• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akal dan wahyu dalam pandangan Ibn Thufayl

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Akal dan wahyu dalam pandangan Ibn Thufayl"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

IBN THUFAYL

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memeroleh

Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)

Oleh:

Achmad Sapei

NIM: 103033127741

JURUSAN AQIDAH-FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

Skripsi yang berjudul telah diujikan sidang munaqasah Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 08 September 2010.

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Jurusan Aqidah-Filsafat.

Jakarta, 10 September 2010

SIDANG MUNAQASAH

Ketua,

Drs. Agus Darmaji, M.Fils

Sekretaris,

Dra. Tien Rahmatin, MA.

Penguji,

Penguji I

Prof. Dr. Zainun Kamaluddin F, MA.

Penguji II

.

Dra. Tien Rahmatin, MA.

Pembimbing,

(3)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memeroleh

Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)

Oleh

Achmad Sapei

NIM: 103033127741

Di bawah Bimbingan

Drs. Nanang Tahqiq, MA.

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(4)

ii   

rahmat dan hidayah-Nya, sehingga dengan ridha dan petunjukNya penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu Allah curahkan kepada

junjungan alam Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya dari zaman

kegelapan hingga zaman penuh dengan pengetahuan.

Penulis menyadari, bahwa pengetahuan, pemahaman, pengalaman dan

kemampuan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini masih terbatas dan banyak

kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu, penulis selalu berusaha untuk mencari

bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil, sehingga

penyusunan skripsi ini berjalan lancar.

Dalam kesempatan ini sepatutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak ”Syech” Drs. Nanang Tahqiq, MA., Dosen pembimbing yang telah

bersedia meluangkan waktu dan keseriusan untuk membimbing, serta hikmah

yang diberikan kepada penulis untuk mencapai kesempurnaan.

2.Bapak Dekan Prof. Dr. Zainun Kamaluddin F, MA., selaku penguji yang telah

memberikan kritik serta saran untuk penulis.

3.Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils., selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat.

4.Ibu Dra.Tien Rahmatin, M.A., selaku Seketaris Jurusan Aqidah dan Filsafat.

5.Alm. Ayahanda yang memiliki idealisme yang sangat tinggi dalam

memberikan motivasi serta asuhannya dari kecil hingga dewasa supaya

(5)

iii   

6.Tak ada kata dan ucapan hanya rasa terima kasih My Mother and Alm. Father

semoga Allah SWT meridhoi segala yang telah engkau berikan kepada

penulis.

7.Kepada adik dan abang-abangku, Ida, Azie dan Muid di rumah, tiada harta

yang berharga kecuali kerukunan dalam keluarga.

8.Terkhusus buat Sang Partner hidupku Eli Ratnasari yang selalu berusaha

memberi pelajaran buat penulis agar berada pada jalan yang diridhai Allah

SWT.

9.Teman-teman Link (Falak, Jami, Cepot, Nias, Cikal, Haris, Ridwan) terima

kasih atas jalinan persaudaraan yang tak terkira.

Hanya harapan dan do’a yang dapat penulis berikan, mudah-mudahan Allah

SWT memberikan balasan yang lebih baik kepada semua pihak yang telah berjasa

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap agar

skripsi ini dapat berguna, khususnya untuk penulis dan pembaca umumnya. Amin

Grogol, 16 Agustus 2010

Penulis

(6)

v   

KATA PENGANTAR ... ii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vi

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Tinjauan Pustaka ... 6

E. Metode Penelitian ... 7

BAB II BIOGRAFI IBN THUFAYL A. Riwayat Hidup ... 8

B. Konteks Sosio-Kultural ... 11

C. Pengaruh Ibn Thufayl di dunia Islam dan non Islam ... 19

BAB III KERANGKA TEORI AKAL DAN WAHYU A. Pengertian Akal dan Wahyu ... 21

B. Perspektif Teolog ... 27

C. Perspektif Failasuf ... 31

BAB IV AKAL DAN WAHYU MENURUT IBN THUFAYL A. Hirarki Akal ... 38

B. Substansi Akal dan Wahyu ... 43

C. Harmonisasi Akal dan Wahyu ... 45

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 48

B. Saran-saran ... 49

(7)

A. Latar Belakang Masalah

Dalam sejarah, Islam berkembang bukan hanya sebagai agama, tetapi

sebagai kebudayaan. Pada mulanya Islam lahir hanya sebagai agama di

Makkah, tetapi tumbuh di Madînah menjadi negara, lalu membesar di

Damsyik menjadi kekuatan politik internasional yang luas dengan

wilayah-wilayah baru, dan berkembang di Baghdad menjadi kebudayaan bahkan

peradaban yang memiliki pengaruh besar. Dalam kedua aspek perkembangan

Islam tersebut akal memainkan peranan penting bukan dalam bidang

kebudayaan saja, tetapi dalam bidang agama. Dalam membahas

masalah-masalah keagamaan, ulama Islam tidak semata-mata berpegang pada wahyu,

tetapi banyak pula bergantung pada pendapat akal. Peranan akal yang besar

dalam pembahasan masalah-masalah keagamaan dijumpai bukan hanya dalam

bidang falsafat, tetapi dalam bidang tauhid bahkan dalam fiqh dan tafsir.1

Akal dan wahyu selalu menjadi pembahasan menarik dalam pemikiran

Islam, dari dulu hingga saat ini. Ini dikarenakan sifat ajaran dasar dari agama

Islam itu sendiri yang diturunkan melalui wahyu kepada seorang nabi agar

wahyu tersebut disampaikan kepada umat manusia, dan pada sisi lain Islam

juga sangat menghargai akal serta kedudukannya, dan menjadikannya sebagai

alat untuk memahami wahyu. Oleh karena itu muncullah pandangan beragam

mengenai peran dan keberadaan akal dan wahyu. Pandangan tersebut terbagi

      

1 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta:UI Press), 1986, h.71

(8)

dua. Pertama, sebagian kalangan meyakini akal dan wahyu adalah selaras.

Adapun pandangan kedua melihatnya secara konfliktual, bahwa wahyu harus

diutamakan karena akal menyesatkan maka harus dihindari.

Dalam sejarah perjalanan Islam, pada mulanya Islam berkembang

dengan pesat sekali karena diiringi pemikiran yang rasional. Pemikiran

rasional ini berkembang pada Islam zaman klasik (650-1250 M). Terciptanya

pemikiran rasional pada abad ini dikarenakan umat Islam pada waktu itu

memberikan kedudukan tinggi terhadap keberadaan akal, seperti yang telah

diperintahkan dalam al-Qur’ân dan Hadîts. Akal merupakan bagian amat

pokok untuk berijtihad karena setelah al-Qur’ân dan Hadîts, akal paling

berperan dalam menentukan suatu hukum. Dalam Hadîts ditegaskan bahwa

jika tidak ditemukan penyelesaian suatu persoalan dalam al-Qur’ân dan

Hadîts, maka hendaklah berijtihad dengan akal. Oleh karena itu akal

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembahasan bagian keilmuan

dalam Islam.2

Pemikiran rasional di Dunia Islam pada zaman pertengahan

(1250-1800 M.) ternyata hilang dan digantikan oleh pemikiran tradisional. Ini semua

terjadi, dikarenakan umat Islam pada zaman pertengahan tidak hanya terikat

pada al-Qur’ân dan Hadîts saja, akan tetapi mereka juga terikat pada hasil

ijtihad ulama Islam zaman klasik yang sangat banyak jumlahnya, tanpa upaya

bersikap kritis tetapi mengikuti saja. Konsekuensi dari semua ini ialah umat

      

(9)

Islam pada zaman pertengahan memunyai pandangan yang sempit, dan tidak

punya ruang gerak yang bebas.3

Ketika peradaban Islam dihadapkan pada tantangan yang datang dari

peradaban pemikiran luar yang hanya berlandaskan akal, maka umat Islam dan

wacana pemikiran Islam mengalami kegoncangan. Hal ini terjadi ketika

falsafat Yunani memasuki peradaban Islam pada abad kedua dan ketiga,

berkaitan dengan masalah mengompromikan antara hikmah dan syari’at,

antara falsafat dan wahyu. Begitu pula ketika peradaban Barat dengan

rasionalismenya memasuki dunia Islam, ketika itu pula permasalahan akal dan

wahyu semakin tajam.4 Ini kemudian menjadi salah satu permasalahan yang terus menerus diperhatikan dan diperdebatkan masyarakat Muslim, dan dari

sinilah lahir aliran-aliran pemikiran dalam ruang lingkup peradaban Islam.

Pada permulaan abad kesembilan belas, semenjak rasionalisme Barat

masuk ke Dunia Islam, perhatian pemikir pembaharu dalam Islam banyak

dipusatkan kepada kekuatan akal, seperti Muhammad ‘Abduh di Mesir,

Sayyid Ahmad Khan dan Syed Ameer Ali di India. Bahkan karena adanya

perhatian tersebut dari para pembaharu, maka pintu ijtihad yang dikatakan

tertutup kini dinyatakan terbuka.5

Inilah awal kebangkitan kembali pemikiran rasional yang agamis di

Dunia Islam, dengan memberikan perhatian terhadap falsafat, sains, dan

teknologi. Di abad kedua puluh perkembangan pemikiran rasional yang

agamis semakin berkembang pesat, dengan kelahiran interpretasi rasional dan

      

3 Harun Nasution, Islam Rasional, h. 8

4 ‘Abd Majîd Najjâr, Khalifah:Tujuan Wahyu dan akal, terj. Forum Komunikasi al-Ummah (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. ii.

(10)

baru atas al-Qur’ân dan Hadîts. Sementara pemikiran tradisional dalam Islam

kian mendapat tantangan dari para pemikir rasional agamis. Dalam pemikiran

rasional agamis pemahaman ayat al-Qur’ân dan Hadîts diusahakan sesuai

dengan pendapat akal, dengan syarat tidak bertentangan dengan ajaran absolut

tersebut.

Sebaliknya bagi pemikir tradisional, peran akal tidak begitu banyak

digunakan untuk memahami ajaran al-Qur’ân dan Hadîts. Seperti yang telah

disinggung di atas, pemikiran tradisional ini tidak hanya terikat pada al-Qur’ân

dan Hadîts, akan tetapi juga terikat pada hasil ijtihad ulama zaman klasik yang

jumlahnya banyak dengan semangat taqlid dan tanpa kritik. Karena itu,

pemikiran tradisional sulit untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan

modern sebagai hasil dari falsafat, sains dan teknologi.6

Persoalan selanjutnya ialah sejauh mana akal, sebagai kualitas

istimewa yang diberikan Tuhan dan telah banyak menimbulkan perdebatan

baik dalam hubungannya dengan manusia itu sendiri atau relasinya dengan

yang lain (the other), harus berperan ketika berhadapan dengan wahyu; apakah

akal mampu mengantarkan manusia pada pengetahuan yang bisa membuatnya

tetap menyadari dan terikat dengan Tuhan. Bagi para pemikir Muslim klasik

seperti al-Ghazâlî, Jalâl al-Dîn Rûmî, al-Râzî, akal memiliki sisi negatif yang

harus disadari dan diwaspadai, dan mereka menyatakan akan pentingnya

pengetahuan yang bersumber dari atas secara langsung yang disebut intuisi

atau wahyu. Sementara Ibn Sînâ, Ibn ‘Arabî, dan al-Syîrâzî menggangap akal

mampu menghantarkan manusia pada pengetahuan yang hakiki.7

      

6 Harun Nasution, Islam Rasional, h.9.

(11)

Ibn Thufayl, sebagai failasuf Andalus abad kedua-belas, telah mencoba

memberikan pandangan yang bisa mendamaikan antara akal dan wahyu,

dengan melihat aplikasi akal dan wahyu dalam sejarah pemikiran Islam dan

keterangan-keterangan yang terdapat dalam al-Qur’ân dan Hadîts. Lebih lanjut

Ibn Thufayl menceritakan dalam novelnya, Hayy ibn Yaqzhân, bahwa

ternyata kebenaran akal dan ajaran-ajaran wahyu tidak berbeda atau

bertentangan. Bahkan akal bisa memberikan peranan penting bagi eksistensi

wahyu sendiri,8dalam arti bahwa wahyu bisa diterima dan diaplikasikan tanpa mengenal ruang dan waktu, maka ia membutuhkan peranan akal.

Dengan demikian, amat penting untuk mengaji secara kritis

pandangan-pandangan Ibn Thufayl. Meskipun sudah banyak yang menulis

serta mengaji pandangan-pandangan Ibn Thufayl, akan tetapi penulis di sini

melihat terdapat celah kecil yang belum dibahas dari pemikiran Ibn Thufayl

yaitu akal dan wahyu.

B. Pembatasan dan perumusan masalah

Dalam hal ini penulis membatasi permasalahan di sekitar akal dan

wahyu dalam pandangan Ibn Thufayl. Adapun perumusan masalah dalam

skripsi ini adalah: bagaimana konsepsi akal dan wahyu dalam pandangan Ibn

Thufayl yang dijelaskan dalam karyanya Hayy ibn Yaqzhân

      

(12)

C. Tujuan Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Untuk memerkenalkan konsep akal dan wahyu dalam pandangan Ibn

Thufayl, yang selama ini luput dikaji secara mendalam.

2. Guna melengkapi salah satu persyaratan pada akhir program S.1 Jurusan

Aqidah-Filsafat, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam meraih gelar S.Fil.I (Sarjana

Filsafat Islam).

D. Tinjauan Pustaka

Skripsi mengenai Ibn Thufayl di Jurusan Aqidah dan Filsafat UIN

Syarif Hidayatullah Tahun 2007 telah ditulis M. Eddy Syamjaya dengan judul

“Eksistensialis dalam Hayy ibn Yaqzhân yakni menjelaskan eksistensi dalam

Hayy ibn Yaqzhân. Tulisan tersebut menyatakan bahwa Ibn Thufayl melalui

Hayy ibn Yaqzhân ingin melakukan sebuah ‘revolusi Copernikan’, suatu

tindakan revolusioner dilakukan oleh Copernikus dalam bidang astronomi,

dengan pengandaian bahwa pengenalan berpusat pada subjek bukan pada

objek.

Penelitian lain dilakukan oleh Sukran Kamil dengan judul “Hayy ibn

Yaqzhân: Novel Filosofis Ibn Thufayl”, yang hanya mendeskripsikan

bagaimana perjalanan Hayy ibn Yaqzhân sampai pada memahami fenomena

yang dialaminya. Berbeda dari tulisan M. Eddy dan Sukran Kamil, skripsi ini

akan fokus pada akal dan wahyu menurut Ibn Thufayl, dengan mengaji

(13)

E. Metode Penelitian

Dari sudut tujuan, penelitian ini bersifat deskriptif. Maksudnya,

penelitian ini berupaya menggambarkan pemikiran Ibn Thufayl tentang akal

dan wahyu dan relevansinya bagi pekembangan falsafat Islam. Dari segi

metodologi, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Dari sudut model

kajian falsafat Islam, model penelitian ini menggunakan pendekatan

teoritis-falsafi, karena pokok permasalahan yang dibahas berhubungan dengan teori

kalâm dan falsafat Islam.

Pengunpulan data menggunakan teknik studi dokumenter, yakni

dengan memanfaatkan bahan-bahan primer dan sekunder. Bahan primer

berupa satu-satunya karya Ibn Thufayl, yakni Hayy ibn Yaqzhân, serta

beberapa terjemahan buku Hayy ibn Yaqhân oleh Dahyal Afkal, Hadi

Mansuri. Sedangkan bahan sekunder berupa tulisan-tulisan lain yang

membahas tentang pemikiran Ibn Thufayl.

Skripsi ini menggunakan analisis isi secara kualitatif (Qualitative

Content analysis). Dalam analisis ini semua data yang dianalisis berupa teks

terjemahan dari karya Ibn Thufayl. Analisis isi kualitatif digunakan untuk

menemukan, mengidentifikasi dan menganalisis teks atau dokumen untuk

memahami makna, signifikansi dan relevansi teks terjemahan atau dokumen

tersebut.

Dalam penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada buku Pedoman

Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tahun Ajaran 2005-2006. Adapun transliterasi menggunakan pedoman

(14)

A. Riwayat Hidup

Di Guadix atau di Wâdî ‘Âsy, disebut Cadiz, sebuah distrik terletak

cukup jauh di Timur Laut Granada, Ibn Thufayl atau Abû Bakr Muhammad

ibn ‘Abd al-Malik ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Thufayl al-Qaysyî

dilahirkan pada tahun 1110 M. Pada masa itu Cadiz merupakan bagian

Andalusia, kini disebut Spanyol, dan masa kecil Ibn Thufayl di Andalusia

adalah masa-masa di mana terjadi pergolakan politik yang luar biasa. 1

Pada tahun 1086 – 1248 M. terdapat dua dinasti yang menonjol yakni

dinasti Murâbithûn (1086 – 1143 M.) dan dinasti Muwahhidûn (1146 – 1253

M). Kedua dinasti ini sebenarnya berasal dari Afrika Utara, dan berada di

Andalusia atas undangan raja-raja Islam untuk membantu melawan serangan

kaum Katolik Barat. Dalam beberapa dekade serangan dan pertahanan kedua

dinasti cukup kuat, sehingga Islam masih tetap berkibar untuk sementara di

Spanyol. Akan tetapi kaum Katolik dengan pasukannya yang besar dan kuat

dapat menghancurkan dinasti tersebut, dan memaksa kedua pemimpin dinasti

untuk kembali ke Afrika.2

Kaum Katolik sejak tahun 1212 M. Mengalami kemenangan sehingga

kota-kota besar Islam satu-persatu jatuh, salah satunya adalah kota Cordova

yang jatuh ke tangan penguasa Katolik pada tahun 1238 M. Sepuluh tahun

      

1M.M. Syarif, M.A., Para Filosof Muslim. Penerjemah Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan,1998), h. 30

2 Philip K. Hitti, History of the Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), h.654

(15)

kemudian kota Sevilla jatuh kepada peguasa (1248 M.), bahkan hampir

seluruh lapisan wilayah Andalusia jatuh ke tangan Katolik, kecuali hanya

Granada yang masih dikuasai Bani Ahmar.3

Ketika Islam berjaya di Andalusia, ilmu pengetahuan dan falsafat

mengalami perkembangan yang cukup pesat. Islam lahir sebagai agama

pemersatu dan agama peradaban, sementara bangsa Yunani sedang terpuruk ke

dalam kekuasaan yang kejam, di sisi lain khususnya dunia Islam mulai

menyingsingkan fajar kemajuan dan kebebasan, terutama bagi berkembangnya

ilmu pengetahuan.4

Falsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan oleh penguasa

Muslim ketika itu, sehingga para ilmuwan dan failasuf ternama banyak lahir di

dunia Islam, seperti Ibn Hazm dengan karyanya al-Milal wa al-Nihal, Abû

Bakr Muhammad ibn al-‘Asyîq (wafat 1138) yang dikenal dengan Ibn Bâjjah,

Abû Bakr ibn Thufayl (wafat 1185) yang dikenal dengan bukunya yang

berjudul Hayy ibn Yaqzhân, Ibn Rusyd (1126 – 1198 M.) yang dikenal dengan

sebutan Averroes, karyanya antara lain Tahâfut al-Tahâfut.5

Sebelas tahun setelah kelahirannya, Dinasti Murâbithûn yang didirikan

oleh Yûsuf ibn Tasyfîn yang sebelumnya menggulingkan Muluk al-Thawâ’if,

pengambil alih kekuasaan Daulah Umayyah, ditundukkan oleh Ibn Tûmart

pada tahun 1121 dan kemudian mendirikan Dinasti Muwahhidûn. Setelah

Dinasti Muwahhidûn berdiri, gejolak politik berangsur-angsur mereda.

Kondisi kembali seperti masa-masa Dinasti Umayyah sebelumnya. Sevilla,

      

3 Philip K. Hitti, History of The Arabs, h. 658

(16)

Cordova, atau Andalusia secara umum kembali menjadi pusat peradaban

Islam, yang menjadi salah satu paru yang berperan memajukan pendidikan

Islam. Ilmu-ilmu warisan intelektual terkemuka seperti al-Kindî, al-Fârâbî, Ibn

Sînâ, Ibn Bâjjah, bahkan al-Râzî juga al-Ghazâlî, kembali hidup

menyala-nyala di wilayah-wilayah tersebut.6

Ibn Thufayl muda mendapat pendidikan dinamis, dan dididik serta

diajarkan berbagai ilmu oleh orang tuanya, antara lain falsafat, ilmu

kedokteran, dan beragam ilmu lainnya. Hingga kemudian ia dikenal sebagai

seorang dokter yang disegani di Andalusia.

Peran pentingnya dalam tubuh pemerintahan Dinasti Muwahhidun

dimulai ketika Ibn Thufayl diangkat menjadi Sekretaris Gubernur Granada,

diteruskan menjadi Sekretaris Gubernur Ceuta dan Tangier. Ia mengabdi pada

putra Muhammad ibn Tûmart (1080-1130 M.), ‘Abd al-Mu’min ibn ‘Alî

(w.1163). Setelah al-Mu’min wafat, Ibn Thufayl menjadi dokter istana dan

wazîr Abû Ya‘qûb Yûsuf (1163-1183). 7

Sebagai ahli falsafat, Ibn Thufayl adalah guru dari Ibn Rusyd

(Averroes), dan menguasai bermacam ilmu seperti ilmu hukum, pendidikan,

dan kedokteran, sehingga Ibn Thufayl pernah menjadi dokter pribadi istana.

Ibn Thufayl menjadi salah seorang terpenting di negerinya berada, serta

memiliki pengaruh penting terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di

Andalusia.

      

6 Lenman E Goodman, “Ibn Thufayl”, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., Enklopedi Tematis Filsafat Islam, vol I. terj.Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003), h. 389

(17)

Abû Ya‘qûb Yûsuf yang cinta ilmu pengetahuan memberikan

wewenang untuk mengundang orang berilmu dan terpelajar ke istana, salah

satunya Ibn Thufayl yang terkenal membela mati-matian falsafat dalam Islam.

Selain itu, seperti yang dikatakan oleh E. Goodman, Ibn Thufayl diangkat

menjadi menteri kebudayaan Abû Ya‘qûb Yûsuf, selain juga sebagai dokter

pribadinya. Jabatan tersebut lebih tepat disebut sebagai wazîr, jika melihat

kedekatan antara Abû Ya‘qûb dan Ibn Thufayl. Pada saat itu sedikit orang saja

dapat memiliki hubungan khusus dengan sultan. Meskipun jabatan menteri

berada di bawah wazîr tetapi dimungkinkan adanya hubungan dekat. Namun

hubungan itu akan tampak lebih relevan jika Ibn Thufayl adalah wazîr dari

khalifah. 8

Dari seluruh paparan tersebut, kita dapat menyaksikan bahwa

kehidupan Ibn Thufayl dapat dilihat sebagai sebuah kesuksesan yang dapat

dijadikan aspirasi, aspirasi dari kehidupan seorang intelektual yang

malang-melintang di dalam istana, dan memberikan sumbangan berharga bagi dunia.

Akhirnya setelah melampui masa-masa indah sebagai manusia, menjalani tawa

dan canda bersama orang-orang istana, Ibn Thufayl wafat di usia yang telah

senja pada tahun 1185 M., di Maroko, ibu kota kerajaan dinasti Muwahhidûn.

B. Konteks Sosio-Kultural

Sebelum Islam datang, Andalusia merupakan wilayah persinggahan

bangsa Goth dan Vandal. Andalusia merupakan tempat pelarian diri untuk para

bangsawan seperti keluarga bangsawan Yahudi yang pindah dari Palestina ke

      

(18)

Andalusia dalam rangka melarikan diri dari serbuan tentara raja

Nebuchadnezzar yang menginvasi kerajaan kuno Judah dan menghancurkan

Kuil Sulaymân di Yerussalem pada 586 M.9

Islam masuk ke Andalusia melalui jalur benua Afrika yang menghadap

pada Semenanjung Iberia di mana pernah disinggahi oleh kaum Goth Aria.

Akan tetapi nasib buruk menimpa kaum Goth Aria tersebut, yaitu mereka

diusir serta dibunuh oleh orang-orang Katholik Roma. Setelah delapanbelas

tahun, sebuah pemberontakan yang diusung oleh bangsa Yahudi telah dilibas

dengan kejam oleh penguasa Andalusia yang dikuasai oleh Raja Roderick,

dengan menerapkan sistem feodal dekaden didukung oleh Gereja Resmi

Katholik Roma. Tetapi kekuasaan ini akan hancur kelak setelah kaum Muslim

tiba di semenanjung, yang disambut hangat serta dibantu oleh seorang

penguasa bernama Ilyan.10 Dan sejak itu pula kaum Islam merencanakan strategi untuk menyebrang ke Andalusia, dengan bantuan Ilyan.

Adapun maksud Ilyan membantu kaum Muslim adalah ingin membalas

sakit hatinya kepada Raja Roderick, sehingga ia datang menemui Mûsâ ibn

Nushayr dan menyarankan untuk menaklukkan Andalusia, sebab Mûsâ

merupakan Gubernur yang ahli dalam segala urusan peperangan. Dari hasil

pertemuannya dengan Ilyan, Mûsâ mencoba membuat kekuatan secara

tersembunyi dengan mengumpulkan pasukan kecil. Ia kemudian menyeberangi

Andalusia dan kembali dengan tawanan dan rampasan perang. Di sisi lain

      

9Ahmad Thomson dan Muhammad ‘Ata’ur Rahim, Islam di Andalusia: Sejarah Kebangkitan dan Keruntuhan, (Jakarta,Gaya Media Pratama, 2004), h. 3-4

(19)

Mûsa mengirimkan surat kepada Khalifah al-Wâlid ibn‘Abd al-Mâlik di

Damaskus untuk merestui permintaan dari Ilyan.11

Keberhasilan pasukan Islam dengan kekuatan kecilnya sampai pada

penyerangan masuk ke Andalusia adalah berkat saran Ilyan pada Mûsâ untuk

secepat mungkin menaklukkan Andalusia. Mûsâ kemudian mengutus Thâriq

ibn Ziyâd untuk memimpin dua belas ribu pasukan Arab dan Berber dan

menyarankan untuk menyerbu Andalusia dengan bantuan Ilyan dan

pasukannya. Lalu pertempuran dimulai ketika tentara Roderick dan tentara

Thâriq bertemu di tepi Guadalete masing- masing dengan kekutan penuh, yang

mana Roderick membawa pasukannya sebesar seratus ribu orang sedangkan

Thâriq duabelas hingga tujuhbelas ribu orang. Dari pertempuran tersebut

pasukan Thâriq berhasil melukai Roderick sehingga pasukan Roderick pun

terkocar-kacir dan saling berlomba menyelamatkan diri. Dari hasil

kemenangan dalam perang tersebut membuat figur Thâriq disegani oleh

prajuritnya sehingga hal ini membuat resah Mûsâ dan akhirnya Thâriq di-

perintahkan kembali ke Afrika. Keresahan Mûsâ sampai pada kekhawatiran

bahwa khalifah di Damaskus akan menaikkan jabatan Thâriq sebagai atasan

dari Mûsâ.12Tak lama keresahan Mûsâ hilang dan ia kembali bersahaja setelah memantapkan pemerintahannya dan bersama-sama Thâriq menundukkan

semenanjung Iberia.13Dari hasil penaklukan tersebut beberapa wilayah

      

11 Ahmad Thomson dan Muhammad ‘Ata’ur Rahim, Islam di Andalusia: Sejarah Kebangkitan dan Keruntuhan, h. 16

12 Ahmad Thomson dan Muhammad ‘Ata’ur Rahim, Islam di Andalusia: Sejarah Kebangkitan dan Keruntuhan h. 24

(20)

mayoritas masyarakat Andalusia memeluk Islam secara bebas dan penuh

toleransi, dan ajaran yang disebarkan pun secara sederhana pula.

Selama Mûsâ ibn Nushayr dan Thâriq ibn Ziyâd menetap di Andalusia

mereka telah menyebarkan Islam di seluruh Semenanjung Iberia, kecuali di

wilayah pojokan utara yang terhalangi oleh gunung-gunung, di mana

sekelompok kecil orang Roma Katolik bersembunyi di bawah pimpinan

Pelayo. Dan misi yang mereka (Roma Katolik) kembangkan adalah kembali

menuju kota Andalusia, dan berusaha melakukan pemberontakan.14

Thâriq dan Mûsâ melakukan pelebaran jajahan dengan menaklukkan

beberapa wilayah di mana Thâriq ingin menjelajahi seluruh kota Perancis dan

bergerak menyeberangi Eropa bagian selatan sehingga dapat berhubungan

dengan Muslim di timur dan sampai pada dataran yang dihuni kaum

Paulician15, yang saat itu telah bergabung dengan pengikut Unitarian Yesus di dekat Konstantinopel. Perjuangan yang dilakukan oleh Thâriq adalah melawan

persekusi16 yang dilakukan oleh Gereja Resmi Katholik Roma, yang dimulai sejak masa berkuasanya Maharani Theodora abad ke-6, di mana saat itu

Khalifah dinasti Umayyah tengah dilanda kemunduran di Damaskus.

Gerakan-gerakan sosial lainnya dibangun pula oleh para cendekiawan

untuk membangun kembali kekuatan Islam di berbagai wilayah. Gerakan

      

14 Ahmad Thomson dan Muhammad ‘Ata’ur Rahim, Islam di Andalusia: Sejarah Kebangkitan dan Keruntuhan h. 28

15 Meskipun dinamai Paulician, identitas Paulus diragukan sebagai asalnya. Aliran ini mulai ada di Armenia pada abad ke-17. Para penganut Kristen Paulician menggangap Yesus putera Maria bukankah Tuhan , sebab Tuhan tidak mungkin mengambil darah daging sebagai manusia. Mereka menolak sakramen, peribadahan dan hierarki gereja yang mapan. Lihat. Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), h. 50

(21)

Murâbîthûn di Maroko yang dipelopori oleh cendekiawan Muslim sekitar

1039 bernama ‘Abdullâh ibn Yâsîn berdakwah kepada suku Sanhaja yang

bermukim di pedalaman Sahara. Dan di sini pula ia membangun benteng atau

ribâth di sepanjang garis perbatasan antara dunia Muslim dan non Muslim.

Ribâth dibangun difungsikan untuk para sukarelawan untuk beribadah dan

berdzikir ketika tidak sedang berperang melawan penyembah berhala. Dan

orang-orang yang melakukan hal ini disebut sebagai al-Murâbîthûn.17

Dinasti Murâbîthûn pada mulanya adalah sebuah gerakan agama yang

didirikan oleh Yûsuf ibn Tasyfîn di Afrika Utara, yang mendirikan sebuah

kerajaan yang berpusat di Marakesy. Keberhasilannya memasuki Spanyol atas

"undangan" penguasa-penguasa Islam yang tengah memikul beban berat

perjuangan memertahankan negeri-negerinya dari serangan-serangan

orang-orang Kristen. Perpecahan pun terjadi di kalangan raja-raja Muslim, dan

akhirnya Yûsuf ibn Tasyfîn melangkah lebih jauh untuk menguasai Spanyol.18

Murâbîthûn merupakan salah satu Dinasti Islam yang berkuasa di

Maghrib pada abad ke-11 di bawah pimpinan Yahyâ ibn Ibrahîm. Yahyâ

mengundang ‘Abdullâh ibn Yâsîn seorang alim terkenal di Maroko, dengan

maksud agar dapat membina kaumnya dengan keagamaan yang baik,

kemudian beliau dibantu juga oleh Yahyâ ibn ‘Umar dan Abû Bakr ibn ‘Umar.

Pembinaan umat tersebut mendapat simpati dari sebagian masyarakat sehingga

      

17Ahmad Thomson dan Muhammad ‘Ata’ur Rahim, Islam di Andalusia: Sejarah Kebangkitan dan Keruntuhan, h.103

(22)

berkembang dengan cepat dan dapat menghimpun sekitar 1000 orang

pengikut.19

Di dalam kepemimpinannya ‘Abdullah ibn Yâsîn dan Yahyâ ibn ‘Umar

berhasil memerluas wilayah kekuasaannya sampai Wadi Dara, dan kerajaan

Sijil Mast yang dikuasai oleh Mas‘ûd ibn Wanuddîn. Ketika Yahyâ ibn ‘Umar

meninggal Dunia, jabatannya diganti oleh saudaranya, Abû Bakr ibn ‘Umar,

yang kemudian dapat menaklukkan daerah Sahara Maroko. Setelah diadakan

penyerangan ke Maroko tengah dan selatan selanjutnya ia menyerang suku

Barghawata yang menganut paham bid’ah. Dalam penyerangan ini ‘Abdullâh

bin Yâsîn wafat (1059 M).20 Sejak saat itu Abû Bakr memegang kekuasaan secara penuh dan berhasil mengembangkannya.

Abû Bakr berhasil menaklukkan daerah Utara dan Maroko (1070 M).21 Kemudian ia mendapat berita bahwa Raja Kala dari Bani Hammad

mengadakan penyerangan ke Maghrib dengan melibatkan kaum Sanhaja.

Mendengar berita tersebut ia kembali ke Sanhaja untuk menegakkan

perdamaian. Setelah berhasil memadamkan, diserahkanlah jabatannya kepada

Yûsuf ibn Tasyfîn.

Yûsuf ibn Tasyfîn mendirikan ibu kota di Maroko dan berhasil

menaklukkan Fez dan Tangier (1070-1078 M.), dan memerluas wilayah

      

19 C E. Boswot, Dinasti-Dinasti Islam, terj. Sumarto (Bandung: Mizan, 1993), h.26 20 Musrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Bogor: Kencana, 2003), h. 49

(23)

sampai ke al-Jazair (1080-1082 M.),22 serta mengangkat para pejabat

al-Murâbithûn untuk menduduki jabatan Gubernur pada wilayah taklukannya.

Yûsuf ibn Tasyfîn meninggalkan Afrika (1086 M.) dan memeroleh

kemenangan besar atas Alfonso VI (Raja Castile Leon) dan Yûsuf mendapat

dukungan dari Muluk al-Thawâ’if dalam pertempuran di Zallaqah. Ketika

Yûsuf meninggal dunia, warisan serta tahtanya jatuh kepada anaknya, Abû

Yûsuf ibn Tasyfîn. Warisan tersebut berupa kerajaan yang luas dan besar

terdiri dari negeri-negeri Maghrib, bagian Afrika dan Spanyol.23

Dinasti Murâbithûn mengalami kemunduran dalam memerluas

wilayah. Ketika ‘Alî ibn Yûsuf mengalami kekalahan pertempuran di Cuhera

(1129 M.), ia mengangkat anaknya Tasyfîn ibn ‘Alî menjadi Gubernur

Granada dan Almeria. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menguatkan

moral kaum Murâbithûn untuk memertahankan serangan dari raja Alfonso VII.

Dinasti Murâbithûn memegang kekuasan selama 90 tahun.24

Masa terakhir Dinasti Murâbithûn terjadi tatkala dikalahkan oleh

Dinasti Muwahhidûn yang dipimpin oleh ‘Abd al-Mu’min. Dinasti

Muwahhidûn menaklukkan Maroko (1146-1147 M), yang ditandai dengan

terbunuhnya penguasa Murâbithûn yang terakhir, yakni Ishâq ibn ‘Alî. Ketika

kekuasaan Bani Umayyah Spanyol pecah, ada suatu kekuatan yang baru

muncul di Afrika, yaitu al-Muwahhidûn.25

      

22 Adjid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar- Akar Sejarah, Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 72

23 Ahmad Thomson dan Muhammad ‘Ata’ur Rahim, Islam di Andalusia: Sejarah Kebangkitan dan Keruntuhan, h.

(24)

Muwahhidûn di Afrika Utara dan Spanyol (1128-1269 M.) merupakan

Dinasti Islam yang pernah berjaya di Afrika Utara selama lebih satu abad,

yang didirikan oleh Muhammad ibn Tûmart. Ibn Tûmart menamakan

gerakannya dengan Muwahhiddûn, karena gerakan ini bertujuan untuk

menegakkan tauhid (Keesaan Allah), menolak segala bentuk pemahaman

antropomorfisme yang dianut oleh Murâbithûn. Karena itu semangat

perjuangan Ibn Tûmart adalah menghancurkan kekuatan Murâbhitûn. di

bawah komando Abû Muhammad al-Basyîr, kaum Muwahhidun menyerang

ibu kota Murâbithûn (1129 M). Peristiwa itu terkenal dengan nama perang

Buhairah. Dalam perang tersebut Muwahhidûn kalah dan mengakibatkan

meninggalnya Ibn Tûmart, sebagai gantinya diangkatlah ‘Abd al-Mu’min ibn

‘Alî sebagai pemimpin menggantikan Ibn Tûmart. 26

Di bawah kepemimpinannya Muwahhidûn dapat memerluas daerah

kekuasaan yakni daerah Nadla, Dir’ah Taigar, Fazar dan Giyasah. Ketika

pada tahun 1139 M. Muwahhidûn melancarkan serangan terhadap pertahanan

Murâbithûn sehingga jatuh dan takluk ke tangan kaum Muwahhidûn. Fez

merupakan kota terbesar kedua setelah Marakesy yang direbut Muwahhidûn,

dan setahun kemudian ia berhasil menguasai Marakesy dan menjatuhkan

Murâbithûn (1145 M). Setelah berhasil menjatuhkan Murâbithûn ‘Abd

al-Mu’min memerluas wilayah kekuasaannya sampai al-Jazair (1152 M).27 Enam tahun berikutnya wilayah Tunisia dikuasai dan 2 tahun setelah

itu Tripoli jatuh ke tangannya. Kekuasaannya membentang dari Tripoli hingga

ke Samudera Atlantik sebelah Barat, dan ini merupakan suatu prestasi

      

(25)

gemilang dan belum pernah dicapai oleh Dinasti manapun di Afrika Utara.

Dan ‘Abd al-Mu’min pun memerluas wilayahnya ke daerah yang dikuasai

orang-orang Kristen, tetapi pada tahun itu ‘Abd al-Mun’im wafat, dan diganti

puteranya Abû Ya‘qûb Yûsuf ‘Abd al-Mu’min (1184 M).28

Sejatinya, Ibn Thufayl dapat mengembangkan pengetahuan serta

karirnya ketika pada masa Dinasti Muwahhidûn di Maroko. Dinasti tersebut

memiliki wilayah yang luas, sehingga perluasan itu pun meliputi ilmu

pengetahuan. Ibn Thufayl merupakan salah satu yang diangkat sebagai pejabat

di lingkaran kekuasaan Dinasti Muwahhidûn, dari hal ini ia pun tertarik

mendalami falsafat dan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang ia dalami

adalah sastra, falsafat, kedokteran dan lainnya. Karya terakhir yang

ditinggalkannya adalah risalah Hayy Ibn Yaqzhân.

C. Pengaruh Ibn Thufayl di dunia Islam dan Non Islam

Pengaruh Ibn Thufayl dalam masyarakat Islam maupun non-Islam

adalah dalam falsafat Islam. Walau demikian falsafat Islam tidak bisa lepas

dari pengaruh yang masuk ke dalamnya baik dari tradisi falsafat Yunani,

maupun tradisi falsafat timur, karena falsafat Yunani juga terpengaruh oleh

falsafat timur. Hal ini secara genuine dijelaskan oleh Joel L. Kraemer bahwa :

Failasuf-failasuf Yunani pra-Socrates seperti Empedokles, telah belajar kepada Luqmân ‘sang failasuf’ (Luqmân al-Hakîm) di Syro-Palestina pada masa Nabi Dâwud, atau Pythagoras diyakini telah belajar fisika dan metafisika pada murid-murid Nabi Sulaymân di Mesir, dan belajar geometri pada orang-orang Mesir. Kemudian para failasuf itu membawa tradisi ‘falsafat’ yang mereka serap dari Timur menuju Yunani, untuk dikembangkan lebih lanjut.29

      

(26)

Walaupun demikian, terkait karya Ibn Thufayl, Hayy ibn Yaqzhân,

hampir dapat dipastikan bahwa karya Ibn Thufayl ini tidak dipengaruhi oleh

Yunani, ataupun pengaruh falsafat Timur lainnya. Sebaliknya, ia justru

memberi pengaruh besar pada gaya penulisan falsafat melalui cerita, roman,

novel. Pengaruh tersebut dapat dilihat misalnya dari penerjemahan Hayy ibn

Yaqzhân ke banyak bahasa.

Karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Giovanni

Pico della Mirandolla (Abad 15) sebagai karya besar (magnum opus) yang

menjadi referensi utama pada masa itu. Hayy ibn Yaqzhân juga diterjemahkan

oleh Edward Pockoke juga dalam bahasa Latin. Edward Pockoke memberikan

catatan khusus pada terjemahannya tersebut dengan menyebut Ibn Thufayl

sebagai Philosophus Autodidaktus (al-faylasûf al mu‘allim nafsahâ/sang

failasuf otodidak), satu bentuk apresiasi tersendiri yang diberikan pada Ibn

Thufayl. Hayy ibn Yaqzhân kemudian juga diterjemahkan ke dalam bahasa

Inggris oleh Simon Ockley, dengan judul The Improvement of Human Reason,

pada tahun 1708. Kemudian disusul oleh edisi barunya dengan judul The

History of Hayy ibn Yaqzhân pada tahun 1926.30

      

(27)

A. Pengertian Akal dan Wahyu

Selain menjelaskan pengertian akal dan wahyu, subbab ini akan pula

berfokus pada penjelasan akal dan wahyu dalam perspektif teolog dan failasuf.

Walaupun demikian, pemaparan tentang akal dan wahyu tidak dalam subbab

tersendiri tetapi disatukan. Di samping itu penulis juga meringkas persoalan

akal dan wahyu dengan menggungkapkan hal-hal pokok saja, sehingga tidak

memerlukan halaman panjang dalam penulisan kedua tema tersebut di dalam

subbab ini.

Secara bahasa atau lughawî, akal merupakan kata yang berasal dari

bahasa Arab,‘aqala yang berarti mengikat dan menahan. Namun, kata akal

sebagai kata benda (mashdar) dari ‘aqala tidak terdapat dalam al-Qur’ân, akan

tetapi kata akal sendiri terdapat dalam bentuk lain yaitu kata kerja (fi‘l

mudhârî‘). Hal itu termuat dalam berbagai surah dalam al-Qur’ân sebanyak

empatpuluh sembilan, antara lain ialah ta‘qilûn dalam surah al-Baqarah ayat

49; ya‘qilûn surah al-Furqân ayat 44 dan surah Yâsîn ayat 68; na‘qilu surah

al-Mulk ayat 10; ya‘qiluhâ surah al-‘Ankabût ayat 43; dan ‘aqalûhu surah

al-Baqarah ayat 75. Di sisi lain yang terdapat dalam al-Qur’ân selain kata ‘aqala

yang menunjukkan arti berfikir adalah nazhara yang berarti melihat secara

abstrak, sebanyak 120 ayat; tafakkara yang artinya berfikir tardapat pada 18

ayat; faqiha yang berarti memahami sebanyak 20 ayat; tadabbara sebanyak 8

ayat dan tadzakkara yang memiliki arti mengingat sebanyak 100 ayat. Semua

(28)

kata tersebut sejatinya masih sangat terkait dengan pengertian dari kata akal

tersebut.1

Dalam kamus Arab, kata ‘aqala diartikan mengikat dan menahan.

Maka tali pengikat serban, yang dipakai di Arab Saudi memiliki warna

beragam yakni hitam dan terkadang emas, disebut ‘iqal; dan menahan orang di

dalam penjara disebut i‘taqala dan tempat tahanan mu‘taqal.2

Dalam komunikasi atau lisan orang Arab, dijelaskan bahwa kata al‘aql

berarti menahan dan al-‘aqîl ialah orang yang menahan diri dan mengekang

hawa nafsu. Banyak makna yang diartikan tentang ‘aqala. Sejatinya arti asli

‘aqala ialah mengikat dan menahan dan orang ‘aqîl di zaman jahiliyah dikenal

dengan hâmiyah atau darah panas, maksudnya ialah orang yang dapat

menahan amarahnya dan oleh karenanya dapat mengambil sikap dan tindakan

yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah.3

Lain halnya bagi Izutzu, ‘aql di zaman jahiliyah diartikan kecerdasan

praktis. Bahwa orang yang berakal memunyai kecakapan untuk menyelesaikan

masalah, dan di setiap saat dihadapkan dengan masalah ia dapat melepaskan

diri dari bahaya yang dihadapinya.4

Dengan demikian, makna lain dari ‘aqala ialah mengerti, memahami

dan berpikir. Secara common sense kata-kata mengerti, memahami dan

berpikir, semua hal tersebut terpusat berada di kepala. Hal ini berbeda dari apa

yang terdapat dalam al-Qur’ân dalam surat al-Hajj, bahwa pengertian,

pemahaman dan pemikiran bukan berpusat di kepala tetapi di dada.

      

1 Hafizh Dasuki,Ensiklopedi Islam, (Jakarta: P.T Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h.98 2 Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab, (Jakarta: Serambi, 1992), h. 25

3Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam ( Jakarta: UI Press, 1986), h.6

4 Toshihiko Izutzu, God and Man in the Qur’an, (Tokio: Keio University, 1964), h.65. Lihat. Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalm Islam, h.7

(29)

Bagi Izutzu kata al-‘aql masuk ke dalam wilayah falsafat Islam dan

mengalami perubahan dalam arti. Dan dengan masuknya pengaruh falsafat

Yunani ke dalam pemikiran Islam, maka kata al-‘aql mengandung arti yang

sama dengan kata Yunani, nous. Falsafat Yunani mengartikan nous sebagai

daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Dalam perkembangan zaman

modern pengertian tersebut diyakini bahwa pemahaman dan pemikiran tidak

lagi melalui al-qalb di dada tetapi melalui al-‘aql di kepala.5

Adapun secara istilah akal memiliki arti daya berpikir yang ada dalam

diri manusia dan merupakan salah satu daya dari jiwa serta mengandung arti

berpikir. Bagi al-Ghazâlî akal memilki beberapa pengertian: Pertama, sebagai

potensi yang membedakan manusia dari binatang dan menjadikan manusia

mampu menerima berbagai pengetahuan teoritis. Kedua, pengetahuan yang

diperoleh seseorang berdasarkan pengalaman yang dilaluinya dan akan

memerhalus budinya. Ketiga, akal merupakan kekuatan instink yang

menjadikan seseorang mengetahui dampak semua persoalan yang dihadapinya

sehingga dapat mengendalikan hawa nafsunya.6

Adapun asal kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahy yang berarti

suara, api, dan kecepatan, serta dapat juga berarti bisikan, isyarat, tulisan, dan

kitab. Tetapi pengertian wahyu yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah apa

yang disampaikan Tuhan kepada para utusan-Nya.7 Semua agama samawi berdasarkan wahyu. Para nabi adalah seorang manusia yang diberi

kemampuan untuk berhubungan dengan Allah. Wahyu diturunkan kepada

Nabi Muhammad dinamakan al-Qur’ân. Adapun definisi al-Qur’ân adalah

      

5 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, h.8

6 Quraish Shihab, Logika Agama, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 87

7 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, ( Jakarta: UI Press, 1986) h. 15

(30)

kalâm Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad, dan merupakan petunjuk bagi kehidupan.8 Penamaan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan al-Qur’ân memiliki

pengertian bahwa wahyu tersimpan dalam dada manusia karena nama

al-Qur’an sendiri berasal dari kata qirâ’ah (bacaan) dan di dalam kata qirâ’ah

terkandung makna agar selalu diingat.9

Selain dinamakan al-Qur’ân, wahyu yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad memiliki nama-nama lain, yaitu di antaranya, al-Kitâb berarti

tulisan (al-Baqarah: 2); al-Risâlah berarti surat atau warta (al-Ahzâb: 39);

suhuf berarti lembaran-lembaran (‘Abasa: 39); al-Furqân berarti pembeda

karena membedakan antara yang hak dan batil, antara yang baik dan buruk

(al-Baqarah: 185); al-dzikr berarti peringatan (Shâd: 1); al-Hudâ berarti petunjuk

karena memberikan petunjuk kepada jalan hidup yang lurus dan benar

(al-Baqarah: 185); al-Nûr berarti cahaya karena mengeluarkan manusia dari

kegelapan pikiran kepada kebenaran (al-An‘âm: 91); al-Syifâ’ berarti

penawaran atau obat karena berisi penawaran penyakit rohani seperti

keresahan, kegelisahan, kecemasan dan sebagainya (al-Fushilat: 44).10

Wahyu Allah yang diturunkan kepada utusan-Nya khususnya kepada

Nabi Muhammad pada garis besarnya berisi: aqidah, prinsip-prinsip keimanan

yang perlu diyakini oleh setiap mu’min; hukum-hukum syari‘at yang mengatur

hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia, dan

hubungan manusia dengan alamnya; akhlak, tuntunan budi pekerti luhur; ilmu

      

8 Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta:Depag, 1987), h.16

9 Hamzah Ya’qub, Filsafat Agama, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991), h. 132

10 Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h.9

(31)

pengetahuan; sejarah tentang umat-umat terdahulu sebagai pelajaran;

informasi tentang hal-hal yang akan terjadi pada masa yang akan datang.11 Sementara mengenai turunnya wahyu terjadi dengan tiga cara, yakni,

melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham, dari belakang tabir sebagai

yang terjadi dengan Nabi Mûsâ, dan melalui utusan yang dikirim dalam bentuk

malaikat. Dalam al-Qur’ân dijelaskan bahwa konsep wahyu mengandung

pengertian adanya komunikasi antara Tuhan, yang bersifat imateri dan

manusia bersifat materi dan hal ini pun diakui oleh falsafat dan mitisisme

dalam Islam.12

Dalam perkembangan zaman modern hal ini terbantahkan. Wahyu

yang dikomunikasi antara bentuk imateri dan materi oleh parapsikolog

dianggap tidak valid. Gantinya, mereka menyatakan bahwa ketika terjadinya

turunnya wahyu, penyerapan atau perolehan pengetahuan tidak melalui indera,

tetapi melalui sesuatu yang dikenal dengan sebutan Extrasensory Perception.

Dengan begitu hanya orang-orang yang khusus yang dianugerahi Tuhan daya

pencerapan tambahan lagi istimewa membuat mereka dapat menangkap dan

mengetahui hal-hal yang tak dapat ditangkap atau diketahui oleh orang-orang

yang hanya memunyai indera biasa.13

Dalam pandangan Extrasensory Perception ini tercakup

kemampuan-kemampuan seperti telepati, mind reading (mengetahui apa yang ada dalam

pikiran orang lain), clair voyance (kesanggupan melihat apa yang biasa tak

      

11 Hamzah Ya’qub, Filsafat Agama, h.131

12 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, h.18 13 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, h. 19

(32)

dapat dilihat orang lain) dan clairaudience (kesanggupan mendengar apa yang

biasa tak dapat didengar orang lain). 14

Sejalan dengan teori Extrasensory Perception, falsafat Ibn Sînâ

mengenal istilah hads yang sangat mirip dengan Extrasensory Perception.

Hads merupakan daya tangkap luar biasa yang dianugerahkan Tuhan kepada

nabi-nabi. Bahwa nabi-nabi yang diberi hads dalam bentuk penglihatan dan

pendengaran, kemudian menyampaikan wahyu mereka dapat kepada

masyarakat. Hal ini pula terjadi pada Rasullah saat menyampaikan kepada

sahabat-sahabat untuk dihafal dan kepada sekretaris Zayd ibn Tsâbit untuk

ditulis.15

Dalam kajian orientalis yang menulis tentang Islam berkaitan dengan

wahyu khususnya Tor Andrea berpendapat bahwa terdapat dua bentuk wahyu,

pertama wahyu yang diterima melalui pendengaran (auditory) dan wahyu yang

diterima melalui penglihatan (visual). Dalam bentuk pendengaran wahyu

merupakan suara yang berbicara ke telinga atau hati seorang nabi. Dalam

bentuk penglihatan merupakan pandangan dan gambar, terkadang jelas sekali,

tetapi biasanya samar-samar. Dalam hal ini bagi Tor Andrea bahwa Nabi

Muhammad termasuk tipe pendengaran dalam menerima wahyu. Wahyu

didiktekan kepada Nabi Muhammad oleh suara yang menurut keyakinannya

berasal dari Jibrîl.16

      

14 Gudas Fs, Extrasensory Perception, (New York, Charles Scribner, 1961), h.93-74. Lihat. Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, h. 21

15 Oemar Amir Husein, Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 30 16 Mohammed. The Man and His Faith, (New York: Harper & Row, 1960), h. 48

(33)

B. Perspektif Teolog

Teolog merupakan istilah yang lazim digunakan untuk ahli ilmu

kalâm. Skripsi ini hanya memfokuskan pada dua aliran teologi yaitu

Mu‘tazilah dan Asy‘ariyyah, meskipun sebenarnya masih terdapat aliran-aliran

teologi yang lain. Sejatinya persoalan dalam teolog khususnya dua aliran ini

mengacu pada dua persoalan, yakni kemampuan akal dan fungsi wahyu dalam

mengetahui adanya Tuhan serta kebaikan dan kejahatan. Lalu yang menjadi

pertanyaan bisakah akal mengetahui adanya Tuhan? Jika seandainya bisa, lalu

bagaimana akal mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan?

Berkaitan dengan baik dan buruk benarkah akal dapat mengetahui baik dan

buruk? Jika iya, bagaimana akal mengetahui bahwa wajib bagi manusia

berbuat baik dan wajib menjauhi yang buruk?

Dalam sejarah pemikiran Islam, teologi yang disebut oleh tradisi Islam

dengan ilmu kalâm, berkembang mulai dari abad 1 H. Adapun aliran teologi

yang pertama kali muncul adalah Mu‘tazilah. Sedangkan aliran yang kedua

adalah Asy‘ariyyah.

Ada banyak perbedaan penafsiran yang terjadi antara Mu‘tazilah

dengan Asy‘ariyyah dalam pertanyaan di atas. Mu‘tazilah memberikan

kedudukan yang tinggi terhadap akal, tidak terhadap wahyu. Berbeda dari

Mu‘tazilah, Asy‘ariyyah memberi kedudukan yang tinggi terhadap wahyu,

tidak terhadap akal. Dalam pengertian Mu‘tazilah, akal merupakan sumber

pengetahuan,17 di mana setiap manusia menaruh keraguan terhadap apa saja.

Dalam keraguan pengalaman pancaindera merupakan pengetahuan paling

      

17 Hasbullah Bakry, Di Sekitar Filsafat Skolastik Islam, (Jakarta: Tintamas,1973), h.15

(34)

rendah dan sumber pengetahuan paling tinggi ialah akal. Hal ini menunjukkan

bahwa akal merupakan media informasi bagi manusia untuk memeroleh

pengetahuan. Sedangkan wahyu bagi Mu‘tazilah adalah sumber pengetahuan

yang berasal dari agama. Sehingga pengetahuan tersebut bagi Mu‘tazilah

adalah sebagai konfirmasi dari pengetahuan yang berasal dari akal.

Berbeda dari Mu‘tazilah, Asy‘ariyyah menjelaskan pengertian wahyu

sebagai lebih tinggi daripada akal. Wahyu di sini adalah al-Qur’ân dan

penjelasan Nabi yang terkenal dengan sebutan Hadits. Sehingga wahyu

merupakan sumber utama dari pengetahuan. Sedangkan akal merupakan

pikiran yang diperuntukkan untuk memahami dan bukan sumber dari

pengetahun.18

Mu‘tazilah memberikan kedudukan tinggi terhadap akal, maka

gagasan dasarnya sangat bercorak rasional. Disebut rasional karena dalam

setiap memahami ayat-ayat al-Qur’ân, mereka selalu berpikir secara rasional,

dan berusaha mencari kesamaan arti teks yang terdapat dalam al-Qur’ân

dengan pendapat akal. Dalam setiap menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ân,

Mu‘tazilah selalu menggunakan penafsiran secara majâzî atau metaforis, dan

tidak menggunakan penafsiran secara harfiah.

Salah satu contoh dalam menafsirkan ayat al-Qur’ân adalah dalam

kalimat wajah Tuhan sebagai esensi Tuhan, dan tangan Tuhan diartikan

kekuasaan Tuhan. Adapun Asy‘ariyyah mengartikan wajah Tuhan tetap

memunyai arti wajah dan tangan tetap memunyai arti tangan Tuhan, hanya

saja wajah dan tangan Tuhan berbeda dari wajah dan tangan manusia.

      

18 Hasbullah Bakry, Di Sekitar Filsafat Skolastik Islam,(Jakarta: Tintamas,1973,) h.19

(35)

Kecenderungan Mu‘tazilah menggunakan akal dalam setiap

menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ân, karena menggunakan dalil yang ada dalam

al-Qur’ân ayat 53 surat Fushshilat/41, ayat 17 surat al-Ghâsyiyah/88, ayat 185

al-A‘râf/7:

Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segenap ufuk dan dari mereka sendiri, sehingga nyata bagi mereka bahwa al-Qur’ân itu adalah benar.19

Mu‘tazilah berpandangan, pengetahuan dapat diketahui melalui

perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat pula diketahui melalui

pemikiran mendalam. Sementara akal dapat mengetahui kewajiban berterima

kasih kepada Tuhan, bersyukur terhadap nikmat yang diberikan-Nya, dan

meninggalkan keburukan, serta berbuat adil. Akal mengetahui perbuatan baik

dan buruk. Dengan demikian manusia bagi Mu‘tazilah memunyai kewajiban

berterima kasih kepada Tuhan, dan wajib meninggalkan hal-hal buruk.20

Sejatinya akal bagian dari dasar utama bagi Mu‘tazilah, akan tetapi

akal hanya dapat mengetahui secara garis besar, dan tidak terperinci. Dari

keterbatasan akal maka Mu‘tazilah memfungsikan wahyu sebagai konfirmasi

dari pengetahuan yang berasal dari akal.

Adapun Asy‘ariyyah pada sisi lain menyatakan akal tidak akan pernah

dapat mengetahui segala macam bentuk kewajiban serta bentuk kebaikan dan

keburukan sebelum wahyu berada, sebab semua kewajiban hanya dapat

diketahui dengan keberadaan wahyu. Akal hanya dapat mengetahui

      

19 Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-Ayat Kalâm, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996) h. 39

20 Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al-Baqillani: Studi tentang Persamaan dan Perbedaan dengan al-Asyari, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1997), h.114

(36)

keberadaan Tuhan, tetapi wahyu yang mewajibkan manusia mengetahui

Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya.

Ibn Abî Hâsyîm, salah satu tokoh Asy‘ariyyah, mengatakan bahwa akal

hanya mengetahui perbuatan yang membawa kepada kemudharatan, akan

tetapi tidak akan pernah tahu perbuatan yang masuk pada kategori perbuatan

baik dan buruk. Dengan demikian, hanya wahyu yang akan menentukan baik

dan buruk suatu perbuatan. Selain memberikan penjelasan secara terperinci,

kedatangan wahyu dapat berfungsi sebagai pendukung terhadap akal. 21

Asy‘ariyyah mencoba menciptakan suatu posisi moderat dalam semua

gagasan teologis, dengan membuat penalaran yang tunduk terhadap wahyu dan

menolak kehendak bebas manusia yang kreatif dan lebih menekankan

kekuasaan Tuhan dalam setiap kejadian dan perilaku manusia. Hal ini

menunjukkan bahwa pandangan Asy‘ariyyah sangat kuat berpegang pada

wahyu dan kehendak mutlak Tuhan, sebab semua berawal dan berakhir

pada-Nya.

Dalam hal ini pun terlihat bahwa dalam teologi Asy‘ariyyah akal

banyak dipakai dalam masalah-masalah keagamaan serta pemahaman terhadap

ayat-ayat al-Qur’ân, dalam artian akal tidak diberikan peran luas untuk

mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban-kewajibannya. Dengan kata lain akal

masih membutuhkan peran wahyu sebagai media konfirmasi terhadap akal.

      

21 Ilhamuddin, Pemikiran Kalam Al-Baqillani: Studi tentang Persamaan dan Perbedaan dengan al-Asyari, h. 120

(37)

C. Perspektif Failasuf

Memang dalam pandangan falsafat akal lebih banyak dipakai dan

dianggap lebih besar dayanya dari apa yang diungkapkan teolog, sebab ini

sesuai dengan pengertian falsafat ialah memikirkan sesuatu sedalam-dalamnya

tentang wujud. Bagi failasuf, hubungan antara akal dan wahyu, antara falsafat

dan agama tidak ada pertentangan. Walaupun telah terjadi berbagai hujatan

bahwa falsafat bertentangan dengan agama, namun para failasuf berusaha

dengan sekeras mungkin untuk menunjukkan bahwa falsafat pada prinsipnya

tidak bertentangan dengan agama.22

Hampir setiap failasuf Islam berbicara mengenai akal dan wahyu,

terutama al-Kindî yang pertama kali berpendapat bahwa antara akal dan

wahyu atau falsafat dan agama tidak ada pertentangan. Dasar pemikirannya

ialah bahwa keduanya mengandung kebenaran yang sama. Dalam pandangan

al-Kindî falsafat ialah pembahasan tentang kebenaran tidak hanya diketahui

tetapi untuk diamalkan. 23

Dengan demikian antara agama dan falsafat ada penyesuaian, yang

mana keduanya membahas kebenaran dan kebaikan dengan membawa

argumen-argumen yang kuat. Agama dan falsafat membahas subjek yang sama

dan memakai metode yang sama, sehingga yang menjadi perbedaan hanya cara

memperoleh kebenaran yakni falsafat dengan cara menggunakan akal

sedangkan agama dengan wahyu.24

      

22 Mulyadhi Kartanegara,Gerbang kearifan: Sebuah Pengantar Falsafat Islam,(Jakarta: Lentera Hati,2006), h. 139

23 George N. Atiyeh, Al-Kindi: Tokoh Filosof Muslim, terj. Baihaqi (Bandung: Pustaka, 1983),h.36

24 Prof. Dr. H Abdul Azis Dahlan, “Filsafat”, dalam

Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van HOeve, 2007 ), h.179

(38)

Sejatinya argumen-argumen yang dibawa al-Qur’ân memang lebih

meyakinkan daripada argumen-argumen yang diajukan falsafat. tetapi hal ini

bukan menjadi salah satu masalah dalam mencapai pengetahuan sebab di

antara keduanya memiliki tujuan yang sama yakni kebenaran. Kebenaran yang

diberitakan wahyu tidak berlawanan dengan kebenaran yang dibawa falsafat,

sehingga memelajari falsafat bukanlah hal yang dilarang Tuhan, sebab teologi

merupakan bagian dari falsafat serta umat Islam diharuskan belajar tauhid.25 Al-Fârâbî juga memiliki keyakinan bahwa antara agama dan falsafat

tidak ada pertentangan, sebab baginya kebenaran dibawa wahyu dan

kebenaran falsafat hakikatnya satu, walaupun bentuknya berbeda. Dua dasar

yang dipakai al-Fârâbî dalam mengusahakan keharmonisan antara agama dan

falsafat, yakni, pertama pengadaan keharmonisan antara falsafat Aristoteles

dan Plato sehingga sesuai dengan dasar-dasar Islam dan kedua, pemberian

tafsiran rasional terhadap ajaran-ajaran Islam.26

Penafsiran rasional yang dipakai al-Fârâbî dimaksudkan untuk

meyakinkan orang-orang yang tidak percaya akan kebenaran ajaran-ajaran

agama. Dalam penjelasan rasional tentang adanya wahyu al-Fârâbî

menggunakan konsep komunikasi manusia dengan Akal Kesepuluh. Di sini

Tuhan menurunkan wahyu kepada Nabi melalui Akal Aktif, lalu dari Akal

Aktif menuju Akal pasif melalui akal perolehan setelah itu diteruskan dengan

daya penggerak. Bagi orang yang akal pasifnya menerima pancaran disebut

failasuf, sedangkan orang yang daya penggeraknya menerima pancaran adalah

      

25 Dr. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 82

26 Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian W. Asmin, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h.457

(39)

nabi yang membawa berita tentang masa depan. Hal ini pun menuai penjelasan

bahwa komunikasi failasuf dengan Akal Kesepuluh terjadi melalui perolehan,

sedangkan komunikasi nabi hanya cukup dengan daya penggerak.27

Failasuf Islam lain yang juga memiliki pandangan bahwa antara akal

dan wahyu atau antara falsafat dan agama tidak bertentangan yaitu Ibn Sînâ.

Menurutnya, nabi dan failasuf menerima kebenaran-kebenaran dari sumber

yang sama yakni Jibrîl, biasa disebut sebagai Akal Aktif. Perbedaan hanyalah

terdapat dalam hubungan Nabi dan Jibrîl melalui akal materi, sedangkan

failasuf melalui akal perolehan. Para failasuf dalam mencapai akal perolehan

harus dengan usaha yang keras dan latihan yang berat, adapun Nabi

memeroleh akal materi yang dayanya jauh lebih kuat dari akal perolehan.

Karena daya yang kuat inilah oleh karena itu Tuhan hanya memberi daya

tersebut kepada orang-orang pilihan-Nya 28

Ibn Rusyd juga menegaskan bahwa antara agama dan falsafat tidak

bertentangan bahwa penelitian akal tidak menimbulkan hal-hal yang

bertentangan dengan apa yang dibawa agama, karena kebenaran tidak

berlawanan dengan kebenaran tetapi sesuai dan saling menguatkan. Dalam hal

ini Ibn Rusyd menjelaskan hal tersebut dengan pembagian akal. Menurutnya,

akal terbagi menjadi tiga metode, dengan membuat perbedaan tingkat

kapasitas dan kemampuan manusia dalam menerima kebenaran, pertama

retorika (Khithâbiyyah), dialektika (jadâliyyah), dan demontratif

(burhâniyyah). Metode pertama dan kedua diperuntukkan pada manusia

      

27Dr. Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), h.83 28Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, h.84

(40)

awam, dan metode ketiga merupakan kekhususan kelompok manusia yang

berpikir kritis.29

Bagi Ibn Rusyd pengelompokan tersebut sesuai dengan penjelasan ayat

al-Qur’ân surat al-Nahl, Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu dengan cara

hikmah, pengajaran yang baik dan, bila perlu, berdebatlah dengan mereka

dengan cara-cara yang baik pula. Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui

siapa yang sesat jalan dan Ia juga lebih tahu tentang siapa yang mendapat

petunjuk (Q.S. al-Nahl/16:125). Ayat ini menegaskan dan mengajak manusia

kepada kebenaran dengan jalan hikmah, pelajaran yang baik dan debat yang

agumentatif. Ibn Rusyd menjelaskan pula bahwa penalaran melalui metode

burhaniyah tak akan membawa pertentangan dengan syari‘at (wahyu), karena

syari‘at sendiri mengajarkan manusia pada penalaran kritis dan menggiring

pada pengetahuan kebenaran.30

Sekalipun kebenaran penalaran burhâniyyah sangat bermanfaat untuk

memerkuat wahyu, bagi Ibn Rusyd, ada di antara ayat-ayat al-Qur’ân secara

sepintas bertentangan dengan akal. Ibn Rusyd kemudian menegaskan bahwa

pernyataan-pernyataan syari‘at harus diteliti secara komprehensif. Hal ini akan

membuktikan bahwa syari‘at sendiri mendukung adanya ta’wîl.

Dengan kata lain, pernyataan-pernyataan syari‘at yang dipahami

sepintas bertentangan dengan metode burhânî harus dita’wîl sehingga

diperoleh pengertian yang benar. Bagi Ibn Rusyd, adanya penggunaan ta’wîl

      

29 Drs. Muhammad Iqbal, M.Ag, Ibn Rusyd dan Averroisme: Sebuah Pemberontakan terhadap Agama, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004). H.39

30 Drs. Muhammad Iqbal, M.Ag, Ibn Rusyd dan Averroisme: Sebuah Pemberontakan terhadap Agama, h. 42

(41)

merupakan konsekuensi logis dari syari‘at yang mengandung makna lahiriah,

tersurat (muhkamât) dan makna batiniah, tersirat (mutasyâbihât).31

Adanya pembedaan ayat-ayat muhkamât dan mutasyâbihât

dimaksudkan untuk “mengakomodasi” keanekaragaman kemampuan manusia

dalam memahami Qur’ân dan menerima kebenaran. Di antara penerima

al-Qur’ân tersebut ada yang memiliki kemampuan dan cara berpikir sederhana.

Namun ada pula yang memunyai pemikiran kritis dan daya nalar yang tajam.

Orang awam yang kemampuannya kurang dan masih sederhana tidak perlu

mendalami ayat-ayat mutâsyabihât, karena tidak memiliki kemampuan untuk

hal itu. Sebaliknya, bagi orang yang memiliki kemampuan untuk berpikir

kontemplatif dan mendalam (al-râsikhûn fi al-‘ilm), melakukan ta’wîl dengan

menggabungkan makna-makna tekstual yang kelihatan bertentangan adalah

suatu keniscayaan.32

Bagi Ibn Rusyd ta’wîl adalah mengeluarkan suatu lafazh dari konotasi

yang hakiki kepada konotasi majâzî (metaforis) tanpa merusak susunan dan

tata bahasa Arab dalam membuat metafora tersebut.

Dalam hal pencapaian apa pun, bagi Ibn Rusyd, yang diperoleh melalui

metode demonstratif tapi tidak sejalan dengan makna lahiriah teks al-Qur’ân,

maka teks (nash) tersebut dapat dita’wîl, asalkan sesuai dengan

ketentuan-ketentuan kaidah bahasa Arab.

Oleh karena itu Ibn Rusyd membagi nash-nash dalam tiga bagian,

yaitu, pertama nash-nash syari‘ah yang mengandung makna lahiriah dan tidak

      

31 Drs. Muhammad Iqbal, M.Ag, Ibn Rusyd dan Averroisme: Sebuah Pemberontakan terhadap Agama, h. 44

32 Dr. Amsal Bachtiar. M.A., Pergulatan Pemikiran dalam filsafat Islam: Memahami Alur Pendekatan Al-Ghazali dan Ibn Rusyd,(Jakarta: UIN Press, 2004), h.212

(42)

boleh dita’wîl. Bila terhadap makna dilakukan ta’wîl maka akan menimbulkan

bid‘ah atau kekafiran. Kedua, makna yang oleh ahli burhân wajib ta’wîl.

Seandainya nash tersebut diartikan secara lahiriah begitu saja justru bisa

menimbulkan kekafiran bagi mereka. Ketiga, makna yang belum jelas

kedudukannya antara kedua kategori ini. Kelompok nash tersebut tergolong

pelik dan menimbulkan perbedaan pandangan di kalangan para ahli.33

Bagaimanapun, yang jelas ta’wîl merupakan suatu keharusan dalam

memahami syari‘at, sehingga dapat dipadukan antara kebenaran akal dan

kebenaran wahyu. Namun Ibn Rusyd menolak dengan keras pemakaian ta’wîl

oleh sembarangan orang, sebab hal itu akan membawa kerusakan bagi agama.

Dalam menentukan nash mana saja yang boleh dita’wîl sesuai dengan syari‘at,

Ibn Rusyd membuat ketentuan yaitu mengategorikan nash ke dalam tiga

bagian,

1. Tidak ada kemungkinan ijmâ‘ tentang makna nash tertentu dalam kitab

suci.

2. Pernyataan Kitab Suci secara lahir nampak bertentangan antara satu sama

lainnya.

3. Pernyataan Kitab Suci nampak bertentangan dengan prinsip-prinsip

falsafat/ penalaran yang lazim.34

Dapat terlihat sejatinya Ibn Rusyd menempatkan akal pada posisi yang

tinggi, namun tetap berpegang teguh pada Kitab Suci. Kedua-duanya, akal dan

wahyu, sama-sama dibutuhkan oleh manusia untuk memeroleh kebenaran.

      

33 Drs. Muhammad Iqbal, M.ag, Ibn Rusyd dan Averroisme: Sebuah Pemberontakan terhadap Agama, h.45

34 Drs. Muhammad Iqbal, M.ag, Ibn Rusyd dan Averroisme: Sebuah Pemberontakan terhadap Agama, h. 46

(43)

 

Dengan akal, kebenaran wahyu akan semakin diperkukuh, sebaliknya dengan

wahyu, akal tidak liar tanpa kendali. Oleh karena itu bagi Ibn Rusyd akal

bukanlah segala-galanya.

Segala sesuatu yang tidak dicapai oleh akal, maka sejatinya Tuhan

memberikannya kepada manusia melalui wahyu-Nya. Di antaranya adalah

mengenai ilmu mengetahui Tuhan, mengetahui arti kebahagiaan dan

kesengsaraan di dunia dan akhirat dan mengetahui jalan untuk mencapai

kebahagiaan dan menjauhi kesengsaraan. Dalam hal tersebut Ibn Rusyd

menegaskan bahwa perhatian falsafat ditujukan untuk mengenal apa yang

(44)

A. Hirarki Akal

Kisah Hayy ibn Yaqzhân mendapat dua pandangan yang berbeda.

Yang pertama, pandangan yang menolak gagasan swa-lahir (al-Tawallut

al-Dzâtî). Pandangan ini menyatakan bahwa Hayy dilahirkan dari seorang

ibu yang merupakan adik dari seorang raja kejam. Kerabat raja bernama

Yaqzhân diam-diam menikahi adiknya. Adik sang raja pun mengandung

benih dari hasil pernikahannya dan melahirkan seorang bayi laki-laki. Dan

bayi itu diketahui oleh pihak raja, maka akhirnya bayi itu dibuang ke laut,

dan ternyata terdampar di pantai pulau seberang yang bernama Waqwaq

setelah hanyut oleh ombak yang pasang.1

Pandangan kedua, menyatakan bahwa Hayy ibn Yaqzhân terlahir

dari bumi, dan merupakan hasil proses alam. Pada awalnya Hayy

tersimpan di dalam perut pulau tertentu yang mengandung lempung yang

sudah berfermentasi sangat lama dan sangat besar. Bagian lempung itu

berkualitas dan berpotensi dalam keseimbangan suhu yang akhirnya

memunyai kesiapan untuk membentuk gamet. Dari situlah tercipta sebuah

embrio yang mengalami perkembangan dan berevolusi sebagai tubuh yang

terisi oleh ruh Tuhan. Selanjutnya akibat dari penyinaran yang seimbang,

      

1 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 59.

(45)

terlahirlah seorang bayi dan tumbuh.2Pandangan kedua ini kemudian dikenal sebagai pembela gagasan swa-lahir.

Walaupun berbeda, kedua pandangan tersebut memiliki kesamaan

dalam kisah selanjutnya. Sang bayi terselamatkan, dan hidupnya berjalan

normal karena ditemukan serta diasuh oleh seekor rusa. Setelah

menemukan bayi tersebut sang rusa merawatnya dengan kasih sayang

seperti anaknya sendiri, sampai pada akhirnya rusa tersebut mati dan Hayy

pun memikirkan terkait dengan kematian ini: kenapa terjadi kematian?

Sampai di sini, sejatinya Ibn Thufayl menyuguhkan kisah ini sebagai

gambaran dari falsafatnya, yakni berhubungan dengan beberapa tingkatan

daya pikir seorang manusia. Dalam fase-fase selanjutnya akan ditunjukkan

bagaimana Hayy menggunakan akal serta perkembangannya dalam

pencariannya mencari kebenaran sejati.

Fase pertama, Hayy ibn Yaqzhân hidup dan beraktivitas mengikuti

ibunya, sang rusa. Dalam umur dua tahun Hayy mulai dapat melihat

perbedaan antara sang rusa dengan dirinya, seperti adanya, bulu, cakar,

dan sebagainya yang ada pada sang rusa. Dalam fase ini dia mulai

membuat tutup aurat dengan daun-daun, lalu belajar menirukan

suara-suara rusa, membuat tongkat untuk perlindungan dirinya dari serangan

binatang lain. Tetapi sampai pada masa sang rusa meninggal, Hayy beralih

pada penalaran metafisik-spekulatif. Ia mulai penasaran dengan kejadian

itu, dan mulai menyelidiki akibat kematian ibunya. Selanjutnya ia

membedah tubuh sang rusa dan meyelidiki penyebab kematian. Ia

      

Referensi

Dokumen terkait

Praktik Pengalaman Lapangan adalah semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh praktikan, sebagai pelatihan untuk menerapkan teori yang diperoleh dalam

Penerapan Nilai Islami oleh pengelola usaha PT.Freeport Indonesia tidak berhubungan secara langsung pada Perilaku, Kinerja, dan Kesejahteraan Islami karyawan yang bekerja

semakin tinggi suhu udara maka proses pengeringan akan semakin cepat. Pada proses penggilingan, suhu

Pengukuran adalah membandingkan suatu besaran dengan satuan yang dijadikan sebagai patokan. Dalam fisika pengukuran merupakan sesuatu yang sangat vital.

dapat mengacu pada kurikulum, Standar Kompetensi Kerja, atau standar lain yang berlaku di DUDI. Inventarisasi Produk (Barang/Jasa) Setiap

[r]

[r]

[r]