• Tidak ada hasil yang ditemukan

Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

COPING STRESS PADA PRIMARY CAREGIVER PENDERITA

PENYAKIT ALZHEIMER

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

RIANTI WIDIASTUTI

04131080

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Coping stress pada primary caregiver penderita penyakit Alzheimer Rianti Widiastuti dan Hasnida, M.Si.,psikolog

ABSTRAK

Alzheimer merupakan suatu gangguan otak yang progresif dan tidak dapat balik, yang dicirikan dengan kemorosotan secara perlahan dari ingatan, penalaran, bahasa, dan fungsi fisik (Santrock, 1995). Alzheimer paling banyak timbul pada usia 65 tahun. Penurunan kognitif pada penderita Alzheimer akan membutuhkan seseorang yang merawat untuk melakukan kegiatan sehari-hari yang disebut dengan caregiver. Kebanyakan yang menjadi caregiver adalah istri penderita Alzheimer. Penurunan kognitif, gangguan perilaku dan ketergantungan melakukan kegiatan sehari-hari pada penderita Alzheimer serta perubahan hidup yang dialami caregiver akan meningkatkan stres pada caregiver. Oleh karena itu diperlukan bagi caregiver melakukan metode coping yang tepat agar tidak meningkatkan resiko yang ada. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran coping stress yang digunakan oleh primary caregiver penderita Alzheimer. Karakteristik responden adalah istri dari penderita Alzheimer pada stadium menengah dan akhir yang berperan menjadi caregiver. Jumlah responden adalah 2 orang. Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan teknik berdasarkan teori/konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Metode pengumpulan data dilakukan dalam penelitian adalah wawancara mendalam (in depth interviewing) sebagai metode utama dalam pengambilan data.

Secara keseluruhan hasil penelitian menunjukkan bahwa istri yang menjadi caregiver penderita Alzheimer akan mengalami stres ketika memberikan perawatan. Sumber stres pada responden A berasal dari perubahan hidup yang dialaminya dan coping yang digunakan dengan melakukan kekerasan pada suaminya. Hal ini menimbulkan beban pada responden A dapat dilihat dari responden yang tidak menerima perubahan hidupnya. Sedangkan sumber stres pada responden B berasal dari penurunan kognitif pada suaminya yang menderita Alzheimer dan coping yang digunakan dengan mengontrol emosinya dahulu. Hal ini membuat responden B untuk beradaptasi dengan situasi yang ada.

(3)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala berkat dan

karunia-Nya yang senantiasa menyertai penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

proposal seminar ini sampai selesai.

Terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Bapak Dr.Hasan Sjahrir dan Ibu Endah, orang tuaku tercinta dan tersayang terima

kasih atas segala pengertian, informasi, dan semangat yang diberikan. Kakakku

tersayang, Mbak Puji terima kasih selalu memberikan semangat dan mendengar

semua cerita adekmu.

2. Ibu Hasnida, M.Si, psikolog selaku dosen pembimbing seminar ini atas segala

waktu yang diluangkan, bimbingan dan saran selama proses pengerjaan proposal

ini dari awal sampai selesai.

3. Ibu Arliza Juairiani Lubis, M.Si, psikolog dan Kak Juliana.I.Saragih, S.Psi selaku

dosen penguji atas petunjuknya hingga proposal ini dapat terselesaikan dengan

baik.

4. Bapak Ari Widiyanta, Psikolog atas keluangan waktu, bimbingan dan masukan

yang diberikan.

5. NK yang bersedia untuk melakukan wawancara dan memberikan cerita yang

membantu penulis menyelesaikan proposal ini.

6. Langit Athar Yudhistira dan Adriansyah Lubis, lelaki baik yang selalu mendengar

semua ceritaku dan memberikan semangat, canda tawa, dan bahagia.

7. Teman-temanku tersayang: Indri, Rina & Liya (kita jarang ketemu ya..), Wita,

(4)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Kiaw, Ecad (makasih buat semua kata-kata dan masukannya yang membuatku

lebih semangat), teman-teman yang lagi seminar Psikologi Klinis juga (terima

kasih buat semua informasi dan motivasinya...semangat..!!) serta teman-teman

mahasiswa psikologi stambuk 2004 terima kasih buat semua masukan, semangat,

dan cerita yang diberikan.

8. Terima kasih juga penulis ucapkan pada semua pihak yang telah memberikan

dukungan dan bantuan hingga seminar ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa proposal ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena

itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pembaca demi kesempurnaan proposal

ini. Harapan peneliti semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait,

lingkungan akademik Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, serta para pembaca

pada umumnya,

Terima kasih

Medan, Juni 2008

(5)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iii

BAB I. PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang... 1

I.B. Perumusan Masalah... 9

I.C. Tujuan Penelitian... 9

I.D. Manfaat Penelitian... 10

I.D.1.Manfaat teoritis... 10

I.D.2.Manfaat praktis... 10

I.E. Sistematika Penulisan... 11

BAB.II. LANDASAN TEORI II.A. Stres... 12

II.A.1.Pengertian Stres... 12

II.A.2.Sumber Stres... 13

II.B. Coping Stress... 14

II.B.1.Pengertian Coping... 14

II.B.2.Fungsi Coping Stress... 16

II.B.3.Metode Coping Stress... 16

II.C. Penyakit Alzheimer... 18

II.C.1.Gambaran Umum penyakit Alzheimer... 18

II.C.2.Kriteria Diagnostik Alzheimer... 20

(6)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

II.C.4.Stadium Penyakit Alzheimer... 24

II.D.Coping Stress pada Caregiver Keluarga Penderita Alzheimer... 25

II.F. Paradigma... 28

BAB. III. METODE PENELITIAN III.A. Penelitian Kualitatif... 29

III.B. Subjek Penelitian... 30

III.B.1.Karakteristik Subjek Penelitian... 30

III.B.2.Jumlah Subjek Penelitian... 30

III.B.3.Teknik Pengambilan Sampel... 31

III.B.4.Lokasi Penelitian... 31

III.C. Metode Pengumpulan Data... 31

III.C.1.Wawancara... 32

III.D. Alat Bantu Pengambilan Data... 33

III.D.1.Pedoman Wawancara... 33

III.D.2.Tape Recorder... 33

III.E. Prosedur Analisis Data... 34

BAB. IV. ANALISA DATA IV.A.Responden A………... 35

A.1. Analisa Data……… 35

A.2. Pembahasan Data………. 40

IV.B. Responden B……….. 41

B.1. Analisa Data………. 41

B.2. Pembahasan Data……….. 55

(7)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

BAB V. KESIMPULAN,DISKUSI,SARAN………. 59

DAFTAR PUSTAKA... v

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehidupan manusia di dunia akan mengalami beberapa proses dimulai dengan

kelahiran sampai dengan akhir kehidupan. Usia lanjut merupakan periode penutup dalam

rentang kehidupan seseorang dimana telah mengalami perubahan-perubahan yang tidak sama

ketika periode sebelumnya. Dalam proses tersebut manusia akan mengalami tahap

perkembangan yang berbeda dan setiap tahap yang dilalui akan memberikan beberapa

perubahan. Perubahan tersebut terjadi pada fungsi biologis dan motoris, pengamatan dan

berpikir, motif-motif dan kehidupan afeksi, hubungan sosial serta integrasi masyarakat

(Monks, 2002).

Menurut Hurlock (1980), salah satu ciri usia lanjut adalah mengalami periode

kemunduran. Kemunduran yang terjadi seperti mengalami perubahan fisik dan mental yang

sudah tidak sama ketika periode sebelumnya. Kemunduran fisik dan mental yang terjadi

secara bertahap dan perlahan disebut dengan proses menjadi tua.

Pada saat proses penuaan, otak dapat mengalami gangguan kognitif atau intelektual.

Gangguan tersebut sering diistilahkan dengan kepikunan. Kepikunan dianggap sebagai proses

fisiologis yang wajar pada saat terjadinya penuaan. Cummings dan Benson (1992)

menggunakan istilah "senescence" yang menandakan perubahan proses menua yang masih

(8)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

pada lanjut usia tetapi belum pikun, dan apabila sudah ada gangguan kepikunan maka

istilahnya adalah “dementia” (Besdin, 1987 dalam Sjahrir, Darulkutni, Rambe, 1999 ).

Demensia merupakan kekurangan fungsi kognitif secara progresif yang banyak

muncul pada usia lanjut (Sarafino, 2006). Karakteristik Demensia ditandai dengan

gejala-gejala gangguan pada komponen kognitif seperti berbahasa, memori, visuospasial, atensi, dan

fungsi eksekutif. Biasanya gangguan memori selalu ada dan diikuti oleh gangguan kognitif

lainnya (Sjahrir, Darulkutni, Rambe, 1999).

Salah satu penyebab dari Demensia adalah penyakit Alzheimer. Penyakit Alzheimer

merupakan suatu gangguan otak yang progresif dan tidak dapat balik, yang dicirikan dengan

kemorosotan secara perlahan dari ingatan, penalaran, bahasa, dan fungsi fisik (Santrock,

1995). Penyakit Alzheimer paling banyak timbul setelah usia 65 tahun. Organisasi Kesehatan

Dunia (WHO), memperkirakan lebih dari satu milyar orang tua yang berusia lebih dari 60

tahun atau 10% penduduk dunia menghidap penyakit Alzheimer pada tahun 2003.

Peningkatan ini, ada kaitannya dengan semakin banyak penduduk dunia yang berusia lanjut.

Pada saat ini penderita penyakit Alzheimer di dunia diperkirakan sebanyak 15 juta orang

(www.w3c.org). Laporan Departemen Kesehatan tahun 1998, populasi usia lanjut di atas 60

tahun adalah 7,2% (populasi usia lanjut kurang lebih 15 juta). Peningkatan angka kejadian

kasus demensia berbanding lurus dengan meningkatnya harapan hidup suatu populasi.

Penderita penyakit Alzheimer di Indonesia sendiri diperkirakan sebanyak 606.100 orang

dengan insiden 191.400 orang (www.koalisi.org). Penyakit Alzheimer merupakan penyakit

yang menyebabkan kematian nomor empat setelah kanker, stroke, dan penyakit jantung.

Angka kejadian Alzheimer sangat erat dengan penambahan usia. Pada usia 65 tahun

(9)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

lebih dari 80 tahun, dan 40% pada usia 90 tahun lebih ( dalam Sjahrir, Darulkutni,

Rambe, 1999).

Penderita penyakit Alzheimer akan mengalami beberapa perubahan di otak yang akan

menganggu aktivitas kehidupan sehari-hari. Gangguan otak pada penyakit Alzheimer ditandai

dengan penurunan pada perhatian, memori, dan kepribadian. Perubahan kepribadian

penderita Alzheimer terjadi secara tiba-tiba dimana penderita menjadi kurang spontan dan

lebih menarik diri dari orang lain. Penderita penyakit Alzheimer juga sering mengalami

disorientasi dalam waktu, tempat, dan identitas mereka (Sarafino, 2006).

Penurunan kognitif yang terjadi pada penderita penyakit Alzheimer berlangsung

semakin menurun secara progresif dan biasanya tampak dalam waktu lima sampai 10 tahun

mendatang. Kekurangan kemampuan sosial dan penurunan melakukan aktivitas sehari-hari

akan membuat penderita memerlukan bantuan dalam melakukan kegiatan sehari-hari

(Bayer&Reban, 2004). Bantuan dalam melakukan kegiatan sehari-hari akan menyebabkan

penderita membutuhkan seseorang untuk merawat. Seseorang yang melakukan perawatan

disebut dengan caregiver. Caregiver terdiri dari formal dan tidak formal. Caregiver formal

merupakan perawatan yang disediakan oleh rumah sakit, psikiater, pusat perawatan ataupun

tenaga profesional lainnya yang diberikan dan melakukan pembayaran. Sedangkan caregiver

yang tidak formal merupakan perawatan yang dilakukan di rumah dan tidak profesional dan

tanpa melakukan pembayaran seperti keluarga penderita yaitu istri/suami, anak

perempuan/laki-laki, dan anggota keluarga lainnya. Kebanyakan para penderita penyakit

Alzheimer akan tinggal di rumah dan menerima perawatan dari keluarga mereka (Sarafino,

2006). Di Indonesia, para penderita penyakit Alzheimer masih ditangani oleh keluarga dan

(10)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

tersedia di Indonesia menyebabkan kebanyakan penderita penyakit Alzheimer menerima

perawatan di rumah dan diberikan oleh keluarganya (Kusumoputro & Sidiarto, 2004).

Caregiver memiliki beberapa tugas yang dilakukan yaitu (1) emotional support,

pemberian saran; (2) asisten dalam pekerjaan rumah tangga (seperti pembersihan rumah,

persiapan makan, belanja, transportasi); (3) perawatan diri (seperti mandi, berpakaian,

makan, persiapan obat); (4) mengatur keuangan; (5) membuat keputusan tentang perawatan

dan berhubungan langsung dengan pelayanan kesehatan formal (seperti mengatur pelayanan

dalam rumah dan pelayanan kesehatan); (6) asisten pengaturan finansial (Brody &

Schoonover, 1986; Horowitz, 1985; Noelker, 1987; Townsend & Poulshock, 1986 dalam

Birren & Schaie, 1990).

Efek dari penyakit Alzheimer tidak hanya berdampak bagi penderita tetapi juga

berdampak pada anggota keluarga yang memberikan perawatan atau caregiving (Berk, 2007).

Kejadian yang stressful pada caregiver saat melakukan perawatan pada penderita penyakit

Alzheimer berhubungan dengan gangguan kognitif, fungsional dan perilaku yang dialami

oleh penderita. Aneshensel et al. (1995) menjelaskan objective stressor seperti kerusakan

kognitif, ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, dan masalah perilaku.

Sedangkan subjective stressor seperti reaksi caregiver pada objective stressor yang ada

(dalam Robertson, Zarit, Duncan, Rovinne, & Femia, 2007).

Salah satu stressors dari objective stressor adalah munculnya gangguan perilaku pada

penderita. Beberapa gangguan perilaku tersebut yaitu termasuk gangguan mood (seperti

depresi dan kecemasan), gangguan aktivitas (seperti mengembara), perilaku yang

mengganggu dan menuntut (seperti agresi secara fisik dan verbal), dan gejala psikotik

(11)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

dapat berhubungan dengan munculnya depresi pada caregiver (Schulz, 1995 dalam

Penderita penyakit Alzheimer semakin lama akan kehilangan fungsi kognitif,

kemampuan untuk melakukan tugas yang sederhana dan mengingat. Hilangnya fungsi

kognitif pada penderita penyakit Alzheimer akan membuat keluarga penderita Alzheimer

akan semakin frustasi (Migliorelli, 1995 dalam Sarafino, 2006). Hal ini dapat dilihat dari

hasil wawancara singkat dengan caregiver penderita penyakit Alzheimer. Pernyataan tersebut

seperti :

“..kita lihat kemundurannya hari ke hari..kadang-kadang itu yang bikin stres.. kalo kita perhatiin, kelihatan juga mundur..dari segi daya ingat, pikiran, sifatnya juga dah berubah....” (Komunikasi Personal, 15 Maret 2008)

Menurut hasil observasi peneliti pada fenomena yang dialami oleh NK (79 tahun)

yang merupakan istri dari KK (91 tahun) di Kota Medan merupakan salah satu contoh dari

munculnya stres pada caregiver akibat gangguan perilaku yang dialami oleh penderita

penyakit Alzheimer. KK menderita penyakit Alzheimer selama kurang lebih tujuh tahun.

Sebelum KK menderita penyakit Alzheimer, KK merupakan sosok yang sangat lembut dan

baik. KK tidak pernah marah kepada istrinya dan anak-anaknya. Setelah KK menderita

penyakit Alzheimer, KK berubah menjadi sosok yang tidak lembut, sering marah tanpa

alasan, dan membentak istrinya dan anak-anaknya. KK juga sulit untuk melakukan aktivitas

sehari-hari seperti makan yang banyak, tidur yang cukup, dan lainnya. Gangguan-gangguan

tersebut menyebabkan istri KK yaitu NK yang merupakan caregiver penderita menjadi stres

yang berlanjut. NK menjadi sulit tidur dan sering meminta obat ke dokter untuk mengurangi

stres.

Memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang terkena penyakit Alzheimer

(12)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Pengalaman dalam memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang terkena penyakit

Alzheimer dapat memberikan hasil yang negatif pada caregiver. Hasil negatif tersebut antara

lain stres, strain, masalah kesehatan fisik dan mental, dan beban (Aneshensel, Pearlin,

Mullen, Zarit, & Whitlatch, 1995; Schulz & Beach, 1999 dalam Robertson, Zarit, Duncan,

Rovinne, & Femia, 2007). Caregiver juga memiliki waktu yang sedikit diberikan untuk

anggota keluarga lainnya dan untuk aktivitas waktu luang bagi dirinya sendiri (Ory et al,

1999 dalam Hooyer & Roodin, 2003).

Istri yang menjadi caregiver bagi penderita Alzheimer lebih mengalami simtom

depresi daripada suami. Hal ini dikarenakan kehilangan kedekatan seperti saling bercerita dan

melakukan aktivitas bersama dalam hubungan perkawinan berhubungan dengan kerusakan

kognitif yang dialami penderita Alzheimer (Hoyer&Roodin, 2003).

Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara singkat dengan caregiver penderita

penyakit Alzheimer. Pernyataan tersebut seperti :

“...kita butuh kawan..untuk ngobrol dah gak bisa la.. gak bisa cerita apa aja gak bisa lagi.. dia ngerti sih tapi abis itu lupa lagi.. kadang pengen cerita yang dulu-dulu.. tapi gak bisa lagi.. memang jadi stres juga.. kita ada anak-anak, tapi dah ada kesibukan masing-masing.. gak bisa terus sama.. kadang kalo malam dah mau tidur kita gak ada kawan lagi.. jadi gimanapun juga suka stres sih. .sering lah.. kadang juga sampe minta obat ma dokter.. jadi susah tidur... ” (Komunikasi Personal, 15 Maret 2008)

Tuntutan untuk merawat penderita penyakit Alzheimer dapat menimbulkan masalah

fisiologis dan emosional bagi keluarganya (Sarafino, 2006). Istri menjadi lebih terbebani

dengan kesehatan penderita Alzheimer seperti menjadi lebih khawatir, frustasi, dan tidak

sabar sehingga mengakibatkan kerja yang berlebihan (Barrow, 1996). George dan Gwyther

(1986) menemukan bahwa pada caregiver penderita demensia lebih mengalami stres daripada

(13)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Stres yang dialami oleh caregiver akan mempengaruhi kesehatan mereka sendiri yaitu

sistem imun yang rendah, hormon stress yang tinggi, dan tingkat angka kematian yang tinggi

(Sarafino, 2006). Caregiver berusaha untuk mengimbangi potensi yang ia miliki dengan

tuntutan untuk memberikan perawatan. Penerimaan potensi yang dimiliki caregiver dapat

membuat dirinya menjadi lebih aktif dan melihat situasi yang ada dengan pandangan positif

(dalam Dacey dan Travers, 2002).

Pada saat mengalami stres, orang akan mencari dan menggunakan berbagai cara untuk

mengurangi dan menghilangkan stresnya atau biasa disebut dengan coping stress (Sarafino,

2006). Folkman dan Lazarus (dalam Rice, 1992) mendefinisikan coping sebagai usaha

individu dalam menghadapi dan bertingkah laku untuk menguasai, mengurangi, atau

memaklumi permintaan atas dirinya. Menurut Lazarus,dkk (1994) coping mempunyai dua

macam fungsi yaitu emotion-focused coping dan problem-focused coping.

Emotion-focused coping digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stres.

Pengaturan respon emosi menggunakan dua pendekatan yaitu perilaku dan kognitif.

Pendekatan perilaku termasuk dengan menggunakan alkohol, mencari social support dari

teman atau keluarga, dan melakukan aktivitas lain. Sedangkan pendekatan kognitif adalah

bagaimana orang berpikir mengenai situasi stressful (Sarafino, 2006). Social support

merupakan perantara bagi caregiver untuk mengurangi stres. Penerimaan social support yang

baik akan meningkatkan semangat dan mengurangi beban pada caregiver(Birren dan Schaie,

1990).

Hal yang sama juga diperoleh dari hasil wawancara singkat dengan caregiver

penderita penyakit Alzheimer. Pernyataan tersebut beragam mulai dari pernyataan seperti:

(14)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

“kalo jenuh ya keluar...pergi ke supermarket..yang dibeli juga satu atau dua barang aja.. tapi yang penting keluar aja dulu...” (Komunikasi Personal, 15 Maret 2008)

Caregiver mengambil salah satu dari tiga tipe emosional dalam coping stress dengan

merawat anggota keluarga yang menderita penyakit Alzheimer. Tipe-tipe tersebut adalah

confrontatial ( seperti marah, bersalah, sedih), denial (seperti menekan emosi negatif), dan

penghindaran (Hooyer & Roodin, 2003).

Beberapa penelitian menemukan bahwa penggunaan strategi emotion-focused coping

yang berbeda seperti penghindaran, pengharapan, dan pelepasan emosi dapat meningkatkan

depresi pada caregiver. Penggunaan satu strategi emotion-focused yaitu penerimaan dapat

mengurangi efek negatif pada caregiver (Pruchno & Resch, 1989 dalam

dengan caregiver penderita penyakit Alzheimer. Pernyataan tersebut beragam mulai dari

pernyataan seperti:

“...mesti banyak sabar... kalo marah juga percuma..dianya juga gak tahu.. tapi akhirnya jadi stres... yah, kita harus bisa nerima memang dah jalannya dan seperti ini.. kita balik lagi ke agama...” (Komunikasi Personal, 15 Maret 2008)

“...ada kejenuhan...tapi abis itu mikir jalan hidup yang harus kita jalani..dengan tawakkal..kalo gak, kita sendiri yang pusing sendiri...” (Komunikasi Personal, 15 Maret 2008)

Problem-focused coping digunakan oleh individu dengan mengurangi tuntutan dari

situasi stressful atau mengembangkan sumber pada dirinya. Individu akan mengurangi

stressor dengan mempelajari cara atau ketrampilan baru. Pendekatan problem-focused

cenderung digunakan jika individu yakin akan dapat merubah situasi. Caregiver pada pasien

terminal illness menggunakan problem-focused coping pada beberapa bulan sebelum menuju

(15)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Terkadang individu menggunakan tipe Emotion-Focused Coping dan

Problem-Focused Coping secara bersamaan ketika mereka menghadapi situasi yang stressful. Menurut

Lazarus dan Folkman (1984), penggunaan strategi coping stress yang efektif dapat

berbeda-beda sesuai dengan situasi dimana strategi tersebut digunakan.

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas peneliti ingin mengetahui

bagaimana pengalaman stres yang dialami oleh keluarga penderita Alzheimer dan coping

stress pada keluarga yang merawat individu penderita Alzheimer.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti merumuskan beberapa pertanyaan yang

akan dijawab melalui penelitian ini. Dengan demikian dapat dirumuskan masalah utama

penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah pengalaman stres pada caregiver yaitu pasangan dari individu penderita

Alzheimer?

2. Bagaimanakah strategi coping stress yang digunakan oleh caregiver yaitu pasangan dari

individu penderita Alzheimer?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengalaman stres dan gambaran

strategi coping stress yang dialami oleh pasangan penderita penyakit Alzheimer yang

berperan menjadi primary caregiver penderita.

(16)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk perkembangan ilmu

psikologis, khususnya di bidang Psikologi Klinis dan bermanfaat menjadi salah satu sumber

informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut masalah yang berkaitan dengan

coping stress pada pasangan penderita penyakit Alzheimer yang berperan menjadi primary

caregiver penderita.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada keluarga dan

orang-orang di sekitar individu penderita Alzheimer, institusi yang berada dalam bidang

Alzheimer dan pihak lain yang berkepentingan mengenai coping stress pada pasangan dari

individu penderita Alzheimer sehingga diharapkan dapat membantu mengatasi

masalah-masalah yang berhubungan dengan individu penderita Alzheimer tersebut.

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini dirancang dengan susunan sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan

Berisikan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Berisikan teori-teori yang menjelaskan data penelitian yaitu teori tentang stres,

(17)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

BAB III : Metodologi Penelitian

Berisikan pendekatan yang digunakan, subjek penelitian, metode

pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data penelitian, prosedur

penelitian dan prosedur analisis data

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Stres

1. Pengertian Stres

Dalam buku Stres and Health, Rice (1992), mendefinisikan stres dengan tiga

(18)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

a. Stres mengarah pada setiap kejadian atau stimulus lingkungan yang menyebabkan

seseorang merasa tertekan atau dibangkitkan. Dalam hal ini, stres berasal dari

eksternal seseorang. Kondisi yang dapat menimbulkan stres disebut dengan stressor.

Setiap situasi, peristiwa/kejadian atau objek yang memaksa tubuh dan menyebabkan

timbulnya ”physiological reaction” adalah stressor.

b. Stres mengarah pada respon subjektif. Dalam hal ini, stres merupakan bagian internal

dari mental, termasuk didalamnya adalah emosi, pertahanan diri, interpretasi dan

proses coping yang terdapat dalam diri seseorang.

c. Stres mengarah pada physical reaction dalam mengatasi ataupun menghilangkan

gangguan.

Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Sarafino, 2006) mengatakan stres adalah

keadaan dimana transaksi yang ada membuat orang mempunyai kesenjangan antara tuntutan

fisik atau fisiologis dari situasi dan sumber dari sistem biologis, psikologis, dan sosialnya.

Lazarus dan Folkman (dalam Morgan, 1986) mengatakan stres adalah keadaan

internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh (kondisi penyakit, latihan, dan

lainnya) atau oleh kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak

terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk melakukan coping. Penyebab stres yang

berasal dari fisik, lingkungan, dan sosial dapat diartikan dengan stressor. Sekali dimunculkan

oleh stressor maka memberikan berbagai macam respon, yaitu respon secara fisik dan

psikologis seperti kecemasan, depresi, keputusasaan, dan perasaan lainnya yang tidak dapat

diatasi.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa stres adalah

terjadinya kesenjangan antara tuntutan fisik, lingkungan, dan sosial dengan sumber daya yang

(19)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

2. Sumber Stres

Sarafino (2006) mengatakan tiga jenis sumber stres yang dapat terjadi pada

kehidupan, yaitu :

1. Sumber yang berasal dari individu

Salah satu sumber stres yang berasal dari individu adalah terkenanya penyakit.

Sumber stres yang lain adalah ketika munculnya konflik pada individu.

2. Sumber yang berasal dari keluarga

Tingkah laku, kebutuhan, dan kepribadian masing-masing anggota keluarga dapat

memberikan dampak dan berhubungan dengan sistem keluarga yang terkadang

menghasilkan stres. Sumber-sumber stres dapat berasal dari adanya anggota baru

dalam keluarga misalnya kelahiran anak, perceraian, dan penyakit dan kematian

pada anggota keluarga dimana jika ada orang tua yang sakit dan harus dirawat

oleh anggota keluarganya dapat meningkatkan stres terutama orang tersebut harus

dirawat terus menerus dan mengalami penurunan mental (Martine&Schulz, 2001).

3. Sumber yang berasal dari komunitas dan masyarakat

Hubungan interpersonal yang ada di luar keluarga dapat menjadi sumber stres.

Pengalaman pada orang dewasa yang dapat menjadi sumber stres berhubungan

dengan pekerjaan mereka dan berbagai situasi lingkungan yang dapat menjadi

tertekan.

B. Coping Stress

(20)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Taylor, 2003), coping adalah proses yang

mengatur tuntutan dari eksternal atau internal yang muncul melampaui batas sumber daya

seseorang. Coping terdiri dari usaha langsung pada aksi dan intrapsychic untuk mengatur

(seperti mengurangi, memahami, mengecilkan) lingkungan dan tuntutan dari internal serta

konflik diantara keduanya. Definisi dari coping ini mempunyai beberapa aspek, yaitu :

1. Hubungan antara coping dan situasi yang penuh tekanan merupakan proses yang

dinamis. Coping merupakan gabungan transaksi antara seseorang yang

mempunyai susunan sumber daya, nilai, dan komitmen dengan suatu lingkungan

khusus yang mempunyai sumber daya, tuntutan dan paksaannya sendiri.

2. Definisi kedua dari coping adalah keluasan cakupannya. Definisi ini meliputi

banyak aksi dan reaksi terhadap situasi yang penuh tekanan. Reaksi emosi seperti

marah atau depresi dapat dijadikan bagian dari proses coping dan juga aksi yang

dijalankan untuk menghadapi situasi tersebut.

Lazarus dan Folkman (dalam Sarafino, 2006) mengatakan coping adalah usaha

seseorang untuk mengatur kesenjangan antara tuntutan dan sumber daya yang dimiliki dalam

situasi yang penuh dengan tekanan. Usaha coping dapat diartikan dengan memperbaiki

masalah dan dapat juga membantu seseorang merubah pandangannya terhadap kesenjangan,

menerima ancaman, atau menghindar dari situasi.

Menurut Suls dan Fletcher (Rice, 1992) bahwa perilaku coping mungkin bersifat

positif atau negatif, aktif atau menghindar, secara langsung atau tidak langsung. Hal ini

(21)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa coping adalah suatu

proses dimana individu berusaha untuk mengatur atau mengelola diri terhadap

tuntutan-tuntutan baik secara internal maupun eksternal.

2. Fungsi Coping Stres

Secara umum menurut Lazarus, dkk ( Sarafino, 2006) coping mempunyai dua fungsi,

yaitu:

a. Emotion-focused coping

Digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stres. Pengaturan respon emosi

menggunakan dua pendekatan yaitu perilaku dan kognitif. Pendekatan perilaku

termasuk dengan menggunakan alkohol, mencari social support dari teman atau

keluarga, dan melakukan aktivitas lain. Sedangkan pendekatan kognitif adalah

bagaimana orang berpikir mengenai situasi yang penuh tekanan.

b. Problem-focused coping

Digunakan oleh individu dengan mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh tekanan

atau mengembangkan sumber daya pada dirinya. Individu akan mengurangi stresor

dengan mempelajari cara atau ketrampilan baru. Pendekatan ini cenderung digunakan

jika individu yakin akan dapat merubah situasi.

3. Metode Coping Stres

Taylor (2003) mengatakan bahwa metode coping terdiri dari:

a. Planful Problem Solving yaitu coping yang bertujuan sebagai problem focused, adalah

(22)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

b. Confrontative adalah coping yang bertujuan sebagai problem focused, adalah usaha

yang agresif untuk mengubah situasi.

c. Seeking Social Support adalah coping yang bertujuan sebagai Problem focused,

adalah usaha untuk mengatur emosi yang nyaman dan mencari informasi dari orang

lain.

d. Direct Action yaitu coping yang bertujuan sebagai problem focused, adalah tindakan

secara langsung untuk merubah situasi menjadi lebih baik.

e. Distancing adalah coping yang bertujuan sebagai emotion focused, adalah usaha

untuk melepaskan diri dari situasi yang penuh dengan tekanan.

f. Escape/Avoidance yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused, adalah usaha

untuk meghindar atau lari dari masalah.

g. Self Control yaitu coping yang bertujuan pada emotion focused, adalah yaitu

mengatur perasaan atau tindakan seseorang yang berhubungan dengan masalah yang

ada.

h. Accepting Responsibility yaitu coping yang bertujuan pada emotion focused, adalah

yaitu berusaha mengambil pengetahuan tentang peranannya dalam suatu

masalah,sambil berusaha membetulkan apa yang salah.

i. Positive Appraisal yaitu coping yang bertujuan pada emotion focused, adalah usaha

untuk mendapatkan makna yang positif dalam pengalaman dengan fokus pada

pertumbuhan diri.

j. Emotional Discharge yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah

melibatkan pengekspresian atau pelepasan perasaan tentang situasi yang menekan.

k. Religion yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah usaha untuk

(23)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

l. Acceptance yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah usaha untuk

menerima kenyataan mengenai situasi yang terjadi.

m. Cognitive Redefinition yaitu berusaha tetap terlihat baik didalam situasi yang buruk,

membuat sesuatu perbandingan dengan orang lain yang lebih rendah, atau melihat

sesuatu yang baik yang muncul dari masalah itu.

n. Denial yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah usaha untuk

menolak situasi yang tidak menyenangkan.

o. Intrusive Troughts yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah

berpikir berulang-ulang tentang kesalahan orang lain sehingga muncul masalah

tersebut.

C. Caregiving dan Caregiver

1. Pengertian Caregiving dan Caregiver

Meningkatnya harapan hidup manusia sehingga bisa mencapai usia lanjut merupakan

perubahan demografis yang terjadi paling drastis pada abad ke-20. Usia lanjut merupakan

suatu periode dari rentang kehidupan yang ditandai dengan perubahan atau penurunan fungsi

tubuh yang tidak sama ketika periode sebelumnya (Papalia, 2001).

Penurunan fungsi tubuh yang dialami para lansia merupakan salah satu alasan

mengapa para lansia membutuhkan bantuan dalam melakukan kegiatan sehari-hari

disebabkan mereka menderita penyakit kronis. Pemberian bantuan ini bisa datang dari

institusi formal seperti perawat rumah sakit atau tenaga professional lainnya atau dari

(24)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Pemberian bantuan atau perawatan oleh anggota keluarga kepada para lanjut usia

biasa disebut dengan caregiving. Lund (1993) mendefinisikan caregiving atau pemberian

perawatan sebagai berikut :

“Caregiving is informal, unpaid care of a person whose independence is physically, mentally, or economically limited. It may include errands, chauffeuring, help with finances, or housework, or complete physical care.”

(dalam Papalia and Sterns, 2002)

Schulz, Mittelmark, Burton, Hirsch, & Jackson (1997) mendefinisikan caregiving

sebagai berikut :

“Caregiving is typically defined as living with or being related to an elderly individual with a cognitive deficit and/or functional disability. Relatives of the disabled elderly person are presumed to be providing care by virtue of their relation to the disabled person and/or because they live with them, even though no direct evidence is reported regarding the extent to which care provision actually occurs”

(dalam Schulz, Mittelmark, Burton, Hirsch, & Jackson, 1997)

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa caregiving adalah pemberian

perawatan atau bantuan secara informal dan tidak menerima pembayaran kepada individu

yang tidak mandiri serta memiliki keterbatasan fisik, mental atau ekonomi. Anggota keluarga

dari lansia yang mempunyai keterbatasan mempunyai tanggung jawab untuk memberikan

perawatan kepada lansia tersebut dikarenakan mereka tinggal bersama lansia tersebut atau

mempunyai tugas moral yang harus dipenuhi. Bentuk pemberian bantuan termasuk

berbelanja, membawa kendaraan, membantu secara finansial, pekerjaan rumah atau

(25)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Mahalnya biaya panti wredha atau rumah perawatan dan keengganan para lanjut usia

untuk dirawat disana, membuat para lanjut usia yang membutuhkan bantuan memperoleh

perawatan di rumah.

“Someone whose life is in some way restricted by the need to be responsible for the care of someone who is mentally ill, mentally handicapped, physically disabled or whose health is impaired by sickness or old age.”

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa caregiver merupakan seseorang yang

mempunyai tanggung jawab untuk memberikan perawatan pada seseorang yang sakit secara

mental, ketidakmampuan secara fisik atau kesehatannya terganggu karena penyakit atau usia

tua yang diderita.

2. Tugas-tugas Caregiving

Menurut Brody & Schoonover (1986), Horowitz (1985), Noelker (1987), Townsend

& Poulshock (1986) (dalam Birren & Schaie, 1990) mengatakan ada enam jenis tugas yang

dilakukan oleh caregiver, yaitu :

1. Memberikan dukungan emosi dan pemberian saran

2. Asisten dalam melakukan pekerjaan rumah tangga seperti pembersihan rumah,

persiapan makan, belanja, dan transportasi

3. Membantu dalam perawatan personal seperti memandikan, membantu berpakaian,

makan, dan mempersiapkan obat

4. Mengatur keuangan

5. Membuat keputusan tentang perawatan dan berhubungan langsung dengan pelayanan

kesehatan formal seperti mengatur pelayanan dalam rumah dan pengasuhan

(26)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

3. Jenis-Jenis Caregiver

Menurut Barrow (1996), caregiver terdiri dari dua jenis, yaitu :

1. Caregiver formal yaitu seseorang yang memberikan perawatan dengan melakukan

pembayaran yang disediakan oleh rumah sakit, psikiater, pusat perawatan ataupun

tenaga profesional lainnya

2. Caregiver informal yaitu seseorang yang memberikan perawatan dengan tidak

melakukan pembayaran dan tidak secara tenaga professional. Perawatan ini dapat

dilakukan di rumah dan biasa diberikan oleh pasangan penderita, anak dari penderita

atau anggota keluarga lainnya.

4. Gambaran Kerangka Proses Stres dan Coping Stres pada Caregiver

Dalam Birren dan Schaie (1999), elemen-elemen dari gambaran proses stress dan

coping pada caregiver terdiri dari :

a. Stressor atau kejadian hidup

Stressor pada model ini terdiri dari dua bentuk yaitu pertama masalah kesehatan yang

dialami oleh penderita seperti gejala penyakit yang timbul. Menurut Aneshensel et al.

(1995) gejala penyakit yang timbul pada penderita Alzheimer seperti kerusakan

kognitif, ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, dan gangguan

perilaku. Hal ini dikatakan sebagai objective stressor pada caregiver. Stressor kedua

yaitu perubahan hidup yang terjadi pada caregiver saat ia memberikan perawatan.

Perubahan hidup yang terjadi pada caregiver seperti berubahnya tuntutan peran dari

(27)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

finansial yang dialami oleh caregiver. Bagaimana reaksi caregiver terhadap objective

stressor yang ada. Hal ini dikatakan sebagai subjective stressor.

b. Appraisal

Appraisal dalam model ini mempunyai dua aspek yaitu pertama persepsi caregiver

terhadap gejala-gejala penyakit yang timbul pada penderita sebagai sesuatu yang

menyedihkan atau dapat diatasi. Sedangkan aspek kedua yaitu penerimaan caregiver

terhadap perubahan hidupnya yang terjadi setelah ia memberikan perawatan.

Perubahan tersebut sebagai sesuatu yang dapat diterima atau tidak diterima dan

seberapa banyak ia dapat memberikan perawatan.

c. Mediator

Pada elemen ini, mediator dari kejadian yang stressful termasuk sumber yang dimiliki

oleh caregiver seperti kontribusi finansial, pendidikan, dukungan sosial, dan asisten

formal. Mediator kedua yaitu kemampuan coping stress pada caregiver. Kemampuan

coping termasuk (1) mengatur situasi yang ada seperti memecahkan masalah atau

mencari bantuan, (2) mengatur arti atau penerimaan dari situasi yang ada seperti

menolak untuk memikirkan, dan (3) mengatur gejala stres seperti mencari dukungan

sosial dan melakukan aktivitas lain.

d. Hasil yang keluar pada caregiver

Hasil yang ada pada caregiver biasanya mengarah pada bentuk stres atau beban yang

dirasakan. Bentuk dari stres termasuk distres secara emosi, muncul masalah kesehatan

pada caregiver, aktivitas sosial yang berkurang dilakukan, perubahan dalam

hubungan dengan penderita yang diberikan perawatan, dan tuntutan finansial yang

(28)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

*Kerangka proses terjadinya stres dan coping pada caregiver*

Event Stressor Appraisal Mediator Outcomes

Simtom pada Persepsi caregiver

Orang Tua pada simtom sbg Coping

menyedihkan atau Stress

dapat diatasi

Penyakit Beban,Distress

yang Timbul atau Adaptasi

Perubahan Penerimaan pada Sumber dan Hidup perubahan hidup Dukungan Sosial

Caregiver caregiver

D. Penyakit Alzheimer

1. Gambaran umum Penyakit Alzheimer

Alzheimer atau sebutannya az-zhai-me, merupakan sejenis

saraf

menular. Penyakit Alzheimer adalah keadaan di mana daya ingatan seseorang merosot

dengan parahnya sehingga pengidapnya tidak mampu mengurus diri sendiri. (Wikipedia

(29)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Penyakit Alzheimer adalah kerusakan otak yang ditandai dengan penurunan dari

perhatian, memori, dan kepribadian. Fungsi kognitif pada penderita penyakit Alzheimer tidak

hilang pada satu saat. Fungsi pertama yang menurun adalah perhatian dan memori. Perubahan

kepribadian sering muncul dimana penderita menjadi kurang spontan, lebih apatis, dan

menarik diri. Munculnya penurunan perhatian terhadap diri sendiri dan masalah perilaku

muncul ketika penderita menjadi sering berkelana dan tersesat. Penderita mengalami

disorientasi dalam memperhatikan waktu, lokasi, dan identitas mereka. Penurunan ini

semakin berkembang jika penderita mengalami kekurangan dalam bahasa atau mempunyai

sejarah pada alkohol atau gangguan neurologis seperti stroke atau Parkinson (dalam Sarafino,

2006).

Tanda-tanda klasik yang dialami oleh kebanyakan penderita pada stadium awal

sebagai berikut :

1. Short-term memory loss

Kemunduran fungsi memori merupakan tanda yang paling awal

2. Learning and retaining new information

Penderita mengalami kesulitan untuk belajar hal yang baru. Akibatnya adalah

mengulang-ulang sesuatu seperti pada pembicaraan dan janji.

3. Reasoning and abstractive thought

Kesulitan untuk melihat kalender, memahami lelucon, atau menentukan waktu.

Mengalami kesukaran dalam menghitung buku cek, memasak atau tugas yang

membutuhkan langkah berurutan.

(30)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Mengalami kesukaran dalam kemampuan untuk mengantisipasi atau

mempertimbangkan akibat suatu peristiwa atau tindakan. Tidak mampu memecahkan

masalah sehari-hari.

5. Language skills

Sangat sulit menemukan kata yang benar dalam mengungkapkan pikiran.

6. Inhibition and impulse control

Penderita yang dahulu pasif menjadi lebih agresif dan kadang-kadang berperilaku

tidak wajar.

Berdasarkan beberapa gambaran mengenai penyakit Alzheimer di atas dapat

disimpulkan bahwa penyakit Alzheimer merupakan penurunan kemampuan kognitif yang

terjadi secara progresif dan penderita mengalami beberapa perubahan.

2. Gejala Penyakit Alzheimer

Alzheimer's Disease and Related Disorders Association (dalam Adesla, 2007),

membuat 10 gejala penyakit Alzheimer yang sering muncul sebagai berikut:

1. Hilang ingatan.

Salah satu gejala awal dari demensia adalah melupakan informasi yang baru

dipelajari. Pada orang normal, wajar bila melupakan janji, nama atau nomor telepon.

Pada mereka yang mengidap demensia, mereka akan melupakan berbagai hal seperti

itu lebih sering dan kemudian tidak ingat akan hal tersebut.

2. Sulit untuk mengerjakan tugas yang familiar.

Orang yang terkena demensia seringkali kesulitan untuk menyelesaikan tugas

sehari-hari yang sangat mereka ketahui yang tidak perlu berpikir untuk melakukannya.

(31)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

menyiapkan makanan, menggunakan perabot rumah tangga atau berpartisipasi dalam

melakukan kegemarannya selama ini.

3. Bermasalah dengan bahasa.

Sesekali, setiap orang dapat memiliki masalah dalam menemukan kata yang tepat,

namun pada orang yang mengidap Alzheimer, mereka seringkali lupa akan kata-kata

sederhatana ataupun substitusi dari kata yang tidak biasa digunakan, membuat ucapan

atau tulisannya sulit untuk dimengerti. Contohnya: jika orang yang mengidap

Alzheimer kesulitan untuk menemukan sikat giginya, maka ia akan bertanya "sesuatu

untuk mulut saya".

4. Disorientasi waktu dan tempat.

Normal jika lupa hari dari minggu itu atau dimana kamu pergi. Tapi orang yang

mengidap Alzheimer dapat tersesat di jalan dekat rumahnya sendiri, lupa dimana dia

berada dan bagaimana ia dapat sampai ke tempat tersebut, dan tidak tahu bagaimana

caranya dia bisa kembali ke rumah.

5. Lemah atau kurang baik dalam mengambil keputusan.

Tidak ada seorang pun yang memiliki keputusan sempurna di sepanjang waktu.

Namun demikian, pada orang yang mengidap Alzheimer, mereka mengenakan baju

tanpa mempertimbangkan cuaca, memakai beberapa kaos di hari yang panas atau

memakai pakaian yang sangat minim ketika cuaca dingin. Orang dengan demensia

seringkali menunjukkan keputusan yang lemah atau kurang baik mengenai uang,

mereka memberikan sejumlah besar uang kepada para telemarket atau membayar

perbaikan rumah ataupun membeli barang yang tidak mereka butuhkan.

(32)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Menyeimbangkan buku cek mungkin menjadi begitu sulit ketika tugas tersebut lebih

rumit dari biasanya. Namun demikian, pada orang yang mengidap Alzheimer, mereka

akan benar-benar lupa berapa jumlah/angkanya, dan apa yang harus mereka lakukan

terhadap angka-angka tersebut.

7. Salah menempatkan segala sesuatu.

Setiap orang dapat secara tidak disengaja salah menempatkan/menaruh dompet atau

kunci. Orang yang mengidap Alzheimer akan meletakkan segala sesuatu pada tempat

yang tidak sewajarnya, contoh: meletakkan gosokan di dalam freezer atau meletakkan

jam tangan di dalam mangkuk gula.

8. Perubahan mood atau tingkah laku.

Setiap orang dapat menjadi sedih dari waktu ke waktu. Seorang yang mengidap

Alzheimer menampilkan mood yang tidak tentu/berubah-ubah dari tenang menjadi

ketakutan kemudian menjadi marah tanpa ada alasan yang jelas.

9. Perubahan kepribadian.

Kepribadian seseorang wajar mengalami perubahan seiring dengan usia. Namun

seorang yang mengidap Alzheimer dapat sangat berubah , menjadi benar-benar kacau,

penuh kecurigaan, ketakutan atau menjadi bergantung pada anggota keluarga.

10.Kehilangan inisiatif.

Lelah akibat pekerjaan rumah, aktivitas bisnis, atau kewajiban sosial sesekali waktu

adalah wajar. Namun demikian, orang yang mengidap Alzheimer dapat menjadi pasif,

duduk di depan televisi selama berjam-jam, tidur lebih dari biasanya atau tidak ingin

melakukan aktivitas yang biasanya dilakukan.

(33)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

1. Stadium awal

Penderita pada stadium awal menunjukkan gejala kesulitan dalam berbahasa,

mengalami kemunduran daya ingat secara bermakna, disorientasi dalam waktu,

tersesat di tempat yang dikenal, sulit membuat keputusan, kehilangan inisiatif dan

motivasi, menunjukkan gejala depresi dan agitasi, dan kehilangan minat dalam

hobi dan aktivitas.

2. Stadium menengah

Penderita pada stadium menengah menunjukkan gejala mudah lupa yang sering

terutama pada peristiwa baru dan nama orang, tidak dapat mengelola kehidupan

sendiri, sangat bergantung pada orang lain, membutuhkan bantuan untuk

kebersihan diri, makin sulit berbicara, mengalami masalah dalam mengembara (

wondering ) dan beberapa gangguan perilaku, tersesat di rumah sendiri, dan dapat

menunjukkan halusinasi.

3. Stadium akhir

Penderita pada stadium akhir menunjukkan gejala ketidakmandirian yang total,

tidak mengenali lagi anggota keluarganya, sulit memahami dan menilai peristiwa,

tidak mampu menemukan jalan di sekitar rumah sendiri, kesulitan berjalan,

mengalami inkontinensia buang air kecil dan besar, menunjukkan perilaku tidak

wajar di masyarakat, dan akhirnya bergantung pada kursi roda atau tempat tidur.

E. Coping Stress pada Caregiver Penderita Alzheimer

Pada saat lanjut usia, orang akan mengalami beberapa perubahan yaitu perubahan

fisik, kogntif , dan sosioemosional (Santrock, 1995). Perubahan kognitif yang terjadi pada

(34)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Gangguan kognitif ini juga dapat disebut dengan Demensia. Demensia merupakan

kekurangan fungsi kognitif secara progresif yang banyak muncul pada lanjut usia. Salah satu

bagian dari Demensia adalah penyakit Alzheimer. Penyakit Alzheimer biasa terjadi pada usia

65 tahun.

Penyakit Alzheimer merupakan jenis penyakit penurunan fungsi otak yang kompleks

dan progresif (Wikipedia Indonesia). Gangguan otak pada penyakit Alzheimer ditandai

dengan penurunan pada perhatian, memori, dan kepribadian (Sarafino, 2006). Penderita

penyakit Alzheimer akan mengalami beberapa tanda masalah pada stadium awal yaitu

kehilangan Short Term Memory, pembelajaran dan penerimaan informasi, pemikiran

abstraktif, penilaian dan perencanaan, kemampuan bahasa, dan kontrol diri.

Perubahan-perubahan yang dialami penderita penyakit Alzheimer akan membutuhkan seseorang untuk

merawat yang biasa disebut caregiver. Caregiver dapat berada pada sebuah institusi yang

khusus di bidang penyakit Alzheimer dan keluarga terdekat dari penderita penyakit

Alzheimer seperti istri, anak perempuan, dan lainnya. Kebanyakan para penderita penyakit

Alzheimer akan tinggal di rumah dan menerima perawatan dari keluarga mereka (Sarafino,

2006).

Tingkah laku penderita penyakit Alzheimer semakin bermasalah selama peningkatan

penyakitnya dan dapat meningkatkan stres dalam keluarganya (Sarafino, 2006). Tingkat

keparahan dari kerusakan kognitif dan masalah perilaku yang dialami oleh penderita

Alzheimer dapat menjadi pengaruh yang besar dalam kesehatan caregiver (Berk, 2007).

Keluarga yang berperan menjadi caregiver akan beresiko mengalami masalah fisik dan

kesehatan mental serta kematian yang lebih cepat jika ia memberikan kapasitas yang

berlebihan dalam caregiving (Schultz&Beach, Sovensen&Pinquart, 2005 dalam Berk 2007).

(35)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

tergantung pada usia, keadaan yang terjadi, hubungannya dengan penderita dan sumber yang

ada (Harper dan Lund, 1990 dalam Papalia&Sterns, 2002).

Caregiver penderita penyakit Alzheimer lebih banyak menghabiskan waktu untuk

memberikan perawatan dan mengalami stres yang lebih banyak daripada caregiver penderita

penyakit lainnya (Ory et al, 2000). Pada saat mengalami stres, orang akan mencari dan

menggunakan berbagai cara untuk menghilangkan stresnya atau disebut dengan coping stres (

Sarafino, 2006).

Coping stres adalah proses dimana orang berusaha untuk mengatur kesenjangan

antara tuntuan dan sumber yang muncul pada situasi stresful. Usaha coping dapat diartikan

dengan memperbaiki masalah dan dapat juga membantu seseorang merubah pandangannya

terhadap kesenjangan, menerima ancaman, atau menghindar dari situasi (Sarafino,

2006).Coping stres memiliki dua fungsi yaitu emotion-focused coping dan problem-focused

coping.

Emotion-focused coping adalah usaha untuk mengatur respon emosional karena

situasi stresful (Sarafino, 2006). Menurut Folkman dan Lazarus dalam emotion-focused

coping mempunyai strategi coping yang spesifik yaitu self control adalah usaha untuk

mengatur perasaan seseorang, distancing adalah usaha untuk melepaskan diri dari situasi

yang stresful, positive reappraisal adalah usaha untuk mendapatkan makna yang positif

dalam pengalaman, accepting responsibility adalah usaha untuk membenarkan peran sendiri

dalam suatu masalah, dan escape / avoidance adalah usaha untuk menghindar dari masalah

dengan makan, minum, merokok, menggunakan obat, dan lainnya (Taylor, 2003).

Sedangkan problem-focused coping adalah usaha untuk mengurangi tuntutan dari

situasi yang penuh tekanan atau mengembangkan sumber daya pada dirinya (Sarafino, 2006).

(36)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

yang spesifik yaitu confrontative coping adalah usaha yang agresif untuk mengubah situasi,

seeking social support adalah usaha untuk mengatur emosi yang nyaman dan mencari

informasi dari orang lain, dan planful problem solving adalah usaha untuk fokus pada

(37)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Perubahan Fisik Perubahan Kognitif Perubahan

Sosioemosional

Demensia

Alzheimer

Masalah Spesifik Penyakit Alzheimer: - Perhatian

Demensia Vaskuler Demensia karena kondisi

(38)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Penelitian Kualitatif

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2006) mendefinisikan metode penelitian

kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini juga

untuk menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar subjek penelitian beserta

konteksnya.

Sejalan dengan definisi tersebut Kirk dan Miller (dalam Moleong, 2006)

mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan yang

secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya

maupun dalam peristilahannya. Menurut Moleong (2006), penelitian kualitatif adalah

penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian

misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara keseluruhan, dan dengan

cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah

dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Pemilihan metode penelitian kualitatif menjadi metode dalam penelitian ini karena

peneliti ingin melihat pengalaman subjektif seorang caregiver yang merupakan keluarga dari

penderita penyakit Alzheimer, bagaimana pengalaman stres mereka dan strategi coping yang

digunakan untuk mengatasi stres mereka selama menjadi caregiver. Perbedaan strategi

coping yang digunakan oleh setiap orang untuk mengatasi stres juga merupakan alasan

(39)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

pemanfaatan kualitatif yaitu dapat melihat sesuatu secara mendalam, memahami isu-isu yang

sensitif, dan isu-isu yang rumit.

B. Subjek Penelitian

1. Karakteristik subjek penelitian

Adapun karakteristik subjek yang digunakan dalam penelitian telah disesuaikan

dengan tujuan penelitian yang akan diteliti adalah :

1. Caregiver penderita penyakit Alzheimer pada stadium menengah dan akhir yang

merupakan istri dari penderita.

Penderita Alzheimer pada stadium menengah dan akhir akan mengalami

peningkatan gangguan perilaku, ketergantungan dalam aktivitas sehari-hari, dan

penurunan fungsi kognitif. Peningkatan pada stadium menengah dan akhir

berhubungan dengan peningkatan stres dan gangguan kesehatan mental pada

caregiver (Alspaugh, Stephens, Townsend, Zarit, & Greene, 1999; Aneshensel

et.al., 1995; Walker, Acock, Bowman, & Li, 1996; Zarit, Todd, & Zarit, 1986).

Sekitar 40% caregiver disediakan oleh pasangan suami atau istri yaitu 14% oleh

suami dan 26% oleh istri (Harris, 1993 dalam Barrow, 1996).

2. Jumlah subjek penelitian

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2001), penelitian kualitatif memiliki sifat yang

luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti mengenai jumlah subjek yang harus diambil

dalam penelitian kualitatif. Jumlah subjek sangat tergantung pada apa yang dianggap

bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia. Jumlah subjek

(40)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

3. Teknik pengambilan subjek

Prosedur pengambilan subjek dalam penelitian ini berdasarkan konstruk operasional

(theory-based/operational construct sampling). Subjek dipilih berdasarkan kriteria yang telah

ditetapkan, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai dengan studi-studi

sebelumnya, atau sesuai dengan tujuan penelitian (dalam Poerwandari, 2001).

4. Lokasi penelitian

Penelitian akan dilakukan di Kota Medan, karena terdapat alasan kemudahan bagi

peneliti dalam menemukan sampel, mengingat peneliti juga berdomisili di Kota Medan

sekaligus menghemat biaya penelitian. Lokasi penelitian dapat berubah sewaktu-waktu dan

disesuaikan dengan keinginan dari subjek penelitian agar subjek merasa nyaman.

C. Metode Pengumpulan Data

Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2006) sumber utama dalam penelitian

kualitatif ialah kata-kata dan tindakan. Kata-kata dan tindakan ini dapat dicatat melalui

perekaman suara atau melalui catatan tertulis, pengambilan foto dan statistik. Pencatatan

sumber data utama dapat dilakukan dengan wawancara dan observasi yang merupakan hasil

gabungan dari kegiatan melihat, mendengar dan bertanya. Dalam penelitian yang dilakukan,

peneliti menggunakan metode pengumpulan data dengan wawancara.

1. Wawancara

Wawancara adalah percakapan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan

(41)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

pengetahuan makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan topik yang diteliti,

dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat

dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dkk, 1994).

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara

menggunakan petunjuk umum wawancara. Jenis wawancara ini mengharuskan pewawancara

membuat kerangka dan garis besar pokok-pokok yang dirumuskan tidak perlu ditanyakan

secara berurutan. Demikian pula penggunaan dan pemilihan kata-kata untuk wawancara

dalam hal tertentu tidak boleh dilakukan sebelumnya. Petunjuk wawancara hanyalah berisi

petunjuk secara garis besar tentang proses dan isi wawancara untuk menjaga agar

pokok-pokok yang direncanakan dapat seluruhnya tercakup. Pelaksanaan wawancara dan

pengurutan pertanyaan disesuaikan dengan keadaan responden dalam konteks wawancara

yang sebenarnya (dalam Moleong, 2006)

D. Alat Bantu Pengambilan Data

Menurut Poerwandari (2001), dalam metode wawancara, alat yang terpenting adalah

peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat

bantu. Alat bantu yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah berupa pedoman

wawancara dan alat perekam.

1. Pedoman wawancara

Pedoman umum wawancara memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian

ini. Pertanyaan akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung

tanpa melupakan aspek-aspek yang harus ditanyakan. Pedoman ini digunakan untuk

(42)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

dibahas atau ditanyakan (dalam Poerwandari, 2001). Tema yang akan digunakan pada

pedoman wawancara adalah mengenai perasaan caregiver pada dampak penyakit yang

ditimbulkan oleh penderita, pengalaman stres yang dialami oleh caregiver, dan strategi

coping yang digunakan oleh caregiver.

2. Tape recorder

Tape recorder ini akan digunakan untuk merekam wawancara yang dilakukan

sehingga semua data penting yang diungkapkan subjek tidak ada yang terlupakan. Rekaman

wawancara berguna untuk verbatim sehingga mempermudah dalam melakukan pengkodean

dan analisis data. Penggunaan tape recorder ini akan dilakukan dengan seizin subjek

penelitian (dalam Poerwandari, 2001).

E. Kreadibilitas dan Validitas Penelitian

Dalam penelitian kualitatif dikenal istilah kreadibilitas yaitu istilah yang paling

banyak dipilih untuk mengganti konsep validitas yang dimaksud untuk merangkum bahasan

menyangkut kualitas penelitian kualitatif. Kreadibilitas studi kualitiatif terletak pada

keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting,

proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2001).

Menurut Sarantoks (dalam Poerwandari, 2001) ada empat jenis validitas yang

digunakan dalam penelitian kualitatif yaitu :

1. Validitas Kumulatif

Validitas kumulatif dicapai bila temuan dari studi-studi lain mengenai topik yang

sama menunjukkan hasil yang kurang lebih serupa.

(43)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Validitas komunikatif didapatkan melalui dikonfirmasikannya kembali data dan

analisa pada subjek penelitian. Data-data dan hasil analisa yang diperoleh akan

dikonfirmasikan kembali pada sampel penelitian ini adalah pasangan penderita yang

berperan menjadi caregiver penderita Alzheimer.

3. Validitas Argumentatif

Validitas argumentatif tercapai bila presentasi temuan dan kesimpulan dapat diikuti

dengan baik dan rasionalnya, serta dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data

mentah.

4. Validitas Ekologis

Validitas ekologis menunjukkan pada sejauh mana studi dilakukan pada kondisi

alamiah dari partisipan yang teliti, sehingga justru kondisi ”apa adanya” dan

kehidupan sehari-hari menjadi konteks penting penelitian.

Patton (dalam Poerwandari, 2001) mengemukakan beberapa cara untuk meningkatkan

kredibilitas penelitian kualitatif antara lain :

1. Mencatat bebas hal-hal penting serinci mungkin, mencakup catatan pengamatan

objektif terhadap setting, partisipan ataupun hal-hal yang terkait. Peneliti juga perlu

menyediakan catatan khusus yang memungkinkan menuliskan berbagai alternatif

konsep, skema atau metafora yang terkait dengan data. Catatan ini sangat penting

dalam memudahkan mengembangkan analisa dan interpretasi.

2. Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul, proses,

pengumpulan data dan strategi analisnya.

3. Memanfaatkan langkah-langkah dan proses yang diambil peneliti-peneliti sebelumnya

sebagai masukan bagi peneliti untuk melakukan pendekatan terhadap penelitiannya

(44)

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

4. Menyertakan partner atau orang-orang yang dapat berperan sebagai ”setan” atau

pengkritik yang memberikan saran-saran dan pembelaan (devil advocate) yang

memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap analisa yang dilakukan peneliti.

5. Melakukan upaya-upaya konstan untuk menemukan kasus-kasus negatif; pemahaman

kita tentang pola dan kecenderungan yang telah kita identifikasikan akan meningkat

bila kita memberikan pula perhatian pada kasus-kasus yang tidak sesuai dengan pola

umum tersebut.

6. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali (checking dan rechecking) data,

dengan usaha menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda. Peneliti perlu

mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisa, dengan

mengaplikasikannya pada data, serta mengajukan pertanyan tentang data.

F. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan yang

diungkapkan Bogdan (dalam Moleong,2000). Terdapat tiga tahapan dalam prosedur

penelitian kualitatif, yaitu tahap pralapangan, pekerjaan lapangan, dan tahap analisa data.

1. Tahap Pralapangan

Pada tahap ini perispan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan

untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2000) yaitu sebagai berikut:

a. Mengumpulkan berbagai fenomena yang terjadi dimasyarakat

Peneliti mengumpulkan berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat yang

berhubungan dengan istri yang menjadi caregiver penderita Alzheimer, baik melalui

Gambar

Tabel 1. Gambaran Umum Responden A
Tabel 2. Gambaran Umum Suami Responden A
Tabel 3. Waktu Wawancara Responden A
Tabel 4 . Gambaran Metode Coping Stress pada Responden A
+5

Referensi

Dokumen terkait

Waktu ini lebih lambat sekitar 2 jam dari pada waktu mulai tebar pancing pada ketiga fase bulan lainnya (perbani awal, perbani akhir dan bulan baru) yang dilakukan sekitar pukul

Produk pengembangan media pembelajaran multimedia interaktif pada mata kuliah bahasa Inggris merupakan materi pembelajaran bahasa yang telah dikembangkan

Kumar (2002), mendefinisikan sebuah e-learning sebagai tempat pengajaran dan ruang pembelajaran yang menggunakan rangkaian elektronik berupa LAN, WAN, atau internet

Pancasila memang merupakan karunia terbesar dari Allah SWT dan ternyata merupakan light- star bagi segenap bangsa Indonesia di masa-masa selanjutnya, baik sebagai

Pokja Pekerjaan Konstruksi Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kabupaten Banggai Kepulauan pada SKPD Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Banggai Kepulauan Propinsi Sulawesi Tengah

Berdasarkan dari jawaban Subjek 1 dan wawancara dapat diringkas bahwa Subjek 1 belum memiliki kemampuan untuk membuat kesimpulan dari alasan yang telah

Generasi CPU pertama dan kedua yang lebih tua mempunyai kecepatan frekuensi clock relatif rendah, dan semua komponen sistem dapat bekerja pada kecepatan tersebut. Diantara hal-

Pertanggungjawaban terbatas tersebut tidaklah mutlak, karena tidak ditutup kemungkinan pemegang saham, direksi ataupun komisaris melakukan kesalahan atau bahkan menimbulkan