PEMETAAN KESESUAIAN LAHAN
UNTUK TANAMAN AGROFORESTRY
DI SUB DAS LAU SIMBELIN DAS ALAS KABUPATEN DAIRI
SKRIPSI
Oleh:
MEILAN ANGGELIA HUTASOIT 061201019/MANAJEMEN HUTAN
DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Pemetaan Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Agroforestry
di Sub DAS Lau Simbelin DAS Alas Kabupaten Dairi
Nama Mahasiswa : Meilan Anggelia Hutasoit
NIM : 061201019
Departemen : Kehutanan
Program Studi : Manajemen Kehutanan
Menyetujui,
Ketua Komisi Pembimbing, Anggota Komisi Pembimbing
Rahmawaty, S.Hut., M.Si., Ph.D Riswan, S.Hut
NIP. 19740721 200112 2 001 NIP. 132 315 039
Mengetahui,
Ketua Program Studi Kehutanan
Siti Latifah, S.Hut., M.Si., Ph.D
ABSTRAK
MEILAN ANGGELIA HUTASOIT: Pemetaan Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Agroforestry di Sub DAS Lau Simbelin DAS Alas Kabupaten Dairi, dibimbing oleh Rahmawaty, S.Hut., M.Si., Ph.D dan Riswan, S.Hut.
Penggunaan lahan untuk kepentingan ekonomi dengan penanaman silih berganti sesuai harga jual pasar yang tidak sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian lahan. Peneitian ini bertujuan untuk memetakan kelas kemampuan lahan serta mengevaluasi dan memetakan kelas kesesuaian lahan untuk tanaman agroforestry dengan metode faktor penghambat dan matching serta aplikasi GIS. Analisis tanah berupa tekstur, permeabiltas, keasaman tanah dan C-organik di lakukan di laboratorium Riset dan Teknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Kedalaman tanah dan struktur tanah dianalisis di lapangan. Suhu, curah hujan, kemiringan lereng dan drainase diperoleh dari data sekunder.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah yang dialiri Sub DAS Lau Simbelin DAS Alas memiliki kemampuan lahan kelas VI sampai VIII yang tidak sesuai untuk dibudidayakan. Agroforestry dapat dijadikan sebagai alternatif penggunaan lahan untuk mempertahankan fungsi hidrologis DAS dan memiliki interaksi ekologi, sosial dan ekonomi.
ABSTRACT
MEILAN ANGGELIA HUTASOIT: Mapping of Land Suitability for Agroforestry in Sub DAS Lau Simbelin DAS Alas Kabupaten Dairi, guided by: Rahmawaty, S.Hut., M.Si., Ph.D and Riswan, S.Hut.
Land use for the benefit of the economy with successive plantings in accordance with market prices that do not correspond with the capability and mapping of land suitability for agroforestry crops using methods of inhibiting factor and matching as well as GIS application. Analysis of soil texture, permeability, soil acidity and C-organic is carried out in soil depth and soil structure are analyzed in the field. Temperature, rainfall, slope and drainage are obtained from secondary data.
Results of research show that in the area that is drained Sub DAS Lau Simbelin DAS Alas has land capability of class VI to VIII which are therefore not suitable to be cultivated. Agroforestry can be used as an alternative land use to maintain the hydrological functions of watersheds and has the ecological, sosial and economic interactions.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 7 Mei 1988 dari ayah B. Hutasoit dan Ibu M. Sihombing. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara.
Tahun 2006 penulis lulus dari SMU Negeri 1, Balige dan pada tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur ujian tertulis Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis memilih program studi Manajemen Hutan, Departemen Kehutanan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis merupakan anggota Himpunan Mahasiswa Silva, Anggota Kelompok Kecil Kebaktian Mahasiswa Kristen, Pemimpin Kelompok Kecil Kebaktian Mahasiswa Kristen dan Koordinasi Komisi Pembinaan Kelompok Kecil Kebaktian Mahasiswa Kristen.
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan kasih karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemetaan Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Agroforestry di Sub DAS Lau Simbelin DAS ALAS Kabupaten Dairi”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua penulis yang telah membesarkan, memelihara dan mendidik penulis selama ini. Penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada komisi pembimbing saya Rahmawaty, S.Hut, M.Si, Ph.D dan Riswan, S.Hut yang telah membimbing dan memberikan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi sampai pada ujian akhir.
Penulis menyadari bahwa draft hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan proposal ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 32
Kualitas dan Karakteristik Lahan ... 34
Iklim ... 34
Media Perakaran ... 36
Drainase ... 36
Tekstur ... 36
Kedalaman tanah ... 37
Retensi hara ... 37
Bahaya erosi ... 37
Kepekaan erosi ... 38
Permeabilitas ... 38
Kemampuan Lahan ... 40
Kesesuaian Lahan ... 46
Kesesuaian Lahan Agroforestry ... 47
Kesesuaian Lahan Agroforestry untuk Tanaman Kehutanan ... 48
Kesesuaian Lahan Agroforestry untuk Tanaman Perkebunan ... 58
Kesesuaian Lahan Agroforestry untuk Tanaman Pangan dan Palawija ... 70
KESIMPULAN ... 77
DAFTAR PUSTAKA ... 78
DAFTAR TABEL
No. Hal.
1. Kelas Kemampuan Lahan ... 9
2. Bahan Penelitian ... 17
3. Kualitas dan Karakteristik Lahan yang Digunakan dalam Kriteria Evaluasi Lahan ... 20
4. Klasifikasi Tekstur dan Struktur Tanah ... 21
5. Klasifikasi Kemiringan Lereng ... 24
6. Klasifikasi Kepekaan Erosi Tanah... 24
7. Penilaian Ukuran Butir (M)... 25
8. Kelas Kandungan C-Organik ... 25
9. Penilaian Struktur Tanah ... 25
10. Penilaian Permeabilitas Tanah ... 25
11. Klasifikasi Kelas Kedalaman Efektif Tanah ... 26
12. Klasifikasi Tekstur Tanah ... 26
13. Klasifikasi Drainase Tanah ... 27
14. Matriks Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan ... 28
15. Hubungan antara Karakteristik Kesesuaian Lahan dan Tingkat Pembatas ... 29
16. Kriteria untuk Penentuan Kelas Kesesuaian Lahan ... 31
17. Suhu Udara Rata-rata Tahunan ... 34
18. Klasifikasi Kelas Kemampuan Lahan ... 41
19. Peta Fungsi Hutan Berdasarkan SK 44 dan Penutupan Lahan Hasil Citra Landsat Januari 2010... 44
20. Kesesuaian Lahan Agroforestry untuk Tanaman Kehutanan ... 49
23. Kesesuaian Lahan Agroforestry untuk Tanaman Perkebunan ... 60
DAFTAR GAMBAR
No. Hal.
1. Lokasi Penelitian………... 16
2. Tahapan Kerja Klasifikasi Kemampuan dan Kesesuaian Lahan…….. .. 18
3. Skema Hubungan antara Kelas Kemampuan Lahan dengan Intensitas dan Macam Penggunaan Lahan ... 23
4. Peta DAS Alas dan Sub DAS Lau Simbelin ... 33
5. Peta Land system dan Fungsi Kawasan... 34
6. Peta Suhu Sub DAS Lau Simbelin DAS Alas Kabupaten Dairi ... 35
7. Peta Tekstur Tanah ... ... 36
8. Peta Kedalaman Tanah... ... 37
9. Peta Kelerengan ... ... 38
10. Peta Kepekaan Erosi ... ... 39
11. Peta Permeabilitas ... ... 39
12. Peta Kelas Kemampuan Lahan ... 42
13. Peta Fungsi Hutan Berdasarkan SK 44 dan Penutupan Lahan Hasil Citra Landsat Januari 2010 ... 45
14. Peta Kesesuaian Lahan Kemiri………... 50
15. Peta Kesesuaian Lahan Durian ... 52
16. Peta Kesesuaian Lahan Rambutan ... 53
17. Peta Kesesuaian Lahan Alpukat ... 54
18. Peta Kesesuaian Lahan Manggis ... 55
19. Peta Kesesuaian Lahan Mahoni ... 56
21. Peta Kesesuaian Lahan Kopi Arabika... 61
22. Peta Kesesuaian Lahan Kopi Robusta ... 63
23. Peta Kesesuaian Lahan Kelapa ... 66
24. Peta Kesesuaian Lahan Kelapa Sawit ... 67
25. Peta Kesesuaian Lahan Cacao ... 68
26. Peta Kesesuaian Lahan Karet ... 69
27. Peta Kesesuaian Lahan Padi Gogo ... 72
28. Peta Kesesuaian Lahan Padi Sawah... 73
29. Peta Kesesuaian Lahan Jagung ... 74
30. Peta Kesesuaian Lahan Ubi Jalar………... 75
31. Peta Kesesuaian Lahan Ubi Kayu... 76
DAFTAR LAMPIRAN
No. Hal.
1. Data Curah Hujan (mm) di Stasiun Sitinjo
Periode Tahun 2001-2010 ... 75
2. Data Perhitungan Curah Hujan ... 75
3. Data Hasil Analisis Tanah ... 77
4. Kriteria Kesesuaian Lahan Kehutanan ... 78
5. Kriteria Kesesuaian Lahan Perkebunan ... 80
6. Kriteria Kesesuaian Lahan Pertanian dan Tanaman Palawija ... 82
7. Foto-foto Lapangan ... .. 84
ABSTRAK
MEILAN ANGGELIA HUTASOIT: Pemetaan Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Agroforestry di Sub DAS Lau Simbelin DAS Alas Kabupaten Dairi, dibimbing oleh Rahmawaty, S.Hut., M.Si., Ph.D dan Riswan, S.Hut.
Penggunaan lahan untuk kepentingan ekonomi dengan penanaman silih berganti sesuai harga jual pasar yang tidak sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian lahan. Peneitian ini bertujuan untuk memetakan kelas kemampuan lahan serta mengevaluasi dan memetakan kelas kesesuaian lahan untuk tanaman agroforestry dengan metode faktor penghambat dan matching serta aplikasi GIS. Analisis tanah berupa tekstur, permeabiltas, keasaman tanah dan C-organik di lakukan di laboratorium Riset dan Teknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Kedalaman tanah dan struktur tanah dianalisis di lapangan. Suhu, curah hujan, kemiringan lereng dan drainase diperoleh dari data sekunder.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah yang dialiri Sub DAS Lau Simbelin DAS Alas memiliki kemampuan lahan kelas VI sampai VIII yang tidak sesuai untuk dibudidayakan. Agroforestry dapat dijadikan sebagai alternatif penggunaan lahan untuk mempertahankan fungsi hidrologis DAS dan memiliki interaksi ekologi, sosial dan ekonomi.
ABSTRACT
MEILAN ANGGELIA HUTASOIT: Mapping of Land Suitability for Agroforestry in Sub DAS Lau Simbelin DAS Alas Kabupaten Dairi, guided by: Rahmawaty, S.Hut., M.Si., Ph.D and Riswan, S.Hut.
Land use for the benefit of the economy with successive plantings in accordance with market prices that do not correspond with the capability and mapping of land suitability for agroforestry crops using methods of inhibiting factor and matching as well as GIS application. Analysis of soil texture, permeability, soil acidity and C-organic is carried out in soil depth and soil structure are analyzed in the field. Temperature, rainfall, slope and drainage are obtained from secondary data.
Results of research show that in the area that is drained Sub DAS Lau Simbelin DAS Alas has land capability of class VI to VIII which are therefore not suitable to be cultivated. Agroforestry can be used as an alternative land use to maintain the hydrological functions of watersheds and has the ecological, sosial and economic interactions.
Latar Belakang
Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki banyak fungsi penting dalam ekosistem, diantaranya adalah sebagai pertumbuhan tanaman, habitat bagi jasad tanah, media bagi kontruksi (rekayasa), sistem daur ulang bagi unsur hara dan sisa-sisa organik serta sistem bagi pasokan dan penyaringan/penjernihan air. Dalam kaitannya dengan sumber daya alam, dikenal juga istilah lahan. Menurut FAO (1976) dalam Rayes (2007) lahan merupakan suatu lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, topografi, tanah, hidrologi, dan vegetasi dimana pada batas-batas tertentu mempengaruhi kemampuan penggunaan lahan. Setiap tanah mempunyai sifat dan keterbatasan masing-masing yang akan menentukan kapabilitas atau kemampuannya, sehingga untuk mengembangkannya diperlukan suatu tindakan khusus yang berbeda-beda untuk tiap-tiap jenis tanah.
Beragamnya penerapan pola pertanian pada suatu DAS, berarti penduduk semakin banyak melakukan konversi atau perubahan vegetasi, terutama vegetasi hutan menjadi non hutan, seperti perkarangan, perkebunan, atau tanaman musiman (jangka pendek). Terjadinya perubahan tersebut akan berpengaruh langsung terhadap fluktuasi debit sungai. Dengan demikian, pada setiap DAS atau sub-DAS yang mendapat perlakuan yang berbeda-beda akan menyebabkan setiap DAS atau sub-DAS menghasilkan erosi dan fluktuasi debit sungai yang berbeda-beda pula. Perberbeda-bedaan kualitas DAS dan sub-DAS tersebut adalah merupakan gambaran dari tingkat kerusakan masing-masing DAS atau sub-DAS tersebut (Suripin, 2001).
Saat ini, ada kecenderungan untuk memanfaatkan tanah untuk kepentingan ekonomi, yang dapat meningkatkan pendapatan. Dimana, penggunaan lahan didasarkan pada harga jual pasar sehingga menyebabkan silih bergantinya jenis tanaman yang ditanam. Proses perencanaan penggunaan dapat memberikan alternative penggunaan lahan dan batas-batas kemungkinan penggunaannya serta tindakan-tindakan pengelolaan yang diperlukan agar lahan dapat digunakan secara lestari. Evaluasi lahan merupakan salah satu komponen yang penting dalam proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Klasifikasi kemampuan lahan adalah salah satu bentuk evaluasi lahan. Wahyuningrum, dkk (2003) menyatakan hasil klasifikasi ini dapat digunakan untuk menentukan arahan penggunaan lahan secara umum misalnya untuk budidaya tanaman semusim, perkebunan, hutan produksi, dan sebagainya.
kepedulian terhadap kelangsungan sumber daya alam, maka penelitian ini berusaha untuk menggali lebih dalam kasus kemampuan dan kesesuaian penggunaan lahan yang dapat menemukan jawaban dari kemampuan dan kesesuaian lahan di daerah yang dialiri Sub DAS Lau Simbelin.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Memetakan kelas kemampuan lahan di Sub DAS Lau Simbelin
2. Mengevaluasi kelas kesesuaian lahan untuk tanaman agroforestri (kehutanan, perkebunan, dan pertanian)
3. Memetakan kelas kesesuian lahan untuk masing-masing perkelas jenis tanaman
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini berguna untuk memberikan pedoman perencanaan penggunaan lahan sesuai dengan kemampuannya, pedoman dan arahan bagi petani untuk memilih komoditas yang sesuai, serta tersedianya informasi bagi instansi yang berwenang dalam menentukan kebijakan pembangunan.
Evaluasi Lahan
Evaluasi lahan merupakan salah satu komponen yang penting dalam proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan merupakan proses penilaian atau keragaab lahan jika diperlukan untuk tujuan tertentu, yang meliputi pelaksanaan dan interpretasi survei dan studi bentuk lahan, tanah, vegetasi, iklim, dan aspek lahan lainnya, agar dapat mengidentifikasi dan membuat perbandingan berbagai penggunaan lahan yang dikembangkan. Berdasarkan tujuan evaluasi, klasifikasi lahan dapat berupa klasifikasi kemampuan lahan atau klasifikasi kesesuaian lahan (Arsyad, 2006).
Penggunaan Lahan
Menurut Lillesand dan Kiefer (1994) dalam Sitorus, dkk (2006) mengatakan bahwa penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan penutup lahan lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut. Satuan-satuan penutup lahan kadang-kadang juga bersifat penutup lahan alami. Klasifikasi penutup lahan/penggunaan lahan adalah upaya pengelompokan berbagai jenis penutup lahan/penggunaan lahan ke dalam suatu kesamaan sesuai dengan sistem tertentu. Klasifikasi penutup lahan/penggunaan lahan digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam proses interpretasi citra penginderaan jauh untuk tujuan pemetaan penutup lahan/penggunaan lahan.
Karakteristik lahan merupakan sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi. Setiap satuan peta lahan/tanah yang dihasilkan dari kegiatan survei atau pemetaan sumber daya lahan, karakteristik lahan dapat dirinci dan diuraikan yang mencakup keadaan fisik lingkungan dan tanahnya. Data tersebut dapat digunakan untuk keperluan interpretasi dan evaluasi lahan bagi komoditas tertentu. Karakteristik lahan yang digunakan adalah: temperatur udara, curah hujan, lamanya masa kering, kelembaban udara, drainase, tekstur, bahan kasar, kedalaman tanah, ketebalan gambut, kematangan gambut, kapasitas tukar kation liat, kejenuhan basa, pH H2O, C-organik, salinitas, alkalinitas, kedalaman bahan sulfidik, lereng, bahaya erosi, genangan, bahaya di permukaan, dan singkapan batuan (Djaenudin, dkk., 2003).
Persyaratan Penggunaan Lahan/Persyaratan Tumbuh Tanaman
berproduksi memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu, terdiri atas energi radiasi, temperatur (suhu), kelembaban, oksigen, hara, dan kualitas media perakaran yang ditentukan oleh drainase, tekstur, struktur dan konsistensi tanah, serta kedalaman efektif tanah (Rayes, 2007).
Land System
Land system menurut Christian and Stewart (1968) dalam RePPProt
(1988) menganggap ada hubungan yang erat antara tipe batuan, hidroklimat, landform, tanah. Oleh karena itu, sistem lahan yang sama akan mencerminkan kesamaan potensi serta faktor-faktor pembatasnya di mana pun sistem lahan tersebut dijumpai. Sistem lahan yang sama diakui di mana pun kombinasi yang sama, faktor ekologi atau lingkungan tersebut terjadi. Sebuah sistem lahan karena itu tidak unik hanya untuk satu wilayah, tapi di semua bidang memiliki sifat lingkungan yang sama.
Land system atau sistem lahan menurut Reinberger (1999) adalah
kompleksitas profil tanah. Dengan demikian tingkat erosi rata-rata sebanding dengan ketinggian suatu daerah.
Klasifikasi Kemampuan Lahan
Klasifikasi kemampuan lahan (Land Capability Classification) adalah penilaian lahan (komponen-komponen lahan) secara sistematik dan pengelompokannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari. Kemampuan lahan dipandang sebagai kapasitas lahan itu sendiri untuk suatu macam atau tingkat penggunaan umum. Perbedaan dalam kualitas tanah dan bentuk lahan (land form) seringkali merupakan penyebab utama terjadinya perbedaan satuan peta tanah dalam suatu areal (Arsyad, 2006).
Kemampuan penggunaan lahan adalah suatu sistematika dari berbagai penggunaan lahan berdasarkan sifat-sifat yang menentukan potensi lahan untuk berproduksi secara lestari. Lahan diklasifikasikan atas dasar penghambat fisik. Sistem klasifikasi ini membagi lahan menurut faktor-faktor penghambat serta potensi bahaya lain yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Jadi, hasil klasifikasi ini dapat digunakan untuk menentukan arahan penggunaan lahan secara umum misalnya untuk budidaya tanaman semusim, perkebunan, hutan produksi, dan sebagainya (Wahyuningrum, dkk. 2003).
Struktur Klasifikasi Kemampuan Lahan
penghambat. Tanah dikelompokkan ke dalam delapan kelas yang ditandai dengan huruf romawi dari I sampai VIII. Ancaman kerusakan atau hambatan meningkat berturut-turut dari kelas I sampai kelas VIII (Arsyad, 2006).
Pengelompokan ke dalam kelas kemampuan lahan didasarkan pada besarnya faktor pembatas atau kendala (penghambat). Dalam klasifikasi ini, tanah atau lahan dikelompokkan ke dalam kelas menggunakan huruf romawi (I sampai dengan VIII). Tanah dalam kelas I tidak memiliki pembatas utama bagi pertumbuhan tanaman, sedangkan tanah yang termasuk dalam kelas VIII memiliki pembatas yang sangat berat sehingga tidak memungkinkan untuk pertanian atau produksi tanaman secara komersial. Dengan demikian, semakin tinggi kelasnya (semakin besar angka kelas) semakin rendah kualitas lahannya (Rayes, 2007).
Pengelompokan di dalam subkelas didasarkan atas jenis faktor penghambat atau ancaman. Terdapat empat jenis utama penghambat atau ancaman yang dikenal, yaitu ancaman erosi, ancaman kelebihan air, pembatas perkembangan akar tanaman, dan pembatas iklim (Arsyad, 2006).
Kelas Kemampuan Lahan
Arsyad (2006) mengemukakan delapan kelas kemampuan lahan yang dapat dilihat pada Tabel 1. Kelas kemampuan lahan memiliki masing-masing faktor penghambat yang mempengaruhi penggunaan lahannya.
Tabel 1. Kelas Kemampuan Lahan
No. Kelas Ciri-Ciri
1. I Mempunyai sedikit penghambat yang membatasi penggunaannya, sesuai untuk berbagai penggunaan pertanian, mulai dari tanaman semusim (dan tanaman pertanian pada umumnya), tanaman rumput, padang rumput hutan produksi, dan cagar alam.
2. II Memiliki beberapa hambatan atau ancaman kerusakan yang mengurangi pilihan penggunaannya atau mengakibatkannya memerlukan tindakan konservasi yang sedang.
3. III Mempunyai hambatan yang berat yang mengurangi pilihan pengunaan atau memerlukan tindakan konservasi khusus atau keduanya. Hambatan yang terdapat pada tanah dalam lahan kelas III membatasi lama penggunaannya bagi tanaman semusim, waktu pengolahan, pilihan tanaman atau kombinasi pembatas-pembatas tersebut.
4. IV Dapat digunakan untuk tanaman semusim dan tanaman pertanian dan pada umumnya tanaman rumput, hutan produksi, padang penggembalaan, hutan lindung dan cagar alam.
5. V Tidak terancam erosi akan tetapi mempunyai hambatan lain yang tidak praktis untuk dihilanghkan yang membatasi pilihan pengunaannya sehingga hanya sesuai untuk tanaman rumput, padang penggembalaan, hutan produksi atau hutan lindung dan cagar alam.
6. VI Mempunyai hambatan yang berat yang menyebabkan tanah-tanah ini tidak sesuai untuk pengunaan pertanian. Penggunaannya terbatas untuk tanaman rumput atau padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, atau cagar alam.
7. VII Tidak sesuai untuk budidaya pertanian, Jika digunakan untuk padanag rumput atau hutan produksi harus dilakukan dengan usaha pencegahan erosi yang berat.
8. VIII Tidak sesuai untuk budidaya pertanian, tetapi lebih sesuai untuk dibiarkan dalam keadaan alami. Lahan kelas VIII bermanfaat sebagai hutan lindung, tempat rekreasi atau cagar alam.
Sumber: Arsyad (2006)
Kriteria faktor pembatas yang menentukan kelas atau subkelas maupun satuan kemampuan lahan menurut Arsyad (2006), yaitu:
1. Iklim
Dua komponen iklim yang paling mempengaruhi kemampuan lahan, yaitu temperature dan curah hujan. Temperatur yang rendah mempengaruhi jenis dan pertumbuhan tanaman. Di daerah tropika yang paling penting mempengaruhi temperatur udara adalah ketinggian letak suatu tempat dari permukaan laut. Udara yang bebas bergerak akan turun temperaturnya pada umumnya dengan 1 0C untuk setiap 100 m naik di atas permukaan laut. Penyediaan air secara alami berupa curah hujan yang terbatas atau rendah di daerah agak basah (sub humid), agak kering (semi arid), dan kering (arid) mempengaruhi kemampuan tanah.
2. Lereng, Ancaman Erosi dan Erosi yang Telah Terjadi
Kerusakan tanah oleh erosi sangat nyata mempengaruhi penggunaan tanah, cara pengelolaan atau keragaan (kinerja) tanah disebabkan oleh alasan-alasan berikut:
• Suatu kedalaman tanah yang cukup harus dipelihara agar didapatkan
produksi tanaman yang sedang sampai tinggi.
• Kehilangan lapisan tanah oleh erosi mengurangi hasil tanaman.
• Kehilangan unsur hara oleh erosi adalah penting tidak saja oleh karena
• Kehilangan lapisan permukaan tanah merubah sifat-sifat fisik lapisan olah
yang akan sangat jelas kelihatan pada tanah yang lapisan bawah bertekstur lebih halus.
• Kehilangan tanah oleh erosi menyingkap lapisan bawah yang memerlukan
waktu dan perlakuan yang baik untuk dapat menjadi media pertumbuhan yang baik bagi tanaman.
• Bangunan-bangunan pengendalian air dapat rusak oleh sedimen yang
berasal dari erosi.
• Jika terbentuk parit-parit oleh erosi (gully) maka akan lebih sulit
pemulihan tanah untuk menjadi produktif kembali.
Kecuraman lereng, panjang lereng dan bentuk lereng semuanya mempengaruhi besarnya erosi dan aliran permukaan. Kecuraman lereng tercacat atau dapat diketahui pada peta tanah.
3. Kedalaman Tanah (k)
Kedalaman tanah efektif adalah kedalaman tanah yang baik bagi pertumbuhan akar tanaman, yaitu kedalaman sampai pada lapisan yang tidak dapat ditembus oleh akar tanaman. Kedalaman efektif adalah kedalaman tanah sampai sejauh mana tanah dapat ditumbuhi akar, menyimpan cukup air dan hara, umumnya dibatasi adanya kerikil dan bahan induk atau lapisan keras yang lain, sehingga tidak lagi dapat ditembus akar tanaman (Utomo, 1989).
4. Tekstur Tanah (t)
5. Permeabilitas (p)
Permeabilitas merupakan kemampuan tanah untuk melalukan air dan udara (Utomo, 1989).
6. Drainase (d)
Drainase adalah kondisi mudah tidaknya air menghilang dari permukaan tanah yang mengalir melalui aliran permukaan atau melalui peresapan ke dalam tanah (Utomo, 1989).
Klasifikasi Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan menurut FAO (1976) dalam Rahmawaty (2010) merupakan tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan (land suitability) merupakan kecocokan (adaptability) suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu, melalui penentuan nilai (kelas) lahan serta pola tata guna lahan yang dihubungkan dengan potensi wilayahnya, sehingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha pemeliharaan kelestariannya (Fauzi, dkk. 2009).
Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut FAO (1976) dalam Djaenudin (2003), dapat dibedakan menurut tingkatannya sebagai berikut:
(1) Ordo menunjukkan keadaan kesesuaian secara umum. Pada tingkat ordo, kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S) dan lahan yang tergolong tidak sesuai (N).
a. Lahan sangat sesuai (S1) yaitu lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas yang bersifat minor dan tidak akan mereduksi produktivitas lahan secara nyata.
b. Cukup sesuai (S2) yaitu lahan yang mempunyai faktor pembatas dan perpengaruh terhadap produktivitasnya serta memerlukan tambahan masukan. Pembatas ini biasanya dapat dibatasi petani sendiri.
c. Sesuai marginal (S3) yaitu lahan yang mempunyai faktor pembatas yang berat dan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor pembatas, diperlukan modal yang tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau campur tangan pemerintah atau pihak swasta.
d. Tidak sesuai (N) yaitu lahan yang mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan sulit diatasi.
(3) Sub-klas menunjukkan keadaan tingkatan dalam kelas kesesuian lahan. Kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan yang menjadi faktor pembatas terberat
Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Evaluasi Kesesuaian Lahan
Aplikasi GIS telah digunakan di banyak bidang, seperti: pertanian, militer, pemasaran minyak tanah, transportasi, lingkungan, dan ilmu kehutanan. Cruz (1990) dalam Rahmawaty (2009) sebagai contoh, menggunakan GIS untuk penggolongan kemampuan lahan dan penilaian kesesuaian penggunaan lahan di Ibulao di bagian Pilipina. Pada sisi lain, Oszaer (1994) dalam Rahmawaty (2009) menggunakan GIS untuk menggolongkan penggunaan lahan yang ada, yaitu mengevaluasi kemampuan lahan, dan menilai kesesuain penggunaan lahan di Waeriupa, Kairatu, Seram, Maluku, Indonesia.
Harjadi, B (2007) menggunakan aplikasi penginderan jauh dan SIG untuk
penetapan tingkat kemampuan penggunaan lahan (KPL) di DAS Nawagaon
Maskara, Saharanpur-India.
Rahmawaty (2009) menggunakan aplikasi GIS sebagai informasi sistem lahan (land system) yang digunakan sebagai dasar penyusunan peta kesesuaian lahan di DAS Besitang. Fauzi, dkk (2009) menggunakan aplikasi GIS untuk menganalisis kesesuaian lahan wilayah pesisir Kota Bengkulu.
Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) menjanjikan pengelolaan sumber daya dan pembuatan model terutama model kuantitatif menjadi lebih mudah dan sederhana. SIG merupakan suatu cara yang efisien dan efektif untuk mengetahui karakteristik lahan suatu wilayah dan potensi pengembangannya. Salah satu kemampuan penting dari SIG adalah kemampuannya dalam melakukan
analisis dan pemodelan spasial untuk menghasilkan informasi baru
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2011 sampai dengan Maret 2011, dimana pengambilan sampel tanah dilakukan pada bulan Januari 2011 dan analisis data dilakukan pada bulan Februari 2011 sampai Maret 2011. Tempat penelitian adalah di Sub DAS Lau Simbelin DAS Alas Kabupaten Dairi. Analisis sifat fisik dan kimia tanah di lakukan di Laboratorium Riset dan Teknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Pengelolaan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Manajemen Terpadu Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: perangkat lunak (software) Arcview, perangkat keras (hardware) berupa seperangkat personal computer (PC), Global Positioning System (GPS), kamera digital, bor tanah, cangkul, ayakan 10 mesh, mortal, pH meter, tulis menulis. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Bahan Penelitian
No. Jenis Sumber Tahun
1. Peta Tutupan Lahan Sub DAS
Lau Simbelin Kabupaten Dairi
BPKH 2010
2. Peta DAS Alas yang di
dalamnya terdapat Sub DAS Lau Simbelin
BDAS Wampu Ular
2010
3. Peta Penggunaan Lahan/Fungsi Hutan
SK 44 2005
4. Peta tanah Kabupaten Dairi BPKH 2010
5. Peta land system yang di
dalamnya juga terdapat data kelerengan
RePPProt 1988
6. Data temperatur world climate 2010
7. Data curah hujan Stasiun Sitinjo Dairi
8. Data dasar berupa kondisi umum wilayah penelitian yang mencakup kondisi fisik lapangan dan kondisi masyarakat
BPS 2009
Prosedur Kerja
Gambar 2. Tahapan Kerja Pemetaan Kesesuaian Lahan Analisis Klasifikasi
Kemampuan Penggunaan lahan
Analisis Klasifikasi Kesesuaian Lahan
Tahap Persiapan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini berupa telaah pustaka, pengumpulan data sekunder berupa data suhu dan curah hujan yang diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Sampali Medan, peta-peta yang dibutuhkan berupa: peta land system, peta tanah, peta penutupan lahan, dan peta kemiringan/kelerengan yang diperoleh dari BDAS Wampu Sei Ular Medan, dan persiapan alat dan bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini.
Tahap Kegiatan di Lapangan
Kegiatan pada tahap ini berupa pengumpulan data primer yang meliputi parameter fisik yang dapat diukur di lapangan yaitu kedalaman tanah, struktur tanah, kerusakan erosi yang telah terjadi, drainase. Pengambilan sample tanah untuk dianalisis di laboratorium berupa tekstur lapisan tanah, permeabilitas, keasaman tanah, dan C-organik.
Tabel 3. Kualitas dan karakteristik lahan yang digunakan dalam kriteria evaluasi lahan Simbol Kualitas lahan Karakteristik lahan
Tc Temperatur 1. Temperatur Kejenuhan basa (%)
pH H2O C-organik (%)
Eh Bahaya erosi Lereng (%) Bahaya erosi Sumber: Azis, dkk (2005)
Sampel Tanah
Sampel tanah diambil pada 9 land system. Konsep sistem lahan menurut Christian and Stewart (1968) dalam RePPProt (1988) menganggap ada hubungan yang erat antara tipe batuan, hidroklimat, landform, tanah. Oleh karena itu, sistem lahan yang sama akan mencerminkan kesamaan potensi serta faktor-faktor pembatasnya di mana pun sistem lahan tersebut dijumpai.
langsung terkena sinar matahari, dimana temperatur tidak lebih dari 350C karena akan berkibat pada perubahan yang drastis pada sifat kimia, fisika, dan biologi sampel tanah, kemudian dilakukan pengayakan dengan ayakan 10 mesh untuk mendapatkan ukuran partikel yang berdiameter ≤ 2mm, dimana tanah adalah partikel yang berdiameter ≤ 2mm, sedangkan berdiameter ≥2mm dikategorikan sebagai kerikil (Mukhlis, 2007).
Sifat fisik tanah yang dinilai hanya tekstur dan struktur tanah. Tekstur tanah dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara fraksi tanah (pasir, debu dan lempung/ Sand, silt dan clay) sedangkan struktur tanah adalah bentuk spesifik dari agregat tanah. Tekstur tanah relatif tidak berubah tetapi struktur tanah mudah berubah terutama apabila ada pengolahan tanah. Klasifikasi tekstur dan struktur tanah diuraikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Klasifikasi tekstur dan struktur tanah
Tekstur tanah Kode Kode Struktur tanah Kode
Sand 3 S Columnar Col
Sumber: Azis, dkk (2005)
Tahap Analisis Klasifikasi
Klasifikasi Kemampuan Lahan
Proses klasifikasi kemampuan lahan dilakukan dengan metode faktor penghambat. Setiap kualias lahan atau sifat-sifat lahan diurutkan dari yang terbaik sampai yang terburuk atau dari yang paling kecil hambatan atau ancamannya sampai yang terbesar. Kemudian disusun tabel kriteria untuk setiap kelas, penghambat yang terkecil untuk kelas yang terbaik dan berurutan semakin besar hambatan semakin besar hambatan semakin rendah kelasnya. Klasifikasi kemampuan lahan yang digunakan adalah sistem klasifikasi kemampuan lahan Hokensmith dan Steele (1943) yaitu metode klasifikasi dengan sistem faktor penghambat. Pengelompokan di dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat.
KELAS
Sumber: Arsyad (2006)
Gambar 3. Skema Hubungan antara Kelas Kemampuan Lahan dengan Intensitas dan Macam Penggunaan Lahan
Kriteria yang digunakan untuk pengelompokan dalam kelas menurut Arsyad (2006) adalah sebagai berikut:
1. Iklim
Dua komponen iklim yang mempengaruhi kemampuan lahan adalah temperatur dan curah hujan. Pada penelitian ini, data temperatur diperoleh dari world clim dan curah hujan diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan
2. Lereng dan Ancaman Erosi
Kemiringan lereng merupakan lereng yang membentuk bidang horizontal, satuannya dinyatakan dalam persen (%) atau derajat (0). Klasifikasi kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 5. Data kemiringan lereng pada penelitian ini, diperoleh dari peta land system tahun 2010.
Tabel 5. Klasifikasi kemiringan lereng
No Kelas Kemiringan Lereng
1. A = Datar 0% sampai <3%
2. B = Landai atau berombak >3% sampai 8%
3. C = Agak miring atau bergelombang >8% sampai 15%
4. D = Miring atau berbukit >15% sampai 30%
5. E = Agak curam atau bergunung >30% sampai 45%
6. F = Curam >45% sampai 65%
7. G = Sangat curam >65%
Sumber: Arsyad (2006)
Klasifikasi kepekaan erosi tanah (nilai K) dapat dilihat pada Tabel 6. Penentuan nilai K pada penelitian ini menggunakan rumus:
K = 2,713M1,14(10-4)(12-a)+(b-2)+2,5(c-3)
100
Keterangan: M= parameter ukuran butir yang dapat dilihat pada Tabel 7. a = % bahan organik yang dapat dilihat pada Tabel 8. b = nilai sturktur tanah yang dapat dilihat pada Tabel 9. c = nilai permeabilitas tanah yang dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 6. Klasifiaksi kepekaan erosi tanah
No Kelas Kepekaan Erosi Tanah
1. KE1 = sangat rendah 0,00 sampai 0,10
Tabel 7. Penilaian Ukuran Butir (M)
Kelas Tekstur Nilai M Kelas Tekstur Nilai M
liat berat 210 pasir 3035
liat sedang 750 lempung berpasir 3245
liat berpasir 1213 lempung liat berdebu 3170
liat ringan 1685 lempung berpasir 4005
lempung liat berpasir 2160 lempung 4390
liat berdebu 2830 lempung berdebu 6330
lempung liat 2830 debu 8245
Sumber: Hanmer (1978) dalam Departemen Ilmu Tanah (2009)
Tabel 8. Kelas Kandungan C-organik
Kelas C-organik Nilai
Sangat randah <1 0
Rendah 1-2 1
Sedang 2,1-3 2
Tinggi 3,1-5 3
Sangat Tinggi >5 (gambut) 4
Sumber: Hanmer (1978) dalam Departemen Ilmu Tanah (2009)
Tabel 9. Penilaian Struktur Tanah
Tipe Struktur Nilai
Granular sangat halus (<1 mm) 1
Granular halus (1mm sampai 2 mm) 2
Granular sedang dan kasar (2 mm sampai 10 mm) 3
Gumpal, lempeng, peja (blocky, platty, massif) 4
Sumber: Hanmer (1978) dalam Departemen Ilmu Tanah (2009)
Tabel 10. Penilaian Permeabilitas Tanah
Kelas Permeabilitas cm/jam Nilai
cepat >25,4 1
sedang sampai cepat 12,7-25,4 2
sedang 6,3-12,7 3
sedang sampai lambat 2,0-6,3 4
lambat 0,5-2,0 5
sangat lambat <0,5 6
3. Kedalaman Tanah (k)
Kedalaman efektif yang diukur dengan pengamatan profil melalui penyusunan urutan, lapisan tanah atas yang diambil oleh mata bor dinyatakan dalam centimeter. Klasifikasi kelas kedalaman efektif tanah dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Klasifikasi kelas kedalaman efektif tanah
No Kelas Kedalaman Efektif
1. k0 = dalam lebih dari 90 cm
2. k1 = sedang 90 sampai 50 cm
3. k2 = dangkal 50 sampai 25
4. k3 = sangat dangkal kurang dari 25 cm
Sumber: Arsyad (2006)
4. Tekstur Tanah (t)
Tekstur tanah adalah perbandingan relatif (%) antara fraksi pasir, debu, dan lempung. Adapun klasifikasi tekstur tanah dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Klasifikasi tekstur tanah
No Kriteria Ciri-Ciri
1. t1 = tanah bertekstur halus tekstur liat berpasir, liat berdebu dan liat
2. t2 = tanah bertekstur agak halus tekstur lempung liat berpasir, lempung berliat dan lempung liat berdebu
3. t3 = tanah bertekstur sedang tekstur lempung, lempung berdebu dan debu
4. t4 = tanah bertekstur agak kasar tekstur lempung berpasir, lempung berpasir halus dan lempung berpasir sangat halus
5. t5 = tanah bertekstur kasar tekstur pasir berlempung dan pasir
Sumber: Arsyad (2006)
5. Permeabilitas (p)
6. Drainase (d)
Pengamatan drainase didasarkan atas pengamatan warna pada profil tanah. Dalam hal ini diamati apakah tanah bewarna terang, pucat, adanya bercak-bercak (Utomo, 1989). Klasifikasi drainasi tanah dapat dilihat pada Tabel 13. Sebagai contoh hasil klasifikasi kemampuan lahan dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 13. Klasifikasi drainase tanah
No Kriteria Ciri-Ciri
1. d1 = baik tanah mempunyai peredaran udara baik. Seluruh profil tanah dari atas sampai ke bawah (150 cm) bewarna terang yang seragam dan tidak terdapat bercak-bercak kuning, coklat atau kelabu
2. d2 =agak baik tanah mempunyai peredaran udara baik di daerah perakaran. Tidak terdapat bercak-bercak kuning, coklat atau kelabu pada lapisan atas dan bagian atas lapisan bawah (sampai sekitar 60 cm dari permukaan tanah)
3. d3 = agak buruk lapisan atas tanah mempunyai peredaran udara baik, tidak terdapat bercak-bercak kuning, coklat atau kelabu. Bercak-bercak terdapat pada seluruh lapisan bagian bawah (sekitar 40 cm dari permukaan tanah)
4. d4 = buruk bagian bawah lapisan atas (dekat permukaan) terdapat warna atau bercak-bercak bewarna kelabu, coklat, dan kekuningan
5. d5 = sangat buruk seluruh lapisan sampai permukaan tanah bewarna kelabu dan tanah lapisan bawah bewarna kelabu atau terdapat bercak-bercak bewarna kebiruan, atau terdapat air yang menggenang di permukaan tanah dalam waktu yang lama sehingga menghambat pertumbuhan tanaman
Tabel 14. Matriks Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan Faktor
Penghambat/ Penghambat
Kelas Kemampuan Lahan
I II III IV V VI VII VIII
Sumber: Arsyad (2006)
Keterangan : (1) = dapat mempunyai sebarang sifat (2) = tidak berlaku
Klasifikasi Kesesuaian Lahan
Pada prinsipnya klasifikasi kesesuaian lahan dilaksanakan dengan cara memadukan antara kebutuhan tanaman atau persyaratan tumbuh tanaman dengan karakteristik lahan. Adapun jenis tanaman yang akan dipadukan dapat dilihat pada lampiran. Oleh karena itu klasifikasi ini sering juga disebut species matching.
Kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu lahan untuk penggunaan
berdasarkan kelas terjelek dengan memberikan seluruh pembatas/hambatan yang ada. Perubahan klasifikasi menjadi setingkat lebih baik dimungkinkan terjadi apabila seluruh hambatan yang ada dapat diperbaiki. Sub Klas pada klasifikasi kesesuaian lahan ini juga mencerminkan jenis penghambat. Ada tujuh jenis penghambat yang dikenal, yaitu e (erosi), w (drainase), s (tekstur tanah), a (keasaman), g (kelerengan), sd (kedalaman tanah) dan c (iklim). Pada klasifikasi kesesuaian lahan tidak dikenal prioritas penghambat. Dengan demikian seluruh hambatan yang ada pada suatu unit lahan akan disebutkan semuanya. Akan tetapi dapat dimengerti bahwa dari hambatan yang disebutkan ada jenis hambatan yang mudah (seperti a, w, e, g dan sd) atau sebaliknya hambatan yang sulit untuk ditangani (c dan s). Dengan demikian maka hasil akhir dari klasifikasi ditetapkan berdasarkan Klas terjelek dengan memberikan seluruh hambatan yang ada. Perubahan klasifikasi menjadi setingkat lebih baik dimungkinkan terjadi apabila seluruh hambatan yang ada pada unit lahan tersebut dapat diperbaiki. Untuk itu maka unit lahan yang mempunyai faktor penghambat c atau s sulit untuk diperbaiki keadaannya. Klasifikasi kesesuaian lahan dilakukan dengan melalui sortasi data karakteristik lahan berdasarkan kriteria kesesuaian lahan untuk setiap jenis tanaman. Hubungan antara karakteristik kesesuaian lahan dan tingkat pembatas dapat dilihat dari Tabel 15.
Tabel 15. Hubungan antara karakteristik kesesuaian lahan dan tingkat pembatas
Tingkat Pembatas Karakteristik Kesesuaian Lahan
0: no (tidak ada) S1: sangat sesuai
1: slight (ringan) S2: cukup sesuai
2: moderate (sedang) S3: sesuai marginal
3: severe (berat) N: tidak sesuai
Tabel 16. Kriteria untuk penentuan kelas kesesuaian lahan Kelas Kesesuaian
Lahan
Kriteria
S1: sangat sesuai Unit lahan tidak memiliki pembatas atau hanya memiliki empat pembatas ringan.
S2: cukup sesuai Unit lahan memiliki lebih dari empat pembatas ringan, dan atau memiliki tidak lebih dari tiga pembatas sedang.
S3:sesuai marginal Unit lahan memiliki lebih dari tiga pembatas sedang, dan atau satu pembatas berat.
N: tidak sesuai Unit lahan memiliki lebih dari satu pembatas berat atau sangat berat
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Luas wilayah Sub DAS Lau Simbelin diperoleh dari BDAS Wampu Sei Ular yaitu seluas 51.003,90 ha. Sub DAS Lau Simbelin ini merupakan bagian dari DAS Alas, di Kabupaten Dairi yang secara geografis berada pada koordinat 98000’00”-98030’00” BT dan 02015’00”-03000’00”LU. Bagian barat dan selatan dari Sub DAS Lau Simbelin merupakan daerah hutan dengan ketinggian 300-1.100 meter.
Sub DAS Lau Simbelin mengaliri 3 Kabupaten, yaitu (1) Kabupaten Subulussalam pada kecamatan Sultan Daulat seluas 425,27 ha, (2) Kabupaten Dairi dengan 7 kecamatan, yaitu kecamatan Sidikalang seluas 9.229,07 ha, Siempat Nempu seluas 3.973,16 ha, Siempat Nempu Hilir seluas 9.914,41 ha, Siempat Nempu Hulu seluas 1.184,63 ha, Silima punga-punga seluas 17.656,07 ha, Tanah Pinem seluas 7.861,02 ha, Tiga Lingga seluas 113,89 ha, dan (3) Pakpak Bharat yaitu pada kecamatan Kerajaan seluas 489,46 ha dan Sitelu Tali Urang Jahe seluas 156,91 ha (BDAS, 2010).
Gambar 4. Peta DAS Alas dan Sub DAS Lau Simbelin
Gambar 5. Peta Land system dan Fungsi Kawasan
Kualitas dan Karakteristik Lahan
Iklim
Data iklim meliputi: curah hujan selama 10 tahun yang diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatoligi dan Geofisika Sampali Stasiun Sitinjo Dairi, dengan curah hujan rata-rata tahunan 2345,7 mm/tahun dan suhu udara yang diperoleh dari world climate yang dapat dilihat pada Tabel 17 dan Gambar 6. Tabel 17. Suhu udara rata-rata tahunan
Land system Suhu udara (0C)
Kalung, Uubandar, Gunung Gadang, Bukit Pandan, Batuapung titik 6
24 0C
Batang Anai 20,40C
Batuapung titik 8 dan titik 9, Pakasi 20,50C
Maput dan Pandreh 25 0C
Media Perakaran
Drainase
Tanah pada wilayah Sub DAS Lau Simbelin memiliki peredaran baik yang berarti memiliki klasifikasi drainase dengan kriteria baik. Drainase diperoleh dari data sekunder.
Tekstur
Wilayah Sub DAS Lau Simbelin memiliki tekstur bervariasi mulai dari halus, agak halus, sampai pasir. Tekstur tanah berupa lempung liat, liat berpasir, lempung liat berpasir, lempung berpasir, dan pasir yang dapat dilihat pada Gambar 7.
Kedalaman Tanah
Kedalaman tanah mulai dari sedang sampai dengan dalam, yaitu dari kedalaman 60 cm sampai dengan >100 cm yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan dengan menggunakan bor tanah. Kedalaman tanah dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Peta Kedalaman Tanah Retensi Hara
Kualitas retensi hara dilihat dari karakterikstik lahan berupa pH dan C-organik yang diperoleh dari hasil analisisi laboratorium.
Bahaya Erosi
bervariasi, mulai dari agak miring atau bergelombang sampai dengan sangat curam, yang dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Peta Kelerengan
Kepekaan Erosi
Kepekaan erosi bervariasi mulai dari sangat rendah sampai dengan agak tinggi, yang dapat dilihat pada Gambar 10.
Permeabilitas
Gambar 10. Peta Kepekaan Erosi
Kemampuan Lahan
Kemampuan lahan didasarkan pada 9 land system. Dimana, land system menurut Christian and Stewart (1968) dalam RePPProt (1988) menganggap ada hubungan yang erat antara tipe batuan, hidroklimat, landform, tanah. Oleh karena itu, sistem lahan yang sama akan mencerminkan kesamaan potensi serta faktor-faktor pembatasnya dimanapun sistem lahan tersebut dijumpai.
Kelas kemampuan lahan dikelompokkan berdasarkan pada faktor penghambat. Faktor penghambat terdiri atas: kepekaan erosi (e), drainase (w), kedalaman tanah (sd), tekstur (s), permeabilitas (p) dan kelerengan (g). Hal ini sesuai dengan pernyataan Arsyad (2006) bahwa pengelompokan di dalam kelas berdasarkan integritas faktor penghambat. Kemampuan lahan dapat dilihat pada Tabel 18 dan Gambar 12.
Land system KLG, GGD, BPD, BTA memiliki kesesuaian lahan kelas VII
dengan faktor penghambat lereng. Tanah pada kelas VII memiliki hambatan dan ancaman kerusakan yang berat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aryad (2006) bahwa tanah pada kelas VII tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Tanah-tanah kelas VII mempunyai beberapa hambatan atau ancaman kerusakan yang berat dan tidak dapat dihilangkan seperti terletak pada lereng yang curam (>45%-65%). Penggunaan lahan pada tanah kelas VII sesuai untuk cagar alam/hutan lindung, hutan produksi terbatas dan penggembalaan terbatas. Berdasarkan SK 44, land system GGD dan BTA merupakan kawasan yang ditetapkan sebagai hutan
produksi terbatas, sedangkan land system BPD ditetapkan sebagai hutan lindung. Land system UBD, BTG memiliki kesesuaian lahan kelas VI dengan
Tabel 18. Klasifikasi Kelas Kemampuan Lahan
Land system lereng
(g) Kepekaan erosi (e)
Kedalaman tanah (sd)
Tekstur (s)
Permeabilitas
(p) Drainase
(w)
Kelas kemampuan
lahan
Kalung 41%-60% 0,3897 >100 lempung liat 0,66 baik VII(g)
Ulubandar 26%-40% 0,1537 >100 liat berpasir 0,81 baik VI(g)
Gunung Gadang 41%-60% 0,1229 >100 liat berpasir 1,14 baik VII(g)
Bukit Pandan >60 0,1549 >100 liat berpasir 0,56 baik VII(g)
Ulubandar 26%-40% 0,1545 >100 liat berpasir 1,09 baik VI(g)
Batuapung 26%-40% 0,3156 60 lempung liat
berpasir 1,88 baik VI(g)
Batang Anai 41%-60% 0,1546 >100 liat berpasir 1,19 baik VII(g)
Batuapung 26%-40% 0,2193 60 lempung
berpasir 1,42 baik VI(g)
Batuapung 26%-40% 0,2259 60 lempung liat
berpasir 2,37 baik VI(g)
Pakasi 9%-15% 0,3872 >100 pasir 2,77 baik VIII(s)
Maput 41%-60% 0,3872 >100 pasir 2,77 baik VIII(s)
kelas VI mempunyai hambatan yang berat yang menyebabkan tanah-tanah ini tidak sesuai untuk penggunaan pertanian, penggunaan lahan terbatas untuk tanaman rumput atau padang pengembalaan, hutan produksi, hutan lindung atau cagar alam. Tanah-tanah dalam kelas VI mempunyai pembatas atau ancaman kerusakan yang tidak dapat dihilangkan berupa terletak pada lereng agak curam.
Land system PKS, MPT, dan PDH memiliki kesesuaian lahan kelas VIII
dengan faktor penghambat tekstur. Arsyad (2006) menyatakan bahwa lahan kelas VIII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, tetapi lebih sesuai untuk dibiarkan dalam keadaan alami. Lahan kelas VIII bermanfaat sebagai hutan lindung, tempat rekreasi atau cagar alam. Rahmawaty (2009) menyatakan land system Maput dan Pendreh di bagian hulu (upland stream) merupakan kawasan hutan sekunder dan semak belukar. Berdasarkan SK 44 land system MPT dan PDH merupakan kawasan yang ditetapkan sebagai hutan lindung.
Kelerengan merupakan faktor penghambat dari sebagian besar land system yang ada di Sub DAS Lau Simbelin. Reinberger (1999) menyatakan bahwa keadaan lereng atau kemiringan lahan yaitu datar (0%-2%) sebesar 18.680 ha (5,94%), landai (2%-15%) sebesar 94.970 ha (30,19%), miring (15%-40%) sebesar 52.360 ha (16,64%), dan terjal (>40%) sebesar 148.600 ha (47,23%). Hal ini sesuai dengan pernyataan Harjadi, B (2007) apabila dilihat dari faktor lereng
maka sebagian besar merupakan kelas VI sampai VIII, karena lahan tersebut
dalam kondisi yang curam sampai terjal. Semakin curam lereng maka KPL akan
mendekati ke kelas VIII, dan sebaliknya semakin datar lereng maka akan
memiliki kelas KPL mendekati kelas I. Zubaidah, dkk (2009) menyatakan lereng
Penggunaan lahan pada wilayah Sub DAS Lau Simbelin berdasarkan fungsi kawasan yang ditetapkan pada SK 44 tahun 2005 dan penggunaan lahan pada penutupan lahan hasil citra landsat pada bulan Januari 2010 memperlihatkan adanya ketidaksesuaian penggunaan lahan berdasarkan fungsi kawasan, salah satunya terdapat penggunaan lahan pada kawasan hutan lindung yaitu pertanian lahan kering seluas 51,25 ha. Penggunaan lahan pada wilayah Sub DAS Lau Simbelin dapat dilihat pada Tabel 19 dan Gambar 13.
Tabel 19. Peta Fungsi Hutan Berdasarkan SK 44 dan Penutupan Lahan Hasil Citra Landsat Januari 2010
Penggunaan Lahan Fungsi Hutan Luas (ha)
Hutan sekunder HL
HPT HP
Hutan tanaman HL
HPT HP
Pertanian lahan kering HL
HPT HP
Semak belukar HL
HPT HP
Sawah HL
HPT HP
Tubuh air HL
Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan dikelompokkan berdasarkan faktor penghambat, yaitu berupa temperatur (tc), ketersediaan air (wa) yaitu curah hujan, ketersediaan oksigen (oa) yaitu drainase, media perakaran (rc) yaitu tekstur dan kedalaman efektif, retensi hara (nr) yaitu pH dan C-organik, serta bahaya erosi (eh) yaitu lereng. Temperatur, ketersediaan air, media perakaran yaitu tekstur dan kedalaman tanah merupakan faktor penghambat yang tidak dapat diperbaiki karena merupakan faktor penghambat alam. Ketersediaan oksigen berupa drainase dapat diperbaiki dengan pembuatan saluran drainase. Retensi hara berupa pH dan C-organik dapat diperbaiki dengan penambahan bahan organik dan pengapuran. Bahaya erosi berupa lereng dapat diperbaiki dengan teknik konservasi tanah dan air berupa pembuatan teras. Hasil penelitian ini didukung oleh Rahmawaty (2011) bahwa media perakaran dan bahaya banjir merupakan faktor penghambat alam yang tidak dapat diperbaiki, sedangkan lereng dan erosi tanah dapat diperbaiki dengan teknik konservasi tanah dan air berupa pembuatan teras.
Dengan melihat kemampuan lahan yang memiliki kelas VI sampai kelas VIII yang mempunyai hambatan yang berat menyebabkan tanah-tanah ini tidak sesuai untuk penggunaan pertanian, penggunaan lahan terbatas untuk tanaman rumput atau padang pengembalaan, hutan produksi, hutan lindung atau cagar alam. Akan tetapi, dengan kondisi penggunaan lahan berdasarkan peta penutupan lahan hasil citra landsat bulan Januari 2010 yang diperoleh dari Badan Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) berupa pertanian lahan kering, sawah, semak belukar, dan hutan sekunder, maka diperlukan alternatif penggunaan lahan yang dapat memperbaiki kondisi lahan yang sudah tidak sesuai dengan penggunaannya. Dalam hal ini, agroforestry merupakan alternatif penggunaan lahan yang memiliki interaksi ekologi, sosial dan ekonomi.
Kesesuaian Lahan Agroforestry
Agroforestry merupakan sistem pengolahan lahan yang mampu meningkatkan produksi lahan pada sebidang lahan yang merupakan kombinasi tanaman pertanian dan kehutanan yang memiliki interaksi ekologi, sosial dan ekonomi. Dengan adanya agroforestry, diharapkan dapat mengoptimalisasikan lahan dengan tetap memperhatikan kondisi ekologi.
dapat menyebabkan pemadatan tanah, dan (3) drainase landsekap (bentang lahan) yang dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya relief permukaan tanah yang memungkinkan air tinggal di permukaan tanah lebih lama yang dapat memicu terjadinya aliran cepat air tanah (Noordwijk, dkk., 2004).
Agroforestry telah banyak digunakan sebagai alternatif penggunaan lahan. Di Australia, sistem ini sedang berkembang dan menarik perhatian serta sangat memotivasi para petani untuk mengoptimalisasikan penggunaan lahan. Hal ini terlihat jelas dari hasil yang diperoleh para petani baik dari hasil hutan maupun hasil non hutan (Nuberg, dkk., 2009).
Kesesuaian Lahan Agroforestri untuk Tanaman Kehutanan
Jenis komoditi yang dominan ditemukan di daerah ini untuk komodoti kehutanan yaitu kemiri, durian, rambutan, alpukat, manggis, mahoni, dan jati. Kesesuaian lahan agroforestri untuk tanaman kehutanan dapat dilihat pada Tabel 20.
Kesesuaian lahan komoditi kemiri dapat dilihat pada Gambar 14. Kemiri secara aktual dan potensial pada sebagian besar Land system, kecuali land system PKS memiliki kesesuaian lahan Tidak Sesuai (N) dengan faktor penghambat lereng. Pada land system PKS, secara aktual dan potensial memiliki kesesuaian lahan Sesuai Marginal (S3) dengan faktor penghambat tekstur.
Tabel 20. Kesesuaian Lahan Agroforestri untuk Tanaman Kehutanan Kehutanan Kelas
PKS memiliki faktor penghambat tekstur. Kesesuaian lahan durian dapat dilihat pada Gambar 15. Kesesuaian lahan rambutan dapat dilihat pada Gambar 16. Kesesuaian lahan alpukat dapat dilihat pada Gambar 17. Kesesuaian lahan manggis dapat dilihat pada Gambar 18. Kesesuaian lahan Mahoni dapat dilihat pada Gambar 19. Mahoni secara aktual dan potensial pada sebagian besar land system, kecuali PKS memiliki kesesuaian lahan Tidak Sesuai (N) dengan faktor
penghambat lereng, sedangkan pada land system PKS memiliki kesesuaian lahan Sesuai Marginal (S3) dengan faktor penghambat tekstur.
Kesesuaian lahan Jati dapat dilihat pada Gambar 20. Jati secara aktual dan potensial pada land system KLG, UBD titik 2, GGD, BPD, UBD titik 5, BTA, MPT dan PDH memiliki kesesuaian lahan Tidak Sesuai (N) dengan faktor penghambat curah hujan dan lereng. Land system BTG titik 6, BTG titik 8 dan BTG titik 9 untuk jati, memiliki kesesuaian lahan Tidak Sesuai (N) dengan faktor penghambat curah hujan, kedalaman efektif, dan lereng. Sedangkan pada land system PKS memiliki kesesuaian lahan Tidak Sesuai (N) dengan faktor
Tanaman kehutanan berupa kemiri, durian, rambutan, alpukat, manggis, mahoni, dan jati memiliki kesesuaian lahan Tidak Sesuai (N) dengan faktor penghambat lereng pada hampir semua land system kecuali kemiri dan Mahoni pada land system PKS yang memiliki kesesuaian lahan Sesuai Marginal (S3) dengan faktor penghambat tekstur.
Berdasarkan fungsi kawasan pada SK 44 tahun 2005, land system BPD, MPT, dan PDH merupakan kawasan yang ditetapkan sebagai hutan lindung dan memiliki kemampuan lahan kelas VIII, serta land system PKS yang memiliki kemampuan lahan kelas VIII, sehingga sangat tidak sesuai untuk dibudidayakan dan sebaiknya dibiarkan secara alami.
Land system GGD dan BTA merupakan kawasan yang ditetapkan sebagai
hutan produksi terbatas dan memiliki kemampuan lahan kelas VII yang berarti bahwa penggunaan lahan sesuai untuk penggembalaan terbatas, hutan produksi terbatas dan cagar alam atau hutan lindung. Sama halnya dengan land system KLG yang mempunyai kemampuan lahan kelas VII dan land system UBD dan BTG yang memiliki kemampuan lahan kelas VI yang sesuai untuk penggembalaan sedang, penggembalaan terbatas, hutan produksi terbatas dan cagar alam atau hutan lindung yang dapat ditanami tanaman keras dengan memperbaiki faktor penghambat lereng dengan pembuatan teras untuk mempertahankan fungsi hidrologi DAS.
Kesesuaian Lahan Agroforestri untuk Tanaman Perkebunan
Kesesuaian lahan agroforestri untuk tanaman perkebunan dapat dilihat pada Tabel 21.
Kopi arabika pada land system KLG, GGD, BPD, dan BTA memiliki kesesuaian lahan Tidak Sesuai (N) dengan faktor penghambat lereng. Pada land system UBD titik 2, secara aktual dan potensial memiliki kesesuaian lahan Sesuai
Tabel 21.Kesesuaian Lahan Tanaman Perkebunan Kehutanan Kelas
Kesesuaian Kelapa Aktual
Kesesuaian lahan kopi robusta dapat dilihat pada Gambar 22. Kopi robusta pada land system KLG, GGD, BPD, dan BTA memiliki kesesuaian lahan Tidak Sesuai (N) dengan faktor penghambat lereng. Secara aktual dan potensial pada land system UBD titik 2 memiliki kesesuaian lahan Sesuai Marginal (S3) dengan
faktor penghambat curah hujan dan lereng. Pada land system UBD titik 5 memiliki kesesuaian lahan Sesuai Marginal (S3) dengan faktor penghambat curah hujan, pH dan lereng secara aktual dan faktor penghambat curah hujan dan lereng secara potensial. Secara aktual dan potensial pada land system BTG titik 6 memiliki kesesuaian lahan Sesuai Marginal (S3) dengan faktor penghambat curah hujan, kedalaman efektif dan lereng. Pada land system BTG titik 8 memiliki kesesuaian lahan Sesuai Marginal (S3) dengan faktor penghambat curah hujan, tekstur, kedalaman efektif, pH dan lereng secara aktual dan secara potensial memiliki faktor penghambat curah hujan, tekstur, kedalaman efektif, dan lereng. Pada land system BTG titik 9 memiliki kesesuaian lahan Sesuai Marginal (S3) dengan faktor penghambat curah hujan, kedalaman efektif, pH dan lereng secara aktual dan secara potensial memiliki faktor penghambat curah hujan, kedalaman efektif, dan lereng. Secara aktual dan potensial pada land system PKS memiliki kesesuaian lahan Tidak Sesuai (N) dengan faktor penghambat tekstur. Pada land system MPT dan PDH secara aktual dan potensial memiliki kesesuaian lahan
Tidak Sesuai (N) dengan faktor penghambat tekstur dan lereng.
potensial memiliki kesesuaian lahan Tidak Sesuai (N) dengan faktor penghambat tekstur. Pada land system MPT dan PDH secara aktual dan potensial memiliki kesesuaian lahan Tidak Sesuai (N) dengan faktor penghambat tekstur dan lereng. Kesesuaian lahan kelapa dapat dilihat pada Gambar 23. Kesesuaian lahan kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 24. Kesesuaian lahan cacao dapat dilihat pada Gambar 25. Kesesuaian lahan karet dapat dilihat pada Gambar 26.
Karet secara aktual dan potensial pada keseluruhan land system memiliki kesesuaian lahan Tidak Sesuai (N) dengan faktor penghambat lereng pada land system KLG, UBD titik 2, GGD, BPD, UBD titik 5, dan BTG titik 6. Faktor
penghambat kedalaman efektif dan lereng pada land system BTG titik 6. Temperatur dan lereng merupakan faktor penghambat pada land system BTA, BTG titik 8 dan BTG titik 9. Temperatur dan tekstur pada land system PKS, sedangkan pada land system MPT dan PDH memiliki faktor penghambat temperatur, tekstur dan lereng. Kesesuaian lahan karet dapat dilhat pada Gambar 27.
Berdasarkan fungsi kawasan pada SK 44 tahun 2005, land system BPD, MPT, dan PDH merupakan kawasan yang ditetapkan sebagai hutan lindung dan memiliki kemampuan lahan kelas VIII, serta land system PKS yang memiliki kemampuan lahan kelas VIII, sehingga sangat tidak sesuai untuk dibudidayakan dan sebaiknya dibiarkan secara alami.
Pada land system GGD dan BTA yang merupakan kawasan yang ditetapkan sebagai hutan produksi terbatas dan memiliki kemampuan lahan kelas VII dan land system KLG yang mempunyai kemampuan lahan kelas VII dan land system UBD dan BTG yang memiliki kemampuan lahan kelas VI, dengan
Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Pangan dan Palawija
Jenis komoditi yang dominan ditemukan di daerah ini yaitu padi gogo, padi sawah, jagung, ubi jalar, dan ubi kayu untuk pangan dan palawija. Kesesuaian lahan agroforestri untuk tanaman pangan dan palawija dapat dilihat pada Tabel 22.
Padi gogo secara aktual dan potensial pada land system KLG, GGD, BPD, BTA, BTG titik 8 dan BTG titik 9 memiliki kesesuaian lahan Tidak Sesuai (N) dengan faktor penghambat curah hujan dan lereng. Pada land system UBD titik 2, UBD titik 5 dan BTG titik 6 memiliki kesesuaian lahan Tidak Sesuai (N) dengan faktor penghambat curah hujan. Secara aktual dan potensial pada land system PKS memiliki kesesuaian lahan Tidak Sesuai (N) dengan faktor penghambat curah hujan dan tekstur. Pada land system MPT dan PDH memiliki kesesuaian lahan Tidak Sesuai (N) dengan faktor penghambat curah hujan, tekstur dan lereng. Kesesuaian lahan padi gogo dapat dilihat pada Gambar 27.
Tabel 22.Kesesuaian Lahan Tanaman Pangan dan Palawija Kehutanan Kelas
Kesesuaian Jagung Aktual
memiliki kesesuaian lahan Tidak Sesuai (N) dengan faktor penghambat tekstur. Pada land system MPT dan PDH secara aktual dan potensial memiliki kesesuaian lahan Tidak Sesuai (N) dengan faktor penghambat tekstur dan lereng. Kesesuaian lahan padi sawah dapat dilihat pada Gambar 28. Kesesuaian lahan jagung dapat dilihat pada Gambar 29. Kesesuaian lahan ubi jalar dapat dilihat pada Gambar 30. Kesesuaian lahan ubi kayu dapat dilihat pada Gambar 31.
Tanaman pangan dan palawija berupa padi gogo, padi sawah, jagung, ubi jalar dan ubi kayu memiliki kesesuaian lahan Tidak Sesuai (N) dengan faktor penghambat lereng pada semua land system.
Land system BPD, MPT, PDH, dan PKS sebaiknya dibiarkan secara alami,
sedangkan land system GGD, BTA, KLG, UBD dan BTG dengan pembuatan teras untuk memperbaiki faktor penghambat lereng, dapat dipergunakan untuk lahan agroforestry.
KESIMPULAN
1. Daerah yang dialiri Sub DAS Lau Simbelin DAS Alas Kabupaten Dairi merupakan daerah hulu yang memiliki kemampuan lahan kelas VI, VII dan VIII dengan lereng sebagai faktor penghambat dominan.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.
Azis, A. Bambang, H. S. Medhanita. D. R. 2005. Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Tanaman Pangan Menggunakan Jaingan Syaraf Tiruan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
BPS. 2009. Kabupaten Dairi dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Dairi. Dairi.
Departemen Ilmu Tanah. 2009. Pendugaan Erosi Metode USLE. Medan.
Djaenudin, Marwan, Subagjo, Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah, Puslitbangtanak. Bogor.
Fauzi, Y. Boko, S. Zulfia, M. 2009. Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Bengkulu Melalui Perancangan Model Spasial dan Sistem Informasi Geografis (SIG). Forum Geografi, Vol. 23, no. 2, Desember 2009: 101–111.
Harjadi, B. 2007. Aplikasi Penginderan Jauh dan SIG untuk Penetapan Tingkat Kemampuan Penggunaan Lahan (KPL) (Studi Kasus di DAS Nawagaon Maskara, Saharanpur-India). Surakarta. Forum Geografi, Vol. 21, No.1, Juli 2007: 69-77.
Mukhlis. 2007. Analisis Tanah Tanaman. USU Press. Medan.
Noordwijk, M. Fahmuddin. Didik. Kurniatun. Gamal. Bruno. Farida. 2004. Peranan Agroforestry dalam Mempertahankan Fungsi Hidrologi Daerah Aliran Sungai. Agrivita Vol. 26 No. 1. ISSN: 0126-0537.
Nuberg, I. Brendan. Rowan. 2009. Agroforestry for Natural Resource Management. CSIRO. Australia.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia. 2009. Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu.
Puntodewo, A., Dewi, S., Tarigan, J. Sisitem Informasi Geografis untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam. www.google books [10 Juni 2010].
Rahmawaty, T. R. Villanueva, M. G. Carandang. 2011. Participatory Land Use Allocation, Case Study in Besitang Watershed, Langkat, North Sumatera, Indonesia. Lambert Academic Publishing. Jerman.
--- 2009. Penggunaan Geographic Information System (GIS) untuk Pemetaan Kesesuaian Lahan di DAS Besitang. Prosiding. Optimalisasi Pengelolaan Lahan dalam Upaya Menekan Pemanasan Global Mendukung Pendidikan Berbasis Pembangunan Berkelanjutan. 12-13 Februari 2010. Medan. Hal:113-119.
Regional Physical Planning Programme for Transmigration. 1988. Review of Phase I Result Volume One Main Report Land Resources Department ODNRI Overseas Development Administration Foreign and Commonwelth Office Londong England. Direktorat Bina Program Direktorat Jendral Penyiapan Pemukiman Departemen Transmigrasi. Jakarta.
---. 1988. Review of Phase I Result Volume Two Annexes 1-5. Land Resources Department ODNRI Overseas Development Administration Foreign and Commonwelth Office Londong England. Direktorat Bina Program Direktorat Jendral Penyiapan Pemukiman Departemen Transmigrasi. Jakarta.
Reinberger. 1999. Kondisi dan Potensi Lahan Kabupaten DATI II Dairi. Dairi. Balai Informasi dan Penyuluhan Pertanian.
Sitorus, J. Purwandari. Luwin, E. D. Rina, W. Suharno. 2006. Kajian Model Deteksi Perubahan Penutupan Lahan Menggunakan Data. Inderaja untuk Aplikasi Perubahan Lahan Sawah. Bidang Pengembangan Pemanfaatan Inderaja Pusbangja Lapan.
Suripin. 2004. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Andi. Yogyakarta. Syam, A. 2003. Sistem Pengelolaan Lahan Kering di Daerah Aliran Sungai
Bagian Hulu. Jurnal Litbang Pertanian. Bogor.
Utomo, W.H. 1989. Konservasi Tanah di Indonesia. Rajawali Pers. Jakarta.
Wahyuningrum, N. Nugroho. Wardojo. Beny, H. Endang, S. Sudimin. Sudirman. 2003. Klasifikasi Kemampuan dan Kesesuaian Lahan. INFO DAS Surakarta No. 15 Th. 2003.