• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon masyarakat Kota Tangerang terhadap peraturan Daerah kota Tangerang No.8 Tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respon masyarakat Kota Tangerang terhadap peraturan Daerah kota Tangerang No.8 Tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

RESPON MASYARAKAT KOTA TANGERANG TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NO. 8 TAHUN 2005

TENTANG PELARANGAN PELACURAN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

Ety Lusiana

NIM : 204044103025

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

RESPON MASYARAKAT KOTA TANGERANG TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NO. 8 TAHUN 2005

TENTANG PELARANGAN PELACURAN

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

Ety Lusiana

NIM : 204044103025

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. H. Yayan Sopyan, M.Ag Dr. Hj. Mesraini, M.Ag

NIP: 150 277 991 NIP: 150 326 895

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul RESPON MASYARAKAT KOTA TANGERANG TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NO. 8 TAHUN 2005 TENTANG PELARANGAN PELACURAN telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 18 Februari 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyyah.

Jakarta, 18 Februari 2009

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H.M Amin Suma, S.H., M.A,M.M

NIP. 150 210 422

PANITIA UJIAN MUNAQASAH

Ketua : Drs.Djawahir Hejazziey, SH. MA (---)

NIP. 130 789 745

Sekretaris : Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag (---)

NIP. 150 269 678

Pembimbing I : Dr. H. Yayan Sopyan, MA (---)

NIP. 150 277 991

Pembimbing II : Dr. Hj. Mesraini, MA (---)

NIP. 150 326 895

Penguji I : Drs. Sirril Wafa, M.Ag (---)

NIP. 150 277 992

Penguji II : Kamarusdiana, S.Ag., MH (---)

(4)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul RESPON MASYARAKAT KOTA TANGERANG TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NO. 8 TAHUN 2005 TENTANG PELARANGAN PELACURAN telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 18 Februari 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyyah.

Jakarta, 18 Februari 2009

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H.M Amin Suma, S.H., M.A,M.M

NIP. 150 210 422

PANITIA UJIAN MUNAQASAH

Ketua : Drs.Djawahir Hejazziey, SH. MA (---)

NIP. 130 789 745

Sekretaris : Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag (---)

NIP. 150 269 678

Pembimbing I : Dr. H. Yayan Sopyan, MA (---)

NIP. 150 277 991

Pembimbing II : Dr. Hj. Mesraini, MA (---)

NIP. 150 326 895

Penguji I : Drs. H. Sirril Wafa (---)

NIP.

Penguji II : Kamarusdiana, S. Ag., MH (---)

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas segala rahmat,

karunia, hidayah, dan inayah-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga

penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam

semoga selalu tetap tercurahkan kepada Nabi pembawa perubahan, revolusioner di

dalam segala aspek kehidupan dan rahmat sekalian alam, Baginda Nabiyullah

Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya dan juga orang-orang yang

tetap istiqamah menegakkan dinul Islam hingga akhir zaman.

Skripsi yang berjudul “Respon Masyarakat Kota Tangerang terhadap Perda

Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Penulis susun

dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana

Hukum Islam (S1) pada Jurusan Al-Akhwal Al-Syakhsiyyah program studi

Administrasi Keperdataan Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Selama penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan sumbangan

motifasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, izinkanlah penulis untuk

menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof., Dr., H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M, Selaku

(6)

2. Bapak Drs., H.A. Basiq Djalil, S.H., MA dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag.,

M.H, Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah

yang selalu memberikan bimbingan, spirit kepada penulis, sehingga penulis

mampu menyelesaikan skripsi ini.

3. Drs. Djawahir Hejazziey, SH.,MA, dan Bapak Drs.H.Ahmad Yani, MA,

Ketua Koordinator Teknis, dan Sekretaris Program Non Reguler, Ahwal

Syakhsiyyah yang selalu memberikan bimbingan, spirit kepada penulis,

sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

4. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr.

H. Yayan Sopyan, MA, dan Ibu Dr. Hj. Mesraini, MA, dosen pembimbing

yang telah meluangkan waktu dan memberikan ilmunya selama penulis

mengerjakan skripsi ini. Merupakan suatu kehormatan bagi penulis bisa

berada di bawah bimbingan bapak dan ibu.

5. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak

Dr. Jaenal Aripin, MA, yang telah meluangkan waktunya dan memberikan

ilmunya selama penulis mengerjakan skripsi ini.

6. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ibu Pemerintahan Daerah

Kota Tangerang Bagian Hukum dan Perundang-undangan, dan Bapak Ibu

Dinas Tramtib Kota Tangerang, serta seluruh instansi Kecamatan Cipondoh

(Khususnya warga masyarakat Kelurahan Poris Plawad dan Kenanga),dan

Kecamatan Karawaci (Khususnya warga masyarakat kelurahan Bojong Jaya

(7)

pengalamannya kepada penulis. Semoga apa yang dilakukan menjadi amalan

yang baik dan dibalas oleh Allah SWT.

7. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen yang penulis hormati, yang telah memberikan

tenaga dan pikirannya untuk mendidik agar kelak menjadi manusia yang

berguna di dunia dan akhirat semoga do’a dan didikannya menjadi berkah dan

dapat menuntun penulis untuk memasuki kehidupan baru yang lebih baik.

8. Segenap pengelola perpustakaan Pusat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan

Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas

kepada penulis dalam mencari data-data yang berkaitan dengan skripsi

penulis.

9. Ibundaku Zaenah dan ayahanda Sugianto serta adikku Lala, dan kak toni yang

senantiasa mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan

bimbingan baik moril maupun materil, nasihat maupun do’a demi kesuksesan

penulis, semoga hari-hari selalu bahagia dan dilindungi Allah SWT.

10.Teman-teman PA angkatan 2004-2005, khususnya Lilis, Erna yang membantu

dan menemani penulis menyelesaikan skripsi ini dalam suka dan duka.

Semoga tali silaturrahmi tidak terputus Amien.

Akhirnya penulis dengan segala kerendahan hati berharap, semoga kebaikan

dan pengorbanan yang telah diberikan kepada penulis akan mendapat balasan yang

berlipat ganda dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih ada

kekurangan dan belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat

(8)

berguna dikemudian hari dan memberikan manfaat bagi semua pihak serta

rekan-rekan yang membacanya dan semoga semua yang telah penulis lakukan mendapat

ridha Allah SWT. Amin.

Jakarta, 23 Desember 2008 M

25 Dzulhijjah 1428 H

(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI ...v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Review Studi Terdahulu... 10

E. Metode Penelitian ... 13

F. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG PELACURAN... A. Definisi Pelacuran... 21

1. Pelacuran menurut Hukum Islam... 25

2. Dasar Hukum Larangan Pelacuran menurut Hukum Islam ... 26

3. Pelacuran menurut Hukum Pidana ... 28

B. Sejarah Pelacuran di Indonesia... 31

C. Faktor penyebab terjadinya pelacuran ... 38

D. Dampak dari pelacuran terhadap masyarakat... 40

(10)

F. Islam dan Gender ... 46

BAB III PERDA KOTA TANGERANG NO 8 TAHUN 2005 TENTANG PELARANGAN PELACURAN ... 48

A. Sekilas Tentang Kota Tangerang ... 48

B. Latar Belakang Lahirnya Perda Kota Tangerang No.8 Tahun 2005 Tentang Pelarangan Pelacuran ... 54

C. Seputar materi Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran ... 57

1. Identifikasi Bab-bab dan Pasal-pasal yang krusial dalam Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran... 57

2. Problematika Perda Kota Tangerang No.8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran ... 60

3. Penerapan Perda Kota Tangerang No.8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran ... 65

BAB IV PERDA KOTA TANGERANG NO 8 TAHUN 2005 TENTANG PELARANGAN PELACURAN DALAM PANDANGAN MASYARAKAT ... 69

A. Kondisi Objektif Wilayah Penelitian ... 69

B. Identitas Responden ... 73

(11)

D. Sikap masyarakat terhadap Perda Kota Tangerang No 8 Tahun

2005 tentang Pelarangan Pelacuran ... 88

E. Respon masyarakat terhadap Perda Kota Tangerang No 8 Tahun

2005 tentang Pelarangan Pelacuran

... 10

3

F. Analisa Data

... 11

3

BAB V PENUTUP

... 11 7

A. Kesimpulan

... 11

7

B. Saran-saran

... 11

8

DAFTAR PUSTAKA

... 12 0

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat menghindari pergaulan sesama.

ia pun punya kebebasan bergaul dan memasuki berbagai komunitas yang beragam.

Namun kebebasan tidak selamanya absolut. Tentu ada batas–batas tertentu yang

secara normatif disetujui oleh masyarakat (Pemerintah) maupun ajaran agama yang

dapat di yakini kebenarannya. Tanpa batasan itu ia akan kehilangan kemuliannya,

karena ia akan terjebak pada kebejatan moral yang tidak mustahil merusak jasmani.1

Kebebasan yang dilakukan secara absolut, sering diterapkan orang pada

kebebasan antara lelaki dan wanita. Akan tetapi bila sudah meningkat pada kebebasan

hubungan seksual, sadar atau tidak, hal itu mengakibatkan perilaku yang abnormal,

dari pandangan sosial maupun agama. Akibat lebih jauh adalah timbulnya kerusakan

moral dan kehormatan yang tidak jarang mengakibatkan kerusakan jasmani.

Berjangkitnya penyakit kelamin seperti AIDS, lahir dari kebebasan seksual, tanpa

kontrol terhadap kebersihan lawan seks.

Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah di beri bekal hidup berupa

aturan-aturan untuk dijadikan pedoman dalam sebuah kehidupan agar tidak menyimpang

dari garis-garis yang telah di tentukan. Salah satu yang diatur dalam Islam adalah

1

(13)

masalah hukuman bagi tindak kejahatan. Al-Qur’an membatasi teksnya pada

ketentuan lima macam tindak kejahatan bersama sanksinya. Yaitu; Pembunuhan,

pencurian, melakukan pengrusakan, zina, dan tuduhan zina terhadap wanita baik-

baik.2

Guna terciptanya suatu kemaslahatan dan ketentraman dalam masyarakat serta

menjaga manusia dari hal-hal yang mafsadah maka diadakanlah pembalasan atas

kejahatan atau pelanggaran agar merasa jera dan berfikir untuk tidak mengulangi

masalah yang sama. Sebagaimana diadakannya hukuman dalam Islam.

Salah satu hukuman dalam Islam adalah hudûd atau hukuman rajam bagi

pelaku zina. Kasus hukum rajam bagi pelaku zina bukanlah inti ajaran yang di

kehendaki syariah. Adapun hukum rajam adalah hukum pendukung dalam

menegakkan larangan zina.

Islam sangat mementingkan pemeliharaan terhadap lima hal yaitu; Agama,

jiwa, akal, keturunan dan harta. Larangan Islam terhadap pelacuran/perzinaan, ini

berkaitan dengan penghargaan Islam terhadap kehormatan diri dan kesucian

keturunan. Islam mensyari’atkannya hâd (dera) bagi lelaki atau perempuan yang

berzina, dan bagi penuduh pembuat zina.3 Islam sangat melarang keras perbuatan

zina, seperti pelacuran dan sejenisnya, pelanggaran terhadap ketentuan ini akan

menimbulkan dampak yang buruk sangat serius terhadap masyarakat luas.

2

Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya (Jakarta : Sinar Grafika,2007) hal. 191

3

(14)

Penyakit AIDS yang sangat di takuti masyarakat dewasa ini, di derita terus terutama

oleh para pelaku homo-seksual, serta orang-orang yang suka jajan seks di luar

pernikahan.4

Di Indonesia sendiri pelacuran tidak dianggap sebagai kejahatan akan tetapi

hanya permasalahan sosial biasa. Yang dianggap kriminal adalah profesi sebagai

germo yang diancam dengan hukuman maksimal 4 tahun (Pasal 297 KUHP). Karena

pelacuran dianggap sebagai permasalahan sosial maka penanganannya pun dilakukan

dengan pendekatan sosial.

Prostitusi atau pelacuran adalah persenggamaan antara pria dan wanita tanpa

terikat oleh piagam pernikahan yang sah. Perbuatan ini dipandang rendah dari sudut

moral dan akhlak, dosa menurut agama, tercela dan jijik menurut penilaian

masyarakat di Indonesia. Akan tetapi belakangan ini, pelacuran adalah salah satu

profesi dan lahan bisnis untuk tujuan ekonomi. 5

Walaupun pelakunya selalu berdalih dengan alasan ekonomi, namun juga

dipengaruhi oleh berbagai faktor dan alasan yang secara rasional bukan moral bisa

dipahami. Misalnya, mundurnya usia perkawinan, tingginya angka perceraian,

meningkatnya mobilitas penduduk, gaya hidup, pendapatan masyarakat, dan

tantangan yang dihadapi. Tidak dapat dipungkiri banyak berita media massa

membukakan mata bahwa globalisasi juga berdampak pada penyebaran dan perluasan

ruang lingkup operasi pelacuran, dan sekarang telah banyak industri seks komersil

4

Hasanuddin, Perdagangan Perempuan dalam perspektif hukum Islam”Ahkam V”, No.12 (2003): h.131

5

(15)

dikarenakan banyak peminat, baik itu dalam pemenuhan kebutuhan di Indonesia

sendiri ataupun untuk diperdagangkan ke mancanegara dengan penghasilan yang

cukup besar dan setingi-tingginya dari sistem pelacuran. Pelacuran tetap bagian tak

terjangkau dari hukum yang ada. Tidak salah, kalau pelacuran merupakan komoditi

seks yang menggiurkan.6

Pelacuran memiliki sisi positif dan negatif pula. Diantara sisi positifnya

adalah ia memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Baik sebagai usaha kecil

sampai industri seks komersial ternyata jumlahnya yang sangat besar. Industri seks

merebak di daerah yang membuka lapangan kerja baru. Karena dalam sejarahnya

pelacuran memang berkembang sejalan dengan tumbuhnya kota kecil dan

kota-kota besar. Di tahun 1995 saja jumlah pekerja seks, di Indonesia berkisar antara

65.582 pelacur, dan diperkirakan mereka yang bekerja nyambi rangkap bisa mencapai

angka 500.000. Lokalisasi atau komplek bordello secara resmi diatur oleh Pemerintah

Daerah. Hasil dari industri seks ini diperkirakan US$ 1,27 milyar sampai US$ 3,6

milyar atau sama dengan 4%-11% APBN 1995 Republik Indonesia.7

Namun di balik sisi positifnya itu ternyata tersimpan berbagai sisi negatif

yang tidak bisa dibayar dengan jumlah materi berapapun. Pelacuran bukan hanya

sebuah gejala individual akan tetapi sudah menjadi gejala sosial dari penyimpangan

seksualitas yang normal dan juga agama. Karena pelacuran bukan hanya memiliki

6

Armaidi Tanjung, dan Elfi Delfita, Mengapa Zina dilarang, (Solo:CV Pustaka Mantiq, 1997), h.69

7

(16)

dampak terhadap individu-individu pelaku dan pemakai jasa ini secara personal, akan

tetapi juga memiliki dampak terhadap masyarakat umum.8

Di era desentralisasi seperti sekarang , penanganan masalah ketertiban dan

sosial diserahkan pada pemerintah kota dan kabupaten setempat. Dan beberapa dari

mereka kemudian menerbitkan perda mengenai masalah ini. Salah satunya adalah

Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran yang dikeluarkan oleh

Pemerintah Kota Tangerang.

Tepatnya pada usia ke-13 Pemerintah Kota Tangerang mulai melaksanakan

Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Dengan disahkannya Perda

tersebut, maka siapapun dilarang melacur ataupun melakukan kegiatan yang

berhubungan dengan pelacuran. Adapun bagi pelanggar ketentuan-ketentuan Perda

Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 ini diberikan ancaman pidana bagi pelakunya

yaitu kurungan paling lama 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 15.000.000

(lima belas juta rupiah).

Di samping itu Drs. H. Wahidin Halim, M.S.i, sebagai Walikota Tangerang

ingin mewujudkan sebuah Kota yang berhias dan bertaqwa menuju peradaban

pembangunan masyarakat yang berakhlakul karimah, bahkan semua aspek

pemerintahan diarahkan bagaimana membentuk masyarakat yang berakhlak mulia

8

(17)

guna membendung dekadensi moral ke jurang kehancuran untuk menjadi landasan

moral dan etika dalam berbangsa dan bernegara. 9

Pada dasarnya, tujuan mulia mengiringi niat Pemerintah Kota Tangerang

membuat Perda itu, selain ingin menciptakan masyarakat yang berakhlakul karimah,

pemerintah juga ingin membantu kepolisian dalam rangka menekan angka

kriminalitas yang kerap ada dan terjadi. Harus diakui, sejak disahkan DPRD Kota

Tangerang pada akhir November 2005, perda No 8 tahun 2005 sedikit banyak telah

membawa pengaruh positif bagi warga Kota Tangerang.

Terbukti kini keberadaan PSK tidak sesemarak dulu, sebelum adanya perda

tersebut. Kepala Dinas Ketentraman dan Ketertiban Kota Tangerang, Ahamad Lutfi

mengatakan semenjak Perda No 8 tahun 2005 diberlakukan, jumlah PSK

diwilayahnya menurun, yaitu dari 200 PSK, kini tinggal 50 orang PSK. Sisa yang

masih nekat beroperasi di Kota Tangerang, selalu kucing-kucingan dan berdandan

tidak seronok.10

Itikad baik Pemda Tangerang untuk membenahi moral masyarakat juga

mendapat sambutan negatif dari kalangan yang tidak sepaham. Bahkan ada yang

menganggap hal ini sebagai upaya penegakan Syariat Islam di tingkat pemda.

9

http://www.Tangerangkota.go.id/view.php?mode=9&sort no=22, artikel diakses pada

tanggal 15 maret 2008.

10

(18)

Berbagai macam isu yang mendeskreditkan Pemda Tangerang bertebaran di media

massa, mereka bersuara lantang mencabut pembatalan Perda tersebut.11

Penyebabnya adalah Perda ini memberi kewenangan pada aparat Tramtib

untuk menangkap perempuan mana saja yang dicurigai sebagai pelacur. Akibatnya

banyak terjadi penangkapan terhadap perempuan baik-baik yang kebetulan keluar

malam seperti pulang kerja. Padahal dalam sistim hukum manapun seseorang tidak

boleh ditangkap dan dihukum hanya dilandasi oleh kecurigaan.

Ambil kasus salah tangkap yang dialami saudari Lilis Lindawati, seorang ibu

rumah tangga yang bekerja di sebuah restoran Cengkareng, di tangkap oleh petugas

Tramtib pada tanggal 27 Februari 2006 di daerah Grendeng Kecamatan Karawaci

pada saat pulang kerja.12 Dengan kasus tersebut Perda No. 8 Tahun 2005 dalam

Implementasinya telah menimbulkan kriminalisasi terhadap perempuan yang bekerja

di malam hari. Sehingga terjadi adanya pro dan kontra mengenai Perda tersebut.

Akan tetapi, dibutuhkan sebuah regulasi untuk menertibkan aktivitas mereka dengan

terus berpikir bagaimana mencari penyelasaian permasalahan mereka.

Bertolak pada itu semua maka dianggap perlu untuk mengetahui bagaimana

tanggapan dan reaksi masyarakat Kota Tangerang sendiri yang berlatar belakang

masyarakat yang menjunjung tinggi agama memandang fenomena pelacuran yang

11

Chairil Akhmad, Orang Kerdil Takut Islam Besar, artikel diakses pada 20 juli 2008 dari http: www.mail-archive.com/ppiindia@yahoogroups.com/msg39478.html,

12

(19)

terjadi di masyarakat dengan dikeluarkannya Perda Kota Tangerang No 8 Tahun 2005

tentang Pelarangan Pelacuran.

Atas dasar tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan

melaporkannya dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi dengan judul :

“Respon Masyarakat Kota Tangerang terhadap Peraturan Daerah Kota Tangerang No 8 Tahun 2005 Tentang Pelarangan Pelacuran”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar pembahasan skripsi ini lebih sistematis dan terarah, maka perlu adanya

pembatasan masalah yang akan dianalisa. Untuk itu pembatasan masalah dalam

penulisan karya ilmiah ini adalah ;

1. Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.

2. Pelaksanaan Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan

Pelacuran.

3. Pelaksanaan Perda Kota Tangerang di Kecamatan Karawaci dan Kecamatan

Cipondoh.

4. Respon masyarakat Kota Tangerang terhadap Perda No. 8 Tahun 2005 tentang

Pelarangan Pelacuran.

Dengan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, fokus penulisannya

diharapkan mampu memberikan pemahaman bagi para pembaca. Berkenaan dengan

ini, maka pokok masalah dalam skripsi ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Apa yang melatarbelakangi lahirnya Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 8

(20)

2. Bagaimana pengetahuan masyarakat terhadap Peraturan Daerah No. 8 Tahun

2005 Kota Tangerang tentang Pelarangan Pelacuran?

3. Bagaimana sikap dan respon masyarakat Kota Tangerang terhadap Peraturan

Daerah No. 8 tahun 2005 Kota Tangerang tentang Pelarangan Pelacuran?

C Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Setelah penulis menentukan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini

bertujuan :

1. Untuk mengetahui latar belakang lahirnya Perda Kota Tangerang No. 8

Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran

2. Untuk mengetahui pengetahuan masyarakat Kota Tangerang terhadap Perda

Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran

3. Untuk mengetahui sikap dan respon masyarakat Kota Tangerang terhadap

Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.

Adapun manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu: Manfaat

secara Teoritis yakni memperkaya khazanah keilmuan khususnya di lingkungan

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedangkan Manfaat

secara praktis yaitu memberikan Informasi pada masyarakat umum sebagai bahan

untuk kebijakan Kota Tangerang dalam hal ini Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun

(21)

D. Review Studi Terdahulu

Berdasarkan telaah yang sudah dilakukan terhadap beberapa sumber

kepustakaan, penulis meninjau bahwa apa yang merupakan masalah pokok penelitian

ini tampaknya sangat penting dan prospektif untuk mengetahui seperti apa respon

masyarakat terhadap Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2005 Kota Tangerang. Adapun

penelitian sebelumnya tentang Peraturan Daerah dan pelacuran diantaranya adalah

sebagai Berikut :

No Identitas Penulis Substansi Perbedaan

1. Najihatin

Niswah,

Tahun

2006

Kedudukan Hukum Lokalisasi

Pelacuran menurut pemikiran

Dr.KH.MA. Sahal Mahfudz,

memberikan pandangan yang jelas

mengenai pelacuran yang merujuk

pada Al-Qur’an dan Hadist, serta

penanggulangan pelacuran melalui

pemikiran DR. KH. SAHAL

MAHFUDZ, lewat pemikirannya

yang tertuang dalam Nuansa Fiqh

Sosial. Menurutnya ada dua cara

terbaik dalam menanggulangi

pelacuran. Pertama, melalui

Terletak pada cara

penanggulangan

pelacuran. Yaitu

dengan adanya

Lokalisasi dan

penanggulangan,

dengan pencegahan

pelacuran dengan

adanya Peraturan

Daerah Kota

Tangerang No. 8

Tahun 2005

(22)

Sentralisasi lokasi pelacuran dari

suatu tempat yang jauh dari kontak

penduduk. Kedua, melalui

pendekatan Kausatif-Sosiologis.

Cara ini dimaksudkan untuk

mengetahui sebab-sebab dan latar

belakang para pelaku pelacuran.

Kiai sahal menyebut sebagai

“Keyword” untuk mengatasi

pelacuran.

Pelacuran

2. Siti Bulkis pada

Tahun 2008

Sikap masyarakat Terhadap

Perilaku zina (Studi kasus di Desa

Kandawati Kec.Gunung Kaler,

Kab.Tangerang, Prop. Banten),

penelitian ini bertujuan untuk

menggambarkan pemahaman dan

tindakan masyarakat Desa

Kandawati terhadap peilaku zina.

Terletak pada zina

yang dilakukan

tanpa ada imbalan

atau bayaran

dengan perbuatan

zina adanya

pembayaran

(pelacuran)

3. Dewi Nugraha

Nuraeni Tahun

2007

Adat kebiasaan masyarakat Garut

dalam perspektif Perda Kabupaten

Garut No 22 Tahun 2000 dan

Perbedaan pada

materi perda,

(23)

Hukum Islam. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui

pemberdayaan, pelestarian,

pengembangan adat-istiadat,

kebiasaan-kebiasaan masyarakat,

jenis-jenis, adat-istiadat serta

pelestarian adat istiadat tersebut

sesuai dengan ketentuan hukum

Islam.

perda, tidak adanya

respon masyarakat

terhadap penerapan

perda.

4. Sri Wahyuni,

Tahun 2006

Tinjauan Hukum Islam terhadap

Perda Kota Tangerang No 7

Tahun 2005 tentang minuman

beralkohol, penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui

tinjauan hukum Islam terhadap

Perda Kota Tangerang tentang

Minuman Beralkohol.

Terletak pada isi

perda dan tidak ada

tanggapan

mengenai perda

menurut persepsi

masyarakat

terhadap

keberadaan perda.

5. Isti’amah, Tahun

2008

Tinjauan Hukum Islam terhadap

penanggulangan Prostitusi di

Cirebon (Analisis terhadap perda

Kabupaten Cirebon No.1 tahun

Keberadaan perda

ditinjau menurut

hukum Islam,

(24)

2002 Tentang Prostitusi ), tujuan

penelitian ini, untuk mengetahui

tinjauan Hukum Islam terhadap

perda Cirebon No 1 tahun 2002

tentang Prostitusi.

dalam pandangan

masyarakat, serta

wilayah pembuatan

perda.

Dari beberapa kajian skripsi yang telah dipaparkan di atas, belum ada satu karya

ilmiah yang secara tuntas mengenai respon atau (tanggapan) masyarakat terhadap

pelarangan pelacuran dalam Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang

Pelarangan Pelacuran.

E. Metode Penelitian

Ada beberapa hal yang terkait dengan metode yang digunakan dalam

penelitian skripsi ini, yakni;

1. Pendekatan

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dan

kuantitatif. Data Kualitatif yang diperoleh adalah berupa dokumen yang

berkaitan dengan Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang

Pelarangan Pelacuran, dan juga data wawancara yang dilakukan kepada para

(25)

terhadap data-data yang ada dilapangan, termasuk beberapa pemikiran atau

tulisan dan catatan yang memiliki relevansi dan mendukung terhadap penelitian

yang di angkat. Sedangkan Jenis data Kuantitatif digunakan terutama untuk

melihat Respon masyarakat Kota Tangerang (di kecamatan Karawaci dan

Kecamatan Cipondoh) terhadap Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005

tentang Pelarangan Pelacuran .

2. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian skripsi ini termasuk jenis penelitian hukum normatif

karena titik tekannya didasarkan pada Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 8

Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran serta peraturan lainnya yang terkait

dengan Peraturan Daerah Kota Tangerang, baik menyangkut masalah yang

diteliti dengan memuat deskripsi masalah berdasarkan tinjauan pustaka yang

dilakukan secara cermat dan mendalam. Pendekatan Empiris juga dilakukan,

terutama untuk memotret realitas yang terjadi di lapangan yang berkaitan

dengan Respon Masyarakat Kota Tangerang (di Kecamatan Karawaci dan

Kecamatan Cipondoh) terhadap Peraturan Daerah Kota Tangerang No 8 tahun

2005 tentang Pelarangan Pelacuran.

3. Data

a. Jenis Data

Ada dua sumber yang dijadikan sebagai bahan pengambilan data

penelitian ini,yakni primer dan sekunder. Untuk jenis penelitian

(26)

No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran atau peraturan lainnya

yang masuk dalam kategori sistematika sumber hukum di Negara

hukum Indonesia, sedangkan data sekundernya adalah komentar,

penjelasan dan juga penafsiran terhadap Peraturan Daerah yang terkait

dengan obyek penelitian. Data yang dikumpulkan secara langsung dari

sumber- sumber lain, seperti laporan-laporan atau data-data yang

diperoleh dari daerah setempat, maupun dari literatur kepustakaan

hingga situs internet. Sedangkan untuk jenis penelitian empiris, data

primer berasal dari responden masyarakat Kota Tangerang (khususnya

di kecamatan karawaci dan Kecamatan Cipondoh) serta informasi hasil

wawancara dan sekundernya berupa dokumen yang diambil dari

institusi terkait, terutama dari Pemerintahan Kota Tangerang.

b. Instrumen pengumpulan data

Instrument angket digunakan sebagai alat pengumpulan data

empiris/lapangan.

c. Teknik pengumpulan data

Untuk jenis penelitian normatif dilakukan dengan cara studi

kepustakaan, yakni menelusuri bahan pustaka yang terkait dengan

peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Peraturan Daerah.

Sedangkan untuk jenis penelitian empiris dilakukan penelitian lapangan

dan penelusuran dokumen. Penelitian lapangan dilakukan dengan cara

(27)

Tangerang, serta survei dengan instrumen angket Kuesioner atau

angket sebagai instrumen utama. Tujuannya adalah menggali data

tentang Respon masyarakat Kota Tangerang di Kecamatan Karawaci

dan Kecamatan Cipondoh terhadap Perda kota Tangerang No. 8 Tahun

2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Adapun teknik pengampilan sampel

yaitu dengan cara Stratified Random Sampling (sampel dipilih secara

acak berjenjang) yaitu diambil dari masyarakat Kota Tangerang yang

terdiri dari 13 Kecamatan, diambil 2 kecamatan (Kecamatan Karawaci

dan Kecamatan Cipondoh, setiap kecamatan diambil 2 Kelurahan, dan

setiap kelurahan diambil secara acak yaitu satu RW dan dua RT.

Dalam hal ini Penulis berpedoman pada buku prosedur penelitian karangan Suharsimi

Arikunto, yang memberikan pedoman dalam melakukan penelitian atau seorang

peneliti harus memperhatikan 3 hal yaitu :

a. Kemampuan penelitian dilihat dari segi waktu, tenaga dan dana.

b. Sempit Luasnya wilayah pengamatan dari setiap Subjek.

c. Besar kecilnya resiko yang ditanggung peneliti.13

Berdasarkan Keterangan diatas, maka penulis mengambil sampel berdasarkan

ketiga pertimbangan tersebut, yaitu sebanyak 150 orang sebagai responden dari

masyarakat Kota Tangerang (di Kecamatan Karawaci dan Kecamatan Cipondoh)

Untuk kecamatan Karawaci yaitu 39 orang warga kelurahan Gerendeng (20 orang

13

(28)

warga RT 03/06, dan 19 orang warga RT 04/06) untuk kelurahan Bojong Jaya 38

orang (19 orang warga RT 02/04, dan 19 orang warga RT 03/04) Sedangkan untuk

Kecamatan Cipondoh yaitu 43 orang warga kelurahan Poris Plawad (20 orang warga

RT 02/03, dan 23 orang warga RT 05/03) untuk Kelurahan Kenanga 30 orang (15

orang warga RT 01/01, dan 15 orang warga RT 02/01).

4. Analisis data

Karena pendekatan yang digunakan adalah Kualitatif dan kuantitatif, maka untuk

kualitatif teknik analisis data yang penulis gunakan adalah Content Analysis, teknik

analisis diawali dengan mengkompilasi berbagai dokumen termasuk peraturan

perundangan yang berkaitan khususnya dengan Peraturan Daerah Kota Tangerang

No. 8 tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran, serta mengkategorisasikan data hasil

wawancara. Dari hasil tersebut, selanjutnya dikaji isi (content); baik terkait kata-kata

(Word), makna (meaning) symbol, ide, tema-tema dan berbagai pesan lainnya yang

disampaikan terutama oleh Peraturan Daerah yang dimaksud. Khusus mengenai

Peraturan Daerah, data yang diperoleh dari analisis ini sekurang-kurangnya adalah

gagasan kultural yang melingkupi latar belakang diterbitkannya Perda, identitas

subyek dan obyek bahasan Perda serta pergolakan isu, kebijakan atau ide yang

diperjuangkan/dikembangkan dalam tiap-tiap butir Perda tersebut.

Secara detail, langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan analisis

tersebut adalah, semua bahan hukum baik yang diperoleh secara normatif maupun

empiris disistematisir dan diklasifikasikan kemudian dilakukan eksplikasi yakni

(29)

telah dieksplikasi dilakukan evaluasi, yakni dinilai dengan menggunakan ukuran

ketentuan hukum yang berlaku, terutama ketentuan hukum mengenai Peraturan

Daerah Kota Tangerang No 8 tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran. Langkah

analisis tersebut dilakukan secara integral dalam satu kesatuan. Ini dilakukan agar

menghasilkan kesimpulan yang komprehensif dan kritis, yang mencakup; fakta, teori

dan nilai yang perspektif.

Kemudian untuk data kuantitatif data-data tersebut ditabulasi, yakni disusun ke

dalam bentuk tabel dengan menggunakan Statistik Prosentase sebagai berikut

Keterangan :

% 100

X N F P=

P = Besar Prosentase

F = Frekuensi ( Jumlah jawaban responden )

N = Jumlah Responden14

Adapun dalam teknik penulisan dan transliterasi yang digunakan penulis adalah

berpedoman kepada buku pedoman penulisan skripsi yang dikeluarkan oleh Syariah

dan Hukum tahun 2007, dengan beberapa penulisan skripsi sebagai berikut:

1. Kutipan ayat-ayat Al-Qur’an tidak diberi footnote,melainkan dengan

menyebut nama dan nomor ayat yang dikutip pada akhir kutipan.

2. Pembuatan indensi dan footnote disesuaikan dengan program komputerisasi

yang ada.

14

(30)

3. Pembuatan tabel dengan satu spasi.

F Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan masalah dalam penulisan skripsi ini penulis

mencoba mengelompokkannya berdasarkan hubungan dari setiap masalah yang ada.

Secara keseluruhan skripsi ini terdiri dari lima bab yaitu :

BAB I Pendahuluan, dalam bab ini penulis menjelaskan sekaligus

menempatkan skripsi ini pada kerangka dasar dengan memaparkan

latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian,

dan sistematika penulisan.

BAB II Tinjauan teoritis pelacuran, dalam bab ini memuat tentang definisi

pelacuran, pelacuran menurut hukum Islam, pelacuran dalam

hukum pidana, sejarah pelacuran di Indonesia, faktor-faktor yang

mempengaruhi pelacuran, dampak dari pelacuran. Perempuan dan

hak-hak perempuan, Gender dan Islam.

BAB III Perda Kota Tangerang No.8 Tahun 2005 tentang pelarangan

pelacuran, sekilas tentang Kota Tangerang, materi Perda Kota

Tangerang No.8 tahun 2005, sistematika Perda Kota Tangerang

No.8 Tahun 2005, problematika Perda Kota Tangerang No.8 tahun

2005, serta penerapan Perda Kota Tangerang No.8 tahun 2005

(31)

BAB IV Respon masyarakat terhadap Perda Kota Tangerang No 8 tahun

2005 tentang pelarangan pelacuran, dalam bab ini memuat tentang

wilayah obyektif penelitian yaitu di Kecamatan Karawaci dan

Kecamatan Cipondoh, identitas responden,pengetahuan masyarakat

terhadap pelacuran, sikap masyarakat terhadap Perda Kota

Tangerang tentang pelarangan pelacuran, respon masyarakat

Tangerang terhadap Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005

tentang Pelarangan Pelacuran,sertaanalisa data.

BAB V Penutup yang berisi tentang Kesimpulan dan saran-saran, dalam bab

terakhir ini berisi kesimpulan dari permasalahan yang telah

(32)

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG PELACURAN

A. Definisi Pelacuran dan hukumnya

Pelacuran disebut juga dengan prostitusi, yang berasal dari bahasa Latin

pro-stituare yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan perbuatan

persundalan, pencabulan, pergendakan. Sedangkan prostitusi adalah pelacur atau

sundal yang dikenal dengan WTS atau Wanita Tuna Susila. 15

Pelacuran dalam kamus bahasa Indonesia dijelaskan berasal dari kata lacur

yang berarti malang, celaka, sial, gagal, atau buruk laku. Pelacur adalah perempuan

yang melacur, sundal, wanita tuna susila. Pelacuran adalah perihal menjual diri

sebagai pelacur, penyundalan.16

Menurut William Benton dalam Encyclopedi Britannica, pelacuran dapat

didefinisikan sebagai praktek hubungan seksual sesaat, yang kurang lebih dilakukan

dengan siapa saja (promiskuitas)17, untuk imbalan berupa upah. Dengan demikian

15

Kartini Kartono, Patologi Sosial (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1997), Jil.1, Edisi 2, h.177

16

W.J.S. Poerwadarminta; (Diolah kembali oleh pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan), Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), h.548

17

(33)

pelacuran dikarakteristikkan oleh tiga unsur utama, yaitu pembayaran, promiskuitas,

dan ketidak acuhan emosional.18

Definisi pelacuran menurut Mulia, T.S.G. et.al, dalam Ensiklopedia

Indonesia jelasnya, pelacuran itu bisa dilakukan baik oleh kaum wanita maupun pria.

Jadi, ada persamaan predikat pelacur antara laki-laki dan wanita yang bersama-sama

melakukan perbuatan hubungan kelamin di luar perkawinan. Dalam hal ini cabul

tidak hanya berupa hubungan kelamin di luar nikah saja, akan tetapi termasuk pula

peristiwa homoseksual dan permainan-permainan seksual lainnya.19

Selanjutnya, Kartini Kartono dalam bukunya “Patologi Sosial”

mengemukakan definisi pelacuran adalah sebagai berikut:

1. Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri (persundalan) dengan gejala

jalan memperjualbelikan badan, kehormatan, dan kepribadian kepada banyak

orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran.

2. Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi

impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi dalam bentuk

pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang

(promiskuitas), disertai eksploitasi dan komersialisasi seks yang impersonal

tanpa afeksi sifatnya.

18 Encyclopedi Britannica, Macropaedia, (Chicago/London: William Benton Publishers),

1973-74, dalam Than-Dam truong, Seks, Uang dan kekuasaan, Pariwisata dan pelacuran di Asia Tenggara,Terjemahan Ade Armando, (Jakarta: LP3ES, 1992), cet ke-1, h.15

19

Mulia, T.S.G. et.al, dalam Ensiklopedia Indonesia sebagaimana dikutip oleh Kartini Kartono,

(34)

3. Pelacuran ialah perbuatan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan

badannya untuk berbuat cabul secara seksual dengan mendapatkan upah.20

G. May dalam bukunya “Encyclopedia of Social Science”, menuliskan

masalah prostitusi, May menekankan masalah barter atau perdagangan secara

tukar-menukar, yaitu menukarkan pelayanan seks dengan bayaran uang, uang, hadiah atau

barang berharga lainnya. Pihak pelacur mengutamakan motif-motif komersil, atau

alasan-alasan keuntungan materiil. Sedang pihak laki-laki mengutamakan pemuasan

nafsu-nafsu seksual.21

Sebuah definisi pelacuran yang kurang moralistis diajukan oleh Gagnon

J.H. (1968) dalam bukunya “Prostitution”, dalam International Encyclopedia of

Social Science, sebagaimana dikutip oleh Thanh-Dam Truong dalam bukunya Seks,

Uang dan Kekuasaan, yang memandang pelacuran sebagai “pemberian akses seksual

pada basis yang tidak diskriminatif untuk memperoleh imbalan baik berupa barang

atau uang, tergantung pada kompleksitas sistem ekonomi. Pembayaran diakui bagi

perilaku seksual yang spesifik.” Jadi pelacur didefinisikan sebagai profesional

berdasarkan pertukaran moneter dan kelangkaan pelayanan yang disediakan.

Pelayanan ini diasumsikan tidak tersedia di dalam lingkup hubungan seksual non

komersial. 22

20

Ibid, h.185

21 G. May dalam bukunya, Encyclopedia of Social Science, dalam Kartini Kartono, Patologi

Sosial, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1997), Jil.1, Edisi 2, h.184

22

(35)

Prostitusi atau pelacuran menurut pengertian masyarakat luas adalah

Persenggamaan antara pria dan wanita tanpa terikat oleh piagam pernikahan yang

sah. Perbuatan ini dipandang rendah dari sudut Moral dan akhlak, dosa menurut

agama, tercela dan jijik menurut penilaian masyarakat di Indonesia. Akan tetapi

pelacuran adalah salah satu profesi dan lahan bisnis untuk tujuan ekonomi. 23

Sedangkan pelacuran menurut perda Kota Tangerang No8 Tahun 2005 pasal

1 tentang Pelarangan Pelacuran ialah; hubungan seksual di luar pernikahan yang

dilakukan oleh pria atau wanita, baik di tempat berupa restoran, hotel, tempat hiburan

atau lokasi pelacuran ataupun ditempat-tempat lain di daerah dengan tujuan mendapat

imbalan jasa.24

Semua definisi yang disebutkan diatas memiliki masalahnya sendiri-sendiri,

karena diangkat dari pelbagai masyarakat yang berbeda yang tentu saja memiliki

standar moral dan sosial yang berbeda pula tentang pelacuran.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa paling tidak terdapat

empat elemen utama dalam definisi pelacuran yang dapat ditegakkan, yakni: bayaran,

perselingkuhan, ketidak acuhan emosional, mata pencaharian.

Dalam banyak literatur pembayaran uang sebagai sumber pendapatan

dianggap sebagai faktor yang paling umum dalam dunia pelacuran.

23

Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LKis, 1994), h.95

24

(36)

1. Pelacuran Menurut Hukum Islam

Dalam Islam istilah pelacur masuk dalam kategori pezina, yakni melakukan

hubungan seks diluar pernikahan baik untuk mencari uang ataupun tidak.

Sebagaimana yang dikutip oleh K.H. Sahal Mahfudz dalam bukunya Nuansa Fiqh

Sosial, tentang pendapat para ulama madzhab dalam mendefinisikan zina adalah

sebagai berikut:25

1. Menurut Syafi’iyah, zina adalah perbuatan lelaki memasukkan penisnya ke

dalam liang vagina wanita lain (bukan istrinya atau budaknya) tanpa syubhat.

2. Menurut Malikiyah, zina adalah perbuatan lelaki menyenggamai wanita lain

pada vagina atau duburnya tanpa syubhat.

3. Menurut Hanafiyah, ia adalah persenggamaan antara lelaki dan wanita lain di

vaginanya, bukan budaknya dan tanpa syubhat.26

Pengertian zina yang biasanya dikemukakan dalam kitab-kitab Fiqh adalah

hubungan badan antara laki-laki dan perempuan yang tidak berdasarkan pada ikatan

perkawinan atau perbudakan yang sah menurut agama. Dalam Al-Qur’an, zina bisa

terjadi antara orang yang sudah menikah (Muhsanat) dan belum menikah (Ghairu

Muhsanat). Bagi setiap pemeluk Islam harus meninggalkan perbuatan zina.

Perbedaan makna antara prostitusi dengan perzinaan adalah setiap prostitutor

adalah pezina dan setiap pezina belum tentu prostitutor. Maksudnya setiap praktek

25

Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, h.95

26

(37)

prostitusi bertujuan komersil dengan meraup upah, sedangkan pezina tidak selalu

bertujuan materil.

Pandangan Islam tentang zina dan prostitusi sudah dimaklumi, bukan saja

oleh kalangan Islam sendiri, tapi juga oleh masyarakat luas yang berlainan agama. Di

samping hukumnya haram dan termasuk dosa besar, Islam memandang perbuatan itu

sebagai tindakan tercela dan punya sanksi berat.

2. Dasar Hukum Larangan Pelacuran menurut Hukum Islam

Al-Qur’an sebagai pedoman pertama dan utama agama Islam tegas-tegas

melarang dan mengharamkan zina. Banyak ayat mengharamkan zina, bahkan

perbuatan yang mengarah zina pun dijelaskan dalam Al-Qur’an, ditambah keterangan

Nabi Muhammad SAW melalui sabda beliau.

Beberapa ayat Al-Qur’an yang menyampaikan masalah zina, hal tersebut

dijelaskan didalam Qs. Al-Isra’(17): 32

!" #$ % &

'(

)*

+

, -)*

. /0

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya perzinahan itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”

1" ,2

3

3

4

56

&

37'

892:;

)<=>@2AB

" C

2B

D

&

)6

' E,1F&G

)<>I

J" &&K L

(38)

)<=> I

, 

J"

YZ(

[

V\2AB

M]2!2B <

./0

Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.”(QS. An-Nur/ 24:2)

Dari kedua ayat ini jelas dan tegas larangan mendekati zina. Zina tidak saja

perbuatan yang merusak kehidupan manusia itu sendiri, tapi zina dinilai perbuatan

yang keji dan buruk. Allah SWT yang menciptakan manusia, tentu Maha mengetahui

dan Maha memahami betul akibat zina yang dilakukan manusia di muka bumi. Kalau

tidak, mengapa larangan itu tegas dan jelas ditujukan pada umat manusia.

Sabda Nabi Muhammad SAW mengenai zina

!

" #$%

&'

(

)

*+,

-./

( , 01

01 2

%

3

#

-.%

4 5

,0

-./ ( , 4 5

6

7 8 !

9

Artinya: “Dari Ubaidah bin Shomit dia telah berkata: Bersabda Nabi Muhammad SAW, ambillah dari padaku, (sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi mereka) yaitu perempuan perawan yang berzina dengan laki-laki bujangan hukuman mereka (masing-masing) didera 100 kali dera dan diasingkan satu tahun, dan janda apabila berzina dengan duda hukumannya dera 100 kali ditambah rajam.” (H.R. Muslim)27

Islam memang sangat hati-hati dan bijak dengan perbuatan zina. Untuk itu,

pemeluknya diharapkan untuk mengendalikan naluri birahi nafsu seksnya. Sehingga

jangan sampai pemenuhan kebutuhan seks melalui praktek liar, kacau, dan melanggar

27

(39)

fitrah manusia. Tapi Islam mengatur jalan yang luhur dan membawa kebaikan sesuai

dengan ketinggian martabat manusia.28

Adapun solusi yang diciptakan Islam dalam rangka mencegah terjadinya zina

antara lain adalah lembaga perkawinan. Melalui lembaga ini diharapkan manusia

akan melakkuakan hubungan seksual dengan jalan yang baik dan lebih memiliki

ikatan formal maupun etik dengan agama dan juga dengan pasangannya, sudah pasti

yang diharapkan adalah lembaga perkawinan yang mampu menciptakan keluarga

yang mawaddah wa rahmah didasari oleh kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

2. Pelacuran dalam Hukum Pidana

KUHP dan RUU-KUHP tidak melarang postitusi tetapi hanya melarang

mucikari (germo).29 Adapun larangan melakukan profesi mucikari terdapat dalam

pasal 296 KUHP. Yang menentukan bahwa:30

“Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan

cabul dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu.”

Pasal 432 RUU-KUHP juga menentukan bahwa:31

“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun paling singkat tiga tahun. Setiap orang:

28

Armaidi Tanjung, Mengapa Zina dilarang, (Solo: CV Pustaka Mantiq, 1997), h. 24

29

Orang yang menyediakan sarana (kamar, rumah), menyediakan pelacur, mengelola aktifitas tersebut, dan mendapat sejumlah prosentase tertentu.

30 Andi Hamzah, KUHP&KUHAP (Jakarta:Rineke Cipta, 1992), h.119 31

(40)

a)

enjadikan sebagai pekerjaan atau kebiasaan menghubungkan atau memuaskan orang lain berbuat cabul atau bersetubuh; atau

b)

enarik keuntungan dari perbuatan cabul dan persetubuhan orang lain dan menjadikannya sebagai mata pencahariannya.

KUHP dan RUU KUHP dalam pasal 434 hanya melarang orang yang

bergelandangan dan berkeliaran di jalan atau di tempat umum dengan tujuan

melacurkan diri, namun pelacuran atau prostitusi itu sendiri tidak dilarang.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang ada dan berlaku dalam mengatur

delik susila masih sangat terbatas pada masalah pemerkosaan serta pada masalah

perzinaan. Adapun istilah perzinaan yang digunakan dalam KUHP hanya terbatas

pada skandal seksual yang dilakukan oleh orang-orang yang telah berkeluarga atau

terkait dengan tali pernikahan, yang dilakukan dengan orang lain yang bukan suami

atau istrinya. Skandal seks yang dapat dikategorikan perzinaan menurut KUHP,

adalah apabila:

1. Dilakukan oleh orang-orang laki-laki beristri dengan perempuan lain yang

bukan istrinya sendiri.

2. Dilakukan oleh seorang perempuan bersuami dengan laki-laki lain yang bukan

suaminya

3. Dilakukan oleh seorang perjaka atau duda dengan istri orang lain.

4. Dilakukan oleh seorang gadis atau janda dengan suami orang lain.32

Jelaslah bahwa persetubuhan/pelacuran yang dilakukan oleh orang-orang yang

bebas dari tali pernikahan tidak termasuk delik perzinahan. Seorang gadis/janda tidak

32

(41)

disebut berzina bila ia melakukan senggama dengan seorang perjaka atau duda, dan

sebaliknya.33

Meskipun demikian hukum pidana tetap merupakan dasar dari

peraturan-peraturan dalam industri seks di Indonesia. Karena larangan memberikan pelayanan

seksual khususnya terhadap praktek-praktek pelacuran tidak ada dalam hukum

Negara, maka peraturan dalam industri seks ini cenderung didasarkan pada

peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah daerah, baik pada tingkat Propinsi,

Kabupaten, dan Kecamatan, dengan mempertimbangkan reaksi, aksi dan tekanan

berbagai organisasi masyarakat yang bersifat mendukung dan menentang pelacuran

tersebut.

Sebenarnya pelacuran dilihat dari segi hukum, norma maupun agama

merupakan sebuah bentuk penyimpangan seks yang normal. Dalam Islam secara

tegas melarangnya bahkan mulai dari langkah pendekatannya sampai pelaksanaan

pelacuran (perzinaan) itu sendiri, mengingat kejinya perbuatan tersebut melebihi dari

perbuatan hewan. Namun hukum di Indonesia KUHP (yang berasal dari WVS

Belanda itu) tidak dengan tegas melarang adanya pelacuran. Juridiksi ini hanya

mengancam pidana bagi para mucikarinya saja. Sedangkan pelacur dan pelanggannya

tidak diancam. Namun hanya terkena ancaman menyangkut ketertiban ditempat

umum dan jalan raya. Sikap ini menunjukkan tidak adanya kekuatan hukum yang

kuat yang bisa menjerat dan memberantas praktek pelacuran (prostitusi).

33

(42)

B. Sejarah Pelacuran di Indonesia

Pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua umur kehidupan

manusia itu sendiri. Yaitu berupa tingkah laku lepas bebas tanpa kendali dan cabul,

karena adanya pelampiasan nafsu seks dengan lawan jenisnya tanpa mengenal

batas-batas kesopanan. Pelacuran itu selalu ada pada semua negara berbudaya, sejak zaman

purba sampai sekarang. Dan senantiasa menjadi masalah sosial, atau menjadi obyek

urusan hukum dan tradisi. Selanjutnya, dengan perkembangan teknologi, industri dan

kebudayaan manusia, turut berkembang pula pelacuran dalam pelbagai bentuk dan

tingkatannya.34

Secara historis, Pelacuran bukan sebuah fenomena baru, sejak zaman

Babilonia dan India kuno pelacuran telah muncul ke permukaan. Bahkan menurut

Thanh-Dram Truong,35 praktik pelacuran pada masa Babilonia kuno ini

mengatasnamakan agama. Praktik prostitusi ini dilakukan dengan cara menempatkan

perempuan-perempuan cantik disekitar candi-candi untuk melakukan kegiatan

seksual dengan orang-orang asing yang berkunjung sebagai imbalan kesuburan dan

kekuasaan seksual si dewi yang mereka puja. Hasil prostitusi ini di sumbangkan

untuk keberlangsungan candi. Perempuan pelayan seks ini memiliki akses terhadap

tanah, budak, dan menikmati prestise sosial. Di India dikenal istilah devadasi (pelacur

candi) dengan fenomena yang agak mirip dengan Babilonia, pelacuran dilakukan oleh

perempuan-perempuan yang berasal dari kasta rendahan. Prostitusi ini dilakukan

34

Kartini Kartono, Patologi sosial, h.177-178

35

(43)

untuk tujuan keagamaan karena adanya keyakinan bahwa perempuan perlu dilahirkan

kembali sebagai pria dengan menjalani Salvation (penyelamatan diri)36

Selain Pelacuran yang dimotivasi oleh unsur keagamaan juga terdapat

pelacuran yang dipicu oleh unsur non keagamaan. Di Indonesia sendiri secara umum

dilakukan karena non keagamaan yang terdapat dimana-mana. Entah itu diorganisir

oleh suatu kelompok atau dilakukan secara individual.37 Bahkan, pada masa-masa

krisis ekonomi seperti sekarang ini, prostitusi semakin hari semakin meningkat.

Dengan sejarah panjang, pelacuran telah dikenal sejak nenek moyang bangsa

Indonesia. Walaupun dengan bentuk yang berbeda-beda baik mulai dari tari-tarian,

sawer, selir, ataupun dalam bentuk lain, namun semuanya mengarah pada satu bentuk

pelacuran.

1. Masa Kerajaan

Pelacuran di Indonesia tidak terlepas dari sejarah peradaban bangsa

Indonesia sendiri. Menurut banyak sumber pelacuran di Indonesia telah terjadi

sebelum zaman kerajaan Majapahit. Perdagangan perempuan saat ini merupakan

pelengkap dari sistem kerajaan, kekuasaan raja tidak terbatas hanya sekedar

menguasai pemerintahan, tapi juga menguasai segalanya termasuk tanah dan segala

isinya beserta rakyatnya (hamba).38

36 Lihat di Marzuki Umar Sa’abah, Seks dan Kita, (Jakarta:Gema Insani Press),cet ke-1, h.83 37

Abdul Moqsit Ghozali dkk, Tubuh, Seksualitas, Dan Kedaulatan Perempuan, (Jakarta: Rahima, 2002), cet-I, h.212

38

(44)

Menurut penulis buku Pelacuran di Indonesia Sejarah dan

Perkembangannya, Terence H. Hull dan Gavin W.Jones, para doktor kependudukan,

serta kandidat doktor Endang Sulistyaningsih, sekarang dosen pascasarjana yang

bekerja di Depnaker, sebagaimana dikutip oleh Panji mas dalam artikelnya wanita

publik dari masa ke masa, yaitu Tradisi "menjual" atau mempersembahkan wanita

untuk imbalan tertentu berlanjut sampai beratus tahun kemudian.39 Dalam sejarah,

nilai perempuan sebagai barang dagangan kata mereka, melekat sejak berdirinya dua

istana pecahan Kerajaan Mataram, 1755, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan

Yogyakarta, yang pengaruhnya bertahan lama di Jawa. Di Jawa Barat daerah itu

adalah Kabupaten Indramayu, Karawang, dan Kuningan. Di Jawa Tengah: Pati,

Jepara, Grobogan, dan Wonogiri. Lalu Blitar, Malang, Banyuwangi, dan Lamongan

untuk Jawa Timur.40

Tidak hanya di Jawa. Di Bali, umpamanya, seorang janda dari kasta bawah,

jika tak ada beking kuat keluarganya, otomatis menjadi milik raja. "Jika raja

memutuskan tidak mengambilnya untuk lingkungan istana, dia akan dikirimkan ke

luar kota untuk menjadi pelacur", dengan catatan, sebagian penghasilannya disetor ke

Istana. Tren ini, bersama dengan perbudakan dan pengabdian seumur hidup,

merupakan hal yang biasa dijumpai dalam sistem feodal di seluruh Asia.

39

Panji Mas, Wanita Publik dari masa ke masa, diakses pada tgl 13 agustus dari http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/07/26/0018.html

40

(45)

Memang,tradisi itu belum mencapai segi komersialisasinya sebagai industri seks

dengan sistem germo dan pelacur profesionalnya.41

2. Masa Penjajahan

Sejarah Prostitusi Pondasi pelacuran modern di Indonesia dibangun pada

zaman kerajaan Mataram.Tradisi penyerahan perempuan sebagai upeti diteruskan

dengan perdagangan wanita dan menemukan bentuknya yang mutakhir didorong

faktor-faktor ekonomi dan kemiskinan nilai-nilai agama. Seperti perdagangan yang

lain, pelacuran lahir oleh adanya penawaran dan permintaan.

Aktivitas pelacuran meningkat drastis setelah ada pembenahan hukum

agraria, 1870. Yaitu dibukanya perekonomian negara jajahan bagi para penanam

modal swasta. Area perkebunan diperluas di Jawa Barat, industri gula tumbuh di

Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di Sumatera, perkebunan didirikan. Gerakan ekonomi

ini menarik migrasi tenaga kerja laki-laki. Mayoritasnya bujangan secara

besar-besaran. Sarana pun dibangun. Misalnya jalan kereta api untuk menghubungkan

kota-kota di Jawa: Batavia-Bogor-Cianjur, Bandung-Cilacap, Yogya, Surabaya. Fisik kota-kota

kota ini juga dibenahi, termasuk didirikannya tempat penginapan. Ini yang membuat

aktivitas pelacuran tumbuh di sekitar stasiun kereta api di setiap kota.42

Di Indonesia dari pertengahan 1890-an sampai sekitar 1913, pelacuran

diatur oleh pemerintah Kolonial bagi Netherlands Indies Army agar para serdadu

41

Panji Mas, Wanita Publik dari masa ke masa, diakses pada tgl 13 agustus dari http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/07/26/0018.html

42

(46)

dapat memuaskan dahaga seksualnya melalui cara “alamiah”, mengingat berlakunya

sikap menghinakan terhadap matsurbasi dan homoseksualitas pada masa itu.

Pelacuran teratur seperti itu dibela berdasarkan kepercayaan bahwa pelacuran

dibutuhkan untuk memuaskan kebutuhan seksual alami pria dan untuk menjaga agar

mereka tetap “jantan”. Pelacur dipandang sebagai keniscayaan untuk membantu

mempertahankan “kejantanan” pria seraya pada saat yang sama para serdadu

didorong untuk tidak menikahi perempuan pribumi. Pelayanan medis disediakan bagi

para pelacur untuk menjaga mereka tetap sehat dan kuat untuk digunakan. Segregasi

spasial antara serdadu dan pelacur diberlakukan untuk mencegah hidup bersama atau

perkawinan.43

Sebagai contoh, di Nairobi sekitar pertengahan 1930-an, “pusat-pusat

a-susila”, ditoleransi oleh Negara sebagai tempat-tempat reproduksi pekerja upahan

kota. Pusat-pusat ini menyediakan sekaligus pelayanan seksual dan

kerumah-tanggaan seperti tempat tidur, makanan matang, air mandi, minuman keras, dan

sebagainya. Pusat-pusat a-susila juga menguntungkan pemerintah daerah dalam hal

menghemat dana “perumahan layak” bagi pekerja pribumi karena “kebutuhan

delapan pekerja mungkin dapat dipenuhi hanya dengan menyediakan dua kamar bagi

para pria dan satu kamar bagi pelacur”.44

43

Than-Dam Thruong, seks,uang, …, h.143

44

(47)

Contoh lain adalah kasus perkebunan di sejumlah wilayah Kolonial di Asia

Tenggara. Di Sumatra pada abad ke-19,perluasaan perkebunan menciptakan

kebutuhan akan pekerja upahan yang kemudian dipenuhi oleh arus migrant pria dari

Jawa. Para pelacur direkrut untuk menemani para kuli agar tetap berada di depot pada

masa menunggu yang panjang. Di perkebunan, pekerja kontrakan perempuan

diboyong ke dalam untuk menarik para pekerja pria dan untuk menjaga agar mereka

tetap berada dalam kontrak. Kuli para perempuan berfungsi sebagai tukang masak

dan “pelayan tempat-tempat tidur” bagi pekerja pria yang tidak menikah yang berada

dalam lilitan utang dan kekeurangan uang. Ditunjukkan Stoler (1985), perdagangan

kuli perempuan oleh para manajer, mandor, dan pekerja pria pribumi sangat

menguntungkan dan berlaku umum di Sumatra pada peralihan abad ini.45

Di zaman pemerintahan Hindia Belanda merasakan perlunya ada hiburan

dan pelayanan seksual bagi tentaranya, pelacur diperbolehkan berkunjung ke penjara

untuk menghilangkan keresahan politik. Berbagai bentuk pelacuran telah dikenal

pula dalam seni tari tradisional. Dongbret, lenong, ronggeng, ledek, punya bagian

sentral terdiri atas tari-tarian, dan sering diadakan untuk meramaikan hajatan atau

selamatan, sering pula diikuti dengan transaksi seks.46

3. Masa Kemerdekaan

Tak lama setelah Indonesia merdeka, kala perekonomian masih morat-marit,

perempuan muda dan keluarga miskinnya dari desa mencoba mengubah nasibnya

45

Ibid, h.144

46

(48)

dikota. Pada 1990, ketika jumlah penghuni kota meroket, sektor primer tak mampu

menyediakan lapangan kerja sebanyak pertambahan itu. Hanya 49% dari penduduk

usia kerja yang dapat ditampung. Untuk tenaga kerja wanita, terbanyak lowongan

berada di pabrik, di jasa penjualan, hotel dan restoran, dan rumah-rumah tangga.

Tetapi karena upah kurang memadai, para perempuan itu melirik industri seks yang

memberi peluang penghasilan lima sampai 10 kali lipat. Nah, ketika gaya hidup

berubah, mobilitas penduduk mudah, pendapatan masyarakat membaik, industri seks

makin rumit jenisnya. Selain pelacur klasik yang beroperasi di jalanan dan

rumah-rumah untuk call girls alias gadis panggilan, ada kelompok wanita yang disebut perek

("perempuan eksperimen"), dan paling mutakhir ABG ("anak baru gede") atau

"remaja komersial" yang mencari mangsa di diskotek, bioskop, dan mall. Tetapi

remaja yang "bisa dipakai" ini tidak selalu bisa dikategorikan sebagai "pekerja" seks.

Sebab ada yang motifnya bukan uang, cuma sekadar bersenang-senang. Data resmi

menyebutkan, jumlah "pekerja seks"sampai 1994/1995 tercatat 71.281.tidak termasuk

yang di luar pagar lokalisasi.47

Namun tak bisa diingkari kendati sampai 1997 perkembangan ekonomi

Indonesia nampak begitu maju, namun pelacuran tidak pernah menjadi perhatian

pemerintah. Yang ada hanya usaha penyelesaian dengan jalan pintas. Dan mereka

menganggapnya sebagai “penyakit sosial” sehingga memerlukan sebuah direktorat

khusus di Departemen sosial. Sampai sekarang hiburan malam dan praktek pelacuran

47

(49)

makin marak, baik yang terselubung maupun yang secara terang-terangan. Mulai dari

kalangan bawah yang berkeliaran di jalan-jalan raya, sampai yang berpraktek-praktek

di hotel-hotel untuk kalangan elit.. Semua fenomena ini adalah tanggung jawab kita

bersama, karena semua ini bukanlah terjadi sendiri namun karena diciptakan oleh

kondisi yang di ciptakan oleh kehidupan manusia. Maka tidak adil jika hanya

menyalahkan satu pihak saja.

C. Faktor penyebab terjadinya pelacuran

Setiap pelacur memiliki berbagai alasan untuk menerjuni profesi yang tidak

favorit di mata masyarakat umum. Sekali lagi, hidup tidaklah ideal. Profesi apapun

akan dijalani untuk menyambung hidup. Salah satunya adalah menjadi pelacur.

Adapun faktor penyebab terjadinya pelacuran yaitu:

1. Faktor ekonomi

Karena faktor kemiskinan; adanya pertimbangan-pertimbangan ekonomis

untuk mempertahankan hidupnya, khususnya untuk mendapatkan status sosial

yang lebih baik.48

2. Faktor Kemalasan

Diakibatkan oleh faktor psikis dan mental yang rendah, tidak memiliki norma

agama, dan susila menghadapi persaingan hidup. Hanya dengan modal fisik,

kecantikan, sehingga dengan mudah mengumpulkan uang.49

3. Faktor moral atau akhlak

48

Kartini Kartono, Patologi sosial, h.209

49

(50)

Adanya demoralisasi atau rendahnya faktor moral, ketakwaan individu dan

masyarakat, serta ketidaktaatan terhadap ajaran agamanya, serta standar

pendidikan dalam keluarga mereka pada umumnya rendah.

4. Faktor Biologis

Adanya nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian, yang

tidak merasa puas mengadakan relasi seks dengan satu pria/suami.

5. Faktor sosiologis

Ajakan dari teman-temannya sedaerah yang sudah lebih dahulu terjun ke

dunia pelacuran. Karena faktor pendidikan yang sangat minim, akhirnya

mereka dengan mudah kena bujuk dan tipuan dari para calo yang menjanjikan

gaji yang sangat tinggi dan akhirnya dijebloskan ke tempat pelacuran.

6. Faktor Psikologis

Hubungan keluarga yang berantakan, terlalu menekan, dan mengalami

penyiksaan seksual dalam keluarga. Serta adanya pengalaman traumatis dan

shock mental misalnya; gagal dalam bercinta atau perkawinan dimadu, ditipu,

sehingga muncul kematangan seks yang terlalu dini dan abnormalitas seks.50

7. Faktor yuridis

Tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran, serta tidak ada

larangan terhadap orang-orang yang melakukan relasi seks sebelum

50

(51)

pernikahan atau diluar pernikahan, akan tetapi yang dilarang dalam

undang-undang adalah mucikari dan germo.51

D. Dampak dari pelacuran terhadap masyarakat.

Setiap sesu

Gambar

tabel yaitu: Jenis Kelamin, Pendidikan terakhir, dan status perkawinan (Nikah, belum
Tabel 5 Deskripsi Persentase Jawaban Responden Tentang Pengetahuan sumber
Tabel 6 Deskripsi Persentase Jawaban Responden tentang apa sebenarnya yang disebut
Tabel 7 Deskripsi Jawaban Responden tentang “Apakah Pelacuran Itu Melanggar
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pada Tabel 4, menunjukkan bahwa 52 responden atau 56,52% KK memberikan jawaban bahwa jika peraturan kampung akan dibuat maka peraturan kampung yang sangat perlu

Dengan adanya Peraturan Daerah Nomor 14 tahun 2006 tentang Retribusi Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol , yang melarang peredaran minuman beralkohol di kota

Dari sekian banyak penelitian yang telah diuraikan diatas, belum ada yang membahas tentang “Analisis Hukum Pidana Islam Tentang Praktik Penegakkan Peraturan Daerah Nomor

Rakyat Daerah Kota Makassar selain dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2005 tentang Perubahan AtasPeraturan

Urusan Pemerintahan Daerah Kota Tangerang Selatan merupakan hasil pengkajian terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan

Bahwa sebagai tindak lanjut pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979 tentang Kedudukan

Ketentuan tersebut di atas menjadi politik hukum pembentukan peraturan daerah tentang Perlindungan Anak, sebagai dasar hukum formal pembentukan peraturan daerah Nomor