• Tidak ada hasil yang ditemukan

Validasi Kuesioner LittlEARS Berbahasa Indonesia Pada Pertumbuhan dan Perkembangan Pendengaran Anak Usia 0-24 Bulan dengan Faktor Risiko Gangguan Pendengaran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Validasi Kuesioner LittlEARS Berbahasa Indonesia Pada Pertumbuhan dan Perkembangan Pendengaran Anak Usia 0-24 Bulan dengan Faktor Risiko Gangguan Pendengaran"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

VALIDASI KUESIONER LITTLEARS BERBAHASA

INDONESIA PADA PERTUMBUHAN DAN

PERKEMBANGAN PENDENGARAN ANAK USIA 0-24

BULAN DENGAN FAKTOR RISIKO GANGGUAN

PENDENGARAN

Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

OLEH :

Hafidhu Nalendra

NIM: 1110103000031

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

ii Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Laporan penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan

untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 10 September 2013

(3)

iii

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PENDENGARAN ANAK USIA 0-24 BULAN DENGAN FAKTOR RISIKO GANGGUAN

PENDENGARAN

Laporan Penelitian

Diajukan kepada Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Kedokteran (S.Ked)

Oleh

Hafidhu Nalendra NIM: 1110103000031

Pembimbing 1 Pembimbing 2

dr. Fikri Mirza Putranto, SpTHT-KL dr. Erike Anggraini Suwarsono, MPd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(4)

iv

BERBAHASA INDONESIA PADA PERTUMBUHAN DAN

PERKEMBANGAN PENDENGARAN ANAK USIA 0-24 BULAN DENGAN FAKTOR RISIKO GANGGUAN PENDENGARAN yang diajukan oleh Hafidhu Nalendra (NIM: 1110103000031), telah diujikan dalam sidang di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan pada 12 September 2013. Laporan penelitian ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) pada Program Studi Pendidikan Dokter.

Jakarta, 12 September 2013

DEWAN PENGUJI Ketua Sidang

dr. Fikri Mirza Putranto, SpTHT-KL

Pembimbing 1

dr. Fikri Mirza Putranto, SpTHT-KL

Pembimbing 2

dr. Erike Anggraini Suwarsono, MPd

Penguji 1

dr. Ibnu Harris Fadillah, SpTHT-KL

Penguji 2

dr. Riva Auda, M.Kes, SpA

PIMPINAN FAKULTAS Dekan FKIK UIN

Prof. Dr (hc). dr. MK. Tadjudin, SpAnd

Kaprodi PSPD

(5)

v Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan nikmat yang telah diberikan sehingga penulis dapat belajar hingga tepat pada waktunya penulis harus menuliskan laporan penelitian ini. Penulis menyadari, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak maka penelitian ini tidak akan pernah terselesaikan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. DR (hc). dr. M.K Tadjudin, SpAnd, dr. M. Djauhari Widjajakusumah, DR. Arif Sumantri, S.KM, M.Kes, Dra. Farida Hamid, MA selaku Dekan dan Pembantu Dekan FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. dr. Witri Ardini, M.Gizi, SpGK selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menggali ilmu di PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. dr. Fikri Mirza Putranto, SpTHT-KL selaku pembimbing 1 yang telah memberikan masukan judul penelitian dan banyak mencurahkan waktu, pikiran dan tenaga untuk membimbing penulis dalam melakukan penelitian dan menyusun laporan penelitian ini.

4. dr. Erike A. Suwarsono, MPd selaku pembimbing 2 yang telah banyak mencurahkan waktu, pikiran dan tenaga untuk membimbing penulis dalam melakukan penelitian dan menyusun laporan penelitian ini.

5. drg. Laifa Annisa Hendarmin, Ph.D selaku penanggungjawab modul Riset yang selalu mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan penelitian di setiap pertemuan modul Riset.

(6)

vi

8. Kedua orang tua tercinta, Bapak Dr. Ir. Eko Sulistyono, MSi dan Ibu Dra. Sri Laksmini atas dukungan serta saran selama pengerjaan penelitian, limpahan kasih sayang yang telah diberikan, pengorbanan tanpa pamrih dan doa-doa panjang yang selalu dipanjatkan. Terimakasih atas segala kebaikan dan pelajaran hidup yang luar biasa.

9. Kakak dan Adik tersayang: Mas Yoga, Dek Ibril, Dek Mega, dan Dek Faiz. Terimakasih atas doa dan dukungan yang telah diberikan.

10. Teman-teman satu kelompok penelitian: Hana Fadhillah, Ilham Ibrahim Marpid, Manda Pisilia, dan Fauzan Maulana. Terimakasih atas kerja sama yang luar biasa selama melakukan penelitian dan penyusunan laporan. Semoga kerja sama kita dapat berlanjut hingga batas waktu yang tidak ditentukan.

11. Teman-teman, kakak-kakak dan adik-adik di PSPD, BEM FKIK, BEMJ Pendidikan Dokter dan teman-teman lain yang penulis kenal namun tidak sempat tersebutkan.

Penulis menyadari bahwa laporan penelitian ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik dari berbagai pihak sangat penulis harapkan. Demikian laporan penelitian ini penulis susun, semoga bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran di Indonesia. Amiin.

Wassalamu’alaikum Wr Wb.

Ciputat, 10 September 2013

(7)

vii

Hafidhu Nalendra. Program Studi Pendidikan Dokter. Validasi Kuesioner LittlEARS Berbahasa Indonesia Pada Pertumbuhan dan Perkembangan Pendengaran Anak Usia 0-24 Bulan dengan Faktor Risiko Gangguan Pendengaran. 2013

Pendengaran merupakan kunci penting perkembangan bicara dan bahasa anak. Kuesioner perkembangan pendengaran LittlEARS telah digunakan di 35 negara untuk memantau pendengaran anak umur 0-24 bulan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui validitas kuesioner LittlEARS pada anak umur 0-24 bulan dengan faktor risiko gangguan pendengaran dan untuk mengetahui tingkat korelasi antara umur dengan skor kuesioner. Penelitian ini merupakan penelitian analitik korelatif. Responden yang didapatkan berjumlah 32 dengan rentang umur anak 1-24 bulan. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara ke responden pada Mei-Agustus 2013. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik

consecutive sampling. Uji validitas kuesioner menggunakan croanbach’s alpha didapatkan nilai alpha sebesar 0,943 dan disimpulkan kuesioner ini valid untuk mengukur perkembangan pendengaran anak usia 0-24 bulan dengan faktor risiko gangguan pendengaran. Sedangkan korelasi umur dengan skor diuji dengan metode Spearman-rho dan didapatkan koefisien korelasi sebesar 0,893. Korelasi ini bermakna karena didapatkan nilai p=0,000 (p<0,05).

Kata kunci : pendengaran, perkembangan anak, kuesioner, validasi

ABSTRACT

Hafidhu Nalendra. Medical Education Study Program. Validation to Indonesian Version of the LittlEARS Auditory Questionnaire for Auditory Development in Children with Risk Faktor for Hearing Impairment. 2013

Hearing is an important for speak and language development in children. The LittlEARS children auditory development questionnaire has been used by 35 countries for monitoring the hearing development in children 0-24 months old. The aim of this research is to evaluate the validity of the LittlEARS auditory questionnaire for 0-24 month old children with risk factor for hearing impairment

and to evaluate the correlation between children’s chronological age and

LittlEARS questionnaire’s score. The type of this research is correlation analytic. This research involves 32 respondents with children’s chronological age ranges from 1 to 24 months. Data were collected by interviewing respondents on May-August 2013. Sampling was done with a consecutive sampling technique. Test for the validity of the questionnaire obtained using croanbach's alpha. The results showed that the alpha value is 0.943 and concluded this questionnaire valid to measure the development of hearing children 0-24 months of age with risk factors for hearing impairment. While the correlation of age with scores tested by the method of Spearman-rho and the coefficient of correlation is 0.893. This correlation is significant, with p value 0,000 (p<0,05).

(8)

viii 1.6.1 Manfaat Penelitian Bagi Peneliti ... 1.6.2 Manfaat Penelitian Bagi Perguruan Tinggi ... 1.6.3 Manfaat Penelitian Bagi Masyarakat Umum...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Embriologi Telinga... 2.1.1 Pembentukan telinga pada usia mudigah 22 hari ... 2.1.2 Pembentukan telinga pada usia mudigah 6 minggu... 2.1.3 Pembentukan telinga pada usia mudigah 8 minggu... 2.1.4 Pembentukan telinga pada usia mudigah 10 minggu... 2.1.5 Pembentukan telinga pada usia mudigah 3 bulan... 2.1.6 Pembentukan telinga pada usia mudigah 7 bulan... 2.1.7 Pembentukan telinga pada usia mudigah 8 bulan... 2.1.8 Perkembangan pembentukan telinga setelah lahir... 2.1.9 Embriologi Menurut Islam... 2.2 Fisiologi Pendegaran... 2.3 Tumbuh kembang pendengaran dan wicara... 2.4 Perkembangan merespons suara... 2.4.1 Respons terhadap suara pada neonatus... 2.4.2 Respons terhadap suara pada bayi berusia < 4 bulan... 2.4.3 Respons terhadap suara pada bayi berusia 4-6 bulan... 2.4.4 Respons terhadap suara pada bayi berusia 7-9 bulan...

(9)

ix

2.4.6 Respons terhadap suara pada bayi berusia 13-24 bulan... 2.4.7 Respons terhadap suara pada anak berusia > 2 tahun... 2.5 Kejadian gangguan pendengaran pada anak di Indonesia... 2.6 Deteksi dini gangguan pendengaran... 2.7 Faktor risiko kehilangan pendengaran pada bayi dan anak... 2.8 Neonatus risiko tinggi mengalami gangguan pendengaran... 2.9 Pentingnya Pendengaran Menurut Islam... 2.10 Kerangka konsep ... 3.5 Sampel Penelitian dan Cara Pemilihan Sampel... 3.6 Besar Sampel... 3.6.1 Perhitungan Besar Sampel... 3.6.2 Jumlah Sampel yang Diambil... 3.7 Variabel Penelitian... 3.8 Kriteria Inklusi dan Eksklusi...

3.8.1 Faktor Inklusi... 4.2.3 Uji Korelasi Umur dengan Skor... 4.2.4 Uji Korelasi Jumlah Faktor Risiko dengan Deviasi Skor...

BAB V DISKUSI DAN PEMBAHASAN

5.1.Karakteristik Responden... 5.2.Faktor Risiko Gangguan Pendengaran pada Anak...

(10)

x

5.2.6. Infeksi Saluran Nafas Atas Rekuren... 5.2.7. Imunisasi Rutin Sesuai Jadwal... 5.2.8. Kelainan Kongenital Telinga... 5.3.Validitas dan Reliabilitas Kuesioner... 5.4.Analisis Korelasi Bivariat... 5.4.1. Korelasi Umur dengan Skor... 5.4.2. Korelasi Jumlah Faktor Risiko dengan Deviasi Skor... 5.5.Kuesioner LittlEARS untuk pre-Skrining Gangguan Pendengaran.... 5.6.Keterbatasan Penelitian... BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan ... 6.2 Saran ...

DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ... DAFTAR RIWAYAT HIDUP...

40 40 41 42 43 43 43 44 44

45 45

(11)

xi

Tabel 2.1 Tahapan Perkembangan Bicara... 13

Tabel 2.2 Perkiraan Adanya Gangguan Pendengaran pada Bayi dan Anak 13 Tabel 2.3 Prevalensi Disabilitas Fungsi Tubuh Pada Anak... 16

Tabel 3.1 Jadwal Kegiatan Penelitian... 24

Tabel 3.2 Definisi Operasional Penelitian... 29

Tabel 4.1 Karakteristik Responden... 30

Tabel 4.2 Croanbach’s alpha... 32

(12)

xii

secara Anatomis... 5

Gambar 2.2 Embriologi Telinga Saat Mudigah Berusia A. 24 Hari B. 27 Hari C. 4,5 Minggu... 6

Gambar 2.3 Embriologi Telinga Sampai Mudigah Berusia 6 Minggu... 6

Gambar 2.4 Embriologi Telinga Saat Mudigah Berusia 7 Minggu... 7

Gambar 2.5 Embriologi Telinga Saat Mudigah Berusia 3 Bulan... 7

Gambar 2.6 Embriologi Pembentukan Kavum Timpani... 8

Gambar 2.7 Anatomi Telinga... 9

Gambar 2.8 Pembentukan Aurikula... 9

Gambar 2.9 Formasi Arkus Faring Sekitar Leher... 10

Gambar 2.10 Perkembangan Celah dan Kantung Faring Menjadi Kavitas Timpani, Tuba Auditori, dan Meatus Auditoru Externus... 10

Gambar 2.11 Skema Lengkap Pembentukan Organ Telinga... 11

Gambar 2.12 Alur UNHS di RSCM... 18

Gambar 2.13 Diagram Skrining Gangguan Pendengara, HTA 2007... 19

Gambar 2.14 Kerangka Konsep Penelitian... 23

Gambar 3.1 Diagram Alur Penelitian... 27

Gambar 4.1 Grafik Histogram Sebaran Umur Anak... 31

Gambar 4.2 Grafik Histogram Sebaran Skor Kuesioner... 32

(13)

xiii

AABR : Automated Auditory Brainstem Response

ABR : Auditory Brainstem Response

AEP : Auditory evoked potential

ASSR : Auditory steady state response

BERA : Brainstem Evoked Response Audiometry

BOA : Behavorial Observation Audiometry

CT Scan : Computed Tomography Scan

dB HL : desibell hearing level

dB : desibel

DPOAE : Distortion Product Otoaccoustic emission

EHDI : Early Hearing Detection and Intervention

HTA : Health Technology Assessment

JCIH : Joint Committee on Infant Hearing

kHz : kilo hertz

MRI : Magnetic Resonance Imaging

NICU : Neonatal intensive care unit

OAE : Otoaccoustic emission

(14)

xiv

Lampiran 1. Lembar Informed Consent dan Kuesioner Karakteristik

Responden ... 50

Lampiran 2. Kuesioner Perkembangan Pendengaran Anak LittlEARS ... 52

Lampiran 3. Analisis SPSS ... 54

1. Statistik Deskriptif ... 54

2. Uji Normalitas Variabel Umur Anak dan Skor ... 55

3. Grafik Sebaran Umur Anak ... 55

4. Grafik Sebaran Skor Kuesioner ... 57

5. Validitas Kuesioner ... 59

6. Validitas Butir Pertanyaan ... 59

7. Uji Korelasi Usia dengan Skor ... 60

8. Uji Korelasi Jumlah Faktor Risiko dengan Deviasi Skor ... 61

(15)

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Alat indera merupakan alat sensorik seseorang untuk mengenali lingkungan sekitar. Manfaat alat indera bagi seseorang sangat penting karena berfungsi untuk keberlangsungan hidupnya. Pendengaran merupakan salah satu indera yang dibutuhkan oleh seorang anak yang baru lahir. Apabila anak yang baru lahir tidak memiliki kemampuan mendengar, anak tersebut akan mengalami gangguan perkembangan, gangguan kognitif serta gangguan afektif.

Di Indonesia, angka kejadian disabilitas bicara dan suara pada kelompok umur 1-4 tahun adalah 3,0%. Sedangkan prevalensi disabilitas bicara dan suara pada kelompok umur 5-14 tahun adalah 0,6%. Survei yang dilakukan di 7 provinsi di Indonesia pada tahun 1994-1996 menunjukan angka kejadian tuli sejak lahir sebesar 0,1% dari total 19.375 sampel yang diperiksa. Jadi, terdapat 1-2 anak dengan tuli sejak lahir setiap 1.000 kelahiran hidup.1,2,3

Merujuk pada Guideline of Universal Newborn Hearing Screening yang dikeluarkan Joint Committe on Infant Hearing (JCIH) tahun 2007, pemeriksaan pendengaran pada anak harus dilakukan sebelum usia 3 bulan dan harus diterapi sebelum usia 6 bulan.4 Pemeriksaan pendengaran anak sebelum berusia 6 bulan, memiliki pengaruh yang sangat baik terhadap kehidupan anak. Itano dkk (1998) menyatakan, anak dengan gangguan pendengaran yang dideteksi sebelum berusia 6 bulan mengalami perkembangan pendengaran dan bicara yang lebih baik daripada anak dengan gangguan pendengaran yang dideteksi setelah berusia 6 bulan.5

(16)

Pemeriksaan otoaccoustic emission (OAE) dan auditory brainstem response (ABR) digunakan untuk menilai fungsi pendengaran pada bayi baru lahir. Pemeriksaan OAE lebih ditujukan untuk menilai apakah terdapat gangguan pendengaran tipe hantaran (conductive hearing loss/CHL). Pemeriksaan OAE bersama ABR bertujuan untuk menilai apakah terdapat gangguan pendengaran sensorineural (sensorineural hearing loss/SNHL).

Baku emas skrining gangguan dengar pada neonatus adalah OAE dan ABR.7 Menurut EHDI (Early Hearing Detection and Intervention) 2007dan HTA Indonesia 2010, semua bayi yang lahir di rumah sakit harus dideteksi fungsi pendengarannya dengan pemeriksaan OAE dan ABR sebelum meninggalkan rumah sakit. Namun, tidak semua pusat pelayanan kesehatan di Indonesia memiliki alat untuk pemeriksaan tersebut.

Kuesioner meruapakan alat pemeriksaan yang mudah dan murah. Kuesioner LitleEARS merupakan alat pemeriksaan pilihan untuk deteksi dini gangguan pendengaran pada anak. Kuesioner ini berisikan 35 pertanyaan tertutup tentang perkembangan fungsi pendengaran pada anak dengan usia kurang dari 2 tahun.8 Kuesioner LitleEARS yang dikeluarkan MedEl sudah diterjemahkan dalam 15 bahasa, sehingga hasil penilaian kuesioner sudah bisa dianggap universal. Namun kuesioner ini belum pernah secara resmi diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh pengembangnya (MedEl) dan juga belum pernah diadaptasikan untuk penggunannya di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

(17)

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Berapa rentang skor kuesioner LitleEARS pada anak usia 0-24 bulan dengan faktor risiko gangguan pendengaran di Indonesia?

2. Apakah kuesioner perkembangan pendengaran anak LitleEARS dapat digunakan di Indonesia untuk skrining gangguan pendengaran pada anak usia 0-24 bulan?

3. Berapa besar korelasi antara usia anak yang berisiko mengalami gangguan pendengaran dengan skor kuesioner LitleEARS pada anak?

1.4 Hipotesis

1. Rentang skor kuesioner LitleEARS pada anak usia 0-24 bulan dengan faktor risiko gangguan pendengaran di Indonesia adalah 0-35.

2. Kuesioner LitleEARS dapat digunakan untuk skrining gangguan pendengaran pada anak usia 0-24 bulan di Indonesia.

3. Terdapat korelasi positif antara usia anak dengan skor kuesioner LitleEARS pada anak dengan resiko tinggi mengalami gangguan pendengaran.

1.5 Tujuan Penelitian 1.5.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memvalidasi kuesioner LitleEARS di Indonesia sehingga dapat digunakan sebagai instrumen skrining gangguan pendengaran pada anak berusia kurang dari 24 bulan.

1.5.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk:

Mengetahui rentang skor kuesioner LitleEARS pada anak usia kurang dari 24 bulan dengan faktor risiko gangguan pendengaran. Mengetahui validitas kuesioner LittlEARS berbahasa Indonesia pada anak usia 0-24 bulan dengan faktor risiko gangguan pendengaran

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Manfaat Penelitian Bagi Peneliti

(18)

Jakarta dan sebagai prasyarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik Pendidikan Dokter. Selain itu juga penelitian ini bermanfaat bagi peneliti untuk mempelajari metode penelitian di bidang ilmu kedokteran dan ilmu kesehatan.

1.6.2 Manfaat Penelitian Bagi Perguruan Tinggi

Bagi perguruan tinggi, penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu kedokteran dan ilmu kesehatan, khususnya di bidang neuro-sensory dan pediatrik.

1.6.3 Manfaat Penelitian Bagi Masyarakat Umum

(19)

5

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Embriologi Telinga

Pembentukan telinga dapat diamati saat mudigah berusia 22 hari berupa penebalan ektoderm permukaan di kedua sisi rombensefalon. Penebalan ini, plakoda otika (lempeng telinga), cepat mengalami invaginasi membentuk vesikula otika (vesikel telinga) atau auditorik (otocyst). Selanjutnya masing-masing vesikel (kanan dan kiri) bagian ventral menghasilkan sakulus dan duktus koklearis. Vesikel bagian dorsal membentuk utrikulus, kanalis semisirkularis, dan duktus endolimfatikus. Bersama-sama, struktur epitel ini membentuk labirin membranosa.9

2.1.1. Pembentukan Telinga Pada Usia Mudigah 22 Hari  Plakoda otika menjadi vesikula otika.

 Muncul ganglion statoakustik (dari saraf kranial VII) yang terpisah menjadi bagian kokleare (memasok sel sensorik ke organ corti) dan vestibulare (memasok sel sensorik ke sakulus, utrikulus, dan kanalis semisirkularis)9

Gambar 2.1. Diagram Pembentukan Telinga Dalam dan Pembagiannya Secara Anatomis

Vesikula otika

Dorsal

Utrikulus Kanalis Semisirkularis

Duktus endo-limfatikus

Ventral

(20)

2.1.2. Pembentukan Telinga Pada Usia Mudigah 6 Minggu

 Muncul kanalis semisirkularis yang akan menjadi organ keseimbangan (vestibular)

 Sakulus di bagian kutub bawah mulai membentuk tubulus (bakal duktus koklearis)9

Gambar 2.3. Embriologi Telinga Sampai Mudigah Berusia 6 Minggu (E) Sumber: Embriologi Kedokteran Langman (2009)9

Gambar 2.2. Embriologi Telinga Saat Mudigah Berusia A. 24 Hari B. 27 Hari C. 4,5 Minggu

(21)

2.1.3. Pembentukan Telinga Pada Usia Mudigah 8 Minggu

Saat mudigah berusia 8 minggu, duktus koklearis sudah terbentuk 2,5 putaran dan menembus mesenkim di sekitarnya. Mesenkim di sekitar duktus koklearis adalah bakal tulang rawan pembentuk skala vestibuli dan skala timpani.9

2.1.4. Pembentukan Telinga Pada Usia Mudigah 10 Minggu

Saat mudigah berusia 10 Minggu, skala vestibuli dan skala timpani, yang merupakan vakuolisasi selubung tulang rawan di sekitar duktus koklearis, sudah terbentuk.9

2.1.5. Pembentukan Telinga Pada Usia Mudigah 3 Bulan

Saat usia Mudigah 3 Bulan, terbentuk sumbat meatus akustikus externus.Sumbat meatus akustikus externus (meatal plug) adalah lempeng epitel solid dari bagian dorsal celah faring pertama.9

Gambar 2.4. Embriologi Telinga Saat Mudigah Berusia 7 Minggu Sumber: Embriologi Kedokteran Langman (2009)9

(22)

2.1.6. Pembentukan Telinga Pada Usia Mudigah 7 Bulan

Sumbat meatus akustius externus luruh, dan ikut membentuk gendang telinga definitif. Selain dari lapisan epitel ektoderm di dasar meatus akustikus, gendang telinga juga dibentuk dari lapisan epitel endoderm di kavitas timpani dan lapisan intermediate jaringan ikat yang membentuk stratum fibrosum.9

2.1.7. Pembentukan Telinga Pada Usia Mudigah 8 Bulan

Jaringan sekitar tulang pendengaran menghilang sehingga kavitas timpani semakin luas. Sebelumnya, tulang pendengaran ini terbenam dalam mesenkim longgar.

Ligamentum penopang tulang pendengaran terbentuk dari epitel endoderm.9

2.1.8. Perkembangan Pembentukan Telinga Setelah Lahir

Epitel kavitas timpani menginvasi tulang prosesus mastoideus yang sedang terbentuk, dan terbentuklah kantong-kantong udara berlapis epitel (pneumatisasi). Kemudian, sebagian besar dari kantong udara mastoid berhubungan langsung dengan antrum dan kavitas timpani. Perluasan peradangan telinga tengah ke dalam antrum dan sel udara mastoid adalah penyulit yang sering dijumpai pada infeksi telinga tengah. 9

(23)

Arkus faring pertama dan kedua ikut membentuk telinga. Arkus faring pertama akan menjadi maleus, inkus, kavitas timpani, aurikula. Arkus faring kedua ikut membentuk stapes, aurikula.9

Gambar 2.7. Anatomi Telinga

Sumber: Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula (2003)13

(24)

Gambar 2.9. Formasi Arkus Faring Sekitar Leher Sumber: Embriologi Kedokteran Langman (2009)9

Gambar 2.10. Perkembangan Celah dan Kantung Faring Menjadi Kavitas Timpani, Tuba Auditori, dan Meatus Auditoru Externus

(25)

2.1.9 Embriologi Menurut Islam

Perkembangan embrio dalam janin mendapat perhatian yang cukup besar dalam Islam. Hal ini terbukti dengan terdapatnya ayat Al-Quran yang membahas perkembangan manusia dalam rahim yaitu dari saripati tanah sampai berbentuk manusia. Penjelasan tersebut terdapat dalam Al-Quran surat Al-Mu’minuun ayat

12-14 yang berbunyi: “Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari

saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah, Pencipta Yang Paling Baik.”11

2.2 Fisiologi Pendengaran

Telinga memiliki fungsi untuk mendengar. Telinga dapat menerima suara dalam rentang frekuensi 2 sampai 4 kHz. Sedangkan taraf intensitas yang dapat

(26)

diterima adalah sampai 15 dB. Intensitas bunyi berbanding lurus dengan energi, sedangkan energi berbanding lurus dengan frekuensi pangkat dua. Oleh karena itu, suara yang melebihi 4 kHz adalah yang paling berbahaya menimbulkan trauma akustik.12

Fungsi pendengaran dimulai ketika suara memasuki daun telinga. Pada saat ini, bunyi masih dihantarkan melalui udara dan dikumpulkan oleh pinna (liang telinga) dan aurikula (daun telinga). Kemudian, gelombang suara menggerakkan membran timpani dan dirambatkan ke membrana basalis dan organ corti melalui maleus, inkus, dan stapes. Pada saat ini, bunyi dihantarkan melalui zat padat dan cairan endolimfe di telinga dalam. Penghantaran melalui zat padat ini penting, karena bunyi hanya akan tersalurkan 0,1% energinya bila dirambatkan dari udara ke cairan. Apabila tidak melalui maleus incus stapes, akan mengurangi taraf intensitas atau kekuatan bunyi sehingga membuat orang yang berbicara keras hanya terdengar seperti berbisik pada kita. Telinga tengah mampu mengkompensasi hal tersebut terutama karena luas membrana timpani 17 kali lebih besar dari luas basis stapes.13,14

Setelah mencapai di organ corti, gelombang ini membengkokan stereosilia lalu menimbulkan depolarisasi sel rambut dan menciptakan potensial aksi pada serabut-serabut saraf pendengaran yang melekat padanya. Di sinilah gelombang suara mekanis diubah menjadi energi elektrokimia agar dapat ditransmisikan melalui saraf kranialis ke-8. Peristiwa listrik pada organ corti dapat diukur dan dikenal sebagai mikrofonik koklearis. Peristiwa listrik yang berlangsung dalam neuron juga dapat diukur dan disebut sebagai potensial aksi.13

2.3 Tumbuh Kembang Pendengaran dan Wicara

Koklea mencapai fungsi normal seperti orang dewasa setelah usia gestasi 20 minggu. Pada masa tersebut janin dalam kandungan telah dapat memberikan respons terhadap suara yang ada di sekitarnya namun reaksi janin masih bersifat refleks. Respons terhadap suara berupa refleks aural palpebral yang konsisten pada janin normal usia 24-25 minggu.22

(27)

1 dan 2 memaparkan tahapan perkembangan wicara pada anak dan cara mendeteksi gangguan pendengaran yang dapat dilakukan oleh orang awam.22 Tabel 2.1. Tahapan Perkembangan Bicara

Usia Kemampuan

Neonatus Menangis (reflex vocalization)

Mengeluarkan suara mendengkur seperti suara burung (cooing) Suara seperti berkumur (gurgles)

2 – 3 bulan Tertawa dan mengoceh tanpa arti (babbling)

4 – 6 bulan Mengeluarkan suara yang merupakan kombinasi huruf hidup (Vowel)

dan huruf mati (konsonan)

Suara berupa ocehan yang bermakna (true babling atau lalling),

seperti “pa...pa, da...da”.

7 – 11 bulan Dapat menggabung kata/suku kata yang tidak mengandung arti, terdengar seperti bahasa asing (jargon).

Usia 10 bulan mampu meniru suara sendiri (echolalllia).

Memahami arti “tidak”, mengucapkan salam.

Mulai memberi perhatian terhadap nyanyian atau musik 12 – 18 bulan Mampu menggabungkan kata atau kalimat pendek.

Mulai mengucapkan kata pertama yang mempunyai arti (true speech) Usia 12-14 bulan mengerti instruksi sederhana, mununjukkan bagian

tubuh dan nama mainannya

Usia 18 bulan mampu mengucapkan 6-10 kata.

Sumber: Buku Ajar Ilmu Kesehatan; Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher (2007)23

Tabel 2.2. Perkiraan Adanya Gangguan Pendengaran pada Bayi dan Anak Usia Kemampuan Bicara

12 bulan Belum dapat mengoceh

18 bulan Tidak dapat menyebutkan 1 kata yang mempunyai arti

24 bulan Perbendaharaan kata kurang dari 10 kata 30 bulan Belum dapat merangkai 2 kata

(28)

2. 4 Perkembangan Merespons Suara 2.4.1 Respon Terhadap Suara pada Nenonatus

Pada minggu pertama kehidupan, bayi merespon suara keras dengan refleks terkejut. Respon ini berupa reflex aural palpebra, perubahan denyut jantung dan pola pernafasan, sentakan kepala ke belakang, menangis, gerakan tubuh berupa refleks morro. Respon-respon tersebut tidak terjadi bila dipaparkan dengan suara yang tenang dan intensitas suara yang rendah. Rangsangan suara yang dapat menimbulkan refleks ini pada neonatus sampai umur 2 minggu adalah nada murni dengan rentang frekuensi 500-4000 Hz dan intensitas 85-95 dB. Pengamatan respon ini bersifat subjektif karena dipengaruhi psikofisiologikal anak. Sehingga, ambang pendengaran pada neonatus tidak dapat diukur secara akurat jika menggunakan teknik perilaku.3,15,16

2.4.2 Respon Terhadap Suara pada Bayi Berusia Kurang dari 4 Bulan

Saat usia ini, bayi mulai memperhatikan suara dengan diam dan mendengarkan. Pada usia 4 bulan, bayi merespon suara orang tuanya dengan diam dan tersenyum bahkan apabila sumber suara tidak terlihat. Respon ini terutama dijumpai pada suara keras. Respon ini tidak tetap pada suara yang lebih tenang. Respon ini dapat digunakan untuk memperkirakan ambang dengar pada bayi usia kurang dari 4 bulan.3,15

2.4.3 Respon Terhadap Suara pada Bayi Berusia 4-6 Bulan

Saat usia ini, bayi mulai secara nyata dan konsisten menggerakkan kepala ke sumber suara. Respon ini tidak hanya lebih nyata, tetapi juga terjadi peningkatan kepekaan karena terjadi pada intensitas suara rendah. Perkiraan ambang suara pada bayi usia ini memungkinkan untuk dapat dilakukan dengan teknik perilaku. Perubahan respon terhadap lokalisasi suara yang lebih tepat dapat terlihat pada bayi yang lebih tua.3,15

(29)

2.4.4 Respon Terhadap Suara pada Bayi Berusia 7-9 Bulan

Saat usia ini, anak dapat menentukan lokasi sumber suara berintensitas rendah secara tepat pada bidang horizontal. Sebagian besar anak masih belum mampu untuk menentukan lokasi sumber suara pada bidang vertikal. Anak akan bergerak ke arah orang tuanya yang berada diluat kamar dan mencari sumber suara yang menarik perhatiannya. Anak juga mulai berceloteh nyaring dan meniru suara-suara dengan lebih jelas.3,15

2.4.5 Respon Terhadap Suara pada Bayi Berusia 10-12 bulan

Saat usia ini, anak dapat menentukan lokasi suara dengan intensitas rendah pada berbagai tempat bila ia tidak terlalu sibuk dengan kegiatan lain. Kemampuan mengucapkan kata-kata berkembang untuk kata-kata tunggal seperti namanya, kata tidak, dan objek yang sudah dikenal baik olehnya. Perkembangan vokalisasi anak sampai usia 12 bulan berupa mencoba berkata-kata dan mengulang beberapa kata.3,15

2.4.6 Respon Terhadap Suara pada Bayi Berusia 13-24 Bulan

Saat usia ini, anak mampu melokalisasi secara cepat dan mulai dapat mengantisipasi serta mengamati sumber suara selama uji tingkah laku dilakukan. Saat usia ini juga terjadi perkembangan pemahaman kata-kata. Pada beberapa anak usia 18 bulan mulai dapat mengenali beberapa bagian tubuh. Saat usia 2 tahun, anak dapat memungut mainannya ketika terjatuh. Perbendaharaan kata pada anak berkembang setelah usia 24 bulan. Anak mulai menggabungkan dua kata secara bersamaan saat berusia 18-21 bulan.3,15

2.4.7 Respon Terhadap Suara pada Anak Berusia Lebih dari 2 Tahun

Saat usia ini anak biasanya akan bereaksi terhadap rangsangan suara yang pertama diberikan dan akan mengabaikan suara yang diberikan berikutnya. Saat usia ini, play audiometry dengan ruangan yang luas dapat dicoba untuk dulakukan. Pada beberapa anak sudah dapat dilakukan pemeriksaan audiometri nada murni pada usia 3 tahun.3,15

2.5 Kejadian Gangguan Pendengaran pada Anak di Indonesia

(30)

prevalensi disabilitas bicara dan suara pada kelompok umur 5-14 tahun adalah 0,6 persen.17,18,19

Tabel 2.3. Prevalensi Disabilitas Fungsi Tubuh Pada Anak (dalam Persen) Jenis disabilitas fungsi tubuh Kelompok Umur

< 1 tahun 1-4 tahun 5-14 tahun

Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2002). Survei Kesehatan Nasional 2001. Laporan SKRT 2001: Studi Morbiditas dan Disabilitas.19

2.6 Deteksi Dini Gangguan Pendengaran

Berikut pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk mendeteksi gangguan pendengaran dan bahasa pada anak:

a. Otoaccoustic Emission (OAE)

Emisi otoakustik adalah suara dengan intensitas rendah yang dihasilkan oleh koklea baik secara spontan maupun setelah diberikan stimulus. Emisi otoakustik dihasilkan oleh gerakan sel-sel rambut luar di telinga dalam.3

(31)

BERA merupakan cara pengukuran evoked potensial (aktifitas listrik) yang dihasilkan n. VIII, pusat neural, dan traktus di dalam batang otak sebagai respons terhadap stimulus auditorik. Singkatnya, BERA mengukur auditory evoked potential (AEP). AEP direkam menggunakan elektroda permukaan yang terpasang pada kulit kepala. Selain dengan BERA, AEP dapat direkam dengan electrococcleography (ECohG), middle latency response (MLR), dan

late latency response (LLR) tergantung dari onset munculnya gelombang setelah pemberian stimulus (masa laten). BERA banyak digunakan untuk mengukur AEP di klinik, terjadi 10 mdetik pertama setelah pemberian stimulus dan menggambarkan aktivitas n. VIII sampai batang otak.20,21

Stimulus yang digunakan dalam pemeriksaan BERA berupa click dan

toneburst yang diberikan melalui transducer berupa insert probe, headphone,

dan bone vibrator. Transducer yang paling sering digunakan adalah insert probe. Click merupakan stimulus dengan onset cepat dan durasi yang sangat singkat (0,1 ms). Stimulus ini menghasilkan respons pada rerata frekuensi antara 2.000-3.000 Hz. Sedangkan tone burst merupakan stimulus dengan durasi singkat namun memiliki frekuensi spesifik (misalnya 500 Hz, 1 KHz, 2 KHz, dan 4 KHz). Setiap satu sesi perekaman diperlukan 1.000-2.000 stimulus dengan kecepatan sekitar 20 stimulus per detik. Sedangkan pada bayi dapat diberikan kecepata stimulus yang lebih besar sampai 39 kali per detik.20,21

Keuntungan pemeriksaan BERA antara lain: 1) tidak tergantung perilaku anak; 2) tidak dipengaruhi pemakaian obat-obatan seperti sedativ atau pelemas otot; 3) tidak invasif; 4) sensitivitas dan spesifisitas tinggi (sensitivitas 97-100%, spesifistas 86-96%); 5) tidak dipengaruhi telinga luar maupun telinga tengah; 6) reliabilitas inter dan intra subyek sangat tinggi. Kekurangan BERA antara lain: 1) dipengaruhi bising lingkungan; 2) membutuhkan sedasi; 3) waktu pemeriksaan lama; 4) memerlukan tenaga ahli dan harga alat yang sangat mahal.20,21

(32)

c. Behavioral Observation Audiometry (BOA)

Teknik pemeriksaan ini dilakukan pada anak berusia kurang dari 5 bulan. BOA terbatas pada respons yang tidak diinstruksikan dan refleksif. Respon ini dapat diamati terhadap stimulus berupa suara kompleks (frekuensinya tidak spesifik) berupa bising, berbicara, atau musik yang dihasilkan suatu alat. Alat ini dapat berupa alat yang sudah dikalibrasi dan kemudian menggunakan pengeras suara atau dengan pembuat bising yang tidak terkalibrasi. Respon yang dihasilkan sangat bervariasi pada bayi, dan biasanya tidak menggambarkan perkiraan sensitivitas yang baik.22

d. Timpanometri

Teknik ini memberi grafik kemampuan telingan tengah untuk menjalarkan energi suara (pemasukan, kelenturan) atau menghalangi energi suara (impedance) sebagai fungsi tekanan udara di saluran telinga luar.22

e. Audiometri bermain (play audiometry)

Teknik pemeriksaan audiometri bermain digunakan pada anak usia 2 tahun 6 bulan sampai 5 tahun. Respon yang diamati pada audiometri permainan berupa instruksi aktivitas motorik yang disertai permainan, seperti: menyatukan balok dalam ember; menempatkan cincin pada pasak; atau penyelesaian teka-teki.22

Gambar 2.12. Alur UNHS di RSCM

(33)

Menurut Guideline of Universal Newborn Hearing Screening yang dikeluarkan Joint Committe on Infant Hearing (JCIH) tahun 2007, pemeriksaan yang dilakukan untuk skrinning pendengaran pada neonatus di rumah sakit sampai anak berusia 1 bulan adalah dengan pemeriksaan otoaccoustic emission (OAE) dan automatedauditory brainstem response (AABR).4

Menggunakan beberapa metode tersebut di atas, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan HTA Indonesia (lembaga penilai teknologi kesehatan Indonesia) mengeluarkan alur skrining pendengaran neonatus universal seperti yang tercantum pada gambar 2.12 dan 2.13.

Gambar 2.13. Diagram Skrining Gangguan Pendengaran, Konvensi HTA 2007 Sumber: Gambaran Hasil Pemeriksaan Emisi Otoakustik Sebagai Skrining Awal Pendengaran Bayi Baru Lahir di RSUP H. Adam Malik Medan dan Balai Pelayanan Kesehatan dr. Pirngadi

Medan (2009)3

OAE

Pass Refer

Faktor risiko?

Tidak Ya

Tidak perlu ditindaklanjuti

Pemantauan perkembangan bicara Pemantauan audiologi sekurang-kurangnya tiap 6 bulan selama 3 tahun

Habilitasi sebelum 6 bulan

Usia 3 Bulan:

1. Evaluasi otoskopi 2. Timpanometri 3. DPOAE 4. AABR

Pass Refer

(34)

2.7 Faktor Risiko Kehilangan Pendengaran Pada Bayi dan Anak

Program skrinning pendengaran dan bahasa pada bayi dan anak diprioritaskan pada mereka yang memiliki risiko terhadap gangguan pendengaran. Pada tahun 2000, Joint Committe on Infant Hearing menetapkan pedoman regsitrasi risiko tinggi terhadap ketulian sebagai berikut:

Pada bayi 0 - 28 hari

a. Kondisi atau penyakit yang memerlukan perawatan NICU (Noeonatal ICU) selama 48 jam atau lebih.

b. Keadaan atau stigmata yang berhubungan dengan sindoma tertentu yang diketahui mempunyai hubungan dengan tuli sensorineural atau konduktif. c. Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran sensorineural yang

menetap sejak masa anak-anak

d. Anomali kraniofasial termasuk kelainan morfologi pinna atau liang telinga e. Infeksi intrauterin seperti toksoplasma, rubella, virus cytomegalo, herpes,

sifilis.23

Pada bayi 29 hari – 2 tahun

a. Kecurigaan orang tua atau pengasuh tentang gangguan pendengaran, keterlambatan bicara, berbahasa atau keterlambatan perkembangan. b. Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran yang menetap sejak

masa anak-anak

c. Keadaan atau stigmata yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang diketahui mempunyai hubungan dengan tuli sensorineural, konduktif, atau gangguan fungsi tuba Eustachius

d. Infeksi post-natal yang menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural termasuk meningitis bakterialis.

e. Infeksi intrauterin seperti toksoplasma, rubella, virus cytomegalo, herpes, sifilis.

f. Adanya faktor risiko tertentu pada masa neonatus, terutama

hiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi tukar, hipertensi pulmonal yang membutuhkan ventilator serta kondisi lainnya yang memerlukan

(35)

g. Sindroma tertentu yang berhubungan dengan gangguan pendengaran yang progresif seperti Usher syndrome, neurofibromatosis, osteopetrosis. h. Adanya kelainan neurodegeneratif seperti Hunter syndrome, dan kelainan

neuropati sensorimotorik misalnya Friederich’s ataxia, Charrot-Marrie

Tooth syndrome. i. Trauma kapitis

j. Otitis media yang berulang atau menetap dusertai efusi telinga tengah minimal 3 bulan.23

Bayi yang mempunyai salah satu faktor risiko tersebut mempunyai kemungkinan mengalami ketulian 10,2 kali lebih besar dibandingkan dengan bayi yang tidak memiliki faktor risiko. Bila terdapat 3 buah faktor risiko kecenderungan menderita ketulian diperkirakan 63 kali lebih besar dibandingkan bayi yang tidak mempunyai faktor risiko tersebut. Pada bayi yang dirawat di ruangan intensif (ICU), risiko untuk mengalami ketulian 10 kali lipat dibandingkan dengan bayi normal.23

Namun indikator risiko gangguan pendengaran tersebut hanya dapat mendeteksi sekitar 50% gangguan pendengaran karena banyaknya bayi yang mengalami gangguan pendengaran tanpa memiliki faktor risiko dimaksud. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka saat ini upaya melakukan deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi ditetapkan melalui program Newborn Hearing Screening (NHS).23

2.8 Neonatus Risiko Tinggi Mengalami Gangguan Pendengaran

Daftar indikator risiko tinggi untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya gangguan pendengaran kongenital maupun diidapat pada neonatus adalah sebagai berikut:

a. Riwayat keluarga gangguan pendengaran sensorineural permanen b. Anomali telinga dan kraniofasial

c. Infeksi intrauterin berhubungan dengan gangguan pendengara

sensorineural (infeksi toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, herpes, sifilis)

(36)

e. Berat lahir kurang dari 1500 gram

f. Nilai Apgar yang rendah (0-3 pada menit kelima, 0-6 pada menit kesepuluh)

g. Kondisi penyakit yang membutuhkan perawatan di NICU 48 jam h. Distress pernafasan (misalnya aspirasi mekoneum)

i. Ventilasi mekanik selama 5 hari atau lebih

j. Hiperbilirubinemia pada kadar yang memerlukan transfusi tukar k. Meningitis bakterial

l. Obat-obatan ototoksik (msialnya gentamisin) yang diberikan lebih dari 5 hari atau digunakan sebagai kombinasi dengan loop diuretic.24

Bayi dengan 1 faktor resiko mempunyai kemungkinan menderita gangguan pendengaran 10,1 kali dibandingkan bayi yang tidak mempunyai faktor resiko, bayi dengan 2 faktor risiko mempunyai kemungkinan 12,7 kali, sedangkan bila terdapat 3 faktor risiko maka kemungkinan meningkat menjadi 63,2 kali. Tetapi, 50% bayi dengan gangguan pendengaran bermakna ternyata tidak mempunyai faktor resiko tersebut.24

2.9 Pentingnya Pendengaran Menurut Islam

Pentingnya pendengaran bagi manusia terbukti dengan ditemukannya 19 ayat al-Quran yang mengandung kata pendengaran. Bahkan, ada sebuah ayat yang menjelaskan pentingnya pendengaran bagi seorang manusia yang baru dilahirkan. Hal tersebut terdapat dalam al-Quran surat An-Nahl ayat 78, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, pengelihatan dan hati nurani, agar kamu bersyukur.”11

(37)

2. 10. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian ini adalah sebagai berikut:

Gambar 2.14. Kerangka Konsep Penelitian

Ada beberapa kemungkinan yang mempengaruhi responden mengisi kuesioner perkembangan pendengaran pada anak usia 0-24 bulan yang berisiko mengalami gangguan pendengaran, diantaranya adalah: usia anak, jenis kelamin anak, pekerjaan responden, tingkat pendidikan responden, rata-rata durasi interaksi responden dengan anak dalam sehari. Penelitian ini mencari korelasi usia dengan skor kuesioner, dengan memperhatikan faktor perancu tersebut.

Skrining pendengaran sesuai guideline UNHS

Anak dengan gangguan pendengaran

Anak tanpa gangguan pendengaran

Habilitasi

Perkembangan normal

Pengisian kuisioner LittlEARS

Diduga gangguan pendengaran

Karakteristik Responden: Pekerjaan,

pendidikan, durasi interaksi dengan anak.

Karakteristik Anak: Usia, Jenis kelamin

: Fokus penelitian ini

Anak usia 0- 4 bulan berisiko gangguan pendengaran ≥ Faktor Resiko

(38)

24

3.1. Desain Penilitian

Penelitian adalah berupa cross sectional (potong lintang) karena variabel bebas dan variabel terikat diambil dalam satu waktu. Jenis penelitian ini merupakan penelitian analitik korelatif karena salah satu tujuan penelitian ini adalah mencari koefisien korelatif antara usia anak dengan skor kuesioner LittlEARS. Koefisien korelatif ini nantinya akan menggambarkan apakah terdapat hubungan searah antara usia anak dengan skor kuesioner LittlEARS dan seberapa kuat korelasi tersebut. Data yang diambil mencakup karakteristik responden dan hasil kuisioner perkembangan pendengaran LittlEARS. Kuisioner ini merupakan kuisioner dengan pertanyaan tertutup.

3.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam kurun waktu Februari-Agustus 2013 dengan rincian sebagai berikut:

Tabel 3.1. Jadwal Kegiatan Penelitian

Kegiatan Waktu Tempat

Penyusunan proposal dan perizinan 01 Januari 2013 - 21 April 2013 Pengolahan data 01 Agustus 2013-

03 September 2013

Kampus UIN Penyusunan laporan 17 Agustus 2013-

09 September 2013

Kampus UIN

3.3. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Poli Anak RS Budi Kemuliaan, Jakarta. Selain di RS Budi Kemuliaan, wawancara juga dilakukan di sekitar tempat tinggal peneliti di Bogor, Tangerang, dan Depok.

3.4. Populasi Penelitian

(39)

3.5. Sampel Penelitian dan Cara Pemilihan Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah anak usia 0-24 bulan yang berisiko gangguan pendengaran. Cara pemilihan sampel dengan consecutive sampling. 3.6. Besar Sampel

3.6.1. Perhitungan Besar Sampel

Besar sampel dihitung menggunakan rumus besar sampel untuk penelitian analitik korelatif.26

Keterangan:

Zα = Deviat baku alfa, Zβ = Deviat baku beta, r = koefisien korelasi

Nilai koefisien korelasi (r) skor LittlEARS dengan usia didapatkat berdasar penelitian yang dilakukan oleh Geal-Dor sebesar 0,53. Penelitian tersebut dilakukan pada orang tua dari anak yang dilakukan implantasi koklea. Penelitian ini melibatkan 42 orang tua dari anak yang dilakukan implantasi koklea dengan hearing age mencapai 24 bulan.8

(40)

3.6.2. Sampel yang Diambil

Jumlah sampel yang diambil adalah sejumlah minimal untuk uji korelasi adalah 27 berdasarkan rumus diatas. Sedangkan untuk uji validitas dan uji realibilitas, dibutuhkan minimal 30 sampel. Jadi, jumlah sampel yang dibutuhkan adalah sebanyak 30.

3.7. Variabel Penelitian

Variabel terikat dari penelitian ini adalah skor kuisioner LittlEARS. Sedangkan variabel bebas penelitian ini adalah usia anak saat pengisian kuisioner dilakukan.

3.8. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.8.1. Faktor Inklusi

Kriteria inklusi untuk penelitian ini adalah:

Anak usia 0-24 bulan yang datang ke Poli Anak RS Budi Kemuliaan Responden dengan satu atau lebih faktor risiko gangguan pendengaran, yaitu:

a. Riwayat ANC tidak rutin

b. Riwayat anak mengalami infeksi saluran nafas atas dengan frekuensi lebih dari atau sebanyak satu kali dalam sebulan

c. Infeksi intrauterin berhubungan dengan gangguan pendengaran sensorineural (infeksi toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, herpes, sifilis)

d. Berat lahir anak kurang dari 2000 gram e. Riwayat ikterus pada anak saat baru lahir f. Usia gestasi <37 minggu

g. Persalinan sectio cesarea

h. Menggunakan alat bantu nafas saat baru lahir, dengan suplementasi oksigen

i. Imunisasi rutin sesuai jadwal pada anak

(41)

3.8.2. Faktor Eksklusi

Kriteria eksklusi penelitian ini adalah:

Anak yang tidak bersedia mengikuti penelitian ini Anak yang sudah diterapi gangguan pendengarannya 3.9. Cara Kerja

3.9.1. Alur Penelitian

Gambar 3.1. Diagram Alur Penelitian

Responden diwawancara untuk mengisi formulir karakteristik responden. Bila terdapat faktor risiko dan usia sesuai kriteria inklusi, responden diminta mengisi kuisioner LittlEARS sehingga didapat Skor I. Setelah rentang waktu minimal 2 minggu, responden diwawancara ulang menggunakan kuesioner LittlEARS melalui telepon sehingga didapat Skor II.

3.10. Kuesioner Penelitian 3.10.1 Kuesioner LittleEARS

(42)

selesai mengisi kuisioner setelah memberikan jawaban ‘tidak’ dalam 6 pertanyaan berturut-turut.8

3.10.2 Kuesioner Karakteristik Responden

Karakteristik responden diperlukan untuk mengetahui gambaran umum responden dan untuk menyaring sampel agar sesuai kriteria inklusi dan tidak mengikutkan yang termasuk dalam kriteria eksklusi. Karakteristik responden ini perlu untuk mengontrol beberapa variabel perancu dan menentukan apakah responden termasuk dalam kriteria inklusi.

3.10.2.1. Identitas Anak

Identitas anak ditanyakan langsung ke respoden dan dicatat pada kuesioner karakteristik responden, dengan rincian pertanyaan sebagai berikut:

Berapa bulan usia anak anda saat ini ?

Anak urutan ke berapa dalam keluarga Anda ? Apakah berat lahir cukup (>2000 gram) ?

Apakah anak membutuhkan alat bantu nafas saat dilahirkan ? Apakah anak lahir cukup bulan (≥37 minggu) ?

Apakah anak rutin diimunisasi sesuai jadwal ? Apakah anak pernah kuning ?

Apakah anak sering pilek (≥ 1 x dalam sebulan) ? Persalinan secara normal atau cesarean?

3.10.2.2. Identitas Orang Tua

Identitas orang tua ditanyakan langsung ke respoden dan dicatat pada kuesioner karakteristik responden, dengan rincian pertanyaan sebagai berikut:

Nama Pendidikan Kepedulian

Untuk mengukur tingkat kepedulian responden terhadap anak, ditanyakan berapa lama biasanya responden berinteraksi dengan anak dalam sehari. Pekerjaan

Riwayat penyakit saat mengandung anak ini

(43)

mengandung anak, responden ditanyakan: “Saat mengandung anak ini, apakah ibu menderita penyakit tertentu?”

Riwayat rutin memeriksakan kehamilan ke dokter 3.11. Pengolahan Data

Pengolahan data, analisis statistik dan uji hipotesis dilakukan dengan program SPSS 17. Teknik pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji normalitas data shapiro-wilk, uji korelasi bivariat spearman, uji

reliabilitas croanbach’s alpha dan perhitungan pearson product moment.

3.12. Definisi Operasional

Tabel 3.2. Definisi Operasional Penelitian Variabel

yang diukur

Pengukur Alat Ukur Cara Pengukuran Skala Pengukuran Usia anak Peneliti Wawancara

(44)

30

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Telah dilakukan wawancara perkembangan pendengaran menggunakan kuesioner perkembangan pendengaran anak LittlEARS. Wawancara dilakukan kepada 32 responden yang memiliki anak dengan kriteria inklusi. Wawancara dilakukan pada bulan Mei-Agustus 2013.

4.1 Statistik Deskriptif 4.1.1 Karakteristik Responden

Berdasarkan wawancara, didapatkan 32 responden dengan karakteristik yang disajikan pada tabel 4.1.

Tabel 4.1. Karakteristik Responden

Durasi Responden Berinteraksi dengan Anak dalam Sehari

(45)

4.1.2. Sebaran Umur Anak

Gambar 4.1. Grafik Sebaran Umur Anak

(46)

4.1.3. Sebaran Skor Kuesioner

Gambar 4.2. Grafik Sebaran Skor Kuesioner

Skor kuesioner yang didapat pada penelitian ini memiliki rentang 4-35 dengan rerata 21,78 (± 9,015). Uji Shapiro-Wilk digunakan untuk menguji normalitas variabel skor karena jumlah sampel kurang dari 50. Berdasarkan uji Shapiro-Wilk didapatkan bahwa variabel umur bersebaran normal (P = 0,137).

4.2 Statistik Analitik 4.2.1. Validitas Kuesioner

Croanbach’s alpha digunakan untuk mengukur konsistensi internal kuesioner. Nilai croanbach’s alpha dari kumpulan data responden kuesioner penelitian ini adalah 0,943.

Tabel 4.2. Croanbach’s Alpha

Cronbach's

Alpha

Cronbach's Alpha Based on

Standardized Items N of Items

(47)

4.2.2. Validitas Butir Pertanyaan

Tabel 4.3. Pearson Product Moment dan Corrected item-total correlation

Urutan

(48)

4.2.3. Uji Korelasi Umur dengan Skor

Uji korelasi yang digunakan adalah uji Spearman. Dari uji Spearman didapatkan koefisien korelasi sebesar 0,893 dengan P=0,000. Ini berarti terdapat korelasi positif antara umur anak dengan jumlah skor kuesioner dengan kekuatan hubungan sebesar 0,893.

Gambar 4.3. Grafik Scatterplot Usia dan Skor 4.2.4. Uji Korelasi Jumlah Faktor Risiko dengan Deviasi Skor

Deviasi skor adalah selisih antara skor normal dengan skor aktual. Skor aktual adalah skor yang didapat pada penelitian ini. Sedangkan skor normal adalah skor kuesioner yang normal berdasarkan usia anak. Skor normal didapatkan dari persamaan yang diteliti oleh Coninx sebagai peneliti awal terhadap kuesioner ini. Skor normal dihitung menggunakan persamaan dari Coninx et.al.28

……….. (4.1) Keterangan:

a = skor normal b = umur (bulan).

(49)
(50)

36

5. 1. Karakteristik Responden

Pada penelitian ini, responden sebagian besar berpendidikan terakhir SMA. Tidak ada kesulitan dalam menjawab semua pertanyaan yang ada di kuesioner ini. Jenis kelamin anak yang menjadi subjek penelitian ini tersebar merata antara laki-laki dan perempuan. Persebaran jenis kelamin yang merata ini memperkecil faktor perancu akibat perbedaan proporsi jenis kelamin.

Durasi responden berinteraksi dengan subjek penelitan selama lebih dari atau sama dengan 8 jam lebih banyak daripada yang kurang dari 8 jam. Durasi interaksi lebih dari 8 jam dianggap cukup karena melebihi 50% dari durasi bayi tidak tidur. Karena bayi kurang dari 24 bulan memiliki durasi tidur lebih dari 10 jam.29 Durasi interaksi yang panjang ini penting sebagai indikator bahwa responden mengamati segala perkembangan subjek penelitian dengan baik. Sebagian besar responden penelitian ini adalah ibu rumah tangga. Hal ini sejalan dengan durasi interaksi, dengan asumsi bahwa ibu rumah tangga memanfaatkan seluruh waktunya dalam mengurus anak dan mengurus urusan rumah tangga di rumah.

5. 2. Faktor Risiko Gangguan Pendengaran pada Anak 5.2.1. Infeksi Selama Kehamilan: Infeksi Sitomegalovirus

Di Amerika Serikat, 5-15% dari bayi yang terkena infeksi CMV kongenital menunjukan gejala tuli sensoris dan retardasi mental. Golongan ini menunjukan gejala bukan pada waktu lahir melainkan pada pemeriksaan selanjutnya. Sedangkan pada 90% dari bayi dengan infeksi CMV kongenital yang menunjukan gejala klinis pada saat lahir dan berhasil melewati masa kritis, mengalami tuli sensoris dan retardasi mental pada pemeriksaan selanjutnya.30

(51)

penderita CMV kongenital atau peluang terjadinya tuli sensoris pada penderita CMV kongenital adalah sebesar 1/20. Sehingga sangat kecil kemungkinannya repsonden ini mengalami gangguan pendengaran.

5.2.2. Persalinan Sectio Cesarea

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Smolkin dkk pada 1.653 bayi di Israel, didapatkan bahwa pada bayi yang dilahirkan dengan sectio cesarea

mengalami kelainan dalam pemeriksaan OAE pertama sebesar 3 kali lebih tinggi daripada bayi yang dengan persalinan pervaginam. Beberapa faktor yang menyebabkan kelainan pada pemeriksaan OAE pertama yaitu jenis kelamin laki-laki, persalinan cesarean (elective and emergency), berat janin rendah berdasar usia gestasi (small for gestation age/SGA), dan umur bayi 12-23 jam pada pemeriksaan OAE pertama. Kelaianan pada pemeriksaan OAE tersebut diperkirakan karena terdapat cairan yang tertahan di telinga tengah yang mungkin menggangu pendengaran neonatus dengan sectio cesarean.31

Pada penelitian ini, penulis menanyakan langsung ke responden apakah persalinan pervaginam atau sectio cesarean. Dari 32 responden, 53,1% responden dilakukan persalinan dengan sectio cesarean. Seperti diketahui bahwa persalinan dengan sectio cesarean tidak mengurangi fungsi pendengaran pada bayi setelah 24 jam kelahiran. Sehingga pada responden dengan sectio cesarea ini tidak mengalami gangguan pendengaran karena wawancara dilakukan saat anak berusia 1-24 bulan, sangat jauh dari usia 24 jam.

5.2.3. Kelahiran Prematur dan Suplementasi Oksigen

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Robertson dkk pada 1.279 bayi di Kanada dengan usia gestasi ≤ 28 minggu, didapatkan angka kejadian kehilangan pendengaran permanen (permanent hearing loss) sebesar 3,1%. Kehilangan pendengaran permanen merupakan komplikasi tersering pada prematur ekstrim yang dijumpai bersamaan dengan disabilitas lainnya. Selain itu, suplementasi oksigen jangka panjang pada neonatus juga merupakan penentu yang signifikan terhadap kejadian kehilangan pendengaran permanen.32

(52)

apakah bayi membutuhkan oksigen saat baru lahir. Dari 32 responden, sebanyak 2 responden menjawab bayi membutuhkan oksigen saat baru lahir. Seperti yang sudah diketahui bahwa angka kejadian tuli permanen pada bayi prematur adalah 3,1% yang berarti kemungkinan terdapat 1 tuli sensoris setiap 30 bayi prematur. Sehingga sangat kecil kemungkinannya repsonden ini mengalami gangguan pendengaran.

5.2.4. Riwayat Ikterus

Ikterus tampak pada neonatus dengan konsentrasi bilirubin serum >5 mg/dl. Neonatus aterm rata-rata mencapai konsentrasi bilirubin serum puncak (5-6 mg/dl) pada hari ketiga dan keempat. Ikterus fisiologis yang memberat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum 7-17 mg/dl. Konsentrasi bilirubin serum ≥ 17 mg/dl pada bayi aterm merupakan suatu ikterus patologis. Penyebab tersering ikterus neonatorum adalah peningkatan konsentrasi bilirubin indirek. Bilirubin indirek bersifat neurotoksik bagi bayi.33

Berdasarkan penelitian terhadap 36 neonatus dengan hiperbilirubinemia di RS Dr. Kariadi pada tahun 2009-2010 yang dilakukan oleh Susanto, didapatkan bahwa kejadian gangguan pendengaran pada neonatus dengan hiperbilirubinemia adalah 25%. Pada penelitian terebut, digunakan OAE dan ABR untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran. Faktor risiko gangguan pendengaran pada neonatus dengan hiperbilirubinemia bukan dari kadar bilirubin indirek ≥ 12 mg/dl,33 melainkan kadar bilirubin serum total yang membutuhkan transfusi tukar4 seperti tabel dibawah.

Tabel 5.1. Kadar Ambang Bilirubin Serum yang Membutuhkan Transfusi Tukar

Umur

Dimodifikasi dari: Neonatology: Management, Procedures, On-Call Problems, Diseases, and

Drugs(2006)34

(53)

a. Bayi risiko rendah adalah bayi sehat dengan usia gestasi ≥ 38 minggu

b. Bayi risiko sedang adalah bayi dengan usia gestasi ≥ 38 minggu disertai keadaan yang memperberat atau 35-37 6/7 minggu yang sehat

c. Bayi risiko tinggi adalah bayi usia gestasi 35-37 6/7 minggu disertai keadaan yang memperberat

d. Kadar ambang bilirubin serum bayi umur ≤ 24 jam tidak bisa dipastikan karena luasnya kemungkinan keadaan klinis dan respons terhadap terapi sinar e. Keadaan yang memperberat: penyakit hemolitik isoimmune, Defisiensi

G6PD, asfiksi, letargi signifikan, ketidakstabilan suhu, sepsis, asidosis

f. Transfusi tukar diberikan segera bila ditemukan tanda ensefalopati bilirubin akut (hipertoni, arching, retrocollis, opisthotonos, demam, high-pitched cry) atau jika total bilirubin serum ≥5mg/dl diatas kadar ambang.

Pada saat wawancara untuk penelitian ini, responden ditanyakan apakah anak pernah kuning dan dirawat inap dan juga berapa nilai bilirubin saat itu. Namun, sebagian besar responden yang menjawab anaknya pernah kuning tidak dapat menyebutkan kadar bilirubin saat perawatan inap diberikan pada anak. Dari 32 responden, 10 responden menjawab anaknya pernah kuning atau ikterus. Namun, tidak dapat dipastikan ikterus yang dijumpai adalah ikterus fisiologis atau patologis karena tidak terdapat data kadar bilirubin pada responden. Diketahui prevalensi hiperbilirubinemia >12 mg/dl pada bayi dengan gajala ikterus adalah 29,3%.35 Sedangkan, angka kejadian gangguan pendengaran pada neonatus hiperbilirubinemia adalah 25%.33 Sehingga, angka kejadian gangguan pendengaran pada neonatus ikterus adalah 7,2% yang berarti terdapat 7 neonatus mengalami gangguan pendegaran dalam 100 neonatus dengan gejala ikterus. Sehingga sangat kecil kemungkinannya repsonden ini mengalami gangguan pendengaran.

5.2.5. Berat Bayi Lahir Rendah

(54)

pentingnya pemeriksaan fungsi pendengaran dini. Angka kejadian gangguan pendengaran pada bayi dengan berat lahir rendah adalah 9 dari 93 atau 9,6%.36

Sedangkan pada penelitian ini, penulis menanyakan kepada responden apakah berat lahir bayi rendah. Dari 32 responden, 3 responden menjawab berat bayi lahir rendah (<2.000 gram). Sedangkan, angka kejadian gangguan pendengaran pada bayi berat lahir rendah adalah 9,6% yang berarti hanya terdapat 9 tuli sensoris setiap 100 bayi berat lahir rendah. Sehingga sangat kecil kemungkinannya repsonden ini mengalami gangguan pendengaran.

5.2.6. Infeksi Saluran Nafas Atas Rekuren

Semakin sering anak mengalami infeksi saluran nafas atas, semakin besar kemungkinan terjadinya otitis media akut.23 Pada otitis media akut, terjadi tahapan perjalanan penyakit yaitu oklusi tuba eustachius, hiperemis, supurasi, perforasi, dan resolusi. Infeksi saluran nafas atas berperan saat terjadi stadium oklusi tuba. Oklusi tuba pada anak dengan infeksi saluran nafas atas terjadi karena reaksi peradangan yang menekan tuba eustachius. Otitis media akut akan mengurangi fungsi telinga tengah dalam menghantarkan suara. Pada stadium perforasi, fungsi membran timpani sebagai penggerak tulang pendengaran di telinga tengah akan hilang dan kemudian fungsi telinga tengah sebagai pengamplifikasi suara akan hilang. Kehilangan fungsi telinga tengah akan menurunkan sensitifitas pendengaran sebesar 15-20 desibel.14

Pada penelitian ini, penulis menanyakan ke responden apakah anak sering mengalami infeksi saluran nafas berupa keluhan hidung pilek dengan frekuensi setiap bulan minimal terjadi sekali. Dari 32 responden, 21,9% responden menjawab anak sering pilek dengan frekuensi minimal satu bulan sekali. Keluhan infeksi saluran nafas atas pada responden ini kemungkinan dapat diatasi dengan pengobatan yang adekuat sehingga tidak menimbulkan otitis media akut dan penurunan fungsi pendengaran.

5.2.7. Imunisasi Rutin Sesuai Jadwal

(55)

bukan merupakan kausa. Tuli sensorineural yang diinduksi mumps dan rubella dapat dicegah dengan imunisasi rutin.37

Pada penelitian ini, semua responden melakukan imunisasi rutin pada anaknya. Hal ini karena responden penelitian ini adalah pasien yang sedang melakukan kunjungan ke rumah sakit untuk imunisasi.

5.2.8. Kelainan Kongenital Telinga

Kelainan kongenital atau bawaan adalah kelainan yang sudah ada sejak lahir yang dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik. Berdasarkan patogenesisnya, kelainan kongenital dapat dibedakan menjadi 1) malformasi, 2) deformasi, 3) Disrupsi, 4) displasia.38

Kelainan kongenital pada telinga jarang menyerang sistem labirin, tapi sering menyerang telinga luar dan telinga tengah. Hal ini terjadi karena sistem labirin terbentuk dari jaringan primordial yang berbeda dengan jaringan primordial untuk telinga tengah dan telinga luar. Primordia jaringan telinga luar adalah jaringan dari lenkung brankial pertama dan kedua. Sedangkan telinga tengah dibentuk oleh ujung faring pertama dan mesenkim sekitarnya yang juga merupakan bagian dari lengkung brankial pertama dan kedua. Kelainan kongenital pada telinga luar dan tengah sering terjadi bersamaan, dan seringkali juga disertai dengan kelainan kongenital sistem lain.39

Beberapa kelainan kongenital telinga yang paling sering terjadi dan berhubungan dengan gangguan pendengaran adalah: mikrotia, stenosis atau atresia tulang rawan dan/atau tulang liang telinga luar, malformasi tulang pendengaran, dan pembentukan telinga tengah atau ruang mastoid yang terbatas atau tidak terbentuk sama sekali.39

Beberapa kelainan kongenital dapat memunculkan manifestasi klinis berupa gangguan pendengaran. Sindroma kongenital yang berhubungan dengan gangguan pendengaran diantaranya: 1) sindroma hunter, 2) sindroma Waardenburg, 3) sindroma Alport, 4) sindroma pandred, 5) sindroma Jervel and Lange-Nielson, 6) sindroma usher, 7) sindroma charchot-marie-tooth.

(56)

Konsumsi obat tanpa resep dari dokter dan konsumsi jamu dianggap dapat menyebabkan malformasi kongenital karena kemungkinan obat atau jamu tersebut tergolong atau mengandung obat teratogenik. Salah satu obat yang dapat menyebabkan kelainan pembentukan telinga adalah thalidomide yang dikonsumsi oleh ibu hamil pada trimester awal.39 Riwayat ANC rutin dianggap mampu mengurangi kemungkinan terjadinya malformasi kongenital karena saat ANC dilakukan pemantauan janin dan pemberian suplemen asam folat yang cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan janin. Dari 32 responden, 28,1% responden menjawab pernah mengkonsumsi obat warung atau jamu selama hamil. Sedangkan untuk riwayat ANC rutin, sebagian besar responden (96,9%) menjawab melakukan ANC rutin. Tidak ada data obat apa yang dikonsumsi ibu selama hamil dalam responden penelitian ini.

5.3. Validitas dan Realibilitas Kuesioner Penelitian

Berdasarkan teori skor-murni klasik, validitas kuesioner mengukur seberapa jauh suatu kuesioner menghasilkan skor yang mendekati skor-murni. Validitas kuesioner dianggap sempurna bila skor yang dihasilkan oleh kuesioner tersebut (skor-tampak) sama dengan skor-murni. Semakin dekat skor-tampak dengan skor-murni berarti semakin tinggi validitas dan sebaliknya semakin rendah validitas hasil pengukuran berarti semakin besar perbedaan tampak dari skor-murni.40

Sedangkan realibilitas menurut teori skor-murni klasik dapat dipahami dari beberapa interpretasi. Pertama, suatu tes dikatakan realibilitas jika skor-tampak itu berkorelasi tinggi dengan skor murninya sendiri. Reliabilitas juga dapat ditafsirkan sebagai seberapa tingginya korelasi antara skor-tampak pada dua tes yang paralel.40

(57)

Sedangkan untuk menilai validitas dan reliabilitas kuesioner, dilakukan dengan uji croanbach’s alpha. Nilai croanbach’s alpha lebih dari 0,70 menunjukan validitas yang baik.41 Berdasarkan uji croanbach’s alpha pada kuesioner ini, didapat nilai alpha sebesar 0,943. Ini berarti validitas dan reliabilitas kuesioner ini baik karena nilai alpha diatas 0,700. Pada kumpulan data ini terdapat beberapa skor yang menyimpang cukup jauh dari skor normalnya berdasarkan umur anak yang dihitung menggunakan persamaan 4.1. Skor yang menyimpang ini, sudah dilakukan wawancara ulang dengan hasil yang tidak jauh berbeda dengan wawancara pertama. Responden dengan penyimpangan yang cukup jauh di atas nilai normal ini sebagian besar menjawab ya pada butir pertanyaan yang mengukur kemampuan reseptif, bukan ekspresif. Hal ini terjadi karena terdapat variasi yang besar dari individu dalam kecepatan perkembangan dan cara belajarnya.42

5.4. Analisis Korelasi Bivariat 5.4.1. Korelasi umur dengan skor

Korelasi umur anak dengan skor pada populasi sampel didapatkan hubungan positif dengan kekuatan sebesar 0,893 (p=0,000). Ini berarti, setiap peningkatan umur terjadi peningkatan skor. Hal ini diduga karena pada responden penelitian ini tidak mengalami gangguan pendengaran. Hal ini karena angka kejadian gangguan pendengaran pada kelompok masing-masing faktor risiko adalah kecil (<10%) sehingga sampel pada penelitian ini tidak menjangkau angka kejadian yang kecil tersebut.

5.4.2. Korelasi jumlah faktor risiko dengan deviasi skor

Gambar

Tabel 2.1 Tahapan Perkembangan Bicara...................................................
Gambar  2.1. Diagram Pembentukan Telinga Dalam dan Pembagiannya Secara Anatomis
Gambar 2.2. Embriologi Telinga Saat Mudigah Berusia A. 24 Hari B. 27 Hari
Gambar 2.4.  Embriologi Telinga Saat Mudigah Berusia 7 Minggu
+7

Referensi

Dokumen terkait

After identifying the data, the writer classified the answers and responses from Joko Widodo from the interview based on the flouted cooperative principle’s maxims and

Tujuan dari pembelajaran ini peserta diklat mampu mengenali jenis-jenis paket program pengolahan angka, dan memilih program pengolahan angka yang sesuai dengan kemampuan

Yaitu hal- hal yang harus diawasi dalam pelaksanaan suatu rencana. Obyek pengawasan ini banyak macamnya, tergantung dari program atau kegiatan yang dilaksanakan. Kuantitas

Dengan menganalisis kelebihan yang dimiliki oleh enumerasi PPG dibandingkan dengan enumerasi lainnya serta menganalisis metode DGW sebagai metode yang memanfaatkan

only when the relationship is established can journalists afford to criticize politicians without “slamming the door in their face” (journalist 2, journalist

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam lebih dari 1 minggu dan terdapat gangguan

Pewarnaan wilayah (region colouring), merupakan pemberian warna pada setiap wilayah pada graf sehingga tidak ada wilayah yang bersebelahan yang memiliki warna yang sama..

Kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang secara jelas ditandai oleh berkuasanya uang atau modal yang dimiliki seseorang sedangkan sosialisme adalah suatu sistem ekonomi yang