• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rekayasa model sistem deteksi dini perniagaan minyak goreng kelapa sawit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Rekayasa model sistem deteksi dini perniagaan minyak goreng kelapa sawit"

Copied!
432
0
0

Teks penuh

(1)

MINYAK GORENG KELAPA SAWIT

DIDA HERYADI SALYA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul :

REKAYASA MODEL SISTEM DETEKSI DINI

PERNIAGAAN M INYAK GORENG KELAPA

SAWIT

adalah benar merupakan gagasan dan hasil karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program studi sejenis di perguruan tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dicantumkan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Agustus 2006

Dida Heryadi Salya

(3)

Design Model of Early Warning System for Frying Oil Trading. Under direction of ERIYATNO, TIEN R. MUCHTADI, MARIMIN, MUSLIMIN NASUTION, ERLIZA NOOR.

Indonesia’ economic crisis was occurred in the period of 1997-1998, where its currency, had been fallen down more than sixth time for managing frying oil goods in the year of 1997 – 1998. During this period, the frying oil price was risen more than triple and many industries had been closed down. The government policies was issued to control frying oil prices trough trading and investment regulation, but unfortunately not effective yet. It is than realized the importance of establishing crisis management; particularly to setting up the early warning system for managing essential goods.

This study was aimed to design a generic decision support of early warning system for frying oil trade. The expert management system was established as controlling tools for managing the occurred crisis through formulating the frying oil-trading policies. This integrated system was formulated using package of computer program, which consisted of 4 models, which are: (1) variable measurement model; (2) price forecasting model; (3) crisis alert model; and, (4) controlling management model.

The variable measurement model was designed with multi-expert decision-making using Ordered Weighted Average (OWA) as operator. There were 15 identified variables that will be use as input for forecasting process. From the 15 variables it was selected 4 key variables which dominantly affect the frying-oil price. The price-forecasting model was constructed by using Artificial Neural Network tools, through Multi-layer Back Propagation Network. The crisis alerts model used heuristic model technique, which calculates feasible range of customers frying oil price.

When the trading condition was considered as crisis, then the system will be forwarded into the controlling management models for the solutions. The Issue Management Technology (IMT) was formulated by acquisition of experts’ knowledge in handling frying oil-trading policies. The Expert Management System was implemented into user-friendly computer programming named DETRIME.

(4)

an Minyak Goreng Kelapa Sawit. Dibimbing Oleh ERIYATNO, TIEN R. MUCHTADI, MARIMIN, MUSLIMIN NASUTION, ERLIZA NOOR.

Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada akhir tahun 1990an telah memberikan pelajaran berharga dalam penanganan sistem perniagaan untuk komoditi strategis masyarakat. Situasi krisis diakibatkan oleh penurunan nilai mata uang Rupiah khususnya terhadap Dolar Amerika yang merosot hampir 6 kalinya dalam kurun waktu 14 bulan, secara langsung keadaan ini memberikan efek ganda pada sistem perekonomian Indonesia. Disatu sisi, penurunan nilai tukar mata rupiah meningkatkan keunggulan kompetitif industri dalam negeri khususnya industri berbasis sumberdaya alam di pasar internasional. Disisi lain, penurunan nilai tukar rupiah meperlemah tingkat daya beli masyarakat. Selain itu keadaan ini mendorong terjadinya kelangkaan bahan baku penting untuk beberapa komoditi masyarakat, khususnya komoditi Crude Palm Oil (CPO) sebagai bahan baku utama industri minyak goreng kelapa sawit. Tingginya permintaan CPO di pasaran internasional, serta makin kompetitifnya harga dalam negeri akibat perubahan nilai tukar yang sangat besar telah mendorong para produsen CPO untuk melakukan kegiatan ekspor.

Kurangnya pasokan CPO telah menyebabkan langkanya pasokan minyak goreng kelapa sawit di pasar dalam negeri. Harga minyak goreng melonjak secara tajam lebih dari 300 persen dalam tempo waktu kurang dari 3 bulan. Berbagai langkah telah diambil pemerintah untuk menjaga stabilitas pasokan CPO di dalam negeri, melalui serangkaian kebijakan perdagangan dan investasi. Namun demikian, beberapa kebijakan, khususnya kebijakan mengenai pembatasan perdagangan ekspor CPO terbukti tidak efektif dan kontra produktif terhadap pertumbuhan industri dalam negeri. Tingginya penerapan pajak ekspor CPO menimbulkan maraknya praktek-praktek penyelundupan, dan tidak serta merta menjamin tersedianya pasokan CPO di dalam negeri. Penanganan operasi pasar, sebagai langkah darurat pemerintah, dalam mengisi pasar minyak goreng dalam negeri terbukti tidak efektif. Beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan pemerintah dalam mengatasi masalah pemenuhan kebutuhan minyak goreng untuk masyarakat adalah kurangnya pemahaman visi para penentu kebijakan, lemahnya koordinasi antar penentu dan jenis kebijakan yang dikeluarkan, serta ketidakmampuan para pengelola kebijakan untuk memprediksi keadaan dimasa mendatang.

(5)

diharapkan dapat membantu penciptaan kesamaan visi, misi, dan kebijakan dari para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam pengendalian perniagaan komoditas minyak goreng kelapa sawit.

Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan sistem, dengan lingkup meliputi rekayasa model sistem penunjang keputusan (SPK) deteksi dini dan rekayasa model sistem pakar manajemen kontrol yang merupakan instrumen kebijakan untuk pengendalian krisis. Rancang bangun sistem manajemen ahli deteksi dini dan manajemen kontrol perniagaan minyak goreng kelapa sawit ini diberi nama Model Sistem Manajemen Ahli - DETRIME. Konfigurasi Model DETRIME terdiri atas sistem manajemen basis data, sistem manajemen basis model, sistem manajemen basis pengetahuan, dan sistem manajemen dialog.

Sistem manajemen basis model terdiri dari sub-model pemilihan variabel, sub-model peramalan harga, dan sub-model penentuan krisis. Sedangkan, sistem manajemen basis pengetahuan adalah terdiri atas sub-model kebijakan. Sub-model pemilihan variabel dilakukan melalui kombinasi antara metoda penilaian pakar dan uji korelasi. Dari 29 variabel yang teridentifikasi melalui penelusuran pustaka, diberikan penilaian oleh para pakar menggunakan linguistic label skala ordinal. Pendapat pakar tersebut diagregasi menggunakan operator Ordered Weighted Average (OWA), sehingga didapatkan 17 variabel yang mempunyai skala penilaian sangat tinggi (ST) dan tinggi (T). Kemudian variabel terpilih dilakukan uji korelasi terhadap output (harga eceran minyak goreng). Variabel yang akan digunakan adalah variabel-variabel yang mempunyai nilai korelasi terhadap output diatas 0,95.

(6)

Batas ambang atas (maksimum) ditentukan atas dasar pertimbangan kemampuan daya beli konsumen. Sedangkan batas ambang bawah (minimum) dibangun atas daya tahan industri untuk mampu berproduksi dengan, yaitu keuntungan marjinal industri. Keadaan dimana hasil peramalan harga yang diperoleh nilainya berada diluar batas ambang atas atau batas ambang bawah, maka keadaan ini dinamakan dalam keadaan krisis. Sinyal krisis kemudian dikirim dan diolah lebih lanjut kedalam sub-model kebijakan sebagi instrumen manajemen kontrol.

Sub-Model Kebijakan perniagaan minyak goreng kelapa sawit berisikan kumpulan kebijakan yang ditujukan untuk mengantisipasi keadaan krisis. Sub-model ini direkayasa dengan mengakuisisi pengetahuan pakar. Penyusunan model ini dilakukan melalui tahapan penyusunan matriks perihal solusi krisis yang dilakukan melalui rangkaian diskusi para pakar untuk penentuan posisi prioritas dan langkah kebijakan yang digunakan sebagai saran akhir.

Aplikasi Model Sistem Manajemen Ahli - DETRIME dilakukan melalui pengujian hasil peramalan harga eceran minyak goreng untuk bulan Januari sampai dengan bulan Maret 2006. Peramalan dilakukan dengan menggunakan variabel-variabel input pada keadaan bulan Desember 2005. Dari proses ini didapatkan nilai hasil peramalan harga minyak goreng untuk bulan Januari 2006 sebesar Rp. 4.791, sedangkan harga aktualnya adalah Rp. 4.600 (min) – Rp. 4.700 (maks); hasil peramalan harga untuk bulan Februari 2006 sebesar Rp. 4.573.- , sedangkan harga aktual adalah Rp. 4.100,- (min) – Rp. 4.400,- (maks); peramalan harga untuk bulan Maret 2006 sebesar Rp. 4.252,- , dan harga aktual adalah Rp. 4.000 (min) – Rp. 4.100,- (maks). Dari hasil deteksi keadaan, tiga bulan tersebut berada pada kondisi normal, sehingga tidak dibutuhkan intervensi kebijakan.

Tingkat kritikalitas penentuan keadaan krisis ditentukan oleh parameter harga CPO, pendapatan perkapita, inflasi, pertumbuhan ekonomi dan tingkat konsumsi masyarakat untuk minyak goreng. Status krisis dibagi dalam ‘keadaan waspada’ dan ‘keadaan bahaya’, yang ditentukan oleh besarnya peringkat harga dibandingkan dengan bulan dasar. Sistem dialog pada manajemen kontrol memberikan kemudahan para pengguna dalam merumuskan rekomendasi kebijakan yang ditempuh.

(7)

MINYAK GORENG KELAPA SAWIT

DIDA HERYADI SALYA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

NIM : 975091

Program Studi : Teknologi Industri Pertanian

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof . Dr. Ir. Eriyatno, MSAE Ketua

Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc

Anggota Anggota

Dr. Ir. Muslimin Nasution Dr. Ir. Erliza Noor

Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Irawadi Jamaran Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

(9)

Pertama-tama penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat ridho dan hidayah-Nya disertasi ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. Ir. Eriyatno, MSAE, sebagai ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan curahan waktu, bimbingan, arahan, nasehat dengan penuh dedikasi, serta memberikan dorongan moral kepada penulis hingga selesainya penulisan disertasi ini Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga masing-masing kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, Bapak Prof. Dr. Ir. Marimin M.Sc, Bapak Dr. Ir. Muslimin Nasution, Ibu Dr. Ir. Erliza Noor, selaku anggota komisi pembimbing atas semua bimbingannya, pengetahuan, saran, dan dorongan sampai penyelesaian disertasi ini.

Penghargaan kami sampaikan pula kepada Dr. Ir Joyowinoto sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup; Dr. Komara Djaja dan Dr. Suwita sebagai penguji pada ujian terbuka, atas segala pengetahuan, saran, dan waktunya untuk penyempurnaan disertasi ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah, para staf pengajar Program Studi Teknologi Industri Pertanian, serta para staf administrasi yang telah membantu dan memberikan curahan waktu, ilmu, dan pengalamannya selama penulis menempuh masa pendidikan di IPB.

(10)

Perencanaan, Ir. Aritonang MM, dan rekan lain di Departemen Perindustrian, rekan-rekan di Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, Pimpinan PT. Bimoli, Jakarta, dan para narasumber yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas segala waktu, pengetahuan, dan saran yang diberikan kepada penulis selama mengumpulkan data dan informasi di lapangan.

Rasa hormat dan terima kasih yang sangat dalam penulis sampaikan kepada Ibunda tercinta Hj. Hernawati, kakak dan adik-adik di Keluarga Besar Salya Wigena (Alm), Keluarga Besar Djukahdi Adimihardja (Alm), yang selalu memberikan curahan kasih sayang, doa tulus dan dorongan semangat. Secara khusus, penghargaan dan kebanggaan yang tak terhingga, dengan segala ketulusan penulis sampaikan kepada istri tercinta Dra. Rengganis Tienes atas segala doa, pengorbanan, kesabaran, pengertian, ketabahan, dan dorongan semangat yang telah diberikan secara tulus dan ikhlas selama penulis menempuh pendidikan. Kepada ananda Kharisma Andika Putra, penulis sampaikan agar prestasi yang telah penulis raih dapat dijadikan contoh dan memberikan inspirasi dalam menempuh pendidikan ananda lebih lanjut.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa dan alumni Sekolah Pascasarjana Program Studi Teknologi Industri Pertanian atas kerjasama dan kebersamaannya selama menempuh pendidikan. Secara khusus penghargaan penulis sampaikan kepada Dr. Mulya Riawan Mashudi, Dr. Ir. Halim Mahfud, Ir. Rony Wijaya atas segala pengetahuan, waktu dan saran yang disampaikan kepada penulis hingga penyelesaian disertasi ini. Kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang telah membantu penulis sampai selesainya desertasi ini, disampaikan terimakasih.

Penulis sangat menyadari bahwa desertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun demikian penulis berharap semoga desertasi ini dapat bermanfaat bagi yang berkepentingan, dan penulis berharap mendapatkan kritik atau saran dari semua pihak demi kesempurnaan desertasi ini.

(11)

Penulis dilahirkan di Bandung – Jawa Barat, pada tanggal 11 Maret 1956, putra Bapak Salya Wigena (Alm) dan Ibu Hj. Hernawati. Lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri III Bandung pada tahun 1974, penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Institut Teknologi Bandung, Jurusan Teknik Planologi, dan lulus pada tahun 1983. Sejak tahun 1991, penulis meneruskan pendidikan di International University of Japan – Niigata, Jepang dengan beasiswa dari pemerintah Indonesia, dan lulus medapatkan gelar Master of Arts dalam bidang Ekonomi Internasional pada tahun 1993. Pada tahun 1997, penulis mengikuti pendidikan Program Pascasarjana S-3 di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Setelah lulus sarjana S-1, penulis bekerja di beberapa perusahaan konsultan swasta yang bergerak di bidang perencanaan, Sejak tahun 1986, penulis bekerja di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan jabatan terakhir sebagai Kepala Biro Kepegawaian. Penulis pernah menjabat sebagai Staf pada Biro Industri, Pertambangan dan Tenaga Listrik (1986-1988), Staf pada Direktorat Industri dan Pertambangan (1988-1993), Staf pada Biro Industri dan Perdagangan (1994-1996), Staf pada Direktorat Industri, Perdagangan dan Pariwisata (1996-2002), dan Kepala Biro Perencanaan, Organisasi dan Tatalaksana (2002-2005).

(12)

DAFTAR ISI

halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

PENDAHULUAN ………... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 5

Ruang Lingkup ... 5

Manfaat Penelitian ... 6

TINJAUAN PUSTAKA ... 7

Struktur Perniagaan Minyak Goreng Kelapa Sawit ... 7

Gambaran Situasi Krisis Perniagaan Minyak Goreng Kelapa Sawit Nasional ... 17

Pendekatan Sistem ... 20

Sistem Penunjang Keputusan ... 21

Sub Sistem Manajemen Basis Data ... 23

Sub Sistem Manajemen Basis Model ... 24

Sub Sistem Pengolahan Dialog ... 24

Sistem Pakar ... 25

Akuisisi Pengetahuan ... 26

Basis Pengetahuan ... 27

Mekanisme Inferensi ... 28

LANDASAN TEORI ... 30

Sistem Deteksi Dini (Early Warning System) ... 30

Issue Management Technology (IMT) ... 34

Teknik Operasi OWA (Ordered Weighted Average)... 36

Analisa Resiko Batas Ambang (Treshold Risk Analysis) ... 37

Jaringan Syaraf Tiruan ... 40

Konsep Dasar JST ... 41

Arsitektur Jaringan ... 42

Fungsi Aktivasi ... 44

Lapisan JST (Layers) ... 49

Fungsi Pembelajaran (Learning Function) ... 50

(13)

METODOLOGI PENELITIAN ... 53

Kerangka Pemikiran ... 53

Tahapan Penelitian ... 57

Metoda Pengumpulan Data ... 58

Metoda Pengolahan Data ... 60

Metoda Pengembangan Sistem Pakar ... 61

Metoda Validasi dan Verifikasi Model ... 63

ANALISA SISTEM ... 64

Analisis Situasional ... ... 64

Pengaruh Nilai Tukar Terhadap Harga Minyak Goreng ... 64

Prospek Perkembangan Industri CPO dan Turunannya ... 66

Analisis Kebutuhan Sistem ... 72

Formulasi Permasalahan ... 74

Identifikasi Sistem ... 77

PERMODELAN SISTEM ... 81

Konfigurasi Model ... 81

Sistem Manajemen Basis Model ... 82

Sistem Manajemen Basis Data ... 96

Sistem Manajemen Basis Pengetahuan ... 98

Penggunaan Aplikasi Model Sistem Manajemen Ahli-DETRIME ... 100

VALIDASI DAN VERIFIKASI MODEL ... 103

Penentuan Variabel ... ... 103

Peramalan Harga ... 105

Arsitektur JST ... 105

Simulasi Hasil pada Model Peramalan ... 110

Penentuan Krisis ... 114

Manajemen Pengendalian Krisis ... 115

APLIKASI RANCANGAN MODEL ... 121

Sub-Model Penentuan Variabel ... 121

Sub-Model Peramalan Harga Eceran Minyak Goreng Kelapa Sawit ... 123

Arsitektur JST ... 123

Hasil Peramalan Harga Eceran Minyak Goreng Kelapa Sawit ... 126

Sub-Model Penentuan Krisis ... 133

(14)

Verifikasi dan Validasi Hasil MODEL DETRIME ... 139

Implikasi Kebijakan ... 145

KESIMPULAN DAN SARAN ... 151

Kesimpulan ... 151

Saran ... 152

DAFTAR PUSTAKA ... 154

(15)

DAFTAR TABEL

halaman

Tabel 1 Konsumsi Minyak Goreng Kelapa Sawit menurut

Segmen Pemakai, Tahun 1994 – 1999 ... 7 Tabel 2 Luas Areal dan Produksi Kebun Kelapa Sawit,

Tahun 1997 – 2005 ... 9 Tabel 3 Konsumsi Minyak Nabati Dunia,

Tahun 1994 – 2004 ... 10 Tabel 4 Volume, Nilai Ekspor Minyak Sawit dan Turunannya,

Tahun 1998 – 2004 ... 11 Tabel 5 Pekembangan Harga FOB CPO dan Minyak Goreng

Kelapa Sawit di Tiga Negara Konsumen Terbesar ... 11 Tabel 6 Jumlah Perusahaan dan Kapasitas Produksi Industri

Minyak Goreng Kelapa Sawit, Tahun 2004 ... 12 Tabel 7 Struktur Harga Minyak Goreng Kelapa Sawit Curah ... 13 Tabel 8 Pangsa Konsumsi CPO di Indonesia,

Tahun 1995 – 2005 ... 14 Tabel 9 Komposisi Nilai Tambah Dalam Struktur Harga

Minyak Goreng, Menurut Rantai Distribusi ... ... 16 Tabel 10 Perkembangan Harga Minyak Goreng Eceran (non-kemasan)

di Indonesia Tahun 1995 – 2003 ... 17 Tabel 11 Perkembangan Kebijakan Pemerintah untuk Stabilisasi

Harga CPO dan Minyak Goreng ... 19 Tabel 12 Perbedaan Perangkat Lunak Sistem Pakar

dan Konvensional ... 26 Tabel 13 Masalah Organisasi dalam Penerapan

Sistem Deteksi Dini ... 33 Tabel 14 Matriks Perihal ... 35 Tabel 15 Perkembangan Harga Rerata Minyak Goreng Sawit

dan Nilai Tukar Dolar Amerika, Tahun 1997 – 1999 ... 65 Tabel 16 Perkiraan kebutuhan CPO untuk Industri Turunan

Minyak Sawit, sampai dengan Tahun 2010 ... 70 Tabel 17 Road-map Penyediaan dan Pemanfaatan Bio-diesel

Tahun 2006 – 2009 ... 71 Tabel 18 Proses Penentuan Variabel ... 104 Tabel 19 Simulasi Model untuk Pola Data (70/30) dan

(16)

Tabel 20 Simulasi Model untuk Pola Data (70/30) dan

Rentang Data (-1,0) ...111 Tabel 21 Simulasi Model untuk Pola Data (70/30) dan

Rentang Data (-1,1) ...112 Tabel 22 Simulasi Model untuk Pola Data (80/20) dan

Rentang Data (0,1) ...112 Tabel 23 Simulasi Model untuk Pola Data (80/20) dan

Rentang Data (-1,0) ...113 Tabel 24 Simulasi Model untuk Pola Data (80/20) dan

Rentang Data (-1,1) ...114 Tabel 25 Matriks Perihal Solusi Krisis ... 118 Tabel 26 Variabel Penentu Harga... 121 Tabel 27 Hasil Pembelajaran dan Pengujian Data Input untuk

Prediksi 1 bulan kedepan... 127 Tabel 28 Hasil Pembelajaran dan Pengujian Data Input untuk

Prediksi 2 bulan kedepan... 128 Tabel 29 Hasil Pembelajaran dan Pengujian Data Input untuk

Prediksi 3 bulan kedepan... 129 Tabel 30 Bobot Hidden Layer dan Output Layer, Rentang Data ( 0,1 ).. 130 Tabel 31 Nilai variabel Penentu Harga Eceran Minyak Goreng

(17)

DAFTAR GAMBAR

halaman

Gambar 1 Jalur Distribusi Minyak Goreng di Daerah

Produsen ... 15

Gambar 2 Jalur Distribusi Minyak Goreng di Daerah Non Produsen ... 16

Gambar 3 Struktur Dasar Sistem Penunjang Keputusan ... 23

Gambar 4 Struktur Dasar Sistem Ahli ... 27

Gambar 5 Siklus Krisis ... 30

Gambar 6 Siklus Deteksi Dini ... 32

Gambat 7 Peta Kontrol ... 38

Gambar 8 Neuron ... 41

Gambar 9 Neuron sebagai Elemen Pemroses ... 42

Gambar 10 Elemen Pemrosesan dengan Input ... 44

Gambar 11 Fungsi Undak Biner ... 45

Gambar 12 RampingFunction ... 46

Gambar 13 Fungsi Sigmoid Biner ... 46

Gambar 14 Fungsi Sigmoid Bipolar ... 47

Gambar 15 Fungsi Sigmoid Simetris ... 47

Gambar 16 Fungsi Hyperbolic Tangent ... 48

Gambar 17 Fungsi Gauss ... 48

Gambar 18 Lapisan JST ... 49

Gambar 19 Kerangka Deteksi Dini Harga Minyak Goreng Kelapa Sawit ... 54

Gambar 20 Alur Pikir Deteksi Dini dan Manajemen Kontrol Perniagaan Minyak Goreng Kelapa Sawit ... 56

Gambar 21 Diagram Alur Deskriptif Tahapan Penelitian ... 59

Gambar 22 Diagram Lingkar Sebab-Akibat Sistem Manajemen Kritis Perniagaan Minyak Goreng Kelapa sawit ... 79

Gambar 23 Diagram Input-Output Sistem Manajemen Krisis Perniagaan Minyak Goreng Kelapa Sawit Nasional ... 80

Gambar 24 Konfigurasi Model Sistem Manajemen Ahli-DETRIME ... 82

Gambar 25 Diagram Alir Model Pemilihan Variabel ... 84

(18)

halaman

Gambar 27 Penentuan Struktur Jaringan ... 87

Gambar 28 Input x dalam Input Layer ... 89

Gambar 29 Elemen Pemrosesan dalam Hidden Layer ... 90

Gambar 30 Elemen Pemrosesan dalam Output Layer ... 91

Gambar 31 Proses Pembelajaran dalam Jaringan Propagasi Balik ... 92

Gambar 32 Sub-Model Penentuan Keadaan Krisis ... 94

Gambar 33 Sub-Model Kebijakan ... 97

Gambar 34 Arsitektur Propagasi Balik JST ... 106

Gambar 35 Diagram Hipotesis Struktur Jaringan ... 109

Gambar 36 Konfigurasi Model Sistem Manajemen Ahli-DETRIME ... 122

Gambar 37 Struktur JST dalam Model Peramalan …… ……….… 125

Gambar 38 Proses Pembelajaran dan Pengujian pola data JST untuk prediksi 1 (satu) bulan kedepan...127

Gambar 39 Proses Pembelajaran dan Pengujian pola data JST untuk prediksi 2 (dua) bulan kedepan...128

Gambar 40 Proses Pembelajaran dan Pengujian pola data JST untuk prediksi 3 (tiga) bulan kedepan...129

Gambar 41 Tampilan Halaman Input Variabel pada Modul Kebijakan ...136

Gambar 42 Tampilan Halaman Output Variabel (Strategi) pada Modul Kebijakan ... 137

Gambar 43 Tampilan Halaman Dialog Skenario Rule Base pada Modul Kebijakan ... 138

Gambar 44 Tampilan Halaman Rekapitulasi Hasil Konsultasi pada Modul Kebijakan ... 138

Gambar 45 Nilai Pembelajaran, Nilai Aktual Prediksi, dan Nilai Peramalan Harga pada bulan Januari 2006 ...141

Gambar 46 Nilai Pembelajaran, Nilai Aktual Prediksi, dan Nilai Peramalan Harga pada bulan Februari 2006 ...142

(19)

Minyak goreng (frying oil) kelapa sawit merupakan produk industri yang termasuk dalam kelompok nomenklatur perdagangan RBD (Refined, Bleached and Deodorized) Olein, yang merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang dibutuhkan masyarakat. Komoditi ini telah berkembang sedemikian rupa sehingga menjadi komoditi strategis yang tidak hanya menjadi bahan makanan masyarakat, namun telah menjadi kebutuhan pokok, sebagai input penolong, bagi industri-industri makanan, jasa restoran, dan hotel yang sedang berkembang pesat saat ini. Konsumen minyak goreng ini meliputi seluruh lapisan masyarakat, baik dari aspek tingkat pendapatan maupun dari aspek penyebarannya, desa dan kota (Risindo 2001). Kontribusi pertumbuhan industri pengolahan makanan dalam dua tahun terakhir menunjukan peningkatan yang cukup besar, yaitu rata-rata sebesar 4,6% (Depperin 2005). Industri minyak goreng kelapa sawit (RBDO) sangat terkait erat dengan industri minyak kelapa sawit kasar atau crude palm oil (CPO) sebagai bahan baku utama.

Industri CPO memiliki peran yang sangat strategis dalam perekonomian nasional. Selain menjadi andalan ekspor sektor industri pengolahan non-migas dalam menghasilkan devisa negara, industri ini mempunyai kontribusi besar dalam pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja di dalam negeri. Sampai saat ini, 70% produksi CPO nasional diperuntukan bagi pemenuhan pasar ekspor (Depperin 2005). Volume ekspor komoditas ini pada tahun 2005 adalah sekitar 8.9 juta ton dengan devisa yang dihasilkan senilai US$ 3,64 miliar. Tingkat pertumbuhan nilai ekspornya selama lima tahun terakhir rata-rata sebesar 22% per tahun (Depperin 2006).

(20)

11,1% pada tahun 1997 menjadi sekitar 77% pada tahun 1998 (BI 1999), dan jumlah pengangguran terbuka meningkat dari 4,7 juta orang pada tahun 1997, menjadi 5,5 juta orang pada tahun 1998. Tingkat pendapatan perkapita rata-rata menurun dari US$ 916 pada tahun 1997 menjadi US$ 450 pada tahun 1998. Menurunnya kualitas kondisi ekonomi makro tersebut menyebabkan timbulnya kerusuhan sosial di beberapa tempat, dan secara langsung telah menyebabkan kelangkaan pasokan kebutuhan pokok masyarakat.

Penurunan nilai tukar Rupiah disatu sisi memberikan peluang besar kepada industri berbasis sumberdaya alam untuk memperluas pangsa pasarnya dengan melakukan ekspor (Depperindag 2002), namun di sisi lain penurunan nilai tukar mata uang rupiah, serta akibat peningkatan harga akibat tingkat inflasi yang terus meninggi, telah memberikan dampak serius pada penurunan tingkat daya beli masyarakat. Sebagai salah satu contoh nyata dampak yang dirasakan dalam pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat adalah peningkatan harga minyak goreng pada pertengahan tahun 1998 meningkat tajam lebih dari 300 persen dalam tempo kurang dari 3 bulan. Selain itu jumlah pasokan di pasaran sangat kurang sehingga terjadi pembatasan jumlah pembelian oleh konsumen. Salah satu penyebab terjadinya krisis ini adalah kurangnya pasokan Crude Palm Oil (CPO) sebagai bahan baku utama minyak goreng dalam negeri (CIC, 2001). Sebagai bahan baku utama minyak goreng, dampak yang timbul akibat kurangnya sediaan CPO akan mempengaruhi stabilitas ekonomi dalam negeri. Sebagai akumulasi dampak, pasokan minyak goreng akan menjadi sangat terbatas di semua tempat sehingga menyebabkan kepanikan pembelian oleh konsumen mengingat konsumennya meliputi seluruh lapisan masyarakat.

(21)

kurangmya pemahaman yang komprehensif terhadap dampak yang timbulkan dari setiap kebijakan yang diambil. Diantara kebijakan pemerintah yang sering dinilai sering kontroversial adalah penerapan kebijakan alokasi kuota, dan pajak ekspor CPO. Penerapan kebijakan tersebut memang ditujukan untuk menjamin pasokan CPO di pasar domestik dalam rangka menekan inflasi dan stabilisasi harga minyak goreng agar dapat dijangkau konsumen lokal. Namun kebijakan ini terbukti tidak begitu efektif dan tidak sertamerta menjamin terpenuhinya pasokan CPO di dalam negeri, dan sebaliknya, tingginya penerapan pajak ekspor CPO memberikan banyak bukti terjadinya praktek-praktek ilegal seperti pencampuran dan penyelundupan CPO ke luar negeri.

Komplikasi dampak akibat krisis ekonomi yang berlangsung sejak pertengahan tahun 1997 tersebut telah memberikan pelajaran penting dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya keberadaan sistem deteksi dini (early warning system) dalam manajemen pengelolaan komoditi penting masyarakat. Keberadaan sistem deteksi dini dapat membantu stakeholder mengantisipasi keadaan yang sangat buruk, sehingga biaya yang ditimbulkan akan lebih murah, baik biaya ekonomi maupun biaya sosial. Dengan adanya deteksi dini, pemerintah dapat mengambil kebijakan memanfaatkan sebesar mungkin jika itu peluang, dan menanggulangi seminimal mungkin jika itu ancaman. Yang tidak kalah penting adalah dapat mencegah masyarakat panik karena ketidak tahuan, sehingga mengambil tindakan yang tidak rasional.

(22)

dalam pengelolaan komoditi strategis masyarakat, khususnya komoditi minyak goreng.

Dilain pihak, terjadinya krisis penyediaan minyak goreng kelapa sawit baik untuk industri pengolahan dalam negeri serta masyarakat langsung sebagai konsumen merupakan salah satu bukti nyata kegagalan pihak pemerintah dalam mengelola sistem perniagaan minyak goreng kelapa sawit secara nasional. Salah satu faktor yang menjadi kelemahan ini adalah ketidakmampuan para pengelola kebijakan dalam melakukan prediksi keadaan dimasa mendatang. Hal ini disebabkan oleh kegagalan perangkat (tools) ’konvensional’ dalam melakukan prediksi yang dibangun menggunakan model-model statistik dengan asumsi-asumsinya. Ketidakmampuan sistem yang digunakan dalam melakukan prediksi tersebut juga disebabkan karena sistem yang dibangun tidak mampu menterjemahkan keadaan krisis secara jelas sesuai dengan dunia nyata (real world), serta kurang sinkronnya tindakan yang diambil para pengambil keputusan dalam menangani krisis.

(23)

tidak terpisahkan dalam perancangan sistem manajemen ahli penanggulangan keadaan krisis secara keseluruhan.

Rancangan model yang dihasilkan akan diterapkan pada situasi yang berjalan sebagai bagian dari proses verifikasi model. Selanjutnya dalam bagian akhir penelitian dibahas implikasi kebijakan yang sebagai langkah antisipasi penanggulangan dampak negatif dari kebijakan yang diambil pada situasi krisis, khususnya pada keadaan bahaya. Dengan demikian, implikasi dari kebijakan yang diambil, diharapkan dapat menjadi solusi yang optimal dalam penyediaan minyak goreng, baik dari segi kuantitas maupun harga, untuk para stakeholder.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas, tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan model sistem deteksi dini (early warning system) keadaan krisis dan sistem pakar manajemen kontrol yang tercakup dalam Sistem Manajemen Ahli yang dapat digunakan oleh para pengambil keputusan dalam proses penentuan kebijakan penangnan krisis perniagaan minyak goreng kelapa sawit untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Ruang Lingkup

(24)

insentif investasi, inovasi teknologi, pengawasan stok CPO dalam negeri, kampanye hemat, penyediaan subsidi, penelitian dan pengembangan alternatif CPO.

Manfaat Penelitian

Hasil akhir dari penelitian adalah rekayasa model sistem manajemen ahli yang terdiri atas model-model sistem penunjang keputusan deteksi dini (early warning system) dan sistem pakar manajemen kontrol perniagaan minyak goreng kelapa sawit. Manfaat langsung yang diharapkan dari terbentuknya model ini adalah dapat membantu para pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan, khususnya pada tataran birokrasi pemerintah, agar dapat bertindak cepat dan tepat (akurat) dalam mengantisipasi keadaan krisis yang mungkin akan terjadi dimasa mendatang, serta akan lebih cepat dan akurat dalam menganalisis fenomena yang berkembang di masa mendatang. Selain itu, manfaat lainnya yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: tersedianya model prediksi ‘pendugaan awal’ untuk sistem tata niaga minyak goreng kelapa sawit, yang dapat memenuhi kebutuhan industri dalam negeri, maupun permintaan pasaran ekspor; dan, membantu para pengambil kebijakan untuk penyusunan kerangka kebijakan perdagangan minyak goreng di masa mendatang

(25)

Pemakaian minyak goreng berbasis kelapa sawit mulai meluas sejak akhir 1980-an. Di masa lalu, minyak goreng diperoleh dari pengolahan minyak kelapa (coconut oil). Namun sejak penerapan teknologi kimia modern pada tahun 1978, seperti pemurnian (refining) dan fraksinasi, posisi kelapa sawit mulai menggantikan posisi kelapa sebagai bahan baku produksi minyak goreng (Tondok 1998). Penggunaan kelapa sawit menjadi bahan baku utama terus meningkat terutama setelah krisis produksi kopra pada tahun 1980.

Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan PT. Riset Indonusa Prima (Risindo) tahun 2000, segmentasi konsumen minyak goreng kelapa sawit di Indonesia dari tahun 1994-1999 didominasi oleh rumah tangga, yang meliputi 81,01% dari seluruh konsumsi, dan sisanya digunakan oleh industri pengolahan makanan, rumah makan, dan jasa boga. Mengingat bahwa sampai saat ini belum ada penelitian lain yang dapat digunakan sebagai referensi dalam menggambarkan segmentasi terkini pemakaian minyak goreng di Indonesia, maka asumsi pola konsumsi ini akan digunakan lebih lanjut dalam penelitian yang dilakukan.

Tabel 1 Konsumsi Minyak Goreng Kelapa Sawit menurut Segmen Pemakai, Tahun 1994 - 1999

Penggunaan (dalam - %)

No. Segmen Pemakai

1994 1995 1996 1997 1998 1999

Rata-rata (%)

1. Rumah Tangga 83,04 81,43 82,17 79,39 80,72 78,94 81,01

2. Industri Pengolahan Makanan

-Mie, sohun, bihun dan Bumbunya

- Roti, kue kering, kue

basah 5,63 6,45 6,41 8,22 7,12 8,82 7,09

-Kerupuk dan sejenis- nya

- Pengalengan ikan - Pengolahan lain-nya

3. Rumah makan dan jasa boga

11,33 12,12 11,42 12,39 12,16 12,24 11,90

(26)

Sistem usaha minyak goreng sawit mencakup 3 kegiatan pokok yang saling berkaitan erat antara satu kegiatan dengan yang lainnya, yaitu : (1) kegiatan penyediaan bahan baku, yaitu industri pengolahan CPO sebagai bahan baku utama minyak goreng kelapa sawit; (2) industri pengolahan minyak goreng; dan, (3) kegiatan perniagaan, termasuk kegiatan ekspor dan impor.

Dari aspek bahan baku minyak goreng kelapa sawit, ketersediaan CPO merupakan faktor strategis dalam perannya sebagai input utama produksi minyak goreng sawit. Produk CPO dan derivatifnya (palm kernel oil, palm oil cake, margarine, dan oleochemical) tidak hanya dibutuhkan di dalam negeri namun juga diminati di pasar internasional. Hal ini telah mendudukan Indonesia sebagai peringkat ke 2 negara eksportir CPO setelah Malaysia (CIC 2001).

Lahan perkebunan kelapa sawit saat ini tersebar di 16 propinsi dan 52 kabupaten. Data dari Ditjen Perkebunan (2005) menunjukkan bahwa lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia pada tahun 2005 mencakup areal seluas 5,3 juta Ha, dengan produksi tandan buah segar (TBS) sekitar 64 juta ton. Seiring dengan meningkatnya permintaan pasar, pengusahaan lahan perkebunan juga terus meningkat. Dalam kurun waktu tahun 1987 – 2005, peningkatan luas lahan perkebunan naik rata-rata sebesar 7.1% per tahun. Berdasarkan pola pengusahaan-nya, lahan perusahaan besar swasta (PBS) merupakan mayoritas yakni meliputi sekitar 52,79%, disusul luas areal perkebunan rakyat (PR) sebesar 34,89%, dan perkebunan besar negara (PBN) hanya menguasai lahan seluas 12,32% dari total areal kebun sawit secara nasional.

(27)

Tabel 2 Luas Areal dan Produksi Kebun Kelapa Sawit, Tahun 1997 – 2005

Luas Kebun (Ha) Produksi CPO (ton) *)

Tahun

Rakyat Swasta PBN Total Rakyat Swasta PBN Total

1997 813.175 1.592.057 517.064 2.922.296 1.282.823 2.578.806 1.586.879 5.448.508

1998 890.506 2.113.050 556.640 3.560.196 1.344.569 3.084.099 1.501.747 5.930.415

1999 1.041.046 2.283.757 576.999 3.901.802 1.547.811 3.438.830 1.468.949 6.455.590

2000 1.166.758 2.403.194 588.125 4.158.076 1.905.653 3.633.901 1.460.954 7.000.508

2001 1.561.031 2.542.457 609.943 4.713.431 2.798.038 4.079.145 1.519.289 8.396.472

2002 1.808.424 2.627.069 631.565 5.067.058 3.426.738 4.587.873 1.607.734 9.622.345

2003 1.827.844 2.765.504 645.823 5.239.171 3.651.276 4.630.424 1.535.415 9.817.215

2004 1.846.122 2.793.159 652.281 5.291.562 4.568.008 5.798.104 1.933.889 12.300.000

2005 1.864.584 2.821.091 658.804 5.344.479 4.753.696 6.033.802 2.012.502 12.800.000

∆Rata-rata 9,49 6,60 2,97 7,11 14,61 9,88 2,59 9,94

Sumber: Komisi Minyak Sawit Indonesia, 2006 Catatan : *) Konversi 1 ton TBS = 0,2 ton CPO

Sejalan dengan peningkatan luas kebun, perkembangan produksi CPO meningkat pesat sejak akhir tahun 1990an. Volume produksi CPO meningkat dua kali dalam waktu kurang dari satu dekade terahir.Pertumbuhan produksi CPO meningkat rata-rata 10% dalam setiap tahun. Kontribusi terbesar diberikan oleh PBS yang meliputi 47,12% dari total produksi CPO nasional, sedangkan PBN hanya memiliki 15,72%. Kendala terbesar dalam pengembangan produksi CPO nasional, antara lain : produktivitas tanaman sawit masih rendah (12,8 ton/ha) dibandingkan Malaysia (15,2 ton/ha) ; masih kurangnya pabrik pengolahan CPO, berakibat masih banyaknya jumlah TBS dari PR yang tidak terolah, seperti di daerah Jambi, Bengkulu, Sumsel, Kaltim, dan Papua (Depperin 2006).

(28)

Tabel 3 Konsumsi Minyak Nabati Dunia, Tahun 1994 – 2004

Jenis Minyak Nabati - (dalam juta ton)

Tahun

Kedelai K. Sawit Canola Bg Mt. Hari

Biji

Kapas Kelapa Olive Jagung

1994 18,71 14,53 n.a. n.a. n.a. n.a. n.a. n.a.

1995 19,61 14,71 10,37 8,50 3,88 3,19 1,90 1,78

1996 20,39 16,05 11,61 8,77 4,16 2,96 1,99 1,87

1997 21,46 17,59 11,69 9,33 4,08 3,07 2,32 1,83

1998 23,69 17,61 12,22 8,57 4,10 3,12 2,45 1,88

1999 24,45 19,47 13,04 9,14 3,90 2,72 2,47 1,91

2000 25,17 21,75 14,28 9,47 3,87 3,00 2,68 1,99

2001 26,42 23,73 15,06 9,61 3,85 2,99 2,79 2,05

2002 27,71 25,81 15,89 9,76 3,82 2,98 2,92 2,12

2003 29,14 28,21 16,77 9,90 3,79 2,95 3,05 2,18

2004 30,62 30,70 17,69 10,05 3,77 2,94 3,18 2,25

Laju Pertum-

buhan (%) 5,4 6,9 5,5 10,4 4,2 3,3 2,9 2,2

Sumber: Oil World 2005 (diolah)

Potensi minyak goreng kelapa sawit Indonesia masih mempunyai peluang yang besar untuk dapat mengisi pasar internasional, namun demikian kestabilan jumlah pasokan dan stabilitas harga minyak goreng di dalam negeri masih perlu dijaga sehingga tidak menimbulkan gejolak di masyarakat. Laju rata-rata permintaan CPO Indonesia di pasar luar negeri yang cenderung meningkat. Sekitar 74% produksi CPO dan RBDO dalam negeri diperuntukan bagi pasar ekspor (Tabel 4), namun nilai tambah yang dihasilkan dari industri pengolahan kelapa sawit dalam negeri masih relatif rendah (Deperin 2005a). Selama periode 1998-2004 volume ekspor CPO tumbuh rata-rata sekitar 29%. Negara pengimpor terbesar produk CPO Indonesia adalah Cina, Uni Eropa, dan India.

(29)

Tabel 4 Volume, Nilai Ekspor Minyak Sawit dan Turunannya, Tahun 1998 – 2004

Volume (ribu ton) Nilai (ribu US$)

Tahun

CPO M.Gr Lain*) Total CPO M.Gr Lain*) Total

1998 403,8 1.075,4 1.076,9 2.556,10 220.634 524.643 611.608 1.356.885,00

1999 865,4 2.433,6 1.021,5 4.320,50 269.987 844.255 526.143 1.640.385,00

2000 1.871,7 2.292,4 999,0 5.163,10 476.438 610.840 399.174 1.486.452,00

2001 1.849,1 3.054,1 987,9 5.891,10 406.409 674.497 269.110 1.350.016,00

2002 2.804,8 3.528,9 1.132,4 7.466,10 891.999 1.200.405 402.891 2.495.295,00

2003 2.892,1 3.494,3 1.030,4 7.416,80 1.062.215 1.392.411 414.007 2.868.633,00

2004 3.967,0 5.029,3 1.481,4 10.477,70 1.517.925 2.117.075 794.540 4.429.540,00

∆Rata-rata 28,34 19,60 4,09 19,86 24,14 16,82 -2,10 15,16

Sumber: Komisi Minyak Sawit Indonesia, 2005

Catatan : *) terdiri atas palm kernel oil, palm oil cake, margarine, dan oleochemical

Harga FOB di 3 negara tujuan ekspor utama berbeda ditiap negara tujuan lainnya, hal ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik pasar dan faktor resiko distribusi disetiap negara tujuan. Meskipun Indonesia merupakan produsen utma CPO/PKO dan RBDO bersama Malaysia, namun kedua negara ini tidak cukup memiliki posisi tawar penentu harga di pasar internasional (Deperin 2005 b). Selain itu munculnya negara-negara pesaing baru seperti Nigeria, Vietnam, dan Papua Nugini; serta hambatan non-tarif dari beberapa negara pengimpor menjadi kendala utama dalam pengembangan produk pengolahan sawit nasional.

Tabel 5 Perkembangan Harga FOB CPO dan Minyak Goreng Kelapa Sawit di Tiga Negara Konsumen Terbesar

dalam US$ per Kg

Komoditi Negara

1997 1999 2001

India 0,50 0,37 0,22

Cina 0,51 0,34 0,22

Minyak Goreng

Belanda 0,41 0,30 0,20

India 0,48 0,33 0,22

Cina 0,50 0,28 0,22

CPO

Belanda 0,48 0,29 0,23

(30)

Dari aspek produksi, tingkat utilisasi rata-rata kapasitas produksi industri minyak goreng di Indonesia masih rendah, yakni meliputi sekitar 31 persen dari total kapasitas terpasang (Depperindag, 2003). Selain itu, produsen minyak goreng terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sumatera. Rendahnya utilisasi kapasitas produksi terutama dipengaruhi oleh lemahnya keterkaitan logistik, sebagai akibat belum terintegrasinya produksi dalam satu sistem industri dari hulu ke hilir. Dengan melihat permintaan konsumsi minyak nabati dunia produksi industri pengolahan minyak goreng kelapa sawit masih dapat didorong lebih tinggi lagi, namun demikian diperlukan upaya pemerintah untuk dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi industri pengolahan ini secara lebih terintegrasi.

Tabel 6 Jumlah Perusahaan dan Kapasitas Produksi Industri Minyak Goreng Kelapa Sawit, tahun 2004

Tahun 2004 No. Propinsi

Jml. Pers Kapasitas (ton)

1. Sumatera Utara 26 1.992.857

2. Sumatera Barat 1 33.000

3. Sumatera Selatan 3 157.000

4. Riau 3 299.000

5. Jambi 1 45.000

6. Lampung 3 132.000

7. DKI. Jakarta 16 1.500.000

8. Jawa Barat 5 609.660

9. Jawa Tengah 1 60.000

10. Jawa Timur 9 914.100

11. Kalimantan Barat 2 55.355

J u m l a h 70 5.798.631

Sumber : Depperindag

(31)
[image:31.595.134.466.125.500.2]

Tabel 7 Struktur Harga Minyak Goreng Kelapa Sawit Curah

Deskripsi Biaya % - perkilogram

Harga Jual 100,00

A. Biaya produksi 97,43

Biaya bahan baku 90,00 Biaya tenaga kerja 0,17 Biaya overhead produksi 4,02 Biaya gudang proses 0,11 Biaya gudang pengepakan 3,13

B. Biaya lain-lain 2,18

- Biaya-biaya perniagaan 1,15 Biaya ekspor 0,44 Biaya distribusi 0,64 Biaya pemasaran & iklan 0,06 Biaya pemeliharaan 0,01

- Biaya-biaya umum 1,03 Biaya pegawai 0,56 Tunjangan pensiun 0,15 Administrasi umum 0,16 Administrasi perkantoran 0,10 Depresiasi 0,06

C. Margin operasional 0,39

(32)

Indonesia yang bersifat kepulauan turut mempengaruhi pula perbedaan harga antara satu wilayah dengan wilayah lain. Besaran harga bisa berbeda di setiap tingkatan jalur distribusi mulai di tingkat grosir (wholesaler) hingga ke pengecer.

Perniagaan minyak goreng sawit di Indonesia tidak terlepas dari posisi bahan baku CPO di pasar. Hal ini karena CPO sebagai salah satu kontributor penting dalam produksi minyak goreng sawit, khususnya untuk memenuhi permintaan pasar lokal. Tabel 8 menunjukkan korelasi yang kuat antara industri CPO dengan industri minyak goreng di Indonesia. Sekitar 71,1% pangsa produk CPO diserap oleh industri minyak goreng. Dengan demikian, bila terjadi ketidakstabilan pasokan pada industri CPO maka akan berdampak langsung pada ketidakstabilan/ fluktuasi pada industri minyak goreng dalam negeri. Sementara itu, produk CPO juga sangat diperlukan oleh industri hilir lainnya, khususnya sebagai bahan baku bagi produk-produk kebutuhan rumah tangga lainnya seperti margarin, sabun, detergen,dan lain sebagainya. Kebutuhan CPO di dalam negeri diperkirakan akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah rumah tangga di Indonesia beberapa tahun terakhir ini.

Tabel 8 Pangsa Konsumsi CPO di Indonesia, Tahun 1995 - 2005 Volume ( dalam ton)

Tahun

Minyak Goreng Margarin Sabun Oleokimia Total

1995 2.014.062 93.440 140.686 383.440 2.631.655 1996 2.382.712 102.000 144.549 464.869 3.094.156 1997 2.860.862 109.360 148.327 435.479 3.554.049 1998 3.289.705 115.360 152.859 408.508 3.966.449 1999 3.160.673 144.105 154.258 458.315 3.917.336 2000 3.318.708 118.668 157.174 514.195 4.108.756 2001 3.484.644 124.602 160.146 576.888 4.346.291 2002 3.658.876 130.832 163.176 647.225 4.600.231 2003 3.910.656 324.333 368.578 552.184 5.155.764 2004 4.086.763 342.171 381.479 550.493 5.360.919 2005 4.257.181 360.991 394.830 533.795 5.546.797

Rata-rata 7,02 9,84 7,72 2,70 7,06

Sumber: Komisi Minyak Sawit Indonesia, 2005

(33)

satu perusahaan pemasaran yang bukan produsen untuk melayani kebutuhan nasional masyarakat. Keadaan ini menyebabkan keseimbangan permintaan – penawaran yang tidak stabil dan berakibat pada peningkatan harga. Berlainan dengan komoditi strategis lainnya, misalnya beras, pemerintah tidak dapat mengatur langsung jumlah persediaan minyak goreng di dalam negeri. Hal ini menjadi tantangan yang perlu dicari solusinya, agar ditemukan pola terbaik untuk diterapkan untuk mengatur sistem pengendalian persediaan minyak goreng sawit khususnya untuk memenuhi kebutuhan pasar di dalam negeri.

[image:33.595.99.522.130.777.2]

Untuk penyaluran di dalam negeri, saat ini terdapat lebih dari 12 grup pemasaran produsen minyak goreng sawit, baik yang dimiliki pemerintah (BUMN) maupun swasta. Masing-masing grup memiliki anggotanya sendiri dan bertindak sebagai agen pemasaran atau distributor dari minyak goreng produksi anggotanya. Perusahaan lain yang tidak tercatat dalam grup atau pada Kantor Pemasaran Bersama (KPB), melakukan pemasaran produknya sendiri dengan volume produksi berdasarkan kontrak jual beli dengan konsumen. Perbedaan jalur distribusi pemasaran di daerah yang mempunyai produsen minyak goreng kelapa sawit, dan jalur distribusi di daerah non produsen dapat dijelaskan dalam Gambar 1 dan Gambar 2.

P R O D U S E N

Group Pemasaran

Pedagang Besar

Distributor

Makelar

Pedagang Besar Propinsi Lainnya

Agen

Lainnya Pengecer Konsumen

(34)

Produsen Propinsi Lainnya

Pedagang Besar

Pedagang Besar Propinsi Lainnya

Pedagang

[image:34.595.75.526.42.723.2]

Menengah Pengecer Konsumen

Gambar 2 Jalur Distribusi Minyak Goreng di Daerah Non Produsen (CIC 20001)

Produsen swasta skala besar umumnya memiliki distributor sendiri yang tergabung dalam kelompok usahanya sehingga harga jual di tingkat distributor sering ditentukan langsung oleh produsennya. Dalam kebijakan harga jual (pricing policy), pihak distributor memberikan harga jual yang berbeda pada setiap level distribusi. Perbedaan harga ini merupakan margin dari distributor untuk tiap level. Menurut Risindo (2000), nilai tambah maksimum pada rantai distribusi dipengaruhi oleh tingkat konsumsi dari produk yang dipasarkan. Secara umum polanya ditunjukkan sebagai berikut :

Tabel 9 Komposisi Nilai Tambah dalam Struktur Harga Minyak Goreng, menurut Rantai Distribusi

dalam - %

Nilai Tambah Porsi Harga

Produsen 90

Dari Distibutor/grup

pema-saran ke Grosir max 3%

Dari Grosir ke Pengecer max 7%

Konsumen 100

(35)

Gambaran Situasi Krisis

Perniagaan Minyak Goreng Sawit Nasional

Sejak awal 1970-an hingga sekarang telah terjadi beberapa kali krisis harga minyak goreng, namun krisis harga paling dramatis terjadi pada periode pertengahan tahun 1997 hingga akhir tahun 1998. Krisis tersebut terjadi pada periode bulan Juni 1997 sampai dengan bulan Sepetember 1998 utamanya disebabkan oleh kurangnya pasokan CPO. Menurut Murtianik (2001), kekurangan pasokan CPO diduga karena dua hal, pertama karena meningkatnya harga CPO di tingkat internasional yang mendorong produsen CPO untuk mengejar devisa melalui ekspor daripada mengolahnya menjadi minyak goreng; dan kurangnya transparansi alokasi CPO ke pabrik-pabrik minyak goreng.

Tabel 10 Perkembangan Harga Minyak Goreng Eceran (non-kemasan) di Indonesia Tahun 1995 – 2003

(dalam Rp./Kg.) Tahun

Bulan

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003

JAN 1.249 1.402 1.495 3.785 4.380 3.545 3.116 4.252 4.899

FEB 1.331 1.402 1.496 5.158 4.572 3.418 3.031 4.262 4.882

MAR 1.346 1.410 1.494 5.267 4.462 3.413 3.146 4.271 4.823

APR 1.340 1.431 1.494 5.778 4.573 3.623 3.315 4.119 4.714

MEI 1.345 1.443 1.496 5.959 4.687 3.544 3.413 4.109 4.599

JUN 1.322 1.451 1.495 6.414 4.146 3.452 3.362 4.304 4.671

JUL 1.354 1.454 1.494 6.834 3.667 3.528 3.929 4.365 4.566

AGT 1.368 1.467 1.503 6.512 3.756 3.446 4.021 4.368 4.568

SEP 1.366 1.488 1.496 6.130 4.204 3.325 3.648 4.405 4.576

OKT 1.357 1.492 1.607 5.021 4.053 3.500 3.500 4.399 4.656

NOP 1.375 1.489 1.604 4.269 3.629 3.873 3.873 4.565 N/a

DES 1.381 1.489 1.652 4.262 3.597 3.972 3.972 4.681 N/a

Sumber : Deperindag (diolah)

(36)

potensial mengalami hambatan transportasi maupun distribusi, lonjakan harga yang terjadi bahkan sangat drastis, bahkan di Jayapura dan Merauke, harga jual minyak goreng sawit perkilogram nya mencapai harga Rp.12.500. Pada periode ini, harga minyak goreng melonjak tinggi, namun ketersediaan pasokan komoditas ini di tingkat pengecer menjadi langka, sehingga dibeberapa tempat menimbulkan kepanikan konsumen. Kenaikan ini selain disebabkan peningkatan harga jual pabrik, juga dikarenakan tidak lancarnya arus pendistribusian dari produsen ke pasar (Data Consult 1998).

Upaya yang ditempuh pemerintah untuk stabilisasi harga minyak goreng cukup beragam dan dinamis, dan diberlakukan sesuai dengan perkembangan permasalahan yang terjadi. Berdasarkan data pemberlakuan kebijakan pemerintah dalam pengamanan harga dan persediaan minyak goreng dalam negeri yang diambil pada periode tahun 1997 – 1998, kebijakan yang diambil pemerintah selalu terkait dengan posisi CPO. Kebijakan tersebut berupa: penetapan alokasi CPO bagi kebutuhan dalam negeri; penetapan harga CPO untuk penjualan dalam negeri; pembatasan untuk melakukan kegiatan ekspor CPO; penetapan pajak ekspor CPO; dan tindakan operasi pasar minyak goreng. Tabel 11 memperlihatkan uraian kebijakan yang ditempuh Pemerintah saat terjadinya krisis ekonomi untuk meredam lonjakan harga CPO dan minyak goreng di pasar sejak pertengahan 1997.

Berbagai referensi menyatakan bahwa berbagai kebijakan perdagangan yang telah ditempuh pemerintah untuk menjaga stabilitas pasokan CPO dalam negeri dalam beberapa hal cukup mengenai sasaran, namun demikian dalam penataan kelembagaan distribusi, khususnya dalam penanganan operasi pasar yang diterapkan dalam kurun waktu 1997-1998 banyak yang tidak efektif. Sebagai contoh, penunjukan koperasi pasar dan salah satu BUMN perdagangan untuk menggantikan BULOG untuk menangani distribusi mnyak goreng sampai ketingkat konsumen banyak mengalami kendala. Ketidaksiapan kedua lembaga ini menyebabkan jalur distribusi pemasaran menjadi tidak efisien.

(37)
[image:37.595.105.505.156.785.2]

cadangan penyangga (buffer stock) CPO dinilai sudah menurun efektivitasnya (Rachbini, 1998; Dillon, 1998). Penilaian ini didasarkan pada kenyataan bahwa hingga saat ini fluktuasi ketersediaan CPO tetap tinggi padahal dari tahun ke tahun tingkat produksinya terus meningkat. Disisi lain, tekanan pasar untuk meningkatkan harga minyak goreng baik dari sisi penawaran maupun permintaan tetap tinggi.

Tabel 11 Perkembangan Kebijakan Pemerintah Untuk Stabilisasi Harga CPO dan Minyak Goreng

Periode Kebijakan Stabilisasi Harga

Juli 1997 – Mei 1998 a. Penetapan larangan ekspor CPO produksi

Perkebunan Negara dan mewajibkan PTPN untuk mendistribusikan CPO untuk industri pengolahan minyak goreng dalam negeri

b. Penerapan kebijakan pajak ekspor untuk CPO dan produk olahannya hingga mencapai 60%

c. Penataan jalur distribusi minyak goreng dengan melibatkan koperasi sebagai penyalur, bekerjasama dengan BULOG

Juli 1998 - 2001 a. Pencabutan larangan ekspor CPO produksi Perkebunan Negara

b. Penurunan pajak ekspor CPO secara bertahap dengan memperhatikan perkembangan dan keseimbangan permintaan ekspor dan pasokan untuk dalam negeri

c. Penataan jalur distribusi dengan menunjuk Kantor Pemasaran Bersama (KPB) untuk memasarkan minyak goreng langsung kepada koperasi pasar tanpa melalui BULOG

2001 – sekarang a. Penetapan pajak ekspor melalui peraturan pemerintah yang diikuti oleh penetapan harga patokan ekspor. Kebijakan PP no 35/2005, yang menetapkan pungutan ekspor CPO besarnya 3% dari harga patokan ekspor CPO

b. Fasilitasi pendirian perkebunan kelapa sawit terpadu dengan refinery skala 5 – 10 ton TBS/jam dan pendirian pabrik Minyak Goreng Sawit (MGS) skala kecil di lokasi penghasil CPO

(38)

Dengan memperhatikan kondisi pada penawaran dan permintaan yang dinamis, simulasi peran atau intervensi pemerintah yang tepat dan efektif menjadi suatu kebutuhan yang tak terhindarkan. Dalam kaitannya untuk mengendalikan

keseimbangan aktivitas ekspor dan perniagaan minyak kelapa sawit di dalam negeri sistem penetapan tarif yang efektif atau alternatif kebijakan yang lebih andal diuraikan dalam analisis disertasi ini.

Pendekatan Sistem

Perumusan sistem deteksi dini perniagaan minyak goreng kelapa sawit melibatkan banyak pelaku dengan preferensi dan kepentingan yang beragam. Kondisi ini menyebabkan perumusan menjadi kompleks. Menurut Eriyatno (1998), karakteristik permasalahan yang kompleks dan melibatkan banyak kepentingan memerlukan pendekatan sistem, karena pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh. Dalam pelaksanaannya, pendekatan sistem memerlukan kerja lintas disiplin dan tim yang multidisipliner. Kumpulan bagian atau gugus bagian dapat disebut sistem apabila memenuhi syarat adanya kesatuan (unity), hubungan fungsional dan tujuan yang berguna. Pendekatan sistem merupakan pendekatan terpadu dengan memandang obyek atau masalah yang kompleks dan bersifat lintas disiplin sebagai bagian dari sistem.

(39)

elemen dan hubungan antar elemen dalam membentuk sistem. Pengetahuan tentang struktur sistem dapat meningkatkan pemahaman atas perilaku sistem secara utuh untuk kepentingan manajemen yang efektif. Pemodelan struktur menekankan pentingnya bentuk geometris dari pada aljabar dalam menggambarkan elemen dan hubungannya, sehingga dapat dipandang sebagai model.

Model adalah abstraksi atau perwakilan dari suatu obyek atau situasi yang aktual (Eriyatno 1998), dan model dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang sedang dikaji. Berdasarkan fungsinya model dapat diklasifikasikan sebagai model deskriptif, model prediktif dan model normatif. Model deskriptif hanya memberikan sebuah gambaran dari sistem nyata dan tidak meramal atau memberikan rekomendasi, contohnya struktur organisasi. Model prediktif menghubungkan variabel terikat dan bebas untuk meramalkan hasil dari kondisi tertentu, contoh analisis finansial. Model normatif memberikan jawaban terbaik dari altematif yang ada terhadap sebuah masalah, contoh pengaturan waktu produksi optimal.

Salah satu dasar utama untuk mengembangkan model adalah menemukan peubah-peubah penting yang mempengaruhi perilaku sistem dan mengkaji hubungan-hubungan yang terdapat diantara peubah-peubah tersebut dalam format model matematik. Formulasi model adalah upaya mendapatkan model yang berisikan peubah, kendala, dan tujuan dalam bentuk matematis serta memanfaatkan untuk kalkulasi dengan substitusi kuantitas bagi simbol-simbol. Sebelum model matematika tersebut dikembangkan untuk diaplikasikan, perlu dilakukan pengujian terlebih dahulu untuk melihat kemampuan model dalam memecahkan masalah. Verifikasi dilakukan untuk menjamin bahwa model dapat bekerja mewakili sistem nyatanya dan memberikan solusi yang logis.

Sistem Penunjang Keputusan

(40)

goreng kelapa sawit memerlukan kerangka pemikiran sistem untuk mencari penyelesaian yang efektif dan komprehensif. Perencanaan pengembangan sistem pada dasarnya merupakan pengambilan keputusan dari para stakeholder tentang aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan dimasa mendatang untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Guna membantu mempercepat dan mempermudah proses pengambilan keputusan diperlukan Sistem Penunjang Keputusan (SPK) atau Decision Support System.

Tujuan SPK adalah untuk membantu pengambil keputusan memilih berbagai alternatif keputusan yang merupakan hasil pengolahan informasi yang tersedia dengan menggunakan model-model pengambilan keputusan. Keuanggulan utama dari SPK adalah kemampuannya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang tidak terstruktur.

Menurut Eriyatno (1998), SPK dimaksudkan untuk memaparkan secara mendetail elemen-elemen sistem sehingga dapat menunjang manajer dalam proses pengambilan keputusan secara tepat. Situasi yang dihadapi dalam proses pengambilan keputusan berada pada kontinum masalah terstruktur dan tidak terstuktur. Pengambilan keputusan pada masalah yang terstuktur dapat diprogramkan dan yang tidak terstuktur tidak dapat diprogramkan. Keputusan strategis dihadapkan pada situasi semi terstruktur dan tidak terstuktur, bersifat tidak pasti berorientasi jangka panjang dan menyeluruh.

(41)

Teknik SPK dikembangkan untuk meningkatkan efektivitas pengambilan keputusan. Efektivitas mencakup identifikasi dan jaminan relevansi kiteria yang dipilih dengan tujuan. Aplikasi SPK mencakup berbagai aktivitas seperti pertanian, peridustrian, perdagangan, dan lingkungan hidup. Komputer membantu penyampaian data dan informasi secara tepat, cepat dan akurat dalam menunjang keputusan. Model konsepsional SPK merupakan gambaran hubungan abstrak antara tiga komponen utama yaitu : (I) data (2) model dan (3) pengambil keputusan (user). Struktur dasar SPK dapat dilihat pada Gambar 3.

DATA MO DEL

Pe ng g una

Siste m Pe ng o la ha n Pro b le m a tik

Siste m Pe ng o la ha n Dia lo g Siste m Ma na je m e n

Ba sis Da ta (DBMS)

Siste m Ma na je m e n Ba sis Mo d e l (MBMS)

[image:41.595.105.540.114.779.2]

DSS

Gambar 3 Struktur Dasar Sistem Penunjang Keputusan (Eriyatno, 1988).

Sub-Sistem Manajemen Basis Data

(42)

pengontrolan, dan menambah data dengan cepat dan mudah; (2) Fasilitas query yaitu elemen yang menyajikan dasar-dasar untuk akses data; dan (3) Directory adalah katalog semua data yang ada dalam basis data. Basis data yaitu sekumpulan dan keterhubungan data yang terorganisasi, berkaitan dengan struktur organisasi, dapat digunakan oleh satu orang atau lebih dan satu aplikasi.

Sub-Sistem Manajemen Basis Model

SPK memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan akses data dan model-model keputusan. Kemampuan ini didapat melalui penambahan model-model-model-model keputusan ke dalam sistem informasi yang menggunakan database sebagai mekanisme integrasi dan komunikasi diantara model. Model adalah representasi dari suatu obyek, benda atau ide-ide dalam bentuk lain dengan entitas sebenarnya dan berisi informasi tentang suatu sistem yang dibuat. Tujuan pembuatan model adalah untuk mempelajari sistem yang sebenarnya. Beberapa fungsi model adalah sebagai alat bantu berfikir, alat komunikasi, dan sebagai alat prediksi. Model menurut cara penyajiannya dapat diklasifikasikan sebagai model fisik dan model matematis. Model matematik terdiri dari model statik dan model dinamik, yang masing masing dapat disajikan dalam model numerik dan analitik.

Basis model berisi model kuantitatif yang menyediakan kemampuan/ analisis dan dapat dikelompokan kedalam tiga kategori utama yaitu model strategis, taktis, dan operasional. Karakteristik basis model harus mempunyai kemampuan : (1) menciptakan model-model baru seeara cepat dan mudah; (2) mengakses dan mengintegrasikan model-model keputusan; (3) mengelola basis model (menyimpan, menghubungkan, mengakses model).

Sub-Sistem Pengolahan Dialog

(43)

Sistem pengolahan problematik adalah pengendali dari operasi SPK secara menyeluruh. Sistem ini menerima input dari ke tiga subsistem lainnya dalam bentuk baku, serta menyerahkan output ke sub-sistem yang dikehendaki dalam bentuk baku pula.

Fungsi utamanya adalah sebagai penyangga untuk menjamin masih adanya keterkaitan antara sub-sistem. Manfaat utama SPK adalah pencegahan sedini mungkin dampak lanjut dari keputusan-keputusan yang tidak dikehendaki. Dengan mencegah terjadinya kesalahan diberbagai kategori keputusan, maka diharapkan program pengembangan menjadi lebih terarah dan berhasil.

Sistem Pakar

Marimin (2005), menyatakan bahwa sistem pakar (Expert System) adalah sistem komputer yang berbasis pada pengetahuan yang terpadu di dalam sistem informasi dasar, memiliki kemampuan untuk memecahkan berbagai masalah dalam bidang tertentu secara cerdas dan efektif, sebagaimana layaknya seorong pakar. Lebih lanjut dinyatakan bahwa perangkat lunak sistem ahli berbeda dengan perangkat lunak konvensional. Sistem pakar memungkinkan pengguna memecahkan masalah dengan kerangka kerja pengambilan keputusan. Perbedaan sistem pakar dengan perangkat lunak konvensional tersaji pada Tabel 12.

Gagasan sistem pakar adalah menuangkan keahlian pakar dalam suatu sistem, sehingga sistem tersebut dapat dimanfaatkan oleh orang lain, tanpa perlu menjadi pakar terlebih dahulu. Sistem pakar dapat diterapkan untuk persoalan di bidang pertanian, industri, bisnis dan lain sebagainya. Persoalan tersebut bersifat cukup kompleks, tidak memiliki algoritma yang jelas dan membutuhkan kemampuan pakar untuk mencari sistematika penyelesaian secara evolutif.

(44)

kendala dan pembatasan, tetapi dalam interpretasinya akan menghasilkan rekomendasi yang sesuai dengan tujuan yang digariskan sebelumnya. Integratif merupakan penyelesian yang memadukan pendekatan analisis dengan sistem.

Tabel 12 Perbedaan Perangkat Lunak Sistem Pakar dan Konvensional

Perangkat Lunak Konvensional Perangkat Lunak Sistem Pakar

Menyajikan dan menggunakan data Menyajikan dan menggunakan pengetahuan

Bersifat algoritmik Bersifat heuristik

Proses repetitif Proses inferensi

Memanipulasi basis data Memanipulasi basis pengetahuan Berorientasi pada pengolahan bilangan Berorientasi pada pengolahan simbolik Sumber : Marimin, 2005

Struktur sistem pakar pada prinsipnya tersusun dari komponen : (1) fasilitas akuisisi pengetahuan; (2) sistem berbasis pengetahuan (knowledge based system); (3) mesin inferensi (inference engine); (4) fasilitas untuk menjelaskan dan justifikasi; dan (5) penghubung antara pengguna dan sistem pakar (user interface). Tiap bagian mempunyai hubungan yang erat dengan bagian lainnya. Struktur dasar sistem pakar tersaji pada Gambar 4.

Akuisisi Pengetahuan

(45)
[image:45.595.112.518.87.324.2]

Gambar 4 Struktur Dasar Sistem Ahli (Marimin 2005).

Proses akuisisi pengetahuan mencakup identifikasi, konseptualisasi, formalisasi, implementasi dan uji coba. Identifikasi dilakukan untuk mengidentifikasi masalah beserta karakteristik utamanya dan ketersediaan sumber daya. Konseptualisasi merupakan proses penentuan konsep beserta hubungan yang digunakan. Formalisasi erat hubungannya dengan metoda pengorganisasian dan representasi pengetahuan. Dalam sistem berbasis kaidah, pengetahuan harus direpresentasikan dengan dalam bentuk kaidah. Implementasi mencakup pemrograman pengetahuan ke dalam komputer, perbaikan struktur, dan penambahan pengetahuan baru. Tahap uji coba, perekayasa menguji coba basis pengetahuan dengan kasus-kasus penggunaan sesuai dengan tujuan dari sistem pakar yang akan dikembangkan.

Basis Pengetahuan

(46)

Pengetahuan prosedural dapat direprentasikan dengan menggunakan kaidah produksi dan representasi logika.

Frame (kerangka) yaitu pengetahuan direpresentasikan dalam struktur data yang disusun secara hirarki. Jaringan semantik yaitu pengetahuan direpresentasikan dengan simpul (node) dan penghubung (link). Simpul menyatakan suatu obyek data atau keadaan obyek, sedang penghubung menyatakan hubungan antar obyek, atau hubungan antara obyek dengan keterangan obyek. Teknik berbasis kaidah/aturan (rule base) yaitu teknik pengembangan dengan menggunakan pernyataan-pernyataan IF premis/ pernyataan, THEN aksi/kesimpulan. Kaidah produksi digunakan untuk pengetahuan prosedural yang dapat distrukturisasi ke dalam bentuk : Jika, suatu keadaan tertentu, [Kondisi] maka keadaan lain dapat terjadi [aksi] dengan tingkat kepastian tertentu [c.f] Informasi dalam basis pengetahuan dimasukan ke dalam program komputer melalui proses penjabaran pengetahuan (knowledge representation).

Menurut Marimin (2005), ada empat kriteria dalam memilih metoda representasi pengetahuan yaitu : (1) Kemampuan representasi, artinya metoda harus mampu merepresentasikan semua jenis pengetahuan yang diperlukan oleh sistem pakar; (2) Kemudahan dalam penalaran, artinya metoda harus mudah diproses untuk mencapai tahap kesimpulan; (3) Efesiensi proses akuisisi, artinya metoda harus membantu tranlasi pengetahuan pakar ke dalam sistem komputer secara efisien, dan (4) Efisiensi proses penalaran, artinya metoda dapat diproses secara efisien untuk mencapai kesimpulan.

Mekanisme Inferensi

(47)

pertanyaan meskipun jawaban tersebut tidak tersimpan di dalam basis pengetahuan.

Strategi penalaran terbagi atas penalaran pasti (Exact Reasoning Mechanism) dan tidak pasti (Inexact Reasoning Mechanism). Penalaran pasti mencakup modus pollen dan modus tolen. Modus pollen menggambarkan apabila ada kaidah: jika A, maka B dan diketahui bahwa A benar, maka dapat disimpullan B adalah benar. Modus tolen menggambarkan apabila ada kaidah : jika A, maka B dan diketahui bahwa A salah, maka dapat disimpulkan bahwa B salah.

(48)

Sitem Deteksi Dini

( Early Warning System )

Krisis bisa berarti suatu keadaan yang tidak stabil dimana perubahan mendasar bisa terjadi (Fink, 1986). Dalam kamus Webster’s, krisis didefinisikan sebagai suatu titik balik untuk menjadi lebih baik atau buruk dan merupakan saat yang menentukan. Fink (1986) menjelaskan bahwa berdasarkan anatominya terdapat empat tahap dari siklus krisis : (1) tahap krisis Prodomal; (2) tahap krisis Acute; (3) tahap krisis Chronic; dan (4) tahap krisis Resolution.

Prodomal

Resolution Krisis Acute

Chronic

Gambar 5 Siklus Krisis (Fink 1986).

Pada tahap Prodomal telah terlihat adanya gejala yang mengarah pada keadaan krisis, namun masih sulit untuk diidentifikasi. Pengenalan kondisi krisis pada tahap ini sangat penting guna mencegah terjadinya krisis pada tahap awal dan membuat tindakan untuk menuju titik balik ke keadaan normal. Di tingkat pusahaan, tahap ini merupakan tahap peringatan bagi manajemen perusahaan untuk mengambil tindakan. Kondisi yang terjadi umumnya sangat dinamis sehingga bila pengenalan keadaan krisis ini tidak ditemukan pada tahapan ini maka kondisi akan terus berlanjut menuju ke tahap Acute.

(49)

keadaan normal kembali, dan umumnya sudah cukup banyak kerugian atau permasalahan yang taerjadi. Dengan demikian, dibutuhkan perencanaan dalam penanganan tahap Acute dan seluruh tindakan harus terkontrol dengan baik sehingga intensitas dan lamanya tahap ini dapat dikendalikan.Tahap selanjutnya adalah tahap Chronic, disebut juga tahap pembersihan atau penyembuhan. Pada tahap ini para pembuat keputusan perlu menerapkan manajemen krisis dengan menganalisa kebenaran dan kesalahan dari langkah/tindakan yang dijalankan sebelumnya untuk bahan evaluasi dalam mengambil langkah terbaik selanjutnya.

Tahap terakhir dari suatu siklus krisis adalah tahap Resolution, yaitu tahap pemulihan. Penanganan yang dilakukan pada tahapan ini harus yang berhubungan dengan penanganan yang telah dilakukan pada tahap-tahap sebelumnya. Namun demikian, umumnya metoda penyelesaian pada tahap Resolution tidak sulit dibandingkan dengan penyelesaikan pada tahapan sebelumnya. Ada dua faktor yang menentukan keberhasilan penanganan tahap Resolution ini, pertama mengidentifikasi tahap Prodomal dan kedua mengontrol penanganan tahap selanjutnya. Mengingat bahwa tahapan-tahapan di atas merupakan suatu siklus krisis, maka akhir dari tahap Resolution ini dianggap sebagai suatu tahap awal dari Prodomal. Fink (1986) menyatakan sulit untuk menentukan kapan dimulai dan berakhirnya suatu krisis, mengingat krisis merupakan komplikasi efek reaksi dari suatu kondisi ke kondisi lainnya.

(50)

bagi penyusunan perencanaan pelaksanaan. Secara praktis, sistem deteksi dini sangat diperlukan dalam bidang penjadwalan pemakaian atau pengadaan sumber daya yang dibutuhkan agar dapat dioperasikan seefisien mungkin (Satria 1994).

Dari segi proses, deteksi dini dilakukan atas dasar 2 teknik utama, yaitu: (a) didasarkan atas catatan dengan waktu yang selanjutnya diekstrapolasikan ke masa yang akan datang dengan menggunakan teknik-teknik statistik atau model matematik; dan, (b) berdasarkan analisa kuantitatif yang sangat tergantung pada keahlian, pengalaman, dan kepandaian penilai. Metoda deteksi dini secara kuantitatif terbagi dapat dibagi dalam 2 metoda, yaitu metoda deret waktu (time series) dan metoda sebab-akibat (causal). Metoda ini dapat diaplikasikan bila memenuhi beberapa kondisi, seperti : (a) tersedianya informasi masa lalu (historical data); (b) informasi yang didapatkan dapat dikuantitatifkan; dan, (c) asumsi kondisi masa lalu sama dengan kondisi di masa mendatang (continuity).

Pada tingkat perusahaan, sistem deteksi dini dikembangkan menjadi bagian dari manajemen resiko. Sistem ini dilakukan secara kontinyu dan merupakan pekerjaan pemantauan resiko dalam melakukan perbaikan arah kebijakan perusahaan (Gilad 2004). Secara diagramatis siklus deteksi dini dalam manajemen resiko ini dapat dilihat dalam Gambar 6

Identifikasi Resiko

Tindakan Manajemen

Pemantauan Intelijen

Umpan Balik Indikator

Sinyal

(51)

Beberapa masalah organisasi (perusahaan atau lembaga) tidak dapat mem-

Gambar

Tabel  7   Struktur Harga Minyak Goreng Kelapa Sawit Curah
Gambar 1 dan Gambar 2.
Gambar  2    Jalur Distribusi Minyak Goreng di Daerah Non Produsen (CIC 20001)
Tabel  11  Perkembangan Kebijakan Pemerintah Untuk Stabilisasi Harga CPO
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penguasaan kosa kata dan tanggapan siswa kelas sepuluh SMAN 1 Pecangaan Jepara setelah melakukan Gerakan Literasi

Berdasarkan usulan program pada tahun 2015-2019 terdapat beberapa KSK yang diusulkan untuk diprioritaskan penanganannya, ternyata tidak ada konsistensi antara

Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil pengembangan CD Interaktif dengan model ADDIE pada materi statistika kelas X SMA Negeri 2 Batang dapat dinyatakan valid dan praktis..

Kelompok masyarakat peladang yang berada di sekitar kawasan hutan, baik di dalam maupun diluar hutan selalu dituding sebagai kelompok masyarakat yang merusak hutan, dengan

SULTAN AGUNG NO... DUTA LESTARI

Berdasarkan Kepmendiknas nomor: 044/U/2002 tersebut mengindikasikan bahwa dalam peningkatan mutu pendidikan sangat dibutuhkan kinerja dari Komite Sekolah, secara

Bukan hal yang mudah dan sepele mendidik anak usia 2 tahun, dimana mereka harus mencontohkan berbagai hal yang baik agar bisa ditiru oleh anak usia 2 tahun, karena mereka

Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyusun Laporan Skripsi