Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
COPING STRESS PADA PRIMARY CAREGIVER PENDERITA
PENYAKIT ALZHEIMER
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh
RIANTI WIDIASTUTI
04131080
FAKULTAS PSIKOLOGI
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
Coping stress pada primary caregiver penderita penyakit Alzheimer Rianti Widiastuti dan Hasnida, M.Si.,psikolog
ABSTRAK
Alzheimer merupakan suatu gangguan otak yang progresif dan tidak dapat balik, yang dicirikan dengan kemorosotan secara perlahan dari ingatan, penalaran, bahasa, dan fungsi fisik (Santrock, 1995). Alzheimer paling banyak timbul pada usia 65 tahun. Penurunan kognitif pada penderita Alzheimer akan membutuhkan seseorang yang merawat untuk melakukan kegiatan sehari-hari yang disebut dengan caregiver. Kebanyakan yang menjadi caregiver adalah istri penderita Alzheimer. Penurunan kognitif, gangguan perilaku dan ketergantungan melakukan kegiatan sehari-hari pada penderita Alzheimer serta perubahan hidup yang dialami caregiver akan meningkatkan stres pada caregiver. Oleh karena itu diperlukan bagi caregiver melakukan metode coping yang tepat agar tidak meningkatkan resiko yang ada. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran coping stress yang digunakan oleh primary caregiver penderita Alzheimer. Karakteristik responden adalah istri dari penderita Alzheimer pada stadium menengah dan akhir yang berperan menjadi caregiver. Jumlah responden adalah 2 orang. Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan teknik berdasarkan teori/konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Metode pengumpulan data dilakukan dalam penelitian adalah wawancara mendalam (in depth interviewing) sebagai metode utama dalam pengambilan data.
Secara keseluruhan hasil penelitian menunjukkan bahwa istri yang menjadi caregiver penderita Alzheimer akan mengalami stres ketika memberikan perawatan. Sumber stres pada responden A berasal dari perubahan hidup yang dialaminya dan coping yang digunakan dengan melakukan kekerasan pada suaminya. Hal ini menimbulkan beban pada responden A dapat dilihat dari responden yang tidak menerima perubahan hidupnya. Sedangkan sumber stres pada responden B berasal dari penurunan kognitif pada suaminya yang menderita Alzheimer dan coping yang digunakan dengan mengontrol emosinya dahulu. Hal ini membuat responden B untuk beradaptasi dengan situasi yang ada.
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala berkat dan
karunia-Nya yang senantiasa menyertai penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
proposal seminar ini sampai selesai.
Terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Bapak Dr.Hasan Sjahrir dan Ibu Endah, orang tuaku tercinta dan tersayang terima
kasih atas segala pengertian, informasi, dan semangat yang diberikan. Kakakku
tersayang, Mbak Puji terima kasih selalu memberikan semangat dan mendengar
semua cerita adekmu.
2. Ibu Hasnida, M.Si, psikolog selaku dosen pembimbing seminar ini atas segala
waktu yang diluangkan, bimbingan dan saran selama proses pengerjaan proposal
ini dari awal sampai selesai.
3. Ibu Arliza Juairiani Lubis, M.Si, psikolog dan Kak Juliana.I.Saragih, S.Psi selaku
dosen penguji atas petunjuknya hingga proposal ini dapat terselesaikan dengan
baik.
4. Bapak Ari Widiyanta, Psikolog atas keluangan waktu, bimbingan dan masukan
yang diberikan.
5. NK yang bersedia untuk melakukan wawancara dan memberikan cerita yang
membantu penulis menyelesaikan proposal ini.
6. Langit Athar Yudhistira dan Adriansyah Lubis, lelaki baik yang selalu mendengar
semua ceritaku dan memberikan semangat, canda tawa, dan bahagia.
7. Teman-temanku tersayang: Indri, Rina & Liya (kita jarang ketemu ya..), Wita,
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
Kiaw, Ecad (makasih buat semua kata-kata dan masukannya yang membuatku
lebih semangat), teman-teman yang lagi seminar Psikologi Klinis juga (terima
kasih buat semua informasi dan motivasinya...semangat..!!) serta teman-teman
mahasiswa psikologi stambuk 2004 terima kasih buat semua masukan, semangat,
dan cerita yang diberikan.
8. Terima kasih juga penulis ucapkan pada semua pihak yang telah memberikan
dukungan dan bantuan hingga seminar ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa proposal ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pembaca demi kesempurnaan proposal
ini. Harapan peneliti semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait,
lingkungan akademik Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, serta para pembaca
pada umumnya,
Terima kasih
Medan, Juni 2008
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... iii
BAB I. PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang... 1
I.B. Perumusan Masalah... 9
I.C. Tujuan Penelitian... 9
I.D. Manfaat Penelitian... 10
I.D.1.Manfaat teoritis... 10
I.D.2.Manfaat praktis... 10
I.E. Sistematika Penulisan... 11
BAB.II. LANDASAN TEORI II.A. Stres... 12
II.A.1.Pengertian Stres... 12
II.A.2.Sumber Stres... 13
II.B. Coping Stress... 14
II.B.1.Pengertian Coping... 14
II.B.2.Fungsi Coping Stress... 16
II.B.3.Metode Coping Stress... 16
II.C. Penyakit Alzheimer... 18
II.C.1.Gambaran Umum penyakit Alzheimer... 18
II.C.2.Kriteria Diagnostik Alzheimer... 20
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
II.C.4.Stadium Penyakit Alzheimer... 24
II.D.Coping Stress pada Caregiver Keluarga Penderita Alzheimer... 25
II.F. Paradigma... 28
BAB. III. METODE PENELITIAN III.A. Penelitian Kualitatif... 29
III.B. Subjek Penelitian... 30
III.B.1.Karakteristik Subjek Penelitian... 30
III.B.2.Jumlah Subjek Penelitian... 30
III.B.3.Teknik Pengambilan Sampel... 31
III.B.4.Lokasi Penelitian... 31
III.C. Metode Pengumpulan Data... 31
III.C.1.Wawancara... 32
III.D. Alat Bantu Pengambilan Data... 33
III.D.1.Pedoman Wawancara... 33
III.D.2.Tape Recorder... 33
III.E. Prosedur Analisis Data... 34
BAB. IV. ANALISA DATA IV.A.Responden A………... 35
A.1. Analisa Data……… 35
A.2. Pembahasan Data………. 40
IV.B. Responden B……….. 41
B.1. Analisa Data………. 41
B.2. Pembahasan Data……….. 55
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
BAB V. KESIMPULAN,DISKUSI,SARAN………. 59
DAFTAR PUSTAKA... v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan manusia di dunia akan mengalami beberapa proses dimulai dengan
kelahiran sampai dengan akhir kehidupan. Usia lanjut merupakan periode penutup dalam
rentang kehidupan seseorang dimana telah mengalami perubahan-perubahan yang tidak sama
ketika periode sebelumnya. Dalam proses tersebut manusia akan mengalami tahap
perkembangan yang berbeda dan setiap tahap yang dilalui akan memberikan beberapa
perubahan. Perubahan tersebut terjadi pada fungsi biologis dan motoris, pengamatan dan
berpikir, motif-motif dan kehidupan afeksi, hubungan sosial serta integrasi masyarakat
(Monks, 2002).
Menurut Hurlock (1980), salah satu ciri usia lanjut adalah mengalami periode
kemunduran. Kemunduran yang terjadi seperti mengalami perubahan fisik dan mental yang
sudah tidak sama ketika periode sebelumnya. Kemunduran fisik dan mental yang terjadi
secara bertahap dan perlahan disebut dengan proses menjadi tua.
Pada saat proses penuaan, otak dapat mengalami gangguan kognitif atau intelektual.
Gangguan tersebut sering diistilahkan dengan kepikunan. Kepikunan dianggap sebagai proses
fisiologis yang wajar pada saat terjadinya penuaan. Cummings dan Benson (1992)
menggunakan istilah "senescence" yang menandakan perubahan proses menua yang masih
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
pada lanjut usia tetapi belum pikun, dan apabila sudah ada gangguan kepikunan maka
istilahnya adalah “dementia” (Besdin, 1987 dalam Sjahrir, Darulkutni, Rambe, 1999 ).
Demensia merupakan kekurangan fungsi kognitif secara progresif yang banyak
muncul pada usia lanjut (Sarafino, 2006). Karakteristik Demensia ditandai dengan
gejala-gejala gangguan pada komponen kognitif seperti berbahasa, memori, visuospasial, atensi, dan
fungsi eksekutif. Biasanya gangguan memori selalu ada dan diikuti oleh gangguan kognitif
lainnya (Sjahrir, Darulkutni, Rambe, 1999).
Salah satu penyebab dari Demensia adalah penyakit Alzheimer. Penyakit Alzheimer
merupakan suatu gangguan otak yang progresif dan tidak dapat balik, yang dicirikan dengan
kemorosotan secara perlahan dari ingatan, penalaran, bahasa, dan fungsi fisik (Santrock,
1995). Penyakit Alzheimer paling banyak timbul setelah usia 65 tahun. Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO), memperkirakan lebih dari satu milyar orang tua yang berusia lebih dari 60
tahun atau 10% penduduk dunia menghidap penyakit Alzheimer pada tahun 2003.
Peningkatan ini, ada kaitannya dengan semakin banyak penduduk dunia yang berusia lanjut.
Pada saat ini penderita penyakit Alzheimer di dunia diperkirakan sebanyak 15 juta orang
(www.w3c.org). Laporan Departemen Kesehatan tahun 1998, populasi usia lanjut di atas 60
tahun adalah 7,2% (populasi usia lanjut kurang lebih 15 juta). Peningkatan angka kejadian
kasus demensia berbanding lurus dengan meningkatnya harapan hidup suatu populasi.
Penderita penyakit Alzheimer di Indonesia sendiri diperkirakan sebanyak 606.100 orang
dengan insiden 191.400 orang (www.koalisi.org). Penyakit Alzheimer merupakan penyakit
yang menyebabkan kematian nomor empat setelah kanker, stroke, dan penyakit jantung.
Angka kejadian Alzheimer sangat erat dengan penambahan usia. Pada usia 65 tahun
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
lebih dari 80 tahun, dan 40% pada usia 90 tahun lebih ( dalam Sjahrir, Darulkutni,
Rambe, 1999).
Penderita penyakit Alzheimer akan mengalami beberapa perubahan di otak yang akan
menganggu aktivitas kehidupan sehari-hari. Gangguan otak pada penyakit Alzheimer ditandai
dengan penurunan pada perhatian, memori, dan kepribadian. Perubahan kepribadian
penderita Alzheimer terjadi secara tiba-tiba dimana penderita menjadi kurang spontan dan
lebih menarik diri dari orang lain. Penderita penyakit Alzheimer juga sering mengalami
disorientasi dalam waktu, tempat, dan identitas mereka (Sarafino, 2006).
Penurunan kognitif yang terjadi pada penderita penyakit Alzheimer berlangsung
semakin menurun secara progresif dan biasanya tampak dalam waktu lima sampai 10 tahun
mendatang. Kekurangan kemampuan sosial dan penurunan melakukan aktivitas sehari-hari
akan membuat penderita memerlukan bantuan dalam melakukan kegiatan sehari-hari
(Bayer&Reban, 2004). Bantuan dalam melakukan kegiatan sehari-hari akan menyebabkan
penderita membutuhkan seseorang untuk merawat. Seseorang yang melakukan perawatan
disebut dengan caregiver. Caregiver terdiri dari formal dan tidak formal. Caregiver formal
merupakan perawatan yang disediakan oleh rumah sakit, psikiater, pusat perawatan ataupun
tenaga profesional lainnya yang diberikan dan melakukan pembayaran. Sedangkan caregiver
yang tidak formal merupakan perawatan yang dilakukan di rumah dan tidak profesional dan
tanpa melakukan pembayaran seperti keluarga penderita yaitu istri/suami, anak
perempuan/laki-laki, dan anggota keluarga lainnya. Kebanyakan para penderita penyakit
Alzheimer akan tinggal di rumah dan menerima perawatan dari keluarga mereka (Sarafino,
2006). Di Indonesia, para penderita penyakit Alzheimer masih ditangani oleh keluarga dan
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
tersedia di Indonesia menyebabkan kebanyakan penderita penyakit Alzheimer menerima
perawatan di rumah dan diberikan oleh keluarganya (Kusumoputro & Sidiarto, 2004).
Caregiver memiliki beberapa tugas yang dilakukan yaitu (1) emotional support,
pemberian saran; (2) asisten dalam pekerjaan rumah tangga (seperti pembersihan rumah,
persiapan makan, belanja, transportasi); (3) perawatan diri (seperti mandi, berpakaian,
makan, persiapan obat); (4) mengatur keuangan; (5) membuat keputusan tentang perawatan
dan berhubungan langsung dengan pelayanan kesehatan formal (seperti mengatur pelayanan
dalam rumah dan pelayanan kesehatan); (6) asisten pengaturan finansial (Brody &
Schoonover, 1986; Horowitz, 1985; Noelker, 1987; Townsend & Poulshock, 1986 dalam
Birren & Schaie, 1990).
Efek dari penyakit Alzheimer tidak hanya berdampak bagi penderita tetapi juga
berdampak pada anggota keluarga yang memberikan perawatan atau caregiving (Berk, 2007).
Kejadian yang stressful pada caregiver saat melakukan perawatan pada penderita penyakit
Alzheimer berhubungan dengan gangguan kognitif, fungsional dan perilaku yang dialami
oleh penderita. Aneshensel et al. (1995) menjelaskan objective stressor seperti kerusakan
kognitif, ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, dan masalah perilaku.
Sedangkan subjective stressor seperti reaksi caregiver pada objective stressor yang ada
(dalam Robertson, Zarit, Duncan, Rovinne, & Femia, 2007).
Salah satu stressors dari objective stressor adalah munculnya gangguan perilaku pada
penderita. Beberapa gangguan perilaku tersebut yaitu termasuk gangguan mood (seperti
depresi dan kecemasan), gangguan aktivitas (seperti mengembara), perilaku yang
mengganggu dan menuntut (seperti agresi secara fisik dan verbal), dan gejala psikotik
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
dapat berhubungan dengan munculnya depresi pada caregiver (Schulz, 1995 dalam
Penderita penyakit Alzheimer semakin lama akan kehilangan fungsi kognitif,
kemampuan untuk melakukan tugas yang sederhana dan mengingat. Hilangnya fungsi
kognitif pada penderita penyakit Alzheimer akan membuat keluarga penderita Alzheimer
akan semakin frustasi (Migliorelli, 1995 dalam Sarafino, 2006). Hal ini dapat dilihat dari
hasil wawancara singkat dengan caregiver penderita penyakit Alzheimer. Pernyataan tersebut
seperti :
“..kita lihat kemundurannya hari ke hari..kadang-kadang itu yang bikin stres.. kalo kita perhatiin, kelihatan juga mundur..dari segi daya ingat, pikiran, sifatnya juga dah berubah....” (Komunikasi Personal, 15 Maret 2008)
Menurut hasil observasi peneliti pada fenomena yang dialami oleh NK (79 tahun)
yang merupakan istri dari KK (91 tahun) di Kota Medan merupakan salah satu contoh dari
munculnya stres pada caregiver akibat gangguan perilaku yang dialami oleh penderita
penyakit Alzheimer. KK menderita penyakit Alzheimer selama kurang lebih tujuh tahun.
Sebelum KK menderita penyakit Alzheimer, KK merupakan sosok yang sangat lembut dan
baik. KK tidak pernah marah kepada istrinya dan anak-anaknya. Setelah KK menderita
penyakit Alzheimer, KK berubah menjadi sosok yang tidak lembut, sering marah tanpa
alasan, dan membentak istrinya dan anak-anaknya. KK juga sulit untuk melakukan aktivitas
sehari-hari seperti makan yang banyak, tidur yang cukup, dan lainnya. Gangguan-gangguan
tersebut menyebabkan istri KK yaitu NK yang merupakan caregiver penderita menjadi stres
yang berlanjut. NK menjadi sulit tidur dan sering meminta obat ke dokter untuk mengurangi
stres.
Memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang terkena penyakit Alzheimer
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
Pengalaman dalam memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang terkena penyakit
Alzheimer dapat memberikan hasil yang negatif pada caregiver. Hasil negatif tersebut antara
lain stres, strain, masalah kesehatan fisik dan mental, dan beban (Aneshensel, Pearlin,
Mullen, Zarit, & Whitlatch, 1995; Schulz & Beach, 1999 dalam Robertson, Zarit, Duncan,
Rovinne, & Femia, 2007). Caregiver juga memiliki waktu yang sedikit diberikan untuk
anggota keluarga lainnya dan untuk aktivitas waktu luang bagi dirinya sendiri (Ory et al,
1999 dalam Hooyer & Roodin, 2003).
Istri yang menjadi caregiver bagi penderita Alzheimer lebih mengalami simtom
depresi daripada suami. Hal ini dikarenakan kehilangan kedekatan seperti saling bercerita dan
melakukan aktivitas bersama dalam hubungan perkawinan berhubungan dengan kerusakan
kognitif yang dialami penderita Alzheimer (Hoyer&Roodin, 2003).
Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara singkat dengan caregiver penderita
penyakit Alzheimer. Pernyataan tersebut seperti :
“...kita butuh kawan..untuk ngobrol dah gak bisa la.. gak bisa cerita apa aja gak bisa lagi.. dia ngerti sih tapi abis itu lupa lagi.. kadang pengen cerita yang dulu-dulu.. tapi gak bisa lagi.. memang jadi stres juga.. kita ada anak-anak, tapi dah ada kesibukan masing-masing.. gak bisa terus sama.. kadang kalo malam dah mau tidur kita gak ada kawan lagi.. jadi gimanapun juga suka stres sih. .sering lah.. kadang juga sampe minta obat ma dokter.. jadi susah tidur... ” (Komunikasi Personal, 15 Maret 2008)
Tuntutan untuk merawat penderita penyakit Alzheimer dapat menimbulkan masalah
fisiologis dan emosional bagi keluarganya (Sarafino, 2006). Istri menjadi lebih terbebani
dengan kesehatan penderita Alzheimer seperti menjadi lebih khawatir, frustasi, dan tidak
sabar sehingga mengakibatkan kerja yang berlebihan (Barrow, 1996). George dan Gwyther
(1986) menemukan bahwa pada caregiver penderita demensia lebih mengalami stres daripada
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
Stres yang dialami oleh caregiver akan mempengaruhi kesehatan mereka sendiri yaitu
sistem imun yang rendah, hormon stress yang tinggi, dan tingkat angka kematian yang tinggi
(Sarafino, 2006). Caregiver berusaha untuk mengimbangi potensi yang ia miliki dengan
tuntutan untuk memberikan perawatan. Penerimaan potensi yang dimiliki caregiver dapat
membuat dirinya menjadi lebih aktif dan melihat situasi yang ada dengan pandangan positif
(dalam Dacey dan Travers, 2002).
Pada saat mengalami stres, orang akan mencari dan menggunakan berbagai cara untuk
mengurangi dan menghilangkan stresnya atau biasa disebut dengan coping stress (Sarafino,
2006). Folkman dan Lazarus (dalam Rice, 1992) mendefinisikan coping sebagai usaha
individu dalam menghadapi dan bertingkah laku untuk menguasai, mengurangi, atau
memaklumi permintaan atas dirinya. Menurut Lazarus,dkk (1994) coping mempunyai dua
macam fungsi yaitu emotion-focused coping dan problem-focused coping.
Emotion-focused coping digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stres.
Pengaturan respon emosi menggunakan dua pendekatan yaitu perilaku dan kognitif.
Pendekatan perilaku termasuk dengan menggunakan alkohol, mencari social support dari
teman atau keluarga, dan melakukan aktivitas lain. Sedangkan pendekatan kognitif adalah
bagaimana orang berpikir mengenai situasi stressful (Sarafino, 2006). Social support
merupakan perantara bagi caregiver untuk mengurangi stres. Penerimaan social support yang
baik akan meningkatkan semangat dan mengurangi beban pada caregiver(Birren dan Schaie,
1990).
Hal yang sama juga diperoleh dari hasil wawancara singkat dengan caregiver
penderita penyakit Alzheimer. Pernyataan tersebut beragam mulai dari pernyataan seperti:
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
“kalo jenuh ya keluar...pergi ke supermarket..yang dibeli juga satu atau dua barang aja.. tapi yang penting keluar aja dulu...” (Komunikasi Personal, 15 Maret 2008)
Caregiver mengambil salah satu dari tiga tipe emosional dalam coping stress dengan
merawat anggota keluarga yang menderita penyakit Alzheimer. Tipe-tipe tersebut adalah
confrontatial ( seperti marah, bersalah, sedih), denial (seperti menekan emosi negatif), dan
penghindaran (Hooyer & Roodin, 2003).
Beberapa penelitian menemukan bahwa penggunaan strategi emotion-focused coping
yang berbeda seperti penghindaran, pengharapan, dan pelepasan emosi dapat meningkatkan
depresi pada caregiver. Penggunaan satu strategi emotion-focused yaitu penerimaan dapat
mengurangi efek negatif pada caregiver (Pruchno & Resch, 1989 dalam
dengan caregiver penderita penyakit Alzheimer. Pernyataan tersebut beragam mulai dari
pernyataan seperti:
“...mesti banyak sabar... kalo marah juga percuma..dianya juga gak tahu.. tapi akhirnya jadi stres... yah, kita harus bisa nerima memang dah jalannya dan seperti ini.. kita balik lagi ke agama...” (Komunikasi Personal, 15 Maret 2008)
“...ada kejenuhan...tapi abis itu mikir jalan hidup yang harus kita jalani..dengan tawakkal..kalo gak, kita sendiri yang pusing sendiri...” (Komunikasi Personal, 15 Maret 2008)
Problem-focused coping digunakan oleh individu dengan mengurangi tuntutan dari
situasi stressful atau mengembangkan sumber pada dirinya. Individu akan mengurangi
stressor dengan mempelajari cara atau ketrampilan baru. Pendekatan problem-focused
cenderung digunakan jika individu yakin akan dapat merubah situasi. Caregiver pada pasien
terminal illness menggunakan problem-focused coping pada beberapa bulan sebelum menuju
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
Terkadang individu menggunakan tipe Emotion-Focused Coping dan
Problem-Focused Coping secara bersamaan ketika mereka menghadapi situasi yang stressful. Menurut
Lazarus dan Folkman (1984), penggunaan strategi coping stress yang efektif dapat
berbeda-beda sesuai dengan situasi dimana strategi tersebut digunakan.
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas peneliti ingin mengetahui
bagaimana pengalaman stres yang dialami oleh keluarga penderita Alzheimer dan coping
stress pada keluarga yang merawat individu penderita Alzheimer.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti merumuskan beberapa pertanyaan yang
akan dijawab melalui penelitian ini. Dengan demikian dapat dirumuskan masalah utama
penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah pengalaman stres pada caregiver yaitu pasangan dari individu penderita
Alzheimer?
2. Bagaimanakah strategi coping stress yang digunakan oleh caregiver yaitu pasangan dari
individu penderita Alzheimer?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengalaman stres dan gambaran
strategi coping stress yang dialami oleh pasangan penderita penyakit Alzheimer yang
berperan menjadi primary caregiver penderita.
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk perkembangan ilmu
psikologis, khususnya di bidang Psikologi Klinis dan bermanfaat menjadi salah satu sumber
informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut masalah yang berkaitan dengan
coping stress pada pasangan penderita penyakit Alzheimer yang berperan menjadi primary
caregiver penderita.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada keluarga dan
orang-orang di sekitar individu penderita Alzheimer, institusi yang berada dalam bidang
Alzheimer dan pihak lain yang berkepentingan mengenai coping stress pada pasangan dari
individu penderita Alzheimer sehingga diharapkan dapat membantu mengatasi
masalah-masalah yang berhubungan dengan individu penderita Alzheimer tersebut.
E. Sistematika Penulisan
Penelitian ini dirancang dengan susunan sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan
Berisikan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II : Landasan Teori
Berisikan teori-teori yang menjelaskan data penelitian yaitu teori tentang stres,
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
BAB III : Metodologi Penelitian
Berisikan pendekatan yang digunakan, subjek penelitian, metode
pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data penelitian, prosedur
penelitian dan prosedur analisis data
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Stres
1. Pengertian Stres
Dalam buku Stres and Health, Rice (1992), mendefinisikan stres dengan tiga
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
a. Stres mengarah pada setiap kejadian atau stimulus lingkungan yang menyebabkan
seseorang merasa tertekan atau dibangkitkan. Dalam hal ini, stres berasal dari
eksternal seseorang. Kondisi yang dapat menimbulkan stres disebut dengan stressor.
Setiap situasi, peristiwa/kejadian atau objek yang memaksa tubuh dan menyebabkan
timbulnya ”physiological reaction” adalah stressor.
b. Stres mengarah pada respon subjektif. Dalam hal ini, stres merupakan bagian internal
dari mental, termasuk didalamnya adalah emosi, pertahanan diri, interpretasi dan
proses coping yang terdapat dalam diri seseorang.
c. Stres mengarah pada physical reaction dalam mengatasi ataupun menghilangkan
gangguan.
Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Sarafino, 2006) mengatakan stres adalah
keadaan dimana transaksi yang ada membuat orang mempunyai kesenjangan antara tuntutan
fisik atau fisiologis dari situasi dan sumber dari sistem biologis, psikologis, dan sosialnya.
Lazarus dan Folkman (dalam Morgan, 1986) mengatakan stres adalah keadaan
internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh (kondisi penyakit, latihan, dan
lainnya) atau oleh kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak
terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk melakukan coping. Penyebab stres yang
berasal dari fisik, lingkungan, dan sosial dapat diartikan dengan stressor. Sekali dimunculkan
oleh stressor maka memberikan berbagai macam respon, yaitu respon secara fisik dan
psikologis seperti kecemasan, depresi, keputusasaan, dan perasaan lainnya yang tidak dapat
diatasi.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa stres adalah
terjadinya kesenjangan antara tuntutan fisik, lingkungan, dan sosial dengan sumber daya yang
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
2. Sumber Stres
Sarafino (2006) mengatakan tiga jenis sumber stres yang dapat terjadi pada
kehidupan, yaitu :
1. Sumber yang berasal dari individu
Salah satu sumber stres yang berasal dari individu adalah terkenanya penyakit.
Sumber stres yang lain adalah ketika munculnya konflik pada individu.
2. Sumber yang berasal dari keluarga
Tingkah laku, kebutuhan, dan kepribadian masing-masing anggota keluarga dapat
memberikan dampak dan berhubungan dengan sistem keluarga yang terkadang
menghasilkan stres. Sumber-sumber stres dapat berasal dari adanya anggota baru
dalam keluarga misalnya kelahiran anak, perceraian, dan penyakit dan kematian
pada anggota keluarga dimana jika ada orang tua yang sakit dan harus dirawat
oleh anggota keluarganya dapat meningkatkan stres terutama orang tersebut harus
dirawat terus menerus dan mengalami penurunan mental (Martine&Schulz, 2001).
3. Sumber yang berasal dari komunitas dan masyarakat
Hubungan interpersonal yang ada di luar keluarga dapat menjadi sumber stres.
Pengalaman pada orang dewasa yang dapat menjadi sumber stres berhubungan
dengan pekerjaan mereka dan berbagai situasi lingkungan yang dapat menjadi
tertekan.
B. Coping Stress
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Taylor, 2003), coping adalah proses yang
mengatur tuntutan dari eksternal atau internal yang muncul melampaui batas sumber daya
seseorang. Coping terdiri dari usaha langsung pada aksi dan intrapsychic untuk mengatur
(seperti mengurangi, memahami, mengecilkan) lingkungan dan tuntutan dari internal serta
konflik diantara keduanya. Definisi dari coping ini mempunyai beberapa aspek, yaitu :
1. Hubungan antara coping dan situasi yang penuh tekanan merupakan proses yang
dinamis. Coping merupakan gabungan transaksi antara seseorang yang
mempunyai susunan sumber daya, nilai, dan komitmen dengan suatu lingkungan
khusus yang mempunyai sumber daya, tuntutan dan paksaannya sendiri.
2. Definisi kedua dari coping adalah keluasan cakupannya. Definisi ini meliputi
banyak aksi dan reaksi terhadap situasi yang penuh tekanan. Reaksi emosi seperti
marah atau depresi dapat dijadikan bagian dari proses coping dan juga aksi yang
dijalankan untuk menghadapi situasi tersebut.
Lazarus dan Folkman (dalam Sarafino, 2006) mengatakan coping adalah usaha
seseorang untuk mengatur kesenjangan antara tuntutan dan sumber daya yang dimiliki dalam
situasi yang penuh dengan tekanan. Usaha coping dapat diartikan dengan memperbaiki
masalah dan dapat juga membantu seseorang merubah pandangannya terhadap kesenjangan,
menerima ancaman, atau menghindar dari situasi.
Menurut Suls dan Fletcher (Rice, 1992) bahwa perilaku coping mungkin bersifat
positif atau negatif, aktif atau menghindar, secara langsung atau tidak langsung. Hal ini
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa coping adalah suatu
proses dimana individu berusaha untuk mengatur atau mengelola diri terhadap
tuntutan-tuntutan baik secara internal maupun eksternal.
2. Fungsi Coping Stres
Secara umum menurut Lazarus, dkk ( Sarafino, 2006) coping mempunyai dua fungsi,
yaitu:
a. Emotion-focused coping
Digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stres. Pengaturan respon emosi
menggunakan dua pendekatan yaitu perilaku dan kognitif. Pendekatan perilaku
termasuk dengan menggunakan alkohol, mencari social support dari teman atau
keluarga, dan melakukan aktivitas lain. Sedangkan pendekatan kognitif adalah
bagaimana orang berpikir mengenai situasi yang penuh tekanan.
b. Problem-focused coping
Digunakan oleh individu dengan mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh tekanan
atau mengembangkan sumber daya pada dirinya. Individu akan mengurangi stresor
dengan mempelajari cara atau ketrampilan baru. Pendekatan ini cenderung digunakan
jika individu yakin akan dapat merubah situasi.
3. Metode Coping Stres
Taylor (2003) mengatakan bahwa metode coping terdiri dari:
a. Planful Problem Solving yaitu coping yang bertujuan sebagai problem focused, adalah
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
b. Confrontative adalah coping yang bertujuan sebagai problem focused, adalah usaha
yang agresif untuk mengubah situasi.
c. Seeking Social Support adalah coping yang bertujuan sebagai Problem focused,
adalah usaha untuk mengatur emosi yang nyaman dan mencari informasi dari orang
lain.
d. Direct Action yaitu coping yang bertujuan sebagai problem focused, adalah tindakan
secara langsung untuk merubah situasi menjadi lebih baik.
e. Distancing adalah coping yang bertujuan sebagai emotion focused, adalah usaha
untuk melepaskan diri dari situasi yang penuh dengan tekanan.
f. Escape/Avoidance yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused, adalah usaha
untuk meghindar atau lari dari masalah.
g. Self Control yaitu coping yang bertujuan pada emotion focused, adalah yaitu
mengatur perasaan atau tindakan seseorang yang berhubungan dengan masalah yang
ada.
h. Accepting Responsibility yaitu coping yang bertujuan pada emotion focused, adalah
yaitu berusaha mengambil pengetahuan tentang peranannya dalam suatu
masalah,sambil berusaha membetulkan apa yang salah.
i. Positive Appraisal yaitu coping yang bertujuan pada emotion focused, adalah usaha
untuk mendapatkan makna yang positif dalam pengalaman dengan fokus pada
pertumbuhan diri.
j. Emotional Discharge yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah
melibatkan pengekspresian atau pelepasan perasaan tentang situasi yang menekan.
k. Religion yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah usaha untuk
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
l. Acceptance yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah usaha untuk
menerima kenyataan mengenai situasi yang terjadi.
m. Cognitive Redefinition yaitu berusaha tetap terlihat baik didalam situasi yang buruk,
membuat sesuatu perbandingan dengan orang lain yang lebih rendah, atau melihat
sesuatu yang baik yang muncul dari masalah itu.
n. Denial yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah usaha untuk
menolak situasi yang tidak menyenangkan.
o. Intrusive Troughts yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah
berpikir berulang-ulang tentang kesalahan orang lain sehingga muncul masalah
tersebut.
C. Caregiving dan Caregiver
1. Pengertian Caregiving dan Caregiver
Meningkatnya harapan hidup manusia sehingga bisa mencapai usia lanjut merupakan
perubahan demografis yang terjadi paling drastis pada abad ke-20. Usia lanjut merupakan
suatu periode dari rentang kehidupan yang ditandai dengan perubahan atau penurunan fungsi
tubuh yang tidak sama ketika periode sebelumnya (Papalia, 2001).
Penurunan fungsi tubuh yang dialami para lansia merupakan salah satu alasan
mengapa para lansia membutuhkan bantuan dalam melakukan kegiatan sehari-hari
disebabkan mereka menderita penyakit kronis. Pemberian bantuan ini bisa datang dari
institusi formal seperti perawat rumah sakit atau tenaga professional lainnya atau dari
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
Pemberian bantuan atau perawatan oleh anggota keluarga kepada para lanjut usia
biasa disebut dengan caregiving. Lund (1993) mendefinisikan caregiving atau pemberian
perawatan sebagai berikut :
“Caregiving is informal, unpaid care of a person whose independence is physically, mentally, or economically limited. It may include errands, chauffeuring, help with finances, or housework, or complete physical care.”
(dalam Papalia and Sterns, 2002)
Schulz, Mittelmark, Burton, Hirsch, & Jackson (1997) mendefinisikan caregiving
sebagai berikut :
“Caregiving is typically defined as living with or being related to an elderly individual with a cognitive deficit and/or functional disability. Relatives of the disabled elderly person are presumed to be providing care by virtue of their relation to the disabled person and/or because they live with them, even though no direct evidence is reported regarding the extent to which care provision actually occurs”
(dalam Schulz, Mittelmark, Burton, Hirsch, & Jackson, 1997)
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa caregiving adalah pemberian
perawatan atau bantuan secara informal dan tidak menerima pembayaran kepada individu
yang tidak mandiri serta memiliki keterbatasan fisik, mental atau ekonomi. Anggota keluarga
dari lansia yang mempunyai keterbatasan mempunyai tanggung jawab untuk memberikan
perawatan kepada lansia tersebut dikarenakan mereka tinggal bersama lansia tersebut atau
mempunyai tugas moral yang harus dipenuhi. Bentuk pemberian bantuan termasuk
berbelanja, membawa kendaraan, membantu secara finansial, pekerjaan rumah atau
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
Mahalnya biaya panti wredha atau rumah perawatan dan keengganan para lanjut usia
untuk dirawat disana, membuat para lanjut usia yang membutuhkan bantuan memperoleh
perawatan di rumah.
“Someone whose life is in some way restricted by the need to be responsible for the care of someone who is mentally ill, mentally handicapped, physically disabled or whose health is impaired by sickness or old age.”
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa caregiver merupakan seseorang yang
mempunyai tanggung jawab untuk memberikan perawatan pada seseorang yang sakit secara
mental, ketidakmampuan secara fisik atau kesehatannya terganggu karena penyakit atau usia
tua yang diderita.
2. Tugas-tugas Caregiving
Menurut Brody & Schoonover (1986), Horowitz (1985), Noelker (1987), Townsend
& Poulshock (1986) (dalam Birren & Schaie, 1990) mengatakan ada enam jenis tugas yang
dilakukan oleh caregiver, yaitu :
1. Memberikan dukungan emosi dan pemberian saran
2. Asisten dalam melakukan pekerjaan rumah tangga seperti pembersihan rumah,
persiapan makan, belanja, dan transportasi
3. Membantu dalam perawatan personal seperti memandikan, membantu berpakaian,
makan, dan mempersiapkan obat
4. Mengatur keuangan
5. Membuat keputusan tentang perawatan dan berhubungan langsung dengan pelayanan
kesehatan formal seperti mengatur pelayanan dalam rumah dan pengasuhan
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
3. Jenis-Jenis Caregiver
Menurut Barrow (1996), caregiver terdiri dari dua jenis, yaitu :
1. Caregiver formal yaitu seseorang yang memberikan perawatan dengan melakukan
pembayaran yang disediakan oleh rumah sakit, psikiater, pusat perawatan ataupun
tenaga profesional lainnya
2. Caregiver informal yaitu seseorang yang memberikan perawatan dengan tidak
melakukan pembayaran dan tidak secara tenaga professional. Perawatan ini dapat
dilakukan di rumah dan biasa diberikan oleh pasangan penderita, anak dari penderita
atau anggota keluarga lainnya.
4. Gambaran Kerangka Proses Stres dan Coping Stres pada Caregiver
Dalam Birren dan Schaie (1999), elemen-elemen dari gambaran proses stress dan
coping pada caregiver terdiri dari :
a. Stressor atau kejadian hidup
Stressor pada model ini terdiri dari dua bentuk yaitu pertama masalah kesehatan yang
dialami oleh penderita seperti gejala penyakit yang timbul. Menurut Aneshensel et al.
(1995) gejala penyakit yang timbul pada penderita Alzheimer seperti kerusakan
kognitif, ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, dan gangguan
perilaku. Hal ini dikatakan sebagai objective stressor pada caregiver. Stressor kedua
yaitu perubahan hidup yang terjadi pada caregiver saat ia memberikan perawatan.
Perubahan hidup yang terjadi pada caregiver seperti berubahnya tuntutan peran dari
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
finansial yang dialami oleh caregiver. Bagaimana reaksi caregiver terhadap objective
stressor yang ada. Hal ini dikatakan sebagai subjective stressor.
b. Appraisal
Appraisal dalam model ini mempunyai dua aspek yaitu pertama persepsi caregiver
terhadap gejala-gejala penyakit yang timbul pada penderita sebagai sesuatu yang
menyedihkan atau dapat diatasi. Sedangkan aspek kedua yaitu penerimaan caregiver
terhadap perubahan hidupnya yang terjadi setelah ia memberikan perawatan.
Perubahan tersebut sebagai sesuatu yang dapat diterima atau tidak diterima dan
seberapa banyak ia dapat memberikan perawatan.
c. Mediator
Pada elemen ini, mediator dari kejadian yang stressful termasuk sumber yang dimiliki
oleh caregiver seperti kontribusi finansial, pendidikan, dukungan sosial, dan asisten
formal. Mediator kedua yaitu kemampuan coping stress pada caregiver. Kemampuan
coping termasuk (1) mengatur situasi yang ada seperti memecahkan masalah atau
mencari bantuan, (2) mengatur arti atau penerimaan dari situasi yang ada seperti
menolak untuk memikirkan, dan (3) mengatur gejala stres seperti mencari dukungan
sosial dan melakukan aktivitas lain.
d. Hasil yang keluar pada caregiver
Hasil yang ada pada caregiver biasanya mengarah pada bentuk stres atau beban yang
dirasakan. Bentuk dari stres termasuk distres secara emosi, muncul masalah kesehatan
pada caregiver, aktivitas sosial yang berkurang dilakukan, perubahan dalam
hubungan dengan penderita yang diberikan perawatan, dan tuntutan finansial yang
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
*Kerangka proses terjadinya stres dan coping pada caregiver*
Event Stressor Appraisal Mediator Outcomes
Simtom pada Persepsi caregiver
Orang Tua pada simtom sbg Coping
menyedihkan atau Stress
dapat diatasi
Penyakit Beban,Distress
yang Timbul atau Adaptasi
Perubahan Penerimaan pada Sumber dan Hidup perubahan hidup Dukungan Sosial
Caregiver caregiver
D. Penyakit Alzheimer
1. Gambaran umum Penyakit Alzheimer
Alzheimer atau sebutannya az-zhai-me, merupakan sejenis
saraf
menular. Penyakit Alzheimer adalah keadaan di mana daya ingatan seseorang merosot
dengan parahnya sehingga pengidapnya tidak mampu mengurus diri sendiri. (Wikipedia
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
Penyakit Alzheimer adalah kerusakan otak yang ditandai dengan penurunan dari
perhatian, memori, dan kepribadian. Fungsi kognitif pada penderita penyakit Alzheimer tidak
hilang pada satu saat. Fungsi pertama yang menurun adalah perhatian dan memori. Perubahan
kepribadian sering muncul dimana penderita menjadi kurang spontan, lebih apatis, dan
menarik diri. Munculnya penurunan perhatian terhadap diri sendiri dan masalah perilaku
muncul ketika penderita menjadi sering berkelana dan tersesat. Penderita mengalami
disorientasi dalam memperhatikan waktu, lokasi, dan identitas mereka. Penurunan ini
semakin berkembang jika penderita mengalami kekurangan dalam bahasa atau mempunyai
sejarah pada alkohol atau gangguan neurologis seperti stroke atau Parkinson (dalam Sarafino,
2006).
Tanda-tanda klasik yang dialami oleh kebanyakan penderita pada stadium awal
sebagai berikut :
1. Short-term memory loss
Kemunduran fungsi memori merupakan tanda yang paling awal
2. Learning and retaining new information
Penderita mengalami kesulitan untuk belajar hal yang baru. Akibatnya adalah
mengulang-ulang sesuatu seperti pada pembicaraan dan janji.
3. Reasoning and abstractive thought
Kesulitan untuk melihat kalender, memahami lelucon, atau menentukan waktu.
Mengalami kesukaran dalam menghitung buku cek, memasak atau tugas yang
membutuhkan langkah berurutan.
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
Mengalami kesukaran dalam kemampuan untuk mengantisipasi atau
mempertimbangkan akibat suatu peristiwa atau tindakan. Tidak mampu memecahkan
masalah sehari-hari.
5. Language skills
Sangat sulit menemukan kata yang benar dalam mengungkapkan pikiran.
6. Inhibition and impulse control
Penderita yang dahulu pasif menjadi lebih agresif dan kadang-kadang berperilaku
tidak wajar.
Berdasarkan beberapa gambaran mengenai penyakit Alzheimer di atas dapat
disimpulkan bahwa penyakit Alzheimer merupakan penurunan kemampuan kognitif yang
terjadi secara progresif dan penderita mengalami beberapa perubahan.
2. Gejala Penyakit Alzheimer
Alzheimer's Disease and Related Disorders Association (dalam Adesla, 2007),
membuat 10 gejala penyakit Alzheimer yang sering muncul sebagai berikut:
1. Hilang ingatan.
Salah satu gejala awal dari demensia adalah melupakan informasi yang baru
dipelajari. Pada orang normal, wajar bila melupakan janji, nama atau nomor telepon.
Pada mereka yang mengidap demensia, mereka akan melupakan berbagai hal seperti
itu lebih sering dan kemudian tidak ingat akan hal tersebut.
2. Sulit untuk mengerjakan tugas yang familiar.
Orang yang terkena demensia seringkali kesulitan untuk menyelesaikan tugas
sehari-hari yang sangat mereka ketahui yang tidak perlu berpikir untuk melakukannya.
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
menyiapkan makanan, menggunakan perabot rumah tangga atau berpartisipasi dalam
melakukan kegemarannya selama ini.
3. Bermasalah dengan bahasa.
Sesekali, setiap orang dapat memiliki masalah dalam menemukan kata yang tepat,
namun pada orang yang mengidap Alzheimer, mereka seringkali lupa akan kata-kata
sederhatana ataupun substitusi dari kata yang tidak biasa digunakan, membuat ucapan
atau tulisannya sulit untuk dimengerti. Contohnya: jika orang yang mengidap
Alzheimer kesulitan untuk menemukan sikat giginya, maka ia akan bertanya "sesuatu
untuk mulut saya".
4. Disorientasi waktu dan tempat.
Normal jika lupa hari dari minggu itu atau dimana kamu pergi. Tapi orang yang
mengidap Alzheimer dapat tersesat di jalan dekat rumahnya sendiri, lupa dimana dia
berada dan bagaimana ia dapat sampai ke tempat tersebut, dan tidak tahu bagaimana
caranya dia bisa kembali ke rumah.
5. Lemah atau kurang baik dalam mengambil keputusan.
Tidak ada seorang pun yang memiliki keputusan sempurna di sepanjang waktu.
Namun demikian, pada orang yang mengidap Alzheimer, mereka mengenakan baju
tanpa mempertimbangkan cuaca, memakai beberapa kaos di hari yang panas atau
memakai pakaian yang sangat minim ketika cuaca dingin. Orang dengan demensia
seringkali menunjukkan keputusan yang lemah atau kurang baik mengenai uang,
mereka memberikan sejumlah besar uang kepada para telemarket atau membayar
perbaikan rumah ataupun membeli barang yang tidak mereka butuhkan.
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
Menyeimbangkan buku cek mungkin menjadi begitu sulit ketika tugas tersebut lebih
rumit dari biasanya. Namun demikian, pada orang yang mengidap Alzheimer, mereka
akan benar-benar lupa berapa jumlah/angkanya, dan apa yang harus mereka lakukan
terhadap angka-angka tersebut.
7. Salah menempatkan segala sesuatu.
Setiap orang dapat secara tidak disengaja salah menempatkan/menaruh dompet atau
kunci. Orang yang mengidap Alzheimer akan meletakkan segala sesuatu pada tempat
yang tidak sewajarnya, contoh: meletakkan gosokan di dalam freezer atau meletakkan
jam tangan di dalam mangkuk gula.
8. Perubahan mood atau tingkah laku.
Setiap orang dapat menjadi sedih dari waktu ke waktu. Seorang yang mengidap
Alzheimer menampilkan mood yang tidak tentu/berubah-ubah dari tenang menjadi
ketakutan kemudian menjadi marah tanpa ada alasan yang jelas.
9. Perubahan kepribadian.
Kepribadian seseorang wajar mengalami perubahan seiring dengan usia. Namun
seorang yang mengidap Alzheimer dapat sangat berubah , menjadi benar-benar kacau,
penuh kecurigaan, ketakutan atau menjadi bergantung pada anggota keluarga.
10.Kehilangan inisiatif.
Lelah akibat pekerjaan rumah, aktivitas bisnis, atau kewajiban sosial sesekali waktu
adalah wajar. Namun demikian, orang yang mengidap Alzheimer dapat menjadi pasif,
duduk di depan televisi selama berjam-jam, tidur lebih dari biasanya atau tidak ingin
melakukan aktivitas yang biasanya dilakukan.
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
1. Stadium awal
Penderita pada stadium awal menunjukkan gejala kesulitan dalam berbahasa,
mengalami kemunduran daya ingat secara bermakna, disorientasi dalam waktu,
tersesat di tempat yang dikenal, sulit membuat keputusan, kehilangan inisiatif dan
motivasi, menunjukkan gejala depresi dan agitasi, dan kehilangan minat dalam
hobi dan aktivitas.
2. Stadium menengah
Penderita pada stadium menengah menunjukkan gejala mudah lupa yang sering
terutama pada peristiwa baru dan nama orang, tidak dapat mengelola kehidupan
sendiri, sangat bergantung pada orang lain, membutuhkan bantuan untuk
kebersihan diri, makin sulit berbicara, mengalami masalah dalam mengembara (
wondering ) dan beberapa gangguan perilaku, tersesat di rumah sendiri, dan dapat
menunjukkan halusinasi.
3. Stadium akhir
Penderita pada stadium akhir menunjukkan gejala ketidakmandirian yang total,
tidak mengenali lagi anggota keluarganya, sulit memahami dan menilai peristiwa,
tidak mampu menemukan jalan di sekitar rumah sendiri, kesulitan berjalan,
mengalami inkontinensia buang air kecil dan besar, menunjukkan perilaku tidak
wajar di masyarakat, dan akhirnya bergantung pada kursi roda atau tempat tidur.
E. Coping Stress pada Caregiver Penderita Alzheimer
Pada saat lanjut usia, orang akan mengalami beberapa perubahan yaitu perubahan
fisik, kogntif , dan sosioemosional (Santrock, 1995). Perubahan kognitif yang terjadi pada
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
Gangguan kognitif ini juga dapat disebut dengan Demensia. Demensia merupakan
kekurangan fungsi kognitif secara progresif yang banyak muncul pada lanjut usia. Salah satu
bagian dari Demensia adalah penyakit Alzheimer. Penyakit Alzheimer biasa terjadi pada usia
65 tahun.
Penyakit Alzheimer merupakan jenis penyakit penurunan fungsi otak yang kompleks
dan progresif (Wikipedia Indonesia). Gangguan otak pada penyakit Alzheimer ditandai
dengan penurunan pada perhatian, memori, dan kepribadian (Sarafino, 2006). Penderita
penyakit Alzheimer akan mengalami beberapa tanda masalah pada stadium awal yaitu
kehilangan Short Term Memory, pembelajaran dan penerimaan informasi, pemikiran
abstraktif, penilaian dan perencanaan, kemampuan bahasa, dan kontrol diri.
Perubahan-perubahan yang dialami penderita penyakit Alzheimer akan membutuhkan seseorang untuk
merawat yang biasa disebut caregiver. Caregiver dapat berada pada sebuah institusi yang
khusus di bidang penyakit Alzheimer dan keluarga terdekat dari penderita penyakit
Alzheimer seperti istri, anak perempuan, dan lainnya. Kebanyakan para penderita penyakit
Alzheimer akan tinggal di rumah dan menerima perawatan dari keluarga mereka (Sarafino,
2006).
Tingkah laku penderita penyakit Alzheimer semakin bermasalah selama peningkatan
penyakitnya dan dapat meningkatkan stres dalam keluarganya (Sarafino, 2006). Tingkat
keparahan dari kerusakan kognitif dan masalah perilaku yang dialami oleh penderita
Alzheimer dapat menjadi pengaruh yang besar dalam kesehatan caregiver (Berk, 2007).
Keluarga yang berperan menjadi caregiver akan beresiko mengalami masalah fisik dan
kesehatan mental serta kematian yang lebih cepat jika ia memberikan kapasitas yang
berlebihan dalam caregiving (Schultz&Beach, Sovensen&Pinquart, 2005 dalam Berk 2007).
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
tergantung pada usia, keadaan yang terjadi, hubungannya dengan penderita dan sumber yang
ada (Harper dan Lund, 1990 dalam Papalia&Sterns, 2002).
Caregiver penderita penyakit Alzheimer lebih banyak menghabiskan waktu untuk
memberikan perawatan dan mengalami stres yang lebih banyak daripada caregiver penderita
penyakit lainnya (Ory et al, 2000). Pada saat mengalami stres, orang akan mencari dan
menggunakan berbagai cara untuk menghilangkan stresnya atau disebut dengan coping stres (
Sarafino, 2006).
Coping stres adalah proses dimana orang berusaha untuk mengatur kesenjangan
antara tuntuan dan sumber yang muncul pada situasi stresful. Usaha coping dapat diartikan
dengan memperbaiki masalah dan dapat juga membantu seseorang merubah pandangannya
terhadap kesenjangan, menerima ancaman, atau menghindar dari situasi (Sarafino,
2006).Coping stres memiliki dua fungsi yaitu emotion-focused coping dan problem-focused
coping.
Emotion-focused coping adalah usaha untuk mengatur respon emosional karena
situasi stresful (Sarafino, 2006). Menurut Folkman dan Lazarus dalam emotion-focused
coping mempunyai strategi coping yang spesifik yaitu self control adalah usaha untuk
mengatur perasaan seseorang, distancing adalah usaha untuk melepaskan diri dari situasi
yang stresful, positive reappraisal adalah usaha untuk mendapatkan makna yang positif
dalam pengalaman, accepting responsibility adalah usaha untuk membenarkan peran sendiri
dalam suatu masalah, dan escape / avoidance adalah usaha untuk menghindar dari masalah
dengan makan, minum, merokok, menggunakan obat, dan lainnya (Taylor, 2003).
Sedangkan problem-focused coping adalah usaha untuk mengurangi tuntutan dari
situasi yang penuh tekanan atau mengembangkan sumber daya pada dirinya (Sarafino, 2006).
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
yang spesifik yaitu confrontative coping adalah usaha yang agresif untuk mengubah situasi,
seeking social support adalah usaha untuk mengatur emosi yang nyaman dan mencari
informasi dari orang lain, dan planful problem solving adalah usaha untuk fokus pada
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
Perubahan Fisik Perubahan Kognitif Perubahan
Sosioemosional
Demensia
Alzheimer
Masalah Spesifik Penyakit Alzheimer: - Perhatian
Demensia Vaskuler Demensia karena kondisi
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Penelitian Kualitatif
Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2006) mendefinisikan metode penelitian
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini juga
untuk menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar subjek penelitian beserta
konteksnya.
Sejalan dengan definisi tersebut Kirk dan Miller (dalam Moleong, 2006)
mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan yang
secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya
maupun dalam peristilahannya. Menurut Moleong (2006), penelitian kualitatif adalah
penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara keseluruhan, dan dengan
cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah
dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.
Pemilihan metode penelitian kualitatif menjadi metode dalam penelitian ini karena
peneliti ingin melihat pengalaman subjektif seorang caregiver yang merupakan keluarga dari
penderita penyakit Alzheimer, bagaimana pengalaman stres mereka dan strategi coping yang
digunakan untuk mengatasi stres mereka selama menjadi caregiver. Perbedaan strategi
coping yang digunakan oleh setiap orang untuk mengatasi stres juga merupakan alasan
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
pemanfaatan kualitatif yaitu dapat melihat sesuatu secara mendalam, memahami isu-isu yang
sensitif, dan isu-isu yang rumit.
B. Subjek Penelitian
1. Karakteristik subjek penelitian
Adapun karakteristik subjek yang digunakan dalam penelitian telah disesuaikan
dengan tujuan penelitian yang akan diteliti adalah :
1. Caregiver penderita penyakit Alzheimer pada stadium menengah dan akhir yang
merupakan istri dari penderita.
Penderita Alzheimer pada stadium menengah dan akhir akan mengalami
peningkatan gangguan perilaku, ketergantungan dalam aktivitas sehari-hari, dan
penurunan fungsi kognitif. Peningkatan pada stadium menengah dan akhir
berhubungan dengan peningkatan stres dan gangguan kesehatan mental pada
caregiver (Alspaugh, Stephens, Townsend, Zarit, & Greene, 1999; Aneshensel
et.al., 1995; Walker, Acock, Bowman, & Li, 1996; Zarit, Todd, & Zarit, 1986).
Sekitar 40% caregiver disediakan oleh pasangan suami atau istri yaitu 14% oleh
suami dan 26% oleh istri (Harris, 1993 dalam Barrow, 1996).
2. Jumlah subjek penelitian
Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2001), penelitian kualitatif memiliki sifat yang
luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti mengenai jumlah subjek yang harus diambil
dalam penelitian kualitatif. Jumlah subjek sangat tergantung pada apa yang dianggap
bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia. Jumlah subjek
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
3. Teknik pengambilan subjek
Prosedur pengambilan subjek dalam penelitian ini berdasarkan konstruk operasional
(theory-based/operational construct sampling). Subjek dipilih berdasarkan kriteria yang telah
ditetapkan, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai dengan studi-studi
sebelumnya, atau sesuai dengan tujuan penelitian (dalam Poerwandari, 2001).
4. Lokasi penelitian
Penelitian akan dilakukan di Kota Medan, karena terdapat alasan kemudahan bagi
peneliti dalam menemukan sampel, mengingat peneliti juga berdomisili di Kota Medan
sekaligus menghemat biaya penelitian. Lokasi penelitian dapat berubah sewaktu-waktu dan
disesuaikan dengan keinginan dari subjek penelitian agar subjek merasa nyaman.
C. Metode Pengumpulan Data
Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2006) sumber utama dalam penelitian
kualitatif ialah kata-kata dan tindakan. Kata-kata dan tindakan ini dapat dicatat melalui
perekaman suara atau melalui catatan tertulis, pengambilan foto dan statistik. Pencatatan
sumber data utama dapat dilakukan dengan wawancara dan observasi yang merupakan hasil
gabungan dari kegiatan melihat, mendengar dan bertanya. Dalam penelitian yang dilakukan,
peneliti menggunakan metode pengumpulan data dengan wawancara.
1. Wawancara
Wawancara adalah percakapan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
pengetahuan makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan topik yang diteliti,
dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat
dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dkk, 1994).
Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara
menggunakan petunjuk umum wawancara. Jenis wawancara ini mengharuskan pewawancara
membuat kerangka dan garis besar pokok-pokok yang dirumuskan tidak perlu ditanyakan
secara berurutan. Demikian pula penggunaan dan pemilihan kata-kata untuk wawancara
dalam hal tertentu tidak boleh dilakukan sebelumnya. Petunjuk wawancara hanyalah berisi
petunjuk secara garis besar tentang proses dan isi wawancara untuk menjaga agar
pokok-pokok yang direncanakan dapat seluruhnya tercakup. Pelaksanaan wawancara dan
pengurutan pertanyaan disesuaikan dengan keadaan responden dalam konteks wawancara
yang sebenarnya (dalam Moleong, 2006)
D. Alat Bantu Pengambilan Data
Menurut Poerwandari (2001), dalam metode wawancara, alat yang terpenting adalah
peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat
bantu. Alat bantu yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah berupa pedoman
wawancara dan alat perekam.
1. Pedoman wawancara
Pedoman umum wawancara memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian
ini. Pertanyaan akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung
tanpa melupakan aspek-aspek yang harus ditanyakan. Pedoman ini digunakan untuk
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
dibahas atau ditanyakan (dalam Poerwandari, 2001). Tema yang akan digunakan pada
pedoman wawancara adalah mengenai perasaan caregiver pada dampak penyakit yang
ditimbulkan oleh penderita, pengalaman stres yang dialami oleh caregiver, dan strategi
coping yang digunakan oleh caregiver.
2. Tape recorder
Tape recorder ini akan digunakan untuk merekam wawancara yang dilakukan
sehingga semua data penting yang diungkapkan subjek tidak ada yang terlupakan. Rekaman
wawancara berguna untuk verbatim sehingga mempermudah dalam melakukan pengkodean
dan analisis data. Penggunaan tape recorder ini akan dilakukan dengan seizin subjek
penelitian (dalam Poerwandari, 2001).
E. Kreadibilitas dan Validitas Penelitian
Dalam penelitian kualitatif dikenal istilah kreadibilitas yaitu istilah yang paling
banyak dipilih untuk mengganti konsep validitas yang dimaksud untuk merangkum bahasan
menyangkut kualitas penelitian kualitatif. Kreadibilitas studi kualitiatif terletak pada
keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting,
proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2001).
Menurut Sarantoks (dalam Poerwandari, 2001) ada empat jenis validitas yang
digunakan dalam penelitian kualitatif yaitu :
1. Validitas Kumulatif
Validitas kumulatif dicapai bila temuan dari studi-studi lain mengenai topik yang
sama menunjukkan hasil yang kurang lebih serupa.
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
Validitas komunikatif didapatkan melalui dikonfirmasikannya kembali data dan
analisa pada subjek penelitian. Data-data dan hasil analisa yang diperoleh akan
dikonfirmasikan kembali pada sampel penelitian ini adalah pasangan penderita yang
berperan menjadi caregiver penderita Alzheimer.
3. Validitas Argumentatif
Validitas argumentatif tercapai bila presentasi temuan dan kesimpulan dapat diikuti
dengan baik dan rasionalnya, serta dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data
mentah.
4. Validitas Ekologis
Validitas ekologis menunjukkan pada sejauh mana studi dilakukan pada kondisi
alamiah dari partisipan yang teliti, sehingga justru kondisi ”apa adanya” dan
kehidupan sehari-hari menjadi konteks penting penelitian.
Patton (dalam Poerwandari, 2001) mengemukakan beberapa cara untuk meningkatkan
kredibilitas penelitian kualitatif antara lain :
1. Mencatat bebas hal-hal penting serinci mungkin, mencakup catatan pengamatan
objektif terhadap setting, partisipan ataupun hal-hal yang terkait. Peneliti juga perlu
menyediakan catatan khusus yang memungkinkan menuliskan berbagai alternatif
konsep, skema atau metafora yang terkait dengan data. Catatan ini sangat penting
dalam memudahkan mengembangkan analisa dan interpretasi.
2. Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul, proses,
pengumpulan data dan strategi analisnya.
3. Memanfaatkan langkah-langkah dan proses yang diambil peneliti-peneliti sebelumnya
sebagai masukan bagi peneliti untuk melakukan pendekatan terhadap penelitiannya
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009
4. Menyertakan partner atau orang-orang yang dapat berperan sebagai ”setan” atau
pengkritik yang memberikan saran-saran dan pembelaan (devil advocate) yang
memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap analisa yang dilakukan peneliti.
5. Melakukan upaya-upaya konstan untuk menemukan kasus-kasus negatif; pemahaman
kita tentang pola dan kecenderungan yang telah kita identifikasikan akan meningkat
bila kita memberikan pula perhatian pada kasus-kasus yang tidak sesuai dengan pola
umum tersebut.
6. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali (checking dan rechecking) data,
dengan usaha menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda. Peneliti perlu
mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisa, dengan
mengaplikasikannya pada data, serta mengajukan pertanyan tentang data.
F. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan yang
diungkapkan Bogdan (dalam Moleong,2000). Terdapat tiga tahapan dalam prosedur
penelitian kualitatif, yaitu tahap pralapangan, pekerjaan lapangan, dan tahap analisa data.
1. Tahap Pralapangan
Pada tahap ini perispan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan
untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2000) yaitu sebagai berikut:
a. Mengumpulkan berbagai fenomena yang terjadi dimasyarakat
Peneliti mengumpulkan berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat yang
berhubungan dengan istri yang menjadi caregiver penderita Alzheimer, baik melalui