FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
FORGIVENESS
DALAM PERNIKAHAN DI KECAMATAN MAKASAR,
JAKARTA TIMUR
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Disusun Oleh:
AJENG LINTANG CEMPAKA NIM : 1110070000021
FAKULTAS PSIKOLOGI
A happy marriage is the union of two good
forgivers.
—
Robert Quillen
The weak can never forgive. Forgiveness is an
attribute of the strong.
—
Mahatma Gandhi
Skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orang tua,
keluarga besar, dan kakak-kakak tercinta yang tiada henti
memberikan dukungan dan kasih sayang, pengukir senyum
dalam hari-hariku John, dan para sahabat atas semangat dan
A.)Fakultas Psikologi
B.)Februari 2015
C.)Ajeng Lintang Cempaka
D.)Faktor-Faktor yang Memengaruhi Forgiveness dalam Pernikahan di
Kecamatan Makasar, Jakarta Timur
E.) xv + 115 Halaman (belum termasuk lampiran)
F.) Merosotnya nilai pernikahan, membuat perceraian seringkali dipilih
sebagai jalan keluar bagi pasangan yang menghadapi konflik. Sebenarnya masih ada jalan lain untuk menemukan resolusi konflik. Salah satu
alternatif untuk menemukan resolusi konflik adalah forgiveness.
Forgiveness dalam pernikahan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Ada tiga
faktor psikologis yang sangat berperan yaitu kualitas hubungan, apology
dan kepribadian. Selain itu, faktor demografi seperti usia dan gender juga turut memberikan pengaruh.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh kualitas hubungan
(yaitu trust, commitment, intimacy dan satisfaction), apology, tipe
kepribadian HEXACO (yaitu honesty-humility, emotionality, extraversion,
agreeableness, conscientiousness, dan openness to experience) dan faktor
demografi (usia dan gender) terhadap forgiveness dalam pernikahan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis regresi berganda. Sampel berjumlah 200 orang yang telah menikah di Kecamatan Makasar, Jakarta Timur yang terdiri dari 81 perempuan dan 119 laki-laki.
Teknik pengambilan sampelnya menggunakan teknik non-probability
sampling.
Hasil penelitian membuktikan bahwa secara bersamaan trust, commitment,
intimacy & satisfaction, apology, honesty-humility, emotionality,
extraversion, agreeableness, conscientiousness, & openness to experience
serta usia & gender memengaruhi forgiveness dalam pernikahan secara
signifikan sebesar 41,8%. Dalam penjabarannya terdapat tiga variabel
yang berpengaruh secara signifikan terhadap forgiveness dalam
pernikahan, yaitu variabel satisfaction dalam kualitas hubungan, apology,
dan kepribadian extraversion.
Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat dikaji dan dikembangkan kembali. Penelitian selanjutnya disarankan untuk memakai sampel yang lebih spesifik dan lebih banyak lagi dengan variabel lain seperti
constraints, social-cognitive determinant dan lain-lain.
A.)Faculty of Psychology
B.)February 2015
C.)Ajeng Lintang Cempaka
D.)Factors Affecting Marital Forgiveness at Makassar District of East Jakarta
E.) xv + 115 pages (excluding attachments)
F.) The decline of marriage value has made divorce alternatively chosen as a solution for couples with conflicts. Whilst actually there is another way to find a conflict resolution, such as forgiveness .
Forgiveness in a marriage is influenced by several factors. There are three
psychological factors play important role, there are relationship quality,
apology and personality. In addition, demographic factors such as age and gender are also influencing.
This study is conducted to determine the effect of relationship quality (the level of trust, commitment, intimacy and satisfaction), apology, HEXACO
personality type (honesty-humility, emotionality, extraversion,
agreeableness, conscientiousness, and openness to experience) and demographic factors (age and gender) toward marital forgiveness. This study is using quantitative approach with multiple regression analysis. Samples were taken from 200 people who are married; consisting of 81 women and 119 men. This study is using a nonprobability sampling technique with accidental sampling method.
Research result proves that simultaneously relationships quality, apology,
HEXACO personality type and age & gender have influencing marital
forgiveness significantly up to 41.8%. The result also shows there are
three variables that significantly affect marital forgiveness: satisfaction (relationships quality), apology, and extraversion personality.
Researcher is hoping that this research is to be reviewed and developed deeper and further research is recommended by using more specific samples and other variables, such as constraints, social-cognitive determinant etc.
G.)References: 57; books: 12 + journals: 30+ articles: 10 + thesis: 3 +
Assalamualaikum Wr. Wb.
Bismillahirahmanirrahiim
Syukur Alhamdulillah peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala
rahmat, hidayah, dan kekuatan yang diberikan-Nya, sehingga peneliti dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Faktor-Faktor yang Memengaruhi
Forgiveness dalam Pernikahan di Kecamatan Makasar, Jakarta Timur”. Shalawat
serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW,
pemimpin dan tauladan kaum yang beriman, kepada keluarga, sahabat, dan
seluruh umat yang senantiasa mencintainya.
Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat
untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah. Selama pengerjaan skripsi ini peneliti dihadapkan
dengan beragam cobaan, kesulitan, rintangan dan penuh perjuangan serta
kesabaran yang telah memberikan banyak pelajaran hidup yang berarti bagi
peneliti.
Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena
itu, dalam kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi,
potensi sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibu S. Evangeline I. Suaidy, M. Si, Psi selaku Dosen Pembimbing skripsi dan
Ibu Luh Putu Sutha Haryanthi, M. Psi sebagai Pembimbing Seminar
Proposal. Terima kasih atas segala bimbingan, arahan, kritik yang
membangun, dan waktu yang diberikan serta segala ilmu yang telah peneliti
dapatkan.
3. Kepada seluruh pihak dan responden yang telah membantu peniliti dalam
mengumpulkan data.
4. Kepada Ibu Neneng Tati Sumiati M. Si, Psi sebagai dosen Pembimbing
Akademik yang telah meluangkan waktu, menguatkan dan mencarikan solusi
terbaik bagi setiap masalah sejak awal perkuliahan hingga menjelang
kelulusan.
5. Seluruh dosen Fakultas psikologi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan sumbangsih ilmunya &
segenap staff Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
banyak membantu peneliti dalam mengurus berkas perlengkapan skripsi.
6. Dua sosok penyemangat hidup yang sangat peneliti hormati dan sayangi,
Papa dan Mama. Serta seluruh kakak-kakak ku Mbak Tiwuk, Mbak Dhita dan
Mas Galeh. Saya tidak akan dapat melukiskan rasa syukur dan terima kasih
saya atas segala dukungan dan doa yang diberikan oleh keluarga.
7. Kepada John, terima kasih untuk dukungan, nasihat, senyuman, semangat,
perjalanan suka dan duka selama 4 tahun kebersamaan ini, "cerita kita masih
panjang, maka jangan sudahi sampai disini”. Terima kasih atas tawa, tangis,
cerita, dukungan, semangat, dan segala kebersamaan ini.
9. Untuk teman-teman angkatan 2010, khususnya kelas A, walaupun kurang
kompak namun perjalanan kita penuh cerita, terimah kasih untuk segala
kebersamaan ini.
10. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu, terima
kasih untuk segala dukungan dan bantuan yang telah diberikan untuk
membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya peneliti memohon kepada Allah SWT agar seluruh dukungan, bantuan,
bimbingan dari semua pihak dibalas dengan sebaik-baiknya balasan.
Selain itu mengingat kekurangan dan keterbatasan peneliti, maka segala kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat diharapkan peneliti sebagai bahan
penyempurnaan.
Jakarta, 2 Februari 2015
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PERSETUJUAN ... ii
LEMBAR ORISINALITAS ... iii
LEMBAR PENGESAHAN ... iv
LEMBAR PERNYATAAN ... v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 9
1.2.1. Pembatasan masalah ... 9
1.2.2. Perumusan masalah ... 10
1.3. Tujuan Penelitian ... 11
1.4. Manfaat Penelitian ... 12
1.5. Sistematika Penulisan Penelitian ... 12
BAB 2. LANDASAN TEORI ... 14
2.1. Forgiveness ... 14
2.1.1. Definisi Forgiveness ... 14
2.1.2. Dimensi Forgiveness ... 16
2.1.3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Forgiveness ... 20
2.1.4. Tahapan Forgiveness ... 22
2.2. Pernikahan... 26
2.2.1. Definisi Pernikahan ... 26
2.2.2. Motivasi Menikah ... 27
2.3. Forgiveness dalam Pernikahan ... 29
2.3.1. Pengukuran Forgiveness dalam Pernikahan ... 30
2.4. Kualitas Hubungan... 32
2.1.1. Definisi Kualitas Hubungan ... 32
2.1.2. Dimensi Kualitas Hubungan ... 32
2.1.3. Pengukuran Kualitas Hubungan ... 34
2.5. Apology ... 34
2.5.1. Definisi Apology ... 34
2.5.2. Dimensi Apology ... 35
2.5.3. Pengukuran Apology ... 37
2.6. Kepribadian ... 37
2.6.1. Definisi Kepribadian ... 37
2.6.2. Definisi Kepribadian Model HEXACO ... 38
2.8. Usia ... 44
2.9. Kerangka Berpikir ... 46
2.10. Hipotesis Penelitian ... 51
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 53
3.1. Populasi dan Sampel ... 53
3.2. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel ... 54
3.3. Instrumen Penelitian ... 57
3.4. Uji Validitas Konstruk ... 62
3.4.1. Uji Validitas Konstruk Forgiveness ... 64
3.4.2. Uji Validitas Konstruk Kualitas Hubungan ... 66
3.4.3. Uji Validitas Konstruk Apology ... 70
3.4.4. Uji Validitas Konstruk Kepribadian ... 72
3.5. Teknik Analisis Data ... 79
3.6. Prosedur Penelitian... 82
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 85
4.1. Kriteria Responden Penelitian ... 85
4.2. Hasil Analisis Deskriptif ... 86
4.3. Kategorisasi Hasil Penelitian ... 87
4.4. Uji Hipotesis Penelitian ... 90
4.4.1. Uji Regresi Berganda ... 90
4.4.2. Proporsi Varians Masing-masing Variabel Independen .... 96
BAB 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN ... 100
5.1. Kesimpulan ... 100
5.2. Diskusi ... 101
5.3. Saran ... 108
5.3.1. Saran Metodologis ... 108
5.3.2. Saran Praktis ... 109
DAFTAR PUSTAKA ... 111
Tabel 2.1 Dimensi Kepribadian HEXACO ... 41
Tabel 2.2 Tahapan Perkembangan Psikososial ... 44
Tabel 3.1 Blueprint Skala Forgiveness ... 58
Tabel 3.2 Blueprint Skala Kualitas Hubungan ... 59
Tabel 3.3 Blueprint Skala Apology ... 60
Tabel 3.10 Muatan Faktor Item Apology ... 71
Tabel 3.11 Muatan Faktor Item Honesty-Humility ... 72
Tabel 3.12 Muatan Faktor Item Emotionality ... 74
Tabel 3.13 Muatan Faktor Item Extraversion ... 75
Tabel 3.14 Muatan Faktor Item Agreebleness ... 76
Tabel 3.15 Muatan faktor Item Conscientiousness ... 77
Tabel 3.16 Muatan faktor Item Openness to Experience ... 78
Tabel 4.1 Kriteria Responden ... 85
Tabel 4.2 Deskriptive statistics ... 87
Tabel 4.3 Norma Skor Kategorisasi ... 88
Tabel 4.4 Kategorisasi Skor Variabel Penelitian ... 88
Tabel 4.5 Model Summary ... 91
Tabel 4.6 Tabel Anova ... 91
Tabel 4.7 Koefisien Regresi ... 92
Gambar 2.1 The pyramid model to REACH forgiveness ... 24 Gambar 2.2 Kerangka Berfikir ... 50
Lampiran A Angket dan Leaflet
Lampiran B
Lampiran C
Lampiran D
Contoh Syntax Analisis Faktor Konfimatorik Variabel
Forgiveness
Contoh Output Analisis Faktor Konfirmatorik Variabel
Forgiveness
PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dibahas beberapa hal yaitu, latar belakang dilakukannya
penelitian, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian dan sistematika penulisan.
1.1. Latar Belakang
Individu yang telah mencapai usia dewasa memiliki tugas perkebangan untuk
menjalin hubungan dekat dengan individu lain, salah satunya dengan menikah.
Menikah merupakan tindakan institusional yang sah secara hukum untuk
menyatukan pria dan wanita dalam hubungan yang abadi sebagai suami istri
(Turner, 1996). Pasangan yang menikah akan saling membentuk intimasi,
memberikan afeksi dan dukungan satu sama lainnya, serta adanya rasa saling
menghargai dan menyayangi (Sari, 2004) yang akan membuat pasangan menikah
menjadi bahagia.
Jika sebuah pernikahan dianalogikan sebagai sebuah bangunan, maka
sebuah pernikahan hendaknya memiliki pilar-pilar penyangga agar kedudukannya
tetap kokoh dan kuat sehingga tujuan untuk memiliki pernikahan yang kekal dan
bahagia dapat tercapai. Menurut Sadarjoen (2009), terdapat empat pilar utama
dalam pernikahan, yaitu: cinta kasih tulus dan rasa hormat antar pasangan;
keterbukaan dalam pengelolaan penghasilan keluarga; penyesuaian dalam
pernikahan dapat tercapai. Namun pada perjalanannya, pilar-pilar tersebut sering
menjumpai permasalahan.
Permasalahan yang seringkali merusak bahkan merobohkan pilar-pilar
pernikahan diatas sangat beragam, diantaranya adalah perselingkuhan, perdebatan
mengenai keuangan, ketidakbahagiaan seksual dan pernikahan beda agama. Di
Indonesia, satu dari sepuluh perceraian disebabkan karena gangguan pihak ketiga
(Badilag, 2012). Kemudian menurut studi pada tahun 2009, 30% pasangan pasti
bertengkar karena uang, paling tidak seminggu sekali dan berujung di perceraian
(Sondang, 2009). Selanjutnya, ketika 80% suami merasa bahagia dengan
kehidupan seksualnya, hanya 61% perempuan merasakan hal yang sama
(Fazriyati, 2013). Selain itu, ada kurang lebih 2,5 % pasangan beda agama yang
menikah di beberapa KUA Wonosari (Wahyuni, 2004).
Penjelasan di atas mengenai empat pilar pernikahan beserta berbagai
masalahnya menyadarkan kita bahwa kehidupan pernikahan sangat rentan dengan
beragam permasalahan. Selain permasalahan-permasalah besar pada empat pilar
utama, sering juga dijumpai konflik harian akibat komunikasi yang tidak lancar.
Permasalahan atau konflik itu sendiri bukanlah sesuatu yang buruk. Respons
terhadap konfliklah yang akan menentukan apakah konflik itu akan bermanfaat
atau berbahaya. Konflik pernikahan bisa bermanfaat untuk membantu pasangan
menikah untuk menjadi orang yang lebih dewasa dan memiliki hubungan yang
lebih dewasa, namun konflik juga dapat mengakibatkan kehancuran dalam
Konflik yang tidak dapat diatasi bersama dengan baik, dapat mengancam
hubungan pernikahan dan dapat menyebabkan kerusakan permanen atau
perceraian. Seperti yang telah terjadi dewasa ini, Indonesia tercatat sebagai negara
dengan perceraian tertinggi di Asia-Pasifik. Rata-rata satu dari sepuluh pasangan
menikah berakhir dengan perceraian di pengadilan (BKKBN, 2013). Angka
perceraian di Indonesia meningkat setiap tahunnya, terdapat 158.119 pasangan
bercerai pada tahun 2011, selanjutnya meningkat menjadi 297.841 pasangan
bercerai di tahun 2012 dan data terakhir yaitu 324.527 pasangan bercerai di tahun
2013 (Badilag, 2014). Data tersebut menunjukan bahwa perceraian akibat konflik
dalam pernikahan semakin sulit dihindari.
Untuk menyelesaikan konflik dan menjaga keharmonisan dalam
pernikahan, ada berbagai pilihan yang menawarkan solusi lebih baik, salah
satunya adalah dengan memaafkan. Thoresen (dalam Fincham, Hall & Beach,
2006) menjelaskan forgiveness melibatkan suatu perubahan prososial, selanjutnya
Worthington (dalam Fincham et al., 2006) menambahkan maksudnya adalah
ketika seseorang memaafkan, maka perilaku memaafkan akan muncul baik dalam
pikiran, perasaan dan tingkah laku. Proses ini menurunkan motivasi untuk
membalas dendam dan menjauhkan diri dari pelaku, dan meningkatnya motivasi
untuk membina hubungan kembali (McCullough, Rachal & Worthington, 1997).
Hal ini menyatakan bahwa forgiveness terjadi melalui serangkaian proses panjang
dan seharusnya terlaksana secara keseluruhan.
(Mirzadeh & Fallahchai, 2012) dan erat kaitannya dengan resolusi konflik
(Fincham et al., 2006). Forgiveness membantu individu untuk memulihkan
hubungan, melepaskan rasa sakit dan marah kemudian menyembuhkan luka
emosional pasca terjadinya konflik. Kemudian forgiveness juga merupakan salah
satu kunci kelanggengan dalam pernikahan (Fincham, Paleari & Regalia, 2002).
Forgiveness membantu meningkatkan emotional well-being, kesehatan fisik dan
kualitas intimate relationship seseorang (Fincham et al., 2006).
Namun forgiveness dalam pernikahan adalah hal yang rumit. Terdapat
paradoks bahwa individu yang paling sering disakiti seseorang adalah individu
yang dicintai (Fincham, Beach & Davila, 2004). Kemudian menurut William
Blake (dalam Fincham, 2009) lebih mudah memaafkan seorang musuh daripada
seorang teman. Sama halnya seperti memaafkan seorang teman, akan sulit bagi
seseorang untuk memaafkan pasangannya. Kesalahan yang dilakukan pasangan
akan dinilai sebagai perlakuan yang disengaja dan bentuk dari tidak menghargai
pasangannya, sehingga luka yang ditorehkan oleh pasangan akan terasa lebih
sakit. Oleh karena itu, tidak semua orang mau dan mampu secara tulus
memaafkan dan melupakan kesalahan pasangannya. Proses memaafkan
memerlukan kerja keras, kemauan kuat dan latihan mental karena terkait dengan
emosi individu yang fluktuatif, dinamis dan sangat reaktif terhadap stimulus dari
luar (Wardhati & Faturochman, 2008). Proses memaafkan ini sangat kompleks
dan dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi forgiveness. Faktor pertama yang
Menurut Guldner dan Swensen (1995) kualitas hubungan terdiri dari empat
dimensi, yaitu trust, intimacy, commitment dan satisfaction. Masing-masing
dimensi ini memiliki pengaruh positif terhadap forgiveness.
Begitu penting untuk menjaga kualitas hubungan dalam kehidupan
pernikahan. Berkaitan dengan dimensi pertama, trust memengaruhi sikap individu
untuk mau terbuka tentang perasaan dan keinginannya kepada pasangannya.
Keterbukaan akan memudahkan kepercayaan kembali lagi sehingga konflik
serupa tidak akan terulang (Fincham, 2009). Trust in partner secara umum
signifikan berhubungan dengan dimensi positif pada forgiveness (Paleari, Regalia
& Fincham, 2009). Penelitian lain oleh Cairns, Tam, Hewstone & Niens (2005)
juga menemukan hubungan positif antara trust dengan forgiveness.
Kemudian intimacy, Fincham (2009) mengungkapkan bahwa individu
yang memiliki kedekatan yang baik dengan pasangannya menunjukan forgiveness
yang lebih baik, karena mereka dapat berkomunikasi secara lebih baik. Begitu
juga dengan komitmen, pasangan yang memiliki komitmen yang kuat dalam
perkawinannya akan memiliki orientasi jangka panjang yang jelas dan ingin
dicapai, sehingga kesalahan pasangan akan dinilai sebagai sesuatu yang harus
dimaafkan (McCullough, Fincham, & Tsang, 2003). Penelitian Paleari et al.
(2009) menemukan relationship intimacy dan relationship commitment memiliki
pengaruh positif terhadap forgiveness dalam pernikahan. Finkel et al. (dalam
Fincham et al., 2006) juga membuktikan komitmen yang lebih baik akan
Selanjutnya mengenai kepuasan, Fincham et al. (2006) dan Mirzadeh dan
Fallahchai (2012) mengatakan kepuasan pernikahan berkorelasi positif terhadap
forgiveness. Dengan adanya kualitas yang baik dalam keempat dimensi diatas,
diprediksikan bahwa forgiveness akan lebih mudah dan cepat dalam prosesnya.
Faktor kedua, faktor eksternal yang dapat memengaruhi forgiveness adalah
apology. Apology dari pihak bersalah meningkatkan kemampuan memaafkan pada
pihak yang tersakiti (McCullough et al., 1997). Sejalan dengan itu penelitian oleh
Strang et al. (2014) menemukan partisipan dalam penelitiannya lebih mudah
memutuskan untuk memaafkan setelah adanya apology. Para peneliti menemukan
bahwa apology diartikan sebagai hal yang paling dapat dipercaya dan tulus, serta
sebagai cara yang paling efektif dalam menyelesaikan konflik intrapersonal
(dalam Takaku, Weiner & Ohbuchi, 2001). Hal ini menunjukan bahwa apology
secara signifikan memiliki pengaruh positif pada forgiveness.
Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap forgiveness adalah kepribadian.
Secara keseluruhan kepribadian memiliki fungsi sebagai penentu sikap dan
perilaku seseorang, termasuk untuk melakukan forgiveness. Dengan
menggunakan Five Factor Model of Personality, penelitian sejak tahun 1993
hingga 2008 secara keseluruhan menemukan adanya hubungan yang signifikan
antara kepribadian agreeableness dan neurotism dengan forgiveness, namun tidak
dengan ekstroversion, openness, dan conscientiousness (Caperton, 2008). Maltby
et al. (2008) mengungkapkan bahwa individu dengan kecenderungan neurotism
menunjukan kemungkinan menyimpan dendam dan keinginan menjauhi pelaku
agreeableness berkorelasi positif terhadap forgiveness pada diri sendiri maupun
orang lain.
Kemudian Five Factor Model of Personality telah dikembangkan oleh
Ashton dan Lee (2002), dengan mengganti kepribadian neurotism dengan
emotionality dan menambahkan kepribadian honesty-humility. Model kepribadian
Ashton dan Lee (2007) dikenal dengan sebutan HEXACO yaitu honesty-humility
(H), emotionality (E), extraversion (X), agreeableness (A), conscientiousness (C),
dan openness to experience (O). Kepribadian honesty-humility mengacu pada
kecenderungan pada perilaku alturistik prososial, sementara kepribadian
agreeableness mengindikasi kecenderungan individu untuk memaafkan dan
tolerasi sedangkan emotionality dimaksudkan untuk mengetahui tingkat empati
dan attachment seseorang (Wikipedia, 2014). Ashton et al. tahun 1998 (dalam
Neto & Mullet, 2004) menemukan bahwa tingginya score agreeableness dan
emotional stability berkorelasi tinggi terhadap forgiveness. Berdasarkan
sumber-sumber tersebut maka dapat diketahui bahwa kepribadian honesty-humility,
agreeableness dan emotionality adalah tipe kepribadian yang berkorelasi positif
dengan forgiveness.
Faktor lainnya yang dapat memengaruhi forgiveness adalah usia dan
gender. Penelitian Girard dan Mullet (1997) menemukan perbedaan tingkat dan
proses forgiveness berdasarkan usia, mereka mengklasifikasikan usia partisipan
kedalam empat kategori yaitu remaja, muda, paruh baya dan tua. Hasilnya usia
Lain halnya yang diteliti oleh Wade dan Goldman (2006), penelitian ini
melakukan intervensi untuk meningkatkan forgiveness dalam kelompok dengan
komposisi laki-laki dan perempuan yang berbeda tiap kelompoknya. Singkatnya
ditemukan bahwa perempuan lebih mudah memaafkan. Akan tetapi yang terjadi
di Indonesia, dari seluruh permohonan cerai yang diajukan ke pengadilan, 70%
penggugatnya adalah perempuan (BKKBN, 2013). Mungkin ini disebabkan
perempuan di Indonesia lebih sulit melakukan forgiveness. Perbedaan ini
menambah nilai urgensi penelitian serupa dilakukan di Indonesia.
Pada penelitian ini, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian di
Jakarta Timur. Jakarta adalah salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki
angka perceraian cukup tinggi yakni 8.067 putusan cerai sepanjang
Januari-Agustus (Badilag, 2014). Kemudian wilayah yang memiliki perceraian tertinggi di
Jakarta adalah Jakarta Timur yaitu sebanyak 2.389 putusan cerai sepanjang
Januari-Agustus (Badilag, 2014). Perceraian yang tinggi di wilayah ini mungkin
saja mencerminkan masyarakat yang mulai mengesampingkan nilai pernikahan.
Berdasarkan fenomena dan beberapa penelitian yang telah dijabarkan,
faktor yang menarik dijadikan sebagai prediktor forgiveness adalah kualitas
hubungan, kepribadian, apology dan faktor demografi berupa gender dan usia.
Untuk itu peneliti mengajukan judul “Faktor-faktor yang Memengaruhi
1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.2.1. Pembatasan Masalah
Agar Penelitian ini tidak meluas dan lebih terarah, maka perlu suatu pembatasan
masalah. Adapun pokok yang menjadi batasan masalah dalam penelitian ini
adalah forgiveness dalam pernikahan yang dipengaruhi variabel psikologi seperti
kualitas hubungan, apology, kepribadian dan variabel demografi berupa gender
dan usia. Adapun penjelasan mengenai variabel-variabel tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Pada penelitian ini forgiveness dalam pernikahan yang dimaksud adalah
peningkatan motivasi prososial setelah terjadi konflik dalam pernikahan.
Forgiveness dalam pernikahan ditandai dengan rendahnya keinginan
membalas dendam (retaliation) dan menjauhi pasangan (avoidance), serta
tingginya keinginan untuk memperbaiki hubungan (benevolence).
2. Kualitas hubungan dalam penelitian ini adalah persepsi individu mengenai
seberapa baik interaksi suami istri dalam pernikahannya yang terlihat dari
dimensi-dimensi yang menentukannya, yaitu trust, intimacy, commitment
dan satisfaction.
3. Apology dalam penelitian ini adalah permintaan maaf dari pasangan
karena telah menyakiti individu yang dilihat dari respon individu dalam
melaporkan permintaan maaf yang dilakukan oleh pasangannya saat atau
sesudah berkonflik.
dan lingkungannya dalam berbagai konteks. Peneliti menggunakan teori
kepribadian oleh Ashton dan Lee (2007) dengan enam dimensi
kepribadian. Enam dimensi yang dimaksud adalaha honesty-humility (H),
emotionality (E), extraversion (X), agreeableness (A), conscientiousness
(C), dan openness to experience (O) karena kepribadian ini sesuai dengan
konsep forgiveness.
5. Faktor demografi dalam penelitian ini berupa informasi gender (laki-laki
dan perempuan) dan usia (dewasa muda dan dewasa madya).
6. Sampel dalam penelitian ini adalah perempuan dengan usia minimal 20
tahun dan laki-laki dengan usia minimal 25 tahun dengan status menikah
di Kecamatan Makasar, Jakarta Timur.
1.2.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, muncul beberapa masalah yang dapat di
identifikasi yaitu:
1. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari kualitas hubungan, apology,
kepribadian, gender dan usia terhadap forgiveness dalam pernikahan?
2. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi trust dalam variabel
kualitas hubungan terhadap forgiveness dalam pernikahan?
3. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi intimacy dalam
variabel kualitas hubungan terhadap forgiveness dalam pernikahan?
4. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi commitment dalam
5. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi satisfaction dalam
variabel kualitas hubungan terhadap forgiveness dalam pernikahan?
6. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari variabel apology terhadap
forgiveness dalam pernikahan?
7. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi honesty-humility dalam
variabel kepribadian terhadap forgiveness dalam pernikahan?
8. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi emotionality dalam
variabel kepribadian terhadap forgiveness dalam pernikahan?
9. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi extraversion dalam
variabel kepribadian terhadap forgiveness dalam pernikahan?
10. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi agreeableness dalam
variabel kepribadian terhadap forgiveness dalam pernikahan?
11. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi conscientiousness
dalam variabel kepribadian terhadap forgiveness dalam pernikahan?
12. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari dimensi opennes to experience
dalam variabel kepribadian terhadap forgiveness dalam pernikahan?
13. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari gender terhadap forgiveness
dalam pernikahan?
14. Apakah ada pengaruh yang signifikan dari usia terhadap forgiveness dalam
pernikahan?
1.3. Tujuan Penelitian
variabel apology, honesty-humility, emotionality, extraversion, agreeableness,
conscientiousness, openness to experience (dalam variabel kepribadian) serta
variasi gender dan usia sebagai variabel demografi terhadap forgiveness dalam
pernikahan di Kecamatan Makasar, Jakarta Timur. Kemudian untuk mengetahui
pula besarnya sumbangan dari masing-masing variabel terhadap forgiveness
dalam pernikahan di Kecamatan Makasar, Jakarta Timur.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan dan
bahan perbandingan bagi pengembangan teori-teori psikologi yang
berkaitan dengan forgiveness dalam pernikahan.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pedoman dan
media pembelajaran bagi seluruh kalangan, khususnya bagi pasangan
menikah mengenai pentingnya forgiveness dalam pernikahan dan
memberikan pengetahuan mengenai faktor-faktor yang memengaruhi
forgiveness sehingga dapat dilakukan usaha meningkatkan forgiveness
dalam pernikahan.
1.5. Sistematika Penulisan Penelitian
Sistematika penulisan dalam penelitian ini mengacu pada pedoman penulisan
APA ( American Psychologycal Association)-style dan pedoman penyusunan dan
penulisan skripsi Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulisan
BAB 1 PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dibahas beberapa hal yaitu, latar belakang
dilakukannya penelitian, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB 2 LANDASAN TEORI
Bab ini berisi landasan teori yang mendiskripsikan definisi dan
konsep dasar forgiveness dalam pernikahan, kualitas hubungan,
apology, kepribadian, gender dan usia; kerangka berpikir serta
hipotesis penelitian.
BAB 3 METODE PENELITIAN
Bab ini berisi pemaparan tentang populasi dan sampel, variabel
penelitian, definisi operasional variabel, instrumen pengumpulan data,
uji validitas konstruk, teknik analisis data, dan prosedur pengumpulan
data.
BAB 4 HASIL PENELITIAN
Pada bab ini, akan diuraikan mengenai karakteristik responden
penelitian, deskripsi data, analisis data dan hasilnya.
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
Pada bab ini, peneliti akan merangkum keseluruhan isi penelitian dan
menyimpulkan hasil penelitian. Kesimpulan dibuat berdasarkan
analisis dan interpretasi data yang telah dijabarkan pada bab
LANDASAN TEORI
Bab ini berisi landasan teori yang mendiskripsikan definisi dan konsep dasar
forgiveness dalam pernikahan, kualitas hubungan, apology, kepribadian, gender
dan usia; kerangka berpikir serta hipotesis penelitian.
2.1. Forgiveness
2.1.1. Definisi Forgiveness
Para ahli telah berusaha meneliti dan merumuskan definisi forgiveness, seringkali
mereka menggunakan bahasa dan gambaran yang berbeda namun saling
melengkapi teori yang ada. Enright, Gassin, dan Wu (dalam McCullogh et al.,
2003) mendefinisikan forgiveness sebagai tindakan untuk mengatasi perasaan
negatif dan penghakiman terhadap pelaku, bukan dengan menolak hak untuk
bersikap negatif dan menghakimi, namun dengan berusaha melihat pelaku dengan
belas kasih, kemurahan hati dan cinta.
Forgiveness adalah ketika seseorang mengalami serangkaian perubahan
motivasional, yaitu a) menurunnya motivasi membalas dendam pada pelaku; b)
menurunnya motivasi menghindari pelaku; c) meningkatnya motivasi beritikad
baik dan berdamai dengan pelaku, meskipun pelaku sudah melakukan tindakan
yang menyakitkan (McCullough et al., 1997).
Worthington et al. (dalam Wade & Worthington, 2005) mengatakan
melawan rasa sakit hati kemudian melepaskan rasa sakit dan keinginan balas
dendam, dan muncul kembali rasa nyaman untuk memulihkan hubungan dengan
pelaku.
Pada tahun 2002, Rye dan Pargament (dalam Wade & Worthington, 2005)
mendefinisikan forgiveness sebagai tindakan untuk mengatasi perasaan negatif
(misal: permusuhan), kognisi negatif (misal: pikiran untuk membalas dendam)
dan perilaku negatif (misal: agresi verbal) saat terjadi ketidakadilan pada dirinya,
dan mungkin juga melibatkan respon positif (misal: kasih sayang) pada pelaku.
Philpot, C. (2006) dalam buku forgiveness: A Sampling as Research
Results (dikompilasi oleh American Psychological Association, 2006)
menyimpulkan definisi forgiveness dari beberapa ahli, forgiveness terjadi ketika
seseorang menyadari dirinya telah disakiti dan merasa seharusnya ia memperoleh
perlakuan yang lebih baik. Forgiveness adalah proses (atau hasil dari sebuah
proses) yang melibatkan perubahan emosi dan sikap terhadap orang yang
menyakiti. Sebagian ahli melihat ini sebagai proses mengambil keputusan untuk
memaafkan adalah disengaja dan dilakukan secara sukarela oleh individi yang
tersakiti. Proses ini menurunkan motivasi untuk membalas dendam atau
menjauhkan diri dari pelaku, dan melepaskan emosi negatif terhadap pelaku. Para
teoris berbeda pendapat mengenai seberapa jauh forgiveness juga menyiratkan
pergantian emosi negatif menjadi sikap positif seperti kasih sayang dan itikad
menurunnya motivasi membalas dendam pada pasangan yang bersalah; b)
menurunnya motivasi menghindari pelaku; c) meningkatnya motivasi beritikad
baik dan berdamai dengan pelaku, meskipun pelaku sudah melakukan tindakan
yang menyakitkan.
2.1.2. Dimensi Forgiveness
Baumeister, Exline dan Sommer (dalam Worthington, 1998) menjelaskan dua
dimensi dari forgiveness yaitu dimensi intrapsikhis dan interpersonal. Dimensi
intrapsikhis melibatkan aspek emosi dan kognisi dari forgiveness. sedangkan
dimensi interpersonal melibatkan aspek sosial dari forgiveness. Berdasarkan
kehadiran dua dimensi ini, terdapat empat jenis forgiveness yaitu:
Tabel 2.1
Dimensi Forgiveness (Worthington, 1998)
Kombinasi Kehadiran Dimensi Jenis Forgiveness
Interpersonal Act + No Intrapsychic state Hollow Forgiveness Intrapsychic state state + No Interpersonal Act Silent Forgiveness
Intrapsychic state + Interpersonal Act Total Forgiveness No Intrapsychic state + No Interpersonal Act No Forgiveness
1. Hollow forgiveness
Kombinasi ini terjadi saat pihak yang tersakiti dapat mengekspresikan
forgiveness secara konkret melalui perilaku, namun ia belum dapat
merasakan dan menghayati adanya forgiveness didalam dirinya. Pihak
yang tersakiti masih menyimpan rasa dendam dan kebencian meskipun ia
telah mengatakan kepada pelaku “saya memafkan kamu”.
2. Silent Forgiveness
Kombinasi ini ke balikan dari kombinasi pertama. Dalam kombinasi ini
perbuatan dalam hubungan interpersonal, no interpersonal forgiveness.
Pihak yang tersakiti tidak lagi menyimpan perasaan marah, dendam, benci
kepada pelaku namun tidak mengekspresikannya. Pihak yang tersakiti
membiarkan pelaku terus merasa bersalah dan terus bertindak seakan-akan
pelaku tetap bersalah.
3. Total Forgiveness
Dalam kombinasi ini pihak yang tersakiti menghilangkan perasaan
kecewa, benci atau marah terhadap pelaku tentang kesalahan yang terjadi.
Kemudian, hubungan antara pihak yang tersakiti dengan pelaku pulih
secara total seperti keadaan sebelum peristiwa yang menyakitkan terjadi.
4. No Forgiveness
Dalam kombinasi ini, intrapsychic dan interpersonal forgiveness tidak
terjadi pada pihak yang tersakiti. Baumeister, Exline dan Sommer
menyebut kondisi ini sebagai total grudge combination. Keadaan ini
terjadi karena pihak yang tersakiti telah salah persepsi mengenai
forgiveness, berikut adalah persepsi salah yang menjadi faktor terjadinya
no forgiveness:
a. Claims on Reward and Benefit
Pihak yang tersakiti merasa bahwa dirinya berhak atas reward atau
keuntungan sebelum ia harus memaafkan. Karena ia beranggapan bahwa
pelaku telah memiliki ‘hutang’ yang harus dibayar karena telah menyakiti
b. To Prevent Reccurence
Forgiveness dianggap dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya
pelanggaran atau peristiwa menyakitkan yang dialami pihak yang tersakiti
di masa mendatang. Dengan tidak diberikannya forgiveness kepada
pelaku, pihak yang tersakiti dapat terus mengingatkan pelaku untuk tidak
mengulangi perbuatannya.
c. Continued Suffering
Pihak tersakiti terus-menerus merasa menderita karena peristiwa
menyakitkan yang dialami olehnya. Saat konsekuensi dari pengalaman
menyakitkan yang dialami oleh pihak yang tersakiti di masa lalu
memengaruhi hubungannya dengan pelaku di masa depan, maka
forgiveness merupakan sesuatu yang sulit dilakukan.
d. Pride and Revenge
Pihak yang tersakiti merasa bahwa dengan memberikan maaf kepada
pelaku maka ia sudah melakukan perbuatan yang mempermalukan dirinya
bahkan menunjukkan rendahnya harga diri pihak yang tersakiti.
e. Principal Refusal
Pihak yang tersakiti menilai forgiveness sebagai pembebasan terhadap
pelaku dari pengadilan. Pihak yang tersakiti takut tidak mendapat
perlindungan hukum jika ia sudah memaafkan pelaku.
Selain dimensi dari Baumeister, Exline dan Sommer, terdapat pula
dimensi forgiveness yang dirumuskan oleh McCulough et al. (1997).
(2004) untuk mengembangkan alat ukur forgiveness dalam setting pernikahan.
Forgiveness memiliki tiga dimensi, yakni retaliation dan avoidance yang
termasuk dalam aspek negatif dari forgiveness, dan benevolence yang termasuk
dalam aspek positif dari forgiveness (Fincham et al., 2004). Adanya aspek positif
tidak dapat menjadi kesimpulan ketidakberadaan aspek negatif dari forgiveness.
Berikut penjelasan ketiga dimensi forgiveness tersebut yang berhasil dirangkum
dari Fincham et al. (2004):
1. Retaliation
McCullough et al. (1997) menyebutnya revenge, ditandai dengan
dorongan individu untuk membalas perbuatan pelaku. Dalam kondisi ini,
individu dalam keadaan marah, benci dan penuh dengan emosi negatif
lainnya sehingga muncul rasa dendam dan keinginan membalas. Dimensi
ini adalah dimensi negatif dari forgiveness, artinya rendahnya motivasi
membalas menggambarkan semakin dekat sesseorang pada keadaan
memaafkan.
2. Avoidance
Ditandai dengan individu yang menghindar atau menarik diri (withdrawal)
dari pelaku yang dinilai telah menyakiti atau menyinggung perasaannya.
Avoidance juga merupakan dimensi negatif dari forgiveness, artinya
rendahnya motivasi menghindar menggambarkan semakin dekat
3. Benevolence
Ditandai dengan dorongan untuk berbuat baik terhadap pelaku yang telah
menyakitinya. Dengan berempati dan berkomunikasi dengan baik, itikad
baik ini dapat dicapai. Benevolence merupakan dimensi positif dari
forgiveness, artinya tingginya motivasi berbuat baik semakin
menggambarkan bahwa seseorang telah memaafkan.
Terdapat dua teori mengenai dimensi-dimensi forgiveness, namun
penelitian ini cenderung menggunakan dimensi yang dirangkum dalam Ficham et
al. (2004) karena sejalan dengan definisi forgiveness yang dipilih sebelumnya.
2.1.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Forgiveness
Menurut McCullough et al. (1998), faktor penentu yang memengaruhi munculnya
perilaku memaafkan pada individu, yaitu:
1. Social Cognitive Determinant
Sikap empati terhadap pelaku muncul sebagai bagian terpenting dari
determinan sosial-konitif terhadap forgivenes. Variabel atribusi juga telah
memfasilitasi munculnya forgiveness, seperti meminta
pertanggungjawaban, menyalah-nyalahkan, luka yang parah dan
menghindari pelaku. Sehingga atribusi menjadi alasan utama terjadinya
empati dan forgiveness. Determinan kognitif lainnya adalah rumination,
image, dan afeksi yang terkait dengan konflik interpersonal yang dapat
menyebabkan individu melakukan balas dendam maupun menghindari
2. Offense Related Determinant
Determinan ini berkaitan dengan tingkat kelukaan dan sejauh mana pelaku
meminta maaf (apology) dan mencari pengampunan. Tingkat kelukaan
adalah sejauh mana individu mempersepsi bahwa konflik yang terjadi
telah memberikan penderitaan bagi dirinya, semakin parah luka yang
dirasakan maka akan lebih sulit baginya untuk dapat memaafkan.
3. Relational Determinant
Faktor lain yang berpengaruh terhadap perilaku memaafkan adalah
sejauhmana kualitas hubungan interpersonal yang dimiliki oleh seseorang
terhadap pihak yang bertikai dengannya. Karena memaafkan dipahami
sebagai serangkaian perubahan motivasional setelah terjadinya konflik,
maka tingkat kedekatan, kepuasan, komitmen dan intimacy seharusnya
akan berhubungan positif dengan forgiveness. Ada tujuh hal yang menjadi
alasan kualitas hubungan sebagai faktor dari forgiveness, yaitu:
a. Individu merasa harus melestarikan relasinya dengan pihak tempat ia
saling bergantung dalam banyak hal.
b. Individu memiliki orientasi jangka panjang yang memotivasinya untuk
melupakan rasa sakit hatinya dan meningkatkan penerimaan akan
hubungan tersebut.
c. Dalam hubungan yang berkualitas, keduanya akan saling menggabungkan
d. Hubungan yang berkualitas akan memuculkan orientasi bersama yang
meningkatkan kesediaan untuk melakukan hal yang menyenangkan
pasangannya, meskipun harus mengorbankan diri sendiri.
e. Individu memiliki sejarah yang banyak bersama pasangannya, sehingga ia
memiliki akses berupa pikiran, perasaan dan motivasi keada pasangannya.
f. Hubungan yang berkualitas akan membuat korban merasa konflik yang
terjadi adalah untuk kebaikannya.
g. Dalam hubungan yang berkualitas, pelaku cenderung meminta maaf dan
mengungkapkan penyesalan serta memulihkan hubungan pasca konflik.
4. Personality Determinant
Determinan kepribadian dapat memengaruhi forgiveness dengan fasilitas
dari relational styles atau kecenderungan seseorang dalam pengalaman
berfikirnya atau sikapnya dalam menanggapi konflik atau pelaku. Dalam
big five factors model of personality diketahui bahwa kepribadian
agreeableness memengaruhi forgiveness secara signifikan.
Penjabaran di atas, mengungkapkan bahwa forgiveness bukan hanya
ditentukan oleh diri individu saja. Faktor sosial-kognitif dan kepribadian
merupakan faktor dari dalam diri individu, keduanya mendasari kemampuan
seseorang untuk memaafkan. Namun faktor hubungan dan permintaan maaf dari
orang yang bersalah juga bisa menentukan munculnya prilaku memaafkan.
2.1.4. Tahapan Forgiveness
Ada beberapa teoris yang mengungkap mengenai tahapan forgiveness, dua
A. Enright dan Coyle (1998), mereka mengembangkan suatu model tahapan
forgiveness. Model ini meliputi aspek kognitif, afektif dan perilaku yang
terjadi dalam proses forgiveness. Tahapan tersebut dibagi kedalam empat
fase yaitu:
a. Uncovering phase
Individu menyadari bahwa dirinya telah diperlakukan tidak adil dan
merasakan emosi negatif serta perasaan terluka. Emosi negatif
(unforgiveness) harus dikonfrontasikan dan dipahami secara mendalam
sebelum proses penyembuhan dimulai.
b. Decision phase
Individu yang fokus dan merasa dirinya adalah korban akan terus
merasakan sakit mengalamin penderitaan yang berlanjut. Forgiveness
adalah cara untuk menyembuhkan dan memulihkan diri maka individu
harus memiliki komitmen untuk memaafkan pelaku. Pada fase ini pikiran,
perasaan dan dorongan untuk membalas dendam terhadap pelaku
dilepaskan, sebagai tanda dimulainya pemaafan.
c. Work phase
Pada tahapan ini, individu mulai bisa memaafkan, salah satunya dengan
berempati. Individu menempatkan dirinya pada posisi pelaku yang
mungkin juga merasa tertekan karena perasaan bersalah. Individu sudah
bisa menerima pelaku kembali menjadi bagian hidupnya. Lebih lanjut lagi
d. Outcome/Deepening phase
Pada tahapan terakhir ini, individu secara sadar merasa sembuh, pulih dan
penuh dengan emosi positif karena telah melakukan forgiveness. Secara
umum, individu menemukan makna dalam penyembuhan yang dialaminya
sehingga pada fase terakhir ini individu mengalami paradox of
forgiveness, sebagai salah satu sikap terhadap rasa sakit yang tidak adil
dan memberikan kemurahan hati pada orang lain, sehingga ia merasa telah
disembuhkan.
B. Worthington (1998), ia juga mencoba menjabarkan teori tahapan
forgiveness. Teori ini dikenal sebagai the pyramid model to REACH
forgiveness. Teori ini pada dasarnya hampir sama dengan tahapan oleh
Enright dan Coyle (1998). Model REACH ini seringkali digunakan untuk
intervensi saat terapi forgiveness. Ada lima tahapan menuju forgiveness
menurut Worthington (1998), yaitu:
1. Recall the hurt
Dengan tenang individu memanggil kembali rasa sakit dan terluka akibat
kejadian menyakitkan. Namun, tidak memposisikan diri sebagai korban
dan tidak perlu merasa berhak untuk menyalah-nyalahkan.
2. Empathize
Individu berusaha untuk mengetahui penyebab pelaku melakukan
kesalahan padanya dan memposisikan dirinya sebagai pihak yang
bersalah. Individu turut merasakan tekanan dan perasaan bersalah yang
dirasakan pelaku.
3. Alturistic gift
Individu membayangkan dan mengingat kembali bahwa dirinya juga
pernah berbuat salah lalu seseorang memafkannya secara tulus, untuk itu
ia merasa perlu dan layak memberikan maaf kepada orang lain juga.
Pemberian maaf bisa dianggap sebagai sebuah hadiah kemanusiaan, selain
untuk memulihkan diri sendiri forgiveness dalam prosesnya juga akan
memulihkan sebuah hubungan.
4. Commit publicly to forgive
Pada tahap ini individu telah menetapkan bahwa dirinya telah memaafkan.
Individu tidak pernah lagi secara sengaja mengingat kejadian, rasa sakit
dan membangkitkan emosi negatifnya. Pada perjalanannya, forgiveness
akan memberikan hubungan yang sehat sehingga bisa jadi kejadian
5. Hold on to forgive
Pada tahapan ini sebenarnya pemaafan sudah sempurna, namun individu
harus mempertahankannya. Individu dapat merasakan dan memaknai
keuntungan yang ia dapatkan setelah memaafkan.
Kedua teori mengenai tahapan forgiveness di atas menerangkan bahwa
memaafkan butuh proses. Pihak yang tersakiti harus melewati setiap fase yang
memiliki tugas yang berbeda. Bukan tidak mungkin seseorang gagal saat
melewati fase tertentu, dibutuhkan usaha, komitmen dan mungkin bantuan dari
pihak yang bersalah atau pihak lain agar dapat tuntas dalam memaafkan. Pada
akhirnya, individu yang mampu menyelesaikan tahap akhir dari memaafkan baru
bisa merasakan manfaat dan kekuatan memaafkan.
2.2. Pernikahan
2.2.1. Definisi Pernikahan
Beberapa definisi mengenai pernikahan akan diuraikan untuk memperoleh
gambaran yang jelas mengenai pernikahan. Strong, De Vault dan Cohen (1989)
mengatakan bahwa sebuah pernikahan adalah persatuan yang sah antara dua
orang, yang umumnya seorang pria dan seorang wanita, dimana mereka bersatu
secara seksual, bekerjasama secara ekonomi, dan juga diperbolehkan untuk
melahirkan, mengadopsi dan mengasuh anak. Persatuan ini diasumsikan dapat
berlangsung selamanya.
Selanjutnya definisi lain dijelaskan oleh Brehm (1997) mengenai
pernikahan sebagai: ekspresi tertinggi dari hubungan intim yang ditandai dengan
Kemudian berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1974, pernikahan merujuk
pada pengertian perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan
merupakan ikatan atau perjanjian yang terjadi antara pria dan wanita berupa
komitmen jangka panjang untuk sebisa mungkin menjadi suami istri untuk
selamanya, kemudian menjadi keluarga yang bahagia dan kekal, dimana
perjanjian tersebut dinyatakan secara terbuka dan tercatat secara hukum, sehingga
pasangan tersebut beserta anak-anaknya memiliki hak yang sah atas hukum yang
berlaku.
2.2.2. Motivasi Menikah
Ada berbagai alasan yang menyebabkan pria dan wanita mengikatkan diri dalam
suatu ikatan pernikahan. Turner dan Helms (1995) mengemukakan alasan-alasan
yang biasanya digunakan pria dan wanita untuk menikah, yaitu:
1. Persahabatan dan kebersamaan
Pernikahan merupakan kesempatan untuk menghilangkan kesepian dan
rasa terisolasi. Melalui persahabatan dan aktivitas yang dilakukan bersama
kebutuhan individu akan kebersamaan dapat terpenuhi.
2. Cinta
Kehidupan seseorang akan lebih terpuaskan jika dirinya merasa berarti
memberi cinta. Pernikahan memberikan kesempatan bagi pemenuhan
kebutuhan dasar akan cinta.
3. Kebahagiaan
Mendapatkan kebahagiaan adalah hal penting dalam kehidupan manusia.
Banyak orang mengharapkan pernikahan menjadi sumber kebahagiaannya.
Namun, harus disadari bahwa kebahagiaan tidak terletak pada institusi
pernikahan, melainkan pada individunya sendiri dan tergantung pada
bagaimana mereka berinteraksi dalam hubungan tersebut.
4. Legitimasi seksual dan anak-anak
Pernikahan memberikan persetujuan sosial bagi tingkah laku seksual dan
melahirkan anak. Pernikahan mengesahkan hubungan seksual dan
memberikan hak bagi pasangan menikah untuk memilik anak dengan
perlindungan hukum.
Berdasarkan penjabaran di atas, setiap individu yang akan menikah
mempunyai beberapa alasan mengapa mereka menikah, seperti persahabatan dan
kebersamaan, cinta, kebahagiaan dan legitimasi seksual dan anak. Namun, pada
dasarnya alasan mengapa setiap individu itu menikah berbeda-beda, termasuk
pasangan yang telah menikah sekalipun. Motivasi individu dan pasangan mungkin
awalnya berbeda, namun bukan berarti tidak dapat disesuaikan atau disatukan. Hal
ini tentunya menjadi suatu kewajaran dalam lingkungan sosial masyarakat
dikarenakan setiap individu mempunyai prinsip dan alasan hidup yang
2.3. Forgiveness dalam Pernikahan
Banyak peneliti percaya bahwa forgiveness merupakan hal terpenting dalam
keberhasilan pernikahan. Berdasarkan survei pada pasangan yang telah menikah
lebih dari 20 tahun, forgiveness merupakan salah satu faktor kunci kelanggengan
pernikahan (dalam Fincham et al., 2002). Secara umum forgiveness diyakini dapat
membantu pasangan untuk mengatasi kesulitan yang ada dan mencegah
munculnya masalah di masa depan. Mengingat pentingnya dan besarnya kegunaan
forgiveness dalam pernikahan, forgiveness telah dieksplorasi dan dikaitkan
dengan beberapa aspek pernikahan, diantaranya adalah konflik, kepuasan,
atribusi, komitmen dan empati (dalam Fincham et al., 2006).
Dalam kaitannya dengan konflik, Gordon (dalam Fincham et al., 2006)
berpendapat bahwa forgiveness penting dalam situasi dimana telah terjadi konflik
dalam pernikahan. Sayangnya, konflik dalam pernikahan terjadi terlalu sering
sehingga forgiveness mungkin menjadi komponen reguler pernikahan. Konflik
merupakan syarat yang mutlak untuk terjadinya pemaafan. Tanpa adanya konflik tidak
akan perlu ada pemaafan, sebab memang tidak ada yang perlu dimaafkan (Enright &
Coyle, dalam Fincham et al., 2004). Ada bermacam-macam kejadian yang dapat
menyulut ancaman bagi keberlangsungan hubungan interpersonal. Secara umum, terdapat
lima jenis kejadian menyakitkan dalam hubungan interpersonal, yaitu diasosiasi aktif
(misal: memutuskan hubungan), diasosiasi pasif (misal: mengacuhkan pasangan), kritik,
tingginya retaliation dan avoidance pada kelompok para suami dan kurangnya
benevolence pada kelompok para istri menggambarkan resolusi konflik yang tidak
efektif. Konflik yang belum terselesaikan dapat meluas menjadi konflik masa
depan dan pada gilirannya akan menghambat resolusi mereka, sehingga siklus
interaksi negatif akan berkembang dan menjadi ciri khas pernikahan yang
bermasalah.
Kemudian forgiveness dapat membantu penyembuhan psikis individu
melalui pengaruhnya dalam menghadirkan perubahan positif, meningkatkan
kesehatan fisik dan mental, mengembalikan sense of personal power dari orang
yang tersakiti, dan membantu mewujudkan rekonsiliasi antara orang yang tersakiti
dan orang yang menyakiti (Philpot, 2006).
2.3.1 Pengukuran Forgiveness dalam Pernikahan
Dari hasil membaca literatur tentang penelitian-penelitian mengenai forgiveness,
peneliti memperoleh beberapa instrument untuk mengukur forgiveness,
diantaranya yaitu:
1. Marital Offence-Specific Forgiveness Scale (MOFS)
MOFS dikembangkan oleh Paleari, Regalia dan Fincham (2009) yang
terdiri dari sepuluh item. Item-item dalam alat ukur ini sesuai dengan dua
komponen forgiveness yaitu, resentment-avoidance dan benevolence.
MOFS dibuat untuk mengukur respon seseorang yang telah menikah dan
menerima kekerasan dalam enam bulan terakhir. MOFS memiliki
2. Transgression-Related Interpersonal Motivation (TRIM)
TRIM-12 dikembangkan oleh McCullough et al. (1998) yang terdiri dari
12 item. Alat tes ini mengukur tingkat forgiveness yang terjadi dalam close
relationship, berdasarkan dua sub skala yakni avoidance dan revenge.
Kemudian alat ukur ini di revisi menjadi TRIM-18 oleh McCullough, Root
dan Cohen (2006) dengan menambahkan enam item yang mengukur
konsep benevolence. TRIM lebih tepat digunakan untuk mengukur respon
terhadap hal menyakitkan yang ekstrim dan serius. TRIM memiliki
realibilitas alpha cronbach sebesar 0,91.
3. Marital Forgiveness Scale (MFS)
MFS dikembangkan oleh Fincham, Beach dan Davila sejak tahun 2004,
kemudian alat ukur ini telah di revisi pada tahun 2013. MFS terdiri dari
sembilan item untuk mengukur tiga aspek pada forgiveness yaitu
retaliation, avoidance dan benevolence. Alat tes ini berisi mengenai
laporan diri / self report yang mengukur forgiveness dalam kehidupan
pernikahan seseorang. MFS memiliki realibilitas alpha cronbach sebesar
0,80.
Dari ketiga alat ukur forgiveness di atas, peneliti memilih menggunakan
alat ukur Marital Forgiveness Scale (MFS). Alat ukur ini mencakup pengukuran
atas tiga sub dimensi yang dimiliki forgiveness sehingga sesuai dengan kajian
2.4. Kualitas Hubungan
2.4.1. Definisi Kualitas Hubungan
Menurut Pierce, Sarason dan Nagle (1997), kualitas hubungan adalah tingkat baik
buruknya kesinambungan interaksi antara dua orang atau lebih yang mendalam
bertujuan memudahkan proses dalam suatu hubungan antara satu dengan yang
lain; kualitas hubungan ialah suatu hubungan intim antara satu individu dengan
individu lain yang dibina untuk menuju ke arah hubungan yang lebih baik,
merupakan salah satu kebutuhan pada usia dewasa muda. Dalam konteks
pernikahan kualitas hubungan seringkali disebut kualitas pernikahan, menurut
Hollist dan Miller (2005), kualitas pernikahan merupakan persepsi individu
mengenai keadaan seberapa baik interaksi pada suatu hubungan. Kemudian
menurut Helms dan Buehler (2007) kualitas pernikahan adalah cerminan dari
dimensi utama yang terdiri dari kualitas kognisi, perilaku dan afeksi dalam
pernikahan. Kedua definisi di atas hampir mirip, namun definisi kedua lebih
sesuai untuk penelitian ini.
2.4.2. Dimensi Kualitas Hubungan
Dimensi kualitas hubungan yang dipakai dalam penelitian ini adalah penjabaran
dari Guldner dan Swensen (1995) yang terdiri dari empat dimensi, yaitu:
1. Trust
Trust adalah harapan individu bahwa pasangannya akan memperlakukan
dirinya secara adil dan terhormat. Individu berharap pasangannya untuk
menjadi responsif terhadap kebutuhan mereka dan peduli untuk
menjadi curiga dan mengurangi keterbukaan serta rendahnya
interdependent atau tidak dapat lagi saling bergantung. Dengan trust yang
tinggi individu dapat memprediksi perilaku pasangannya dan mengurangi
usaha mencari tahu / menyelidiki pasangannya.
2. Intimacy
Secara umum intimacy mengacu pada perasaan pada hubungan dekat
secara personal dan perasaan saling memiliki. Dengan adanya saling
pengertian dan banyaknya pegalaman bersama maka hubungan mereka
menjadi hubungan afeksi yang dekat. Intimacy memiliki ciri komunikasi,
transparansi, vulnerability dan timbal balik.
3. Committment
Committment adalah sejauh mana pasangan menikah memiliki rasa
kebersamaan, eklusivitas dan keberlangsungan hubungan / dedikasi dalam
hubungan mereka. Pasangan menikah biasanya memiliki komitmen untuk
hubungan mereka. Artinya, mereka mengharapkan pernikahan mereka
untuk terus berlangsung selamanya, mereka menginvestasikan waktu,
tenaga dan sumber daya yang diperlukan untuk mewujudkan tujuan
tersebut. Tanpa komitmen, pasangan merasa kurangnya rasa saling
membutuhkan dan kurangnya pengetahuan tentang pasangannya satu sama
lain.
4. Satisfaction
mencerminkan perasaan mengenai keuntungan dan pengorbanan dalam
hubungan. Semakin banyak pengorbanan yang diberikan, umumnya
menyebabkan pasangan kurang puas dengan pasangan mereka. Demikian
pula, besarnya keuntungan yang dirasakan maka semakin puas seseorang
terhadap hubungan mereka.
Dari keempat dimensi kualitas hubungan, masing-masing mempunyai
peranan penting dalam menciptakan suatu hubungan dengan kualitas yang baik
antara satu individu dengan individu yang lain. Namun secara keselurahan, ketika
keempat dimensi tersebut mempunyai nilai yang tinggi maka suatu hal yang
mutlak kualitas hubungan yang baik akan tercipta.
2.4.3. Pengukuran Kualitas Hubungan
Untuk mengetahui kualitas hubungan pada seseorang dapat digunakan alat
sebagai pengukur kualitas hubungan individu dengan pasangannya. Alat ukur
yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa skala berisi item-item yang
dibuat oleh peneliti berdasarkan dimensi yang ada. Kualitas hubungan menurut
Guldner dan Swensen (1995) terdiri dari empat dimensi, yaitu: trust, intimacy,
commitment dan satisfaction. Kemudian berdasarkan dimensi-dimensi tersebut
peneliti membuat skala berdasarkan aspek-aspek yang ada, keseluruhannya
berjumlah 20 item.
2.5. Apology
2.5.1. Definisi Apology
Individu yang tersakiti lebih mungkin untuk memaafkan ketika pelaku mengakui
penebusan yang tulus dengan mengekspresikan rasa malu, penyesalan, dan
perbaikan atas perilaku mereka, dan berjanji melakukan yang lebih baik di masa
depan (Hannon, 2010;. Tabak, 2011 dalam Miller, 2012). Selanjutnya
ditambahkan oleh Luchies (dalam Miller, 2012) forgiveness yang diberikan tanpa
adanya apology yang tulus dari pelaku adalah bagaikan memberikan izin bagi
pelaku untuk mengulangi kesalahannya lagi.
Weiner et al. (dalam Mercado et al., 2009) mengemukakan bahwa
confession sangat penting untuk membantu proses forgiveness. Menurut Weiner
forgiveness dapat berlangsung sangat baik apabila pelaku meminta maaf secara
tulus dan sungguh-sungguh.
Chapman dan Thomas (2006) mengemukakan bahwa ada lima cara utama
individu meminta maaf yaitu pengungkapan penyesalan, mau tanggung jawab,
melakukan perbaikan, berjanji tidak mengulangi lagi dan meminta maaf.
2.5.2. Dimensi Apology
Apology dapat diungkapkan dengan berbagai cara. Chapman dan Thomas dalam
bukunya The Five Languages of Apology (2006), mengatakan bahwa apology
meliputi lima ungkapan berikut ini:
1. Penyesalan
Mengekspresikan penyesalan adalah ketika individu menyadari bahwa
dirinya sudah melakukan kesalahan sehingga sesuatu yang buruk dan
menyakitkan telah terjadi. Bentuk yang paling umum untuk
sederhana, "Aku menyesal". Mengekspresikan penyesalan juga termasuk
pengungkapan rasa empati pelaku terhadap pihak yang tersakiti.
2. Mau bertanggung jawab
Mau bertanggung jawab adalah kemampuan bagi individu untuk mengakui
kesalahannya dan kesediaan untuk menanggung akibat buruk yang ia
timbulkan. Individu yang dapat bertanggung jawab menunjukan bahwa
dirinya tulus untuk meminta maaf dan layak untuk dimaafkan.
3. Melakukan perbaikan
Melakukan perbaikan atau membuat restitusi adalah ketika pihak yang
bersalah bertanya: "Apa yang bisa saya lakukan untuk membuat keadaan
ini membaik?". Membuat restitusi membutuhkan komunikasi dua arah,
pihak yang bersalah harus mendapat jawaban dan arahan dari pihak yang
disakiti untuk melakukan perbaikan.
4. Berjanji tidak mengulangi lagi
Tidak mengulangi lagi / benar-benar bertobat adalah ketika individu yang
melakukan pelanggaran tersebut melakukan usaha terbaik untuk
mengubah perilaku mereka. Pertobatan meliputi rasa menyesal yang dapat
mengubah pikiran seseorang yang kemudian menjadi itikad baik untuk
tidak mengulangi kesalahan yang sama.
5. Meminta maaf
Yang terakhir adalah meminta maaf, yaitu setelah seseorang mampu untuk