ANALISIS PENGUKURAN KINERJA PENGELOLAAN
KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH
KABUPATEN BATU BARA
TESIS
Oleh
JOY LAND DE FARCI
097003060/PWD
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
2012
SE K
O L
A
H
P A
S C
A S A R JA N
ANALISIS PENGUKURAN KINERJA PENGELOLAAN
KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH
KABUPATEN BATU BARA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
JOY LAND DE FARCI
097003060/PWD
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISIS PENGUKURAN KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BATU BARA
Nama Mahasiswa : Joy Land De Farci Nomor Pokok : 097003060
Program Studi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Prof. Erlina, SE. M.Si, Ph.D.Ak) (Dr. Drs. Rujiman, MA)
Ketua AnggotaKetua Program Studi, Direktur,
(Prof.Dr.lic.rer.reg.Sirojuzilam,SE) (Prof.Dr.Ir.A. Rahim Matondang,MSIE)
Telah diuji pada
Tanggal: 31 Juli 2012
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Erlina, SE, M.Si, Ph.D. Ak
Anggota : 1. Dr. Drs. Rujiman, MA
2. Prof. Dr.lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan
tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain.
Sumber- sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan
secara benar dan jelas dalam daftar pustaka
Medan, Juli 2012
Yang membuat pernyataan
ANALISIS PENGUKURAN KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN
ABSTRAK
Implementasi otonomi daerah sebagai format kebijakan bidang pemerintahan diharapkan mampu memecahkan krisis keuangan pemerintah pusat. Sebelum era otonomi daerah diberlakukan, sumber daya keuangan pemerintah lokal atau daerah tergantung pada kemampuan keuangan pemerintah pusat yang dialokasikan dalam wujud tunjangan dan bantuan- bantuan keuangan untuk daerah guna membiayai pengembangan dan jabatan dalam pemerintah daerah. Otonomi daerah bertanggung jawab dan luas diarahkan untuk memberi penyisihan dana untuk pemerintah daerah guna mengembangkan dan mengatur daerah mereka sendiri. Dengan otonomi daerah, diharapkan pemerintah daerah harus lebih bebas dalam mengelola keuangan mereka sendiri dan lebih efisien lagi dalam mengatur sumber daya keuangan agar pembangunan diwilayah tersebut menjadi maksimal.
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Pemerintah Kabupaten Batu Bara – Sumatera Utara. Penilaian kapasitas didasarkan pada sembilan bidang utama pengelolaan keuangan: (1) Kerangka peraturan perundangan daerah; (2) Perencanaan dan penganggaran; (3) Pengelolaan kas; (4) Pengadaan; (5) Akuntasi dan pelaporan; (6) Audit internal; (7) Hutang dan investasi publik; (8) Pengelolaan aset; dan (9) Audit eksternal dan pengawasan. Setiap bidang strategis dibagi menjadi satu sampai lima hasil dan terdapat serangkaian indikator yang membutuhkan jawaban ‘ya/tidak’ untuk setiap hasil. Hasil-hasil ini mencerminkan pencapaian yang diharapkan pada setiap bidang strategis dan indikator digunakan untuk menilai sejauh mana keberhasilan pemerintah kabupaten Batu Bara dalam mencapai hasil tersebut. Kerangka PKP memberikan gambaran sekilas atas kapasitas pengelolaan keuangan untuk setiap pemerintah daerah, dengan fokus terhadap kebijakan, prosedur dan peraturan, dalam arti lingkungan pengelolaan keuangan dalam pemerintah daerah. Bidang-bidang yang menjadi kelemahan pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan sengaja di garis bawahi, sehingga dapat menunjukkan aspek- aspek apa saja yang perlu diperbaiki. Sebelum survei PKP dilaksanakan, pengetahuan mengenai kapasitas pemerintah daerah sangat terbatas. Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya kajian ini dapat memberikan masukan untuk penilaian kapasitas keuangan di Kabupaten Batu Bara guna efisiensi dan efektifitas dalam penganggaran yang sesuai dengan rencana pembangunan yang telah ditetapkan.
ANALYSISFINANCIAL MANAGEMENT PERFORMANCE DISTRICT LOCAL GOVERNMENT
ABSTRACT
Implementation of regional autonomy as as a form of the government policy is expected to be able solve the financial crisis central government. Before the regional autonomy has been implemented, the financial resources of local or regional government depends on the ability of central government finances wich was allocated in the form of subsidy and financial aids for financing the development and public service. The extensive dab responsible regional autonomy is aimed to give the allowance to the regional governments to develop and manage their own areas. By regional autonomy, regioanal governments should be more independent ont heir own finances and more efficient in managing financial resources for development in the region are to be maximized.
The research was carried out in the working area of Batu Bara regency - North Sumatera. Capacity assessment is based on nine key areas of financial management: (1) the statutory framework, (2) Planning and budgeting, (3) Cash management, (4) Procurement, (5) accounting and reporting; (6) Internal Audit; ( 7) Debt and public investment; (8) Management of assets, and (9) external audit and oversight. Each strategic area is divided into one to five results and there are a series of indicators which require a yes / no 'to every result. These results reflect the expected achievement of each strategic area and the indicators used to assess the extent of Batu Bara Regency in achieving those results. Framework of PKP gives an overviewof the financial management capacity for each local government, with a focus on policies, procedures and regulations, in terms of financial management environment in local government. Areas of weakness in the financial management of local government deliberately underlined, so as to demonstrate aspects of what needs to be repaired. Before the PFM survey conducted, knowledge of local government capacity is limited. Therefore, This research can be expected to provide input for the assessment of financial capacity in Batu Bara regency to the efficiency and effectiveness in budgeting in accordance with a predetermined development plan.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat karunia dan rahmat- Nya penelitian yang berjudul “Analisis Pengukuran Kinerja Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Batu Bara” ini dapat diselesaikan. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) pada Program Studi Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Atas rampungnya tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang turut memberikan bantuan dan dukungan, baik sewaktu penulis mengikuti proses perkuliahan maupun pada saat penulis melakukan penelitian. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus dan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE selaku Ketua Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, serta sebagai Dosen Pembanding yang telah memberikan banyak masukan dan saran bagi kesempurnaan tesis ini.
3. Bapak Bapak Ir. Supriadi, MS selaku Sekretaris Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan sebagai Dosen Pembanding yang telah memberikan banyak arahan dan saran bagi kesempurnaan tesis ini.
4. Ibu Prof. Erlina, SE. M.Si, Ph.D.Ak dan Bapak Dr. Rujiman, MA selaku Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dengan ketulusan, keikhlasan, dan kesabaran telah banyak sekali membantu dalam hal penyusunan tesis ini sampai akhirnya bisa terselesaikan.
5. Bapak Agus Suryadi, S.Sos, M.Si, selaku Dosen Pembanding yang telah memberikan banyak masukan dan saran bagi kesempurnaan tesis ini.
6. Kepada seluruh dosen serta civitas akademika Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam proses administrasi maupun kelancaran kegiatan akademik pada Program Studi PWD USU Medan.
6. Pemerintahan Kabupaten Batu Bara yang telah memberi izin kepada Penulis untuk melakukan penelitian di wilayah kerja tersebut.
7. Untuk Orang Tua tercinta Alm. Roland Farno dan Almh. Susi Sulastri, doa kami selalu menyertai.
8. Kepada kakak- kakak tersayang Rossy Elvira, Rossa Farcia dan Rosella faridz yang selalu bersama, saling mendukung dan saling membantu satu sama lain dalam menjalani kehidupan selama ini, no matter what they say.
semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu penyelesaian tesis ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu dengan rendah hati penulis menerima saran dan kritik membangun dari semua pihak. Akhirnya dengan rahmat Allah SWT, tesis ini penulis persembahkan bagi semua pihak yang membacanya, dengan harapan dapat memberikan arti dan manfaat.
Sekian dan terimakasih.
Medan, Juni 2012 Penulis
RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI
Nama Lengkap : Joy Land De Farci,SE
Tempat, Tgl. Lahir : Tangerang, 13 September 1984 Tinggi, Berat Badan : 176 cm/ 73 Kg
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil Status Perkawinan : Belum Nikah
Agama : Islam
Pendidikan : S-1 Ekonomi Manajemen
PENDIDIKAN • Formal
1990 - 1996 : SD Negeri 1 Tangerang 1996 - 1999 : SLTP Negeri 4 Tangerang 1999 - 2002 : SMU Yuppentek 1 Tangerang
2002 - 2007 : Sekolah Tinggi Manajemen Transpor (STMT) Trisakti Jakarta
• Non Formal
2009 : Pelatihan Akuntansi Keuangan Daerah (AKD) selama 2 bulan di Pusdiklat Pasca Sarjana Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP... v
1.2. Perumusan Masalah... 7
1.3. Tujuan Penelitian ... 7
1.4. Manfaat Penelitian... BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 9
2.1. Pengertian Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah... 9
2.2. Tujuan Pengelolaan Keuangan Daerah... 11
2.3. Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ... 12
2.4. Prinsip- prinsip Penyusunan Anggaran... 14
2.5. Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah... 18
2.6. Penelitian Sebelumnya... 25
2.7. Kerangka Konseptual ... 26
BAB III METODE PENELITIAN... 29
3.1. Lokasi Penelitian ... 29
3.2. Desain Penelitian... 29
3.3. Tehnik Pengumpulan Data... 30
3.4. Analisis Data... 32
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 34
4.1. Gambar Umum... 34
4.2. Tingkat Pengelolaan Keuangan... 35
4.2.1. Bidang Strategis 1 : Kerangka Peraturan Perundangan Daerah... 37
4.2.2. Bidang Strategis 2 : Perencanaan dan Pengganggaran... 40
4.2.3. Bidang Strategis 3 : Pengelolaan Kas... 46
4.2.4. Bidang Strategis 4 : Pengadaan Barang dan Jasa... 48
4.2.5. Bidang Strategis 5 : Akuntansi dan Pelaporan... 49
4.2.6. Bidang Strategis 6 : Audit Internal... 54
4.2.7. Bidang Strategis 7 : Hutang dan Investasi... 57
4.2.8. Bidang Strategis 8 : Pengelolaan Aset... 57
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 62
5.1. Kesimpulan... 62
5.2. Saran... 63
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
3.1. Kerangka Pengukuran – Bidang Strategis dan Indikator …….. 31
4.1. Tingkat Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerh Kabupaten
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
ANALISIS PENGUKURAN KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN
ABSTRAK
Implementasi otonomi daerah sebagai format kebijakan bidang pemerintahan diharapkan mampu memecahkan krisis keuangan pemerintah pusat. Sebelum era otonomi daerah diberlakukan, sumber daya keuangan pemerintah lokal atau daerah tergantung pada kemampuan keuangan pemerintah pusat yang dialokasikan dalam wujud tunjangan dan bantuan- bantuan keuangan untuk daerah guna membiayai pengembangan dan jabatan dalam pemerintah daerah. Otonomi daerah bertanggung jawab dan luas diarahkan untuk memberi penyisihan dana untuk pemerintah daerah guna mengembangkan dan mengatur daerah mereka sendiri. Dengan otonomi daerah, diharapkan pemerintah daerah harus lebih bebas dalam mengelola keuangan mereka sendiri dan lebih efisien lagi dalam mengatur sumber daya keuangan agar pembangunan diwilayah tersebut menjadi maksimal.
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Pemerintah Kabupaten Batu Bara – Sumatera Utara. Penilaian kapasitas didasarkan pada sembilan bidang utama pengelolaan keuangan: (1) Kerangka peraturan perundangan daerah; (2) Perencanaan dan penganggaran; (3) Pengelolaan kas; (4) Pengadaan; (5) Akuntasi dan pelaporan; (6) Audit internal; (7) Hutang dan investasi publik; (8) Pengelolaan aset; dan (9) Audit eksternal dan pengawasan. Setiap bidang strategis dibagi menjadi satu sampai lima hasil dan terdapat serangkaian indikator yang membutuhkan jawaban ‘ya/tidak’ untuk setiap hasil. Hasil-hasil ini mencerminkan pencapaian yang diharapkan pada setiap bidang strategis dan indikator digunakan untuk menilai sejauh mana keberhasilan pemerintah kabupaten Batu Bara dalam mencapai hasil tersebut. Kerangka PKP memberikan gambaran sekilas atas kapasitas pengelolaan keuangan untuk setiap pemerintah daerah, dengan fokus terhadap kebijakan, prosedur dan peraturan, dalam arti lingkungan pengelolaan keuangan dalam pemerintah daerah. Bidang-bidang yang menjadi kelemahan pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan sengaja di garis bawahi, sehingga dapat menunjukkan aspek- aspek apa saja yang perlu diperbaiki. Sebelum survei PKP dilaksanakan, pengetahuan mengenai kapasitas pemerintah daerah sangat terbatas. Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya kajian ini dapat memberikan masukan untuk penilaian kapasitas keuangan di Kabupaten Batu Bara guna efisiensi dan efektifitas dalam penganggaran yang sesuai dengan rencana pembangunan yang telah ditetapkan.
ANALYSISFINANCIAL MANAGEMENT PERFORMANCE DISTRICT LOCAL GOVERNMENT
ABSTRACT
Implementation of regional autonomy as as a form of the government policy is expected to be able solve the financial crisis central government. Before the regional autonomy has been implemented, the financial resources of local or regional government depends on the ability of central government finances wich was allocated in the form of subsidy and financial aids for financing the development and public service. The extensive dab responsible regional autonomy is aimed to give the allowance to the regional governments to develop and manage their own areas. By regional autonomy, regioanal governments should be more independent ont heir own finances and more efficient in managing financial resources for development in the region are to be maximized.
The research was carried out in the working area of Batu Bara regency - North Sumatera. Capacity assessment is based on nine key areas of financial management: (1) the statutory framework, (2) Planning and budgeting, (3) Cash management, (4) Procurement, (5) accounting and reporting; (6) Internal Audit; ( 7) Debt and public investment; (8) Management of assets, and (9) external audit and oversight. Each strategic area is divided into one to five results and there are a series of indicators which require a yes / no 'to every result. These results reflect the expected achievement of each strategic area and the indicators used to assess the extent of Batu Bara Regency in achieving those results. Framework of PKP gives an overviewof the financial management capacity for each local government, with a focus on policies, procedures and regulations, in terms of financial management environment in local government. Areas of weakness in the financial management of local government deliberately underlined, so as to demonstrate aspects of what needs to be repaired. Before the PFM survey conducted, knowledge of local government capacity is limited. Therefore, This research can be expected to provide input for the assessment of financial capacity in Batu Bara regency to the efficiency and effectiveness in budgeting in accordance with a predetermined development plan.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Semangat reformasi telah mendorong para pemimpin bangsa Indonesia
ntuk melakukan perubahan secara holistik terhadap pelaksaaan pemerintahan orde
baru. Keinginan untuk melakukan perubahan terakumulasi dan menjadi suatu
kekuatan gerak yang tidak dapat dibendung akibat sistem penyelenggaraan
pemerintahan orde baru yang dianggap telah menyimpang dari semangat
konstitusi, tertutup, otoriter dan sentralistik.
Reformasi yang telah bergulir sejak tahun 1998 hingga sekarang telah
merubah sistem penyelenggaran pemerintahan dan ketatanegaraan secara
fundamental. Hal tersebut terlihat dari amandemen Undang-Undang Dasar 1945
yang telah dilakukan sebanyak tiga kali sejak reformasi. Sejalan dengan hal
tersebut, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
juga mengamanahkan bahwa pemberian otonomi kepada daerah dimaksudkan
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Pemberian otonomi kepada
daerah juga dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing daerah dalam
mengembangkan daerahnya dan kemajuan daerahnya dengan memperhatikan
prinsip-prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan
serta potensi dan keanekaragaman daerah. Dalam penyelenggaraan pemerintahan,
mempunyai hak dan kewajiban untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan
masyarakat di wilayah kerjanya masing-masing.
Kabupaten Batu Bara merupakan suatu daerah pemekaran dari Kabupaten
Asahan yakni berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2007 tentang Pembentukan Kabupaten Batu Bara di Propinsi Sumatera Utara.
Ibukota Kabupaten Batu Bara berada di Lima Puluh. Kabupaten Batu Bara terdiri
dari 7 kecamatan yaitu Sei Balai, Tanjung Tiram, Talawi, Lima Puluh, Air Putih,
Sei Suka dan Medang Deras.
Sebagai salah satu Kabupaten baru di wilayah Provinsi Sumatera Utara
yang telah berjalan kurang lebih 5 Tahun, masih banyak kendala yang dihadapi
oleh Pemerintahan Kabupaten Batu Bara dalam hal peyelenggarakan
pemerintahan dan pembangunan serta memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Khususnya dalam hal pengelolaan keuangan yang akuntabel dan transparasi demi
terwujudnya Pemerintahan yang good governance. Keterbatasan SDM keuangan
dan Rendahnya SDM aparat merupakan salah satu penyebab masih buruknya
pengelolaan keuangan di Kabupaten Batu Bara
Namun bukan hanya keterbatasan SDM yang memicu belum akuntabelnya
pengelolaan keuangan Pemerintah Kabupaten Batu Bara, ada beberapa persoalan
lain adalah seperti keterlambatan pengesahan APBD. Penyebab dari terlambatnya
pengesahan APBD ini disebabkan oleh beberapa hal seperti penetapan alokasi
anggaran dari pusat ke daerah yang terlambat diterima di daerah sehingga proses
penetapan APBD Kabupaten Batu Bara menjadi terlambat. Beragam tantangan
yang dihadapi pemerintah Kabupaten Batu Bara dalam reformasi anggaran dan
peraturan yang saling bertentangan yang dikeluarkan oleh departemen di tingkat
nasional, kesulitan muncul dalam keseluruhan siklus keuangan pemerintah
Kabupaten Batu Bara. Mulai dari pengesahan anggaran sampai ke penyusunan
laporan keuangan, yang disebabkan oleh kompleksitas peraturan, kurangnya
sumber daya manusia, tidak adanya koordinasi dan belum memadainya teknologi
yang digunakan padahal dokumen perencanaan dan anggaran tertentu telah
disiapkan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Hal ini menyulitkan
pemerintah Kabupaten Batu Bara karena kurangnya kompetensi teknis pada
tingkat tersebut.
Dalam sistem akuntansi pemerintah yang nyata, meski dilakukan
pencatatan transaksi dengan basis kas namun telah diadaptasi sedemikian rupa
untuk menghasilkan laporan keuangan dalam format yang digunakan untuk
akuntansi berbasis akural. Dalam sistem ini laporan penggunaan anggaran disusun
berdasarkan catatan-catatan transaksi. Namun untuk mengubah transaksi berbasis
kas ke bentuk laporan yang berbasis akural membutuhkan proses yang menyita
waktu untuk memeriksa semua transaksi pendapatan dan belanja, dimana untuk
ukuran pemerintah normal dapat mencapai ribuan transaksi, diantaranya adalah
penggolongan beberapa jenis pendapatan, pencatatan biaya perolehan asset,
perlakuan atas investasi jangka pendek dan pembayaran kembali kelebihan pajak
dan retribusi. Beragam laporan keuangan tidak sesuai dengan struktur anggaran
yang ditetapkan. Namun dengan berjalannya waktu, Pemerintah Kabupaten Batu
Bara telah memperbaiki sistem pengelolaan keuangan.
Terkait dengan Penyelenggaraan anggaran di daerah Pemerintah Indonesia
pusat maupun pada pemerintah daerah dengan ditetapkannya paket
undang-undang bidang keuangan negara, yaitu UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara serta UU 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Peraturan
perundang-undangan tersebut menyatakan bahwa Gubernur /Bupati /Walikota
menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa
oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambanya 6 (enam) bulan setelah
tahun anggaran berakhir. Pertanggung jawaban tersebut dituangkan dalam
Laporan Keuangan yang disusun dan disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi
Pemerintahan (PP 71 tahun 2010). Disamping Undang-undang dan peraturan
pemerintah tersebut, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Permendagri No 13
Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Pada Intinya semua peraturan tersebut
menginginkan adanya akuntabilitas serta transparansi dalam pengelolaan
keuangan daerah.
Desentralisasi melahirkan otonomi daerah yang bertujuan untuk
memaksimalkan pelayananan dan lebih mendekatkan fungsi pemerintahan kepada
masyarakat. Kebijakan otonomi daerah yang dicanangkan pemerintah pusat
tanggal 1 Januari 2001 menciptakan terbentuknya pemerintah daerah otonom di
Indonesia yang diharapkan mampu meningkatkan akselerasi pembangunan dalam
usaha pencapaian tujuan negara yaitu masyarakat adil dan makmur. Bratakusumah
kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah dalam rangka desentralisasi dan
dekonsentrasi disertai dengan pengalihan sumber daya manusia, dan sarana serta
pengalokasian anggaran yang diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan
penyerahan dan pelimpahan kewenangan tersebut. Untuk itu sangat dibutuhkan
regulasi dalam perencanaan menajemen keuangan pemerintah yang profesional.
Pembangunan daerah Kabupaten Batubara merupakan bagian integral dari
pembangunan nasional yang dilakukan secara terus-menerus untuk menuju ke
arah perubahan yang lebih baik. Adanya perubahan paradigma dalam
penyelenggaraan pemerintahan menuntut pihak pemerintah daerah untuk lebih
mengutamakan prinsip-prinsip penyelenggaraan otonomi daerah yang
memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi daerah. Pada
era otonomi daerah paradigma baru dalam pembangunan daerah, keberhasilan
pembangunan tidak lagi hanya diukur dari kemajuan fisik yang diperoleh atau
berapa besar Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dapat diterima.
Pada umumnya ada tiga permasalahan yang biasa dihadapi pemerintan
daerah yaitu ketidakefektifan, inefesiensi dan private inurement (penggunaan
dana untuk kepentingan individu). Hal ini disebabkan karena tidak terdapat
mekanisme dasar pertanggungjawaban yang baku seperti organisasi bisnis.
Organisasi pemerintahan tidak mengenal kepemilikan (self interest) yang dapat
memaksakan pencapaian tujuan. Pemerintah daerah juga tidak mementingkan
faktor persaingan yang seringkali digunakan sebagai alat untuk meningkatkan
efesiensi, disamping itu, pemerintah daerah tidak memilki barometer keberhasilan
seperti pada organisasi bisnis sehingga sulit untuk menentukan tingkat
Menilik pada konteks desentralisasi sebagai pelimpahan wewenang
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, konsekuensinya adalah adanya
alokasi penyediaan barang publik pada pemerintah daerah dari pemerintah pusat.
Selain itu, juga akan mempengaruhi tanggung jawab dan hubungan keuangan
antara pemerintah pusat pusat dan daerah (intergovernmental fiscal relations).
Hubungan keuangan antar pemerintah merujuk pada hubungan keuangan antara
berbagai tingkatan pemerintah dalam suatu negara dalam kaitannya dengan
distribusi pendapatan negaradan pola pengeluarannya termasuk kekuasaan. Mulai
dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi terhadap tingkat pemerintahan yang
lebih rendah. Implikasi langsungnya adalah meningkatnya pendanaan oleh
pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan. Sebelum era otonomi dan
desentralisasi, pendanaan utama pemerintah daerah berasal dari pemerintah pusat
dan PAD dengan pajak dan retribusi sebagai instrumen utama penerimaan daerah.
Situasi ini menjadi semakin kompleks mengingat kondisi geografis Indonesia
yang berupa negara kepulauan dengan berbagai keanekaragamannya, sehingga
potensi kesenjangan keuangan antar daerah (horizontal) semakin besar. Potensi
daerah baik berupa sumber daya alam (SDA) maupun sumber daya manusia
(SDM) tidak tersebar secara merata pada tiap-tiap daerah otonom. Permasalahan
horizontal (antar pemerintah daerah) kemudian muncul dalam hal upaya
mengumpulkan sumber pendanaan untuk biaya pembangunan. Pemerintah pusat
berupaya untuk mengurangi kesejangan ini dengan mengeluarkan UU No. 33
Tahun 2004 tentang Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH),
Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Pemberian dana
(antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah) dan horizontal (antar
pemerintah daerah), sekaligus untuk membantu daerah dalam membiayai
pengeluaran pembangunannya.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti akan melakukan penelitian dengan
judul “Pengukuran Kinerja Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah di
Kabupaten Batu Bara”
1.2. Perumusan Masalah
Di antara pertanyaan mendasar, yang perlu diperhatikan adalah:
1. Bagaimana tingkat pengelolaan keuangan Pemerintah Kabupaten Batu Bara?
2. Faktor- faktor apa saja yang memengaruhi kualitas kinerja pengelolaan
keuangan Pemerintah Kabupaten Batu Bara?
1.3. Tujuan penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan di sebelumnya, maka penelitian ini
dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui tingkat pengelolaan keuangan Pemerintah Kabupaten Batu
Bara.
2. Untuk mengetahui Faktor- faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas kinerja
pengelolaan keuangan Pemerintah Kabupaten Batu Bara.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pemerintah Kabupaten Batu Bara merupakan sebagai bahan informasi
dan pertimbangan mengenai kinerja keuangan daerah agar dapat meningkatkan
kinerja keuangannya.
2. Bagi Penulis merupakan penambahan wawasan dalam khasanah bidang ilmu
3. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain yang terkait dengan pengukuran
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah
Sebelum menguraikan sistem pengelolaan keuangan daerah terlebih
dahulu dikemukakan pendapat mengenai pengertian sistem itu sendiri. Adapun
pengertian sistem menurut Cole adalah suatu kerangka dari prosedur-prosedur
yang saling berhubungan yang disusun sesuai dengan suatu skema yang
menyeluruh, untuk melaksanakan suatu kegiatan atau fungsi utama dari suatu
organisasi, sedangkan prosedur adalah suatu urut-urutan pekerjaan kerani
(clerical), biasanya melibatkan beberapa orang dalam satu bagian atau lebih,
disusun untuk menjamin adanya perlakuan yang seragam terhadap
transaksi-transaksi yang terjadi dalam suatu organisasi (Baridwan, 1991;3).
Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka salah satu unsur yang paling
penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah adalah
sistem atau cara pengelolaan keuangan daerah secara berdayaguna dan
berhasilguna. Hal tersebut diharapkan agar sesuai dengan aspirasi pembangunan
dan tuntutan masyarakat yang semakin berkembang akhir- akhir ini.
Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan
pengawasan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah yang diatur dalam
peraturan menteri ini meliputi kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, azas umum
dan struktur APBD, penyusunan rancangan APBD, penetapan APBD, penyusunan
APBD, perubahan APBD, pengelolaan kas, penatausahaan keuangan daerah,
akuntansi keuangan daerah, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pembinaan
dan pengawasan pengelolaan keuangan daerah, kerugian daerah, dan pengelolaan
keuangan BLUD.
Pengelolaaan keuangan daerah dimulai dengan perencanaan /penyusunan
anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). APBD disusun sesuai dengan
kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah.
Penyusunan APBD sebagaimana berpedoman kepada RKPD dalam rangka
mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara.
APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi,
distribusi, dan stabilisasi. APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah. APBD yang
disusun oleh pemerintah daerah telah mengalami perubahan dari yang bersifat
incramental menjadi anggaran berbasis kinerja sesuai dengan tuntutan reformasi.
Anggaran berbasis kinerja dikenal dalam pengelolaan keuangan daerah
sejak diterbitkannya PP nomor 105 tahun 2000 yang dalam pasal 8 dinyatakan
bahwa APBD disusun dengan pendekatan kinerja. Penerapan anggaran berbasis
kinerja pada instansi pemerintah di Indonesia dicanangkan melalui pemberlakuan
UU nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara dan diterapkan secara
bertahap mulai tahun anggaran 2005
Dilihat dari aspek masyarakat (customer) dengan adanya peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik maka dapat
meningkatnya tuntutan masyarakat akan pemerintah yang baik, hal ini menjadi
terutama dalam menyediakan layanan prima bagi seluruh masyarakat. Dilihat dari
sisi pengelolaan keuangan daerah khususnya Pendapatan Asli Daerah (PAD)
maka kontribusi terhadap APBD meningkat tiap tahun anggaran hal ini didukung
pula dengan tingkat efektivitas dari penerimaan daerah secara keseluruhan
sehingga adanya kemauan dari masyarakat untuk membayar kewajibannya kepada
Pemerintah Daerah dalam bentuk pajak dan retribusi.
Aspek sumber daya manusia (SDM) adanya kemampuan aparat pengelola walaupun belum memadai dalam jumlah sesuai dengan kebutuhan tiap unit/satuan kerja daerah tetapi dalam pengelolaan keuangan daerah dapat memberikan pelayanan yang sebaik mungkin kepada masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi penerimaan daerah sendiri serta tingkat efektivitas dan efisiensi yang semakin meningkat tiap tahun anggaran namun demikian perlu ada pembenahan dalam arti daerah harus memanfaatkan kewenangan yang diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pasal 76 yaitu daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan dan kesejahteraan pegawai serta pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah berdasarkan peraturan perundang- undangan.
2.2. Tujuan pengelolaan keuangan daerah
Pengelolaan keuangan daerah berarti mengurus dan mengatur keuangan
daerah itu sendiri dengan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah menurut
(Devas,dkk,1987; 279-280) adalah sebagai berikut
a. Tangung jawab (Accountability)
Pemerintah daerah harus mempertanggungjawabkan keuangannya kepada
lembaga atau orang yang berkepentingan yang sah, lembaga atau orang itu
termasuk pemerintah pusat, DPRD, Kepala Daerah dan masyarakat umum.
Adapun unsur-unsur penting dalam tanggung jawab adalah mencakup
keabsahan yaitu setiap transaksi keuangan harus berpangkal pada wewenang
kekayaan uang dan barang serta mencegah terjadinya penghamburan dan
penyelewengan dan memastikan semua pendapatan yang sah benar-benar
terpungut jelas sumbernya dan tepat penggunaanya.
b. Mampu memenuhi kewajiban keuangan
Keuangan daerah harus ditata dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu
melunasi semua kewajiban atau ikatan keuangan baik jangka pendek, jangka
panjang maupun pinjaman jangka panjang pada waktu yang telah ditentukan
c. Kejujuran
Hal-hal yang menyangkut pengelolaan keuangan daerah pada prinsipnya harus
diserahkan kepada pegawai yang betul-betul jujur dan dapat dipercaya.
d. Hasil guna (Efektif) dan daya guna (efisien)
Merupakan tata cara mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa
sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk
mencapai tujuan pemerintah daerah dengan biaya yang serendah- rendahnya
dan dalam waktu yang secepat- cepatnya.
e. Pengendalian
Para aparat pengelola keuangan daerah, DPRD dan petugas pengawasan harus
melakukan pengendalian agar semua tujuan tersebut dapat tercapai.
2.3. Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Dengan berlandaskan pada dasar hukum di atas maka penyusunan APBD
sebagai rencana kerja keuangan adalah sangat penting dalam rangka
penyelenggaraan fungsi daerah otonom. Dari uraian tersebut boleh dikatakan
bahwa APBD sebagai alat / wadah untuk menampung berbagai kepentingan
program, di mana pada saat tertentu manfaatnya benar-benar dirasakan oleh
masyarakat umum.
Menurut Menteri Negara Otonomi Daerah Republik Indonesia dan
PAU-SE (Universitas Gadjah Mada) menyebutkan bahwa Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan instrumen kebijakan yang
dipakai, sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan
masyarakat di daerah. Oleh karena itu, DPRD dan pemerintah daerah harus
berupaya secara nyata dan terstruktur guna menghasilkan APBD yang dapat
mencerminkan kebutuhan riil masyarakat sesuai dengan potensi masing-masing
daerah serta dapat memenuhi tuntutan terciptanya anggaran daerah yang
berorientasi pada kepentingan dan akuntabilitas publik. Suatu anggaran yang telah
direncanakan dengan baik hendaknya disertai dengan pelaksanaan yang tertib dan
disiplin sehingga tujuan atau sasarannya dapat dicapai secara berdaya guna dan
berhasil guna.
Mardiasmo (1999: 11) mengemukakan bahwa salah satu aspek dari
pemerintah daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan
keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran daerah atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi
pemerintah daerah sebagai instrumen kebijakan, anggaran daerah menduduki
posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah
daerah. Anggaran Daerah seharusnya dipergunakan sebagai alat untuk
menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, alat bantu pengambilan
keputusan dan perencanaan pembangunan, alat otoritas pengeluaran di masa yang
semua aktivitas di berbagai unit kerja. Penentuan besarnya
penerimaan/pendapatan dan pengeluaran/belanja daerah tidak terlepas dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sumber- sumber penerimaan daerah terdiri dari 4 bagian, yakni :
a. Pendapatan Asli Daerah yaitu hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil
perusahaan milik daerah, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah;
b. Dana Perimbangan;
c. Pinjaman Daerah dan ;
d. Lain- lain Pendapatan Daerah yang sah.
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105
Tahun 2000 juga menyebutkan bahwa, penerimaan daerah adalah semua
penerimaan kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu. Pendapatan daerah
adalah semua penerimaan kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang
menjadi hak daerah. Pengeluaran daerah adalah semua pengeluaran kas daerah
dalam periode tahun anggaran tertentu. Belanja daerah adalah semua pengeluaran
kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah.
2.4. Prinsip-prinsip Penyusunan Anggaran Daerah
Menurut Menteri Negara Otonomi Daerah Republik Indonesia dan
PAU-SE (Universitas Gadjah Mada) terdiri dari :
a. Keadilan anggaran
Keadilan merupakan salah satu misi utama yang diemban pemerintah daerah
dalam melakukan berbagai kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan
pengelolaan anggaran daerah. Pelayanan umum akan meningkat dan
distribusi dalam pengelolaan anggaran telah dilakukan dengan benar, baik
melalui alokasi belanja maupun mekanisme perpajakan serta retribusi yang
lebih adil dan transparan. Hal tersebut mengharuskan pemerintah daerah untuk
merasionalkan pengeluaran atau belanja secara adil untuk dapat dinikmati
hasilnya secara proporsional oleh para wajib pajak, retribusi maupun
masyarakat luas. Penetapan besaran pajak daerah dan retribusi daerah harus
mampu menggambarkan nilai-nilai rasional yang transparan dalam
menentukan tingkat pelayanan bagi masyarakat daerah;
b. Efisiensi dan efektivitas anggaran
Hal yang perlu diperhatikan dalam prinsip ini adalah bagaimana
memanfaatkan uang sebaik mungkin agar dapat menghasilkan perbaikan
pelayanan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat. Secara
umum, kelemahan yang sangat menonjol dari anggaran selama ini adalah
keterbatasan Daerah untuk mengembangkan instrumen teknis perencanaan
anggaran yang berorientasi pada kinerja, bukan pendekatan incremental yang
sangat lemah landasan pertimbangannya. Oleh karenanya, dalam penyusunan
anggaran harus memperhatikan tingkat efisiensi alokasi dan efektivitas
kegiatan dalam pencapaian tujuan dan sasaran yang jelas. Berkenan dengan
itu, maka penetapan standar kinerja proyek dan kegiatan serta harga satuannya
akan merupakan faktor penentu dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas
anggaran;
c. Anggaran berimbang dan defisit
Pada hakekatnya penerapan prinsip anggaran berimbang adalah untuk
melampaui kapasitas penerimaannya. Apabila penerimaan yang telah
ditetapkan dalam APBD tidak mampu membiayai keseluruhan pengeluaran,
maka dapat dipenuhi melalui pinjaman daerah yang dilaksanakan secara taktis
dan strategis sesuai dengan prinsip defisit anggaran. Penerapan prinsip ini agar
alokasi belanja yang dianggarkan sesuai dengan kemampuan penerimaan
daerah yang realistis, baik berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana
perimbangan keuangan, maupun pinjaman daerah. Di sisi lain, kelebihan
target penerimaan tidak harus selalu dibelanjakan, tetapi dicantumkan dalam
perubahan anggaran dalam pasal cadangan atas pengeluaran tidak tersangka,
sepanjang tidak ada rencana kegiatan mendesak yang harus segera
dilaksanakan;
d. Disiplin anggaran
Struktur anggaran harus disusun dan dilaksanakan secara konsisten. Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah adalah rencana pendapatan dan pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah untuk 1 (satu) tahun
anggaran tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, sedangkan
pencatatan atas penggunaan anggaran daerah sesuai dengan prinsip akuntansi
keuangan daerah Indonesia. Tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan/proyek
yang belum/tidak tersedia anggarannya dalam APBD/perubahan APBD. Bila
terdapat kegiatan baru yang harus dilaksanakan dan belum tersedia
anggarannya, maka perubahan APBD dapat disegerakan atau dipercepat
dengan memanfaatkan pasal pengeluaran tak tersangka, bila masih
memungkinkan. Anggaran yang tersedia pada setiap pos/pasal merupakan
kegiatan/proyek melampaui batas kredit anggaran yang telah ditetapkan. Di
samping itu pula, harus dihindari kemungkinan terjadinya duplikasi anggaran
baik antar Unit Kerja antara Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan serta
harus diupayakan terjadinya integrasi kedua jenis belanja tersebut dalam satu
indikator kinerja. Pengalokasian anggaran harus didasarkan atas skala prioritas
yang telah ditetapkan, terutama untuk program yang ditujukan pada upaya
peningkatan pelayanan masyarakat. Dengan demikian, akan dapat dihindari
pengalokasian anggaran pada proyek- proyek yang tidak efisien;
e. Transparansi dan akuntabilitas anggaran
Transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan anggaran, penetapan
anggaran, perubahan anggaran dan perhitungan anggaran merupakan wujud
pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada masyarakat, maka dalam
proses pengembangan wacana publik di daerah sebagai salah satu instrumen
kontrol pengelolaan anggaran daerah, perlu diberikan keleluasaan masyarakat
untuk mengakses informasi tentang kinerja dan akuntabilitas anggaran. Oleh
karena itu, anggaran daerah harus mampu memberikan informasi yang
lengkap, akurat dan tepat waktu untuk kepentingan masyarakat, pemerintah
daerah dan pemerintah pusat, dalam format yang akomodatif dalam kaitannya
dengan pengawasan dan pengendalian anggaran daerah. Sejalan dengan hal
tersebut, maka perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan proyek dan kegiatan
harus dilaksanakan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara
teknis maupun ekonomis kepada pihak legislatif, masyarakat maupun
2.5. Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah
Kinerja (performance) dapat diartikan sebagai aktivitas terukur dari suatu
entitas selama periode tertentu sebagai bagian dari ukuran keberhasilan pekerjaan.
Performance Measurement atau pengukuran kinerja menurut kamus yang sama
diartikan sebagai suatu indikator keuangan atau non keuangan dari suatu
pekerjaan yang dilaksanakan atau hasil yang dicapai dari suatu aktivitas suatu
proses atau suatu unit organisasi.
Dalam penelitian ini, istilah yang penulis maksudkan tentang Kinerja
Keuangan Pemerintahan Daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja
di bidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan
menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau
ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran. Bentuk dari
pengukuran kinerja tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari unsur
laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah perhitungan APBD.
Kinerja merupakan suatu prestasi atau tingkat keberhasilan yang dicapai
oleh individu atau suatu organisasi dalam melaksanakan pada suatu periode
tertentu. Menurut Stoner (1986:477) kinerja (performance) merupakan kuantitas
dan kualitas pekerjaan yang diselesaikan oleh individu, kelompok atau organisasi.
Pada sektor pemerintahan, kinerja dapat diartikan sebagai suatu prestasi yang
dicapai oleh pegawai pemerintah atau instansi pemerintah dalam melaksanakan
pelayanan kepada masyarakat dalam suatu periode.
Kinerja sebagai hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau
sekolompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung
secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika
(Prawirosentono, 1999).
Dalam konteks organisasi pemerintah daerah, pengukuran kinerja SKPD
dilakukan untuk menilai seberapa baik SKPD tersebut melakukan tugas pokok
dan fungsi yang dilimpahkan kepadanya selama periode tertentu. Pengukuran
kinerja SKPD merupakan wujud dari vertical accountability yaitu pengevaluasian
kinerja bawahan oleh atasannya dan sebagai bahan horizontal accounntability
pemerintah daerah yaitu kepada masayarakat atas amanah yang diberikan
kepadanya.
Menurut Henderson and Bruce Performance Measure for NPOs ( Not for Profit
Organizations) dalam Journal of Accounting Januari 2002 mengemukakan
terdapat indikator pengukuran kinerja organisasi non profit antara lain:
a. Customer focused
b. Balanced
c. Timely
d. Cost Effective
e. Compatible and Comparable
Parker (1996:3) menyebutkan lima manfaat adanya pengukuran kinerja
suatu entitas pemerintahan, yaitu:
1. Pengukuran kinerja meningkatkan mutu pengambilan keputusan.
Seringkali keputusan yang diambil pemerintah dilakukan dalam keterbatasan
data dan berbagai pertimbangan politik serta tekanan dari pihak-pihak yang
berkepentingan. Proses pengembangan pengukuran kinerja ini akan
pencapaian hasil tertentu. Di samping itu dapat juga dipilih metode
pengukuran kinerja untuk melihat kesuksesan program yang ada. Di sisi lain,
adanya pengukuran kinerja membuat pihak legislatif dapat memfokuskan
perhatian pada hasil yang didapat, memberikan evaluasi yang benar terhadap
pelaksanaan anggaran serta melakukan diskusi mengenai usulan-usulan
program baru.
2. Pengukuran kinerja meningkatkan akuntabilitas internal.
Dengan adanya pengukuran kinerja ini, secara otomatis akan tercipta
akuntabilitas di seluruh lini pemerintahan, dari lini terbawah sampai teratas.
Lini teratas pun kemudian akan bertanggungjawab kepada pihak legislatif.
Dalam hal ini disarankan pemakaian system pengukuran standar seperti
halnya management by objectives untuk mengukur outputs dan outcomes.
3. Pengukuran kinerja meningkatkan akuntabilitas publik.
Meskipun bagi sebagian pihak, pelaporan evaluasi kinerja pemerintah kepada
masyarakat dirasakan cukup menakutkan, namun publikasi laporan ini sangat
penting dalam keberhasilan sistem pengukuran kinerja yang baik. Keterlibatan
masyarakat terhadap pengambilan kebijakan pemerintah menjadi semakin
besar dan kualitas hasil suatu program juga semakin diperhatikan.
4. Pengukuran kinerja mendukung perencanaan stategi dan penetapan tujuan.
Proses perencanaan strategi dan tujuan akan kurang berarti tanpa adanya
kemampuan untuk mengukur kinerja dan kemajuan suatu program. Tanpa
ukuran-ukuran ini, kesuksesan suatu program juga tidak pernah akan dinilai
5. Pengukuran kinerja memungkinkan suatu entitas untuk menentukan
penggunaan sumber daya secara efektif.
Pemerintah daerah diharapkan dapat terus meningkatkan kinerja dan
akuntabilitas, hal ini mengakibatkan pemerintah daerah segera merespon
perubahan yang diinginkan oleh masyarakat sebagai stakeholder. Satuan kerja
perangkat daerah (SKPD) diharapkan memiliki kinerja yang baik yang
menunjukkan stewardship dan akuntabilitas mereka terhadap sumberdaya
masyarakat yang dikelolanya. Agar pemerintah daerah dapat menjalankan
operasinya dengan baik dan mampu memperbaiki kualitas pelayanan kepada
masyarakat, maka dirancang sistem pengukuran kinerja pemerintah daerah agar
peningkatan dan perbaikan kinerja pemerintah daerah dapat dilakukan secara
berkesinambungan.
Sistem pengukuran kinerja biasanya dilakukan karena masalah keagenan
(agency problem), yaitu pengelola program dan kegiatan cenderung akan
melakukan sesuatu yang menguntungkan dirinya sendiri tanpa menghiraukan
pihak principal. Fenomena ini mendorong pihak pimpinan atau atasan untuk
menerapkan sistem pengukuran kinerja agar pihak principal (atasan) dapat
mengawasai pengelolan program dan kegiatan menjalankan program dan kegiatan
serta memiliki skema dalam penetapan insentif dan disinsentif. Pengukuran
kinerja juga berfungsi sebagai alat untuk menjamin kepentingan publik dapat
terjaga.
Penetapan indikator kinerja merupakan suatu hal yang sangat penting
bagi pemerintah daerah untuk menilai keberhasilan pencapaian suatu program dan
masyarakat sebagai stakeholder untuk mengambil keputusan. Penetapan indikator
kinerja di instansi pemerintah selama ini dirasakan kurang merefleksikan ukuran
keberhasilan program dan kegiatan yang sebenarnya sehingga indikator kinerja
tersebut tidak memberi manfaat sama sekali.
Salah satu hal penting dalam sistem pengukuran kinerja yang dapat
mengindikasikan orientasi pada pemenuhan kepuasan/kebutuhan masyarakat
adalah penetapan indikator dan target kinerja. Hal ini penting untuk melihat
apakah ukuran atau proksi yang digunakan untuk mengukur/menilai keberhasilan
suatu program dan kegiatan dalam mencapai tujuan dan misi satuan kerja
perangkat daerah. Indikator kinerja juga dapat digunakan untuk mengukur
keseriusan kepala satuan kerja perangkat daerah untuk mencapai tujuan satuan
kerjanya.
Penetapan indikator kinerja organisasi sektor publik seperti pemerintahan
daerah merupakan hal yang sulit, karena organisasi pemerintah daerah
menghasilkan output dan outcome yang tidak bias dihitung dengan satuan moneter
dan terkadang memiliki dampak yang tidak nyata. Ada 4 aspek yang harus diukur
dalam organisasi pemerintah daerah yaitu input, output, outcome dan efesiensi.
Input adalah kuantifikasi dari usaha-usaha yang dikeluarkan untuk menjalankan
program dan kegiatan. Output adalah hasil jasa layanan yang dicapai atas program
dan kegiatan yang telah dilaksanakan. Outcome adalah pengaruh atau efek dari
jasa layanan yang telah diberikan. Sedangkan efesiensi adalah perbandingan
antara input yang telah dikeluarkan dengan output dan outcome yang dicapai.
Pada organisasi pemerintah daerah, output dan outcome biasanya bersifat
paling sulit karena banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Henderson, et al
(2002) mengatakan bahwa dalam penetapan outcome suatu program dan kegiatan
dalam mengukur kinerja organisasi nirlaba memerlukan kreatifitas dari seorang
akuntan.
Kinerja pemerintah daerah bukan dilihat dari seberapa besar laba yang
yang diperoleh maupun seberapa ketat penggunaan dana, melainkan dari dampak
yang diberikan atas program dan kegiatan yang telah dilakukan. Untuk
mengetahui dampak apa saja yang diberikan oleh organisasi seperti pemerintah
daerah tidak bias dilihat dari laporan keuangan.
Kerangka Pengelolaan Keuangan Publik (selanjutnya di singkat menjadi
PKP) merupakan salah satu dari empat pilar kerangka pengukuran pemerintah
daerah. Pilar-pilar lainnya adalah pemberian layanan publik, iklim investasi, dan
kesehatan fiskal. Dengan mengukur kinerja dalam empat bidang utama ini,
penilaian yang sistematis terhadap kinerja pemerintah daerah dapat dilakukan.
Kerangka PKP dibuat untuk menfasilitasi penilaian dan analisis kapasitas
pengelolaan keuangan pada tingkat daerah. Pengetahuan ini memiliki beberapa
aplikasi. Pertama, hasil dan analisis akan disebarkan kepada pemerintah daerah.
Sehingga, pemerintah daerah akan mendapatkan penilaian yang akurat dan
independen mengenai kapasitas pengelolaan keuangan mereka sendiri dan dapat
berfokus untuk memperbaiki bidang-bidang utama yang menjadi kelemahan
mereka. Diharapkan dengan adanya penelitian ini di Pemerintahan daerah dapat
mengetahui kelemahan dalam pengelolaan keuangan, sehingga kedepannya
Pemerintah daerah diharapkan dengan kinerja yang bagus dapat diberikan
mendorong perbaikan yang lebih jauh. Hal ini dapat menjadi bagian dari
keseluruhan strategi untuk memberikan bantuan bagi pemerintah daerah dalam
mengembangkan kapasitas pengelolaan keuangan mereka.
Kerangka ini dimaksudkan untuk menilai kapasitas pengelolaan keuangan
pemerintah daerah, yang terbagi menjadi sembilan bidang strategis yang utama
untuk pengelolaan keuangan publik
(1) kerangka peraturan perundangan daerah;
(2) perencanaan dan penganggaran;
(3) pengelolaan kas;
(4) pengadaan;
(5) akuntasi dan pelaporan;
(6) audit internal;
(7) hutang dan investasi publik;
(8) pengelolaan aset;
(9) audit eksternal dan pengawasan.
Setiap bidang stragis terdiri dari atas satu hingga lima hasil, dan sebuah
daftar indikator diberikan untuk setiap hasil. Hasil-hasil ini mencerminkan
pencapaian yang diharapkan pada setiap bidang strategis dan indikator-indikator
digunakan untuk menilai sejauh mana pemerintah daerah Kabupaten Batu Bara
telah berhasil mencapai hasil-hasil ini.
Kerangka pengukuran ini dirancang untuk menjadi sekomprehensif
mungkin. Namun, beberapa kekurangan tidak dapat dihindari. Kerangka ini tidak
dapat mengukur semua hal yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan dan
mungkin dan yang realistis untuk dilakukan dalam pemerintah daerah Indonesia.
Oleh sebab itu, indikator-indikator mengarah kepada “dasar” yang bukan saja
dibutuhkan tetapi juga dinilai memungkinkan untuk dicapai.
2.6. Penelitian Sebelumnya
Thesauriyanto (2007) dalam penelitiannya Analisis Pengelolaan Keuangan
Daerah terhadap Kemandirian Daerah. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa
variabel jumlah transfer pemerintah pusat mempunyai pengaruh positif dan
signifikan terhadap pendapatan asli daerah Provinsi Jawa Tengah. Jumlah transfer
pemerintah pusat walaupun secara tidak langsung berpengaruh signifikan terhadap
pendapatan asli daerah, serta menunjukkan bahwa jumlah kendaraan roda 4 atau
lebih mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pendapatan asli
daerah Provinsi Jawa Tengah.
Azhar (2008) dalam penelitiannya Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota Sebelum dan setelah Otonomi Daerah. Hasil studi
menunjukkan bahwasannya terdapat perbedaan kinerja sebelum dan setelah
otonomi, dapat dilihat dari tinggi nya tingkat pembiayaan daerah dari Pemerintah
Pusat dan tekanaan keuangan yang mengakibatkan kinerja pemerintah daerah
bergeser naik turun. Pergeseran ini secara rata rata cenderung mengalami
penurunan.
Sumardjo (2010) dalam penelitiannya Pengaruh Karakteristik Pemerintah
Daerah terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah. Hasil studi menunjukkan
bahwa ukuran (size) pemerintah daerah, leverage, dan intergovermental revenue
berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah. Kemakmuran (wealth)
masih kecilnya peran Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap kinerja keuangan
pemerintah daerah. Hal ini terbukti dengan masih besarnya ketergantungan
pemerintah daerah terhadap trasnfer dana yang berasal dari pemerintah pusat.
2.7. Kerangka Konseptual
Kabupaten Batu Bara merupakan salah satu Kabupaten di wilayah
Provinsi Sumatera Utara. Analisis Pengukuran kinerja pengelolaan keuangan di
Kabupaten Batu Bara dibutuhkan untuk mengetahui tingkat efisiensi dan
efektifitas dalam penggunaan anggaran, serta sebagai bahan masukan bagi
Pemerintahan itu sendiri untuk perumusan kebijakan keuangan daerah di masa
mendatang yang akuntabel. Sehingga dengan mengetahui faktor-faktor tersebut,
pengelolaan serta penggunaan anggaran daerah Kabupaten Batu Bara dapat
benar- benar diarahkan ke sektor-sektor yang secara potensial dapat mendorong
percepatan pembangunan daerah dan menciptakan pengembangan wilayah.
Untuk Kabupaten Batu Bara, kapasitas pengelolaan keuangan yang masih
belum efektif dan efisien perlu dikaji secara mendalam, guna tercapainya
akuntabilitas dan transparasi demi terwujudnya Pemerintahan yang Good
Governance. Beberapa faktor telah membatasi kapasitas pengelolaan keuangan di
Sumatera Utara khususnya di Kabupaten Batu Bara. Pertama, desentralisasi yang
diberiikan kepada Pemerintah Kabupaten Batu Bara merupakan pengalihan
tanggung jawab fiskal dan penyerahan sumber daya keuangan yang dimana tidak
diikuti oleh peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam mengelola sumber
daya tersebut.
Pemerintah daerah Kabupaten Batu Bara diharapkan dapat terus
segera merespon perubahan yang diinginkan oleh masyarakat sebagai stakeholder.
Satuan kerja perangkat daerah (SKPD) diharapkan memiliki kinerja yang baik
yang menunjukkan stewardship dan akuntabilitas mereka terhadap sumberdaya
masyarakat yang dikelolanya. Agar pemerintah daerah Kabupaten Batu Bara
dapat menjalankan operasinya dengan baik dan mampu memperbaiki kualitas
pelayanan kepada masyarakat, maka dirancang sistem pengukuran kinerja
pemerintah daerah agar peningkatan dan perbaikan kinerja pemerintah daerah
dapat dilakukan secara berkesinambungan.
Untuk mengukur kinerja pengelolaan publik keuangan Pemerintah
Kabupaten Batu Bara yang dikembangkan oleh World Bank. Diharapkan hasilnya
dapat mencerminkan pencapaian pada bidang strategis. Indikator- indikator yg
digunakan untuk menilai sejauh mana pemerintah kabupaten Batu Bara telah
berhasil mencapai tigkat pengelolaan publik. Adapun kerangka konseptual yang
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Penelitian Pengukuran Kinerja
Kerangka Peraturan Perundang-
undangan
Perencanaan dan Pengangaran
Pengelolaan Kas
Pengadaan Akuntansi
dan Pelaporan
Audit Internal
Hutang Dan Investasi Publik
Pengelolaan Aset Audit eksternal
dan Pengawasan
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Batu Bara Provinsi Sumatera
Utara. Pertimbangan penelitian dilaksanakan di Kabupaten Batu Bara disebabkan
Kabupaten tersebut merupakan daerah pemekaran wilayah Kabupaten dari Kabupaten
induk Kabupaten Asahan. Selain itu untuk mengetahui sejauh mana pengelolaan
keuangan anggaran di kabupaten Batu Bara digunakan secara efisien, efektif dan
terukur. Penelitian ini menggunakan beberapa satuan kerja perangkat daerah (SKPD)
sebagai unit analisis dari Pemerintah Kabupaten Batu Bara sehingga dapat dijadikan
sebagai informan untuk melakukan pencarian data secara primer. SKPD yang terpilih
sebagai unit analisis adalah Bappeda, Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan
Aset Daerah (DPPKAD), Sekretariat Daerah, dan Sekretaris Dewan. Pemilihan unit
analisis tersebut disesuaikan dengan kebutuhan data yang diperlukan.
3.2. Disain Penelitian
Penelitian ini merupakan applied research dengan pendekatan trianggulasi
yaitu suatu kombinasi pendekatan kualitatif dan kuantitaif. Pendekatan kualitatif
menggunakan pendekatan interprestasi (interpretative approach). Dengan pendekatan
interprestasi, peneliti secara bebas memperhatikan/mengamati kondisi dan peristiwa
yang terjadi secara bebas dan langsung. Pendekatan seperti ini memerlukan keahlian
peneliti dalam menafsirkan kondisi subjek untuk mendapatkan informasi yang sahih.
Peneliti diharapkan dapat bersifat objektif dalam menafsir dan mengambil kesimpulan
digunakan untuk memperoleh data yang dapat memberi informasi tentang
pengelolaan keuangan publik.
3.3. Teknik Pengumpulan Data dan Pengembangan Instrumen Penelitian
Data primer diperoleh dengan cara melakukan wawancara mendalam (in depth
interview) dan pengamatan langsung dengan teknik triangulasi untuk pendekatan
kualitatif. Sementara itu pengumpulan data primer dengan pendekatan kuantitatif
dilakukan dengan teknik survey melalui kuesioner. Kuesioner dirancang sedemikian
rupa dengan mengkombinasikan pertanyaan terbuka dan pertanyaaan tertutup.
Data sekunder didapatkan dari bahan yang telah diterbitkan oleh pemerintah
daerah yaitu Perda APBD, Laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah.
peraturan-peraturan yang terkait dengan pengelolaaan keuangan daerah. Penelitian ini
dilakukan melalui interview, observasi, dan analisis dokumen serta kuesioner.
Interview dilakukan di satuan kerja perangkat daerah yang terlibat dalam
proses pengelolaan keuangan publik, dengan tujuan untuk memperoleh informasi
tentang pengelolaan keuangan publik. Kuesioner disebarkan kepada staf yang terlibat
dalam pengelolaan keuangan publik, kuesioner disebar dan diisi oleh unit kerja yang
sesuai dengan bidang strategis yang akan ditanyakan.
Instrumen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah alat yang digunakan
untuk mengumpulkan data. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan kuesioner.
Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kuesioner yang
dikembangkan oleh World Bank dan Kementerian dalam negeri Republik Indonesia.
Kuesioner tersebut memiliki 9 bidang strategis untuk mengukur kinerja Pemerintah
Daerah. Kerangka pengukuran pengelolaan keuangan publik dapat dilihat pada tabel
Tabel 3.1. Kerangka Pengukuran - Bidang Strategis dan Indikator
No Bidang strategis Indikator Item
Pertanyaan
1 Kerangka Peraturan
Perundangan Daerah
Adanya kerangka peraturan perundangan daerah yang komprehensif sebagaimana diamanat kan oleh kerangka hukum nasional mengenai pengelolaan keuangan daerah
12
Kerangka peraturan perundangan daerah mengatur mengenai penegakan hukum dan struktur organisasi yang efektif
7
Kerangka peraturan perundangan daerah mencakup ketentuan untuk meningkatkan transparansi dan partisipasi masyarakat
6
25
2 Perencanaan dan
Penganggaran
Adanya hubungan yang konsisten antara proses perencanaan bottom-up yang partisipatif, perencanaan pembangunan daerah, perencanaan sektoral dan APBD
17
Anggaran berdasarkan kerangka jangka menengah 3
Target anggaran layak dan berdasarkan proses
penyusunan anggaran yang realistis 9
Anggaran memihak kelompok miskin 8
Sistem pemantauan dan evaluasi partisipatif yang komprehensif dalam proses perencanaan dan penganggaran telah terbentuk
9
Pengendalian Pengeluaran Digunakan Untuk
Memastikan Kinerja Anggaran 4
53
3 Pengelolaan Kas
Kebijakan, prosedur, dan pengendalian untuk
mendorong pengelolaan kas yang efisien telah dibentuk 10
Penerimaan kas, pembayaran kas, serta surplus kas
temporer dikelola/ dikendalikan secara efisien 11
Terdapat sistem penagihan dan pemungutan pendapatan
daerah yang efisien 17
Peningkatan dan penanganan manajemen pendapatan 6
44
4 Pengadaan barang
dan jasa
Kebijakan, prosedur, dan pengendalian untuk
mendorong effisiensi pengadaan barang dan jasa yang kompetitif ditetapkan dan dilaksanakan
47
Suatu sistem penanganan pengaduan resmi beroperasi 3
50
5 Akuntansi dan
Pelaporan
Adanya kapasitas sdm dan kelembagaan yang memadai
untuk fungsi akuntansi dan keuangan 7
Sistem informasi akuntansi dan manajemen sudah
terintegrasi 3
Seluruh transaksi dan saldo keuangan pemerintah
daerah dicatat secara akurat dan tepat waktu 9
Terdapat laporan keuangan dan informasi manajemen
yang dapat diandalkan 8
27
No Bidang strategis Indikator Item
Pertanyaan
6 Audit Internal
Inspektorat terorganisir dan diberdayakan untuk beroperasi dengan efektif
5
Standar dan prosedur audit internal yang diaplikasikan dapat diterima
11
Temuan audit internal ditindaklanjuti segera 2
Publik investasi daerah yang memperhitungkan risiko telah ditetapkan dan dilaksanakan
8
8 Pengelolaan Aset
Terdapat prosedur dan mekanisme untuk memastikan
efektifitas tata kelola BUMD 10
Ditetapkan dan dilaksanakannya kebijakan, prosedur, dan pengendalian mengenai perolehan aset dan pengelolaan aset tetap yang dimiliki secara efektif
3
Basis informasi pendukung pengelolaan aset ditetapkan
dan dipelihara 8
Pengelolaan aset dihubungkan dengan perencanaan dan
penganggaran (APBD) 1
22
9 Audit Eksternal dan
Pengawasan
Audit eksternal yang rutin menjamin efektifitas
akuntabilitas pemerintah daerah 4
Audit eksternal yang rutin menjamin efektifitas
akuntabilitas pemerintah daerah 5
9
256
3.4. Analisis Data
Untuk menjawab rumusan masalah pertama dan kedua digunakan metode
skoring. Pilihan pendekatan skoring memungkinkan dilakukannya peringkatan untuk
setiap bidang strategis di Kabupaten Batu Bara, dan tiap hasil untuk mengidentifikasi
dimana letak kelebihan dan kelemahan berada.
Alat diagnostik ini mencari respon benar atau salah untuk setiap pertanyaan.
Respon tersebut dimasukkan dalam kertas kerja dan kemudian jumlah jawaban
’benar’ atau ’Ya’ dijumlahkan untuk mendapatkan skore dibandingkan dengan
kemungkinan maksimumnya. Untuk mengevaluasi skore dan memfasilitasi
perbandingan, system penilaian telah dikembangkan untuk menyediakan gambaran
umum nilai dari skore yang diperoleh untuk setiap hasil strategis dan bidang strategis.
Meskipun skore diagregatkan untuk setiap bidang strategis, skore ini tidak mewakili
seberapa besar tujuan strategis tersebut kemungkinan akan dicapai, sebab hanya
hasil-hasil terpilih untuk setiap bidang dimasukkan dalam kerangka kerja ini.
Sistem grading ini menggunakan lima grade (tingkatan). Pendekatan rangking
skore actual ‘Yes’ yang diperoleh dibandingkan dengan kemungkinan maksimum
jawab ’Ya’ untuk setiap
Bidang Strategis.
100-80% Sangat memuaskan/Diterima seluruhnya
79-60% Sangat baik/Diterima secara substansial
59-40% Baik/Kurang lebih dapat diterima
39-20% Rata-rata/Diterima secara parsial
19-1% Kurang/Tidak dapat diterima
Skala grading di atas lebih dirancang untuk memberikan indikator kelebihan
dan kelemahan untuk setiap bidang strategis, bukan suatu ukuran yang absolut dan
sangat tepat. Analisa dan interprestasi skore yang diperoleh membutuhkan
kehatian-hatian dan merujuk ke kontek di mana alat ukur ini diterapkan. Namun Sebagai
contoh, skore keseluruhan untuk tiap bidang strategis dapat dengan mudah diturunkan
dari alat ukur ini. Namun demikian, menarik skor agregat untuk suatu kabupaten/kota
dan menginterprestasikan skor keseluruhan memiliki beberapa tantangan, seperti