridiksi Pengadilan

Agama Bekasi adalah sebagai berikut:

1. Kecamatan Pondok Gede,

2. Kecamatan Jati Sampurna,

3. Kecamatan Pondok Melati,

4. Kecamatan Jati Asih,

5. Kecamatan Bantar Gebang,

6. Kecamatan Mustika Jaya,

7. Kecamatan Bekasi Timur,

8. Kecamatan Rawa Lumbu,

9. Kecamatan Bekasi Selatan,

10. Kecamatan Bekasi Barat,

11. Kecamatan Medan Satria, dan

4

(56)

12. Kecamatan Bekasi Utara.

F. Daftar Jumlah Perkara Yang Di Putus Dari Tahun 2009-2011

Jumlah perkara yang telah di putus Pengadilan Agama Bekasi dari tahun

2009-2011 yaitu sebanyak 4.887. Perkara yang telah di putus terdiri atas:

Tabel 3.1

Jenis dan Jumlah Perkara Yang Di Putus Pengadilan Agama Bekasi 2009-2011

No. Jenis Perkara Jumlah

01 Perkawinan

Izin Poligami 10

Pencegahan perkawinan -

Penolakan Perkawinan -

Pembatalan Perkawinan 3

Kelalaian atas Kewajiban Suami -

Perceraian 3.322

Harta Bersama 27

Penguasaan Anak 4

Nafkah Anak Oleh Ibu -

Hak-Hak Bekas Istri -

Pengesahan Anak 3

(57)

Perwalian 13

Penolakan Kawin Campur -

Isbat Nikah 136

Izin Kawin -

Dispensasi Kawin 1

Wali Adhol 9

02 Kewarisan 30

03 Wasiat 1

04 Hibah -

05 Wakaf -

06 Shodaqoh -

07 Lain-Lain 120

Jumlah 4.887

Dari semua perkara yang telah di putus oleh Pengadilan Agama Bekasi dari

tahun 2009-2011, di antaranya terdapat perkara banding yaitu berjumlah 27

perkara. Adapun perkara banding tersebut terdiri atas: Penguasaan Anak, harta

bersama, dan kewarisan. Di lihat dari perkara yang telah di putus Pengadilan

Agama Bekasi bahwa perkara perceraian adalah yang paling banyak di terima dan

Gambar

Gambar 3.1 Struktur organisasi Pengadilan Agama Bekasi
Tabel 3.1 Jenis dan Jumlah Perkara Yang Di Putus Pengadilan Agama Bekasi 2009-2011
Tabel 4.1 Daftar Perkara Pembatalan Perkawinan Se-Jawa Tengah
 Tabel 4.2  Landasan Hukum Atau Rujukan

Referensi

Dokumen terkait

Menyatakan bahwa skripsi saya berjudul “KRITIK SOSIAL DAN NILAI MORAL DALAM NOVEL NEGERI DI UJUNG TANDUK KARYA TERE LIYE SERTA RELEVANSINYA DENGAN PEMBELAJARAN

Penelitian yang dilakukan meliputi; proyeksi kebutuhan air penduduk Kecamatan Mandor hingga tahun 2037, analisis kualitas air sumber air baku yang ditinjau, analisis

yang berbuat salah secara adat istiadat itu tidak hadir dan mengikuti pelaksanaan tradisi Batimbang Salah maka oknum tersebut dan seluruh anggota keluarganya

Pengertian sistem menurut para ahli.. Diperoleh

Menurut Herzberg seandainya kondisi lingkungan yang baik dapat menciptakan prestasi yang tinggi, Kondisi lingkungan kerja yang baik dan nyaman akan dapat meningkatkan

Tujuan tugas akhir kali ini yaitu merancang dan membuat sebuah aplikasi pengukur kecepatan aliran pada air conditioning laboratory dengan menggunkan sensor optocoupler

Bangsa tsamud adalah umat binaan Nabi Saleh. Mereka tinggal di semenanjung Arabia bagian utara. Hidup sebagai petani dan pedagang. Mereka pandai memotong batu-.. batu

Kualitas kehidupan kerja yang terjaga dengan baik akan membuat suasana kerja menjadi baik pula, sedangkan suasana kerja yang- baik akan berpengaruh terhadap daya tahan