• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Para Pihak Akibat Penjualan Hak Tanggungan Di Bawah Tangan (Studi Pada Bank Mandiri Cabang Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan Hukum Para Pihak Akibat Penjualan Hak Tanggungan Di Bawah Tangan (Studi Pada Bank Mandiri Cabang Medan)"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

1

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Oleh :

EKO YOLANDA PUTRA NIM. 080200328

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

PERLINDUNGAN HUKUM PARA PIHAK AKIBAT PENJUALAN HAK

TANGGUNGAN DI BAWAH TANGAN

(STUDI PADA BANK MANDIRI CABANG MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Oleh :

EKO YOLANDA PUTRA NIM. 080200328

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum NIP. 196603031985081001

Pembimbing I

Syamsul Rizal, SH, M.Hum NIP. 196402161989111001

Pembimbing II

Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum NIP. 195902051986012001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

ABSTRAK Eko Yolanda Putra* Syamsul Rizal, SH., M.Hum** Rabiatul Syahriah, SH., M.Hum***

Pelaksanaan pemberian kredit pada umumnya dilakukan dengan mengadakan suatu perjanjian. Perjanjian tersebut terdiri dari perjanjian pokok yaitu perjanjian utang piutang dan diikuti dengan perjanjian tambahan berupa perjanjian pemberian jaminan oleh pihak debitur. Secara garis besar dikenal ada 2 (dua) bentuk jaminan, yaitu jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah kedudukan para pihak dalam penjualan hak tanggungan di bawah tangan pada PT. Bank Mandiri Cabang Medan. Upaya penyelesaian kredit macet melalui penjualan di bawah tangan yang menjamin hak-hak para pihak-hak. akibat hukum penjualan dibawah tangan terhadap hak-hak tanggungan bagi debitur dan kreditur.

Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis normatif yang bersifat deskriptif analisis, yang dilakukan melalui penelusuran data-data yang dikumpulkan oleh bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

Kedudukan para pihak dalam penjualan hak tanggungan di bawah tangan pada bank, kedudukan para pihak sejajar antara kreditur dengan debitur. Debitur menjual aset sesuai dengan keinginan, sedangkan kreditur tidak memiliki hak untuk menentukan harga dari aset yang akan dijual di bawah tangan tersebut, tetapi kreditur dan debitur sudah ada perjanjian secara tertulis, untuk menjual hak tanggungan di bawah tangan yang bertujuan menyelesaikan kewajiban debitur yang tertunggak di bank. Upaya penyelesaian kredit macet di bank. kreditur membantu menjualkan hak tanggungan. Akibat hukum dari penjualan hak tanggungan dibawah tangan tidak menyalahi prosedur yang ada, maksudnya sebelum melakukan penjualan hak tanggungan di bawah tangan debitur harus meminta surat permohonan kepada kreditur agar pihak bank mengetahui.

Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Hak Tanggungan, Di Bawah Tangan

* Mahasiswa Fakultas Hukum ** Dosen Pembimbing I

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmad

dan karunia-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul dari skripsi ini adalah

PERLINDUNGAN HUKUM PARA PIHAK AKIBAT PENJUALAN HAK

TANGGUNGAN DI BAWAH TANGAN (STUDI PADA BANK MANDIRI

CABANG MEDAN)

Untuk penulisan skripsi ini penulis berusaha agar hasil penulisan skripsi

ini mendekati kesempurnaan yang diharapkan, tetapi walaupun demikian

penulisan ini belumlah dapat dicapai dengan maksimal, karena ilmu pengetahuan

penulis masih terbatas. Oleh karena itu, segala saran dan kritik akan penulis

terima dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan penulisan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari

berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan

terima kasih kapada :

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum selaku Wakil Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, selaku Wakil Dekan II Fakultas

(5)

4. Bapak Dr. OK. Saidin, SH, MHum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum

Keperdataan.

6. Bapak Syamsul Rizal, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I, yang telah

meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Ibu Rabiatul Syahriah SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah

meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh staf dan pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh dedikasi

menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai

dengan menyelesaikan skripsi ini.

9. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis ayahanda

Sutoyo SH dan Ibunda Lila Anggraini, yang telah banyak memberikan

dukungan moril, materil, dan kasih sayang mereka yang tidak pernah putus

sampai sekarang dan selamanya.

10.Terima kasih yang sebesar-besarnya buat seseorang Meilinda Sari, SE yang

telah membimbing dan mendukung saya secara moril, materil, dan kasih

sayang yang tidak putus kasih sayangnya sampai sekarang dan selamanya.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga apa yang telah kita

lakukan mendapatkan Balasan dari Allah SWT. Penulis memohon maaf kepada

Bapak atau Ibu dosen pembimbing, dan dosen penguji atas sikap dan kata yang

(6)

Medan, April 2015 Penulis,

Eko Yolanda Putra

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 7

E. Metode Penelitian ... 8

F. Keaslian Penulisan ... 8

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN ... 12

A. Pengertian Hak Tanggungan ... 12

B. Asas-asas Hak Tanggungan ... 16

C. Obyek dan Subyek Hak Tanggungan ... 18

D. Pembebanan Hak Tanggungan ... 21

E. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan ... 25

F. Hapusnya Hak Tanggungan ... 33

(8)

A. Tinjauan Umum tentang Eksekusi ... 36

1. Pengertian Eksekusi ... 36

2. Macam-Macam Eksekusi ... 37

3. Tata Cara Eksekusi Hak Tanggungan ... 41

B. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kredit ... 43

1. Pengertian Perjanjian Kredit ... 43

2. Unsur-Unsur Kredit Bank ... 45

3. Prinsip-prinsip dalam pemberian Kredit Bank ... 47

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM PARA PIHAK AKIBAT PENJUALAN HAK TANGGUNGAN DIBAWAH TANGAN (STUDI PADA BANK MANDIRI) CABANG MEDAN ... 52

A. Kedudukan para pihak dalam penjualan Hak Tanggungan di bawah tangan pada PT. Bank Mandiri Cabang Medan ... 52

B. Upaya penyelesaian kredit macet melalui penjualan di bawah tangan yang menjamin hak-hak para pihak ... 57

C. Akibat hukum penjualan di bawah tangan hak tanggungan bagi debitur dan kreditur ... 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 69

A. Kesimpulan ... 69

B. Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA

(9)

ABSTRAK Eko Yolanda Putra* Syamsul Rizal, SH., M.Hum** Rabiatul Syahriah, SH., M.Hum***

Pelaksanaan pemberian kredit pada umumnya dilakukan dengan mengadakan suatu perjanjian. Perjanjian tersebut terdiri dari perjanjian pokok yaitu perjanjian utang piutang dan diikuti dengan perjanjian tambahan berupa perjanjian pemberian jaminan oleh pihak debitur. Secara garis besar dikenal ada 2 (dua) bentuk jaminan, yaitu jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah kedudukan para pihak dalam penjualan hak tanggungan di bawah tangan pada PT. Bank Mandiri Cabang Medan. Upaya penyelesaian kredit macet melalui penjualan di bawah tangan yang menjamin hak-hak para pihak-hak. akibat hukum penjualan dibawah tangan terhadap hak-hak tanggungan bagi debitur dan kreditur.

Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis normatif yang bersifat deskriptif analisis, yang dilakukan melalui penelusuran data-data yang dikumpulkan oleh bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

Kedudukan para pihak dalam penjualan hak tanggungan di bawah tangan pada bank, kedudukan para pihak sejajar antara kreditur dengan debitur. Debitur menjual aset sesuai dengan keinginan, sedangkan kreditur tidak memiliki hak untuk menentukan harga dari aset yang akan dijual di bawah tangan tersebut, tetapi kreditur dan debitur sudah ada perjanjian secara tertulis, untuk menjual hak tanggungan di bawah tangan yang bertujuan menyelesaikan kewajiban debitur yang tertunggak di bank. Upaya penyelesaian kredit macet di bank. kreditur membantu menjualkan hak tanggungan. Akibat hukum dari penjualan hak tanggungan dibawah tangan tidak menyalahi prosedur yang ada, maksudnya sebelum melakukan penjualan hak tanggungan di bawah tangan debitur harus meminta surat permohonan kepada kreditur agar pihak bank mengetahui.

Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Hak Tanggungan, Di Bawah Tangan

* Mahasiswa Fakultas Hukum ** Dosen Pembimbing I

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum dan pembangunan merupakan dua variabel yang selalu sering

mempengaruhi antara satu sama lain. Hukum berfungsi sebagai stabilisator yang

mempunyai peranan menciptakan keseimbangan dalam masyarakat dengan tujuan

untuk memperlancar roda pembangunan, dan sebagai dinamisator hukum

berfungsi menggerakkan dan mempercepat pembangunan itu sendiri. Sejalan

dengan itu meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang

ekonomi yang mengelola kekuatan potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi

riil dengan memanfaatkan sarana permodalan yang ada sebagai sarana pendukung

utama dalam pembangunan tersebut membutuhkan penyediaan dana yang cukup

besar. 1

Peran perbankan dalam pembiayaan akan semakin besar hal tersebut

disebabkan dana yang diperlukan dalam pembangunan berasal atau dihimpun dari

masyarakat melalui perbankan yang kemudian disalurkan kembali kepada

masyarakat berupa pemberian kredit. Hal ini tercantum dalam Pasal 1 angka 2

Undang‐undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan undang ‐undang

Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan disebutkan bahwa : bank adalah badan

usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan

1

Aulia Pohan, Potret Kebijakan Moneter Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada,

(11)

menyalurkan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat

banyak.

Kegiatan pinjam meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam

kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran. Dapat

diketahui bahwa hampir semua masyarakat telah menjadikan kegiatan

pinjam-meminjam uang sebagai sesuatu yang sangat diperlukan untuk mendukung

perkembangan kegiatan perekonomiannya dan untuk meningkatkan taraf

kehidupannya. Pihak pemberi pinjaman yang mempunyai kelebihan uang bersedia

memberikan pinjaman uang kepada yang memerlukannya. Sebaliknya, pihak

peminjam berdasarkan keperluan atau tujuan tertentu melakukan peminjaman

uang tersebut.2

Seiring dengan berkembangnya zaman yang kemudian diikuti dengan

berkembangnya kebutuhan manusia dan semakin kompleksnya kehidupan

bermasyarakat, kegiatan pinjam meminjam kini sering dipersyaratkan sebagai

jaminan atas pelunasan pinjaman.Jaminan utang dapat berupa barang (benda)

sehingga merupakan jaminan kebendaan dan atau berupa janji penanggungan

utang sehingga merupakan jaminan perorangan.Jaminan kebendaan memberikan

hak kebendaan kepada pemegang jaminan.3

2

M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta:

Rajagrafindo Persada, 2010), hal.1.

3Ibid,

hal.2.

Kegiatan pinjam meminjam kini juga

dituangkan dalam sebuah perjanjian tertulis sebagai alat bukti adanya sebuah

peristiwa hukum yang dibuat untuk menghindari konflik hukum yang terjadi

(12)

Kewajiban untuk menyerahkan jaminan utang oleh pihak peminjam dalam

rangka pinjam uang sangat terkait dengan kesepakatan antara pihak-pihak yang

melakukan pinjam meminjam uang. Pada umumnya pihak pemberi pinjaman

mensyaratkan adanya jaminan utang sebelum memberikan pinjaman uang kepada

pihak peminjam. Sementara itu, keharusan penyerahan jaminan utang tersebut

sering pula diatur dan disyaratkan oleh peraturan interen pihak pemberi pinjaman

dan atau oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.4

Menghadapi kemungkinan seperti itu, hukum menyediakan sarana bagi

setiap kreditur untuk memperoleh kembali kredit yang diberikannya, seperti

dinyatakan dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya Pelaksanaan pemberian kredit pada umumnya dilakukan dengan

mengadakan suatu perjanjian. Perjanjian tersebut terdiri dari perjanjian pokok

yaitu perjanjian utang piutang dan diikuti dengan perjanjian tambahan berupa

perjanjian pemberian jaminan oleh pihak debitur. Secara garis besar dikenal ada 2

(dua) bentuk jaminan, yaitu jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Dalam

praktek jaminan yang paling sering digunakan adalah jaminan kebendaan yang

salah satunya adalah hak tanggungan.

Dalam hubungan utang piutang, khususnya pemberian kredit bukan hanya

kepentingan kreditur yang memerlukan kepastian hukum dan perlindungan.

Kepentingan debitur, bahkan kepentingan pihak lain yang mungkin bisa dirugikan

oleh akibat yang timbul dari penyelesaian hubungan utang piutang antara debitur

dan kreditur,jika terjadi cidera janji pada pihak debitur.

4Ibid,

(13)

disebut KUHPerdata), dimana seluruh harta kekayaan debitur, baik bergerak

maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada

dikemudian hari, merupakan jaminan untuk segala perikatan pribadi debitur

tersebut.

Apabila debitur cidera janji (wanprestasi), tanah (hak atas tanah) yang

dibebani hak tanggungan ini berhak dijual oleh pemegang hak tanggungan tanpa

persetujuan dari pemberi hak tanggungan dan pemberi hak tanggungan tidak dapat

menyatakan keberatan atas penjualan tersebut. Agar pelaksanaan Penjualan itu

dapat dilakukan secara jujur (fair), maka pemegang hak tanggungan dapat

menjual obyek hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6

Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah Beserta hak

tanggungan (selanjutnya disebut UUHT)

Menurut Pasal 8 dan Pasal 9 UUHT maupun pemegang hak tanggungan

adalah orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk

melakukan perbuatan hukum. Kreditur pemegang hak tanggungan atau jaminan

yang pemenuhan piutang harus didahulukan dari piutang-piutang yang lain

disebut kreditur preferen. Sebagai kebalikannya adalah kreditur konkuren yaitu

kreditur yang kedudukannya sama berhak dan tak ada yang harus didahulukan

dalam pemenuhan piutangnya.

Apabila kredit sudah menjadi macet, seringkali bank menghadapi kesulitan

untuk dapat memperoleh persetujuan nasabah debitur. Kesulitan untuk

memperoleh persetujuan nasabah tersebut dapat terjadi misalnya karena nasabah

(14)

diketahui lagi dimana keberadaannya. Agar bank kelak setelah kredit diberikan,

tidak mengalami kesulitan yang demikian, bank pada waktu kredit diberikan,

mensyaratkan agar di dalam perjanjian kredit diperjanjikan bahwa bank diberi

kewenangan untuk dapat menjual sendiri agunan tersebut secara di bawah tangan

atau meminta kepada debitur untuk memberikan surat kuasa khusus yang

memberikan kekuasaan kepada bank untuk dapat menjual sendiri agunan tersebut

secara di bawah tangan5

5

Remmy Sjahdeini, Hak Tanggungan : Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan

Masalah yang dihadapi Oleh Perbankan suatu Kajian Mengenai UUHT, (Bandung : Alumni, 1999), hal 166

.

PT. Mandiri Cabang Medan sebagai salah satu Bank Umum Pemerintah,

salah satu kegiatannya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan kemudian

menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam berbagai macam bentuk

kredit, yang merupakan jenis pembiayaan secara umum. Kegiatan menyalurkan

kredit, mengandung risiko yang dapat mempengaruhi kesehatan dan kelangsungan

usaha bank. Likuditas keuangan, solvabilitas dan profitabilitas bank sangat

dipengaruhi oleh keberhasilan mereka dalam mengelola kredit yang disalurkan.

Kebanyakan bank yang bangkrut atau menghadapi kesulitan keuangan yang akut,

disebabkan terjerat kasus-kasus kredit macet dalam jumlah besar.

Pelaksanaan pemberian kredit pada umumnya dilakukan dengan

mengadakan suatu perjanjian. Perjanjian tersebut terdiri dari perjanjian pokok,

yaitu perjanjian utang piutang dan diikuti dengan perjanjian tambahan berupa

(15)

Berdasarkan latar belakang di atas maka tertarik memilih judul

Perlindungan Hukum Para Pihak Akibat Penjualan Hak Tanggungan di bawah

Tangan (Studi pada Bank Mandiri Cabang Medan).

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan dalam penelitian ini

adalah :

1. Bagaimanakah kedudukan para pihak dalam penjualan hak tanggungan di

bawah tangan pada PT. Bank Mandiri Cabang Medan?

2. Bagaimanakah upaya penyelesaian kredit macet terhadap penjualan di

bawah tangan yang menjamin hak-hak para pihak?

3. Bagaimanakah perlindungan hukum akibat penjualan di bawah tangan

terhadap hak tanggungan bagi debitur dan kreditur?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang menjadi tujuan dalam penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui kedudukan para pihak dalam penjualan hak tanggungan

di bawah tangan pada PT. Bank Mandiri Cabang Medan.

2. Untuk mengetahui upaya penyelesaian kredit macet terhadap penjualan di

bawah tangan yang menjamin hak-hak para pihak.

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum akibat penjualan di bawah tangan

(16)

D. Manfaat Penulisan

1. Secara teoretis

Hasil pemikiran ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

dan bahan kajian bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum perdata

khususnya hukum jaminan yang berfokus pada aspek eksekusi obyek hak

tanggungan secara di bawah tangan dalam penyelesaian kredit macet.

2. Secara praktis

a. Bagi pemerintah dapat dijadikan masukan dalam upaya meningkatkan

pembangunan nasional serta kesejahteraan masyarakat dengan

memberikan kepastian hukum. Serta untuk mengkaji kembali

klausulklausul dalam UUHT, sepanjang tidak menyimpang dari ketentuan

yang terdapat didalamnya, dengan tujuan melindungi pemegang hak

tanggungan (kreditur) dan pemberi hak tanggungan (debitur) maupun

pihak lainnya.

b. Bagi Pihak Ketiga atau pemberi jaminan atas obyek hak atas tanah yang

hak miliknya telah menjadi agunan/jaminan tanpa menimbulkan kerugian.

c. Bagi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKLN) dapat

memberikan sumbangan pemikiran dalam upaya perlindungan hukum

terhadap hakhak pembeli (konsumen) dalam pelaksanaan eksekusi baik

melalui lelang maupun secara di bawah tangan atas eksekusi obyek hak

(17)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan di perpustakaan

Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang perlindungan

hukum para pihak akibat penjualan hak tanggungan dibawah tangan (studi pada

Bank Mandiri) Cabang Medan.

F. Metode Penelitian

Penulisan skripsi ini dilakukan menggunakan penelitian hukum yaitu

dengan menggumpulkan data yang berkaitan dengan permasalahan dan kemudian

dianalisis data yang dikumpulkan tersebut

1. Jenis penelitian

Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis

normatif yang bersifat deskriptif analisis, yang dilakukan melalui penelusuran

data-data yang dikumpulkan oleh bahan hukum primer, bahan hukum sekunder

dan bahan hukum tersier.6

2. Sifat Penelitian

.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis,7

6

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajagrafindo Persada,

2003), hal. 43.

7

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002),

hal. 8-9.

penelitian yang bertujuan

membuat deskripsi atau menggambarkan secara sistematis mengenai fakta yang

(18)

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data primer berkenaan dengan

hal yang terjadi sesungguhnya dilapangan dan dihubungkan dengan data sekunder

yang diperoleh dari kasus jaminan pada pengadilan negeri Bank Mandiri Cabang

Medan dan data yang diperoleh dari Bank Mandiri Cabang Medan.

Menurut Soejono Soekanto, penelitian merupakan suatu usaha untuk

menganalisa serta mengadakan konstruksi secara metodologis, sistematis dan

konsisten. Penelitian merupakan sarana yang digunakan untuk memperkuat,

membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan.8

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis,9

3. Teknik pengumpulan data

yaitu suatu penelitian yang

bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal di tempat/daerah tertentu dan

pada saat tertentu. Penelitian yang bertujuan membuat deskripsi atau

menggambarkan secara sistematis mengenai fakta yang ada di lapangan yang

berhubungan dengan objek penelitian

Penelitian ini adalah merupakan penelitian yuridis normatif. Data yang

dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer. Data primer merupakan data

yang diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan informan yaitu kepala

bagian administari, bagian marketing, dan anggota bagian administrasi pada bank

mandiri cabang medan tentang masalah yang akan diteliti. Alat yang digunakan

dalam pengumpulan data adalah pedoman wawancara (interview guide) yang telah

dipersiapkan terlebih dahulu.

8

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal 3

9

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002),

(19)

4. Teknik Analisis Data

Data yang didapat di lapangan berupa data yuridis normatif yang dianalisis

secara kualitatif, dengan melakukan penafsiran terhadap data tersebut. Selanjutnya

menyederhanakan data menjadi informasi yang dapat digunakan dalam

menjelaskan permasalahan. Kemudian dikelompokkan sesuai dengan masalah,

ditunjang dengan data sekunder dan ditafsirkan dengan menghubungkan

konsep-konsep dan pendapat pakar yang dianut dalam kerangka teoritis. Akhirnya ditarik

kesimpulan guna menjawab masalah penelitian.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan sebagai berikut.

Bab I Pendahuluan

Bab ini berisikan latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan,

manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan, sistematika

penulisan.

Bab II Tinjauan Umum Tentang Hak Tanggungan

Bab ini berisikan pengertian tanggungan, asas-asas hak tanggungan,

obyek dan subyek hak tanggungan, pembebanan hak tanggungan, surat

kuasa membebankan hak tanggungan dan hapusnya hak tanggungan.

Bab III Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit

Bab ini berisikan tinjauan umum tentang eksekusi yang terdiri dari

pengertian eksekusi, macam-macam eksekusi, tata cara eksekusi hak

(20)

pengertian perjanjian kredit, unsur-unsur kredit bank, prinsip-prinsip

dalam pemberian kredit bank.

Bab IV Perlindungan Hukum Para Pihak Akibat Penjualan Hak Tanggungan Di

Bawah Tangan (Studi Pada Bank Mandiri) Cabang Medan

Bab ini berisikan kedudukan para pihak dalam penjualan hak

tanggungan di bawah tangan pada PT. Bank Mandiri Cabang Medan

dan upaya penyelesaian kredit macet melalui penjualan di bawah tangan

yang menjamin hak-hak para pihak serta perlindungan hukum akibat

penjualan di bawah tangan hak tanggungan bagi debitur dan kreditur.

Bab V Kesimpulan Dan Saran

Bab ini merupakan bagian terakhir dari penulisan skripsi ini. Bab ini

berisi kesimpulan dari permasalahan pokok dari keseluruhan isi.

Kesimpulan bukan merupakan rangkuman ataupun ikhtisar. Saran

merupakan upaya yang diusulkan agar hal-hal yang dikemukakan dalam

(21)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN

A. Pengertian Hak Tanggungan

Sebelum lahirnya UUHT, pembebanan hak atas tanah sebagai jaminan

hutang menggunakan kelembagaan jaminan hipotik, karena pada waktu itu hak

atas tanah merupakan objek hukum dalam jaminan hipotik. Namun sesudah

berlakunya UUHT, pembebanan hak atas tanah sebagai jaminan hutang tidak lagi

menggunakan jaminan hipotik, melainkan menggunakan jaminan hak

tanggungan.10

Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA, sudah disediakan lembaga hak

jaminan yang kuat yang dapat dibebankan pada hak atas tanah yaitu hak

tanggungan, sebagai pengganti lembaga Hypotheek dan Credietverband, akan

tetapi lembaga hak tanggungan di atas belum berfungsi sebagimana mestinya,

karena belum adanya undang-undang yang mengaturnya secara lengkap, sesuai

dengan yang dikehendaki oleh ketentuan Pasal 51 undang-undang tersebut

sehingga ketentuan Hypotheek sebagaimana dimaksud dalam Buku II

KUHPerdata dan ketentuan Credietverband dalam Staatsblad 1908-542

sebgaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 masih diberlakukan

sepanjang mengenai hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam atau berdasarkan

UUPA. Padahal ketentuan-ketentuan tersebut di atas berasal dari zaman kolonial

10

(22)

belanda dan didasarkan pada hukum tanah yang berlaku sebelum adanya hukum

tanah nasional. Oleh karena itu ketentuan tersebut tidak sesuai lagi dengan hukum

tanah nasional dan tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi khusunya

di bidang perkreditan dan hak jaminan dikarenakan perkembangan pembangunan

ekonomi, sehingga menimbulkan perbedaan pandangan dan penafsiran mengenai

masalah dalam pelaksanaan hukum jaminan atas tanah. Dengan demikian perlu

kiranya dibentuk suatu undang-undang yang mengatur hak tanggungan atas tanah

berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam

UUPA, sekaligus mewujudkan adanya unifikasi hukum tanah nasional.

Setelah berlakunya UUHT, maka terpenuhilah apa yang diinginkan Pasal

51 UUPA, sehingga berdasarkan Pasal 29 UUHT menyatakan bahwa dengan

berlakunya UUHT, maka ketentuan hypotheek sebagaimana dimaksud dalam buku

II KUHPerdata Indonesia dan ketentuan Credietverband dalam Staatsblad

1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 sepanjang mengenai

pembebanan hak tanggungan pada hak atas tanah berserta benda-benda yang

berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.11

Ketentuan mengenai hypotheek dan credietverband berasal dari zaman

kolonial Belanda dan didasarkan pada hukum tanah yang berlaku sebelum adanya

hukum tanah nasional, oleh karena itu tidak sesuai dengan asas-asas hukum tanah

nasional dan dalam kenyataannya tidak dapat menampung perkembangan yang

terjadi dalam bidang perkreditan dan hak zaminan sebagai akibat kemajuan

pembangunan ekonomi. Pada zaman kolonial ketentuan hypotheek dipakai apabila

11

Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan, (Semarang: Fakultas Hukum

(23)

yang dijadikan jaminan adalah hak barat seperti : hak eigendom, hak erfpacht

dan hak opstal sedangkan ketentuan credit verband dipakai apabila yang dijadikan

jaminan adalah tanah hak milik adat. Ketentuan tentang hypotheek dan credit

verband tidak sesuai dengan asas-asas hukum tanah nasional dan dalam

kenyataannya tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam bidang

perkreditan dan hak jaminan sebagai akibat dari kemajuan pembangunan

ekonomi. Timbul perbedaan penafsiran mengenai jaminan atas tanah misalnya

dalam hal pencantuman title eksekutorial, pelaksanaan eksekusi, sehingga dirasa

kurang memberikan jaminan kepastian hukum. Oleh karena peraturan mengenai

peralihan hak tanggungan yang ditunjuk dalam Pasal 57 UUPA tersebut adalah

termasuk bagian dari hukum perdata serta dibuat pada jaman pemerintahan

kolonial belanda tentunya banyak menimbulkan masalah karena terjadinya

dualisme hukum jaminan atas tanah. Dualisme tersebut terjadi dengan adanya dua

macam lembaga tanggungan yaitu hypotheek dan credit verband, sehingga hal ini

tidak sejalan dengan tujuan UUPA yang menghendaki adanya unifikasi hukum

tanah nasional.

Hak tanggungan menurut ketentuan Pasal 1 butir 1 UUHT adalah : “hak

tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan atas tanah, yang

selanjutnya disebut hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada

hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut

benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, untuk

pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kreditur

(24)

Pasal 1 butir 1 UUHT dapat diketahui bahwa:12

Hak tanggungan adalah penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan

bagi kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi

bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya

jika debitur cidera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian

pembayaran lunas utang debitur kepadanya.

“pada dasarnya suatu hak

tanggungan adalah suatu bentuk jaminan pelunasan utang, dengan hak

mendahului, dengan objek jaminan berupa hak-hak atas tanah yang diatur dalam

UUPA.

13

1. Proses pembuatan surat kuasa membebankan hak tanggungan (selanjutnya

disebut SKMHT) proses ini dilakukan tetapi tidak wajib.

Pada prinsipnya, hak tanggungan

itu merupakan lembaga hak jaminan kebendaan atas hak atas tanah untuk

pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada

kreditur tertentu terhadap kreditur lain. Jaminan yang diberikan yaitu hak yang

diutamakan atau mendahulu dari kreditur-kreditur lainnya bagi kreditur pemegang

hak tanggungan.

Proses pengikatan hak tanggungan sampai dengan lahirnya hak

tanggungan ini adalah sebagai berikut;

2. Proses pembuatan akta pemberian hak tanggungan .proses ini wajib dilakukan.

3. Proses pendaftaran hak tanggungan.proses ini wajib diikuti dan setelah

pendaftaran inilah dianggap hak tanggungan secara resmi lahir.

12

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja Hak Tanggungan. (Kencana Jakarta: Prenada

Media, 2005) hal 13

13

Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang

(25)

Adapun yang merupakan cirri-ciri dari suatu hak tanggungan adalah secara

berikut

1. Hak tanggungan memberikan hak preferensi (hak yang didahulukan)

kepada pemegang hak tanggungan.

2. Hak tanggungan mengikuti objek (tanah) yang dijamin,dalam tangan

siapa pun objek atau hak atas objek tersebut berada.

3. Hak tanggungan memenuhi asas spesialitas dan publisitas, sehingga

mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum.

4. Hak tanggungan mudah dan pasti dalam pelaksanaanya eksekusinya.

B. Asas-asas Hak Tanggungan

Asas-asas hak tanggungan tersebar dan diatur dalam berbagai pasal dan

penjelasan dari UUHT. Asas-asas hak tanggungan tersebut adalah:14

1. Asas hak didahulukan (preference), (penjelasan Pasal 5 UUHT umum

angka 3 jo angka 4. Kreditur pemegang hak tanggungan mempunyai hak

yang diutamakan (droit de preference) untuk dipenuhi. hal ini berarti

bahwa kreditur pemegang hak tanggungan mempunyai hak untuk

didahulukan di dalam mendapatkan pelunasan atas piutangnya daripada

kreditur-kreditur lainnya atas hasil penjualan benda yang dibebani hak

tanggungan tersebut.

2. Asas hak kebendaan (Pasal 7 jo Penjelasan Umum angka 3 huruf b

UUHT). Dalam pasal tersebut tidak ada disebut kata hak kebendaan, yang

14

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Jaminan, (Bandung: Mandar Maju,

(26)

ada disebut sifat hak kebendaan yaitu hak tanggungan tetap mengikuti

objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada. Artinya

benda-benda yang dijadikan objek hak tanggungan itu tetap terbebani hak

tanggungan walau di tangan siapapun benda itu berada (droit de suite).

Dengan demikian apabila objek hak tanggungan sudah beralih

kepemilikan kepada orang lain, kreditur tetap mempunyai hak untuk

melakukan eksekusi terhadap objek hak tanggungan jika debitur cidera

janji.

3. Asas spesialitas dan publisitas (Penjelasan Umum angka 3 c UUHT). Asas

spesialitas maksudnya benda yang dibebani hak tanggungan itu harus

ditunjuk secara khusus. Dalam akta pemberian hak tanggungan harus

disebutkan secara tegas dan jelas mengenai benda yang dibebani itu

berupa apa, dimana letaknya, berapa luasnya, apa batas-batasnya dan apa

bukti pemiliknya. Adapun asas publisitas artinya hal pembebanan hak

tanggungan tersebut harus dapat diketahui oleh umum, untuk itu terhadap

akta pemberian hak tanggungan harus didaftarkan.

4. Asas mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya (Penjelasan Umum angka

3 d UUHT). Kemudahan dan kepastian pelaksanaan eksekusi terjadi

dengan adanya sifat hak melakukan eksekusi dari pemegang hak

tanggungan dengan mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan

KeTuhanan yang Maha Esa” pada sertifikat hak tanggungan. Artinya dapat

dieksekusi seperti putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan

(27)

5. Asas accessoir (Pasal 10 ayat (1), Penjelasan Umum angka 8 UUHT). Hak

tanggungan adalah perjanjian ikutan dan tidak merupakan hak yang berdiri

sendiri (zelfstandigrecht). Adanya dan hapusnya perjanjian ikutan

(accessorium) tergantung dari perjanjian pokok

6. Asas pemisahan horizontal. Asas ini mengajarkan bahwa hak atas tanah

terpisah dari benda-benda yang melekat di atasnya (Penjelasan Umum

angka 6 UUHT), tetapi berlakunya tidak secara otomatis. Penerapannya

terjadi jika diperjanjikan yang dituangkan dalam APHT

C. Obyek dan Subyek Hak Tanggungan

Di dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT pengertian hak tanggungan adalah hak

jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam

UUPA, berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah

tersebut, untuk pelunasan utang debitur yang telah dilakukan terhadap kreditur.

Dimana dimaksudkan merupakan jaminan atas utang tersebut.

Objek hak tanggungan, dalam Pasal 4 UUHT telah ditentukan secara tegas

hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang yang dapat dibebani hak

tanggungan, yaitu:

1. Hak Milik

2. Hak guna usaha

3. Hak guna bangunan

4. Hak pakai, baik hak pakai atas tanah negara maupun hak pakai atas tanah

(28)

5. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada

atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan

yang merupakkan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya

dengan tegas dinyatakan dalam akta pemberian hak tanggungan yang

bersangkutan.

Objek hak tanggungan akan menjadi luas jika dikaitkan dengan ketentuan

yang tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 16 Tahun

1985 tentang Rumah Susun yang berkenaan dengan penjaminan rumah susun

beserta tempat dimana bangunan itu berdiri dan hak milik atas satuan rumah susun

tersebut yang berdiri di atas tanah hak milik.

Pada dasarnya benda-benda (tanah) yang akan dijadikan jaminan atas

suatu utang dengan dibebani hak tanggungan, harus memenuhi syarat-syarat,

yaitu:15

1. Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang.

2. Termasuk hak yang didaftar dalam umum, karena harus memenuhi syarat

publisitas.

3. Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitur cedera

janji (wanprestasi), benda yang dijadikan jaminan akan dapat dijual di

muka umum, dan

4. Menentukan penunjukan dengan undang-undang.

15

Budi Harsono, Konsepsi Pemikiran Tentang Undang-Undang Hak Tanggungan,

(29)

Sebagai bukti adanya hak tanggungan maka kantor badan pertanahan

nasional menerbitkan sertifikat hak tanggunggan yang dimana menjadi patokan

adalah tanggal pendaftaran/pencatatannya dalam buku tanah hak tanggungan.16

Pada hak tanggungan juga terdapat subjek hukum yang menjadi hak

tanggungan yang terkait dengan perjanjian pemberi hak tanggungan. Di dalam

suatu perjanjian hak tanggungan ada dua pihak yang mengikatkan diri yaitu,

sebagai berikut:

Peraturan menteri negara agraria/kepala badan pertanahan nasional Nomor

3 Tahun 1996 disebutkan bahwa sertifikat hak tanggungan terdiri atas salinan

buku tanah hak tanggungan dan salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan

(selanjutnya disebut APHT) yang bersangkutan yang telah dibuat oleh Kepala

Kantor Pertanahan, dan dijilid dalam satu sampul dokumen yang bentuknya telah

ditetapkan dalam aturan tersebut.

17

a. Pemberi hak tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menjaminkan objek

hak tanggungan.

b. Pemegang hak tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menerima hak

tanggungan sebagai jaminan dari piutang yang diberikannya.

Undang-undang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang

berkaitan dengan tanah memuat ketentuan mengenai subjek hak tanggungan

dalam Pasal 8 dan Pasal 9, yaitu sebagai berikut:18

16

J. Satrio, Hukum Jaminan,Hak Kebendaan, Hak Tanggungan, (Bandung: Citra Aditya

Bhakti, 1998), hlm. 151.

17

Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan,(Jakarta;Sinar Grafika, 2012), hal. 54

18

(30)

a. Pemberi hak tanggungan, yaitu orang perorangan atau badan hukum yang

mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap

objek hak tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk melakukan

perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan pada saat pendaftaran

hak tanggungan itu dilakukan.

b. Pemegang hak tanggungan, adalah orang perorangan atau badan hukum

yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.

Subjek hak tanggungan selain warga negara Indonesia, dengan

ditetapkannya hak pakai atas tanah negara sebagai satu objek hak tanggungan,

bagi warga negara asing juga dimungkinkan untuk dapat menjadi subjek/hak

tanggungan, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:19

1. Sudah tinggal di Indonesia dalam waktu tertentu;

2. Mempunyai usaha di Indonesia;

3. Kredit itu dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah

negara republik indonesia

D. Pembebanan Hak Tanggungan

Sesuai dengan sifat Accecoir dari hak tanggungan, maka pembebanan hak

tanggungan didahului dengan perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum

hutang piutang yang dijamin pelunasannya, yang merupakan perjanjian pokoknya.

Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT yang menyatakan

bahwa pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak

19

(31)

tanggungan sebagaimana jaminan pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan di

dalam dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian hutang piutang

yang bersangkutan.

Menurut Pasal 13 ayat (1) UUHT pemberian hak tangggungan wajib

didaftarkan pada kantor Pertanahan. Pemberian hak tanggungan dilakukan dengan

pembuatan APHT oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) adalah pejabat

umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain

dalam rangka pembebanan hak atas tanah, sebagai bukti perbuatan hukum tertentu

mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya masing-masing.

Proses pembebanan hak tanggungan menurut Penjelasan Umum angka 7

UUHT dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan, yaitu:

1. tahap pemberian hak tanggungan, dengan dibuatnya akta pemberian hak

tanggungan oleh PPAT, untuk selanjutnya disebut PPAT, yang didahului

dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin;

2. tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya

Hak Tanggungan yang dibebankan.

PPAT/Pembuat Pejabat Akta Tanah adalah sebagai pejabat umum yang

diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta

pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan hak

tanggungan. PPAT diangkat oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional dan masing-masing diberi daerah kerja. Ia hanya berwenang

(32)

dalam hal-hal khusus dengan izin Kepala Kantor BPN Wilayah Propinsi. Akta

yang dibuat oleh PPAT merupakan akta otentik.

Pasal 11 ayat (1) UUHT menyebutkan bahwa APHT wajib

mencantumkan:

a. Nama dan identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan. Apabila hak

tanggungan dibebankan pula pada benda-benda yang merupakan satu

kesatuan dengan tanah milik orang perseorangan atau badan hukum lain

daripada pemegang hak atas tanah, pemberi hak tanggungan adalah

pemegang hak atas tanah bersama-sama pemilik benda tersebut;

b. Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan apabila di

antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula

dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili

pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan APHT

dianggap sebagai domisili yang dipilih;

c. Penunjukkan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1). Penunjukan

utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud pada huruf ini

meliputi juga nama dan identitas debitur yang bersangkutan;

d. Nilai tanggungan;

e. Uraian yang jelas mengenai obyek hak tanggungan. Uraian yang jelas

mengenai obyek hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada huruf ini

(33)

bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian

mengenai kepemilikan, letak, batas-batas, dan luas tanahnya.

Pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh

PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila obyek

hak tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang

telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum

dilakukan pemberian hak tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan

pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Dalam pemberian hak tanggungan

di hadapan PPAT, wajib dihadiri oleh pemberi hak tanggungan dan penerima hak

tanggungan dan disaksikan oleh dua orang saksi.20

Mengenai tanggal buku-buku hak tanggungan adalah tanggal hari ke tujuh

setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi Menurut Pasal 13 UUHT, pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan

pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah

penandatanganan APHT, PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan

dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan Dengan pengiriman

oleh PPAT berarti akta dan warkah lain yang diperlukan itu disampaikan ke

Kantor Pertanahan melalui petugasnya atau dikirim melalui pos tercatat.

Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan

membuatkan buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak

atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut

pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.

20

Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan, Edisi Revisi dengan UUHT,( Semarang

(34)

pendaftarannya dan jika hari ke tujuh itu jatuh pada hari libur, buku-tanah yang

bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. Kepastian tanggal buku-tanah

itu dimaksudkan agar pembuatan buku-tanah hak tanggungan tidak berlarut-larut

sehingga dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan dan mengurangi

kepastian hukum. Dengan adanya hari tanggal buku-tanah hak tanggungan, maka

hak tanggungan itu lahir, asas publisitas terpenuhi dengan dibuatnya buku-tanah

hak tanggungan dan hak tanggungan mengikat kepada pihak ketiga.

Sertifikat hak tanggungan merupakan tanda bukti adanya hak tanggungan,

maka sertifikat tersebut membuktikan sesuatu yang pada saat pembuatannya

sudah ada. Mengenai bentuk sertifikat hak tanggungan, diatur lebih lanjut dalam

Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk SKMHT, APHT, buku tanah hak

tanggungan, dan sertifikat (seharusnya ditulis Sertifikat), bahwa sertifikat hak

tanggungan itu terdiri atas salinan buku tanah hak tanggungan dan salinan APHT

yang bersangkutan, yang dibuat oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota

setempat dan dijahit menjadi satu dalam sampul dokumen dengan bentuk

sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996.

E. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

Berpedoman pada Peraturan Menteri Negara Agraria atau Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996, dimana dalam peraturan ini ditetapkan

(35)

sesuai bentuk yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri tersebut, yang secara tegas

dimulai tanggal 1 Agustus 1996

Sebelum berlakunya UUHT, penggunaan surat kuasa dalam membebankan

hipotik seringkali dipergunakan untuk menunda pembebanan hipotik. Banyak

kreditur yang memegang surat kuasa membebankan hipotik yang hanya akan

dilaksanakan apabila ada gejala debitur akan cidera janji. Walaupun risiko akibat

belum dibebankannya hipotik itu ditanggung sepenuhnya oleh kreditur, karena

jaminan yang demikian tidak memberikan kedudukan yang diutamakan dan tidak

mengikuti benda yang dijaminkan, jika benda tersebut dipindahtangankan kepada

pihak lain, namun dianggap perlu untuk tidak meneruskan praktek tersebut untuk

menghidari adanya spekulasi ataupun manipulasi.

Sesuai Pasal 24 ayat (3) UUHT, surat kuasa membebankan hipotik yang

dibuat sebelum berlakunya UUHT, dapat digunakan sebagai SKMHT dalam

waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal 9 April 1996. APHT, yang dibuat berdasarkan

surat kuasa harus tetap memenuhi ketentuan UUHT. Pengertian surat kuasa disini

meliputi juga surat kuasa untuk menjaminkan tanah. Hal ini berarti surat kuasa

yang dimaksudkan tidak harus bernama atau berkepala “Kuasa Membebankan

atau memasang hipotik” melainkan mengenai surat kuasa dengan nama lain,

hanya saja isinya harus berisi tentang pemberian kuasa untuk membebankan hak

jaminan yang mempunyai ciri-ciri seperti hipotik, termasuk juga ciri-ciri

memberikan hak didahului (preferen) bagi pemegang hak tanggungan.

Ada beberapa keuntungan yang didapat kreditur dengan memiliki dan

(36)

a. Kuasa membebankan hipotik dapat dibuat dalam waktu yang relatif

singkat dibandingkan dengan membuat akta hipotik ;

b. Kuasa membebankan hipotik dapat dibuat dimana saja dalam wilayah

Indonesia, sedangkan membuat akta hipotik hanya boleh dibuat di kantor

PPAT yang wilayah kerjanya meliputi kecamatan atau kabupaten dalam

mana tanah yang akan dibebani hipotik itu berada ;

c. Dengan kuasa membebankan hipotik itu, kreditur dapat saja tanpa bantuan

pemegang hak atas tanah memasang hipotik ;

d. Biaya untuk membuat kuasa membebankan hipotik minimal seperempat

persen dari jumlah rupiah pembebanan hipotik

Pada dasarnya pembebanan hak tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh

pemberi hak tanggungan dan hadir di hadapan PPAT apabila benar-benar

“diperlukan”, yaitu karena suatu sebab pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir

dihadapan PPAT, diperkenankan penggunaan SKMHT dengan cara menunjuk

pihak lain sebagai kuasanya. Dengan demikian fungsi SKMHT adalah sebagai alat

untuk mengatasi apabila pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir di hadapan

PPAT. Sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) UUHT yang menyebutkan bahwa :

“SKMHT wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT”

Sejalan dengan hal tersebut, SKMHT harus diberikan langsung oleh

pemberi hak tanggungan dan harus memenuhi persyaratan tersebut mengenai

muatannya sebagaimana yang tetapkan pada Pasal 15 UUHT. Tidak terpenuhinya

(37)

bersangkutan akan batal demi hukum, yang berarti pula surat kuasa yang

bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan APHT.

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) wajib menolak permohonan untuk

membuat APHT apabila SKMHT tidak dibuat sendiri oleh pemberi Hak

Tanggungan, atau tidak memenuhi persyaratan seperti diatas. Menurut Pasal 15

UUHT, pembuatan SKMHT selain kepada Notaris, ditugaskan juga kepada

PPAT. SKMHT tersebut berbentuk akta otentik. Dengan kata lain, sekalipun

harus dibuat dengan akta otentik, namun pilihannya bukan hanya dengan akta

Notaris saja, tetapi dapat juga dibuat dengan akta PPAT. Penugasan kepada PPAT

untuk membuat SKMHT mengingat keberadaannya sampai pada wilayah

kecamatan, dalam rangka memudahkan pemberian pelayanan kepada pihak-pihak

yang memerlukannya.

Dalam hal APHT dibuat berdasarkan SKMHT, maka pejabat pelaksana

didalam membuatnya harus mencermati terlebih dahulu mengenai kondisi Surat

kuasa membebankan hak tanggungan yaitu baik mengenai batas waktu

berlakunya, kewenangan pejabat pelaksananya, dan formalitas pembuatan akta.

Dapat dikatakan SKMHT wajib dibuat dengan akta otentik yang memuat

kuasauntuk membebankan hak tanggungan. Bagi sahnya suatu SKMHT selain

dari harus di buat dengan akta Notaris atau akta PPAT, menurut Pasal 15 ayat (1)

UUHT harus pula di penuhi persyaratan SKMHT yang dibuat itu diantaranya :

1. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada

membebankan hak tanggungan .Yang dimaksud dengan “tidak memuat kuasa

(38)

memuat kuasa untuk menjual, menyewakan objek hak tanggungan, atau

memperpanjang hak atas tanah. Berkenaan dengan larangan tersebut, maka

tidak termasuk larangan memberikan kuasa dengan memberikan janji-janji

fakultatif. 21

2. Tidak memuat kuasa substitusi. Yang dimaksud dengan pengertian

“substitusi” menurut undang-undang ini adalah penggantian penerimaan kuasa

melalui pengalihan. Dalam substitusi ada penggantian figur penerima kuasa

atas dasar pelimpahan kuasa yang diterima penerima kuasa kepada orang lain

atas inisiatif penerima kuasa sendiri. Dengan demikian bukanlah merupakan

substitusi, apabila penerima kuasa memberikan kuasa kepada pihak lain dalam

rangka penugasan untuk bertindak mewakilinya, misalnya pemberi jaminan

memberikan kuasa kepada bank untuk membebankan hak tanggungan dan

untuk pelaksanaan pembebanan tersebut bank menunjuk kepala cabang

tertentu untuk mewakili direksi. Berdasarkan Pasal 1803 KUHPerdata Dengan demikian ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUHT ini

menuntut agar SKMHT dibuat secara khusus hanya memuat pemberian kuasa

untuk membebankan hak tanggungan saja, sehingga dengan demikian pula

terpisah dari akta-akta lain, maka kuasa membebankan hak tanggungan tidak

lagi dapat dipersatukan dengan perjanjian kredit, tetapi harus dibuat terpisah

secara khusus. Menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT, apabila syarat ini tidak

dipenuhi mengakibatkan surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat digunakan

sebagai dasar pembuatan APHT, sehingga konsekuensi hukum yang

ditetapkan berupa “batal demi hukum.

21

(39)

disimpulkan bahwa pada asasnya seorang kuasa berhak untuk

mensubstitusikan kepada orang lain, kecuali pemberi kuasa menyatakan atau

disimpulkan dari sikap dan tindakannya bahwa penerima kuasa tidak boleh

mensubstitusikan kuasa itu kepada orang lain, hal ini merupakan ketentuan

umum mengenai kuasa. Di dalam Pasal 1803 ayat (2) KUHPerdata, juga

menentukan bahwa pemberi kuasa senatiasa dianggap telah memberikan

kekuasaan kepada penerima kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai

penggantinya dalam hal kuasa yang diberikan untuk mengurus benda-benda

yang terletak di luar wilayah Indonesia atau di lain pulau selain daripada

tempat tinggal pemberi kuasa. Hal ini kiranya SKMHT tidak sekedar dalam

rumusannya tidak memuat kuasa substitusi, tetapi dalam rumusan SKMHT

secara tegas dicantumkan bahwa kuasa tersebut diberikan tanpa hak substitusi.

Oleh karena berlakunya ketentuan Pasal 1803 ayat (2) KUHPerdata, maka

dicantumkannya secara tegas di dalam rumusan SKMHT bahwa kuasa

tersebut diberikan hak substitusi, secara yuridis mengandung pemberian kuasa

substitusi dalam hal objek hak jaminan berada di lain pulau selain daripada

tempat tinggal pemberi kuasa.

3. Mencantumkan secara jelas objek hak tanggungan, jumlah utang dan nama

serta identitas krediturnya, nama dan identitas debitur, apabila debitur bukan

pemberi hak tanggungan “Jumlah utang “ yang dimaksud adalah jumlah utang

sesuai dengan yang diperjanjikan. Objek hak tanggungan adalah tanah berserta

dengan segala sesuatu yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang

(40)

unsur-unsur pokok dalam pembebanan hak tanggungan sangat diperlukan untuk

kepentingan, kepastian dan perlindungan, baik kepada penerima maupun

pemberi kuasa. Ini berarti SKMHT adalah suatu surat kuasa yang benar-benar

khusus, hanya terbatas untuk memberikan atau membebankan hak tanggungan

semata-mata. Dalam hal SKMHT telah memenuhi syarat formal dan syarat

substansi (materiil), maka dalam Pasal 15 ayat (2) UUHT menyatakan bahwa,

kuasa untuk membebankan hak tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau

tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut

telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) dan (4) UUHT. Dalam Pasal 15 ayat (3) UUHT,

menyatakan bahwa SKMHT yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan

pembuatan APHT selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan.

Sedangkan dalam Pasal 15 ayat (4) UUHT, menyatakan mengenai hak atas

tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT

selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah diberikan. Tanah yang belum terdaftar batas

waktu penggunaan SKMHT ditentukan lebih lama daripada tanah yang sudah

terdaftar, karena pembuatan APHT pada hak atas tanah yang belum terdaftar

harus dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah

yang bersangkutan. Hal ini lebih konkrit dijelaskan dalam ketentuan Pasal 10

ayat (3) UUHT yang berbunyi :

(41)

Akan tetapi ketentuan ini diperluas, diberlakukan juga terhadap

tanah-tanah yang sudah bersertifikat, akan tetapi belum terdaftar atas nama pemberi hak

tanggungan sebagai pemegang hak atas tanah yang baru, yaitu tanah yang belum

didaftar peralihan haknya, pemecahannya. Tanah-tanah yang demikian batas

waktu penggunaan SKMHT dipersamakan dengan hak atas tanah yang berasal

darikonversi hak lama. Batas waktu penggunaan SKMHT ini tidak menutup

kemungkinan dibuatnya SKMHT baru. Selama masih diperlukan untuk proses

pendaftaran hak atas tanah dan pembebanan hak tanggungan, SKMHT dapat

diperpanjang atau diperbaharui lagi.

Untuk itu perlu adanya ketentuan pembatasan jumlah penggunaan surat kuasa

dalam pembebanan hak tanggungan. 22

22

Rachmadi Usman, Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah,

(Jakarta:Djambatan, 1999), hal. 119

Sedangkan dalam Pasal 15 ayat (5)

UUHT ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) tidak berlaku

dalam hal SKMHT diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan

dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam rangka

pelaksanaan pembangunan dan mengingat kepentingan golongan ekonomi

lemah, untuk memberikan kredit tertentu yang ditetapkan pemerintah. Dalam

hubungannya dengan jaminan pemberian kredit tertentu telah dikeluarkan

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor

4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan SKMHT untuk

menjamin pelunasan kredit-kredit tertentu. Terhadap pemberian SKMHT yang

(42)

a. Kredit produktif yang termasuk kredit usaha kecil, sebagaimana dimaksud

dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/24/KEP/Dir

tanggal 29 Mei 1993 ;

b. Kredit pemilikan rumah yang termasuk dalam golongan kredit usaha kecil

c. Kredit untuk perusahaan inti dalam rangka Perusahaan Inti Rakyat (PIR)

lainnya yang dijamin dengan hak atas tanah yang pengadaannya dibiayai

dengan kredit tersebut.

Pasal-pasal tentang hak tanggungan atas tanah, kredit pembebasan tanah

dan kredit konstruksi yang diberikan kepada pengembang dalam rangka

kredit pemilikan rumah, yang dijamin dengan hak atas tanah yang

pengadaan dan pengembangannya dibiayai dengan kredit tersebut.

Dalam Pasal 15 ayat (6) UUHT, menyatakan SKMHT yang diikuti dengan

pembuatan APHT dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yang

dimaksud pada ayat (3) dan (4), atau waktu yang ditentukan menurut

ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) akan batal demi

hukum.

F. Hapusnya Hak Tanggungan

Berdasarkan Pasal 18 UUHT yang menentukan bahwa : 23

1. Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut :

a. Hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan;

b. Dilepasnya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan;

23

(43)

c. Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua

Pengadilan Negeri;

d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan.

Sesuai dengan sifat accessoir dari hak tanggungan, adanya hak tanggungan

tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang

itu hapus karena pelunasan atau sebab-sebab lain dengan sendirinya hak

tanggungan yang bersangkutan menjadi hapus juga. Selain itu, pemegang hak

tanggungan dapat melepaskan hak tanggungan dan hak atas tanah dapat hapus,

yang mengakibatkan hapusnya hak tanggungan. Hak atas tanah dapat hapus

antara lain karena hal-hal sebagaimana disebut dalam Pasal 27, Pasal 34 dan

Pasal 40 UUPA atau peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hak guna

usaha, hak guna bangunan atau hak pakai yang dijadikan objek hak

tanggungan berakhir jangka waktu berlakunya dan diperpanjang berdasarkan

permohonan yang diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu tersebut. Hak

tanggungan dimaksud tetap melekat pada hak atas tanah yang bersangkutan.

2. Hapusnya hak tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan

dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya hak

tanggungan tersebut oleh pemegang hak tanggungan kepada pemberi hak

tanggungan.;

3. Hapusnya hak tanggungan karena pembersihan hak tanggungan berdasarkan

penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan

(44)

tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban hak tanggungan sebagaimana

diatur dalam Pasal 19;

4. Hapusnya hak tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak

tanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang dijamin24

24

(45)

BAB III

EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN SEBAGAI JAMINAN KREDIT

A. Tinjauan Umum tentang Eksekusi

4. Pengertian Eksekusi

Eksekusi adalah pelaksanaan terhadap putusan hakim baik keputusan yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap maupun yang belum mempunyai

kekuatan hukum tetap25

Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada

pihak yang kalah dalam suatu perkara merupakan aturan dan tata cara lanjutan

dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu, eksekusi tiada lain dari pada

tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata.

Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan tata

tertib beracara yang terkadung dalam HIR atau RBG. Setiap orang yang ingin

mengetahui pedoman aturan eksekusi harus merujuk ke dalam aturan

perundang-undangan dalam HIR atau RBG

26

Hukum eksekusi mengatur cara dan syarat-syarat yang dipakai untuk

mengekseskusi/menjalankan putusan pengadilan, apabila pihak yang kalah tidak

bersedia secara sukarela memenuhi bunyi putusan pengadilan tersebut. Dalam

HIR/RBG eksekusi putusan pengadilan diatur dalam Pasal 196 HIR/207 RBG dan

berikutnya mengenai putusan pengadilan diatur dalam Pasal 224 RBG/206 HIR

25

Sarwono. Hukum Acara Perdata Toeri dan Praktik . (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal

316

26

(46)

sedangkan eksekusi putusan pengadilan yang menghukum orang untuk melakukan

suatu perbuatan diatur dalam Pasal 225 HIR/259 RBG.

Eksekusi putusan suatu pengadilan hanya dapat diajukan terhadap putusan

pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan atas

permohonan pihak yang berkepentingan, yaitu, pihak yang menang. Pengadilan di

bawah pimpinan ketuanya, memerintahkan untuk mamanggil pihak yang kalah

yang tidak bersedia memenuhi bunyi putusan pengadilan tersebut dalam jangka

waktu yang ditentukan oleh ketua pengadilan, paling lama 8 (delapan) hari27

5. Macam-Macam Eksekusi

Eksekusi adalah pelaksanaan putusan hakim. Tidak terhadap semua

putusan hakim dapat dimintakan eksekusi, melainkan putusan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijside), yakni putusan yang

tidak mungkin lagi dilawan dengan upaya hukum verset, banding maupun kasasi

Selain terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,

undang-undang memberi kekhususan untuk dapat dimintakan eksekusi, yaitu

terhadap putusan hakim yang terdapat klausula dapat dilaksanakan terlebih dahulu

(uitvorbaar bij voorraad) walaupun terhadap putusan tersebut dimintakan banding

ataupun verset. Putusan uitvorbaar bij voorraad (U. V. B) ini diatur dalam Pasal

180 HIR ataupun 54 dan 55 Rv. Khusus untuk dapat menjatuhkan putusan dengan

klausula U. V. B harus dipenuhi syarat-syarat :

27

H. Zainuddin Mappong. Eksekusi Putusan Serta Merta (Proses Gugatan Dan Cara

(47)

a. Apabila putusan didasarkan atas akta otentik.

b. Apabila putusan didasarkan atas akta di bawah tangan yang diakui oleh

pihak terhadap siapa akta tersebut dipergunakan atau secara sah dianggap

diakui, apabila perkara diputuskan dengan verstek.

c. Apabila telah ada penghukuman dengan suatu putusan yang tidak dilawan

atau dibanding lagi.28

Selain hal tersebut di atas, hanya putusan hakim yang diktumnya bersifat

Condemnatoir saja yang dapat dimintakan eksekusi. Sedangkan putusan yang

bersifat constitutief dan deklaratoir meskipun telah mempunyai kekuatan hukum

yang tetap, tidak perlu untuk dilaksanakan secara paksa oleh alat negara, karena

putusan constitutief dan declaratoir tidak memuat hak atas suatu prestasi putusan

declaratoir merupakan suatu putusan Pengadilan yang menyatakan suatu keadaan

yang sah. Kekuatan hukum putusan ini terletak pada kemungkinan bahwa pihak

pemohon dikemudian hari dapat mempergunakan putusan itu untuk melaksanakan

suatu hak dalam perkara perdata.

Putusan constitutief merupakan putusan pengadilan/hakim yang berfungsi

menciptakan suatu keadaan yang baru. Kekuatan hukum dari putusan ini terletak

pada kemungkinan bahwa pihak yang menang dikemudian hari dapat

mempergunakan putusan tersebut untuk melaksanakan suatu hak dalam perkara

perdata. Putusan ini tidak perlu dilaksanakan karena keadaan baru yang ditetapkan

hanya keadaan baru menurut hukum, sedang keadaan yang sebenarnya sudah

terjadi. Selain kedua putusan tersebut di atas, masih ada putusan Pengadilan yang

28

(48)

tidak perlu eksekusi, putusan itu adalah putusan yang menolak suatu gugatan.

Pengadilan akan menolak suatu gugatan apabila pihak penggugat tidak dapat

membuktikan dalil-dalilnya atau yang diajukannya dapat dilumpuhkan oleh pihak

lawan. Oleh karena itu putusan ini tidak memuat perintah kepada pihak lawan

untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Di atas telah dijelaskan

bahwa hanya putusan condemnatoir saja yang bisa dimintakan eksekusi.

Ada tiga macam jenis pelaksanaan putusan (eksekusi), yaitu : 29

a. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk

membayar sejumlah uang. Dalam eksekusi ini prestasi yang diwajibkan

adalah membayar sejumlah uang. Eksekusi ini diatur dalam Pasal 196 HIR

atau Pasal 206 RBG.

b. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu

perbuatan. Eksekusi ini diatur dalam Pasal 225 HIR atau Pasal 259 RBG.

Orang tidak dapat dipaksa memenuhi prestasi berupa perbuatan, akan

tetapi pihak yang dimenangkan dapat meminta pada hakim agar

kepentingan yang akan diperolehnya dinilai dengan uang.

c. Eksekusi riil yaitu pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan

pengosongan benda tetap. Dalam hal orang yang dihukum oleh hakim

untuk mengosongkan benda tetap tidak mau memenuhi perintah tersebut,

maka hakim akan memerintahkan dengan surat kepada juru sita supaya

dengan bantuan panitera pengadilan dan kalau perlu dengan bantuan alat

kekuasaan negara, agar barang tetap tersebut dikosongkan oleh orang yang

29

(49)

dihukum beserta keluarganya. Eksekusi ini diatur dalam Pasal 1033 Rv.

Sedangkan dalam HIR hanya mengenal eksekusi riil ini dalam penjualan

lelang, termuat dalam Pasal 200 ayat (11) HIR/Pasal 218 RBG.30

Dalam hukum acara perdata ada beberapa macam eksekusi yang berkaitan

dengan eksekusi hak tanggungan yaitu :

a. Eksekusi riil yang diatur dalam Pasal 200 ayat (1) HIR dan Pasal 218 ayat (2)

RBG hanya mengatur eksekusi riil dalam penjualan lelang, yang berisikan jika

pihak yang kalah dalam perkara tidak mau meninggalkan/mengosongkan

barang tak bergerak yang telah dilelang, maka Ketua Pengadilan Negeri

mengeluarkan surat perintah kepada petugas eksekusi (panitera/juru sita), agar

bila perlu dengan bantuan polisi mengosongkan barang tidak bergerak/tanah

yang dilelang itu kepada pihak yang kalah perkara, keluarga, dan sanak

saudara.

b. Eksekusi untuk membayar sejumlah uang. Pelaksanaan putusan ini diatur

dalam Pasal 197 HIR dan Pasal 208 RBG yaitu dengan cara melakukan

penjualan lelang terhadap barang-barang milik pihak yang kalah perkara

sampai mencukupi jumlah uang yang harus dibayar menurut putusan

pengadilan yang dilaksanakan ditambah biaya yang dikeluarkan guna

pelaksanaan putusan tersebut.

c. Eksekusi melakukan atau tidak melakukan sesuatu, eksekusi ini adalah salah

satu jenis eksekusi riil yang pada prinsipnya pelaksanaan perbuatan tertentu

itu tidak dapat dipaksakan. Oleh karenanya bila pihak yang kalah tidak mau

30

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbandingan umpan dan pelarut (f/s), jenis antisolvent dan jenis pelarut terhadap ekstraksi likopen

Karya ini dibuat untuk memberikan inovasi terhadap box-set dengan tujuan memecah kekakuan yang selama ini melekat pada konsep desain box-set album tanpa mengurangi nilai

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) 3M plus dengan keberadaan densitas larva Aedes aegypti.

(GBL) asal Taiwan terus dikembangkan sebagai bahan produksi benih. Penelitian ini bertujuan untuk: a) mengidentifikasi dan menganalisis sektor potensial yang ada

Demikianlah berita acara serah terima barang ini di perbuat oleh kedua belah pihak, adapun barang- barang tersebut dalam keadaan baik dan cukup, sejak penandatanganan berita

Karena Obat Herbal De Nature di podo jodo spesialis kelamin insyaAllah bisa membantu menjadi perantara kesembuhan kemaluan yang keluar nanah atau gonore alias

Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh antara pemberian muscle energy technique dengan ischaemic compression technique terhadap

Based on the research results and by reviewing other studies it can be concluded that (1) strategy based learning multiple representations effective in improving