DINAMIKA KEPEMIMPINAN TRADISIONAL DI TAPANULI
SELATAN (1930-1946)
SKRIPSI SARJANA
0
L
E
H
N a m a : Aprita Natalia Situmorang
Nim :040706005
Pembimbing,
Dra. Nurhabsyah, M.Si
NIP 131460526
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Lembar Persetujuan Ujian Skripsi
N A M A : Aprita Natalia Situmorang
NIM : 040706005
Pembimbing,
Dra. Nurhabsyah, M.Si
NIP 131460526
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra USU Medan, untuk
LEMBAR PERSETUJUAN KETUA DEPARTEMEN
DISETUJUI OLEH :
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
DEPARTEMEN SEJARAH
KETUA,
Dra. Fitriaty Harahap, SU
NIP. 131284309
Lembar Pengesahan Skripsi Oleh Dekan dan Panitia Ujian
PENGESAHAN
Diterima Oleh:
Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Sastra Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra USU Medan.
Pada :
Tanggal :
Hari :
Fakultas Sastra USU
Dekan
Drs. Syaifuddin, MA., Ph. D.
NIP. 132098531
Panitia Ujian
NO Tanda Tangan
1. Dra. Fitriaty Harahap, SU (...)
2. Dra. Nurhabsyah, M. Si. (...)
UCAPAN TERIMA KASIH
Menyadari untuk terwujudnya Skripsi ini, berkat adanya dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini sudah selayaknya menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya serta rasa hormat kepada:
1. Ayahanda dan Ibunda yang telah memberikan segala kebutuhan dan
dukungan baik moril dan materil, semoga Tuhan selalu memberkatiNya.
2. Bapak Rektor Prof. Chairuddin P. Lubis, DTMH, Sp.A(K) atas kesempatan
yang diberikan kepada penulis untuk mempergunakan segala fasilitasselama mengikuti perkuliahan.
3. Bapak Drs. Syaifuddin, MA, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sastra USU
4. Ibu Dra. Fitriaty Harahap, SU Ketua Departemen Sejarah FS USU yang
selalu memberi bimbingan kepada para mahasiswa/i di Departemen Sejarah.
5. Ibu Dra Nurhabsyah M. Si. Sekretaris Departemen Sejarah sekaligus
sebagai Dosen Pembimbing Penulis.
6. Seluruh Staf Akademika Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara,
khususnya Staf Pengajar di Departemen Sejarah tempat Penulis menimba ilmu.
7. Semua teman-teman Penulis di Departemen Sejarah Fakultas Sastra USU
Akhirnya Penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya, kepada semua pihak yang telah membantu Penulis yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.
Medan, 30 Juni 2009 Penulis
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis Ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan Kasih dan SayangNya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan Penulisan Skripsi ini.
Adapun judul Skripsi yang Penulis tulis adalah mengenai, ”DINAMIKA KEPEMIMPINAN TRADISIONAL DI TAPANULI SELATAN (1930-1945)”, yang diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Sastra di Departemen Sejarah pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini membahas tentang kepemimpinan tradisional di Tapanuli Selatan pada masa sebelum kemerdekaan. Penulis menyadari bahwa, penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah Studi Kepustakaan dan Studi Lapangan. Selain itu digunakan juga wawancara bebas untuk lebih mendalami keadaan kepemimpinan tradisional yang pernah berlangsung di Tapanuli Selatan.
Tujuan dari penulisan Skripsi ini, dengan mengambil judul, ”DINAMIKA KEPEMIMPINAN TRADISIONAL DI TAPANULI SELATAN (1930-1945)”, adalah untuk mengetahui bagaimana pemimpin pada masa sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia.
Sadar akan keterbatasan ilmu yang penulis miliki, maka dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritikan dan saran demi kesempurnaan Skripsi ini.
DAFTAR ISI
BAB II.GAMBARAN UMUM DAERAH TAPANULI SELATAN... 13
2.1. Letak Geografis... 13
2.2. Lingkungan Geografis... 12
2.3. Wilayah Persekutuan Adat... 22
2.4. Pelapisan Sosial... 24
BAB III. Kepemimpinan Tradisional di Tapanuli Selatan... 28
3.1. Sistem Pemerintahan Tradisional... 28
3.2. Masa Kekuasaan Pemerintah Paderi... 29
3.3. Masa Pemerintahan Kolomial Belanda... 32
3.4. Masa Kemerdekaan Republik Indonesia... 35
BAB IV. Kepemimpinan Tradisional di Tapanuli Selatan... 37
4.1 .Bentuk Kepemimpinan Tradisional di Tapanuli Selatan... 37
4.2. Fungsi Kepemimpinan Tradisional di Tapanuli Selatan... 40
BAB V. KESIMPULAN... 42
DAFTAR PUSTAKA... 43
ABSTRAK
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif naratif. Bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis system kepemimipinan tradisional di Tapanuli Selatan.
Sistem kepemimpinan tradisional merupakan system pemerintahan huta yang pernah ada di Tapanuli Selatan. Seluruh huta (kampung) dipimpin oleh “Raja Pamusuk” yang diangkat dari seseorang, yaitu pemimpin dari gabungan dari beberapa huta yang ada disuatu kampung dan dinamakan “Raja Panusunan Bulung.
Seiring dengan perjalanan waktu, lambat laun kekuasaan raja ini berkurang terlebih-lebih setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Namun demikian kedudukan raja pada masa kini hanyalah merupakan raja adat saja dalam pelaksanaan pada upacara adat, seperti, kematian, perkawinan, dan upacara-upacara adat.
Penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan dan studi lapangan dengan menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Selain itu juga menggunakan wawancara bebas dan pendekatan disiplin ilmu lain, yakni anteropologi, sosiologi sesuai dengan kebutuhan guna memperkaya penulisan ini.
Penelitian ini membicarakan tentang Kepemimpinan Tradisional di Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 1930-1946. Pemimpin merupakan seseorang yang dapat menjadi panutan bagi masyarakat yang dipimpinnya. Seorang pemimpin yang baik harus mampu menghimpun satu organisasi yang besar dan harus dapat membentuk suatu ideologi yang kuat.
Metode yang digunakan dalam meneliti kepemimpinan di daerah Tapanuli Selatan adalah dengan metode sejarah dan untuk mendapatkan sumber-sumber sejarah penulis menggunakan studi kepustakaan dan studi lapangan. Dari sumber yang diperoleh, maka disimpulkan dan menghasilkan penulisan deskriptif kualitatif.
Tujuan penelitian tentang Kepemimpinan Tradisional di Tapanuli Selatan pada tahun 1930-1946 adalah untuk menjelaskan bentuk dan fungsi pemimpin tradisional bagi masyarakat di Tapanuli Selatan. Umumnya Pemimpin Tradisional di Tapanuli Selatan memperoleh jabatan itu berdasarkan ascribed status artinya
ABSTRAK
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif naratif. Bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis system kepemimipinan tradisional di Tapanuli Selatan.
Sistem kepemimpinan tradisional merupakan system pemerintahan huta yang pernah ada di Tapanuli Selatan. Seluruh huta (kampung) dipimpin oleh “Raja Pamusuk” yang diangkat dari seseorang, yaitu pemimpin dari gabungan dari beberapa huta yang ada disuatu kampung dan dinamakan “Raja Panusunan Bulung.
Seiring dengan perjalanan waktu, lambat laun kekuasaan raja ini berkurang terlebih-lebih setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Namun demikian kedudukan raja pada masa kini hanyalah merupakan raja adat saja dalam pelaksanaan pada upacara adat, seperti, kematian, perkawinan, dan upacara-upacara adat.
Penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan dan studi lapangan dengan menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Selain itu juga menggunakan wawancara bebas dan pendekatan disiplin ilmu lain, yakni anteropologi, sosiologi sesuai dengan kebutuhan guna memperkaya penulisan ini.
Penelitian ini membicarakan tentang Kepemimpinan Tradisional di Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 1930-1946. Pemimpin merupakan seseorang yang dapat menjadi panutan bagi masyarakat yang dipimpinnya. Seorang pemimpin yang baik harus mampu menghimpun satu organisasi yang besar dan harus dapat membentuk suatu ideologi yang kuat.
Metode yang digunakan dalam meneliti kepemimpinan di daerah Tapanuli Selatan adalah dengan metode sejarah dan untuk mendapatkan sumber-sumber sejarah penulis menggunakan studi kepustakaan dan studi lapangan. Dari sumber yang diperoleh, maka disimpulkan dan menghasilkan penulisan deskriptif kualitatif.
Tujuan penelitian tentang Kepemimpinan Tradisional di Tapanuli Selatan pada tahun 1930-1946 adalah untuk menjelaskan bentuk dan fungsi pemimpin tradisional bagi masyarakat di Tapanuli Selatan. Umumnya Pemimpin Tradisional di Tapanuli Selatan memperoleh jabatan itu berdasarkan ascribed status artinya
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG MASALAH
Indonesia sebagai negara sedang berkembang masyarakatnya berada dalam
katagori transisi. Masyarakat mulai bergeser dari pola kehidupan tradisional menuju
ke pola kehidupan masyarakat moderen, namun tidak seluruhnya meninggalkan pola
kehidupan tradisional. Hal ini menimbulkan perubahan-perubahan dalam kehidupan
masyarakat dan ini terlihat pada ciri-ciri umum masyarakat negara baru yang dikenal
dengan sebutan “Primatic Society”.
Masyarakat negara-negara yang sedang berkembang masih mencampur adukkan
unsur yang saling bertentangan dalam sistem masyarakatnya, antara
unsur-unsur moderen dan tradisional. Sebagai akibatnya timbul formalisme, yaitu adanya
nilai-nlai pengaturan yang diterbitkan secara teoritis , tetapi pada kenyataannya
diabaikan dan masih cenderung menganut pola-pola lama1
1
H. Robert Louer, Perspektif Tentang Prubahan Sosial, Jakarta:PT. Rineka Cipta, 1993, hal. 442.
. Proses modernisasi
seperti ini yang tidak terelakkan telah melenyapkan atau setidaknya menghancurkan
Masyarakat Indonesia, meskipun dalam katagori transisi atau sedang
berkembang dengan segala cirri-cirinya, tetap memerlukan figur pemimpin.
Kepemimpinan “leadership” adalah kemampuan seseorang (yaitu pimpinan atau
leader) untuk mempengaruhi orang lain (yang dipimpin atau pengikut-pengikutnya),
sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaimana dikehendaki oleh pimpinan
tersebut.2
Dengan demikian segala yang akan dilakukan di pedesaan memerlukan
dukungan dari pemimpin dan kelompok yang berkepentingan dan mempunyai
pengaruh di desa. Diakui bahwa perubahan yang tejadi di pedesaan banyak membawa
perubahan ke arah kemajuan, tidak hanya di bidang ekonomi, sosial budaya yang
diikuti bidang-bidang lainnya, seperti gaya hidup, intraksi sosial, budaya, politik dan Pelaksanaan pembangunan diketahui bahwa, secara menyeluruh dan khususnya
pembangunan di pedesaan sangat tergantung pada usaha-usaha mendinamisasikan
masyarakatnya. Selain itu, partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa mutlak
sangat diperlukan. Dukungan masyarakat tidak begitu saja dapat diperoleh. Hal ini
disebabkan munculnya kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan yang
berbeda-beda di setiap desa. Keadaan ini disebabkan melemahnya sistem komunal di
desa, sebab dukungan tidak dapat diperoleh seperti masa lalu , ketika desa-sesa
secara mudah dapat menggerakkan penduduk untuk kepentingan desanya.
sebagainya . Perubahan ini terjadi disebabkan oleh banyaknya factor, misalnya
adanya pengaruh jumlah pendapatan yang meningkat, lapangan pekerjaan yang
sangat bervariasi, kemajuan tehnologi, komunikasi moderen dan sebagainya.
Perubahan yang terjadi di masyarakat juga tidak terlepas dari peran para
pemimpin, baik formal, maupun informal di dalam kolektifitas Sosial. Ini terjadi
antara pemimpin dengan yang dipimpin (pengikut). Peran pemimpin dalam
mengarahkan dan mempengaruhi pengikutnya menuju pada tujuan kolektif atau
membentuk kelakuan masyarakat berdasarkan nilai-nilai tertentu. Status peminpin
pada masyarakatnya mempunyai fungsi atau peran, mengawasi agar tujuan bersama
dapat tercapai. Khususnya dalam masyarakat. Pemimpin merupakan “agen of
Change” yang paling efektif. Kemampuan pemimpin membawa pengikutnya akan
membuahkan hasil keikutsertaan masyarakat dengan kesadaran penuh untuk ikut serta
megambil peran membangun daerahnya, bukan hanya partisipsi semu karena ada
paksaan. Dalam konteks kedaerahan sebutan pemimpin, baik itu yang dipilih oleh
masyarakatnya maupun pimpinan yang didapat karena keturunan (raja), memiliki
dasar-dasar kepemimpinan yang secara historis diakui oleh masyarakat.
Masyarakat Tapanuli Selatan merupakan bagian dari penyebaran etnis Batak
yang tidak terlepas dari kepemimpinan yang didapat dari keturunan (raja), yang tidak
Undang-Undang Pemerintah Negara Republik Indonesia kepemimpinan terendah
adalah di bawah kekuasaan kepala desa atau lurah. Permasalahannya bagaimana
sebenarnya peran raja-raja ini di tengah-tengah masyarakatnya, dan bagaimana pula
dilihat dari latar belakang sejarah keberadaan mereka maupun pandangan
masyarakatnya terhadap raja-raja tersebut.
Dari latar belakang sejarah, bahwa di Tapanuli Selatan pada waktu dulu,
setiap desa (huta) dikepalai oleh “pamusuk” atau lebih dikenal dengan nama “Raja
Pamusuk”. Kumpulan beberapa desa dipimpin oleh seorang “Panusunan bulung” atau
‘Raja Panusunang Bulung”, yang dipilih oleh kalangan “Raja Pamusuk”. “Raja
Panusunan Bulung” merupakan pimpinan terpilih dan didampingi oleh “Raja
Pangundian” yang berasal dari desa yang termasuk di wilayahnya. Akan tetapi setelah
masyarakat Tapanuli Selatan berhasil dikuasai oleh kaum “Paderi” dan menyebarkan
agama Islam di daerah Tapanuli Selatan. Agama Islam eksis di daerah itu dari pada
nilai-nilai adat istiadat yang mereka anut, sehingga sistem kepemimpinan tradisional
di Tapanuli Selatan mengalami perubahan. “Raja Panusunan Bulung” yang secara
formalitas menguasai wilayah yang terdiri dari beberapa kampung dirubah
sebutannnya sebagai “Kepala Kuria”.Hal ini terus berlanjut ketika kolonial Belanda
berhasil menguasai wilayah daerah Tapanuli Selatan dan menjadikan ‘Kepala Kuria”
Fenomena “Raja” sebagai pemimpin pada masyarakat Tapanuli Selatan
merupakan sesuatu yang menarik untuk dikaji, karena kepemimpinan berdasarkan
garis keturunan yang terdapat pada masyarakat Tapanuli Selatan yang berfungsi
sebagai kepala desa juga berfungsi sebagai kepala adat yang terwujud dalam berbagai
aktifitas masyarakat terutama pada upacara adat yang tetap dilestarikan.
Dari latar belakang di atas penulis mengkaji masalah kepemimpinan dengan
judul,”Dinamika Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Tapanuli Selatan
1930-1946. Dalam penulisan Proposal Skripsi ini penulis membuat batasan waktu yang
dimulai pada tahun 1930, dengan alasan bahwa pada tahun itu masyarakat Tapanuli
Selatan menganggap bahwa “Kepala Kuria”, merupakan perpanjangan tangan
Belanda, dengan tujuan utama untuk mengutip pajak dari rakyat dan menyerahkan
masyarakat untuk melakukan kerja paksa (rodi) yang sangat menderitakan
masyarakat Tapanuli Selatan.
Tahun 1946 sebagai batas akhir dalam penelitian adalah, disebabkan
masyarakat Tapanuli Selatan melalui partai-partai politik yang telah ada dan dengan
telah diperolehnya kemerdekaan di Republik Indonesia, setiap pemimpin dari tingkat
desa sampai Presiden harus melaksanakan kepemimpinan di pemerintahan secara
2. PERUMUSAN MASALAH
Dalam penelitian ini, penulis mengambil beberapa permasalahan pokok dari
Dinamika Kepemimpinan Tradisional di Tapanuli Selatan Tahun 1930-1946. Untuk
lebih mengarahkan penelitian ini maka diambil permasalahan pokok dalam bentuk
pertanyaan, yaitu:
1.Bagaimana bentuk kepemimpinan tradisional di Tapanuli Selatan.
2.Bagaimana fungsi kepemimpinan tradisional di Tapanuli Selatan
3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1. Tujuan
1. Bagaimana bentuk kepemimpinan tradisional di Tapanuli Selatan.
2. Bagaimana fungsi kepemimpinan tradisional di Tapanuli Selatan.
3.2. Manfaat
1. Sebagai bahan masukan dan perbandingan bagi peneliti selanjutnya,
terutama yang terkait dengan masalah ini.
2. Secara akademik hasil penulisan ini untuk menambah literatur dalam
memeperkaya khasanah penulisan sejarah terutama mengenai
4. TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian memerlukan landasan teoritis yang akan membantu
memberikan dasar pokok bagi kelanjutan proses penelitian. Landasan teoritis akan
diperoleh melalui riset yang rutin terhadap kepustakaaan yang relevan dengan dengan
topic atau objek penelitian. Dengan demikian penelaahan studi kepustakaan
merupakan kegiatan mutlak dalam proses penelitian. Dalam hal ini akan dikemukakan
beberapa buku yang mendukung konsep, hipotesa, dan teori sehubungan dengan objek
yang diteliti.
Dalam buku Monografi Kebudayaan Angkola-Mandailing (1982),
memberikan informasi Sejarah Adat di Tapanuli Selatan. Selain itu buku ini juga
menjelaskan sebelum kehadiran colonial Belanda di Tapanuli Selatan, pemerintahan
tradisional tertingggi di Tapanuli Selatan dikepalai oleh “Raja Panusunan” yang
membewahi beberapa desa yang dikepalai oleh “Raja Pamusuk”.
Simanjuntak (1998) menjelaskan tentang struktur social dan system politik
masyarakat Batak Toba hingga tahun 1945 dalam sebuah pendekatan Sejarah dan
Anteropologi Politik. Dalam laporan penelitian ini dijelaskan bahwa, keterkaitan
Sejarah orang Batak dan Perubahan Sosial yang dilatarbelakangi oleh perkembangan
social budaya yang bergerak sangat cepat berdampak terhadap kehidupan dan
menjelaskan Struktur Sosial masyarakat Batak Toba dengan segala pengaruh budaya
yang mempengaruhinya khususnya pemerintah colonial Belanda.
Perubahan sosial masyarakat Indonesia ditinjau dari Persfektif Anteropologi
(2002) oleh Sairun menjelaskan tentang perubahan yang terjadi pada masyarakat
Indonesia bagaimana dan prilaku bagaimana yang dapat menimbulkan berbagai
perubahan dan berakibat pada dinamika sosial, sehingga memiliki hubungan dengan
masalah yang dikaji.
Menurut David Krech dalam bukunya Individual in Society: A Text Book of
Social Psycology (1962) seorang pemimpin yang baik harus mampu menghimpun
satu organisasi yang besar dan harus dapat membentuk suatu ideologi yang kuat.
Masuknya ide-ide yang baru kesuatu tempat (desa) akan membawa perubahan baik
besar maupun kecil pada daerah itu. Salah satunya adalah perubahan dalam bidang
status masyarakat yang mendiami/menguasai daerah itu.
Sebelum masuknya kolonial Belanda ke Tapanuli Selatan, pada masyarakat
di daerah itu dikenal kelompok “hatoban”, yaitu orang-orang yang mengalami
kekalahan di dalam perang antar desa. Ketika Tapanuli Selatan masa berkuasanya
kolonial Belanda dan pada waktu telah menjadi bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang merdeka, kelompok “hatoban” di atas dapat saja memegang
keaktifan yang disebut dengan istilah “achieved status” sedangkan kepemimpinan
sebelum masuknya kekuasan Belanda dan Indonesia belum merdeka, kepemimpinan
yang diperankan ketika itu adalah “ascribed status”, yaitu kedudukan yang diperoleh
dengan sendirinya, misalnya karena faktor usia, jenis kelamin, asal usul dan lain
sebagainya. Keadaan ini akhirnya di Tapanuli Selatan menimbulkan dan membentuk
golongan sosial ba laluru atau disebut juga dengan nama “New Social Group”.
Golongan inilah yang nantinya memegang kekuasaan atau jabatan di kantor-kantor
pemerintahan maupun desa-desa yang telah dikuasai oleh pemerintah Belanda
maupun ketika Indonesia merdeka.
5. METODE PENELITIAN
Metode Sejarah adalah mengkaji dan menganalisa secara kritis rekaman dari
peninggalan masa lampau.3
Dalam mendeskripsikan sebuah tulisan yang bersifat ilmiah harus didukung
oleh metode dan tehnik mendapatkan data yang akurat. Dilakukannnya pengumpulan
sumber yang didasarkan pada seleksi dan akurasi akan melahirkan suatu tulisan yang
ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Adapun dasar penulis untuk
merampungkan tulisan ini, tidak terlepas dari langkah-langkah metode penulisan Begitu juga dengan penelitian ini, penulis menggunakan
metode sejarah untuk mempermudah penelitian agar tercapai hasil yang maksimal.
secara kronologis. Penulis menempuh langkah-langkah penulisan untuk
mengungkapkan penelitian, adalah sebagai berikut:
a. Heuristik, yaitu proses pemilihan objek dan pengumpulan informasi atau
sumber yang berkaitan dengan tulisan yang sedang dikaji.
b. Kritik intern dan kritik ekstern. Proses ini adalah merupakan langkah bagi
penulis untuk menggiring hasil tulisan menjadi “objektif”, dan sesuai dengan
kenyataan yang selama ini terjadi.
Kritik intern adalah: ketika penulis mendapatkan sumber, penulis harus dapat
melihat dan menyelidiki isi dari sumber yang diperolehnya itu. Dalam hal ini
sumber-sumber yang telah terkumpul dikaji, apakah pernyataan yang diuat dalam
sumber itu, merupakan fakta histories yang meliput i isi, bahasa, situasi dan lain
sebagainya. Kritik ekstern adalah: penyelidikan terhadap sumber yang diperoleh
dengan meneliti keadaan luar dari sumber-sumber yang digunakan, apakah sumber
yang digunakan itu otentik atau tidak
c. Interpretasi adalah suatu hasil pengamatan dalam menganalisa sumber dengan
berpedoman pada fenomena yang telah diselidiki.
d. Historiografi sebagai tahapan akhir dalam sebuah penelitian sejarah.
Historiografi. adalah penulisan sejarah dengan melakukan kegiatan penulisan
Historigrafi mempunyai peranan penting, karena dari penulisan tersebut akan
diketahui apa hasil dari sebuah penelitian.
Penyusunan penulisan penelitian ini menggunakan metode sejarah, sesuai
dengan tujuan dari hasil akhir penulisan adalah ingin mendeskripsikan peristiwa yang
terjadi di masa lampau.
Metode sejarah yang telah dipaparkan di atas, yang bertumpu pada
beberapatahapan yang disusn secara sistematis yang harus dilalui oleh penulis sejarah
yang tidak boleh ke luar dari kaedah ilmu sejarah diharapkan dapat menghasilkan
penulisan yang bernilai ilmiah.
Langkah awal yang dilakukan adalah menentukan judul, topik,
mengumpulkan sebanyak mungkin sumber-sumber sejarah yang diperlukan dan
berkaitan dengan penelitian.
Pengumpulan data ini, dimulai dari mengunjugi berbagai sumber yang berada
di berbagai perpustakaan pemerintah maupun perpustakaan swasta, instansi yang
menyimpan dokumen dan berhubungan dengan penelitian yang diangkat.
Hal yang juga penulis lakukan adalah studi observasi ke daerah Tapanuli
Tahap pengumpulan sumber ini dilajutkan dengan kritik intern dan ekstern
terhadap sumber-sumber yang telah terkumpul.
Sumber yang telah di kritik, dipahami, kemudian di interpretasi dan
selanjutnya ditulis dan diharapkan menghasilkan penulisan sejarah yang deskriptif
BAB II
GAMBARAN UMUM DAERAH TAPANULI SELATAN
2.1. Letak Geografis
Daerah Tapanuli Selatan yang akan dibicarakan dalam skripsi ini adalah
meliputi daerah Sipirok/Angkola dan Mandailing. Kedua daerah ini meskipun berada
sama-sama di daerah Tapanuli Selatan, tetapi ada perbedaan yang khas diantara
keduanya. Oleh sebab itulah dalam bab 2 pada gambaran umum dikemukakan tentang
geografis Sipirok dan Mandailing.
Daerah Sipirok merupakan sebuah kecamatan yang berada di Provinsi
Sumatera Utara berjarak 385 km dari kota Medan, sedangkan dari Kabupaten
Tapanuli Selatan dengan ibukotanya Padang Sidempuan ke Kecamatan Sipirok
adalah 38 km. Antara Kecamatan Sipirok dengan Kecamatan Pahae Jae dengan
ibukotanya Pahae, yaitu daerah yang bersebelahan dan merupakan daerah yang
berada di Kabupaten Tapanuli Utara jaraknya 42 km. Tepatnya letak Kecamatan
Sipirok ini berada dalam jalur lintas Sumatera bagian barat dan merupakan jalan
utama yang menghubungkan Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa. Letak daerah
Kecamatan Sipirok yang sangat strategis itu sudah barang tentu sangat
menguntungkan dalam upaya melancarkan perdagangan hasil-hasil produksi yang ada
Kecamatan Sipirok dengan ibukotanya Sipirok berada di daerah perbatasan
antara etnis Mandailing dan etnis Batak Toba. Untuk lebih jelasnya keberadaan
daerah Kecamatan Sipirok adalah sebagai berikut:
- Sebelah timur berbatas dengan Kecamatan Padang Bolak
- Sebelah barat berbatas dengan Kecamatan Batang Toru
- Sebelah utara berbatas dengan Kecamatan Pahae Jae
- Sebelah selatan berbatas dengan Padang Sidempuan
Luas wilayah Kecamatan Sipirok 72,085 km2, dengan ketinggian di atas 900
m dari permukaan laut. Sebagaimana dengan daerah-daerah yang ada di Indonesia
dengan ketinggian seperti itu, Kecamatan Sipirok juga mempunyai musim yang sama
dengan dengan tempat-tempat lainnya, yaitu didapati musim hujan dan musim
kemarau. Curah hujan rata-rata per tahunnya berkisar antara 1846 mm/liter dengan
suhu udara maksimum 25oC sampai dengan suhu udara minimum 18oC.
Kondisi alam yang berbukit-bukit dan tidak adanya sungai-sungai besar di
Kecamatan Sipirok, selain menanm padi daerah ini menghasilkan tanaman yang tidak
tergantung pada air, seperti karet, kopi, lada, kayu manis, tembakau, cengkeh, dan
lain sebagainya. Keadaan geografis seperti ini membuat masyarakat yang berada di
Kecamatan Sipirok hanya mengandalkan pertanian penanaman padi menunggu hujan
para leluhur meraka yang membuka daerah Sipirok dan sudah terpola selama
beberapa generasi.
2.2. Mata Pencaharian
Mata pencaharian utama masyarakat di Kecamatan Sipirok adalah bertani
dengan menanam padi di musim penghujan. Baik yang mengolah tanah pertaniannya
milik sendiri, atau mengusahakan tanah milik orang lain dengan sistem bagi hasil.
Setiap bulan September-Desember petani turun ke sawah dan mengolah sawahnya.
Jika cuaca baik dengan curah hujan cukup, maka para petani lebih mudah dalam
mengolah sawahnya. Pengerjaan sawah, dari mulai mengolah tanah sampai dengan
menanam memakan waktu 2-3 bulan, sedangkan waktu untuk mendapatkan hasil
panen 5-6 bulan dari waktu tanam.
Masyarakat Sipirok, jika selesai panen padi di sawah mereka melanjutkan
pekerjaannya dengan menanam tanaman muda atau palawija, seperti cabai, kacang
tanah, kacang panjang, kacang merah, kacang kedelai, jagung, dan lain sebagainya.
Masa penanaman palawija dilakukan oleh masyarakat Sipirok biasanya pada awal
musim kemarau, sehingga petani harus bekerja keras mencari air guna menanam
tanaman itu. Penyiraman dilakukan 2 kali, yaitu pagi dan sore. Cara penyiramannya
juga sangat sederhana seperti menggunakan alat ember dan gayung. Tanaman
tanaman palawija yang disesuaikan dengan masa tanaman padi berikutnya. Hasil
yang diperoleh oleh petani di Kecamatan Sipirok sebahagian dikonsumsi sendiri dan
sebahagiannya lagi dijual untuk keperluan lainnya yang antara lain menyekolahkan
anak-anaknya dan bersosialisasi dengan keluarga, kerabat ataupun jiran tetangga.
Selain bertani masyarakat di Kecamatan Sipirok mempunyai keahlian lain,
seperti membuat kramik/grabah, kerajinan tangan dari manik-manik berupa dompet,
tempat sirih, menenun kain khas Sipirok, membuat tikar dari rotan dan pandan serta
ulos.
2.3. Latar Belakang Sejarah Tapanuli Selatan
Kecamatan Sipirok umumnya didiami oleh sub etnis Sipirok/Angkola. Pakar
Antrropolgi menyatakan, kedua etnis ini sama. Terpisah dengan etnis Mandailing dan
etnis Batak Toba. Diperkirakan, etnis Sipirok/Angkola bermigrasi dari daerah Batak,
yaitu berasal dari Toba tepatnya daerah Muara dan bermarga Siregar. Mereka datang
dengan jumlah yang besar untuk mencari penghidupan yang lebih baik dari duapuluh
generasi. Hal ini disebabkan lahan di Tanah Batak sudah tak sanggup lagi
menampung masyarakat bermarga Siregar dan berkembag dengan pesat. Salah satu
daerah yang mereka tuju adalah Sipirok dan yang lainnya menyebar ke daerah-derah
Di Sipirok banyak ditemukan pohon pirdot. Tanaman ini banyak tumbuh di
pinggiran sungai dan berbatang sangat keras). Pohon ini ditemukan marga Siregar,
dan tempat itu lalu mereka namakan Sipirdot yang lama kelamaan menjadi Sipirok.
Marga Siregar yang dating ke Sipirok ini merupakan Bangsa Proto Melayu yang
datang ke Pulau Sumatera karena desakan dari bangsa Palae Mongoloid.1
3.Gelombang ketiga sampai di muara sungai Sorkam yaitu antara Barus dan
Sibolga. Mereka masuk ke daerah pedalaman dan sampai di kaki gunung
Pusuk Buhit dekat Danau Toba.
Mereka
menyebar pada tiga daerah, yaitu:
1.Gelombang pertama mendarat di Pulau Nias, Mentawai, dan Siberut.
2.Gelombang kedua mendarat di Muara Sungai Simpang atau Singkil, yaitu sub
etnis Batak Gayo atau Batak Alas.
2
Keturunan marga Siregar semakin berkembang, akhirnya Ompu Palti Siregar,
penguasa ketika daerah Sipirok baru dibuka membagi kerajaannya yang dipimpinnya
menjadi tiga kerajaan, yaitu:
1
Mangaraja Onggang Parlindungan, Tuanku Rao, Jakarta: Tanjung Pengharapan,1964, hal. 47-48.
2
1. Kerajaan Parau Sorat yang dipimpin oleh Ompu Sayur Matua
2. Kerajaan Baringin dipimpin oleh Sutan Parlindungan, dan
3. Kerajaan Sipirok dpimpin oleh Ompu Sutan Hatunggal
Untuk mempersatukan ketiga kerajaan ini, maka disuatu tempat yang
bernama Dolok Pamelean dibuatlah tempat pertemuan (bukit
persembahan/pengorbanan). Pada tempat itu, sebagai tempat pertemuan ditanamlah
pohon Beringin. Tempat ini menjadi lokasi atau Camat Kecamatan Sipirok yang
sekarang).
Mandailing adalah suatu wilayah yang terletak di Kabupaten Mandailing
Natal. Berada di tengah Pulau Sumatera sepanjang jalan raya lintas Sumatera lebih
kurang 40 km dari Padang Sidimpuan ke selatan dan lebih kurang 150 km dari Bukit
Tinggi ke utara.Berbatas dengan:
- Angkola di sebelah utara
- Pesisir di sebelah barat
- Minangkabau di sebelah selatan dan
- Padang Lawas di sebelah timur3
3
Batas-batas tersebut tidaklah sama dengan batas-batas administrasi pemerintahan.
Batas ini didasarkan kepada wilayah masyarakat adat.
Wilayah Mandailing didiami oleh etnis Mandailing. Wilayah Angkola didiami
oleh etnis Angkola, serta etnis Minangkabau mendiami daerah Minangkabau.
Mandailing sendiri dibagi dua walaupan adatnya sama. Pembagian iyu adalah
Mandailing Godang dan Mandailing Julu. Daerah Mandailing Godang didominasi
oleh marga Nasution yang wilayahnya mulai dari Sihepeng di sebelah utara
Penyabungan sampai Maga di sebelah selatan serta daerah Batang Natal sampai
Muara Soma dan Amara Parlampungan di sebelah barat.
Daerah Mandailing Julu, didominasi oleh marga Lubis. Wilayahnya, mulai
dari laru dan Tambangan di sebelah utara. Di sebelah selatan mulai dari Kotanopan
sampai Pakantan dan Hutanagodang.
2.2 Lingkungan Etnografis
Etnis Sipirok Angkola adalah orang yang berasal dari Sipirok Angkola. Secara
turun temurun dimanapun dia bertempat tinggal. Etnis Sipirok / menganut sistem
garis keturunan ayah (patrilinial) yang terdiri dari marga-maraga:
- Harahap
- Rambe
- Ritonga
- Pohan
- Dan lain-lain.
Etnis Mandailing adalah orang yang berasal dari Mandaiking. Secara turun
temurun dimanapun dia bertempat tinggal. Etnis Mandailing menganut sistem garis
keturunan ayah (patrilinial) yang terdiri dari marga-maraga:
- Nasution
marga ini tidak serentak mendiami wilayah Mandailing, Ada beberapa
marga yang dating kemudian dan mendiami wilayah yang kemudian dianggap
4
sebagai warga Mandailing dan tidak mau disebutsebagai warga pendatang. Sebagai
contoh, Marga Hasibuan yang bertempat tinggal di Mandailing, yang berasal dari
Barumun sudah mempunyai Bona Bulu di Mandailing. Sebahagian dari marga
Hasibuantelah turut membuka huta bersama-sama dengan raja, sehingga ia disebut
anak boru bona bulu. Demikian juga marga lainnya.
Marga-marga initidak serentak mendiami wilayah Mandailing, Ada
beberapa marga yang dating kemudian dan mendiami wilayah yang kemudian
dianggap sebagai warga. Mandailing dan tidak mau disebutsebagai warga pendatang.
Sebagai contoh, Marga Hasibuan yang bertempat tinggal di Mandailing, yang berasal
dari Barumun sudah mempunyai Bona Bulu di Mandailing. Sebahagian dari marga
Hasibuantelah turut membuka huta bersama-sama dengan raja, sehingga ia disebut
anak boru bona bulu. Demikian juga marga lainnya.
Etnis Mandailing hampir 100 % penganut agama Islam yang taat. Oleh karena
itulah agama Islam sangat besar pengaruhnya dalam pelaksanaan upacara-upacara
adat.
Mata pencaharian penduduk di Tapanuli Selatan pada umumnya bertani dan
berkebun, buruh tani, Pegawai negeri, pedagang, karyawan swasta, nelayan dan
Usaha perkebunan rakyat meliputi tanaman karet, kopi, kulit manis, kelapa.
Disamping itu pertanian pangan meliputi padi sawah, kentang, jahe, sayur mayor dan
lain-lain. Dari hasil perikanan di Tapanuli Selatan dihasilkan ikan dari hasil usaha
nelayan dan penambak berupa ikan tuna, ikan air tawar dari lubuk larangan, perairan
umum, dan budaya kolam ikan. Masyarakat juga mengusahakan peternakan, meliputi
peternakan sapi, kerbau, kambing dan unggas. Hasil hutan meliputi hutan tanaman
industry, rotan, dan kayu.
Disamping hasil-hasil tanaman dan peternakan di atas yang ada di Tapanuli
Selatan, daerah ini juga kaya dan memiliki potensi yang besar akan barang tambang.
Selain itu ada yang lebih menarik lagi di daerah Tapanuli Selatan adalah daerah ini
kaya akan budaya, alam dan, adat istiadat yang melengkapi kehidupan
masyarakatnya.yang berkehidupan di daerah Tapanuli Selatan.
2.3. Wilayah Persekutuan Adat
Persekutuan (kesatuan) masyarakat adat Tapanuli Selatan, yang dipimpin oleh
seorang raja, mendiami wilayah-wilayah tertentu, wilayah dimana masyarakat
tersebut bermukim, sebagai wadah tempat berkumpulnya dan mengikatkan diri
terhadap kelompoknya. Huta (kampong) merupakan suatu kesatuan pada kelompok in
Menurut Wisnyodipuro,
“Hidup bersama di dalam masyarakat tradisional Indonesia bercorak Kemasyarakatan, bercorak komunal. Manusia di dalam hukum adatadalah orang yang terikat kepada masyarakat,tidak sama sekali terbebas dalam segala
perbuatan .5
a Banjar, suatu pemukiman yang biasanya terdiri dari 4 (empat) sampai 6
(enam) kepala keluarga, terletak ditengah-tengah perladangan atau
persawahan dan mempunyai ikatan adat dengan ibu kampungnya (induk). ”
Wilayah sebagai anggota masyarakatnya mengikatkan diri satu sama lainnya
di dalam satu ikatan. Di Tapanuli Selatan disebut huta atau kampung (desa). Di
samping huta, wadah sebagai tempat tinggal kelompok masyarakat adat di Tapanuli
Selatan Selatan, dikenal kelompok-kelompok masyarakat lainnya, yaitu:
b Lumban, kelompok masyarakat yang terdiri dari (enam) sampai sepuluh
kepala keluarga.
c Pagaran suatu perkampungan yang terdiri dari 10 (sepuluh) sampai 20
(duapuluh) kepala keluarga yang diurus oleh kerapatan adat dari ibu
kampungnya (induk)
d Janjian, adalah kumpulan dari beberapa huta. Raja-raja dari huta itu yang
disebut dengan raja Pamusuk yang membentuk satu ikatan atau perjanjian
5
bila salah satu huta menghadapi masalah, maka huta yang lain harus turut
membantu menyelesaikannya. Wilayah janjian ini dikepalai oleh raja
Panusunan.
Apabila huta telah diresmikan sesuai dengan ketentuan adat, maka
huta itu disebut Bona Buli. Ciri-ciri huta yang menjadi Bona Bulu adalah jika satu
kampong itu telah diberi batas. Huta yang sudah merupakan Bona Bulu itu
mempunyai Bagas Godang dan Sopo Godang sebagai tempat kediaman raja dan
sebagai tempat masyarakat bermusyawarah dan melakukan pertemuan dengan raja.
2.4. Pelapisan Sosial
Pada masa dahulu, dalam masyarakat Tapanuli Selatan terdapat suatu sistem
pelapisan sosial yang terdiri dari tiga strata. Strata yang pertama (tertinggi) terdiri dari
golongan bangsawan, atau golongan kerabat raja yang dinamakan “Namora”. Di
bawah golongan bangsawan terdapat golongan penduduk biasa ( bukan bangsawan)
yang disebut sebagai “halak na bahat”. (orang kebanyakan), dan status yang terendah
terdiri dari golongan budak yang dinamakan “hatoban”. Orang-orang yang masuk
pada golongan hatoban adalah :
a. Orang-orang yang ditawan atau dikalahkan dalam peperangan.
b. Orang-orang yang melakukan kesalahan berat dan menjalani hukuman
c. Orang-orang yang karena tidak sanggup membayar hutang dijadikan
budak, dan kalau hutangnnya sudah lunas kembali menjadi orang
bebas.6
Budak yang sudah berumah sendiri dan mengerjakan lading atau sawah
sendiri, tetapi masih terikat dengan majikannya, sehingga sewaktu-waktu dapat
disuruh bekerja untuk kepentingan majikannya dinamakan “pankandangi”.
Budak yang bertempat tinggal di rumah majikannya dan bertugas melayani
segala keperluan majikannyadinamakan “hatoban”, atau “pangolo” (budak pelayan).
Budak yang tinggal di rumah sendiri
Berkewajiban mengerjakan semua lahan pertanian milik majikannya
dinamakan “hatoban marsaro” ( budak yang sudah dibebaskan, tetapi tidak tinggal di
rumah majikannya} dinamakan “ompung dalam” dan berstatus sebagai orang
kebanyakan penduduk biasa
Sejak tahun 1876, pemerintah colonial Belanda menghapuskan perbudakan di
kawasan Tapanul Selatan. Meskipun perbudakan telah dihapuskan pemerintah
Kolonial, tetapi dalam kedudukannya pada masyarakat di Tapanuli Selatan, mereka
yang dibebaskan oleh Belanda itu kedudukannya masih tetap rendah dalam kaca mata
etnis-etnis yang ada di Tapanuli Selatan. Masyarakat Tapanuli Selatan, sedapat
mungkin menghindar berhubungan dengan orang yang dianggap “hatoban”, seperti
menghindari perkawinan dengan bekas “hatoban” dan keturunannya.
Datangnya zaman kemerdekaan, pandangan masyarakat di Tapanuli Selatan
terhadap golongan bekas “hatoban”. Kelompok ini mengalami perun\bahan yang
cukup besar. Artinya, mereka tidak lagi dipandang terlalu rendah dan zaman telah
berubah, mereka sudah dianggap sebagai masyarakat yang sama dengan masyarakat
lainnya. Kemerdekaan Zaman kemerdekaan merubah pandangan masyarakat,
membuat orang yang dianggap “hatoban” tidak dideskriminatif lagi.
Munculnya kelompok “hatoban” di daerah Tapanuli Selatan membawa
pengaruh yang sangat besar bagi keharmonisan kehidupan antar masyarakat. Hal ini
disebabkan, golongan “hatoban” merupakan orang-orang yang kalah dalam satu
pertempuran/perkelahian/perselisihan. Bagi masyarakat di Tapanuli Selatan
kekalahan dalam pertempuran/perkelahian/perselisihan lebih buruk dari hal-hal yang
lain, seperti tidak mempunyai harta, tidak ada pendidikan bahkan tidak punya agama.
Yang kalah, harus menjdi budak dan selalu patuh pada pihak atau kelompok yang
menang sampai dia dapat memenangkan pertempuran/perkelahian/perselisihan pada
“Hatoban”, tidak hanya diakui oleh kelompok yang menang dalam suatu
pertempuran, tetapi juga diakui oleh seluruh masyarakat yang mendiami wilayah di
BAB III
KEPEMIMPINAN TRADISIONAL DI TAPANULI SELATAN
3.1 Sistem Pemerintahan Tradisional
Pada zaman dahulu, di Mandailing terdapat kerajaan-kerajaan kecil yang biasa
disebut “huta” (kampung). Setiap “huta”, dipimpin oleh seorang raja yang
menyelenggarakan pemerintahan bersama dengan tokoh-tokoh “namora natoras”,
biasanya terdiri dari “kepala-kepala ripe”, yaitu pimpinan kelompok-kelompok
penduduk yang mendiami sebuah “huta” dan juga tokoh-tokoh adat serta orang-orang
yang dituangkan.
Kelompok masyarakat yang dinamakan “ripe” biasanya terdiri dari
orang-orang yang satu marga. Dalam setia[ “huta” biasanya bertempat tinggal penduduk
yang terdiri dari beberapa marga dan yang menjadi raja adalah marga yang membuka
kampung. Biasanya setiap kepala “ripe”,
mempunyai fungsi dalam pemerintahan sebagai “namora natoras” yang mewakili
kelompok marganya dalam pemerintaha.
Meskipun yang menjadi pemimpin di setiap “huta” adalah seorang raja, tetapi
di dalam menyelenggarakan pemerintahannya seorang raja tidak dapat berbuat secara
natoras”. Setiap keputusan atau tindakan yang menyangkut kepentingan rakyat dan
tindakan yang menyangkut adat istiadat selalu harus dimusyawarahkan oleh raja
dengan “namora natoras”, dan keputusan diambil secara mufakat.
Musyawarah adat maupun pemerintahan, biasanya diselenggarakan secara
terbuka di Balai Sidang Adat yang dinamakan “Sopo Godang”. Sistem pemerintahan
yang bersifat demokratis di Tapanuli Selatan, pada masa yang lalu dilambangkan
melalui bangunan tradisional “Sopo Godang”, yang sengaja dibuat tanpa dinding.
Keadaan yang demikian itu melambangkan bahwa rakyat bebas mendengar setiap
musyawarah adat dan pemerintahan yang dilakukan oleh raja bersama-sama dengan
“namora natoras”. Setiap “huta” yang telah mempunyai status sebagai kerajaan
mempunyai sebuah bangunan”Sopo godang”, untuk tempat raja dan tokoh-tokoh
pimpinan masyarakat bermusyawarah.
3.2. Masa Kekuasaan Pemerintah Paderi
Dalam membicarakan kepemimpinan tradisional di Tapanuli Selatan, daerah
tersebut pernah berada di bawah kekuasaan Kaum Padri sejak tahun
1816. Pada waktu itu terjadilah pengislaman pada masyarakat Tapanuli Selatan, yang
Karena berada di bawah pengaruh Animisme, tentu saja adat istiadat orang
mandailing sebelum ditaklukkan oleh kaum Paderi banyak berkaitan dengan
kepercayaan itu. Keadaan adat istiadat yang demikian, tentu saja sangat bertentangan
dengan ajaran agama Islam yang dibawa oleh kaum Paderi dari Sumatera Barat. Oleh
karena itu dalam mengembangkan ajaran agama Islam, kaum Paderi telah
menghapuskan berbagai kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan agama
Islam. Dengan demikian, maka terjadilah berbagai perubahan besar dalam adat
istiadat mayarakat Tapanuli Selatan di bawah ajaran agama Islam yang dikebangkan
oleh kaum Paderi. Namun demikian, Pemerintah Paderi masih memberikan toleransi
pada kebiasaan-kebiasaan yang selama ini dilakukan oleh masyarakat sejauh tidak
merubah aqidah agama islam. 7
Kalau waktu sebelumnya raja “Panusunan” Bulung” yang membawahi
beberapa “huta”, hanya mempunyai peranan tertentu saja, yaitu dalam masalah adat Sejak berkuasanya kaum Paderi di wilayah mandailing, atau pemerintahan tradisional
yang ada setelah kaum Paderi menguasai daerah
ini, dan agama Islam yang telah dianut oleh masyarakat, telah merubah struktur dan
sistem pemerintahan yang ada.
7
istiadat. Sedangkan raja “Pamusuk” mempunyai peranan yang lebih dominan dalam
setiap “huta” yang dikuasainya. Akan tetapi setelah wilayaj ini dikuasai oleh kaun
Paderi, atau agama Islam lebih eksis dari pada adat istiadat, maka sistem dan struktur
pemerintahan itu mengalami perubahan.
Raja “Panusunan Bulung” yang secara formalitas menguasai wilayah yang
terdiri dari beberapa “huta”, atau wilayah kenegerian, dirubah sebutannya menjadi
kepala “Kuria”. Istilah “Kuria” ini berasal dari bahasa Arab”Qoriah’. Yang artinya
adalah wilayah. Sedangkan penguasanya di sebut sebagai “khadi”, yang dapat juga
berarti “hakim”.
Dengan demikian seorang raja “Panusunan Bulung” yang mengepalai sebuah
“Kuria”, Keika nama itu sudah berubah menjadi “Khadi”, dan kekuasaannya juga
bertambah luas para “Khadi setiap “Kuria”, bukan saja berkuasa dibidang
keagamaan, melainkan juga dibidang politik, ekonomi,,
dan sosial. Jelasnya kalau sebelumnya tokoh-tokoh tradisional pada masa paderi
memerintah berdasat pada syariat ( norma-norma menurut ajaran agama Islam ).8
8
Sejarah Perkembangan Pemerintah Departemen Dalam Negeri di Provinsi Sumatera Utara, Diktat, Prov. SU.,
1990, hal. 37.
Hal
3.3 Masa Pemerintahan Kolonial Belanda
Sejak Pemerintah Kolonial Belanda dapat menguasai daerah Mandailing pada
tahun 1840, maka pemerintah Belanda mengadakan reorganisasi dalam
pemerintahannya. Dengan cara menghapuskan secara resmi nama raja “Panusunan”
dan menggantikannya dengan nama “Kepala Kuria”. Raja “Pamusuk”. Diganti
dengan nama ke[ala kampung dan raja “Ripe”, diganti dengan nama kepala “Ripe”.
Dalam menjalankan pemerintahannya, kepala “Kuria”, ini adalah sebagai
perpanjangan tangan pemerintahan Belanda di wilayahnya. Untuk mempermudah dal
am melaksanakan kekuasaannya, pemerintah kolonial Belanda merubah baik struktur
maupun sistem pemerintahan di daerah-daerah yang dikuasainya.
Kawasan Tapanuli Selatan disebut dengan nama “Afdeeling”. Padang
Sidempuan yang dikepalai oleh seorang Residen yang berkedudukan di Padang
Sidempuan.
Afdeeling Padang Sidempuan dibagi atas 3 (tiga) wilayah kekuasaan, yaitu:
1. Onder Afdeeling Angkola dan Sipirok
2. Onder Afdeeling Padang Lawas
Onder Afdeeling masing-masing dikepalai oleh seorang”Counteleur” dan dibantu
oleh masing-masing demang9
1. Onder Afdeeling Angkola dan Sipirok berkedudukan di Padang
Sidempuan. Onder Afdeeling ini dibagi lagi atas 3 (tiga) onder distrik,
yang masing-masing dikepalai oleh seorang Asisten , yaitu:
2. Demang, yaitu:
a. Distrik Anggkola berkedudukan di Padang Sidempuan
b. Distrik Batang Toru berkedudukan di Batang Toru
c. Distrik Sipirok berkedudukan di Sipirok
3. Onder Afdeeling Padang Lawas, berkedudukan di Sibuhuan. Onder
Afdeeling dibagi lagi atas 3 (tiga) Onder Distrik, yang masing-masing
dikepalai oleh seorang Asisten Demang, yaitu:
a. Distrik Padang Bolak berkedudukan di Gungung Tua
b. Distrik Barumun berkedudukan di Sibuhuan
c. Distrik Dolok berkedudukan di Sipiongot
4. Onder Afdeeling Mandailing Natal, berkedudukan di Kota Nopan.
9
Onder Afdeeling ini dibagi pula atas 5 ( lima ) Onder Distrik,
masing-masingdikepalai oleh seorang Asisten Demang, yaitu:
a.Distrik Panyabungan berkedudukan di Panyabungan
b. Distrik Kotanopan berkedudukan di Kotanopan
c.Distrik Muara Sipongi berkedudukan di Muara Sipongi
d. Distrik Natal berkedudukan di Natal
e.Distrik Batang Natal berkedudukan di Muara Soma
Setiap Distrik dibagi atas beberapa “Kuria”, yang dikepalai oleh kepala
“Kuria”. “Kuria” ini, dipecah pula menjadi beberapa kampung dan setiap kampung
dikepalai oleh seorang “Ripe”. (pembagian kampung ini dilakukan jika mempunyai
penduduk yang banyak).
4.4Masa Kemerdekaan Republik Indonesia
Pada waktu terjadinya Revolusi Kemerdekaan pada tahun 1945,
kedudukan raja adat yang ada ditangan kepala “Kuria”, berubah. Dengan adanya surat
ketetapan Residen Tapanuli yang bernama Dr. F.L. Tobing, No. 274 tanggal 14
Maret 1946, lembaga kekuasaan dihapuskan dan diganti dengan Dewan Nagari.
Jabatan kepala “Kuria” dan kepala kampong ditiadakan. Sebagai gantinya diangkat
Ketua Dewan Nagari dan Ketua Kampung10
10
Ibid., hal. 33.
Hal ini menunjukkan adanya batasan yang jelas antara tata pemerintahan
dengan adat istiadat. Meskipun terjadi Perubahan, dalam kelembagaan pemerintahan,
namun adat dan tradisi akan tetap berjalan.
Wewenang Ketua Dewan Nagari dan Ketua Kampung itu, adalah khusus
dalam bidang pemerintahan saja. Sedangkan urusan adat tetap dipegang dan
dilaksanakan oleh mereka yang berhak menurut kebiasaan dalam masyarakat. Itulah
sebabnya, upacara-upacara adat tetap dipimpin oleh raja “Panusunan” dan raja
“Pamusuk” untuk memimpin adat istiadat di Tapnuli Selatan.
Di daerah Tapanuli Selatan jelas sekali pemisahan antara pemimpin informal
dan pemimpin non formal. Demikian juga dengan tata cara pengangkatan kedua
pemimpin itu. Keadaan ini membuat masyarakat yang ada di Tapanuli Selatan tidak
terjadi perebutan kepemimpinan di antara dua kekuatan informal itu. Kedua
pemimipin mempunyai kekuasaan berbeda tetapi sama-sama sangat dihormati oleh
masyarakat yang mendiami daerah Tapanuli Selatan.
Keadaan in dapat terjadi dikarenakan kepemimpinan yang ada di Tapanuli
Selatan, merupakan produk budaya lokal, yaitu kearifan budaya. Dimana kearifan
budaya, diciptakan oleh sekelompok etnis sudah barang tentu untuk kepentingan
kelompoknya. Selain itu kearifan budaya yang ada di Tapanuli Selatan tetap terlestari
karena masyarakat yang ada percaya, bahwa inilah yang terbaik bagi kelanggengan
BAB IV
KEPEMIMPINAN TRADISIONAL DI TAPANULI SELATAN
4.1 Bentuk Kepemimpinan Tradisional di Tapanuli Selatan
Setiap kelompok masyarakat mempunyai ketentuan-ketentuan yang harus
diikuti dan dipatuhi oleh warganya untuk mencapai kesejahteraan.
Ketentuan-ketentuan itu harus didasari oleh falsafah hidup yang merupakan nilai luhur dari
masyarakat itu sendiri.
Berbicara masalah bentuk kepemimpinan tradisonal tentu tidak terlepas
darimasyarakat yang memang masih mendasarkan kehidupan sosial kemasyarakatan
tersebut, kepada apa-apa yang telah menjadi kebiasaan dan telah dianggap sebagai
bagian dari tata cara dan prilaku yang telah menjadi ketetapan dalam hukum adat bagi
masyarakatnya.
Bentuk hukum kekeluargaan (patrilineal) sangat mempengaruhi sistem
pemerintahannya terutama berdasarkan atas pertanian, peternakan, perikanan dan
pemungutan dari hasil hutan dan lain sebagainya. Semua anggota masyarakatnya
sama dalam hak dan kewajibannya. Kehidupannya berciri komunal, dimana
gotongroyong, tolong menolong merupakan ciri yang tampak jelas dan memiliki
persekutuan-dengan suatu kotapraja di negeri-negeri Barat dan di Indonesia modern. Melainkan
kehidupan masyarakat di dalam badan-badan persekutuan itu bersifat kekeluargaan
yang merupakan kesatuan hidup bersama, dari suatu golongan manusia yang satu
sama lain saling mengenal11.
Lebih jauh dikatakan bahwa, kepala/ketua dari sekelompok masyarakat/rakyat
bertugas memelihara kehidupan. Hukum di dalam persekutuan menjadikan hukum itu
dapat berjalan dengan selayaknya.
Oleh karenannya berdasarkan kenyataan di lapangan dapat ditentukan bahwa,
bentuk kepemimipinan tradisional pada masyarakat Tapanuli Selatan dapat
digambarkan seperti bagan dalam lampiran I.
Bentuk kepemimpinan tradisional seperti yang digambarkan dalam bagan
lampiran I, lepas dari bentuk pemerintahan resmi yang ada pada lembaga
pemerintahan negara republik Indonesia. Namun bentuk kepemimpinan tradisional di
Tapanuli Selatan ini merupakan mitra pemerintah dalam menjalankan pembangunan
di masyarakat.
11
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1977,
Dapat dijelaskan bahwa, raja “Panusunan”. Adalah raja yang disetujui dan
sekaligus sebagai raja “huta” di dalam “huta”nya sendiri. Raja “Panusunan ini
merupakan raja tertinggi dari kesatuan beberapa “huta”. Adapun raja “Pamusuk,
merupakan raja-raja yang berada di bawah raja “Panusunan”, sedangkan “Ripe”
merupakan raja terendah di bawah raja “pamusuk” yang bertempat tinggal
bersama-sama di satu “Huta”.
Bentuk kepemimpinan tradisional di Tapanuli Selatan ini, sudah tidak terlihat
lagi. Hal ini disebabkan perkembangan dinamika di Tapanuli Selatan dan
perubahan-perubahan sistempemerintahan yang dibuat dan dilaksanakan penguasa. Keberadaan
raja “Panusunan” hanya terlihat apabila dalam suatu “Huta” sedang berlangsung
kegiatan adat maupun upacara adat.
4.2 Fungsi Kepemimpinan Tradisional di Tapanuli Selatan
Sebagaimana yang telah disebutkan pada bab-bab terdahulu, bahwa dalam
sebuah “Huta” raja mempunyai kedudukan yang tertinggi sebagai kepala adat dan
pemerintahan. Kedudukan dan status raja yang demikian itu, raja hanyalah
mempunyai fungsi sebagai menjalankan pemerintahan, membuat pengesahan
terhadap peraturan adat dan juga menjalankan pengadilan terhadap penduduk
Dalam menjalankan fungsinya ini, raja harus senantiasa bekerjasama dan
melibatkan raja-raja yang ada dalam satu huta. Keputusan raja didasarkan atas
musyawarah dan mufakat. Apabila raja membuat satu keputusan, tetapi raja-raja yang
ada dalam satu “Huta” tidak menyetujuinya, maka keputusan yang diputuskan oleh
raja tersebut, tidak akan berlaku untuk keperluan pemerintahan maupun keperluan
adat, tetapi setiap keputusan ,aupun tindakan yang diambil melalui musyawarah dan
mufakat baru dianggap syah apabila telah disetujui atau diberi pengesahan oleh raja.
Dengan demikian dapatlah dilihat bahwa sistem pemerintahan tradisional
yang berlaku di Tapanuli Selatan adalah sistem demokrasi. Dalam sistem
pemerintahan yang demikian itu, seorang raja yang ternyata melakukan kesalahan
menurut adat istiadat dapat diturunkan dari kedudukannya oleh masyarakat melalui
permusyawaratan dan mufakat.
Selain dari pada itu, jika tiba masa kekuasaan seorang raja, raja itu bisa
diganti. Misalnya karena meninggal dunia atau melanggar adat istiadat yang berlaku
di daerah Tapanuli Selatan. Pergantian raja dilakukan melalui pemilihan langsung
yang diikuti oleh penduduk sebuah “Huta”, jadi tidak selamanya sistem pemerintahan
yang berlaku berdasarkan turun temurun, tetapi dapat digantikan oleh kerabatnya
yang lain ataupun orang lain apabila memang menang dalam pemilihan. Namun
yang tetap berhak menjadi raja sebagai penggantinya adalah tetap dari golongan
Dengan demikian pergantian pemimpin tidak mendapatkan kendala. Hal ini
disebabkan orang yang menggatikan berasal dari keliarga sendiri, meskipus syarat
utama untuk menjadi pemimpin yang dicintai oleh rakyat harus dipunyai oleh seorang
pemimpin, seperti mempunyai sifat-sifat yang dapat menjadi suri tauladan bagi
BAB V
KESIMPULAN
Dari uraian-uraian di atas yang telah dikembangkan dalam pembahasan
skripsi ini, dapat disimpukan sebagai berikut:
• Sistem pemerintahan tradisional di tapanuli selatan, merupakan sistem
pemerintahan yang demokratis atau berdasarkan pada musyawarah
mufakat.
• Raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pada masyarakat Tapanuli
Selatan, dalam menjalankan fungsinya tetap bersama-sama dengan raja
“Huta” lainnya.
• Kedudukan raja sebagai penguasa tertinggi pada masyarakat Tapanuli
Selatan tidak selamanya berdasarkan secara turun temurun, melainkan
dapat juga melalui pemilihan dari keluarga dekatnya yang keturunan
bangsawan dan dari satu marga induk.
• Raja-raja di daerah Tapanuli Selatan merupakan raja yang diangkat oleh
kelompoknya berdasar pada kepintarannya mengelola dan
mempersatukan kelompok masyarakat yang berada di “Huta”, atau
• Kelompok masyarakat yang ada di daerah Tapanuli Selatan, sangat taat
dan patuh terhadap aturan yang telah di atur dalam hukum adat yang
DAFTAR PUSTAKA
Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah (terj.) Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press, 1995.
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1999.
Lauer, H., Robert, Persfektif Tentang Perubahan Sosial, Jakarta: PT. Rineka cipta, 1993.
Lubis, Z., Pangaduan, dan Zulkifli Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok, Medan: USU Press, 1998.
Nasution, Pandapotan, Adat Budaya Mandailing Dalam Tangtangan Zaman, Medan: FORKALA, Provinsi Sumatera Utara, 2005
Parlindungan, Mangaraja Onggang, Tuanku Rao, Jakarta: Tanjung Pengharapan, 1965.
Provinsi Sumatera Utara, Sejarah Perkembangan Pemerintahan Departemen Dalam Negeri di Provinsi Sumatera Utara, Medan: DIKLAT PROPSU, 1990.
Rajab, Muhammad, Sejarah Pers di Sumatera Utara, Medan: Penerbit Waspada,1978.
Scrike, B.J.O. Pergolakan Agama di Sumatera Barat, Sebuah Sumbangan Bibliografi, Jakarta: Bharata, 1973.
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1977.
Soekanto, Soedjono, Menuju Hukum Adat Indonesia, Jakarta: CV. Radjawali. 1981.
Lampiran I
Bentuk Kepemimpinan Tradisional di Tapanuli Selatan
Raja Panusunan Bulung
Raja Pamusuk A
Raja Pamusuk B
Raja Pamusuk C
PETA SUMATERA UTARA
DAFTAR INFORMAN
1. N a m a : Ir. Yusri Nasution
Umur : 60 Tahun
Pekerjaan : Pensiunan PNS
2. N a m a : Darul Nafis, SH
Umur : 65 Tahun
Pekerjaan : Pensiunan PNS
3. N a m a : Rohani Harahap
Umur : 57 Tahun
Pekerjaan : Ibu rumahtangga
4. N a ma : Fauziah Nasution
Umur : 50 Tahun
Pekerjaan : Pedagang
5. N a m a : M. Rizal Rambe
Umur : 30 Tahun
6. N a m a : Nurhayati Pohan
Umur : 61 Tahun